tinjauan pustaka - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/6127/3/2012-1-48401-821309006-bab2... ·...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu Kedelai
Susu kedelai merupakan salah satu produk olahan kedelai yang diperoleh
dengan cara menggiling kedelai, yang dicampur air kemudian disaring dan
dipanaskan (Astawan, 2004). Susu kedelai merupakan salah satu minuman suplemen
(tambahan) yang dianjurkan diminum secara berkala atau teratur sesuai kebutuhan
tubuh. Sebagai minuman tambahan, artinya susu kedelai bukan merupakan obat,
tetapi bisa menjaga kondisi tubuh agar tetap fit sehingga tidak mudah terserang
penyakit (Amrin, 2003).
Susu kedelai sudah ada sejak abad ke-2 sebelum masehi dibuat di negeri Cina.
Dari sana kemudian berkembang ke Jepang dan setelah Perang Dunia ke-II masuk ke
negara-negara Asean. Di Indonesia, perkembangannya sampai saat ini masih
ketinggalan dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Phillipina. Di Malaysia
dan Phillipina sejak tahun 1952 telah dikembangkan susu kedelai dengan nama
dagang "Vitabean", yang telah diperkaya dengan vitamin dan mineral. Di Phillipina
juga dikenal susu kedelai yang populer dengan nama "Philsoy". Baru pada beberapa
tahun terakhir, di Indonesia dikenal susu kedelai dalam kemasan kotak karton
(tetrapack) yang diproduksi oleh beberapa industri minuman (Santoso, 2009).
2
2.2 Komposisi Susu Kedelai
Tabel 1. Daftar Analisis Zat Gizi dalam Susu Kedelai
Komponen Zat GiziSusu
KedelaiByyd (%) 100Energi (Kal) 57Energi (K J) 240Air (gram) 87,0Protein (gram) 3,5Lemak (gram) 2,5Karbohidrat (gram) 5,0Mineral (gram) 2,0Kalsium (mg) 50Fosfor (mg) 45Besi (mg) 0,7Akt. Retinol (mcg) 60Thiamine (mg) 0,08Asam Askorbat (mg) 2
*Nio, 1992
2.3 Manfaat Susu Kedelai
Komposisi susu kedelai hampir sama dengan susu sapi. Karena itu susu kedelai
dapat digunakan sebagai pengganti susu sapi. Susu ini baik dikonsumsi oleh mereka
yang alergi susu sapi, yaitu orang-orang yang tidak punya atau kurang enzim laktase
dalam saluran pencernaannya, sehingga tidak mampu mencerna laktosa dalam susu
sapi.
Keunggulan lain susu kedelai dibandingkan susu sapi adalah susu kedelai tidak
mengandung kolesterol sama sekali (Astawan, 2004). Susu kedelai tidak mengandung
vitamin B12
dan kandungan mineralnya terutama kalsium lebih sedikit ketimbang susu
3
sapi. Karena itu dianjurkan penambahan atau fortifikasi mineral dan vitamin pada
susu kedelai yang diproduksi oleh industri besar (Koswara, 2006).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa kedelai menyimpan potensi gizi yang
baik. Menurut Anderson, Blake, Turner & Smith dalam Kusumah (2008), kedelai
bermanfaat bagi penderita diabetes dengan komplikasi ginjal. Beberapa penelitian
juga membuktikan bahwa, pemberian ransum kedelai pada tikus bermanfaat untuk
menurunkan kadar gula darah.
AAK (2003) dalam Carolina (2006), menjelaskan bahwa salah satu terapi diet
untuk menanggulangi dan mencegah diabetes mellitus adalah dengan memanfaatkan
berbagai macam makanan fungsional salah satunya adalah susu kedelai. Sedangkan
menurut Wijayakusuma (2003) dalam Carolina (2006), dengan mengkonsumsi susu
kedelai atau olahannya secara intensif, pancreatic island dapat membesar sehingga
produk insulin pun akan bertambah.
Suriawiria (2002) dalam Carolina (2006), juga menjelaskan bahwa pada susu
kedelai juga mengandung senyawa yang disebut lesitin, yang mempunyai fungsi
sangat baik di dalam tubuh, terutama untuk keseimbangan metabolisme. Bahkan
lesitin mempunyai peran yang baik dalam pengendalian kandungan glukosa darah
dan kolesterol darah. Lesitin juga sebagai antioksidan yang mampu untuk menjaga
sel-sel pada pankreas untuk tidak mengalami kerusakan akibat oksidasi, serta mampu
meregenerasi sel-sel yang rusak dengan cepat sehingga ketika pankreas diberi
tambahan lesitin maka sel-sel pankreas akan berfungsi dengan baik kembali serta
dengan bantuan lesitin pula insulin mampu diproduksi kembali secara maksimal.
4
Susu kedelai juga sangat baik dikonsumsi oleh ibu-ibu yang sedang hamil dan
menyusui. Bila ibu-ibu menyusui meminum susu kedelai segar secara teratur, maka
kulit bayinya kelak bisa putih, bersih dan mulus. Demikian juga, bagi ibu menyusui,
kandungan protein pada air susu ibu (ASI) akan semakin meningkat (Amrin, 2003).
2.4 Pembuatan Susu Kedelai
Susu kedelai cair dapat dibuat dengan menggunakan teknologi dan peralatan
sederhana yang tidak memerlukan ketrampilan tinggi, maupun dengan teknologi
moderen dalam pabrik. Metode sederhana dapat digunakan untuk skala yang lebih
kecil dan peralatan yang lebih sederhana. Cocok bagi skala rumah tangga dan industri
kecil (Santoso, 2009).
Menurut Dalimartha (2000) cara pembuatan susu kedelai adalah pertama
memilih biji kedelai yang berkulit kuning mulus, matanya terang, dan berukuran
cukup besar. Kedelai kemudian disortir, biji yang cacat oleh gigitan hama atau memar
dan pecah-pecah disingkirkan. Rendam kedelai dalam 1 liter air bersih. Tambahkan
soda kue 0,5% sebanyak 2 sendok teh peres. Perendaman dilakukan selama 10-12
jam, lalu ditiriskan. Untuk menghilangkan bau langu, kedelai ini direbus dengan air
bersih sampai mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, kulit ari dikupas lalu
dibersihkan dengan air mengalir. Kedelai yang sudah bersih ini lalu digiling atau
diblender dengan menambahkan sedikit air panas. Bubur kedelai hasil penggilingan
atau blender ditambah air sampai menjadi 1 liter, kemudian direbus kembali sambil
diaduk-aduk sampai mendidih selama 10-15 menit. Sewaktu hangat-hangat kuku,
bubur kedelai ini lalu disaring dan diperas dengan sepotong kain kasa bersih untuk
mendapatkan susu kedelai. Tambahkan sedikit garam supaya rasanya lebih sempurna,
5
lalu dipanaskan kembali sampai mendidih. Setelah dingin, susu kedelai ini siap untuk
diminum. Susu kedelai ini dapat diminum sebanyak 2-3 gelas ukuran 200 cc per hari.
2.5 Karbohidrat
2.5.1 Pengertian Karbohidrat
Karbohidrat adalah salah satu kandungan gizi penting bagi tubuh yang
terkandung dalam susu kedelai dan olahan kedelai lainnya. Karbohidrat merupakan
senyawa karbon yang banyak dijumpai di alam, terutama sebagai penyusun utama
jaringan tumbuh-tumbuhan. Nama lain karbohidrat adalah sakarida (berasal dari
bahasa latin saccharum = gula) (Yazid dan Nursanti, 2006).
Karbohidrat adalah kelompok senyawa yang mengandung unsur C, H dan O.
Senyawa-senyawa karbohidrat memiliki sifat pereduksi karena adanya gugus karbonil
dalam bentuk aldehid dan keton. Senyawa ini juga memiliki banyak gugus hidroksil.
Karena itu, karbohidrat merupakan suatu polihidroksi aldehid atau polihidroksi keton,
atau turunan senyawa-senyawa tersebut (Ngili, 2010).
Karbohidrat ini sangat diperlukan oleh tubuh manusia, hewan dan tumbuhan di
samping lemak dan protein. Senyawa ini dalam jaringan merupakan cadangan
makanan atau energi yang disimpan dalam sel. Sebagian besar karbohidrat yang
ditemukan di alam terdapat sebagai polisakarida dengan berat molekul tinggi.
Beberapa polisakarida berfungsi sebagai bentuk penyimpan bagi monosakarida,
sedangkan yang lain sebagai penyusun struktur di dalam dinding sel dan jaringan
pengikat (Yazid dan Nursanti, 2006).
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk
dunia, khususnya bagi penduduk negara yang sedang berkembang. Walaupun jumlah
6
kalori yang dapat dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat hanya 4 Kalori (kkal) bila
dibanding protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah.
Selain itu beberapa golongan karbohidrat menghasilkan serat-serat (dietary fiber)
yang berguna bagi pencernaan (Winarno, 1997).
Pada tumbuhan, karbohidrat disintesis dari CO2 dan H2O melalui proses
fotosintesis dalam sel berklorofil dengan bantuan sinar matahari. Karbohidrat yang
dihasilkan merupakan cadangan makanan yang disimpan dalam akar, batang, dan biji
sebagai pati (amilum). Karbohidrat dalam tubuh manusia dan hewan dibentuk dari
beberapa asam amino, gliserol lemak, dan sebagian besar diperoleh dari makanan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat dalam sel tubuh disimpan dalam
hati dan jaringan otot dalam bentuk glikogen (Yazid dan Nursanti, 2006).
Reaksi fotosintesis pembentukan karbohidrat :
CO2 + H2O Sinar Matahari [C6H12O6]n + O2
Penyerapan sinar matahari dilaksanakan oleh kloroplas daun yaitu pada lapisan-
lapisan yang disebut thylakoid. Energi sinar matahari akan menaikkan tingkat (level)
energi elektron klorofil dalam thylakoid, dan membebaskan beberapa elektron yang
kemudian akan ditangkap oleh akseptor elektron dalam suatu reaksi oksidasi. Dalam
reaksi tersebut pada prinsipnya terjadi oksidasi H2O dengan membebaskan O2 dan
membentuk ko-enzim tereduksi, misalnya FADH2 dan NADH + H+. Selanjutnya
terjadi reduksi CO2 yang membentuk rantai CO2 teroksigenasi yang dapat
menghasilkan karbohidrat, asam amino, lipida, serta asam-asam hidroksil. Bila
kloroplas daun dianalisis akan didapat sejumlah sukrosa, pati, enzim, dan gula fosfat.
Adanya komponen-komponen tersebut mengakibatkan kloroplas dapat mensintesis
7
beberapa senyawa lain misalnya pektin, selulosa, hemiselusosa, pati, pentosan, dan
sebagainya.
Cara yang lebih mudah dan murah untuk mendapatkan karbohidrat adalah
dengan mengekstraknya dari bahan-bahan nabati sumber karbohidrat yaitu serealia,
umbi-umbian, dan batang tanaman misalnya sagu (Winarno, 1997).
2.5.2 Golongan Karbohidrat
Berbagai golongan karbohidrat dapat dihubungkan satu sama lain dengan
hidrolisa. Gula sederhana, atau monosakarida, adalah polihidroksi aldehid dan keton
yang tidak dapat dihidrolisa menjadi bagian karbohidrat yang lebih kecil.
Monosakarida, dengan demikian, adalah monomer, dasar bangunan untuk semua
bentuk karbohidrat yang lain. Suatu struktur yang terdiri dari dua monosakarida
terikat satu sama lain disebut disakarida. Struktur yang mengandung tiga
monosakarida terikat satu sama lain disebut trisakarida (Fessenden dan Fessenden,
1997).
Dalam disakarida, terdapat satu ikatan glikosida yang menghubungkan dua
monosakarida. Sedangkan dalam trisakarida terdapat dua ikatan glikosida yang
menghubungkan tiga buah monosakarida. Karbohidrat yang memiliki beberapa unit
monosakarida disebut oligosakarida, sedangkan yang memiliki banyak unit
monosakarida disebut sebagai polisakarida (Ngili, 2010). Tidak ada garis batasan
yang jelas yang membagi antara oligosakarida dan polisakarida karena sifat-sifat dari
oligosakarida yang lebih tinggi bergabung dengan polisakarida yang lebih rendah.
Berikut adalah bagan golongan karbohidrat (Fessenden dan Fessenden, 1997).
8
Polisakarida(> 10 unit sakarida)
H2O
Oligosakarida(2-10 unit sakarida)
H2O
Monosakarida(satu unit sakarida)
H2O
Tidak ada perpecahan hidrolitik
Gambar 1. Bagan Golongan Karbohidrat
Banyak monosakarida maupun oligosakarida memiliki rasa manis, karena itu
karbohidrat yang massa molekul relativ (Mr)-nya kecil sering disebut sebagai gula
(Ngili, 2010).
2.5.2.1 Monosakarida
Karbohidrat ini, umumnya dirujuk sebagai gula yang mengandung 3 sampai 9
atom karbon. Kebanyakan monosakarida yang umum di alam mempunyai 5 karbon
(pentosa, C5H10O5) atau 6 atom karbon (heksosa, C6H12O5). Sebagai contoh, glukosa,
suatu gula yang mengandung 6 atom karbon merupakan monosakarida yang paling
umum yang dimetabolisme di dalam tubuh untuk menyediakan energi; dan fruktosa
(yang juga heksosa) terdapat dalam beberapa buah (Sarker dan Nahar, 2009).
Terdapat dua jenis monosakarida, yakni aldosa dan ketosa. Aldosa mengandung
gugus aldehid, sedangkan ketosa mengandung gugus keton. Selain itu, monosakarida
Karbohidrat
9
juga dapat dikelompokkan menurut jumlah atom karbon yang dimilikinya (Ngili,
2010).
Tergantung pada banyaknya atom karbon yang ada, monosakarida
dikelompokkan sebagai triosa, tetraosa, pentosa, atau heksosa, yang mengandung 3,
4, 5, atau 6 atom karbon. Monosakarida dikelompokkan secara lebih teliti dengan
menyatakan gugus fungsional dan banyaknya atom karbon. Sebagai contoh, glukosa
dapat dikelompokkan sebagai aldoheksosa, karena mengandung 6 atom karbon dan
juga mengandung gugus aldehid (Sarker dan Nahar, 2009).
Gliseraldehid merupakan aldosa yang paling sederhana. Gliseraldehid memiliki
sifat pereduksi karena merupakan suatu aldehid. Aldosa sederhana diturunkan dari
gliseraldehid, yakni dengan memasukkan atom karbon kiral terhidroksilasi (CHOH)
diantara karbon C-1 dan C-2 pada molekul gliseraldehid. Sedangkan ketosa sederhana
diturunkan dari dihidroksiaseton, yang merupakan suatu isomer dari gliseraldehid.
Monosakarida dalam bentuk lingkar memiliki karbon pereduksi yang disebut
karbon anomerik. Gugus hidroksil pada karbon anomerik jauh lebih reaktif daripada
alkohol primer atau sekunder biasa. Reaktivitas ini dipengaruhi tarikan electron oleh
atom oksigen pada cincin (Ngili, 2010).
2.5.2.2 Disakarida
Disakarida mengandung ikatan asetal glikosidik antara atom anomerik satu gula
dan gugus –OH pada posisi di mana pun dalam gula yang lain. Ikatan glikosidik
antara C-1 gula pertama dan gugus –OH pada C-4 gula kedua merupakan ikatan yang
sangat umum. Ikatan semacam ini disebut dengan hubungan 1-4’, sebagai contoh
10
adalah maltosa, yang mana 2 molekul glukosa dihubungkan antara C-1 dan C-4
melalui oksigen. Suatu ikatan glikosidik pada karbon anomerik dapat berupa α atau β.
Disakarida yang paling umum terjadi secara alami adalah sukrosa (gula tebu).
Sukrosa diturunkan dari tanaman dan secara komersial disiapkan dari gula tebu dan
gula bit, sementara laktosa ditemukan dalam susu binatang. Disakarida lain yang
umum diperoleh dari pemecahan polisakarida, seperti maltosa (diperoleh dari
amilum) dan selobiosa (diperoleh dari selulosa) (Sarker dan Nahar, 2009).
Maltosa adalah gula pereduksi. Meskipun merupakan glikosida, unit glukosa
kedua memiliki atom karbon anomerik dan cincinnya bisa membuka untuk
membentuk aldehid. Sukrosa tidak memiliki sifat pereduksi. Sukrosa atau gula tebu
adalah disakarida dengan hidroksil anomerik dari α-D-glukosa dikondensasikan
dengan hidroksil anomerik β-D-fruktosa. Karena itu keduanya adalah α-glukosida dan
β-fruktosida. Tidak ada unit yang memiliki hidroksil anomerik dan tidak ada cincin
yang dapat terbuka untuk membentuk aldehid (Ngili, 2010).
2.5.2.3 Polisakarida
Sejumlah unit monosakarida bergabung secara bersama-sama untuk membentuk
polisakarida seperti amilum, selulosa, dan inulin. Amilum dan selulosa merupakan 2
polisakarida yang paling penting dari sudut pandang biologis dan ekonomi (Sarker
dan Nahar, 2009).
Polisakarida memiliki fungsi utama sebagai pembentuk struktur atau untuk
penyimpanan energi. Tepung dan glikogen merupakan polimer glukosa yang
berfungsi sebagai penyimpan gula di dalam tumbuhan dan hewan. Polimer glukosa
lainnya adalah selulosa, yang merupakan bahan utama pembentuk dinding sel pada
11
tanaman. Selain selulosa, tumbuhan juga mengandung pectin dan hemiselulosa
(Ngili, 2010).
1.5.3 Sifat-sifat Karbohidrat
2.5.3.1 Sifat Umum Karbohidrat
1. Senyawa karbohidrat dari tingkat yang lebih tinggi dapat diubah menjadi
tingkat yang lebih rendah dengan cara menghidrolisa.
2. Gugus hemiasetal (keton maupun aldehid) mempunyai sifat pereduksi.
3. Gugus-gugus hidroksil pada karbohidrat juga bertabiat serupa dengan yang
terdapat pada gugus alkohol lain.
(Anonim, 2011)
1.5.3.2 Sifat Golongan Karbohidrat
Amilum dengan air dingin akan membentuk suspensi dan bila dipanaskan akan
terbentuk pembesaran berupa pasta dan bila didinginkan akan membentuk koloid
yang kental semacam gel. Suspensi amilum akan memberikan warna biru dengan
larutan iodium. Hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasikan adanya amilum
dalam suatu bahan. Hidrolisis sempurna amilum oleh asam atau enzim akan
menghasilkan glukosa.
Semua jenis karbohidrat, baik monosakarida, disakarida, maupun polisakarida,
akan berwarna merah-ungu bila larutannya dicampur beberapa tetes larutan α-naftol
dalam alkohol dan ditambahkan asam sulfat pekat, sehingga tidak bercampur. Warna
ungu akan nampak pada bidang batas antara kedua cairan. Sifat ini dipakai sebagai
dasar uji kualitatif adanya karbohidrat dalam suatu bahan dan dikenal dengan uji
Molisch.
12
Monosakarida dan disakarida memiliki rasa manis, sehingga sering disebut
gula. Rasa manis dari gula disebabakan oleh gugus hidroksilnya. Kebanyakan
monosakarida dan disakarida, kecuali sukrosa, adalah gula pereduksi. Sifat mereduksi
disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekulnya. Larutan
gula bereaksi positif dengan pereaksi Fehling, pereaksi Tollens, maupun pereaksi
Benedict. Sebaliknya, kebanyakan polisakarida adalah gula nonpereduksi (Yazid dan
Nursanti, 2006).
2.6 Analisis Karbohidrat dalam Makanan/Minuman
Berdasarkan sifat-sifat karbohidrat dan reaksi-reaksi kimia yang spesifik,
maka karbohidrat dapat dianalisis secara kualitatif (untuk mengetahui keberadaan
karbohidrat) dan secara kuantitatif (untuk mengetahui kadar karbohidrat).
Dalam penelitian ini uji pertama yang dilakukan adalah menganalisis
kualitatif karbohidrat pada susu kedelai dengan metode uji pendahuluan
menggunakan pereaksi Molisch dan uji keberadaan gula pereduksi (uji oksidasi gula)
menggunakan pereaksi Tollens. Sedangkan analisis kuantitatifnya ialah dengan
menggunakan metode Luff-Schoorl. Metode Luff-Schoorl ini digunakan karena
didasarkan pada SNI 01-2891-1992 dalam Manikharda (2011), yang menjelaskan
bahwa metode analisis untuk total karbohidrat menggunakan metode Luff-Schoorl.
2.6.1 Analisis Kualitatif
2.6.1.1 Uji Pendahuluan dengan Pereaksi Molisch
Karbohidrat oleh asam anorganik pekat akan dihidrolisis menjadi
monosakarida. Dehidrasi monosakarida jenis pentosa oleh asam sulfat pekat menjadi
13
furfural dan golongan heksosa menghasilkan hidroksi-metilfurfural (Yazid dan
Nursanti, 2006).
Karbohidrat dengan zat tertentu akan menghasilkan warna tertentu yang dapat
digunakan untuk analisis kualitatif. Bila karbohidrat direaksikan dengan larutan naftol
dalam alkohol, kemudian ditambahkan H2SO4 pekat secara hati-hati, pada batas
cairan akan terbentuk furfural yang berwarna ungu. Reaksi ini disebut reaksi molisch
dan merupakan reaksi umum bagi karbohidrat (Winarno, 1991). Berikut adalah reaksi
karbohidrat dengan pereaksi molisch (Yazid dan Nursanti, 2006).
CHO
HCOH
HCOH + H2SO4 -C-H + Cincin Ungu
HCOH OH
CH2OH
(pentosa) (furfural) (α-naftol)
Gambar 2. Reaksi Karbohidrat (pentosa) dengan Pereaksi Molisch
14
CHO
HCOH
HCOH + H2SO4 -C-H + Cincin Ungu
HCOH H2C OH
HCOH OH
CH2OH
(heksosa) (5-hidroksimetilfurfural) (α-naftol)
Gambar 3. Reaksi Karbohidrat (heksosa) dengan Pereaksi Molisch
2.6.1.2 Uji Keberadaan Gula Pereduksi (Uji Oksidasi Gula) dengan Pereaksi
Tollens
Uji tollens digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui ada tidaknya gula
pereduksi dalam sampel yang mengandung karbohidrat. Pereaksi tollens sering juga
disebut perak amoniakal yang merupakan campuran AgNO3 dan amonia yang
berlebihan (Fessenden, 1986 dalam Aryanti, dkk 2010). Pereaksi tollens digunakan
untuk membuktikan adanya gugus aldehid bersifat reduktor. Kandungan tollens A
terdiri dari AgNO3 dan tollens B terdiri dari NH3 berlebih, sehingga jika dicampurkan
endapan menjadi larut (Aryanti, dkk 2010).
Tes dengan pereaksi tollens didasarkan pada mudahnya gugus aldehid
dioksidasi menjadi asam karboksilat. Menurut Ridwan (1989), jika suatu senyawa
aldehid ditambahkan pada pereaksi tollens yang kemudian dipanaskan, maka
senyawa aldehid akan teroksidasi menjadi asam karboksilat yang segera membentuk
15
garam amonia. Sedangkan pereaksi tollens akan tereduksi sehingga dibebaskan logam
perak yang segera melekat pada dinding tabung reaksi.
Reaksi reduksi oksidasi yang terjadi pada senyawa aldehid dengan pereaksi
tollens adalah (Anonim, 1984):
R-COH + 2 Ag(NH3)2OH 2 Ag (s) + R-COO-NH4+ + H2O + 3 NH3
2.6.2 Analisis Kuantitatif
Sebagian besar karbohidrat, teutama golongan monosakarida dan disakarida,
mempunyai sifat mereduksi. Contohnya: glukosa, fruktosa, galaktosa, laktosa dan
maltosa. Sifat mereduksi dari karbohidrat disebabkan oleh adanya gugus aldehida
atau gugus keton bebas atau karena mempunyai gugus hidroksil (-OH) bebas yang
reaktif. Pada molekul glukosa (aldosa), gugus pereduksi terletak pada atom C nomor
1, sedangkan pada fruktosa (ketosa) terletak pada atom C nomor 2.
Molekul sukrosa (disakarida) dan polisakarida (amilum, glikogen, dekstrin, dan
selulosa) tidak mempunyai sifat mereduksi karena keduanya tidak mempunyai gugus
pereduksi. Gugus-gugus sudah saling terikat, sehingga sifat mereduksinya hilang.
Sifat sebagai reduktor atau kemampuan mereduksi dari karbohidrat akan mengubah
ion-ion logam, misalnya ion Cu2+ dari bahan pereduksi menjadi ion Cu+ yang
mengendap sebagai Cu2O berwarna merah bata (Yazid dan Nursanti, 2006).
2.6.2.1 Gula Pereduksi
Menurut Apriyanto (1989) dalam Sari dkk (2011), gula pereduksi yaitu
monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa dapat ditunjukkan dengan pereaksi
Fehling atau Benedict menghasilkan endapan merah bata (Cu2O). Selain
16
pereaksi Benedict dan Fehling, gula pereduksi juga bereaksi positif dengan
pereaksi Tollens.
Penentuan gula pereduksi selama ini dilakukan dengan metode pengukuran
konvensional seperti metode Osmometri, Polarimetri, dan Refraktrometri maupun
berdasarkan reaksi gugus fungsional dari senyawa sakarida tersebut (seperti metode
Luff-Schoorl, Seliwanoff, Nelson-Somogyi dan lain-lain). Hasil analisisnya adalah
kadar gula pereduksi total dan tidak dapat menentukan gula pereduksi secara
individual. Untuk menganalisis kadar masing-masing dari gula pereduksi penyusun
madu dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT). Metode ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat
digunakan pada senyawa dengan bobot molekul besar dan dapat dipakai untuk
senyawa yang tidak tahan panas (Swantara, 1995 dalam Sari dkk, 2011).
2.6.2.2 Definisi Total Karbohidrat
Total karbohidrat menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2005) dalam
Manikharda (2011), meliputi gula, pati, serat pangan dan komponen karbohidrat lain.
Total karbohidrat dalam pengukuran karbohidrat dengan metode langsung dinyatakan
dalam bentuk persen yang setara dengan glukosa. Satuan glukosa (glucose
equivalent) juga dapat diganti dengan larutan gula lain yang dijadikan sebagai larutan
standar.
2.6.2.3 Analisis Total Karbohidrat dengan Metode Luff-Schoorl
Uji karbohidrat yang resmi ditetapkan oleh BSN dalam SNI 01-2891-1992 dalam
Manikharda (2011), yaitu analisis total karbohidrat dengan menggunakan metode Luff
Schoorl. Pada tahun 1936 International Commission for Uniform Methods of Sugar
17
Analysis mempertimbangkan metode Luff-Schoorl sebagai salah satu metode yang
resmi dapat digunakan untuk menstandarkan analisis gula pereduksi karena metode
Luff-Schoorl saat itu menjadi metode yang resmi dipakai di pulau Jawa, disamping
nominator lainnya yaitu metode Lane-Eynon. Tetapi pada saat itu metode kolorimetri
belum banyak berkembang dan dalam catatan komisi itu terdapat agenda untuk
melakukan penyeragaman analisis gula dengan metode kolorimetri.
Sebelum menetapkan kadar karbohidrat pada sampel (dianggap sebagai gula
pereduksi), maka terlebih dahulu dilakukan preparasi sampel. Mula-mula sampel
dalam bentuk cair dibuat basa dengan penambahan CaCO3 agar asam-asam yang
terdapat dalam sampel tidak menghidrolisa gula yang ada selama pemanasan.
Pemanasan sampel diperlukan untuk menginaktivasi enzim-enzim penghidrolisa gula.
Untuk menghilangkan pigmen, senyawa berwarna dan senyawa koloid maka kedalam
sampel ditambahkan Pb-asetat basa. Kelebihan Pb-asetat dihilangkan dengan
penambahan Na/K-oksalat.
Jika sampel berbentuk padat maka perlu dilakukan ekstraksi dengan
menggunakan alkohol 80 % untuk mengekstrak gula yang ada dalam sampel.
Kebanyakan gula sensitif terhadap alkohol dengan konsentrasi tinggi, oleh karena itu
alkohol perlu dihilangkan dengan pemanasan rendah (Guhardja, 1989).
Menurut SNI 01-2891-1992 dalam Manikharda (2011), prinsip analisis
karbohidrat dengan metode Luff-Schoorl yaitu reduksi Cu2+ menjadi Cu1+ oleh
monosakarida.
Pada penentuan gula cara Luff-Schoorl, yang ditentukan bukannya kuprooksida
yang mengendap tetapi dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum
18
direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan
sampel gula reduksi (titrasi sampel). Penentuannya dengan titrasi menggunakan Na-
tiosulfat. Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan kuprooksida
yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada dalam
bahan/larutan.
Reaksi yang terjadi selama penentuan karbohidrat cara ini mula-mula
kuprioksida yang ada didalam reagen akan membebaskan iod dari garam K-iodida.
Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan banyaknya kuprioksida.
Banyaknya iod dapat diketahui dengan titrasi menggunakan Na-tiosulfat. Untuk
mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka diperlukan indikator amilum. Apabila
larutan berubah warna dari biru menjadi putih, berarti titrasi sudah selesai. Agar
supaya perubahan warna biru menjadi putih dapat tepat maka penambahan amilum
diberikan pada saat titrasi hampir selesai. Setelah diketahui selisih banyaknya titrasi
blanko dan titrasi sampel kemudian dikonsultasikan dengan tabel yang sudah tersedia
yang menggambarkan hubungan antara banyaknya Na-tiosulfat dengan banyaknya
gula reduksi (Tabel 5 dalam lampiran 5, Penetapan gula menurut Luff-Schoorl).
Reaksi yang terjadi dalam penentuan gula cara Luff-Schoorl dituliskan sebagai
berikut:
R-COH + 2CuO Cu2O (s) + R-COOH (aq)
H2SO4 (aq) + CuO CuSO4 (aq) + H2O (l)
CuSO4 (aq) + 2 KI (aq) CuI2 (aq) + K2SO4 (aq)
2 CuI2 Cu2I2 + I2
I2 + 2Na2S2O3 Na2S4O6 + 2NaI
19
I2 + amilum Biru
(Sudarmadji dkk, 2003)
2.6.2.4 Perhitungan Kadar Karbohidrat dalam Sampel
Kadar karbohidrat ditentukan berdasarkan penghitungan kadar gula pereduksi,
yang ditentukan dengan rumus berikut (SNI-3547-1-2008 dalam Anonim, 2008):
% Gula reduksi, sebagai gula sebelum inversi =× × 100 %
Keterangan
W1 = Bobot gula, berdasarkan tabel nilai ekivalen Natrium thiosulfat (Tabel 5,
Penetapan gula menurut Luff-Schoorl).
Jumlah Natrium thiosulfat 0,1 N yang diperlukan untuk mencari bobot
gula dalam tabel adalah pengurangan volume titar blanko dengan volume titar
contoh/sampel (V2 – V1).
fp = Faktor pengenceran
W = Bobot contoh/sampel
Selanjutnya kadar karbohidrat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Kadar Karbohidrat = 0,90 x Kadar Gula
2.6.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode Luff Schoorl
Metode Luff-Schoorl ini baik digunakan untuk menentukan kadar karbohidrat
yang berukuran sedang. Disamping itu, metode Luff-Schoorl ini juga merupakan
metode terbaik untuk mengukur kadar karbohidrat dengan tingkat kesalahan sebesar
10 %. Namun, metode Luff-Schoorl ini mempunyai kelemahan yang terutama
disebabkan oleh komposisi yang konstan. Hal ini diketahui dari penelitian A.M
20
Maiden yang menjelaskan bahwa hasil pengukuran yang diperoleh dibedakan oleh
pembuatan reagent yang berbeda (Sari dkk, 2011).
2.6.2.6 Penelitian Karbohidrat Sebelumnya dengan Metode Luff-Schoorl
2.6.2.6.1 Studi Kinerja Adsorpsi Arang Aktif-Bentonit pada Aroma Susu
Kedelai oleh Esvandiari, dkk (2010)
Dalam penelitian Esvandiari dkk (2010), selain untuk mengetahui kondisi
optimum dan kinerja adsorban (arang aktif, bentonit, serta gabungan arang aktif dan
bentonit) terhadap proses penghilangan bau pada susu kedelai, juga dilakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh adsorban (arang aktif, bentonit, serta gabungan
arang aktif dan bentonit) terhadap kualitas kandungan dari susu kedelai. Dimana
dalam penelitian tersebut dilakukan analisis kandungan susu kedelai baik sebelum
maupun setelah dikontakkan dengan adsorban. Salah satu analisis yang dilakukan
adalah analisis kandungan karbohidrat pada susu kedelai dengan menggunakan
metode Luff-Schoorl.
Dari hasil penelitiannya terhadap kandungan karbohidrat pada susu kedelai,
maka diperoleh data sebagai berikut.
Tabel 2. Persentase kandungan karbohidrat dalam susu kedelai pada pra dan pasca
pencampuran dengan bentonit dan/atau arang aktif.
Sampel KonsentrasiAdsorban
%Karbohidrat
Susu kedelai - 0,47%Susu kedelai + Bentonit 3% 0,37%Susu kedelai + Arang aktif 3% 0,60%Susu kedelai + Bentonit + Arang aktif 3% 0,73%
21
Berdasarkan tabel di atas terlihat perbandingan kadar karbohidrat untuk susu
kedelai awal dan susu kedelai pasca kontak dengan adsorban. Dimana kadar
karbohidrat dari susu kedelai pasca kontak dengan bentonit mengalami penurunan
dibandingkan dengan kadar karbohidrat susu kedelai awal. Hal ini dapat terjadi
karena adsorban bentonit akan mempengaruhi gugus-gugus fungsi dari karbohidrat
yaitu C, H dan O. Sedangkan susu kedelai yang ditambah adsorban arang aktif, kadar
karbohidratnya lebih tinggi dibandingkan susu kedelai awal. Kadar suatu komponen
diketahui dengan membandingkan massa komponen tersebut terhadap massa total
campuran. Pada hasil analisis ini diperoleh bahwa kadar karbohidrat pada susu
kedelai setelah ditambahkan arang aktif menjadi lebih tinggi dibandingkan susu
kedelai awal, hal ini diduga adanya komponen lain yang terserap oleh arang aktif
sehingga konsekuensinya massa total campuran akan berkurang dan kadar
karbohidrat akan meningkat.
2.6.2.6.2. Analisa Gula pada Jeruk Siam dan Sunkis dengan Menggunakan
Metode Luff-Schoorl oleh TBKKP (2008)
Dalam penetapan kadar gula pada jeruk siam dan sunkis (TBKKP, 2008),
digunakan pereaksi yaitu larutan Luff-Schoorl. Sebelum menetapkan kadar gula
reduksi pada sampel, maka dilakukan reparasi pada sampel terlebih dahulu. Sampel
ditimbang sebanyak 2 gram dan ditambahkan aquades sedikit. Hal ini untuk mengencerkan
saja dan dimasukan kedalam labu ukur 50 mL, dan ditambahkan Pb-asetat 10 %. Hal
penambahan timbal ini dimaksudkan untuk mengikat kandungan-kandungan yang ada
di dalam sampel selain gula seperti pati, serat dan lain-lain. Setelah Pb-asetat
ditambahkan sebanyak 5 mL, dilakukan penambahan asam oksalat sebagai indikasi
22
penambahan Pb-asetat sudah cukup. Kemudian ditambahkan lagi asam oksalat
sebanyak 15 mL untuk mengendapkan Pb-asetat yang telah mengikat kandungan-kandungan
yang lain dalam sampel selain gula. Selanjutnya ditepatkan tanda labu ukur dengan
penambahan aquades setelah didiamkan beberapa menit. Dilakukan penyaringan agar
larutan yang diperoleh adalah larutan yang murni.
Larutan dipipet 10 mL dan ditambahkan aquades sebanyak 15 mL serta
penambahan pereaksi yaitu larutan Luff-Schoorl sebanyak 25 mL dan melakukan
pemanasan selama 10 menit. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempercepat reaksi reduksi dari monosakariada pada gula terhadap CuO menjadi
Cu2O dan dalam pemanasan ditambahkan batu didih guna untuk meratakan
pemanasan.
Setelah pemanasan yang cukup, maka selanjutnya dilakukan pendinginan
dengan es. Kemudian ditambahkan larutan KI 10 % sebanyak 10 mL untuk
mereduksi kelebihan CuO sehingga I2 terlepas dan juga dilakukan penambahan H2SO4
25 % sebanyak 25 mL yang bertujuan untuk mengasamkan larutan karena pada suasana
basa thio sebagai larutan standar akan tereduksi secara parsial menjadi sulfat,
sehingga perlu dilakukan pengasaman tersebut.
Warna akan menjadi coklat keruh dari awalnya berwarna biru karena larutan
Luff-Schoorl. Kemudian dititrasi dengan larutan standar thio sampai terjadi perubahan
warna menjadi kuning, dimana hal ini menandakan larutan tersebut telah mendekati
titik ekuivalen. Sesuai dengan metode, maka ditambahkan indikator amilum 1 %
sebanyak 3 tetes dan titrasi sampai terjadi perubahan warna larutan menjadi putih
susu. Pada blanko dilakukan juga hal yang sama hanya saja tidak menggunakan sampel.
23
Dari analisa yang diperoleh dan di konversikan ke persamaam Luff-Schoorl
maka diperoleh kadar gula pada jeruk siam sebesar 4,47 % dan jeruk sunkis 3,74 %.
Pada titrasi dengan Na-thiosulfat, semakin banyak Na-thiosulfat yang dihabiskan,
semakin kecil kadar gula yang terkandung karena akan selisih dengan blanko.