tinjauan hukum islam terha dap pe ngalihan laku...

97
TANG Diajuk TINJAUA GGUNGJA T kan Kepad PE U AN HUKU AWAB PE TERDAPA da Fakultas Sya Gelar SYA PE FAKULT ERBAND UIN SYAR UM ISLAM ELAKU U AT DALA SK s Syari’ah d arat Persyar r Sarjana H AHRUL R NIM 111 RBANDIN TAS SYA INGAN M RIF HIDAY 2017 M M TERHA SAHA KE AM KLAU KRIPSI dan Hukum ratan Mem Hukum Isla RAHMATU 110432000 NGAN HU ARIAH DA MAZHAB YATULL M / 1438 H ADAP PE EPADA K USULA BA m untuk M mperoleh am (S.H) ULLAH 007 UKUM AN HUKU DAN HU AHJAKA H ENGALIH KONSUME AKU Memenuhi S UM KUM ARTA HAN EN YANG Salah Satu G

Upload: lamdat

Post on 10-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

TANG

Diajuk

TINJAUAGGUNGJA

T

kan Kepad

PE

U

AN HUKUAWAB PETERDAPA

da FakultasSya

Gelar

SYA

PE

FAKULT

ERBAND

UIN SYAR

UM ISLAMELAKU UAT DALA

SK

s Syari’ah darat Persyar

r Sarjana H

AHRUL R

NIM 111

RBANDIN

TAS SYA

INGAN M

RIF HIDAY

2017 M

M TERHASAHA KE

AM KLAU

KRIPSI

dan Hukumratan Mem

Hukum Isla

RAHMATU

110432000

NGAN HU

ARIAH DA

MAZHAB

YATULL

M / 1438 H

ADAP PEEPADA K

USULA BA

m untuk Mmperoleh

am (S.H)

ULLAH

007

UKUM

AN HUKU

DAN HU

AHJAKA

H

ENGALIHKONSUMEAKU

Memenuhi S

UM

KUM

ARTA

HAN EN YANG

Salah Satu

G

Page 2: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha
Page 3: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha
Page 4: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil

dari jiplakan orang lain, maka saya tersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 3 Oktober 2016

Syahrul Rahmatullah

Page 5: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

ABSTRAK

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari posisinya sebagai konsumen. hampir keseluruhan aktifitas sehari-hari, manusia selalu melakukan konsumsi baik berupa barang maupun dengan jasa. Sementara itu klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. dengan mencantumkan klausula baku, posisi konsumen sangat lemah atau tidak seimbang dalam mengahadapi pelaku usaha. Klausula baku bila dicerminkan merupakan perjanjian sepihak yang sering kali konsumen mendapatkan kerugian dari pencantuman klausula baku yang dilakukan oleh pelaku usaha. Maka pemerintah memandang perlu memberi aturan yang jelas mengenai klausula baku, yang dituangkan dalam Pasal 18 UUPK.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bersifat kualitatif karena tidak mengggunakan mekanisme statistika untuk mengolah data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menelaah bahan-bahan pustaka yang bersifat primer yaitu UUPK, putusan MA, al Qur’an, dan al Hadist serta kitab-kitab fiqih dan juga buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Setelah data mengenai klausula baku, perlindungan konsumen dan hiwalah telah terkumpul, maka kemudian data dianalisis dengan metode deskriptif-analitik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif.

Setelah dilakukan penelitian maka diperoleh hasil penelitian bahwa poin-poin (poin 1-8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha untuk mencantumkan dalam klausula baku yang dibuatnya harus sesuai dengan asas-asas akad dalam Islam yaitu seperti asas kebebasan, asas persamaan atau kesetaraan, asas keadilan, asa kerelaan asas kejujuran dan kebenaran dan asas tertulis. Namun, ada asas utama yang mendasari setiap perbuatan manusia, termasuk dalam perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiah atau asas tauhid dengan harapan setiap kita lakukan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Maka dengan tujuan asas dalam Islam tersebut mewujudkan keadilan antara pihak-pihak yang menyelenggeraan akad, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur dalam pengalihan tanggung jawab, prinsip muamalat harus berdasarkan kejelasan dan prinsip muamalat yaitu tetap berpengaruhnya rasa cinta sehingga tidak terjadinya kerugian antara penyelenggara yang bermuamalat.

Page 6: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

vi  

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala

rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat meyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada

Konsumen Yang Terdapat Dalam Klausula Baku”

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu

(S1) guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur

memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat dan terima kasih yang tulus atas segala

kepedulian mereka yang telah memberikan bantuan baik berupa kritik, masukan,

dorongan semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan

Skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghanturkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Prodi Perbandingan

Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag,Lc., MA selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab

dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, selaku dosen Pembimbing I yang telah

berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya untuk

Page 7: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

vii  

memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Indra Rahmatullah M.H, selaku dosen Pembimbing II yang telah

berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya serta

kesabarannya dalam memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Teristimewa kedua orang tua penulis, Bpk. H. Tarmudji dan Ibu. Hj Siti Zulaiha

tersayang yang telah membesarkan dan mendidik penulis hingga seperti

sekarang dengan penuh do’a, kasih sayang, kesabaran, keikhlasan, dan

perjuangan hidup demi kelangsungan pendidikan dan masa depan putra-

putrinya.

7. Ka oce, Mba ziyah, Ka nana, Mba tri, Mba nia selaku kakak kandung yang

selalu memberi dukungan moril, dan materil kepada penulis.

8. Syaifuddin Ilman dan Khairul Mahfud selaku saudara yang selalu memberikan

Motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi.

9. Nur Azizah selaku kekasih yang selalu mendukung dan mengingatkan sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi.

10. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama

menjalani pendidikan berlangsung.

11. Teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Perbandingan Hukum angakatan 2011 yang selalu memberikan motivasi,

semangat dan kenangan dalam menjalani masa pendidikan di UIN Syarif

Page 8: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

viii  

Hidayatullah Jakarta. Semoga kita bisa sukses untuk kedepan nya. Aamiin ya

robb.

12. Teman-teman alumni 2010 dari Pondok Modern Darussalam Gontor, dan

sahabat-sahabat KKN KAMI yang telah menjadi inspirasi dan keluarga kedua

bagi penulis serta selalu memberikan do’a dan dukungan yang sangat berarti

bagi penulis.

13. Para Manager Majalah Gontor terutama Bapak Akrimul Hakim, Bapak Fauzi

Iriyanto dan Ibu Kiki Chendiliana sebagai teman kerjaan yang telah menerima

dan membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

14. Teman-teman dari Bazis Provinsi DKI Jakarta, khususnya Bapak Irsan selaku

Manager Fundraiser yang selalu memberikan masukan dan motivasi kepada

penulis.

15. Taufiqi Rahman, Ibnu Mubaidillah dan Momon Satri Sebagai teman dalam

perkumpulan “TRI MURTI” dan kawan yang lainnya yang telah menjadi kawan

setia selama masa-masa studi dan selalu memberikan masukan, inspirasi serta

saran bagi penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

16. Seluruh staf karyawan Perpustakan Utama UIN dan Perpustakaan Fakultas

Syariah untuk referensi buku-bukunya.

17. Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas semua

bantuan dan masukannya kepada penulis.

Page 9: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

ix  

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas

seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan

Skripsi ini.Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Aamiin....

Jakarta, 03 Oktober 2016

Syahrul Rahmatullah

 

Page 10: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBARAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................... iii

LEMBARAN PERNYATAAN ........................................................................................ iv

ABSTRAK ......................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8

E. Review Studi Terdahulu ......................................................................... 9

F. Metode Penelitian dan Teknis Penulisan ................................................ 10

G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 13

BAB II LANDASAN TEORI

A. Akad Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Akad ............................................................................... 15

2. Syarat dan Rukun Akad .................................................................... 17

3. Macam-Macam Akad ....................................................................... 21

4. Tujuan Akad ..................................................................................... 26

5. Asas Berakad dalam Islam ............................................................... 27

B. HiwalahDalamHukum Islam

1. Pengertian Hiwalah .......................................................................... 31

2. Dasar Hukum dalam Akad Hiwalah ................................................. 33

3. Jenis Akad Hiwalah .......................................................................... 35

Page 11: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

x

4. Rukun dan Syarat Hiwalah ............................................................... 37

5. Berakhirnya Hiwalah. ....................................................................... 44

BAB III ASPEK HUKUM KONTRAK BAKU

A. Pengertian Kontrak Baku ....................................................................... 46

B. Dasar Hukum Kontrak Baku .................................................................. 49

C. Keabsahan Kontrak Baku ....................................................................... 50

D. Prinsip-prinsip dalam Kontrak Baku ...................................................... 52

E. Pengaturan Pencantuman Kontrak Baku ................................................ 53

F. Klausula Eksonerasi ............................................................................... 58

BAB IV PERBANDINGAN PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB DALAM

HUKUM ISLAM DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pandangan Hukum Islam Dalam Hiwalah/Pengalihan Tanggung Jawab

Yang Terdapat Pada Klausula Baku. ....................................................... 62

B. Pertanggungjawaban Dari Pelaku Usaha Jika Konsumen Mengalami

Kerugian .................................................................................................. 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 75

B. Saran ........................................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 77

Page 12: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pandangan agama Islam mengenai ekonomi tidak akan pernah terlepas dari

aspek moral. Moral harus dipertimbangkan dari mulai awal (niat) berbisnis baik

dalam bidang produk maupun bidang jasa hingga tujuan bisnis itu tercapai.1 Islam

memiliki pedoman dalam mengarahkan untuk melaksanakan amalan baik yang

bersifat ibadah maupun yang bersifat mu’amalah yaitu berupa Al Qur’an dan Sunnah

sebagai sumber utama ajaran Islam, setidaknya dapat menawarkan nilai-nilai dasar

atau prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan

perkembangan zaman waktu.2

Seiring dengan laju suatu pertumbuhan ekonomi yang terus berkembang di

Indonesia membuat kebutuhan akan sarana transportasi semakin meningkat, hal ini

ditandai dengan terus meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang terus

meningkat. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan sarana parkir juga semakin

meningkat. Begitupun dengan tingkat keamanannya bagi konsumen parkir yang harus

dijalankan secara seimbang sesuai dengan amanat undang-undang perlindungan

konsumen. Didalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer

sebagai pemakai atau konsumen.3

Konsumen merupakan setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

                                                            1 Mansur, Seluk Beluk Ekonomi Islam, Salatiga: STAIN Salatiga Press 2009, h.35 2 Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi Al Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba

Dunia, Edisi I tahun 2002) h.84 3 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media tahun 2001), Jakarta.

h. 3

Page 13: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

2  

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau UUPK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa

perlindungan konsumen segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala

upaya untuk memperdayakan konsumen memperoleh yang harus dipertahankan dan

membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha dalam menyediakan

kebutuhan konsumen.4

Maka perlindungan konsumen adalah suatu hal yang cukup baru dalam dunia

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun dengan mengenai perlunya

peraturan perundang-undangan yang komprehensif untuk memberikan proteksi

terhadap konsumen yang sejak sudah lama, akan tetapi baru pada tanggal 20 April

1999 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan dan mengundangkan Undang-

Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.5 Undang-undang ini

diberlakukan dalam untuk melindungi atau menjamin konsumen atau hak-haknya

yang dirugikan oleh pelaku usaha.

Kemudian Pasal 1 ayat 10 UUPK yang berbunyi “klausula baku adalah setiap

aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan

terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu

dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Dalam undang-undang tersebut menegaskan klausula baku ini yang ditetepkan oleh

pekalu usaha terlebih dahulu untuk melemahkan kedudukan hukum konsumen.6

                                                            4 AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei,

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonseia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, jakarta h.7 5 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2000) h.2 6 Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan (Bandung: alumni 1979) h. 49

Page 14: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

3  

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka UUPK mengatur klausula baku pada

Pasal 18 Ayat (1) yang menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan

pengalihan tanggung jawab pada klausula baku. Selain itu pelaku usaha dilarang

mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak

dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. Sehingga klausula

baku menjadi pilihan utama para pengusaha demi efesiensi dan efektifitas dalam

menjalankan usahanya. Walaupun demikian klausula baku tetap menjadi perdebatan.

Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian akan tetapi

hanya sebatas undang-undang swasta (legio particuliere wetgever).

Pittlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang

contract).7 Penetapan klausula baku untuk mendapatkan ganti rugi, bertentangan

dengan amanat UUPK yang memberikan perlindungan hukum secara mutlak dalam

hal ganti kerugian yang dialami oleh konsumen akibat kelalaian pelaku usaha.

Kerugian yang diderita seseorang dalam hal ini secara garis besar dapat dibagi

menjadi dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa

harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian

nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.8

Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada

dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat

mungkin membuat pihak yang dirugikan dapat dikembalikan pada kedudukan semula

seandainya tidak terjadi kerugian atau dengan kata lain kedudukan yang seharusnya

apabila tidak terjadi kehilangan pada kendaraan bermotor.

Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang

tidak mau mempertaggungjawabkan atas tindakan yang yang telah dilakukan oleh                                                             

7 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.117 

8 Ibid, h. 133

Page 15: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

4  

pelaku usaha jika ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak pelanggaran hukum.

Akibatnya konsumen menerima pelayanan jasa tidak sesuai dengan keamanan dan

kenyamanan. Di sisi lain karena ketidak tahuan dan kekurang sadaran konsumen akan

hak-haknya maka konsumen menjadi korban pelaku usaha.9 Sehingga apabila terjadi

kehilangan kendaraan yang diparkir, selama ini konsumen menjadi pihak yang selalu

dirugikan karena pelaku usaha penyedia jasa layanan parkir menolak untuk

memberikan ganti rugi dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab

konsumen sebagaimana yang terdapat dalam karcis parkir.

Maka konsumen akan menemui kesulitan untuk menuntut ganti rugi, karena

pelaku usaha selalu berdalih bahwa kehilangan kendaraan yang diparkir adalah

tanggung jawab konsumen itu sendiri, sesuai ketentuan yang terdapat dalam karcis

parkir, sehingga di sini tidak ada perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa

layanan parkir. Hubungan hukum yang terjadi dalam jasa layanan parkir adalah

perjanjian sewa menyewa, karena didalam sewa menyewa terdapat proses

pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan

parkir tersebut.

Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan Undang-Undang

Tentang Perlindungan Konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara

pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku

usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan

tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta

menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen.10

                                                            9 Abdul halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH . Unlam Press, tahun

2008) h.5 10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit h. 3

Page 16: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

5  

Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen,

merupakan suatu hal yang tidak dapat dilepaskan, sejalan dengan tujuan

pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hukum

merupakan produk dari budaya manusia yang mempunyai makna bagi masyarakat

tertentu, hukum pun juga hanya dapat dipahami sebagai suatu upaya masyarakat

didalam mewujudkan nilai-nilai dan tujuannya. Tujuan hukum adalah menetapkan

aturan bagi suatu masyarakat dalam rangka keadilan.11 Membahas keperluan hukum

untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih

dahulu melihat situasi peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya peraturan

atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga bentuk

hukum perlindungan konsumen yang ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi

konsumen Indonesia dan keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka

sistem hukum nasional Indonesia.12

Pengguna jasa parkir tentunya tidak menginginkan kendaraan yang diparkir

mengalami kerusakan dan kehilangan sebagian barang benda milik pengendaraan

tersebut, akibat dari ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau kendaraan

yang diparkir tesebut dicuri sehingga dalam hal ini harus ada yang bertanggung jawab

apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab didalam karcis parkir tidak

dicantumkan mengenai subjek yang bertanggung jawab dalam hal tesebut.

Islam menegaskan larangan pada setiap tindakan curang, penipuan para pelaku

usaha terhadap konsumen. Maka manusia harus berbuat adil dalam kehidupannya

sehingga tidak ada yang di rugikan dari tindakan yang dilakukan oleh manusia

tersebut dalam memperoleh suatu yang diinginkan khususnya pada pelaku usaha

dengan konsumen. Dengan demikian, amanah tersebut adalah tanggung jawab atas

                                                            11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2008) h 76.       12 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: PT Mandar Mayu, 2000) h.7

Page 17: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

6  

pekerjaannya. Hal ini pulalah yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan dalil dari al Qur’an di atas menunjukan bahwa dalam islam pun

ada perlindungan terhadap konsumen, walaupun tidak secara definitif. Oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa perlindungan konsumen merupakan persoalan yang

menyangkut kepentingan dan kebutuhan manusia. Karenanya mewujudkan

perlindungan konsumen merupakan suatu bentuk konkrit untuk menciptakan

hubungan dari berbagai segi yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan

ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.

Dari kasus di atas penulis beranggapan bahwa pengelola jasa parkir harus

memperhatikan keamanan dan kenyaman bagi mereka para pengguna jasa yang

dikelolanya sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bagi pengguna jasa.

Maka untuk itu kiranya penulis tertarik untuk menyusun skripsi ini dengan judul

’’Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Kepada Konsumen Yang Terdapat Dalam Klausula baku’’

B. Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini ditemukan permasalahan mengenai peninjauan kembali yang

masih menjadi perdebatan dikalangan pakar-pakar dan aktivis hukum yang dipandang

dari hukum perundang-undangan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

dan dalam Hukum Islam, seperti: Apa yang di maksud dengan perlindungan

konsumen? bagaimana hak dan kewajiban bagi konsumen dan pelaku usaha? Apa

yang harus dilakukan kosumen ketika haknya tidak dilindungi? Bagaimana

penyelesaian sengketa dalam pelaku usaha yang menetapkan klausula baku dengan

Page 18: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

7  

sepihak yang mengakibatkan kerugian konsumen? Bagaimana pandangan hukum

Islam dan perturan perundang-undangan terhadap klausula baku? Bagaimana peran

negara dalam melindungi konsumen? Bagaimana wujud tanggung jawab pengelola

parkir kepada konsumen parkir yang kehilangan kendaraan di area perparkiran yang

dikelolanya? Apakah asas manfaat terkandung dalam ketentuan klausula baku yang

terdapat dalam Pasal 18 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permaslahan yang akan dibahas pada penelitian ini

maka penulis membatasi masalah yang di teliti hanya terfokus pada klausula baku

yang terdapat dalam secure parking kendaraan pada penetapan pengalihan

tanggungjawab dilakukan oleh pelaku usaha yang berkaitan dengan perlindungan

konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen Tahun

1999. Maka untuk mempermudah pembahasan, penulis merumuskan masalahnya

sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam dalam hiwalah yang terdapat pada

klausula baku?

2. Bagaimana pertanggungjawaban dari pelaku usaha jika konsumen mengalami

kerugian?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Terkaitan dengan tujuan penelitian ini, maka dapatlah dikemukakan beberapa

tujuan dari pelaksanaan penelitian yang berjudul ’’Tinjauan Hukum Islam

Page 19: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

8  

Terhadap Pengalihan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Konsumen Yang

Terdapat Dalam Klausula baku’’ yaitu:

a. Mengetahui pandangan hukum Islam dalam hiwalah yang terdapat pada

klausula baku.

b. Mengetahui pertanggungjawaban dari pelaku usaha jika konsumen

mengalami kerugian.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat di peroleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Manfaat akademis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

hasanah dalam ilmu pengetahuan kepada mahasiswa/i mengenai masalah

peralihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen khususnya dalam

hukum islam.

b. Manfaat Praktis: Penelitian ini di harapkan dapat memberikan kajian yang

menarik dan dapat menambah wawasan serta cakrawala keilmuan khususnya

bagi penulis, umumnya bagi pembaca.

c. Manfaat Masyarakat: hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan mengenai perlindungan

hukum terhadap konsumen dari pelaku usaha yang mengalihkan

pertanggungjawabannya atas kerugian yang di alami oleh konsumen,

khususnya pada pelaku usaha jasa parkir terhadap pengguna secure parking

kendaraan.

Page 20: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

9  

E. Review Studi Terdahulu

Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka

diperlukan kajian terdahulu. Sebelum membuat skripsi ini penulis melakukan

kajian pustaka yang berupa judul-judul skripsi yang telah ada sebagai

pembanding dari skripsi ini, anrata lain sebagai berikut:

No Nama peneliti,

Judul Penelitian

Keterangan dan Isi

Penelitian

Berbedaan

1

2

Ali Mahmudi “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap

Pelaksanaan Hiwalah Dari

Pembayaran Klaim

Asuransi Kebakaran (study

kasus di PT Asuransi

Takaful Umum)”. Jurusan

Perbankan Syariah. Fakultas

Syariah dan Hukum, UIN

Jakarta Tahun 2013.

Nanik Rosyidah“Prespektif

Hukum Islam Terhadap

pengalihan Hutang Kepada

Pihak ke Tiga”.Jurusan

Perbankan Syariah, Fakultas

Syariah dan Hukum, UIN

Skripsi ini menjelaskan

tentang pandangan

pandangan hukum islam

dalam pelaksanaan hiwalah

dari pembayaran klaim yang

terkena musibah kebakaran

sehingga merasa dirugikan

dari salah satu pihak

Skripsi ini menjelaskan

tetang pandangan hukum

Islam terhadap pengalihan

hutang kepada pihak ke tiga

yang tidak sesuai dengan

kaidah-kaidah dalam Islam

Skripsi ini hanya

membahas tentang

memfokuskan pada

pelaksanaan hiwalah

dalam pembayaran

klaim dengan melihat

dari sudut pandang

hukum islam.

Skripsi ini hanya

memfokuskan pada

pengalihan hutang

bukan dalam pengalihan

tanggung jawab antara

pelaku usaha dengan

Page 21: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

10  

3

Jakarta tahun 2014

Arief Hannany “Analisa

Hukum Islam Terhadap

Sistem Pembiayaan Jual

Beli Kredit” jurusan

Perbankan Syariah, fakultas

Syariah dan Hukum, UIN

Jakarta 2013.

Skripsi ini menjelaskan

tentang pengaturan dalam

perlindungan konsumen

pada kewenangan suatu

pembiayaan jual beli dalam

perbankan syariah.

konsumen

Skripsi ini hanya

memfokuskan pada

penelitian perlindungan

konsumenPerlindungan

dalam bidang jual beli

pada pelaku usaha

dengan konsumen

sebagai tinjauan umum.

F. Metode Penelitian dan Teknis Penulisan

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yang

berupa suatu wawancara dengan lembaga perlindungan konsumen studi

dokumentasi pada arsip-arsip yang terkait dalam permasalahan ini.

Page 22: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

11  

b. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah subjek dari mana

data yang diperoleh.13 untuk mempermudahkan mengidentifikasikan data

maka penulis mengklarifikasikan menjadi dua sumber data, antara lain:

1. Data Primer yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari

lapangan. Data primer disebut juga data asli atau data baru. Seperti hasil

wawancara dengan yang lembaga bersangkutan dalam penelitian tersebut.

2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur dan

referensi lain seperti buku, majalah, makalah tahun dan setiap artikel yang

mengandung informasi berkaitan dengan masalah yang dibahas, dihimpun

dari berbagai tempat mulai dari perpustakaan hingga situs internet. Data

sekunder disebut juga dengan data tersedia14

2. Teknis Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yaitu upaya pengumpulan data-data yang

relevan dengan kajian penelitian, yang diperoleh dengan cara:

a. Interview (wawancara), adalah salah satu cara untuk mendapatkan data

dengan bertanya dalam bentuk komunikasi verbal atau wawancara guna

mendapatkan informasi dari responden15. Wawancara selama ini sering

dianggap sebagai metode yang paling efektif dikarenakan interview dapat

bertatap muka langsung dengan responden untuk menanyakan prihal peribadi

responden, fakta-fakta yang ada dan pendapat (opinion) maupun persepsi diri

                                                            13 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001) hlm 31 14 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penilitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2002) h.82 15 P.Joko Subagyo, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1995) h.39

Page 23: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

12  

responden dan bahkan saran-saran responden. Maka penulis mengadakan

wawancara kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terkait

permasalahan dalam penyelesaian klausula baku yang terdapat pada secure

parking kendaraan.

b. Studi Dokumenter, adalah kumpulan koleksi bahan pustaka (dokumen) yang

mengandung informasi yang berkaitan dan relevan dengan bidang-bidang

pengetahuan maupun kegiatan yang menjadi kepentingan instansi atau

korporasi yang membina unit kerja dokumentasi tersebut16. Macam-macam

dokumentasi antara lain: buku, majalah, surat kabar, internet dan lain

sebagainya.

3. Teknis Pengelolahan dan Analisis Data

Adapun teknik pengolahan data pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,

analisis data dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data. Proses

analisis bersifat induktif, yaitu mengumpulkan informasi-informasi khusus

menjadi satu kesatuan dengan jalan mengumpulkan data, menyusun dan

mengklasifikasikannya dan menganalisa penerapan dalam perlindungan

hukum kepada konsumen yang dirugikan dari pelaku usaha yang tidak

bertanggung jawab khususnya pada jasa layanan parkir.

4. Teknis Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku ”pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2012”, yang merupakan sandaran dari penulisan karya

                                                            16 Soejono Trima, Pengamatan Ilmu Dokumentasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984) h. 7  

Page 24: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

13  

ilmiah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, khususnya

mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.

G. Sistematika Penulisan

Untuk keserasian dan ketertiban pembahasan serta untuk mempermudah

analisa materi dan penulisan skripsi ini, maka penulis menjelaskan dalam

sistematika penulisan. Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari lima bab yang

dibagi dalam sub bab dan setiap sub bab mempunyai pembatasan masing-

masing yang akan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis menguraikan hal-hal yang terkait dengan latar belakang

masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka teori dan konseptual, review studi terdahulu, metode

penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM AKAD DAN HIWALAH DALAM HUKUM ISLAM

Membahas tentang variabel-variabel permasalahan, dalam bab ini terdapat 2

sub bab, sub bab pertama membahas yaitu pengenai pengertian akad, syarat

dan rukun dalam akad, macam-macam akad, tujuan akad dan asas berakad

dalam Islam, sub bab yang kedua membahas tentang pengertian hiwalah, dasar

hukum dalam akad hiwalah, jenis akad hiwalah, rukun dan syarat hiwalah dan

berakhirnya hiwalah.

Page 25: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

14  

BAB III ASPEK PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB PADA KLAUSULA

BAKU

Dalam bab ini, membahas mencakup dalam pengertian kalusula baku, dasar

hukum kontrak baku, keabsahan kontrak baku, prinsip-prinsip klausula baku

dan perlindungan konsumen dalam kontak baku.

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB

DALAM HUKUM ISLAM DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab ini berisi analisis Hiwalah/Pengalihan Tanggung jawab dalam Hukum

Islam pada Perlindungan Konsumen dan Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

dalam Klausula Baku

BAB V PENUTUP

Bab penutup ini mencakup kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang

telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang dapat penulis

sampaikan dalam penulisan skripsi ini.

Page 26: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

15  

BAB II

AKAD DAN HAWALAH DALAM HUKUM ISLAM

A. Akad Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Akad

Kata akad berasal dari bahasa arab عقدا- عقد yang berarti, membangun atau

mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran, menyatukan. Kata “akad”

berasal dari bahasa Arab al-aqdu dalam bentuk jamak disebut al-uquud yang

berarti ikatan atau simpul tali.Bisa juga berarti kontrak (perjanjian yang tercatat).1

Sedangkan menurut al Sayyid Sabiq akad berarti ikatan atau kesepakatan.2Secara

etimologi akad adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun

ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi.3

Namun secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dibagi dari dua segi,

yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu

yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf,

talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan

dua orang, seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum

diatas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat

ulama Syafi’iyah, Malikiyyah dan Hanabilah.4

Pengertian akad secara khusus adalah pengaitan ucapan salah seorang yang

berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan

berdampak pada objeknya. Pengertian akad secara khusus lainnya adalah

perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang

                                                            1A.Warson Al Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Yogayakarta: Ponpes Al Munawir, 1984,

h. 1023. 2Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, jilid 3, Beirut: Dar Al-Fikr, Cet.III, 1983, h.127 3Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989, h. 80 4 Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. Ke-2, 2004, h. 43.

Page 27: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

16  

berdampak pada objeknya. Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya

ijab dan qabul. Ijab-qobul adalah sesuatu perbuatan atau pernyataan untuk

menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih,

sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.

Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua kesepakatan atau perjanjian dapat

dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada

keridhaan dan syari’at Islam.

Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan

perjanjian, yaitu al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Pengertian akad secara

bahasa adalah ikatan, mengikat.5 Dengan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah

menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya

pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi sebuah tali yang

satu kesatuan.6 Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam

syariat Islam yang banyak di gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Akad juga merupakan cara yang diridhai Allah SWT dan harus ditegakan

isinya. Al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 1 menyebutkan “hai orang-orang

yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah

al-‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata.7

Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau

overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari sesorang untuk mengerjakan atau tidak

untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Istilah ini

terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yaitu “sebenarnya siapa yang menepati

                                                              5T.M. Hasbi Ash-Sidqy, pengantar fiqih muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 8

6Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 75

7 Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari’ah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Darus Badrulzaman et al., Cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, h. 247-248

Page 28: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

17  

janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah SWT menyukai

orang-orang yang bertaqwa”.

2. Syarat dan Rukun Akad

1. Syarat-syarat Akad

Ada beberapa syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu:

a. Syarat terjadinya akad

Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan

untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat

tersebut, akad menjadi batal.Syarat ini terbagi menjadi dua bagian,8

yaitu:

1. Syarat Objek Akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan

obyek akad. Obyek akad bermacam-macam, sesuai dengan

bentuknya. Dalam akad jual-beli, obyeknya adalah barang yang

diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai obyeknya adalah

barang gadai dan hutang yang diperolehnya dan lain sebagainya.

Agar sesuatu akad dipandang sah, obyeknya harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a) Telah ada pada waktu akad diadakan.

Barang yang belum wujud tidak dapat menjadi obyek

akad menurut pendapat kebanyakan Fuqaha’ sebab hukum dan

akibat dari akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang

belum wujud. Oleh karena itu, akad salam (pesan barang

dengan pembayaran harga atau sebagian atau seluruhnya lebih

dulu), dipandang sebagai pengecualian dari ketentuan umum

                                                            8Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, cet. Ke-2, 2004, h.

78-82.

Page 29: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

18  

tersebut. Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab Hambali

memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum wujud

dalam berbagai macam bentuknya, selagi dapat terpelihara

tidak akan terjadi persengketaan di kemudian hari. Masalahnya

adalah sudah atau belum wujudnya obyek akad itu, tetapi

apakah mudah menimbulkan sengketa atau tidak.

b) Dapat menerima hukum akad

Para Fuqaha’ sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat

menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad. Dalam

jual misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan

benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual-

beli. Minuman keras bukan bernilai bagi kaum muslimin, maka

tidak memenuhi syarat menjadi obyek akad jual-beli antara

para pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam.

c) Dapat diketahui para pihak

Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh

dua belah pihak yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak

mesti semua satuan yang akan menjadi obyek akad, tetapi

dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai dengan urfl yang

berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak bertentangan

dengan ketentuan agama.

d) Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi

Yang dimaksud di sini adalah bahwa obyek akad tidak

harus dapat diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan

Page 30: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

19  

bahwa obyek tersebut bener-benar ada dalam kekuasaan yang

sah pihak bersangkutan.

2. Syarat subyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan

subyek akad. Dalam hal ini subyek akad harus sudah aqil (berakal),

tamyiz (dapat membedakan), mukhtar (bebas dari paksaan). Selain

itu, berkaitan dengan orang yang berakad, ada tiga hal yang harus

diperhatikan yaitu9:

a) Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang untuk

memiliki hak (ahliyatul wujub) dan dikenai kewajiban atasnya

dan kecakapan melakukan tasarruf (ahliyatul ada’).

b) Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum yang

pemilikinya dapat bertashaharruf dan melakukan akad dan

menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan.

c) Perwakilan (wakalah) pengalihan kewenangan perihal harta

dan perbuatan tertentu dari sesorang kepada orang lain untuk

mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya.

b. Syarat kepastian hukum (luzum)

Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum

dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli,

sepertiikhiyar syrat, khiyar aib dan lain-lain.

                                                            9Gemala Dewi, et. al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ed. I, Jakarata: Kencana, cet. Ke-

1, 2005, h. 55-58.

Page 31: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

20  

2. Rukun-rukun akad

Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:

a. Orang yang berakad (‘aqid), contoh: penjual dan pembeli. Al-aqid

adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting

karena tidak akan pernah terjadi akad manakala tidak ada aqid.

b. Sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaih), contoh: harga atau barang.

(al-Ma’aqud Alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang

dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas. Barang

tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan, benda

bukan harta seperti dalam akad pernikahan dan dapat pula berbentuk

suatu kemanfaatan seperti dalam masalah upah-mengupah dan lain-

lain.

c. Shighat, yaitu ijab dan qobul.

Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua belah

pihak yang berakad, yang menunjukkan atas apa yang ada dihati

keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan

ucapan, perbuatan, syarat dan tulisan.

1. Akad dengan ucapan (lafadz) adalah shighat akad yang paling

banyak digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan paling

mudah dipahami. Dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa

penyampaian akad dengan metode apapun harus disertai dengan

keridhaan dan memahamkan para aqid akan maksud akad yang

diinginkan.

2. Akad dengan perbuatan adalah akad yang dilakukan dengan suatu

perbuatan tertentu, dan perbuatan itu sudah maklum adanya.

Page 32: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

21  

Sebagaimana contoh penjual memberikan barang dan pembeli

menyerahkan sejumlah uang dan keduanya tidak mengucapkan

sepatah katapun. Akad semacam ini sering terjadi pada masa

sekarang ini. Namun menurut pendapat imam Syafi’i, akad dengan

cara semacam ini tidak dibolehkan. Jadi tidak cukup dengan serah-

serahan saja tanpa ada kata sebagai ijab-qabul.10

3. Akad dengan isyarat adalah akad yang dilakukan oleh orang yang

tuna wicara dan mempunyai keterbatasan dalam hal kemampuan

tulis-menulis. Namun apabila dia mampu untuk menulis, maka

dianjurkan agar menggunakan tulisan supaya terdapat kepastian

hukum dalam perbuatannya yang mengharuskan adanya akad.

4. Akad dengan tulisan adalah akad yang dilakukan oleh Aqid dengan

bentuk tulisan yang jelas, tampak, dapat dipahami oleh para pihak,

baik dia mampu berbicara, menulis dan sebagainya, karena akad

semacam ini dibolehkan. Namun demikian menurut ulama

Syafi’iyah dan hanabilah tidak membolehkannya apabila orang

yang berakad hadir pada waktu akad berlangsung.

3. Macam- macam akad

Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang

didasarkan atas sudut pandang masing-masing, yaitu:

1. Berdasarkan ketentuan syara’

a. Akad shahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah

ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat

                                                            10 Ibn Al-Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, h. 128

Page 33: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

22  

sebagaimana telah disebutkan diatas, maka akad tersebut masuk dalam

kategori akad shahih.

b. Akad ghairu shahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan

syaratnya. Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak

hukum atau tidak sah. Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan

antara akad fasid dan akad batal, dimana ulama jumhur tidak

membedakannya. Akan tetapi akad batal adalah akad yang tidak

memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad yang

dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasiq adalah

akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara’

seperti menjual narkoba, miras dan lain-lain.

2. Berdasarkan penamaannya, dibagi menjadi:

a. Akad yang sudah diberi nama oleh syara’, seperti jual-beli, hibah,

gadai dan lain-lain.

b. Akad yang belum dinamakan oleh syara’, tetapi disesuaikan dengan

perkembangan zaman.

3. Berdasarkan zatnya, dibagi menjadi:

a. Benda yang berwujud (al-‘ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh

panca indra kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.

b. Benda tidak berwujud (ghair al’ain), yaitu benda yang tidak dapat kita

rasakan oleh panca indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan,

seperti informasi, lisensi, dan lain sebagainya.

Akad dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fiqih muamalat

membagi lagi akad menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad

tijarah/mu’awadah.

Page 34: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

23  

1. Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah perjanjian yang

merupakan transaksi yang tidak ditujukan untuk memperoleh laba

(transaksi nirbala). Tujuan transaksi ini adalah tolong menolong

dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr

dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’,

pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan

imbalan apa pun kepada pihak lainnya karena ia hanya

mengharapkan imbalan dari Allah SWT dan bukan dari manusia.

Namun, tidak mengapa bila pihak yang berbuat kebaikan tersebut

meminta sekedar menutupi biaya yang ditanggung atau dikeluarkan

untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut, sepanjang tidak

mengambil laba dari akad tabarru’ tersebut.

Ada 3 bentuk akad tabarru’, yaitu:

a. Meminjam uang

Meminjam uang termsuk akad tabarru’ karena tidak boleh

melebihkan pembayaran atas peminjaman yang kita berikan,

karena setiap kelebihan tanpa ‘iwad adalah riba. Ada 3 jenis

pinjaman, yaitu:

1) Qard : merupakan suatu pinjaman yang diberikan tanpa

mensyaratkan apa pun, selain mengembalikan pinjaman

tersebut setelah jangka waktu tertentu.

2) Rahn : merupakan pinjaman yang mensyaratkan suatu

jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu.

3) Hiwalah: merupakan bentuk pinjaman dengan cara

mengambil alih piutang dari pihak lain.

Page 35: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

24  

b. Meminjamkan jasa

Meminjamkan jasa berupa keahlian atau ketrampilan termasuk

akad tabarru’. Ada 3 jenis pinjaman, yaitu:

1) Wakalah: merupakan pemberian suatu pinjaman berupa

kemampuan kita saat ini untuk melakukan sesuatu atas

nama orang lain. Pada konsep ini maka yang kita lakukan

hanya atas nama orang tersebut.

2) Wadi’ah:merupakan bentuk turunan akad wakalah, dimana

pada akad ini telah dirinci/didetailkan tentang jenis

pemeliharaan dan penitipan. Sehingga selama pemberian

jasa tersebut jika juga bertindak sebagai wakil dari pemilik

barang.

3) Kafalah: merupakan bentuk turunan akad wakalah, dimana

pada akad ini terjadi atas wakalah bersyarat (contingent

wakalah).

c. Memberikan sesuatu

Dalam akad ini, pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain.

Ada 3 jenis bentuk dalam akad ini, yaitu:

1) Waqaf: merupakan pemberian dan penggunaan pemberian

yang dilakukan tersebut untuk kepentingan umum dan

agama, serta pemberian itu tidak dapat dipindahtangankan.

2) Hibah, shadaqah: merupakan pemberian sesuatu secara

sukarela kepada orang lain.

Page 36: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

25  

2. Akad tijarah (compensational contract) merupakan akad yang

ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Dari sisi kepastian hasil

yang diperoleh, akad ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

a. Natural Uncertainty Contract: merupakan kontrak yang

diturunkan dari teori pencampuran, dimana pihak yang

bertransaksi saling mencampurkan asset yang mereka miliki

menjadi satu, kemudian menanggung risiko bersama-sama

untuk mendapatkan keuntungan. Oleh sebab itu, kontrak jenis

ini tidak memberikan imbal hasil yang pasti, baik nilai imbal

hasil (amount) maupun waktu (timing). Contoh yang termasuk

dalam kontrak ini adalah musyarakah termasuk didalamnya

mudharabah, muzara’ah, musaqah dan mukhabarah.

b. Natural Certainty Contract: merupakan kontrak yang

diturunkan dari teori pertukaran, dimana kedua pihak saling

mempertukarkan asset yang dimilikinya, sehingga objek

pertukarannya (baik barang atau jasa) pun harus ditetapkan dari

awal akad dengan pasti tentang jumlah (quantity), mutu

(quality), harga (price) dan waktu penyerahan (time delivery).

Dalam kondisi ini secara tidak langsung kontrak jenis ini akan

memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena sudah

diketahui ketika akad. Contoh akad ini adalah akad jual beli

(baik penjual tunai, penjual tangguh, salam dan istishna’)

maupun akad sewa (ijarah maupun IMBT).11

                                                            

11 Nurhayati Sri Wasilah, “Akutansi Syariah di Indonesia” edisi 2 revisi, (Jakarta: salemba empat, 2011) h.31

Page 37: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

26  

4. Tujuan Akad

Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang

melakukan perbuatan dalam keadaan sehat akal dan bebas menentukan pilihan

(tidak dipaksa) pasti memliki tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan

perbuatan itu. Oleh karena itu, tujuan akad diduduki peranan penting untuk

menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua

berkaitan dengan hubungan niat dan perkataan dalam akad.

Bahkan perbuatan-perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan

haramnya tujuan yang mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya tidur

siang apabila motifnya adalah supaya pada malam harinya tahan tidak tidur

untuk bermain judi, maka tidur siang itu akan menjadi haram.Masalahnya

adalah, jika suatu tindakan tidak mempunyai tujuan yang jelas, apakah

tindakan tersebut tidak mempunyai akibat hukum, misalnya seseorang berjanji

akan memberikan sesuatu kepada orang lain, apakah janji itu mempunyai

akibat hukum, dengan pengertian orang itu dapat dituntut untuk memenuhi

janjinya? Dalam masalah seperti ini, pendapat fuqaha’ bermacam-macam, ada

yang menyatakan mempunyai akibat hukum, seperti Ibnu Syubromah yang

mengatakan bahwa semua janji mempunyai akibat hukum, maka orang yang

berjanji dapat dipaksa untuk memenuhinya.12

Menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, janji yang tidak jelas tujuannya itu

tidak mempunyai akibat hukum duniawi, meskipun akan diperhitungkan

dihadapan Allah SWT diakhirat kelak. Hal tersebut berbeda dengan janji yang

tujuannya jelas. Misalnya apabila seseorang menyuruh orang lain untuk

                                                            12 Gemala Dewi, et, al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ed, I, (Jakarta: Kencana, cet. Kel-1, 2005),

h.58.

Page 38: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

27  

memberikan sesuatu barang kepada seseorang, dengan ketentuan apabila

orang yang menerima barang tidak mau membayar harganya, orang yang

menyuruh itu berjanji akan membayarnya. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa tujuan akad memperoleh peran yang amat penting, apalagi

dalam muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang jelas, secara otomatis tidak ada

yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad tersebut. Sehingga akad tersebut

dipandang tidak sah dan tidak memiliki konsekuensi hukum. Dari sini maka

diperlukan adanya syarat-syarat tujuan akad sebagai berikut:

1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak

yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan. Tujuannya hendak baru ada

pada saat akad diadakan.

2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.

Misalnya akad untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil

manfaatnya. Jika belum ada lima tahun rumah itu telah hancur maka

akadnya menjadi rusak karena hilangnya tujuan yang hendak diciptakan.

3. Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’. Jadi tidak boleh melakukan

akad dengan tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad

untuk melakukan patungan uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.

5. Asas Berakad Dalam Islam

Ada tujuh asas berakad dalam Islam, yaitu asas kebebasan, asas persamaan

atau kesetaraan, asas keadilan, asas kerelaan asas kejujuran dan kebenaran dan

asas tertulis. Namun, ada asas utama yang mendasari setiap perbuatan

manusia, termasuk dalam perbuatan muamalat, yaitu asas illahiah atau asas

Page 39: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

28  

tauhid.13Asas ilahiyah (ketuhanan) bertitik tolak dari Allah SWT dan

menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah SWT serta bertujuan

akhirat untuk Allah SWT.

1. Asas Ilahiyah

Kegiatan muamalah, tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketuhanan

(ketauhidan). Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab akan hal

ini. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,

tanggng jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Allah SWT.

Akibatnya, manusia tidak akan berbuat sehendak hatinya, karena segala

perbuatannya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.14

Ketika seorang manusia hendak bermuamalah (membeli dan menjual,

menyimpan dan meminjam atau mengivestasikan uang), maka manusia

tersebut selalu berdiri pada batas-batas yang diterapkan Allah SWT . ia tidak

memakan uang haram, memonopoli uang rakyat, korupsi, mencuri, berjudi

ataupun melakukan suap-menyuap. Ia menjauhi daerah yang diharamkan

Allah SWT dan meninggalkan daerah syubahat.15

2. Asas Kebebasan (Al-Hurriyah)

Asas ini merupakan prinsip dasar dalam bermuamalah (berakad).Pihak-

pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian

(freedom of making contrack), baik dari segi objek perjanjian maupun

menentukan persyaratan-persyaratan lain, termasuk menetapkan cara-cara

penyelesaian bila terjadi sengketa.Adanya suatu unsur pemaksaaan dan

                                                            13Gemala Dewi, et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: kencana, 2005) h 30 14A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam persektif Hukum Islam (Jakarta: kencana, Prenada Media, 2004) h.

125- 126 15Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Syariah, terjemahan Zainal Arifin dan Dahlia Husin dari

judul asli Darul Qiyam wa al akhlaq fi al iqtishad al-islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h 32

Page 40: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

29  

pemasungan kebebasan bagi para pihak yang melakukan perjanjian, maka

legalitas perjanjian yang dilakukan bisa dianggap meragukan bahkan tidak

sah.16Landasan asas ini yakni QS.al-Baqarah/2:265, al-Maidah/5:1, al-

Hijr/15:29, ar-Ruum/30:95, an-Nisaa’/4:33.

3. Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah)

Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan hidup manusia.Sering kali terjadi bahwa seseorang

memiliki kelebihan dari yang lainnya.Seperti yang tercantum dalam QS. An-

Nahl/16:71,

“Dan bahwa Allah SWT melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki”.

Hal ini menunjukkan, bahwa di antara sesama manusia masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan

yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari

kelebihan yang dimilkinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki

kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan

perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kesetaraan ini.

4. Asas Keadilan (Al-‘Adalah)

Adil merupakan salah satu sifat Allah SWT yang sering kali disebutkan

dalam Al-Qur’an.Bersikap adil sering kali Allah SWT ditekankan kepada

manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih

dekat kepada takwa.Dalam QS.al-Araaf/7:29, di sebutkan

“katakanlah: tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”.

                                                            16 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengan Kehidupan Sosial Politik di Indonesia

(Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2005) h 238.

Page 41: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

30  

Istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan. Menurut

Dr. Yusuf Al-Qardhawi, keadilan adalah keseimbangan antara berbagai

potensi individu, baik moral maupun materil, antara individu dan masyarakat

dan antara masyarakat yang satu dan lainnya yang berlandasan pada syariat

Islam. Dalam asas ini, para pihak yang melakukan perikatan dituntut untuk

berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi

perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya.Maka

sikap adil harus tercerminkan dalam perbuatan muamalah.

5. Asas Kerelaan (Al-Ridha)

Dalam QS a-Nisaa’/4;29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang

dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing

pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan dan mis-statement. Jika hal

ini tidak dipenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara bathil (al-

aqdu bil bathil). Berikut isi dari QS.An-NIsaa’/4:29.

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu”

6. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq)

Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukanoleh manusia dalam segala

bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalah. Jika kejujuran ini

tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan itu

sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidakjujuran dalam perikatan, maka akan

menimbulkan perselisihan antara para pihak. Dalm QS.al-Ahzab/33:70,

disebutkan bahwa

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah SWT dan katakanlah perkataan yang benar”

Page 42: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

31  

Perbuatan muamalah dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi

pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi manfaat dan

lingkungannya.Adapun perbuatan muamalah yang mendatangkan mudarat

adalah dilarang.

7. Asas Tertulis (Al-kitabah)

Dalam QS. al-Baqarah/2:282-283, disebutkan bahwa Allah SWT

menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara

tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang

melakukan perikatan dan yang menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan pula

bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat

dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya tulisan, saksi dan benda

jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya perikatan tersebut.

B. Hiwalah

1. Pengertian Hiwalah

Menurut bahasa, kata “al hiwalah” huruf ha’ dibaca kasrah atau dibaca

kadang-kadang fathah, berasal dari kata-kata “al-tahawwul” yang berarti al-

intiqal (perpindahan/pengalihan).17 Orang arab biasanya mengatakan, “Hala

‘anil ‘ahdi” yaitu ‘berlepas diri dari tanggung jawab’. Abdurrahman Al-jaziri

berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-hiwalah”, menurut bahasa

adalah, “pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain.18

Adapun menurut pengertian terminologi, yang dimaksud hiwalah adalah

memindahkan hutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain

dengan hutang yang sama.

                                                            17Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1986, h. 143 18Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut, Dar Al-Fikr, t.t.,h. 210

Page 43: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

32  

Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama berbeda-

beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:

a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud “al-hiwalah” adalah “memindahkan

beban utang dari tanggung jawab muhil(orang yang berutang) kepada

tanggung jawab muhal ‘alaih (orang lain yang punya tanggung jawab

membayar hutang pula)”.

b. Menurut Maliki, syafi’i dan Hanabila, “al-hiwalah” adalah pemindahan

atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak

kepada pihak yang lain.19

Hiwalah secara harfiyah artinya pengalihan, pemindahan, perubahan

warna kulit atau memikul sesuatu diatas pundak. Objek yang dialihkan

dapat berupa utang atau piutang. Jika yang pengalihan hutang maka akad

hiwalah merupakan akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berutang

kepada pihak yang lain yang wajib menanggung utangnya. Akad hiwalah

merupakan salah satu akad tabarru’, yakni jenisakad yang berkaitan

dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk

mengadakan laba atau keuntungan. Dalam hal ini, dimaksud untuk

menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala

dari Allah. Dengan demikian, akad hiwalah tidak dibolehkan adanya

pengambilan dalam suatu keuntungan.20Transaksi seperti ini dapat terjadi

dengan adanya saling mempercayai antara para pihak yang mengadakan

transaksi. Secara teknis, pihak berutang (muhil) meminta pihak lain

(muhal’alaih) untuk membayarkan terlebih dahulu utangnya pada pihak

lain (muhal). Setelah akad hiwalah dilakukan pihak yang berutang (muhil)                                                             

19Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Jakarta, Karya Indah, 1986, h. 47 20Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 109.

Page 44: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

33  

akan membayar kepada pihak yang telah menanggung utangnya

(muhal’alaih) atau hak penagihan berpindah menjadi hak muhal’alaih.

Dalam hal ini pihak yang mengambil alih utang harus yakin pihak yang

diambil alih utangnya dapat memenuhi kewajiban di kemudian hari.

Jika yang dialihkan piutang maka akad hiwalah merupakan akad

pengalihan piutang dari satu pihak yang berpiutang kepada pihak yang lain

yang berkewajiban menagih piutangnya. Secara teknis, pihak yang berpiutang

(muhil) meminta pihak lain untuk mengambil alih (muhal’alaih) piutang yang

dimilikinya, dengan mengambil alihan ini pihak yang berpiutang akan

menerima uang dari yang mengambil alih piutang, sementara pihak yang

berutang (muhal) akan membayar pada pihak yang telah mengambil alih

piutang. Dalam hal ini akad hiwalah dapat membantu likuiditas bagi pihak

yang mempunyai piutang. Sebaliknya pihak yang mengambil alih piutang

harus berhati-hati pada kredibilitas dan kemampuan pihak yang berutang

selain juga harus melihat keabsahan transaksinya. Pihak yang menerima

pengalihan utang atau piutang (muhal‘alaih) dapat memperoleh

imbalan/fee/ujrah atas jasanya (berupa kesediaan dan komitmennya) dan

besarnya ujrah harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti.

2. Dasar Hukum dalam Akad Hiwalah

Sebuah transaksi atau perbuatan sesorang dalam Islam harus dilandasi

dengan sumber-sumber hukum dalam Islam, agar dapat mengetahui apakah

transaksi atau perbuatan yang dilakukan melanggar hukum Islam atau tidak.

Maka begitu juga dalam transaksi hiwalah untuk mengetahui kebolehan harus

dilihat dimana sumber hukum Islam menyebutkan:

Page 45: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

34  

a. Al qur’an

ن و م ل ع م ت ت ن ن ك م ا ك ل ر ي قوا خ د ص ان ت و ة ر يس ى م ل ة ا ر ظ ن ف ة سر وع ذ ان ن ك ا و

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baikbagimu, jika kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 280)

b. Hadist

Pelaksanaan hiwalah menurut Nabi Muhammad SAW adalah

dibolehkan, maka ini sesuai dengan hadist beliau:

ا ذ ا و م لظ ي نالغ ل ط: م م ل س و يه ل ع ى هللا ل ص هللا ل و س ر : قال ال ق نه ع هللا ي ض ر ة ر ي ر ي ھ ب ا ن ع ( روه البخاري و مسلم) ع ب ت ي ال ف ئ ل ى م ل ع م ك د ح ا ع ب ت ا

“Dari Abi Hurairah ra, ia berkata: bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: memperlambat dalam pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut) (HR Bukhari dan Muslim).”21

Pada hadist diatas telah menjelaskan bahwa kegiatan dalam pengalihan

hutang hiwalah kepada orang yang mampu untuk membayarnya atau

diperbolehkan dan Rasulullah memerintahkan kepada orang yang

menghutangkan, jika orang berhutang menghiwalahkan kepada orang kaya

dan kemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah

ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya

(muhal’alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).22

c. Ijma’

Sebagian para ulama berpendapat bahwa pengalihan hutang tersebut wajib

diterima oleh muhal’alaih atau orang yang dihiwalahi. Sedangkan

mayoritas ulama memandang bahwa perintah untuk menerima hiwalah itu

                                                            21Al Imam Abi Abdillah Ibn Ibrahim al Bukhori, Shahih Bukhori, Jilid 3, Beirut : Daar al Fikr, 1981,

h.683 22 Sayyid Sabiq, alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah, Jilid 13, Bandung: PT.

Alma’arif, 1997, cet-7, h. 42

Page 46: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

35  

menunjukkan sunnah.Para ulama sepakat membolehkan hiwalah. Praktek

hiwalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/benda,

karena hiwalah adalah perpindahan hutang, oleh sebab itu harus pada uang

atau kewajiban finansial.23

3. Jenis Akad Hiwalah

Ditinjau dari segi objek akadhiwalah dapat dibagi menjadi dua

bagian,24 yaitu:

1. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menagih piutang, maka

pemindahan itu disebut hiwalah al haqq (pemindahan hak). Hiwalah ini

adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain

dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang

bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan

haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang

tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika

piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.

2. Apabila yang dipindahkan itu merupakan kewajiban untuk membayar

utang, maka pemindahan itu itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan

piutang). Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang

mempunyai hutang kepadanya, Ini berbeda dari hiwalah haq. Pada

hakikatnya hiwalah dain sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah

diterangkan terdahulu.

Ditinjau dari sisi persyaratan, hiwalah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

                                                            23 Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan , Jakarta : IIIT

Indonesia, 2003, h. 93 24Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syari’ah, Jakarta : Zikrul Hakim, h. 30

Page 47: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

36  

1. Hiwalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) terjadi jika muhil

mengalihkan hak penagihan muhal kepada muhal’alaih karena yang

terakhir punya hutang kepada muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz)

berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga madzhab Hanafi berpendapat

bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan mensyaratkan pada

hiwalah muqayyadah agar hutang muhal kepada muhil dan hutang

muhal’alaih kepada muhil harus sama, baik itu sifat maupun jumlah. Jika

sudah sama jenis dan jumlahnya, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika

salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.

2. Hiwalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak) terjadi jika orang yang

berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan

hak penagihnya kepada pihak yang ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini

berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A

mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya

hubungan hutang piutang kepada B, maka hiwalah ini disebut muthlaqoh.

Ini hanya madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama

mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.

Akad hiwalah dalam ketentuan syariah, yaitu:

1. Pelaku

a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat

b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan

hartanya dan rela (ridho) dengan pengalihan utang piutang tersebut

c. Diketahui identitasnya

2. Objek penjaminan (ma’ful bihi)

a. Bisa dilakukan oleh pihak yang mengambil alih utang atau piutang

Page 48: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

37  

b. Harus merupakan utang/piutang mengikat, yang tidak mungkin

terhapus kecuali setelah dia bayar atau dibebaskan

c. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya

d. Tidak bertentangan dengan syariah

3. Ijab Kabul adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha/rela diantara

pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui

korespodensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

4. Rukun dan Syarat Hiwalah

a. Rukun hiwalah

Mula-mula yang dipandang sebagai subyek hukum adalah orang,

kemudian karena berkembangnya jalan pemikiran manusia, lalu badan

hukum/lembaga-lembaga yang mengurusi kepentingan umum dipandang

sebagai orang. Keberadaan badan hukum dalam ketentuan hukum Islam

secara tuntas didalam nash memang tidak ada, akan tetapi diketahui bahwa

syariat (termasuk ketentuan tentang badan hukum) yang berkembang di

masyarakat yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat

manusia.25Menurut maazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan

melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (pernyataan menerima

hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hawalah ada enam,

yaitu:

1) Pihak pertama, muhil (المحيل): yakni orang yang berhutang dan

sekaligus berpiutang.

                                                            25Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001,

h. 194

Page 49: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

38  

2) Pihak kedua, muhal (المحال): yakni orang berpiutang kepada muhil.

3) Pihak ketiga, muhal’alaih (المحال عليه): yakni orang yang berhutang

kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal.

4) Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):

yakni hutang muhil kepada muhal.

5) Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama, hutang muhal’alaih

kepada muhil.

6) Ada sighoh (pernayataan hiwalah).26

Penjelasan, contoh: A (muhil) berhutang kepada B (muhal) dan A berpiutang

dengan C (muhal’alaih), jadi A adalah orang yang berhutang dan berpiutang,

B hanya berpiutang dan C hanya berhutang kemudian A dengan persetujuan B

menyuruh C membayar hutangnya B, setelah terjadi akad hawalah, terlepaslah

A dari hutangnya kepada B dan C tidak berhutang dengan A, tetapi hutangnya

kepada A, telah berpindah kepada B berarti C harus membayar hutangnya itu

kepada B tidak lagi kepada A.

b. Syarat-syarat hiwalah

Syarat hiwalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali

berpendapat bahwa perbuatan hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-

syarat yang berkaitan dengan pihak pertama, pihak kedua dan ketiga, serta

yang berkaitan dengan hutang itu sendiri.27

Adapun syarat-syarat hiwalah menurut para fuqaha, sebagai berikut:

1. Syarat Muhil (Pemindahan Hutang), disyaratkan harus dengan dua syarat,

yaitu:

                                                            26Idris Ahmad, (Jakarta, Karya Indah), 1986, h.57. 27Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan

Indonesia, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, cet-3, 2007, h. 97

Page 50: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

39  

a. Berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat

dimilki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh

orang gila dan kanak-kanak karena tidak mampu atau belum dapat

dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum.

b. Kerelaan Muhil, ini disebabkan karena hawalah mengandung

pengertian pelupusan hak milik sehingga tidak sah jika ia dipaksakan.

Ibn kamal berkata dalam al idah bahwa syarat kerelaan pemindah

hutang diperlukan ketika berlaku tuntutan.28

Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa

kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang

wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya,

maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang

lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian

tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-

tunda. Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal’alaih (orang yang

berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda

dan tidak membengkang, muhal (orang yang menerima pindahan)

wajib menerima pemindahan itu dan tidak disyaratkan adanya kerelaan

darinya.

Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal

(orang yang menerima pindahan) untuk menerima hiwalah adalah

karena muhal’alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah

membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan

demikian, jika muhal’alaih mudah dan cepat membayar hutangnya,

                                                            28Ali Fikri, Al-Mu’amalat Al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz 2, Mathba’ah Musthafa Al-Babiy Al-

Halaby, Mesir, cet I, 1357 H, h. 74

Page 51: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

40  

dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hiwalah. Namun jika

muhal’alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda

membayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib

menerima hiwalah.

Persyaratan yang berkaitan dengan muhil, maka disyaratkan harus,

pertama berkemapuan untuk melakukan akad(kontrak). Hal ini hanya

dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan

oleh anak-anak kecil dan orang gila karena tidak bisa atau belum dapat

dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua

kerelaan muhil. Ini disebabkan karena hiwalah mengandung pengertian

kepemilikikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Disamping itu

persyaratan ini diwajibkan para fuqaha terutama untuk meredam rasa

kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh muhil

ketika diadakan akad hiwalah.

c. Beban muhil setelah hiwalah

Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab

muhil gugur. Andaikata muhal’alaih mengalami kerugian atau

meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil,

hal ini adalah pendapat jumhur ulama.

Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata

muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk

membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam

Maliki, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian

muhal’alaih mengalami kerugian atau meninggal dunia dan ia belum

membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.

Page 52: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

41  

Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan

muhal’alaih mengalami kerugian atau meninggal dunia, maka orang yang

menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

2. Syarat muhal (Pemiutang Asal), maka terdiri dari tiga syarat, yaitu:

a. Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama

dengan syarat yang harus dipenuhi oleh muhil.

b. Kerelaan dari muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan.

c. Penerimaan dalam penawaran hendaklah berlaku dalam majlis akad.

Ini adalah syarat berakad

Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak

ada syarat kerelaan muhal’alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya:

“jika salah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah), (HR Bukhari dan Muslim).”29

Sehingga adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan

orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga

yang sulit membayarnya, sedangkan menerima pelunasan hutang itu

merupakan hak dari muhal. Karena memang muhal mempunyai hak yang ada

pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa

kerelaan. Jika perbuatan hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak muhal

dapat merasa dirugikan, misalnya apabila ternyata bahwa pihak muhal’alaih

sulit membayar hutang tersebut, maka akan muncul kerugian antara belah

                                                            29Imam Taqiyuddin, alih bahasa KH.Syarifuddin Anwar, Kifayatul Akhyar (kelengkapan

orang saleh), Surabaya : Bina Iman, 1995, h.612 

Page 53: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

42  

pihak sehingga muncul hak yang harus dipenuhi dari pihak yang

bersangkutan.

Disamping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau

mewakilkan kepda orang lain. Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan

adanya kerelaan muhal’alaih, maka ia wajib dengan sesuatu yang bukan

menjadi kewajibannya. Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan

adanya kerelaan muhal’alaih. Dan muhalalaih akan membayar hutangnya

dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.

3. Syarat muhal’alaih (penerima pindah hutang)

a. Sama dengan syarat pertama bagi muhil dan muhal yaitu berakal dan

baligh.

b. Madzhab Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan dari pihak

muhal’alaih. Sedangkan ketiga Madzhab lainnya tidak mensyaratkan

hal itu. Alasan Madzhab Hanafi adalah tindakan hiwalah merupakan

tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban muhal’alaih

untuk membayar hutang kepada pihak muhal, sedangkan kewajiban

membayar hutang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri

yang berhutang kepada pihak muhal. Karena itu, kewajiban tersebut

hanya dibebankan kepada jika ia menyetujui hiwalah tersebut. Adapun

alasan Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah bahwa dalam akad

hiwalah, muhal’alaih dipandang sebagai obyek akad dan karena itu

persetujuannya tidak merupakan syarat sahnya hiwalah.

c. Imam Abu Hanafah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani

menambahkan bahwa qabul (pernyataan menerima akad) tersebut

Page 54: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

43  

dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majlis

akad.

Fuqaha berpendapat bahwa hiwalah (perpindahan hutang) merupakan

suatu kegiatan muamalah yang memandang persetujuan atau kerelaan

kedua belah pihak yang memang diperlukan. Karena pada prinsipnya

kegiatan muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,

menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan

kesempatan dalam kesempitan. Prinsip ini menentukan bahwa segala

bentuk muamalah yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.

4. Syarat muhal bih (hutang)

a. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-

piutang yang sudah pasti. Jika yang dialihkan itu belum merupakan

utang-piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan hutang yang timbul

akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar (masa yang

dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk mempertimbangkan

apakahakad jual beli dilanjutkan atau dibatalkan), maka hiwalah tidak

sah.

Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa persyaratan ini berlaku pada

hutang muhil kepada muhal. Mengenai hutang pihak muhal kepada

muhal‘alaih, Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali memberlakukan

persyaratan ini, tetapi Madzhab Hanafi tidak memberlakukannya.

b. Apabila pengalihan hutang tersebut dalam bentuk hiwalah al-

muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa baikhutang

muhil kepada muhal maupun hutang muhal ‘alaih kepada pihakmuhil,

mestilah sama dalam jumlah dan kualitasnya. Jika antara keduahutang

Page 55: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

44  

tersebut terdapat perbedaan jumlah (misalnya : hutang dalambentuk

uang), atau perbedaan kualitas (misalnya : hutang dalam

bentukbarang), maka hiwalah tidak sah. Akan tetapi jika pengalihan itu

dalambentuk hiwalah al-mutlaqah sebagaimana yang dibenarkan

MazhabHanafi, maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baik

jumlahmaupun kualitasnya.

c. Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut

mestisama pula waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi

perbedaanwaktu jatuh tempo pembayaran di antara kedua hutang

tersebut, makahiwalah tidak sah

Dengan demikian syarat yang diperlukan terhadap hutang yangdialihkan

(muhal bih ) adalah sama dalam bentuk pemenuhan hak,seperti jenis,

jumlah, pelaksanaan, tempo waktu, dan mutu.

5. Berakirnya Akad Hiwalah

Akad hiwalah menjadi berakhir jika terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad tersebut membatalkan

(fasakh) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan

adanya pembatalan akad tersebut, pihak kedua kembali berhak untuk

menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula hak

pihakpertama kepada pihak ketiga.

2. Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan tersebut kepada pihak kedua.

3. Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan

ahliwaris yang mewarisi harta pihak kedua.

4. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan suatu hartanya yang

merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.

Page 56: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

45  

5. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar

hutang yang dialihkan tersebut.

Menurut Mazhab Hanafi, hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi karena at-

tawa, yaitu pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut), atau meninggal dunia

dalam keadaan pailit, atau tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah pihak

ketiga mengingkari adanya akad tersebut. Sedangkan menurut Mazhab

Maliki, Syafi’i, dan Hambali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap, karena

persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat

berakhir karena at-tawa atau dengan alasan mengalami palit (bangkrut).30

Dengan kata lain, pihak kedua tidak dapat menuntut pengembalian hak

meminta pembayaran hutang kepada pihak pertama, dengan alasan ia tidak

berhasil mendapatkan pelunasan hutang dari pihak ketiga.

Namun dari beberapa pendapat diatas, perlu dicermati persyaratan-

persyaratan yang telah ditetapkan apakah sudah memenuhi atau belum, dan

apakah akad hiwalah tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah

ditetapkan dan disepakati. Persyaratan-persyaratan yang telah disepakati

bersama harus dipatuhi oleh semua pihak, sekiranya ada pihak yang dirugikan

dalam pelaksanaan akad hiwalah itu, maka ia dapat mengadakan untuk

gugatan yang sudah barang tentu dengan bukti yang kuat dan dapat di

pertanggungjawabkan.

                                                            30 Jainuddin, Ikhtisar Fiqih Muamalah, (Bandung: Rajawali Press tahun 2010), h. 46.  

Page 57: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

46  

BAB III

ASPEK HUKUM KLAUSULA BAKU

A. Pengertian Klausula Baku

Sebagaimana pada umumnya klausula baku atau perjanjian baku sama

halnya dengan perjanjian pada umumnya. Perikatan sebagai ikatan yang

menghubungkan antara dua pihak.1 Sebagaimana dijelaskan dalam KUHP

perdata pasal 1313 perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan

mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih.

Kontrak baku, kontrak standard, klausula baku atau kontrak adhesi

adalah beberapa istilah yang digunakan terhadap perjanjian yang seluruh

klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain

pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau minta

perubahan.2Perjanjian baku pada umumnya telah tercetak (boilerplate)

sehingga pihak yang lain tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasi,

pilihan yang ada adalah mengambil kontrak tersebut atau meninggalkannya,3

hal yang senada juga diutarakan oleh Hondius. Yang belum dibakukan hanya

terkait beberapa hal yaitu seputar objek yang ditransaksikan dan besarnya

biaya yang harus ditanggung.

Ditengah bisnis yang semakin pesat diperlukan klausula yang baku

untuk mengefisiensikan biaya, tenaga dan waktu dalam perjalanan bisnis.

Peran bagi produsen secara eksplisit menolak pertanggungjawaban dari

                                                            1Soebekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-19. (jakarta: Intermasa, 2002), h 1. 2Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak

dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institusi Bankir Indonesia, 1993), h.66. 3Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua, (Jakarta: PT Citra

Aditya Bakti, 2003), h. 76. 

Page 58: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

47  

konsumen. Sehingga konsumen menerima penolakan tersebut dalam bentuk

perjanjian klausula baku. Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang

kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku

usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula

baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila

konsumen menolak klausula baku tersebut maka ia tidak akan mendapatkan

barang atau jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan

ditemuinya ditempat lain. banyak contoh perjanjian yang bisa kita lihat

penggunaan kontrak baku seperti karcis parkir, tiket pesawat, kredit bank, jual

beli, asuransi dan lain-lain.

Ciri-ciri kontrak baku menurut Mariam Badrulzaman, yaitu:

A. Isi diterapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi

(ekonominya) kuat.

B. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama

menentukan suatu isi perjanjian

C. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima

perjanjian itu

D. Berbentuk dalam suatu tulisan

E. Dipersiapkan oleh masa dan kolektif.4

Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi

klausula baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini

merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis dan cepat tidak

bertele-tele, tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak

                                                            4 Salim HS, dkk, Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding, (Jakarta: Sinar Grafika,

2007), h.70.

Page 59: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

48  

menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu hanya

menerima walaupun dengan berat hati.5

Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract,

baku berarti patokan atau acuan. Mariam Darus mendefinisikan perjanjian

klausula baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam

suatu dokumen.6 Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-

janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangkan

dalam perjanjian yang sifatnya tertentu.

Ahmadi Miru berpendapat bahwa perjanjian baku merupakan

perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun

harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak

mengalihkan beban tanggung jawab dari pihak perancang klausula baku

kepada pihak lainnya.

Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai

berikut:7

1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat

dari konsumen.

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal.

4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor

kebutuhan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula

baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

                                                            5Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1992), h.6. 6Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1978), h.48. 7Sudaryatno, Hukum dan Advokat Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.93.

Page 60: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

49  

disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha

yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak

yang memiliki kedudukan yang lebih kuat, tentu saja dapat dipastikan bahwa

perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan. Serta

bukan tidak mungkin juga meringankan atau menghapuskan beban dan

kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

B. Dasar Hukum Klausula Baku

Secara khusus keberadaan klausula baku tidak diatur dalam perundang-

undangan dan juga tidak dilarang oleh undang-undang. Klausula baku telah

ada dan eksis sejak ribuan tahun yang lalu dalam dunia bisnis. Pengaturan

klausula baku dapat kita temukan pada beberapa peraturan perundang-

undangan sebagai berikut:

a. Pasal 6.5.1.2 dan pasal 6.5.1.3 NBW Belanda

b. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 Priciples of internasional commercial

contract (Prinsip UNIDROIT). Prinsip ini mengatur hak dan kewajiban

para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak.

c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perubahan undang-undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

d. Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK

menjelaskan secara khusus pengertian pasal 1 angka 10 kemudian

menjelaskan ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam klausula baku

didalam pasal 18

Page 61: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

50  

e. Rancangan Undang-undang tentang Kontrak. Kontrak ini dijelaskan dalam

pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22

f. Peraturan Otoritas jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 yang

diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 yang berlaku bagi seluruh8

perusahaan keuangan, termasuk didalamnya perusahaan Asuransi Syariah.

Peraturan ini memuat ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam sebuah

klausula baku dalam pasal 22. Pada dasarnya ketentuan yang dilarang

dicantumkan dalam klausula baku yang diatur dalam peraturan OJK ini tidak

jauh berbeda dengan UUPK yang dijelaskan dalam pasal 18

C. Keabsahan Klausula Baku

Keabsahan klausula baku sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi,

sebab, keberadaan klausula baku telah ada sejak 80 tahun yang lalu. Walaupun

demikian perdebatan tentang keabsahan klausula baku tidak bisa dilupakan

begitu saja, sebab, hal ini berkaitan dengan perbaikan peraturan perundang-

undangan khususnya berkaitan dengan penggunaan klausula baku.

Ahli hukum berbeda pandangan dalam menilai keabsahan klausula

baku. Negara yang umumnya bersistem Eropa Kontinental berbeda pandangan

dalam menilai keabsahannya dengan argumentasinya masing-masing.

Sluijer mengatakan bahwa klausula baku bukan merupakan perjanjian, sebab

kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu dalah seperti penduduk undang-

undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan

pengusaha dalam klausula itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.9

                                                            8 Salim H.S, “Hukum Kontrak (Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak)”, Sinar Grafika, Jakarta, 2003,

h. 9. 9 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak

dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institusi Bankir Indonesia, 1993), h.70.

Page 62: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

51  

Pitlo menggolongkan klausula baku sebagai perjanjian paksa (dwang

contract). Walaupun secara teoretis yuridis, klausula baku tidak memenuhi

ketentuan undang-undang dan ditolak keberadaannya kebutuhan masyarakat

terhadap klausula baku berjalan ke arah yang berlawanan dengan keinginan

hukum.

Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan

pendapat bahwa klausula baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan

fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang

membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikat diri pada perjanjian

itu. Jika konsumen menerima dokumen klausula baku tersebut, berarti ia

secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang mendatangani

perjanjian, bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika

ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku,

tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda

tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak

mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.

Pendapat lain yang mendukung keabsahan klausula baku diuraikan oleh

Hondius yang berpendapat bahwa klausula baku telah menjadikan kebiasaan

yang berlaku di masyarakat dan suatu perjalan dalam berbisnis.

Negara dengan sistem common law sebagaimana di Amerika

berpandangan bahwa hakim disana berpendapat bahwa klausula baku (adhesi)

tidak dapat ditetapkan, hal ini disimpulkan oleh Whitman dan Gergacz.

Walaupun demikian ini tidak berjalan lama. Pada tahun 1960-an pendapat ini

Page 63: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

52  

mulai ditinggalkan. Hal ini ditandai dengan mulai diawasi penggunaan kontrak

baku. Walaupun demikian mereka tetap berpegang pada prinsip Cevat Emptor

(Let the Buyer Beware), yang berarti konsumen harus yang berhati-hati.

D. Prinsip-prinsip dalam Klausula Baku

Sebagai sebuah instrumen hukum yang mengikat debitur dengan

kreditur serta mengatur kewajiban dan hak masing-masing pihak, klausula

baku harus mendapatkan perhatian khusus terkait dengan prinsip-prinsip

penting yang berpotensi untuk dilanggar oleh karena itu ini harus diperhatikan

dalam suatu pembuatan klausula baku.

Munir Fuadi menjelaskan ada empat prinsip yang harus diperhatikan

dalam klausula baku, yaitu:

a. Prinsip kesepakan kehendak dari para pihak

Kesepakatan sebagai dasar sahnya perikatan tetap menjadi penentu sah

atau tidaknya kontrak tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1320

KUHPerdata yang menyatakan perjanjian yang sah adalah ada kesepakatan

dari kedua belah pihak.

Walaupun klausula baku disebut oleh salah satu pihak saja, unsur

kesepakatan harus dapat dipenuhi dalam klausula baku tersebut.

Kesepakatan itu dapat ditandai dengan ditanda tanganinya klausula

tersebut atau dengan cara serah terima barang yang ditransaksikan.

b. Prinsip asumsi risiko dari para pihak

Adanya asumsi risiko dalam suatu perjanjian tidak dilarang. Artinya

apabila salah satu pihak bersedia menanggung resiko tersebut, ketika

resiko tersebut terjadi maka yang menyatakan bersedia tersebut harus

menanggung resiko tersebut.

Page 64: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

53  

c. Prinsip kewajiban membaca (duty to read)

Prinsip kewajiban membaca oleh konsumen yang dianut oleh sistem

negara common law seperti Amerika juga harus diperhatikan konsumen

yang ada di Indonesia. Disiplin ilmu hukum juga mengajarkan bahwa

setiap pihak wajib membaca klausula yang mereka tanda tangani. Tanda

tangan yang terletak dalam suatu klausula tersebut adalah tanda kalau

mereka telah membaca sepenuhnya klausula yang mereka sepakati.

d. Prinsip klausula mengikuti kebiasaan

Klausula sebagai rule yang mengatur apa yang harus dilakukan dan

tidak boleh dilakukan para pihak bukan berarti apa yang tidak

dicantumkan dalam klausula boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

Ada prinsip kebiasaan juga yang mengikat para pihak dalam perjanjian.10

E. Peraturan Pencantumkan dalam Klausula Baku

Peraturan Pencantuman Klausula Baku, Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Pasal 18 ayat (1) melarang pelaku usaha mencantumkan klausula

baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang dibeli konsumen.

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang diabayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen.

                                                            10 Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku kedua, Jakarta: PT. Citra

Aditya Bakti tahun 2003, h 47

Page 65: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

54  

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdai obyek jual beli jasa.

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya.

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Lebih lanjut lagi, Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Pasal 18 ayat

(2) juga melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit untuk dimengerti. Dan setiap klausula baku yang telah

ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal

demi hukum, maka bahwa pelaku usaha harus wajib menyesuaikan klausula

baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Tentu Undang-Undang Perlindungan Konsumen menginginkan terciptanya

keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha. Pengaturan pencantuman

Page 66: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

55  

klausula baku bukanlah merupakan keberpihakkan terhadap kepentingan

konsumen dan merugikan kepentingan perlindungan konsumen, menginginkan

kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah

dalam pembangunan nasional, harus medapatkan porsi yang seimbang.

Penerapan klausula baku yang dilakukan oleh pihak dengan posisi

yang lebih kuat akan merugikan pihak lain dengan posisi yang lebih lemah,

biasanya model perjanjian seperti ini dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.

Memosisikan pelaku usaha dalam posisi yang lebih kuat dari pada posisi

konsumen, tidaklah selamanya benar. Karena kasus tertentu posisi

konsumen justru lebih kuat dari pada posisi pelaku usaha, dan justru

konsumenlah yang merancang klausula baku tersebut. Dengan demikian

pendapat di atas tidak selamanya benar.

Perjanjian dengan klausula baku terjadi dengan beberapa cara, hingga

saat ini pemberlakuan perjanjian baku tersebut antara lain dengan cara-cara:11

1. Pencantuman butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan

terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya oleh kalangan pengusaha,

produsen, distributor atau pedagang produk tersebut. Perhatikan kontrak

jual beli atau sewa beli kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat

elektronik dan lain sebagainya.

2. Pencantuman klausula baku dalam lembaran kertas yang berupa tabel, bon,

kwitansi, tanda terima, atau lembaran dalam bentuk serah terima barang.

Seperti lembaran bon, kwitansi atau tenda terima barang dari toko, kedai

dan supermarket.

                                                            11Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, bandung: 1994, h. 56.

Page 67: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

56  

3. Pencantuman klausula baku dalam bentu pengumuman tentang berlakunya

syarat-syarat baku di tempat tertentu, seperti di area parkir, hotel, dan

penginapan dengan meletakkan atau menempelkan pengumuman klausula

baku.

Memang klausula baku yang merupakan suatu bentuk perjanjian yang

secara teoretis masih mengundang perdebatan, khususnya dalam kaitannya

dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan syarat-syarat

perjanjian. Dalam klausula baku, kebebasan dan pemberian kesempatan untuk

melakukan kontrak tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian secara

langsung, dengan melibatkan para pihak untuk menegosiasikan klausula

perjanjian. Maka terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan klausula

baku dalam hukum perjanjian.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan rambu-rambu

dalam perbuatan klausula baku. Harus diakui bahwa posisi konsumen dalam

klausula baku hanya sebatas mengambil atau menolak yang telah ditawarkan

kepadanya. Atas dasar itu pula negara sebagai pihak yang bertanggung jawab

akan tegaknya pelindungan konsumen sehingga kenyamanan dan keamanan

dapat dirasakan oleh setiap konsumen.

Untuk mendukung tujuan tersebut OJK mengeluarkan peraturan tentang

perlindungan konsumen yang berlaku khusus pada lembaga keuangan

menambahkan lima prinsip. Kelima prinsip tersebut sebagai berikut: (1)

transparansi; (2) perlakuan yang adil; (3) keandalan; (4) kerahasiaan dan

keamanan data/ informasi konsumen; dan (5) penanganan pengaduan serta

penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya

Page 68: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

57  

terjangkau.12 Lebih lanjut POJK menjelaskan dalam pasal 4 UU bahwa OJK

dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam

sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan

akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan

masyarakat.

Rentannya posisi konsumen untuk disalahgunakan POJK mengatur

keseimbangan dalam perjanjian yang dibuat oleh perusahaan, asas ini

dijelaskan dalam pasal 21 dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Keseimbangan ini ditujukan untuk meningkatkan rasa saling menghormati

antara para pihak, serta melaksanakan kewajiban dan hak mereka secara

seimbang, tanpa memberatkan satu pihak dan meringankan pihak lain.

Hondius dalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku

mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di

masyarakat dan perdagangan.

Namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap

ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan

klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula

yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Nomor 8 Tahun 1999.

Kendatipun demikian, harus pula diakui bahwa perjanjian baku sangat

dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin pesat dewasa ini. Dengan

penggunaan klausula baku tersebut, berarti para pihak dapat mempersingkat

                                                            12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor

Jasa Keuangan pasal 2   

Page 69: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

58  

waktu bernegosiasi. Di samping itu, perjanjian baku juga tetap mengikat para

pihak dan pada umumnya beban tanggung jawab para pihak adalah berat

sebelah. Maka langkah yang harus dilakukan bukan melarang atau membatasi

penggunaan klausula baku, melainkan melarang atau membatasi penggunaan

klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku tersebut.

Di Inggris, penanggulangan masalah kontraktual dilakukan melalui

putusan-putusan hakim dan ketentuan perundang-undangan. Bahkan law

commission dalam saran mereka untuk meninjauan masalah standard form

contract mengemukakan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam

pengujian syarat-syarat baku tersebut antara lain:

1. Kemampuan daya saing (bargaining position) para pihak.

2. Apakah konsumen ditawarkan syarat-syarat lain dengan singkat harga

yang lebih tinggi, tetapi tanpa syarat eksonerasi dalam kontrak

pembeliannya.

3. Apakah pelanggaran kontrak dengan syarat pengecualian tanggung jawab,

disebabkan oleh hal atau peristiwa di luar kuasa pihak (konsumen) yang

melakukannya.

Di Amerika Serikat, transaksi-transaksi tertentu yang dilakukan dengan

perjanjian baku, tidak diperbolehkan memuat syarat berikut:

1. Persetujuan pembeli untuk tidak menggugat pengusaha.

2. Pembebasan pembeli untuk menuntut penjual mengenai setiap perbuatan

penagihan atau pemilikan kembali (barang yang dijual) yang dilakukan

secara tidak sah.

3. Pemberian kuasa kepada penjual atau orang lain untuk menagih

pembayaran atau pemilikan kembali barang tertentu.

Page 70: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

59  

4. Pembebasan penjual dari setiap tuntutan ganti kerugian pembeli terhadap

penjual.

Upaya perlindungan konsumen diatas tentu sangatlah terbatas, dan

tidak mungkin memberikan perlindungan kepada konsumen secara

keeluruhan. Akan tetapi upaya tersebut dapat dijadikan untuk membatasi

kerugian akibat penggunaan klausula baku. Pembatasan atau larangan

pencatuman klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan

untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki

kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.

F. Klausula eksonerasi

Adapun klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu

perjanjian, di mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi

kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena

ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.13

Perjanjian baku dengan klausula baku eksonerasinya pada prinsipnya hanya

menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen, karena klausulanya

tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih

besar dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen hanya

menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja karena dorongan

kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha,

menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut.

Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada

akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-

                                                            13Mariam darus Badrulzaman, ‘’Aneka Hukum Bisnis’’, Alumni, Bandung, 1994) h. 47. 

Page 71: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

60  

kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang

masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Akibat kedudukan para

pihak yang tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam

keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkannya

dalam perjanjian. Maka pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat biasanya

menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu

dalam perjanjian baku. Sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para

pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian tersebut, tidak ditemukan lagi

dalambentuk perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian telah dirancang

oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat yang mengakibatkan sangat

merugikan pihak yang lemah, biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.14

Salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam Darus

Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian

itu, juga tidak dapat dibenarkan karena perjanjian baku pada umumnya dibuat

dengan tetap kemungkinan pihak yang lain (bukan pihak yang merancang

perjanjian baku) untuk menentukan unsur essensial dari suatu perjanjian,

sedangkan klausula yang pada umumnya tidak dapat ditawar adalah klausula

yang merupakan unsur aksidentalia dalam suatu perjanjian.

Berdasarkan alasan diatas, maka perjanjian baku yang mengandung klausula

eksonerasi cirinya, yaitu:

a. Pada umunya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat.

b. Pihak yang lemah pada umunya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang

merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian.

                                                            14 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” cet 2, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada tahun 2004, h. 114.

Page 72: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

61  

c. Terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian

tersebut.

d. Bentuknya tertulis.

e. Disiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual.

Oleh karena itu dengan perjanjian baku ini merupakan suatu bentuk perjanjian

yang secara teoritis masih mengundang perdebatan khususnya dalam kaitan

dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian, kebebasan

untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak

tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian yang dilakukan secara

langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula

perjanjian.15

Beberapa hal yang harus dapat diperhatikan dalam perjanjian baku, adalah

pencantuman klausula eksonerasi harus berupa, yaitu:

a. Menonjol dan Jelas

Pengecualian terhadap tanggungan gugat tidak dapat dibenarkan jika

penulisannya tidak menonjol dan tidak jelas. Dengan demikian, maka

penulisan pengecualian tanggung gugat yang tertulis dibelakang suatu

surat perjanjian atau yang ditulis dengan cetakkan kecil, kemungkinan

tidak efektif karena penulisan klausula tersebut tidak menonjol.

Agar suatu penulisan klausula dapat digolongkan menonjol, maka

penulisannya dilakukan sehingga orang yang berkepentingan akan

memperhatikannya, misalnya dicetak dalam huruf besar atau dicetak

                                                            15Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (BandungMandar Maju: 1994), h. 61.

Page 73: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

62  

dengan tulisan dan tentu saja hal ini memuat dalam bagian penting dari

klausula tersebut.

b. Disampaikan Tepat waktu

Pengecualian tanggung gugat hanya efektif jika disampaikan tepat waktu.

Dengan demikian, setiap pengecualian tanggung gugat harus disampaikan

pada saat penutupan perjanjian, sehingga merupakan bagian dari klausla,

Jadi bukan disampaikan setelah perjanjian.

c. Pemenuhan Tujuan-tujuan Penting

Pembatasan tanggung gugat tidak dapat dilakukan jika pembatasan

tersebut tidak akan memenuhi tujuan penting dari suatu jaminan, misalnya

tanggung gugat terhadap cacat yang tersembunyi tersebut tidak ditemukan

dalam periode tersebut.

d. Adil

Jika keadilan menemukan kontrak atau klausula kontrak yang tidak adil,

maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakannya, atau

melaksanakannya tanpa klausula yang tidak adil.

Walaupun demikian, harus pula diakuai bahwa perjanjian baku/perjanjian

yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia

perdagangan yang semakin maju, terutama karena dengan penggunaan

perjanjian baku tersebut berarti para pihak dapat mempersingkat waktu

bernegosiasi.16

                                                            16 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” cet 2, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada tahun 2004), h. 119

Page 74: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

63

BAB IV

PERBANDINGAN PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB DALAM HUKUM ISLAM

DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pandangan Hukum Islam dalam Hiwalah/pengalihan tanggung jawab yang

terdapat pada Klausula Baku

Setiap transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan konsumen harus

diwujudkan dalam bentuk tertulis, yaitu dikenal dengan akad. Akad merupakan suatu

perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak

kepad pihak yang lain, dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut. Secara khusus

akad, yaitu suatu perekatan yang didalamnya terdiri dari ijab dan kabul dengan cara

yang dibenarkan syariah kemudian menimbulkan adanya akibat hukum pada

objeknya. Ijab adalah suatu pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang

diinginkan, sedangkan kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.

Maka akad atau perjanjian dalam syariat agama Islam adalah sah apabila memenuhi

rukun dan syarat-syarat. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam kontrak. Sedang

syarat adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun tersebut.

Maka penulis melihat proses akad yang dibuat antara pihak yang bersangkutan

harus dituangkan dalam bentuk perjanjian yang sudah ditetapkan terlebih dahulu,

Kontrak baku pada praktiknya tidak hanya dilakukan dalam transaksi jual beli saja

tetapi melainkan adanya transaksi jasa jual beli maupun dalam halnya pengalihan hak

utang piutang. Maka dengan seperti itu harus dilakukan dalam transaksi yang

berlandaskan pada prinsip syariah dan ketentuan dalam peraturan Undang-Undang

yang terkait dengan pembahasan transaksi jual beli maupun pengalihan hak utang

piutang.

Page 75: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

64

Hal ini menunjukkan bahwa keberlakuan kontrak baku memang sudah

menjadi suatu yang tidak asing lagi sehingga dapat diterima keberadaannya oleh

masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penggunaan kontrak baku

yang dilakukan oleh para pelaku usaha terutama pihak yang memiliki posisi atau

kedudukannya yang lebih tinggi dari konsumen yang sehingga pelaku usaha dengan

mudah melakukan transaksi ternyata juga dipakai untuk memperoleh keuntungan

yang harus diperoleh untuk kepentingan pelaku usaha saja tanpa memikirkan dampak

yang telah dilakukan pelaku usaha. Maka dengan cara itu pelaku usaha dapat

mencantumkan klausula baku yang ditetapkan terlebih dahulu yang isi dari perjanjian

tersebut telah memberatkan salah satu pihak yaitu pihak konsumen.

Dalam Islam persoalan transaksi harus diperhatikan dengan betul-betul dalam

penerapannya, yang kemudian dapat membuktikan bahwa keberadaan transaksi tidak

boleh dikesampingkan dengan begitu saja dalam setiap bidang kehidupan manusia,

karena begitu pentingnya transaksi suatu perjanjian. Pelaksanaan transaksi jual beli

maka ada pula transaksi pengalihan hak dan kewajiban. Dengan demikian secara

sekilas hampir serupa dengan transaksi pengalihan hutang (hiwalah) yaitu dalam hal

subjek, objek, serta pernyataan kesepakatan dalam transaksi.

Untuk menjamin perlindungan konsumen maka penulis menyatakan bahwa

pandangan yang terdapat pada hukum Islam tidak hanya harus sesuai dengan

perlindungan konsumen tersebut. Melainkan harus adanya diperhatikan bahwa proses

dalam transaksinya, Islam menempatkan perlindungan hukum yang seimbang bagi

para pihak. Bukan hanya kepada konsumen sebagai penikmat atau penerima isi baku

yang sudah ditetepkan terlebih dahulu dari pihak pelaku usaha yang dikeluarkan oleh

perusahaan. Akan tetapi perlunya proses administrasi yang cepat, dengan tidak

memaksa pihak penggunaan kontrak baku.

Page 76: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

65

Setiap kesepakatan dalam suatu transaksi mempunyai asas-asas untuk

mendasari kesepatan tersebut sehingga tidak menimbulkan suatu kerugian antara satu

sama lain, asas tersebut seperti:

1. Asas Ilahiyah

Dalam kegiatan muamalah, tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai ketuhanan

(ketauhidan). Sehingga manusia memiliki tanggung jawab akan hal ini. kemudian

tanggung jawab tersebut dapat berpengaruh pada masyarakat, dan dalam hal tanggung

jawab pelaku usaha dengan konsumen pada kegiatan muamalah, dan yang terakhir

tanggung jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Allah SWT karena

dengan melakukan tersebut manusia dapat dinilai hubungan kepada manusia dengan

Allah SWT mencerminkan pada syariat agama Islam. Akibatnya, manusia tidak akan

berbuat sehendak hatinya, karena segala perbuatannya akan mendapatkan balasan dari

Allah SWT.

2. Asas Kebebasan

Asas ini merupakan prinsip dasar dalam bermuamalah yang terdapat pada

transaksi. Pihak-pihak yang melakukan transaksi tersebut mempunyai kebebasan

untuk membuat perjanjian baik dari segi objek perjanjian maupun menentukan

persyaratan-persyaratan lain, akan tetepi dengan asas kebebasan tersebut maka pelaku

usaha dilarang melakukan tindakan yang sifatnya merugikan pihak konsumen. Dan

juga pelaku usaha harus menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi sengketa.

3. Asas Persamaan dan Kesetaraan

Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Dengan demikian antara sesama manusia

masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam muamalahnya. Sehingga

setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan.

Page 77: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

66

Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kesetaraan ini.

Dengan kesetaraan tersebut maka akan menimbulkan jenjang sosial yang baik dari

pihak pelaku usaha maupun pihak konsumen.

4. Asas Keadilan

Kedailan adalah salah satu sifat Allah SWT yang sering kali disebutkandalam

Al-Qur’an. Bersikap adil sering kali Allah SWT ditekankan kepada manusia dalam

melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih dekat kepada takwa.

Dengan keadilan maka hak dan kewajiban dari pelaku usaha dan konsumen harus

terpenuhi tanpa adanya diskriminasi dari berbagai pihak yang bersanagkutan.

5. Asas Kerelaan

bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau

kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan dan

kecurangan sehingga akan berdapak pada berbagai pihak yang merasakan pada

kerugian dari tidak terjadinya tindakan kerelaan tersebut.

6. Asas Kejujuran dan Kebenaran

Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala

bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalah. Jika kejujuran ini tidak

diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan itu sendiri.

7. Asas Tertulis

Bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan

dilakukan secara tertulis, dengan adanya asas tersebut maka pelaku usaha dan

konsumen mendapatkan fasilatas, keamanan dan kepastian dalam transaksi yang baik

dengan adanya asas tertulis tersebut. Yang kemudian dihadiri oleh saksi-saksi dan

Page 78: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

67

diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan dan yang menjadi

saksi.

Dari asas tersebut, ada asas yang harus dikhususkan yang mendasari setiap

perbuatan manusia, termasuk dalam perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiyah atau asas

tauhid yang bertujuan untuk mendapat keridhoan keberkahan dari Allah SWT yang

terdapat dalam syariat Islam dalam siap tindakan dari pelaku usaha dengan konsumen.

Berdasarkan asas dalam akad tersebut menurut penulis setiap bentuk apa pun

tentang suatu transaksi dalam bidang muamalat harus terdapat tujuh asas dalam

berakad tersebut sehingga hubungan antara manusia dengan Allah SWT dalam

bermuamalat mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dan hubungan antara manusia

dengan manusia tidak ada kerugian dari salah satu pihak yang berakad.

Menurut penulis hiwalah merupakan pengalihan tanggung jawab dari

seseorang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Peranan tersebut adalah

terjadinya suatu perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain.

Maka harus adanya pihak ke tiga yaitu penanggung dari pihak muhil ke pihak muhal.

Dalam istilah hiwalah adalah dari muhil kepada pemindahan beban hutang (orang

yang muhal‘alaih berhutang) menjadi suatu tanggungan (orang yang berkewajiban

membayar hutang).

Ketentuan yang dilakukan kepada suatu hiwalah yang pada praktek muamalah

diperbolehkan selama praktek hiwalah tersebut tidak dapat merugikan dari berbagai

pihak yang bersangkutan dalam penerimaan isi perjanjian atau kesepakatan pada suatu

yang telah disepakatkan, sehingga dari praktek muamalah tersebut tidak bertentangan

dengan syariat agama Islam dan tidak menimbulkan kerugian dari berbagai pihak

yang bersangkutan tersebut. Dengan demikian praktek hiwalah tersebut dapat

Page 79: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

68

bertujuan untuk saling melindungi antara pelaku usaha dengan konsumen yang

menjalani kesepakatan dalam melaksanakan hiwalah tersebut.

Akan tetapi yang terdapat pada ketentuan dalam pencantuman perjanjian yang

sudah dibakukan pada klausula baku disini telah melanggar ketentuan Undang-

undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen Tahun 1999 Pasal 18 yang

menyatakan bahwa pelaku usaha telah melakukan pengalihan tanggung jawab dari

yang telah disepakati kepada konsumen yang tercantum pada isi klausula baku

sehingga peranan konsumen disini mendapatkan kerugian yang dideritanya karena

pelaku usaha yang tidak mau mempertaggungjawabkan atas tindakan pengalihan

tanggung jawab yang telah dilakukan oleh pelaku usaha.

Maka dengan demikian pelaku usaha tersebut telah melakukan pelanggaran

hukum yang terdapat pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

sehingga ketentuan yang dimaksud disini pelaku usaha dapat dihukum dengan

ketentuan yang berlaku. Dengan adanya praktek hiwalah yang tercantum didalam

klausula baku tersebut seharusnya dapat mewujudkan muamalah yang baik, saling

melindungi dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dari pelaku

usaha terhadap konsumen sehingga konsumen tersebut dapat merasakan kepastian

hukum dan keamanan dari pertanggungjawaban yang telah dilakukan pada pelaku

usaha tersebut.

Dalam proses pembuatan materi perjanjian yang terdapat pada praktek

hiwalah disini dengan cara kesepakatan dari berbagai pihak yang ingin melakukan

praktek hiwalah dalam kegiatan muamalah yang bertujuan dari pihak konsumen dan

pelaku usaha merasakan kepercayaan, kenyaman dan keamanan yang kemudian telah

diakhiri dari pihak yang bersangkutan menandatangani isi perjanjian tersebut. Maka

dari tanda tangan pihak konsumen harus menanggung berjalannya praktek hiawalah

Page 80: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

69

tersebut yang telah disepakati oleh pihak konsumen dan pelaku usaha sebagai pemilik

usaha tersebut.

Dengan adanya kesepakatan tersebut maka harapan dari pihak konsumen

maupun pelaku usaha tidak melakukan wanprestasi atau mengingkari janji yang sudah

disepakati sehingga mengakibatkan kerugian yang dari berbagai pihak. Karena jika

seseorang melakukan kegiatan wanprestasi maka seseorang tersebut dapat dihukum

yang ketentuannya terdapat dalam Undang-Undang Perdata. Dengan adanya hukuman

tersebut maka seseorang akan merasa terlindungi dari perbuatan yang tidak mau

mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukan dari seseorang dan

mendapatkan kepastian hukum dari negara.

Akan tetapi dalam praktek pencantuman klausula baku dalam hal pembuatan

isi perjanjian tersebut hanya yang dilibatkan adalah pelaku usaha karena pelaku usaha

tersebut sebagai pemilik usaha yang kedudukannya lebih tinggi dari konsumen

sehingga isi perjanjian yang terdapat di klausula baku tersebut memberatkan atau

sifatnya tidak seimbang dari kedudukan konsumen yang sebagai penerima atau pun

beli yang diperoleh dari pelaku usaha. Maka peranan konsumen hanyanya bisa

menerima hasil dari isi klausula yang dibakukan dan konsumen tidak dilibatkan dalam

proses pembuatan isi perjanjian tersebut. Dan kemudian konsumen tidak mengkaji isi

perjanjian atau pun mengubah dan menolak isi perjanjian tersebut.

Dengan penjelasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa konsumen hanya

terpaku dengan kebutuhan yang difasilitasi pada pelaku usaha yang pada hakikatnya

isi dari perjanjian tersebut dalam kedudukannya menguntungkan bagi pihak pelaku

usaha. Dalam mengkaji tentang isi didalam perjanjian pengalihan tanggung jawab

yang terdapat pada hiwalah dengan ketentuan pecantuman kalusula baku tersebut

Page 81: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

70

yang merupakan subjek dari muamalah yang dilakukannya adalah seseorang yang

menerima dalam isi perjanjian pengalihan tanggung jawab dalam hal ketentuan

hiwalah yang dilakukan pada muamalah jual beli, akan tetepi ketentuan pengalihan

tanggung jawab yang terdapat pada isi perjanjian hiwalah disini merupakan objeknya

sepeti dalam bentuk pengalihan hutang piutang antara pelaku usaha dengan konsumen

jika konsumen mengalami ketidak-sanggupan membayar atau ada pihak lain yang

mampu menanggung pembayaran untuk pelaku usaha yang telah dijaminkan pada

pihak yang lain.

Maka dari objek tersebut telah memberikan keringanan bagi pihak yang

menginginkan suatu yang dijanjikan dari pihak pelaku usaha yang kemudian pelaku

uasaha dapat menerima keadaan pihak konsumen yang tidak sanggup dalam

pembayaran pada akal jual beli pada suatu barang yang dinginkan pada konsumen

tersebebut. Akan tetapi pada penerapan dalam pencantuman klausula baku yang sudah

ditetepkan terlebih dahulu yang sifatnya terkait objek dari pengalihan tersebut ialah

pengalihan kerugian dari pelaku usaha kepada konsumen, yang seharusnya dilakukan

pelaku usaha dapat menerima kerugian jika prosesnya sedang menjalani isi perjanjian

tersebut sehingga yang tidak seharusnya kerugian yang dimaksudkan dapat dialihkan

pada konsumen yang hanya kedudukannya lebih rendah dari pelaku usaha karena

pada hakikatnya kedudukan antara pelaku usaha harus seimbang yang tidak dapat

merubah kedudukan itu karena hanya dengan adanya kerugian.

Maka dengan demikian adanya kerugian tersebut dari pihak pelaku usaha

harus mempertanggung-jawabkan yang dialami dari pihak konsumen dan harus

bersama-sama menghadapi kerugian tersebut malah bukan mengalihkan kerugian itu

pada pihak konsumen.

Page 82: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

71

Menurut penulis dalam peranan yang telah dilakukan pada muamalah hiwalah

tersebut adanya pihak kesatu sebagai pelaku usaha, pihak kedua yaitu sebagai

konsumen yang mengambil isi perjanjian hiwalah dan yang ketiga yaitu pihak yang

menanggung dari pihak konsumen yang telah mengambil isi perjanjian yang tidak

mampu untuk membayar hutang kepada pelaku usaha sehingga dari pihak yang kedua

dapat dialihkan kepada pihak yang ketiga dengan ketentuan syarat dan barang jual

beli dari pihak pertama dan kedua harus bernilai sesuai dengan ada ketentuan yang

telah disepakati oleh pihak yang bersangkutan.

Akan tetapi peranan yang dalam praktek ketentuan pada klausula baku pada

umumnya hanya saja dari pihak pertama sebagai pelaku usaha dan pihak yang kedua

sebagai konsumen yang hanya menerima perjanjian yang dibaku dari pihak pelaku

usaha sehingga peranan tersebut tidak ada pihak yang ketiga sebagai penanggung dari

pihak kedua seperti praktek hiwalah dalam pengalihan yang terdapat pihak yang

menanggungnya. Dengan peranan tersebut pihak kedua jika mendapatkan kerugian

selama isi perjanjian baku tersebut sedang berjalan maka pihak konsumen harus

menanggung dengan sendirinya karena pada terdapat diperjanjian tersebut ada

pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha dengan pihak konsumen.

Dengan keterangan tersebut penulis dapat menyimpulkan dengan memandang

antara hiwalah dan pengalihan tanggung jawab yang terdapat dalam klausula baku

sebagai berikut:

No Pengalihan tanggung jawab dalam

Hiwalah

Pengalihan tanggung jawab dalam

klausul

1 Obyek pengalihannya berbentuk hutang

piutang.

Obyek pengalihannya berbentuk

kerugian.

Page 83: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

72

2 Ada pihak ketiga sebagai penanggung

dari pihak ke dua yang tidak mampu

membayar.

Tidak ada pihak ketiga sehingga

pihak kedua yang menanggung

kerugian yang dialihkan dari pihak

yang pertama.

3 Adanya unsur kesepakatan antara pihak

satu ke pihak yang lainnya

Tidak ada unsur kesepakatan antara

pihak satu ke pihak yang lain

sehingga menimbulkan unsur Gharar

dan zhalim

4 Semua pihak terlibat dalam pembuatan

perjanjian yang di sepakatinya.

Pihak lain tidak dilibatkan dalam

pembuatan perjanjian.

5 Ketentuan hukum dalam hiwalah

diperbolehkan asal tidak menimbulkan

riba atau keuntungan yang lebih.

Melanggar ketentuan hukum yang

sudah di tetapkan dalam Pasal 18

UUPK Tahun 1999

Dari penjelasan dalam perbandingan maupun persamaan antara hiwalah

dengan klausula baku tersebut suatu perjanjian yang dibakukan terlebih dahulu

dengan pelaku usaha yang lakukan secara sepihak sehingga penetapan klausula baku

dalam pandangan agama Islam harus berdasarkan prinsip-prinsip dalam Syariah yang

menentukan pembuatan perjanjian baku

Menurut penulis dalam pandangan hukum islam kontrak baku sebagai suatu

perjanjian yang mengikat para pihak yang dianggap sah selama tidak bertentangan

dengan ketentuan syariah yang lainnya. Selain karena ini sudah menjadi menjadi

kebiasaan, hal ini juga agar mewujudkan kenyamanan dan keamanan dalam

melakukan transaksi. Islam tidak melarang kebiasaan selama kebiasaan itu tidak

melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.

Page 84: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

73

Maka penulis memandang perjanjian baku dalam prakteknya dibolehkan yang

kemudian harus memperhatikan beberapa suatu prinsip-prinsip yang berlaku terkait

pembahasan tentang pencantuman klausula baku dalam hal pengalihan tanggung

jawab sebagai berikut:

a. Prinsip kesetaran, kewajiban dan hak. Prinsip ini berkaitan erat dengan

keadilan dalam transaksi yang merupakan keadilan dalam keadaan seimbang,

keadilan berarti persamaan yang menghilangkan diskriminasi dan keadilan

berarti memberi hak kepada siapa yang berhak.

b. Prinsip tanggung jawab, prinsip tanggung jawab disini bukan hanya

bertanggung jawab terhadap bersama akan tetapi harus bertanggung jawab

terhadap ekonomi Islam lebih luas yaitu pelaku usaha harus bertanggung

jawab terhadap Allah SWT yang telah memberikan amanah kepada manusia.

Setiap transaksi yang kita lakukan tidak boleh bertentangan dengan aturan

yang telah ditetapkan Allah. Prinsip ini lahir dari adanya nilai ketauhidan yang

tertanam dari individu manusia.

c. Prinsip iktikad baik, perbuatan baik yang dilakukan dari pelaku usaha maupun

konsumen harus menimbulkan hungungan yang erat antara penjual dan

pembeli sehingga terciptanya suatu nilai ekonomi yang baik dengan ketentuan

berlaku pada syariat agama Islam maupun ketentuan peraturan Perundang-

undangan.

d. Prinsip sesuai dengan syariah, Gharar adalah suatu transaksi yang mana

mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan;

Maysir adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan,

atau spekulatif yang tinggi, Riba adalah transaksi dengan pengambilan

tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara

Page 85: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

74

batil atau bertentangan dengan ajaran Islam, Zalim adalah tindakan atau

perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak lain, Risywah

adalah suatu tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau lainnya yang

melanggar hukum; Barang haram dan maksiat adalah barang atau fasilitas

yang dilarang dimanfaatkan ataupun digunakan yang berdasarkan pada hukum

Islam.

e. Prinsip adanya memilih. Prinsip ini tidak hanya sebagai alasan kebebasan

berkontrak, tapi juga lebih luas dari itu. Prinsip ini mengandung arti bahwa

perjanjian baku tersebut harus diserahkan terlebih dahulu kepada pihak

konsumen yang menerima kontrak baku tersebut.

Menurut penulis dalam ketentuan dasar hukum Islam memandang, bahwa

suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai tindak pidana bila memangmemenuhi

unsur-unsur yang telah melekat pada istilah tindak pidana itu sendiri. Dalam

hukum pidana Islam, unsur-unsur pidana terbagi menjadi dua, yakni unsur umum

dan unsur khusus. Unsur-unsur umum pada pidana adalah sebagai berikut:

1. Adanya Peraturan Perundang-undangan yang melarang suatu perbuatan-

perbuatan tertentu yang menimbulkan ancaman hukuman atas perbuatan-

perbuatan tersebut. Dengan demikian terpenuhilah unsur yang pertama ini,

bahwa pencantuman klausula baku pada klausul yang merupakanperbuatan

dilarang dan diancam pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat

(1) jo. Pasal 62 ayat (1) UUPK.

2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa melakukan

perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.

Dengan demikian, juga sudah terpenuhilah unsur yang kedua ini, bahwa

Page 86: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

75

suatu pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang dilarang dengan tetap

mencantumkan pengalihan tanggung jawab pada klausula baku.

3. Pelaku kejahatan adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas

kejahatan yang mereka lakukan. Dengan demikian pula sudah terpenuhilah

unsur yang ketiga ini, bahwa pelaku usaha (korporasi) dapat dituntut atas

perbuatan yang dinilai telah melanggar ketentuan-ketentuan pidana, dalam

hal ini adalah ketentuan Pasal 62 ayat (1) UUPK.

Penjesan tersebut maka dengan demikian penulis melihat adanya unsur-unsur

khusus tindak pidana dalam pencantuman klausula baku pada suatu klausul adalah

sebagai berikut:

a. Adanya pelaku usaha.

b. Menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan untuk diperdagangkan.

c. Membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen

dan/atau perjanjian.

d. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Dengan kedua unsur tersebut, maka ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan

dan merupakan satu mata rantai yang tidak akan pernah terputus antara pelanggaran

dengan hukuman. Perintah dan larangan saja tidak akan berarti sama sekali dan tidak

cukup mendorong pada seseorang untuk meninggalkan suatu perbuatan atau

melaksanakannya, untuk itu diperlukan sanksi berupa suatu hukumanbagi siapa saja

yang melanggarnya. Dengan demikian, hukuman adalah suatu penderitaan atau

nestapa, atau akibat-akibat lainyang tidak menyenangkan yang diberikan dengan

sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menuruthukum

yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana.

Page 87: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

76

Menurut hukum pidana Islam, jika hukuman itu diakui keberadaannya, maka

konsekuensinya adalah penerapan ataupelaksanaannya harus memenuhi tiga syarat.

Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Hukum dianggap mempunyai dasar kepada sumber-sumber syara’, seperti Al

Qur’an, Al Hadist, ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang

berwenang (ulil amri). Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pencantuman klausula

baku ditetapkan oleh ulil amri.

b. Hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau perseorangan. Ini mengandung arti

bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana

dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Dalam hal ini, sanksi tindak

pidana pencantuman klausula baku yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam

pengalihan tanggung jawab.

c. Hukuman harus berlaku umum, yakni hukuman harus berlaku untuk semua orang

tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan, status, dan kedudukannya.

Hukum Islam pun memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk

membuat berbagai bentuk dan jenis akad dan klausul sesuai yang dikehendaki kedua

pihak selama tidak bertentangan dengan ketentuan agama yang salah satu asasnya

adalah merealisir kemaslahatan. Dan dalam Pasal 18 UUPK sendiri terdapat unsur

maslahah yang lebih besar dibandingkan mafsadatnya, sehingga dengan adanya

peraturan tersebut akan lebih meningkatkan hubungan yang komunikatif dan akan

lahir transparansi antara konsumen dan pelaku usaha.

Di Indonesia, dalam prakteknya, penulis menyatakan bahwa klausula baku

merupakan suatu perjanjian yang prosedur dalam pembuatannya bersifat sepihak. Hal

ini berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK yang mendefinisikan bahwa klausula baku

Page 88: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

77

adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam

suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh

konsumen”.

Di dalam dunia perbankan banyak beberapa istilah yang dapat dikenal dalam

perjanjian yang sudah ditetapkan terlebih dahulu secara baku, seperti kontrak baku,

perjanjian baku dan lain sebagainya, akan tetapi pada hakikatnya arti dari berbagai

istilah tersebut mempunyai kesamaan makna sehingga penulis lebih memilih istilah

seperti klausula baku karena didalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen terdapat pembahasan yang mengenai pengertian klausula

baku.

Dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen membuat sejumlah larangan penggunaan klausula baku dalam standar

berkontrak, yaitu sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang

yang dibeli konsumen

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang

yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak

yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran

Page 89: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

78

Tindak pencantuman klausula baku yang merupakan salah satu wujud

ketidakseimbangan dalam hal kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha

berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha

untuk memperoleh keuntungan dengan cara melawan hukum.

Dengan tindak melawan hukum tersebut. Maka dapat diancam hukuman,

dalam pandangan hukum islam hukuman dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu

hukuman hudud, qishas-diyat dan ta’zir. Dalam hal ini, sanksi tindak pidana

pencantuman klausula baku pada suatu karcis barang termasuk dalam hukuman yang

ditetapkan untuk hukuman ta’zir. Di mana memang tindak pidana yang dimaksud

belum diatur dalam nas, sehingga jadi kewenangan ulil amri untuk menghukuminya.

B. Pertanggungjawaban dari pelaku usaha jika konsumen mengalami kerugian

Peran bagi pelaku usaha dalam prakteknya secara umum telah menolak suatu

pertanggungjawaban dari konsumen. Sehingga konsumen menerima penolakan

tersebut dalam bentuk perjanjian klausula baku. Klausula baku biasanya dibuat oleh

pihak yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh

pelaku usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula

baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. banyak contoh

perjanjian yang bisa kita lihat penggunaan kontrak baku seperti karcis parkir, tiket

pesawat, kredit bank, jual beli, asuransi dan lain-lain.

Maka perlu diketahui seharusnya bahwa suatu penitipan barang adalah suatu

perjanjian yang nyata kemudian mempunyai arti bahwa suatu perjanjian tersebut baru

terjadi apabila dilakukannya dengan suatu perbuatan yang nyata, yaitu berupa

penyerahan barang yang dititipkannya. Adapun cara yang untuk biasanya ditempuh

menjamin keamanan di penitipan suatu barang yaitu dengan cara :

Page 90: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

79

1. Petugas juga menyediakan tempat penitipan yang lengkap dengan keamanan,

yaitu penitipan yang muatannya berat atau dikhususkan barang yang harganya

mahal dan sifat penitipan tersebut tidak memaksa tergantung pada pemiliknya.

2. Pada waktu pemilik barang yang ingin mengambilnya dari suatu tempat penitipan,

maka ada petugas yang meminta bukti suatu karcis teransaksi yang dibawanya,

sambil mencocokkan nomor yang ditulis petugas pada waktu transaksi penitipan

yang dipakainya.

Dalam hal penitipan suatu barang, misalnya tidak ditetapkan kapan pemilik

penitipan barang sampai kapan harus menjaga barang yang dititipkan oleh pemiliknya

yang dititipkan, atau kapan pemilik penitipan barang harus membayar ganti kerugian

atas wanprestasi yang merupakan bentuk kealpaan atau kelalaian yang terjadi. Dalam

penitipan suatu barang, sering juga tidak ditentukan kapan ganti kerugian itu harus

dipenuhi oleh pemilik penitipan barang. Yang paling mudah untuk menetapkan

seseorang yang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang bertujuan untuk

tidak melakukan suatu perbuatan.

Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian. Ia melakukan

wanprestasi. Begitu pula kalau pemilik barang menitipkan suatu barangnya di tempat

penitipan yang disediakan supaya barangnya aman atau tidak hilang, maka teranglah

permilik penitipan barang itu lalai, bila pada saat pemilik barang mau mengambil

barang yang ditempatkan pada penitipan ternyata tidak ada atau hilang, terjadinya

kehilangan ataupun kerusakan pada perlengkapan barang tersebut akibat dari kelalaian

dari pemilik tempat penitipan barang itu sendiri.

Jadi ia harus mau menanggung segala sesuatu yang terjadi pada penitipan

barang yang ia kelolanya, maka pelaku usaha harus mengganti rugi atas kehilangan

atau kerusakan pada barang yangtelah dititipkannya, tindakan tersebut merupakan

Page 91: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

80

suatu bentuk dari pertanggung jawaban dari pelaku usaha untuk konsumen walau pun

pelaku usaha sudah membuat klausul yang telah dibakukan.

Dengan demikian pelaku usaha yang membuat klausul yang isinya adalah

“pengalihan tanggung jawab” maka pelaku usaha sudah melakukan tindak pidana

karena melanggar Pasal 18 UUPK yang harus dipidanakan.

Ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK mengatur sedemikian rupa, bahwa

perbuatan produsen atau pelaku usaha yang tetap mencantukan klausula baku dalam

bentuk pengalihan tanggung jawab dapat dipidana. Dalam hal pengalihan tanggung

jawab yang tercantum dalam klausula baku telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18

ayat (1) huruf a, yaitu “pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

ditunjukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula

baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan

tanggung jawab pelaku usaha.” Pencantuman klausula baku sebagaimana ketentuan

diatas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini sebagaimana ketentuan

dalam Pasal 62 ayat (1):

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal

9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,

huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Sebagaimana ketentuan pada Pasal 62 ayat (1) UUPK, bahwa pelaku tindak pidana

diancam penjara paling lama 5 (lima) tahun. Maka dalam tinjauan hukum Islam,

pemenjaraan adalah menghalangi atau melarang seseorang untuk mengatur dirinya

sendiri. Oleh karena itu, sanksi penjara harus bisa menjadi sanksi yang dapat

mencegah. Kiranya itulah yang dimaksud oleh pembuatan Undang-Undang di

Indonesia akan bermafaat dari hukuman penjara tersebut.Adanya pilihan terhadap

Page 92: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

81

sanksi sebagaimana Pasal 62 ayat (1) UUPK, yakni pidana penjara palinglama 5(lima)

tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

diserahkan sepenuhnyakepada hakim untuk memutuskannya.

Berdasarkan perkara mengenai kehilangan mobil di area parkir dengan

Putusan No. 551/Pdt.G/2000/PN. Jakarta Pusat antara PT Securindo Packatama

melawan Anny R. Gultom Cs. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusan No

1156/Pdt/2002/PT.DKI dan oleh Mahkamah Agung dengan putusan Kasasi No.

1264/K/PDT/2005 tanggal 14 Juli 2005 dan Putusan Peninjau Kembali No 124

PK/PDT/2007. Dengan putusan tersebut untuk memperkuat pendapat penulis bahwa

pencantuman klausula dalam pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku

usaha kepada konsumen yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 pada Undang

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan suatu

tindak pidana.

Menurut penulis dalam tinjauan hukum pidana Islam, otoritas tersebut juga

berada ditangan hakim. Karena tindak pidana tersebut merupakan kategori hukuman

ta’zir, maka diserahkan kepada ulil amri sesuai dengan bidangnya, yakni badan

yudikatif (hakim) yang bertugas sebagai penegak hukum.

Dalam menjatuhkan hukuman, ulil amri akan mempertimbangkan satu hal yang amat

penting, yaitu kemaslahatan. maslahat di sini menjadi kerangka acuan, yangwujud

nyatanya berupa potensi menolak keburukan atau kerusakan dan menghadirkan

kebaikan atau kemanfataan.

Tujuan umum dari adanya suatu hukum untuk memelihara dan mewujudkan

kemaslahatan bagi kebutuhan-kebutuhan manusia, yakni kebutuhan akan agama, jiwa,

Page 93: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

82

akal, kehormatan, dan harta benda dapat terealisasikan dan mendapatkan jaminan. Di

samping itu, maka upaya untuk menolak segala bentuk keburukan dan menghadirkan

kemanfaatan semakin besar adanya denganterwujudkannya suatu hukum yang

mengandung asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.

Page 94: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

83

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mencari sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah

dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi

pembahasan, kemudian dilakukan analisis terhadap bahan kepustakaan tersebut.

Maka, dapat diperolehlah suatu jawaban atas pertanyaan mengenai permasalahan

yang diangkat, yakni terkait tinjauan Hukum Islam terhadap pengalihan tanggung

jawab pelaku usaha kepada konsumen yang terdapat dalam klausula baku. Adapun

kesimpulan dari penyusunan skripsi ini adalah:

1. Adanya peraturan klausula baku dalam pasal 18 No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen memberikan kontribusi positif bagi penegakan hukum di

Indonesia terutama perlindungan hukum bagi konsumen. lahir ketentuan tersebut

maka harus dipahami dan diawasi dalam pembuatan klausul sebagai bentuk

pemberdayaan, tidak hanya bagi konsumen namun juga bagi pelaku usaha agar

kemudian timbul sikap saling menghormati dan menghargai akan hak dan kewajiban

diantara keduanya. Dengan demikian ketentuan klausula baku dalam Pasal 18 UUPK

mengandung asas manfaat baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.

2. Hukum Islam memberikan kebebasan kepada setiap manusia unruk membuat

berbagai bentuk dan jenis akad dan klausul sesuai yang dikehendaki kedua pihak

selama tidak bertentangan dengan ketentuan agama yang salah satu asasnya adalah

merealisir kemaslahatan. Dan dalam Pasal 18 UUPK sendiri terdapat unsur maslahah

yang lebih besar dibandingkan mafsadatnya, sehingga dengan adanya peraturan

Page 95: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

84

tersebut akan lebih meningkatkan hubungan yang komunikatif dan akan lahir

transparansi antara konsumen dan pelaku usaha.

B. Saran-saran

1. Pada pelaku usaha agar dalam menjalankan usahanya terutama dalam pencantuman

klausula baku yang dibuat dan ditetapkan senantiasa dilandasi pada kesadaran akan

hak-hak konsumen dan kesetaraan hukum antara pelaku usaha dan konsumen

mengingat hubungan keduanya yang saling bergantungan.

2. Pada konsumen agar senantiasa waspada pada klausula baku yang merugikan dirinya,

sehingga konsumen harus membangun kesadaran hukum akan hak-haknya serta tidak

takut untuk mengajukan klaim atas klausula baku yang merugikan bagi konsumen.

3. Pada pemerintah dan lembaga konsumen hendaknya lebih gencar mengkampanyekan

kesetaraan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, serta lebih berani menindak

pelaku usaha yang mengabaikan hak-hak konsumen.

Page 96: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

85

DAFTAR PUSTAKA

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media:

Jakarta tahun 2001).

AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi

Mei,Masyarakat Pemantau Peradilan Indonseia Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000).

A.Warson Al Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Yogayakarta: Ponpes Al

Munawir, 1984

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam persektif Hukum Islam (jakarta: kencana, Prenada

Media, 2004).

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Syariah, terjemahan Zainal Arifin dan

Dahlia Husin dari judul asli Darul Qiyam wa al akhlaq fi al iqtishad al-islami, (jakarta:

Gema Insani Press, 2001).

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengan Kehidupan Sosial Politik

di Indonesia (Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2005).

Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan (Bandung: alumni 1979).

Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, jilid 3, Beirut: Dar Al-Fikr, Cet.III, 1983

Sayyid Sabiq, alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah, Jilid 13,

(Bandung: PT. Alma’arif, 1997, cet-7).

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2004).

Al Imam Abi Abdillah Ibn Ibrahim al Bukhori, Shahih Bukhori, Jilid 3, Beirut : Daar

al Fikr, 1981.

Abdul halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH .

Unlam Press, tahun 2008).

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta,

2003).

Page 97: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHA DAP PE NGALIHAN LAKU …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41984/1/SYAHRUL... · 8 Pasal 18 UUPK) yang menjadi larangan bagi pelaku usaha

86

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta

2008).

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Dar Al-Fikr, Damaskus,

1986.

Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta : IIIT

Indonesia, 2003).

Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: PT Mandar Mayu, 2000).

Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT.

Pustaka Rizki, 2001

Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi Al Qur’an tentang Etika dan Bisnis,

(Jakarta: Salemba Dunia, Edisi I tahun 2002).

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001).

Ali Fikri, Al-Mu’amalat Al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz 2, Mathba’ah Musthafa Al-

Babiy Al-Halaby, Mesir, cet I, 1357 H.

M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penilitian dan Aplikasinya,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002).

P.Joko Subagyo, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV,

(Jakarta: Rineka Cipta, 1995).

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum

Perbankan Indonesia, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, cet-3, 2007.

Soejono Trima, Pengamatan Ilmu Dokumentasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1984).

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan.