tindakan penganiayaan terhadap pelaku kejahatan …journal.unisla.ac.id/pdf/15422016/jurnal...
TRANSCRIPT
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
1 | P a g e
TINDAKAN PENGANIAYAAN TERHADAP PELAKU KEJAHATAN
Oleh
Prasetyo Margono
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Tindakan main hakim sendiri adalah cara yang digunakan oleh sebagian
masyarakat dalam menghajar para pelaku kejahatan, terkadang tindak pidana
penganiayaan ini menyebabkan korban jiwa. Ada terdapat beberapa konsep
hukum yang dijelaskan dalam membedakan aksi penganiayaan, kekerasan dan
pembelaan. Hal ini merupakan tujuan untuk menganalisis penyebab main hakim
sendiri (Eigenrechting) dengan metode normatif dan KUHP sebagai pendekatan
masalah yang digunakan. Bahan hukum diambil dari pendapat dan teori literatur
hukum sebagai bahan sekunder, dengan menggunakan pengumpulan bahan
hukum untuk studi kajian hukum. Analisis bahan hukum dari penelitian pustaka
atau pendapat para ahli, serta di klasifikasi dalam penyusunan sistematis. Dalam
konsep pidana penganiayaan terdapat pasal dalam KUHP yang telah mengatur
dan menetapkan hukum pidananya. Pasal yang dijelaskan mulai dari pasal 351
sampai pasal 358 yang tercantum dalam bab-10 buku ke-2 tentang kejahatan.
Pasal 170 lebih membahas tentang kekerasan dan 406 tentang perusakan yang
dilakukan oleh suatu kelompok, kerumunan atau massa. Kejahatan itu bukanlah
suatu kejahatan apabila tidak ada hukum yang mengaturnya. Pembelaan, itulah
yang akan terjadi bila sebagian orang telah direbut haknya, dalam upaya
pembelaan (noodweer) memang mengandung usur perlawanan dan melanggar
hukum, namun dapat terbebas dari itu semua karena ada alasan dalam usaha
pembelaan itu, yang nantinya dibuktikan dalam proses persidangan. Hakim
mungkin masih dapat mempertimbangkan perbuatan pembelaan (noodweer) yang
melampaui batas (noodweer exces) hal ini diatur dalam pasal 49 KUHP. Kondisi
memaksa juga dapat membuat sesorang terlepas dari jerat hukum asalkan
unsurnya terpenuhi. Dalam kondisi memaksa (overmacht) seseorang mengalami
tekanan dari luar untuk melakukan tindak pidana yang sebenarnya tidak
diinginkannnya. Hal yang di luar kendalinya tentu tidak dapat dipidanakan, karena
alasan overmacht tersebut yang dijelaskan dalam pasal 48 KUHP. Tindakan
penganiayaan dalam KUHP diartikan tindakan yang dilakukan dengan sengaja
untuk melukai atau menyakiti anggota tubuh orang lain. Ada pepatah mengatakan
“mata dibalas mata, gigi dibalas gigi”. Lex Talionis adalah suatu asas bahwa
orang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama, atau
menurut interpretasi lain korban atau tersangka harus menerima ganti rugi yang
setimpal. Terakhir sebagaimana orang bijak berkata “sebaik-baiknya hukum yang
dibuat dan diberlakukan, namun jika penegak hukumnya korup, maka sama saja
dengan hancurnya hukum itu sendiri.
Kata Kunci : Penganiayaan, Pelaku kejahatan.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
2 | P a g e
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia memiliki
peraturan dasar yang disebut dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
Merupakan hal yang mustahil bila
berdirinya suatu negara tanpa dasar
hukum, dan setiap negara memiliki
hukum pidana. Memang tindakan
main hakim sendiri merupakan suatu
pelanggaran yang tidak diatur secara
langsung di KUHP, namun bukan
berarti mereka bisa lolos dari jerat
hukum. Salah satu pasal yang dapat
dikenakannya adalah :
Pasal 351 tentang penganiayaan.
Pasal 170 tentang kekerasan.
Pasal 406 tentang pengerusakan.
Maka sudah jelas sekali bahwa
tindakan main hakim sendiri tidak
bisa dibenarkan baik dari segi hukum
maupun agama. Oleh karena itu
disini Penulis sangat tertarik untuk
membahas masalah tersebut, seperti
apakah konsep hukumnya menurut
KUHP, dan bagaimana ketentuan
pasal 49 tentang pembelaan juga
pasal 48 tentang overmacht, yang
masih mengandung unsur
penganiayaan atau main hakim
sendiri. Walaupun sudah ada hukum
yang mengatur, tapi kejadian main
hakim sendiri kerap kali terulang.
Ada yang beranggapan bahwa
mereka sudah kesal terhadap ulah
para pelaku yang sangat meresahkan
warga.
Bila benar hukum yang berlaku
saat ini dirasa tidak adil dan masih
banyak kekurangan dan
kelemahannya, tapi itu bukan berati
dijadikan sebagai alasan agar dapat
berbuat serta merta dan bertindak
seenaknya, karena hidup ini adalah
sebuah proses termasuk hukum itu
sendiri. Pihak kepolisian sebagai
pihak penegak hukum juga patut
untuk menginstropeksi diri.
Sebagaimana orang bijak berkata
“sebaik-baiknya hukum yang dibuat
dan diberlakukan, namun jika
penegak hukumnya korup maka
sama saja, dengan hancurnya hukum
itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini
menggunakan penelitian secara
normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan mempelajari
tentang teori, dan konsep, serta
peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan
yang di teliti.
Pendekatan Masalah
Pendekatan masalahnya yaitu
melalui Undang-Undang, penelitian
ini melibatkan tindakan
pengumpulan sumber hukum dalam
KUHP dan beberapa referensi dari
buku serta internet, guna mencari
titik temu dalam pembahasan hukum
yang berkaitan dengan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
Dengan begitu peneliti dapat
mengembangkannya sesuai tujuan
peneliti.
Bahan Hukum
Bahan hukum sekunder biasanya
berupa pendapat hukum / doktrin /
teori-teori yang diperoleh dari
literatur hukum, hasil penelitian,
artikel ilmiah, maupun website yang
terkait dengan penelitian. bahan
hukum sekunder pada dasarnya
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
3 | P a g e
digunakan untuk memberikan
kejelasan akan materi pembasan.
Dengan adanya bahan hukum
sekunder maka peneliti akan terbantu
untuk memahami atau menganalisis
objek hukum.
Prosedur Pengumpulan Bahan
Hukum
Pengumpulan bahan-bahan
hukum diawali dengan kegiatan
inventarisasi, dengan pengoleksian
dan pengorganisasian bahan-bahan
hukum ke dalam suatu sistem
informasi, sehingga memudahkan
kembali penelusuran bahan-bahan
hukum tersebut. Bahan-bahan hukum
tersebut dikumpulkan dengan studi
dokumen kajian hukum, yakni
dengan melakukan pencatatan
terhadap sumber-sumber bahan
hukum sekunder, selanjutnya
dilakukan inventarisasi bahan-bahan
hukum yang relevan dengan cara
pencatatan atau pengutipan.
Pengelolahan dan Analisis Bahan
Hukum
Analisis bahan hukum adalah
pengolahan bahan hukum yang
diperoleh baik dari penelitian
pustaka maupun pendapat para ahli.
Terhadap bahan hukum primer yang
didapat dari kajian pustaka yang
terlebih dahulu diteliti
kelengkapannya dan kejelasannya
untuk diklasifikasi serta dilakukan
penyusunan secara sistematis dan
konsisten untuk memudahkan
melakukan analisis. Bahan hukum
primer ini pun terlebih dahulu di
koreksi untuk menyelesaikan bahan
yang paling revelan dengan rumusan
masalah yang ada. Bahan hukum
sekunder yang didapat dari
kepustakaan dipilih serta dihimpun
secara sistematis, sehingga dapat
dijadikan acuan dalam melakukan
analisis. Dari hasil bahan hukum
penelitian pustaka ini dilakukan
pembahasan secara deskriptif
analisis.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Konsep Hukum Pelaku
Penganiayaan Terhadap Pelaku
Kejahatan
Secara umum, tindak pidana
terhadap tubuh pada KUHP disebut
“penganiayaan”. Dibentuknya
pengaturan tentang kejahatan
terhadap tubuh manusia ini
dutujukan bagi perlindungan
kepentingan hukum atas tubuh dari
perbuatan-perbuatan berupa
penyerangan atas tubuh atau bagian
dari tubuh yang mengakibatkan rasa
sakit atau luka, bahkan karena luka
yang sedemikian rupa pada tubuh
dapat menimbulkan kematian. Untuk
menyebut orang itu telah melakukan
penganiayaan terhadap orang lain,
maka orang tersebut harus
mempunyai opzet atau suatu
kesengajaan. Jika perbuatan
menimbulkan luka atau rasa sakit itu
bukan merupakan suatu tujuan
melainkan merupakan cara untuk
mencapai suatu tujuan yang dapat
dibenarkan, maka dalam hal tersebut
orang tidak dapat berbicara tentang
penganiayaan, misalnya jika
perbuatan itu merupakan suatu
tindakan penghukum yang dilakukan
secara terbatas menurut kebutuhan
oleh para orang tua atau guru
terhadap seorang anak yang
dilakukan untuk mendidiknya.
Penggunaan pasal 170 tidaklah
sama dengan penggunaan pasal 351,
dikarenakan dalam pasal ini pelaku
berjumlah lebih dari satu, sedangkan
dalam pasal 351, pelaku hanya satu
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
4 | P a g e
orang, ataupun dapat lebih dari satu
orang dengan catatan dilakukan tidak
dalam waktu yang bersamaan.
Seseorang dapat saja terkena
perlakuan kekerasan dari dua orang
atau lebih tetapi para pelaku tidak
melakukannya bersama-sama atau
tidak sepakat dan sepaham untuk
melakukan kekerasan itu, maka hal
ini sudah memasuki ranah Pasal 351.
Kekerasan yang dilakukan sesuai
Pasal 170 sudah tentu dilakukan oleh
para pelaku dalam waktu yang
bersamaan ataupun dalam waktu
yang berdekatan
Massa, kerumunan atau
kelompok akan lebih cendrung
diancam dengan pasal 170 tentang
kekerasan, karena pasal 170 KUHP
mengatur tentang sanksi hukum bagi
para pelaku kekerasan terhadap
orang atau barang di muka umum.
Kekerasan tidak sama dengan
konflik, karena tidak semua konflik
akan menimbulkan tindak kekerasan.
Kekerasan merupakan gejala yang
muncul sebagai salah satu efek dari
adanya proses sosial yang biasanya
ditandai oleh perusakan dan
perkelahian. Maka dari itu akan
terdapat perbedaan ancaman
hukuman pada Pasal 170 lebih berat
daripada Pasal 351. Pada Pasal 170,
jika korban mengalami luka berat
maka si pelaku diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya
sembilan tahun, sedangkan pada
Pasal 351 dengan akibat yang sama,
yaitu luka berat, pelaku diancam
dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima tahun. Jika akibat yang
ditimbulkan adalah matinya korban,
Pasal 170 mengancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya
dua belas tahun sedangkan pada
Pasal 351 ancaman hukumannya
adalah hukuman penjara selama-
lamanya tujuh tahun.
Secara formal kejahatan
dirumuskan sebagai suatu perbuatan
yang oleh negara dapat diberi pidana.
Pemberian pidana dimaksudkan
untuk mengembalikan keseimbangan
yang terganggu akibat tindak
kejahatan.
Ada asas yang mengatakan
“NULLUM DELICTUM, NULLA
POENA SINE PRAEVIA LEGE
POENALI”
Adagium ini juga dapat dibagi dalam
3 maksud, yakni:
1. Tidak ada hukuman, jika tak ada
Undang-Undang.
2. Tidak ada hukuman, jika tak ada
kejahatan.
3. Tidak ada kejahatan, jika tidak
ada hukuman yang berdasarkan
Undang-Undang.
Pembelaan (noodweer) Dalam
Kondisi Memaksa (overmacht)
Barang siapa orang mengatakan
dirinya dalam keadaan “pembelaan
darurat” dan tidak dapat dihukum, itu
harus dapat dipenuhi 3 macam
syarat:
1. Harus ada serangan atau ancaman
yang dilakukan secara mendadak.
2. Pembelaan itu ditujukan terhadap
kepentingan-kepentingan yang
disebut dalam Undang-Undang
yaitu keselamatan diri,
kehormatan atau harta milik baik
bagi dirinya sendiri atau orang
lain.
3. Harus ada serangan melawan hak
dan mengancam pada ketika itu
juga.
Dalam daya paksa (overmacht)
yang disebabkan oleh alam
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
5 | P a g e
lingkungan di sekitarnya atau
dipaksa oleh seseorang, “karena
pengaruh daya paksa” harus
diartikan, baik pengaruh daya
paksaan batin, maupun lahir, rohani,
maupun jasmani. paksaan itu harus
ditinjau dari banyak sudut, misalnya
apakah yang dipaksa itu lebih lemah
daripada orang yang memaksa,
apakah tidak ada jalan lain, apakah
paksaan itu betul-betul seimbang dan
apabila dituruti dan sebagainya.
Hakimlah yang harus menguji dan
memutuskan hal ini. Alasan
penghapusan pidana membebaskan
seseorang dari hukum pidana bukan
karena tidak adanya kesalahan atau
sifat melawan hukum. Hal ini tidak
menghilangkan kenyataan bahwa
alasan yang satu menyerang atau
melemahkan kesalahannya termasuk
sifat tercela dan melawan hukumnya.
Namun, antara menyerang dan sama
sekali menghilangkan, masih
terdapat perbedaan besar eksepsi-
eksepsi yang mengurangi kesalahan
bersifat pribadi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.
Jadi berdasarkan pemaparan
yang dapat diambil dari pembahasan
tersebut adalah dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Pelaku tindak pidana
penganiayaan atau main hakim
sendiri (Eigenrechting) dapat
dikenai pidana, karena kejahatan
tidak akan berhenti atau hilang
bila dibalas dengan kejahatan
juga, karena hal itu sudah
melanggar HAM, dan hak itu
adalah menghukum para pelaku
kejahatan dengan hukum negara
yang berlaku.
2. Dalam upaya pembelaan diri,
hukum masih bisa
memaafkannya, namun hal itu
tidak lantas dijadikan sebagai
alasan untuk main hakim sendiri.
Masih sering diberitakan bila
pelaku kejahatan yang sudah
tertangkap oleh warga atau massa,
maka akan dihajar hingga babak
belur, kecuali bila ada tokoh
masyarakat atau pihak kepolisian
yang masih sempat untuk
mengamankannya. Bahkan beberapa
ada yang sempat diarak di jalan dan
ditelanjangi bahkan ada juga yang
sampai harus meregang nyawa
karena dibakar hidup-hidup oleh
warga. Sudah jelas kasus
penganiayaan atau main hakim
sendiri (Eigenrechting) ini telah
melanggar hukum negara dan hukum
agama, ada pepatah mengatakan
“mata dibalas mata, gigi dibalas
gigi”. Lex Talionis adalah
suatu asas bahwa orang yang telah
melukai orang lain harus diganjar
dengan luka yang sama, atau
menurut interpretasi lain korban atau
tersangka harus menerima ganti rugi
yang setimpal.
Saran.
Dari hasil penjelasan dan
pembahsan dalam skripsi, maka
saran dari penulis adalah sebagai
berikut :
1. Masih adanya aksi penganiayaan
dan tindakan main hakim sendiri
adalah bukti bahwa hukum di
negara ini masih belum dapat
menjamin keadilan bagi seluruh
rakyatnya. Karena para pelaku
kejahatan itu pasti memiliki
alasan tersendiri untuk berbuat
kejahatan. Salah satu
penyebabnya adalah kemakmuran
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
6 | P a g e
dan kesejahteraan yang masih
rendah di negara kita, oleh karena
itu, negara harus mampu untuk
membuat rakyatnya hidup dalam
kesejahteraan, karena hal itu dapat
menekan angka kejahatan dan
sudah terbukti di beberapa negara
yang bisa membuat rakyatnya
hidup sejahtera.
2. Dalam upaya menjadikan negara
kita sejahtera bukan hanya tugas
pemerintah, namun juga
merupakan tanggung jawab kita
yang merupakan masyarakat
Indonesia. SDM dan input dalam
diri manusia harus ditingkatkan,
setara dengan warga negara yang
sudah maju. Pola pikir kita masih
jauh tertinggal bila dibandingkan
dengan mereka yang hidup di
negara maju. Mungkin bila kita
mempunyai progam tinggal
beberapa tahun di negara maju,
dapat merubah pola pikir kita, ya
patut dicoba!
3. Yang terakhir adalah sosialisasi
hukum, minimnya pengetahuan
dan kesadaran hukum masyarakat
yang masih ada sebagian buta
hukum, baik dari segi ilmu dan
prakteknya, sehingga membuat
mereka mudah untuk diperdaya.
Ajaran agama juga sangat penting
agar hati manusia tidak beku
akibat pengaruh-pengaruh negatif
di era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
1. D.Schaffmeister, Hukum Pidana,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2011.
2. Ismu Gunadi, Cepat & Mudah
Memahami Hukum Pidana (Jilid
2), Jakarta, 2011
3. Leden Marpaung, Tindak Pidana
Terhadap Nyawa Dan Tubuh,
Sinar Grafika, Jakarta 2002
4. Moeljatno, Asas-Asas Hukum
Pidana Rineka Cipta, Jakarta
1993.
5. P.A.F Laminating, Kejahatan
Terhadap Nyawa, Tubuh &
Kesehatan edisi kedua. Sinar
Grafika, Jakarta, 2012
6. R. Soesilo, kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP) serta
komentar-komentarnya lengkap
pasal demi pasal, Politeia, Bogor.
7. R.Sugandhi, KUHP Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Berikut Penjelasannya, Usaha
Nasiona, 1981.
8. Samidjo, Ringkasan & Tanya
Jawab Hukum Pidana, CV
ARMICO, Bandung.
Perundang-Undangang
1. KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana)
2. Undang-Undang Nomor 8
TAHUN 1981 tentang Penahanan,
Penggeledahan Badan,
Pemasukan Rumah, Penyitaan dan
Pemeriksaan Surat.
3. Undang-Undang Nomor 8
TAHUN 1981 tentang putusan
bebas dan putusan lepas.
Website
1. http://www.kompasiana.com/novi
_suprapti/perbedaan-publik-
massa-kerumunan-kelompok-dan-
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
7 | P a g e
organisasi_5500346b8133112019
fa71db
2. http://mardanijaya.blogspot.co.id/2012/09/pengertian-dan-unsur-unsur-kejahatan-a.html
3. http://suflasaint.blogspot.com/201
0/04/pengertian-hukum-
pidana.html
4. http://dearymydreams.blogspot.co
.id/2012/06/pidana-tambahan.html
5. http://www.pengetahuanjitu.com/
2016/11/faktor-penyebab-
kekerasan.html
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
8 | P a g e
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL YANG TIDAK ADA IZIN PEJABAT ATASAN LANGSUNG
Oleh
Suisno
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Proses Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil pada dasarnya sama
dengan Perceraian orang-orang yang bukan Pegawai Negeri Sipil. Perbedaanya,
Pegawai Negeri Sipil baik laki-laki maupun perempuan yang bertindak sebagai
penggugat atau pemohon, terlebih dahulu harus mendapat izin dari atasan dan
pejabat. Sementara bagi Pegawai Negeri Sipil baik laki-laki muapun perempuan
yang melakukan Perceraian dan berkedudukan sebagai tergugat wajib
memberitahukan secara tertulis adanya gugatan dari suami atau istrinya kepada
Pejabat untuk mendapat surat keterangan. Berdasarkan latar belakang masalah
diatas, penulis mengetengahkan dua permasalahan yaitu Bagaimana Pengaturan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ? Apakah akibat hukum Perceraian Pegawai
Negeri Sipil tanpa seizin Pejabat atasan langsung ? . Tujuan Penulis untuk
mengetahui prosedur Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil dan untuk mengetahui
akibat hukum Perceraian Pegawai Negeri yang tanpa seizin Pejabat atasan
langsung. Manfaat Penulisan untuk memberikan pengetahuan tentang Pengaturan
Perceraian Pegawai Negeri sipil dan Akibat hukum Perceraian Pegawai Negeri
Sipil tanpa seizin Pejabat atasan langsung.Tipe penelitian hukum yang digunakan
adalah yuridis normatif (hukum normatif ) Metode Penelitian hukum normatif
adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan
yang terkait dengan Perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa seizin pejabat. Bahan
hukum dalam penulisan ini mengunakan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder . Dari pembahasan bab perbab dapat disimpulkan bahwa Pengaturan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil terdapat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan atas Perceraian Pemerintah Nonor 10
Tahun 1983 Tentang Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Kata Kunci : Tinjauan Yuridis,Perceraian Pegawai Negeri Sipil, pejabat atasan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pegawai Negeri Sipil
(PNS) merupakan unsur aparatur
negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat dalam tingkah laku,
tindakan, dan ketaatan kepada
peraturan perundang-undangan,
termasuk dalam
menyelenggarakan kehidupan
rumah tangga.Kehidupan
Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan dapat
melaksanakan tugasnya dengan
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
9 | P a g e
baik tanpa harus terganggu oleh
masalah keluarga.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, penulis
merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan
Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil ?
2. Apakah Akibat Hukum
Perceraian Pegawai Negeri
Sipil Tanpa Seizin Pejabat
Atasan Langsung ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana
Pengaturan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil.
2. Untuk mengetahui apa Akibat
Hukum Perceraian Pegawai
Negeri Sipil Tanpa Seizin
Pejabat Atasan Langsung.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan ini
diharapkan bermanfaat bagi :
1. Manfaat teoritis yaitu, untuk
memberikan pengetahuan
tentang Pengaturan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil
dan apakah Akibat Hukum
Perceraian Pegawai Negeri
Sipil Tanpa Seizin Pejabat
Atasan Langsung.
2. Manfaat praktis yaitu, dapat
memberikan kajian akibat dari
perceraian tanpa seizin pejabat
atasan langsung.
E. METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang
dilakukan adalah Yuridis
Normatif, Metode penelitian
hukum normatif adalah
suatu prosedur penelitian
ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari
sisi normatifnya.
2. Pendekatan Masalah
Oleh karena tipe
penelitian yang digunakan
adalah tipe penelitian
yuridis normatif, maka
pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan
perundang-undangan (statue
approach). Pendekatan
terebut melakukan
pengkajian peraturan
perundang-undangan yang
berhubungan dengan pokok
permasalahan. Selain itu
juga digunakan pendekatan
konsep (conceptual
approach).
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang
dipergunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Bahan hukum primer, .
Adapun hukum primer
antara lain:
1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur
Sipil Negara
3) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun
1990 Tentang
Perubahan Peraturan
Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 10
Tahun 1983 Tentang
Perkawinan dan
Perceraian Pegawai
Negeri Sipil
4) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
10 | P a g e
Nomor 53 Tahun
2010 Tentang
Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil
2. Bahan sekunder adalah
berupa semua publikasi
tentang hukum yang
bukan merupakan
dokumen-dokumen
resmi.Dalam penelitian
ini publikasi tentang
hukum tersebut meliputi :
Buku-buku tentang
masalah yang diteliti,
website-website.
4. Prosedur Pengumpulan
Bahan Hukum
Baik bahan primer
maupun bahan sekunder
dikumpulkan berdasarkan
topik permasalahan yang
telah dirumuskan dan
diklasifikasi menurut
sumber untuk dikaji secara
komprehensif.
5. Pengolahan dan analisa
bahan hukum
Adapun bahan
hukum yang diperoleh
dalam penelitin adalah studi
kepustakaan, aturan
perundang-undangan, yang
penulis uraikan dan
dihubungkan sedemikian
rupa, sehigga disajikan
dalam penulisan yang lebih
sistematis guna menjawab
perumusan masalah yang
dirumuskan dan dilakukan
secara deduktif yakni
menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap
permasalahn kongkrit yang
dihadapi.
6. Sestematika penelitian
Dalam penulisan
skripsi ini dibagi menjadi 4
(empat) bab dan masing-
masing diuraikan dalam sub
bab sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Yang Berisi Tentang Latar
Belakang Permasalahan,
Perumusan Masalah, tujuan
dan manfaat penelitian,
metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II membahas
tentang bagaimana
pengaturan perceraian bagi
pegawai negeri sipil.
BAB III membahas
tentang Akibat Hukum
Perceraian Pegawai Negeri
Sipil Tidak Disertai Ijin
Pejabat Atasan Langsung.
BAB IV penutup
yang berisi tentang
kesimpulan dari seluruh
pokok pembahasan dan
saran disampaikan sebagai
masukan guna perbaikan
penulisan berikutnya.
PENGATURAN PERCERAIAN
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
Menurut kamus umum
Bahasa Indonesia, sebagai Pegawai
Negeri Sipil terdiri dari kata
“Pegawai” yang bearti orang yang
bekerja pada pemerintah,
perusahaan, dan sebagainya,
sedangkan kata “Negeri” berarti
negara atau pemerintah, jadi Pegawai
Negeri Sipil adalah orang yang
berkerja pada pemerintah/negara.
Menurut pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
yang dimaksud dengan Pegawai
Negeri Sipil.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
11 | P a g e
TINJAUAN TENTANG
PERKAWINAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL
Perkawinan adalah perilaku
mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa agar kehidupan di alam dunia
berkembang biak. Aturan tata-tertib
perkawinan sudah ada sejak
masyarakat sederhana yang di
pertahankan anggota-anggota
masyarakat dan pera pemuka
masyarakat adat dan atau para
pemuka agama ,di Indonesia aturan
tata-tertib perkawinan itu sudah ada
sejak zaman kuno, sejak zaman
Sriwijaya, Majapahit, sampai masa
colonial Belanda dan sampai
Indonesia merdeka.
TINJAUAN TENTANG
PERCERAIAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL
Sebagai unsur aparatur
Negara, abdi Negara ,dan abdi
masyarakat Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugasnya
diharapkan tidak terganggu oleh
urusan kehidupan rumah tangga .
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
seharusnya terkena ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 dapat menghindar ,baik
secara sengaja maupun tidak,
terhadap ketentuan tersebut.
Disamping itu ada kalanya pula
pejabat tidak dapat megambil
tindakan yang tegas karena ketidak
jelasaan rumusan ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 itu sendiri
PENGATURAN HUKUM
KHUSUS PERCERAIAN BAGI
PEGAWAI NEGERI SIPIL
Pengaturan hukum khusus
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
terdapat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil, oleh karena itu pertimbangkan
pengaturan hukum khusus bagi
Pegawai Negeri Sipil dapat dipahami
dari pertimbangan kedua Peraturan
Pemerintah
AKIBAT HUKUM
PERCERAIAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL TANPA SEIZIN
PEJABAT ATASAN LANGSUNG
Menurut Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Perubahan atas peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan Dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang
akan melakukan Perceraian wajib
memeperoleh izin atau surat
keterangan lebih dahulu dari pejabat.
Bagi Pegawai Negeri Sipil yang
berkedudukan sebagai penggugat
atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang
berkedudukan sebagai tergugat,
untuk memperoleh izin atau surat
keterangan tersebut, maka harus
mengajukan permintaan secara
tertulis, dalam surat permintaan izin
atau pemberitauhan adanya gugatan
perceraian untuk mendapatkan surat
keterangan, harus dicantumkan
alasan yang lengkap yang
mendasarinya.
AKIBAT HUKUM
PERCERAIAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
12 | P a g e
Perceraian adalah peristiwa
hukum yang akibatnya diatur oleh
hukum, atau peristiwa hukum yang
diberi akibat hukum lebih lanjut dari
Perceraian sebagaimana diatur dalam
Pasal 41 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 yang berbunyi “Baik
bapak atau ibu tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak ,bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak,pengadilan memberi
keputusannya” .
AKIBAT HUKUM
PERCERAIAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL TANPA SEIZIN
PEJABAT ATASAN LANSUNG
Jika terdapat permohonan
izin untuk bercerai yang diajukan
Pegawai Negeri Sipil dengan alasan-
alasan yang bertentangan dengan
ajaran atau Peraturan agama yang
dianut Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan sebagaimana diberikan
beberapa contohnya tersebut, maka
Pejabat tidak memberikan izin untuk
bercerai kepada Pegawai Negeri
Sipil tersebut. Pegawai Negeri Sipil
yang tidak memperoleh izin atau
surat keterangan untuk bercerai lebih
dahulu dari Pejabat dan tidak
melaporkan Perceraiannya dalam
jangka waktu selambat-lambatnya
1(satu) bulan terhitung mulai
terjadinya Perceraian,
dikualifikasikan melanggar hukum
khusus Perceraian.
Pasal 15 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
yang berbunyi “jika tidak
melaporkan perceraianya dalam
jangka waktu selamat-lambatnya satu
bulan terhitung mulaiterjadinya
Perceraian dan tidak melaporkan
Perkawiannya yang
kedua/ketiga/kempat dalam jangka
waktu selambat-lambatnya satu
tahun terhitung sejak Perkawinan
tersebut dilangsungkan”.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pengaturan tentang Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil sudah di tentukan
dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dan Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990 tentang
Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil. Dan Peraturan
pelaksanaan yang terdiri dari
Surat Edaran Kepala Badan
Administrasi Kepegawaian
Negara Nomor: 48/SE/1990,
Petunjuk pelaksanaan untuk
menyelesaikan masalah
Perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Setiap Pegawai Negeri Sipil yang
akan melakukan perceraian, yaitu
bagi Pegawai Negeri Sipil
(penggugat) wajib memperoleh
izin terlebih dahulu dari pejabat.
Permintaan izin Perceraian
diajukan oleh penggugat kepada
pejabat secara tertulis, tetapi
Peraturan ini sangat sulit
dilakukan oleh Peegawai Negeri
Sipil yang akan melakukan
Perceraian karena ada beberapa
alasan yang tertentu. Salah satu
alasannya adalah sulitnya
mendapatkan Izin secara
langsung dari atasan.
2. Dapat dipastikan Akibat Hukum
Perceraian Pegawai Negeri Sipil
yang Tidak Ada Izin Dari Atasan
Langsung akan sangat sulit
melakukan Perceraian. Tetapi
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
13 | P a g e
jika Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan tidak mendapatkan
izin Perceraian dari pejabat
maka, majelis hakim tetap dapat
mengabulkan dan dapat
melanjutkan Perceraian kepada
Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan. Dalam
pemeriksaan perkara Perceraian
Pegawai Negeri Sipil mejelis
hakim tetap tunduk kepada
Peraturan Perundang-undangan
yang ada, apabila alasan-alasan
yang di kemukakan oleh Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan
terbukti maka majelis hakim
dapat mengabulkan Perceraian
tersebut.
B. SARAN
Adapun saran terkait penulisan
hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan agar setiap Pegawai
Negeri Sipil berfikir dan
bertindak secara matang dan
lebih dewasa lagi sebelum
melakukan Perceraian karena
pada dasarnya Pegawai Negeri
Sipil adalah contoh masyarakat
dan apabila Perceraian harus
tetap terjadi maka Pegawai
Negeri Sipil harus mau, taat, dan
wajib melakukan prosedur yang
berlaku untuk lebih mudah
memperoleh izin dari Pejabat
atasan langsung.
2. Pejabat juga harus bisa
mengevaluasi kembali prosedur
pemberian izin Perceraian yang
berlaku selama ini dan di
harapkan dapat di ketahui letak
kesulitan dar prosedur pemberian
izin Perceraian yang berlaku
selam ini. Dan menurut saya
hendaknya ada suatu kerja sama
antara Pejabat Langsung pemberi
izin dengan majelis hakim
sehingga putusan yang diberikan
dapat memberikan kepastian
hukum atau rasa keadilan baik
Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan maupun keluarga
(bekas suami/istri) .
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
Abdurrahman, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Akademika
Pressindo. Jakarta. 2010.
Djoko Prakoso. Hukum
Kepegawaian di Indonesia.
Balai Aksara, Yudhistira.
Jakarta. 1984.
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode
Penelitian Hukum Normatif,
Banyumedia Publishing, Malang
2016
H. Hilman Hadikusuma. Hukum
Perkawinan Indonesia. Mandar
Maju. Bandung. 2007.
Martiman Prodjohamidjojo. Hukum
Perkawinan. CV. Karya
Gemilang. Jakarta Selatan. 2011.
Muhammad Syaifuddin. dkk, Hukum
Perceraian. Sinar Grafika.
Jakarta. 2014.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian
Hukum. Universitas Airlangga
Surabaya.
Sri Hartini dan Setiajeng Kadarsih,
2007, Hukum Kepegawaian di
Indonesia, Sinar Grafika,
Purwokerto
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
14 | P a g e
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 Tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 Tentang
Izin Perkawinan dan Peceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 Tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
INTERNET
http://infokepegawaian.wordpress.co
m.diakses tanggal 6 Juni 2017
pukul 12:30:09 WIB
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
15 | P a g e
TINJAUAN YURIDIS KREDIT DENGAN JAMINAN BUKU PEMILIK
KENDARAAN BERMOTOR (BPKB)
Studi di Koperasi Simpan Pinjam “AMANAH”
Desa Sugihwaras Kecamatan Deket Lamongan
Oleh
Dhevi Nayasari Sastradinata
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Pertumbuhan kredit di Indonesia semakin naik. Banyak faktor yang
melatarbelakangi diantaranya adalah Kebutuhan akan permodalan sampai kredit
untuk memperoleh barang yang diinginkan dan kemudahan dalam memperoleh
kredit. Banyak lembaga penyedia keuangan, Salah satunya koperasi, yang ada di
Indonesia berlomba-lomba menarik nasabah. Dari latar belakang tersebut
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana proses pengajuan kredit
dengan jaminan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan apa akibat
hukum yang timbul bila debitur tidak memenuhi pembayaran sesuai batas waktu
yang ditentukan.
Dari hasil pembahasa dapat disimpulkan bahwa Proses pengajuan kredit
dengan jaminan BPKB di Koperasi Simpan Pinjam Amanah Nasabah
Mengajukan Permohonan Kredit ke Koperasi terlebih dahulu, Dari permohonan
tersebut selanjutnya pihak koperasi melalukan analisa kelayakan dengan
memperhatikan beberapa aspek, Apabila permohonannya disetujui maka calon
nasabah harus melampirkan beberapa persyaratan sebagai kelengkapan Kredit,
Setelah syarat terpenuhi, selanjutnya pihak koperasi melakukan pencairan atas
pinjaman nasabah.
Akibat hukum yang timbul jika nasabah tidak bisa melakukan pembayaran
sesuai batas waktu yang ditimbulkan adalah dengan dibawanya masalah ini ke
pengadilan sehingga dilakukan pembatalan perjanjian dengan pihak nasabah
memberikan ganti rugi yang ditimbulkan sampai dengan dipailitkan. Kedua belah
pihak juga bisa memilih alternatif penyelesaian lainnya yakni negosiasi dengan
jalan rescheduling atau Restrukturisasi utang. Di Koperasi Simpan Pinjam
“Amanah” lebih memilih untuk negosiasi bersama dengan nasabah agar tidak
menghabiskan dana banyak dan waktu jika memilih jalur persidangan.
Kata Kunci : Tinjauan Yuridis, Jaminan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki
beragam kebutuhan untuk
melangsungkan kehidupan
sehari-hari, sehingga seringkali
lupa diri saat menjalankan
aktifitas dalam rangka
memenuhi kebutuhannya.
Besarnya pendapatan sering
dirasa kurang karena terjadi
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
16 | P a g e
tumpang tindih antara
kebutuhan dan keinginan dan
hal ini lah yang menjadi
masalah pada saat sekarang ini1
Kredit tidak bisa lepas dari
masyarakat. Kebutuhan akan
hutang dengan kemudahan untuk
melunasi dengan cara angsuran
menggiurkan masyarakat. Ada
beberapa alasan orang
mengajukan kredit. Kredit untuk
modal usaha, dengan
mengajukan kredit seorang yang
mempunyai usaha dapat
memperoleh modal, ada juga
kredit untuk konsumsi, kredit
untuk pembiayaan.
Setiap transaksi kredit harus
mematuhi hukum yang berlaku,
hal ini untuk melindungi hak-hak
yang diperoleh oleh masing-
masing pihak juga sebagai
pondasi dari perjanjian perikatan
yang mempunyai kekuatan
hukum untuk melaksanakan
segala kewajiban yang melekat
pada setiap orang yang
melakukan perjanjian.
Kredit dari sudut pandang
bahasa berarti suatu kepercayaan,
kepercayaan yang diberikan
pihak pemberi kredit kepada
penerima kredit. Penerima kredit
mempunyai kepercayaan dari
pemberi kredit dengan resiko
mengembalikan dengan jangka
waktu yang ditentukan. Pemberi
kredit juga menanggung resiko
apabila penerima kredit tidak
menunaikan tanggung jawabnya
sehingga pemberi kredit juga
harus menganalisa setiap
pengajuan kredit yang dilakukan.
1 Natara Andri & Nurbekti Satriyo. Solusi
Cerdas Mengatasi Hutang dan Kredit.
Penebar plus. Jakarta. 2008. h. 7
Dalam kredit ada 4 unsur pokok,
yaitu kepercayaan, waktu, resiko
dan prestasi. Kepercayaan berarti
setiap pemberian kredit didasari
atas kepercayaan oleh pihak
pemberi kredit kepada penerima
kredit untuk mengembalikan
hutangnya dengan waktu yang
ditentukan.2
Waktu berarti batas antara
pemberian kredit dengan
pembayaran kembali oleh pihak
penerima kredit dilakukan
dengan jangka waktu yang
ditentukan oleh kedua belah
pihak. Sedangkan resiko yang
dimaksud adalah setiap
pemberian kredit mengandung
resiko di dalamnya. Resiko ini
terdapat di jangka waktu antara
pemberian kredit sampai
pelunasan kredit. Sehingga
semakin panjang jangka waktu
pelunasan semakin besar pula
resiko yang didapatkan.
Sedangkan prestasi adalah setiap
kesepakatan yang terjadi antara
pemberi kredit dan penerima
kredit mengenai suatu pemberian
kredit, ketika itu terjadi prestasi
dan kontra prestasi.3
B. METODE PENELITIAN
Tipe penelitian ini adalah
Yuridis Normatif, dengan
menggunakan pendekatan
perundang-undangan Oleh
karena itu penelitian hukum ini
difokuskan untuk mengkaji
tentang norma-norma dalam
hukum positif, yakni norma
hukum yang terkait dengan
perkreditan. Penelitian ini
2 H.R. Daeng Naja. Hukum Kredit dan Bank
Garasi. Citra Aditya Nakti. Bandung. 2005.
h. 123-125 3 Ibid.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
17 | P a g e
bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas, bahan
hukum terdiri dari Perundang-
undangan, catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan
Perundang-undangan dan
putusan hakim. adapun bahan
hukum primer tersebut meliputi :
Kitab Undang Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata), Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana
yang telah diubah dengan
Undang Undang Nomor 10
Tahun 1998, Undang Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian.
Baik bahan hukum primer
maupun sekunder dikumpulkan
berdasarkan topic permasalahan
yang dirumuskan dan
diklasifikasi menurut sumber
untuk dikaji secara
komprehensif. Adapun bahan
hukum yang diperoleh dalam
penelitian adalah studi
kepustakaan, aturan perundang-
undangan, yang penulis uraikan
dan dihubungkan sedemikan
rupa, sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis
guna menjawab perumusan
masalah yang dirumuskaan dan
dilakukan secara deduktif yakni
menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan
kongkrit yang dihadapi.
C. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Tinjauan Yuridis Kredit
dengan jaminan BPKB di
Koperasi
Perjanjian pada
umumnya dibuat dengan
maksud dan tujuan yang
beraneka macam, salah satu
tujuan tersebut berkaitan
dengan pemberian atau
permintaan kredit, istilah
kredit dikenal dalam bahasa
yunani “credre” yang berarti
percaya atau to believe atau
to trust.4 Oleh sebab itu dasar
dari kredit itu adalah
kepercayaan. Maksud
kepercayaan bagi si pemberi
kredit adalah ia percaya
kepada si penerima kredit
bahwa kredit yang
disalurkannya pasti
dikembalikannya sesuai
dengan perjanjian.
Sedangkan bagi si penerima
kredit yang merupakan
penerima kepercayaan
mempunyai kewajiban untuk
membayar sesuai dengan
jangka waktu yang telah
disepakati.
Kredit menurut Pasal 1
Angka 11 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998
tentang perbankan dan
selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang Perbankan
menyatakan: Kredit adalah
penyediaan dana atau tagihan
yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan
4H. Mho. Tjoekam. Perkrediatan Bisnis Inti
Bank Komersial (Konsep teknik dan Kasus). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1999. h. 12.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
18 | P a g e
pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu dengan
pemberian bunga.
Peraturan perundang-
undangan yang mengatur
tentang perjanjian kredit
dapat dilihat dan dibaca
dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara
lain:
a. Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang
Perbankan.
b. Undang-Undang Nomor
10 1998 tentang
Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan;
c. Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia;
d. Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2004
tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia;5
Adapun tujuan
pemberian kredit yang
lainnya adalah:
a. Bagi kreditur
1) Pemberian kredit
merupakan sumber
utama pendapatan.
2) Pemberian kredit
merupakan
5H. Salim HS. Perkembangan Hukum
Kontrak Diluar KUH Perdata. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. h. 78-81.
perangsang produk-
produk lainnya
3) Perkreditan
merupakan instrumen
penjaga likuidasi,
solvabilitas, dan
profitabilitas.
b. Bagi debitur
1) Kredit berfungsi
sebagai sarana untuk
membuat kegiatan
usaha makin lancar
dan performance
(kinerja) usaha
semakin baik dari
pada sebelumnya.
2) Memperluas
kesempatan berusaha
dan bekerja dalam
perusahaan.
c. Bagi masyarakat
1) Kredit mengurangi
pengguguran, karena
membuka peluang
berusaha, bekerja dan
pemerataan
pendapatan.
2) Kredit meningkatkan
fungsi pasar karena
adanya peningkatan
daya beli.6
Sedangkan kredit
sendiri mempunyai fungsi,
sebagai berikut:
a. Untuk meningkatkan
daya guna uang, apabila
uang disimpan saja tidak
akan menghasilkan
sesuatu yang berguna,
dengan pemberian kredit
uang tersebut untuk
menghasilkan barang dan
jasa oleh penerima kredit.
b. Untuk meningkatkan
peredaran dan lalu lintas
6 Thomas Suyatno. Op.cit. h.15
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
19 | P a g e
uang, dengan pemberian
kredit uang itu akan
beredar dari wilayah yang
satu ke wilayah yang lain.
c. Untuk meningkatkan
daya guna barang, dengan
pemberian kredit kepada
debitur dapat digunakan
untuk mengelola barang
yang tadinya tidak
berguna menjadi berguna
dan bermanfaat.
d. Meningkatkan peredaran
barang, kredit dapat pula
menambah atau
memperlancar arus
barang dari satu wilayah
ke wilayah yang lainnya.
e. Sebagai alat stabilitas
ekonomi, dengan adanya
kredit yang diberikan
akan menambah jumlah
barang yang diperlukan
oleh masyarakat
f. Untuk meningkatkan
kegairahan berusaha.7
Adapun tujuan
pemberian kredit yang
lainnya adalah:
d. Bagi kreditur
1) Pemberian kredit
merupakan sumber
utama pendapatan.
2) Pemberian kredit
merupakan
perangsang produk-
produk lainnya
3) Perkreditan
merupakan instrumen
penjaga likuidasi,
solvabilitas, dan
profitabilitas.
e. Bagi debitur
7 Kasmir. Bank dan Lembaga Keungan
Lainnya. Rajawali Pers. Jakarta. 2003. h.
97
1) Kredit berfungsi
sebagai sarana untuk
membuat kegiatan
usaha makin lancar
dan performance
(kinerja) usaha
semakin baik dari
pada sebelumnya.
2) Memperluas
kesempatan berusaha
dan bekerja dalam
perusahaan.
f. Bagi masyarakat
1) Kredit mengurangi
pengguguran, karena
membuka peluang
berusaha, bekerja dan
pemerataan
pendapatan.
2) Kredit meningkatkan
fungsi pasar karena
adanya peningkatan
daya beli.8
Sedangkan kredit
sendiri mempunyai fungsi,
sebagai berikut:
g. Untuk meningkatkan
daya guna uang, apabila
uang disimpan saja tidak
akan menghasilkan
sesuatu yang berguna,
dengan pemberian kredit
uang tersebut untuk
menghasilkan barang dan
jasa oleh penerima kredit.
h. Untuk meningkatkan
peredaran dan lalu lintas
uang, dengan pemberian
kredit uang itu akan
beredar dari wilayah yang
satu ke wilayah yang lain.
i. Untuk meningkatkan
daya guna barang, dengan
pemberian kredit kepada
debitur dapat digunakan
8 Thomas Suyatno. Op.cit. h.15
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
20 | P a g e
untuk mengelola barang
yang tadinya tidak
berguna menjadi berguna
dan bermanfaat.
j. Meningkatkan peredaran
barang, kredit dapat pula
menambah atau
memperlancar arus
barang dari satu wilayah
ke wilayah yang lainnya.
k. Sebagai alat stabilitas
ekonomi, dengan adanya
kredit yang diberikan
akan menambah jumlah
barang yang diperlukan
oleh masyarakat
l. Untuk meningkatkan
kegairahan berusaha.9
Pengaturan umum tentang jaminan
diatur dalam ketentuan Pasal 1131
KUH Perdata, dimana ditentukan
bahwa segala kebendaan pihak yang
berhutang (debitur) baik yang
bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di
kemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perorangan.
Jaminan menurut Undang-Undang
Perbankan adalah “keyakinan akan
itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi hutangnya atau
mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.”10
Landasan dan asas koperasi terdapat
di dalam UURI Nomor 17 Tahun
2012 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian Pasal 2
9 Kasmir. Bank dan Lembaga Keungan
Lainnya. Rajawali Pers. Jakarta. 2003. h. 97 10 Rachmdi Usman. Aspek-Aspek Hukum
Perbankan Di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2001. h. 22.
dan pasal 3 dikatakan bahwa:
“koperasi berlandaskan pancasila
dan undang-undang dasar 1945,
koperasi berdasar atas asas
kekeluargaan”. dari bunyi Pasal 2 itu
jelas bahwa koperasi berlandaskan
pancasila dan UUD 1945. UUD 1945
sebagai landasan koperasi juga
ditegaskan dalam batang tubuh pasal
33 ayat 1 beserta penjelasannya,
disitu dijelaskan secara eksplisit
bahwa bangunan perusahaan yang
sesuai dengan Pasal 1 adalah
koperasi. Sedangkan asas koperasi
sesuai dengan Pasal 3 UU No. 17
Tahun 2012 adalah berasaskan
kekeluargaan, asas ini sesuai dengan
jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Koperasi sebagia suatu
usaha bersama harus mencerminkan
ketentuan-ketentuan sebagaimana
dalam kehidupan keluarga. Dalam
suatu keluarga, seagala sesuatu yang
dikerjakan secara bersama-sama
ditujukan untuk kepentingan
bersama seluruh anggota keluarga,
usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ini biasanya disebut
dengan gotong-royong.11
Sebagaimana yang tercantum dalam
UU RI No. 17 Tahun 2012 pasal 26
ayat 1 bahwa “anggota koperasi
merupakan pemilik sekaligus
pengguna jasa koperasi”12
memberikan arti bahwa Koperasi
berbeda dengan badan usaha
komersial pada umumnya,
Karakteristik utama koperasi yang
membedakannya dengan badan
usaha lain adalah bahwa anggota
koperasi memiliki identitas ganda
11 Ibid, h. 42.
12 Undang-undang Perkoperasian 2012
dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika. Sinar
Grafika. Jakarta. 2013. h. 18
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
21 | P a g e
(the dual identity of the member),
yaitu anggota sebagai pemilik dan
sekaligus sebagai pengguna jasa
koperasi (user own oriented frim),
2. Proses Pengajuan Kredit
Setiap calon nasabah yang akan
melakukan pinjaman pada Koperasi
Simpan Pinjam “Amanah” terlebih
dahulu akan mengajukan
permohonan. Setelah mengajukan
permohonan pihak koperasi akan
melakukan verifikasi.13
Adapun hak dari Koperasi Simpan
Pinjam “Amanah” dapat dilihat
dalam surat perjanjian kredit, hal itu
diatur dalam Pasal 5, Surat
Perjanjian yang berisikan :
“Debitur dengan ini menyatakan
persetujuannya apabila terjadi
keterlambatan dalam pembayaran
kewajiban bunga dan atau angsuran
pokok apabila dalam batasan waktu
berlakunya kredit ini belum melunasi
secara seksama dan sepatutnya
seluruh jumlah kredit berikut bunga
dan biaya-biaya lain yang timbul
berdasarkan perjanjian ini, maka
kreditur berhak memperhitungkan
denda (penalty overdue) terhadap
debitur sebesar 4% (empat persen)
setiap bulan dari seluruh kewajiban
debitur kepada kreditur yang
tertunda dan dihitung secara
harian.”14
Berdasarkan surat perjanjian diatas,
dapat dipahami bahwa apabila
terjadi keterlambatan oleh debitur
untuk membayar kewajibannya,
13
Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin,
Nasabah Koperasi simpan pinjam “Amanah” 14
Dokumentasi surat perjanjian kredit di
Koperasi simpan pinjam “Amanah”
maka kreditur berhak
memperhitungkan denda yang akan
dibebankan setiap bulannya dari
seluruh kewajiban debitur. Denda
yang dibebankan kepada debitur
merupakan akibat dari
keterlambatan debitur itu sendiri.
Adapun kewajiban-kewajiban yang
dimiliki oleh Koperasi Simpan
Pinjam “Amanah” yang dipedomani
pada Surat Perjanjian Kredit dapat
dilihat dari berbagai pasal yang ada
dalam surat perjanjian tersebut, salah
satunya terdapat pada Pasal 1 Surat
Perjanjian Kredit yang berisikan :
“Kreditur telah memberikan debitur
pinjaman uang berupa fasilitas
kredit modal kerja yakni kredit
komersil sesuai dangan nilai
pinjaman dan debitur menyatakan
mengaku dan menerima pinjaman
uang tersebut akan digunakan untuk
menambah modal kerja, bunga dan
biaya-biaya lainnya yang timbul
berdasarkan perjanjian ini, untuk
selannjutnya disebut pinjaman.”15
Ketika debitur telah
menandatangani perjanjian
maka pemberian dana dengan
segera diberikan oleh
Koperasi Simpan Pinjam
“Amanah”. Kewajiban dari
Koperasi Simpan Pinjam
“Amanah” yakni memberikan
pinjaman uang berupa
fasilitas modal kerja yaitu
kredit komersil yang harus
digunakan sebagai modal
kerja sesuai dengan
perjanjian yang
ditandatangani kedua belah
pihak. Hal ini dilakukan oleh
Koperasi 12 Pasal 5 Surat
15
Ibid
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
22 | P a g e
Perjanjian Kredit pada
Koperasi Simpan Pinjam
“Amanah”.
Kewajiban dari
debitur dalam pelaksanaan
pemberian pinjaman ini
diatur dalam pasal 1763
KUHPerdata. Menurut pasal
tersebut siapa yang menerima
pinjaman sesuatu, diwajibkan
mengembalikannya dalam
jumlah dan keadaan yang
sama, dan pada waktu yang
ditentukan.16
Menurut pasal
1764 KUHPerdata yang
menjelaskan bahwa si
peminjam tidak mampu
mengembalikan barang yang
dipinjamnya dalam jumlah
dan keadaan yang sama,
maka dia diwajibkan
membayar harganya dalam
hal mana harus diperhatikan
waktu dan tempat dimana
harganya, menurut perjanjian
harus dikembalikan. Jika
waktu dan tempat ini tidak
telah ditetapkan, harus
diambil harga barang pada
waktu dan tempat dimana
pinjaman telah terjadi.17
3. Akibat Hukum bagi
Debitur yang Tidak
melaksanakan
kewajibannya
Dalam hukum
perjanjian masing-masing
pihak mempunyai prestasi
yang bertalian erat satu
dengan yang lain. Apabila
salah satu pihak tidak dapat
memenuhi kewajibannya
16
R. Subekti & R. Tjitrosudibio, op.cit.,
h.452 17
R. Subekti, op.cit, h.128
maka perjanjian bisa
dibatalkan dan menimbulkan
resiko terhadap kedua belah
pihak. Pembatalan perjanjian
bisa dilaksanakan oleh pihak
kreditur jika pihak debitur
lalai dalam melaksanakan
kewajibannya. Akibat dari
hapusnya perikatan, masing-
masing pihak tidak perlu lagi
memenuhi prestasi. Pihak
yang mengajukan pembatalan
berhak menuntut ganti rugi
sebagai akibat daripada
ingkar janji dan
pembatalan.18
Dalam setiap kredit
ada kalanya pihak debitur
tidak melaksanakan
kewajibannya untuk melunasi
hutang yang ada pada dirinya
sehingga menimbulkan akibat
hukum pada dirinya. Ada
beberapa penyebab terjadi
kredit bermasalah,
penyebabnya dapat
diklasifikasi dalam beberapa
faktor:
1. Faktor intern kreditur
a. Naluri bisnis dan
kemampuan
menganalisa kredit
yang belum memadai.
b. Para anggota komite
pemutus kredit tidak
memiliki integritas
yang baik.
c. Pengawasan terhadap
penggunaan kredit
tidak memadai
d. Pemberian kredit
tidak cukup atau
berlebihan jumlahnya
jika dibandingkan
18
R. Setiawan. Pokok-pokok Hukum
Perikatan. Binacipta. Bandung. h. 65-67
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
23 | P a g e
dengan kebutuhan
sesungguhnya
e. Tidak mempunyai
informasi yang cukup
tentang watak dan
track record debitur
2. Faktor intern debitur
a. Penyalah gunaan
kredit oleh debitur,
pemberian kredit tidak
digunakan
sebagaimana tujuan
kredit
b. Terjadi masalah intern
dalam perusahaan
yang diberi kredit
c. Tidak adanya tenaga
ahli perusahaan
sehingga kinerja
perusahaan tidak
efisien
3. Faktor ekstern
a. Kondisi
perekonomian
Indonesia sejak tahun
1997 mengakibatkan
dampak negatif
terhadap kinerja
perusahaan terutama
perusahaan yang
pembiayaannya
mengandalkan hutang.
b. Turunnya daya beli
masyarakat untuk
mengkonsumsi
produk dan jasa yang
dihasilkan oleh
perusahaan sehingga
perusahaan tidak
mempunyai biaya
yang cukup untuk
menutupi produksi
dan modal.
c. Tingkat pengembalian
investasi yang
rendah.19
Apabila debitur tidak
melaksanakan kewajibannya
maka pihak debitur
mendapatkan akibat hukum
yang ditempuh oleh pihak
kreditur. Pada dasarnya
penyelesaian kredit macet
dilakukan dengan dua cara,
litigasi dan negosiasi. Tetapi
kenyataan di lapangan selain
kedua cara itu pihak pemberi
kredit menggunakan jasa
Dept Collector untuk
menagih kredit meski badan
jasa itu tidak memiliki
wewenang untuk
melakukannya.20
a. Litigasi
Penyelesaian kredit bermasalah
dengan cara litigasi adalah
dengan mendayagunakan
lembaga peradilan yang ada.
Lembaga peradilan masih
dibutuhkan oleh seseorang
karena lembaga peradilan
menjadi tempat yang dapat
diandalkan. Penyelesaian
masalah dengan litigasi ini
dilakukan terhadap debitur yang
usahanya masih berjalan
ataupun terhadap debitur yang
usahanya tidak berjalan. Ada
beberapa peran yang
menguatkan lembaga peradilan
di masyarakat, sebagai berikut:
1) Peradilan sebagai kutup
penekan atau pressure valve
atas segala pelanggaran hukum,
19
Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan
Analisa Kasus. Prenamedia Group. Jakarta.
h. 76-77 20
H.R. Daeng Naja. Hukum Kredit dan
Bank Garasi. Citra Aditya Nakti. Bandung.
2005. h. 334-335
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
24 | P a g e
ketertiban masyarakat, dan
pelanggaran ketertiban umum
2) Peradilan diharapkan masih
sebagai last resort atau tempat
terakhir mencari kebenaran dan
keadilan sebagaimana fungsi
yang melekat padanya, penegak
kebenaran dan keadilan.21
Pada prakteknya penyelesaian
kredit dengan litigasi ini
dilakukan dengan pengajuan
gugatan atau langsung eksekusi
kepada lembaga Peradilan
Negeri, Pengadilan Niaga, dan
Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN).
1) Peradilan Negeri
Penanganan perkara kredit
bermasalah di Pengadilan
Negeri dapat ditempuh dengan
beberapa cara, melalui gugatan
biasa dan permohonan eksekusi
grosse akta.
a) Gugatan biasa
Untuk mencapai suatu eksekusi
atas putusan hakim dalam
proses gugatan biasa diperlukan
tiga tingkatan peradilan, yaitu
Tingkat Pertama/Pengadilan
Negeri, Tingkat
Banding/Pengadilan Tinggi, dan
Tingkat Kasasi/Mahkama
Agung. Proses perkara perdata
di Pengadilan Negeri dilakukan
secara terbuka dengan diawali
masing-masing pihak memberi
alasannya. Sampai terakhir
setelah mendengarkan
penjelasan dan tanya jawab
berbagai pihak pengadilan
menjatuhkan putusan disertai
dengan alasan-alasan putusan
yang dijadikan dasar mengadili
b) Permohonan eksekusi grosse
akta
21
Ibid. h. 336
Permohonan eksekusi ini
dilakukan atas dasar dan
kekuatan Grosse Akta
Pengakuan Hutang dan Grosse
Akta Hipotik. Saat pengajuan
gugatan eksekusi pihak
pengadilan selalu mengacu pada
jangka waktu kredit. Jika sudah
jatuh tempo, maka dapat
dilakukan eksekusi atau gugatan
jika belum jatuh tempo maka
pihak pengadilan tidak akan
menerima gugatan. 22
2) Pengadilan Niaga
Penyelesaian melalui
Peradilan Niaga merupakan
salah satu alternatif yang dapat
digunakan oleh pihak kreditur
terhadap debitur yang
bermasalah dengan berpedoman
bahwa pihak kreditur
menyatakan bahwa pihak
kreditur mengalami pailit.23
3) Panitia Urusan Piutang Negara
Panitia urusan piutang
negara (PUPN) melakukan
penyelesaian kredit macet pada
instansi pemerintahan, badan-
badang negara, serta BUMN/D
Perbankan atau Non-Perbankan.
Tugas dari Panitia urusan Piutang
Negara adalah mengurusi piutang
yang besarnya telah pasti
menurut hukum. Tetapi debitur
tidak melunasi sebagaimana
mestinya. Yang dimaksud
dengan piutang negara adalah
jumlah uang yang wajib
dibayarkan kepada negara atau
badan-badan yang dikuasai oleh
negara.24
D. PENUTUP
22
Ibid. h. 336-339 23
Ibid. h. 340 24
Ibid. h. 344-345
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
25 | P a g e
1. Proses pengajuan kredit
dengan jaminan BPKB di
Koperasi Simpan Pinjam
Amanah adalah sebagai
berikut:
b. Nasabah Mengajukan
Permohonan Kredit ke
Koperasi.
c. Dari permohonan tersebut
selanjutnya pihak
koperasi melalukan
analisa kelayakan dengan
memperhatikan beberapa
aspek.
d. Apabila permohonannya
disetujui maka calon
nasabah harus
melampirkan beberapa
persyaratan sebagai
kelengkapan Kredit.
e. Setelah syarat terpenuhi,
selanjutnya pihak
koperasi melakukan
pencairan atas pinjaman
nasabah.
1. Akibat hukum yang timbul
jika nasabah tidak bisa
melakukan pembayaran
sesuai batas waktu yang
ditimbulkan adalah dengan
dibawanya masalah ini ke
pengadilan sehingga
dilakukan pembatalan
perjanjian dengan pihak
nasabah memberikan ganti
rugi yang ditimbulkan sampai
dengan dipailitkan. Kedua
belah pihak juga bisa memilih
alternatif penyelesaian
lainnya yakni negosiasi
dengan jalan rescheduling
atau Restrukturisasi utang. Di
Koperasi Simpan Pinjam
“Amanah” lebih memilih
untuk negosiasi bersama
dengan nasabah agar tidak
menghabiskan dana banyak
dan waktu jika memilih jalur
persidangan. Apabila ada
nasabah yang tidak
memenuhi kewajibannya
maka pihak koperasi akan
mendatangi nasabah dan
memberikan surat peringatan,
diberlakukan denda
keterlambatan, hingga
penyitaan jaminan agar dibeli
sendiri atau dilelang kepada
orang lain.
E. DAFTAR PUSTAKA
H. Mho. Tjoekam. Perkrediatan
Bisnis Inti Bank Komersial
(Konsep teknik dan
Kasus). Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 1999.
H. Salim HS. Perkembangan
Hukum Kontrak Diluar
KUH Perdata. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
2006.
H.R. Daeng Naja. Hukum
Kredit dan Bank Garasi.
Citra Aditya Nakti.
Bandung. 2005.
Kasmir. Bank dan Lembaga
Keungan Lainnya.
Rajawali Pers. Jakarta.
2003.
Natara Andri & Nurbekti
Satriyo. Solusi Cerdas
Mengatasi Hutang dan
Kredit. Penebar plus.
Jakarta. 2008
R. Setiawan. Pokok-pokok
Hukum Perikatan.
Binacipta. Bandung.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
26 | P a g e
Rachmdi Usman. Aspek-Aspek
Hukum Perbankan Di
Indonesia. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
2001.
Suharnoko. Hukum Perjanjian
Teori dan Analisa Kasus.
Prenamedia Group.
Jakarta.
Undang-undang Perkoperasian
2012 dihimpun oleh
Redaksi Sinar Grafika.
Sinar Grafika. Jakarta.
2013.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
27 | P a g e
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU PENJUALAN BARANG
YANG BELUM LUNAS YANG TELAH DIJAMINKAN FIDUSIA
Oleh
Jatmiko Winarno
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Salah satu persoalan yang muncul di dunia bisnis permasalahanya ialah
barang yang dijual belikan adalah barang kredit yang masih belum lunas yang
telah dijual,dialihkan atau digelapkan. Penggelapan kendaraan bermotor sebagai
Jaminan Fidusia merupakanpelanggaran dari sistem penjualan
kendaraanbermotor melalui cara kredit yangdibiayai oleh perusahaan
pembiayaan. Kendaraan bermotor sebagai JaminanFidusia dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia,yang mengatur
mengenai kepentingan hukum baik kreditur maupun debitur dalamperjanjian jual
beli kendaraan bermotor yang berisi ketentuan-ketentuan dalamproses perjanjian
kredit. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa tanggung jawab dan
resikosehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi
objekJaminan Fidusia diancam denganPasal 36 Undang-undang Fidusia. Selain
Pasal 36 Undang-undang Jaminan Fidusia Jika pelaku memenuhi unsur-unsur
penggelapan dalam KUHP diancan denganPasal 372 KUHP. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa : Pelaku penggelapan diancam dengan pasal 372 KUHP
dan Pasal 36 Undang-undang tentang Jaminan Fidusia.Saran-saran dan masukan
yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: Diharapkan dengan ini
angka kerugian pada lessor akibat penggelapan mobil berkurang dengan
pengetahuan lessor akan Jaminan Fidusia. Pihak lessor di harapkan untuk
mendaftarkan barang pada jaminan fidusia agar mendapatkan kepastian hukum
pada saat terjadi pelanggaran perjanjian jual beli kendaraan motor kredit dan dapat
menindak pidana penggelapan kendaraan motor yang dilakukan oleh konsumen,
dengan bukti materiil akta jaminan fidusia.
Kata Kunci: Tinjauan yuridis,barang belum lunas, Fidusia.
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu persoalan muncul
di dunia bisnis permasalahanya
ialah barang yang dijual belikan
adalah barang kredit yang masih
belum lunas yang telah
dijual,dialihkan atau
digelapkan.Yang Harus Dipahami
Terlebih Dahulu pada awal
pembahasan kali ini, kita akan
melihat terlebih dahulu praktek
jual beli yang terlarang yaitu
menjual barang yang belum
selesai diserahterimakan, yang
harus diketahui di antara jual beli
terlarang adalah jual beli barang
yang belum selesai
diserahterimakan. Atau bi disebut
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
28 | P a g e
juga dengan tindak pidana
penggelapan sebagaimana yang
diatur dalam Bab XXIV Pasal 372
sampai dengan pasal 377 KUHP.
Tindak pidana tersebut sebagai
„‟penyalahgunaan kepercayaan‟‟.
Sebab, inti dari tindak pidana
yang diatur dalam Bab XXIV
tersebut adalah „‟penyalahgunaan
hak‟‟. Atau „‟penyalahgunaan
kepercayaan‟‟. Tindak pidana
penggelapan sering terjadi di
berbagai kalangan, mulai dari
kalangan rendah hingga kalangan
tinggi yang notabennya
berpendidikan dan mengerti
hukum atas tindakan tersebut,
namun kejahatan ini tetap saja
terjadi tidak hanya oleh
masyarakat kecil bahkan seorang
yang terpandang yang seharusnya
menjadi panutan pun ikut
terjerumus dalam kasus ini.
Dalam hal ini pasal 372 kurang
mendapat respon karena sanksi
yang dapat di pilih antara
denda dan kurungan penjara di
sebut di atas kurang
mendapatkan perhatian
dikarenakan adanya kata “atau”
pada pasal itu dan juga denda
yang di berikan tidak memiliki
dampak terhadap efek jera
karena sanksi dalam pasal
tersebut bersifat alternatif artinya
hakim dalam memberikan vonis
harus memilih salah satu antara
pidana penjara 4 tahun atau
pidana denda Rp 900, sebaiknya
bunyi pasal 372 ini disamakan
dengan perkembangan zaman
agar bisa berdampak pada efek
jera terhadap pelaku penggelapan.
Oleh karena itu pengalihan atau
penggelapan juga diatur dalam
pasal 36 Undang-undang No. 42
tahun 1999 tentang jaminan
Fidusia, dimana pada kasus
pengalihan jaminan fidusia modus
pelaku yaitu mengalihkan benda
bergerak objek jaminan fidusia,
tanpa itikad tidak baik tanpa
sepengetahuan kreditur.
Biasannya pelaku disini telah
memenuhi unsur dari pasal 36
Undang-undang No. 42 tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia,
yaitu: “Pemberi Fidusia yang
mengalihkan, menggadaikan, atau
menyewakan benda yang menjadi
obyek jaminan Fidusia
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 23 ayat (2) yang dilakukan
tanpa persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari Penerima Fidusia,
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah)”.
B. METODE PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan bahwa tanggung
jawab dan resiko sehubungan dengan
penggunaan dan pengalihan benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia
diancam dengan Pasal 36 Undang-
undang Fidusia . Selain Pasal 36
Undang-undang Jaminan Fidusia
Jika pelaku memenuhi unsur-unsur
penggelapan dalam KUHP diancan
dengan Pasal 372 KUHP. Tipe
penelitian hukum yang dilakukan
ialah yuridis normatif .Metode
penelitian hukum normatif adalah
suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
29 | P a g e
dari sisi normatifnya. pendekatan
yang digunakan berdasarkan bahan
hukum utama dengan cara menelaah
teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
hukum serta pendekatan undang-
undang dan pendekatan konseptual
yang berhubungan dengan penelitian.
Bahan hukum yang digunakan ialah
bahan hukum primer yaitu bahan
hukum yang mempunyai otoritas,
bahan hukum terdiri dari perundang-
undangan dan putusan-putusan.
Adapun bahan hukum primer
tersebut meliputi : Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tentang
(Penggelapan), Undang-Undang
No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, PP No.86 Tahun 2000
tentang Tata cara pendaftaran
jaminan fidusia dan pembuatan akta
jaminan fidusia, Kepres No.139
Tahun 2000 tentang Pembentukan
Kantor Pendaftaran Fidusia di setiap
ibu kota Provinsi wilayah negara
Republik Indonesia, Permenkeu RI
No. 130/PMK.010/2012 tentang
Pendaftaran jaminan fidusia bagi
perusahaan pembiayaan yang
melakukan pembiayaan konsumen
untuk kendaraan bermotor dengan
pembebanan jaminan fidusia,
Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia No. 8 Tahun
2011 tentang Pengamanan eksekusi
jaminan fidusia. Disamping itu juga
menggunakan bahan hukum
sekunder yaitu banah hukum yang
diperoleh dari buku,teks,jurnal-jurnal
dan pendapat para sarjana. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan
secara dedukatif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap
permasalahan yang dihadapi yakni
tentang tinjauan yuridis terhadap
pelaku penjualanbarang yang belum
lunas yang telah dijaminkan fidusia.
C. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Penerapan Hukum Yang Berlaku
Di Indonesia Terhadap Pelaku
Penjualan “Atau” Pengalihan
Barang Yang Belum Lunas
Pelaku penjualan “atau”
pengalihan barang yang belum
lunas pembayaran kreditnya, bisa
juga disebut dengan penggelapan
apabila dalam prosesnya terjadi
perbuatan wanprestasi yang bersifat
melawan hukum dan menjadikan
perbuatan itu sebagai suatu tindak
pidana. Tindak pidana penggelapan
telah diatur dalam Bab XXIV
(Buku II) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP),pasal 372-
377 KUHP.Pengertian yuridis
mengenai penggelapan telah dimuat
dalam pasal 372 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Delik yang tercantum di dalam pasal
372 KUHP adalah delik pokok.25
Penggelapan yang ketentuannya
telah diatur dalam pasal 372 KUHP
yang menegaskan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja memiliki
dengan melawan hukum sesuatu barang
yang sama sekali atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain dan berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan,
25
Andi Hamzah. Delik-Delik Tertentu di
dalam KUHP. Sinar Grafika. Jakarta. 2014.
h.107
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
30 | P a g e
dipidana karena penggelapan, dengan
pidana penjara selama-lamanya empat
tahun atau denda sebanyak-banyaknya
sembilan ratus rupiah”.
Tindak pidana mempunyai
pengertian yang abstrak dari
peristiwa-peristiwa yang kongkrit
dalam lapangan hukum pidana,
sehingga tindak pidana haruslah
diberikan arti yang bersifat ilmiah
dan ditentukan dengan jelas untuk
dapat memisahkan dengan istilah
yang dipakai sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat.26
Seperti
yang diungkapkan oleh seorang ahli
hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno,
SH, yang berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang
menurut istilah beliau yakni
perbuatan pidana adalah:
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut.” 27
Tindak pidana senantiasa merupakan
suatu perbuatan yang tidak sesuai
atau melanggar suatu aturan hukum
atau perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum yang disertai dengan
sanksi pidana yang mana aturan
tersebut ditujukan kepada perbuatan
sedangkan ancamannya atau sanksi
pidananya ditujukan kepada orang
yang melakukan atau orang yang
menimbulkan kejadian
tersebut.Dapat juga dikatakan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana, bagi
yang melanggarnya. Dalam suatu
26
http://www.sarjanaku.com/2012/12/penger
tian-tindak-pidana-dan-unsur.html 27
Moeljatno, Asas-asasHukumPidana,
Jakarta: RinekaCipta, 1987, hal 59
permasalahan hukum tentang
pengalihan atau lebih dikenal dengan
istilah tindak pidana penggelapan.
Tindak pidana penggelapan sendiri
telah diatur dalam pasal 36 Undang-
undang jaminan fidusia ataupun
dengan menggunakan pasal 372
KUHP. Dalam penerapannya kedua
pasal tersebut adalah serupa tapi tak
sama. Karena dalam pasal 36
Undang-undang jaminan fidusia
merupakan asas lex specialis derogat
legi generalis yaitu hukum yang
bersifat khusus mengesampingkan
hukum yang bersifat umum.
Aturan Hukum Yang Digunakan
Apabila Barang Yang Dijual
“Atau”Dialihkan Sudah
Didaftarkan Jaminan Fidusia
Pengertian fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tetap
dalam penguasaan pemilik benda.
Yang telah diatur menurut Undang-
undang Nomor 42 Tahun 1999,
sejalan dengan prinsip memberikan
kepastian hukum, maka Undang-
undang fidusia mengambil prinsip
pendaftaran jaminan fidusia.28
Pendaftaran tersebut diharapkan
memberikan kepastian hukum
kepada pemberi dan penerima fidusia
maupun kepada pihak ketiga.29
Unsur-unsur dalam fidusia adalah:
1. Adannya hak jaminan.
2. Adanya objek, yaitu benda
bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwuhud dan
benda tidak bergerak, khususnya
28
J.Satrio. HukumJaminanHakJaminan. Citra
Aditya Bakti. Bandung. 2007. h 179 29
Ibid
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
31 | P a g e
bangunan yang tidak di bebani
hak tanggungan. Ini berkaitan
dengan pembebanan jaminan
rumah susun.
3. Benda menjadi objek jaminan
tetap berada dalam penguasaan
pemberi fudasia.
4. Member kedudukan yang di
utamakan kepada kreditur.30
Perjanjian fidusia adalah
perjanjian hutang piutang kreditor
kepada debitor yang melibatkan
penjaminan. Jaminan tersebut
kedudukannya masih dalam
penguasaan pemilik jaminan. Tetapi
untuk menjamin kepastian hukum
bagi kreditor, maka dibuat akta yang
dibuat oleh notaris dan didaftarkan
ke kantor Pendaftaran fidusia.Fidusia
dengan akta dibawah tangan yaitu
perjanjian pembiayaan konsumen
dengan penyerahan secara fidusia
yang tidak dibuat akta notaris dan
tidak di daftarkan di kantor
pendaftaran fidusia untuk mendapat
sertifikat jaminan fidusia. Dalam
Undang-undang jaminan fidusia,
ditentukan bahwa cara melakukan
eksekusi jaminan fidusia adalah
pertama, pelaksanaan titel
eksekutorial; keduaa, penjualan
benda jaminan berdasarkan parate
eksekusi dan ketiga, penjualan benda
jaminan fidusia secara dibawah
tangan.31
Sesuai Undang-undang No.
42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia. Lalu, bagaimana dengan
perjanjian fidusia yang tidak di
buatkan akta notaris dan didaftarkan
di kantor pendaftaran fidusia alias
dibuat dibawah tangan? Pengertian
akta di bawah tangan adalah sebuah
akta yang dibuat antara pihak-pihak
30
Ibid. h.186 31
Ibid. h 358
dimana pembuatanya tidak di
hadapan pejabat pembuat akta yang
sah yang ditetapkan oleh undang-
undang (notaris, PPAT dll). Jika
penerima fidusia mengalami
kesulitan di lapangan, maka ia dapat
meminta pengadilan setempat
melalui juru sita membuat surat
penetapan permohonan bantuan
pengamanan eksekusi. Bantuan
pengamanan eksekusi ini bisa
ditujukan kepada aparat kepolisian,
pamong praja dan pamong
desa/kelurahan dimana benda objek
jaminan fidusia berada. Dengan
demikian bahwa pembuatan sertifikat
jaminan fidusia melindungi penerima
fidusia jika pemberi fidusia gagal
memenuhi kewajiban sebagaimana
tertuang dalam perjanjian kedua
belah pihak. Apabila Anda tidak
mendapat persetujuan tertulis dari
penerima fidusia (dalam hal ini
perusahaan pembiayaan) untuk
menjual atau mengalihykan barang
jaminan fidusia yang belum lunas
pembayaran kreditnya, maka
berdasarkan Pasal 36 Undang-
undang jaminan fidusia dan 372
KUHP. pada prinsipnya ketentuan
mengenai larangan mengalihkan
benda jaminan fidusia telah diatur
dalam undang-undang. Di dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, pemberi fidusia dapat
mengalihkan benda yang dijadikan
jaminan fidusia, asalkan ada
persetujuan tertulis dari penerima
fidusia. Akan tetapi, apabila pelaku
tidak mendapat persetujuan tertulis
dari penerima fidusia (dalam hal ini
perusahaan pembiayaan), maka
berdasarkan Pasal 36 Undang-
undang Fidusia, pelaku diancam
dengan pidana penjara paling lama 2
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
32 | P a g e
(dua) tahun dan denda paling banyak
Rp50.000.000 (lima puluh juta)
rupiah.2. Apabila kreditor
mengalihkan benda objek fidusia
yang dilakukan dibawah tangan
kepada pihak lain tidak dapat dijerat
dengan Undang-undang No. 42
Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia,
karena tidak syah atau legalnya
perjanjian jaminan fidusia yang
dibuat. Mungkin saja kreditor yang
mengalihkan barang objek jaminan
fidusia di laporkan atas tuduhan
penggelapan sesuai Pasal 372
KUHP. Jadi berdasarkan ketentuan
tersebut setiap peralihan yang tidak
mendapatkan persetujuan dari
penerima fidusia baik yang dilakukan
dengan akta otentik atau akta
dibawah tangan, dapat dikategorikan
sebagai perbuatan pidana.
Berdasarkan kasus pengalihan objek
jaminan fidusia salah satunya,
dengan ilustrasi; “tersangka telah
mengalihkan kendaraan objek
jaminan fidusia kepada pihak ketiga
berupa kendaraan bermotor, dalam
perjalanan waktu pihak ketiga telah
mengalihkan lagi objek jaminan
fidusia kepada pihak lain, dan pihak
lain tersebut ternyata juga sudah
mengalihkan objek jaminan fidusia”
D. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-
bab terdahulu dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Pada dasarnya tinjauan yuridis
terhadap pelaku penjualan barang
yang belum lunas yang telah di
Jaminankan Fidusia bisa disebut
juga sebagai pengalihan atau
penggelapan objek jaminan
Fidusia. Hal itu merupakan salah
satu dari perbuatan melawan
hukum berkaitan dengan
penggunaan dan pengalihan
benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia. Pelaku
penggelapan diancam dengan
pasal 372 KUHP dan Pasal 36
Undang-undang No. 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia.
2. Akta fidusia di bawah tangan
mengikat bagi para pihak karena
isi dari perjanjian tersebut telah
disepakati dan para pihak telah
mengakui keberadaan isi akta
tersebut. Agar pelaksanaan
khususnya eksekusi perjanjian
fidusia tersebut memperoleh
kekuatan hukum, perjanjian
fidusia harus didaftarkan sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Saran
A. Diharapkan dengan ini angka
kerugian pada pihak lessor akibat
pengalihan atau penggelapan
mobil berkurang dengan
pengetahuan tentang Jaminan
Fidusia. Pihak lessor diharapkan
untuk mendaftarkan pada
Jaminan Fidusia agar
mendapatkan kepastian hukum
pada saat terjadi pelanggaran
perjanjian jual beli mobil kredit
dan dapat menindak pidanakan
penggelapan barang yang belum
lunas yang dilakukan oleh
konsumen, dengan bukti materiil
akta Jaminan Fidusia.
B. Apabila akta di bawah tangan atau
belum didaftarkan jaminan fidusia
telah menimbulkan sengketa di
antara para pihak, sebaiknya
diselesaikan dengan cara
kekeluargaan oleh kedua belah
pihak. Sehingga tidak
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
33 | P a g e
menimbulkan korban kekerasan
secara fisik atau psikis dengan
dilibatkannya Debt Collector.
E. DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
- Andi Hamzah. Asas-asas Hukum
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,
Tahun2010.
- Andi Hamzah. Delik-Delik
Tertentu di dalam KUHP,
SinarGrafika, Jakarta, Tahun
2014.
- Burhan Ashshofa, Metode
penelitian hukum, Rineka Cipta,
Jakarta,Tahun 2013.
- J. Satrio, S.H., Hukum Jaminan
Hak Jaminan Kebendaan
Fidusia,Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, Tahun 2002.
- Moeljatno, Asas-asas Hukum
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,
Tahun1987.
- Munir Fuady. Perbuatan Melawan
Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung,Tahun 2010.
- Peter Mahmud Marzuki.
Penelitian Hukum, Kencana
Prenada MediaGroup, Jakarta,
Tahun 2009.
- Soerjono soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tujuan Singkat,
PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Tahun 2009
- Tan Kamello. Hukum Jaminan
Fidusia, Alumni, Bandung, Tahun
2014.
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
- Subekti R., Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, PT
PadnyaParamita, Jakarta.
- Undang-undang No. 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia
- PP No.86 Tahun 2000 tentang
Tata cara pendaftaran jaminan
fidusia danpembuatan akta
jaminan fidusia.
- Kepres No.139 Tahun 2000
tentang Pembentukan Kantor
Pendaftaran
- Fidusia di setiap ibu kota Provinsi
wilayah negara Republik
Indonesia.
INTERNET
- http://www.hukum-
hukum.com/2016/06/tindak-
pidana-jaminan-fidusia-
antara.html DiAkses pada 03 Mei
2017.
- http://www.sarjanaku.com/2012/1
2/pengertian-tindak-pidana-dan-
unsur.htmlDi Akses pada 27 Mei
2017.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
34 | P a g e
FUNGSI DAN KEGUNAAN MOBIL BARANG MENURUT UU NO. 22 TAHUN 2009
TENTANG LALULINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Oleh
Joejoen Tjahjani
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Dalam kehidupan sehari-hari kebutuhan akan sarana tranportasi kian hari dirasakan
semakin meningkat sesuai dengan laju perkembangan jaman, sehingga kebutuhan dalam hal
ini sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi, bahkan sekarang sudah berubah menjadi suatu
kebutuhan primer. Manusia yang hidup dalam lingkup masyarakat mempunyai hak untuk
menghormati hak asasi orang lain, seperti contohnya dalam hal berlalu lintas. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode yuridis normatif, dan pendekatan yang dilakukan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang undangan, untuk bahan hukum
dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan-bahan hukum yang meliputi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, dalam prosedur pengumpulan bahan hukum baik
bahan hukum primer maupun dengan bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik
permasalahan yang telah dirumuskan dan diklarifikasi menurut sumber dan hirarkinya untuk
dikaji secara komprehensif, serta pengolahan dan analisis bahan hukum, adapun bahan
hukum yang diperoleh dalam penelitian adalah studi kepustakaan, aturan perundang-
undangan, yang penulis uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis. pengaturan mengenai fungsi dan kegunaan mobil barang
menurut undang-undang no. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai
peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari
upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggaran lalu lintas yang menyalahgunakan mobil barang untuk mengangkut
orang/manusia yang diatur dalam undang-undang no. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan. Kepolisian seharusnya tetap profesional dalam menjalankan peran, fungsi,
dan tugasnya sebagai aparat penegak hukum dengan memberikan tindakan yang tegas lebih
mengoptimalkan lagi sosialisasi Undang-Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
Kata kunci: Fungsi, Kegunaan, Mobil Barang, Lalu Lintas, Angkutan Jalan.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kepadatan penduduk yang terus
bertambah, kebutuhan orang yang semakin
banyak, serta kemajuan teknologi yang
semakin canggih membawa dampak
semakin ramainya transportasi di jalanan.
Secara sederhana lalu lintas dapat
dipahami sebagai pergerakan orang dan
kendaraan di jalan. Selain itu, untuk
menunjang sistem kelancaran transportasi
juga diperlukan sistem lalu lintas yang
aman untuk berkendara.
Pelaksanaan undang-undang no. 22
tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan termasuk hukum pidana,
Keberadaan hukum pidana dalam
kehidupan bernegara memilikiperanan
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
35 | P a g e
yang penting, sebab tugas hukum pidana
adalah menjadi obat terakhir dengan
memberikan sanksi kepada si pelanggar
hukum berupa pembatasan-pembatasan
tertentu guna menjamin terciptanya
kedamaian dan ketentraman di dalam
masyarakat.
Penghilangan nyawa manusia memang
dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak
terkecuali anak yang masih dibawah umur
maupun orang dewasa sekalipun. Namun
kalau dikalkulasi, penyebab kematian oleh
karena penggunaan lalu lintas jalan
sebagai akibat adanya kecelakaan
kendaraan bermotor saat ini memberikan
andil cukup besar sebagai penyebab utama
yang mengakibatkan hilangnya nyawa
bahkan harta benda milik manusia.
Tujuan penelitian
Terpenuhinya akan sarana transportasi
yang memadai di satu sisi harus diimbangi
dengan melengkapi berbagai sarana atau
fasilitas penunjang sebagai pendukung. Di
sisi lain, perangkat peraturan aparat serta
fasilitas jalan harus memadai. Perangkat
peraturan di bidang lalu lintas yang
berlaku secara nasional saat ini berfungsi
sebagai sarana preventive untuk mengatasi
bahkan meniadakan timbulnya kecelakaan
lalu lintas jalan raya yang dilakukan oleh
anak dibawah umur.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang dilakukan
adalah yuridis normatif (hukum normatif).
Metode penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum tersebut disusun
secara sistematis, dikaji kemudian ditarik
suatu kesimpulan dalam hubungannya
yang diteliti.32
32Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta, 2008, hlm 54
Oleh karena itu penelitian hukum ini
difokuskan untuk mengkaji penelitian
hukum tentang kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.
Pendekatan masalah
Pendekatan yang dilakukan dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang undangan (statueekata
approach), pendekatan perundang
undangan adalah pendekatan yang
dilakukan oleh peneliti melalui aturan
perundang undangan yang berkaitan
dengan materi yang dibahas. Selain itu
juga digunakan pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan kasus digunakan
untuk melihat kasus-kasus tindak pidana
kealpaan.
Bahan hukum
Dalam penulisan skripsi ini penulis
menggunakan bahan-bahan hukum yang
meliputi :
a) Bahan hukum primer :
Bahan hukum primer adalah merupakan
bahan hukum yang bersifat autoriatif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
hukum terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi, atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.33
Adapun bahan hukum primer tersebut
meliputi :
1) Undang-Undang Dasar 1945,
2) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP),
3) undang undang nomor 22 tahun
2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan.
4) Peraturan pemerintah nomor 55
tahun 2012tentang kendaraan,
5) Peraturan pemerintah nomor 80
tahun 2012 tentang tata cara
pemeriksaan kendaraan bermotor di
33Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia
Group, Jakarta, 2016 , hlm. 181.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
36 | P a g e
jalan dan penindakan pelanggaran
lalu lintas dan angkutan jalan.
6) Peraturan pemerintah nomor 74
tahun 2014 tentang angkutan jalan.
b) Bahan Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang
diperoleh dari buku teks, karena buku teks
berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu
hukum dan pandangan-pandangan klasik
para sarjana yang mempunyai kuwalitas
tinggi.34
Prosedur pengumpulan bahan hukum
Baik bahan hukum primer maupun
dengan bahan hukum sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik
permasalahan yang telah dirumuskan dan
diklarifikasi menurut sumber dan
hirarkinya untuk dikaji secara
komprehensif.
Pengolahan dan analisis bahan hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh
dalam penelitian adalah studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan, yang penulis
uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang
lebih sistematis guna menjawab
perumusan masalah yang dirumuskan.
Cara pengolahan bahan hukum dilakukan
secara deduktif yakni menarik kesimpulan
dari suatu pemasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkrit
yang dihadapi yakni tindak pidana
kealpaan.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
Pengaturan mengenai fungsi dan
kegunaan mobil barang menurut
undang-undang no. 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
34 Ibid, hlm. 182.
pengaturan mengenai fungsi dan
kegunaan mobil barang menurut undang-
undang no. 22 tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan mempunyai
peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional
sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun definisi mobil penumpang dan
mobil barang yang diatur dalam pasal 1
angka 5 peraturan pemerintah no. 55 tahun
2012 tentang kendaraan, dan juga
dijelaskan pasal 1 angka 7 peraturan
pemerintah no. 55 tahun 2012 tentang
kendaraan.
Pengangkutan berasal dari kata dasar
“angkut” yang berarti angkat dan bawa,
muat dan bawa atau kirimkan.
Mengangkut artinya mengangkat dan
membawa, memuat dan membawa atau
mengirimkan. Pengangkutan artinya
pengangkatan dan pembawaan barang atau
orang, pemuatan dan pengiriman barang
atau orang, barang atau orang yang
diangkut. Jadi, dalam pengertian
pengangkutan itu tersimpul suatu proses
kegiatan atau gerakan dari satu tempat ke
tempat lain.35
mobil barang adalah Kendaraan
Bermotor yang digunakan untuk angkutan
barang. Mobil barang lebih populer
dikenal sebagai truk yang berasal dari
bahasa Inggris Truck atau prahoto ayang
berasal dari bahasa Belanda vrachtauto.
Dalam bentuk kecil disebut pick-up.
Adapun jenis-jenis mobil barang:
1. Truk barang umum, merupakan truk
yang digunakan untuk mengangkut
segala jenis barang, baik yang dikemas
ataupun tanpa kemasan dalam bentuk
curah, namun penggunaan yang
35
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, PT.Citra Aditya Bakti,1991, Bandung, hlm 19.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
37 | P a g e
sifatnya spesifik sering diangkat dengan
truk yang diperuntukkan untuk satu
jenis barang saja.
2. Truk tangki adalah truk yang dirancang
untuk mengangkut muatan berbentuk
cair atau gas. Untuk meningkatkan
kestabilan dalam transportasi cairan
dalam tangki, tangki dibagi dalam
beberapa kompartemen yang
dipisahkan dengan sekat-sekat.
3. Mobil box adalah kendaraan angkutan
barang antaran yang biasanya
digunakan untuk mengangkut barang
antaran (delivery van) yang dimasukkan
dalam suatu box yang terbuat dari baja
ataupun dari aluminium. Dengan box
ini barang akan terlindungi dari hujan
dan angin dan disamping itu juga
melindungi barang dari tangan-tangan
jahil. Ada pula truk box yang
dilengkapi dengan pendingin yang
digunakan untuk mengangkut barang
yang mudah busuk atau rusak karena
suhu seperti untuk angkutan es, daging,
ikan, sayuran dan buah-buahan.
Mobil peti kemas disebut juga truk
kontainer adalah kendaraan pengangkut
peti kemas terdiri dari kendaraan penarik
(tractor head) dan kereta tempelan dimana
peti kemas ditempatkan. Trend angkutan
barang dengan peti kemas meningkat
dengan cepat karena intermodalitynya
yang tinggi sehingga mempermudah
bongkar-muat/handling dari barang yang
mengakibatkan biaya angkutan secara
keseluruhan menurun dengan drastis.
Disamping itu keamanan dari barang juga
lebih tinggi.36
Pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggaran lalu lintas yang
menyalahgunakan mobil barang untuk
mengangkut orang/manusia yang diatur
dalam undang-undang no. 22 tahun
36https://id.wikibooks.org/wiki/Moda_Transportasi/Moda
_Transportasi_Jalan
2009 tentang lalu lintas dan angkutan
jalan.
Pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggaran lalu lintas yang
menyalahgunakan mobil barang untuk
mengangkut orang/manusia yang diatur
dalam undang-undang no. 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan, di
dalam pelanggaran lalu lintas,
pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggar lalu lintas yang menyalah
gunakan mobil barang digunakan untuk
mengangkut orang yakni di atur dalam
undang undang no. 22 tahun 2009 tentang
lalu lintas dan angkutan jalan bagian
ketiga kewajiban dan tanggung jawab.
Pelanggaran adalah tindak pidana yang
termasuk lebih ringan dari kejahatan.
pelanggaran lalu lintas adalah
pelanggaran-pelanggaran yang khusus
dilakukan oleh pengemudi kendaraan
bermotor dijalan raya.
Dengan demikian suatu tindakan
dinyatakan telah melanggar apabila
hakikat dari perbuatan itu menimbulkan
adanya sifat melawan hukum dan telah ada
aturan dan atau telah ada undang-undang
yang mengaturnya. Walaupun perbuatan
itu telah menimbulkan suatu sifat yang
melanggar hukum, namun belum dapat
dinyatakan sebagai suatu bentuk
pelanggaran sebelum diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Untuk penjelasannya pengemudi,
pemilik Kendaraan Bermotor, dan atau
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh
Penumpang dan atau pemilik barang dan
atau pihak ketiga karena kelalaian
pengemudi seperti ugal - uagalan dijalan
raya dan wajib memberikan bantuan
kepada ahli waris korban berupa biaya
pengobatan dan atau biaya pemakaman
dengan tidak menggugurkan tuntutan
perkara pidana. Para pengguna kendaraan
seperti mobil, motor dan angkutan umum
harus selalu berhati - hati dalam menyetir
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
38 | P a g e
agar tidak membahayakan diri sendiri dan
orang lain.
Di pengadilan, pelaku yang lalai dijerat
dengan Pasal 359-360 KUHP. Bahkan
setelah UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (UU No. 22 Tahun 2009) berlaku pun
Pasal 359-360 KUHP masih sering dipakai
polisi dan jaksa.
Pasal 359
“Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, di
ancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun”
Pasal 360
(1) “Barang siapa karena kealpaannya
menyebakan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau alangan
menjalankan pekerjaan, jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
PEMBAHASAN
Pengaturan dalam undang-undang no.
22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi
nasional sebagai bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Selain itu, Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan juga sebagai bagian dari
sistem transportasi nasional harus
dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas
dan Angkutan Jalan dalam rangka
mendukung pembangunan ekonomi dan
pengembangan wilayah. Maka dari itu,
ditetapkanlah Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Di dalam pelanggaran lalu lintas,
pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggar lalu lintas yang menyalah
gunakan mobil barang digunakan untuk
mengangkut orang yakni di atur dalam
undang undang no. 22 tahun 2009 tentang
lalu lintas dan angkutan jalan bagian
ketiga kewajiban dan tanggung jawab. Di
pengadilan, pelaku yang lalai dijerat
dengan Pasal 359-360 KUHP. Bahkan
setelah UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (UU No. 22 Tahun 2009) berlaku pun
Pasal 359-360 KUHP masih sering dipakai
polisi dan jaksa.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari uraian mengenai fungsi dan
kegunaan mobil barang menurut undang-
undang no. 22 tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan, maka dapat disimpulkan bahwa;
1. pengaturan mengenai fungsi dan
kegunaan mobil barang menurut
undang-undang no. 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan
mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi
nasional sebagai bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun definisi mobil penumpang dan
mobil barang yang diatur dalam pasal 1
angka 5 peraturan pemerintah no. 55
tahun 2012 tentang kendaraan, dan juga
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
39 | P a g e
dijelaskan pasal 1 angka 7 peraturan
pemerintah no. 55 tahun 2012 tentang
kendaraan.
2. Pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggaran lalu lintas yang
menyalahgunakan mobil barang untuk
mengangkut orang/manusia yang diatur
dalam undang-undang no. 22 tahun
2009 tentang lalu lintas dan angkutan
jalan, di dalam pelanggaran lalu lintas,
pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggar lalu lintas yang menyalah
gunakan mobil barang digunakan untuk
mengangkut orang yakni di atur dalam
undang undang no. 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan
bagian ketiga kewajiban dan tanggung
jawab.
SARAN
Berdasarkan setelah menganalisa data-
data yang ada, maka saran penulis
mengenai fungsi dan kegunaan mobil
barang menurut undang-undang no. 22
tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan, yakni;
1. Aparat kepolisian seharusnya tetap
profesional dalam menjalankan peran,
fungsi, dan tugasnya sebagai aparat
penegak hukum dengan memberikan
tindakan yang tegas lebih
mengoptimalkan lagi sosialisasi
Undang-Undang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan, karena bisa dilihat
masyarakat masih banyak yang tidak
pernah mengikuti sosialisasi. Karena
bagaimanapun juga, jika sosialisasi
terhadap Undang-Undang sudah
optimal, maka masyarakat akan
mengetahui kehadiran dan tujuan yang
hendak dicapai dari Undang-Undang
tersebut dan besar kemungkinan juga
masyarakat akan mentaati peraturan
tersebut.
2. Pemerintah harus lebih memperhatikan
sarana atau fasilitas seperti penambahan
pos polisi di jalan-jalan umum, karena
apabila suatu aturan sudah difungsikan
sementara fasilitasnya belum tersedia
atau tidak memadai maka akan
mengakibatkan aturan tersebut tidak
akan berfungsi.
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
a. Abdul Kadir Muhammad, Hukum
Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,
Penerbit PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung.1991.
b. Farouk muhammad, praktik penegakan
hukum bidang lalu lintas, balai pustaka,
jakarta, 1999.
c. Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia
(Prinsip-prinsip dan Implementasi
Hukum di Indonesia), PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta 2014.
d. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
e. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta,
2016.
f. R. Abdoel Djamali, pengantar hukum
indonesia, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakara, 2011.
g. Ridwan Khairandy., pokok-pokok
hukum dagang di indonesia,
Yogyakarta, FH UII Press, 2013.
h. Soegijanta Tjakranegara, Hukum
Pengangkutan Barang dan Penumpang,
Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
i. Soerjono Soekanto. Polisi Lalu Lintas
Analisa Menurut Sosiologi Hukum.
Maju Mundur. Bandung. 1990.
j. Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,
2008.
k. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT
Rajagrafindo persada, Jakarta,2013.
PERUNDANG-UNDANGAN
a. Undang-Undang Dasar 1945
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
40 | P a g e
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
c. undang undang nomor 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
d. Peraturan pemerintah nomor 55 tahun
2012tentang kendaraan
e. Peraturan pemerintah nomor 80 tahun
2012 tentang tata cara pemeriksaan
kendaraan bermotor di jalan dan
penindakan pelanggaran lalu lintas dan
angkutan jalan
f. Peraturan pemerintah nomor 74 tahun
2014 tentang angkutan jalan
INTERNET
a. https://www.polri.go.id/tentang-tilang.php
b. https://id.wikibooks.org/wiki/Moda_Transportasi/Moda_Transportasi_Jalan
c. http://argawahyu.blogspot.co.id/2011/06/hukum-pengangkutan.html
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
41 | P a g e
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK PENJUAL
TERHADAP PIHAK PEMBELI WANPRESTASI DALAM IKATAN JUAL
BELI TANAH
Oleh
Bambang Eko Muljono
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Dalam suatu perjanjian pada umumnya salah satu asas yang dikenal adalah asas
kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
menentukan sendiri hal-hal yang disepakati dalam perjanjian, namun tetap tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan norma-norma yang berlaku. Dalam
perjanjian jual beli tanah tersebut didasarkan pada suatu perjanjian dimana untuk
sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata mengandung empat syarat
yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Perjanjian Pengikat Jual Beli adalah akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris. Teori
kontrak yang modern cenderung untuk menghapuskan syarat-syarat formal bagi
kepastian hukum (Jack Beatson dan Daniel Friedman) sehingga perlu adanya
pengaturan hukum yang tegas dalam menangani hal ini.
Perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak penjual ketika pihak pembeli
wanprestasi dalam suatu perjanjian jual beli tanah belum diatur didalam undang-
undang, sehingga seringkali terjadi wanprestasi, dengan adanya wanprestasi tersebut
maka akibat hukum yang timbul adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat
dibatalkan atau batal dengan sendirinya.
Dan apabila akta jual beli tersebut sudah ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), maka atas BPHTB yang telah dibayar tersebut tidak dapat diminta
kembali sesuai dengan ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf a Undang Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BHTB).
Kata Kunci :Perlindungan hukum,Wanprestasi, Ikatan Jual Beli.
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perjanjian Pengikat Jual
Beli merupakan implementasi
Asas Kebebasan Berkontrak di
mana para pihak dapat
menentukan secara bebas
keinginannya lalu dituangkan
dalam klausula perjanjian.
Dalam perkembangannya
asas ini dapat mendatangkan
ketidakadilan karena prinsip ini
hanya mencapai tujuannya yaitu
mendatangkan kesejahteraan
seoptimal mungkin, bila para
pihak memiliki bargaining
power yang seimbang. Dalam
kenyataannya hal tersebut sering
terjadi demikian sehingga negara
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
42 | P a g e
menganggap perlu untuk campur
tangan untuk melindungi para
pihak yang lemah yang
dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan dan campur
tangan pengadilan melalui
putusan-putusannya.
Perjanjian Pengikat Jual
Beli adalah akta otentik yang
dibuat di hadapan Notaris. Teori
kontrak yang modern cenderung
untuk menghapuskan syarat-
syarat formal bagi kepastian
hukum (Jack Beatson dan Daniel
Friedman) sehingga perlu
adanya pengaturan hukum yang
tegas dalam menangani hal ini.
Negara yang menganut
sistem common law, seperti di
Amerika Serikat yang
menerapkan doktrin promissory
estoppels untuk memberikan
perlindungan hukum kepada
pihak yang dirugikan karena
percaya dan menaruh
pengharapan (reasonably relied)
terhadap janji janji yang
diberikan lawannya.
B. METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini
menggunakan jenis penelitian
hukum normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder, dan bahan hukum
tersier. Bahan-bahan hukum
tersebut disusun secara
sistematis, dikaji kemudian
ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya yang diteliti.
Penelitian Normatif
digunakan untuk menemukan
hukum bagi suatu perkara in
concreto yaitu suatu usaha untuk
menemukan apakah hukumnya
sesuai untuk diterapkan dan
digunakan untuk menyelesaikan
suatu perkara.
C. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Perlindungan Hukum Bagi
Pihak Penjual Terhadap
Pihak Pembeli Wanprestasi
Dalam Ikatan Jual Beli
Tanah Perlindungan hukum dalam
arti sempit adalah sesuatu yang
diberikan kepada subjek hukum
dalam bentuk perangkat hukum,
baik yang bersifat preventif
maupun represif, serta dalam
bentuk yang tertulis maupun
tidak tertulis. Dengan kata lain,
perlindungan hukum dapat
diartikan sebagai suatu gambaran
dari fungsi hukum, yaitu
ketentraman bagi segala
kepentingan manusia yang ada di
dalam masyarakat sehingga
tercipta keselarasan dan
keseimbangan hidup masyarakat.
Sedangkan perlindungan
hukum dalam arti luas adalah
tidak hanya diberikan kepada
seluruh makhluk hidup maupun
segala ciptaan Tuhan dan
dimanfaatkan bersama-sama
dalam rangka kehidupan yang
adil dan damai.
Perlindungan hukum
terhadap pemenuhan hak-hak
para pihak apabila salah satu
pihak melakukan wanprestasi
dalam perjanjian pengikatan jual
beli, maka tergantung kepada
kedudukan dari perjanjian
pengikatan jual beli dan
wanprestasi.
Wanprestasi atau ingkar
janji atau tidak memenuhi
perikatan ada 3 (tiga) yaitu:
1. Debitur tidak sama sekali
memenuhi perikatan;
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
43 | P a g e
2. Debitur terlambat memenuhi
perikatan;
3. Debitur keliru atau tidak
pantas memenuhi perikatan;
Berdasarkan keterangan diatas
terlihat bahwa ingkar janji bisa
terjadi dalam beberapa
bentuksebagaimana dikemukakan
diatas.
Hal yang sama juga dapat
terjadi dalam perjanjian
pengikatan jual beli terhadap hak
atas tanah. Karena tidak
selamanya setiap orang yang
membuat kesepakatan mampu
untuk melaksanakan semua
kesepakatan tersebut.
Dari keterangan diatas
tergambar bahwa perlindungan
hukum yang diberikan dalam
perjanjian pengikatan jual beli
sangat kuat karena sifat
pembuktian dari perjanjian
pengikatan jual beli yang dibuat
dihadapan Notaris mempunyai
pembuktian yang sangat kuat
sesuai dengan pembuktian dari
akta otentik.
Selain itu perlindungan lain
yang diberikan adalah
perlindungan hukum yang dibuat
berdasarkan dari kesepakatan
yang dibuat oleh para pihak yang
terkait dengan perjanjian
pengikatan jual beli yang jika kita
kaitkan dengan peraturan tentang
perjanjian, diatur dalam pasal
1338 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi :
semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Selain itu ada beberapa
perlindungan yang dapat
diberikan jika salah satu pihak
melakuakn wanprestasi dal
perjanjian pengikatan jual beli :
1) Perlindungan terhadap calon
penjual
Perlindungan hukum yang
dapat diberikan kepada calon
penjual biasanya adalah
berupa persyaratan yang
biasanya dimintakan sendiri
oleh calon penjual itu
sendiri.
Misalnya ada beberapa calon
penjual yang didalam
perjanjian pengikatan jual
beli yang dibuatnya
memintakan kepada pihak
pembeli agar melakukan
pembayaran uang pembeli
dengan jangka waktu tertentu
yang disertai dengan syarat
batal, misalnya apabila
pembeli tidak memenuhi
pembayaran sebagaimana
telah dimintakan dan
disepakati maka perjanjian
pengikatan jual beli hak atas
tanah yang telah dibuat dan
disepakati menjadi batal dan
biasanya pihak penjual tidak
akan mengembalikan uang
yang telah dibayarkan
kecuali pihak pembeli
meminta pengecualian.
2) Perlindungan terhadap calon
pembeli
Berbeda dengan
perlindungan terhadap
penjual perlindungan
terhadap pembelian biasanya
selain dilakukan dengan
persyaratan juga di ikuti
dengan permintaan
pemberian kuasa yang tidak
dapat ditarik kembali.
Tujuannya adalah apabila
pihak penjual tidak
memenuhinya maka pihak
pembeli dapat menuntut dan
memintakan ganti rugi sesuai
dengan kesepaktan yang
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
44 | P a g e
diatur dalam perjanjian
pengikatan jual beli.
Persyaratan yang biasanya
dimintakan oleh pembeli untuk
perlindungannya adalah dengan
memintakan supaya sertipikat
atau tanda hak milik atas tanah
tersebut dipegang oleh pihak
ketiga yang biasanya adalah
Notaris atau pihak lain yang
ditunjuk dan disepakati bersama
oleh penjual dan pembeli.
Selain itu perlindungan lain
adalah dengan perjanjian
pemberian kuasa yang tidak dapat
ditarik kembali apabila semua
persyaratan telah terpenuhi untuk
melakukan jual beli, maka pihak
pembeli dapat melakukan
pemindahan hak walaupun pihak
penjual tidak hadir dalam
penandatangan akta jual belinya.
Berdasarkan semua
keterangan diatas terlihat bahwa
perlindungan hukum yang
diberikan terhadap pemenuhan
hak semua pihak dalam
pengikatan jual beli, selain sesuai
perlindungan hukum yang
diberikan.
Apa Akibat Hukum Yang
Terjadi Ketika Pihak Pembeli
Wanprestasi
Wanprestasi ia alpa atau
lalai atau ingkar janji. Atau juga
ia melanggar perjanjian, bila ia
melakukan atau berbuat sesuatu
yang tidak boleh dilakukannya.
Ingka janji membawa
akibat yang merugikan bagi
debitur, karena sejak saat tersebut
debitur berkewajiban mengganti
kerugian yang timbul sebagai
akibat dari pada ingkar janji
tersebut.
Akibat hukum bagi pembeli
yang telah melakukan
wanprestasi adalah hukuman atau
sanksi berikut ini :
1. Pembeli diharuskan
membayar ganti kerugian
yang telah diderita oleh
penjual (pasal 1243 Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata). Ketentuan ini
berlaku untuk semua
perikatan.
2. Dalam perjanjian timbal balik
(bilateral), wanprestasi dari
satu pihak memberikan hak
kepada pihak lainnya
membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat
hakim (pasal 1266 Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata).
3. Resiko beralih kepada
pembeli sejak saat terjadinya
wanprestasi (pasal 1237 Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata). Ketentuan ini hanya
berlaku bagi perikatan untuk
memberikan sesuatu.
4. Membayar biaya perkara
apabila diperkarakan dimuka
hakim pasal 181 ayat 1 (HIR)
Herziene Inland Reglement.
Pembeli yang terbukti
melakukan wanprestasi tentu
dikalahkan dalam perkara.
Ketentuan ini berlaku untuk
semua perikatan.
5. Memenuhi perjanjian jika
masih dapat dilakukan, atau
pembatalan perjanjian disertai
dengan pembayaran ganti
kerugian (pasal 1267 Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata). Ini berlaku untuk
semua perikatan.
Mengenai pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan
pemecahan perjanjian, sebagai
sanksi kedua atas kelalaian
seorang debitur, mungkin ada
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
45 | P a g e
orang yang tidak dapat melihat
sifat pembatalannya atau
pemecahan tersebut sebagai suatu
hukuman.
Pembatalan perjanjian,
bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan
sebelum perjanjian diadakan.
Kalau suatu pihak sudah
menerima sesuatu dari pihak
yang lain, baik uang maupun
barang, maka itu harus
dikembalikan. Pokoknya,
perjanjian itu ditiadakan.
Masalah pembatalan
perjanjian karena kelalaian atau
wanprestasi piha debitur ini,
dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata terdapat
pengaturannya pada pasal 1266,
yaitu suatu pasal yang terdapat
dalam bagian kelima Bab I, Buku
III, yang mengatur tentang
perikatan bersyarat.
Perolehan hak atas tanah
dan bangunan karena jual beli
merupakan cara memperoleh hak
yang paling banyak dilakukan
oleh masyarakat. Pada jual beli
perlakuan BPHTB adalah berlaku
umum dan tidak memandang siap
yang melakukan transaksi jual
beli.
Dalam hal akta jual beli
yang telah ditandatangani oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) namun karena suatu hal,
kedua belah pihak sepakat untuk
membatalkan jual beli tersebut,
maka atas BPHTB yang telah
dibayar tersebut tidak dapat
diminta kembali sesuai dengan
ketentuan pasal 9 ayat (1) huruf a
Undang Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BHTB), karena saat
terutang BPHTB adalah sejak
dibuat dan ditandatanganinya
akta jual beli oleh PPAT yang
wajib dilunasi oleh pihak pembeli
sebagai wajib pajak.
D. PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan yang
dijabarkan oleh penulis tersebut
diatas dapat ditarik beberapa
kesimpulan, antara lain :
a) Perlindungan hukum yang
dapat diberikan kepada
penjual adalah berupa
persyaratan yang biasanya
dimintakan sendiri oleh
calon penjual itu sendiri.
Misalnya ada beberapa calon
penjual yang didalam
perjanjian pengikatan jual
beli yang dibuatnya
memintakan kepada pihak
pembeli agar melakukan
pembayaran uang pembeli
dengan jangka waktu tertentu
yang disertai dengan syarat
batal, dan apabila pembeli
tidak memenuhi pembayaran
sebagaimana telah
dimintakan dan disepakati
maka perjanjian pengikatan
jual beli hak atas tanah yang
telah dibuat dan disepakati
menjadi batal dan biasanya
pihak penjual tidak akan
mengembalikan uang yang
telah dibayarkan kecuali
pihak pembeli meminta
pengecualian.
b) Wanprestasi terjadi apabila
seorang (pembeli) lalai
melaksanakan kewajibannya
sebagaimana kesepakatan
yang telah diatur dalm
perjanjian pengikatan jual
beli antara penjual dan
pembeli. Dengan adanya
wanprestasi tersebut, maka
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
46 | P a g e
akibat hukum yang timbul
adalah perjanjian yang
dibuat oleh para pihak dapat
dibatalkan atau batal dengan
sendirinya. Dan atas BPHTB
yang telah dibayar tersebut
tidak dapat diminta kembali
sesuai dengan ketentuan
pasal 9 ayat (1) huruf a
Undang Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan. (Surat
Direktur Jendral Pajak
Nomor : S-
471/PJ.331/2000).
Saran-Saran
a) Seharusnya perlindungan
hukum bagi para pihak
dalam perjanjian jual beli
diatur oleh undang-undang,
sehingga sedikit
kemungkinan antara para
pihak tersebut tidak
melaksanakan hak dan
kewajibannya sebagai
penjual dan pembeli.
b) Dalam melakuakan
perjanjian seharusnya pihak
pembeli melakukan hak dan
kewajibannya sebagimana
mestinya, sehingga dalam
perjanjian tersebut tidak
terjadi wanprestasi di
dalamnya.
E. DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto. 2008.
Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta : UI Press.
Soesilo. 1985. RIB/HIR
dengan Penjelasan. Bogor :
Politea.
Subekti. 1979. Hukum
Perjanjian. Jakarta:
Intermasa.
Subekti. 1994. Pokok-Pokok
Hukum Perdata. Jakarta:
Intermasa.
R. Setiawan. 1997. Pokok-
Pokok Hukum Perikatan.
Bandung : P.T. Bina Cipta.
R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio. 2004. Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.
PERUNDANG-
UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasca
amandemen.
Undang Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
47 | P a g e
KEKUATAN SERTA SYARAT KEABSAHAN CCTV SEBAGAI ALAT
BUKTI DIDALAM SUATU PERSIDANGAN DITINJAU DARI KUHAP
Oleh
Enik Isnaini 2Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
pengaturan kekuatan CCTV sebagai alat bukti dalam suatu persidangan
setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik untuk membantu memperluasan jumlah alat bukti yang diatur dalam
KUHAP dan juga memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam KUHAP.
CCTV memiliki peranan sebagai alat bukti yang sah dalam suatu persidangan
sehingga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu persidangan
sebagai suatu alat bukti untuk mengungkap suatu kejadian perkara yang telah
terjadi sebelumnya sehingga dapat meyakinkan hakim dalam mempertimbangkan
dan memberikan putusan yang adil kepada para pihak.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai
berikut (pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 UU No. 11/2008).Penelitian ini menggunakan
metode normatif deskriptif dimana data primer dan data sekunder yang diperoleh
dianalisis secara kualitatif dan kemudian dideskriptifkan. Hasil penelitian
menunjukan adanya peran CCTV yang sangat penting dalam pembuktian tindak
pidana. dimana penggunaanCCTV tersebut sebagai alat bukti penunjang terhadap
alat bukti sah yangberupa Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan
KeteranganTerdakwa. Rekaman CCTV dapat menunjukan bagaimana
kejadiansesungguhnya yang terjadi pada setiap kejadian tindak pidana. Sedangkan
kendala yang dihadapi berupa kendala hukum, CCTV belum begitu jelas didalam
KUHAP sehingga kejelasaan CCTV sebagai alat bukti yang sah ada di dalam UU
Nomor 11 tahun 2008 tentang UU ITE yang memperjelas status CCTV sebagai
alat bukti, dan kendala non hukum yakni adanya hasil editing dariRekaman CCTV
serta hasil Rekaman CCTV sangat dipengaruhi kualitas darikamera CCTV.
Kata Kunci: keabsahan CCTV, alat bukti, KUHAP
A.Pendahuluan
Latar belakang
CCTV adalah satu media yang dapat
digunakan untuk memuat rekaman
setiap informasi yang dapat dilihat,
dibaca dan didengar dengan bantuan
sarana adalah CCTV. CCTV
dijadikan sebagai alat bukti yang
sistemnya menggunakan video
camera untuk menampilkan dan
merekam gambar pada waktu dan
tempat tertentu dimana perangkat ini
terpasang yang berarti menggunakan
signal yang bersifat tertutup, tidak
seperti televisi biasa yang merupakan
broadcast signal. Pada umumnya
CCTV digunakan sebagai pelengkap
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
48 | P a g e
sistem keamanan dan banyak
dipergunakan di berbagai bidang
seperti militer, bandara, toko, kantor
dan pabrik. Bahkan pada
perkembangannya, CCTV sudah
banyak dipergunakan di dalam
lingkup rumah pribadi. Namun untuk
mengungkap kejahatan yang
berkaitan langsung dengan CCTV
yang menjadi alat bukti dalam suatu
kasus yang mulai tengah marak
terjadi. Perkembangan kriminalitas
atau tindak pidana dalam masyarakat
yang sedang mengalami modernisasi
meliputi masalah-masalah yang
berhubungan dengan frekuensi
kejahatan, kualitas kejahatan, dan
kemungkinan melaksanakan,
menandakan, menyaksikan dan
meyakinkan.
Menyikapi keadaan ini, maka
tantangan-tantangan yang muncul
harus dihadapi bahkan dicari jalan
keluarnya, terlebih terhadap
munculnya modus-modus kejahatan
yang menggunakan teknologi
informasi ini. Sehubungan dengan
itu, kasus-kasus yang terjadi yang
bersentuhan dengan teknologi
informasi dan telekomunikasi
khususnya menyangkut media video
recorder kamera CCTV, sudah mulai
marak diperbicangkan di masyarakat,
sehingga penggunaannya dalam
mengungkap kejahatan atau sebagai
sarana pendukung dalam
membuktikan tindak pidana akan
berhadapan dengan keabsahannya
sebagai alat bukti yang sudah tentu
akan berbenturan dengan instrumen
hukum yang ada mengingat bahwa
pembuktian dalam kasus tindak
pidana dengan alat bukti yang
digunakan ialah alat bukti CCTV
Metode Penelitian
Type Penelitian
Penelitian Hukum Normatif atau
metode penelitian hukum
kepustakaan adalah metode atau cara
yang dipergunakan di dalam
penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka
yang ada.
Pendekatan Masalah
Rekaman CCTV yang dijadikan alat
bukti di dalam persidangan kasus
kematian Wayan Mirna Salihin
dengan terdakwa Jessica Kumala
Wongso bisa dinyatakan tidak sah.
Hal ini jika merujuk kepada putusan
Mahkamah Konstitusi
(MK)No.20/PUU-XIV pada tanggal
7 September 2016. 47
Pendapat ini
47
http//metro.sindonews.com/read/1145171/170/p
utusan-mk-hotman-paris-cctv-tidak-bisa-jadi-alat-bukti-1475761524Diakses pada 01 mei 2017
pukul 01:45
disampaikan pengacara kondang
Hotman Paris. Dia mengatakan,
rekaman baru dikatakan sah
manakala ada permintaan dari
penegak hukum. "Ternyata CCTV
Kafe Olivier dibuat bukan atas
permintaan penyidik, maka sesuai
putusan MK CCTV Kafe Olivier
tersebut tidak sah sebagai alat bukti,"
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
49 | P a g e
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kedudukan CCTV sebagai suatu
alat bukti
kedudukan sebuah bukti
yangdiajukan sangat menentukan
pertimbangan hakim dalam
memberikankeputusannya.
Kecenderungan terus
berkembangnya teknologi membawa
berbagaiimplikasi yang harus
diantisipasi dan diwaspadai, maka
terdapat upaya yangtelah melahirkan
suatu produk hukum dalam bentuk
Undang-Undang No.11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Namun denganlahirnya
Undang-Undang tersebut belum
semua permasalahan
menyangkutmasalah Informasi dan
Transaksi Elektronik dapat ditangani.
Persoalantersebut antara lain
dikarenakan:
Dengan lahirnya Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008
TentangInformasi dan Transaksi
Elektronik tidak semata-mata
UndangUndang-Undang ini bisa
diketahui oleh masyarakat
penggunateknologi informasi dan
praktisi hukum;Berbagai bentuk
perkembangan teknologi yang
menimbulkanpenyelenggaraan dan
jasa baru harus dapat diidentifikasi
dalamrangka antisipasi terhadap
pemecahan berbagai persoalan
teknisyang dianggap baru sehingga
dapat dijadikan bahan
untukpenyusunan berbagai peraturan
pelaksana;Pengayaan akan bidang-
bidang hukum yang sifatnya
sektoral(rezim hukum baru) akan
makin menambah semarak
dinamikahukum yang akan menjadi
bagian system hukum nasional.38 38
Ahmad M Ramli. 2008. Dinamika Konvergensi
Hukum Telematika Dalam System Hukum Nasional. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol 5 No. 4
Perkembangan membuat
klasifikasi mengenai barang bukti
semakinkompleks, jika mengacu
pada Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 TentangInformasi dan
Transaksi Elektronik, maka terdapat
sebuah barang buktielektronik dan
barang bukti digital sebagai berikut:
Barang bukti Elektronik, jenisnya
meliputi:
a. Computer PC, laptop/notebook,
netbok, tablet;
b. Handphone, Smartphone;
c.Flashdisk/thumbdrive;
d. Floppydisk;
e. Harddisk;
f. CD/DVD;
g. Router,Swich; hub;
h. Kamera Video, CCTV;
i. Kamera Digital;
j. Music/Video Player, dan lain-lain.
Barang Bukti DigitalBarang bukti
dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 TentangInformasi dan
Transaksi Elektronik dikenal dengan
istilah InformasiElektronik dan
Dokumen Elektronik, contohnya:
a. Logical File, yaitu file-file yang
masih ada dan tercatat di file
system yang sedang berjalan di suatu
partisi;
b. Deleted file;
c. Lost file;
d. File slack;
e. Log file;
k. Image file;
l. Email;
m. User ID dan Password;
n. Short Message Service (SMS);
o. Multimedia Message Service
(MMS);
p. Call logs. 39
39
Mohammad Nuh Al-Azhar. Op.Cit. Hlm. 27-29
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
50 | P a g e
Rekaman Video CCTV dapat
digolongkan sebagai
informasielektronik dan/atau
dokumen elektronik berdasarkan
Undang-Undang No.11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik,
yangtercantum pada Pasal 1 ayat (1)
dan ayat (4), yang merumuskan
bahwa:
“Informasi Elektronik adalah
suatu atau sekumpulan data
elektronik,termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta,rancangan, foto, Electronic
Data Interchange (IDE), surat
elektronik(electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf,tanda, angka, kodem akses,
simbol atau perforasi yang telah
diolahyang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang
mampumemahaminya.”
Pasal 1 ayat (4), yang merumuskan:
“Dokumen Elektronik adalah
setiap informasi elektronik dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan dalam bentuk analogdigital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya yang dapat
dilihat,ditampilkan, dan/atau
didengar melalui komputer atau
systemelektronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar,peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya huruf, tanda, angka,
kodeakses, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau arti
ataudapat dipahami oleh barang yang
mampu memahaminya.”
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang No. 11 Tahun2008
Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menegaskan bahwa :
“Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau
hasilcetakannya sebagaimana
dimaksud pada ayat
sebelumnya,merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai
dengan hukumacara yang berlaku di
Indonesia.”
Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008
TentangInformasi dan Transaksi
Elektronik, merumuskan bahwa:
(1)Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau
hasilcetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah.
(2)Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau
hasilcetaknya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakanperluasan
dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acarayang berlaku di
Indonesia.
(3)Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dinyatakansah
apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai denganketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
(4)Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
DokumenElektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
berlakuuntuk:
a. Surat yang menurut Undang-
Undang harus dibuat dalambentuk
tertulis;dan
b. Surat beserta dokumennya yang
menurut Undang-Undnagharus
dibuat dalam bentuk akta notariil
atau akta yang dibuatoleh pejabat
pembuat akta.
Pasal 44 Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasidan
Transaksi Elektronik merumuskan:
Alat bukti penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidangpengadilan
menurut ketentuan Undang-Undang
ini adalahsebagai berikut:
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
51 | P a g e
a. Alat bukti sebagaimana
dimaksud dalam
ketentuanPerundang-Undangan;dan
b. Alat bukti lain berupa
Informasi dan/atau
DokumenElektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1dan
angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3).
Pemahaman “perluasan” tersebut
dihubungkan dengan Pasal 5 ayat(1)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan
TransaksiElektronik
Pasal 1 ayat (4), yang merumuskan:
“Dokumen Elektronik adalah
setiap informasi elektronik
dibuat,diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam
bentukanalog digital,
elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya yang dapatdilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar
melalui komputer atausistem
elektronik termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara,gambar,
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya
huruf, tanda, angka,kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki
makna atau artiatau dapat dipahami
oleh barang yang mampu
memahaminya.”
Pengertian dalam Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang No. 11 Tahun2008
Tentang Informsi dan Transaksi
Elektronik diatas, rekaman
videoyang terdapat dalam CCTV
digolongkan menjadi dokumen
elektronik,karena:
Rekaman Video CCTV
merupakan Informasi Elektronik;
Rekaman Video CCTV yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan,diterima, atau disimpan
dalam bentuk analog
digital,elektromagnetik di sebuah
kamera CCTV;
Rekaman Video CCTV dapat
dilihat, ditampilkan dandidengar
melalui komputer atau sistem
elektronik yang lain;
Rekaman Video CCTV memiliki makna atau artiBerdasarkan
penjelasan diatas, rekaman video
CCTV dapatdigolongkan menjadi
informasi elektronik dan dokumen
elektronik, maka rekaman video
dalam CCTV dapat menjadi alat
bukti yang sah di
depanhukum/pengadilan25.
Syarat Sahnya Suatu Alat Bukti
CCTV
Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai
berikut (pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6
UU No. 11/2008):
a. dapat menampilkan kembali
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik secara utuh
sesuai dengan masa retensi yang
ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
b. dapat melindungi
ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan
Informasi Elektronik dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai
dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur
atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau
simbol yang dapat dipahami oleh
pihak yang bersangkutan dengan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang
berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau
petunjuk.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
52 | P a g e
Kesimpulan
a. Bagaimana pengaturan
kekuatan CCTV sebagai alat bukti
dalam suatu persidangan setelah
lahirnya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Undand-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
untuk membantu memperluasan
jumlah alat bukti yang diatur dalam
KUHAP dan juga memperluas
cakupan alat bukti yang diatur dalam
KUHAP.
CCTV memiliki peranan sebagai alat
bukti yang sah dalam suatu
persidangan sehingga memiliki
kedudukan yang sangat penting
dalam suatu persidangan sebagai
suatu alat bukti untuk mengungkap
suatu kejadian perkara yang telah
terjadi sebelumnya sehingga dapat
meyakinkan hakim dalam
mempertimbangkan dan memberikan
putusan yang adil kepada para pihak.
b. Syarat sahnya CCTV
sebagai alat bukti dalam suatu
persidangan Dalam suatu
persidangan suatu alat bukti harus
memiliki keaslian dan keutuhan yang
terdapat disuatu tepat kejadian
perkara sehingga ada syarat agar
CCTV menjadi suatu alat bukti yang
sah sebagai berikut :
Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem
Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai
berikut (pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6
UU No. 11/2008):
Saran
a. Mengenai alat bukti sah
diluar KUHAP sudah seharusnya
diaturatau disusun secara lebih jelas
dan tegas guna membantu
mengungkapkansuatu kebenaran
materiil. Tidak hanya rekaman video
CCTV saja tetapi jugamengatur
adanya alat bukti digital lainnya,
dimana alat bukti digital
tersebutmemiliki peranan yang
penting dalam suatu pencarian
kebenaran materiil danmemberikan
keyakinan hakim dalam memutus
perkara secara adil.
Sehinggareferensi hakim dalam
memberikan atau menjatuhkan
putusan tidak hanyaterpaku dalam
Pasal 184 KUHAP tetapi juga
melihat dari pasal-pasal yang
terdapat dalam Undang-Undnag
lainnya, seperti Undang-Undang No.
11 Tahun2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
b. Untuk mengurangi kendala-
kendala dalam penggunaan Kemera
CCTVdalam setiap proses di
Pengadilan, Kamera CCTV tersebut
juga harusdilengkapi dengan
teknologi tambahan dalam
pemasangan sehinggatidak mudah
rusak atau dirusak sehingga rasa
keadilan dalammasyarakat dapat
terjamin.
c. Dengan majunya teknologi
dimasa sekarang salah satunya
KameraCCTV diharapkan para
penegak hukum dalam hal ini
Kejaksaan danKepolisian sebagai
pintu masuk pertama dalam
pembuktian setiaptindak pidana
harus memperkaya kemampuan
sumber dayamanusianya sendiri dan
mengoptimalkan kinerjanya sehingga
dapatmenganalisis dan
mengoperasikan setiap teknologi
yang telahberkembang di masa
sekarang ini.
Daftar Pustaka
literatur Luhut MP Pangaribuan. 2005. Hukum Acara
Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh
Advocat. Jakarta: Djambatan.
Jurnal Independent Vol 4 No. 2
53 | P a g e
M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding. Jakarta: Sinar Grafika.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013
Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian dalam
Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia.Jakarta: Raih Asa Sukses. Hlm.
Ahmad M Ramli. 2008. Dinamika Konvergensi
Hukum Telematika Dalam System Hukum
Nasional. Jurnal Legislasi Indonesia
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. 2010.
Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek. Bogor: Ghalia Indonesia
Artikel
http://www.raseko.com/2013/04/pengertian-
closed-circuit
http://warungcyber.web.id/?p-84
http://www.raseko.com/2013/04/pengertian-
closed-circuit-television.html
http://hukumindonesia.blog.com/2011/04/16/alat-
buki-petunjuk-dalam-sidang-pengadilan/