tipus-uye

23
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir dan Pantai Pesisir merupakan area di darat yang dipengaruhi oleh proses ekosistem yang ada di laut, misalnya angin yang membawa butiran air yang mengandung garam tinggi dan sampai atau jatuh di daerah darat. Batas peisisir hanya sampai garis pesisir. Garis pesisir (coastline) adalah batas antara darat dan air, di mana permukaan airnya terjadi pada saat pasang tertinggi perlu diketahui dengan tepat kedudukannya dalam pembangunan pelabuhan, sebab kedudukan batas jangka panjang keadaannya relatif tetap. Tetapi bila dalam pembangunan pelabuhan tidak diketahui atau tidak ditetapkan terlebih dahulu garis batas pantai ini, akan sangat membahayakan dan bahkan dapat menggagalkan kegiatan pembangunan pelabuhan. Hal ini disebabkan batas garis pantai (shore line) tidak tetap dan terus bergerak dari waktu ke waktu (Fandeli, 2011). Sejalan dengan itu Triatmodjo (1999) berpendapat bahwa pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedang pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang

Upload: putra-lamsatria

Post on 24-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Tipus MITBEN PUTU COOL

TRANSCRIPT

Page 1: tipus-uye

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir dan Pantai

Pesisir merupakan area di darat yang dipengaruhi oleh proses ekosistem yang

ada di laut, misalnya angin yang membawa butiran air yang mengandung garam

tinggi dan sampai atau jatuh di daerah darat. Batas peisisir hanya sampai garis

pesisir. Garis pesisir (coastline) adalah batas antara darat dan air, di mana

permukaan airnya terjadi pada saat pasang tertinggi perlu diketahui dengan tepat

kedudukannya dalam pembangunan pelabuhan, sebab kedudukan batas jangka

panjang keadaannya relatif tetap. Tetapi bila dalam pembangunan pelabuhan tidak

diketahui atau tidak ditetapkan terlebih dahulu garis batas pantai ini, akan sangat

membahayakan dan bahkan dapat menggagalkan kegiatan pembangunan pelabuhan.

Hal ini disebabkan batas garis pantai (shore line) tidak tetap dan terus bergerak dari

waktu ke waktu (Fandeli, 2011).

Sejalan dengan itu Triatmodjo (1999) berpendapat bahwa pesisir adalah

daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut,

angin laut dan perembesan air laut. Sedang pantai adalah daerah di tepi perairan

yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai

adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, di mana posisinya tidak

tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang

terjadi.

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem sangat unik karena di tempat ini tiga

komponen planit bumi bertemu; hidrosfir, litosfir dan biosfir (Pallewatta dalam

Rositasari et al., 2011). Keunikan lain dari kawasan ini adalah terdapatnya

beberapa habitat yang sangat produktif seperti estuari, laguna, lahan basah dan

karang tepi (Clark dalam Rositasari et al., 2011). Keunikan kawasan ini

menghasilkan berbagai sektor bernilai komesial tinggi, seperti pangan, pemukiman,

parawisata, perikanan dan industri. Sejalan dengan itu Hakim et al., (2013),

Page 2: tipus-uye

menyatakan wilayah pesisir sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia

seperti: pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan,

pertanian dan pariwisata.

Pemanfaatan wilayah pesisir yang terus berlanjur berakibat pada

bertambahnya kebutuhan lahan dan prasarana lainnya, sehingga mengakibatkan

timbulnya masalah-masalah baru seperti abrasi pantai, sedimentasi dan

pendangkalan muara sungai, penurunan tanah dan intrusi air asin serta pencemaran

lingkungan. Selain itu, wilayah pesisir sangat rentan terhadap dampak perubahan

iklim seperti kenaikan muka laut (sea level rise) dan variabilitas musiman (El Niño,

gelombang badai dan kejadian ekstrim laut lainnya), wilayah pesisir juga rentan terhadap

aktivitas manusia baik di darat maupun di laut, sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat

dipisahkan satu sama lain (Hakim et al., 2013).

Gambar 2.1 Definisi dan Batasan Pantai (Triatmodjo, 1999).

2.2 Gambaran Umum Kota Semarang

Kota Semarang merupakan salah satu kota yang terletak di pesisir Laut Utara

Jawa. Secara geografis terletak pada 6˚55’52.5” LS - 6˚58’45” LS dan 110˚17’18”

BT – 110˚29’25” BT memiliki panjang garis pantai ±36.6 km, dengan luas wilayah

daratan pesisir: 9,111.28 ha (47.6%), luas wilayah perairan: 10,048.80 ha (52.4%)

Page 3: tipus-uye

(Bappeda Kota Semarang dalam Hakim et al., 2013). Pemanfaatan wilayah pesisir

Kota Semarang sangat beragam, mulai dari pemanfaatan pesisir sebagai wilayah

perumahan modern, permukiman, kawasan terbuka hijau hingga pemanfaatan

sebagai lahan tambak oleh msayarakat pesisir, hal ini akan menyebabkan adanya

intervensi manusia maupun terhadap kondisi pesisir, seperti terjadinya reklamasi

untuk memenuhi kebutuhan perumahan, maupun wahana rekreasi maupun adanya

penggundulan mangrove sebagai pembukaan tambak baru (Hakim et al., 2013).

Secara topografis Kota Semarang terdiri dari daerah perbukitan, dataran

rendah dan daerah pantai, dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan

adanya berbagai kemiringan dan tonjolan. Daerah pantai 65,22% wilayahnya adalah

dataran dengan kemiringan 25% dan 37,78 % merupakan daerah perbukitan dengan

kemiringan 15-40%. Wilayah Kota Semarang berada pada ketinggian antara 0

sampai dengan 348,00 meter dpl (di atas permukaan air laut) (Pemerintah Kota

Semarang, 2010).

Kondisi lingkungan Kota Semarang telah mengalami penurunan kualitas,

angka pasang surut dari tahun 1991 setinggi 0,87 m, menjadi 0,97 m pada tahun

1994 (laporan dari JICA – Japan International Corporation Agency dalam

Pemerintah Kota Semarang, 2010). Kenaikan tinggi pasang surut ini berdampak

pada rob di kawasan Semarang Utara, Semarang Tengah dan Genuk. Kawasan

pantai yang terkena rob khususnya di Kecamatan Semarang Utara dan Semarang

Tengah dipengaruhi oleh adanya penurunan muka tanah dengan laju 2 – 8 cm/tahun

(Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan), seperti misalnya di Kelurahan Panggung

Lor, Panggung Kidul, Kawasan Tawang/Kota Lama sampai ke Kawasan Tanjung

Mas (Pemerintah Kota Semarang, 2010).

2.3 Kerentanan Wilayah Pesisir

Dalam prespektif oseanografi, wilayah pesisir adalah wilayah yang paling

rawan terhadap perubahan iklim. Banjir pasang (penggenangan), banjir, abrasi/erosi

Page 4: tipus-uye

dan intrusi air laut adalah beberapa aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang

akan menimbulkan kerugian (Rositasari et al., 2011).

Kerentanan atau vulnerability telah muncul sebagai suatu konsep sentral

dalam memahami akibat bencana alam serta untuk mengembangkan strategi

pengelolaan risiko bencana. Definisi secara umum kerentanan adalah tingkatan

suatu sistem yang mudah terkena atau tidak mampu menanggulangi bencana.

Triutomo et al. dalam Wahyudi et al. (2009) mendefinisikan kerentanan sebagai

kondisi suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan

ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Tingkat kerentanan dapat ditinjau

dari aspek fisik, sosial kependudukan dan ekonomi. Kerentanan fisik

menggambarkan suatu kondisi fisik yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard)

tertentu (Wahyudi et al., 2009).

Menurut Kaiser dalam Febriansyah et al. (2012), kerentanan pantai adalah

suatu kondisi yang menggambarkan keadaan “susceptibility” (mudah terkena) dari

suatu sistem alami serta keadaan sosial pantai (manusia, kelompok atau komunitas)

terhadap bencana pantai. Ditambahkan oleh Wahyudi dalam Rupang et al. (2014),

bahwa penilaian kerentanan pantai merupakan prerekues yang penting dalam

menentukan daerah yang berisiko tinggi, mengapa mereka berada dalam risiko serta

bagaimana cara mengurangi tingkat risiko tersebut.

Secara umum kondisi atau tingkat kerusakan yang terjadi akan bergantung

pada tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi air. Indonesia sebagai negara

kepulauan dengan kota-kota besar yang mayoritas berada di kawasan tepi air,

gangguan terhadap kawasan tepi air yang salah satunya dapat diakibatkan oleh

adanya kenaikan permukaan air laut dapat memberikan pengaruh yang sangat besar

bagi perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian

diperlukan adanya upaya untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin

terjadi sebagai akibat dari kenaikan permukaan air laut (Suprijanto, 2003).

Page 5: tipus-uye

2.4 Indeks Kerentanan Pesisir (IKP)

Evaluasi kerentanan pesisir sangat diperlukan dalam kerangka kerja dari

evaluasi terhadap pengaruh dan kemungkinan dari respon terkait fenomena

perubahan yang terjadi. Evaluasi yang dilakukan meliputi sensitivitas wilayah

pantai terhadap kenaikan muka air laut dan peran penting wilayah pesisir dalam segi

sosial, ekonomi dan ekologi. Berbagai macam metode evaluasi kerentanan pantai

dilakukan dengan berdasarkan pendekatan indeks. Salah satu metode yang biasa

dilakukan untuk evaluasi kerentanan fisik seperti erosi dan atau inundasi adalah

menggunakan indeks kerentanan pesisir (Sulma et al., 2012).

Secara umum, penerapan metode IKP (Indeks Kerentanan Pesisir) merupakan

pendekatan sederhana dalam menyediakan dasar skala penilaian terhadap perubahan

fisik pantai yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wilayah yang memiliki

resiko tinggi. Metode ini telah digunakan dalam program evaluasi nasional

kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut di Amerika Serikat dan evaluasi

kerentanan pesisir di Indonesia (Sulma et al., 2012).

Sebagian besar evaluasi tingkat kerentanan pantai khususnya di wilayah

pesisir di kota-kota besar di Indonesia hanya berdasarkan kriteria IKP yang sama

untuk keadaan lapangan yang berbeda. Penerapan metode yang demikian

menyebabkan output yang dihasilkan tidak mewakili keadaan sesungguhnya di

lokasi penelitian. Sehingga perlu dilakukan standarisasi variabel dan indeks

kerentanan yang spesifik untuk wilayah pesisir yang di evaluasi (Sulma et al.,

2012).

Page 6: tipus-uye

Menurut Prawiradisastra (2011), kerentanan suatu daerah terhadap bencana

dapat dilihat dari beberapa parameter. Kerentanan dilihat dari 3 parameter utama,

yaitu:

a. Kepadatan penduduk; semakin besar kepadatan penduduk maka kerentanan

suatu daerah dikatakan semakin besar. Apabila suatu bencana terjadi pada

daerah berpenduduk padat maka peluang jatuhnya korban lebih besar,

dibandingkan pada daerah berpenduduk jarang.

b. Penggunaan lahan; jenis penggunaan lahan yang dianggap mempunyai tingkat

risiko tinggi adalah kawasan permukiman atau kawasan terbangun. Apabila

bencana terjadi pada kawasan terbangun maka dapat dipastikan akan

menimbulkan kerugian akibat kerusakan bangunan atau fasilitas permukiman

lainnya.

c. Distribusi infrastruktur; obyek-obyek vital seperti pasar, bandar udara,

pelabuhan, pembangkit listrik dan bendungan serta instalasi air bersih

merupakan beberapa contoh obyek vital yang harus dipelihara dari kerusakan

akibat bencana alam. Kerusakan obyek-obyek vital ini akan berdampak pada

menurunnya tingkat pelayanan kebutuhan masyarakat.

Namun dalam beberapa penelitian, indeks kerentanan pantai diukur dengan

menggunakan enam variabel, yaitu: 1) Geomorfologi; 2) Perubahan garis pantai; 3)

Kemiringan pantai; 4) Perubahan elevasi muka air relatif; 5) Rata-rata tinggi

gelombang; dan 6) Rata-rata kisaran pasang surut (Firmansyah et al., 2012; Rupang

et al., 2014).

2.5 Variabel-variabel Kerentanan Pesisir

Telah disebutkan sebelumnya mengenai beberapa variabel yang

mempengaruhi indeks kerentanan pantai. Berikut ini adalah variabel yang

digunakan untuk menghitung nilai indeks kerentanan pantai:

2.4.1 Geomorfologi

Page 7: tipus-uye

Pengamatan geomorfologi pantai dilakukan dengan metode visual, yaitu

pengamatan yang dilakukan dengan melihat langsung kondisi yang sebenarnya di

lapangan terhadap obyek kajian dalam hal ini adalah geomorfologi pantai

(Firmansyah et al., 2012).

Proses geomorfologi merupakan proses alami yang berlangsung pada

permukaan bumi sehingga terjadi perubahan bentuk lahan di permukaan bumi.

Perubahan bentuk lahan tersebut menghasilkan bentukan pada permukaan bumi

yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan demikian akan mempunyai

susunan dan karakteristik fisik serta visual yang berbeda pula. Perbedaan tersebut

dapat diidentifikasi secara jelas melalui karakteristik relief/morfologi,

struktur/litologi, dan proses-proses geomorfologi (Rupang et al., 2014).

Ditambahkan oleh Triatmodjo (1999), bahwa bentuk profil pantai sangat

dipengaruhi oleh serangan gelombang, sifat-sifat sedimen seperti rapat massa dan

tahanan terhadap erosi, ukuran dan bentuk partikel, kondisi gelombang dan arus

serta bathimetri pantai.

2.4.2 Perubahan Garis Pantai

Laju perubahan garis pantai dapat diartikan sebagai profil suatu garis pantai

dalam proses kestabilannya (maju atau mundur) setiap tahun. Dalam metode

penentuan laju perubahan posisi suatu garis pantai menurut suatu rentang waktu,

laju perubahan garis pantai diekspresikan sebagai jarah dari suatu posisi garis pantai

mengalami perpindahan dalam tiap tahun (Himmelstoss dalam Rupang et al., 2014).

Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh aktivitas manusia seperti

pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah

keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan. Dengan

curah hujan yang dengan intensitas tinggi juga dapat mempengaruhi peruhan garis

pantai. Di sepanjang kawasan pantai terdapat segmen-segmen pantai yang

mengalami erosi, disamping ada bagian-bagian yang mengalami akresi/sedimentasi

dan segmen yang stabil (Tarigan, 2007).

Page 8: tipus-uye

Perubahan garis pantai berupa abrasi lebih dari 2m/tahun memiliki nilai

kerentanan sangat tinggi, sedangkan perubahan garis pantai akibat akresi lebih dari

2 m/tahun memiliki nilai kerentanan sangat rendah. Akresi akan menambah luasan

dari daratan karena garis pantai yang semakin maju menuju ke arah laut sedangkan

abrasi akan mengurangi luasan dari daratan (Amandangi dalam Rupang et a., 2014).

2.4.3 Kemiringan Pantai

Menurut Rochmanto dan Franscles (2012), berdasarkan pembagian sudut

lereng maka diperoleh beberapa klasifikasi, yaitu sebagai berikut:

1. 61°-90°, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang terjal;

2. 31°-60°, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang sedang;

3. 0°-30°, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang landai.

Sejalan dengan itu Arsyad dalam Rupang et al. (2014), bahwa kemiringan

lereng menunjukan besarnya sudut lereng dalam persen atau derajat. Dua titik yang

berjarak horizontal 100 meter yang mempunyai selisih tinggi 10 meter membentuk

lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45 derajat. Selain

dari memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curamnya lereng juga

memperbesar energi angkut air. Jika kemiringan lereng semakin besar, maka jumlah

butir-butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan akan semakin

banyak. Hal ini disebabkan gaya berat yang semakin besar sejalan dengan semakin

miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal, sehingga lapisan tanah atas yang

tererosi akan semakin banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih

curam, maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2,0-2,5 kali lebih banyak.

2.4.4 Perubahan Elevasi Muka Air Laut Relatif

Perubahan elevasi muka air laut relatif dapat disebabkan akibat adanya

kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Kenaikan muka air laut atau

sea level rise adalah fenomena naiknya muka air laut sebagai akibat dari perubahan

Page 9: tipus-uye

iklim yang merupakan isu penting saat ini (Sihombing et al., 2012). Selama 30

tahun terakhir ini, pemanasan global telah menyebabkan lapisan es di laut Artik di

Kutub Utara menipis sebesar 40 persen. Di Antartika, lapisan es juga ikut mencari

dengan tingkat yang sangat cepat akibat pemanasan global. Saat atmosfer mulai

menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan ikut menghangat, sehingga

volumenya akan membesar dengan mencairnya es di kutub Utara dan Selatan.

Akibatnya adalah naiknya tinggi permukaan laut dan lebih banyak volume air di

laut (Rusbiantoro, 2008).

Gambar 2.2 Grafik Kenaikan Permukaan Air Laut (Pearce, 2003 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Menurut Diposaptono dalam Suhelmi (2013), bahwa dampak yang

ditimbulkan oleh kenaikan muka air laut adalah sebagai berikut: 1) Peningkatan

frekuensi dan intensitas banjir; 2) Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan

mangrove; 3) Perluasan intrusi air laut; 4) Peningkatan ancaman terhadap kegiatan

sosial-ekonomi masyarakat pesisir; dan 5) Berkurang luas daratan atau hilangnya

pulau-pulau kecil.

Menurut Meiviana et al. dalam Kodoatie dan Sjarief (2010), untuk wilayah

Indonesia, adapun daerah-daerah pesisir yang termasuk rawan akan dampak

kenaikan muka air laut antara lain sebagai berikut:

Page 10: tipus-uye

a. Pantai Utara Jawa, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan

Surabaya. Antara Tahun 1925-1989, kenaikan muka air laut yang telah terjadi di

Jakarta (4,38 mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya (5,47

mm/tahun);

b. Pantai Timur Sumatera;

c. Pantai Selatan, Timur dan Barat Kalimantan;

d. Pantai Barat Sulawesi;

e. Daerah rawa di Irian Jaya yang terletak di pantai Barat dan Selatan.

Menurut Suhelmi (2013), penurunan muka tanah (land subsidence) adalah

fenomena alami yang terjadi karena adanya konsolodasi tanah akibat dari

pematangan lapisan tanah yang masih muda. Penurunan muka tanah yang terjadi

saat musim hujan bersinergi dengan banjir rob menjadikan wilayah genangan

semakin luas. Ditambahkan oleh Abidin et al. dalam Anggraini et al. (2012), bahwa

penurunan muka tanah disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan,

semakin meningkatnya bangunan baik industri maupun pemukiman dan akibat

konsolidasi alami tanah aluvial. Penurunan muka tanah yang terjadi membuat

kenaikan muka air laut yang terjadi seolah-olah lebih besar sehingga kerugian yang

ditimbulkan lebih besar.

2.4.5 Rata-rata Tinggi Gelombang

Pada hakekatnya fenomena gelombang laut menggambarkan transmisi dari

energi dan momentum. Gelombang laut selalu menimbulkan sebuah ayunan air

yang bergerak tanpa henti-hentinya pada lapisan permukaan laut dan jarang dalam

keadaan sama sekali diam. Hembusan angin sepoi-sepoi pada cuaca yang tenang

sekalipun sudah cukup untuk dapat menimbulkan riak gelombang. Sebaliknya

dalam keadaan di mana badai yang besar dapat menimbulkan suatu gelombang

besar yang dapat mengakibatkan suatu kerusakan di daerah pantai (Aziz, 2006).

Gelombang laut pada umumnya timbul oleh pengaruh angin, walaupun masih

ada faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan gelombang di laut seperti aktifitas

seismik di dasar laut (gempa), letusan gunung api, gerakan kapal, gaya tarik benda

Page 11: tipus-uye

angkasa (bulan dan matahari) (Nining dalam Aziz, 2006). Gelombang laut dapat

juga terjadi di lapisan dalam (pada bidang antara dari dua lapisan air yang

mempunyai densitas berbeda). Gelombang ini disebut gelombang dalam (internal

waves) (Aziz, 2006).

Gambar 2.3. Profil Gelombang Laut (Aziz, 2006)

Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan diurutkan dari nilai tertinggi

ke terendah atau sebaliknya, maka akan dapat ditentukan tinggi gelombang

signifikan (Significant wave height, SWH) yaitu rata-rata tinggi gelombang dari

sepertiga gelombang laut tertinggi. Nilai tinggi gelombang dalam kerentanan pantai

dapat mempengaruhi perubahan garis pantai dan kondisi geomorfologi daerah

tersebut (Triatmodjo dalam Rupang et al., 2014).

2.4.6 Pasang Surut

Pasang surut merupakan fenomena naik turunnya muka laut secara periodik

yang terjadi di seluruh belahan bumi akibat adanya gaya pembangkit pasng surut

yang utamanya berasal dari matahari dan bulan (Douglas, 2001 dalam Ismail dan

Taofiqurohman, 2012). Ditambahkan oleh Aziz (2006), bahwa pasang surut adalah

perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya

yang diakibatkan aksi gravitasi benda-benda angkasa di luat materi itu berada.

Pasang surut dalam keadaan tertinggi pada saat Bulan sedang purnama atau

baru, dan waktu-waktu pasang surut yang tinggi pada lokasi tertentu dapat

diperkirakan berhubungan dengan posisi Bulan di langit. Karena pergerakan relatif

Page 12: tipus-uye

Bumi, Matahari dan Bulan cukup rumit, maka mengakibatkan pengaruh mereka

akan peristiwa pasang surut menghasilkan pengaruh mereka akan peristiwa pasang

surut menghasilkan pola-pola kompleks yang sama. Meskipun begitu, jarak gaya-

gaya yang ditimbulkan oleh pasang surut dapat dirumuskan dengan tepat, walaupun

respon lautan atas gaya-gaya ini dimodifikasi oleh efek-efek permanen topografi

dan efek sementara dari pola-pola cuaca (Supangat dan Susanna, 2004).

Kisaran pasang surut rata-rata berkontribusi dalam bahaya penggenangan

pantai dimana pasut menghasilkan perubahan permukaan secara rutin sepanjang

pantai. Oleh karena itu, pasang surut mempunyai arti penting dalam kerentanan

pantai. Konsentrasi dan posisi sedimen tersuspensi sangat tergantung pada variasi

tinggi pasang surut dan debit sungai. Selain itu, pasang surut juga dapat

menyebabkan intrusi air asin sampai ke daratan (Triatmodjo dalam Rupang et al.,

2014).

Gambar 2.4 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia dan Sekitarnya (Triatmodjo, 1999).

Page 13: tipus-uye
Page 14: tipus-uye

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, N., Trisakti, B. dan Soesilo, T. E. B. 2012. Pemanfaatan Data Satelit Untuk Analisis Potensi Genangan dan Dampak Kerusakan Akibat Kenaikan Muka Air Laut (Application of Sattelite Data to Analyze Inundation Potential and The

Impact of Sea Level Rise). Jurnal Penginderaan Jauh, 9(2), 140-151.

Aziz, F. M. 2006. Gerak Air di Laut. Oseana, 31(4): 9-21.

Fandeli, C. 2011. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pembangunan Pelabuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 211.

Febriansyah, I., Anugroho, A. D. S. dan Helmi, M. 2012. Kajian Kerentanan Pantai di Pesisir Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Oseanografi, 1(2), 139-148.

Hakim, B. A., Suharyanto dan Hidajat, W. K. 2013. Pengaruh Kenaikan Muka Air Laut Pada Efektivitas Bangunan Untuk Perlindungan Pantai Kota Semarang. Buletin Oseanografi Marina, 2, 81-93.

Kodoatie, R. J. dan Sjarief, R. 2010. Tata Ruang Air. Andi Offset, Yogyakarta, 536.

Pemerintah Kota Semarang. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Semarang Tahun 2005-2025.

Prawiradisastra, S. Analisis Kerawanan dan Kerentanan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami untuk Perencanaan Wilayah di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 13(2), 103-109.

Rahmawati, W., Handoyo, G. dan Rochaddi, B. 2015. Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Pantai Kartini Jepara. Jurnal Oseanografi, 4(2), 487-491.

Rochmanto, B. dan Franscles, S. A. 2012. Karakteristik Morfologi Pantai Mallusetasi Berdasarkan Data Spasial Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Teknik Geologi, 6.

Rositasari, R., Setiawan, W. B., Supriadi, I. H., Hasanuddin dan Prayuda, B. 2011. Kajian dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim: Studi

Kasus di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 3(1), 52-64.

Rupang, E., Sakka dan Paharuddin. 2014. Analisis Kerentanan Pantai Berdasarkan Paramter Fisik.

Page 15: tipus-uye

Rusbiantoro, D. 2008. Global Warming For Beginner: Pengantar Komprehensif Tentang Pemanasan Global. Niaga Swadaya, 114.

Sihombing, W. H., Suntoyo dan Sambhodo, K. 2012. Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Jurnal Teknik ITS, 1, 166-

169.

Suhelmi, I. R. 2013. Pemetaan Kapasitas Adaptif Wilayah Pesisir Semarang Dalam Menghadapi Genangan Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Perubahan Iklim. Forum Geografi, 27(1), 81-92.

Sulma, S., Kusratmoko, E. dan Saraswati, R. 2012. Coastal Physical Vulnerability ofSurabaya and Its Surrounding Area to Sea Level Rise. Makara, 16(2), 163-

170.

Supangat, A. dan Susanna. 2004. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, 273.

Suprijanto, I. 2003. Kerentanan Kawasan Tepi Air Terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut Kasus Kawasan Tepi Air Kota Surabaya. Dimensi Teknik Arsitektur,

31(1), 28-37.

Tahir, A., Boer, M., Susilo, S. B. dan Jaya, I. 2009. Indeks Kerentanan Pulau-pulau Kecil: Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar. 14(4), 183-188.

Tarigan, M. S. 2007. Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi Banten, 11(1), 49-55.

Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta, 362.

Zulaykha, S., Subardjo, S. dan Atmodjo, W. 2015. Pemetaan Daerah yang Tergenang Banjir Pasang Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Kota Tegal. Jurnal Oseanografi, 4(1), 179-184.

.