tinjauan pustaka cr anak.docx
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Reumatik Akut (DRA)
1. Definisi Demam Reumatik Akut
Demam rematik akut (DRA) merupakan penyakit reaksi autoimun
lambat terhadap Streptococcus grup A (SGA) Manifestasi klinis pada
penderita ditentukan oleh kerentanan genetik penderita, virulensi
organisme, dan lingkungan. Demam rematik menyebabkan terjadinya
peradangan yang biasanya terjadi pada jantung, kulit dan jaringan ikat.
Pada daerah endemik, 3% pasien yang mengalami faringitis oleh
Streptokokus berkembang menjadi demam rematik dalam 2 - 3 minggu
setelah infeksi saluran nafas bagian atas tersebut.14
Secara umum penyakit yang berhubungan dengan Streptococcus A
diperkirakan terdapat kurang dari 15 juta orang dengan RHD yang
lainnya 1,9 juta dengan riwayat DRA, tetapi tidak terdapat karditis.
470 kasus baru DRA setiap tahun dan lebih dari 230 ribu akibat RHD
per tahunnya. Kebanyakan kasus kematian terjadi di negara
berkembang. Tercatat kasus DRA dan RHD tertinggi di dunia
ditemukan di Australia, Pulau Maoris di New Zealand dan Pacific
Island nation. Prevalensi RHD tinggi pun ditemukan pada Afrika,
Amerika Latin, , Timur Tengah. Insidensi ARF yang tertinggi pada 5-
14 tahun. 5
2. Diagnosis
DRA memiliki tampilan klinis yang sangat bervariasi dan tidak
ada pemeriksaan yang spesifik, sedangkan penegakkan diagnosa
yang tepat sangat penting, bukan hanya untuk terapi tetapi
juga untuk pemberian profilaksis untuk pencegahan infeksi
berikutnya. Onset dari DRA biasanya disertai dengan demam akut 2-4
minggu setelah faringitis. Diagnosa utamanya klinis dan berdasarkan
temuan dari beberapa gejala yang mulanya ditetapkan di dalam
kriteria Jones.2,14
Diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan kriteria jones dan salah satu
kriteria mayor adalah karditis yang menunjukkan adanya keterlibatan
katup jantung dan dapat diperkirakan secara klinis dengan
terdapatnya murmur pada pemeriksaan auskultasi, namun
seringkali klinisi yang berpengalamanpun tidak mendengar
adanya murmur padahal sudah terdapat keterlibatan katup pada
pasien tersebut. Keterlibatan katup seperti ini dinamakan karditis/
valvulitis subklinis.Saat ini, diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan
Kriteria Jones.namun dalam praktek sehari- hari tidak mudah untuk
menerapkankan hal tersebut. 2,14
Untuk Diagnosa diperlukan : 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria. minor dan bukti infeksi oleh sterptokokus grup A.
Kecuali bila ada chorea atau karditis maka bukti infeksi sebelumnya
tidak diperlukan.1,14
Tabel 1. Kriteria Jones (revisi) untuk pedoman dalam diagnosis reumatik (1992)
Kriteria Mayor
1. Karditis terjadi pada 50% pasien yang merupakan manifestasi klinik
demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya
manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase
akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit
jantung rematik.
Tanda – tanda karditis berdasarkan adanya salah satu atau semua kriteria
dibawah ini :
a. takikardi
b. murmur jantung akibat valvulitis (disebabkan oleh regurgitasi mitral
atau regurgitasi aorta)
c. perikarditis (efusi perikardial, nyeri dada, perubahan EKG)
d. kardiomegali pada foto thorax merupakan indikasi perikarditis,
pankarditis, atau gagal jantung kongestif
e. tanda – tanda gagal jantung kongestif (kardiomegali) merupakan
indikasi karditis berat
2. Artritis, merupakan manifestasi demam rematik akut yang tersering,
terjadi pada 70% kasus, biasa melibatkan sendi yang besar. Ditandai
oleh adanya pembengkakan, kemerahan, nyeri, teraba panas, dan
keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam
rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah.
Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada
satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis
yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama;
sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain
mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu
sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu criteria mayor.
Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriteria mayor, poliartritis
harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan
kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO
atau antibodi anti Streptokokus lainnya yang tinggi.
3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak
bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral,
meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi
demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidakstabilan
emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau
setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea
Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian
penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam
rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan
manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda
dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea
mulai timbul.
4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada
demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat
di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi
yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum
juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di
daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak
pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara
atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh
yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika
ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus
yang berat.
Gambar 1. Eritema marginatum
5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang
berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta
kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa
nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan
beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak
akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.
Gambar 2. Nodul Subkutan
Kriteria Minor
1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah
satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis
yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat
demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah
diderita seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga
sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.
2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai
peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Artralgia tidak dapat
digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai
sebagai kriteria mayor.
3. Demam pada demam rematik biasanya ringan yaitu 38,80 C muncul di
awal mula dema rematik akut yang belum ditangani.
4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap
darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator
nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut
ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea
merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu
diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan
gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada
anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif.
Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada
semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah,
maka kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut dapat
dipertanyakan.
5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya
keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan
meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran
EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R
yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan
adanya karditis rematik.1,2,4
Dasar diagnosis
a. Highly probable (sangat mungkin)
2 mayor --atau 1 mayor + 2 minor
Disertai --bukti infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A
b. ASTO --↑ atau kultur positif Doubtful diagnosis (meragukan)
2 mayor
1 mayor + 2 minor1,5
Kriteria DR menurut WHO tahun 2002-2003 dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini
Tabel 2. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk diagnosis demam rematik dan penyakit jantung rematik (berdasarkan revisi kriteria Jones)
3. Tatalaksana
a. Tirah baring
Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan.1,5,14
Tabel 3. Panduan aktivitas pada DRA
b. Pemusnahan Streptokokus dan Pencegahan
Rekomendasi untuk pencegahan streptokok dari tonsil dan faring
sama dengan rekomendasi yang dianjurkan untuk pengobatan
faringitis streptokok, yaitu:
1. Benzantin penicillin G
Dosis 0,6-1,2 juta U i.m.
Juga berfungsi sebagai pencegahan dosis pertama
2. Jika alergi terhadap benzantin penisilin G
Eritromisin 40mg/kgbb/hari dibagi 2-4 dosis selama 10 hari
Alternatif lain: penisilin V 4 X 250 mg p.o. selama 10 hari1,5,14
c. Pengobatan Antinyeri dan Antiradang
Antiinflamasi asetosal diberikan pada karditis ringan sampai
sedang, sedangkan prednison hanya diberikan pada karditis berat.
1. Karditis minimal: tidak jelas ditemukan kardiomegali
2. Karditis sedang: kardiomegali ringan
3. Karditis berat: jelasterdapat kardiomegali disertai tanda gagal
jantung
Tabel 4. Panduan Obat Anti Inflamasi
Dosis:
a. Prednison : 2 mg/kgbb/haridibagi 4 dosis
b. Aspirin :100 mg/kgbb/hari, dibagi 4-6 dosis
c. Dosis prednison di tappering off pada minggu terakhir pemberian
dan mulai diberikan aspirin
d. Setelah minggu ke-2 dosis aspirin diturunkan menjadi 60
mg/kgbb/hari
Untuk arthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi
secara bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya perbaikan
gejala sendi dengan pemberian aspirin merupakan bukti yang mendukung
arthritis pada demam rematik akut. Pemberian prednisone (2 mg/kgBB
perhari dalam 4 dosis untuk 2 sampai 6 minggu) diindikasikan hanya pada
kasus karditis berat.
Penanganan gagal jantung kongestif meliputi istirahat total dengan posisi
setengah duduk (orthopneic) dan pemberian oksigen. Prednison untuk
karditis berat dengan onset akut. Digoksin digunakan dengan hati-hati,
dimulai dengan setengah dosis rekomendasi biasa, karena beberapa pasien
dengan karditis rematik sangat sensitif terhadap pemberian digitalis.
Furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 6 sampai 12 jam, jika terdapat
indikasi.
Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik
dan emosional. Terapi medikamentosa antara lain pemberian benzatin
penisilin G 1,2 juta unit, sebagai awalan eradikasi streptokokus dan juga
setiap 28 hari untuk pencegahan rekurensi, seperti pada pasien dengan
gejala rematik lainnya. Tanpa profilaksis sekitar 25% pasien dengan
khorea (tanpa adanya karditis) berkembang menjadi penyakit katup
jantung rematik pada follow-up 20 tahun berikutnya. Pada kasus yang
berat, obat-obatan berikut dapat diberikan: fenobarbital (15-30 mg setiap
6-8 jam), haloperidol (dimulai dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan
setiap 8 jam sampai 2 mg setiap 8 jam), asam valproat, klorpromazine,
diazepam, atau steroid.1,5,14
4. Pencegahan
Sesudah pengobatan DRA selama 10 hari dilanjutkan dengan
pencegahan sekunder. Cara pencegahan sekunder yang diajukan oleh
The American Heart Association dan WHO, yaitu mencegah infeksi
streptokokus.
a. Pencegahan primer
Penisilin oral untuk eradikasi Streptococcus beta hemolyticus
group A selama 10 hari atau benzathine penicillin G 0.6-1.2 juta
unit IM
b. Pencegahan sekunder
Benzantin penisilin G 600.000 U IM untuk berat badan<27 kg (60
pound), 1,2 juta U untuk berat badan >27 kg (60 pound) setiap 4
minggu/28 hari
Pilihan lain:
a. Penisilin V p.o. 125–250mg 2 kali sehari
b. Sulfadiazin 1 g p.o. sekali sehari
c. Eritromisin 250 mg p.o. 2 kali sehari Diberikan pada demam
reumatik akut, termasuk korea tanpa penyakit jantung reumatik.2,19
Lama pencegahan adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Lama Pencegahan
B. Penyakit Jantung Reumatik
1. Pengertian Penyakit Jantung Reumatik
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan
penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit
jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap
akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup
mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak
pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat
menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. 4
Setiap tahun kurang lebih didapatkan 300.000 kasus PJR baru. Angka
kejadian yang tinggi di negara berkembang berhubungan dengan sosial
ekonomi yang rendah, pelayanan kesehatan yang kurang memadai,
infeksi tenggorokan yang tidak diobati atau penanganan yang lambat,
lingkungan yang padat, industrialisasi dan urbanisasi.18
Terkenanya katup dan endokardium adalah manifestasi paling penting
dari demam rematik. Lesi pada katup berawal dari verrucae kecil yang
terdiri dari fibrin dan sel-sel darah di sepanjang perbatasan dari satu
atau lebih katup jantung. Katup mitral paling sering terkena,
selanjutnya diikuti oleh katup aorta; manifestasi ke jantung-kanan
jarang ditemukan. Sejalan dengan berkurangnya peradangan, verrucae
akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Dengan serangan
berulang dari demam rematik, verrucae baru terbentuk di bekas tempat
tumbuhnya verrucae sebelumnya dan endokardium mural dan korda
tendinea menjadi terkena.20
2. Patofisiologi
Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang
disebabkan Streptokokus beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun
terhadap infeksi Streptokokus secara hipotetif akan menyebabkan
kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, sebagai berikut :
(1) Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi pada faring
(2) antigen Streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi
pada hospes yang hiperimun
(3) antibodi akan bereaksi dengan antigen Streptokokus, dan dengan
jaringan hospes yang secara antigenik sama seperti Streptokokus
(dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan antara antigen
Streptokokus dengan antigen jaringan jantung)
(4) autoantibodi tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.21
Gambar 3. a) Gambaran anatomi jantung normal b dan c) Gambaran
ekokardiogram dengan penebalan dan regurgitasi katup mitral
Gambar 4. Patogenesis Penyakit Jantung Reumatik5
Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada
lapisan jantung khususnya mengenai endotel katup, yang
mengakibatkan pembengkakan katup dan erosi pinggir katup. Hal ini
mengakibatkan tidak sempurnanya katup mitral menutup pada saat
sistolik sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan
aliran darah balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini
mengakibatkan penurunan curah sekuncup ventrikel sehingga jantung
berkompensasi dengan dilatasi ventrikel kiri, peningkatan kontraksi
miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding atrium sehingga
terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah hal ini
mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-
paru mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi arteri
pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan
gagal jantung kanan.5
3. Pola Kelainan Katup
Katup yang sering terkena adalah katup mitral (65-70%) dan katup
aorta (25%).Katup trikuspid hanya terganggu pada 10% dan hampir
selalu berhubungan lesi pada katup mitral dan aorta.Sedangkan katup
pulmonal sangat jarang terlibat.Insufisiensi katup yang berat pada fase
akut dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian (pada 1%
penderita). Perlengketan pada jaringan penunjang katup akan
menghasilkan stenosis atau kombinasi antara stenosis dan insufisiensi
yang muncul dalam 2-10 tahun setelah episode DRAakut.
Perlengketan bisa terjadi pada tingkatan ujung bilah katup, bilah katup
dan chorda atau kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut.17,20
a. Regurgitasi mitral
Regurgitasi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang
biasanya meliputi kehilangan beberapa komponen katup dan
pemendekan serta penebalan korda tendineae. Selama demam
rematik akut dengan karditis berat, gagal jantung disebabkan oleh
kombinasi dari regurgitasi mitral yang berpasangan dengan
peradangan pada perikardium, miokardium, endokardium dan
epikardium. Oleh karena tingginya volume pengisian dan proses
peradangan, ventrikel kiri mengalami pembesaran. Atrium kiri
berdilatasi saat darah yang mengalami regurgitasi ke dalam atrium.
Peningkatan tekanan atrium kiri menyebabkan kongesti pulmonalis
dan gejala gagal jantung kiri.5
Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan
pada pasien dengan regurgitasi mitral yang keadaannya berat pada
saat onset. Lebih dari separuh pasien dengan regurgitasi mitral akut
tidak lagi mempunyai murmur mitral setelah 1 tahun. Pada pasien
dengan regurgitasi mitral kronik yang berat, tekanan arteri
pulmonalis meningkat, ventrikel kanan dan atrium membesar, dan
berkembang menjadi gagal jantung kanan. Regurgitasi mitral berat
dapat berakibat gagal jantung yang dicetuskan oleh proses rematik
yang progresif, onset dari fibrilasi atrium, atau endokarditis
infektif.5
b. Stenosis Mitral
Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya
fibrosis pada cincin mitral, adhesi komisura, dan kontraktur dari
katup, korda dan muskulus papilaris. Stenosis mitral yang signifikan
menyebabkan peningkatan tekanan dan pembesaran serta hipertrofi
atrium kiri, hipertensi vena pulmonalis, peningkatan rersistensi
vaskuler di paru, serta hipertensi pulmonal. Terjadi dilatasi serta
hipertrofi atrium dan ventrikel kanan yang kemudian diikuti gagal
jantung kanan.5
Penatalaksanaan lebih kepada profilaksis terhadap demam rematik
rekuren. Cardiac output perlu diperhatikan agar kerja jantung tidak
memberat. Terapi antikongestif seperti diuretik dan digoksin
diperlukan jika terdapat gagal jantung kongestif. Jika terdapat
fibrilasi atrium, digoksin diindikasikan untuk memperlambat respon
ventrikel.5
c. Regurgitasi aorta
Pada regurgitasi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis
katup aorta menyebabkan distorsi dan retraksi dari daun katup.
Regurgitasi dari darah menyebabkan volume overload dengan
dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi regurgitasi mitral
dengan regurgitasi aorta lebih sering terjadi daripada regurgitasi
aorta saja. Tekanan darah sistolik meningkat, sedangkan tekanan
diastolik semakin rendah. Pada regurgitasi aorta berat, jantung
membesar dengan apeks ventrikel kiri terangkat.Murmur timbul
segera bersamaan dengan bunyi jantung kedua dan berlanjut hingga
akhir diastolik. Murmur tipe ejeksi sistolik sering terdengar karena
adanya peningkatan stroke volume.5
d. Kelainan Katup Trikuspid
Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam
rematik akut. Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder
akibat dilatasi ventrikel kanan. Gejala klinis yang disebabkan oleh
insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena jugularis yang jelas
terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik yang
meningkat selama inspirasi.5
e. Kelainan Katup Pulmonal
Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan
merupakan temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat.
Murmur Graham Steell hampir sama dengan regurgitasi aorta, tetapi
tanda-tanda arteri perifer tidak ditemukan. Diagnosis pasti
dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta
Doppler.5
4. Penatalaksanaan Operatif
a. Mitral stenosis
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang
menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas
fungsional III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah (valvulotomi,
rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau penggantian
katup.4
b. Regurgitasi mitral
Indikasi untuk dilakukan tindakan operatif bila terjadi gagal jantung
kongestif sudah tidak bisa ditangani, kardiomegali progresif dengan
gejala, dan hipertensi pulmonal. Penentuan waktu yang tepat untuk
melakukan pembedahan katup pada penderita regurgitasi mitral masih
banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa
tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi
ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan
perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan
terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral
valve replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama
digunakan untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang
masih menginginkan kehamilan dan penderita dengan kontra indiksi
pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork
Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan
diperlukan antikoagulan untuk selamanya.19
c. Regurgitasi aorta
Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan,
kontra indikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita
dengan katup jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak
membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko
operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang
dengan arteri koroner normal. Sedangkan risiko operasi pada
penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada penderita
penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan
katup buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka
panjang.19
C. GAGAL JANTUNG KONGESTIF
a. Definisi
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis dimana jantung tidak
mampu memompa cukup darah ke seluruh tubuh, untuk
mengembalikan darah melalui vena tidak adekuat, maupun kombinasi
keduanya. 2
b.Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh penyakit jantung
kongenital maupun didapat dengan overload volume atau tekanan atau
dari insufisiensi miokard.
Penyakit jantung didapat dapat menyebabkan gagal jantung kongestif,
antara lain :
1. Abnormalitas metabolik (hipoksia berat dan asidosis) dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif pada bayi baru lahir.
2. Fibroelastosis endokardial menyebabkan gagal jantung kongestif
pada bayi.
3. Miokarditis viral sering terjadi pada anak lebih dari satu tahun.
4. Karditis rematik akut dapat menyebabkan gagal jantung kongestif
yang terjadi pada usia anak sekolah.
5. Penyakit katup jantung rematik berupa regurgitasi mitral atau
regurgitasi aorta menyebabkan gagal jantung kongestif pada anak
yang lebih tua dan dewasa.
6. Kardiomiopati dilatasi tipe idiopatik
7. Kardiomiopati yang berhubungan dengan distrofi muskular
8. Kardiomiopati doxorubicin18,20
c. Manifestasi Klinis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan hasil rontgen thoraks. Kardiomegali pada rontgen thoraks
merupakan tanda penting gagal jantung kongestif.
Keluhan nafas pendek, sesak nafas terkait dengan aktivitas, mudah lelah
serta kaki membengkak merupakan gejala yang sering dikeluhkan pada
anak – anak. Manifestasi tersering dari gagal jantung kiri adalah dispnea,
atau perasaan kehabisan napas. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan
compliance paru akibat edema dan kongesti paru dan oleh peningkatan
aktivitas reseptor regang otonom di dalam paru. Dispnea paling jelas
sewaktu aktivitas fisik (dyspneu d’effort). Dispnea juga jelas saat pasien
berbaring (ortopnea) karena meningkatnya jumlah darah vena yang kembali
ke toraks dari ekstremitas bawah dan karena pada posisi ini diafragma
terangkat. Dispnea nokturnal paroksismal adalah bentuk dispnea yang
dramatik, pada keadaan tersebut pasien terbangun dengan sesak napas hebat
mendadak disertai batuk dan sensasi tercekik.
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan takikardi, ritme gallop,
kardiomegali, gagal tumbuh, dingin, dan kulit basah sebagai respon
kompensasi ketidakmampuan fungsi jantung. Pada kongesti vena
pulmonalis dapat ditemukan takipneu, dispneu pada aktivitas dan ortopnea.
Pada kongesti vena sistemik dapat ditemukan hepatomegali, distensi vena
leher dan edema tungkai.
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu
dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:24,25
•Kriteria Mayor :
o Paroksismal nocturnal dispnu
o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis
o Refluks hepatojugular
• Kriteria minor :
o Edema ekstremitas
o Batuk malam hari
o Dispnea d’effort
o Hepatomegali
o Efusi pleura
o Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
o Takikardia (>120 x/menit)
Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association)
dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi. Pada NYHA derajat 1 tidak terdapat
batasan dalam melakukan aktivitas fisik, aktivitas fisik sehari-hari tidak
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak. Pada NYHA derajat II
terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas. Pada NYHA derajat III terdapat batasan aktivitas bermakna,
tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak. NYHA derajat IV adalah
apabila tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala
saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.
Tabel di bawah tersebut merupakan klasifikasi gagal jantung berdasarkan
NYHA dan AHA:2,23
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif terdiri dari :
1. Eliminasi penyakit yang mendasari
2. Eliminasi penyebab lain yang ikut menyebabkan gagal jantung
seperti infeksi, anemia, aritmia, demam
3. Kontrol gagal jantung dengan obat – obatan seperti inotropik,
diuretik, dan afterload reducing agents (vasodilator)
Pasien dengan gagal jantung kongestif baik diberikan diuretik seperti
furosemide sebelum pemberian digitalis. Furosemide merupakan diuretik
dengan aksi cepat yang menjadi obat pilihan pada gagal jantung kongestif,
dengan mekanisme utama di lengkung henle (loop diuretic). Digitalis
glikosida (digoksin) paling sering digunakan pada pasien anak. Digitalis
digunakan atas indikasi lemah jantung kongestif dan depresi nodus AV
dengan tujuan untuk mengontrol respon ventrikel terhadap takikardi
supraventrikular paroksimal, flutter atrial atau fibrilasi atrial. Vasodilator
yang digunakan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu vasodilator arteriolar
(hydralazine) dengan mekanisme primer pada arteriolar untuk
meningkatkan curah jantung sehingga terjadi penurunan afterload,
venodilator (nitrogliserin, isoborbit dinitrat) dengan mekanisme dilatasi
vena sistemik dan redistribusi darah dari pulmo ke sistemik, serta
vasodilator campuran termasuk ACEI (captopril) yang bekerja pada
arterioral dan vena. ACEI mengurangi resistensi vaskular sistemik dengan
menghambat pembentukan angiotensin II dan meningkatkan produksi
bradikinin. 11
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyusun diet penderita penyakit
jantung menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Energi sesuai dengan kebutuhan
Untuk kelainan jantung bawaan dibutuhkan 175 -180 kkal/kgBB/hr.
Bila masukan kalori kurang dari 120 kkal/kgBB sehari akan terjadi
defisiensi vitamin D, asam folat, vitamin B12, zat tembaga dan seng.
2. Protein 3-4 gr/kgBB yang diperlukan untuk pembentukan otot
jantung. Pada gagal jantung, protein yang dianjurkan 1-2 gr/kgBB
sehingga dapat meringankan beban ginjal.
3. Lemak sedang; Formula dengan persentase lemak tidak jenuh ganda
(polyunsaturated fat) atau zat besi dapat meningkatkan kebutuhan akan
vitamin E; vitamin E hendaknya diberikan diantara waktu makan bila
diperlukan.
4. Vitamin dan mineral cukup; natrium dan cairan dikurangi bila ada
sembab atau hipertensi. Formula yang dianjurkan adalah yang kadar
natriumnya 7-8 meq sehari dan susu dengan protein dengan susunan
whei/kasein: 60/40
5. Makanan yang mudah diserap, cukup mengandung serat sehingga
memudahkan buang air besar; bila perlu diberikan lewat pipa gastrik.
6. Rupa makanan menarik, rasa diperhatikan dan cara menyajikan
menarik dan suasana makan menyenangkan.14
Jenis Diet Dan Indikasi Pemberian
DIET JANTUNG
Indikasi : Diet jantung I diberikan bagi pasien dengan gagal jantung.
Dasar diet :
1. Karena fungsi jantung terganggu maka aliran darah ginjal juga
akan terganggu. Agar kadar ureum darah tidak meningkat maka
perlu diberikan protein yang rendah.
2. Sebagai akibat kegagalan jantung bisa menyebabkan timbulnya
oedema. Untuk mengurangi oedema, pemberian garam harus
dibatasi.
Tujuan Diet :
1. Mengurangi beban ginjal
2. Mengurangi atau mencegah retensi natrium
Syarat-syarat :
1. Cukup kalori (sesuai dengan kecukupan normal)
2. Karbohidrat sedang
3. Lemak rendah
4. Air dibatasi
5. Mineral + vitamin cukup ( Ca dibatasi)
6. konsumsi protein rendah 1-2g/kgBB
7. konsumsi natrium dibatasi 150-180 mg/hr pada bayi, 400 mg/hr
pada anak.
Bentuk makanan : Dihidangkan dalam bentuk makanan cair, mudah
dicerna.14
DIET JANTUNG II
Indikasi: Diet jantung II diberikan pada pasien dengan kemampuan kerja
jantung yang menurun, namun belum tampak adanya gejala kegagalan
jantung.
Dasar diet :
1. Walaupun fungsi jantung terganggu, pengaruh terhadap fungsi
ginjal belum tampak, sehingga dapat diberikan tinggi protein.
2. Untuk mencegah terjadinya oedem perlu diberikan diet rendah
garam.
Tujuan Diet :
1. Memberikan makanan secukupnya agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara normal
2. Mencegah terjadinya oedem
Syarat-syarat :
1. Tinggi kalori (175-180 kkal/BB/hr)
2. Tinggi protein (3-4 gr/kgBB/hr)
3. Cukup karbohidrat
4. Lemak, sedang
5. Garam dibatasi : Bayi 200-400mg/hr
6. Anak 600-800 mg/hr
7. Air dibatasi
8. Cukup vitamin dan mineral
Bentuk makanan : untuk bayi dalam bentuk makanan bayi. Untuk anak
bentuk makanan lunak atau biasa
Makanan yang tidak boleh diberikan :
1. Makanan yang diolah, diawetkan dengan garam dapur
2. Kecap, tauco,coklat
3. Minuman yang mengandung gas seperti air soda, coca cola, dan
sebagainya.14
DIET JANTUNG III
Indikasi : Diberikan bagi pasien tanpa gagal jantung dan kemampuan kerja
jantung tidak menurun, seperti pada demam reumatik dan penyakit jantung
rematik.
Dasar diet :
1. Pada penderita CHD atau RHD umumnya berstatus gizi kurang
karena pengangkutan zat-zat gizi ke jaringan tidak berjalan
sempurna, ditambah dengan adanya sekunder infeksi. Oleh karena
itu perlu diberikan makanan tinggi protein dan tinggi kalori.
2. Pemberian garam dapur tidak dibatasi, karena pada penderita ini
tidak dijumpai oedem.
Tujuan Diet :
1. Memberikan makanan secukupnya agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara normal tanpa memberatkan kerja jantung.
2. Menyiapkan penderita CHD dalam keadaan baik untuk tindakan
operasi.
Syarat-syarat :
- Tinggi kalori (175-180 kkal/BB/hr)
- Tinggi protein (3-4 gr/kgBB/hr)
- Karbohidrat sedang
- Lemak cukup
- Garam tanpa dibatasi (seperti pada makanan biasa)
- Air tanpa dibatasi
- Cukup vitamin dan mineral
Bentuk makanan : lunak atau makanan biasa.
Pada diet jantung III hampir semua makanan boleh diberikan, kecuali
makanan yang merangsang saluran cerna dan mengandung gas seperti
kol, lobak, sawi, durian, nangka, cabai, dan lada.
Evaluasi diperlukan untuk mencegah komplikasi metabolisme yang
timbul.. Evaluasi tersebut meliputi kebutuhan cairan, osmolaritas air
kemih, dan perkiraan solute ginjal.
1. Kebutuhan cairan pada bayi adalah 140-160 ml/KgBB dalam
keadaan normal. Pada bayi dengan kelainan jantung bawaan
restriksi cairan menjadi 110-120 ml/KgBB sehari.
2. Osmolaritas air kemih dipertahankan 400 mosm/L :
a. Bila terjadi gagal tumbuh dan konsentrasi air kemih di bawah 300
mosm/L, maka diperlukan formula densitas tinggi. (Biasanya
dipakai polycose atau minyak safflower bila tidak ada masalah
malabsorbsi atau minyak MCT dapat dipakai bila volume formula
memadai).
b. Bila terjadi gagal tumbuh dan konsentrasi air kemih 400 mosm/L,
maka diperlukan formula dengan beban solute yang lebih rendah.
c. Pada sembab, kenaikan BUN, diare, letargi, hiperamonemia, dan
atau asidosis metabolic, maka diperlukan formula densitas lebih
rendah.
d. Formula dengan konsentrasi kalori yang lebih tinggi hendaknya
tidak dibuat dengan cara menurunkan volume cairan, karena dapat
meningkatkan beban solut.
3. Perkiraan beban solut ginjal.
a. Untuk menilai beban solut ginjal, diperkirakan bahwa seluruh
protein yang dimakan diekskresi sebagai urea. Satu gram protein
menghasilkan 5,7 mosm urea. Nitrogen = gram protein dibagi 6,25.
Tiap molekul urea mengandung 2 atom nitrogen. Berat atom
nitrogen 14.
b. Semua natrium, kalium, dan klorida diperkirakan akan diekskresi.
Urea ditambah dengan ion-ion ini akan menghasilkan 75-80 %
beban solute ginjal pada bayi.
c. Kalsium, fosfor, dan mineral yang lain tidak diperhitungkan karena
diekskresi sedikit.14