tinjauan pustaka_2009nza-3
DESCRIPTION
nbbvTRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Jeroan
Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang
disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi
tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi.
Secara teknis, daging adalah otot rangka (sceletal muscle), sedangkan offal adalah
seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain
karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala,
ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi. Jeroan
(edible offal) disebut juga variety meat atau fancy meat, yaitu organ atau jaringan
selain otot rangka yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak
mengalami proses lebih lanjut selain dari pendinginan atau pembekuan.
Jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal, paru dan usus) kepala, kaki dan kulit
terpisah dari karkas karena bagian tersebut merupakan by-products, yaitu hasil
sampingan yang berasal dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali. Hasil
sampingan tersebut ada yang dapat di konsumsi (edible) dan ada juga yang tidak
dapat dikonsumsi (inedible). Hasil sampingan yang dapat ataupun tidak dapat
dikonsumsi ditentukan oleh penerimaan konsumen, peraturan perundang-
undangan yang berlaku, kebersihan, tradisi yang berkembang di masyarakat dan
agama yang dianut. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak,
timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, ekor (Lukman et al. 2007).
Dari beberapa jeroan yang ada hati merupakan pilihan utama yang umum
dikonsumsi oleh manusia selain jantung dan organ-organ lainnya. Oleh sebab itu,
Indonesia memperbolehkan importasi jeroan hati dan jantung sapi. Hati memiliki
nilai ekonomis karena selain diperjual belikan untuk dikonsumsi hati juga dapat
digunakan sebagai bahan baku pakan hewan terutama untuk anjing dan kucing.
Karakteristik Hati
Hati tersusun atas sel-sel hati, dan dihubungkan oleh pembuluh darah dan
barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun
6
sedemikian rupa dalam lobus poligon yang saling melekat dengan bantuan
jaringan penghubung. Hati melekat pada bagian anterior dinding abdominal dan
diafragma oleh ligamen, serta melekat pada lambung di bagian omasum. Ketika
hati akan dipisahkan maka semua ligamen tersebut harus dipotong beserta
kantong empedu.
Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas hati, Hati dengan kualitas
baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk
kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan
Dutson 1988).
Gambar 1 Hati sapi; (1) lobus kanan, (2) lobus kiri, (3) lobus kaudal, (4) lobus kuadral, (5) Arteri hepatica dan Vena porta, (6) Lymphonodus hepatica, (7) kantung empedu.
Pada saat sapi lahir, berat hati mencapai ± 2.2% dari berat hidupnya,
sedangkan pada saat usia dewasa berat hati mencapai ± 1.3-1.45% dari berat
hidupnya. Pada sapi dengan berat hidup 300-400 kg, perkiraan berat hati sekitar
3000-4600 g, sedangkan sapi dengan berat hidup 450-600 kg maka perkiraan
berat hati akan mencapai 4000-8600 g. Berat tersebut dapat berkurang hingga 8%
jika sapi diistirahatkan selama 24 jam atau akan berkurang 12% jika sapi
diistirahatkan selama empat hari sebelum dilakukan penyembelihan (Pearson dan
Dutson 1988).
Komposisi dan kandungan gizi hati menyerupai komposisi dan kandungan
gizi daging, yaitu dengan kandungan terbesar adalah air dan protein. Oleh sebab
itu, hati merupakan pangan yang sangat baik sebagai sumber protein yang
7
dibutuhkan oleh manusia. Komposisi dan kandungan gizi hati secara lengkap
diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (Pearson dan Dutson 1988)
Komposisi dan kandungan gizi hati Nilai (per 100 gram)
Air (g) 68.99 Protein (g) 20 Lemak (g) 3.85 Karbohidrat (g) 5.82 Energi (Kal) 143 Asam amino (g/gN)
Triptofan Treonin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenylalanin Tirosin Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin
0.09 0.286 0.286 0.588 0.434 0.158 0.096 0.333 0.248 0.386 0.393 0.171 0.373 0.601 0.847 0.358 0.330 0.300
Vitamin Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam pantotenat (mg) B6 (mg) Folasin (mcg) B12 (mcg) Vitamin A (I.U) Asam askorbat (mg)
0.258 2.780 12.78 7.618 0.94 248
69.19 35 346 22.4
Mineral (mg/100g) Ca Fe Mg P K Na Zn Co Mn
6
6.82 19
318 323 73
3.92 2.763 0.264
8
Berat hati sapi dan komposisi kandungan gizi pada berbeda-beda pada setiap
hewan dan juga sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
bangsa hewan (breed), jenis kelamin, jenis dan status gizinya, serta manajemen
pemeliharaannya. Namun mengingat komposisi tersebut di atas, daging dan hati
juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et
al. 2007).
Mikroorganisme pada Hati
Produksi hati di rumah pemotongan hewan (RPH) banyak menimbulkan
masalah terutama pada saat adanya kesalahan dalam hal penanganan, pendinginan
atau pembekuan, pengemasan (pengepakan), penyimpanan, dan transportasi. Hati
merupakan salah satu komoditi yang mudah rusak (perishable food) sehingga
dibutuhkan penanganan yang tepat agar kualitasnya tetap terjaga sampai pada saat
akan dikonsumsi.
Bakteri secara umum terdapat pada hati. Menurut Hanna et al. (1982)
jumlah bakteri pada hati setelah pemotongan <104 /cm2. Apabila jumlah bakteri
melebihi 105 /cm2, hal tersebut mencerminkan kemungkinan penanganan hati yang
buruk atau proses pendinginan yang tidak sempurna.
Penyimpanan hati sapi pada suhu 2 °C selama 3 hari tidak menunjukkan
peningkatan jumlah mikroba, tetapi setelah mencapai 4 hari maka terjadi
peningkatan jumlah bakteri terutama bakteri coryneform dan Micrococcus sp.
Pada hari ke-5 setelah penyimpanan umumnya ditemukan Pseudomonas sp.
Penyimpanan pada suhu 30 °C selama 6-12 jam akan meningkatkan pertumbuhan
mikroorganisme, tetapi apabila disimpan pada suhu -20 °C selama 4 hari maka
tidak ada pertambahan jumlah mikroorganisme.
Pada umumnya jeroan memiliki kandungan karbohidrat yang rendah
dibandingkan dengan karkas, kecuali pada hati. Karbohidrat pada hati mencapai
5.3% dan sebagian besar berupa glikogen. Menurut Shelef (1975) hati yang
masih segar mempunyai pH 6.3. Nilai pH tersebut akan mengalami penurunan
hingga 5.9 apabila mikroba mensintesis glikogen menjadi glukosa dan
memproduksi asam laktat. Hal ini menyebabkan terjadinya pembusukan pada
hati.
9
Penelitian yang dilakukan Oblinger et al. (1982) dengan membandingkan
mikroorganisme pada hati yang masih segar, beku, dan hati yang disimpan pada
kondisi yang tidak layak. Pada hati yang masih segar umumnya ditemukan
Micrococcus sp, bakteri gram negatif dan Escherichia coli. Pada hati yang
disimpan beku ditemukan bakteri gram positif yang lebih dominan dibandingkan
dengan Enterobacteriaceae, sedangkan Pseudomonas sp lebih banyak ditemukan
pada pada hati yang tidak layak penyimpanannya.
Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam
(intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik). Hati diperoleh setelah
dikeluarkan dari karkas, hati membawa mikroorganisme intrinsik dan ekstrinsik.
Mikroorganisme ekstrinsik pada hati didominasi oleh bakteri-bakteri mesofilik
Gram positif, terutama Micrococcus. Jenis mikroorganisme intrinsik pada
umumnya hampir sama dengan jenis mikroorganisme ekstrinsik yang
mengkontaminasi hati. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri-bakteri
intrinsik bermigrasi melalui sel-sel sinusoid hati yang terbuka pada saat eviserasi
dilakukan (pelepasan hati dari karkas). Sebaliknya, jika pada mulanya terdapat
sejumlah kecil bakteri intrinsik yang berada dalam jaringan hati, maka jumlah dari
kontaminasi bakteri intrinsik tersebut dapat bertambah akibat adanya bakteri
ekstrinsik yang menginvasi ke dalam jaringan selama pemisahan organ
berlangsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakteri intrinsik yang
diisolasi dari jaringan hati kemungkinan juga dapat berasal akibat kontaminasi
dari luar.
Jumlah bakteri pada hati yang berasal dari kontaminasi ekstrinsik yaitu
antara 103-105 /cm2 sedangkan jumlah kontaminasi bakteri intrinsik adalah 102 /g
(Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson, 1988). Berdasarkan penelitian
Patterson dan Gibbs (1979), jumlah cemaran mikroba pada hati yang masih segar
di rumah potong hewan adalah 3.26 x 105 /cm2, sedangkan hati yang sudah
didinginkan mencapai 1.28 x 106 /cm2. Menurut Shelef (1975) hati sapi akan
mengalami pembusukan apabila jumlah bakteri mencapai log10 7.7/g.
Hati merupakan salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan
bakteri, karena hati memiliki pH >6.2 dan kaya akan glukosa (± 6 mg/g). Bakteri
10
Pseudomonas mendominasi permukaan hati selama masa penyimpanan pada suhu
dingin dengan kondisi aerobik. Bakteri pembusuk lainnya yang terdapat pada
permukaan hati adalah Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter dan Brocothrix
thermosphacta. Di sisi lain, bakteri aerobik gram negatif, Pseudomonas,
Acinetobacter dan Alcaligenes tidak dapat diisolasi dari jaringan internal hati atau
bukan merupakan bakteri intrinsik pada hati, tetapi didominasi oleh bakteri
Lactobacillus. Bakteri gram negatif yang tumbuh dalam kondisi anaerobik
fakultatif misalnya Aeromonas dan Enterobacter merupakan bakteri intrinsik yang
mengkontaminasi hati.
Bakteri Lactobacillus dan bakteri fakultatif anaerob lainnya dapat diisolasi
dari hati dengan penyimpanan pada suhu dingin yang dikemas menggunakan
plastik-gas permeable, tetapi hanya bakteri Lactobacillus, Streptococcus dan
Leuconostoc spp yang paling dominan dan dapat diisolasi dari hati yang dikemas
menggunakan plastik yang telah divakum (Hanna et al. 1982).
Salmonella
Berdasarkan taksonominya, Salmonella spp dapat digolongkan sebagai
berikut (Brenner 2000):
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella
Nomenklatur Salmonella
Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari U.S Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari
CFSPH (2005) menyatakan bahwa terdapat dua spesies dari genus Salmonella,
yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica memiliki
6 subspesies yaitu: S. enterica subsp. enterica atau subspesies I; S. enterica subsp.
11
salamae atau subspesies II; S. enterica subsp. arizonae atau subspesies IIIa; S.
enterica subsp. diarizonae atau subspecies IIIb; S. enterica subsp. houtenae atau
subspesies IV; dan S. enterica subsp. indica atau subspecies VI.
Gambar 2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram.
Sampai saat ini diketahui Salmonella mempunyai 2500 serotipe (Popoff
2001). Nama serotipe ini biasanya dikaitkan dengan tempat ditemukannya bakteri
tersebut. Serotipe dari S. enterica subsp. enterica merujuk berdasarkan nama
tertentu. Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama
lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Sebagai contoh Salmonella
enterica subsp enterica ser. Enteritidis dapat ditulis menjadi Salmonella ser.
Enteritidis atau Salmonella Enteritidis.
Antigen O atau antigen somatik, terdiri dari badan sel bakteri dan diperoleh
dengan pemanasan suspensi bakteri selama satu jam pada suhu 80-100 °C atau
dengan metode ekstraksi menggunakan alkohol panas. Prosedur ini juga dapat
digunakan untuk melepaskan antigen H atau antigen flagelar. Variasi antigen O
ditandai dengan nomor 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan hubungan yang
erat, kelompok spesies Salmonella ditandai dengan tipe A, B, C, dan seterusnya.
Spesies tunggal boleh memiliki lebih dari satu antigen O, yang dapat mempunyai
satu kelompok antigen yang pada umumnya mempunyai banyak anggota dalam
kelompoknya (Brenner et al. 2000).
12
Antigen H atau antigen flagelar, terdiri dari sel flagela dan dipersiapkan oleh
supensi pokok bakteri ke formalin yang diduga memperbaiki flagelar di luar
permukaan bakteri sehingga menutup badan sel antigen O. Antigen ini tidak
tahan panas. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu fase spesifik dan fase non-
spesifik. Fase spesifik hanya terdiri dari komponen-komponen antigen yang
spesifik untuk spesies atau turunan dari organisme tersebut. Antigen-antigen ini
ditandai dengan a, b, c, dan seterusnya. Fase non-spesifik ditunjukkan dengan
bagian antigen dari spesies lain pada tipe kelompok lain. Antigen-antigen ini
ditandai dengan 1, 2, 3, 4, dan seterusnya (Brenner et al. 2000).
Sebagian besar penulisan serotipe dari 5 subspesies S. enterica dan S.
bongori merujuk berdasarkan formula antigeniknya. Formula tersebut terdiri dari
penggolongan spesies/subspsies (I, II, IIIa, IIIb, IV atau VI untuk Salmonella
enterica dan V untuk Salmonella bongori), antigen O (somatik) yang diikuti oleh
tanda titik dua, antigen H (flagelar) fase I yang diikuti oleh tanda titik dua, dan
antigen H fase 2 (jika ada). Berdasarkan hasil kesepakatan maka S. enterica
subsp. houtenae dengan memiliki antigen O menunjuk 45, antigen H menunjuk g
dan z51, dan tidak memiliki antigen H fase 2 dapat dituliskan sebagai Salmonella
serotipe IV 45:g,z51.
Menurut Brenner et al. (2003), komponen utama dari permukaan
Salmonella pada umumnya terdiri dari flagela (disebut sebagai antigen H), dan
lipopolisakarida (disebut sebagai antigen O). Kedua antigen ini yang sering
menyebabkan reaksi silang diantara mikroba genus Salmonella. Beberapa strain
Salmonella dapat bertahan dari aktivitas fagositosis karena adanya mutasi pada
gen lipopolisakarida dan kehilangan antigen O nya.
Grup subspesies I termasuk kedalam serotipe penyebab penyakit pada
manusia dan hewan berdarah panas seperti S. enterica, S. typhi, S. paratyphi, S.
sendai, S. typhimurium, S. enteritidis, S. cholerasuis, S. dublin, S. gallinarum, S.
pullorum dan S. abortusovis. Grup subspesies II sampai dengan VI adalah serovar
yang biasa ditemukan pada hewan berdarah dingin. Klasifikasi dan deteksi dari
bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan phage susceptibility assay (Baumler
et al. 1998).
13
Sifat dan Karakteristik Salmonella spp
Salmonella spp adalah bakteri gram negatif yang termasuk dalam famili
Enterobacteriaceae berbentuk batang, motil, tanpa spora, dan hidup dalam
kondisi aerobik dan anaerobik fakultatif. Spesies Salmonella dibagi menjadi
beberapa serotipe yang didasarkan pada lipopolisakarida (O), protein flagelar (H),
dan antigen kapsular (Vi).
Salmonella spp dapat hidup secara optimal pada suhu 35-37 °C, tetapi
mampu hidup pada kisaran suhu 5-47 °C (D’Aoust 2000). Kondisi pH yang
diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Salmonella spp sangat bervariasi, pH
optimal pertumbuhannya adalah 6.5-6.7, tetapi mampu tumbuh pada kisaran pH
4.5-9.0 (Garbutt 1997).
Dalam larutan asam asetat dengan pH 5.4 dan asam sitrat pH 4.05 bakteri
Salmonella spp masih dapat tumbuh (Adams dan Moss 1995). Perubahan pH
yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati. Kondisi pH optimum yang
diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asidulan asam laktat dan
asam asetat (D’Aoust 2000).
Tabel 2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp (Baumler et al. 1998)
Kondisi Minimal Optimal Maksimal
Suhu (°) 5.2 35-43 46.2
pH 3.8 7.0-7.5 9.5
Aktivitas air 0.94 0.99 0.99
Salmonella spp mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit, memproduksi gas
dari glukosa, memproduksi gas H2S dari pada triple sugar iron agar, dapat
tumbuh pada sitrat. Indol dan urease negatif, lisin, ornitin, dekarboksilase positif.
Salisin, inositol, sukrosa, dan amigdalin negatif.
Salmonella spp dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada
lingkungan tertentu. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector 1995). Hal
ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada
14
saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada
waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda.
Salmonella spp dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk dari limbah
peternakan, limbah manusia, dan air. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan
Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian
permukaan, kotoran, dan pada feses kering yang tidak terkena sinar matahari.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa Salmonella dapat bertahan selama 5½ tahun
pada lantai tempat defekasi sapi. Salmonella cholerasuis berhasil diisolasi selama
450 hari dari daging babi dan beberapa bulan dari feses. Salmonella
Typhimurium dan Salmonella dublin telah ditemukan mampu bertahan lebih dari
satu tahun pada lingkungan (CFSPH 2005).
Resistensi Terhadap Antibiotik
Pada industri peternakan, pemberian antimikroba selain untuk pencegahan
dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan untuk memacu
pertumbuhan, meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan
pakan (Bahri et al.2000). Di Negara-negara Eropa, ada beberapa antimikroba
yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik,
basirasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoparsin, dan
avilamisin (Witte1997). Di Indonesia, pemanfaatan antimikroba sebagai imbuhan
pakan ternak sudah dilakukan, hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian
Veteriner menunjukkan 71.43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur,
Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan golongan tetrasiklin dan
sulfonamide pada produk pakannya (Kusumaningsih 2007).
Dari kenyataan di lapangan dapat dipastikan bahwa pemakaian antimikroba
sebagai imbuhan pakan ternak cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa
peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antimikroba secara terus menerus
dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah
akan memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba pada ternak (Bahri
et al. 2000). Munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen
sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan
15
sifat resistensi antimikroba bakteri pada ternak dan manusia dan dapat
mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri.
Munculnya resistensi antimikroba pada bakteri pathogen disebabkan oleh adanya
peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri
maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau
transposon. Transfer gen resistensi antimikroba pada bakteri dari ternak ke
manusia dapat pula melalui gen resistensi antimikroba yang terdapat pada
pathogen komensal dan pathogen asal makanan seperti S. Enteritidis
(Kusumaningsih 2007).
Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu
enzim yang dapat merubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk
yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek
antimikroba yang mematikan. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi
antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba
tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau
golongan antimikroba yang sama. Sebagai contoh pada kloramfenikol terdapat 7
gen resistensi (Chen et al. 2004).
Penyebaran Geografis
Salmonelosis tersebar di seluruh dunia, umumnya terdapat pada lingkungan
hewan. Program pemberantasan Salmonella banyak dilakukan terhadap hewan-
hewan domestik dan manusia, tetapi penting diingat bahwa hewan-hewan liar
merupakan reservoir Salmonella. Serotipe yang paling banyak ditemukan dari
kasus salmonelosis adalah Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium
(CFSPH 2005).
Hasil surveilan di Amerika Serikat pada tahun 2002 terhadap serotipe
Salmonella yang telah diisolasi dari manusia adalah Salmonella enteritidis,
Salmonella typhimurium, Salmonella montevideo, Salmonella muenchen,
Salmonella oranienburg, dan Salmonella saintpaul. Kemudian pada tahun yang
sama CDC dan National Veterinary Services Laboratory (NVSL) melaporkan
bahwa serotipe Salmonella yang berhasil diisolasi dari hewan yang secara klinis
memperlihatkan gejala salmonelosis adalah Salmonella typhimurium, Salmonella
16
newport, Salmonella agona, Salmonella heidelberg, Salmonella derby,
Salmonella anatum, Salmonella cholerasuis, Salmonella montevideo, Salmonella
kentucky, Salmonella senftenberg, dan Salmonella dublin (CFSPH 2005).
Di Selandia Baru dan Australia, Salmonella spp telah diisolasi pada manusia
dan hewan terutama Salmonella Typhimurium, tetapi Salmonella Typhimurium
DT104 yang diketahui sebagai serotipe yang resisten terhadap antibiotik hanya
diisolasi dari manusia pada tahun 2003 dan 2004. Prevalensi Salmonella spp pada
sapi dan kambing di Selandia Baru mencapai 1-5%. Salmonella dublin
merupakan serotipe yang umum terdapat pada sapi dan kambing di beberapa
negara di dunia, tetapi belum pernah ditemukan di Selandia Baru (MAFNZ 2006).
Di Kanada, S. typhimurium dan S. hadar telah diisolasi dari manusia dan non-
manusia selama 10 tahun terakhir, sedangkan S. heidelberg, S. enteritidis, dan S.
infantis juga sering diisolasi dari sampel yang diperoleh dari manusia (Kakira et
al. 1997).
Sumber Infeksi dan Cara Penularan
Penularan Salmonella spp terutama terjadi melalui rute fecal-oral. Bakteri
tersebut umumya terdapat di dalam saluran pencernaan dan kantung empedu
hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian secara terus menerus atau
kadang-kadang dikeluarkan bersama feses. Salmonella spp dapat tinggal menetap
di kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi
bakteri tersebut dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu
misalnya cekaman atau tekanan tanggap kebal.
S. typhi dan S. paratyphi merupakan penyebab utama salmonelosis pada
manusia. Hewan merupakan reservoir dari Salmonella spp. Hampir semua
pangan hewani dapat terkontaminasi oleh Salmonella spp dan kemudian dapat
menyebabkan infeksi salmonelosis pada manusia. Wahana utama penyebaran
Salmonella spp ke manusia adalah daging unggas, daging babi, daging sapi, telur,
susu dan hasil olahannya. Pangan nabati yang terkontaminasi oleh produk
hewani, ekskreta manusia, atau peralatan kotor, baik dalam proses penanganan
industri maupun dapur rumah tangga, merupakan salah satu wahana penularan
17
salmonelosis pada manusia. Air yang terkontaminasi Salmonella merupakan
sumber penting terhadap penularan salmonelosis.
Manusia umumnya menderita salmonelosis akibat dari mengonsumsi
pangan yang terkontaminasi Salmonella. Faktor penting yang berperan dalam
penularan penyakit ini adalah kesalahan dalam cara memasak, waktu dan tempat
penyimpanan, serta pemanasan kembali sebelum dihidangkan. Manusia dapat
terinfeksi secara langsung dari hewan dan hewan kesayangan yang terkontaminasi
atau terinfeksi Salmonella seperti kura-kura, monyet, hamster, anjing dan hewan
reptil lainnya.
Penularan antar manusia sangat penting bila terjadi di rumah sakit dimana
pasien anak-anak menjadi korban utamanya. Lalat merupakan vektor mekanis
yang membawa organisme dari lingkungan terkontaminasi ke perumahan
penduduk. Berdasarkan hasil penelitian Olsen dan Hammack (2000), beberapa
lalat rumah seperti Musca domestica dan Hydrotaea aenescens berpotensi sebagai
reservoir dan vektor dari foodborne Salmonella terutama pada unggas dengan
prevalensi mencapai 13%.
Penularan dari hewan ke hewan dapat berlangsung melalui ekskreta, pakan,
dan sumber air minum yang terkontaminasi oleh Salmonella spp. Di beberapa
negara berkembang, sumber infeksi utama adalah kontaminasi lingkungan dan
sumber air yang merupakan tempat hewan sering berkumpul. Burung (unggas)
dan tikus dapat menyebarkan Salmonella spp ke hewan. Karnivora dapat
terinfeksi melalui daging, telur dan produk hewan lainnya yang tidak dimasak
atau melalui proses pemasakan yang tidak sempurna sebagai bahan baku
pakannya. Penularan dari hewan ke hewan tidak hanya terjadi di lingkungan
kandang tetapi dapat terinfeksi selama masa transportasi, pada saat di pasar
hewan, dan di tempat penampungan (holding ground) RPH sebelum hewan
tersebut disembelih. Penularan secara vertikal dapat terjadi pada unggas, dimana
bakteri tersebut dapat menembus membran vitelin, albumen, dan kemudian masuk
ke dalam kuning telur. Salmonella spp juga dapat ditransmisikan melalui rahim
hewan mamalia (CFSPH 2005).
18
Salmonelosis pada Manusia
Gejala klinis salmonelosis yang paling umum pada manusia adalah
gastroenteritis. Masa inkubasi penyakit pada umumnya mencapai 12 jam sampai
dengan 3 hari. Demam enterik biasanya muncul setelah 10-14 hari pasca-infeksi.
Pada manusia gejala klinis salmonelosis sangat bervariasi mulai dari
gastroenteritis sampai terjadi septisemia. Tingkat keparahan pada setiap individu
berbeda-beda, tergantung dari kondisi induk semang (host) dan tingkat virulensi
dari Salmonella yang menginfeksi. Infeksi asimtomatik juga dapat terjadi.
Semua serotipe Salmonella dapat menyebabkan terjadinya salmonelosis,
tetapi berbeda dalam hal gejala klinis yang dihasilkan, misalnya infeksi pada
manusia yang diperoleh dari Salmonella spp yang berasal dari reptil umumnya
menimbulkan gejala klinis yang sangat parah yaitu terjadi septikemia dan
meningitis. Hampir semua kasus salmonelosis yang berasal dari reptil menyerang
anak-anak di bawah umur 10 tahun dan pada manusia yang mengalami
imunosupresi.
Gastroenteritis ditunjukkan gejala klinis seperti mual, muntah, sakit perut,
diare (berdarah). Sakit kepala, demam, menggigil, dan sakit pada otot juga dapat
terlihat. Dehidrasi dapat terjadi pada anak bayi dan orang tua yang terinfeksi.
Kematian banyak terjadi pada anak-anak, orang tua, dan orang yang mengalami
imunosupresi. Infeksi Salmonella spp. dapat menyebabkan peradangan pada
organ-organ tertentu, misalnya septic arthritis, abses, endokarditis dan
pneumonia.
Salmonelosis pada manusia dapat ditularkan ke orang lain dan hewan
melalui feses. Shedding pada feses dapat terjadi beberapa hari bahkan sampai
beberapa minggu. Manusia juga dapat bertindak sebagai carrier selama beberapa
bulan. Rata-rata 0.3-0.6% pasien yang terinfeksi non-typhoidal Salmonella dapat
mengalami shedding virus pada fesesnya selama satu tahun. Pada beberapa
serotipe spesifik seperti Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang
diketahui juga sebagai foodborne patogen dapat menyebabkan infeksi sistemik
yang dikenal dengan demam tifoid dan demam paratifoid. Penyebaran penyakit
ini didominasi oleh adanya kontaminasi feses orang yang sakit dan terkontaminasi
pada air dan makanan.
19
Secara umum dapat dikatakan bahwa dosis infeksi, masa inkubasi, gejala
klinis dan cara penularan Salmonella yang disebabkan oleh serotipe yang berbeda
adalah sama, yaitu gejala klinis yang dijumpai seperti diare, demam, dan sakit
pada daerah abdominal. Pada orang tua, bayi dan orang yang mengalami
penurunan sistem imunitas akan terlihat lebih parah.
Salmonella Enteritidis and Salmonella Typhimurium merupakan seroptipe
yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab kasus salmonelosis pada
manusia. Berdasarkan laporan CDC (2002), kasus salmonelosis pada tahun 2002
disebabkan paling banyak oleh Salmonella Enteritidis yaitu 25% dari kasus yang
dilaporkan, kemudian oleh Salmonella Typhimurium sebanyak 12.1%.
Salmonelosis pada Hewan
Salmonella spp telah ditemukan pada semua spesies mamalia, unggas,
reptil, dan amfibi. Ikan dan invertebrata dapat juga terinfeksi. Prevalensi
salmonelosis paling banyak terdapat pada unggas, babi, dan reptil. Sejauh ini
infeksi Salmonella spp pada reptil ditemukan pada kura-kura, penyu, ular, dan
kadal (termasuk iguana). Beberapa serotipe mempunyai hubungan yang erat
dengan induk semangnya, sebagai contoh bahwa Salmonella choleraesuis
menyebabkan penyakit pada babi, Salmonella abortusovis menginfeksi kambing,
dan Salmonella pullorum menginfeksi unggas. Bagaimanapun sebagian besar
serotipe dapat menyebabkan penyakit pada banyak induk semang (CFSPH 2005).
Masa inkubasi pada hewan sangat bervariasi. Gejala klinis pada hewan
umumnya bersifat asimtomatik pada beberapa kasus infeksi salmonelosis. Gejala
klinis muncul apabila hewan mengalami stres akibat transportasi, kepadatan
populasi di kandang, partus, kedinginan, adanya infeksi virus dan parasit, serta
perubahan pakan yang tiba-tiba. Gejala klinis yang muncul juga bervariasi
tergantung pada dosis infeksi, status kesehatan hewan, serotipe dari Salmonella
yang menginfeksi, dan faktor-faktor lain, misalnya Salmonella cholerasuis yang
menimbulkan gejala septikemia sedangkan Salmonella typhimurium akan
berhubungan dengan infeksi saluran pencernaan.
Pada sapi, gejala klinis yang umum adalah enteritis dan septikemia. Infeksi
salmonelosis ditandai dengan diare, dehidrasi, depresi, rasa sakit pada bagian
20
abdominal dan anoreksia. Konsistensi feses lembek sampai dengan cair, bau,
berisi reruntuhan mukosa membran dan berdarah. Demam terjadi pada awal
infeksi, kematian disebabkan karena adanya dehidrasi dan toksemia. Enteritis
subakut terjadi pada sapi dewasa ditandai dengan diare yang terus menerus dan
kehilangan berat badan. Serotipe Salmonella yang umum dijumpai menginfeksi
hewan sapi adalah S. anatum, S. dublin, S. montevideo dan S. typhimurium.
Kontaminasi Salmonella pada Hati
Pada hewan-hewan hidup, permukaan tubuhnya dapat terkontaminasi secara
langsung oleh mikroorganisme yang berasal dari lingkungan atau sebaliknya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa bagian dalam dari jaringan
atau karkas yang berasal dari hewan yang sehat dapat terkontaminasi oleh bakteri
saprofit, kemudian bakteri tersebut menginvasi ke dalam jaringan tubuh melalui
saluran pencernaan sebelum, selama, atau sesudah hewan mati ataupun
terkontaminasi pada saat proses pemotongan sedang berlangsung (Pearson dan
Dutson 1988).
Mikroorganisme patogen dapat merasuk ke dalam tubuh hewan hidup dan
bermanifestasi pada organ-organ spesifik. Mikroba tersebut dapat bertahan untuk
beberapa waktu sebelum akhirnya tereliminasi atau berpoliferasi sehingga
menimbulkan gejala klinis. Mikroba patogen yang menginfeksi hewan tersebut
dapat menimbulkan penyakit, tetapi terdapat pengecualian terhadap
mikroorganisme patogen yang terdapat pada hewan sehat, dimana hewan tersebut
tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga mikroba tersebut disebut sebagai
mikroorganisme intrinsik.
Secara umum Salmonella terdapat pada Tractus intestinal dan terbawa pada
feses hewan dan manusia yang terinfeksi, sehingga banyak makanan terutama
makanan asal hewan, sangat mudah terkontaminasi dan telah diidentifikasi
sebagai vehicle/wahana terhadap penularan salmonelosis. Jeroan dan karkas
merupakan sumber foodborne salmonelosis (EFSA 2008).
Penyimpanan hati pada kondisi aerobik dengan suhu ruangan menyebabkan
E. coli dapat tumbuh dengan baik. Seperti diketahui bahwa E. coli merupakan
salah satu bakteri patogen dan dapat digunakan sebagai bakteri indikator untuk
21
melihat tingkat sanitasi terhadap suatu proses penyiapan pangan asal hewan yang
sedang berlangsung. Apabila jumlah E. coli melebihi standar yang sudah
ditetapkan maka menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk sehingga perlu
dilakukan tindakan perbaikan dan pengendalian untuk menurunkan jumlah bakteri
tersebut. Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan E. coli merupakan
kondisi yang baik untuk pertumbuhan Salmonella dan bakteri patogen lainnya,
sehingga hal ini menjadi sangat penting diperhatikan karena akan berdampak
terhadap kesehatan masyarakat (Gill dan Harrison 1985).
Berdasarkan laporan dari Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson (1988)
mikroorganisme yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan
prevalensi bervariasi antara 32-75%, Clostridium perferingens dengan prevalensi
12%, bakteri gram positif berbentuk coccus prevalensinya mencapai 80%, E. coli
dengan prevalensi 10% dan Salmonella berkisar 1-5%.
Sumber pencemaran dari luar dapat diperoleh akibat kontaminasi hati dari
lingkungan di sekitar RPH, kulit dan isi saluran cerna (Fegan et al. 2005), air,
alat-alat yang digunakan selama pemotongan, misalnya pisau dan penggantung
karkas (Smeltzer dan Thomas 1981; Kusumaningrum et al. 2002), kotoran/feses
(Bell 1997), udara, tangan dan pakaian pelindung pekerja (Smeltzer et al. 1980).
Sedangkan sumber pencemaran dari dalam adalah adanya mikroorganisme pada
hati yang berasal dari hewan yang terinfeksi pada saat masih hidup.
Perkembangan mikroorganisme pada hati dipengaruhi oleh faktor intrinsik
dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi derajat keasaman, aktivitas air
(aw), potensial oksidasi dan reduksi, nutrisi, keberadaan antimikroba, dan struktur
biologis, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi suhu, kelembaban relatif,
keberadaan dan konsentrasi gas, serta proses pengolahan (Garbutt 1997).
EFSA (2008) menyatakan bahwa secara umum proporsi kasus Salmonella
positif pada karkas sapi dan produknya pada tahun 2001-2005 mencapai kurang
lebih 1%. Proporsi sampel positif pada produk segar pada saat di RPH sekitar
0.6%, tetapi berbeda apabila produk tersebut sudah berada di pasar, yang mana
sampel positif Salmonella menjadi 8.3%. Serotipe yang paling sering ditemukan
pada karkas sapi dan produknya adalah S. typhimurium, kemudian diikuti oleh S.
dublin dan S. enteritidis.
22
Kontaminasi Salmonella pada hati di RPH umumnya terjadi pada saat
proses eviserasi dilakukan atau hewan terinfeksi oleh hewan yang sakit
(mengkontaminasi lingkungan) di tempat penampungan sebelum hewan tersebut
dipotong (Small et al. 2002). Penelitian yang dilakukan di RPH di Australia
membuktikan bahwa kontaminasi Salmonella pada hati berhasil diisolasi
sebanyak 32% setelah eviserasi dan 82% setelah pemeriksaan postmortem.
Kemudian dari 50 sampel hati sapi yang diperiksa, hanya 1 sampel yang positif
Salmonella pada bagian parenchyma hati. Kontaminasi Salmonella kemungkinan
berasal dari Tractus gastrointestinal dan Lymphoglandula mesenterica pada saat
proses eviserasi dilakukan (Samuel et al. 1980). Menurut Vanderlinde et al.
(1998), di Australia dilaporkan 1.4% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk
konsumsi domestik dan 0.27% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk
kebutuhan ekspor. Di Amerika dilaporkan bahwa prevalensi karkas beku yang
terkontaminasi Salmonella sp adalah 2.93% (Qiongzhen et al. 2004).
Kontaminasi Salmonella pada karkas di RPH di Ontario Kanada mencapai 1.6 %
(Johnson et al. 1999).
Standar Salmonella pada pangan
Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tahun 2000 tentang
Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan menetapkan bahwa standar kontaminasi Salmonella sp
dalam pangan asal hewan (daging, telur, dan susu) adalah negatif, sedangkan
berdasarkan standar international yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu
Codex Alimentarius Commission (CAC) hanya mengatur batas maksimum
kontaminasi Salmonella sp pada pangan yang siap untuk dikonsumsi. Beberapa
negara maju seperti Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran
Salmonella sp, tetapi menerapkan system Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi dan
mengurangi kontaminasi Salmonella sp pada pangan asal hewan. Kegiatan
tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety
and Inspection Services (FSIS).
23
Pengujian Salmonella pada Pangan
Kontaminasi Salmonella pada makanan dapat dideteksi dengan mengisolasi
bakteri menggunakan metode kultur pada media agar (BAM 2006) Metode ini
merupakan metode standar untuk mendeteksi Salmonella spp. Metode tersebut
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100% (Burgess 1995). Metode
isolasi dan identifikasi Salmonella spp mempunyai prinsip-prinsip baku yang
terdiri dari lima tahap yaitu: pra-pengayaan (pre-enrichment), pengayaan
(enrichment), seleksi pada media agar, uji biokimia dan uji serologi. Pengujian
dengan metode ini membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 7-10 hari.
Media pra-pengayaan (pre-enrichment) dan pengayaan (enrichment)
bertujuan untuk meningkatkan jumlah bakteri yang mengalami depresi atau
membangkitkan kembali Salmonella yang mengalami kerusakan, sehingga
memungkinkan untuk mengisolasi bakteri tersebut walaupun pada awalnya
bakteri terdapat dalam jumlah yang kecil. Salmonella dapat tumbuh pada
berbagai media, baik media selektif maupun media non-selektif yaitu pada agar
MacConkey, eosine methylen blue, bismuth sulfit, Salmonella-Shigella, dan
brilliant green.
Salmonella dapat diidentifikasi dengan uji biokimia menggunakan triple
sugar iron, lysine iron, methyl red-voges proskauer, urea, indole, citrate, lysine
decarboxylase, phenol red dulcitol, kalium cyanida, malonate, phenol red lactose,
phenol red sucrose. Penentuan serotipe dapat dilakukan dengan uji serologi yang
menggunakan antibodi terhadap antigen somatik (O), antigen flagelar (H) dan
antigen kapsular (Vi). Penentuan lebih lanjut pada beberapa serotipe tertentu
memerlukan identifikasi terhadap fase dan plasmid yang ada pada bakteri tersebut.
Untuk karakterisasi lebih lanjut, dapat dilakukan pada laboratorium-laboratorium
rujukan yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa
ahli mengembangkan berbagai metode pengujian untuk mendeteksi kontaminasi
Salmonella pada makanan baik metode cepat (rapid test) sampai dengan metode
yang sangat kompleks. Metode-metode tersebut misalnya metode yang
berdasarkan pada deteksi asam nukleat, deteksi biokimia dan enzimatik,
24
meggunakan metode filtrasi membran, dan metode yang berdasarkan pada reaksi
antigen dan antibodi.
Metode yang sudah dikembangkan untuk mendeteksi asam nukleat saat ini
adalah metode hibridisasi dan polymerase chain reaction (Soumet et al. 1997).
Pada metode hibridisasi, sekuen DNA Salmonella yang telah diketahui dan saling
melengkapi serta dilabel oleh nukleotida probe dengan berbagai cara untuk
mendeteksi secara langsung sekuen Salmonella. Ada dua bentuk dari metode
hibridisasi yaitu fase solid hibridisasi dan fase likuid hibridisasi. Fase tersebut
menunjukkan lokasi dan sekuen target selama proses hibridisasi berlangsung.
Salah satu kit komersial untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan
dengan menggunakan prinsip hibridisasi adalah GENE-TRAK® Biolab Kanada.
Reaksi rantai polimerase atau Polymerase chain reaction yang disingkat
PCR adalah teknologi dalam biologi molekular yang sudah diterapkan secara
meluas untuk berbagai macam analisis biologi molekuler. Prinsip dari PCR
adalah mengeksploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses
tersebut, polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan
untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan
berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat
ganda pada suhu mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu
wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada
PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan
suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada
cetakan sesuai dengan target yang diinginkan (Downes dan Ito 2001). Metode
PCR untuk mendeteksi Salmonella pada makanan telah dilaporkan oleh Soumet et
al. (1997).
Metode serologik merupakan salah satu metode alternatif yang dapat
digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada
pangan adalah metode uji aglutinasi dan enzyme linked immunosorbant assay
(ELISA). ELISA merupakan teknik biokimia yang digunakan terutama di bidang
immunologi untuk mendeteksi keberadaan sebuah antibodi atau antigen dalam
sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adanya ikatan antara antigen
dan antibodi yang berpasangan dikenali dengan menggunakan enzim spesifik dan
25
dideteksi melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui
perubahan warna atau dengan bantuan alat yang dikenal sebagai ELISA reader
berdasarkan panjang gelombang tertentu. Metode ELISA terdiri dari beberapa
konfigurasi antara lain: ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA
penangkap antigen atau ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA
kompetitif atau ELISA pemblok (Burgess 1995).
ELISA langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen
secara langsung diadsorbsikan ke suatu substrat padat. Permukaan substrat dicuci
dan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen.
Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan
antiserum yang spesifik untuk antigen yang dimaksud. Antiserum ini harus
dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat
pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Pembatas utama sistem
ini adalah tidak adanya fleksibilitas. Sedangkan keuntungan utama adalah sistem
ini sederhana. Konfigurasi ini biasanya digunakan dalam pengujian untuk
mendeteksi atau mengenali suatu antigen. Adanya kontaminasi antigen dapat
ditunjukkan dengan terdapatnya warna pada supernatan. Warna yang ditunjukkan
tergantung dari substrat yang digunakan.
ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat
digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat
padat. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan
tubuh lain. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder
ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan
substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang
berubah adalah antibodi primer. Kerapatan optik (optical density) berhubungan
dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat
diperoleh dengan secara hati-hati menentukan antigen dan konjugat antibodi
indikator. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tdak adanya spesifitas
sebagai akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni.
ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan konfigurasi
yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap
antigen secara spesifik, kemudian terdapat sejumlah variasi lebih lanjut. Jika
26
tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh harus di ukur. Konfigurasi sisanya
serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi penangkap, antigen, dan sistem
indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk
antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat digunakan konfigurasi serupa
atau sistem indikatornya menggunakan antibodi terkonjugasi spesifik untuk
antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak dipakai untuk antibodi
penangkap dan dalam sistem indikator. Konfigurasi ini mempunyai potensi untuk
meningkatkan spesifisitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya
dapat menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah kecil yang
dapat mengganggu spesifisitas ELISA tidak langsung. Penggunaan antibodi
monoklonal digabung antigen murni atau antigen yang sudah diubah dapat
memperbaiki spesifisitas.
ELISA penangkap antibodi menggunakan antiglobulin yang terikat pada
substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator
menempeli antigen berlabel. Spesifisitas teknik ini tidak menyebabkan masalah
utama. ELISA kompetitif atau ELISA pemblok dapat digunakan pada sejumlah
konfigurasi dasar. Kompetisi dapat terjadi terhadap antigen atau antibodi.
Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk ditangkap antibodi
secara langsung maupun lewat antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang
telah dikenal bersaing dengan antibodi yang tidak dikenal untuk mendapatkan
tempat penempelan pada antigen. Antibodi yang telah diketahui dapat dilabel
atau dapat dideteksi menggunakan antibodi spesiesnya (Crowther 1996).
Metode ELISA sebagai metode tapis dalam mendeteksi Salmonella pada
makanan harus mempunyai minimal kriteria sebagai berikut, yaitu mampu
mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella dan juga mempunyai sensitivitas yang
cukup untuk mendeteksi patogen pada level tertentu, umumnya pada tahap
pengayaan (enrichment). Metode ELISA sudah banyak digunakan pada bahan
pangan misalnya oleh Ng et al. (1996) yang mendeteksi Salmonella pada karkas
babi dengan sensitivitas dan spesifisitasnya mencapai 100% dan 99%.
Saat ini telah banyak dikembangkan kit ELISA dalam mendeteksi
kontaminasi Salmonella pada makanan. Salah satu kit ELISA yang digunakan
adalah RIDASCREEN@ Salmonella yang menggunakan monoclonal antibody
27
terhada antigen somatic O (dinding sel). Kit ELISA ini dibuat dengan konfigurasi
ELISA sandwich untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan,
pakan dan sampel lingkungan dalam waktu kurang dari 22 jam. RIDASCREEN@
Salmonella merupakan kit yang fleksibel dapat digunakan untuk mendeteksi
Salmonella, baik yang motil maupun yang non-motil, termasuk S. pullorum dan S.
gallinarum. Proses pengujian diawali dengan menggunakan tahap pengayaan
(enrichment) untuk recovery sel-sel bakteri yang rusak dan meningkatkan jumlah
sel bakteri. Selanjutnya pengujian ELISA menggunakan prinsip ELISA Sandwich
(R-Biofarm 2007).