tinjauan pustaka_2009nza-3

23
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Jeroan Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi. Secara teknis, daging adalah otot rangka (sceletal muscle), sedangkan offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi. Jeroan (edible offal) disebut juga variety meat atau fancy meat, yaitu organ atau jaringan selain otot rangka yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak mengalami proses lebih lanjut selain dari pendinginan atau pembekuan. Jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal, paru dan usus) kepala, kaki dan kulit terpisah dari karkas karena bagian tersebut merupakan by-products, yaitu hasil sampingan yang berasal dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali. Hasil sampingan tersebut ada yang dapat di konsumsi (edible) dan ada juga yang tidak dapat dikonsumsi (inedible). Hasil sampingan yang dapat ataupun tidak dapat dikonsumsi ditentukan oleh penerimaan konsumen, peraturan perundang- undangan yang berlaku, kebersihan, tradisi yang berkembang di masyarakat dan agama yang dianut. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak, timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, ekor (Lukman et al. 2007). Dari beberapa jeroan yang ada hati merupakan pilihan utama yang umum dikonsumsi oleh manusia selain jantung dan organ-organ lainnya. Oleh sebab itu, Indonesia memperbolehkan importasi jeroan hati dan jantung sapi. Hati memiliki nilai ekonomis karena selain diperjual belikan untuk dikonsumsi hati juga dapat digunakan sebagai bahan baku pakan hewan terutama untuk anjing dan kucing. Karakteristik Hati Hati tersusun atas sel-sel hati, dan dihubungkan oleh pembuluh darah dan barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun

Upload: nanda-ayu-cindy-kashiwabara

Post on 28-Nov-2015

22 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

nbbv

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Jeroan

Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang

disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi

tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi.

Secara teknis, daging adalah otot rangka (sceletal muscle), sedangkan offal adalah

seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain

karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala,

ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi. Jeroan

(edible offal) disebut juga variety meat atau fancy meat, yaitu organ atau jaringan

selain otot rangka yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak

mengalami proses lebih lanjut selain dari pendinginan atau pembekuan.

Jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal, paru dan usus) kepala, kaki dan kulit

terpisah dari karkas karena bagian tersebut merupakan by-products, yaitu hasil

sampingan yang berasal dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali. Hasil

sampingan tersebut ada yang dapat di konsumsi (edible) dan ada juga yang tidak

dapat dikonsumsi (inedible). Hasil sampingan yang dapat ataupun tidak dapat

dikonsumsi ditentukan oleh penerimaan konsumen, peraturan perundang-

undangan yang berlaku, kebersihan, tradisi yang berkembang di masyarakat dan

agama yang dianut. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak,

timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, ekor (Lukman et al. 2007).

Dari beberapa jeroan yang ada hati merupakan pilihan utama yang umum

dikonsumsi oleh manusia selain jantung dan organ-organ lainnya. Oleh sebab itu,

Indonesia memperbolehkan importasi jeroan hati dan jantung sapi. Hati memiliki

nilai ekonomis karena selain diperjual belikan untuk dikonsumsi hati juga dapat

digunakan sebagai bahan baku pakan hewan terutama untuk anjing dan kucing.

Karakteristik Hati

Hati tersusun atas sel-sel hati, dan dihubungkan oleh pembuluh darah dan

barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun

Page 2: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

6

sedemikian rupa dalam lobus poligon yang saling melekat dengan bantuan

jaringan penghubung. Hati melekat pada bagian anterior dinding abdominal dan

diafragma oleh ligamen, serta melekat pada lambung di bagian omasum. Ketika

hati akan dipisahkan maka semua ligamen tersebut harus dipotong beserta

kantong empedu.

Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas hati, Hati dengan kualitas

baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk

kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan

Dutson 1988).

Gambar 1 Hati sapi; (1) lobus kanan, (2) lobus kiri, (3) lobus kaudal, (4) lobus kuadral, (5) Arteri hepatica dan Vena porta, (6) Lymphonodus hepatica, (7) kantung empedu.

Pada saat sapi lahir, berat hati mencapai ± 2.2% dari berat hidupnya,

sedangkan pada saat usia dewasa berat hati mencapai ± 1.3-1.45% dari berat

hidupnya. Pada sapi dengan berat hidup 300-400 kg, perkiraan berat hati sekitar

3000-4600 g, sedangkan sapi dengan berat hidup 450-600 kg maka perkiraan

berat hati akan mencapai 4000-8600 g. Berat tersebut dapat berkurang hingga 8%

jika sapi diistirahatkan selama 24 jam atau akan berkurang 12% jika sapi

diistirahatkan selama empat hari sebelum dilakukan penyembelihan (Pearson dan

Dutson 1988).

Komposisi dan kandungan gizi hati menyerupai komposisi dan kandungan

gizi daging, yaitu dengan kandungan terbesar adalah air dan protein. Oleh sebab

itu, hati merupakan pangan yang sangat baik sebagai sumber protein yang

Page 3: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

7

dibutuhkan oleh manusia. Komposisi dan kandungan gizi hati secara lengkap

diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (Pearson dan Dutson 1988)

Komposisi dan kandungan gizi hati Nilai (per 100 gram)

Air (g) 68.99 Protein (g) 20 Lemak (g) 3.85 Karbohidrat (g) 5.82 Energi (Kal) 143 Asam amino (g/gN)

Triptofan Treonin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenylalanin Tirosin Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin

0.09 0.286 0.286 0.588 0.434 0.158 0.096 0.333 0.248 0.386 0.393 0.171 0.373 0.601 0.847 0.358 0.330 0.300

Vitamin Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam pantotenat (mg) B6 (mg) Folasin (mcg) B12 (mcg) Vitamin A (I.U) Asam askorbat (mg)

0.258 2.780 12.78 7.618 0.94 248

69.19 35 346 22.4

Mineral (mg/100g) Ca Fe Mg P K Na Zn Co Mn

6

6.82 19

318 323 73

3.92 2.763 0.264

Page 4: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

8

Berat hati sapi dan komposisi kandungan gizi pada berbeda-beda pada setiap

hewan dan juga sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu

bangsa hewan (breed), jenis kelamin, jenis dan status gizinya, serta manajemen

pemeliharaannya. Namun mengingat komposisi tersebut di atas, daging dan hati

juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et

al. 2007).

Mikroorganisme pada Hati

Produksi hati di rumah pemotongan hewan (RPH) banyak menimbulkan

masalah terutama pada saat adanya kesalahan dalam hal penanganan, pendinginan

atau pembekuan, pengemasan (pengepakan), penyimpanan, dan transportasi. Hati

merupakan salah satu komoditi yang mudah rusak (perishable food) sehingga

dibutuhkan penanganan yang tepat agar kualitasnya tetap terjaga sampai pada saat

akan dikonsumsi.

Bakteri secara umum terdapat pada hati. Menurut Hanna et al. (1982)

jumlah bakteri pada hati setelah pemotongan <104 /cm2. Apabila jumlah bakteri

melebihi 105 /cm2, hal tersebut mencerminkan kemungkinan penanganan hati yang

buruk atau proses pendinginan yang tidak sempurna.

Penyimpanan hati sapi pada suhu 2 °C selama 3 hari tidak menunjukkan

peningkatan jumlah mikroba, tetapi setelah mencapai 4 hari maka terjadi

peningkatan jumlah bakteri terutama bakteri coryneform dan Micrococcus sp.

Pada hari ke-5 setelah penyimpanan umumnya ditemukan Pseudomonas sp.

Penyimpanan pada suhu 30 °C selama 6-12 jam akan meningkatkan pertumbuhan

mikroorganisme, tetapi apabila disimpan pada suhu -20 °C selama 4 hari maka

tidak ada pertambahan jumlah mikroorganisme.

Pada umumnya jeroan memiliki kandungan karbohidrat yang rendah

dibandingkan dengan karkas, kecuali pada hati. Karbohidrat pada hati mencapai

5.3% dan sebagian besar berupa glikogen. Menurut Shelef (1975) hati yang

masih segar mempunyai pH 6.3. Nilai pH tersebut akan mengalami penurunan

hingga 5.9 apabila mikroba mensintesis glikogen menjadi glukosa dan

memproduksi asam laktat. Hal ini menyebabkan terjadinya pembusukan pada

hati.

Page 5: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

9

Penelitian yang dilakukan Oblinger et al. (1982) dengan membandingkan

mikroorganisme pada hati yang masih segar, beku, dan hati yang disimpan pada

kondisi yang tidak layak. Pada hati yang masih segar umumnya ditemukan

Micrococcus sp, bakteri gram negatif dan Escherichia coli. Pada hati yang

disimpan beku ditemukan bakteri gram positif yang lebih dominan dibandingkan

dengan Enterobacteriaceae, sedangkan Pseudomonas sp lebih banyak ditemukan

pada pada hati yang tidak layak penyimpanannya.

Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati

dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam

(intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik). Hati diperoleh setelah

dikeluarkan dari karkas, hati membawa mikroorganisme intrinsik dan ekstrinsik.

Mikroorganisme ekstrinsik pada hati didominasi oleh bakteri-bakteri mesofilik

Gram positif, terutama Micrococcus. Jenis mikroorganisme intrinsik pada

umumnya hampir sama dengan jenis mikroorganisme ekstrinsik yang

mengkontaminasi hati. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri-bakteri

intrinsik bermigrasi melalui sel-sel sinusoid hati yang terbuka pada saat eviserasi

dilakukan (pelepasan hati dari karkas). Sebaliknya, jika pada mulanya terdapat

sejumlah kecil bakteri intrinsik yang berada dalam jaringan hati, maka jumlah dari

kontaminasi bakteri intrinsik tersebut dapat bertambah akibat adanya bakteri

ekstrinsik yang menginvasi ke dalam jaringan selama pemisahan organ

berlangsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakteri intrinsik yang

diisolasi dari jaringan hati kemungkinan juga dapat berasal akibat kontaminasi

dari luar.

Jumlah bakteri pada hati yang berasal dari kontaminasi ekstrinsik yaitu

antara 103-105 /cm2 sedangkan jumlah kontaminasi bakteri intrinsik adalah 102 /g

(Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson, 1988). Berdasarkan penelitian

Patterson dan Gibbs (1979), jumlah cemaran mikroba pada hati yang masih segar

di rumah potong hewan adalah 3.26 x 105 /cm2, sedangkan hati yang sudah

didinginkan mencapai 1.28 x 106 /cm2. Menurut Shelef (1975) hati sapi akan

mengalami pembusukan apabila jumlah bakteri mencapai log10 7.7/g.

Hati merupakan salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan

bakteri, karena hati memiliki pH >6.2 dan kaya akan glukosa (± 6 mg/g). Bakteri

Page 6: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

10

Pseudomonas mendominasi permukaan hati selama masa penyimpanan pada suhu

dingin dengan kondisi aerobik. Bakteri pembusuk lainnya yang terdapat pada

permukaan hati adalah Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter dan Brocothrix

thermosphacta. Di sisi lain, bakteri aerobik gram negatif, Pseudomonas,

Acinetobacter dan Alcaligenes tidak dapat diisolasi dari jaringan internal hati atau

bukan merupakan bakteri intrinsik pada hati, tetapi didominasi oleh bakteri

Lactobacillus. Bakteri gram negatif yang tumbuh dalam kondisi anaerobik

fakultatif misalnya Aeromonas dan Enterobacter merupakan bakteri intrinsik yang

mengkontaminasi hati.

Bakteri Lactobacillus dan bakteri fakultatif anaerob lainnya dapat diisolasi

dari hati dengan penyimpanan pada suhu dingin yang dikemas menggunakan

plastik-gas permeable, tetapi hanya bakteri Lactobacillus, Streptococcus dan

Leuconostoc spp yang paling dominan dan dapat diisolasi dari hati yang dikemas

menggunakan plastik yang telah divakum (Hanna et al. 1982).

Salmonella

Berdasarkan taksonominya, Salmonella spp dapat digolongkan sebagai

berikut (Brenner 2000):

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella

Nomenklatur Salmonella

Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari U.S Centers for Disease Control

and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari

CFSPH (2005) menyatakan bahwa terdapat dua spesies dari genus Salmonella,

yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica memiliki

6 subspesies yaitu: S. enterica subsp. enterica atau subspesies I; S. enterica subsp.

Page 7: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

11

salamae atau subspesies II; S. enterica subsp. arizonae atau subspesies IIIa; S.

enterica subsp. diarizonae atau subspecies IIIb; S. enterica subsp. houtenae atau

subspesies IV; dan S. enterica subsp. indica atau subspecies VI.

Gambar 2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram.

Sampai saat ini diketahui Salmonella mempunyai 2500 serotipe (Popoff

2001). Nama serotipe ini biasanya dikaitkan dengan tempat ditemukannya bakteri

tersebut. Serotipe dari S. enterica subsp. enterica merujuk berdasarkan nama

tertentu. Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama

lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Sebagai contoh Salmonella

enterica subsp enterica ser. Enteritidis dapat ditulis menjadi Salmonella ser.

Enteritidis atau Salmonella Enteritidis.

Antigen O atau antigen somatik, terdiri dari badan sel bakteri dan diperoleh

dengan pemanasan suspensi bakteri selama satu jam pada suhu 80-100 °C atau

dengan metode ekstraksi menggunakan alkohol panas. Prosedur ini juga dapat

digunakan untuk melepaskan antigen H atau antigen flagelar. Variasi antigen O

ditandai dengan nomor 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan hubungan yang

erat, kelompok spesies Salmonella ditandai dengan tipe A, B, C, dan seterusnya.

Spesies tunggal boleh memiliki lebih dari satu antigen O, yang dapat mempunyai

satu kelompok antigen yang pada umumnya mempunyai banyak anggota dalam

kelompoknya (Brenner et al. 2000).

Page 8: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

12

Antigen H atau antigen flagelar, terdiri dari sel flagela dan dipersiapkan oleh

supensi pokok bakteri ke formalin yang diduga memperbaiki flagelar di luar

permukaan bakteri sehingga menutup badan sel antigen O. Antigen ini tidak

tahan panas. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu fase spesifik dan fase non-

spesifik. Fase spesifik hanya terdiri dari komponen-komponen antigen yang

spesifik untuk spesies atau turunan dari organisme tersebut. Antigen-antigen ini

ditandai dengan a, b, c, dan seterusnya. Fase non-spesifik ditunjukkan dengan

bagian antigen dari spesies lain pada tipe kelompok lain. Antigen-antigen ini

ditandai dengan 1, 2, 3, 4, dan seterusnya (Brenner et al. 2000).

Sebagian besar penulisan serotipe dari 5 subspesies S. enterica dan S.

bongori merujuk berdasarkan formula antigeniknya. Formula tersebut terdiri dari

penggolongan spesies/subspsies (I, II, IIIa, IIIb, IV atau VI untuk Salmonella

enterica dan V untuk Salmonella bongori), antigen O (somatik) yang diikuti oleh

tanda titik dua, antigen H (flagelar) fase I yang diikuti oleh tanda titik dua, dan

antigen H fase 2 (jika ada). Berdasarkan hasil kesepakatan maka S. enterica

subsp. houtenae dengan memiliki antigen O menunjuk 45, antigen H menunjuk g

dan z51, dan tidak memiliki antigen H fase 2 dapat dituliskan sebagai Salmonella

serotipe IV 45:g,z51.

Menurut Brenner et al. (2003), komponen utama dari permukaan

Salmonella pada umumnya terdiri dari flagela (disebut sebagai antigen H), dan

lipopolisakarida (disebut sebagai antigen O). Kedua antigen ini yang sering

menyebabkan reaksi silang diantara mikroba genus Salmonella. Beberapa strain

Salmonella dapat bertahan dari aktivitas fagositosis karena adanya mutasi pada

gen lipopolisakarida dan kehilangan antigen O nya.

Grup subspesies I termasuk kedalam serotipe penyebab penyakit pada

manusia dan hewan berdarah panas seperti S. enterica, S. typhi, S. paratyphi, S.

sendai, S. typhimurium, S. enteritidis, S. cholerasuis, S. dublin, S. gallinarum, S.

pullorum dan S. abortusovis. Grup subspesies II sampai dengan VI adalah serovar

yang biasa ditemukan pada hewan berdarah dingin. Klasifikasi dan deteksi dari

bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan phage susceptibility assay (Baumler

et al. 1998).

Page 9: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

13

Sifat dan Karakteristik Salmonella spp

Salmonella spp adalah bakteri gram negatif yang termasuk dalam famili

Enterobacteriaceae berbentuk batang, motil, tanpa spora, dan hidup dalam

kondisi aerobik dan anaerobik fakultatif. Spesies Salmonella dibagi menjadi

beberapa serotipe yang didasarkan pada lipopolisakarida (O), protein flagelar (H),

dan antigen kapsular (Vi).

Salmonella spp dapat hidup secara optimal pada suhu 35-37 °C, tetapi

mampu hidup pada kisaran suhu 5-47 °C (D’Aoust 2000). Kondisi pH yang

diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Salmonella spp sangat bervariasi, pH

optimal pertumbuhannya adalah 6.5-6.7, tetapi mampu tumbuh pada kisaran pH

4.5-9.0 (Garbutt 1997).

Dalam larutan asam asetat dengan pH 5.4 dan asam sitrat pH 4.05 bakteri

Salmonella spp masih dapat tumbuh (Adams dan Moss 1995). Perubahan pH

yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati. Kondisi pH optimum yang

diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asidulan asam laktat dan

asam asetat (D’Aoust 2000).

Tabel 2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp (Baumler et al. 1998)

Kondisi Minimal Optimal Maksimal

Suhu (°) 5.2 35-43 46.2

pH 3.8 7.0-7.5 9.5

Aktivitas air 0.94 0.99 0.99

Salmonella spp mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit, memproduksi gas

dari glukosa, memproduksi gas H2S dari pada triple sugar iron agar, dapat

tumbuh pada sitrat. Indol dan urease negatif, lisin, ornitin, dekarboksilase positif.

Salisin, inositol, sukrosa, dan amigdalin negatif.

Salmonella spp dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada

lingkungan tertentu. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme

untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector 1995). Hal

ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada

Page 10: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

14

saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada

waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda.

Salmonella spp dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk dari limbah

peternakan, limbah manusia, dan air. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan

Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian

permukaan, kotoran, dan pada feses kering yang tidak terkena sinar matahari.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa Salmonella dapat bertahan selama 5½ tahun

pada lantai tempat defekasi sapi. Salmonella cholerasuis berhasil diisolasi selama

450 hari dari daging babi dan beberapa bulan dari feses. Salmonella

Typhimurium dan Salmonella dublin telah ditemukan mampu bertahan lebih dari

satu tahun pada lingkungan (CFSPH 2005).

Resistensi Terhadap Antibiotik

Pada industri peternakan, pemberian antimikroba selain untuk pencegahan

dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan untuk memacu

pertumbuhan, meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan

pakan (Bahri et al.2000). Di Negara-negara Eropa, ada beberapa antimikroba

yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik,

basirasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoparsin, dan

avilamisin (Witte1997). Di Indonesia, pemanfaatan antimikroba sebagai imbuhan

pakan ternak sudah dilakukan, hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian

Veteriner menunjukkan 71.43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur,

Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan golongan tetrasiklin dan

sulfonamide pada produk pakannya (Kusumaningsih 2007).

Dari kenyataan di lapangan dapat dipastikan bahwa pemakaian antimikroba

sebagai imbuhan pakan ternak cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa

peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antimikroba secara terus menerus

dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah

akan memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba pada ternak (Bahri

et al. 2000). Munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen

sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan

Page 11: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

15

sifat resistensi antimikroba bakteri pada ternak dan manusia dan dapat

mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri.

Munculnya resistensi antimikroba pada bakteri pathogen disebabkan oleh adanya

peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri

maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau

transposon. Transfer gen resistensi antimikroba pada bakteri dari ternak ke

manusia dapat pula melalui gen resistensi antimikroba yang terdapat pada

pathogen komensal dan pathogen asal makanan seperti S. Enteritidis

(Kusumaningsih 2007).

Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu

enzim yang dapat merubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk

yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek

antimikroba yang mematikan. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi

antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba

tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau

golongan antimikroba yang sama. Sebagai contoh pada kloramfenikol terdapat 7

gen resistensi (Chen et al. 2004).

Penyebaran Geografis

Salmonelosis tersebar di seluruh dunia, umumnya terdapat pada lingkungan

hewan. Program pemberantasan Salmonella banyak dilakukan terhadap hewan-

hewan domestik dan manusia, tetapi penting diingat bahwa hewan-hewan liar

merupakan reservoir Salmonella. Serotipe yang paling banyak ditemukan dari

kasus salmonelosis adalah Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium

(CFSPH 2005).

Hasil surveilan di Amerika Serikat pada tahun 2002 terhadap serotipe

Salmonella yang telah diisolasi dari manusia adalah Salmonella enteritidis,

Salmonella typhimurium, Salmonella montevideo, Salmonella muenchen,

Salmonella oranienburg, dan Salmonella saintpaul. Kemudian pada tahun yang

sama CDC dan National Veterinary Services Laboratory (NVSL) melaporkan

bahwa serotipe Salmonella yang berhasil diisolasi dari hewan yang secara klinis

memperlihatkan gejala salmonelosis adalah Salmonella typhimurium, Salmonella

Page 12: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

16

newport, Salmonella agona, Salmonella heidelberg, Salmonella derby,

Salmonella anatum, Salmonella cholerasuis, Salmonella montevideo, Salmonella

kentucky, Salmonella senftenberg, dan Salmonella dublin (CFSPH 2005).

Di Selandia Baru dan Australia, Salmonella spp telah diisolasi pada manusia

dan hewan terutama Salmonella Typhimurium, tetapi Salmonella Typhimurium

DT104 yang diketahui sebagai serotipe yang resisten terhadap antibiotik hanya

diisolasi dari manusia pada tahun 2003 dan 2004. Prevalensi Salmonella spp pada

sapi dan kambing di Selandia Baru mencapai 1-5%. Salmonella dublin

merupakan serotipe yang umum terdapat pada sapi dan kambing di beberapa

negara di dunia, tetapi belum pernah ditemukan di Selandia Baru (MAFNZ 2006).

Di Kanada, S. typhimurium dan S. hadar telah diisolasi dari manusia dan non-

manusia selama 10 tahun terakhir, sedangkan S. heidelberg, S. enteritidis, dan S.

infantis juga sering diisolasi dari sampel yang diperoleh dari manusia (Kakira et

al. 1997).

Sumber Infeksi dan Cara Penularan

Penularan Salmonella spp terutama terjadi melalui rute fecal-oral. Bakteri

tersebut umumya terdapat di dalam saluran pencernaan dan kantung empedu

hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian secara terus menerus atau

kadang-kadang dikeluarkan bersama feses. Salmonella spp dapat tinggal menetap

di kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi

bakteri tersebut dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu

misalnya cekaman atau tekanan tanggap kebal.

S. typhi dan S. paratyphi merupakan penyebab utama salmonelosis pada

manusia. Hewan merupakan reservoir dari Salmonella spp. Hampir semua

pangan hewani dapat terkontaminasi oleh Salmonella spp dan kemudian dapat

menyebabkan infeksi salmonelosis pada manusia. Wahana utama penyebaran

Salmonella spp ke manusia adalah daging unggas, daging babi, daging sapi, telur,

susu dan hasil olahannya. Pangan nabati yang terkontaminasi oleh produk

hewani, ekskreta manusia, atau peralatan kotor, baik dalam proses penanganan

industri maupun dapur rumah tangga, merupakan salah satu wahana penularan

Page 13: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

17

salmonelosis pada manusia. Air yang terkontaminasi Salmonella merupakan

sumber penting terhadap penularan salmonelosis.

Manusia umumnya menderita salmonelosis akibat dari mengonsumsi

pangan yang terkontaminasi Salmonella. Faktor penting yang berperan dalam

penularan penyakit ini adalah kesalahan dalam cara memasak, waktu dan tempat

penyimpanan, serta pemanasan kembali sebelum dihidangkan. Manusia dapat

terinfeksi secara langsung dari hewan dan hewan kesayangan yang terkontaminasi

atau terinfeksi Salmonella seperti kura-kura, monyet, hamster, anjing dan hewan

reptil lainnya.

Penularan antar manusia sangat penting bila terjadi di rumah sakit dimana

pasien anak-anak menjadi korban utamanya. Lalat merupakan vektor mekanis

yang membawa organisme dari lingkungan terkontaminasi ke perumahan

penduduk. Berdasarkan hasil penelitian Olsen dan Hammack (2000), beberapa

lalat rumah seperti Musca domestica dan Hydrotaea aenescens berpotensi sebagai

reservoir dan vektor dari foodborne Salmonella terutama pada unggas dengan

prevalensi mencapai 13%.

Penularan dari hewan ke hewan dapat berlangsung melalui ekskreta, pakan,

dan sumber air minum yang terkontaminasi oleh Salmonella spp. Di beberapa

negara berkembang, sumber infeksi utama adalah kontaminasi lingkungan dan

sumber air yang merupakan tempat hewan sering berkumpul. Burung (unggas)

dan tikus dapat menyebarkan Salmonella spp ke hewan. Karnivora dapat

terinfeksi melalui daging, telur dan produk hewan lainnya yang tidak dimasak

atau melalui proses pemasakan yang tidak sempurna sebagai bahan baku

pakannya. Penularan dari hewan ke hewan tidak hanya terjadi di lingkungan

kandang tetapi dapat terinfeksi selama masa transportasi, pada saat di pasar

hewan, dan di tempat penampungan (holding ground) RPH sebelum hewan

tersebut disembelih. Penularan secara vertikal dapat terjadi pada unggas, dimana

bakteri tersebut dapat menembus membran vitelin, albumen, dan kemudian masuk

ke dalam kuning telur. Salmonella spp juga dapat ditransmisikan melalui rahim

hewan mamalia (CFSPH 2005).

Page 14: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

18

Salmonelosis pada Manusia

Gejala klinis salmonelosis yang paling umum pada manusia adalah

gastroenteritis. Masa inkubasi penyakit pada umumnya mencapai 12 jam sampai

dengan 3 hari. Demam enterik biasanya muncul setelah 10-14 hari pasca-infeksi.

Pada manusia gejala klinis salmonelosis sangat bervariasi mulai dari

gastroenteritis sampai terjadi septisemia. Tingkat keparahan pada setiap individu

berbeda-beda, tergantung dari kondisi induk semang (host) dan tingkat virulensi

dari Salmonella yang menginfeksi. Infeksi asimtomatik juga dapat terjadi.

Semua serotipe Salmonella dapat menyebabkan terjadinya salmonelosis,

tetapi berbeda dalam hal gejala klinis yang dihasilkan, misalnya infeksi pada

manusia yang diperoleh dari Salmonella spp yang berasal dari reptil umumnya

menimbulkan gejala klinis yang sangat parah yaitu terjadi septikemia dan

meningitis. Hampir semua kasus salmonelosis yang berasal dari reptil menyerang

anak-anak di bawah umur 10 tahun dan pada manusia yang mengalami

imunosupresi.

Gastroenteritis ditunjukkan gejala klinis seperti mual, muntah, sakit perut,

diare (berdarah). Sakit kepala, demam, menggigil, dan sakit pada otot juga dapat

terlihat. Dehidrasi dapat terjadi pada anak bayi dan orang tua yang terinfeksi.

Kematian banyak terjadi pada anak-anak, orang tua, dan orang yang mengalami

imunosupresi. Infeksi Salmonella spp. dapat menyebabkan peradangan pada

organ-organ tertentu, misalnya septic arthritis, abses, endokarditis dan

pneumonia.

Salmonelosis pada manusia dapat ditularkan ke orang lain dan hewan

melalui feses. Shedding pada feses dapat terjadi beberapa hari bahkan sampai

beberapa minggu. Manusia juga dapat bertindak sebagai carrier selama beberapa

bulan. Rata-rata 0.3-0.6% pasien yang terinfeksi non-typhoidal Salmonella dapat

mengalami shedding virus pada fesesnya selama satu tahun. Pada beberapa

serotipe spesifik seperti Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang

diketahui juga sebagai foodborne patogen dapat menyebabkan infeksi sistemik

yang dikenal dengan demam tifoid dan demam paratifoid. Penyebaran penyakit

ini didominasi oleh adanya kontaminasi feses orang yang sakit dan terkontaminasi

pada air dan makanan.

Page 15: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

19

Secara umum dapat dikatakan bahwa dosis infeksi, masa inkubasi, gejala

klinis dan cara penularan Salmonella yang disebabkan oleh serotipe yang berbeda

adalah sama, yaitu gejala klinis yang dijumpai seperti diare, demam, dan sakit

pada daerah abdominal. Pada orang tua, bayi dan orang yang mengalami

penurunan sistem imunitas akan terlihat lebih parah.

Salmonella Enteritidis and Salmonella Typhimurium merupakan seroptipe

yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab kasus salmonelosis pada

manusia. Berdasarkan laporan CDC (2002), kasus salmonelosis pada tahun 2002

disebabkan paling banyak oleh Salmonella Enteritidis yaitu 25% dari kasus yang

dilaporkan, kemudian oleh Salmonella Typhimurium sebanyak 12.1%.

Salmonelosis pada Hewan

Salmonella spp telah ditemukan pada semua spesies mamalia, unggas,

reptil, dan amfibi. Ikan dan invertebrata dapat juga terinfeksi. Prevalensi

salmonelosis paling banyak terdapat pada unggas, babi, dan reptil. Sejauh ini

infeksi Salmonella spp pada reptil ditemukan pada kura-kura, penyu, ular, dan

kadal (termasuk iguana). Beberapa serotipe mempunyai hubungan yang erat

dengan induk semangnya, sebagai contoh bahwa Salmonella choleraesuis

menyebabkan penyakit pada babi, Salmonella abortusovis menginfeksi kambing,

dan Salmonella pullorum menginfeksi unggas. Bagaimanapun sebagian besar

serotipe dapat menyebabkan penyakit pada banyak induk semang (CFSPH 2005).

Masa inkubasi pada hewan sangat bervariasi. Gejala klinis pada hewan

umumnya bersifat asimtomatik pada beberapa kasus infeksi salmonelosis. Gejala

klinis muncul apabila hewan mengalami stres akibat transportasi, kepadatan

populasi di kandang, partus, kedinginan, adanya infeksi virus dan parasit, serta

perubahan pakan yang tiba-tiba. Gejala klinis yang muncul juga bervariasi

tergantung pada dosis infeksi, status kesehatan hewan, serotipe dari Salmonella

yang menginfeksi, dan faktor-faktor lain, misalnya Salmonella cholerasuis yang

menimbulkan gejala septikemia sedangkan Salmonella typhimurium akan

berhubungan dengan infeksi saluran pencernaan.

Pada sapi, gejala klinis yang umum adalah enteritis dan septikemia. Infeksi

salmonelosis ditandai dengan diare, dehidrasi, depresi, rasa sakit pada bagian

Page 16: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

20

abdominal dan anoreksia. Konsistensi feses lembek sampai dengan cair, bau,

berisi reruntuhan mukosa membran dan berdarah. Demam terjadi pada awal

infeksi, kematian disebabkan karena adanya dehidrasi dan toksemia. Enteritis

subakut terjadi pada sapi dewasa ditandai dengan diare yang terus menerus dan

kehilangan berat badan. Serotipe Salmonella yang umum dijumpai menginfeksi

hewan sapi adalah S. anatum, S. dublin, S. montevideo dan S. typhimurium.

Kontaminasi Salmonella pada Hati

Pada hewan-hewan hidup, permukaan tubuhnya dapat terkontaminasi secara

langsung oleh mikroorganisme yang berasal dari lingkungan atau sebaliknya.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa bagian dalam dari jaringan

atau karkas yang berasal dari hewan yang sehat dapat terkontaminasi oleh bakteri

saprofit, kemudian bakteri tersebut menginvasi ke dalam jaringan tubuh melalui

saluran pencernaan sebelum, selama, atau sesudah hewan mati ataupun

terkontaminasi pada saat proses pemotongan sedang berlangsung (Pearson dan

Dutson 1988).

Mikroorganisme patogen dapat merasuk ke dalam tubuh hewan hidup dan

bermanifestasi pada organ-organ spesifik. Mikroba tersebut dapat bertahan untuk

beberapa waktu sebelum akhirnya tereliminasi atau berpoliferasi sehingga

menimbulkan gejala klinis. Mikroba patogen yang menginfeksi hewan tersebut

dapat menimbulkan penyakit, tetapi terdapat pengecualian terhadap

mikroorganisme patogen yang terdapat pada hewan sehat, dimana hewan tersebut

tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga mikroba tersebut disebut sebagai

mikroorganisme intrinsik.

Secara umum Salmonella terdapat pada Tractus intestinal dan terbawa pada

feses hewan dan manusia yang terinfeksi, sehingga banyak makanan terutama

makanan asal hewan, sangat mudah terkontaminasi dan telah diidentifikasi

sebagai vehicle/wahana terhadap penularan salmonelosis. Jeroan dan karkas

merupakan sumber foodborne salmonelosis (EFSA 2008).

Penyimpanan hati pada kondisi aerobik dengan suhu ruangan menyebabkan

E. coli dapat tumbuh dengan baik. Seperti diketahui bahwa E. coli merupakan

salah satu bakteri patogen dan dapat digunakan sebagai bakteri indikator untuk

Page 17: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

21

melihat tingkat sanitasi terhadap suatu proses penyiapan pangan asal hewan yang

sedang berlangsung. Apabila jumlah E. coli melebihi standar yang sudah

ditetapkan maka menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk sehingga perlu

dilakukan tindakan perbaikan dan pengendalian untuk menurunkan jumlah bakteri

tersebut. Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan E. coli merupakan

kondisi yang baik untuk pertumbuhan Salmonella dan bakteri patogen lainnya,

sehingga hal ini menjadi sangat penting diperhatikan karena akan berdampak

terhadap kesehatan masyarakat (Gill dan Harrison 1985).

Berdasarkan laporan dari Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson (1988)

mikroorganisme yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan

prevalensi bervariasi antara 32-75%, Clostridium perferingens dengan prevalensi

12%, bakteri gram positif berbentuk coccus prevalensinya mencapai 80%, E. coli

dengan prevalensi 10% dan Salmonella berkisar 1-5%.

Sumber pencemaran dari luar dapat diperoleh akibat kontaminasi hati dari

lingkungan di sekitar RPH, kulit dan isi saluran cerna (Fegan et al. 2005), air,

alat-alat yang digunakan selama pemotongan, misalnya pisau dan penggantung

karkas (Smeltzer dan Thomas 1981; Kusumaningrum et al. 2002), kotoran/feses

(Bell 1997), udara, tangan dan pakaian pelindung pekerja (Smeltzer et al. 1980).

Sedangkan sumber pencemaran dari dalam adalah adanya mikroorganisme pada

hati yang berasal dari hewan yang terinfeksi pada saat masih hidup.

Perkembangan mikroorganisme pada hati dipengaruhi oleh faktor intrinsik

dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi derajat keasaman, aktivitas air

(aw), potensial oksidasi dan reduksi, nutrisi, keberadaan antimikroba, dan struktur

biologis, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi suhu, kelembaban relatif,

keberadaan dan konsentrasi gas, serta proses pengolahan (Garbutt 1997).

EFSA (2008) menyatakan bahwa secara umum proporsi kasus Salmonella

positif pada karkas sapi dan produknya pada tahun 2001-2005 mencapai kurang

lebih 1%. Proporsi sampel positif pada produk segar pada saat di RPH sekitar

0.6%, tetapi berbeda apabila produk tersebut sudah berada di pasar, yang mana

sampel positif Salmonella menjadi 8.3%. Serotipe yang paling sering ditemukan

pada karkas sapi dan produknya adalah S. typhimurium, kemudian diikuti oleh S.

dublin dan S. enteritidis.

Page 18: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

22

Kontaminasi Salmonella pada hati di RPH umumnya terjadi pada saat

proses eviserasi dilakukan atau hewan terinfeksi oleh hewan yang sakit

(mengkontaminasi lingkungan) di tempat penampungan sebelum hewan tersebut

dipotong (Small et al. 2002). Penelitian yang dilakukan di RPH di Australia

membuktikan bahwa kontaminasi Salmonella pada hati berhasil diisolasi

sebanyak 32% setelah eviserasi dan 82% setelah pemeriksaan postmortem.

Kemudian dari 50 sampel hati sapi yang diperiksa, hanya 1 sampel yang positif

Salmonella pada bagian parenchyma hati. Kontaminasi Salmonella kemungkinan

berasal dari Tractus gastrointestinal dan Lymphoglandula mesenterica pada saat

proses eviserasi dilakukan (Samuel et al. 1980). Menurut Vanderlinde et al.

(1998), di Australia dilaporkan 1.4% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk

konsumsi domestik dan 0.27% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk

kebutuhan ekspor. Di Amerika dilaporkan bahwa prevalensi karkas beku yang

terkontaminasi Salmonella sp adalah 2.93% (Qiongzhen et al. 2004).

Kontaminasi Salmonella pada karkas di RPH di Ontario Kanada mencapai 1.6 %

(Johnson et al. 1999).

Standar Salmonella pada pangan

Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tahun 2000 tentang

Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan

Makanan Asal Hewan menetapkan bahwa standar kontaminasi Salmonella sp

dalam pangan asal hewan (daging, telur, dan susu) adalah negatif, sedangkan

berdasarkan standar international yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu

Codex Alimentarius Commission (CAC) hanya mengatur batas maksimum

kontaminasi Salmonella sp pada pangan yang siap untuk dikonsumsi. Beberapa

negara maju seperti Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran

Salmonella sp, tetapi menerapkan system Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi dan

mengurangi kontaminasi Salmonella sp pada pangan asal hewan. Kegiatan

tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety

and Inspection Services (FSIS).

Page 19: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

23

Pengujian Salmonella pada Pangan

Kontaminasi Salmonella pada makanan dapat dideteksi dengan mengisolasi

bakteri menggunakan metode kultur pada media agar (BAM 2006) Metode ini

merupakan metode standar untuk mendeteksi Salmonella spp. Metode tersebut

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100% (Burgess 1995). Metode

isolasi dan identifikasi Salmonella spp mempunyai prinsip-prinsip baku yang

terdiri dari lima tahap yaitu: pra-pengayaan (pre-enrichment), pengayaan

(enrichment), seleksi pada media agar, uji biokimia dan uji serologi. Pengujian

dengan metode ini membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 7-10 hari.

Media pra-pengayaan (pre-enrichment) dan pengayaan (enrichment)

bertujuan untuk meningkatkan jumlah bakteri yang mengalami depresi atau

membangkitkan kembali Salmonella yang mengalami kerusakan, sehingga

memungkinkan untuk mengisolasi bakteri tersebut walaupun pada awalnya

bakteri terdapat dalam jumlah yang kecil. Salmonella dapat tumbuh pada

berbagai media, baik media selektif maupun media non-selektif yaitu pada agar

MacConkey, eosine methylen blue, bismuth sulfit, Salmonella-Shigella, dan

brilliant green.

Salmonella dapat diidentifikasi dengan uji biokimia menggunakan triple

sugar iron, lysine iron, methyl red-voges proskauer, urea, indole, citrate, lysine

decarboxylase, phenol red dulcitol, kalium cyanida, malonate, phenol red lactose,

phenol red sucrose. Penentuan serotipe dapat dilakukan dengan uji serologi yang

menggunakan antibodi terhadap antigen somatik (O), antigen flagelar (H) dan

antigen kapsular (Vi). Penentuan lebih lanjut pada beberapa serotipe tertentu

memerlukan identifikasi terhadap fase dan plasmid yang ada pada bakteri tersebut.

Untuk karakterisasi lebih lanjut, dapat dilakukan pada laboratorium-laboratorium

rujukan yang mempunyai kompetensi di bidangnya.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa

ahli mengembangkan berbagai metode pengujian untuk mendeteksi kontaminasi

Salmonella pada makanan baik metode cepat (rapid test) sampai dengan metode

yang sangat kompleks. Metode-metode tersebut misalnya metode yang

berdasarkan pada deteksi asam nukleat, deteksi biokimia dan enzimatik,

Page 20: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

24

meggunakan metode filtrasi membran, dan metode yang berdasarkan pada reaksi

antigen dan antibodi.

Metode yang sudah dikembangkan untuk mendeteksi asam nukleat saat ini

adalah metode hibridisasi dan polymerase chain reaction (Soumet et al. 1997).

Pada metode hibridisasi, sekuen DNA Salmonella yang telah diketahui dan saling

melengkapi serta dilabel oleh nukleotida probe dengan berbagai cara untuk

mendeteksi secara langsung sekuen Salmonella. Ada dua bentuk dari metode

hibridisasi yaitu fase solid hibridisasi dan fase likuid hibridisasi. Fase tersebut

menunjukkan lokasi dan sekuen target selama proses hibridisasi berlangsung.

Salah satu kit komersial untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan

dengan menggunakan prinsip hibridisasi adalah GENE-TRAK® Biolab Kanada.

Reaksi rantai polimerase atau Polymerase chain reaction yang disingkat

PCR adalah teknologi dalam biologi molekular yang sudah diterapkan secara

meluas untuk berbagai macam analisis biologi molekuler. Prinsip dari PCR

adalah mengeksploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses

tersebut, polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan

untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan

berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat

ganda pada suhu mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu

wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada

PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan

suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada

cetakan sesuai dengan target yang diinginkan (Downes dan Ito 2001). Metode

PCR untuk mendeteksi Salmonella pada makanan telah dilaporkan oleh Soumet et

al. (1997).

Metode serologik merupakan salah satu metode alternatif yang dapat

digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada

pangan adalah metode uji aglutinasi dan enzyme linked immunosorbant assay

(ELISA). ELISA merupakan teknik biokimia yang digunakan terutama di bidang

immunologi untuk mendeteksi keberadaan sebuah antibodi atau antigen dalam

sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adanya ikatan antara antigen

dan antibodi yang berpasangan dikenali dengan menggunakan enzim spesifik dan

Page 21: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

25

dideteksi melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui

perubahan warna atau dengan bantuan alat yang dikenal sebagai ELISA reader

berdasarkan panjang gelombang tertentu. Metode ELISA terdiri dari beberapa

konfigurasi antara lain: ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA

penangkap antigen atau ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA

kompetitif atau ELISA pemblok (Burgess 1995).

ELISA langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen

secara langsung diadsorbsikan ke suatu substrat padat. Permukaan substrat dicuci

dan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen.

Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan

antiserum yang spesifik untuk antigen yang dimaksud. Antiserum ini harus

dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat

pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Pembatas utama sistem

ini adalah tidak adanya fleksibilitas. Sedangkan keuntungan utama adalah sistem

ini sederhana. Konfigurasi ini biasanya digunakan dalam pengujian untuk

mendeteksi atau mengenali suatu antigen. Adanya kontaminasi antigen dapat

ditunjukkan dengan terdapatnya warna pada supernatan. Warna yang ditunjukkan

tergantung dari substrat yang digunakan.

ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat

digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat

padat. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan

tubuh lain. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder

ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan

substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang

berubah adalah antibodi primer. Kerapatan optik (optical density) berhubungan

dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat

diperoleh dengan secara hati-hati menentukan antigen dan konjugat antibodi

indikator. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tdak adanya spesifitas

sebagai akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni.

ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan konfigurasi

yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap

antigen secara spesifik, kemudian terdapat sejumlah variasi lebih lanjut. Jika

Page 22: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

26

tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh harus di ukur. Konfigurasi sisanya

serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi penangkap, antigen, dan sistem

indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk

antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat digunakan konfigurasi serupa

atau sistem indikatornya menggunakan antibodi terkonjugasi spesifik untuk

antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak dipakai untuk antibodi

penangkap dan dalam sistem indikator. Konfigurasi ini mempunyai potensi untuk

meningkatkan spesifisitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya

dapat menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah kecil yang

dapat mengganggu spesifisitas ELISA tidak langsung. Penggunaan antibodi

monoklonal digabung antigen murni atau antigen yang sudah diubah dapat

memperbaiki spesifisitas.

ELISA penangkap antibodi menggunakan antiglobulin yang terikat pada

substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator

menempeli antigen berlabel. Spesifisitas teknik ini tidak menyebabkan masalah

utama. ELISA kompetitif atau ELISA pemblok dapat digunakan pada sejumlah

konfigurasi dasar. Kompetisi dapat terjadi terhadap antigen atau antibodi.

Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk ditangkap antibodi

secara langsung maupun lewat antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang

telah dikenal bersaing dengan antibodi yang tidak dikenal untuk mendapatkan

tempat penempelan pada antigen. Antibodi yang telah diketahui dapat dilabel

atau dapat dideteksi menggunakan antibodi spesiesnya (Crowther 1996).

Metode ELISA sebagai metode tapis dalam mendeteksi Salmonella pada

makanan harus mempunyai minimal kriteria sebagai berikut, yaitu mampu

mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella dan juga mempunyai sensitivitas yang

cukup untuk mendeteksi patogen pada level tertentu, umumnya pada tahap

pengayaan (enrichment). Metode ELISA sudah banyak digunakan pada bahan

pangan misalnya oleh Ng et al. (1996) yang mendeteksi Salmonella pada karkas

babi dengan sensitivitas dan spesifisitasnya mencapai 100% dan 99%.

Saat ini telah banyak dikembangkan kit ELISA dalam mendeteksi

kontaminasi Salmonella pada makanan. Salah satu kit ELISA yang digunakan

adalah RIDASCREEN@ Salmonella yang menggunakan monoclonal antibody

Page 23: Tinjauan Pustaka_2009nza-3

27

terhada antigen somatic O (dinding sel). Kit ELISA ini dibuat dengan konfigurasi

ELISA sandwich untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan,

pakan dan sampel lingkungan dalam waktu kurang dari 22 jam. RIDASCREEN@

Salmonella merupakan kit yang fleksibel dapat digunakan untuk mendeteksi

Salmonella, baik yang motil maupun yang non-motil, termasuk S. pullorum dan S.

gallinarum. Proses pengujian diawali dengan menggunakan tahap pengayaan

(enrichment) untuk recovery sel-sel bakteri yang rusak dan meningkatkan jumlah

sel bakteri. Selanjutnya pengujian ELISA menggunakan prinsip ELISA Sandwich

(R-Biofarm 2007).