tinjauan pustaka peran keluarga teori struktural-fungsional · levy (megawangi 1999) mengatakan...

12
TINJAUAN PUSTAKA Peran Keluarga Teori Struktural-Fungsional Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi 1999). Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu mengacu pada: 1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda. 2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan (equilibrium tendency). 3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota keluarganya. Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi

Upload: lyhanh

Post on 06-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

TINJAUAN PUSTAKA

Peran Keluarga

Teori Struktural-Fungsional

Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons

mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga

pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam

kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan

fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi

untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan

pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi

sistem masyarakat (Megawangi 1999).

Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur

internal keluarga, yaitu mengacu pada:

1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami

(pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak

sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan

status sosial berbeda.

2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu

atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial.

Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan

(equilibrium tendency).

3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya

seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal dari

masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi

setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga

tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah tangga, yang

merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota

keluarganya.

Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas

yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi

keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang

lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak

dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang

akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi

6

keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus

dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain:

1. Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan

dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam

keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender,

generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.

2. Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota

keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau

kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan

emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada

keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan

antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami

dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi antar

anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.

3. Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa

untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam

hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan

jasa dalam keluarga.

4. Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga

dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar

keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu

diperlukan.

5. Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau

cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku

yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Keluarga mempunyai berbagai fungsi peran yang menetukan kualitas

kehidupan baik kehidupan individu, keluarga, bahkan kehidupan sosial

(kemasyarakatan). Fungsi keluarga dapat dibagi menjadi fungsi ekspresif dan

instrumental. Fungsi ekspresif keluarga berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan

sosialisasi anak. Sementara itu, fungsi instrumental berkaitan dengan

manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga (Sunarti,

2004).

Salah satu teori yang digunakan dalam menjelaskan fungsi keluarga

adalah teori AGIL (Adaptation, Goal, Attainment, Integration, dan Latency).

7

Berdasarkan teori AGIL bahwa empat masalah fungsional utama dalam

keberlangsungan sistem yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan

pemeliharaan sistem yang berada pada tingkatan sistem kepribadian, sosial,

dan budaya. Keluarga sebagai unit sosial terkecil merupakan tulang punggung

pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut yang selanjutnya menentukan

keberlangsungan serta keseimbangan sistem sosial yang lebih luas (Sunarti

2001).

1. Fungsi Adaptasi. Fungsi ini mengacu pada perolehan sumberdaya atau

fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem dan kemudian

mendistribusikannya di dalam sistem. Adaptasi adalah suatu pilihan tindakan

yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial

ekonomi, serta ekologi dimana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan tindakan

yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan

sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi tekanan-tekanan

sosial ekonomi.

2. Fungsi pencapaian tujuan. Setiap keluarga mempunyai tujuan atau

rencana yang akan dicapai (output), dengan syarat adanya sumberdaya

keluarga (input) baik materi, energi, dan informasi. Dengan demikian keluarga

dapat mencapai tujuannya, dan dapat menjalankan menjalankan fungsi-fungsi

keluarga dengan menggunakan sumberdaya keluarga, maka perlu adanya

proses (throughput) yang harus ditempuh (Deacon & Firebaught 1988).

3. Fungsi integrasi. Fungsi ini mengacu pada pemeliharaan ikatan dan

solidaritas. Elemen tersebut digunakan untuk mengontrol, memelihara

subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem.

4. Fungsi pemeliharaan sistem. Fungsi ini mengacu kepada proses dimana

energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua

masalah saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah

atau ketegangan.

Teori Sistem (Ecological Framework)

Teori ini didasarkan pada konsep ekologi yang melihat bahwa manusia

adalah bagian dari sitem lingkungan dimana ia hidup dan tinggal. Teori ini

menekankan bahwa setiap sistem terdiri atas unsur-unsur. Unsur dalam sistem

bersifat saling terhubung satu sama lain dan saling mempengaruhi, dimana

perubahan pada satu elemen akan berpengaruh pada elemen lainnya di dalam

8

sistem yang sama. Sementara itu, sistem terdiri atas unsur input, proses dan

output. Lebih lanjut disebutkan bahwa input merupakan unsur yang terdiri dari

sumberdaya, nilai, tuntutan, tujuan, sedangkan proses terdiri atas perencanaan

dan pelaksanaan. Sementara itu output terdiri atas pencapaian tujuan,

kepuasaan, dan kesejahteraan (Deacon & Firebaught 1988). Bronfenbrenner

memberikan penekanan bahwa seorang anak adalah bagian yang akan

dipengaruhi secara langsung dan tidak langsung oleh sistem lingkungan mikro,

messo, exo, dan makro diseputar kehidupan anak.

Peran Ibu dalam Pengasuhan

Rutter (1984) dalam Karyadi (1985) mengemukakan bahwa supaya anak

dapat tumbuh dan berkembang dengan normal, dibutuhkan kualitas dan

kuantitas pengasuhan ibu. Ada beberapa ciri yang diperlukan untuk melakukan

pengasuhan ibu dengan cukup baik, diantaranya (1) hubungan kasih sayang, (2)

kelekatan atau keeratan hubungan, (3) hubungan yang tidak terputus (4)

interaksi yang memberikan rangsangan. Dari ciri-ciri tersebut kasih sayang

merupakan unsur yang penting dalam hubungan yang terjalin antara keluarga.

Hurlock (1999) mengatakan bahwa rasa aman, pemenuhan kebutuhan

fisik dan psikologis, kasih sayang, pola perilaku yang disetujui, bimbingan dan

bantuan dalam mempelajari berbagai kecakapan yang sangat dibutuhkan anak,

pertama diperoleh dari keluarga. Pengasuhan anak mencakup seluruh bentuk

interaksi antara orangtua dengan anak untuk perkembangan seluruh potensi

anak yaitu fisik, akal, mental, rohani, dan moral.

Menurut Myers (1992) pada kenyataanya pemberian pengasuhan

tergantung pada ketersediaan sumberdaya, pendidikan, pengetahuan, kondisi

kesehatan pengasuh, alokasi waktu, dukungan sosial dan sumberdaya ekonomi

yang dimiliki keluarga. Pada umumnya di negara-negara berkembang, pelaku

utama pengasuhan bagi bayi dan anak balita dalam rumah tangga adalah ibu.

Akan tetapi pada keluarga tipe extended family, nenek, bibi, ayah dan anggota

keluarga lainnya bahkan tetangga di sekitar keluarga tersebut pun membeikan

kontribusi dalam pengasuhan anak. Hasil penelitian Rogers dan Youssef (1988)

dalam Masithah (2002) menunjukan bahwa ibu memberikan alokasi waktu yang

lebih banyak dalam pengasuhan anak, selanjutnya adalah wanita lainnya dalam

keluarga tersebut misalnya nenek, bibi dan kakak perempuan. Praktek

pemberian pengasuhan yang sangat memadai sangat penting tidak hanya bagi

daya tahan anak tetapi juga untuk mengoptimalkan perkembangan fisik dan

9

mental anak serta baiknya kondisi kesehatan anak. Pengasuhan juga

memberikan kontribusi bagi kesejahteraan dan kebahagiaan serta kualitas hidup

yang baik bagi anak secara keseluruhan.

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalahi unit terkecil dalam masyarakat yang terikat oleh

hubungan perkawinan dan hubungan darah serta tinggal dalam satu rumah

dengan menjalankan fungsi dan peran tertentu untuk mencapai tujuan yang

sama (Guhardja, Hartoyo, Puspitawati, Hastuti 1992). Keluarga mempunyai

peran penting dalam pembentukan sumberdaya manusia. Hal ini karena tempat

pertama bagi manusia untuk berinteraksi dimulai dari keluarga. Oleh karena itu,

maka sudah selayaknya keluarga dijadikan tempat pendidikan pertama dan

utama bagi anak-anaknya.

Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari

ayah, ibu, dan anak. Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang

diberikan kepada anak. Makin besar jumlah anggota keluarga diduga semakin

sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak, karena harus berbagi dengan

anggota keluarga lainnya. Menurut Cahyaningsih (1999) diacu dalam Akmal

(2004), besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak.

Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh

anak dari orangtua. Menurut Sa’diyyah (1998) semakin besar keluarga maka

semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Jika jarak anak

pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun maka perhatian ibu terhadap

pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan

anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan khusus

(Sukarni 1994).

Usia Orangtua

Usia orangtua terutama ibu yang relatif masih muda, cenderung kurang

memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak. Umumnya

mereka mengasuh dan merawat anak berdasarkan pada pengalaman orangtua

terdahulu. Ibu yang masih muda cenderung untuk mendahulukan dan

memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga

kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih

10

berumur cenderung menerima perannya sepenuh hati sebagai ibu, sehingga

berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak. (Hurlock 1999).

Pendidikan orangtua

Hastuti (2007) mengemukakan bahwa pendidikan dapat membentuk

kematangan berfikir seseorang, baik pendidikan formal maupun non formal,

pegalaman berorganisasi, akses kepada buku dan media massa yang dapat

membentuk kematangan berfikir seseorang yang akan membentuk perilakunya

saat berinteraksi dengan anak. Tingkat pendidikan yang dicapai oleh orangtua

akan menentukan cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, serta

kepribadiannya. Rendahnya pendidikan orangtua menyebabkan orangtua tidak

dapat mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan dalam pengasuhan anak

(Engel et al. 1997).

Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2004) di Kabupaten Indramayu

memperlihatkan perbedaan cara pengasuhan yang diberikan keluarga nelayan

berpendidikan rendah dengan yang berpendidikan tinggi. Mereka yang

berpendidikan lebih tinggi memiliki alokasi waktu yang relatif lebih banyak

dengan anak dan berinteraksi lebih sering.

Pengeluaran Keluarga

Pengeluaran keluarga diasumsikan mampu menggambarkan kemampuan

ekonomi dari keluarga, sehingga tinggi rendahnya pengeluaran dapat memberi

petunjuk akan tingginya rendahnya ekonomi dari suatu keluarga (Anonim 1993).

Keadaan ekonomi adalah salah satu faktor penting yang akan berpengaruh pada

kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga. Dengan

keadaan ekonomi yang baik, sebuah keluarga tidak perlu lagi merasa

bermasalah dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Gunarsa & Gunarsa (1995)

menyatakan bahwa orangtua dengan pendapatan yang cukup tinggi mempunyai

waktu yang lebih banyak untuk memperhatikan dan membimbing perkembangan

anaknya. Sebaliknya keluarga dengan tingkat ekonomi rendah akan kurang

memperhatikan perkembangan anak, tidak ada pengahargaan dan pujian

terhadap perbuatan baik anak serta kurangnya pelatihan dan pemahaman nilai-

nilai moral.

11

Pekerjaan Orangtua

Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja diluar rumah,

melainkan hanya sebagai ibu rumahtangga. Menurut Satoto (1990), ibu rumah

tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis

memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak.

Karakteristik Anak

Umur

Menurut Hurlock (1999) umur anak akan mempengaruhi alokasi waktu ibu

untuk pengasuhan. Pada anak dibawah umur dua tahun perhatian dan kasih

sayang ibu lebih banyak tercurah kepada anak tersebut karena anak belum

mandiri dan masih sangat membutuhkan bantuan ibu sebagai pengasuh utama.

Anak dengan umur diatas dua tahun akan semakin mandiri dan mempunyai

jaringan sosial lebih luas sehingga ketergantungan dengan sosok pengasuh

utama yaitu ibu akan mulai berkurang.

Menurut Sa’diyyah (1998) bahwa umur anak berpengaruh negatif

terhadap jumlah waktu ibu untuk anaknya. Semakin besar umur anak semakin

sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk mereka. Keadaan ini dapat dimengerti

karena semakin besar anak, ketergantungan terhadap pengasuhnya akan

semakin berkurang. Anak yang lebih kecil memerlukan bimbingan dan

pengawasan yang lebih banyak dari pengasuhnya. Karena ibu sebagai

pengasuh utama, maka semakin muda usia anak semakin banyak waktu yang

dicurahkan ibu untuk anaknya.

Jenis Kelamin

Ada tiga alasan mengapa jenis kelamin individu penting bagi

perkembangan selama hidupnya. Pertama, setiap tahun anak-anak mengalami

peningkatan takanan budaya dari para orang tua, guru, kelompok sebaya

mereka dan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap dan

perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelamin mereka. Kedua,

pengalaman belajar ditentukan oleh jenis kelamin individu. Di rumah, di sekolah

dan di dalam kelompok bermain, anak-anak belajar apa yang dianggap pantas

untuk jenis kelamin mereka. Ketiga adalah sikap orang tua mereka dan anggota

keluarga penting lainnya terhadap individu sehubungan dengan jenis kelamin,

mereka seperti anak laki-laki lebih diharapkan daripada anak wanita (Hurlock

1999).

12

Beban Kerja Ibu

Konsep yang sudah umum dalam masyarakat Indonesia tradisional

menyatakan bahwa peran yang paling wajar bagi wanita adalah peran menjadi

ibu atau isteri di lingkungan rumah tangga dan apabila pada masa sekarang ini,

mereka bekerja di luar rumah tangga dan menghasilkan uang semata-mata itu

karena terpaksa akibat dari tekanan ekonomi (Mudzhar et al. 2001). Sajogyo

(1981) diacu dalam Rezeki (2006) mengungkapkan bahwa dalam keluarga dan

rumah tangga, wanita pada dasarnya seringkali berperan ganda. Hal ini

dicerminkan pertama-tama oleh perannya sebagai ibu rumah tangga yang

melakukan pekerjaan rumah tangga (memasak, mengasuh anak dan

sebagainya), suatu pekerjaan produktif yang tidak langsung menghasilkan

pendapatan, karena pekerjaan itu memungkinkan anggota keluarga lainnya

untuk mendapatkan penghasilan secara langsung. Lestari (1984) diacu dalam

Rezeki (2006) menyatakan hal yang serupa yaitu terdapat beberapa penelitian

mengenai keluarga inti yang pernah dilakukan bahwa dalam keluarga dan rumah

tangga wanita pada dasarnya sering berperan ganda. Hal ini dicerminkan

pertama oleh perannya sebagai ibu rumah tangga dan yang kedua adalah

sebagai pencari nafkah. Meskipun ada ibu yang berperan sebagai pekerja untuk

mencari tambahan penghasilan, seorang ibu tetap dituntut untuk menjadi ibu

rumah tangga yang baik di tengah keluarganya

Perbedaan pekerjaan rumah tangga (pekerjaan domestik) dan pekerjaan

di luar rumah tangga (pekerjaan produktif) tampak jelas dalam hal ekonomi.

Perbedannya yaitu pada pekerjaan rumah tangga tidak memiliki nilai ekonomi

bagi anggota keluarga sedangkan untuk pekerjaan di luar rumah tangga yaitu

sebaliknya (Guhardja et al. 1992). Mangkuprawira (1985) membagi waktu ibu

secara umum pada enam kegiatan yaitu:

1. waktu rumah tangga, semua waktu yang digunakan untuk kegiatan rumah

tangga yang tidak bernilai ekonomis seperti membersihkan rumah, mencuci,

memasak dan mengasuh anak

2. waktu mencari nafkah, yaitu semua waktu yang digunakan untuk menambah

penghasilan keluarga

3. waktu sosial, yaitu waktu yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial

seperti gotong royong, menjenguk orang sakit, mengunjungi tetangga,

mendatangi pengajian dan arisan

13

4. waktu pendidikan, yaitu semua waktu yang digunakan ibu untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan ibu

5. waktu pribadi, yaitu waktu yang digunakan untuk kepentingan pribadi seperti

makan, minum, sholat, membaca Al-Qur’an dan tidur

6. waktu luang, yaitu sisa dari waktu diatas.

Mangkuprawira (1985) melakukan penelitian dan mendapatkan hasil

bahwa rata-rata waktu ibu di pedesaan untuk rumah tangga sebesar 5,6 jam

perhari, mencari nafkah 2,3 jam perhari, sosial 1,3 jam perhari pendidikan

sebesar 0,2 jam per hari, waktu luang 4,6 jam per hari dan sisanya untuk

kegiatan pribadi.

Menurut Walker dan Woods (1976) yang diacu Guhardja et al. (1992)

mengemukakan bahwa aktivitas pekerjaan rumah tangga menurut jenisnya dapat

diklasifikasikan menjadi enam pekerjaan, yaitu:

1. Berbelanja bahan makanan dan memasak makanan maupun minuman

2. Menyiapkan makanan dan keperluannya termasuk mencuci peralatan makan

dan minum

3. Membersihkan dan memelihara rumah dan perlengkapannya termasuk

peralatan rumah tangga dan prasarana lainnya yang ada dalam rumah tangga

4. Mencuci pakaian dan perlengkapannya

5. Menyediakan air untuk mandi dan cuci anggota rumah tangga

6. Mengasuh dan merawat serta mendidik anak

Yulianis et al. (2003) membagi beban kerja menjadi dua, yaitu beban

kerja obyektif dan beban kerja subyektif. Dari hasil penelitian Yulianis et al.

(2003) di Kota Bogor bahwa ibu dari keluarga miskin memiliki beban kerja yang

tergolong sedang menurut persepsi ibu, karena memiliki tenaga yang membantu

baik dari anak, suami, saudara maupun ibu atau ibu mertua.

Dukungan Sosial

Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan pada

berbagai hal yang menyangkut kepentingan terutama dalam pemenuhan

kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan

atau pertolongan dari orang lain. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada

diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga (suami atau

isteri) saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang itu berada. Dukungan

sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya, juga

14

bagi keluarga dalam menjalani kehidupan perkawinaanya bagi pelaksanaan

pengasuhan anak.

Dukungan sosial diartikan sebagai pemberian dukungan emosional dan

informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau lingkungan sosial kepada

seseorang individu yang mengalami beberapa kesulitan atau masalah. Cutrona

(1996) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah pemenuhan kebutuhan dasar

oleh orang lain secara terus menerus untuk kesejahteraan. Kaplan et al. (1977)

dalam Cutrona (1996), mengartikan dukungan sosial sebagai pemenuhan

kebutuhan dasar seseorang oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004)

mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian,

penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai

individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan

mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula (Tati 2004).

Selain itu semakin baik dukungan sosial yang diberikan kepada ibu maka

cenderung semakin baik pengasuhan anak yang dilakukan. Demikian juga yang

dikemukakan oleh Sarafino (1996) dalam Tati (2004) bahwa adanya perhatian

yang baik dari keluarga atau tetangga serta kondisi lingkungan yang ramah,

secara emosional ibu mempunyai hubungan baik dengan tetangga dan keluarga,

saling berbagi pengalaman dalam pengasuhan anak, keadaan ini akan

meningkatkan kualitas pengasuhan anak mereka.

Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona

1996) dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari:

• Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan

perhatian. Menurut Witty et al. (1992) diacu dalam Conger et al. (1994),

individu dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya

pada seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial

merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga

menimbulkan rasa aman dan percaya.

• Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible

Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga

menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak.

• Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang lain,

percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan

tingkah laku orang lain.

15

• Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang

kenyataan, nasehat, penilaian terhadap situasi. Dukungan informasi

memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh

pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa

bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan

(Felton & Berry 1992 diacu dalam Conger et al.1994).

Alokasi Waktu Pengasuhan

Waktu merupakan sumberdaya selain sumberdaya manusia dan materi,

yang digunakan oleh keluarga untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Waktu

dapat dikelola sedemikian rupa sehingga dapat mencapai tujuan secara efektif

dan efisien (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo & Hastuti 1992).

Penelitian Sa’diyyah (1998) membagi alokasi waktu pengasuhan anak

menjadi lima kegiatan, antara lain: (1) memberi makan contoh, (2) keluar

bersama contoh, (3) bermain bersama contoh, (4) mengerjakan pekerjaan

rumah dengan contoh, (5) tidur bersama contoh. Hasil penelitian tersebut

ditemukan bahwa rata-rata alokasi waktu ibu untuk pengasuhan 12,63 jam per

hari atau sekitar 52,63 persen dari total waktu ibu dalam sehari. Sebagian besar

dari waktu pengasuhan sehari tersebut 5,09 jam dialokasikan untuk menidurkan

anak atau tidur bersama anak, selanjutnya 3,05 jam untuk mengerjakan rumah

sambil mengasuh anak, 2,23 jam menemani anak bermain, 1,2 jam keluar rumah

dengan anak, dan 1,06 jam adalah untuk memberi makan kepada anak.

Penelitian Meirita (2000) membagi alokasi waktu pengasuhan menjadi

empat kegiatan, antara lain (1) keluar rumah dengan contoh, (2) memberi makan

contoh, (3) memandikan contoh, (4) bermain contoh. Dari penelitian tersebut

ditemukan bahwa rata-rata alokasi waktu ibu untuk pengasuhan 5,7 jam per hari,

sebagian besar dari waktu pengasuhan sehari tersebut 2,59 jam dialokasikan

untuk bermain dengan contoh. Selanjutnya 1,39 jam untuk keluar rumah dengan

contoh, 1,2 jam memberi makan contoh, dan 0,48 jam adalah untuk memandikan

contoh.

Adapun penelitian Yulianis et al. (2003) membagi alokasi waktu

pengasuhan menjadi enam kegiatan, antara lain: (1) keluar rumah dengan

contoh, (2) mengerjakan pekerjaan rumah dengan contoh, (3) menidurkan

contoh, (4) memandikan contoh, (5) memberi makan contoh, (6) bermain dengan

contoh. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa rata-rata alokasi waktu ibu

untuk pengasuhan 4.66 jam per hari untuk ibu yang bekerja dan 6,24 jam untuk

16

ibu yang tidak bekerja. Sebagian besar dari waktu pengasuhan sehari tersebut

2,43 jam (ibu tidak bekerja) dan 1,53 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk

bermain dengan contoh. Selanjutnya 1,01 jam (ibu tidak bekerja) dan 0.89 jam

(ibu bekerja) dialokasikan untuk keluar memberi makan contoh, 1,12 jam (ibu

tidak bekerja) dan 0,54 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk tidur bersama,

contoh, 0,75 jam (ibu tidak bekerja) dan 0,67 jam (ibu bekerja) dialokasikan

memandikan contoh, 0,66 jam (ibu tidak bekerja) dan 0,71 jam (ibu bekerja)

dialokasikan untuk keluar rumah dengan contoh, 0,27 jam (ibu tidak bekerja) dan

0,32 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga

dengan contoh.

Navera dalam Mangkuprawira (1985) mengemukakan determinan waktu

ibu dipengaruhi oleh besar keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan orangtua,

kekayaan rumah tangga dan usia anak. Apabila pendapatan tidak memadai

bertambahnya anggota keluarga menyebabkan bertambah besar waktu ibu untuk

mencari nafkah, begitu juga semakin tinggi pendidikan orangtua mempunyai

kecenderungan untuk memanfaatkan ilmunya dalam pekerjaan di luar rumah.

Makin banyak aset rumah tangga makin efektif waktu ibu di rumah sehingga

berkesempatan untuk menggunakan waktu luangnya untuk bekerja. Makin kecil

usia anak makin banyak waktu ibu bersama anak karena anak belum mandiri

dan mempunyai ketergantungan dengan sosok ibu.