tinjauan hukum islam terha dap pe ngalihan laku...
TRANSCRIPT
TANG
Diajuk
TINJAUAGGUNGJA
T
kan Kepad
PE
U
AN HUKUAWAB PETERDAPA
da FakultasSya
Gelar
SYA
PE
FAKULT
ERBAND
UIN SYAR
UM ISLAMELAKU UAT DALA
SK
s Syari’ah darat Persyar
r Sarjana H
AHRUL R
NIM 111
RBANDIN
TAS SYA
INGAN M
RIF HIDAY
2017 M
M TERHASAHA KE
AM KLAU
KRIPSI
dan Hukumratan Mem
Hukum Isla
RAHMATU
110432000
NGAN HU
ARIAH DA
MAZHAB
YATULL
M / 1438 H
ADAP PEEPADA K
USULA BA
m untuk Mmperoleh
am (S.H)
ULLAH
007
UKUM
AN HUKU
DAN HU
AHJAKA
H
ENGALIHKONSUMEAKU
Memenuhi S
UM
KUM
ARTA
HAN EN YANG
Salah Satu
G
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil
dari jiplakan orang lain, maka saya tersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 3 Oktober 2016
Syahrul Rahmatullah
ABSTRAK
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari posisinya sebagai konsumen. hampir keseluruhan aktifitas sehari-hari, manusia selalu melakukan konsumsi baik berupa barang maupun dengan jasa. Sementara itu klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. dengan mencantumkan klausula baku, posisi konsumen sangat lemah atau tidak seimbang dalam mengahadapi pelaku usaha. Klausula baku bila dicerminkan merupakan perjanjian sepihak yang sering kali konsumen mendapatkan kerugian dari pencantuman klausula baku yang dilakukan oleh pelaku usaha. Maka pemerintah memandang perlu memberi aturan yang jelas mengenai klausula baku, yang dituangkan dalam Pasal 18 UUPK.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bersifat kualitatif karena tidak mengggunakan mekanisme statistika untuk mengolah data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menelaah bahan-bahan pustaka yang bersifat primer yaitu UUPK, putusan MA, al Qur’an, dan al Hadist serta kitab-kitab fiqih dan juga buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Setelah data mengenai klausula baku, perlindungan konsumen dan hiwalah telah terkumpul, maka kemudian data dianalisis dengan metode deskriptif-analitik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif.
Setelah dilakukan penelitian maka diperoleh hasil penelitian bahwa poin-poin (poin 1-8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha untuk mencantumkan dalam klausula baku yang dibuatnya harus sesuai dengan asas-asas akad dalam Islam yaitu seperti asas kebebasan, asas persamaan atau kesetaraan, asas keadilan, asa kerelaan asas kejujuran dan kebenaran dan asas tertulis. Namun, ada asas utama yang mendasari setiap perbuatan manusia, termasuk dalam perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiah atau asas tauhid dengan harapan setiap kita lakukan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Maka dengan tujuan asas dalam Islam tersebut mewujudkan keadilan antara pihak-pihak yang menyelenggeraan akad, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur dalam pengalihan tanggung jawab, prinsip muamalat harus berdasarkan kejelasan dan prinsip muamalat yaitu tetap berpengaruhnya rasa cinta sehingga tidak terjadinya kerugian antara penyelenggara yang bermuamalat.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat meyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada
Konsumen Yang Terdapat Dalam Klausula Baku”
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu
(S1) guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur
memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat dan terima kasih yang tulus atas segala
kepedulian mereka yang telah memberikan bantuan baik berupa kritik, masukan,
dorongan semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan
Skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghanturkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Prodi Perbandingan
Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag,Lc., MA selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab
dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, selaku dosen Pembimbing I yang telah
berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya untuk
vii
memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Indra Rahmatullah M.H, selaku dosen Pembimbing II yang telah
berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya serta
kesabarannya dalam memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Teristimewa kedua orang tua penulis, Bpk. H. Tarmudji dan Ibu. Hj Siti Zulaiha
tersayang yang telah membesarkan dan mendidik penulis hingga seperti
sekarang dengan penuh do’a, kasih sayang, kesabaran, keikhlasan, dan
perjuangan hidup demi kelangsungan pendidikan dan masa depan putra-
putrinya.
7. Ka oce, Mba ziyah, Ka nana, Mba tri, Mba nia selaku kakak kandung yang
selalu memberi dukungan moril, dan materil kepada penulis.
8. Syaifuddin Ilman dan Khairul Mahfud selaku saudara yang selalu memberikan
Motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi.
9. Nur Azizah selaku kekasih yang selalu mendukung dan mengingatkan sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi.
10. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menjalani pendidikan berlangsung.
11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Perbandingan Hukum angakatan 2011 yang selalu memberikan motivasi,
semangat dan kenangan dalam menjalani masa pendidikan di UIN Syarif
viii
Hidayatullah Jakarta. Semoga kita bisa sukses untuk kedepan nya. Aamiin ya
robb.
12. Teman-teman alumni 2010 dari Pondok Modern Darussalam Gontor, dan
sahabat-sahabat KKN KAMI yang telah menjadi inspirasi dan keluarga kedua
bagi penulis serta selalu memberikan do’a dan dukungan yang sangat berarti
bagi penulis.
13. Para Manager Majalah Gontor terutama Bapak Akrimul Hakim, Bapak Fauzi
Iriyanto dan Ibu Kiki Chendiliana sebagai teman kerjaan yang telah menerima
dan membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini.
14. Teman-teman dari Bazis Provinsi DKI Jakarta, khususnya Bapak Irsan selaku
Manager Fundraiser yang selalu memberikan masukan dan motivasi kepada
penulis.
15. Taufiqi Rahman, Ibnu Mubaidillah dan Momon Satri Sebagai teman dalam
perkumpulan “TRI MURTI” dan kawan yang lainnya yang telah menjadi kawan
setia selama masa-masa studi dan selalu memberikan masukan, inspirasi serta
saran bagi penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
16. Seluruh staf karyawan Perpustakan Utama UIN dan Perpustakaan Fakultas
Syariah untuk referensi buku-bukunya.
17. Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas semua
bantuan dan masukannya kepada penulis.
ix
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas
seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan
Skripsi ini.Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Aamiin....
Jakarta, 03 Oktober 2016
Syahrul Rahmatullah
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBARAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................... iii
LEMBARAN PERNYATAAN ........................................................................................ iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8
E. Review Studi Terdahulu ......................................................................... 9
F. Metode Penelitian dan Teknis Penulisan ................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Akad Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Akad ............................................................................... 15
2. Syarat dan Rukun Akad .................................................................... 17
3. Macam-Macam Akad ....................................................................... 21
4. Tujuan Akad ..................................................................................... 26
5. Asas Berakad dalam Islam ............................................................... 27
B. HiwalahDalamHukum Islam
1. Pengertian Hiwalah .......................................................................... 31
2. Dasar Hukum dalam Akad Hiwalah ................................................. 33
3. Jenis Akad Hiwalah .......................................................................... 35
x
4. Rukun dan Syarat Hiwalah ............................................................... 37
5. Berakhirnya Hiwalah. ....................................................................... 44
BAB III ASPEK HUKUM KONTRAK BAKU
A. Pengertian Kontrak Baku ....................................................................... 46
B. Dasar Hukum Kontrak Baku .................................................................. 49
C. Keabsahan Kontrak Baku ....................................................................... 50
D. Prinsip-prinsip dalam Kontrak Baku ...................................................... 52
E. Pengaturan Pencantuman Kontrak Baku ................................................ 53
F. Klausula Eksonerasi ............................................................................... 58
BAB IV PERBANDINGAN PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB DALAM
HUKUM ISLAM DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pandangan Hukum Islam Dalam Hiwalah/Pengalihan Tanggung Jawab
Yang Terdapat Pada Klausula Baku. ....................................................... 62
B. Pertanggungjawaban Dari Pelaku Usaha Jika Konsumen Mengalami
Kerugian .................................................................................................. 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 75
B. Saran ........................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pandangan agama Islam mengenai ekonomi tidak akan pernah terlepas dari
aspek moral. Moral harus dipertimbangkan dari mulai awal (niat) berbisnis baik
dalam bidang produk maupun bidang jasa hingga tujuan bisnis itu tercapai.1 Islam
memiliki pedoman dalam mengarahkan untuk melaksanakan amalan baik yang
bersifat ibadah maupun yang bersifat mu’amalah yaitu berupa Al Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber utama ajaran Islam, setidaknya dapat menawarkan nilai-nilai dasar
atau prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan
perkembangan zaman waktu.2
Seiring dengan laju suatu pertumbuhan ekonomi yang terus berkembang di
Indonesia membuat kebutuhan akan sarana transportasi semakin meningkat, hal ini
ditandai dengan terus meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang terus
meningkat. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan sarana parkir juga semakin
meningkat. Begitupun dengan tingkat keamanannya bagi konsumen parkir yang harus
dijalankan secara seimbang sesuai dengan amanat undang-undang perlindungan
konsumen. Didalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer
sebagai pemakai atau konsumen.3
Konsumen merupakan setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
1 Mansur, Seluk Beluk Ekonomi Islam, Salatiga: STAIN Salatiga Press 2009, h.35 2 Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi Al Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba
Dunia, Edisi I tahun 2002) h.84 3 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media tahun 2001), Jakarta.
h. 3
2
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau UUPK.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa
perlindungan konsumen segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala
upaya untuk memperdayakan konsumen memperoleh yang harus dipertahankan dan
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha dalam menyediakan
kebutuhan konsumen.4
Maka perlindungan konsumen adalah suatu hal yang cukup baru dalam dunia
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun dengan mengenai perlunya
peraturan perundang-undangan yang komprehensif untuk memberikan proteksi
terhadap konsumen yang sejak sudah lama, akan tetapi baru pada tanggal 20 April
1999 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan dan mengundangkan Undang-
Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.5 Undang-undang ini
diberlakukan dalam untuk melindungi atau menjamin konsumen atau hak-haknya
yang dirugikan oleh pelaku usaha.
Kemudian Pasal 1 ayat 10 UUPK yang berbunyi “klausula baku adalah setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Dalam undang-undang tersebut menegaskan klausula baku ini yang ditetepkan oleh
pekalu usaha terlebih dahulu untuk melemahkan kedudukan hukum konsumen.6
4 AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei,
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonseia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, jakarta h.7 5 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000) h.2 6 Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan (Bandung: alumni 1979) h. 49
3
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka UUPK mengatur klausula baku pada
Pasal 18 Ayat (1) yang menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan
pengalihan tanggung jawab pada klausula baku. Selain itu pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. Sehingga klausula
baku menjadi pilihan utama para pengusaha demi efesiensi dan efektifitas dalam
menjalankan usahanya. Walaupun demikian klausula baku tetap menjadi perdebatan.
Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian akan tetapi
hanya sebatas undang-undang swasta (legio particuliere wetgever).
Pittlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang
contract).7 Penetapan klausula baku untuk mendapatkan ganti rugi, bertentangan
dengan amanat UUPK yang memberikan perlindungan hukum secara mutlak dalam
hal ganti kerugian yang dialami oleh konsumen akibat kelalaian pelaku usaha.
Kerugian yang diderita seseorang dalam hal ini secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa
harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian
nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.8
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada
dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat
mungkin membuat pihak yang dirugikan dapat dikembalikan pada kedudukan semula
seandainya tidak terjadi kerugian atau dengan kata lain kedudukan yang seharusnya
apabila tidak terjadi kehilangan pada kendaraan bermotor.
Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang
tidak mau mempertaggungjawabkan atas tindakan yang yang telah dilakukan oleh
7 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.117
8 Ibid, h. 133
4
pelaku usaha jika ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak pelanggaran hukum.
Akibatnya konsumen menerima pelayanan jasa tidak sesuai dengan keamanan dan
kenyamanan. Di sisi lain karena ketidak tahuan dan kekurang sadaran konsumen akan
hak-haknya maka konsumen menjadi korban pelaku usaha.9 Sehingga apabila terjadi
kehilangan kendaraan yang diparkir, selama ini konsumen menjadi pihak yang selalu
dirugikan karena pelaku usaha penyedia jasa layanan parkir menolak untuk
memberikan ganti rugi dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab
konsumen sebagaimana yang terdapat dalam karcis parkir.
Maka konsumen akan menemui kesulitan untuk menuntut ganti rugi, karena
pelaku usaha selalu berdalih bahwa kehilangan kendaraan yang diparkir adalah
tanggung jawab konsumen itu sendiri, sesuai ketentuan yang terdapat dalam karcis
parkir, sehingga di sini tidak ada perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa
layanan parkir. Hubungan hukum yang terjadi dalam jasa layanan parkir adalah
perjanjian sewa menyewa, karena didalam sewa menyewa terdapat proses
pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan
parkir tersebut.
Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan Undang-Undang
Tentang Perlindungan Konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara
pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan
tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta
menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen.10
9 Abdul halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH . Unlam Press, tahun
2008) h.5 10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit h. 3
5
Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen,
merupakan suatu hal yang tidak dapat dilepaskan, sejalan dengan tujuan
pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hukum
merupakan produk dari budaya manusia yang mempunyai makna bagi masyarakat
tertentu, hukum pun juga hanya dapat dipahami sebagai suatu upaya masyarakat
didalam mewujudkan nilai-nilai dan tujuannya. Tujuan hukum adalah menetapkan
aturan bagi suatu masyarakat dalam rangka keadilan.11 Membahas keperluan hukum
untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih
dahulu melihat situasi peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya peraturan
atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga bentuk
hukum perlindungan konsumen yang ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi
konsumen Indonesia dan keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka
sistem hukum nasional Indonesia.12
Pengguna jasa parkir tentunya tidak menginginkan kendaraan yang diparkir
mengalami kerusakan dan kehilangan sebagian barang benda milik pengendaraan
tersebut, akibat dari ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau kendaraan
yang diparkir tesebut dicuri sehingga dalam hal ini harus ada yang bertanggung jawab
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab didalam karcis parkir tidak
dicantumkan mengenai subjek yang bertanggung jawab dalam hal tesebut.
Islam menegaskan larangan pada setiap tindakan curang, penipuan para pelaku
usaha terhadap konsumen. Maka manusia harus berbuat adil dalam kehidupannya
sehingga tidak ada yang di rugikan dari tindakan yang dilakukan oleh manusia
tersebut dalam memperoleh suatu yang diinginkan khususnya pada pelaku usaha
dengan konsumen. Dengan demikian, amanah tersebut adalah tanggung jawab atas
11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2008) h 76. 12 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: PT Mandar Mayu, 2000) h.7
6
pekerjaannya. Hal ini pulalah yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan dalil dari al Qur’an di atas menunjukan bahwa dalam islam pun
ada perlindungan terhadap konsumen, walaupun tidak secara definitif. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa perlindungan konsumen merupakan persoalan yang
menyangkut kepentingan dan kebutuhan manusia. Karenanya mewujudkan
perlindungan konsumen merupakan suatu bentuk konkrit untuk menciptakan
hubungan dari berbagai segi yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan
ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.
Dari kasus di atas penulis beranggapan bahwa pengelola jasa parkir harus
memperhatikan keamanan dan kenyaman bagi mereka para pengguna jasa yang
dikelolanya sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bagi pengguna jasa.
Maka untuk itu kiranya penulis tertarik untuk menyusun skripsi ini dengan judul
’’Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Kepada Konsumen Yang Terdapat Dalam Klausula baku’’
B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini ditemukan permasalahan mengenai peninjauan kembali yang
masih menjadi perdebatan dikalangan pakar-pakar dan aktivis hukum yang dipandang
dari hukum perundang-undangan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dan dalam Hukum Islam, seperti: Apa yang di maksud dengan perlindungan
konsumen? bagaimana hak dan kewajiban bagi konsumen dan pelaku usaha? Apa
yang harus dilakukan kosumen ketika haknya tidak dilindungi? Bagaimana
penyelesaian sengketa dalam pelaku usaha yang menetapkan klausula baku dengan
7
sepihak yang mengakibatkan kerugian konsumen? Bagaimana pandangan hukum
Islam dan perturan perundang-undangan terhadap klausula baku? Bagaimana peran
negara dalam melindungi konsumen? Bagaimana wujud tanggung jawab pengelola
parkir kepada konsumen parkir yang kehilangan kendaraan di area perparkiran yang
dikelolanya? Apakah asas manfaat terkandung dalam ketentuan klausula baku yang
terdapat dalam Pasal 18 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permaslahan yang akan dibahas pada penelitian ini
maka penulis membatasi masalah yang di teliti hanya terfokus pada klausula baku
yang terdapat dalam secure parking kendaraan pada penetapan pengalihan
tanggungjawab dilakukan oleh pelaku usaha yang berkaitan dengan perlindungan
konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen Tahun
1999. Maka untuk mempermudah pembahasan, penulis merumuskan masalahnya
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam dalam hiwalah yang terdapat pada
klausula baku?
2. Bagaimana pertanggungjawaban dari pelaku usaha jika konsumen mengalami
kerugian?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Terkaitan dengan tujuan penelitian ini, maka dapatlah dikemukakan beberapa
tujuan dari pelaksanaan penelitian yang berjudul ’’Tinjauan Hukum Islam
8
Terhadap Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Konsumen Yang
Terdapat Dalam Klausula baku’’ yaitu:
a. Mengetahui pandangan hukum Islam dalam hiwalah yang terdapat pada
klausula baku.
b. Mengetahui pertanggungjawaban dari pelaku usaha jika konsumen
mengalami kerugian.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat di peroleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Manfaat akademis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
hasanah dalam ilmu pengetahuan kepada mahasiswa/i mengenai masalah
peralihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen khususnya dalam
hukum islam.
b. Manfaat Praktis: Penelitian ini di harapkan dapat memberikan kajian yang
menarik dan dapat menambah wawasan serta cakrawala keilmuan khususnya
bagi penulis, umumnya bagi pembaca.
c. Manfaat Masyarakat: hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan mengenai perlindungan
hukum terhadap konsumen dari pelaku usaha yang mengalihkan
pertanggungjawabannya atas kerugian yang di alami oleh konsumen,
khususnya pada pelaku usaha jasa parkir terhadap pengguna secure parking
kendaraan.
9
E. Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka
diperlukan kajian terdahulu. Sebelum membuat skripsi ini penulis melakukan
kajian pustaka yang berupa judul-judul skripsi yang telah ada sebagai
pembanding dari skripsi ini, anrata lain sebagai berikut:
No Nama peneliti,
Judul Penelitian
Keterangan dan Isi
Penelitian
Berbedaan
1
2
Ali Mahmudi “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap
Pelaksanaan Hiwalah Dari
Pembayaran Klaim
Asuransi Kebakaran (study
kasus di PT Asuransi
Takaful Umum)”. Jurusan
Perbankan Syariah. Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN
Jakarta Tahun 2013.
Nanik Rosyidah“Prespektif
Hukum Islam Terhadap
pengalihan Hutang Kepada
Pihak ke Tiga”.Jurusan
Perbankan Syariah, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN
Skripsi ini menjelaskan
tentang pandangan
pandangan hukum islam
dalam pelaksanaan hiwalah
dari pembayaran klaim yang
terkena musibah kebakaran
sehingga merasa dirugikan
dari salah satu pihak
Skripsi ini menjelaskan
tetang pandangan hukum
Islam terhadap pengalihan
hutang kepada pihak ke tiga
yang tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah dalam Islam
Skripsi ini hanya
membahas tentang
memfokuskan pada
pelaksanaan hiwalah
dalam pembayaran
klaim dengan melihat
dari sudut pandang
hukum islam.
Skripsi ini hanya
memfokuskan pada
pengalihan hutang
bukan dalam pengalihan
tanggung jawab antara
pelaku usaha dengan
10
3
Jakarta tahun 2014
Arief Hannany “Analisa
Hukum Islam Terhadap
Sistem Pembiayaan Jual
Beli Kredit” jurusan
Perbankan Syariah, fakultas
Syariah dan Hukum, UIN
Jakarta 2013.
Skripsi ini menjelaskan
tentang pengaturan dalam
perlindungan konsumen
pada kewenangan suatu
pembiayaan jual beli dalam
perbankan syariah.
konsumen
Skripsi ini hanya
memfokuskan pada
penelitian perlindungan
konsumenPerlindungan
dalam bidang jual beli
pada pelaku usaha
dengan konsumen
sebagai tinjauan umum.
F. Metode Penelitian dan Teknis Penulisan
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yang
berupa suatu wawancara dengan lembaga perlindungan konsumen studi
dokumentasi pada arsip-arsip yang terkait dalam permasalahan ini.
11
b. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah subjek dari mana
data yang diperoleh.13 untuk mempermudahkan mengidentifikasikan data
maka penulis mengklarifikasikan menjadi dua sumber data, antara lain:
1. Data Primer yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari
lapangan. Data primer disebut juga data asli atau data baru. Seperti hasil
wawancara dengan yang lembaga bersangkutan dalam penelitian tersebut.
2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur dan
referensi lain seperti buku, majalah, makalah tahun dan setiap artikel yang
mengandung informasi berkaitan dengan masalah yang dibahas, dihimpun
dari berbagai tempat mulai dari perpustakaan hingga situs internet. Data
sekunder disebut juga dengan data tersedia14
2. Teknis Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yaitu upaya pengumpulan data-data yang
relevan dengan kajian penelitian, yang diperoleh dengan cara:
a. Interview (wawancara), adalah salah satu cara untuk mendapatkan data
dengan bertanya dalam bentuk komunikasi verbal atau wawancara guna
mendapatkan informasi dari responden15. Wawancara selama ini sering
dianggap sebagai metode yang paling efektif dikarenakan interview dapat
bertatap muka langsung dengan responden untuk menanyakan prihal peribadi
responden, fakta-fakta yang ada dan pendapat (opinion) maupun persepsi diri
13 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001) hlm 31 14 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penilitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002) h.82 15 P.Joko Subagyo, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995) h.39
12
responden dan bahkan saran-saran responden. Maka penulis mengadakan
wawancara kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terkait
permasalahan dalam penyelesaian klausula baku yang terdapat pada secure
parking kendaraan.
b. Studi Dokumenter, adalah kumpulan koleksi bahan pustaka (dokumen) yang
mengandung informasi yang berkaitan dan relevan dengan bidang-bidang
pengetahuan maupun kegiatan yang menjadi kepentingan instansi atau
korporasi yang membina unit kerja dokumentasi tersebut16. Macam-macam
dokumentasi antara lain: buku, majalah, surat kabar, internet dan lain
sebagainya.
3. Teknis Pengelolahan dan Analisis Data
Adapun teknik pengolahan data pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,
analisis data dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data. Proses
analisis bersifat induktif, yaitu mengumpulkan informasi-informasi khusus
menjadi satu kesatuan dengan jalan mengumpulkan data, menyusun dan
mengklasifikasikannya dan menganalisa penerapan dalam perlindungan
hukum kepada konsumen yang dirugikan dari pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab khususnya pada jasa layanan parkir.
4. Teknis Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku ”pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012”, yang merupakan sandaran dari penulisan karya
16 Soejono Trima, Pengamatan Ilmu Dokumentasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984) h. 7
13
ilmiah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, khususnya
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.
G. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian dan ketertiban pembahasan serta untuk mempermudah
analisa materi dan penulisan skripsi ini, maka penulis menjelaskan dalam
sistematika penulisan. Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari lima bab yang
dibagi dalam sub bab dan setiap sub bab mempunyai pembatasan masing-
masing yang akan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan hal-hal yang terkait dengan latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teori dan konseptual, review studi terdahulu, metode
penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM AKAD DAN HIWALAH DALAM HUKUM ISLAM
Membahas tentang variabel-variabel permasalahan, dalam bab ini terdapat 2
sub bab, sub bab pertama membahas yaitu pengenai pengertian akad, syarat
dan rukun dalam akad, macam-macam akad, tujuan akad dan asas berakad
dalam Islam, sub bab yang kedua membahas tentang pengertian hiwalah, dasar
hukum dalam akad hiwalah, jenis akad hiwalah, rukun dan syarat hiwalah dan
berakhirnya hiwalah.
14
BAB III ASPEK PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB PADA KLAUSULA
BAKU
Dalam bab ini, membahas mencakup dalam pengertian kalusula baku, dasar
hukum kontrak baku, keabsahan kontrak baku, prinsip-prinsip klausula baku
dan perlindungan konsumen dalam kontak baku.
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB
DALAM HUKUM ISLAM DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab ini berisi analisis Hiwalah/Pengalihan Tanggung jawab dalam Hukum
Islam pada Perlindungan Konsumen dan Pertanggungjawaban Pelaku Usaha
dalam Klausula Baku
BAB V PENUTUP
Bab penutup ini mencakup kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang
telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang dapat penulis
sampaikan dalam penulisan skripsi ini.
15
BAB II
AKAD DAN HAWALAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Akad Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Akad
Kata akad berasal dari bahasa arab عقدا- عقد yang berarti, membangun atau
mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran, menyatukan. Kata “akad”
berasal dari bahasa Arab al-aqdu dalam bentuk jamak disebut al-uquud yang
berarti ikatan atau simpul tali.Bisa juga berarti kontrak (perjanjian yang tercatat).1
Sedangkan menurut al Sayyid Sabiq akad berarti ikatan atau kesepakatan.2Secara
etimologi akad adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun
ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi.3
Namun secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dibagi dari dua segi,
yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu
yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf,
talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan
dua orang, seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum
diatas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat
ulama Syafi’iyah, Malikiyyah dan Hanabilah.4
Pengertian akad secara khusus adalah pengaitan ucapan salah seorang yang
berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan
berdampak pada objeknya. Pengertian akad secara khusus lainnya adalah
perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang
1A.Warson Al Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Yogayakarta: Ponpes Al Munawir, 1984,
h. 1023. 2Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, jilid 3, Beirut: Dar Al-Fikr, Cet.III, 1983, h.127 3Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989, h. 80 4 Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. Ke-2, 2004, h. 43.
16
berdampak pada objeknya. Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya
ijab dan qabul. Ijab-qobul adalah sesuatu perbuatan atau pernyataan untuk
menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih,
sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua kesepakatan atau perjanjian dapat
dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada
keridhaan dan syari’at Islam.
Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan
perjanjian, yaitu al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Pengertian akad secara
bahasa adalah ikatan, mengikat.5 Dengan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah
menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya
pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi sebuah tali yang
satu kesatuan.6 Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam
syariat Islam yang banyak di gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Akad juga merupakan cara yang diridhai Allah SWT dan harus ditegakan
isinya. Al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 1 menyebutkan “hai orang-orang
yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah
al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata.7
Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau
overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari sesorang untuk mengerjakan atau tidak
untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Istilah ini
terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yaitu “sebenarnya siapa yang menepati
5T.M. Hasbi Ash-Sidqy, pengantar fiqih muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 8
6Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 75
7 Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari’ah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Darus Badrulzaman et al., Cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, h. 247-248
17
janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah SWT menyukai
orang-orang yang bertaqwa”.
2. Syarat dan Rukun Akad
1. Syarat-syarat Akad
Ada beberapa syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu:
a. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan
untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat
tersebut, akad menjadi batal.Syarat ini terbagi menjadi dua bagian,8
yaitu:
1. Syarat Objek Akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan
obyek akad. Obyek akad bermacam-macam, sesuai dengan
bentuknya. Dalam akad jual-beli, obyeknya adalah barang yang
diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai obyeknya adalah
barang gadai dan hutang yang diperolehnya dan lain sebagainya.
Agar sesuatu akad dipandang sah, obyeknya harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a) Telah ada pada waktu akad diadakan.
Barang yang belum wujud tidak dapat menjadi obyek
akad menurut pendapat kebanyakan Fuqaha’ sebab hukum dan
akibat dari akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang
belum wujud. Oleh karena itu, akad salam (pesan barang
dengan pembayaran harga atau sebagian atau seluruhnya lebih
dulu), dipandang sebagai pengecualian dari ketentuan umum
8Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, cet. Ke-2, 2004, h.
78-82.
18
tersebut. Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab Hambali
memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum wujud
dalam berbagai macam bentuknya, selagi dapat terpelihara
tidak akan terjadi persengketaan di kemudian hari. Masalahnya
adalah sudah atau belum wujudnya obyek akad itu, tetapi
apakah mudah menimbulkan sengketa atau tidak.
b) Dapat menerima hukum akad
Para Fuqaha’ sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat
menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad. Dalam
jual misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan
benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual-
beli. Minuman keras bukan bernilai bagi kaum muslimin, maka
tidak memenuhi syarat menjadi obyek akad jual-beli antara
para pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam.
c) Dapat diketahui para pihak
Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh
dua belah pihak yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak
mesti semua satuan yang akan menjadi obyek akad, tetapi
dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai dengan urfl yang
berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak bertentangan
dengan ketentuan agama.
d) Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi
Yang dimaksud di sini adalah bahwa obyek akad tidak
harus dapat diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan
19
bahwa obyek tersebut bener-benar ada dalam kekuasaan yang
sah pihak bersangkutan.
2. Syarat subyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan
subyek akad. Dalam hal ini subyek akad harus sudah aqil (berakal),
tamyiz (dapat membedakan), mukhtar (bebas dari paksaan). Selain
itu, berkaitan dengan orang yang berakad, ada tiga hal yang harus
diperhatikan yaitu9:
a) Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang untuk
memiliki hak (ahliyatul wujub) dan dikenai kewajiban atasnya
dan kecakapan melakukan tasarruf (ahliyatul ada’).
b) Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum yang
pemilikinya dapat bertashaharruf dan melakukan akad dan
menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan.
c) Perwakilan (wakalah) pengalihan kewenangan perihal harta
dan perbuatan tertentu dari sesorang kepada orang lain untuk
mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya.
b. Syarat kepastian hukum (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum
dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli,
sepertiikhiyar syrat, khiyar aib dan lain-lain.
9Gemala Dewi, et. al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ed. I, Jakarata: Kencana, cet. Ke-
1, 2005, h. 55-58.
20
2. Rukun-rukun akad
Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:
a. Orang yang berakad (‘aqid), contoh: penjual dan pembeli. Al-aqid
adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting
karena tidak akan pernah terjadi akad manakala tidak ada aqid.
b. Sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaih), contoh: harga atau barang.
(al-Ma’aqud Alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang
dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas. Barang
tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan, benda
bukan harta seperti dalam akad pernikahan dan dapat pula berbentuk
suatu kemanfaatan seperti dalam masalah upah-mengupah dan lain-
lain.
c. Shighat, yaitu ijab dan qobul.
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua belah
pihak yang berakad, yang menunjukkan atas apa yang ada dihati
keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan
ucapan, perbuatan, syarat dan tulisan.
1. Akad dengan ucapan (lafadz) adalah shighat akad yang paling
banyak digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan paling
mudah dipahami. Dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa
penyampaian akad dengan metode apapun harus disertai dengan
keridhaan dan memahamkan para aqid akan maksud akad yang
diinginkan.
2. Akad dengan perbuatan adalah akad yang dilakukan dengan suatu
perbuatan tertentu, dan perbuatan itu sudah maklum adanya.
21
Sebagaimana contoh penjual memberikan barang dan pembeli
menyerahkan sejumlah uang dan keduanya tidak mengucapkan
sepatah katapun. Akad semacam ini sering terjadi pada masa
sekarang ini. Namun menurut pendapat imam Syafi’i, akad dengan
cara semacam ini tidak dibolehkan. Jadi tidak cukup dengan serah-
serahan saja tanpa ada kata sebagai ijab-qabul.10
3. Akad dengan isyarat adalah akad yang dilakukan oleh orang yang
tuna wicara dan mempunyai keterbatasan dalam hal kemampuan
tulis-menulis. Namun apabila dia mampu untuk menulis, maka
dianjurkan agar menggunakan tulisan supaya terdapat kepastian
hukum dalam perbuatannya yang mengharuskan adanya akad.
4. Akad dengan tulisan adalah akad yang dilakukan oleh Aqid dengan
bentuk tulisan yang jelas, tampak, dapat dipahami oleh para pihak,
baik dia mampu berbicara, menulis dan sebagainya, karena akad
semacam ini dibolehkan. Namun demikian menurut ulama
Syafi’iyah dan hanabilah tidak membolehkannya apabila orang
yang berakad hadir pada waktu akad berlangsung.
3. Macam- macam akad
Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang
didasarkan atas sudut pandang masing-masing, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan syara’
a. Akad shahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah
ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat
10 Ibn Al-Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, h. 128
22
sebagaimana telah disebutkan diatas, maka akad tersebut masuk dalam
kategori akad shahih.
b. Akad ghairu shahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan
syaratnya. Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak
hukum atau tidak sah. Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan
antara akad fasid dan akad batal, dimana ulama jumhur tidak
membedakannya. Akan tetapi akad batal adalah akad yang tidak
memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad yang
dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasiq adalah
akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara’
seperti menjual narkoba, miras dan lain-lain.
2. Berdasarkan penamaannya, dibagi menjadi:
a. Akad yang sudah diberi nama oleh syara’, seperti jual-beli, hibah,
gadai dan lain-lain.
b. Akad yang belum dinamakan oleh syara’, tetapi disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
3. Berdasarkan zatnya, dibagi menjadi:
a. Benda yang berwujud (al-‘ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh
panca indra kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.
b. Benda tidak berwujud (ghair al’ain), yaitu benda yang tidak dapat kita
rasakan oleh panca indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan,
seperti informasi, lisensi, dan lain sebagainya.
Akad dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fiqih muamalat
membagi lagi akad menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad
tijarah/mu’awadah.
23
1. Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah perjanjian yang
merupakan transaksi yang tidak ditujukan untuk memperoleh laba
(transaksi nirbala). Tujuan transaksi ini adalah tolong menolong
dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr
dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’,
pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan
imbalan apa pun kepada pihak lainnya karena ia hanya
mengharapkan imbalan dari Allah SWT dan bukan dari manusia.
Namun, tidak mengapa bila pihak yang berbuat kebaikan tersebut
meminta sekedar menutupi biaya yang ditanggung atau dikeluarkan
untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut, sepanjang tidak
mengambil laba dari akad tabarru’ tersebut.
Ada 3 bentuk akad tabarru’, yaitu:
a. Meminjam uang
Meminjam uang termsuk akad tabarru’ karena tidak boleh
melebihkan pembayaran atas peminjaman yang kita berikan,
karena setiap kelebihan tanpa ‘iwad adalah riba. Ada 3 jenis
pinjaman, yaitu:
1) Qard : merupakan suatu pinjaman yang diberikan tanpa
mensyaratkan apa pun, selain mengembalikan pinjaman
tersebut setelah jangka waktu tertentu.
2) Rahn : merupakan pinjaman yang mensyaratkan suatu
jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu.
3) Hiwalah: merupakan bentuk pinjaman dengan cara
mengambil alih piutang dari pihak lain.
24
b. Meminjamkan jasa
Meminjamkan jasa berupa keahlian atau ketrampilan termasuk
akad tabarru’. Ada 3 jenis pinjaman, yaitu:
1) Wakalah: merupakan pemberian suatu pinjaman berupa
kemampuan kita saat ini untuk melakukan sesuatu atas
nama orang lain. Pada konsep ini maka yang kita lakukan
hanya atas nama orang tersebut.
2) Wadi’ah:merupakan bentuk turunan akad wakalah, dimana
pada akad ini telah dirinci/didetailkan tentang jenis
pemeliharaan dan penitipan. Sehingga selama pemberian
jasa tersebut jika juga bertindak sebagai wakil dari pemilik
barang.
3) Kafalah: merupakan bentuk turunan akad wakalah, dimana
pada akad ini terjadi atas wakalah bersyarat (contingent
wakalah).
c. Memberikan sesuatu
Dalam akad ini, pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain.
Ada 3 jenis bentuk dalam akad ini, yaitu:
1) Waqaf: merupakan pemberian dan penggunaan pemberian
yang dilakukan tersebut untuk kepentingan umum dan
agama, serta pemberian itu tidak dapat dipindahtangankan.
2) Hibah, shadaqah: merupakan pemberian sesuatu secara
sukarela kepada orang lain.
25
2. Akad tijarah (compensational contract) merupakan akad yang
ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Dari sisi kepastian hasil
yang diperoleh, akad ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Natural Uncertainty Contract: merupakan kontrak yang
diturunkan dari teori pencampuran, dimana pihak yang
bertransaksi saling mencampurkan asset yang mereka miliki
menjadi satu, kemudian menanggung risiko bersama-sama
untuk mendapatkan keuntungan. Oleh sebab itu, kontrak jenis
ini tidak memberikan imbal hasil yang pasti, baik nilai imbal
hasil (amount) maupun waktu (timing). Contoh yang termasuk
dalam kontrak ini adalah musyarakah termasuk didalamnya
mudharabah, muzara’ah, musaqah dan mukhabarah.
b. Natural Certainty Contract: merupakan kontrak yang
diturunkan dari teori pertukaran, dimana kedua pihak saling
mempertukarkan asset yang dimilikinya, sehingga objek
pertukarannya (baik barang atau jasa) pun harus ditetapkan dari
awal akad dengan pasti tentang jumlah (quantity), mutu
(quality), harga (price) dan waktu penyerahan (time delivery).
Dalam kondisi ini secara tidak langsung kontrak jenis ini akan
memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena sudah
diketahui ketika akad. Contoh akad ini adalah akad jual beli
(baik penjual tunai, penjual tangguh, salam dan istishna’)
maupun akad sewa (ijarah maupun IMBT).11
11 Nurhayati Sri Wasilah, “Akutansi Syariah di Indonesia” edisi 2 revisi, (Jakarta: salemba empat, 2011) h.31
26
4. Tujuan Akad
Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang
melakukan perbuatan dalam keadaan sehat akal dan bebas menentukan pilihan
(tidak dipaksa) pasti memliki tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan
perbuatan itu. Oleh karena itu, tujuan akad diduduki peranan penting untuk
menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua
berkaitan dengan hubungan niat dan perkataan dalam akad.
Bahkan perbuatan-perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan
haramnya tujuan yang mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya tidur
siang apabila motifnya adalah supaya pada malam harinya tahan tidak tidur
untuk bermain judi, maka tidur siang itu akan menjadi haram.Masalahnya
adalah, jika suatu tindakan tidak mempunyai tujuan yang jelas, apakah
tindakan tersebut tidak mempunyai akibat hukum, misalnya seseorang berjanji
akan memberikan sesuatu kepada orang lain, apakah janji itu mempunyai
akibat hukum, dengan pengertian orang itu dapat dituntut untuk memenuhi
janjinya? Dalam masalah seperti ini, pendapat fuqaha’ bermacam-macam, ada
yang menyatakan mempunyai akibat hukum, seperti Ibnu Syubromah yang
mengatakan bahwa semua janji mempunyai akibat hukum, maka orang yang
berjanji dapat dipaksa untuk memenuhinya.12
Menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, janji yang tidak jelas tujuannya itu
tidak mempunyai akibat hukum duniawi, meskipun akan diperhitungkan
dihadapan Allah SWT diakhirat kelak. Hal tersebut berbeda dengan janji yang
tujuannya jelas. Misalnya apabila seseorang menyuruh orang lain untuk
12 Gemala Dewi, et, al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ed, I, (Jakarta: Kencana, cet. Kel-1, 2005),
h.58.
27
memberikan sesuatu barang kepada seseorang, dengan ketentuan apabila
orang yang menerima barang tidak mau membayar harganya, orang yang
menyuruh itu berjanji akan membayarnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tujuan akad memperoleh peran yang amat penting, apalagi
dalam muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang jelas, secara otomatis tidak ada
yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad tersebut. Sehingga akad tersebut
dipandang tidak sah dan tidak memiliki konsekuensi hukum. Dari sini maka
diperlukan adanya syarat-syarat tujuan akad sebagai berikut:
1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan. Tujuannya hendak baru ada
pada saat akad diadakan.
2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
Misalnya akad untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil
manfaatnya. Jika belum ada lima tahun rumah itu telah hancur maka
akadnya menjadi rusak karena hilangnya tujuan yang hendak diciptakan.
3. Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’. Jadi tidak boleh melakukan
akad dengan tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad
untuk melakukan patungan uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.
5. Asas Berakad Dalam Islam
Ada tujuh asas berakad dalam Islam, yaitu asas kebebasan, asas persamaan
atau kesetaraan, asas keadilan, asas kerelaan asas kejujuran dan kebenaran dan
asas tertulis. Namun, ada asas utama yang mendasari setiap perbuatan
manusia, termasuk dalam perbuatan muamalat, yaitu asas illahiah atau asas
28
tauhid.13Asas ilahiyah (ketuhanan) bertitik tolak dari Allah SWT dan
menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah SWT serta bertujuan
akhirat untuk Allah SWT.
1. Asas Ilahiyah
Kegiatan muamalah, tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketuhanan
(ketauhidan). Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab akan hal
ini. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,
tanggng jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Allah SWT.
Akibatnya, manusia tidak akan berbuat sehendak hatinya, karena segala
perbuatannya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.14
Ketika seorang manusia hendak bermuamalah (membeli dan menjual,
menyimpan dan meminjam atau mengivestasikan uang), maka manusia
tersebut selalu berdiri pada batas-batas yang diterapkan Allah SWT . ia tidak
memakan uang haram, memonopoli uang rakyat, korupsi, mencuri, berjudi
ataupun melakukan suap-menyuap. Ia menjauhi daerah yang diharamkan
Allah SWT dan meninggalkan daerah syubahat.15
2. Asas Kebebasan (Al-Hurriyah)
Asas ini merupakan prinsip dasar dalam bermuamalah (berakad).Pihak-
pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian
(freedom of making contrack), baik dari segi objek perjanjian maupun
menentukan persyaratan-persyaratan lain, termasuk menetapkan cara-cara
penyelesaian bila terjadi sengketa.Adanya suatu unsur pemaksaaan dan
13Gemala Dewi, et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: kencana, 2005) h 30 14A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam persektif Hukum Islam (Jakarta: kencana, Prenada Media, 2004) h.
125- 126 15Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Syariah, terjemahan Zainal Arifin dan Dahlia Husin dari
judul asli Darul Qiyam wa al akhlaq fi al iqtishad al-islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h 32
29
pemasungan kebebasan bagi para pihak yang melakukan perjanjian, maka
legalitas perjanjian yang dilakukan bisa dianggap meragukan bahkan tidak
sah.16Landasan asas ini yakni QS.al-Baqarah/2:265, al-Maidah/5:1, al-
Hijr/15:29, ar-Ruum/30:95, an-Nisaa’/4:33.
3. Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah)
Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup manusia.Sering kali terjadi bahwa seseorang
memiliki kelebihan dari yang lainnya.Seperti yang tercantum dalam QS. An-
Nahl/16:71,
“Dan bahwa Allah SWT melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki”.
Hal ini menunjukkan, bahwa di antara sesama manusia masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan
yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari
kelebihan yang dimilkinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki
kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan
perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kesetaraan ini.
4. Asas Keadilan (Al-‘Adalah)
Adil merupakan salah satu sifat Allah SWT yang sering kali disebutkan
dalam Al-Qur’an.Bersikap adil sering kali Allah SWT ditekankan kepada
manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih
dekat kepada takwa.Dalam QS.al-Araaf/7:29, di sebutkan
“katakanlah: tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”.
16 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengan Kehidupan Sosial Politik di Indonesia
(Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2005) h 238.
30
Istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan. Menurut
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, keadilan adalah keseimbangan antara berbagai
potensi individu, baik moral maupun materil, antara individu dan masyarakat
dan antara masyarakat yang satu dan lainnya yang berlandasan pada syariat
Islam. Dalam asas ini, para pihak yang melakukan perikatan dituntut untuk
berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi
perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya.Maka
sikap adil harus tercerminkan dalam perbuatan muamalah.
5. Asas Kerelaan (Al-Ridha)
Dalam QS a-Nisaa’/4;29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing
pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan dan mis-statement. Jika hal
ini tidak dipenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara bathil (al-
aqdu bil bathil). Berikut isi dari QS.An-NIsaa’/4:29.
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu”
6. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq)
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukanoleh manusia dalam segala
bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalah. Jika kejujuran ini
tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan itu
sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidakjujuran dalam perikatan, maka akan
menimbulkan perselisihan antara para pihak. Dalm QS.al-Ahzab/33:70,
disebutkan bahwa
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah SWT dan katakanlah perkataan yang benar”
31
Perbuatan muamalah dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi
pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi manfaat dan
lingkungannya.Adapun perbuatan muamalah yang mendatangkan mudarat
adalah dilarang.
7. Asas Tertulis (Al-kitabah)
Dalam QS. al-Baqarah/2:282-283, disebutkan bahwa Allah SWT
menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara
tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang
melakukan perikatan dan yang menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan pula
bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat
dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya tulisan, saksi dan benda
jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya perikatan tersebut.
B. Hiwalah
1. Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, kata “al hiwalah” huruf ha’ dibaca kasrah atau dibaca
kadang-kadang fathah, berasal dari kata-kata “al-tahawwul” yang berarti al-
intiqal (perpindahan/pengalihan).17 Orang arab biasanya mengatakan, “Hala
‘anil ‘ahdi” yaitu ‘berlepas diri dari tanggung jawab’. Abdurrahman Al-jaziri
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-hiwalah”, menurut bahasa
adalah, “pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain.18
Adapun menurut pengertian terminologi, yang dimaksud hiwalah adalah
memindahkan hutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain
dengan hutang yang sama.
17Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1986, h. 143 18Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut, Dar Al-Fikr, t.t.,h. 210
32
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama berbeda-
beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud “al-hiwalah” adalah “memindahkan
beban utang dari tanggung jawab muhil(orang yang berutang) kepada
tanggung jawab muhal ‘alaih (orang lain yang punya tanggung jawab
membayar hutang pula)”.
b. Menurut Maliki, syafi’i dan Hanabila, “al-hiwalah” adalah pemindahan
atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak
kepada pihak yang lain.19
Hiwalah secara harfiyah artinya pengalihan, pemindahan, perubahan
warna kulit atau memikul sesuatu diatas pundak. Objek yang dialihkan
dapat berupa utang atau piutang. Jika yang pengalihan hutang maka akad
hiwalah merupakan akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berutang
kepada pihak yang lain yang wajib menanggung utangnya. Akad hiwalah
merupakan salah satu akad tabarru’, yakni jenisakad yang berkaitan
dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk
mengadakan laba atau keuntungan. Dalam hal ini, dimaksud untuk
menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala
dari Allah. Dengan demikian, akad hiwalah tidak dibolehkan adanya
pengambilan dalam suatu keuntungan.20Transaksi seperti ini dapat terjadi
dengan adanya saling mempercayai antara para pihak yang mengadakan
transaksi. Secara teknis, pihak berutang (muhil) meminta pihak lain
(muhal’alaih) untuk membayarkan terlebih dahulu utangnya pada pihak
lain (muhal). Setelah akad hiwalah dilakukan pihak yang berutang (muhil)
19Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Jakarta, Karya Indah, 1986, h. 47 20Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 109.
33
akan membayar kepada pihak yang telah menanggung utangnya
(muhal’alaih) atau hak penagihan berpindah menjadi hak muhal’alaih.
Dalam hal ini pihak yang mengambil alih utang harus yakin pihak yang
diambil alih utangnya dapat memenuhi kewajiban di kemudian hari.
Jika yang dialihkan piutang maka akad hiwalah merupakan akad
pengalihan piutang dari satu pihak yang berpiutang kepada pihak yang lain
yang berkewajiban menagih piutangnya. Secara teknis, pihak yang berpiutang
(muhil) meminta pihak lain untuk mengambil alih (muhal’alaih) piutang yang
dimilikinya, dengan mengambil alihan ini pihak yang berpiutang akan
menerima uang dari yang mengambil alih piutang, sementara pihak yang
berutang (muhal) akan membayar pada pihak yang telah mengambil alih
piutang. Dalam hal ini akad hiwalah dapat membantu likuiditas bagi pihak
yang mempunyai piutang. Sebaliknya pihak yang mengambil alih piutang
harus berhati-hati pada kredibilitas dan kemampuan pihak yang berutang
selain juga harus melihat keabsahan transaksinya. Pihak yang menerima
pengalihan utang atau piutang (muhal‘alaih) dapat memperoleh
imbalan/fee/ujrah atas jasanya (berupa kesediaan dan komitmennya) dan
besarnya ujrah harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti.
2. Dasar Hukum dalam Akad Hiwalah
Sebuah transaksi atau perbuatan sesorang dalam Islam harus dilandasi
dengan sumber-sumber hukum dalam Islam, agar dapat mengetahui apakah
transaksi atau perbuatan yang dilakukan melanggar hukum Islam atau tidak.
Maka begitu juga dalam transaksi hiwalah untuk mengetahui kebolehan harus
dilihat dimana sumber hukum Islam menyebutkan:
34
a. Al qur’an
ن و م ل ع م ت ت ن ن ك م ا ك ل ر ي قوا خ د ص ان ت و ة ر يس ى م ل ة ا ر ظ ن ف ة سر وع ذ ان ن ك ا و
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baikbagimu, jika kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 280)
b. Hadist
Pelaksanaan hiwalah menurut Nabi Muhammad SAW adalah
dibolehkan, maka ini sesuai dengan hadist beliau:
ا ذ ا و م لظ ي نالغ ل ط: م م ل س و يه ل ع ى هللا ل ص هللا ل و س ر : قال ال ق نه ع هللا ي ض ر ة ر ي ر ي ھ ب ا ن ع ( روه البخاري و مسلم) ع ب ت ي ال ف ئ ل ى م ل ع م ك د ح ا ع ب ت ا
“Dari Abi Hurairah ra, ia berkata: bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: memperlambat dalam pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut) (HR Bukhari dan Muslim).”21
Pada hadist diatas telah menjelaskan bahwa kegiatan dalam pengalihan
hutang hiwalah kepada orang yang mampu untuk membayarnya atau
diperbolehkan dan Rasulullah memerintahkan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang berhutang menghiwalahkan kepada orang kaya
dan kemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah
ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya
(muhal’alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).22
c. Ijma’
Sebagian para ulama berpendapat bahwa pengalihan hutang tersebut wajib
diterima oleh muhal’alaih atau orang yang dihiwalahi. Sedangkan
mayoritas ulama memandang bahwa perintah untuk menerima hiwalah itu
21Al Imam Abi Abdillah Ibn Ibrahim al Bukhori, Shahih Bukhori, Jilid 3, Beirut : Daar al Fikr, 1981,
h.683 22 Sayyid Sabiq, alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah, Jilid 13, Bandung: PT.
Alma’arif, 1997, cet-7, h. 42
35
menunjukkan sunnah.Para ulama sepakat membolehkan hiwalah. Praktek
hiwalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/benda,
karena hiwalah adalah perpindahan hutang, oleh sebab itu harus pada uang
atau kewajiban finansial.23
3. Jenis Akad Hiwalah
Ditinjau dari segi objek akadhiwalah dapat dibagi menjadi dua
bagian,24 yaitu:
1. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menagih piutang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah al haqq (pemindahan hak). Hiwalah ini
adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain
dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang
bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan
haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang
tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika
piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
2. Apabila yang dipindahkan itu merupakan kewajiban untuk membayar
utang, maka pemindahan itu itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan
piutang). Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang
mempunyai hutang kepadanya, Ini berbeda dari hiwalah haq. Pada
hakikatnya hiwalah dain sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah
diterangkan terdahulu.
Ditinjau dari sisi persyaratan, hiwalah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
23 Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan , Jakarta : IIIT
Indonesia, 2003, h. 93 24Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syari’ah, Jakarta : Zikrul Hakim, h. 30
36
1. Hiwalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) terjadi jika muhil
mengalihkan hak penagihan muhal kepada muhal’alaih karena yang
terakhir punya hutang kepada muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz)
berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga madzhab Hanafi berpendapat
bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan mensyaratkan pada
hiwalah muqayyadah agar hutang muhal kepada muhil dan hutang
muhal’alaih kepada muhil harus sama, baik itu sifat maupun jumlah. Jika
sudah sama jenis dan jumlahnya, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika
salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
2. Hiwalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak) terjadi jika orang yang
berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan
hak penagihnya kepada pihak yang ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini
berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A
mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya
hubungan hutang piutang kepada B, maka hiwalah ini disebut muthlaqoh.
Ini hanya madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama
mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
Akad hiwalah dalam ketentuan syariah, yaitu:
1. Pelaku
a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan
hartanya dan rela (ridho) dengan pengalihan utang piutang tersebut
c. Diketahui identitasnya
2. Objek penjaminan (ma’ful bihi)
a. Bisa dilakukan oleh pihak yang mengambil alih utang atau piutang
37
b. Harus merupakan utang/piutang mengikat, yang tidak mungkin
terhapus kecuali setelah dia bayar atau dibebaskan
c. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
d. Tidak bertentangan dengan syariah
3. Ijab Kabul adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha/rela diantara
pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui
korespodensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4. Rukun dan Syarat Hiwalah
a. Rukun hiwalah
Mula-mula yang dipandang sebagai subyek hukum adalah orang,
kemudian karena berkembangnya jalan pemikiran manusia, lalu badan
hukum/lembaga-lembaga yang mengurusi kepentingan umum dipandang
sebagai orang. Keberadaan badan hukum dalam ketentuan hukum Islam
secara tuntas didalam nash memang tidak ada, akan tetapi diketahui bahwa
syariat (termasuk ketentuan tentang badan hukum) yang berkembang di
masyarakat yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat
manusia.25Menurut maazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan
melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (pernyataan menerima
hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hawalah ada enam,
yaitu:
1) Pihak pertama, muhil (المحيل): yakni orang yang berhutang dan
sekaligus berpiutang.
25Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001,
h. 194
38
2) Pihak kedua, muhal (المحال): yakni orang berpiutang kepada muhil.
3) Pihak ketiga, muhal’alaih (المحال عليه): yakni orang yang berhutang
kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal.
4) Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
yakni hutang muhil kepada muhal.
5) Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama, hutang muhal’alaih
kepada muhil.
6) Ada sighoh (pernayataan hiwalah).26
Penjelasan, contoh: A (muhil) berhutang kepada B (muhal) dan A berpiutang
dengan C (muhal’alaih), jadi A adalah orang yang berhutang dan berpiutang,
B hanya berpiutang dan C hanya berhutang kemudian A dengan persetujuan B
menyuruh C membayar hutangnya B, setelah terjadi akad hawalah, terlepaslah
A dari hutangnya kepada B dan C tidak berhutang dengan A, tetapi hutangnya
kepada A, telah berpindah kepada B berarti C harus membayar hutangnya itu
kepada B tidak lagi kepada A.
b. Syarat-syarat hiwalah
Syarat hiwalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
berpendapat bahwa perbuatan hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-
syarat yang berkaitan dengan pihak pertama, pihak kedua dan ketiga, serta
yang berkaitan dengan hutang itu sendiri.27
Adapun syarat-syarat hiwalah menurut para fuqaha, sebagai berikut:
1. Syarat Muhil (Pemindahan Hutang), disyaratkan harus dengan dua syarat,
yaitu:
26Idris Ahmad, (Jakarta, Karya Indah), 1986, h.57. 27Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, cet-3, 2007, h. 97
39
a. Berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat
dimilki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh
orang gila dan kanak-kanak karena tidak mampu atau belum dapat
dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum.
b. Kerelaan Muhil, ini disebabkan karena hawalah mengandung
pengertian pelupusan hak milik sehingga tidak sah jika ia dipaksakan.
Ibn kamal berkata dalam al idah bahwa syarat kerelaan pemindah
hutang diperlukan ketika berlaku tuntutan.28
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa
kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang
wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya,
maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang
lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian
tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-
tunda. Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal’alaih (orang yang
berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda
dan tidak membengkang, muhal (orang yang menerima pindahan)
wajib menerima pemindahan itu dan tidak disyaratkan adanya kerelaan
darinya.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal
(orang yang menerima pindahan) untuk menerima hiwalah adalah
karena muhal’alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah
membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan
demikian, jika muhal’alaih mudah dan cepat membayar hutangnya,
28Ali Fikri, Al-Mu’amalat Al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz 2, Mathba’ah Musthafa Al-Babiy Al-
Halaby, Mesir, cet I, 1357 H, h. 74
40
dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hiwalah. Namun jika
muhal’alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda
membayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib
menerima hiwalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan muhil, maka disyaratkan harus,
pertama berkemapuan untuk melakukan akad(kontrak). Hal ini hanya
dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan
oleh anak-anak kecil dan orang gila karena tidak bisa atau belum dapat
dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua
kerelaan muhil. Ini disebabkan karena hiwalah mengandung pengertian
kepemilikikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Disamping itu
persyaratan ini diwajibkan para fuqaha terutama untuk meredam rasa
kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh muhil
ketika diadakan akad hiwalah.
c. Beban muhil setelah hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab
muhil gugur. Andaikata muhal’alaih mengalami kerugian atau
meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil,
hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata
muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk
membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam
Maliki, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian
muhal’alaih mengalami kerugian atau meninggal dunia dan ia belum
membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
41
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan
muhal’alaih mengalami kerugian atau meninggal dunia, maka orang yang
menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
2. Syarat muhal (Pemiutang Asal), maka terdiri dari tiga syarat, yaitu:
a. Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama
dengan syarat yang harus dipenuhi oleh muhil.
b. Kerelaan dari muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan.
c. Penerimaan dalam penawaran hendaklah berlaku dalam majlis akad.
Ini adalah syarat berakad
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak
ada syarat kerelaan muhal’alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya:
“jika salah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah), (HR Bukhari dan Muslim).”29
Sehingga adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan
orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga
yang sulit membayarnya, sedangkan menerima pelunasan hutang itu
merupakan hak dari muhal. Karena memang muhal mempunyai hak yang ada
pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa
kerelaan. Jika perbuatan hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak muhal
dapat merasa dirugikan, misalnya apabila ternyata bahwa pihak muhal’alaih
sulit membayar hutang tersebut, maka akan muncul kerugian antara belah
29Imam Taqiyuddin, alih bahasa KH.Syarifuddin Anwar, Kifayatul Akhyar (kelengkapan
orang saleh), Surabaya : Bina Iman, 1995, h.612
42
pihak sehingga muncul hak yang harus dipenuhi dari pihak yang
bersangkutan.
Disamping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau
mewakilkan kepda orang lain. Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan
adanya kerelaan muhal’alaih, maka ia wajib dengan sesuatu yang bukan
menjadi kewajibannya. Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan
adanya kerelaan muhal’alaih. Dan muhalalaih akan membayar hutangnya
dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.
3. Syarat muhal’alaih (penerima pindah hutang)
a. Sama dengan syarat pertama bagi muhil dan muhal yaitu berakal dan
baligh.
b. Madzhab Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan dari pihak
muhal’alaih. Sedangkan ketiga Madzhab lainnya tidak mensyaratkan
hal itu. Alasan Madzhab Hanafi adalah tindakan hiwalah merupakan
tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban muhal’alaih
untuk membayar hutang kepada pihak muhal, sedangkan kewajiban
membayar hutang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri
yang berhutang kepada pihak muhal. Karena itu, kewajiban tersebut
hanya dibebankan kepada jika ia menyetujui hiwalah tersebut. Adapun
alasan Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah bahwa dalam akad
hiwalah, muhal’alaih dipandang sebagai obyek akad dan karena itu
persetujuannya tidak merupakan syarat sahnya hiwalah.
c. Imam Abu Hanafah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
menambahkan bahwa qabul (pernyataan menerima akad) tersebut
43
dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majlis
akad.
Fuqaha berpendapat bahwa hiwalah (perpindahan hutang) merupakan
suatu kegiatan muamalah yang memandang persetujuan atau kerelaan
kedua belah pihak yang memang diperlukan. Karena pada prinsipnya
kegiatan muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan
kesempatan dalam kesempitan. Prinsip ini menentukan bahwa segala
bentuk muamalah yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
4. Syarat muhal bih (hutang)
a. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-
piutang yang sudah pasti. Jika yang dialihkan itu belum merupakan
utang-piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan hutang yang timbul
akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar (masa yang
dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk mempertimbangkan
apakahakad jual beli dilanjutkan atau dibatalkan), maka hiwalah tidak
sah.
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa persyaratan ini berlaku pada
hutang muhil kepada muhal. Mengenai hutang pihak muhal kepada
muhal‘alaih, Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali memberlakukan
persyaratan ini, tetapi Madzhab Hanafi tidak memberlakukannya.
b. Apabila pengalihan hutang tersebut dalam bentuk hiwalah al-
muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa baikhutang
muhil kepada muhal maupun hutang muhal ‘alaih kepada pihakmuhil,
mestilah sama dalam jumlah dan kualitasnya. Jika antara keduahutang
44
tersebut terdapat perbedaan jumlah (misalnya : hutang dalambentuk
uang), atau perbedaan kualitas (misalnya : hutang dalam
bentukbarang), maka hiwalah tidak sah. Akan tetapi jika pengalihan itu
dalambentuk hiwalah al-mutlaqah sebagaimana yang dibenarkan
MazhabHanafi, maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baik
jumlahmaupun kualitasnya.
c. Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut
mestisama pula waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi
perbedaanwaktu jatuh tempo pembayaran di antara kedua hutang
tersebut, makahiwalah tidak sah
Dengan demikian syarat yang diperlukan terhadap hutang yangdialihkan
(muhal bih ) adalah sama dalam bentuk pemenuhan hak,seperti jenis,
jumlah, pelaksanaan, tempo waktu, dan mutu.
5. Berakirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah menjadi berakhir jika terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad tersebut membatalkan
(fasakh) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan
adanya pembatalan akad tersebut, pihak kedua kembali berhak untuk
menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula hak
pihakpertama kepada pihak ketiga.
2. Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan tersebut kepada pihak kedua.
3. Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan
ahliwaris yang mewarisi harta pihak kedua.
4. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan suatu hartanya yang
merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
45
5. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar
hutang yang dialihkan tersebut.
Menurut Mazhab Hanafi, hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi karena at-
tawa, yaitu pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut), atau meninggal dunia
dalam keadaan pailit, atau tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah pihak
ketiga mengingkari adanya akad tersebut. Sedangkan menurut Mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hambali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap, karena
persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat
berakhir karena at-tawa atau dengan alasan mengalami palit (bangkrut).30
Dengan kata lain, pihak kedua tidak dapat menuntut pengembalian hak
meminta pembayaran hutang kepada pihak pertama, dengan alasan ia tidak
berhasil mendapatkan pelunasan hutang dari pihak ketiga.
Namun dari beberapa pendapat diatas, perlu dicermati persyaratan-
persyaratan yang telah ditetapkan apakah sudah memenuhi atau belum, dan
apakah akad hiwalah tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dan disepakati. Persyaratan-persyaratan yang telah disepakati
bersama harus dipatuhi oleh semua pihak, sekiranya ada pihak yang dirugikan
dalam pelaksanaan akad hiwalah itu, maka ia dapat mengadakan untuk
gugatan yang sudah barang tentu dengan bukti yang kuat dan dapat di
pertanggungjawabkan.
30 Jainuddin, Ikhtisar Fiqih Muamalah, (Bandung: Rajawali Press tahun 2010), h. 46.
46
BAB III
ASPEK HUKUM KLAUSULA BAKU
A. Pengertian Klausula Baku
Sebagaimana pada umumnya klausula baku atau perjanjian baku sama
halnya dengan perjanjian pada umumnya. Perikatan sebagai ikatan yang
menghubungkan antara dua pihak.1 Sebagaimana dijelaskan dalam KUHP
perdata pasal 1313 perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.
Kontrak baku, kontrak standard, klausula baku atau kontrak adhesi
adalah beberapa istilah yang digunakan terhadap perjanjian yang seluruh
klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau minta
perubahan.2Perjanjian baku pada umumnya telah tercetak (boilerplate)
sehingga pihak yang lain tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasi,
pilihan yang ada adalah mengambil kontrak tersebut atau meninggalkannya,3
hal yang senada juga diutarakan oleh Hondius. Yang belum dibakukan hanya
terkait beberapa hal yaitu seputar objek yang ditransaksikan dan besarnya
biaya yang harus ditanggung.
Ditengah bisnis yang semakin pesat diperlukan klausula yang baku
untuk mengefisiensikan biaya, tenaga dan waktu dalam perjalanan bisnis.
Peran bagi produsen secara eksplisit menolak pertanggungjawaban dari
1Soebekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-19. (jakarta: Intermasa, 2002), h 1. 2Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institusi Bankir Indonesia, 1993), h.66. 3Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua, (Jakarta: PT Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 76.
47
konsumen. Sehingga konsumen menerima penolakan tersebut dalam bentuk
perjanjian klausula baku. Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang
kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku
usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula
baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila
konsumen menolak klausula baku tersebut maka ia tidak akan mendapatkan
barang atau jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan
ditemuinya ditempat lain. banyak contoh perjanjian yang bisa kita lihat
penggunaan kontrak baku seperti karcis parkir, tiket pesawat, kredit bank, jual
beli, asuransi dan lain-lain.
Ciri-ciri kontrak baku menurut Mariam Badrulzaman, yaitu:
A. Isi diterapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi
(ekonominya) kuat.
B. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama
menentukan suatu isi perjanjian
C. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima
perjanjian itu
D. Berbentuk dalam suatu tulisan
E. Dipersiapkan oleh masa dan kolektif.4
Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi
klausula baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini
merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis dan cepat tidak
bertele-tele, tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak
4 Salim HS, dkk, Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h.70.
48
menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu hanya
menerima walaupun dengan berat hati.5
Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract,
baku berarti patokan atau acuan. Mariam Darus mendefinisikan perjanjian
klausula baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam
suatu dokumen.6 Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-
janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangkan
dalam perjanjian yang sifatnya tertentu.
Ahmadi Miru berpendapat bahwa perjanjian baku merupakan
perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun
harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak
mengalihkan beban tanggung jawab dari pihak perancang klausula baku
kepada pihak lainnya.
Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai
berikut:7
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat
dari konsumen.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal.
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor
kebutuhan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula
baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
5Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1992), h.6. 6Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1978), h.48. 7Sudaryatno, Hukum dan Advokat Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.93.
49
disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak
yang memiliki kedudukan yang lebih kuat, tentu saja dapat dipastikan bahwa
perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan. Serta
bukan tidak mungkin juga meringankan atau menghapuskan beban dan
kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
B. Dasar Hukum Klausula Baku
Secara khusus keberadaan klausula baku tidak diatur dalam perundang-
undangan dan juga tidak dilarang oleh undang-undang. Klausula baku telah
ada dan eksis sejak ribuan tahun yang lalu dalam dunia bisnis. Pengaturan
klausula baku dapat kita temukan pada beberapa peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
a. Pasal 6.5.1.2 dan pasal 6.5.1.3 NBW Belanda
b. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 Priciples of internasional commercial
contract (Prinsip UNIDROIT). Prinsip ini mengatur hak dan kewajiban
para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak.
c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perubahan undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
d. Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK
menjelaskan secara khusus pengertian pasal 1 angka 10 kemudian
menjelaskan ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam klausula baku
didalam pasal 18
50
e. Rancangan Undang-undang tentang Kontrak. Kontrak ini dijelaskan dalam
pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22
f. Peraturan Otoritas jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 yang
diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 yang berlaku bagi seluruh8
perusahaan keuangan, termasuk didalamnya perusahaan Asuransi Syariah.
Peraturan ini memuat ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam sebuah
klausula baku dalam pasal 22. Pada dasarnya ketentuan yang dilarang
dicantumkan dalam klausula baku yang diatur dalam peraturan OJK ini tidak
jauh berbeda dengan UUPK yang dijelaskan dalam pasal 18
C. Keabsahan Klausula Baku
Keabsahan klausula baku sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi,
sebab, keberadaan klausula baku telah ada sejak 80 tahun yang lalu. Walaupun
demikian perdebatan tentang keabsahan klausula baku tidak bisa dilupakan
begitu saja, sebab, hal ini berkaitan dengan perbaikan peraturan perundang-
undangan khususnya berkaitan dengan penggunaan klausula baku.
Ahli hukum berbeda pandangan dalam menilai keabsahan klausula
baku. Negara yang umumnya bersistem Eropa Kontinental berbeda pandangan
dalam menilai keabsahannya dengan argumentasinya masing-masing.
Sluijer mengatakan bahwa klausula baku bukan merupakan perjanjian, sebab
kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu dalah seperti penduduk undang-
undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan
pengusaha dalam klausula itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.9
8 Salim H.S, “Hukum Kontrak (Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak)”, Sinar Grafika, Jakarta, 2003,
h. 9. 9 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institusi Bankir Indonesia, 1993), h.70.
51
Pitlo menggolongkan klausula baku sebagai perjanjian paksa (dwang
contract). Walaupun secara teoretis yuridis, klausula baku tidak memenuhi
ketentuan undang-undang dan ditolak keberadaannya kebutuhan masyarakat
terhadap klausula baku berjalan ke arah yang berlawanan dengan keinginan
hukum.
Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan
pendapat bahwa klausula baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan
fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikat diri pada perjanjian
itu. Jika konsumen menerima dokumen klausula baku tersebut, berarti ia
secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang mendatangani
perjanjian, bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika
ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku,
tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda
tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak
mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
Pendapat lain yang mendukung keabsahan klausula baku diuraikan oleh
Hondius yang berpendapat bahwa klausula baku telah menjadikan kebiasaan
yang berlaku di masyarakat dan suatu perjalan dalam berbisnis.
Negara dengan sistem common law sebagaimana di Amerika
berpandangan bahwa hakim disana berpendapat bahwa klausula baku (adhesi)
tidak dapat ditetapkan, hal ini disimpulkan oleh Whitman dan Gergacz.
Walaupun demikian ini tidak berjalan lama. Pada tahun 1960-an pendapat ini
52
mulai ditinggalkan. Hal ini ditandai dengan mulai diawasi penggunaan kontrak
baku. Walaupun demikian mereka tetap berpegang pada prinsip Cevat Emptor
(Let the Buyer Beware), yang berarti konsumen harus yang berhati-hati.
D. Prinsip-prinsip dalam Klausula Baku
Sebagai sebuah instrumen hukum yang mengikat debitur dengan
kreditur serta mengatur kewajiban dan hak masing-masing pihak, klausula
baku harus mendapatkan perhatian khusus terkait dengan prinsip-prinsip
penting yang berpotensi untuk dilanggar oleh karena itu ini harus diperhatikan
dalam suatu pembuatan klausula baku.
Munir Fuadi menjelaskan ada empat prinsip yang harus diperhatikan
dalam klausula baku, yaitu:
a. Prinsip kesepakan kehendak dari para pihak
Kesepakatan sebagai dasar sahnya perikatan tetap menjadi penentu sah
atau tidaknya kontrak tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1320
KUHPerdata yang menyatakan perjanjian yang sah adalah ada kesepakatan
dari kedua belah pihak.
Walaupun klausula baku disebut oleh salah satu pihak saja, unsur
kesepakatan harus dapat dipenuhi dalam klausula baku tersebut.
Kesepakatan itu dapat ditandai dengan ditanda tanganinya klausula
tersebut atau dengan cara serah terima barang yang ditransaksikan.
b. Prinsip asumsi risiko dari para pihak
Adanya asumsi risiko dalam suatu perjanjian tidak dilarang. Artinya
apabila salah satu pihak bersedia menanggung resiko tersebut, ketika
resiko tersebut terjadi maka yang menyatakan bersedia tersebut harus
menanggung resiko tersebut.
53
c. Prinsip kewajiban membaca (duty to read)
Prinsip kewajiban membaca oleh konsumen yang dianut oleh sistem
negara common law seperti Amerika juga harus diperhatikan konsumen
yang ada di Indonesia. Disiplin ilmu hukum juga mengajarkan bahwa
setiap pihak wajib membaca klausula yang mereka tanda tangani. Tanda
tangan yang terletak dalam suatu klausula tersebut adalah tanda kalau
mereka telah membaca sepenuhnya klausula yang mereka sepakati.
d. Prinsip klausula mengikuti kebiasaan
Klausula sebagai rule yang mengatur apa yang harus dilakukan dan
tidak boleh dilakukan para pihak bukan berarti apa yang tidak
dicantumkan dalam klausula boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Ada prinsip kebiasaan juga yang mengikat para pihak dalam perjanjian.10
E. Peraturan Pencantumkan dalam Klausula Baku
Peraturan Pencantuman Klausula Baku, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pasal 18 ayat (1) melarang pelaku usaha mencantumkan klausula
baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang dibeli konsumen.
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang diabayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen.
10 Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku kedua, Jakarta: PT. Citra
Aditya Bakti tahun 2003, h 47
54
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdai obyek jual beli jasa.
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya.
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Lebih lanjut lagi, Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Pasal 18 ayat
(2) juga melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit untuk dimengerti. Dan setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal
demi hukum, maka bahwa pelaku usaha harus wajib menyesuaikan klausula
baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Tentu Undang-Undang Perlindungan Konsumen menginginkan terciptanya
keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha. Pengaturan pencantuman
55
klausula baku bukanlah merupakan keberpihakkan terhadap kepentingan
konsumen dan merugikan kepentingan perlindungan konsumen, menginginkan
kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah
dalam pembangunan nasional, harus medapatkan porsi yang seimbang.
Penerapan klausula baku yang dilakukan oleh pihak dengan posisi
yang lebih kuat akan merugikan pihak lain dengan posisi yang lebih lemah,
biasanya model perjanjian seperti ini dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.
Memosisikan pelaku usaha dalam posisi yang lebih kuat dari pada posisi
konsumen, tidaklah selamanya benar. Karena kasus tertentu posisi
konsumen justru lebih kuat dari pada posisi pelaku usaha, dan justru
konsumenlah yang merancang klausula baku tersebut. Dengan demikian
pendapat di atas tidak selamanya benar.
Perjanjian dengan klausula baku terjadi dengan beberapa cara, hingga
saat ini pemberlakuan perjanjian baku tersebut antara lain dengan cara-cara:11
1. Pencantuman butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan
terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya oleh kalangan pengusaha,
produsen, distributor atau pedagang produk tersebut. Perhatikan kontrak
jual beli atau sewa beli kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat
elektronik dan lain sebagainya.
2. Pencantuman klausula baku dalam lembaran kertas yang berupa tabel, bon,
kwitansi, tanda terima, atau lembaran dalam bentuk serah terima barang.
Seperti lembaran bon, kwitansi atau tenda terima barang dari toko, kedai
dan supermarket.
11Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, bandung: 1994, h. 56.
56
3. Pencantuman klausula baku dalam bentu pengumuman tentang berlakunya
syarat-syarat baku di tempat tertentu, seperti di area parkir, hotel, dan
penginapan dengan meletakkan atau menempelkan pengumuman klausula
baku.
Memang klausula baku yang merupakan suatu bentuk perjanjian yang
secara teoretis masih mengundang perdebatan, khususnya dalam kaitannya
dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan syarat-syarat
perjanjian. Dalam klausula baku, kebebasan dan pemberian kesempatan untuk
melakukan kontrak tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian secara
langsung, dengan melibatkan para pihak untuk menegosiasikan klausula
perjanjian. Maka terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan klausula
baku dalam hukum perjanjian.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan rambu-rambu
dalam perbuatan klausula baku. Harus diakui bahwa posisi konsumen dalam
klausula baku hanya sebatas mengambil atau menolak yang telah ditawarkan
kepadanya. Atas dasar itu pula negara sebagai pihak yang bertanggung jawab
akan tegaknya pelindungan konsumen sehingga kenyamanan dan keamanan
dapat dirasakan oleh setiap konsumen.
Untuk mendukung tujuan tersebut OJK mengeluarkan peraturan tentang
perlindungan konsumen yang berlaku khusus pada lembaga keuangan
menambahkan lima prinsip. Kelima prinsip tersebut sebagai berikut: (1)
transparansi; (2) perlakuan yang adil; (3) keandalan; (4) kerahasiaan dan
keamanan data/ informasi konsumen; dan (5) penanganan pengaduan serta
penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya
57
terjangkau.12 Lebih lanjut POJK menjelaskan dalam pasal 4 UU bahwa OJK
dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam
sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat.
Rentannya posisi konsumen untuk disalahgunakan POJK mengatur
keseimbangan dalam perjanjian yang dibuat oleh perusahaan, asas ini
dijelaskan dalam pasal 21 dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Keseimbangan ini ditujukan untuk meningkatkan rasa saling menghormati
antara para pihak, serta melaksanakan kewajiban dan hak mereka secara
seimbang, tanpa memberatkan satu pihak dan meringankan pihak lain.
Hondius dalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku
mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat dan perdagangan.
Namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap
ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan
klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula
yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999.
Kendatipun demikian, harus pula diakui bahwa perjanjian baku sangat
dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin pesat dewasa ini. Dengan
penggunaan klausula baku tersebut, berarti para pihak dapat mempersingkat
12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan pasal 2
58
waktu bernegosiasi. Di samping itu, perjanjian baku juga tetap mengikat para
pihak dan pada umumnya beban tanggung jawab para pihak adalah berat
sebelah. Maka langkah yang harus dilakukan bukan melarang atau membatasi
penggunaan klausula baku, melainkan melarang atau membatasi penggunaan
klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku tersebut.
Di Inggris, penanggulangan masalah kontraktual dilakukan melalui
putusan-putusan hakim dan ketentuan perundang-undangan. Bahkan law
commission dalam saran mereka untuk meninjauan masalah standard form
contract mengemukakan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pengujian syarat-syarat baku tersebut antara lain:
1. Kemampuan daya saing (bargaining position) para pihak.
2. Apakah konsumen ditawarkan syarat-syarat lain dengan singkat harga
yang lebih tinggi, tetapi tanpa syarat eksonerasi dalam kontrak
pembeliannya.
3. Apakah pelanggaran kontrak dengan syarat pengecualian tanggung jawab,
disebabkan oleh hal atau peristiwa di luar kuasa pihak (konsumen) yang
melakukannya.
Di Amerika Serikat, transaksi-transaksi tertentu yang dilakukan dengan
perjanjian baku, tidak diperbolehkan memuat syarat berikut:
1. Persetujuan pembeli untuk tidak menggugat pengusaha.
2. Pembebasan pembeli untuk menuntut penjual mengenai setiap perbuatan
penagihan atau pemilikan kembali (barang yang dijual) yang dilakukan
secara tidak sah.
3. Pemberian kuasa kepada penjual atau orang lain untuk menagih
pembayaran atau pemilikan kembali barang tertentu.
59
4. Pembebasan penjual dari setiap tuntutan ganti kerugian pembeli terhadap
penjual.
Upaya perlindungan konsumen diatas tentu sangatlah terbatas, dan
tidak mungkin memberikan perlindungan kepada konsumen secara
keeluruhan. Akan tetapi upaya tersebut dapat dijadikan untuk membatasi
kerugian akibat penggunaan klausula baku. Pembatasan atau larangan
pencatuman klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki
kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.
F. Klausula eksonerasi
Adapun klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu
perjanjian, di mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi
kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena
ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.13
Perjanjian baku dengan klausula baku eksonerasinya pada prinsipnya hanya
menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen, karena klausulanya
tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih
besar dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen hanya
menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja karena dorongan
kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha,
menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut.
Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada
akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-
13Mariam darus Badrulzaman, ‘’Aneka Hukum Bisnis’’, Alumni, Bandung, 1994) h. 47.
60
kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang
masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Akibat kedudukan para
pihak yang tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam
keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkannya
dalam perjanjian. Maka pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat biasanya
menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu
dalam perjanjian baku. Sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para
pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian tersebut, tidak ditemukan lagi
dalambentuk perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian telah dirancang
oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat yang mengakibatkan sangat
merugikan pihak yang lemah, biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.14
Salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam Darus
Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian
itu, juga tidak dapat dibenarkan karena perjanjian baku pada umumnya dibuat
dengan tetap kemungkinan pihak yang lain (bukan pihak yang merancang
perjanjian baku) untuk menentukan unsur essensial dari suatu perjanjian,
sedangkan klausula yang pada umumnya tidak dapat ditawar adalah klausula
yang merupakan unsur aksidentalia dalam suatu perjanjian.
Berdasarkan alasan diatas, maka perjanjian baku yang mengandung klausula
eksonerasi cirinya, yaitu:
a. Pada umunya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat.
b. Pihak yang lemah pada umunya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang
merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian.
14 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” cet 2, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada tahun 2004, h. 114.
61
c. Terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian
tersebut.
d. Bentuknya tertulis.
e. Disiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual.
Oleh karena itu dengan perjanjian baku ini merupakan suatu bentuk perjanjian
yang secara teoritis masih mengundang perdebatan khususnya dalam kaitan
dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian, kebebasan
untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak
tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian yang dilakukan secara
langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula
perjanjian.15
Beberapa hal yang harus dapat diperhatikan dalam perjanjian baku, adalah
pencantuman klausula eksonerasi harus berupa, yaitu:
a. Menonjol dan Jelas
Pengecualian terhadap tanggungan gugat tidak dapat dibenarkan jika
penulisannya tidak menonjol dan tidak jelas. Dengan demikian, maka
penulisan pengecualian tanggung gugat yang tertulis dibelakang suatu
surat perjanjian atau yang ditulis dengan cetakkan kecil, kemungkinan
tidak efektif karena penulisan klausula tersebut tidak menonjol.
Agar suatu penulisan klausula dapat digolongkan menonjol, maka
penulisannya dilakukan sehingga orang yang berkepentingan akan
memperhatikannya, misalnya dicetak dalam huruf besar atau dicetak
15Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (BandungMandar Maju: 1994), h. 61.
62
dengan tulisan dan tentu saja hal ini memuat dalam bagian penting dari
klausula tersebut.
b. Disampaikan Tepat waktu
Pengecualian tanggung gugat hanya efektif jika disampaikan tepat waktu.
Dengan demikian, setiap pengecualian tanggung gugat harus disampaikan
pada saat penutupan perjanjian, sehingga merupakan bagian dari klausla,
Jadi bukan disampaikan setelah perjanjian.
c. Pemenuhan Tujuan-tujuan Penting
Pembatasan tanggung gugat tidak dapat dilakukan jika pembatasan
tersebut tidak akan memenuhi tujuan penting dari suatu jaminan, misalnya
tanggung gugat terhadap cacat yang tersembunyi tersebut tidak ditemukan
dalam periode tersebut.
d. Adil
Jika keadilan menemukan kontrak atau klausula kontrak yang tidak adil,
maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakannya, atau
melaksanakannya tanpa klausula yang tidak adil.
Walaupun demikian, harus pula diakuai bahwa perjanjian baku/perjanjian
yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia
perdagangan yang semakin maju, terutama karena dengan penggunaan
perjanjian baku tersebut berarti para pihak dapat mempersingkat waktu
bernegosiasi.16
16 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” cet 2, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada tahun 2004), h. 119
63
BAB IV
PERBANDINGAN PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB DALAM HUKUM ISLAM
DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pandangan Hukum Islam dalam Hiwalah/pengalihan tanggung jawab yang
terdapat pada Klausula Baku
Setiap transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan konsumen harus
diwujudkan dalam bentuk tertulis, yaitu dikenal dengan akad. Akad merupakan suatu
perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak
kepad pihak yang lain, dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut. Secara khusus
akad, yaitu suatu perekatan yang didalamnya terdiri dari ijab dan kabul dengan cara
yang dibenarkan syariah kemudian menimbulkan adanya akibat hukum pada
objeknya. Ijab adalah suatu pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, sedangkan kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Maka akad atau perjanjian dalam syariat agama Islam adalah sah apabila memenuhi
rukun dan syarat-syarat. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam kontrak. Sedang
syarat adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun tersebut.
Maka penulis melihat proses akad yang dibuat antara pihak yang bersangkutan
harus dituangkan dalam bentuk perjanjian yang sudah ditetapkan terlebih dahulu,
Kontrak baku pada praktiknya tidak hanya dilakukan dalam transaksi jual beli saja
tetapi melainkan adanya transaksi jasa jual beli maupun dalam halnya pengalihan hak
utang piutang. Maka dengan seperti itu harus dilakukan dalam transaksi yang
berlandaskan pada prinsip syariah dan ketentuan dalam peraturan Undang-Undang
yang terkait dengan pembahasan transaksi jual beli maupun pengalihan hak utang
piutang.
64
Hal ini menunjukkan bahwa keberlakuan kontrak baku memang sudah
menjadi suatu yang tidak asing lagi sehingga dapat diterima keberadaannya oleh
masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penggunaan kontrak baku
yang dilakukan oleh para pelaku usaha terutama pihak yang memiliki posisi atau
kedudukannya yang lebih tinggi dari konsumen yang sehingga pelaku usaha dengan
mudah melakukan transaksi ternyata juga dipakai untuk memperoleh keuntungan
yang harus diperoleh untuk kepentingan pelaku usaha saja tanpa memikirkan dampak
yang telah dilakukan pelaku usaha. Maka dengan cara itu pelaku usaha dapat
mencantumkan klausula baku yang ditetapkan terlebih dahulu yang isi dari perjanjian
tersebut telah memberatkan salah satu pihak yaitu pihak konsumen.
Dalam Islam persoalan transaksi harus diperhatikan dengan betul-betul dalam
penerapannya, yang kemudian dapat membuktikan bahwa keberadaan transaksi tidak
boleh dikesampingkan dengan begitu saja dalam setiap bidang kehidupan manusia,
karena begitu pentingnya transaksi suatu perjanjian. Pelaksanaan transaksi jual beli
maka ada pula transaksi pengalihan hak dan kewajiban. Dengan demikian secara
sekilas hampir serupa dengan transaksi pengalihan hutang (hiwalah) yaitu dalam hal
subjek, objek, serta pernyataan kesepakatan dalam transaksi.
Untuk menjamin perlindungan konsumen maka penulis menyatakan bahwa
pandangan yang terdapat pada hukum Islam tidak hanya harus sesuai dengan
perlindungan konsumen tersebut. Melainkan harus adanya diperhatikan bahwa proses
dalam transaksinya, Islam menempatkan perlindungan hukum yang seimbang bagi
para pihak. Bukan hanya kepada konsumen sebagai penikmat atau penerima isi baku
yang sudah ditetepkan terlebih dahulu dari pihak pelaku usaha yang dikeluarkan oleh
perusahaan. Akan tetapi perlunya proses administrasi yang cepat, dengan tidak
memaksa pihak penggunaan kontrak baku.
65
Setiap kesepakatan dalam suatu transaksi mempunyai asas-asas untuk
mendasari kesepatan tersebut sehingga tidak menimbulkan suatu kerugian antara satu
sama lain, asas tersebut seperti:
1. Asas Ilahiyah
Dalam kegiatan muamalah, tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketuhanan
(ketauhidan). Sehingga manusia memiliki tanggung jawab akan hal ini. kemudian
tanggung jawab tersebut dapat berpengaruh pada masyarakat, dan dalam hal tanggung
jawab pelaku usaha dengan konsumen pada kegiatan muamalah, dan yang terakhir
tanggung jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Allah SWT karena
dengan melakukan tersebut manusia dapat dinilai hubungan kepada manusia dengan
Allah SWT mencerminkan pada syariat agama Islam. Akibatnya, manusia tidak akan
berbuat sehendak hatinya, karena segala perbuatannya akan mendapatkan balasan dari
Allah SWT.
2. Asas Kebebasan
Asas ini merupakan prinsip dasar dalam bermuamalah yang terdapat pada
transaksi. Pihak-pihak yang melakukan transaksi tersebut mempunyai kebebasan
untuk membuat perjanjian baik dari segi objek perjanjian maupun menentukan
persyaratan-persyaratan lain, akan tetepi dengan asas kebebasan tersebut maka pelaku
usaha dilarang melakukan tindakan yang sifatnya merugikan pihak konsumen. Dan
juga pelaku usaha harus menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi sengketa.
3. Asas Persamaan dan Kesetaraan
Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Dengan demikian antara sesama manusia
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam muamalahnya. Sehingga
setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan.
66
Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kesetaraan ini.
Dengan kesetaraan tersebut maka akan menimbulkan jenjang sosial yang baik dari
pihak pelaku usaha maupun pihak konsumen.
4. Asas Keadilan
Kedailan adalah salah satu sifat Allah SWT yang sering kali disebutkandalam
Al-Qur’an. Bersikap adil sering kali Allah SWT ditekankan kepada manusia dalam
melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih dekat kepada takwa.
Dengan keadilan maka hak dan kewajiban dari pelaku usaha dan konsumen harus
terpenuhi tanpa adanya diskriminasi dari berbagai pihak yang bersanagkutan.
5. Asas Kerelaan
bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan dan
kecurangan sehingga akan berdapak pada berbagai pihak yang merasakan pada
kerugian dari tidak terjadinya tindakan kerelaan tersebut.
6. Asas Kejujuran dan Kebenaran
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala
bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalah. Jika kejujuran ini tidak
diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan itu sendiri.
7. Asas Tertulis
Bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan
dilakukan secara tertulis, dengan adanya asas tersebut maka pelaku usaha dan
konsumen mendapatkan fasilatas, keamanan dan kepastian dalam transaksi yang baik
dengan adanya asas tertulis tersebut. Yang kemudian dihadiri oleh saksi-saksi dan
67
diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan dan yang menjadi
saksi.
Dari asas tersebut, ada asas yang harus dikhususkan yang mendasari setiap
perbuatan manusia, termasuk dalam perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiyah atau asas
tauhid yang bertujuan untuk mendapat keridhoan keberkahan dari Allah SWT yang
terdapat dalam syariat Islam dalam siap tindakan dari pelaku usaha dengan konsumen.
Berdasarkan asas dalam akad tersebut menurut penulis setiap bentuk apa pun
tentang suatu transaksi dalam bidang muamalat harus terdapat tujuh asas dalam
berakad tersebut sehingga hubungan antara manusia dengan Allah SWT dalam
bermuamalat mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dan hubungan antara manusia
dengan manusia tidak ada kerugian dari salah satu pihak yang berakad.
Menurut penulis hiwalah merupakan pengalihan tanggung jawab dari
seseorang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Peranan tersebut adalah
terjadinya suatu perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain.
Maka harus adanya pihak ke tiga yaitu penanggung dari pihak muhil ke pihak muhal.
Dalam istilah hiwalah adalah dari muhil kepada pemindahan beban hutang (orang
yang muhal‘alaih berhutang) menjadi suatu tanggungan (orang yang berkewajiban
membayar hutang).
Ketentuan yang dilakukan kepada suatu hiwalah yang pada praktek muamalah
diperbolehkan selama praktek hiwalah tersebut tidak dapat merugikan dari berbagai
pihak yang bersangkutan dalam penerimaan isi perjanjian atau kesepakatan pada suatu
yang telah disepakatkan, sehingga dari praktek muamalah tersebut tidak bertentangan
dengan syariat agama Islam dan tidak menimbulkan kerugian dari berbagai pihak
yang bersangkutan tersebut. Dengan demikian praktek hiwalah tersebut dapat
68
bertujuan untuk saling melindungi antara pelaku usaha dengan konsumen yang
menjalani kesepakatan dalam melaksanakan hiwalah tersebut.
Akan tetapi yang terdapat pada ketentuan dalam pencantuman perjanjian yang
sudah dibakukan pada klausula baku disini telah melanggar ketentuan Undang-
undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen Tahun 1999 Pasal 18 yang
menyatakan bahwa pelaku usaha telah melakukan pengalihan tanggung jawab dari
yang telah disepakati kepada konsumen yang tercantum pada isi klausula baku
sehingga peranan konsumen disini mendapatkan kerugian yang dideritanya karena
pelaku usaha yang tidak mau mempertaggungjawabkan atas tindakan pengalihan
tanggung jawab yang telah dilakukan oleh pelaku usaha.
Maka dengan demikian pelaku usaha tersebut telah melakukan pelanggaran
hukum yang terdapat pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
sehingga ketentuan yang dimaksud disini pelaku usaha dapat dihukum dengan
ketentuan yang berlaku. Dengan adanya praktek hiwalah yang tercantum didalam
klausula baku tersebut seharusnya dapat mewujudkan muamalah yang baik, saling
melindungi dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dari pelaku
usaha terhadap konsumen sehingga konsumen tersebut dapat merasakan kepastian
hukum dan keamanan dari pertanggungjawaban yang telah dilakukan pada pelaku
usaha tersebut.
Dalam proses pembuatan materi perjanjian yang terdapat pada praktek
hiwalah disini dengan cara kesepakatan dari berbagai pihak yang ingin melakukan
praktek hiwalah dalam kegiatan muamalah yang bertujuan dari pihak konsumen dan
pelaku usaha merasakan kepercayaan, kenyaman dan keamanan yang kemudian telah
diakhiri dari pihak yang bersangkutan menandatangani isi perjanjian tersebut. Maka
dari tanda tangan pihak konsumen harus menanggung berjalannya praktek hiawalah
69
tersebut yang telah disepakati oleh pihak konsumen dan pelaku usaha sebagai pemilik
usaha tersebut.
Dengan adanya kesepakatan tersebut maka harapan dari pihak konsumen
maupun pelaku usaha tidak melakukan wanprestasi atau mengingkari janji yang sudah
disepakati sehingga mengakibatkan kerugian yang dari berbagai pihak. Karena jika
seseorang melakukan kegiatan wanprestasi maka seseorang tersebut dapat dihukum
yang ketentuannya terdapat dalam Undang-Undang Perdata. Dengan adanya hukuman
tersebut maka seseorang akan merasa terlindungi dari perbuatan yang tidak mau
mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukan dari seseorang dan
mendapatkan kepastian hukum dari negara.
Akan tetapi dalam praktek pencantuman klausula baku dalam hal pembuatan
isi perjanjian tersebut hanya yang dilibatkan adalah pelaku usaha karena pelaku usaha
tersebut sebagai pemilik usaha yang kedudukannya lebih tinggi dari konsumen
sehingga isi perjanjian yang terdapat di klausula baku tersebut memberatkan atau
sifatnya tidak seimbang dari kedudukan konsumen yang sebagai penerima atau pun
beli yang diperoleh dari pelaku usaha. Maka peranan konsumen hanyanya bisa
menerima hasil dari isi klausula yang dibakukan dan konsumen tidak dilibatkan dalam
proses pembuatan isi perjanjian tersebut. Dan kemudian konsumen tidak mengkaji isi
perjanjian atau pun mengubah dan menolak isi perjanjian tersebut.
Dengan penjelasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa konsumen hanya
terpaku dengan kebutuhan yang difasilitasi pada pelaku usaha yang pada hakikatnya
isi dari perjanjian tersebut dalam kedudukannya menguntungkan bagi pihak pelaku
usaha. Dalam mengkaji tentang isi didalam perjanjian pengalihan tanggung jawab
yang terdapat pada hiwalah dengan ketentuan pecantuman kalusula baku tersebut
70
yang merupakan subjek dari muamalah yang dilakukannya adalah seseorang yang
menerima dalam isi perjanjian pengalihan tanggung jawab dalam hal ketentuan
hiwalah yang dilakukan pada muamalah jual beli, akan tetepi ketentuan pengalihan
tanggung jawab yang terdapat pada isi perjanjian hiwalah disini merupakan objeknya
sepeti dalam bentuk pengalihan hutang piutang antara pelaku usaha dengan konsumen
jika konsumen mengalami ketidak-sanggupan membayar atau ada pihak lain yang
mampu menanggung pembayaran untuk pelaku usaha yang telah dijaminkan pada
pihak yang lain.
Maka dari objek tersebut telah memberikan keringanan bagi pihak yang
menginginkan suatu yang dijanjikan dari pihak pelaku usaha yang kemudian pelaku
uasaha dapat menerima keadaan pihak konsumen yang tidak sanggup dalam
pembayaran pada akal jual beli pada suatu barang yang dinginkan pada konsumen
tersebebut. Akan tetapi pada penerapan dalam pencantuman klausula baku yang sudah
ditetepkan terlebih dahulu yang sifatnya terkait objek dari pengalihan tersebut ialah
pengalihan kerugian dari pelaku usaha kepada konsumen, yang seharusnya dilakukan
pelaku usaha dapat menerima kerugian jika prosesnya sedang menjalani isi perjanjian
tersebut sehingga yang tidak seharusnya kerugian yang dimaksudkan dapat dialihkan
pada konsumen yang hanya kedudukannya lebih rendah dari pelaku usaha karena
pada hakikatnya kedudukan antara pelaku usaha harus seimbang yang tidak dapat
merubah kedudukan itu karena hanya dengan adanya kerugian.
Maka dengan demikian adanya kerugian tersebut dari pihak pelaku usaha
harus mempertanggung-jawabkan yang dialami dari pihak konsumen dan harus
bersama-sama menghadapi kerugian tersebut malah bukan mengalihkan kerugian itu
pada pihak konsumen.
71
Menurut penulis dalam peranan yang telah dilakukan pada muamalah hiwalah
tersebut adanya pihak kesatu sebagai pelaku usaha, pihak kedua yaitu sebagai
konsumen yang mengambil isi perjanjian hiwalah dan yang ketiga yaitu pihak yang
menanggung dari pihak konsumen yang telah mengambil isi perjanjian yang tidak
mampu untuk membayar hutang kepada pelaku usaha sehingga dari pihak yang kedua
dapat dialihkan kepada pihak yang ketiga dengan ketentuan syarat dan barang jual
beli dari pihak pertama dan kedua harus bernilai sesuai dengan ada ketentuan yang
telah disepakati oleh pihak yang bersangkutan.
Akan tetapi peranan yang dalam praktek ketentuan pada klausula baku pada
umumnya hanya saja dari pihak pertama sebagai pelaku usaha dan pihak yang kedua
sebagai konsumen yang hanya menerima perjanjian yang dibaku dari pihak pelaku
usaha sehingga peranan tersebut tidak ada pihak yang ketiga sebagai penanggung dari
pihak kedua seperti praktek hiwalah dalam pengalihan yang terdapat pihak yang
menanggungnya. Dengan peranan tersebut pihak kedua jika mendapatkan kerugian
selama isi perjanjian baku tersebut sedang berjalan maka pihak konsumen harus
menanggung dengan sendirinya karena pada terdapat diperjanjian tersebut ada
pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha dengan pihak konsumen.
Dengan keterangan tersebut penulis dapat menyimpulkan dengan memandang
antara hiwalah dan pengalihan tanggung jawab yang terdapat dalam klausula baku
sebagai berikut:
No Pengalihan tanggung jawab dalam
Hiwalah
Pengalihan tanggung jawab dalam
klausul
1 Obyek pengalihannya berbentuk hutang
piutang.
Obyek pengalihannya berbentuk
kerugian.
72
2 Ada pihak ketiga sebagai penanggung
dari pihak ke dua yang tidak mampu
membayar.
Tidak ada pihak ketiga sehingga
pihak kedua yang menanggung
kerugian yang dialihkan dari pihak
yang pertama.
3 Adanya unsur kesepakatan antara pihak
satu ke pihak yang lainnya
Tidak ada unsur kesepakatan antara
pihak satu ke pihak yang lain
sehingga menimbulkan unsur Gharar
dan zhalim
4 Semua pihak terlibat dalam pembuatan
perjanjian yang di sepakatinya.
Pihak lain tidak dilibatkan dalam
pembuatan perjanjian.
5 Ketentuan hukum dalam hiwalah
diperbolehkan asal tidak menimbulkan
riba atau keuntungan yang lebih.
Melanggar ketentuan hukum yang
sudah di tetapkan dalam Pasal 18
UUPK Tahun 1999
Dari penjelasan dalam perbandingan maupun persamaan antara hiwalah
dengan klausula baku tersebut suatu perjanjian yang dibakukan terlebih dahulu
dengan pelaku usaha yang lakukan secara sepihak sehingga penetapan klausula baku
dalam pandangan agama Islam harus berdasarkan prinsip-prinsip dalam Syariah yang
menentukan pembuatan perjanjian baku
Menurut penulis dalam pandangan hukum islam kontrak baku sebagai suatu
perjanjian yang mengikat para pihak yang dianggap sah selama tidak bertentangan
dengan ketentuan syariah yang lainnya. Selain karena ini sudah menjadi menjadi
kebiasaan, hal ini juga agar mewujudkan kenyamanan dan keamanan dalam
melakukan transaksi. Islam tidak melarang kebiasaan selama kebiasaan itu tidak
melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.
73
Maka penulis memandang perjanjian baku dalam prakteknya dibolehkan yang
kemudian harus memperhatikan beberapa suatu prinsip-prinsip yang berlaku terkait
pembahasan tentang pencantuman klausula baku dalam hal pengalihan tanggung
jawab sebagai berikut:
a. Prinsip kesetaran, kewajiban dan hak. Prinsip ini berkaitan erat dengan
keadilan dalam transaksi yang merupakan keadilan dalam keadaan seimbang,
keadilan berarti persamaan yang menghilangkan diskriminasi dan keadilan
berarti memberi hak kepada siapa yang berhak.
b. Prinsip tanggung jawab, prinsip tanggung jawab disini bukan hanya
bertanggung jawab terhadap bersama akan tetapi harus bertanggung jawab
terhadap ekonomi Islam lebih luas yaitu pelaku usaha harus bertanggung
jawab terhadap Allah SWT yang telah memberikan amanah kepada manusia.
Setiap transaksi yang kita lakukan tidak boleh bertentangan dengan aturan
yang telah ditetapkan Allah. Prinsip ini lahir dari adanya nilai ketauhidan yang
tertanam dari individu manusia.
c. Prinsip iktikad baik, perbuatan baik yang dilakukan dari pelaku usaha maupun
konsumen harus menimbulkan hungungan yang erat antara penjual dan
pembeli sehingga terciptanya suatu nilai ekonomi yang baik dengan ketentuan
berlaku pada syariat agama Islam maupun ketentuan peraturan Perundang-
undangan.
d. Prinsip sesuai dengan syariah, Gharar adalah suatu transaksi yang mana
mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan;
Maysir adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan,
atau spekulatif yang tinggi, Riba adalah transaksi dengan pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara
74
batil atau bertentangan dengan ajaran Islam, Zalim adalah tindakan atau
perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak lain, Risywah
adalah suatu tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau lainnya yang
melanggar hukum; Barang haram dan maksiat adalah barang atau fasilitas
yang dilarang dimanfaatkan ataupun digunakan yang berdasarkan pada hukum
Islam.
e. Prinsip adanya memilih. Prinsip ini tidak hanya sebagai alasan kebebasan
berkontrak, tapi juga lebih luas dari itu. Prinsip ini mengandung arti bahwa
perjanjian baku tersebut harus diserahkan terlebih dahulu kepada pihak
konsumen yang menerima kontrak baku tersebut.
Menurut penulis dalam ketentuan dasar hukum Islam memandang, bahwa
suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai tindak pidana bila memangmemenuhi
unsur-unsur yang telah melekat pada istilah tindak pidana itu sendiri. Dalam
hukum pidana Islam, unsur-unsur pidana terbagi menjadi dua, yakni unsur umum
dan unsur khusus. Unsur-unsur umum pada pidana adalah sebagai berikut:
1. Adanya Peraturan Perundang-undangan yang melarang suatu perbuatan-
perbuatan tertentu yang menimbulkan ancaman hukuman atas perbuatan-
perbuatan tersebut. Dengan demikian terpenuhilah unsur yang pertama ini,
bahwa pencantuman klausula baku pada klausul yang merupakanperbuatan
dilarang dan diancam pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat
(1) jo. Pasal 62 ayat (1) UUPK.
2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa melakukan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
Dengan demikian, juga sudah terpenuhilah unsur yang kedua ini, bahwa
75
suatu pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang dilarang dengan tetap
mencantumkan pengalihan tanggung jawab pada klausula baku.
3. Pelaku kejahatan adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas
kejahatan yang mereka lakukan. Dengan demikian pula sudah terpenuhilah
unsur yang ketiga ini, bahwa pelaku usaha (korporasi) dapat dituntut atas
perbuatan yang dinilai telah melanggar ketentuan-ketentuan pidana, dalam
hal ini adalah ketentuan Pasal 62 ayat (1) UUPK.
Penjesan tersebut maka dengan demikian penulis melihat adanya unsur-unsur
khusus tindak pidana dalam pencantuman klausula baku pada suatu klausul adalah
sebagai berikut:
a. Adanya pelaku usaha.
b. Menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan untuk diperdagangkan.
c. Membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian.
d. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Dengan kedua unsur tersebut, maka ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan
dan merupakan satu mata rantai yang tidak akan pernah terputus antara pelanggaran
dengan hukuman. Perintah dan larangan saja tidak akan berarti sama sekali dan tidak
cukup mendorong pada seseorang untuk meninggalkan suatu perbuatan atau
melaksanakannya, untuk itu diperlukan sanksi berupa suatu hukumanbagi siapa saja
yang melanggarnya. Dengan demikian, hukuman adalah suatu penderitaan atau
nestapa, atau akibat-akibat lainyang tidak menyenangkan yang diberikan dengan
sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menuruthukum
yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana.
76
Menurut hukum pidana Islam, jika hukuman itu diakui keberadaannya, maka
konsekuensinya adalah penerapan ataupelaksanaannya harus memenuhi tiga syarat.
Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Hukum dianggap mempunyai dasar kepada sumber-sumber syara’, seperti Al
Qur’an, Al Hadist, ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang (ulil amri). Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pencantuman klausula
baku ditetapkan oleh ulil amri.
b. Hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau perseorangan. Ini mengandung arti
bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana
dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Dalam hal ini, sanksi tindak
pidana pencantuman klausula baku yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
pengalihan tanggung jawab.
c. Hukuman harus berlaku umum, yakni hukuman harus berlaku untuk semua orang
tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan, status, dan kedudukannya.
Hukum Islam pun memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk
membuat berbagai bentuk dan jenis akad dan klausul sesuai yang dikehendaki kedua
pihak selama tidak bertentangan dengan ketentuan agama yang salah satu asasnya
adalah merealisir kemaslahatan. Dan dalam Pasal 18 UUPK sendiri terdapat unsur
maslahah yang lebih besar dibandingkan mafsadatnya, sehingga dengan adanya
peraturan tersebut akan lebih meningkatkan hubungan yang komunikatif dan akan
lahir transparansi antara konsumen dan pelaku usaha.
Di Indonesia, dalam prakteknya, penulis menyatakan bahwa klausula baku
merupakan suatu perjanjian yang prosedur dalam pembuatannya bersifat sepihak. Hal
ini berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK yang mendefinisikan bahwa klausula baku
77
adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen”.
Di dalam dunia perbankan banyak beberapa istilah yang dapat dikenal dalam
perjanjian yang sudah ditetapkan terlebih dahulu secara baku, seperti kontrak baku,
perjanjian baku dan lain sebagainya, akan tetapi pada hakikatnya arti dari berbagai
istilah tersebut mempunyai kesamaan makna sehingga penulis lebih memilih istilah
seperti klausula baku karena didalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terdapat pembahasan yang mengenai pengertian klausula
baku.
Dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen membuat sejumlah larangan penggunaan klausula baku dalam standar
berkontrak, yaitu sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
78
Tindak pencantuman klausula baku yang merupakan salah satu wujud
ketidakseimbangan dalam hal kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha
untuk memperoleh keuntungan dengan cara melawan hukum.
Dengan tindak melawan hukum tersebut. Maka dapat diancam hukuman,
dalam pandangan hukum islam hukuman dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu
hukuman hudud, qishas-diyat dan ta’zir. Dalam hal ini, sanksi tindak pidana
pencantuman klausula baku pada suatu karcis barang termasuk dalam hukuman yang
ditetapkan untuk hukuman ta’zir. Di mana memang tindak pidana yang dimaksud
belum diatur dalam nas, sehingga jadi kewenangan ulil amri untuk menghukuminya.
B. Pertanggungjawaban dari pelaku usaha jika konsumen mengalami kerugian
Peran bagi pelaku usaha dalam prakteknya secara umum telah menolak suatu
pertanggungjawaban dari konsumen. Sehingga konsumen menerima penolakan
tersebut dalam bentuk perjanjian klausula baku. Klausula baku biasanya dibuat oleh
pihak yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh
pelaku usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula
baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. banyak contoh
perjanjian yang bisa kita lihat penggunaan kontrak baku seperti karcis parkir, tiket
pesawat, kredit bank, jual beli, asuransi dan lain-lain.
Maka perlu diketahui seharusnya bahwa suatu penitipan barang adalah suatu
perjanjian yang nyata kemudian mempunyai arti bahwa suatu perjanjian tersebut baru
terjadi apabila dilakukannya dengan suatu perbuatan yang nyata, yaitu berupa
penyerahan barang yang dititipkannya. Adapun cara yang untuk biasanya ditempuh
menjamin keamanan di penitipan suatu barang yaitu dengan cara :
79
1. Petugas juga menyediakan tempat penitipan yang lengkap dengan keamanan,
yaitu penitipan yang muatannya berat atau dikhususkan barang yang harganya
mahal dan sifat penitipan tersebut tidak memaksa tergantung pada pemiliknya.
2. Pada waktu pemilik barang yang ingin mengambilnya dari suatu tempat penitipan,
maka ada petugas yang meminta bukti suatu karcis teransaksi yang dibawanya,
sambil mencocokkan nomor yang ditulis petugas pada waktu transaksi penitipan
yang dipakainya.
Dalam hal penitipan suatu barang, misalnya tidak ditetapkan kapan pemilik
penitipan barang sampai kapan harus menjaga barang yang dititipkan oleh pemiliknya
yang dititipkan, atau kapan pemilik penitipan barang harus membayar ganti kerugian
atas wanprestasi yang merupakan bentuk kealpaan atau kelalaian yang terjadi. Dalam
penitipan suatu barang, sering juga tidak ditentukan kapan ganti kerugian itu harus
dipenuhi oleh pemilik penitipan barang. Yang paling mudah untuk menetapkan
seseorang yang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk
tidak melakukan suatu perbuatan.
Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian. Ia melakukan
wanprestasi. Begitu pula kalau pemilik barang menitipkan suatu barangnya di tempat
penitipan yang disediakan supaya barangnya aman atau tidak hilang, maka teranglah
permilik penitipan barang itu lalai, bila pada saat pemilik barang mau mengambil
barang yang ditempatkan pada penitipan ternyata tidak ada atau hilang, terjadinya
kehilangan ataupun kerusakan pada perlengkapan barang tersebut akibat dari kelalaian
dari pemilik tempat penitipan barang itu sendiri.
Jadi ia harus mau menanggung segala sesuatu yang terjadi pada penitipan
barang yang ia kelolanya, maka pelaku usaha harus mengganti rugi atas kehilangan
atau kerusakan pada barang yangtelah dititipkannya, tindakan tersebut merupakan
80
suatu bentuk dari pertanggung jawaban dari pelaku usaha untuk konsumen walau pun
pelaku usaha sudah membuat klausul yang telah dibakukan.
Dengan demikian pelaku usaha yang membuat klausul yang isinya adalah
“pengalihan tanggung jawab” maka pelaku usaha sudah melakukan tindak pidana
karena melanggar Pasal 18 UUPK yang harus dipidanakan.
Ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK mengatur sedemikian rupa, bahwa
perbuatan produsen atau pelaku usaha yang tetap mencantukan klausula baku dalam
bentuk pengalihan tanggung jawab dapat dipidana. Dalam hal pengalihan tanggung
jawab yang tercantum dalam klausula baku telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18
ayat (1) huruf a, yaitu “pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditunjukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha.” Pencantuman klausula baku sebagaimana ketentuan
diatas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 62 ayat (1):
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Sebagaimana ketentuan pada Pasal 62 ayat (1) UUPK, bahwa pelaku tindak pidana
diancam penjara paling lama 5 (lima) tahun. Maka dalam tinjauan hukum Islam,
pemenjaraan adalah menghalangi atau melarang seseorang untuk mengatur dirinya
sendiri. Oleh karena itu, sanksi penjara harus bisa menjadi sanksi yang dapat
mencegah. Kiranya itulah yang dimaksud oleh pembuatan Undang-Undang di
Indonesia akan bermafaat dari hukuman penjara tersebut.Adanya pilihan terhadap
81
sanksi sebagaimana Pasal 62 ayat (1) UUPK, yakni pidana penjara palinglama 5(lima)
tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
diserahkan sepenuhnyakepada hakim untuk memutuskannya.
Berdasarkan perkara mengenai kehilangan mobil di area parkir dengan
Putusan No. 551/Pdt.G/2000/PN. Jakarta Pusat antara PT Securindo Packatama
melawan Anny R. Gultom Cs. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusan No
1156/Pdt/2002/PT.DKI dan oleh Mahkamah Agung dengan putusan Kasasi No.
1264/K/PDT/2005 tanggal 14 Juli 2005 dan Putusan Peninjau Kembali No 124
PK/PDT/2007. Dengan putusan tersebut untuk memperkuat pendapat penulis bahwa
pencantuman klausula dalam pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku
usaha kepada konsumen yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 pada Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan suatu
tindak pidana.
Menurut penulis dalam tinjauan hukum pidana Islam, otoritas tersebut juga
berada ditangan hakim. Karena tindak pidana tersebut merupakan kategori hukuman
ta’zir, maka diserahkan kepada ulil amri sesuai dengan bidangnya, yakni badan
yudikatif (hakim) yang bertugas sebagai penegak hukum.
Dalam menjatuhkan hukuman, ulil amri akan mempertimbangkan satu hal yang amat
penting, yaitu kemaslahatan. maslahat di sini menjadi kerangka acuan, yangwujud
nyatanya berupa potensi menolak keburukan atau kerusakan dan menghadirkan
kebaikan atau kemanfataan.
Tujuan umum dari adanya suatu hukum untuk memelihara dan mewujudkan
kemaslahatan bagi kebutuhan-kebutuhan manusia, yakni kebutuhan akan agama, jiwa,
82
akal, kehormatan, dan harta benda dapat terealisasikan dan mendapatkan jaminan. Di
samping itu, maka upaya untuk menolak segala bentuk keburukan dan menghadirkan
kemanfaatan semakin besar adanya denganterwujudkannya suatu hukum yang
mengandung asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mencari sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah
dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi
pembahasan, kemudian dilakukan analisis terhadap bahan kepustakaan tersebut.
Maka, dapat diperolehlah suatu jawaban atas pertanyaan mengenai permasalahan
yang diangkat, yakni terkait tinjauan Hukum Islam terhadap pengalihan tanggung
jawab pelaku usaha kepada konsumen yang terdapat dalam klausula baku. Adapun
kesimpulan dari penyusunan skripsi ini adalah:
1. Adanya peraturan klausula baku dalam pasal 18 No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberikan kontribusi positif bagi penegakan hukum di
Indonesia terutama perlindungan hukum bagi konsumen. lahir ketentuan tersebut
maka harus dipahami dan diawasi dalam pembuatan klausul sebagai bentuk
pemberdayaan, tidak hanya bagi konsumen namun juga bagi pelaku usaha agar
kemudian timbul sikap saling menghormati dan menghargai akan hak dan kewajiban
diantara keduanya. Dengan demikian ketentuan klausula baku dalam Pasal 18 UUPK
mengandung asas manfaat baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.
2. Hukum Islam memberikan kebebasan kepada setiap manusia unruk membuat
berbagai bentuk dan jenis akad dan klausul sesuai yang dikehendaki kedua pihak
selama tidak bertentangan dengan ketentuan agama yang salah satu asasnya adalah
merealisir kemaslahatan. Dan dalam Pasal 18 UUPK sendiri terdapat unsur maslahah
yang lebih besar dibandingkan mafsadatnya, sehingga dengan adanya peraturan
84
tersebut akan lebih meningkatkan hubungan yang komunikatif dan akan lahir
transparansi antara konsumen dan pelaku usaha.
B. Saran-saran
1. Pada pelaku usaha agar dalam menjalankan usahanya terutama dalam pencantuman
klausula baku yang dibuat dan ditetapkan senantiasa dilandasi pada kesadaran akan
hak-hak konsumen dan kesetaraan hukum antara pelaku usaha dan konsumen
mengingat hubungan keduanya yang saling bergantungan.
2. Pada konsumen agar senantiasa waspada pada klausula baku yang merugikan dirinya,
sehingga konsumen harus membangun kesadaran hukum akan hak-haknya serta tidak
takut untuk mengajukan klaim atas klausula baku yang merugikan bagi konsumen.
3. Pada pemerintah dan lembaga konsumen hendaknya lebih gencar mengkampanyekan
kesetaraan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, serta lebih berani menindak
pelaku usaha yang mengabaikan hak-hak konsumen.
85
DAFTAR PUSTAKA
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media:
Jakarta tahun 2001).
AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi
Mei,Masyarakat Pemantau Peradilan Indonseia Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).
A.Warson Al Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Yogayakarta: Ponpes Al
Munawir, 1984
A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam persektif Hukum Islam (jakarta: kencana, Prenada
Media, 2004).
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Syariah, terjemahan Zainal Arifin dan
Dahlia Husin dari judul asli Darul Qiyam wa al akhlaq fi al iqtishad al-islami, (jakarta:
Gema Insani Press, 2001).
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengan Kehidupan Sosial Politik
di Indonesia (Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2005).
Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan (Bandung: alumni 1979).
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, jilid 3, Beirut: Dar Al-Fikr, Cet.III, 1983
Sayyid Sabiq, alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah, Jilid 13,
(Bandung: PT. Alma’arif, 1997, cet-7).
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004).
Al Imam Abi Abdillah Ibn Ibrahim al Bukhori, Shahih Bukhori, Jilid 3, Beirut : Daar
al Fikr, 1981.
Abdul halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH .
Unlam Press, tahun 2008).
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta,
2003).
86
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta
2008).
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1986.
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta : IIIT
Indonesia, 2003).
Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: PT Mandar Mayu, 2000).
Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT.
Pustaka Rizki, 2001
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi Al Qur’an tentang Etika dan Bisnis,
(Jakarta: Salemba Dunia, Edisi I tahun 2002).
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001).
Ali Fikri, Al-Mu’amalat Al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz 2, Mathba’ah Musthafa Al-
Babiy Al-Halaby, Mesir, cet I, 1357 H.
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penilitian dan Aplikasinya,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002).
P.Joko Subagyo, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1995).
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, cet-3, 2007.
Soejono Trima, Pengamatan Ilmu Dokumentasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1984).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.