tipus-uye
DESCRIPTION
Tipus MITBEN PUTU COOLTRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wilayah Pesisir dan Pantai
Pesisir merupakan area di darat yang dipengaruhi oleh proses ekosistem yang
ada di laut, misalnya angin yang membawa butiran air yang mengandung garam
tinggi dan sampai atau jatuh di daerah darat. Batas peisisir hanya sampai garis
pesisir. Garis pesisir (coastline) adalah batas antara darat dan air, di mana
permukaan airnya terjadi pada saat pasang tertinggi perlu diketahui dengan tepat
kedudukannya dalam pembangunan pelabuhan, sebab kedudukan batas jangka
panjang keadaannya relatif tetap. Tetapi bila dalam pembangunan pelabuhan tidak
diketahui atau tidak ditetapkan terlebih dahulu garis batas pantai ini, akan sangat
membahayakan dan bahkan dapat menggagalkan kegiatan pembangunan pelabuhan.
Hal ini disebabkan batas garis pantai (shore line) tidak tetap dan terus bergerak dari
waktu ke waktu (Fandeli, 2011).
Sejalan dengan itu Triatmodjo (1999) berpendapat bahwa pesisir adalah
daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut,
angin laut dan perembesan air laut. Sedang pantai adalah daerah di tepi perairan
yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai
adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, di mana posisinya tidak
tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang
terjadi.
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem sangat unik karena di tempat ini tiga
komponen planit bumi bertemu; hidrosfir, litosfir dan biosfir (Pallewatta dalam
Rositasari et al., 2011). Keunikan lain dari kawasan ini adalah terdapatnya
beberapa habitat yang sangat produktif seperti estuari, laguna, lahan basah dan
karang tepi (Clark dalam Rositasari et al., 2011). Keunikan kawasan ini
menghasilkan berbagai sektor bernilai komesial tinggi, seperti pangan, pemukiman,
parawisata, perikanan dan industri. Sejalan dengan itu Hakim et al., (2013),
menyatakan wilayah pesisir sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia
seperti: pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan,
pertanian dan pariwisata.
Pemanfaatan wilayah pesisir yang terus berlanjur berakibat pada
bertambahnya kebutuhan lahan dan prasarana lainnya, sehingga mengakibatkan
timbulnya masalah-masalah baru seperti abrasi pantai, sedimentasi dan
pendangkalan muara sungai, penurunan tanah dan intrusi air asin serta pencemaran
lingkungan. Selain itu, wilayah pesisir sangat rentan terhadap dampak perubahan
iklim seperti kenaikan muka laut (sea level rise) dan variabilitas musiman (El Niño,
gelombang badai dan kejadian ekstrim laut lainnya), wilayah pesisir juga rentan terhadap
aktivitas manusia baik di darat maupun di laut, sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain (Hakim et al., 2013).
Gambar 2.1 Definisi dan Batasan Pantai (Triatmodjo, 1999).
2.2 Gambaran Umum Kota Semarang
Kota Semarang merupakan salah satu kota yang terletak di pesisir Laut Utara
Jawa. Secara geografis terletak pada 6˚55’52.5” LS - 6˚58’45” LS dan 110˚17’18”
BT – 110˚29’25” BT memiliki panjang garis pantai ±36.6 km, dengan luas wilayah
daratan pesisir: 9,111.28 ha (47.6%), luas wilayah perairan: 10,048.80 ha (52.4%)
(Bappeda Kota Semarang dalam Hakim et al., 2013). Pemanfaatan wilayah pesisir
Kota Semarang sangat beragam, mulai dari pemanfaatan pesisir sebagai wilayah
perumahan modern, permukiman, kawasan terbuka hijau hingga pemanfaatan
sebagai lahan tambak oleh msayarakat pesisir, hal ini akan menyebabkan adanya
intervensi manusia maupun terhadap kondisi pesisir, seperti terjadinya reklamasi
untuk memenuhi kebutuhan perumahan, maupun wahana rekreasi maupun adanya
penggundulan mangrove sebagai pembukaan tambak baru (Hakim et al., 2013).
Secara topografis Kota Semarang terdiri dari daerah perbukitan, dataran
rendah dan daerah pantai, dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan
adanya berbagai kemiringan dan tonjolan. Daerah pantai 65,22% wilayahnya adalah
dataran dengan kemiringan 25% dan 37,78 % merupakan daerah perbukitan dengan
kemiringan 15-40%. Wilayah Kota Semarang berada pada ketinggian antara 0
sampai dengan 348,00 meter dpl (di atas permukaan air laut) (Pemerintah Kota
Semarang, 2010).
Kondisi lingkungan Kota Semarang telah mengalami penurunan kualitas,
angka pasang surut dari tahun 1991 setinggi 0,87 m, menjadi 0,97 m pada tahun
1994 (laporan dari JICA – Japan International Corporation Agency dalam
Pemerintah Kota Semarang, 2010). Kenaikan tinggi pasang surut ini berdampak
pada rob di kawasan Semarang Utara, Semarang Tengah dan Genuk. Kawasan
pantai yang terkena rob khususnya di Kecamatan Semarang Utara dan Semarang
Tengah dipengaruhi oleh adanya penurunan muka tanah dengan laju 2 – 8 cm/tahun
(Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan), seperti misalnya di Kelurahan Panggung
Lor, Panggung Kidul, Kawasan Tawang/Kota Lama sampai ke Kawasan Tanjung
Mas (Pemerintah Kota Semarang, 2010).
2.3 Kerentanan Wilayah Pesisir
Dalam prespektif oseanografi, wilayah pesisir adalah wilayah yang paling
rawan terhadap perubahan iklim. Banjir pasang (penggenangan), banjir, abrasi/erosi
dan intrusi air laut adalah beberapa aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang
akan menimbulkan kerugian (Rositasari et al., 2011).
Kerentanan atau vulnerability telah muncul sebagai suatu konsep sentral
dalam memahami akibat bencana alam serta untuk mengembangkan strategi
pengelolaan risiko bencana. Definisi secara umum kerentanan adalah tingkatan
suatu sistem yang mudah terkena atau tidak mampu menanggulangi bencana.
Triutomo et al. dalam Wahyudi et al. (2009) mendefinisikan kerentanan sebagai
kondisi suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan
ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Tingkat kerentanan dapat ditinjau
dari aspek fisik, sosial kependudukan dan ekonomi. Kerentanan fisik
menggambarkan suatu kondisi fisik yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard)
tertentu (Wahyudi et al., 2009).
Menurut Kaiser dalam Febriansyah et al. (2012), kerentanan pantai adalah
suatu kondisi yang menggambarkan keadaan “susceptibility” (mudah terkena) dari
suatu sistem alami serta keadaan sosial pantai (manusia, kelompok atau komunitas)
terhadap bencana pantai. Ditambahkan oleh Wahyudi dalam Rupang et al. (2014),
bahwa penilaian kerentanan pantai merupakan prerekues yang penting dalam
menentukan daerah yang berisiko tinggi, mengapa mereka berada dalam risiko serta
bagaimana cara mengurangi tingkat risiko tersebut.
Secara umum kondisi atau tingkat kerusakan yang terjadi akan bergantung
pada tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi air. Indonesia sebagai negara
kepulauan dengan kota-kota besar yang mayoritas berada di kawasan tepi air,
gangguan terhadap kawasan tepi air yang salah satunya dapat diakibatkan oleh
adanya kenaikan permukaan air laut dapat memberikan pengaruh yang sangat besar
bagi perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian
diperlukan adanya upaya untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin
terjadi sebagai akibat dari kenaikan permukaan air laut (Suprijanto, 2003).
2.4 Indeks Kerentanan Pesisir (IKP)
Evaluasi kerentanan pesisir sangat diperlukan dalam kerangka kerja dari
evaluasi terhadap pengaruh dan kemungkinan dari respon terkait fenomena
perubahan yang terjadi. Evaluasi yang dilakukan meliputi sensitivitas wilayah
pantai terhadap kenaikan muka air laut dan peran penting wilayah pesisir dalam segi
sosial, ekonomi dan ekologi. Berbagai macam metode evaluasi kerentanan pantai
dilakukan dengan berdasarkan pendekatan indeks. Salah satu metode yang biasa
dilakukan untuk evaluasi kerentanan fisik seperti erosi dan atau inundasi adalah
menggunakan indeks kerentanan pesisir (Sulma et al., 2012).
Secara umum, penerapan metode IKP (Indeks Kerentanan Pesisir) merupakan
pendekatan sederhana dalam menyediakan dasar skala penilaian terhadap perubahan
fisik pantai yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wilayah yang memiliki
resiko tinggi. Metode ini telah digunakan dalam program evaluasi nasional
kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut di Amerika Serikat dan evaluasi
kerentanan pesisir di Indonesia (Sulma et al., 2012).
Sebagian besar evaluasi tingkat kerentanan pantai khususnya di wilayah
pesisir di kota-kota besar di Indonesia hanya berdasarkan kriteria IKP yang sama
untuk keadaan lapangan yang berbeda. Penerapan metode yang demikian
menyebabkan output yang dihasilkan tidak mewakili keadaan sesungguhnya di
lokasi penelitian. Sehingga perlu dilakukan standarisasi variabel dan indeks
kerentanan yang spesifik untuk wilayah pesisir yang di evaluasi (Sulma et al.,
2012).
Menurut Prawiradisastra (2011), kerentanan suatu daerah terhadap bencana
dapat dilihat dari beberapa parameter. Kerentanan dilihat dari 3 parameter utama,
yaitu:
a. Kepadatan penduduk; semakin besar kepadatan penduduk maka kerentanan
suatu daerah dikatakan semakin besar. Apabila suatu bencana terjadi pada
daerah berpenduduk padat maka peluang jatuhnya korban lebih besar,
dibandingkan pada daerah berpenduduk jarang.
b. Penggunaan lahan; jenis penggunaan lahan yang dianggap mempunyai tingkat
risiko tinggi adalah kawasan permukiman atau kawasan terbangun. Apabila
bencana terjadi pada kawasan terbangun maka dapat dipastikan akan
menimbulkan kerugian akibat kerusakan bangunan atau fasilitas permukiman
lainnya.
c. Distribusi infrastruktur; obyek-obyek vital seperti pasar, bandar udara,
pelabuhan, pembangkit listrik dan bendungan serta instalasi air bersih
merupakan beberapa contoh obyek vital yang harus dipelihara dari kerusakan
akibat bencana alam. Kerusakan obyek-obyek vital ini akan berdampak pada
menurunnya tingkat pelayanan kebutuhan masyarakat.
Namun dalam beberapa penelitian, indeks kerentanan pantai diukur dengan
menggunakan enam variabel, yaitu: 1) Geomorfologi; 2) Perubahan garis pantai; 3)
Kemiringan pantai; 4) Perubahan elevasi muka air relatif; 5) Rata-rata tinggi
gelombang; dan 6) Rata-rata kisaran pasang surut (Firmansyah et al., 2012; Rupang
et al., 2014).
2.5 Variabel-variabel Kerentanan Pesisir
Telah disebutkan sebelumnya mengenai beberapa variabel yang
mempengaruhi indeks kerentanan pantai. Berikut ini adalah variabel yang
digunakan untuk menghitung nilai indeks kerentanan pantai:
2.4.1 Geomorfologi
Pengamatan geomorfologi pantai dilakukan dengan metode visual, yaitu
pengamatan yang dilakukan dengan melihat langsung kondisi yang sebenarnya di
lapangan terhadap obyek kajian dalam hal ini adalah geomorfologi pantai
(Firmansyah et al., 2012).
Proses geomorfologi merupakan proses alami yang berlangsung pada
permukaan bumi sehingga terjadi perubahan bentuk lahan di permukaan bumi.
Perubahan bentuk lahan tersebut menghasilkan bentukan pada permukaan bumi
yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan demikian akan mempunyai
susunan dan karakteristik fisik serta visual yang berbeda pula. Perbedaan tersebut
dapat diidentifikasi secara jelas melalui karakteristik relief/morfologi,
struktur/litologi, dan proses-proses geomorfologi (Rupang et al., 2014).
Ditambahkan oleh Triatmodjo (1999), bahwa bentuk profil pantai sangat
dipengaruhi oleh serangan gelombang, sifat-sifat sedimen seperti rapat massa dan
tahanan terhadap erosi, ukuran dan bentuk partikel, kondisi gelombang dan arus
serta bathimetri pantai.
2.4.2 Perubahan Garis Pantai
Laju perubahan garis pantai dapat diartikan sebagai profil suatu garis pantai
dalam proses kestabilannya (maju atau mundur) setiap tahun. Dalam metode
penentuan laju perubahan posisi suatu garis pantai menurut suatu rentang waktu,
laju perubahan garis pantai diekspresikan sebagai jarah dari suatu posisi garis pantai
mengalami perpindahan dalam tiap tahun (Himmelstoss dalam Rupang et al., 2014).
Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh aktivitas manusia seperti
pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah
keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan. Dengan
curah hujan yang dengan intensitas tinggi juga dapat mempengaruhi peruhan garis
pantai. Di sepanjang kawasan pantai terdapat segmen-segmen pantai yang
mengalami erosi, disamping ada bagian-bagian yang mengalami akresi/sedimentasi
dan segmen yang stabil (Tarigan, 2007).
Perubahan garis pantai berupa abrasi lebih dari 2m/tahun memiliki nilai
kerentanan sangat tinggi, sedangkan perubahan garis pantai akibat akresi lebih dari
2 m/tahun memiliki nilai kerentanan sangat rendah. Akresi akan menambah luasan
dari daratan karena garis pantai yang semakin maju menuju ke arah laut sedangkan
abrasi akan mengurangi luasan dari daratan (Amandangi dalam Rupang et a., 2014).
2.4.3 Kemiringan Pantai
Menurut Rochmanto dan Franscles (2012), berdasarkan pembagian sudut
lereng maka diperoleh beberapa klasifikasi, yaitu sebagai berikut:
1. 61°-90°, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang terjal;
2. 31°-60°, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang sedang;
3. 0°-30°, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang landai.
Sejalan dengan itu Arsyad dalam Rupang et al. (2014), bahwa kemiringan
lereng menunjukan besarnya sudut lereng dalam persen atau derajat. Dua titik yang
berjarak horizontal 100 meter yang mempunyai selisih tinggi 10 meter membentuk
lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45 derajat. Selain
dari memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curamnya lereng juga
memperbesar energi angkut air. Jika kemiringan lereng semakin besar, maka jumlah
butir-butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan akan semakin
banyak. Hal ini disebabkan gaya berat yang semakin besar sejalan dengan semakin
miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal, sehingga lapisan tanah atas yang
tererosi akan semakin banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih
curam, maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2,0-2,5 kali lebih banyak.
2.4.4 Perubahan Elevasi Muka Air Laut Relatif
Perubahan elevasi muka air laut relatif dapat disebabkan akibat adanya
kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Kenaikan muka air laut atau
sea level rise adalah fenomena naiknya muka air laut sebagai akibat dari perubahan
iklim yang merupakan isu penting saat ini (Sihombing et al., 2012). Selama 30
tahun terakhir ini, pemanasan global telah menyebabkan lapisan es di laut Artik di
Kutub Utara menipis sebesar 40 persen. Di Antartika, lapisan es juga ikut mencari
dengan tingkat yang sangat cepat akibat pemanasan global. Saat atmosfer mulai
menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan ikut menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dengan mencairnya es di kutub Utara dan Selatan.
Akibatnya adalah naiknya tinggi permukaan laut dan lebih banyak volume air di
laut (Rusbiantoro, 2008).
Gambar 2.2 Grafik Kenaikan Permukaan Air Laut (Pearce, 2003 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2010).
Menurut Diposaptono dalam Suhelmi (2013), bahwa dampak yang
ditimbulkan oleh kenaikan muka air laut adalah sebagai berikut: 1) Peningkatan
frekuensi dan intensitas banjir; 2) Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan
mangrove; 3) Perluasan intrusi air laut; 4) Peningkatan ancaman terhadap kegiatan
sosial-ekonomi masyarakat pesisir; dan 5) Berkurang luas daratan atau hilangnya
pulau-pulau kecil.
Menurut Meiviana et al. dalam Kodoatie dan Sjarief (2010), untuk wilayah
Indonesia, adapun daerah-daerah pesisir yang termasuk rawan akan dampak
kenaikan muka air laut antara lain sebagai berikut:
a. Pantai Utara Jawa, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan
Surabaya. Antara Tahun 1925-1989, kenaikan muka air laut yang telah terjadi di
Jakarta (4,38 mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya (5,47
mm/tahun);
b. Pantai Timur Sumatera;
c. Pantai Selatan, Timur dan Barat Kalimantan;
d. Pantai Barat Sulawesi;
e. Daerah rawa di Irian Jaya yang terletak di pantai Barat dan Selatan.
Menurut Suhelmi (2013), penurunan muka tanah (land subsidence) adalah
fenomena alami yang terjadi karena adanya konsolodasi tanah akibat dari
pematangan lapisan tanah yang masih muda. Penurunan muka tanah yang terjadi
saat musim hujan bersinergi dengan banjir rob menjadikan wilayah genangan
semakin luas. Ditambahkan oleh Abidin et al. dalam Anggraini et al. (2012), bahwa
penurunan muka tanah disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan,
semakin meningkatnya bangunan baik industri maupun pemukiman dan akibat
konsolidasi alami tanah aluvial. Penurunan muka tanah yang terjadi membuat
kenaikan muka air laut yang terjadi seolah-olah lebih besar sehingga kerugian yang
ditimbulkan lebih besar.
2.4.5 Rata-rata Tinggi Gelombang
Pada hakekatnya fenomena gelombang laut menggambarkan transmisi dari
energi dan momentum. Gelombang laut selalu menimbulkan sebuah ayunan air
yang bergerak tanpa henti-hentinya pada lapisan permukaan laut dan jarang dalam
keadaan sama sekali diam. Hembusan angin sepoi-sepoi pada cuaca yang tenang
sekalipun sudah cukup untuk dapat menimbulkan riak gelombang. Sebaliknya
dalam keadaan di mana badai yang besar dapat menimbulkan suatu gelombang
besar yang dapat mengakibatkan suatu kerusakan di daerah pantai (Aziz, 2006).
Gelombang laut pada umumnya timbul oleh pengaruh angin, walaupun masih
ada faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan gelombang di laut seperti aktifitas
seismik di dasar laut (gempa), letusan gunung api, gerakan kapal, gaya tarik benda
angkasa (bulan dan matahari) (Nining dalam Aziz, 2006). Gelombang laut dapat
juga terjadi di lapisan dalam (pada bidang antara dari dua lapisan air yang
mempunyai densitas berbeda). Gelombang ini disebut gelombang dalam (internal
waves) (Aziz, 2006).
Gambar 2.3. Profil Gelombang Laut (Aziz, 2006)
Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan diurutkan dari nilai tertinggi
ke terendah atau sebaliknya, maka akan dapat ditentukan tinggi gelombang
signifikan (Significant wave height, SWH) yaitu rata-rata tinggi gelombang dari
sepertiga gelombang laut tertinggi. Nilai tinggi gelombang dalam kerentanan pantai
dapat mempengaruhi perubahan garis pantai dan kondisi geomorfologi daerah
tersebut (Triatmodjo dalam Rupang et al., 2014).
2.4.6 Pasang Surut
Pasang surut merupakan fenomena naik turunnya muka laut secara periodik
yang terjadi di seluruh belahan bumi akibat adanya gaya pembangkit pasng surut
yang utamanya berasal dari matahari dan bulan (Douglas, 2001 dalam Ismail dan
Taofiqurohman, 2012). Ditambahkan oleh Aziz (2006), bahwa pasang surut adalah
perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya
yang diakibatkan aksi gravitasi benda-benda angkasa di luat materi itu berada.
Pasang surut dalam keadaan tertinggi pada saat Bulan sedang purnama atau
baru, dan waktu-waktu pasang surut yang tinggi pada lokasi tertentu dapat
diperkirakan berhubungan dengan posisi Bulan di langit. Karena pergerakan relatif
Bumi, Matahari dan Bulan cukup rumit, maka mengakibatkan pengaruh mereka
akan peristiwa pasang surut menghasilkan pengaruh mereka akan peristiwa pasang
surut menghasilkan pola-pola kompleks yang sama. Meskipun begitu, jarak gaya-
gaya yang ditimbulkan oleh pasang surut dapat dirumuskan dengan tepat, walaupun
respon lautan atas gaya-gaya ini dimodifikasi oleh efek-efek permanen topografi
dan efek sementara dari pola-pola cuaca (Supangat dan Susanna, 2004).
Kisaran pasang surut rata-rata berkontribusi dalam bahaya penggenangan
pantai dimana pasut menghasilkan perubahan permukaan secara rutin sepanjang
pantai. Oleh karena itu, pasang surut mempunyai arti penting dalam kerentanan
pantai. Konsentrasi dan posisi sedimen tersuspensi sangat tergantung pada variasi
tinggi pasang surut dan debit sungai. Selain itu, pasang surut juga dapat
menyebabkan intrusi air asin sampai ke daratan (Triatmodjo dalam Rupang et al.,
2014).
Gambar 2.4 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia dan Sekitarnya (Triatmodjo, 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, N., Trisakti, B. dan Soesilo, T. E. B. 2012. Pemanfaatan Data Satelit Untuk Analisis Potensi Genangan dan Dampak Kerusakan Akibat Kenaikan Muka Air Laut (Application of Sattelite Data to Analyze Inundation Potential and The
Impact of Sea Level Rise). Jurnal Penginderaan Jauh, 9(2), 140-151.
Aziz, F. M. 2006. Gerak Air di Laut. Oseana, 31(4): 9-21.
Fandeli, C. 2011. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pembangunan Pelabuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 211.
Febriansyah, I., Anugroho, A. D. S. dan Helmi, M. 2012. Kajian Kerentanan Pantai di Pesisir Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Oseanografi, 1(2), 139-148.
Hakim, B. A., Suharyanto dan Hidajat, W. K. 2013. Pengaruh Kenaikan Muka Air Laut Pada Efektivitas Bangunan Untuk Perlindungan Pantai Kota Semarang. Buletin Oseanografi Marina, 2, 81-93.
Kodoatie, R. J. dan Sjarief, R. 2010. Tata Ruang Air. Andi Offset, Yogyakarta, 536.
Pemerintah Kota Semarang. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Semarang Tahun 2005-2025.
Prawiradisastra, S. Analisis Kerawanan dan Kerentanan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami untuk Perencanaan Wilayah di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 13(2), 103-109.
Rahmawati, W., Handoyo, G. dan Rochaddi, B. 2015. Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Pantai Kartini Jepara. Jurnal Oseanografi, 4(2), 487-491.
Rochmanto, B. dan Franscles, S. A. 2012. Karakteristik Morfologi Pantai Mallusetasi Berdasarkan Data Spasial Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Teknik Geologi, 6.
Rositasari, R., Setiawan, W. B., Supriadi, I. H., Hasanuddin dan Prayuda, B. 2011. Kajian dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim: Studi
Kasus di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 3(1), 52-64.
Rupang, E., Sakka dan Paharuddin. 2014. Analisis Kerentanan Pantai Berdasarkan Paramter Fisik.
Rusbiantoro, D. 2008. Global Warming For Beginner: Pengantar Komprehensif Tentang Pemanasan Global. Niaga Swadaya, 114.
Sihombing, W. H., Suntoyo dan Sambhodo, K. 2012. Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Jurnal Teknik ITS, 1, 166-
169.
Suhelmi, I. R. 2013. Pemetaan Kapasitas Adaptif Wilayah Pesisir Semarang Dalam Menghadapi Genangan Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Perubahan Iklim. Forum Geografi, 27(1), 81-92.
Sulma, S., Kusratmoko, E. dan Saraswati, R. 2012. Coastal Physical Vulnerability ofSurabaya and Its Surrounding Area to Sea Level Rise. Makara, 16(2), 163-
170.
Supangat, A. dan Susanna. 2004. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, 273.
Suprijanto, I. 2003. Kerentanan Kawasan Tepi Air Terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut Kasus Kawasan Tepi Air Kota Surabaya. Dimensi Teknik Arsitektur,
31(1), 28-37.
Tahir, A., Boer, M., Susilo, S. B. dan Jaya, I. 2009. Indeks Kerentanan Pulau-pulau Kecil: Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar. 14(4), 183-188.
Tarigan, M. S. 2007. Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi Banten, 11(1), 49-55.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta, 362.
Zulaykha, S., Subardjo, S. dan Atmodjo, W. 2015. Pemetaan Daerah yang Tergenang Banjir Pasang Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Kota Tegal. Jurnal Oseanografi, 4(1), 179-184.
.