tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup …/tindak... · iii pengesahan penguji penulisan...
TRANSCRIPT
i
TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH
TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
Megawati Atiyatunnajah
NIM. E0006172
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH
TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)
Oleh
Megawati Atiyatunnajah
NIM. E0006172
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Maret 2010
Dosen Pembimbing Utama Dosen Co Pembimbing
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M. Hum Ismunarno, S.H., M. Hum
NIP. 195702031985032001 NIP. 196604281990031001
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH
TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)
Oleh
Megawati Atiyatunnajah
NIM. E0006172
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :……………………………
Tanggal :……………………………
DEWAN PENGUJI
1. ………………………………………( Siti Warsini, S.H., M.H. ) Ketua 2. ………………………………………( Ismunarno, S.H., M.Hum ) Sekretaris 3. ………………………………………(Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum) Anggota
Mengetahui :
DEKAN FAKULTAS HUKUM
(Moh. Jamin, S.H., M.Hum)
NIP. 196109301986011001
iv
PERNYATAAN
Nama : Megawati Atiyatunnajah
NIM : E0006172
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP
RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Maret 2010
yang membuat pernyataan
Megawati Atiyatunnajah
NIM. E0006172
v
MOTTO
Berusaha untuk selalu mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan
oleh Allah SWT dan beribadah kepada-Nya.
Berusaha untuk membahagiakan orang tua dengan bekal ilmu
pengetahuan.
Tiada kesulitan tanpa adanya pengorbanan dan berharap untuk selalu
mendapatkan kemudahan dalam menjalani hidup.
Selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dan tak ada
kata untuk menyerah.
Talk less do more, sedikit bicara banyak bekerja.
Selalu berdoa untuk mengawali suatu kegiatan.
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya tulis ini Mega persembahkan kepada:
Allah SWT
Yang menciptakan aku untuk berkelana di bumi ini, Engkaulah Maha Pengasih
dan Penyayang, Kepada-Mu lah aku selalu memohon kemudahan-Mu
Nabi Muhammad SAW
Nabi yang menjadi tauladan bagi seluruh umat Islam, memberikan contoh-contoh
yang baik terhadap kita sebagai manusia
Kedua Orang tuaku
Haris Mulyadi S.Pd, dan Sri Lestari
Aku kagum menjadi anak mereka dan aku selalu bersyukur memiliki mereka
Adik-adikku tersayang
Dewi Kartika Sari dan Alvien Okta Rajasa
Yang selalu menemaniku dalam mengerjakan karya tulis ini
Kekasihku tercinta
Afandi kau selalu memberikan motivasi ke aku, disaat ku lengah
Sahabatku tersayang
Nidia Ulfa yang selalu menemaniku selama empat tahun ini
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
REKAN-REKAN MAHASISWA 2006, “VIVA JUSTICIA”
ALMAMATERKU
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr,Wb
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan
memberikan ilmu kepadanya. Maha bijaksana Allah SWT yang telah memilih
manusia dari seluruh makhluk ciptaan-Nya untuk menjalankan fungsi
kekhalifahan, sebagai wujud ibadah dalam rangka menciptakan kemakmuran di
bumi dan menggapai kebahagiaan abadi di akhirat.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW yang mewariskan Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman yang baik dan
abadi bagi seluruh umat manusia serta memerikan jaminan sukses bagi siapapun
yang konsisten melaksanakan nilai-nilainya.
Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas serta memenuhi
salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain hal tersebut diharapan akan dapat
menambah wawasan atau pengetahuan bagi siapa saja yang membaca karya
ilmiah ini.
Penulisan hukum ini terwujud karena bantuan dari berbagai pihak baik
berupa bimbingan, dukungan moral dan spiritual serta petunjuk yang selalu
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Oleh karena
itu, sudah merupakan suatu kewajiban jika penulis dengan segala kerendahan hati
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Moch. Syamsulhadi Sp. KJ selaku rektor Universitas
Negeri Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum yang
telah memberikan ilmu dan kesempatan bagi penulis sehingga penulis
dapat menerapkan ilmu yang diperolehnya serta dapat menyelesaikan studi
di Fakultas Hukum ini.
viii
3. Bapak Prasetyo Hadi P, S.H., M.S, selaku Pembantu Dekan I yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian
berkaitan dengan penulisan hukum ini.
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik
yang selalu mengarahkan dan memberi motivasi dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan selama masa studi penulis di Fakultas Hukum.
5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku pembimbing skripsi
yang dengan sabar, ramah, dan pengertian memberikan dorongan,
masukan, dan kemudahan dalam menyusun skripsi ini sehingga skripsi ini
berjalan lancar serta memberikan izin untuk menempuh ujian skripsi
sekaligus menguji penulisan hukum ini.
6. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
sekaligus sebagai pembimbing skripsi yang bersedia memberikan
bimbingan kepada penulis dari awal sampai akhir penulisan ini selesai.
7. Bapak A. Zamroni, S.H., M.Hum, selaku Hakim Anggota Pengadilan
Negeri Klaten yang meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya
untuk memberikan keterangan dan petunjuk mengenai penelitian yang
dilakukan penulis.
8. Bapak Jaka Purwanto, S.H., selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan
Negeri Klaten yang membantu dalam proses pengambilan data perkara
pidana untuk menunjang kelancaran dalam penyelesaian penelitian hukum
ini.
9. Bapak Jaka M. Nurhasan, S.H., selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan
Negeri Klaten yang membantu memperlancar, memberikan pengertian
serta petunjuk-petunjuk dalam penulis melakukan penelitian ini
10. Bapak Sri Yadi S.H., selaku Panitera Pengadilan Negeri Klaten I B beserta
seluruh pegawai Pengadilan Negeri Klaten yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk melaksanakan penelitian hukum di Pengadilan
Negeri Klaten.
11. Bapak Haris Mulyadi S.Pd., dan Ibu Sri Lestari selaku orang tua penulis
yang sangat disayangi dan dicintai. Tanpa kalian berdua, aku tidak tercipta
ix
di dunia ini, dan aku bangga memiliki kalian berdua. Terima kasih telah
memelihara aku dari kecil hingga dewasa ini, dan ku berusaha untuk selalu
menjadi yang terbaik dan kuserahkan persembahan berupa ilmu
pengetahuan kepada Papa dan Mama.
12. Adik-adikku yang kusayang, Dewi Kartika Sari dan Alvien Okta Rajasa,
kalian berdua adalah malaikat-malaikat kecilku yang lucu-lucu, yang
selalu memberikan keceriaan dalam kehidupan penulis. Rajinlah belajar
dan jangan pernah kecewakan Papa dan Mama. Aku sayang Dewi dan
Alvien.
13. Kekasihku tercinta, Afandi, yang selalu menemaniku di saat suka dan duka
serta selalu memberikan motivasi kepadaku disaat ku lengah dan putus asa
dalam penulisan hukum ini. Semoga kau cinta abadiku dan selalu setia
menjadi pendampingku sampai akhir hayat nanti. Makasih sayangku! Aku
selalu mencintaimu.
14. Keluarga Besar Haji Atmo Diharjo, terima kasih atas doa dan
dukungannya. Aku bangga dengan kalian semua, terutama Mbah Kakung
dan Mbah Putri, jaga kesehatan ya Mbah!
15. Sahabat sejatiku, Nidia Ulfa yang selalu menemaniku sepanjang
perjalanan mencapai gelar Sarjana Hukum, dan saling memotivasi dalam
penulisan hukum ini. Terima kasih karena telah menjadi sahabatku yang
terbaik selama kuliah di Fakultas Hukum. Kapan lagi kita akan berangkat
kuliah berdua lagi?semangat ya sahabatku, perjalanan kita masih panjang!
16. Teman-teman penulis angkatan 2006 yang sangat disayangi, Lupik, Irma,
Martha, Tandi, Ratna, Aditya Vol, Terima kasih atas segala dukungannya,
jaga pertemanan kita juga, jangan sampai terpecahkan. Semangat buat
kalian semua ya! Raihlah cita-cita setinggi mungkin.
17. Erika, Tami, Rendy yang selalu memberikan inspirasi penulis dalam
menyusun penulisan hukum ini. Terima kasih atas segala masukan yang
telah kalian berikan.
x
18. Teman-temanku penjual Pulsa, Eta, Vera, Titin, dan Danisa, terima kasih
atas segala bantuannya dalam memperlancar komunikasi penulis dengan
kiriman pulsanya. Penulis mendoakan semoga lancar bisnis pulsanya.
19. Sodaraku Jana Kumara, makasih ya atas segala informasi yang telah kau
berikan. Semoga bermanfaat buat penulis. Jangan Malas-malas ya di
kampus!
20. Buat Mas Wawan bagian PPH, makasih ya telah membantu kelancaran
penulis dalam menginput judul penulisan hukum sampai dengan
pendaftaran pendadaran. Kata-kata yang selalu kuingat dari Mas Wawan
“Sukses ya, dik”!
21. Komputer dan Laptop penulis, yang selalu membantu dalam fasilitas
pengetikan penulisan hukum ini akan kurawat kalian dengan baik,
meskipun terkadang eror.
22. Mio ku AD 6043 QL dan Jazz ku AD 8968 NB, yang selalu membawaku
pulang pergi dari rumah ke kampus hingga selamat dalam perjalanan serta
melindungi ku dari panas dan hujan.
23. Mas dan Mbak Fotocopy, terima kasih atas bantuan penjilidan dan
fotocopynya selama penulis menyusun penulisan hukum.
24. Warnet di kota Delanggu, terima kasih karena telah menyediakan fasilitas
jasa warnet dan hotspot dalam mempermudah mencari bahan-bahan
penulisan hukum.
25. Sahabatku dari Universitas Brawijaya Malang, Ayik, terima kasih ya
menemaniku satu tahun selama kuterdampar di Brawijaya dulu.
26. Dosen-dosen Fakultas Hukum yang telah mendidik penulis hingga
mencapai gelar kesarjanaan.
27. Teman-teman seperjungan di Fakultas Hukum angkatan 2006, teruskan
perjuangan kalian,jadilah aparat penegak hukum yang handal, viva justisia
kami bangga disini! Beserta teman-temanku KMM di Pengadilan Negeri
Klaten Nia, Yaya, Adi, Farid, Caca, Gita , terima kasih atas support nya.
xi
28. Bapak satpam dan bapak penjaga sepeda motor, terima kasih atas
pengawasan kendaraan-kendaraan mahasiswa selama mengikuti
perkuliahan di Fakultas Hukum.
29. Ibu kantin dan warung-warung di belakang kampus, Mbak Wied Ceker,
Bagor, Kansas, Mbak Pur, steak Mas Mbong yang telah menyediakan jasa
penjualan makanan buat penulis ketika penulis merasa perut tidak terisi
atau lapar.
30. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu-persatu dalam penulisan
hukum ini, penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Adapun penulisan hukum ini dibuat dengan harapan bermanfaat bagi
penulis dan pembaca sekalian. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian
demi kebaikan bersama pada masa yang akan datang.
Wassalamualaikum, Wr, Wb.
Surakarta, Maret 2010
Penulis
Megawati Atiyatunnajah
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Permohonan Ijin Pra Penelitian
Lampiran II Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran III Surat Keterangan Penelitian Riset
Lampiran IV Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Lampiran V Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Lampiran VI Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948
Lampiran VII Putusan Hakim Nomor 144/Pid. B/2009/PN Klaten tentang
tindak pidana orang dalam lingkup rumah tangga
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………………iv
HALAMAN MOTTO……………………………………………………………..v
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………….vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..xii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….xiii
ABSTRAK………...……………………………………………………………xvii
ABSTRACT………………………………………………………………...….xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………...…….1
B. Perumusan Masalah………………………………………………...4
C. Tujuan Penelitian…………………………………………..……….4
D. Manfaat Penelitian………………………………………………….5
E. Metodologi Penelitian…………………………………..…….…….6
F. Sistematika Penulisan Hukum…….………………………………12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
xiv
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana (Strafbaar feit)
a. Pengertian Strafbaar feit……………………………….……14
b. Tujuan Pidana……………………………………………...…16
c. Unsur Tindak Pidana…………………………...…………….17
d. Penggolongan Tindak Pidana………………………...………19
2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga…...…..……….20
b. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………....21
3. Tinjauan Umum Penelantaran Orang Dalam lingkup Rumah
Tangga
a. Pengertian Penelantaran Orang……..………..………………22
b. Orang-Orang Yang Termasuk dalam Lingkup Rumah
Tangga………………………………………………………..22
4. Tinjauan Umum Tentang Putusan
a. Pengertian Putusan………....……………..…………………..24
b. Jenis-Jenis Putusan Hakim………………………..…………..25
5. Tinjauan Umum Peraturan Perundang-undangan tentang
Penelantaran Orang
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………………………..…28
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak……………………………………………………………29
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana………...………………30
xv
d. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia...…………………….30
B. Kerangka Pemikiran………………………………………………..33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak
Pidana Penelantaran Orang dalam Lingkup Rumah Tangga
dalam Perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten…………………..35
1. Pertimbangan-Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten……………….39
2. Aspek-Aspek yang Kerap Kurang Diperhatikan Hakim Secara
Kasuistik Dalam Membuat Putusan Pada Praktik Peradilan..…44
3. Jenis Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah
Tangga………………………...……………………………….45
4. Pentingnya Interprestasi Oleh Hakim Pidana dalam Menjatuhkan
Putusan…..…………………………………………………….46
B. Putusan Hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang Tindak
Penelantaran Orang Dalam Rumah Tangga dikaitkan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat
ini…………………………………………………………...…….47
1. Ketentuan-Ketentuan Dalam KUHP Yang Berkaitan Dengan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga……………………………..47
2. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan anak…...…………………..50
xvi
3. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga…………………...……………………………….……53
4. Ketentuan dalam Hak Asasi Manusia……………………...…..56
C. Putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak
pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum……………..…..57
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………….…….....…………62
B. Saran……………………………………………………………65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xvii
ABSTRAK
MEGAWATI ATIYATUNNAJAH, E 0006172. TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan Hukum (Skripsi).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus kasus tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten, mengetahui putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia atau belum sesuai dan mengetahui putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan dilihat dari jenis penelitian termasuk penelitian hukum yuridis normatif. Lokasi Penelitian bertempat di Pengadilan Negeri Klaten. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber data diperoleh melalui studi pustaka, perundang-undangan, putusan Hakim Pengadilan Negeri Klaten, bahan-bahan non-hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, ekonomi, sosiologi, Filsafat, Kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang berupa dokumentasi dan data sekunder yang merupakan penelitian kepustakaan, sedangkan untuk menganalisis data, penulis menggunakan model analisis data dengan logika deduktif.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa, tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga merupakan salah satu bentuk dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dapat dilakukan oleh suami terhadap anggota keluarganya, terutama istri dan anaknya dengan cara tidak memberikan nafkah lahir dan batin terhadap istrinya yang masih dalam ikatan perkawinan yang sah serta kepada pelakunya dapat dikenai sanksi pidana. Majelis Hakim dalam memutus perkara penelantaran isteri dan anak dengan beberapa pertimbangan berdasarkan keyakinan hakim, peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau sosiologis masyarakatnya.
Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah memperoleh masukan yang dapat digunakan untuk almamater dalam mengembangkan bahan-bahan perkuliahan yang telah ada, bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum pada khususnya terutama hukum pidana, mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis dalam menulis penulisan hukum ini, sedangkan manfaat praktris penelitian ini adalah hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan. Kata kunci : Penelantaran Orang, Rumah Tangga, Lingkup.
xviii
ABSTRACT
MEGAWATI ATIYATUNNAJAH, E 0006172. THE PUNISHMENT ACT PEOPLE NEGLECTED ON THE DOMESTIC HOUSE (WITH MATER NUMBER 144/PID.B/2009/KLATEN of COURT). Law of Faculty Sebelas Maret University. Law of Writing.
This thorough purposes to know basic the opinion judge in interrupt the case punishment act people neglected on the domestic house with matter number 144/Pid.B/2009/Klaten court, to know the judge decision number 144/Pid.B/2009/Klaten of court about the punishment act people neglected appropriate with the law regulation be occur in Indonesia or no appropriate and to know the judge decision number 144/Pid.B/2009/Klaten of court about the punishment act people neglected on the domestic house in order to fill justice and the law certainty.
This thorough is the detail examination and looking of kinds examination is normative yuridice. The location thorough in Klaten of court. The data kind is secondary. The data source is statute library, act, the judge decision in the Klaten of court, the law material are the book about politic, economyc, sociology, philosophy, culture or journalist of law have relevantion with thorough topic. The data technic used primary data consist of the documentation and secondary data of library approach, and then data analysis, the writer used analysis with deductive logic.
The based of thorough it have crop so the punishment act people neglected on the domestic house can doing to husband and their family, especially their wife and childs with manner nothing give necessities of live the born and inner to their wife still union mating legal and duer can struck punishment. The judge council interrupt neglected case wife and child with more legal opinion be based on judge conviction, the law regulation occur or their society.
The thorough advantage as theory is obtain input can used to alumnus expand substances study in there, advantages to development the science style general and the law science direction especially such as punishment law, penetrate theories have the curiter result in write the law process of writing, while advantages practical this thorough is crop thorough caused by can give abstract distinct to writer as candidate of law scholar and then stock at the instance or law upholder, although to law practice always struggle of law in the country in order to upright
Password key : the people neglected, domestic, range.
xix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai arahan pembentukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) berangkat dari
asas bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta
perubahannya. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”. Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa
“setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”. Dalam lingkup rumah tangga “rasa aman, bebas dari segala
bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi” akan lahir dari rumah tangga
yang utuh dan rukun. Dengan demikian keutuhan dan kerukunan rumah tangga
yang bahagia, aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang
dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945.
Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam
melaksanakan hak dan kewajiban harus didasari dengan agama. Untuk
mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap
orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian
diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam
rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan dan ketidak adilan terhadap
orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
xx
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kalyanamitra tahun 1996 tercatat 37
kasus KDRT dan menurut Biro Pusat Stastitik tercatat jumlah kasus KDRT
pada tahun 1998 terdapat 101 kasus, tahun 1999 terdapat 113 kasus dan tahun
2000 terdapat 259 kasus. Di luar catatan ini terdapat cukup banyak kasus yang
tidak dilaporkan oleh para korban, karena dianggap hal ini merupakan urusan
dalam rumah tangga (Iskandar Hoesin, 2003:16).
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan
jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku
dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan
bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal
(ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam rumah
tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat
pendidikan, dan suku bangsa. Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan
dari masyarakat dan para penegak hukum.
Tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga yang
dilakukan oleh salah satu anggota rumah tangga termasuk tindakan yang
dilarang, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.. Menurut Natabangsa
Surbakti (2006) dengan menetapkan sebagai tindak pidana aduan, maka hukum
pidana tetap dipertahankan sebagai sarana terakhir dalam upaya
penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (Guse Prayudi,
2009:121).
Dalam kenyataannya meskipun kasus KDRT banyak terjadi, tetapi sistem
hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga, oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang tindak
xxi
pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai
kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHP telah diatur mengenai
penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah
dan kehidupan. Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada
belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum
masyarakat. Mendasarkan pada hal tersebut maka perlunya dibentuk UU
PKDRT. Dimana Undang-Undang ini terkait erat dengan beberapa peraturan
perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya antara lain KUHP,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan konvensi mengenai Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women), dan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Guse Prayudi, 2007:17).
UU PKDRT selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta
pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur
spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak
pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam
KUHP. Selain itu, UU PKDRT juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat
penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau
pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitive dan
reponsif terhadap kepentingan rumah tanngga yang sejak awal diarahkan pada
keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Tindak pidana penelantaran orang dalam rumah tangga yaitu isteri dan
anak, dan orang yang menjadi tanggung jawab (ikut dalam rumah tangga
tersebut) diatur di dalam UU No.23 tahun 2004 yang mana ancaman
hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan kekerasan atau penganiayaan
dalam rumah tangga. Hal ini mengakibatkan banyaknya suami yang tidak
mengindahkan ancaman hukuman yang tertera dalam pasal 49 UU No 23 tahun
xxii
2004, sehingga mereka dapat memperlakukan penelantaran terhadap isterinya
dengan sewenang-wenang atas kekuasaannya sebagai kepala keluarga. Dengan
melihat latar belakang permasalahan tersebut, penulis membahas masalah di
atas dalam penulisan hukum yang disusun dengan judul
“TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP
RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas maka penulis
tertarik untuk membahas masalah tersebut lebih lanjut dengan menitik beratkan
pada rumusan masalah :
1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam tindak
pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dalam perkara No.
144/Pid.B/2009/PN Klaten?
2. Apakah putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak
pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia dan
ketidaksesuaian dalam hal apa saja?
3. Bagaimanakah sebaiknya putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten
tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga
agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian, pastilah ada tujuan yang hendak dicapai.
Tujuan dari penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah :
xxiii
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus kasus
tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dengan
perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten.
b. Untuk mengetahui putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten
tentang tindak pidana penelantaran orang sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia atau belum
sesuai.
c. Untuk mengetahui putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten
tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga
agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk mengetahui pengetahuan yang lengkap dan jelas untuk
menyusun penulisan hukum, sebagai persyaratan dalam mencapai
penyusunan penulisan hukum di bidang Ilmu Hukum, Universitas
Sebelas Maret.
b. Untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis
dapatkan khususnya dalam bidang Hukum Pidana.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memperoleh masukan yang dapat digunakan untuk almamater
dalam mengembangkan bahan-bahan perkuliahan yang telah ada.
b. Bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan
ilmu hukum pada khususnya terutama hukum pidana.
c. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis dalam
menulis penulisan hukum ini.
2. Manfaat Praktis
xxiv
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas
bagi penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk
ke dalam instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi
hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar
dapat ditegakkan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan
masalah yang diteliti, seperti anggota keluarga, para pekerja rumah
tangga, masyarakat serta terutama bagi aparat penegak hukum agar
lebih memperhatikan segala bentuk kejahatan yang terjadi dalam
lingkup yang sangat penting.
E. Metodologi Penelitian
Mengadakan suatu penelitian ilmiah jelas harus menggunakan metode,
karena ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode. Metode berarti
penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh
suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara
acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-
pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak
terkendalikan. Oleh karena itu, metode ilmiah timbul dengan membatasi secara
tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu tertentu (C.A. van Peursen, 1993:16).
Penelitian hukum tentu menggunakan bahasa hukum yang dipahami oleh para
sejawat sekeahlian (intersubjektif) dan setiap pengemban hukum.
Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode
(Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos-meta berarti sesudah,
di atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen
menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan
sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi: penyelidikan atau penelitian
berlangsung menurut suatu rencana tertentu (C.A. van Peursen, 1993:16).
xxv
Dalam dunia riset, penelitian merupakan aplikasi atau penerapan metode yang
telah ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi
keilmuan yang terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai
ilmiah yang dihargai oleh komunitas ilmuwan terkait. Dua syarat utama yang
harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan yakni (Johnny Ibrahim, 2008:25-26) :
1. Peneliti harus lebih dulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan yang
berisi sistem dan ilmunya.
2. Metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut.
Peneliti akan mencoba mengetahui hasil temuannya yang tidak terbatas untuk
menyampaikan informasi bahwa hal itu ada, tetapi lebih jauh lagi harus
mampu menjawab pertanyaan mengapa hal itu ada sebagaimana adanya. Jadi,
bukan hanya ingin mengungkapkan fakta-fakta, tetapi juga alasan atau dasar
yang memunculkan fakta-fakta tersebut (Lorens Bagus, 1996:635-636).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode meliputi :
1. Jenis Penelitian
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian yang obyeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan
hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe
penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, 2008:295).
2. Sifat Penelitian
Menurut bidangnya penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat
diskriptif. Penelitian diskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah:
“Suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan , gejala-gejala lainnya.
xxvi
Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar
dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam
kerangka penyusun teori baru”(Soerjono Soekanto, 1986:10).
Dalam pelaksanaan penelitian deskriptif ini, analisis data tidak keluar
dari lingkup sample. Bersifat Deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang
bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data,
atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan
seperangkat data yang lain (Bambang Sunggono,1997:35). Dalam penelitian
ini, penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga di Pengadilan Negeri
Klaten (Studi Putusan Nomor 144/Pidana Biasa/2009/Pengadilan Negeri
Klaten).
3. Pendekatan Penelitian
Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian
yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan lima
sentral penelitian. Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang
diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam
penelitian normatif. Berbagai pendekatan (approach) terhadap masalah yang
ingin dicari pemecahan dan jalan keluarnya akan diuraikan lebih lanjut
dalam pembahasan tersendiri (Johnny Ibrahim, 2008:295).
4. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Tempat Penelitian yang akan digunakan adalah di Pengadilan Negeri
Klaten.
b. Waktu Penelitian
xxvii
Penelitian dilaksanakan setelah pengurusan perijinan selesai. Dengan
pertimbangan perijinan menyangkut instansi di luar kampus tentunya
akan mempunyai prosedur yang berbeda dengan tingkat kesulitan
yang berbeda dalam kampus. Penelitian dijadwalkan enam bulan dari
bulan September 2009 sampai dengan bulan Maret 2010.
5. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
Data Sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh
secara tidak langsung, tetapi melalui penelitian kepustakaan.
6. Sumber Data
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan
bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.
Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan
hukum, peneliti hukum juga dapat menggunakan bahan-bahan non-hukum
apabila dipandang perlu. Bahan-bahan non-hukum dapat berupa buku-buku
mengenai Ilmu Politik, ekonomi, sosiologi, Filsafat, Kebudayaan ataupun
laporan-laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-
hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan
peneliti. Relevan atau tidaknya bahan-bahan non-hukum bergantung dari
xxviii
kajian peneliti terhadap bahan-bahan itu (Peter Mahmud Marzuki,2009:141-
145).
7. Teknik Pengumpulan Data
Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum
tersebut diinventarisasi dan dikasifikasi dengan menyesuaikan dengan
masalah yang dibahas. Untuk tujuan ini sering digunakan sistem kartu.
Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan,
disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterprestasikan hukum
yang berlaku (Johnny Ibrahim, 2008:296).
Dalam mencari dan mengumpulkan data-data untuk berhasilnya
penulisan hukum, penulis menggunakan :
a. Data Primer
Adapun data yang diperoleh melalui :
1) Dokumentasi
Mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen, rapat, legger, agenda dan
sebagainya.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan atau
library research guna memperoleh landasan hukum atau bahan penulisan
lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan teori. Data yang diperoleh
dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, buku-buku yang berhadapan
dengan materi kemudian diselaraskan dengan bahan dari kepustakaan
sebagai bahan acuan dari bahan referensi penelitian. Studi kepustakaan
ini dilakukan dengan mempelajari dan mengidentifikasikan literature-
xxix
literatur yang berupa buku-buku, perauturan-peraturan, dokumen-
dokumen, artikel-artikel serta hasil penelitian yang dilakukan para ahli.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah langkah-langkah yang berkaitan dengan
pengolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk
menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah
(Johnny Ibrahim, 2008:297). Tentu juga menyangkut kegiatan penalaran
ilmu terhadap bahan-bahan hukum yang dianalisis, baik menggunakan
penalaran induksi, deduksi, maupun abduksi.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika
deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief
Sidharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan
hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang
dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Prof. Peter
Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon
menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh
Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis
major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor
(bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik kesimpulan.
Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak
sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47).
Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan
hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat
umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dengan cara
menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan beserta
xxx
dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk
menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan
menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat
menjawab studi putusan dalam tindak pidana penelantaran orang dalam
lingkup rumah tangga.
F. Sistematika Penelitian Hukum
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan, menganalisa serta
menjabarkan isi dari penulisan hukum ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan hukum dengan membagi dalam bab-bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini, penulis akan menguraikan tentang tinjauan umum
tentang tindak pidana (Strafbaar feit), tinjauan umum kekerasan
dalam rumah tangga, tinjauan umum penelantaran orang dalam
lingkup rumah tangga, tinjauan umum tentang putusan hakim, dan
tinjauan umum peraturan perundang-undangan tentang
penelantaran orang.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang disertai dengan
pembahasan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memutus
kasus tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah
tangga dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten, apakah
putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak
xxxi
pidana penelantaran orang sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undang yang berlaku di Indonesia, dan sebaiknya
putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak
pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan analisa dari data
yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap
permasalahan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi
bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan
sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xxxii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana (Strafbaar feit)
a). Pengertian Strafbaar feit
Hukum pidana adalah sebagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk :
- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi (Sic) yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapai melanggar larangan tersebut.
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang diancamkan.
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut (Andi Hamzah, 2008:4-5).
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana
yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu
straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik
perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana
diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana (Andi Hamzah,
2008:27). Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang
membedakannya dengan hukum perdata. Dalam perkara pidana, pertanyaan
timbul seberapa jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa
yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum
(pidana).
xxxiii
Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada
pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir
tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena
tindakan dapat berupa nestapa juga tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana
dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat. Jika seorang
anak dimasukkan ke pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki
tingkah lakunya yang buruk (H.B. Vos, 1950:9).
Pembentuk undang-undang menggunakan perkatan “strafbaar feit”
untuk menyebutkan apa yang dikenal dengan “tindak pidana” di dalam
suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kata “feit” sendiri dalam
bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” dan “strafbaar”
berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit”
dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum” (P.A.F Lamintang, 1997 : 181). Pengertian menurut definisi
pendeknya J.E.JONKERS pada hakekatnya menyatakan untuk setiap delik
yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang dan pendapat umum
tidak dapat menentukan lain daripada yang telah ditentukan undang-undang.
Menurut Moeljatno istilah strafbaarfeit diterjemahkan dengan perbuatan
pidana, perbuatan itu adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau
barang sesuatu yang dilakukan (Sudarto, 1990:35). Sedangkan dalam
definisi panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan
pertanggungan jawab yang merupakan unsur yang telah dirumuskan secara
tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diam-
diam dianggap ada (Bambang Poernomo, 1982 : 91).
Jika disimpulkan, perbuatan pidana menunjuk pada sifat perbuatan
yang dilarang dengan diancam pidana. Adapun istilah perbuatan pidana
disamping istilah ilmiah dapat pula dikatakan bagi masyarakat sehari-hari
telah menggunakan kata perbuatan, seperti perbuatan jahat, perbuatan dosa,
perbuatan tidak senonoh, dan tidak sebaliknya mempergunakan kata
peristiwa atau tidak jahat, tidak dosa, tidak senonoh, dan sebagainya. Simon
xxxiv
memberikan perumusan delict atau strafbaar feit adalah “delict atau tindak
pidana merupakan perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum,
perbuatan mana yang dilakukan oleh seorang yang dapat dipersalahkan
kepada si pembuatnya”(Abdul Kadir, 1984 : 37). Menurut beliau di dalam
beberapa rumusan delik dapat kita jumpai suatu persyaratan tertentu berupa
keadaan-keadaan tertentu yang harus timbul setelah sesuatu keadaan
semacam itu dilakukan orang, di mana timbulnya keadaan-keadaan
semacam itu bersifat menentukan agar tindakan orang tersebut dapat sebagai
tindakan yang dihukum. Timbulnya keadaan-keadaan seperti itu merupakan
suatu syarat yang juga disebut “bijkomende voorwaarden van
strafbaarheid” yang bukan “unsur yang sebenarnya” dari suatu delik.
b). Tujuan Pidana
Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana biasa disingkat
dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan
Restribution, sedangkan satu D adalah Deterrence yang terdiri atas
individual deterrence dan general deterrence. Reformasi berarti
memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna
bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari
masyarakat. Restribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah
melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga
baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi
penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana
yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Yang dipandang tujuan yang berlaku sekarang ialah variasi dari
bentuk-bentuk (Andi Hamzah, 2008:29) :
xxxv
1. Penjeraan (detterent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum
sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi
penjahat.
2. Perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat.
3. Perbaikan (reformasi) kepada penjahat.
Menurut Lamintang (1984 : 11) pada dasarnya terdapat tiga pokok
pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan,
yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, untuk
membuat orang jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain, yakni
penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki
lagi. Sedangkan menurut Sahetapy dalam Lamintang (1988 : 42)
pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan. Dijelaskan selanjutnya,
bahwa makna pembebasan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus
dibebaskan dari lama pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus
pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu (Guse
Prayudi, 2009:112).
c). Unsur Tindak Pidana
Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku, yang
penting tidak hanya bagian-bagian dari perbuatan itu seperti yang diuraikan
dalam uraian delik, akan tetapi juga harus diperhatikan syarat-syarat yang
muncul dari bagian umum kitab undang-undang atau asas hukum yang
umumnya diterima. Syarat ini dinamakan unsur tindak pidana. Perkataan
unsur di sini dipakai dalam arti sempit. Dahulu dan juga sekarang ada
beberapa sarjana hukum yang menggunakan perkataan unsur untuk bagian-
bagian dari tindak pidana dan juga mempergunakannya untuk syarat lain
untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku. Supaya keadaannya
lebih jelas, sebaiknya diadakan perbedaan antara bagian dan unsur.
Bagian umum kitab undang-undang mengajukan sebagai syarat
untuk dapat dipidananya seorang pelaku yaitu pertama bahwa perbuatan itu
xxxvi
dapat dipertanggung jawabkan padanya perbuatan itu dapat
dipertanggungjawabkan pada si pelaku atau si pelaku mampu
bertanggungjawab (pasal 37 Sr.; KUHP Pasal 44). Kedua bahwa perbuatan
itu dapat disesalkan pada si pelaku (penyesalan dari perbuatan). Ketiga,
bahwa untuk dapat dipidana diperlukan syarat, bahwa perbuatan itu
dilakukan secara melawan hukum. Setiap tindak pidana yang ada dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan
dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam
unsur, yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif.
Yang dimaksud unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan yang
termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsur-
unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.
Unsur obyektif ini tidak terdapat dalam uraian delik setiap tindak
pidana tersendiri, dan tidak usah dicantumkan dalam tuntutan. Umumnya
diterima bahwa syarat ini sudah dipenuhi selama tidak ternyata
kebalikannya. Pembuat undang-undang dan karena itu juga hakim, dalam
hal ini bertolak dari apa yang ditanggapnya sebagai peristiwa yang sering
terjadi yaitu :
I. Ia menduga, bahwa umumnya manusia tidak menderita penyakit
jiwa, jadi mampu bertanggung jawab.
II. Ia menganggap sebagai suatu peristiwa biasa, bahwa si pelaku
tindak pidana juga bersalah, jadi kesalahan itu dapat disesalkan
padanya atau ada kesalahan dalam arti dapat disesalkan.
III. Seseorang yang melakukan tindak pidana sekaligus melakukan
sesuatu yang dapat disebutkan melawan hukum.(J.M.Van
Bemmelen, 1979 : 98-100)
xxxvii
d). Penggolongan Tindak Pidana
Penggolongan jenis-jenis tindak pidana di dalam KUHP, terdiri
atas kejahatan dan pelanggaran. Penggolongan untuk kejahatan di
dalam Buku II KUHP dan pelanggaran di dalam Buku III KUHP. Undang-
undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, tetapi
tidak memberikan artian yang jelas. Para pembentuk KUHP berusaha untuk
menemukan suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis
tindakan melawan hukum, semula telah membuat suatu pembagian yang
disebut rechtsdelicten dan wetsdelicten.
Sesuai dengan penjelasannya di dalam MVT (Memorie Van
Toelichtig) pembagian di atas tersebut didasarkan pada sebuah asas, yaitu :
1) Merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah tindakan-
tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada
umumnya memandang pelaku-pelakunya pantas untuk di hukum,
walaupun tindakan tersebut oleh undang-undang tidak dinyatakan
sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
2) Tetapi terdapat sejumlah tindakan-tindakan di mana orang pada
umumnya baru mengetahui sifatnya dari tindakan tersebut sebagai
tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum, hingga pelakunya
dapat dihukum setelah tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan
yang dilarang di dalam undang-undang.
Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada
kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, sekalipun ada
penyimpangannya dalam beberapa hal kejahatan dan pelanggaran
mempunyai derajat yang sama. (Bambang Poernomo, 1982 : 96-97).
2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a). Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
xxxviii
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga (Vide Pasal 1 angka 1 UU PKDRT). Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga.
Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam undang-undang No.
23 tahun 2004, adalah ; “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara
fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (vide,
pasal 1 ayat 1 ).
Di Negara-negara yang mempunyai Undang-undang khusus
kekerasan domestik (dalam rumah tangga) atau kekerasan terhadap
perempuan, kejahatan ini dapat dibawa ke pengadilan dan mereka yang
menjadi korban difasilitasi dalam proses hukum khusus dalam menuntut
hak-hak dan kompensasi yang dibutuhkannya. Dalam usulan rancangan
undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disusun oleh
sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pengertian kekerasan dalam rumah
tangga dirumuskan sebagai :
“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara
xxxix
ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga (Achie Sudiarti Luhulima, 2000:108).”
b). Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Adapun bentuk KDRT seperti yang disebut di atas dapat dilakukan
suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk :
1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat ;
2) Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dll.
3) Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak
wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan
komersial, atau tujuan tertentu ; dan
4) Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah
tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu
penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut (Guse Prayudi, SH, 2009:37).
3. Tinjauan Umum Penelantaran Orang Dalam lingkup Rumah Tangga
a). Pengertian Penelantaran Orang
xl
Secara umum yang dimaksud dengan Penelantaran Orang adalah
perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal
menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Ps 5 jo Ps 9).
Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam memberikan
kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki kebergantungan kepada
pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga (Achie Sudiarti
Luhulima, 2000:68). Kurangnya menyediakan sarana perawatan kesehatan,
pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor
utama dalam menentukan adanya penelantaran.
Dalam tindak pidana penelantaran orang ini berupa penelantaran
terhadap istri dan anak yang mana tidak memberikan nafkah lahir dan batin
sebagaimana kewajiban seorang suami terhadap isterinya dalam ikatan
perkawinan. Dalam proses pembentukan Undang-undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga muncul wacana untuk mengkostruksikan
“dalam lingkup rumah tangga” termasuk di dalamnya adalah pasangan atau
mantan pasangan di dalam maupun di luar perkawinan yakni seperti tersebut
dalam Usulan perbaikan atas Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dari Komnas perempuan.
b). Orang-orang yang termasuk dalam Lingkup Rumah Tangga
Mengingat Undang-undang tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman pidana
penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas
khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga
sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
xli
Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga,
adalah :
a) Suami isteri atau mantan suami isteri;
b) Orang tua dan anak-anak;
c) Orang-orang yang mempunyai hubungan darah;
d) Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-
orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga;
e) Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih
atau pernah tinggal bersama (yang dimaksud orang yang hidup
bersama adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang
tinggal bersama dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu).
Yang dimaksud dengan isteri atau suami atau mantan isteri/suami
adalah meliputi isteri atau suami atau mantan isteri/suami de jure yakni
seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, serta meliputi isteri atau suami atau
mantan isteri/suami de facto yaitu, seseorang yang telah melakukan
perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak yang
berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat
didaftarkan di bawah undang-undang tertulis (Achie Sudiarti Luhulima,
2000:110).
Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Korban adalah orang yang
mengalami tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu sangat bermacam-macam jenisnya,
dan dalam penelitian ini akan membahas masalah penelantaran orang dalam
lingkup rumah tangga, yaitu isteri dan anak, yang mana dipengaruhi oleh
faktor ekonomi. Dalam UU No. 23 Tahun 2004, terutama pasal 49 diatur
ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana penelantaran orang lain dalam
lingkup rumah tangga yaitu “ Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
xlii
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah), setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
Rumah tangga menunjuk suatu kelompok yang hidup dalam satu
rumah dan satu dapur. Kelompok orang tersebut biasanya terdiri atas
ayah/ibu/anak, dan terkadang ditambah dengan seorang pembantu rumah
tangga. Rumah tangga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Terciptanya
rumah tangga yang bahagia, kekal dan rukun merupakan dambaan semua
orang, namun pada tataran aplikatif tidak mudah mewujudkannya. Hal ini
terbukti karena sampai saat ini masih banyak ditemui kasus tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan tersebut bisa terjadi
terhadap fisik, psikis dan dalam hubungan seksual.
4. Tinjauan Umum Tentang Putusan
a). Pengertian Putusan
Pengertian “putusan hakim” menurut Leden Marpaung, S.H.
bahwa: “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis maupun lisan. Demikian dimuat dalam buku “Peristilahan
Hukum dalam Praktek” yang dikeluarkan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia 1985 halaman 221. Rumusan di atas terasa kurang tepat
selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata putusan dan keputusan
dicampuradukkan. Ada juga yang mengartikan putusan (vonis) sebagai
vonis tetap (difinitief) (Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea). Rumusan-
rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa
yang bukan ahli hukum. Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang
sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-
xliii
istilah. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari ahli vonis adalah
hasil akhir dari pemeriksaan perkara di siding pengadilan. Ada juga yang
disebut : interlocutoir yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau
keputusan sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan
pendahuluan/ keputusan persiapan, serta keputusan provisionele yang
diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara (Leden Marpaung,
1995:406).
Selain itu juga putusan pengadilan menurut Bab 1 Pasal 1 Angka
11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai pernyataan hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan berlandaskan
pada visi teoretik dan praktik peradilan maka “putusan hakim” itu
merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam
persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui
proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar
pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat
dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara (Lilik Mulyadi,
2007:121).
b). Jenis-jenis Putusan Hakim
Dengan mengacu pada batasan sebagaimana di atas maka dapatlah
lebih mendetail, mendalam, dan terperinci disebutkan bahwa “putusan
hakim” pada hakikatnya merupakan :
1) Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka
untuk umum.
Dalam konteks ini putusan diucapkan hakim karena jabatannya
(ambthalve) yang diberikan oleh undang-undang untuk mengadili perkara
pidana tersebut sebagaimana diintrodusir ketentuan Pasal 1 angka 8
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Selanjutnya agar putusan hakim
xliv
tersebut menjadi sah dan mempunyai kekuatan hukum hukum maka
haruslah diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk
umum (Pasal 195 KUHAP, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 jis Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Undang-Undang nomor 4
Tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman.
2) Putusan dijatuhkan oleh hakim setelah melalui proses dan prosedural
hukum acara pidana pada umumnya.
Hakikat “proses” dan “prosedural” ini penting eksistensinya. Hanya
terhadap keputusan hakim yang sudah melalui proses dan prosedural hukum
acara pidana pada umumnya saja mempunyai kekuatan hukum mengikat
dan sah. Pengertian proses disini substansialnya tendensi pada cara prosesuil
hakim menangani perkara pidana yang bersangkutan mulai tahapan : siding
dinyatakan “dibuka” dan “terbuka” untuk umum, kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat (3)
KUHAP); pemeriksaan identitas terdakwa (Pasal 155 ayat (1) KUHAP);
pembacaan dakwaan (Pasal 155 ayat (2) KUHAP). Sedangkan aspek
prosedural tendensi pada elemen administratif, yakni mulai tahap prosedural
administrasi pelimpahan perkara, pengagendaan, penulisan dan pemberian
nomor perkara, pendaftaran surat khusus di kepaniteraan jika terdakwa
didampingi oleh penasehat hukum dan sampai penetapan majelis
hakim/hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara itu.
3) Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala
tuntutan hukum.
Secara substansial putusan hakim dalam perkara pidana amarnya
hanya mempunyai tiga sifat :
i. Pemidanaan /verordeling
Apabila hakim/pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah
dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
ii. Putusan bebas (vrijspraak/acquittal)
xlv
Jika hakim berpendapat bahwa bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan (Pasal 191 ayat
(1) KUHAP).
iii. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum/onslag van alle
rechtsvervolging.
Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan
suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
4) Putusan hakim dibuat dalam bentuk tertulis.
Pada praktek peradilan maka putusan hakim haruslah dibuat
dalam bentuk tertulis. Persyaratan bentuk “tertulis” ini implisit tercermin
dari ketentuan Pasal 200 KUHAP bahwa :
“Surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah
putusan itu diucapkan.”
5) Putusan hakim tersebut dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan
perkara pidana.
Apabila hakim telah mengucapkan putusan, secara formal
perkara pidana tersebut pada tingkat pengadilan negeri telah selesai. Oleh
karena itu, status dan langkah terdakwa pun menjadi jelas apakah akan
menerima putusan, menolak putusan untuk melakukan upaya hukum
banding/kasasi, atau bahkan akan melakukan grasi.
Selain itu juga, dapat diperinci lebih intens oleh karena putusan hakim merupakan “mahkota” dan “puncak” dari perkara pidana maka diharapkan pada putusan hakim ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, dapat dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan, diri sendiri, ilmu hukum, hati nurani hakim, dan masyarakat pada umumnya serta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Lilik Mulyadi, 2007:121-126).
xlvi
5. Tinjauan Umum Peraturan Perundang-undangan tentang Penelantaran
Orang
a). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga. Sedangkan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan
dalam rumah tangga (Vide Pasal 1 angka 2, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004). Tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah
tangga diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
yang berbunyi :
(1) “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut”.
Sanksi dan ancaman hukuman bagi orang yang melakukan
tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga seperti yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49 adalah :
xlvii
“ Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap
orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2)”.
b). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau
ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu
kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Anak
terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik
fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Perlindungan khusus adalah
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban
penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik
xlviii
dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran.
c). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur
mengenai sanksi dan ancaman pidana bagi orang yang melakukan tindak
pidana penelantaran orang terutama di dalam Bab XV tentang meninggalkan
orang yang perlu ditolong, yang berbunyi :
Pasal 304 : “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
Pasal 305 : Barangsiapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh
tahun untuk ditemu, atau meninggalkan anak itu, dengan
maksud untuk melepaskan diri darinya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
d). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kewajiban
dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak
dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
xlix
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang
ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
Dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999, dikatakan bahwa
Seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak
pemilikan serta pengelolaan harta bersama (Vide Pasal 51 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999). Di dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999, berisi bahwa :
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik,
diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya
sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali
berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah
l
meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Sedangkan di dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
berbunyi :
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala
bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya,
atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak
tersebut.
(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk,
dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan
terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan
pemberatan hukuman.
B. Kerangka Pemikiran
Untuk mempermudah gambaran dari penelitian ini dapat dilihat
dari kerangka pemikiran sebagai berikut :
PUTUSAN No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten
li
Bagan kerangka pemikiran putusan no.144/pid. b/2009/PN Klaten.
Tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga
diatur dalam UU khusus yang mengaturnya yaitu UU No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan dasar tersebut
dapat digunakan sebagai pijakan yang kuat bagi para penegak hukum dalam
melakukan penindakan dengan tegas praktek-praktek kekerasan dalam rumah
tangga dan salah satunya adalah penelantaran istri dan anak. Tetapi sampai saat
sekarang, baik kekerasan fisik maupun penelantaran istri masih ada di
masyarakat sekitar.
Jadi apa yang sebenarnya terjadi sehingga penelantaran terhadap
istri dan anak, yang sudah tegas dan nyata telah dikualifikasikan sebagai suatu
KESESUAIAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
PERTIMBANGAN HAKIM
1. fakta hukum 2.hal-hal memberatkan&meringankan terdakwa 3.dasar hukum KDRT 4. interprestasi hakim 5. jenis tindak pidana
1. UU No 23 Tahun 2004
2. UU No 23 Tahun 2002
3. KUHP
4. DUHAM
PERTIMBANGAN HAKIM
lii
tindak pidana dalam UU No. 23 tahun 2004, yang masih sangat sulit untuk
dapat dihilangkan, apalagi untuk dapat dihilangkan ditekan seminim mungkin
perkembangannya sangatlah sulit. Dalam peraturan perundangan kita telah
ditegaskan dalam UUD 1945 “bahwa Negara Indonesia adalah Negara
hukum”, sehingga siapapun juga dan apapun bentuk perbuatannya yang telah
melanggar atau melakukan tindak pidana, maka harus ditindak sesuai dengan
norma hukum yang ada dan berlaku di Indonesia.
Apabila kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita khususnya
ini masih berlangsung dalam kehidupan hukum di Negara kita, maka akan
menjadikan citra buruk bagi para penegak hukum dan perkembangan hukum di
Negara kita pada masa datang. Sehingga akan memberikan kesan baik oleh
bangsa lain maupun dari warga Negara Indonesia sendiri, bahwa penegak
hukum di Indonesia ternyata tidak mampu untuk menegakkan hukum secara
konsekuen dan kurang memperhatikan masalah-masalah hukum yang ada
terutama yang menjunjung harkat dan martabat wanita.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana
Penelantaran Orang dalam Lingkup Rumah Tangga dalam Perkara No.
144/Pid.B/2009/PN Klaten.
Perihal putusan hakim atau “putusan pengadilan” merupakan aspek
penting dalam menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim dapat
dikonklusikan bahwa disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh
kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat
mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian
dapat berupa : menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding
atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak, apabila
ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah
“mahkota” dan “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki,
liii
hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan
faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang
bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007:119). Karena begitu kompleksitasnya
dimensi dan substansi putusan hakim, maka tidaklah mudah untuk memberikan
rumusan aktual, memadai, dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim.
Putusan pengadilan dapat diartikan sebagai pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam Bab I Pasal I Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Dalam kasus tindak pidana penelantaran orang dalam rumah tangga
khususnya istri dan anak yang diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Klaten dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten, maka Majelis Hakim
menjatuhkan putusan pidana yang dilakukan oleh tersangka atau pelaku tindak
pidana penelantaran istri dan anaknya sebagai berikut:
Kasus Posisi : Pada tanggal 8 juni 2008 terdakwa LUKAS ERI SENO AJI
menikah dengan CHICHILIA ERLINA AJENG
ENDARWATI dengan kutipan Akta Perkawinan No:
248/CS/2008 tanggal 9 Juni 2008 dan dalam pernikahan itu
didasari rasa cinta serta dikaruniai seorang anak perempuan
yang bernama ANGELIA BERTA ERINA. Setelah resepsi
pernikahan berakhir, terdakwa tidak tinggal bersama dengan
isterinya, tetapi terdakwa tinggal di rumah orang tuanya sendiri
di Dk. Sumberagung Rt.01/10, Ds. Jombor, Kec. Ceper, Kab.
Klaten. Sedangkan isteri terdakwa dan anaknya tinggal
bersama dengan orang tuanya di Dk. Karangwuni Wetan
Rt01/Rw02, Ds. Dlimas, Kec. Ceper, Kab. Klaten. Sejak saat
resepsi pernikahan itu, terdakwa meninggalkan isterinya dan
tidak kembali lagi sampai isterinya melahirkan anaknya hingga
berumur 20 hari, yang mengakibatkan kondisi bayi mengalami
gangguan pencernaan, mual-mual saat minum air susu ibunya
serta kondisi ibunya juga mengalami tekanan batin karena
liv
memikirkan terdakwa yang tidak pernah menjemputnya.
Hingga anaknya diopname di RSIA Aisyiyah Klaten selama 3
hari, tetapi terdakwa juga tidak pernah datang untuk menengok
kondisi anaknya yang sedang sakit tersebut bahkan terdakwa
tidak peduli sama sekali terhadap anak kandungnya tersebut,
maka terdakwa selaku suami seharusnya wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada isteri dan
anaknya, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh terdakwa,
akibat perbuatan terdakwa tersebut beban hidup korban
menjadi berat dan batin korban menjadi tersiksa.
Kemudian bentuk putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Klaten sebagai berikut:
MENGADILI
Menyatakan Terdakwa Lukas Eri Seno Aji tersebut, telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menelantarkan orang
lain dalam lingkup rumah tangganya” ;
1. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5
(lima) bulan;
2. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
3. Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan;
4. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam perkara
ini sebesar Rp 2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah);
Demikianlah diputuskan pada Hari Jumat tanggal 19 Juni 2009 dalam rapat
permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri oleh kami : SANTUN
lv
SIMAMORA, SH, MH Selaku Hakim Ketua, A. ZAMRONI, SH, M.Hum dan
LUCAS PRAKOSO, SH, MH masing-masing selaku Hakim anggota, putusan
mana diucapkan pada hari SENIN tanggal 29 JUNI 2009 dalam sidang yang
terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua dan Hakim-hakim Anggota tersebut
dengan didampingi oleh SUTOTO, SH, Panitera Pengganti dan dihadiri oleh
YUNAIDA KISWANDARI.M, SH Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.
Putusan yang telah dipaparkan di atas telah memiliki kekuatan hukum in
kracht, yang mana Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak
pidana penelantaran orang yakni anak dan istri, dengan mengingat dan
memperhatikan Pasal 49 huruf a Jo Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 23
Tahun 2004, Undang-undang No. 4 Tahun 2004, Undang-undang No. 8 Tahun
1986 serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini. Bagi
setiap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terutama Pasal 49
huruf a Jo Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004, adapun
ancaman pidananya sebagai berikut :
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2).
Dalam perkara penelantaran orang dalam rumah tangga yang terjadi di
daerah Klaten ini, mempertimbangkan alasan-alasan hakim dalam menjatuhkan
putusan pidana terhadap terdakwa, yang mana dasar pertimbangan hakim ini
disebut juga dengan Legal Reasoning. Berpikir yuridis adalah suatu cara
berpikir tertentu, yakni terpola dalam konteks sistem hukum positif dan
kenyataan kemasyarakatan, untuk memelihara stabilitas dan predikbilitas demi
menjamin ketertiban, dan kepastian hukum, untuk menyelesaikan kasus
konkret secara impersial, objektif, adil dan manusiawi. Proses penyelesaian
lvi
kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasari oleh ide keadilan restoratif
adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan korban dan khusus untuk
perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini dalam penjatuhan putusannya
menggunakan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis.
Dengan melalui optik perumusan KUHAP, pandangan doktrina, aspek
teoritik dan praktik peradilan maka pada asasnya putusan hakim/pengadilan
dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten diklasifikasikan dalam jenis
putusan akhir. Putusan akhir ini dalam praktik lazim disebut dengan istilah
“putusan” atau “eind vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat materiil.
Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa
terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai
diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, serta Pasal 199 KUHAP).
Menurut DR. H. Muchsin, SH (2007) yang menyatakan bahwa :
- Putusan Hakim sebagai penentu terakhir dalam perkara pidana, terkait
dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga ini harus
mempertimbangkan berbagai hal secara matang sebelum memutus
perkara ini. Putusan Hakim selain memberi efek jera kepada pelaku
juga harus mempertimbangkan kondisi keluarga yang ditinggalkannya
khususnya anak dan jangan sampai anak terlantar dan menjadi korban,
sehingga berat ringannya hukuman yang diberikan kepada pelaku
harus benar-benar telah mempertimbangkan berbagai hal khususnya
nasib keluarga yang ditinggalkan.
- Kepada para Hakim yang memutus perkara kekerasan dalam rumah
tangga, harus benar-benar telah memikirkan dan mempertimbangkan
secara matang, tidak hanya pertimbangan secara yuridis tetapi secara
sosial dan mempertimbangkan kepentingan/nasib korban kekerasan
khususnya tentang masa depan anak (Guse Prayudi, 119-120).
1. Pertimbangan-Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan dengan
perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten.
lvii
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam menjatuhkan putusan
terhadap terdakwa LUKAS ERI SENO AJI, mempertimbangkan dengan
beberapa pertimbangan berdasarkan keyakinan hakim, Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku, atau sosiologis masyarakatnya yaitu :
- Majelis akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum
mengenai surat kesepakatan bersama antara terdakwa dengan saksi korban,
yang menyatakan bahwa terdakwa masih kuliah dan belum mempunyai
penghasilan, terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya.
- Menimbang bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu
tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh
unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
- Menimbang bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan
dakwaan yang berbentuk alternative, sehingga akan dipertimbangkan
dengan memilih salah satu dakwaan yang dianggap paling erat
hubungannya dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yaitu
dakwaan pertama Pasal 49 huruf (a) Jo pasal 9 (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
- Menimbang, bahwa majelis akan mempertimbangkan pasal dakwaan
kedua tersebut karena yang menjadi korban dalam dakwaan ini adalah
isteri dan anak, bukan anak saja sebagaimana muatan dalam dakwaan
pertama dan dihubungkan dengan surat kesepakatan bersama yang
senantiasa dijadikan oleh terdakwa dan keluarga terdakwa untuk
membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
- Menimbang, adapun unsur-unsur yang terdapat di dalam pasal dakwaan
Pasal 49 huruf (a) Jo Pasal 9 (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga antara lain :
1. Unsur setiap orang ;
lviii
2. Unsur menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga ;
3. Unsur wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
Dan terhadap unsur-unsur tersebut majelis akan mempertimbangkannya
sebagai berikut :
Ad.1. Unsur setiap orang, unsur ini dimaksudkan subjek hukum baik orang
perseorangan atau badan hukum, yang mampu melakukan perbuatan
hukum dan mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan
tersebut dan diduga telah melakukan tindak pidana ;
- Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan pada awal
persidangan perkara terdakwa sebelum dakwaan oleh Jaksa Penuntut
umum dibacakan Majelis Hakim telah menanyakan kepada terdakwa
tentang identitas terdakwa sebagaimana terdapat di dalam dakwaan
Jaksa penuntut Umum identitas mana diakui terdakwa sebagai
identitasnya yaitu terdakwa seorang laki-laki bernama Lukas Eri Seno
Aji itu menunjukkan terdakwa adalah orang perseorangan sebagai
subjek hukum pendukung hak dan kewajiban dan telah berusia/berumur
22 tahun (dua puluh dua) tahun dan telah kawin artinya terdakwa sudah
dewasa dalam pengertian mampu melakukan perbuatan hukum dan
selama dalam pemeriksaan perkara terdakwa tidak terbukti bahwa
terdakwa sedang dalam pengampuan atau perwalian karena cacat
mental, oleh karena itu terdakwa adalah orang yang mampu
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan ;
- Menimbang, bahwa selain itu tidak ada orang lain yang diajukan
sebagai terdakwa dalam perkara ini selain terdakwa sendiri, dengan
pertimbangan tersebut Majelis Hakim berpendapat unsur setiap orang
dalam dakwan ini telah terbukti ;
Ad. 2. Unsur dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya ;
lix
- Menimbang, bahwa dalam penjelasan Pasal 13 huruf (c) Undang-undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, perbuatan
menelantarkan adalah termasuk tindakan atau perbuatan mengabaikan
dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, mengurus anak,
isteri/suami sebagaimana mestinya dalam kehidupan rumah
tangga/keluarga (ibu, bapak dan anak), karena bersifat larangan maka
perbuatan tersebut mencakup kesengajaan ataupun kealpaan, sedangkan
pengertian lingkup rumah tangga meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang
menetap dalam rumah tangga dan/atau ;
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2 Undang-undang no.23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga) ;
- Menimbang, bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan) ;
- Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan pada tanggal
8 juni 2008 telah terjadi perkawinan antara terdakwa dengan saksi
korban Chichilia Erlina Ajeng Indarwati yang dilaksanakan di Gereja
Santa Theresia Jombor, kec. Ceper, kab, Klaten dnegan kutipan akta
perkawinan No.248/CS/2008 tanggal 9 Juni 2008, kemudian
dilanjutkan dengan acara resepsi perkawinan di rumah orang tua saksi
korban Chichilia Erlina Ajeng Indarwati dan dari perkawinan tersebut
pada tanggal 24 Agustus 2008 telah dilahirkan seorang anak perempuan
bernama Angelia Bertha Erina atau dua bulan setelah dilangsungkannya
lx
perkawinan antara terdakwa dengan saksi korban dengan demikian
perbuatan dalam perkara ini termasuk dalam lingkup rumah tangga ;
- Menimbang, bahwa pada acara resepsi perkawinan sedang berlangsung,
dimana terdakwa dan saksi korban duduk dihadapan para tamu,
terdakwa pergi meninggalkan acara resepsi diajak kakak terdakwa
karena orang tua terdakwa sedang sakit dan opname di rumah sakit,
selesai menjenguk orang tua di rumah sakit terdakwa tidak kembali ke
resepsi perkawinannya yang berlangsung di rumah mertua terdakwa
dan sejak itu tidak pernah lagi kembali untuk hidup bersama dengan
isteri terdakwa ;
- Menimbang, bahwa alasan terdakwa dan keluarga terdakwa untuk tidak
kembali ke rumah mertua atau hidup bersama dengan isterinya karena
sudah ada surat kesepakatan bersama yang memuat hal-hal mengingat
bahwa pihak I (pertama/terdakwa) dan pihak II (kedua/saksi korban)
masih kuliah dan belum mempunyai penghasilan, maka setelah pihak I
(pertama/terdakwa) dan pihak kedua (kedua/saksi korban)
melangsungkan pernikahan, membuat kesepakatan bersama sebagai
berikut :
a. Pihak I (pertama/terdakwa) tetap tinggal bersama dengan orang
tua Pihak I (pertama/terdakwa), dan semua kebutuhan hidupnya
menjadi tanggung jawab orang tua Pihak I (pertama/terdakwa).
b. Pihak II (kedua/saksi korban) berikut anak yang akan
dilahirkan, tetap tinggal bersama orang tua Pihak II (kedua/saksi
korban), dan semua kebutuhan hidupnya menjadi tanggung
jawab orang tua pihak II (kedua/saksi korban).
- Menimbang, bahwa membaca dan meneliti isi surat kesepakatan bersama
tersebut, maka yang mendasari adalah karena terdakwa dan saksi
korban masih kuliah dan belum mempunyai penghasilan artinya lebih
ke pertimbangan ekonomi. Oleh karena itu, perbuatan tersebut (tidak
tinggal dalam satu rumah dan bantuan ekonomi) diketahui dan
dikehendaki oleh terdakwa karena terdakwa menandatangani surat itu
lxi
dan terdakwa tidak kembali lagi ke rumah mertua untuk tinggal
bersama dengan isteri dan anaknya, melainkan terdakwa sama sekali
tidak pernah menjenguk saksi korban sejak dilangsungkannya
perkawinan sampai perkara ini diperiksa di Pengadilan ;
- Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap sewaktu saksi korban
melahirkan anak perempuan bernama Angelica Bertha Erina, yaitu anak
terdakwa dan saksi korban terdakwa sebagai suami dan orang tua tidak
datang melihat atau menjenguk, sewaktu anak terdakwa dan saksi
korban, yaitu Angelica Bertha Erina menderita sakit dan opname di
rumah sakit Islam terdakwa tidak datang menjenguk ;
- Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
Majelis berkesimpulan unsur wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut tidak dilaksanakan oleh
terdakwa ;
- Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
ternyata perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari pasal
dakwaan kedua sehingga Majelis berkesimpulan bahwa terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, yaitu melanggar pasal 49 huruf a Jo Pasal 9
ayat (1) Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam
rumah tangga ;
- Menimbang, bahwa dari kenyataan yang diperoleh selama di persidangan
dalam perkara ini, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat
melepaskan terdakwa dari pertanggung jawaban pidana, baik sebagai
alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh karenanya Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa harus
dipertanggung jawabkan kepadanya ;
- Hal yang memberatkan :
Perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan saksi Chihcilia Erlina
Ajeng merasa beban hidupnya menjadi berat dan batin korban menjadi
lxii
tersiksa karena semua kebutuhan lahir batin korban dan anaknya
ditanggung sendiri oleh korban dan kedua orang tua korban.
Hal yang meringankan :
Terdakwa mengakui kesalahannya, terdakwa masih muda dan dapat
diharapkan di masa yang akan datang memperbaiki sikap dan
perilakunya, bahwa perbuatan terdakwa dapat dihindari atau tidak
terjadi apabila orang tua terdakwa dan orang tua saksi korban berlaku
tegas, bukan melindungi atas perbuatan yang tercela.
2. Aspek-Aspek yang Kerap Kurang Diperhatikan Hakim Secara Kasuistik Dalam
Membuat Putusan Pada Praktik Peradilan.
Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di
dalamnya, yaitu mulai dari kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin
ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya
kecakapan teknik membuatnya. Dengan demikian jika anasir “negative”
tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim tersebut
hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat “kepuasan” moral
jika putusan yang dibuat itu dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama.
Apabila diperinci secara lebih mendalam, intens, dan detail, aspek-aspek yang
kerap muncul dan kurang diperhatikan hakim dalam membuat putusan pada
praktik peradilan, lazimnya dapat berupa :
Kelalaian, kekuranghati-hatian, dan kekeliruan/kekhilafan hakim dalam lingkup hukum acara pidana yang tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum, tetapi hanya sekedar “diperbaiki” oleh pengadilan tinggi/ Mahkamah Agung, bagi seorang hakim yang baik. Selain itu terdapat putusan yudex facti dalam menjatuhkan pidana dirasakan tidak adil dan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa dan sebagainya (Lilik Mulyadi, 2007:137-138).
3. Jenis Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga.
Menurut Pasal 5 huruf d Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dilarang setiap orang melakukan penelantaran rumah tangga,
yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PKDRT, bahwa :
lxiii
a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
pemeliharaan kepada orang tersebut.
b. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di alam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Guse
Prayudi, 2009:85).
KUHP sendiri memiliki pasal yang sepadan/sejenis dengan penelantaran rumah
tangga yakni diatur dalam BAB XV. Tentang meninggalkan orang yang
memerlukan pertolongan, yakni Pasal 304 yang menyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Yang dihukum menurut pasal ini ialah orang yang sengaja menyebabkan atau
membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib member kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau
karena perjanjian, misalnya orang tua membiarkan anaknya dalam keadaan
sengsara, demikian pun wali terhadap anak peliharaannya (R.Soesilo,
1976:193).
4. Pentingnya Interprestasi Oleh Hakim Pidana dalam Menjatuhkan Putusan.
Di Negara Indonesia, Pasal 27 Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman mengatakan, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Ini berarti hakim harus menemukan hukum. Dunia modern tidak
lagi dapat menerima secara ketat apa yang dikatakan oleh Montesquieu, bahwa
lxiv
hakim hanya menjadi corong undang-undang (qui pronounce les paroles de la
Loi) yang mana tidak dapat diterima secara absolute (Andi Hamzah, 2008:77-
78).
Menurut pendapat Andi Hamzah, “hakim menggali hukum yang hidup di
dalam masyarakat” khususnya bagi hukum pidana tidak dapat dipakai untuk
menciptakan hukum melalui analogi, tetapi melalui interprestasi, hakim
Indonesia dapat menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Jenis-jenis interprestasi Undang-undang Pidana (Andi Hamzah, 2008:81-85) :
1. Interprestasi atau penafsiran gramatika, artinya interprestasi ini didasarkan
kepada kata-kata undang-undang.
2. Interprestasi atau penafsiran sistematis atau dogmatis, interprestasi ini
didasarkan kepada hubungan secara umum suatu aturan pidana.
3. Interprestasi atau penafsiran historis, artinya penafsiran ini didasarkan
kepada maksud pembuat undang-undang ketika diciptakan.
4. Interprestasi atau penafsiran teleologis, artinya penafsiran ini mengenai
tujuan undang-undang.
5. Interprestasi atau penafsiran ekstensif yaitu penafsiran luas.
B.Putusan Hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang Tindak
Penelantaran Orang Dalam Rumah Tangga dikaitkan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini.
Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, aturan-aturan hukum yang
digunakan dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya
terbatas pada penggunaan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 (tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga) tetapi juga ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 (tentang Perlindungan Anak). Oleh karena itu
aturan-aturan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga berikut ini juga
lxv
akan memaparkan ketiga aturan hukum tersebut dan ditambah dengan
DUHAM.
1. Ketentuan-Ketentuan Dalam KUHP Yang Berkaitan Dengan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Seperti disebutkan dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT),
kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya sudah banyak terjadi sebelum
undang-undang tersebut diundangkan (pertimbangan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004). Meskipun pada waktu itu tidak ada kebijakan formulasi
terhadap kekerasan dalam rumah tangga, tidaklah berarti perbuatan kekerasan
tersebut dapat lolos dari jerat hukum. Sebelum UU PKDRT diundangkan, yaitu
tanggal 22 September 2004, aturan-aturan hukum yang dapat dipergunakan
oleh aparat penegak hukum untuk memidana pelaku kekerasan dalam rumah
tangga adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (G. Widiartana,
2009:33). Adapun pasal-pasal mengenai tindak pidana dalam KUHP yang
dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga
adalah pasal-pasal yang menentukan adanya syarat khusus untuk dapat
terjadinya tindak pidana, seperti adanya hubungan ayah anak atau ibu anak,
maupun pasal-pasal yang tidak menentukan adanya syarat-syarat khusus
tersebut, misalnya pembunuhan dan penganiayaan. Bertitik tolak dari pendapat
Barda Nawawi Arief yang mengatakan bahwa masalah sentral kebijakan
hukum pidana terletak pada masalah penentuan atau perumusan tindak pidana
dan sanksi pidananya (Barda Nawawi Arief, 2005:29), maka telaah terhadap
ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang berkaitan dengan kekerasan dalam
rumah tangga juga akan berpijak pada kedua hal itu seperti diuraikan sebagai
berikut :
lxvi
a. Dalam hal kriminalisasi, ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang dapat
terapkan untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga terutama tindak pidana
penelantaran isteri dan anak dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
1) Ketentuan dalam KUHP yang secara tegas mengharuskan adanya
hubungan keluarga antara pelaku dan korban untuk terjadinya tindak
pidana. Ketentuan tersebut adalah :
- Pasal 304 mengenai perbuatan menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu
(Moeljatno, 2003:113).
2) Ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang tidak menyebut perlu adanya
hubungan keluarga antara pelaku dan korban untuk terjadinya tindak
pidana, tetapi dapat diterapkan untuk kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya berisi rumusan
tentang tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang terhadap
orang lain tanpa ada syarat hubungan tertentu antara pelaku dengan
korbannya untuk terjadinya tindak pidana, tetapi ketentuan-ketentuan
dimaksud dapat juga diterapkan untuk kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam Bab XIV
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, Bab XVI tentang Penghinaan,
Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang, Bab XIX
tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, dan Bab XX tentang Penganiayaan
(G. Widiartana, 2009:35).
b. Dalam hal kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya antara lain
ditentukan sebagai berikut :
- Jenis sanksi pidana yang diancamkan berupa pidana pokok (berupa
pidana mati, penjara seumur hidup, penjara untuk sementara waktu
atau pidana denda) maupun pidana tambahan (berupa pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman keputusan hakim).
lxvii
- Sanksi pidana pokok dapat berdiri sendiri. Artinya dapat dijatuhkan
tanpa didampingi sanksi pidana tambahan. Sedangkan sanksi pidana
itu dapat berdiri sendiri. Artinya harus dijatuhkan bersama-sama
dengan sanksi pidana pokoknya
- Berat ringannya sanksi pidana yang diancamkan juga bersifat
variatif. Hal tersebut antara lain tergantung pada jenis dan kualifikasi
tindak pidananya.
- Sanksi pidana pokok diancamkan baik secara tunggal maupun
alternative. Sedangkan untuk pidana tambahan dikumulatifkan
dengan pidana pokoknya.
- Untuk tindak pidana tertentu adanya hubungan keluarga antara
pelaku dengan korbannya dijadikan sebagai alasan pemberat
pemidanaan.
Menurut pendapat saya, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusannya kurang
memperhatikan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) terutama Bab XV tentang tindak pidana penelantaran
orang khususnya Pasal 304 dan Pasal 305 KUHP, yang berbunyi :
Pasal 304 : “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.
Pasal 305 : “Barangsiapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh
tahun untuk ditemu, atau meninggalkan anak itu, dengan
maksud untuk melepaskan diri darinya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
lxviii
Sehingga dalam putusan Nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten, menurut saya
tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena Majelis
Hakim tidak menggunakan unsur dalam keadaan sengsara, yang mana tidak
menjelaskan bahwa isteri dari terdakwa Lukas Eri Seno Aji setelah menjadi
korban penelantaran, dalam keadaan sengsara. Selain itu juga Majelis Hakim
tidak mempertimbangkan adanya unsur penelantaran terhadap anaknya.
Sedangkan dalam KUHP merupakan suatu peraturan yang bersifat umum dan
untuk sekarang ini telah ditetapkan dan diberlakukan adanya Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus, dan lebih jauh meringankan bagi pelaku kekerasan dalam
rumah tangga karena adanya asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis.
2. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan anak.
Dilihat dari isinya, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 ini (selanjutnya
disebut sebagai undang-undang perlindungan anak) pada dasarnya dapat
digolongkan ke dalam hukum administrasi. Meskipun demikian di dalam
undang-undang ini juga dirumuskan adanya ancaman sanksi pidana untuk
perbuatan-perbuatan tertentu, baik dengan kekerasan maupun tidak, yang
merusak atau mengganggu terciptanya perlindungan terhadap anak. Jadi upaya
“penal” dalam undang-undang ini digunakan untuk menguatkan ketentuan
administratif yang menjadi muatan pokoknya. Dengan demikian penggunaan
upaya “penal” dalam undang-undang ini dapat dikelompokan dalam kategori
hukum pidana administratif. Kebijakan penal yang tertuang dalam undang-
undang ini antara lain dapat diidentifikasikan secara umum sebagai berikut :
a. Dalam hal kriminalisasi, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana salah satunya adalah:
1) Penelantaran anak yang mengakibatkan saksi atau penderitaan, baik
fisik, mental maupun sosial (Pasal 77 b).
lxix
b. Dalam hal subjek hukum, selain berupa orang-perorangan, undang-undang
perlindungan anak juga mengenal subjek hukum berupa korporasi (G.
Widiartana, 2009:38). Apabila korporasi itu terbukti bersalah melakukan
tindak pidana yang dirumuskan, sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada :
1) Korporasi, yakni berupa pidana denda ;
2) Pengurus, yakni berupa pidana penjara dan/atau denda ;
3) Pengurus dan korporasi, yakni berupa pidana penjara dan/atau denda
(Muladi, 1991:21-22).
c. Dalam hal kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya, undang-undang
perlindungan anak antara lain mengatur salah satunya adalah :
1) Pasal 77 merumuskan ancaman sanksi pidana sebagai berikut : “Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap
anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tindakan penelantaran terhadap anak
yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik,
mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)”.
Dari rumusan yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
terutama pasal 77 sampai dengan pasal 80, maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pemidanaan antara lain mengatur sebagai berikut :
1) Jenis sanksi pidana yang diancamkan berupa pidana pokok, baik pidana
mati, penjara seumur hidup, penjara untuk waktu tertentu, dan pidana
denda.
2) Sanksi pidana diancamkan baik secara alternatif, kumulatif, maupun
secara kumulatif alternatif.
3) Untuk sistem minimal maksimal pengancaman pidana, Kekerasan
Dalam Rumah Tangga menggunakan baik sistem minimal khusus
maupun minimal umum.
lxx
4) Maksimum beratnya ancaman sanksi pidana ditetapkan secara
bervariasi, yaitu : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara untuk
waktu tertentu antara 3 tahun sampai dengan 15 tahun. Sedangkan untuk
pidana dendanya antara Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)
sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
5) Untuk tindak pidana tertentu diancam dengan pidana minimal khusus
(penjara maupun denda).
6) Adanya pemberatan pidana untuk pelaku tertentu (orang tua korban dan
korporasi).
Menurut pendapat saya, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusannya
dalam kasus penelantaran anak ini tidak menyertakan pasal-pasal dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002. Demikian banyaknya aturan hukum yang melindungi hak anak di segala
aspek kehidupannya, ternyata masih belum tampak optimal hasilnya.
Pemanfaat anak sebagai bahan komoditas untuk kepentingan atau akibat
perilaku manusia dewasa masih belum perbaikan yang berarti. Dengan kasat
mata masih banyak terjadi penelantaran hak anak secara disadari dan tidak
disadari. Keputusan Konvensi Hak Anak PBB yang secara jelas menyebutkan
satu per satu hak anak yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah memperoleh
perlindungan, ketenangan, makanan bergizi, pendidikan, bermain, menyatakan
pendapat, berpikir, masa depan dll. Anak harus dilindungi oleh siapapun dari
eksploitasi ekonomi dan terhadap pekerjaan yang berbahaya atau mengganggu
pendidikan, merugikan kesehatan anak, perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral dan sosial. Asah, asih dan asuh anak sebagai modal awal pemenuhan hak
anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semua manusia yang
menyandang predikat dewasa di penjuru Indonesia harus ikut bertanggung
jawab.
Manusia dewasa dalam melakukan aktifitasnya harus memperhatikan dengan
cermat akibat yang dapat mengancam hak anak. Dengan berpedoman lurus
pada etika dan norma di dalam masyarakat baik secara hukum, agama, budaya
lxxi
dan sosial yang berlaku, pasti hak anak pasti tidak akan terabaikan. Anak
adalah masa depan bangsa.
3. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Seperti undang-undang perlindungan anak, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini lebih
merupakan hukum administratif, karena norma-norma yang dirumuskan dalam
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut
menentukan kewenangan Negara dalam mengatur kehidupan warga negaranya,
khususnya yang berkaitan dengan upaya penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga. Adapun sanksi pidana yang dipergunakan untuk menguatkan
ketentuan-ketentuan administratif yang sudah ditentukan dalam bab-bab
sebelumnya. Dengan demikian hukum pidana yang terdapat dalam Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga itupun merupakan
hukum pidana administratif. Kebijakan penal yang tertuang dalam undang-
undang ini antara lain dapat diidentifikasikan secara umum sebagai berikut :
a. Dalam hal kriminalisasi, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana yang dikaji dalam penulisan hukum ini adalah :
Perbuatan menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) dan (2) (Pasal 49). Menurut Pasal 9 yang dimaksud dengan
penelantaran rumah tangga adalah menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dalam pasal 9 itu
disebutkan lebih lanjut bahwa termasuk dalam pengertian penelantaran
rumah tangga adalah perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang orang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali pelaku. Berkaitan dengan kriminalisasi tersebut di atas, Undang-
lxxii
Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga menentukan
beberapa jenis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan
kategori tertentu, yaitu kekerasan fisik atau psikis yang berderajat ringan,
kekerasan seksual diantara suami/isteri, dan penelantaran rumah tangga
sebagai delik aduan (Utrecht, 1987:257). Konsekuensi yuridis dari
penentuan tersebut adalah aparat penegak hukum tidak dapat melakukan
tindakan hukum apapun terhadap pelaku, meskipun mereka mengetahui
bahwa tindak pidana telah terjadi, jika korban dari tindak pidana tersebut
melakukan pengaduan (KUHAP, Pasal 1 angka 25). Dengan ditentukannya
beberapa jenis kekerasan dalam rumah tangga tersebut sebagai delik aduan,
pembentuk undang-undang telah mengakui adanya unsur privat/pribadi
dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.
b. Dalam hal kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menentukan sebagai
berikut:
Perbuatan penelantaran rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) dan (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
(Pasal 49). Disamping menentukan adanya ancaman sanksi pidana pokok,
baik pidana penjara maupun pidana denda, terhadap bentuk-bentuk
kekerasan rumah tangga tersebut di atas, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga memberikan ancaman pidana
tambahan berupa :
1) Pembatasan gerak pelaku;
2) Pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
3) Penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu (Pasal 50).
Menurut pendapat saya, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan Nomor
144/Pid.B/2009/PN Klaten telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga karena
Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga
lxxiii
khususnya Penelantaran Istri dan Anak mengacu pada Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 yang mana mengatur mengenai tindak pidana
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga yaitu dengan tidak
memberikan perawatan, pemeliharaan kepada orang tersebut dan tidak
memberikan nafka lahir batin dalam suatu ikatan perkawinan. Kemudian sanksi
dan ancaman hukumannya disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan
yaitu tindak pidana penelantaran orang yang terdapat dalam Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004. Di dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004, pelaku seharusnya dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau dikenakan denda Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Tetapi
Majelis Hakim tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 saja, tetapi berdasarkan keyakinan hakim yang mana dalam penjatuhan
hukuman itu sekiranya dapat menciptakan nilai keadilan bagi korban, pelaku,
ataupun Majelis Hakim itu sendiri sehingga Majelis Hakim memutuskan
pidana penjara 5 (lima) bulan saja dan tanpa dikenakan denda , pidana penjara
tersebut yang terpenting tidak melebihi batas maksimal 3 (tiga) tahun seperti
yang tertera dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, karena mengingat
bahwa terdakwa masih kuliah sehingga masih memiliki masa depan yang ingin
dia raih, sehingga Majelis Hakim disini bukan berfungsi untuk mematikan
kehidupan terdakwa tetapi hanya ingin membuat jera terhadap perbuatan yang
ia lakukan agar jangan sampai terulang kembali dan sebagai pelajaran bagi
masyarakat dalam berumah tangga serta untuk melindungi hak-hak korban.
4. Ketentuan dalam Hak Asasi Manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948) mendefinisikan
Hak Asasi Manusia secara luas dengan tujuan agar manusia sedunia
menghormati kemanusiaan semua orang. Dalam deklarasi tersebut tidak
banyak yang dinyatakan tentang perempuan, tetapi artikel 2 memuat bahwa
hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi,
termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Bila artikel
2 ditinjau berdasarkan pengalaman perempuan, pelanggaran hak perempuan
lxxiv
seperti tindak kekerasan terhadap perempuan dan perkosaan mudah
diinterprestasikan sebagai tindakan yang dilarang (“no one shall be subject to
torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”) (Achie
Sudiarti Luhulima, 2000:1). Perkembangan tersebut menggambarkan bahwa
konsep HAM bukan sesuatu yang statis dan juga bukan milik suatu kelompok.
Arti HAM akan meningkat dalam suatu kelompok atau dalam diri seseorang
sesuai dengan harapan dan kebutuhannya tentang HAM. Dalam semangat ini,
para pejuang masalah perempuan telah memasukkan dalam definisi
pelanggaran HAM berbagai bentuk pelanggaran yang merendahkan martabat
perempuan. Mereka menuntut agar apa yang dialami perempuan menjadi
bagian integral dari pendekatan terhadap isu-isu HAM. Tujuannya ialah untuk
membuat pengalaman perempuan kelihatan visible dan transformasi konsep
dan pelaksanaan HAM dapat meningkatkan kondisi hidup perempuan (Achie
Sudiarti Luhulima, 2000:2).
C. Putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa
keadilan dan kepastian hukum.
Menurut pendapat saya, majelis hakim dalam memutuskan perkara
Nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang
dalam lingkup rumah tangga, dengan terpidana Lukas Eri Seno Aji
berdasarkan dengan pertimbangan-pertimbangan dalam pasal-pasal yang
terdapat dalam pasal 49 huruf a Juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1986 serta peraturan-peraturan lain yang terkait
dengan perkara ini. Peraturan-peraturan yang digunakan tersebut dirasa telah
lxxv
sesuai dengan hukum yang berlaku sekarang ini. Karena dilihat dalam
putusan tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan pula dakwaan dari Jaksa
Penuntut Umum yang mana menyusun dakwaannya secara alternative,
sehingga Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut memilih salah
satu dakwaan yang paling meringankan bagi terdakwa, yang man tidak terlalu
memberatkan terdakwa dan tidak merugikan bagi korban, keluarga dan
masyarakat. Dalam putusan, aspek penelantaran anak tidak dipertimbangkan
oleh Majelis Hakim. Sehingga dalam putusan tersebut hanya memberatkan
kepada penelantaran terhadap isterinya saja. Hal ini dianggap tidak sesuai
dengan ius constitutum yang berlaku di Indonesia saat ini tetapi apabila
dilihat dari segi pelaku dan korban, hal itu sangat sesuai karena jika ditelaah
perkara KDRT ini merupakan bentuk pidana yang khusus dan berbeda dari
tindak pidana yang lainnya. Dalam wawancara dengan salah satu Hakim di
Pengadilan Negeri Klaten yaitu Bapak A. Zamroni S.H. M.Hum, beliau
mengatakan bahwa tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Dalam putusan
perkara Nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga ini juga terdapat kesesuaian
dengan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, meskipun dalam
penjatuhan putusan tersebut tidak terpaku dengan peraturan perundang-
undangan saja tetapi dengan menggunakan unsur-unsur dalam hukum positif.
Dalam suatu perkawinan harus ada ikatan antara laki-laki dan perempuan,
yang mana ikatan tersebut terwujudkan dalam bentuk ijab dan kabul. Dalam
ijab dan kabul terdapat suatu kesepakatan atau perjanjian, apabila tidak
dilaksanakan atau dilanggar maka harus dikenakan sanksi bagi orang yang
melanggarnya.
Apabila dilihat dari bentuk dakwaan yang disusun oleh Jaksa
Penuntut Umum merupakan bentuk dakwaan alternatif, karena dapat dilihat
dari susunan dakwaan yang terdapat dalam berkas perkara Nomor
144/Pid.B/2009/PN Klaten adalah terdiri dari banyak pilihan dalam
penyusunannya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten berpendapat bahwa
lxxvi
Majelis Hakim sependapat dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum.
Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah ;
1. Menyatakan terdakwa Lukas Eri Seno Aji bersalah melakukan tindak
pidana “telah menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) (setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut)” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 huruf a
Juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
dakwaan alternatif Kedua, seperti tersebut dalam lampiran.
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Lukas Eri Seno Aji dengan pidana
penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama dalam tahanan dengan
perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menetapkan supaya terdakwa Lukas Eri Seno Aji dibebani untuk
membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah).
Jadi apabila dibandingkan antara putusan Majelis Hakim dengan
tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka didapat suatu hubungan yang saling
sinkronisasi atau berkaitan sehingga menghasilkan suatu bentuk kesesuaian
sehingga terbentuk suatu keadilan dalam menjatuhkan hukuman tersebut.
Keadilan hukum tersebut dilihat dari Majelis Hakim yang menjatuhkan suatu
keputusan tersebut dengan mempertimbangkan dalam fakta-fakta yang terjadi
sehingga timbul suatu tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah
tangga tersebut. Kesesuaian putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten
tersebut, dalam mejatuhkan putusannya maka harus diterapkan hukumnya
dalam Law in Action serta berdasarkan keyakinan hakim. Untuk menyatakan
pelaku bersalah atau tidak, maka harus ada unsur dan asas Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan. Dalam hal ini untuk membentuk kepastian hukum, maka hakim
memperhatikan pula tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, yang mana dalam
lxxvii
ancaman hukuman itu dijatuhkan seadil-adilnya tanpa merugikan bagi diri
terdakwa, masyarakat, ataupun Majelis Hakim itu sendiri. Dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004, pidana pokok yang dijatuhkan minimal 1
(satu) hari sampai dengan maksimal 5 (lima) tahun. Maka dalam penjatuhan
putusan tidak harus sama persis dengan Undang-Undang, jadi Undang-Undang
tidak harus komulatif. Menurut pendapat dari salah satu hakim anggota
Pengadilan Negeri Klaten, A. Zamroni S.H, M.Hum, bahwa perkara nomor
144/Pid.B/2009/PN Klaten ini sangatlah menarik waktu persidangan itu
berlangsung, yaitu dilihat dari segi perkaranya yang sebenarnya adalah
sederhana tetapi sangat menarik untuk dibahas karena mengenai tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga tetapi tanpa menggunakan kekerasan fisik, yang
mana difokuskan terhadap tindak pidana penelantaran istri dan anaknya dengan
tidak memberi nafkah lahir dan batin sebagaimana yang menjadi kewajiban
suami terhadap isterinya sesuai dengan perjanjian yang diucapkan sewaktu ijab
dan Kabul dalam perkawinan.
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU
Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara
dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan
yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta
penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak
sebelum persidangan dimulai.
Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda
Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor
Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP
dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 Tahun 2004 diantaranya Pasal 49 jo Pasal 9 dan Pasal
lxxviii
279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; Pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; Pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (Pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 dan 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); Pasal 81 dan 82 UU No. 23 Tahun 2002 dan Pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 5 No 3-September 2008).
Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan
hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah
berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk
menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing
pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya.
Inisiatif untuk merancang program dan menyelenggarakan konseling bagi
pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan
sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang
mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan. Data di
WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara
perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian
ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang
tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum
agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya
selama perkawinan (Mitra Perempuan, 2007 : 2).
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan data-data yang penulis peroleh dari hasil pengumpulan data
dan pembahasan hasil penelitian tentang “Tindak Pidana Penelantaran Orang
Dalam Lingkup Rumah Tangga (Studi Putusan Nomor
lxxix
144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten)” maka dapat dirumuskan kesimpulan
dan saran-saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam tindak pidana
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dalam perkara No.
144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten terdiri dari :
- Dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa Lukas Eri Seno Aji, hakim
dirasa telah menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Hal ini terbukti bahwa hakim telah
menemukan hukum yang ada dalam masyarakat dengan melakukan
pertimbangan terhadap hal-hal yang meringankan terdakwa.
- Majelis Hakim mempertimbangkan berdasarkan fakta-fakta hukum
mengenai surat kesepakatan bersama antara terdakwa dengan saksi
korban.
- Terdakwa telah didakwa oleh penuntut dengan dakwaan yang berbentuk
alternative, sehingga dipertimbangkan untuk memilih salah satu
dakwaan yang dianggap paling erat.
- Adanya unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal dakwaan Pasal 49
huruf (a) Jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten menerapkan adanya asas Lex
Specialis Derogat Lex Generalis sehingga dalam penjatuhan putusan
lxxx
terhadap terdakwa dipertimbangkan dengan menggunakan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
2. Putusan Hakim No. 144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten tentang
tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, menurut
penulis telah sesuai dengan peraturan-perundang-undangan yang berlaku
sekarang ini. Majelis Hakim dalam mengambil keputusan
mempertimbangkan berdasarkan adanya perubahan peraturan perundang-
undangan yang baru yang mana dahulu tindak pidana penelantaran orang
diatur dalam KUHP tetapi karena diberlakukannya asas Lex Specialis
Derogat Lex Generalis maka Majelis Hakim mempertimbangkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta beracuan kepada
Dakwaan Alternatif yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka
Majelis Hakim memiliki kebebasan untuk memilih dakwaan yang kiranya
lebih meringankan bagi terdakwa, korban, anak dan masyarakat
sekitarnya. Selain itu juga Majelis Hakim berpedoman terhadap Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1986 yang berkaitan dengan perkara ini.
Apabila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
maka putusan tersebut tidak sesuai, karena penelantaran anak telah
mencakup dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
kemudian dalam Pasal 304 dan Pasal 305 KUHP diatur pula mengenai
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, tetapi hakim tidak
menerapkan pasal-pasal dalam KUHP ini, karena telah diatur pula dalam
Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“ Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini
juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-
undang ditentukan lain.”
lxxxi
Begitu pula dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terdapat
ketidaksesuaian, karena dalam DUHAM mencakup mengenai hubungan
Internasional, sedangkan dalam kasus posisi yang dibahas adalah masalah
yang masih dalam satu wilayah Indonesia. Sedangkan disini wanita hanya
dianggap sebagai makhluk lemah yang mana tidak bisa berbuat apa-apa
untuk para kaum lelaki.
3. Putusan Hakim No. 144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten tentang
tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga telah
memenuhi rasa keadilan tetapi dalam penjatuhan putusan terhadap
terdakwa Lukas Eri Seno Aji tidak memenuhi kepastian hukum. Kita bisa
melihat sendiri bahwa dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004, bahwa pelaku tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup
rumah tangga itu diancam dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Tetapi karena Majelis Hakim menerapkan adanya tujuan hukum yaitu
keadilan dan kemanfaatan maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara 5
(lima) bulan saja. Hal ini karena dianggap telah memenuhi rasa keadilan
bagi terdakwa, keluarga, korban dan masyarakat yang mana hukum
pidana itu tidak mematikan hidup seseorang tetapi hukum pidana hanya
bertujuan untuk menjerakan terdakwa, agar kedepannya tidak mengulangi
lagi perbuatannya. Jadi keadilan itu lebih penting daripada kepastian
hukum. Karena hukum itu didirikan untuk mewujudkan keadilan,
sedangkan apabila kepastian hukum itu diterapkan maka keadilan belum
tentu akan tercapai dalam kehidupan bermasyarakat, karena hal-hal yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan terkadang tidak sebanding
dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
B. Saran
lxxxii
Saran-saran yang dapat penulis sampaikan tentang tindak pidana
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga di Pengadilan Negeri Klaten
antara lain :
1. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam menjatuhkan putusan
kepada terdakwa seharusnya mempertimbangkan pula adanya unsur-unsur
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dimana
dalam kasus ini, kedudukan anak sebagai korban penelantaran benar-benar
diakui dan dipertimbangkan, sehingga anak tersebut mendapatkan
perlindungan yang khusus. Selain itu kedua orang tua masing-masing
pihak korban dan terdakwa seharusnya lebih bersikap tegas terhadap anak-
anakanya yang mana menikah karena hamil diluar nikah.
2. Agar mencapai suatu bentuk kesesuaian dalam peraturan perundang-
undangan. Majelis Hakim harus memperhatikan nilai-nilai yang
terkandung dalam masyarakat dan hukum yang berlaku di Indonesia
sekarang ini, agar ketidaksesuaian itu dapat dihindarkan. Dan
dipertimbangkan pula mengenai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
3. Dalam tujuan hukum itu sendiri di Indonesia ada 3 macam yaitu untuk
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Seharusnya aparat penegak hukum
dalam menerapkan ilmunya di masyarakat, harus mempertimbangkan
adanya nilai keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia sehingga
tercipta adanya suatu bentuk kemanfaatan yang berguna bagi setiap orang
yang mendapatkan keadilan dari penguasa setempat, sedangkan tujuan
hukum untuk kepastian hukum itu dapat diabaikan, sepanjang untuk
menciptakan keadilan. Jadi ancaman sanksi pidana serta denda itu harus
disesuaikan dengan perbuatan dari terdakwa agar memenuhi rasa keadilan
dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
lxxxiii
Dari Buku
Bambang Poernomo. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Bambang Sunggono. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali Pres.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. 1948
Guse Prayudi. 2007. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Merkid Press.
J.M. Van Bemmelen. 1979. Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum). Bandung : Bina Cipta.
Lamintang. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung : Armico.
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta.
Natabangsa Surbakti. 2006. Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan Hukum di Indonesia. Jakarta : Ghalia
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia.
Sutopo, HB. 2002. Pengantar Kualitatif (Dasar-dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta : Pusat Penelitian.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2009. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Van Bemmelen. 1979. Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil bagian umum). Dordrecht : Binacipta.
Dari Rancangan Undang-Undang
lxxxiv
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan (Pusat Studi Hukum&Kebijakan Indonesia/www.parlemen.net).
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (www.multiple.com)
Dari Internet atau Jurnal
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang Responsif Gender. http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/jurnal-legislasi/85-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-suatu-tantangan-menuju-sistem-hukum-yang-responsif-gender>[20 Januari 2010 pukul 07.18].
Dharmawangsa. Pola Reaksi Emosi Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://pormadi.weebly.com/1/post/2009/04/post-title-click-and-type-to-edit1.html > [12 Desember 2009 pukul 20.00].
Fajar Utomo. Berani Menghapus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://cetak.fajar.co.id/kolom/news.php?newsid=272>[11 Januari 2010 pukul 02.00].
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 5 No 3-September 2008.
Mita Untari. Penyediaan Fasilitas Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://jurnalnasional.com/show/kolom?page=1&rubrik=Simpul&berita=40620&pagecomment=1 >[12 Desember 2009 pukul 21.00].
Muhamad Hasanah. Kekeraan Dalam Rumah Tangga. http://www.jurnalnasional.com/show/breakingnews?page=469&rubrik=Nasional&berita=1269&pagecomment=1 >[28 Desember 2009 pukul 12.00].
Solar Energi Charity. Pentingnya RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://jurnal-hukum.blogspot.com/2007_06_01_archive.html>[01 Februari 2010 pukul 09.00].
Wewen Efendi. Proposal Penelitianku. http://wewenefendi.multiply.com/journal/item/20>[20 Januari 2010 pukul 07.00].
lxxxv