tinjauan ketatanegaraan islam terhadap darurat negara...
TRANSCRIPT
TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT
NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
OLEH:
HAJAR BINTI HARUN
NIM : 106045200219
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT
NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
OLEH:
HAJAR BINTI HARUN
NIM : 106045200219
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA
NIP : 150 270 614
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP
DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA” telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah / Ketatanegaraan
Islam.
Jakarta, 20 Januari 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP: 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Asmawi, M. Ag.
(………………………)
NIP: 150 282 394
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag.
(………………………)
NIP: 150 282 403
3. Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA.
(………………………)
NIP: 150 270 614
4. Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag.
(………………………)
NIP: 150 275 509
5. Penguji II : Asmawi, M. Ag.
(………………………)
NIP: 150 282 394
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji syukur
penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan
semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan
pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat
Negara Menurut Perundangan Malaysia.” penulis susun dalam rangka memenuhi
dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyah (Ketatanegaraan Islam)
Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis merasa sangat gembira dengan selesainya penulisan skripsi ini karena
merupakan karya ilmiah dan proses sebuah pemikiran dan kajian yang mendalam.
Sebagai insan yang diciptakan oleh Allah SWT, penulis tidak terlepas dari kesalahan
dan kekhilafan serta membutuhkan kritik dan masukan yang membangun, sehingga
dapat menjadi sebuah pelajaran ke depan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu penulisan
skripsi ini. Dengan bantuan dan dukungan merekalah penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Penghargaan dan terima kasih secara khusus disampaikan
kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar’iyyah, dan Ibu
Sri Hidayati M.Ag, Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang dengan sabar
memberikan bantuan kepada penulis sepanjang perkuliahan.
4. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA dosen pembimbing penulis yang
dengan sabar memberikan sepenuh arahan dan masukan dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Hanya Allah SWT yang dapat memberikan ganjaran berlipat
ganda atas jasa baiknya kepada penulis.
5. Kepada seluruh dosen Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
terutama yang pernah menabur ilmu untuk penulis, Dr.H.Abd.Rahman Dahlan
MA, Dr.Noryamin Aini MA, Dr.Arskal Salim GP. M.Ag, Dr.Yayan Sopyan
M.Ag, Dr. Muharom, Afwan Faizin M.A, Bambang Catur PS.SH, Iding Rosyidin
S.Ag, MSi, serta karyawan yang telah membantu dalam memfasilitasi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada seluruh pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah dan juga
seluruh karyawan Perpustakaan Umum Iman Jama’.
7. Teristimewa untuk ayahanda dan bunda tersayang, Harun bin Ismail, Norhayati
binti Abd. Samad, dan terima kasih penulis ucapkan kepada kakakku Along dan
suami, serta untuk adik-adik tersayang (Halim, Hasbullah, Amirul, Hadi, dan
Adik Ana) dan keluarga lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya sebuah
kejayaan. Hanya Allah SWT yang melipat gandakan segala pengorbanan yang
dilakukan.
8. Seluruh dosen-dosen di Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah(KUDQI) dan
Ma’ahad Darul Quran (MDQ).
9. Teman-teman seangkatan di UIN Jakarta terutama satu kosan penulis,
Nurmasyitah serta rekan-rekan EX-KUDQI (Mustafa, Harun, Baihaki, Ustd.
Hadi, Faizal, Khairil, Mawardi, Baha, Azrin , Salwa, Wahida, Siti Hajar, Nurul
Syazwani, Anis, Halimah).
10. Teman-teman dari Indonesia yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini terutamanya saudara Oyok Tolisalim, Luqman dan
Resty dan beberapa teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu karena kalian telah banyak memberikan pengalaman untuk memahami
lebih dalam kepada penulis tentang ketatanegaraan Islam dan mengenai negara
Indonesia.
11. Untuk yang terakhirnya jutaan terima kasih kepada teman-teman di Asrama Putri
dan Asrama Putra UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2006-2007. ”Semoga
kenangan antara kita tetap dalam ingatan” dan juga kepada semua teman Malaysia
yang berada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dengan wawasan penulis masih
membutuhkan bimbingan serta masukan. Oleh karena itu, penulis tak bosan-bosannya
untuk meminta saran dan kritik yang membangun dari teman-teman sebagai bahan
perbaikan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini
bermanfaat untuk diri penulis sendiri khususnya dan kepada para pembaca skripsi ini
pada umumnya, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada penulis untuk
terus mengembangkan keilmuan serta untuk mengamalkannya. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.
Jakarta, 27 Januari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka.......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ....................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 10
BAB II KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM
DISEBABKAN PEMBERONTAKAN
A. Pengertian Keadaan Darurat ........................................................ 12
B. Tinjauan Umum Tentang Pemberontak ........................................ 17
C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam ................... 19
D. Pemberontakan Pada Zaman Khulafaur Rasyidin …………......... 25
E. Peran Syura dalam Menerapkan Prinsip Darurat .......................... 31
BAB III KONSEP KEADAAN DARURAT DI DALAM PERUNDANGAN
MALAYSIA
A. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontak Yang dikatakan
Negara Dalam Keadaan Darurat .................................................. 35
B. Sejarah Pelaksanaan Hukum Darurat di Malaysia......................... 39
C. Berbagai Kasus Keadaan Darurat dalam Sejarah di Maalaysia .... 42
D. Penanganan dan Penyelesaian Keadaan Darurat Negara .............. 47
BAB IV ANALISIS HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP
KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM PERUNDANGAN DI
MALAYSIA
A. Pandangan Islam Terhadap Keadaan Darurat Negara
(Pemberontakan) ......................................................................... 56
B. Analisis terhadap Perundangan Malaysia Mengenai Keadaan
Darurat Negara dalam Tinjauan Hukum Islam ............................. 63
C. Pelaksanaan Undang-undang Keadaan Darurat Menurut
Perlembagaan Malaysia dari Sudut Pandang Undang-undang
Keadaan Darurat Negara Indonesia .............................................. 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 76
B. Saran ........................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekuasaan negara dapat dikatakan berakhir dan penyelenggaraannya
dihentikan jika organisasi negara itu sendiri dengan sengaja dibubarkan atau
dinyatakan bubar, sehingga berakhirlah ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi
di negara yang bersangkutan. Dengan bubarnya pemerintahan, dan berakhirnya status
warga negara dari negara yang bersangkutan, maka berakhir pula ketentuan mengenai
batas wilayah negara yang bersangkutan. Malaysia pernah berada di bawah
pemerintahan darurat militer setelah Perang Dunia Kedua yaitu setelah mundurnya
militer Jepang dari Tanah Melayu. Kemudian setelah kekuasaan militer Jepang
berakhir, Inggris mengambil alih kekusaan atas Tanah Melayu dan meletakkannya
dibawah pemerintahan Inggris (British Military Administration) atau BMA.
Pemerintahan ini telah diproklamasikan oleh Pemerintahan Tertinggi Militer, Asia
Tenggara, yaitu Laksamana Lord Lois Mountbatten pada 15 Agustus 1945 dengan
berdasarkan pada kepentingan militer dengan tujuan memulihkan keamanan negara.1
Selama pemerintahan Lord Mountbatten, 77 undang-undang telah dibuat
untuk meneruskan proklamasi pemerintahan sebelumnya. Undang-undang ini
1 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III,
(Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006), h. 332.
meliputi berbagai aspek pemerintahan, akan tetapi undang-undang ini telah dihapus
setelah pemerintahan BMA berakhir pada 31 Maret 1946 dan diganti dengan
pemerintahan kerajaan Kesatuan Tanah Melayu (Malayan Union).2
Dampak dari pemberlakuan deklarasi darurat, dalam Islam dapat kaitkan
dengan tiga istilah. Pertama istilah jihâd,3 yang kedua istilah bughât
4 dan yang ketiga
hirâbah.5 Ketiga istilah tersebut merupakan kebiasaan terjadinya puncak darurat
negara. Namun demikian, istilah darurat berarti terkait dengan bagaimana
mempertahankan sebuah negara, baik ancaman dari luar maupun dari dalam negera
sendiri. Dalam Islam, jihâd telah memberi arti melawan orang-orang Musyrik dan
dakwah mereka ke jalan yang benar.6
Manakala istilah kedua, bughât atau pemberontakkan adalah perlawanan yang
dilakukan oleh sekelompok kaum Muslimin terhadap khalifah yang sah, atas dasar
perbedaan paham tentang siapa yang seharusnya menjadi khalifah.7 Secara historis
2 Ibid.
3 Jihad ialah pengerahan segenap kemampuan manusia untuk mendapatkan suatu yang
diinginkan atau menolak yang dibenci
4 Bughat yaitu kelompak umat Islam yang melawan dan menderhaka kepada Ulil Amri
(Imam), yaitu pemerintah/kerajaan yang adil menjalankan hukum-hukum syara’
5 Hirabah adalah gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan kekacauan,
peumpahan darah, perampasan harta, merusak kehormatan, tanaman, peternakan, citra agama, akhlak,
ketertiban dan undang-undang, baik gerombolan tersebut dari orang Islam, kafir dzimmi maupun kafir
harbi. 6 Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, al-Jihâd fi al-Islâm Kaifa Nafhamuh wa Numarisuh,
diterjemakan oleh M. Abdul Ghafur, Fiqh Jihad Upaya Mewujudkan Darul Islam Antara Konsep dan
Pelaksanaannya, (T.tp: Pustaka an-Naba’, 1993), cet. I, h. 3 7 Noerwahidah H. A., Pidana Mati dalam Hukum Pidana Islam, (Surabaya: PT. Al-Ikhlas,
1994), cet. I, h. 60
pemberontakan dalam Islam sudah ada sejak pemerintahan Khalifah Utsman bin
Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Di mana kaum Muslimin pada saat itu
melakukan suatu pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan yang menuntut
agar khalifah memecat para pembantunya yang korup dan tiran itu. Pemberontakan
tersebut berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh kaum
pemberontak. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, pemberontakan
dilakukan oleh Zubeir bin Awwam, Thalhah dan Aisyah. Muawiyah dan kaum
khawarij mereka melakukan pemberontakan dengan alasan yang berbeda-beda. Ada
yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib terlibat secara langsung atas
terbunuhnya Utsman bin Affan dan pemilihannya sebagai khalifah tidak sah. Ada
yang menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan dan beranggapan bahwa Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyah adalah sumber malapetaka kehancuran kaum muslimin.8
Kata hirâbah terfokus pada adanya niat permusuhan terhadap kaum
Muslimin, hal itu merupakan illa’ bagi jihad perang, dan hal ini pernah terjadi pada
Perang Bani Musthaliq. Dalam peperangan tersebut Rasulullah SAW me-ngetahui
bahwa Bani Musthaliq telah menyusun rencana untuk menyerang kaum Muslimin
yang dipimpim oleh Al-Harits bin Abi Dinar. Setelah yakin dengan hal itu, maka
Rasulullah SAW mulai melakukan penyerangan terhadap mereka.9
Keadaan darurat atau dikenal dalam bahasa Inggris sebagai state of emergency
adalah suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi-fungsi
8 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995), cet. I, h. 180
9 Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqh Jihad, h. 107
pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktivitas, atau
memerintahkan badan-badan negara untuk menggunakan rencana-rencana
penanggulangan keadaan darurat. Biasanya, keadaan ini muncul pada masa bencana
alam, kerusuhan sipil, atau setelah ada pernyataan perang.
Secara terminologis keadaan darurat berkaitan dengan “emergency doctrine”
yang dalam Black’s Law Dictionary terdapat beberapa definisi, pengertian yang
pertama berkaitan dengan konsep “sudden emergency doctrine” atau doktrin keadaan
darurat yang tiba-tiba. Pengertian yang kedua biasa dipakai di dunia kedokteran dan
pelayanan medis, sedangkan pengertian yang ketiga berkenaan dengan persoalan
“emergency exception”. Pengertian yang mempunyai relevansi dengan persoalan
hukum adalah pengertian yang pertama dan yang ketiga.10
Malaysia sebuah negara yang baru merdeka. Malaysia juga pernah mengalami
kedaan darurat negara. Bahkan sejak 1948, secara berturut-turut lima deklarasi
darurat telah dibuat oleh negara untuk mencegah bahaya tertentu. Tiga dari deklarasi
ini meliputi keadaan darurat seluruh Persekutuan Malaysia hanya terbatas kepada
negara-negara bagian saja, yaitu satu deklarasi untuk negeri Sarawak dan satu lagi
untuk negeri Kelantan.
Berbicara mengenai hukum darurat negara yang ada di Malaysia memang
sangat menarik, apalagi ketika penulis akan membuat perbandingan dari sudut
pandang ketatanegaraan Islam dalam melihat hukum darurat negara. Maka dari itu
10 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), cet. I, h. 57.
penulis memberikan judul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat
Negara Menurut Perundangan Malaysia.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis merasa
perlu untuk membatasi masalah pada tataran implementasi hukum darurat
yang sudah pernah terjadi di Malaysia baik itu dari awal kemerdekaan sampai
sekarang ini. Kemudian bagaimana Islam melihat hukum darurat negara,
untuk mempersempit kajian darurat dalam Islam penulis membatasinya pada
kasus pemberontakan (al-baghyu) pada masa Khulafâur Râsyidûn, seperti
adanya pembangkangan enggan membayar zakat pada masa khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq dan pemberontakan yang terjadi pada masa khalifah Usman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang karena pemberontakan tersebut
diharuskan adanya tindakan yang tegas dari khalifah untuk mengatasinya.
Setelah dapat melihat dari kedua sudut pandang itu maka penulis ingin
melakukan sebuah komparasi yaitu membandingankan dengan cara berbeda
menyebutkan yang sama dari keadaan yang masa lama dan kini di Malaysia.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana konsep ketatanegaraan Islam mengenai hukum darurat negara?
2) Bagaimana mengatasi keadaan darurat negara di Malaysia menurut
perundangan yang ada?
3) Pada saat kapankah harus diumumkan keadaan darurat negara di
Malaysia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:
1. Memberikan gambaran umum kepada masyarakat maupun akademisi
mengenai konsep darurat negara dalam pandangan ketatanegaraan Islam.
2. Mengetahui perjalanan keadaan darurat negara yang ada di Malaysia menurut
perlembagaan Malaysia.
3. Menggali relevansi hukum ketatanegaraan Islam terhadap perundangan
Malaysia berkaitan dengan darurat negara.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan di
bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia.
2. Sebagai bahan kajian dan rujukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
pembuat hukum/legislatif atau partai-partai Islam terhadap permasalahan
darurat negara.
3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang persepsi hukum
Islam mengenai keadaan darurat negara.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kajian dan
pembahasan yang secara umum dan khusus membahas mengenai judul penelitian
yang dilakukan penulis. Di bawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya
dengan judul penelitian penulis dimulai dari skripsi, buku, maupun jurnal.
Buku pertama, karangan Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan
Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan:
Dawama Sdn.Bhd, 2006). Pada buku ini di dalam bab IX terdapat pembahasan secara
khusus mengenai darurat, di mulai dari sejarah pelaksanaan darurat di Malaysia,
pengaturan hukum darurat yang tercantum di dalam Perlembagaan (UUD) Malaysia
yang juga mengenai siapa yang berhak menentukan negara dalam keadaan darurat
raja atau parlemen dalam hal ini Perdana Menteri. Kasus-kasus keadaan darurat yang
pernah terjadi di Malaysia.
Buku kedua, karangan Haji Sa’id Haji Ibrahim (mantan Mufti Negeri Sabah),
Qanun Jinayah Syar’iyah, (Darul Ma’rifah, tahun 1996). Kajian secara khusus yang
membahas mengenai keadaan darurat ini tidak ada, namun secara umum buku ini
mengkategorikan bughat sebagai keadaan bahaya dalam ketatanegaraan hal ini dapat
dijumpai pada bahasan bab ketujuh mengenai bughat. Bagian dari bahasan ini di
antaranya kesalahan dalam politik, pendurhakaan yang wajib diperangi, orang yang
menentang dan mendurhakai terhadap imam yang adil.
Buku ketiga, karangan Dr. Jaih Mubaraok, M.Ag. Fiqh Siyasah, (Pustaka
Bani Quraisy, 2005). Pada bab VI buku ini ada bahasan mengenai ijtihad dan fatwa
tentang protes politis, secara mendalam di buku ini mengkaji tentang hukum melawan
penjajah penjelasan hukum berperang untuk menolak penjajah.
Skripsi, ”Konsep Bughat dalam Persfektif Politik Islam (Studi Kasus
Terhadap G 30 S PKI)”, tahun 2005. Pada Bab II dan Bab IV skripsi ini ada pemba-
hasan mengenai bughat. Pada bab II yang membahas mengenai konsep bughat dalam
politik Islam dengan kajian khususnya membahas definisi bughat, kriteria bughat, dan
kasus bughat dalam sejarah politik Islam. Selanjutnya di dalam Bab IV mengkaji
mengenai pandangan atau analisis ketatanegaraan Islam terhadap tindakan bughat.
Skripsi, ”Darurah dan Daruriyat Perbedaan serta Korelasi Keduanya”, tahun
2006. Skripsi ini hanya memberikan gambaran secara umum mengenai pengertian
darurah serta perbedaannya dengan daruriyat, namun demikian sekelumit bahasan
memang ada yang menerangkan batasan-batasan darurah di antaranya darurat yang
merata dalam negara berhubungan dengan urusan-urusan luar negeri.
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas bahwa topik yang penulis angkat dalam
penelitian skripsi ini belum ada yang membahasnya dan penulis juga memanfaatkan
ide-ide dari tulisan yang disebut di atas dan penulis akan menerapkannya kepada
konteks Malaysia.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library risearch)
dengan pendekatan penelitian analisis historis dan normatif. Penelitian historis
dilakukan karena bahasan dalam kajian ini membahas sejarah pelaksanaan hukum
darurat yang pernah terjadi di Malaysia, tujuan penelitian historis adalah untuk
membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan
cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistematiskan
bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang
kuat.11
Kemudian analisis normatif juga dilakukan karena dalam kajian ini
melibatkan Perlembagaan Persekutuan (UUD) yang ada bahasan khusus
mengenai keadaan darurat. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian
hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas.12
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan library research, yaitu
pengumpulan dan studi dokumen yang ada dengan membaca dan meneliti
literatur-literatur ketatanegaraan Islam yang membahas permasalahan dalam
penelitian skripsi ini dan tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan tema
darurat dalam kajian ketatanegaraan Islam dan undang-undang Malaysia.
3. Sumber Data
Sumber data yang ada dalam penelitian skripsi ini terdiri dari sumber data
primer dan sumber data sekunder, adapun sumber primer di antaranya adalah Al-
Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kajian ketatanegaraan Islam mengenai
11 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet. XVI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 73 12 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), cet. I, h. 118
keadaan darurat (dalam hal ini kaitannya dengan bughat). Sedangkan data
sekunder merupakan data yang penulis ambil dari bahasan tulisan-tulisan yang
dilakukan oleh para peneliti-peneliti ketatanegaraan Islam yang sudah dibukukan,
dan juga tulisan dari penjelasan dari Perlembagaan Malaysia yang membahas
secara khusus mengenai keadaan darurat.
4. Analisis Data
Pengolahan data yang dilakukan pada tahap ini dilakukan dengan semua
data yang telah terhimpun diklasifikasikan dan dikumpulkan sesuai dengan isu-isu
yang mengkaji pada permasalahan skripsi ini, kemudian dianalisis secara
kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan buku ini dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab terdiri
dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Bab ini membahas pengaturan Islam mengenai keadaan darurat negara,
berisi mengenai pengertian keadaan darurat, tinjauan umum tentang
pemberontak, dilanjutkan pembahasan mengenai hukuman bagi
pemberontak menurut jinayah Islam, dan kemudian keadaan darurat
zaman khalifah dan bagaimana hukum Islam mengatasinya
Bab III Pada bab ini pembahasan mengenai konsep keadaan darurat di dalam
perlembagaan Malaysia diawali dengan sejarah pelaksanaan hukum
darurat di Malaysia, tindakan pemberontak yang dikatakan negara dalam
keadaan darurat, penanganan dan penyelesaian keadaan darurat negara
menurut perlembagaan Malaysia.
Bab IV Merupakan analisis hukum Islam terhadap keadaan darurat negara di
dalam perlembagaan Malaysia, dimulai dari pandangan Islam terhadap
keadaan darurat negara, kemudian analisis terhadap perundangan
Malaysia mengenai keadaan darurat negara dalam tinjauan hukum Islam
Bab V Merupakan bab penutup, yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran.
.
BAB II
KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM
OLEH PEMBERONTAKAN
Perjalanan hidup suatu negara dalam mencapai tujuan-tujuannya terkadang
berjalan tidak baik. Adanya keadaan-keadaan tertentu seperti musibah kemarau
panjang, kelaparan, gempa bumi maupun pertikaian politik dapat menyebabkan
tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyatnya tidak tercapai. Akibatnya timbul suatu
kondisi atau keadaan yang biasa disebut dengan darurat, yang mana ketika keadaan
ini terjadi hukum atau peraturan yang normal tidak dapat dijalankan di samping
memerlukan peraturan baru dan khusus yang sesegera mungkin untuk mengatasi
keadaan darurat tersebut. Pada Bab II ini penulis akan memaparkan keadaan darurat
dalam sejarah ketatanegaraan Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, yang
diakibatkan oleh pertikaian politik yaitu yang biasa disebut dengan pemberontakan
atau pembangkangan oleh suatu kelompok terhadap pemerintahan yang ada (sah).
A. Pengertian Keadaan Darurat
Darurat berasal dari bahasa Arab yaitu darûrah dari akar kata darra-yadurru-
darran yang berarti merusak atau memberi mudarat. Biasa juga disebut dlarar yang
memiliki arti bahaya, kemelaratan, kesulitan, kesempitan, buruknya keadaan.13
13 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, cet. XIV, (Surabaya: Pustaka
progresif, 1997), h. 818
Keadaan darurat yaitu keadaan sangat merusak atau sangat memaksa, kebutuhan yang
amat mendesak dan amat berbahaya apabila tidak dipenuhi.14
Darurat berarti
sampainya seseorang kepada suatu batas, yang apabila tidak melakukan sesuatu
perbuatan yang dilarang akan dapat mencelakakan atau membinasakan dirinya.15
Darurat juga dapat diartikan sebagai suatu kekhawatiran atas kebinasaan diri, baik
berdasarkan keyakinan maupun berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak
terwujud kecuali ada suatu keadaan yang memaksa untuk melakukan yang
diharamkan agar terpelihara diri dari kebinasaan, seperti haus dan lapar yang
berlebihan atau sakit yang membawa kematian. Kebinasaan itu tidak hanya terhadap
diri atau jiwa seseorang, tetapi juga terhadap harta.16
Darurat dan ikrah mempunyai pengertian yang sama, yaitu suatu keterpaksaan
yang dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Tetapi dalam
kenyataannya kedua bentuk keterpaksaan itu berbeda. Keterpaksaan dalam bentuk
darurat adalah keterpaksaan yang timbul secara alami tanpa ada keterliba-tan manusia
seperti sakit keras, kelaparan, kehausan dan lain-lain. Sedangkan ikrah adalah
keterpaksaan yang timbul dengan adanya keterlibatan manusia seperti orang yang
diancam dengan senjata untuk mengucapkan kalimah kufur.
14 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 1997), cet. I, h, 260
15 Ahmad Fathi Bahansi, al-Mausŭ’ah al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmî, (Beirut:
Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyah, t.th.), juz IV, h. 30 dapat dilihat juga pada Abdul Rasyad
Shiddiq, Fikih Darurat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), cet. I, h. 17
16 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Ibid.
Menurut ulama ushul fiqh ada lima prinsip yang pemeliharaan eksistensinya
amat dibutuhkan manusia dan amat berbahaya apabila diabaikan, karenanya keliam
prinsip itu disebut al-dlarŭriyat al-khamsah (lima yang amat dibutuhkan). Kelima
prinsip itu adalah agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta. Inilah
yang kemudian disebut dengan Maqâsid al-Syari’ah yaitu tujuan suari’at yang
diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk memelihara eksistensi kelima prinsip
tersebut.17
Oleh sebab itu, apabila salah satu dari kelima prinsip itu sedang terancam
eksistensinya, syari’at mewajibkan manusia untuk menyingkirkan ancaman itu dan
tidak memandang dosa mengatasinya jika dengan tindakan yang dalam keadaan biasa
termasuk perbuatan haram, seperti memakan bangkai apabila tidak ada makanan lain
dalam keadaan lapar yang membahayakan keselamatan jiwa. Artinya bahwa dalam
keadaan-keadaan bahaya, kesulitan, kesempitan atau buruknya keadaan yang dapat
mengakibatkan terancamnya agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta,
maka diperbolehkan melakukan sesuatu yang diharamkan.
Dasar dari hukum dari darurat tersebut adalah al-Qur’an dan sunah. Dalam al-
Qur’an dijelaskan apabila seseorang dalam keadaan terpaksa tanpa sengaja dan tidak
melampaui batas maka ia tidak berdosa. Allah SWT berfirman dalam surat al-
Baqarah/2 ayat 173:
17 Pembahasan mengenai Maqasid al-Syari’ah dapat dijumpai dalam kitab-
kitab ushul fiqh atau buku-buku yang membahas tentang filsafat hukum Islam,
misalnya al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, (Ttp: Dar al-Fikr, t.th), h. 2-5 dapat
dilihat juga pada Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), h.
231-234
��☺���� ���� ��������� �������☺���� �������� �!����� �#$%&'(����
���)�� *+',-. /'��0 �12��!'� 3��� 4 56�☺�7 �89:;�� �12�⌧= >���0 ?@�� A��� B⌧�7 ��C�� '������ D *E�� F���
⌦HI�J⌧= C�'�H )173: 2/ا����ة(
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih tidak
kerana Allah maka barang siapa yang terpaksa (memakannya kerana
darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas
(pada kadar benda yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”. (QS.: al-
Baqarah/2: 173).
Allah juga berfirman:
:L�M��...... ?+NO�7 �8P�� �*) ���� 2�8P������
Q@�� ��) !CR2H$�89:;�� '������� )م : 6/ا���119(
Aِrtinya: “Sesungguhnya Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang kamu terpaksa
memakannya? (QS.: al-An’am/6: 119).
Adapun sumber hukum dari sunah di antaranya adalah hadits yang diterima
dari Abu Waqid al-Laitsi:
ی ر/�ل ا- ا� ب,رض (%��) ب� ا�&'&%$ : #" أب� وا�� ا����� ا��� � ��ا &1 ? روا ( 1<,�=� ب� ب�> ا�&�$7 � ل إذا �� (%�3�9ا و�� (���78ا و�� (�5673ا م"23 �) ی
18 )اح&� ب" ح)�2Artinya: “Dari Abu Waqid al-Laitsi berkata: aku bertanya kepada Rasulullah, kami
berada di sebuah daerah yang tengah dilanda bencana kelaparan. Apakah
kami memakai bangkai?. Beliau menjawab: Kalau memang kalian tidak
menemukan makanan yang bisa kalian makan pada pagi dan sore hari dan
bahkan tidak mendapatkan sayuran yang bisa kalian cabut, maka silahkan
kalian makan bangkai itu”. (HR. Ahmad bin Hanbal).
18 Ahmad bin Hambal Abŭ Abdullâh al-Syaibânî, Musnad Imam Ahmad bin
Hambal, (Kairo: Muasasah Qurtubah, t.th.), juz V, h. 218 hadits nomor 21951
Sehubungan dengan masalah darurat ini, fuqaha merumuskan kaidah pokok,
yaitu:
ا��Bر یAال19
Artinya: “kemudlaratan harus dihilangkan”.
Kaidah ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
روا? ا��ار�9)� ( م" ض ّر ض ّر? ا- وم" ش ّق ش ّق ا- #��DEض�ر وDض�ارEI )واب" م
20
Artinya: “Tidak boleh berbuat bahaya dan membalas perbuatan bahaya kepada
orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka Allah
akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa yang
mempersulit orang lain maka Allah akan mempersulit dia”. (HR. Dâruqutnî
dan Ibnu Mâjah).
Yang dimaksud dengan dlarar dalam hadits tersebut adalah berbuat kerusakan
kepada orang lain secara mutlak; mendatangkan kerusakan terhadap orang lain
dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama. Sedangkan yang diizinkan oleh agama
seperti qisas, diyat, had dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan tetapi
untuk mewujudkan kemaslahatan.21
Dari kaidah pokok tersebut muncul kaidah-kaidah antara lain: J��) ورة�Bا�
�رات3Kا�& (Darurat itu membolehkan yang dilarang), ا��Bورة (��ر ب��ره
(Darurat itu diukur dengan kadarnya) dan lain-lain.22
19 Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin Abî Bakar al-Suyŭti, al-Asybâh wa al-
Nadlâir, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), h. 60 20 ‘Alî bin Umar Abŭ al-Hasan al-Dâruqutnî al-Baghdâdi, Sunan al-Dâruqutnî,
(Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1996), juz III, h. 77 hadits nomor 288 dan Muhammad bin Yazî
Abŭ ‘Abdullâh al-Qazwaini, Sunan Ibnu Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz II, h. 784
hadits nomor 2340
21 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya dan Anglo Media Jakarta, 2004), cet. I, h. 128
Kaitannya dengan negara, keadaan darurat yaitu keadaan di mana negara
dalam keadaan yang sulit, genting atau bahaya sehingga hukum tidak dapat
dijalankan dengan normal, artinya peraturan-peraturan tertentu dapat dikesampingkan
atau tidak diberlakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Keadaan ini bisa
disebabkan karena alam maupun karena pertikaian politik.
B. Tinjaun Umum Tentang Pemberontak
Dalam bahasa Arab, perbuatan ini disebut ( �8ا�� ), yang biasa diartikan
sebagai menuntut sesuatu atau menentang pemerintah dengan menggunakan
kekuatan senjata.23
Menurut Jinayah Islam, al-Baghy secara etimologi mempu-
nyai arti yang banyak, di antaranya adalah berbuat aniaya, bertindak sewenang-
wenang, berbuat kerusakan dan menyimpang dari kebenaran. Secara terminologi,
pemberontak adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan
memberontak terhadap pemerintah karena suatu alasan yang dibolehkan. Mereka
ingin melepaskan diri, melanggar dan membangkang pemerintah setempat.24
Bughât dalam istilah ilmu tata negara ialah perbuatan sekumpulan dan segelongan
umat Islam yang memberontak untuk menentang dan membangkang kepada Ulil
Amri adalah dinamakan ”jarimâh siyasah”, yaitu kesalahan dalam politik.25
22Ibid. 23 Paizah Haji Ismail, Undang-undang Jinayah Islam, (Selangor: Tradisi Ilmu
SDN. BHD. Petaling Jaya, 2003), h. 237
24 Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah al-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam al-Kamil,
diterjemahkan oleh A. Munir Badjeber, dkk., (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), cet. I, Jil. III, h. 1113
Banyak para ulama Fiqh Islam memberikan definisi yang berbeda tentang
pemberontakan. Menurut Ulama Hanafiyah adalah:
�&�" �1 ب�N ا�ح= م ب �7,وی2O&�6ا ا�� 26 ا��8 ة ��م ��� ش�آ$ وم)�$ خ
Artinya: “Tindakan sekelompok orang yang mempunyi kekuatan yang menentang
pemerintah dalam segala kebijaksanaannya dikarenakan adanya
perbedaan paham”.
Menurut Malikiyah adalah:
��ا #) م م او ی&7)��ن م" ا��خ�ل �� ا�7,وی2 وا�Rی" ی'��Iن #�� اSا��8 ة ا�Rی" ی�E7# U �1 27
Artinya: “Tindakan sekelompok yang melakukan perlawanan dan tidak taat kepada
penguasa pemerintah dikarenakan adanya perbedaan paham”.
Menurut Ulama Hanabilah adalah:
�ل ب7,وی2 / ئV و��� ش�آ$ #�� ام م وا��8 ة ا�' ر�Iن# ��X ���1 و�� �� ی�� "= 28 م9 ع
Artinya: “Sekelompok yang menentang penguasa/pemerintah, termasuk pemerintah
yang tidak adil (zalim) dikarenakan adanya perbedaan paham, mereka
memeliki kekuasaan meskipun tidak di bawah komando seorang pemimpin”.
Menurut Ulama Syafiiyah adalah: “Orang-orang muslim yang menyalahi
iman dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak
kewajiban dengan memiliki kekuatan dan memiliki pimpinan”.29
25 Sa’ad Haji Ibrahim, Qanun Jinayah Syar’iyyah dan Sistem Kehakiman
dalam Perundangan Islam Berdasarkan Quran dan Hadits, (Kuala Lumpur: Darul
Ma’rifah, t.th.), h. 129 26 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr), juz. VII, h.
5478 27 Ibid., h. 5479 28 Ibid.
Dari keterangan di atas, semua definisi bermakna penjelasan atau alasan yang
menyepakati pemaknaan kata bughat itu adalah suatu usaha atau gerakan yang
dilakukan oleh sekelompok dengan tujuan untuk menggulingkan atau menentang
Imam/pemimpin/pemerintah yang sah.
Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian
meluas kepada pemberontakan, maka menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk
menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul. Sebab pemberontakan ini
dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai
bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang
dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan atau pembangkangan
apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat
menimbulkan keadaan darurat dalam negara.30
C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam
Di dalam hukum Islam, ada dua istilah yang sering digunakan untuk
pengertian yang sama atau yang hampir sama. Kedua istilah tersebut adalah
”Jarimah” dan ”Jinayah”. Salah satu bagian hukum Islam adalah bidang Jinayah
(Hukum Pidana), yakni bidang yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dinilai
sebagai pelanggaran atau kejahatan (jarimah). Tindakan-tindakan ini merupakan
29 Ahmad Dzauli, Fikih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam
Islam), cet. II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 105 30 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1993), cet. V, h. 246
perbuatan-perbuatan jahat yang diharamkan oleh syara’, yang boleh menghilangkan
atau mengganggu eksistensi dan ketertiban hidup. Yakni agama, akal, kehormatan,
dan harta benda.31
Oleh karena itu, bagi setiap pelaku harus mendapatkan sanksi
hukuman (uqubah) baik di dunia maupun di akhirat tindak pidana politik hanya
berlaku terhadap pemerintahan yang sah. Apabila seseorang membunuh kepala
negara, sekalipun dengan tujuan politik tanpa suatu pemberontakan yang
terorganisasi dari sekelompok orang untuk mengulingkan pemerintahan yang sah.
Salah satu macam dari tindak pidana jarimah atau jinayah adalah tindak
pidana pemberontakan. Pemberontakan adalah bangkangan yang dilancarkan oleh
sekelompok kaum muslim terhadap penguasa yang sah, karena suatu hal yang
menyangkut masalah politik pemerintahan, sehingga mengakibatkan mereka
memisahkan diri dari kesatuan. Dalam sebuah negara yang berdasarkan hukuman-
hukuman Islam, pemberontak yang wajib diperangi adalah sebagaimana yang
tertakluk pada syarat-syarat berikut:
1. Mereka yang mempunyai kekuatan dan yang telah berterus-terang secara terbuka
menentang pemerintah/kerajaan yang adil.
2. Mereka yang telah keluar dari tadbiran Ulil amri, dan telah membentuk
pemerintah/kerajaan yang lain dan telah melatik seorang imam yang lain.
3. Terdapat perbedaan pendapat, dimana mereka menganggap bahwa mereka boleh
keluar dari kontrol pemimpin.
31 Paizah Haji Ismail, Undang-undang Jinayah Islam, h. 2
4. Mereka telah melakukan kekacauan dalam negeri seperti membakar, membunuh
dan sebagainya.32
5. Mereka yang memberontak adalah jamaah yang kuat dan bersenjata, sehingga
untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan, pemerintah membutuhkan
persiapan tenaga manusia, materi dan perang. Jika mereka tidak memiliki
kekuatan, sekalipun terdiri dari beberapa orang tetapi tidak mempunyai
perbekalan, baik senjata maupun logistik, yang memungkinkan mereka dapat
mempertahankan diri, maka mereka tidak dikatakan bughat, karena mudah
ditangkap dan dikembalikan kepada ketaatan.
6. Mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan mereka,
karena tak ada sesuatu kekuatan jemaah yang tidak memiliki.33
Sekiranya terdapat syarat-syarat tersebut ada pada pemberontak, maka mereka
harus diperangi. Hukuman terhadap mereka adalah mati.34
Kebolehan melakukan
pembunuhan kepada mereka dengan jalan yang diperangi atau tumpas semata-mata
untuk memelihara persatuan dan kesatuan dan untuk menegakkan hukum Allah
dimuka bumi. Adapun jika salah satu kelompok dari kaum muslimin yang
memberontak, menentang pendapat (kebijakan) kaum muslimin dan menganut
pendapat yang mereka ciptakan sendiri, jika dengan pendapatnya itu mereka masih
32 Sa’id Haji Ibrahim, Qanun Jinayah Syar’iyyah dan Sistem Kehakiman dalam
Perundangan Islam Berdasarkan Quran Dan Hadits, h. 129 33 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, cet. II,
(Jakarta: Pena Pundi Aksara: 2007), h. 504
34 Sa’id Haji Ibrahim, Qanun Jinayah Syar’iyyah dan Sistem Kehakiman dalam
Perundangan Islam Berdasarkan Quran Dan Hadits, h. 130
taat kepada imam, tidak memiliki daerah yang mereka berdomolosi didalamnya,
mereka terpecar-pecar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam
jangkauan kekuasaan negara Islam, maka mereka dibiarkan. Mereka tidak diperangi,
kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin yang lain.35
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang-orang yang menimbulkan kekacauan
yang mundur boleh dibunuh, jika mereka mundur kepada kelompoknya dan
ditakutkan kembali memerangi lagi, berbeda dengan orang yang terluka dari mereka,
mereka tidak boleh dibunuh. Alasanya karena terluka ini memungkinkan
keburukannya terhenti, berbeda dengan yang lari mundur, keburukannya belum
terhenti.36
Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib
dimandikan, dikafankan dan dishalatkan. Jika si terbunuh dari golongan adil ia
menjadi syahid, tidak perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur di dalam
meneggakkan perintah Allah, tidak ubahnya dengan syahid yang gugur pada waktu
memerangi orang kafir.37
Pemberontakan dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang sah itu
dapat disejajarkan dengan pengkhianat. Alasan hukum keberlakuan sanksi yang
dikemukan pada ayat Al-quran di atas bertujuan untuk menciptakan sistem
35 Imam al Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani dan Kamaluddin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet. I h. 121 36 Ibnu Taimiyah, Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah, Tentang Khilafah Islamiyyah,
Memerangi Pemberontak, Hukum Murtad, Pengadilan Negara, Sumpah dan Nadzar,
Makanan Halal dan Haram, penerjemah Izzuddin Karimi, (Jakarta: Pustaka Sahifa,
2008), cet. I, h. 102 37 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 503
kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintah. Seperti yang diketahui bahwa manusia
membutuhkan teman pergaulan antara seorang dengan yang lain sehingga diperlukan
seorang pemimpin, sistem peraturan yang menjadi pedoman dalam hidup
bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik bila
semua pihak mematuhi peraturan tersebut.38
Dasar hukum tentang hukuman bagi pemberontakan (al-baghyu) dalam
hukum Islam sangat jelas terdapat di dalam dua sumber hukum yaitu al-Qur’an dan
hadits.
a. Al-Quran
Allah SWT berfirman:
E���� TE���⌧JU��� 6') �WX'Y')�☺���� 4�IR������M��
4�I���:\�]�7 ��☺_�`a�0 4 bE�c�7 :d�!�0 ��☺ef�L��� g��
P%�� hi�� 4�IR�'�j���7 klmF��� kT22A� Dknm�� �8ogpq� �g�r�� $��)�. 3��� D E�c�7 :��8���7
4�I���:\�]�7 ��☺_�`a�0 ls:L�R�����0 4�oI89pt�M�.�� 4
*E�� F��� a�'�8u vwX'9pt��☺���� )9: 49/ا��Z3ات(
Artinya: “Dan jika dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap yang lain, maka lawanlah kelompok yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil (menurut hukum Allah), serta berlaku adillah kamu (dalam segala perkara); sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil”.(QS. al-Hujurat/49: 9).
38 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. I, h. 76
Ayat di atas menetapkan, jika orang mukmin saling bermusuhan, maka
jamaah yang memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk
mendamaikan. Sekiranya salah satu golongan membangkang dan tidak ingin
berdamai, pada saat itu semua kaum muslimin berkewajiban bersatu padu untuk
memerangi golongan yang membangkang.39
b. Al-Hadits
Banyak hadits yang membahas mengenai pemberontakan, kebanyakan
hadits ini lebih melihat dari sanksi hukum bagi para pemberontak, diantaranya:
ل##" #�� ا ا- ب" م��Oد رض� ا- � E( :�/ل ر ����D ی23 دم : ل ا- ص�� إD بaح�ى ث>ث Oام�ئ م :Aا� cوانا��� d6(� �ی)E ا�&6 رق ا�7 ركو ا�)d6 ب�
�� $# &Z)��O40)روا? م Artinya: “Dari Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah SAW:
Tidak halal darah seorang muslim melainkan karena salah satu dari tiga
sebab: (1) Orang tua yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3)
orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan diri
jamaahnya. ( H.R. Muslim).
Pengertian memisahkan dari jamaah adalah meninggalkan jamaah orang
Islam (menentang keputusan-keputusan Ahlul Hal wal Aqd.41
Dan ketika
seseorang telah melakukan ketiga hal yang telah disebutkan hadits diatas, maka
agama menganjurkan kepada kita untuk membunuhnya, hal ini dilakukan apabila
tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan. Allah sudah tegas mengatakan bahwa
golongan yang harus diperangi oleh pemerintah yang sah adalah mereka yang
39 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 503
40 Muslim Ibnu al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî al-Nîsâburî, Shahih Muslim,
(Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th.), juz III, hadits nomor 25 (1676), h. 1302 41 Teungku M. Hasby Ash-Shiddieqy, Al-Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1998), cet, I, Bag. II, h. 485
membuat kerusakan dan gangguan terhadap anggota masyarakat yang tidak
bersalah, di dalam hadits lain disebutkan:
cب" وه �م" ب یh إم م :/�ل ا- ص��� ی��ل ر:� ل #" ا�#&g #" زی?�1 ض�ب�ا 1,9# ? ص�6$ ی E#ز ء iخ� ی)I نa1 ع 1��E�9 إن ا/97 E�� وث&�ة �
l(#42 اkخ�
Artinya: “Dari al-A’masy dari Zaid bin Wahab berkata: Rasulullah SAW
bersabda: siapa orang yang memberikan persetujuan dan kesetiaan
kepada imam, maka taatilah dia samampu mungkin. Apabila orang lain
mempersengketakan kekuasaan penguasa tersebut, maka potonglah
leher orang itu ( H.R. Muslim)
"# � E(# -ب" ش�ی� رض� ا $Z1�# ر/�ل ا-/&�: ل n �� ص�� ا- #��E و/ آ� أو ی�6ق : ی��ل%# l>أن ی ��� ر2I واح� ی�ی# h�&I آ� وأم�آ� م" أ(
?��7� 1 �=7# &I ) ?روا��O43 )م
Artinya: “Dari Urfajah bin Syarim r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda: Siapa orang yang mendatangi kamu sementara kamu
telah sepakat (mengakui pemerintahan yang sah), maka bunuhlah dia
yang ingin memisahkan diri dari jamaah kamu”. (H.R. Muslim).
D. Pemberontakan Pada Zaman al-Khulafaur al-Rasyidun
1. Pada zaman Abu Bakar ash-Shiddiq
Rasulullah tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa yang akan
menggantikan dirinya sebagai kepala negara. Sementara dalam dua sumbar ajaran
Islam; Al-Quran dan hadits juga tidak dapat petunjuk yang jelas tentang proses
suksesi. Belum lagi jelas dikuburkan, umat Islam kaum Muhajirin dan Anshar
42 al-Nîsâburî, Shahih Muslim, hadits nomor 46 (1844), h. 1472
43 Ibid, hadits nomor 60 (1852), h. 1479.
sudah melakukan debat sengit untuk mendudukan masing-masing tokoh mereka
sebagai khalifah. Setelah melakukan debat yang cukup sengit, akhirnya secara
aklamasi Abu Bakar menjadi khalifah untuk menggantikan kedudukan Nabi
sebagai kepala negara, hal ini juga dilandasi dengan semangat ukhuwah Islamiah
yang tinggi, dan juga hal ini karena Abu Bakar mendapat penghargaan yang
tinggi dari umat Islam.44
Sebagai khalifah pertama umat Islam ia menegaskan hak
umat Islam untuk mengawasi dan mengeritik pemimpinnya (menganjurkan
adanya oposisi yang loyal dan konstruktif) yang dipilih dan di bai’at oleh mereka
sendiri, rakyat harus mendukung rencana dan program pemerintah, karena
rencana program itu semua untuk masyarakat dan tidak bertentangan dengan
kehendak Allah dan Rasulnya. Begitu pula sebaliknya rakyat harus mengawasi
pelaksanaan pemerintahan karena bisa saja pemerintah melakukan hal-hal yang
merugikan rakyat. Rakyat harus patuh terhadap pemimpin yang betul-betul
menjalankan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, dia tetap konsisten dengan
sistem yang berlaku pada masa Nabi dan (juga konsisten) dengan pidato awal
pelantikannya sebagai khalifah. Abu bakar tidak dapat berbuat banyak untuk
menyebar luaskan Islam selain dia mengatasi gejolak-gejolak internal yaitu
menghadapi umat Islam yang banyak kembali murtad dan orang-orang Islam
yang tidak mau membayar zakat tetapi semua itu bisa diatasi dengan
44 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta:
Penerbit Kota Kembang, 1989), h. 34
bermusyawarah dan jalan terakhir dengan memerangi mereka yang murtad dan
tidak membayar zakat. Beberapa kejadian yang pernah dihadapi pemerintahan
Khalifah Abu Bakar dalam menjalankan kehidupan bernegara sebagai kepala
pemerintahan:
a) Timbulnya sejumlah Nabi Palsu di beberapa daerah, seperti Musailamah al-
Kadzab dari Bani Hanifah, Yamamah Ablahah Dzulkhimar atau dikenal
dengan al-Aswad al-Ansi di Yaman, dan Thulaihah bin Khuwailid di Bani
Asad. Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut
Perang Riddah (perang melawan kemurtadan).45
Gerakan kemurtadan yang
timbul setelah wafatnya Rasul SAW baik yang dilakukan oleh golongan
munafik yang memang mereka menginginkan keluar dari Islam, atau pun
kemurtadan yang dilakukan oleh suku-suku Arab lain karena alasan politis
dimana mereka menilai suku Quraisy telah menggunakan Islam sebagai salah
satu cara untuk menguasai mereka, bahkan sebagian dari suku-suku itu
bergabung dengan kelompok nabi palsu bukan karena mereka percaya dengan
kenabiannya tetapi hanya untuk berkoalisi dalam menghadapi Quraisy.46
b) Kelompok Islam yang tidak mau mengeluarkan zakat atas dasar ta’wil dan
penafsiran yang mereka pegang. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
45 Badri Yatim, Sejarah Peradaban, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006 ), cet. I,
h. 36 46 Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, cet. VIII, (Cairo: Maktabah al-
Nahdhah al-Mishiriyyah, 1978), Jilid I, h. 381
tindakan menghalangi suatu hak yang difardhukan Allah SWT seperti zakat
termasuk kedalam kategori bughat.47
Sebelum menggempur kaum pemberontak, terlebih dahulu Abu Bakar
memberikan peringatan agar kembali kepada Islam. Namun seruan itu mereka
tidak menerima. Akhirnya Abu Bakar mengunakan kekuatan senjata. Semua
pemberontak dapat dipadamkan. Ada yang kembali kepada Islam, bagi mereka
yang kembali kepada Islam, mereka dimaafkan oleh Abu Bakar. Sedangkan yang
tetap membangkang, terus digempur hingga pemimpin-pemimpin pemberontak
terbunuh, seperti Musailamah yang mengaku menjadi nabi. Selama enam bulan
terhitung, Abu Bakar berjuang memadamkan pemberontakan suku-suku Arab dan
nabi-nabi palsu tersebut.
2. Pada zaman Umar ibn al-Khathtab
Setelah Abu Bakar wafat, Umar ibn al-Khathtabdiangkat
menjadi khalifah melalui surat wasiat yang dibuat oleh Abu Bakar.
Pengangkatan Umar ini diterima dengan baik oleh semua umat
Islam ketika itu, meskipun ada yang merasa keberatan karena
sikap keras Umar.48 Umar dilantik menjadi Khalifah pada hari
wafatnya Abu Bakar, 21 Jamadil Akhir, 13 Hijrah. Sejarah mencatat
bahwa Umar sangat tegas dalam hal-hal menurutnya
47 Ibid., h. 382 48 Ridwan H.R., Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), cet. I, h. 164
bertentangan dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum Agama.
Umar tidak segan-segan menindak siapapun yang melanggar
hukum yang berlaku. Dengan demikian, supremasi hukum dapat
ditangani. Saidina Umar tidak segan-segan mengangkat gandum
dengan tangannya untuk membantu orang-orang yang tidak
mampu dan miskin. Di era Umar, wilayah Islam mulai berkembang
pesat. Syam, Mesir dan Palestina dapat dikuasai dan menjadi
daerah administratif Islam.49
Secara prinsip pada pemerintah Umar ibn al-Khathtab ini tidak ada
tindakan yang terjadi seperti pemberontakan dari kaum murtad dan orang yang
enggan membayar zakat, namun dalam akhir pemerintahannya beliau meninggal
dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh orang dari keturunan Yahudi.
3. Pada Zaman Usman ibn Affan
Usman ibn Affan merupakan khalifah yang ketiga, sebagaimana halnya
dua khalifah sebelumnya, Usman juga menyampaikan ”pidato kenegaraan” saat
pelantikannya menjadi khalifah. Akan tetapi pidato yang disampaikannya itu
lebih bersifat sebagai nasihat seorang tua kepada anak-anaknya. Kalau diteliti
lebih jauh Usman bukan seorang negarawan seperti Abu Bakar dan Umar, selama
hidupnya Usman dikenali sebagai seorang pengusaha sukses yang banyak
49 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam , h. 37
menyumbangkan harta bendanya untuk kepentingan Islam. Pengangkatan Usman
sebagai khalifah merupakan suatu kemenangan bagi Bani Umaiyah terhada Bani
Hasyim.50
Periode pertama kekhalifan Usman berlangsung sangat damai. Selama
masa itu, kaum muslimin mendapatkan banyak kemenangan. Kekhalifannya telah
diperkuatkan sampai pada sebuah wilayah yang sangat luas, kemudian terkenal di
dunia. Tetapi bagian akhir kekhalifan Usman telah dikacau oleh suatu perang sipil
yang mengerikan, yang akhirnya membawa pada pembunuhan terhadap khalifah
sendiri. Usman seorang yang sangat bijak dan berhati lembut. Musuh-musuh
Islam mencari suatu kesempatan yang tepat untuk bertindak melawan Islam dan
kaum Muslim. Mereka telah mendapat peluang dengan mengirimkan orang untuk
mengganggu kedamaian serta menyebarkan khabar-khabar angin.51
Tidak ada mutasi yang berarti bagi pejabat pusat dan daerah. Tetapi
karena adanya perubahan generasi dari angkatan para sahabat ke putra-putra
mereka melalui kebijaksanaan Usman berubah mengikuti tuntunan generasi muda
dari kalangan generasi keluarganya sendiri, tetapi juga dalam menggunakan
keuangan negara tidak untuk kepentingan masyarakat secara luas. Kebijakan ini
menimbulkan banyak protes dan kecaman banyak masyarakat Muslim, baik dari
kalangan senior maupun dari golongan muda yang bukan keluarga dekat khilafah.
50 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam),
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 67
51 Majid Ali Khan, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, (Surabaya: Risalah Gusti,
2000), cet. I, h. 157
Ditambah oleh kenyataan tidak ada kontrol dari anggota majelis Syura (orang-
orang yang ditunjuk Umar untuk memilih khalifah pasca dirinya) karena mereka
selalu berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan dan menjadi
wilayah Islam, kebijaksanaan Usman bertambah buruk. Sementara para
keluarganya senantiasa turut menentukan setiap keputusan dan kebijaksanaan
khilafah.52
Melihat kondisi yang semakin tidak menentu itu, timbullah kelompok
pemberontak yang berkumpul dikota Madinah. Kehadiran mereka di Kota
Madinah sebenarnya hanya ingin mengajukan tuntutan agar khalifah memecat
para pejabat yang menurut mereka tidak benar menjalankan tugas. Karena
keluarga yang dituntut itu keluarga dekat khalifah, maka tuntutan mereka ditolak.
Suasana kacau tidak terkendali dan pemberontakan mengepung rumah kediaman
khalifah, walaupun pasukan keamanan pemerintah memberikan perlawanan,
namun tidak cukup berarti karena pasukan pemberontak lebih banyak hingga
akhirnya pemberontakan berhasil membunuh Usman ibn Affan.53
4. Pada zaman Ali bin Abi Thalib
Setelah Saidina Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah dia
langsung mendapat tantangan dari keluarga Khalifah Usman terutama
Muawwiyah bin Abi Sufyan, selain bahwa pembaitan terhadap Saidina Ali tidak
52 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: CV Rusyda, 1987), cet. I,
h. 87
53 Ibid., h. 88
dihadiri oleh majelis syura, juga karena wilayah Islam semakin luas, maka
yang berhak menentukan jabatan khalifah tidak hanya mereka yang berada
di Madinah, tetapi juga hak mereka yang menjadi wilayah-wilayah baru
Islam pendapat Muawwiyah bin Abi Sufyan juga didukung oleh pejabat di
Madinah yang kemudian bergabung dengan dirinya di Syria. Pertentangan terus
berlanjut.
Permasalahan yang dihadapi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ini juga
berbeda dari pemerintahan sebelumnya, kalau pada pemerintahan Abu Bakar
disebabkan oleh adanya syubhat di dalam penafsiran mengenai hukum, maka
pada periode Ali ini lebih disebabkan oleh politis yang sangat urgent (pokok)
untuk menyebabkan adanya pemberontakan (bughât). Di dalam sejarah umat
Islam sedikitnya ada tiga kelompok kaum bughat yang timbul sewaktu
kekhalifahan Ali, mereka terdiri dari ahlu al-Jamâl di Bashrah, kelompok
Mua’wiyah di Shiffin dan al-Khawarij di Nahrawan.54
E. Peran Syura dalam Menerapkan Prinsip Darurat
Prinsip darurat didasarkan bahwa darurat itu diukur dengan ukuran
keburukannya. Artinya, darurat memperbolehkan kita melanggarnya agar jangan
sampai melampaui ukuran yang ditentukan (dipaksa) oleh darurat yang sebenarnya.
Oleh itu, untuk membatasi ukuran ini adalah syûrâ. Darurat sebagai suatu teori umum
dan serba meliputi merupakan dasar bagi fleksibilitas (kelenturan) dari banyaknya
54 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 39-40
hukum-hukum syar’i, baik yang berhubungan dengan akidah, ibadah, pemerintah
maupun muamalah. Dalam konteks keterwakilan (syûrâ), prinsip darurat (dhârûrî)
dapat dijelaskan sebagai prinsip yang didasarkan kepada standar batas negatifnya.
Artinya darurat yang membuka peluang pergeseran hukum boleh (ibâhât) itu adalah
yang tidak melampaui batas-batas darurat. Ukuran yang dapat distandardisasi untuk
melihat baik tidaknya darurat itu difungsikan, adalah melalui standar syûrâ.55
Dengan
demikian, syura dapat diangkat untuk menentukan demarkatif (batas pemisah) suatu
regulasi (pengaturan) dapat disebut melanggar atau tidak melanggar.56
Darurat itu merupakan berpengaruh pada sikap pribadi, dan juga berpengaruh
pada ketetapan jama’ah, rakyat atau umat, setiap suatu ketetapan yang dikeluarkan di
dalam syura adalah ketika keluar dari kehendak bebas, jauh dari tekanan dan paksaan,
baik paksaan ini datang sebagai hasil dari perbuatan pihak kedua itu sendiri atau dari
kondisi-kondisi asing dari kedua belah pihak. Sebagai hasil dari itu, pihak yang
melakukan tindakan pemberontakan dan kemudian menang dari pihak asing yang
menyerang sehingga dipaksakan kepada ahl hall wal aqd yang kemudian mengambil
suatu ketetapan tentang pengakuan terhadap pemerintahannya, dan mereka pun
benar-benar telah mengeluarkan ketetapan ini tanpa ada pilihan bebas bagi mereka,
maka ketetapan ini jelas merupakan ketatapan yang tercela, tidak mengikat mereka,
55 Ali Yafie, “Pengertian Wali al-Amar dan Problematika Hubungan Ulama
dan Umara” dalam Buhy Munawar Racman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina,1995), h. 595
56 Asap Taufik Akbar, “Fikih Politik NU (Pendekatan sosialisasi Atas Lahirnya Konsep Wali
Al- Amr al-Dlarury bi al- Syaukah)”, Makalah tidak diterbitkan, (Jakarta: PPs. UIN, 2002), h. 5
dan tidak pula mengikat orang lain. Hal itu berarti bahwa mereka harus cepat-cepat
membatalkannya dan membersihkannya dari perbuatan tersebut. 57
Syûrâ yang merupakan sebuah sistem yang mencapai tujuan secara syar’i dan
ditetapkan dengan melihat manfaatnya serta disepakati oleh banyak orang adalah
sebuah solusi (penyelesaian) untuk menetapkan sebuah keadaan yang dianggap
genting dan darurat. Akan tetapi, mengakui sahnya pemerintahan darurat bukan
berarti tidak lagi memperdulikan perbedaan antara pemerintahan itu dengan
pemerintahan yang sah secara syûrâ yang perwujudannya ialah khalifah yang sah dan
(râsyidah) lurus.58
Setelah mengatahui penjelasan bagaimana dan tindakan hukum Islam dalam
mengatasi masalah darurat negara disebabkan pemberontakan, oleh itu, penulis akan
meneruskan pada bab tentang Konsep Keadaan Darurat Dalam Perundangan
Malaysia
57 Taufiq M. Asy-Syawi, Fiqh al-Syŭrâ wa al-Istisyârât, diterjemahkan oleh
Djamaluddin, Z.S, Syura Bukan Demokrasi, cet. II, (Jakarta: Gema Insani Press: 1992),
h. 597
58 Ibid., h. 597
BAB III
K0NSEP KEADAAN DARURAT DALAM
PERUNDANGAN MALAYSIA
Dalam mendirikan sebuah negara, pasti menginginkan sebuah negara dan
bangsa yang mewujudkan akan keselarasan yang dinamis. Namun demikian,
perjalanan untuk membina sebuah negara yang aman dan damai itu terdapat
permasalahan oleh beberapa kasus yang menyebabkan negara ini dapat dikatakan
darurat.
Dalam perjalanan sejarah, sejak kemerdekaan sampai sekarang, negara
Malaysia tidak pernah terlepas dari aneka peristiwa dan kejadian-kejadian yang
bersifat luar biasa, baik di bidang politik, di bidang ekonomi maupun di bidang sosial.
Demikian pula, bencana alam terus-menerus menerpa dari waktu ke waktu, baik yang
datang dari laut, udara, maupun dari perut bumi. Bencana alam juga datang dari
manusia, dari hewan seperti flu burung, nyamuk demam berdarah, dan lain-lain
sebagainya.59
Demikian penulis akan meneruskan pada bab ini bagaimana awal
kejadian darurat di Malaysia dan apakah yang dikatakan perbuatan yang
membahayakan negara, siapakah yang berhak dalam memberikan ketentuan apabila
berlakunya darurat negara serta bagaimana pemerintah atau Perundangan Malaysia
dalam menyelesaikan masalah ini.
59 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di
Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd,
2006), h. 327
E. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontakan yang Dikatakan Negara
Dalam Keadaan Darurat
Keadaan darurat negara terdapat dalam Pasal 150 Perlembagaan Malaysia.
Dalam ayat (1) Pasal 150 dinyatakan:
Jika Yang di-Pertuan Agong berpuas hati bahawa suatu darurat besar sedang
berlaku yang menyebabkan keselamatan, atau kehidupan ekonomi, atau ketentera-
man umum di dalam Persekutuan atau mana-mana bahagiannya terancam, maka
Yang di-Pertuan Agong boleh mengeluarkan suatu Proklamasi Darurat dengan
membuat dalamnya suatu perisytiharan yang bermaksud sedemikian.
Berdasarkan Pasal 150(1) tersebut bahwa apa yang dimaksud darurat adalah
satu darurat besar atau terjadinya suatu keadaan yang genting, kacau, buruknya
keadaan yang membahayakan serta mengancam keselamatan (keamanan) negara atau
kehidupan perekonomian negara.60
Akan tetapi Perlembagaan tidak memberikan
definisi yang rinci tentang darurat dan jenis-jenisnya. Sehingga ada orang yang
mengatakan bahwa suatu krisis itu belum sampai kepada tingkat darurat atau belum
dapat dikatakan darurat, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa suatu keadaan krisis
itu telah sampai kepada keadaan darurat. Adanya perbedaan pendapat tersebut tidak
dapat memberikan penyelesaian yang pasti untuk keamanan negara. Oleh karena itu,
Perlembagaan memberikan wewenang kepada Yang di-Pertuan Agong untuk menen-
tukan apakah suatu keadaan krisis itu sudah mencapai keadaan darurat atau belum.
Bagindalah yang dapat menentukan ada tidaknya keadaan darurat tersebut, walaupun
pada hakekatnya Baginda berbuat demikian atas nasihat dari Jemaah Menteri.61
60 Ibid., h. 344 61 Ibid., h. 345
Berkenaan dengan tidak adanya penjelasan yang rinci tentang darurat dalam
Undang-undang, Lord MacDermott sebagaimana dikutip oleh Wu Min Aun
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keadaan darurat seperti yang dipakai
dalam pasal 150(1) tidak hanya dibatasi kepada mengunakan kekerasan ataupun
ancaman kekerasan di luar undang-undang dalam segala bentuknya, makna asal kata
darurat itu juga dapat mencakup keadaan-keadaan atau suasana dan peristiwa yang
luas, termaksuk berbagai kejadian seperti perang, kemarau panjang, banjir, wabah
penyakit dan jatuhnya kerajaan atau pemerintahan.62
Keadaan bahaya atau darurat itu sendiri dapat terjadi dalam beberapa
kemungkinan bentuk dan viarasi, mulai dari yang paling besar tingkat bahayanya
sampai ke tingkat yang paling kurang bahayanya. Tingkat bahaya yang timbul juga
ada yang bersifat langsung dan ada pula yang bersifat tidak langsung. Oleh karena itu,
dipandang dari pengertian demikian, keadaan-keadaan demikian itu, dalam praktik,
sangat bervariasi atau beraneka ragam bentuk dan tingkat kegentingannya yang
memaksa kepala pemerintahan untuk bertindak cepat. Jika dirinci, keadaan yang
demikian itu dapat berkaitan dengan keadaan-keadaan berikut:
a. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri.
b. Keadaan bahaya karena tentera nasional sedang berperang di luar negeri, seperti
tentera Amerika Serikat berperang dengan Iraq.
c. Keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman
pemberontakan bersenjata.
62 Wu Min Aun, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan Malaysia, cet. II,
(Kuala Lumpur: Heinemann Sdn. Bhd, 1978), h. 110
d. Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial
yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
e. Keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster) atau
kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan, dan
mengakibatkan pemerintah konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Misalnya, musibah gelombang ”tsunami” di Aceh dan bencana-
bencana alam yang lainnya.
f. Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara.63
Untuk setiap jenis bahaya atau keadaan darurat tersebut, diperlukan upaya-
upaya yang berbeda-beda pula bentuk, corak, dan sifatnya. Bahkan untuk setiap jenis
keadaan itu sangat mungkin memerlukan format perundangan yang juga berbeda-
beda satu sama lain untuk ditugasi memulihkan keadaan agar menjadi normal
kembali. Oleh karena itu, diperlukan pula pengaturan yang rinci mengenai mekanime
untuk mengatasi keadaan darurat.
Suatu keadaan yang menyebabkan darurat negara terdapat dalam Pasal 149
ayat (1) yaitu perbuatan subversif,64
tindakan yang memudaratkan ketenteraman
umum, pelaku perbuatan tersebut telah dianggap sebagai penentang subversif jika:
63 Jimly Asshiddiqi, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada, 2007), cet. I, h. 69 64 Subversif yaitu bertujuan untuk melemahkan atau memusnahkan sesuatu
sistem politik, kerajaan, agama dan lain-lain dengan menjalankan aktivitas secara tersembunyi.
a) Melakukan kekerasan terhadap orang dan harta atau menyebabkan orang banyak
takut akan kekerasan tersebut;
b) Membangkitkan perasaan yang tidak suka terhadap Yang di-Pertuan Agong atau
mana-mana kerajaan dalam persekutuan;
c) Mengembangkan perasaan jahat atau permusuhan antara beberapa kaum atau
golongan penduduk yang mungkin menyebabkan kekerasan;
d) Telah menyebabkan mudarat kepada penyelenggaraan atau perjalanan apa-apa
bekalan atau perkhidmatan kepada orang ramai atau mana-mana golongan orang
ramai dalam Persekutuan;
e) Mendatangkan mudarat kepada ketenteraman umum atau keselamatan,
persekutuan atau mana-mana bahagiannya. 65
Dengan demikian, keadaan negara dapat dibedakan antara keadaan normal
dan keadaan yang tidak normal atau luar biasa yang bersifat pengecualian. Keadaan
darurat negara yang bersifat tidak normal itu dapat terjadi karena berbagai
kemungkinan sebab dan faktor. Penyebabnya dapat timbul dari luar (external) dan
dapat pula dari dalam negeri sendiri (internal). Ancamannya dapat berupa ancaman
militer atau ancaman bersenjata atau dapat pula yang tidak bersenjata, tetapi dapat
menimbulkan korban jiwa dan raga di kalangan warga negara ataupun mengancam
integritas wilayah negara yang kedua-duanya harus dilindungi oleh negara.66
65 Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia,
(Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, t.th.), h. 227
66 Jimly Asshiddiqi, Hukum Tata Negara Darurat, h. 63
Keadaan yang tidak normal itu, jika terjadi harus dihadapi, diatasi, dan akibat-
akibatnya harus ditanggulangi dengan maksud untuk mengembalikan negara kepada
keadaan yang normal menurut Undang-undang Dasar dan peraturan perundang-
undangan yang normal. Jika keadaan yang tidak normal itu terjadi, harus ada
pemegang kekuasaan yang diberi kewenangan untuk membuat keputusan tertinggi
dengan mengabaikan untuk sementara waktu beberapa prinsip dasar yang dianut oleh
negara yang bersangkutan.
F. Sejarah Pelaksanaan Hukum Darurat di Malaysia
Di Malaysia telah banyak peristiwa atau kejadian luar biasa yang
menyebabkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan biasa atau
normal menjadi tidak berdaya dan tidak lagi efektif untuk dipakai guna mencapai
tujuan pembentukkannya. Selepas Perang Dunia kedua, Malaysia pernah berada
di bawah pemerintahan meliter. Darurat Tanah Melayu yang berlaku pada tahun
1948 sampai 1960 adalah persengkatan antara Partai Komunis Malaya (PKM)
dengan kerajaan British di Tanah Melayu. Darurat tersebut telah diisytiharkan pada
7-7-1948.
Awal mula darurat dapat dikatakan bahwa semua berawal dari pendudukan
Jepang 1942-1945. PKM dan MPAJA (Malayan People Anti Japanese Army).
Nasionalisme orang Tanah Melayu yang telah dipengaruhi oleh orang Jepang
sewaktu pendudukannya telah mendorong kepada mereka supaya ingin membentuk
negara sendiri. Pembunuhan sebanyak tiga orang pengurus ladang keturunan Inggris
di Sungai Siput, Perak pada tahun 1948, telah menyebabkan negara menyatakan
darurat di seluruh Tanah Melayu. Sebulan setelah itu PKM diharamkan. Yang paling
teruknya, dapat dikatakan dengan pelarangan kegiatan PKM oleh negara Persekutuan
Inggris karena dianggap sebagai partai politik yang radikal.67
Larangan ini telah
menimbulkan ketidakpuasan hati oleh kebanyakan tokoh dalam PKM karena jasa
mereka telah dilupakan oleh negara persekutuan Inggris sewaktu dalam penjajahan
Jepang. Waktu itu juga, ketua PKM, telah mengubahkan dasarnya yang bersikap
sederhana kepada bentuk yang agresif, yaitu dengan pembunuhan. PKM memulakan
dengan mogok bersama dengan kesatuan para pekerja, serta pembentukan Persatuan
Buruh Baru (New Democratic Youth League). Namun, pemogokan itu telah gagal dan
undang-undang yang baru dibuat oleh negara persekutuan Inggris untuk melemahkan
PKM, seterusnya PKM menggunakan serangan bersenjata untuk mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Hubungan PKM dan negara kerajaan Inggris yang semakin
buruk dan setelah Chin Peng sebagai ketua yang baru, gerakan bersenjata dibuat,
dengan pembunuhan 3 ketua Kuo Min Dang (KMT), dan 3 orang pengurus ladang
getah yang berbangsa Eropa, termasuk 1 penolong, pada 12-6-1948 dan 15-6-1948.
Darurat Negeri dilaksanakan di Johor pada 19-6-1948.68
Pada permasalahan lain, Perundangan Darurat ini dikeluarkan disebabkan
oleh tindakan kekacauan yang telah terjadi pada 1963, negara Malaysia mengalami
krisis akibat ketimpangan kekayaan antara golongan keturunan Tionghoa yang
67 http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan_darurat, diakses pada tanggal 12 Juli
2008 pukul 15.00 WIB
68 Ibid
umumnya pedagang, yang menguasai sebagian besar ekonomi Malaysia, dengan
golongan miskin, penduduk Melayu. Selain itu, orang Tionghoa juga menguasai
sebagian besar kekayaan negara.
Kerusuhan rasial di Singapura pada 1964 juga merupakan salah satu penyebab
keluarnya negara itu dari Malaysia (dulunya Singapura merupakan bagian dari
Malaysia), dan ketegangan rasial terus berlangsung. Kebanyakan orang Melayu tidak
puas dengan negara yang baru saja merdeka itu yang berkeinginan untuk
menenangkan etnis Tionghoa dengan pengeluaran mereka.
Pada pemilihan umum 10 Mei 1969, koalisi Aliansi yang memerintah diketuai
oleh United Malays National Organization (UMNO)69
menderita kekalahan besar.
Partai terbesar golongan Tionghoa Democratic Action Party dan Gerakan mendapat
suara dalam pemilihan, dan berhak untuk mengadakan pawai kemenangan melalui
jalur yang telah ditetapkan di Kuala Lumpur. Namun, pawai yang berisik dan kasar
dan menyimpang dari jalurnya dan mengarah ke distrik Melayu Kampong Bahru,
mengolok penduduknya.70
Perusuh mulai beraksi di ibukota Kuala Lumpur dan
wilayah sekitar negeri Selangor, dengan pengecualian gangguan kecil di Melaka
tempat lain di negara tersebut tetap tentram. Keadaan darurat nasional dan jam malam
diumumkan pada 16 Mei tetapi jam malam dikurangi di beberapa bagian di negara
tersebut pada 18 Mei dan dihilangkan dalam waktu seminggu di pusat Kuala Lumpur.
69 UMNO sebuah partai politik di Malaysia
70 http://id.wikipedia.org/wiki/Insiden_13_Mei#Penyebab_kerusuhan, diakses
pada tanggal 25 Juli 2008 pukul 15.30 Wib
Menurut data polisi, 184 orang meninggal dan 356 terluka, 753 kasus
pembakaran dicatat dan 211 kendaraan hancur atau rusak berat. Sumber lain
menyebutkan jumlah yang meninggal sekitar 196 orang atau bahkan lebih dari 200
orang. Beberapa memperkirakan jumlah kematian bahkan mencapai 700 orang
sebagai akibat dari kerusuhan.71
Dari peristiwa itu, maka perundangan darurat negara
dibentuk.
Undang-undang darurat, sekalipun berlawanan dengan Perundangan, boleh
dibuat oleh pihak lain, selain Perlemen atau Yang di-Pertuan Agong dengan syarat,
pihak berkuasa itu telah diwakilkan dengan sempurna. Selanjutnya, setelah kita
mengatahui sebagian sejarah mengapa dan bagaimana timbulnya pelaksaan hukum
darurat di Malaysia, maka pada bab yang seterusnya, penulis akan menghuraikan
perkara-perkara atau perbuatan yang mengakibatkan darurat.
C. Berbagai Kasus-Kasus Keadaan Darurat dalam Sejarah Di Malaysia
Sejak kemerdekaan sampai sekarang, telah banyak peristiwa atau kejadian
luar biasa yang menyebabkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kejadian-kejadian tersebut mengandung dan mengakibatkan hal-hal yang
mengancam dan membahayakan sehingga kondisi yang normal tidak dapat bertahan.
Ancaman yang membahayakan itu sendiri beraneka ragam bentuk dan corak, yang
berbeda-beda dari kasus yang satu ke kasus yang lain, pada satu tempat ke satu
tempat yang lain. Untuk meghadapi berbagai potensi gangguan dan ancaman tersebut,
71 Ibid.
maka dalam Perlembagaan Persekutuan telah ditetapkan suatu aturan pada Pasal 149
yaitu tentang perbuatan subversif, tindakan yang memudaratkan ketenteraman umum
dan Pasal 150 tentang pengumuman atau pemberlakuan keadaan darurat oleh Yang
di-Pertuan Agong.
Berbagai pergolakan dan bencana yang bersifat membahayakan, sebagian
besar di antaranya dapat di atasi dengan secara resmi. Ada beberapa keadaan darurat
yang pernah diberlakukan di Malaysia. Deklarasi keadaan darurat untuk pertama kali
telah dibuat oleh negara Inggris pada tanggal 13 Juli 1948 untuk mencegah keadaan
luar biasa dan huru-hara yang ditimbulkan oleh pemberontakan komunis. Pada masa
itu Tanah Melayu belum merdeka, negeri ini diperintah untuk mengikuti perjanjian
persekutuan Tanah Melayu tahun 1948. Dalam perjanjian ini tidak disebut langsung
sebab akibat darurat secara terperinci. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa perjanjian
ini mengizinkan Majelis negara bagian untuk membuat undang-undang, memberi
wewenang kepada negara pusat untuk membuat deklarasi darurat dan mengambil
beberapa langkah mencegah keadaan huru-hara ini.
Pemberian izin ini dapat dilihat dalam kutipan “……peace order and good
government……..” untuk negeri-negeri di Semenanjung Malaysia sebagai tujuan dari
perjanjian itu. Undang-undang seperti ini tidaklah dianggap menyimpang dari bidang
kewenangan (ultra vires) Perjanjian Persekutuan. Oleh karena itu, Majelis Negeri
Bagian pada saat itu telah menetapkan sebuah undang-undang yang bernama
Ordinan72
Peraturan Darurat 1948. Di bawah bagian pasal 3 ordinan inilah deklarasi
darurat yang tertanggal 13 Juli 1948 itu telah dibuat oleh Badan Tinggi Persekutuan
Melayu. Ordinan ini juga mempunyai beberapa turunan berupa undang-undang kecil
yang telah dibuat dan dipraktekan untuk menghapuskan keadaan darurat tersebut.73
Selanjutnya, deklarasi darurat kedua yang dibuat oleh Yang di-Pertuan Agong
pada 3 September 1964, dalam jangka waktu kurang lebih dua minggu sebelum
lahirnya Persekutuan Malaysia. Negara Indonesia yang pada saat itu dipimpin oleh
Presiden Soekarno dan menteri luar negeri Dr. Subandrio menentang dengan keras
kelahiran Negara Malaysia. Konon Malaysia adalah suatu ancaman politik yang akan
membahayakan kedudukan Indonesia. Pertentangan ini terjadi pada awalnya dalam
arena diplomatik dan politik antarbangsa, tetapi apabila benar bahwa Malaysia akan
memproklamirkan diri, maka Soekarno akan melancarkan konfrontasi terhadap
Malaysia dengan mengatakan bahwa para tentaranya sebentar lagi akan memasuki
perairan negeri Johor, Melaka dan negeri Sembilan. Bahkan tak lama setelah itu,
tentara Indonesia telah mendarat di beberapa tempat di Johor, Melaka dan negeri
Sembilan. Namun, ancaman ini berhasil dicegah oleh Akta Keselamatan Dalam
Negeri 1960 (sekarang-International Security Act), di mana seluruh wilayah pantai
selebar dua batu diukur dari air pinggir laut, wilayah perairan di negeri-negeri Tanah
Melayu dan Singapura telah diumumkan sebagai batas wilayah darurat negara.
72 Ordinan adalah peraturan dari pihak yang berkuasa atau undang-
undang.
73 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di
Malaysia, h. 332.
Tetapi, apabila tentara Indonesia akan mendarat di Pontian dan di Labis, Johor,
Negeri sembilan dan Melaka yang telah diumumkan sebagai wilayah darurat negara,
maka hal ini bertujuan agar Pasukan Keselamatan Malaysia (Tentara) dapat
bertindak dengan bebas.74
Deklerasi darurat yang ketiga telah dibuat oleh negara pada 14 September
1966, yang bertujuan untuk menyelesaikan pertikaian politik yang membahayakan
keadaan keselamatan di Negeri Sarawak. Ini telah dijelaskan oleh wakil Perdana
Menteri, Tun Abdul Razak dalam pidatonya di Parlemen. Pertikaian politik yang
timbul di negeri Sarawak pada waktu itu disebabkan karena ketua menteri Sarawak
Datuk Stephen Kalong Ningkan, enggan meletakkan jabatan apabila beliau dipecat
oleh Yang dipertuan Negeri Sarawak Tun Abang Haji Openg. Deklarasi darurat yang
sangat penting ialah deklarasi yang dibuat oleh Yang di-Pertuan Agong pada 15 Mei
1969. Deklarasi ini dibuat karena adanya suatu konflik golongan antara orang-orang
Melayu dengan orang-orang bukan Melayu yang meletus pada 13 Mei 1969 di mana
sedang berlangsung pemilihan umum untuk legislatif dan juga negera bagian. Pada
waktu kampanye pemilihan umum, isu-isu golongan telah muncul. Pada 13 Mei 1969
Pemilihan umum ini belum selesai dan keputusan pemilihan umum masih dalam
tahap menunggu. Namun telah terjadi insiden pada saat itu yang menyebabkan warga
sipil yang tidak berdosa terbunuh, rumah dan toko dibakar dan harta benda binasa.
Oleh karenanya, Yang di-Pertuan Agong atas nasihat jemaah menteri yang ada pada
74 Ibid., h. 333
waktu itu telah membuat maklumat darurat.75
Sayangnya, parlemen tidak dapat
bersidang karena parlemen yang lama telah dibubarkan dan parlemen yang baru
belum terbentuk. Kemudian Yang di-Pertuan Agong membuat beberapa undang-
undang yang dinamakan ordinan dengan menggunakan kewenangannya di bawah
pasal 150 Undang-Undang Dasar Malaysia. Ada 77 ordinan semuanya yang dibuat
oleh Yang di-Pertuan Agong yang meliputi berbagai permasalahan, tetapi ordinan
yang terpenting ialah ordinan darurat (kuasa perlu) No. 1 dan ordinan darurat (kuasa
perlu) No. 2. di bawah wewenang kedua ordinan ini dalam usaha mencegah darurat,
pemerintahan di negara ini tidak lagi dijalankan dalam sistem bersama menteri tetapi
dijalankan dengan satu sistem baru yang sama dengan pemerintahan militer.
Deklarasi darurat yang keempat, merupakan darurat yang terpenting ialah
sebuah maklumat yang di buat Yang di-Pertuan Agong pada 15 Mei 1969. Deklarasi
ini dibuat berdasarkan peristiwa perselisihan dan kerusuhan antara kaum (golongan)
antara orang-orang Melayu dengan orang-orang non-Melayu yang meledak pada 13
Mei 1969. Hal ini terjadi pada bulan Mei 1969. Berikutnya, pada tahun 1977 pihak
komunis telah melakukan kekacauan dengan melakukan pengeboman di tugu
peringatan dan melempar bom di pos Polisi Kehutanan di Jalan Pekeliling, Kuala
Lumpur yang merupakan bulan pemilihan umum untuk legislatif dan juga untuk
pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (Undangan Negeri). Pada waktu kampanya
pemilihan umum, isu-isu golongan telah ditimbulkan dengan ada batasan. Pada 13
75 http://id.wikipedia.org/wiki/Insiden_13_Mei#Penyebab_kerusuhan, diakses
pada tanggal 25 Juli 2008 pukul 15.30 Wib
Mei 1969 pemilihan umum belum selesai dan keputusan pemenang pemilihan umum
masih ditunggu-tunggu, tanpa terduga terjadi insiden yang menyebabkan banyak
warga sipil yang tidak berdosa terbunuh sia-sia, rumah dan toko dibakar dan harta
benda lenyap. Oleh karenanya, Yang di-Pertuan Agong atas nasihat sebagian menteri
yang ada pada waktu itu telah membuat deklarasi darurat.
Deklarasi darurat yang kelima dibuat oleh Yang di-Pertuan Agong pada 8
November 1977. Deklarasi ini dibuat untuk menyelesaikan pertikaian politik yang
timbul di negeri Kelantan, yang pada saat itu diperintah oleh partai PAS (Partai Islam
se-Malaysia). Partai PAS merupakan salah satu anggota partai dalam Barisan
Nasional pada waktu itu yang memerintah negara pusat dan negari-negeri lain.
Anggota PAS meminta Menteri Besar76
Kelantan pada waktu itu Datuk Haji Mohd.
Nasir meletakan jabatan tetapi beliau enggan berhenti dari jabatan sebagai Menteri
Besar.77
Setelah melihat kasus-kasus yang telah pernah terjadi di Malaysia, maka dapat
disimpulkan bahwa keadaan darurat itu bukan saja karena bencana alam atau
peperangan malah keadaan darurat ini juga tejadi disebabkan oleh pertikaian politik
serta rusuhan yang boleh menyebabkan kerusakan harta benda serta membahayakan
keselamatan orang awam. Oleh itu, penulis akan meneruskan bab bagaimanakah
kerajaan atau pemerintah di Malaysia dalam menyelesaikan masalah ini.
76 Menteri Besar dalam istilah ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan
Gubernur
77 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di
Malaysia, h. 332.
D. Penanganan dan Penyelesaian Keadaan Darurat Negara
Segala kebebasan rakyat dan pemerintah negeri yang ada hanya akan tercapai
pada masa aman dan tenteram. Jika keadaan dalam sesebuah negara itu hura-hara dan
kewujudan negeri itu sendiri terancam, maka tidaklah berarti sama sekali jika
perundangan negara itu tidak menyediakan cara-cara untuk menghapuskan keadaan
kacau balau dan mewujudkan semula keamanan dan ketenteraman. Oleh karena itu,
perundangan memberi kuasa kepada kerajaan atau pihak yang tertentu mengambil
langkah-langkah yang patut untuk memelihara negara dan perundang-undangan
walaupun langkah-langkah tersebut bertentangan dengan hak asasi. Dalam keadaan
huru-hara serta suasana yang kritis dan dalam mengambil langkah-langkah untuk
menyelamatkan negara dan rakyat serta memulihkan keamanan dan ketenteraman
negara, hak asasi rakyat negara itu tidak dapat terpelihara secara mutlak.
Apabila suatu negara dilanda huru-hara, pemerintahan berada di bawah
undang-undang tentera atau Militer (martial law) yaitu memerintahan negara
diserahkan atau dibantu oleh pihak Militer supaya memerintah negara yang sedang
kacau tersebut. Sekiranya negara berada dalam keadaan perang, Undang-undang
Militer dapat digunakan untuk memelihara keamanan. Penyerahan pemerintahan
negara kepada Militer dimulai dengan suatu penetapan tentangnya dan derdasarkan
hal itu maka pihak Militer dapat menjalankan pemerintahan negara untuk mencegah
bahaya dan ancaman itu. Akibat daripada penyerahan itu, undang-undang tidak lagi
dibuat seperti biasa oleh Parlemen, akan tetapi ia merupakan sebagai suatu arahan
yang dibuat oleh pentadbir (pelaksana) undang-undang tentera saja.78
Kekuasaan
memerintah tidak lagi berada di tangan kerajaan awam (Perdana Menteri), tetapi
berada ditangan pentadbir (pelaksana) undang-undang tentera. Mahkamah biasa tidak
lagi bersidang melainkan hanya mendengar kasus-kasus yang tertentu saja,
sebagaimana yang telah ditetapakn oleh pentadbiran undang-undang tentera. Keadaan
seperti ini, bermakna apabila undang-undang tentera dinyatakan meliputi seluruh
negara, selama penetapan Undang-undang Militer itu berlaku, maka pemerintahan
biasa akan dihentikan untuk sementara waktu. Tetapi jika penetapan itu berlaku lama,
maka pemerintahan biasa akan lenyap. Oleh karena itu, cara untuk mengembalikan
kepada pemerintahan biasa, amatlah sukar dan melibatkan penyelesaian bermacam-
macam masalah politik dan penggantian satu Perlembagaan yang baru.
Perkembangan politik di Malaysia dengan penetapan darurat pada 15 Mei
1969 mempunyai ciri-ciri yang hampir sama dengan pentadbiran Undang-undang
Tentera, yaitu telah terjadi suatu kerusuhan anatara etnik yaitu antara orang-orang
Melayu dengan orang bukan Melayu yang meletus pada 13 Mei 1969, telah
mengakibatkan hura-hara yang tidak disangka-sangka terjadi dan menyebabkan
banyak orang yang tidak berdosa terbunuh, rumah dan toko dibakar dan hilangnya
harta benda.79
Oleh karena itu, dalam usaha untuk mencegah keadaan darurat ini,
pemerintahan negara tidak lagi dijalankan dengan sistem Jemaah Menteri (Kabinet)
78 Ibid., h. 328 79 Ibid., h. 329
tetapi dijalankan dengan satu sistem baru yang hampir sama dengan pemerintahan
Militer. Semua kekuasaan pemerintah diserahkan kepada seorang pegawai yang
dinamakan Pengarah MAGERAN (Majlis Gerakan Negara). Pengarah MAGERAN
ini telah dibantu oleh seorang pegawai awam utama dan pegawai yang lain untuk
menjalankan bermacam-macam tugas dalam mengatasi kekacauan tersebut. Orang
yang dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong menjadi Pengarah MEGERAN adalah Tun
Abdul Razak.80
Apabila keadaan ini bertambah baik, akhirnya pada 20 Febuari 1971
Parlemen telah bersidang kembali dan dengan ini beberapa Ordinan yang telah dibuat
oleh Yang di-Pertuan Agong telah dibatalkan dan sistem pemerintahan cara Pengarah
MAGERAN telah dihapuskan.
Dalam usaha penanganan masalah darurat negara ini, ISA (International
Security Act) juga merupakan undang-undang yang berkesan dan berjasa menghadapi
ancaman komunis, anasir subversif dan pengacau ketenteraman umum tidak perlu
dipertikaikan lagi. Seseorang yang dianggap membahayakan keselamatan dalam
negeri dapat ditahan Polisi berdasarkan ISA. Individu atau kumpulan individu yang
dianggap membahayakan sedemikian rupa dapat ditahan untuk penyelidikan Polisi
selama 60 hari atau dalam tempo yang lebih singkat daripada itu.81
Pada tanggal 3 September 1964, dalam jangka waktu kurang lebih dua
minggu sebelum lahirnya Persekutuan Malaysia. Negara Indonesia yang pada saat itu
80 http://hids.arkib.gov.my/doc/jilidi/februari/29_02_1956_1980.htm, diakses
pada tanggal 25 Juli 2008 pukul 20.30 WIB 81 Ibid.
dipimpin oleh Presiden Soekarno dan menteri luar negeri Dr. Subandrio menentang
dengan keras kelahiran Negara Malaysia. Konon Malaysia adalah suatu ancaman
politik yang akan membahayakan kedudukan Indonesia. Pertentangan ini terjadi pada
awalnya dalam arena diplomatik dan politik antarabangsa, tetapi apabila benar bahwa
Malaysia akan memproklamirkan diri, maka Soekarno akan melancarkan konfrontasi
terhadap Malaysia, ancaman ini berhasil dicegah oleh Akta Keselamatan Dalam
Negeri 1960 (sekarang-International Security Act) ISA
Tetapi oleh sebab kebijaksanaan pemerintah mengunakan kuasa di bawah
Perkara 150 Perlembagaan Malaysia, Malaysia telah diletakkan dibawah
pemerintahan bercorak Undang-undang Militer. Setelah keadaan menjadi aman,
pemerintahan dikembalikan kepada sistem pentadbiran awam (pemerintahan biasa).82
Di samping itu, dalam keadaan yang bersifat darurat, pemerintah atau raja dapat
melakukan apa saja. Pembenaran mengenai hal ini didasarkan atas pengertian bahwa
suatu keadaan yang tidak normal mempunyai sistem norma hukum dan etikanya
sendiri. Dalam keadaan kacau tersebut, semua aturan moralitas yang biasa berlaku
dalam keadaan normal dapat ditunda berlakunya. Akan tetapi, tidak selalu keadaan
darurat itu bersifat Militer dan memerlukan peranan Militer dalam menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan dalam keadaan darurat tersebut. Misalnya, keadaan
darurat yang bersifat administratif berupa keadaan darurat yang bisa disebut sebagai
’welfare emergency’, sama sekali tidak memerlukan peranan penguasa militer.83
Oleh
82 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di
Malaysia, h. 328
karena itu, kewenangan Yang Di-Pertuan Agong dan DPR untuk menentapkan
peraturan ataupun undang-undang pada saat demikian. Pemberlakuan suatu keadaan
darurat di Malaysia telah memberikan pembenaran kepada kekuasaan Yang di-
Pertuan Agong mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan yang
tidak normal tersebut.
Perisytiharan (Penetapan) Darurat
Penetapan keadaan darurat sangat penting untuk menjalankan pemerintahan
yang sedang kacau. Apabila terdapat perisytiharan yang sedang berlaku, perundangan
darurat adalah sah walaupun tidak sama dengan Undang-undang Perlembagaan.
Pihak Eksekutif Persekutuan dibenarkan membuat undang-undang melalui Ordinan
Darurat selama Parlemen tidak bersidang atau sementara menunggu Parlemen
bersidang.84
Dalam Perundangan di Malaysia, Pasal 150 Perlembagaan Persekutuan telah
memberi kewenangan kepada Yang di-Pertuan Agong untuk mengeluarkan suatu
penetapan darurat sekiranya Baginda berpuas hati (berkenan) bahwa terdapat:
a) Keadaan darurat yang genting;
b) Keadaan keselamatan yang terancam;
c) Keadaan kehidupan ekonomi yang teancam.
83 Jimly Asshiddiqi, Hukum Tata Negara Darurat, h. 80 84 Muhammad Kamil Awang, Sultan & Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2001), cet. I, h. 292
Berdasarkan Pasal 150(2) yang diperkenalkan oleh Akta Perundangan
(Pindaan), 1981 Yang di-Pertuan Agong boleh mengeluarkan Pengisytiharan Darurat
sebelum berlaku kejadian yang mengancam keselamatan, kehidupan ekonomi, atau
ketenteraman awam negara, jika Baginda ”berpuas hati bahwa ada tanda-tanda yang
kejadian tersebut akan segera berlaku”.85
Baginda telah berbuat demikian sebanyak empat kali:
a) Pertama, ketika menghadapi darurat yang disebabkan oleh konfrontasi
Indonesia terhadap pembentukan Malaysia pada 1963;
b) Kedua, ketika menghadapi darurat yang disebabkan oleh krisis politik yang
timbul daripada kedudukan Kepala Menteri sarawak pada 1966;
c) Ketiga, menghadapi darurat yang disebabkan oleh krisis politik yang meletus
pada 13 Mei 1969; dan
d) Keempat, menghadapi darurat yang disebabkan oleh krisis di Kelantan pada
1977.86
Kewenangan ini diberikan atas gelar Baginda dalam jabatan sebagai Kepala
Negara. Ia dilaksanakan sekiranya Baginda ”berpuas hati” bahwa darurat yang
genting berlaku. Sebagai seorang Raja berdasarkan Perundangan melainkan tentang
perkara-perkara tertentu, Baginda tidaklah melaksanakan pemerintahan berdasarkan
85 Wu Min Aun, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan Malaysia, h. 110 86 Cheu Hock Tong, Pengajian Am, (Kuala Lumpur; Pustaka Dimensi 1987), cet.
I, h. 114
kehendaknya sendiri, tetapi berdasarkan pada Pasal 40(1)87
Perundangan untuk
bertindak berdasarkan nasihat Jemaah Menteri. Oleh karena itu, apabila Pasal 150
menyatakan bahwa kekuasaan dapat dijalankan sekiranya Baginda ”berpuas hati”
bahwa suatu keadaan berlaku, sebenarnya ini bermakna kepuasan hati itu berdasarkan
masukan dari anggota Jemaah Menteri.88
87 Perkara 40(1) menyatakan pada (Raja) menjalankan tugs-tugasnyadi
bawah Perlembagaan atau di bawah undang-undang persekutuan, Yang di-
Pertuan Agong hendaklah bertindak mengikut nasihat Jemaah Menteri atau nasihat
seorang Menteri yang bertindak di bawah kuasa am Jemaah Menteri, kecuali
sebaimana diperuntukkan selainnya oleh Perlembagaan ini, tetapi Yang di-pertuan
Agong adalah berhak atas permintaannya mendapat apa-apa maklumat
mengenai Pemerintahan Persekutuan yang didapati oleh Jemaah Menteri.
88 Wu Min Aun, Pergenalan Kepada Sistem Perundangan Malaysia, h. 110
BAB IV
ANALISIS HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP KEADAAN
DARURAT NEGARA DALAM PERUNDANGAN DI MALAYSIA
Kajian mengenai keadaan darurat negara memang sangat menarik, hal ini
dikarenakan sebuah negara pada umumnya akan memberlakukan keadaan negaranya
dalam kondisi yang tidak stabil atau darurat, kebutuhan akan adanya regulasi
perundang-undangan yang mengatur supaya keadaan dan kondisi negara dapat
distabilkan kembali merupakan sebuah tujuan yang pada akhirnya akan menjaga
negara dan tentunya warganegaranya. Malaysia sebagai sebuah negara yang
menjalankan sistem demokrasi sudah semestinya segala sesuatunya harus berlandas-
kan pada peraturan atau perundang-undangan, banyak kejadian yang pernah dialami
negara Malaysia yang menyebabkan negara dalam keadaan darurat baik dari yang
sifatnya politis, ekonomi maupun dari bencana alam.
Islam sebagai sebuah agama yang universal mencoba mengeksplor semua
aspek kehidupan dan bukan hanya yang bersifat ibadah saja namun termasuk hal yang
bersifat muamalah. Dalam umat Islam sendiri saat ini terdapat tiga pandangan tentang
hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut
hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sem-
purna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa:
1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara
lain sistem ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat
Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu
atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.
2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Khulafa
al-Rasyidin.89
Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antara lain Syeikh Hasan al-Banna, Sayyid
Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dan yang paling vokal adalah Maulana
Abul A’la al-Maududi.
Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat,
yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi
Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya,
dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia
dengan menjunjung tinggi budi pekerti, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk
89 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), edisi kelima, h. 1
mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara
lain Ali Abd. Al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.90
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat dalam sistem ketatannegaraan. Tetapi aliran
ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat
seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh aliran
ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Dr. Muhammad Husein Haikal,
seorang pengarang Islam yang cukup terkenal dan penilis buku Hayatu Muhammad
dan Fi Manzil al-Wahyi.91
terlepas dari pendapat di atas, di bawah ini akan dipaparkan lebih mendalam
mengenai konsep dan analisis mengenai keadaan darurat negara baik dari pandangan
Islam secara umum maupun analisis hukum Islam dalam penerapan keadaan darurat
negara di Malaysia yang berlandaskan kepada perundang-undangan di Malaysia.
F. Pandangan Islam Mengenai Keadaan Darurat Negara (Pemberontakan)
Pembahasan mengenai pemerintahan dalam kondisi tidak stabil di dalam ilmu
ketatanegaraan Islam (fiqh siyasah) dikenal dengan Siyasah Harbiyah. Harbiyah
bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau
90 Ibid. 91 Ibid., h. 2
genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta
peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau darurat. Siyasah Harbiyah itu
sendiri adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hal-hal dan
masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan
jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan
masalah perdamaian.92
Pada dasarnya dalam hal kriteria untuk membedakan antara sistem-sistem
pemerintahan yang ada di dunia ini terletak pada prinsip kedaulatan hukum dan
keadilannya. Apabila menerapkan kriteria sebuah sistem pemerintahan berdasarkan
pemerintahan Islam, maka dapat dikatakan bahwa kriteria pertalian sistem itu berda-
sarkan syariat Islam yaitu pemerintahan yang berlandaskan kepada undang-undang
yang diekspresikan kepada mabda al-syar’iyyah al-islamiyah (Legalitas Islam) atau
kedaulatan syariat.93
Yang dimaksud dengan mengakui suatu pemerintahan yang
islami atau mengatakannya berafiliasi kepada Islam bukanlah berarti pemerintahan itu
memperoleh suatu kesucian yang memeliharanya dari kritikan orang atau diberi
sertifikat bersih dari melakukan pelanggaran terhadap syariat, namun sebuah
pemerintahan yang islami itu haruslah berkomitmen terhadap penerapan syariat.
92 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, cet. II,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 41-42
93 Taufiq M. Asy-Syawi, Fiqh al-Syŭrâ wa al-Istisyârât, diterjemahkan oleh
Djamaluddin, Z.S, Syura Bukan Demokrasi, cet. II, (Jakarta: Gema Insani Press: 1992),
h. 583
Apabila dapat digambarkan bahwa kehendak rakyat, para ulama ataupun
cendekiawan yang menginginkan sebuah pemerintahan yang harus konsisten dalam
menjalankan pemerintahan dan kemudian penguasa tidak sesuai dengan kehendak
hukum bersama itu, dan dikarenakan sebagian pemerintahan memaksakan
kekuasaannya dengan kekuatan dan kekerasan dan umumnya tidak menghormati
kehendak rakyat, dan juga para fuqaha maka kenyataannya hal yang dapat mengobati
keadaan seperti ini adalah pemberontakan atau keluar dari kekuasaan penguasa.94
Berkaitan dengan adanya pengertian keadaan darurat negara dengan pemberontakan,
Abdul Qadir Audah menjelaskan bahwa pemberontakan merupakan bagian dari
jarimah politik (tindak pidana politik).95
Dalam konteks keterwakilan (syura), prinsip darurat (dhârurî) dapat
dijelaskan sebagai prinsip yang didasarkan kepada standar batas negatifnya. Artinya
darurat yang membuka peluang pergeseran hukum boleh (ibâhah) itu adalah yang
tidak melampaui batas-batas emergency-Nya. Ukuran yang dapat di standardisasi
untuk melihat baik tidaknya darurat itu difungsikan, adalah melalui standar syura.96
Dengan demikian, syura diangkat dapat menentukan lini demarkatif suatu regulasi
dapat disebut melanggar atau tidak melanggar.97
94 Ibid., h. 584 95 Ahmad Dzajuli, Fikih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam
Islam), cet. II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), h. 105 96 Ali Yafie, “Pengertian Wali al-Amar dan Problematika Hubungan Ulama
dan Umara” dalam Budhy Munawar Racman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 595.
Prinsip “darurat”, sebagai teori umum yang memiliki daya jangkau yang luas,
merupakan dasar bagi fleksibilitas ragam hukum syarak, baik yang berhubungan
dengan sistem keyakinan (akidah), sistem ritus (ibadah), pemerintah, maupun
muamalah. Dalam konteks ini, fokus pembahasan ini adalah “sesuatu dianggap
darurat” yang menjadi ukuran bolehnya mengakui otoritas pemerintah, yang
kenyataannya tidak sesuai dengan syariat dalam pengertian luas. Teori darurat dalam
fikih Islam adalah mata rantai yang mempertalikan sistem-sistem pemerintahan yang
ada (minus) di negara-negara Islam dengan prinsip-prinsip fikih Islam yang pada
dasarnya diambil dari Khalifah Rasyidah yang merupakan contoh ideal. Teori darurat
dalam kajian as-Sanhuri bagi fikih khalifah merupakan dasar fleksibelitas mabda
kesatuan dunia Islam, kemudian hukum darurat membolehkan kita mencukupkan
mendirikan negara persatuan atau persatuan yang disebut konfederasi, bahkan
organisasi internasional yang mencakup negara-negara Islam merdeka secara penuh.98
Defenisi pemberontakan adalah orang yang berusaha mengadakan perubahan
terhadap sistem pemerintahan atau menghasilkan penguasa-penguasa negara dengan
jalan kekerasan, atau menyatakan tidak mau tunduk dengan mendasar pada kekuatan
senjata. Dalam Islam dasar hukum yang dijadikan patokan mengenai keadaan darurat
yang disebabkan oleh pemberontakan di muat di dalam dua sumber hukum, yaitu:
97 Asap Taufik Akbar, “Fikih Politik NU ( Pendekatan sosialisasi Atas Lahirnya Konsep Wali
Al- Amr al-Dlarury bi al- Syaukah)”, Makalah tidak diterbitkan, ( Jakarta: PPs. UIN, 2002), h. 5 98 as-Sanhuri mempertegas yaitu suatu contoh untuk langkah-langkah praktis
dan tahapan yang berurut yang ia usulkannya dan yang memungkinkan kita
menegakkan persatuan umat Islam sebagai tujuan tertinggi, kendati kita harus
terpaksa mengakui keberadaan pemerintah-pemerintah disintegrasi yang
dipaksakan atas bangsa-bangsa.
c. Al-Qur’an
Adalah firman Allah pada surat Al-Hujurat ayat 9 yang secara eksplisit
mengambarkan mengenai terjadinya keadaan darurat yang disebabkan
perselisihan (pemberontakan):
E���� TE���⌧JU��� 6') �WX'Y')�☺���� 4�IR������M��
4�I���:\�]�7 ��☺_�`a�0 4 bE�c�7 :d�!�0 ��☺ef�L��� g��
P%�� hi�� 4�IR�'�j���7 klmF��� kT22A� Dknm�� �8ogpq� �g�r�� $��)�. 3��� D E�c�7 :��8���7
4�I���:\�]�7 ��☺_�`a�0 ls:L�R�����0 4�oI89pt�M�.�� 4
*E�� F��� a�'�8u vwX'9pt��☺���� ) )٩: 49/ا��Z3ات
Artinya: “Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah, jika golongan itu telah kembali maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil. Dan berlaku adilah sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. Al-Hujurat/49: 9).
Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini seperti yang telah
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas bin Malik yang mengatakan:
Telah berkata sahabat kepada Nabi, kalau saja Anda sudi menemui Abdullah
bin Ubay, Rasulullah SAW pergi untuk menemuinya, ketika itu Beliau naik
keledai dan kaum muslimin berjalan kaki padahal saat itu tanah sedang
berlumpur. Ketika Nabi datang menemui Ubay, lalu Ubay pun berkata
menjauhlah kamu dariku, demi Allah bau keledaimu itu telah menggangu
hidungku. Salah seorang sahabat dari Anshar menimpal, demi Allah SWT
sesungguhnya keledai Rasulullah SAW lebih wangi dari pada bau badanmu.
Perawi berkata bahwa perkatan sahabat Rasulullah SAW itu membuat marah
kelompoknya Abdullah bin Ubay, maka naik pitamlah masing-masing sahabat
Nabi dan teman Abdullah bin Ubay sehingga terjadilah baku pukul dengan
pelepah kurma, tangan dan alas kaki mereka.99
Beberapa hal diatas dapat petik sebagai pelajaran di dalam ayat diatas
diantaranya:
1) Penjelasan dari ayat wa inthâifatâni min al-mu’munîna iqtatalŭ faashlihŭ
bainahumâ. Allah SWT masih menamakan mereka dengan istilah orang-orang
mukmin meskipun mereka sedang dalam keadaan berperang, dari ayat ini
Imam Bukhari mengambil istinbat bahwa seseorang tidak keluar dari
keimanan karena melakukan kemaksiatan ini (maksudnya perselisihan).100
2) Kemudian penafsiran dari ayat Fain Baghat ihdâhumâ alâ al-ukhrâ pada ayat
di atas terdapat beberapa penafsiran,101
yaitu (1) melewati batas dalam
berperang, dan (2) menolak untuk berdamai.
3) Ayat Faqâtilâ allatî tabghî, maksudnya perangi mereka dengan menggunkan
pedang sampai mereka menghentikan pemberontakannya dan mengakhiri
penentangannya.
4) Ayat Hattâ Tafî’a ilâ amrillâh mempunyai dua penafsiran, yaitu (1) hingga
mereka kembali kepada perdamaian yang diperintahan Allah SWT, ini
merupakan penafsiran dari Said bin Jubair, dan (2) Hingga mereka kembali
99 Sidqi Muhammad Jamil, Hasiyah Al Showy ala Tafsir Al Jalalain, (Jeddah
Haramain: Sanqo Pauroh, t.th.), Juz. IV, h. 141
100 Syihabudin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan), cet. III, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), h. 427 101 Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Terjemahan), (Jakarta: Darul
Falah, 2000), cet, I, h. 111
kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tentang hak dan kewajiban
mereka ini merepakan penafsiran dari Qatadah.102
5) Ayat Fain fâat, yang berarti berhenti dari memberontak, dalam hal ini juga
terdapat dua penafsiran,103
(1) damaikan diantara keduanya dengan benar, dan
(2) damaikan diantara keduanya dengan kitabullah.
d. Al-Hadits
Banyak hadits yang membahas mengenai pemberontakan, kebanyakan
hadits ini lebih melihat dari sanksi hukum bagi para pemberontak, diantaranya:
ل##" #�� ا ا- ب" م��Oد رض� ا- � E( :���D ی23 دم : � ل ر/�ل ا- ص�� إD بaح�ى ث>ث Oان: ام�ئ مAا� cوا��� d6(� �ی)E ا�&6 رق ا�7 ركو ا�)d6 ب�
�� $# &Z)��O104)روا? م Artinya: “Dari Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah SAW:
Tidak halal darah seorang muslim melainkan karena salah satu dari tiga
sebab: (1) Orang tua yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3)
orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan diri
jamaahnya. ( H.R. Muslim).
Pengertian memisahkan dari jamaah adalah meninggalkan jamaah orang
Islam (menentang keputusan-keputusan Ahlul Hal wal Aqd.105
Dan ketika
seseorang telah melakukan ketiga hal yang telah disebutkan hadits diatas, maka
102 Mubarak bin Muhammad Ibnu Atsir al-Jazari, Jamî’ al-Ushŭl fi Ahâdîts al-
Rasŭl, cet. II, (Beirut Lebanon: Dâr al-Fikr, 1983), Juz. VI, h. 568
103 Ibid., h. 111 104 Muslim Ibnu al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî al-Nîsâburî, Shahih Muslim,
(Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th.), juz III, hadits nomor 25 (1676), h. 1302
105 Teungku M. Hasby Ash-Shiddieqy, Al-Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1998), cet, I, Bag. II, h. 485
agama menganjurkan kepada kita untuk membunuhnya, hal ini dilakukan apabila
tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan. Allah sudah tegas mengatakan bahwa
golongan yang harus diperangi oleh pemerintah yang sah adalah mereka yang
membuat kerusakan dan gangguan terhadap anggota masyarakat yang tidak
bersalah, di dalam hadits lain disebutkan:
cب" وه �م" ب یh إم م :/�ل ا- ص��� ی��ل ر: � ل#" ا�#&g #" زی?�1 ض�ب�ا 1,9# ? ص�6$ ی E#ز ء iخ� ی)I نa1 ع 1��E�9 إن ا/97 E�� وث&�ة �
l(#106 اkخ�
Artinya: “Dari al-A’masy dari Zaid bin Wahab berkata: Rasulullah SAW
bersabda: siapa orang yang memberikan persetujuan dan kesetiaan
kepada imam, maka taatilah dia samampu mungkin. Apabila orang lain
mempersengketakan kekuasaan penguasa tersebut, maka potonglah
leher orang itu ( H.R. Muslim)
"# � E(# -ب" ش�ی� رض� ا $Z1�# ل :�&/ ��n ر/�ل ا- ص�� ا- #��E و/ آ� أو ی�6ق : ی��ل%# l>أن ی ��� ر2I واح� ی�ی# h�&I آ� وأم�آ� م" أ(
?��7� 1 �=7# &I ) ?روا��O107 )م
Artinya: “Dari Urfajah bin Syarim r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda: Siapa orang yang mendatangi kamu sementara kamu
telah sepakat (mengakui pemerintahan yang sah), maka bunuhlah dia
yang ingin memisahkan diri dari jamaah kamu”. (H.R. Muslim).
G. Analisis terhadap Perundangan Malaysia Mengenai Keadaan Darurat
Negara dalam Tinjauan Hukum Islam
Bagian XI Perlembagaan (Undang-Undang Dasar) Malaysia mengandung
penjelasan yang menyebutkan bahwa pemerintah persekutuan (negara bagian) di beri
wewenang untuk membuat peraturan sendiri untuk mengatasi keadaan pada waktu
106 al-Nîsâburî, Shahih Muslim, hadits nomor 46 (1844), h. 1472 107 Ibid, hadits nomor 60 (1852), h. 1479.
terjadi darurat, seandainya tidak ada penjelasan dari Perlembagaan tersebut maka
undang-undang yang di buat di negara bagian itu tidak dapat berlaku. Pasal (1)
perkara 149 menjelaskan bahwa seandainya sesuatu Akta Parlemen menyebut pada
awalnya bahwa hal-hal dan tindakan yang dapat mengancam sekumpulan orang
seperti halnya di dalam maupun di luar negara bagian sehingga dapat menganggu
pemerintahan, diantaranya:108
f) Melakukan kekerasan terhadap orang dan harta atau menyebabkan orang banyak
takut akan kekerasan tersebut;
g) Membangkitkan perasaan yang tidak suka terhadap Yang di-Pertuan Agong atau
mana-mana kerajaan dalam persekutuan;
h) Mengembangkan perasaan jahat atau permusuhan antara beberapa kaum atau
golongan penduduk yang mungkin menyebabkan kekerasan;
i) Telah menyebabkan mudarat kepada penyelenggaraan atau perjalanan apa-apa
bekalan atau perkhidmatan kepada orang ramai atau mana-mana golongan orang
ramai dalam Persekutuan; dan
j) Mendatangkan mudarat kepada ketenteraman umum atau keselamatan,
persekutuan atau mana-mana bahagiannya.
Di Malaysia ada beberapa kejadian yang pernah dikatakan sebagai
keadaan darurat, diantaranya dua ditingkat nasional yaitu ketika adanya
konfrontasi dengan Presiden Soekarno yaitu pada tahun 1964 dan peristiwa antara
108 Ahmad Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia,
(Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, t.th.), h. 227
suku Melayu dengan etnis Cina yang terjadi pada waktu pemilihan umum pada
tanggal 13 Mei 1969, dan di tingkat negara bagian yaitu di Serawak yang terjadi
dua kali tahun 1966 dan September 1997, kemudian di negara bagian Kelantan
pada tahun 1977. Pembahasan yang menarik kemudian adalah kejadian darurat di
negara Malaysia yang telah terjadi bukan hanya merupakan peristiwa dari sisi
pemberontakan ataupun konfrontasi ataupun pemisahan diri dari negara tersebut,
hal ini sesuai dengan Perkara 150(1) Perlembagaan Malaysia:
Jika Yang di-Pertuan Agong berpuas hati bahawa suatu darurat besar sedang
berlaku yang menyebabkan keselamatan, atau kehidupan ekonomi, atau keten-
traman umum di dalam Persekutuan atau mana-mana bahagiannya terancam,
maka Yang di-Pertuan Agong boleh mengeluarkan suatu Proklamasi Darurat
dengan membuat dalamnya suatu perisytiharan yang bermaksud sedemikian.
Apa yang dimaksudkan darurat adalah suatu darurat besar yang membahaya-
kan serta mengancam keselamatan atau keamanan, pertikaian politik atau kehidupan
ekonomi persekutuan. Keadaan darurat dalam pasal 150(1) tidak hanya dibatasi
kepada mengunakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan di luar undang-undang
dalam segala bentuknya, keadaan darurat itu juga dapat mencakup keadaan-keadaan
atau suasana dan peristiwa yang luas, termaksuk berbagai kejadian seperti perang,
kemarau panjang, banjir, wabah penyakit dan jatuhnya kerajaan atau pemerintahan
Melihat penjelasan dari Pasal 150 (1) tersebut, senada dengan penjelasan itu
seorang ahli ketatanegaraan dari Indonesia Jimly Asshiddiqi memaparkan ada
beberapa hal yang dinamakan darurat negara, yaitu:109
109 Jimly Asshiddiqi, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada, 2007), cet. I, h. 68
1. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri.
2. Keadaan bahaya karena tentera nasional sedang berperang di luar negeri, seperti
tentera Amerika Serikat berperang dengan Iraq.
3. Keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman
pemberontakan bersenjata.
4. Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial
yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
5. Keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster) atau
kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan, dan
mengakibatkan pemerintah konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Misalnya, musibah gelombang ”tsunami” di Aceh dan bencana-
bencana alam yang lainnya.
6. Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara.
Dari beberapa penjelasan yang telah menguraikan mengenai keadaan darurat
negara di Malaysia berdasarkan perundang-undangannya, maka kita akan melihat dari
sudut pandang hukum Islam melihat penerapan dari keadaan darurat negara di
Malaysia yang berdasarkan perundang-undangannya. Istilah "darurat" berasal dari
rahim ajaran Islam, yakni al-dlarûrah. Dalam bahasa Arab, "darurat" bisa ditulis
dengan al-dlarŭrah, al-dlârŭrah, atau al-dlârŭrâ’. Kata ini akrab dalam wacana
hukum Islam, terutama dalam perbincangan ushûl al-fiqh dan qawâ'id al-fiqhiyah.110
Dalam wacana ushûl al-fiqh, sesuatu yang mendesak merupakan bagian dari kemasla-
hatan yang bersifat dlarûriyyah, yakni suatu kemaslahatan primer dalam kehidupan
manusia baik di dunia maupun di akhirat, yang jika tidak terwujud maka rusaklah
kehidupan dunia, dan kehidupan umat manusia akan terancam. Mewujudkan kemas-
lahatan di dunia dan akhirat adalah tujuan syari'at (maqâshid al-syarî'ah) yang sangat
prinsipil. Akan tetapi kemaslahatan dlarûriyyah dalam ushûl al-fiqh agaknya lebih
longgar ketimbang konsep al-dlarûrah dalam qawâ'id fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih).
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa keadaan darurat seperti yang dipakai
dalam Pasal150(1) Persekutuan tidak hanya dibatasi kepada keadaan karena
kekerasan ataupun ancaman, tapi lebih luas dari itu bahwa keadaan darurat itu juga
mencakup keadaan atau peristiwa termaksuk berbagai kejadian seperti perang,
kemarau buruk yang berkepanjangan, banjir, wabah penyakit dan jatuhannya
pemerintahan.
Dalam hukum Islam mengenai Pasal tersebut sudah jelas bahwa memang
benar apabila kita melihat setiap perbuatan darurat itu bukan hanya dari segi
kekerasan maupun ancaman yang sifatnya membahayakan negara seperti pemberon-
takan dan peperangan, di dalam hukum Islam setiap perbuatan yang sifatnya
memaksa dan membahayakan kehidupan pribadinya itu sudah dikatakan darurat.
Menurut al-Layts, kata al-dlarûrah adalah bentuk jadian dari al-idlthirâr. Secara
110
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12965, diakses
pada tanggal 25 Nopember 2008 pukul 15.00 WIB
bahasa, dua kata ini bermakna sama, yakni suatu kebutuhan yang amat mendesak
(syiddat al-luzûm), sesuatu yang tak dapat dihindari (lâ ghinâ 'anhu), atau sesuatu
yang memaksa (alja'ahu). Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir
keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang bisa mengancam jiwa.
Islam mengajarkan kepada semua pemeluknya untuk terus menjaga tujuan
syari’at, karena dengan menjaga hal itu manusia akan menemukan sebuah
penghidupan yang akan menghormatinya sebagai manusia, sebagai sebuah tujuan
maqâshid al-syarî'ah juga secara tidak langsung akan memberikan gambaran kepada
kita bahwa di dalamnya akan menunjukkan sesuatu itu dikatakan membahayakan atau
darurat apabila melanggar dari lima hal dari tujuan syari’at. Maqâshid al-syarî’ah,
yang artinya adalah “tujuan-tujuan syari’at” itu ada beberapa tujuan dan sasaran yang
diperhatikan oleh syara’ di dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar darinya;
atau, maqâshid al-syarî’ah adalah titik akhir dari syari’at, dan rahasia-rahasia dimana
syâr’i meletakkannya pada setiap hukum-hukum syari’at.111
Mengetahui maqâshid
al-syarî’ah adalah sebuah ketentuan yang pasti bagi seluruh manusia selamanya.112
Di dalam tujuan syari’at ini terdapat konsep Dharûriyyât (ت Sebuah :(ا��Bوری
kemaslahatan dimana kehidupan manusia dari segi agamawi dan duniawi sangat
bergantung kepadanya secara primer. Sekira kemaslahatan ini tidak wujud, maka
hilanglah kehidupan di dunia dan semakin semaraklah kerusakan, serta semakin
111 Imam al-Syatibi, al-Muwafaqat, (Ttp: Dar al-Fikr, t.th), h. 2-5 dapat dilihat
juga pada Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), h. 231-
234 112 Wahbah al-Zuhailî, Ushul al-Fiqh al-Islamî, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), Juz
II, h. 1045.
sempitlah kenikmatan abadi dan akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Dalam hal
ini, terdapat 5 perkara yang disyari’atkan Islam untuk menjaganya dalam bentuk
hukum meliputi dua perkara yaitu mewujudkannya dan melestarikannya:113
a. Agama: Kumpulan akidah, ibadah dan muamalah yang disyari’atkan Allah SWT
untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannnya, dan hubungan antara
sesamanya. Allah SWT mensyari’atkan untuk mewujudkan, mengukuhkan, dan
mendirikannya dengan cara mewajibkan melakukan lima rukun Islam yaitu
Syahadah, mendirikan sholat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan dan
melakukan haji bagi orang yang mampu. Allah juga mewajibkan mengajak
kepada agama dengan hikmah dan nasihat yang baik.
b. Diri Manusia (nyawa): Islam mensyari’atkan agar mewujudkan dan melestarikan
manusia dengan jalan pernikahan dan melanjutkan keturunan. Agar dapat
menjaga dan menjamin kehidupan manusia, Islam mewajibkan secara pasti untuk
makan, minum, pakaian dan lain-lain. Selain itu Islam juga mengharamkan segala
bentuk perbuatan yang dapat mengancam keselamatan jiwa seperti membunuh,
menganiaya dan sebagainya.
c. Akal: Akal adalah sebuah nikmat yang agung. Allah memberinya agar
membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, karena itu Allah
mensyari’atkan untuk menjaganya dan menganjurkan untuk memanfaatkan akal
untuk mendapatkan ilmu. Agar dapat menjaganya, Allah melarang segala sesuatu
113 http://akitiano.blogspot.com/2008/03/maqshid-al-syarah-tujuanmaksud-
dari.html, diakses pada tanggal 26 Nopember 2008 pukul 19.00 WIB
yang dapat merusak atau melemahkan akal. Maka dari itu, sebuah hukuman akan
didapatkan bagi yang memakan sesuatu yang dapat menghilangkan akal.
d. Nasab: Karena itu syari’at tetap melestarikan pernikahan dan menganjurkannya.
Agar dapat menjaganya, Islam mengharamkan zina dan menegakkan hukuman
bagi pelakunya. Ini adalah karena mencegah dari bercampurnya nasab dan
menjaga kemuliaannya manusia.
e. Harta: Harta adalah sebuah lantaran agar dapat bertahan hidup. Maka dari itu
syari’at mewajibkan agar mencari harta, dan berusaha untuk mendapatkan harta.
Syari’at juga memperbolehkan melakukan muamalah di antara manusia dengan
cara jual-beli, sewa, dan lain-lain untuk mengatur cara memanfaatkan harta. Agar
dapat menjaganya, maka diharamkan mencuri. Diharamkannya menipu dan
mengkhianat.
Memang benar bahwa semua negara menginginkan semua kehidupan
masyarakatnya berjalan dengan baik tanpa adanya rasa takut, adanya ganguan
maupun tindakan pemberontakan yang dapat membahayakan negara tersebut, oleh
karena itu negara Malaysia yang budaya serta tradisi kehidupan beragamanya kental
dan melekat sudah semestinya semua dimensi kehidupan bernegara dan bermasya-
rakat berlandaskan kepada hukum Islam yang telah diredupsi (disesuaikan) dengan
budaya negara tersebut, namun demikian tujuan dari syari’at Islam pun secara penuh
dijalankan sebagaimana di dalam perundang-undangannya mengatur sesuai dengan
Maqâshid al-syarî’ah. Dalam konteks kehidupan negara dalam keadaan darurat,
negara Malaysia melihat dari sudut pandang hukum Islam, negara dapat dikatakan
darurat apabila telah terjadi kekerasan terhadap orang atau harta, menyebabkan
kemudharatan, membahayakan negara ini sesuai dengan Pasal (1) Perkara 149
Perlembagaan Malaysia.
H. Pelaksanaan keadaan darurat menurut Perlembagaan Malaysia dari sudut
pandang Keadaan Darurat Negara Indonesia
Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Perancis dan di negara-negara
lain juga berkembang aneka ragam pengertian mengenai keadaan darurat itu. Hukum
yang berlaku dalam kondisi negara dalam keadaan darurat itu (state of emergency
atau etat de siege) adalah hukum juga bersifat darurat yang menurut tradisi anglo
Amerika disebut ’martial law’ sedangkan dalam tradisi Perancis dan negara-negara
kontinental lainnya disebut sebagai etat de siege, sedangkan di negara Belanda
hukum darurat atau hukum tata negara darurat itu disebut dengan istilah
’staatsnooddrecht’. Keadaan darurat sering kali di pahami secara umum dan sangat
abstrak sehingga apa yang sesungguhnya dimaksud dengan keadaan darurat (state of
emergency) itu sendiri menjadi kabur. Beberapa kualifikasi atau kata sifat yang biasa
dinisbatkan dengan keadaan darurat atau state of emergency itu misalnya adalah
emergency de facto dan emergency de jure serta institutioalised dan ambigious
emergency.114
Pelaksanaan keadaan darurat di Malaysia diatur dalam Pasal 150(1)
Perlembagaan Malaysia sebagaimana telah dijelaskan di atas. Untuk melihat sejauh
114 Jimly Asshiddiqi, Hukum Tata Negara Darurat, h. 58
mana pelaksanaan keadaan darurat negara itu maka ada baiknya melihat pelaksanaan
keadaan darurat dari negara yang serumpun dengan Malaysia yaitu Indonesia, istilah
keadaan darurat di Indonesia yang dipakai dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah, (1) keadaan bahaya, dan (2) hal
ihwal kegentingan yang memaksa, dalam pengertian yang praktis keduanya
menunjuk kepada persoalan yang sama, yaitu keadaan yang dikecualikan dari
keadaan yang bersifat normal atau state of exception. Keadaan the state of exception
digambarkan oleh Kim Lane Schepele sebagai the situation in which a state is
confronted by a moral threat and responds by doing things that would never be
justifiable in normal times, given the working principles of that state (keadaan di
mana suatu negara dihadapkan pada ancaman hidup mati yang memerlukan tindakan
responsive yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut
prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan).115
Setiap keadaan yang sifatnya berbahaya dan menimbulkan keadaan darurat di
negara tersebut haruslah ada seorang atau lembaga yang dijadikan pemimpin yang
menentukan bahwa negara tersebut dinamakan dengan keadaan darurat negara.
Dalam Bab XV bagian kedua Perlembagaan Malaysia dijelaskan mengenai
kewenangan dalam menentukan negara Malaysia ketika sedang dalam keadaan
darurat. Ada beberapa kebijakan yang terdapat dalam Bab XV yang menyebutkan
115 Ibid., h. 58
bahwa Kabinet dan Yang di Pertuan Agong mendiskusikan mengenai kewenangan
untuk memberantas dan mengatasi agar negara kembali normal, diantaranya:
1) Jika yang di Pertuan Agung yang bertindak mengikuti nasihat kabinet dan sepakat
bahwa negara itu dalam keadaan bahaya maka dikatakan bahwa negara dalam
keadaan darurat yang genting.116
2) Jika peraturan yang bersifat darurat dikeluarkan sewaktu Parlemen tidak
bersidang, maka Yang di Pertuan Agung harus memanggil Parlemen dengan
waktu yang singkat dan segera.117
Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai pelaksanaan keadaan darurat (bahaya)
diatur dalam dua pasal yaitu pasal 12 dan pasal 22. Pasal 12 menyatakan, ”Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan
dengan Undang-Undang”. Kemudian Pasal 22 ayat (1) menyatakan, ”Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti Undang-Undang”.
Dari ketentuan di atas, dapat diketahui adanya dua kategori keadaan menurut
UUD 1945, yaitu (1) keadaan bahaya dan (2) hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Istilah (legal terms) yang dipakai dalam kedua pasal tersebut jelas berbeda, istilah
yang pertama menggunakan istilah “keadaan bahaya” yang tidak lain sama dengan
pengertian keadaan darurat (state of emergency). Sedangkan yang kedua memakai
istilah ”hal ihwal kegentingan yang memaksa, yang jadi permasalahan adalah apakah
116 Tun Mohamed Suffian bin Hashim, Mengenal Perlembagaan Malaysia, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984), cet. I, h. 317 117 Ibid., h. 318
kata hal ihwal itu sama dengan pegertian keadaan, tentunya kedua istilah itu berbeda.
Keadaan adalah strukturnya, sedangkan hal ihwal adalah isinya, namun demikian
dalam praktek keduanya dapat mengandung makna praktis yang sama oleh karena itu
keadaan bahaya kadang-kadang dianggap sama denga hal ihwal yang membahayakan
atau sebaliknya hal ihwal yang membahayakan sama dengan keadaan bahaya.
Ketentuan mengenai pasal 12 dan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 itu pada pokoknya
terkait juga dengan ketentuan pasal 10 dan pasal 11 UUD 1945. Dari ketentuan pasal
10, pasal 11 ayat (1), pasal 12 dan pasal 22 ayat (1) dapat diketahui bahwa dalam
keadaan yang tidak normal Presiden berwenang untuk :
1) menyatakan perang dengan persetujuan DPR
2) membuat perdamaian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
3) menyatakan negara dalam keadaan bahaya
4) menyatakan mengakhiri status negara dalam keadaan bahaya
5) menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang
6) menggunakan kewenangannya sebagai Panglima Tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dari pemaparan dan penjelelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
keterkaitan diantara permasalahan mengenai keadaan negara dalam keadaan darurat
dari Perlembagaan Malaysia dengan Undang-Undang Dasar di Indonesia, yaitu di
Negara Malaysia yang sifatnya Monarki Parlemen di mana kepala pemerintahan dan
kepala negara di bedakan, untuk kepala Negara diserahkan kepada Raja dalam hal ini
Yang di-Pertuan Agung dan kepala Pemerintahan oleh Perdana Menteri, dalam
menentukan keadaan negara dalam keadaan darurat mereka melakukannya dengan
berunding dan bermusyawarah. Di Indonesia yang bentuknya Republik dan Kepala
Pemerintahan dan negara di pegang oleh Presiden, namun di Indonesia ada istilah
separation of powers pembagian kekuasaan yang dimiliki oleh tiga lembaga negara
eksekutif (Presiden), Legislatif (Parlemen) dan Yudikatif (Lembaga Peradilan). Jadi
dalam menentukan negara dalam keadaan darurat itu adanya musyawarah diantara
Presiden dengan DPR hal ini sebagaimana terdapat di dalam pasal 10 dan 11 UUD
1945, yaitu Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan
persetujuan DPR.
BAB V
PENUTUP
Setelah memaparkan tentang keadaaan darurat menurut hukum Islam dalam
Bab II, keadaan darurat menurut perundang-undangan di Malaysia pada Bab III, dan
kemudian dalam Bab IV menguraikan tentang analisis hukum ketatanegaraan Islam
terhadap keadaan darurat negara dalam perundangan di malaysia. Selanjutnya pada
Bab akhir ini (Bab V) penulis menarik beberapa kesimpulan dan mengajukkan
beberapa saran.
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menjelaskan mengenai keadaan darurat negara di
Malaysia dengan pendekatan hukum Islam, maka pada akhir uraian penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut:
1. Bahwa yang dimaksud dengan keadaan darurat negara adalah suatu keadaan di
mana sebuah negara dalam keadaan yang sulit, genting atau bahaya sehingga
keamanan dan kesejahteraan rakyat terganggu. Keadaan ini bisa disebabkan
karena keadaan alam seperti bencana kemarau panjang, gunung meletus, banjir
dan lain-lain atau karena pertikaian politik yqng menyebabkan adanya huru hara,
perang saudara dan pemberontakan. Dalam keadaan seperti itu dapat
mengakibatkan hukum tidak dapat dijalankan dengan normal, artinya peraturan-
peraturan tertentu dapat dikesampingkan atau tidak diberlakukan karena keadaan
yang tidak memungkinkan. Dalam sejarah ketatanegaraan Islam keadaan darurat
pernah terjadi yaitu ketika adanya pembangkangan orang-orang yang enggan
membayar zakat kepada negara dan mengaku menjadi nabi palsu pada masa
khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Selain itu pernah terjadi pemberontakan pada
masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sehingga mengharuskan khalifah
untuk mengambil kebijakan dalam mengatasi keadaan tersebut. Kebijakan yang
diambil oleh khalifah dengan menumpas para pembangkang atau pemberontak
tersebut dengan terlebih dahulu memberikan peringatan kepada mereka.
2. Berdasarkan Pasal 150(1) Perlembagaan Malaysia bahwa yang mempunyai
kewenangan untuk menentukan apakah suatu keadaan krisis itu sudah mencapai
keadaan darurat atau belum adalah Yang di-Pertuan Agong untuk. Bagindalah
yang dapat menentukan ada tidaknya keadaan darurat tersebut, walaupun pada
hakekatnya Baginda berbuat demikian atas nasihat dari Jemaah Menteri. Jika
keadaan darurat itu terjadi, maka Yang di-Pertuan Agong dapat mengambil alih
kekuasan dari Perdana Menteri dalam menjalankan pemerintahan untuk
mengatasi keadaan darurat tersebut, mengambil kebijakan dengan membuat
peraturan khusus tentang keadaan darurat tersebut walaupun peraturan tersebut
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam keadaan normal. Jika
keadaan darurat tersebut telah dapat diatasi, maka roda pemerintahan dapat
diserahkan kembali kepada Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
3. Suatu keadaan darurat di Malaysia dapat diumumkan atau diberlakukan ketika
negara dalam keadaan genting, gawat atau kacau baik itu yang disebabkan oleh
bencana alam seperti banjir, kemarau panjang, wabah penyakit atau karena
pertikaian politik seperti perang, kerusuhan dan pemberontakan, yang
mengakibatkan terancam atau terganggunya keamanan negara, ketentaraman
masyarakat dan membahayakan perekonomian sehingga dapat mengakibatkan
krisis ekonomi dan kemanusiaan.
B. Saran-saran
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai pelaksanaan keadaan
darurat negara di Malaysia. Di bawah ini penulis sebagai warga negara Malaysia akan
mencoba memberi masukan:
1. Ditunjukkan kepada pihak Pemerintah (negara Malaysia):
a) Sudah semestinya negara yang majuan dan berkeadilan seperti Malaysia
menjaga kehidupan bernegara yang aman, baik aman dan tenteram. Untuk itu
semua hal-hal yang berbau diskriminatif harus dihilangkan, seperti
permasalahan SARA (Suku, Agama, dan Ras).
b) Dalam melaksanakan keadaan negara pada saat darurat lebih bersifat
konstruktif dan demokratisasi artinya dapat membangun semangat
kebersamaan di antara para pejabat pemerintah, rakyat, tokoh agama dan lain-
lain.
2. Ditunjukkan kepada warganegara Malaysia, hendaknya menjaga dan
melaksanakan peraturan dan perundangan yang berlaku serta patuh dan taat
kepada tujuan bersama negara sehingga tidak akan terjadi singgungan diantara
para warganegara dengan aparat negara. Selain itu haruslah pandai-pandai
bersyukur kepada yang Maha Kuasa Allah SWT dengan mematuhi peraturan
dan menjauhi larangannya sehingga dapat terhindar dari marabahaya dan
bencana yang akan mengakibatkan negara menjadi kacau balau.
Sebagai warganegara Malaysia yang baik semua yang telah dipaparkan penulis
diatas semata-mata hanya untuk kebaikan negara yang kami cintai ini dan harapan
penulis agar kedepan Malaysia sebagai negara yang melestarikan budaya dan agama
Islam dapat hidup aman, tenteram, dan menjadi negara yang akan mensejahterahkan
para warganegaranya. Demikian tulisan ilmiah penulis ini dalam sebuah skripsi
semoga skripsi ini dapat berguna khususnya bagi penulis sendiri dan semua pihak
pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris) Depertemen
Agama RI, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998
Abas, Tun Mohd Salleh, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di
Malaysia, cet. III, Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006
Abbas, Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh,
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dan Anglo Media Jakarta, 2004,
cet. I
Akbar, Asap Taufik, “Fikih Politik NU (Pendekatan Sosialisasi Atas
Lahirnya Konsep Wali al-Amr al-Dlârury bi al-Syaukah)”, Makalah tidak diterbitkan, Jakarta: Progra Pascasarjana. UIN, 2002
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet. I
Amin, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: CV Rusyda, 1987, cet. I
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, cet. I
Ashshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, cet. I
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasby Al-Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998, cet, I, Bag. II
Aun, Wu Min, Pengenalan Kepada Sistem Perundangan Malaysia, cet.
II, Kuala Lumpur: Heinemann Sdn. Bhd, 1978
Awang, Muhammad Kamil, Sultan & Perlembagaan, Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001, cet. I
Baghdâdi, al, ‘Alî bin Umar Abŭ al-Hasan al-Dâruqutnî, Sunan al-
Dâruqutnî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1996, juz III
Bahansi, Ahmad Fathi, al-Mausŭ’ah al-Jinâiyyah fi al-Fiqh al-Islâmî,
Beirut: Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyah, t.th., juz IV
Buthy, al, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Jihâd fi al-Islâm Kaifa
Nafhamuh wa Numârisuh, diterjemakan oleh M. Abdul Ghafur,
Fiqh Jihad Upaya Mewujudkan Darul Islam antara Konsep dan
Pelaksanaannya, T.tp: Pustaka an-Naba’, 1993, cet. I
Dahlan, Abdul Azis, et. al.,., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 1997, cet. I
Djaelani, Abdul Qadir, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1995, cet. I
Dzauli, Ahmad, Fikih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. V, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1993
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta:
Penerbit Kota Kembang, 1989
Hashim, Tun Mohamed Suffian bin, Mengenal Perlembagaan Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, cet. I
Ibrahim, Ahmad dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia, Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn. Bhd, t.th.
Ibrahim, Syeikh Muhammad Bin, Ensiklopedi Islam al-Kamil, Jakarta:
Darussunnah, 1998, cet. I, Jilid III
Ibrahim, Sa’ad Haji, Qanun Jinayah Syar’iyyah dan Sistem Kehakiman
dalam Perundangan Islam Berdasarkan Quran dan Hadits, Kuala Lumpur: Darul Ma’rifah, t.th.
Iqbal, Muhammad Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. I,
Ismail, Paizah Haji, Undang-undang Jinayah Islam, Selangor: Tradisi Ilmu
SDN. BHD. Petaling Jaya, 2003
Jamil, Sidqi Muhammad, Hâsiyah al Shawî âlâ TafIir al Jalâlain, Jeddah
Haramain, t.th., Juz. IV
Jazari, al, Mubarak bin Muhammad Ibnu Atsir, Jamî’ al-Ushŭl fi Ahâdîts
al-Rasŭl, cet. II, asLebanon: Dâr al-Fikr, 1983, Juz. VI
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003
Khan, Majid Ali, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, Surabaya: Risalah Gusti,
2000, cet. I
Mawardi, al, Imam, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, Jakarta: Gema Insani
Press, 2000, cet. I
Nîsâburî, al, Muslim Ibn al-Hujâj Abŭ al-Husaini al-Qusyairî, Shahih
Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th., juz III
Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawir, cet. XIV, Surabaya: Pustaka progresif, 1997
Noerwahidah H. A., Pidana Mati dalam Hukum Pidana Islam, Surabaya: PT. Al-Ikhlas, 1994, cet. I
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,, 2002
Qazwaini, al, Muhammad bin Yazî Abŭ ‘Abdullâh, Sunan Ibnu Mâjah,
Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., juz II
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, cet. II, Jakarta: Pena Pundi Aksara: 2007
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993, edisi kelima
Shiddiq, Abdul Rasyad, Fikih Darurat, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001,
cet. I
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, cet. XVI, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Suyŭti, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin Abî Bakar, al-Asybâh wa al-
Nadlâir, Beirut: Dâr al-Fikr, 1995
Syalabi, Ahmad, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, cet. VIII, Cairo: Maktabah
al-Nahdhah al-Mishiriyyah, 1978, Jilid I
Syatibi, al, al-Muwafaqat, Ttp: Dar al-Fikr, t.th
Syaibânî, al, Ahmad bin Hambal Abŭ Abdullâh, Musnad Imam Ahmad
bin Hambal, Kairo: Muasasah Qurtubah, t.th., juz V
Syawi, al, Taufiq M., Fiqh al-Syŭrâ wa al-Istisyârât, diterjemahkan oleh
Djamaluddin, Z.S, Syura Bukan Demokrasi, cet. II, Jakarta: Gema
Insani Press: 1992
Syihabudin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan), cet. III, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001
Taimiyah, Ibn, Fatwa-fatwa Ibn Taimiyyah, Tentang Khilafah Islamiyyah,
Memerangi Pemberontak, Hukum Murtad, Pengadilan Negara,
Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, penerjemah
Izzuddin Karimi, Jakarta: Pustaka Sahifa, 2008, cet. I
Tong, Cheu Hock, Pengajian Am, Kuala Lumpur; Pustaka Dimensi 1987, cet. I
Tuwaijiri, al, Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdullah, Ensiklopedi Islam al-
Kamil, diterjemahkan oleh A. Munir Badjeber, dkk., Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007, cet. I, Jil. III
Yafie, Ali, “Pengertian Wali al-Amar dan Problematika Hubungan
Ulama dan Umara” dalam Buhy Munawar Racman (ed),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina,1995
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006 , cet.
I
Zuhaili, al, Wahbah, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, Beirut: Dâr al-Fikr, juz. VII
--------, Ushul al-Fiqh al-Islamî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001, Juz II
Situs Internet:
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12965, diakses pada tanggal 25 Nopember 2008 pukul 15.00 WIB
http://akitiano.blogspot.com/2008/03/maqshid-al-syarah-
tujuanmaksud-dari.html, diakses pada tanggal 26 Nopember
2008 pukul 19.00 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan_darurat, diakses pada tanggal
12 Juli 2008 pukul 15.00 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Insiden_13_Mei#Penyebab_kerusuhan,
diakses pada tanggal 25 Juli 2008 pukul 15.30 Wib
http://hids.arkib.gov.my/doc/jilidi/februari/29_02_1956_1980.htm,
diakses pada tanggal 25 Juli 2008 pukul 20.30 WIB