tindak bahasa dari sudut pendengar

54
TINDAK BAHASA DARI SUDUT PENDENGAR TINDAK BAHASA DARI SUDUT PENDENGAR 1.Pengertian Tindak bahasa dari sudut pendengar adalah bagaimana nilai ilokusi (nilai tindak bahasa yang diidentifikasi dengan kalimat pelaku yang eksplisit), itu ditangkap atau difahami oleh lawan bicara. Di dalam satu wacana peran pembicara dan pendengar itu saling berganti dan seorang pembicara dapat menjadi pendengar dan sebaliknya. Pemikiran Searle ialah bahwa tujuan-tujuan pembicara sukar diteliti, sedang interpretasi lawan bicara tampak dari reaksi-reaksi yang diberikan pada ucapan-ucapan pembicara. Searle tidak menerima konsep tindak lokusi yang digantinya dengan tindak proposisi, hal inilah yang mendasari Searle dalam memberi makna pada ucapan atau kalimat. Pergantian istilah ini digunakan untuk member makna yang lebih luas kepada tindak proposisi, yakni yang mencakup rujukan pada sesuatu dan juga yang membentuk pada predikasi (pengungkapan tentang perbuatan, keadaan atau hal dalam proposisi ). Menurut Searle, suatu ujaran terdiri dari dua bagian, yakni: a). suatu proposisi mencakup penunjuk fungsi ujaran yang merupakan nilai ilokusi. Penunjuk terdiri atas: urutan kata, tekanan, intonasi, tanda baca, nada, dan kata kerja perlakuan (performatives). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proposisi menurut Searle adalah suatu pengungkapan tujuan sebagaimana dipahami oleh pendengar. Searle telah meneliti bagaimana pendengar menginterpretasi kalimat-kalimat perlakuan pembicara, kususnya kalimat-kalimat langsung. Misalnnya: 1.“Apakah kamu dapat mengangkat koper ini?”(merujuk pada mampu atau tidak mampu pendengar melakukan permintaan itu) 2.“Apa anda akan mengangkat koper ini?” (merujuk pada perilaku pendengar pada waktu mendatang) 3. “Saya ingin kau angkatkan koper ini.”(merujuk pada keinginan pembicara kepada pendengar) 4. “Apa mau mengangkatkan koper ini?” (merujuk pada kesediaan pendengar) 5. “Kalau kau angkat koper ini, saya dapat duduk.” (merujuk pada

Upload: bayykum

Post on 16-Feb-2016

62 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

dhgjnhdhg

TRANSCRIPT

TINDAK BAHASA DARI SUDUT PENDENGAR

TINDAK BAHASA DARI SUDUT PENDENGAR

1.Pengertian Tindak bahasa dari sudut pendengar adalah bagaimana nilai ilokusi (nilai tindak bahasa yang diidentifikasi dengan kalimat pelaku yang eksplisit), itu ditangkap atau difahami oleh lawan bicara. Di dalam satu wacana peran pembicara dan pendengar itu saling berganti dan seorang pembicara dapat menjadi pendengar dan sebaliknya. Pemikiran Searle ialah bahwa tujuan-tujuan pembicara sukar diteliti, sedang interpretasi lawan bicara tampak dari reaksi-reaksi yang diberikan pada ucapan-ucapan pembicara. Searle tidak menerima konsep tindak lokusi yang digantinya dengan tindak proposisi, hal inilah yang mendasari Searle dalam memberi makna pada ucapan atau kalimat. Pergantian istilah ini digunakan untuk member makna yang lebih luas kepada tindak proposisi, yakni yang mencakup rujukan pada sesuatu dan juga yang membentuk pada predikasi (pengungkapan tentang perbuatan, keadaan atau hal dalam proposisi ). Menurut Searle, suatu ujaran terdiri dari dua bagian, yakni: a). suatu proposisi mencakup penunjuk fungsi ujaran yang merupakan nilai ilokusi. Penunjuk terdiri atas: urutan kata, tekanan, intonasi, tanda baca, nada, dan kata kerja perlakuan (performatives). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proposisi menurut Searle adalah suatu pengungkapan tujuan sebagaimana dipahami oleh pendengar. Searle telah meneliti bagaimana pendengar menginterpretasi kalimat-kalimat perlakuan pembicara, kususnya kalimat-kalimat langsung. Misalnnya:

1.“Apakah kamu dapat mengangkat koper ini?”(merujuk pada mampu atau tidak mampu pendengar melakukan permintaan itu)2.“Apa anda akan mengangkat koper ini?” (merujuk pada perilaku pendengar pada waktu mendatang)3. “Saya ingin kau angkatkan koper ini.”(merujuk pada keinginan pembicara kepada pendengar)4. “Apa mau mengangkatkan koper ini?” (merujuk pada kesediaan pendengar)5. “Kalau kau angkat koper ini, saya dapat duduk.” (merujuk pada alasan permintaan kepada pendengar)6.”Apa boleh saya minta anda untuk mengangkatkan koper ini?” (merujuk pada sikap pembicara terhadap pendengar yang terlihat dari bentuk yang dinilai sopan)

Tindak bahasa ilokusi membuahkan bentuk-bentuk yang mencerminkan keinginan dan sikap pembicara terhadap pendengar, sedangkan tindak perlokusi mencerminkan reaksi dari atau efek ujaranya pada pendengar. Seandainya seorang pembicara mengucapkan suatu ujaran atau kalimat ia mengungkapkan efek ilukusi pada pendengar, dan ia mencapai efek ini dia menyebabkan pendengar mengenal tujuan ini. Menggunakan pengetahuan aturan-aturan yang mendasari kalimat itu.

2.Relevansi Tindak Bahasa dengan Pengajaran BahasaPengajaran bahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif berasal dari tulisan Hymes (1972), yang pertama merumuskan definisi kemampuan komunikatif (communicative competence) sebagai kemampuan berkomunikasi dengan sesama manusia. Proses berkomunikasi tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk bahasa bukan hanya makna

kalimat yang tersirat (ilokusi), tetapi juga makna yang tersulubung dalam suatu tindak bahasa, yakni apa yang menjadi akibat atau efek yang ditimbulkan oleh seorang pembicara pada lawan bicaranya (perlokusi).Ditinjau dari pihak pembicara terjadi tindak bahasa ilokusi yakni: mengatakan sesuatu dalam arti “berkata”. Dengan mengucapkan tindak bahasa ilokusi, seorang pembicara mengungkapkan suatu nilai ilokusi setiap. Wacana antara dua pihak selalu bermaksud untuk mencapai tujuan dari pihak pembicara dan suatu efek pada pihak pendengar. Tujuan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa yang dirumuskan sebagai “berkomunikasi secara wajar”. Untuk mencapai tujuan ini, ada beberapa faktor yang menentukan apakah tindak bahasa ilokusi yang di ucapkan oleh pembicara itu wajar dan dapat diterima oleh lawan bicaranya atau tidak. Faktor-faktor tersebut adalah;1)Siapa-siapa yang mengambil bagian dalam suatu wacana itu? Teman dengan teman , ayah dengan ibu, ayah dengan anak, guru dengan muridnya, kepala kantor dengan bawahannya, dokter dengan pasiennya, dan sebagainya.2)Apa waktu wacana itu terjadi? Pagi hari, siang, sore, malam hari? Waktu kerja atau waktu senggang?3)Apa tempat wacana itu? Di sekolah, di pasar, di rumah, di tempat ibadah, dan sebagainya.4)Apa topik yang digunakan pada pembicara? Mengenai hal-hal yang serius , ringan, basa-basi, keagamaan, ilmiah, nasehat, dan sebagainya.5)Apa jalur yang digunakan para pembicara? Ragam formal atau informal, tatap muka atau melalui telepon, lisan atau tulisan, bahasa daerah, nasianal, asing, rahasia (kode), dan sebagainya.Suatu tindak bahasa dapat dikatakan wajar, apabila memperhatikan konteks atau situasi tertentu yang terdapat dalam 5 faktor di atas. Kecuali bentuk yang wajar,suatu bentuk kalimat tanya dapat mempunyai nilai lokusi atau perintah, suatu kalimat pernyataan dapat mempunyai nilai ilokusi suatu pentanyaan atau perintah, dan sebagainya. Prinsip-prinsip yang telah di jelaskan di atas harus diterapkan dalam menyajikan penggunaan bahasa untuk berkomunikasi lisan atau tulisan.

Untuk itu adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah agar para pembaca semua

bisa memahami tentang:

a. Pengertian ujaran

b. Alat-alat dan bunyi ujaran

c. Proses persepsi ujaran

d. Ujaran sebagai realitas psikologi

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN UJARAN.

Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara.

Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa kata,kalimat,gagasan, yang keluar dari mulut manusia

yang mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan muncullah makna

sintaksis,semantik,dan pragmatik.1[1]

B. ALAT-ALAT DAN BUNYI UJARAN.

Sumber dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkembang dan berkempis untuk

menyedotkan dan mengeluarkan udara.Melalui saluran ditenggorokan, udara ini keluar melalui

mulut atau hidung.Dalam perjalanan melewati mulut dan hidung ini ada kalanya udara itu

dibendung oleh salah satu bagian dari mulut kita sebelum kemudian dilepaskan.Hasil bendungan

udara inilah yang menghasilkan bunyi.

Alat-alat dan bunyi ujaran, adalah:

0.Bibir.

Bibir atas dan bibir bawah.kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk membentuk bunyi

yang dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu.

Contoh: bunyi P, B, dan M.

1.Gigi.

Untuk ujaran hanya gigi atas lah yang mempunyai peran.Gigi ini dapat berlekatan

dengan bibir bawah untuk membentuk bunyi yang dinamakan dengan labiodental.

1[1] http://svarajati.blogspot.com/2008/01/antara-ujaran-dan-teks.html, diakses tanggal 1 april 2010.

Contoh: untuk bunyi F dan V.

Gigi juga dapat berlekatan dengan ujung lidah untuk membentuk bunyi

dental.contoh:Bunyi T dan D dalam bahasa indonesia.

2.Alveolar.

Menurut KBBI alveolar adalah rongga dalam rahang tempat akar gigi tertanam,daerah ini

berada persis dibelakang pangkal gigi atas.Pada alveolar dapat ditempelkan ujung lidah untuk

membentuk bunyi yang dinamakan bunyi alveolar.

Contoh: bunyi T dan D dalam bahasa ingris.

3.Palatal keras

Daerah ini ada di rongga atas mulut, persis dibelakang daerah alveolar.Pada daerah ini

dapat ditempelkan bagian depan lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan alveopalatal.

Contoh: bunyi C dan J

4.Palatal lunak.

Bunyi yang dihasilkan dengan menempatkan bagian depan lidah didekat atau pada

langit-langit,daerah ini dinamakan dengan velum, ada dibagian belakang rongga mulut atas.

Pada palatal lunak dapat dilekatkan bagian belakang lidah untuk membentuk bunyi yang

dinamakan velar.

Contoh: Bunyi K dan G.

5.Uvula.

Pada ujung rahang atas terdapat tulang lunak yang dinamakan uvula.uvula dapat

digerakkan untuk menutup saluran ke hidung atau membukanya.Bila uvula tidak berlekatan

dengan bagian atas laring maka bunyi udara keluar melalui hidung.Bunyi ini lah yang

dinamakan dengan bunyi nasal.Jika uvula berlekatan dengan dinding laring maka udara

disalurkan melalui mulut dan menghasilakan bunyi yang dinamakan dengan oral.

6.Lidah.

Pada rahang bawah , disamping bibir dan gigi, terdapat pula lidah.Lidah adalah bagian

mulut yang fleksibel ia dapat digerakkan dengan lentur.

Lidah itu terdiri dari:

a. Ujung lidah, yaitu bagian yang paling depan dari lidah.

b. Mata lidah, yaitu berada persis dibelakang ujung lidah.

c. Depan lidah, yaitu bagian yang sedikit agak ketengah ttap masih tetap di depan.

d. Belakang ladah, yaitu bagian yang ada dibagian belakang dari lidah.

7.Pita suara.

Pita suara adalah sepasang selaput yang berada di jakun.Selaput ini dapat dirapatkan,

dapat direnggangkan, dan dapat dibuka lebar.

8.Faring.

Adalah saluran udara menuju ke rongga mulut atau rongga hidung.

9.Rongga hidung.

Adalah rongga untuk bunyi-bunyi nasal, seperti M dan N.

10.Rongga mulut.

Adalah untuk bunyi-bunyi oral, seperti P, B, A, dan I.2[2]

2[2] Soenjono, dardjowijojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusi, Jakarta, 2003.h.32

C. PROSES PERSEPSI UJARAN.

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia karena

ujaran merupakan Suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara

satu kata dengan kata yang lain.Seperti: Bukan nangka, Buka nangka, Bukan angka.Meskipun

ketiga ujara ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga bentuk

ujaran ini bisa sama (bukananka).

Namun demikian manusia tetap saja dapat mempersepsikan bunyi-bunyi bahasanya

dengan baik.Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya

ada tiga tahap dalam memprosesan persepsi bunyi (Clark:1977):

0. Tahap Auditori.

Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong, ujaran ini kemudian ditanggapi

dari segi fitur akustiknya.Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur

distingtif dan VOT sangat bermanfaat disini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan

satu bunyi dari bunyi yang lain.

1. Tahap fonetik.

Bunyi-bunyi ini kita identifikasi.Dalam proses mental kita, kita lihat misalnya apakah

bunyi tersebut konsonan, vois, dan nasal.Begitu pula lingkungan bunyi itu: apakah bunyi

tadi diikuti oleh vokal atau oleh konsonan.Kalau oleh vokal, vokal macam apa - vokal

depan, vokal belakang, vokal tinggi, dan vokal rendah

2. Tahap Fonologis.

Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang kita

dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang

ada pada bahasa kita.

contoh: Bunyi B, E, N, I dan S pasti akan dipersespsikan sebagai beng dan is, tidak ungkin

be dan ngis (dalam bahasa inggris).3[3]

D. UJARAN SEBAGAI REALITAS PSIKOLOGI

Otak memiliki kaitan erat dengan ujaran. Menurut Soenjono Dardjowidjojo, otak

manusia dibagi menjadi dua bagian: bagian kanan (hemisfir kanan) dan bagian kiri (hemisfir

kiri). Bentuk fisik kedua bagian sama, tetapi ada bagian-bagian fungsi yang berbeda. Pada waktu

lahir, belum ada pembagian tugas yang ketat antara keduanya. Keduanya merupakan satu

kesatuan yang plastis.

Menjelang usia puber, terjadi proses penyebelahan atau lateralisasi, yakni suatu proses

saat keplastisan kedua bagian ini berkurang, dan terjadilah semacam penumpahan tugas pada

hemisfir kiri. Pada hemisfir kiri telah ditemukan bagian-bagian yang berkaitan dengan

bahasa.Broca mengemukakan bahwa hemisfir sebelah kiri berfungsi sebagai salah satu bagian

yang mengontrol ujaran dan sekarang terkenal dengan nama daerah Broca.

Selanjutnya Broca mengatakan bahwa dasar ujaran tergantung pada empat faktor:

1. Sebuah ide.

2. Hubungan konvensional antara ide dan kata.

3. Suara penggandengan gerak artikulasi dengan kata.

4. Penggunaan alat-alat artikulasi (hasil bunyi dari proses gerakan alat ucap).

Berbeda dengan penemuan Broca, penemuan yang dilakukan oleh Wernicke berkaitan

dengan hal-hal penanggapan indera. Dalam penemuannya itu ia menemukan bahwa bagian

belakang di sebelah agak kanan otak itu bersarang tanggapan-tanggapan rasa (sensory

impressions). Sel-sel ini sebenarnya bukan motoris atau sensori, tetapi lebih tergantung pada

3[3] Ibid.,h.49

hubungan dengan korteks-korteks lain. Untuk selanjutnya, daerah Wernicke merupakan daerah

pertama atau paling tidak salah satu daerah pertama, yang menangdapi rangsang indera.

Sehubungan dengan bagian dan fungsi otak, maka timbullah suatu hipotesis yang

menghubungkan pertumbuhan biologis manusia dengan taraf-taraf penguasaan bahasa. Hipotesis

ini dikenal dengan ‘Hipotesis Umur Kritis’. Pada dasarnya hipotesis ini mengatakan bahwa: 1)

Penguasaan bahasa itu tumbuh sejajar dengan pertumbuhan biologis. Dan 2) Setelah masa puber,

penguasaan bahasa secara natural sudah tidak bisa lagi.

Bambang Kaswanti Purwo mengatakan pada usia dua belas tahunan, sering ditemui bahwa

anak sudah menguasai bahasa dengan sempurna. Namun, masih banyak kesalahan-kesalahan.

Padahal usia mereka sudah berada di ambang pintu berakhirnya masa paling peka dan paling

plastis di dalam proses pemerolehan bahasa (masa emas belajar bahasa).

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, menurut hasil penelitian Lenneberg usia antara tiga

dan sepuluh tahun adalah masa pewnyempurnaan kekurangan-kekurangan di dalam tata bahasa.

Palermo dan Molfese mencatat bahwa usia antara lima dan tujuh tahun, serta antara dua belas

dan empat belas tahun merupakan masa transisi di dalam perkembangan bahasa.4[4]

PENUTUP

B. Kesimpulan

Dari uraian makalah diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ujaran itu adalah suara

murni (tuturan), langsung, dari sosok yang berbicara. Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa

kata,kalimat,gagasan, yang keluar dari mulut manusia yang mempunyai arti

Ujaran tersebut dipengaruhi oleh alat ucap seseorang, dan setiap alat ucap tersebut bisa

menghasilkan huruf-huruf atau bunyi-bunyi tertentu misalnya:

1. Bibir.

4[4] http://sedayugresik.multiply.com/journal/item/58/Otak_dan_Ujaran, diakses tanggal 2 april 2010

Bisa menghasilkan bunyi P, B, dan M.

2. Gigi.

Bisa menghasilkan bunyi F dan V, Bunyi T dan D dalam bahasa indonesia

3. Alveolar.

Bisa menghasilkan bunyi T dan D dalam bahasa ingris.

4. Palatal keras

Bisa menghasilkan bunyi C dan J

5. Palatal lunak.

Bisa menghasilkan Bunyi K dan G.

6. Uvula.

Adalah bagian yang terdapat pada rahang bagian atas yang berfungsi

sebagai pengatur udara dalam kita berbicara. Kapan kita mengeluarkan udara

kehidung,dan kapan mengeluarkan udara ke mulut. Misalnya : ,kehidung =ع = ح

kemulut, dan lain-lainnya.

7. Lidah.

a. Ujung lidah, yaitu bagian yang paling depan dari lidah.

b. Mata lidah, yaitu berada persis dibelakang ujung lidah.

c. Depan lidah, yaitu bagian yang sedikit agak ketengah ttap masih tetap di depan.

d. Belakang ladah, yaitu bagian yang ada dibagian belakang dari lidah.

8. Pita suara.

Pita suara adalah sepasang selaput yang berada di jakun.

9. Faring.

Adalah saluran udara menuju ke rongga mulut atau rongga hidung.

10. Rongga hidung.

Adalah rongga untuk bunyi-bunyi nasal, seperti M dan N.

11. Rongga mulut.

Adalah untuk bunyi-bunyi oral, seperti P, B, A, dan I.

B. Kritikan

Dari isi makalah ini mungkin ada kesalahan baik dari bentuk

penyajiannya,penulisannya,bahkan isinya mungkin kurang memuaskan, kami minta kritikan

kepada para pembaca semua agar bisa membangun untuk kebaikan kita semua kedepannya.

Dan kami sebagai penulis mengakui dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki.

C.Saran

Saran kami sebagai pemakalah muda-mudahan kita semua dapat mengerti terhadap

apa-apa yang kami jelaskan dimakalah ini, tentang topik-topik yang kami utarakan diatas.

DAFTAR PUSTAKA

http://svarajati.blogspot.com/2008/01/antara-ujaran-dan-teks.html.

Soenjono, dardjowijojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusi, Jakarta,

2003.h.32

http://sedayugresik.multiply.com/journal/item/58/Otak_dan_Ujaran

didit linguist

education, English for foreign learners, linguistics, and literature

Home About this blog Contact Me Privacy Policy

Academic Writing (14) Curriculum & Syllabus (1) Education/Language Research (11) English for Specific Purpose (1) English Grammar (24) General (5) health (1) Jokes (4) language Testing (16) Lesson Plan / RPP (syllabus) (21) Linguistics (3) Linguistics (discourse analysis) (3) Linguistics (morphology) (5) Linguistics (phonetics phonology) (2) Linguistics (phsycolinguistics) (7) Linguistics (pragmatics) (13) Linguistics (Psycholinguistics) (2) Linguistics (Semantics) (3) Linguistics (sociolinguistics) (27) Literature (10) Materi Bahasa Inggris SD (5) Materi Bahasa Inggris SMA (kelas 10) (1) Materi Bahasa Inggris SMA (kelas 11) (2) Materi Bahasa Inggris SMA (kelas 12) (3) Materi Bahasa Inggris SMK (kelas 12) (3) Materi Bahasa Inggris SMP (kelas 7) (19) Materi Bahasa Inggris SMP (kelas 8) (4) Motivation (2) Music (1) Music (L.O.T.D Band) (19) My point of view (argumentation) (1) poetry/Poem (1) Teaching and Learning (general) (7) Teaching and Learning (teaching language) (34) Translation (2)

Wednesday, May 8, 2013

PERSEPSI UJARAN

PERSEPSI UJARAN

A. PENGANTAR

Ketika kita mendengar orang lain bicara, kita merasakan hal itu dengan wajar saja. Bahkan mungkin

kita bisa mendengarkannya sambil mengerjakan pekerjaan lain. Kita tidak menyadari kalau ujaran yang

diwujudkan dalam bentuk bunyi itu merupakan hal yang kompleks. Hal ini akan terasa ketika kita

mendegar orang dalam bahasa asing, kita akan mendengarkan penutur dengan perhatian yang tinggi,

bahkan mungkin kita menerjemahkan ucapannya perkata, baru kita dapat memahami kalimat yang

disampaikan.

Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa pendengar harus meramu setiap bunyi yang

dikeluarkan penutur sehingga menjadi kata yang memiliki makna dan sesuai dengan konteks ketika kata

itu diucapkan. Mungkin, bagi penutur asli hal ini tidaklah menjadi masalah, tetapi lain halnya bagi jika

pendengarnya adalah orang asing. Hal ini bisa menjadi sangat rumit karena bisa menimbulkan persepsi

yang yang lain dari makna kata yang sesungguhnya.

Masalah lain juga akan muncul ketika ucapan itu dituturkan dengan tempo yang cepat. Seperti

misalnya dalam Bahasa Inggris orang rata-rata mengeluarkan 125-180 kata tiap menit

(Dardjowidjodjo,2003:31). Disamping kecepatan ujaran, kadang kala bunyi-bunyian tidak diucapkan

secara utuh tetapi seperti lebur dalam bunyi yang lainnya. Kita sebagai pendengar harus bisa

menentukan mana ikut yang mana. Dengan demikian kita akan bisa memersepsi ujaran itu dengan baik.

Masalah segmentasi ini menuntut kita untuk mampu memilih dan menggabungkan kata-kata yang

tertindih itu agar pemahaman yang kita dapatkan utuh, hal ini merupakan integrasi yang dilakukan

dalam memersepsi ujaran-ujaran tersebut.

B. PENGERTIAN PERSEPSI UJARAN

Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari orang yang berbicara

(http:www.hanny.blogdetik.com) .Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa kata ataupun kalimat yang

keluar dari mulut manusia dan mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini, maka akan munculah makna

sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Persepsi merupakan suatu proses penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui

alat indera yang kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti tentang

stimulus yang diterimanya tersebut. (http://www.duniapsikologi.com)

Persepsi ujaran adalah peristiwa ketika telinga menangkap sebuah bunyi yang dapat berupa

bunyi lepas, kata, atau kalimat (Su’udi, 2011 :19). Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang

mudah dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa

ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain.( Dardjowidjodjo,2003:49)

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi ujaran merupakan

suatu peristiwa ketika telinga menangkap bunyi, kata maupun kalimat, yang dapat menimbulkan makna

sintaksis, semantik dan pragmatik.

C. PENGELOMPOKAN PERSEPSI BUNYI:

Persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara dikelompokan menjadi dua, yakni:

1. Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan konsonan.

2. Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan nada.

(http://haninursyam.wordpress.com/2012/10/06/psikolinguistik-persepsi-ujaran/#more-336)

D. PENELITIAN TERHADAP PERSEPSI UJARAN

Penelitian terhadap perspsi ujaran sudah dimulai menjelang Perang Dunia II tahun 1939

(Gleason dan Ratner 1998 : 109). Pada tahun 1936 – 1939 Homer Dudely dari Bell Telephone Laboratory,

Amerika mengembangkan mesin yang dinamakan vocoder. Pada mulanya Vocoder diciptakan sebagai

alat transmisi sinyal suara dengan menganalisis dan merekam pidato menjadi sinyal sederhana yang

berisi sedikit informasi. Dudely dan rekannya menyatakan bahwa suara yang alami mengandung

informasi yang spesifik dan beragam, Hal ini mengandung arti bahwa banyak faktor yang berkontribusi

dalam pemahaman persepsi terhadap suara, tetapi hanya beberapa faktor saja yang bisa diinterpretasi,

baik dalam penelitian laboratorium maupun melalui telepon.

This means that many factors may contribute to our recognition of a speech sound ; only some of them need to be transmitted. Dudely and others quickly came to appreciate that natural speech contains redundant (multiply specified) information. This means that many factors may contribute to our recognition of speech sound only some of them need to be present for speech to be interpreted, either in laboratory experiments or over the telephone (Gleason and Ratner 1998 : 109)

Karena kelemahan dalam Vocoder, kemudian pada tahun 1940-an, perusahaan telepon ini

mengembangkan spektograf, yakni alat untuk merekam suara dalam bentuk garis tebal-tipis dan

panjang pendek yang dinamakan spektogram. Alat ini menganalisis sinyal audio berdasarkan frekuensi

distribusi suara (spektrum). Dalam menganalisis suara, spektograf menampilkan frekuensi pada ordinan

(y), waktu (x) dan amplitudo melalui ketebalan tanda (darkness of marking).

Setelah beberapa tahun, telah dikembangkan beberapa peralatan audio yang canggih sehingga

membantu peneliti dalam meneliti persepsi ujaran.

E. HAMBATAN DALAM PERSEPSI UJARAN

Menurut Su ‘udi hambatan persepsi ujaran dijabarkan sebagai berikut “Ketidakmampuan

manusia dalam menangkap bunyi yang didengar bisa disebabkan oleh berbagai sebab, antara lain

disebabkan oleh ketidaksempurnaan organ dengar dan materi yang didengar. Ketidaksempurnaan

persepsi bunyi antara lain disebabkan oleh kecepatan bunyi yang didengar.” Su’udi 2011 :19

Yang akan dibahas oleh klompok kami adalah yang nomor dua yaitu hambatan persepsi ujaran

yang disebabkan oleh kecepatan bunyi materi yang didengar, contohnya akan dipragakan dalam vidio

iklan yang berbicara cepat dan acara brita.

Ketidakamampuan manusia dalam mempersepsi ujaran bisa juga dipengaruhi oleh Tilas

Neurofisiologis (Neurophysiological Trace) yaitu jejak/ tilas di otak yang menunjukkan bahwa dia pernah

mendengar bunyi tertentu (Su’udi,2011:20) contohnya :

Seseorang yang belum pernah mendengarkan bunyi-bunyian Bahasa Belanda akan merasa

kebingngan dan sukar mempersepsikan dialog ini :

a.Zegt wie is De Meneer daar ?.Kent u hem niet?

b.Nee..

a.Het is meneer De Vos. Hij werk bij de bank, hier op de hoek van de straat.

b. Is hij bediende?

a.Nee.. Hij is nu directur.

b.Directure? Ja dat is interesant. Heeft hij een dochter?

c Ja maar ze is all getrouwd.

Kita akan kesulitan jika belum memiliki tilas neuropsiologis dan diminta untuk menirukani percakapan

dari penutur jati Bahasa Spanyol dibawah ini :

A : Como comes Eso? (how do you eat that?)

B : Las Patas De Cangrejos? ( The crab legs ?)

A : Si ( yes)

B : Con Estaz Pinsas, Rompes Le do foera y sacas la carne. ( With this cracker, you break the outside and

you eat the meat )

A : Me das? ( can you give me that)

B :Mmmmmm.....( yummy...)

Masalah persepsi ujaran vberikutnya dijelaskan dalam penelitian Thomas Schovel.(Schovel , 1998 : 51)

Menurut Thomas Scovel “ Listener do not accuratly record what they hear ; rather they report what they

excpected to hear from the context , even if it means they must add a sound that was never actually

spoken at the beginning of the target word.”

Hal ini di buktikan dengan penelitian , ketika subjecet diminta untuk menuliskan enam kata berikut ini :

1.It was found that the eel was on the exel

2.It was found that the eel was on the shoe

3.It was found that the eel was on the oranges

4.It was found that the eel was on the table.

Subjek penelitian membuat persepsi pada kalimat 1 kata eel menjadi wheel, kalimat no 2 kata

eel menjadi heel, kalimat no 3 kata eel menjadi peel, kalimat no 4 kata eel menjadi meal masuknya

pfonem yang berbeda dalam contoh kalimat diatas, dinamakan phonem restoration effect. Pendengar

tidak secara akurat merekam apa yang didengar , tetapi pendengar merekam kata-kata tersebut

berdasarkan konteks , meskipun pendengar harus menambahkan suara yang tidak ada pada kalimat

tersebut. Dalam penelitian Thomas Schovel dapat disimpulkan bahwa, pendengar tidak mendengarkan

setiap kata yang diperdengarkan , karena persepsi bukan proses pasif recording. Pendengar bukan

seperti tape recorder yang bisa merekam sama persis bunyi yang diperdengarkan. Persepsi sangat

dipengaruhi oleh wacana yang pendengar. Pendengar tidak mendengarkan secara terpisah tetapi

pendengar mencari konsistensi dan kemungkinan yang mungkin meskipun harus menambahakan suara

atau membuat kata baru.

F. TAHAP PERSEPSI UJARAN

Persepsi terhadap ujaran bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh manusia karena ujaran

merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata

dengan kata yang lain, contohnya tiga ujaran berikut : a) Bukan angka, b) Buka nangka c) Bukan nangka.

Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga bentuk

ujaran ini bisa sama [bukanaNka].

Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul.

Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di mana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada

kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan bunyi [b] pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/

dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir

dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir yang melebar

pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar

( Dardjowidjodjo,2003:49)

Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik.

Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap

dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clack & Clark, 1977 dalam Dardjowidjodjo) :

1. Tahap auditori:

Pada tahap ini orang mendengar bunyi dan menerima seluruhnya pada ingatan sensorial tanpa

melakukan analisis apapun. Tahap auditori sifatnya tidak bisa menyimpan masukan dalam jangka

panjang dan analisis atau pemrosesannya terbatas pada pembedaan apakah bunyi itu bunyi manusia,

barang ataupun lainnya (Su’udi, 2011:21)

Menurut Dardjowidjojo,2003 manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong pada tahap

auditori. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi,

cara artikulasi, fitur distingtif, dan Voice Onset Time (VOT) sangat bermanfaat di sini karena ihwal seperti

inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam

memori auditori kita.

2. Tahap fonetik

Tahap selanjutnya adalah tahap fonetik dimana terjadi pemilahan antara bunyi yang tidak

fonemis dan yang fonemis. Pada umumnya orang hanya memersepsi bunyi ynag fonemis dalam bahasa

ibunya atau dalam bahasa yang dikuasainya.

Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental kita,kita lihat, misalnya apakah

bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu : apakah bunyi tadi

diikuti oleh vokal atau oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa – vokal depan, vokal belakang,

vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan nangka , maka mental kita

menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan

memperhatikan hal-hal seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya. Kemudian VOT nya

juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menetukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi.

Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori auditori

dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori semua variasi alofonik yang ada pada bunyi

itu kita simpan sedangkan pada memori fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya,

bila kita mendengar bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem

/b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtifnya saja tetapi juga pengaruh

bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan demikian maka [b] ini ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir

(lip – rounding) . Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita

tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu

diikuti oleh bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.

Analisis mental yang lain adalah untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan karena urutan bunyi

inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa membentuk kata yang

berbeda bila urutannya berbeda. Bila /k/ didengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan

terdengarlah bunyi /kan/; bila /n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/

( Dardjowidjodjo,2003:51)

3. Tahap fonologis :

Disini orang melakukan analisis lebih lanjut dengan memilah bunyi yang sesuai dengan

fonotaktik bahasanya dan mengabaikan yang tidak sesuai. Setelah memastikan bahwa bunyi yang

didengar adalah fonem, dan gabungannya adalah morfem, barulah pencarian makna dimulai. Dapat

ditambahkan bahwa proses ini masih terjadi di ingatan sensorial, yaitu bagian ingatan yang hanya

menyimpan masukan dalam jangka yang sangat pendek, sekitar sepersepuluh detik. (Su’udi, 2011:22)

Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar

untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita.

Untuk bahasa Inggris, bunyi / ŋ / tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris

pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal. Seandainya ada urutan bunyi ini dengan bunyi yang

berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di belakangnya.

Dengan demikian deretan bunyi /b/, /Ə/, / ŋ /, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng dan is ,

tidak mungkin be dan ngis.

Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil akan

mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita memungkinkan urutan seperti

ini seperti pada kata mbak dan mbok meskipun kedua-duanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya,

penutur Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang berbeda.

Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa tersebut pastilah akan

ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat

deretan bunyi /anaktuhgal/ tidak mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuhgal/ secara mental

dengan melalui proses yang sama. Kemudian bunyi /k/, dst. Sehingga akhirnya semua bunyi dalam

ujaran itu teranalisis. Yang akan membedakan antara bukan nangka, bukan angka, dan buka nangka

adalah jeda (juncture) yang terdapat antara satu kata dengan kata lainnya ( Dardjowidjodjo,2003:52)

G. KESIMPULAN

Persepsi ujaran ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya terdapat proses

atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi. Melalui tahapan-tahapan

tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan bunyi yang diujarkan oleh penutur dan

memahaminya secara tepat dan sesuai dengan maksud si penutur.

DAFTAR PUSTAKA

Scovel, Thomas. 1998. Psycholinguistics. New York: Oxford University Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Gleason, Jean Berko dan Nan Bernstein Ratner, eds. 1998. Edisi kedua. Psycholinguistics. New

York : Harcourt Brace Colege Publisher.

Su’udi, Astini. 2011. Pengantar Psikolinguistik bagi Pembelajar Bahasa Perancis.Widya

Karya: Semarang

SITOGRAFI

http://hanny.blogdetik.com/2012/10/06/psikolinguistik-persepsi-ujaran/

(http://haninursyam.wordpress.com/2012/10/06/psikolinguistik-persepsi-ujaran/#more-336)

Posted by didit linguist (Didit Kurniadi, S.Pd, M.Hum) at 2:15 PM

Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Pinterest

Labels: Linguistics (phsycolinguistics)

Reactions:

No comments:

Post a CommentNewer Post Older Post Home

Subscribe to: Post Comments (Atom)

Search This Blog

About Me

didit linguist (Didit Kurniadi, S.Pd, M.Hum)

I'm just an ordinary man..

View my complete profile

Blog Archive

Follow by Email

Followers

TranslateSelect Language▼

Watermark template. Powered by Blogger.

BAB XIIPEMEROLEHAN FONOLOGI

      Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori mengenai pemerolehan fonologi oleh kanak-kanak sebaagi bagian dari pemerolehan bahasa-ibu seutuhnya.1.      Teori structural universalTeori structural universal ini dikemukakan oleh jakobson (1968). Oleh karena iu sering juga disebut teori jakobson. Pada intinya teori ini mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistic, yakni hokum-hukum structural yang mengatur setiap perubaha bunyi.Menurut jakobson, seringnya sesuatu bunyi diucapkan seorang dewasa terhadap kanak-kanak tidak menentukan munculnya bunyi tersebut dalam ucapan kanak-kanak. Yang menetukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam bahasa-bahasa dunia. Jika bunyi-bunyi sering muncul dalam bahasa dunia, maka bunyi-bunyi itu akan lebih dulu muncul dalam ucapan kanak-kanak, meskipun itu jarang muncul dalam data masukan yang didengar oleh kanak-kanak.

2.      Teori generative structural universalTeori structural universal  yang diperkenalkan oleh jakobson diatas telah diperluas oleh moskowitz (1970,1971) dengan cara menerapkan unsure-unsur fonologi generative yang diperkenalkan oleh Chomsky  dan halle (1968) yang paling  menonjol adalah “penemuan konsep” daan “pembentukan hipotesis” berupa rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data linguistic utama (DLU). Yaitu kata-kata dan kalimat yang didengarnya seharihari.

3.      Reori proses fonologi alamiahTeori ini diperkenalkan oleh david stampe (1972, 1973),yakni satu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang juga telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut stampe proses fonologi alamiah kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan, pembatasan, dan pengaturan sesuai dengan penuranian representasi fonemik orang dewasa.

4.      Teori prosodi-akustikTori ini diperkenalkan oleh waterson (1976) sesudah dia merasa tidak puas dengan pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi.Pendekatan fonemik segmental menganggap bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan fonetik yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut maka waterson (1971) menggunakan pendekatan non segmental, yaitu pendekatan prosodi yang dianggap lebih berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis prososdi hanya melihat dari analisis artikulasi.

5.      Teori kontras dan prosesTeori ini diperkenalkan oleh ingram (1974, 1979) yakni suatu teoriyang menggabungkan bagian-bagian penting dari teori jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori stampe; kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan piaget. Menurut ingram, kanak-kanak memperoleh system fonologi orang dewasa dengan cara menciptakan strukturnya sendiri; dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya mengenai system orang dewasa semakin baik. Perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus; mengubah struktur untuk menyelaraskan dengan kenyataan.

BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI

1. PENGERTIAN BUNYI BAHASA

Getaran udara yang yang masuk ke telinga berupa bunyi atau suara, yang dapat terjadi

karena dua benda atau lebih yang bergeseran atau berbenturan. Bunyi bahasa dibuat oleh

manusia untuk mengungkapkan sesuatu, dan dapat terwujud dalam nyanyian atau dalam tuturan.

1.1 Bunyi yang Dihasilkan oleh Alat Ucap Manusia

Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor yang terlibat, yaitu sumber tenaga

(pernapasan), alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran, dimana bunyi

bahasa yang dihasilkan berbeda-beda. Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui mulut

disebut bunyi oral (contohnya [p], [g], [f]), bunyi bahasa yang arus udaranya keluar dari hidung

disebut bunyi sengau / nasal (contohnya [m], [n], [ñ], [ŋ]). Sedangkan bunyi bahasa yang arus

udaranya sebagian keluar melalui mulut dan sebagian keluar dari hidung disebut bunyi yang

disengaukan / dinasalisasi.

Bunyi bersuara terjadi apabila kedua pita suara berganti-ganti merapat dan merenggang

dalam membentuk bunyi bahasa, bunyi bahasa yang dihasilkan akan terasa “berat”. Bunyi tak

bersuara terjadi apabila pita suara direnggangkan sehingga udara tidak tersekat oleh pita suara,

bunyi bahasa yang dihasikan akan terasa “ringan”. Perbedaan antara keduanya dapat dirasakan

jika menutup kedua lubang telinga rapat-rapat. Disamping itu, pita suara dapat juga dirapatkan

sehingga udara tersekat, bunyi yang dihasilkan disebut bunyi hambat glotal [?].

Macam bunyi bahasa yang kita hasilkan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan dalam

prosos pembuatannya.

1.2 Vokal dan Konsonan

Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi

bahasa dibedakan menjadi dua, yaitu vokal dan konsonan. Vokal adalah bunyi bahasa yang arus

udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu tinggi

rendahnya posisi lidah (tinggi, sedang, rendah), bagian lidah yang dinaikkan (depan, tengah,

belakang), dan bentuk bibir pada pembentukkan vokal (vokal bundar atau bukan).

Konsonan adalah bunyi bahasa yang arus udaranya mengalami rintangan. Pada pelafalan

konsonan ada tiga faktor yang terlibat, yaitu keadaan pita suara, penyentuhan alat ucap, dan cara

alat ucap bersentuhan. Alat ucap yang bergerak untuk membentuk bunyi bahasa dinamakan

artikulator : bibr bawah, gigi bawah, dan lidah. Sedangkan daerah yang disentuh atau didekati

oleh artikulator dinamakan daerah artikulasi : bibir atas, gigi atas, gusi atas, langi-langit (keras-

lunak), dan anak tekak.

Bunyi konsonan dapat diperikan berdasarkan artikulator dan daerah artikulasinya.

Penamaan bunyi dilakukan dengan menyebutkan artikulator yang bekerja : labio- (bibir bawah),

apiko- (ujung lidah), lamino- (daun lidah), dorso- (belakang lidah), dan radiko- (akar lidah),

diikuti oleh daerah artikulasinya : -labial (bibir atas), -dental (gigi atas), -alveolar (gusi), -palatal

(langit-langit keras), -velar (langit-langit lunak), -uvular (anak tekak).

Cara artikulator menyentuh atau mendekati daerah artikulasi dan bagaimana udara keluar

dari mulut dinamakan cara artikulasi.

Bila udara dari paru-paru dihambat secara total, maka bunyi yang dihasilkan dinamakan

bunyi hambat (contohnya bunyi [p] dan [b]). Apabila arus udara melewati saluran yang sempit,

maka akan terdengar bunyi desis, disebut bunyi frikatif (contohnya bunyi [f]). Apabila ujung

lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah, disebut bunyi lateral

(contohnya bunyi [l]). Sedangkan apabila ujung lidah menyentuh tempat yang sama berulang-

ulang, disebut bunyi getar (contohnya bunyi [r]).

1.3 Diftong

Diftong adalah vokal yang berubah kualitasnya pada saat pengucapan. Diftong biasa

dilambangkan oleh dua huruf vokal yang tidak dapat dipisahkan. Bunyi [aw] pada kata harimau

merupakan diftong, grafem <au> pada suku kata –mau tidak dapat dipisahkan menjadi ma-u.

Diftong berbeda dengan deretan vokal, karena dalam deretan vokal dua vokal dapat dipisahkan

dalam dua suku kata yang berbeda, contohnya main → ma-in.

1.4 Gugus Konsonan

Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku

kata yang sama. Jadi, belum tentu deretan dua konsonan atau lebih yang berdampingan itu

merupakan gugus konsonan. Contoh gugus konsonan, bunyi [pr] pada kata praktik → prak-tik.

1.5 Fonem dan Grafem

Satuan bahasa terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk

dan makna kata dinamakan fonem. Contohnya bunyi [p] dan [b] → pada kata pagi dan bagi.

Berdasarkan konvensi, fonem ditulis diantara tanda garis miring : /pagi/, /bagi/. Jika dua bunyi

bahasa secara fonetik mirip, tetapi tidak membedakan kata, maka kedua bunyi itu disebut alofon

dari fonem yang sama (variasi bunyi).

Fonem berbeda dengan grafem. Fonem merujuk ke bunyi bahasa, sedangkan grafem

merujuk ke huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambangan fonem dalam ejaan.

Contohnya, kata pagi terdiri dari fonem /p/, /a/, /g/, /i/ dan grafem <p>, <a>, <g>, <i>. Kata

hangus terdiri dari fonem /h/, /a/, /ŋ/, /u/, /s/ dan grafem <h>, <a>, <ng>, <u>, <s>.

Meskipun grafem melambangkan fonem dalam sistem ejaan, ini tidak berarti bahwa satu

grafem hanya bisa melambangkan satu fonem atau sebaliknya. Contohnya grafem <e>,

melambangkan fonem /e/ pada <bela> dan /ə/ pada <reda>.

1.6 Fonem Segmental dan Suprasegmental

Fonem segmental adalah fonem-fonem yang berupa lambang bunyi. Sedangkan fonem

suprasegmental adalah aspek tambahan bunyi yang berupa tekanan, panjang bunyi, dan nada (ciri

suprasegmental), yang dapat membedakan kata dalam suatu bahasa. Fonem suprasegmental,

dalam tulisan, biasanya dinyatakan dengan lambang diakritik (tanda baca) yang diletakan di atas

unsur segmental (lambang bunyi). Naik turunnya nada dapat membedakan kata dalam suatu

bahasa, maka bahasa itu disebut bahasa tona.

1.7 Suku Kata

Suku kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan napas dan umumnya

terdiri atas beberapa fonem. Pada kata datang, diucapkan dengan dua hembusan napas: da- , -

tang ( 2 suku kata ).

Suku kata dalam bahasa Indonesia selalu memiliki vokal yang menjadi inti suku kata,

yang dapat didahului dan diikuti oleh satu konsonan atau lebih. Suku kata juga dibedakan

menjadi suku buka, yaitu suku kata yang berakhir dengan vokal (K)V contohnya dia → di-a dan

suku tutup, yaitu suku kata yang berakhir dengan konsonan (K)VK contohnya : ambil → am-

bil.

2. BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI BAHASA INDONESIA

Sebagai akibat masyarakat yang mempunyai bahasa daerah yang beragam, maka bahasa

Indonesia mengenal diasistem, yaitu adanya dua sistem atau lebih dalam tata bunyi karena tata

bunyi sebagian bahasa daerah di Indonesia cukup besar perbedaannya dengan bahasa Indonesia.

Gejala diasistem itu terutama terjadi karena beberapa fonem dalam bahasa Indonesia merupakan

diafonem dalam bahasa daerah, atau sebaliknya.

2.1 Vokal dalam Bahasa Indonesia

Dalam bahasa Indonesia ada enam fonem vokal : /a/, /i/, /e/, /ə/, /u/, dan /o/. Dengan

adanya gejala diasistem yang dapat menampung semua varian fonetis sebagai pewujud fonem

yang sama di dalam posisi yang sama, maka tata bunyi vokal bahasa Indonesia akan tampak

memiliki vokal /a/, /i/, /e/, /u/, dan /o/.

2.1.1 Alofon Vokal

Tiap vokal mempunyai alofon atau variasi. Umumnya setiap fonem mengikuti pola :

lidah yang berada pada posisi tertentu bergerak ke atas atau kebawah sehingga posisinya hampir

berhimpitan dengan posisi untuk vokal yang ada di atas atau dibawahnya. Di bawah ini akan

diuraikan alofon fonem berdasarkan sistem lafal ragam bahasa Indonesia yang biasa diajarkan

disekolah-sekolah !

ü  Fonem /i/,  mempunyai dua alofon, yaitu [i] dan [I]. Fonem /i/ dilafalkan [i] jika terdapat pada

suku kata buka, atau suku kata tutup yang berakhir dengan fonem /m/, /n/, atau /ŋ/ dan juga

mendapat tekanan yang lebih keras daripada suku kata lain.

                  Contoh :

Suku buka : /gi-gi/ [gigi]

Suku tutup : /sim-pang/ [símpaŋ]

Fonem /i/ dilafalkan /I/ jika terdapat pada suku tutup dan suku ini tidak mendapat tekanan

yang lebih keras dari suku yang lain.

Contoh :

Suku buka : ban-ting [bantIŋ]

Suku tutup : sik-sa [síksa]

Jika tekanan kata berpindah pada /i/, /i/ yang semula dilafalkan [I] akan berubah menjadi [i].

Contoh : [kírIm] → [kiríman]

ü  Fonem /e/, mempunyai dua alofon, yaitu [e] dan [ε]. Fonem /e/ dilafalkan [e] jika terdapat pada

suku kata buka, dan suku itu tidak diikuti oleh suku yang mengandung alofon [ε]. Jika suku yang

mengikutinya mengandung [ε], /e/ pada suku kata buka itu juga menjadi [ε] jika terdapat pada

suku kata tutup akhir.

Contoh :

Suku buka : so-re [sore]

Suku tutup : nenek [nεnε?]

ü  Fonem /ə/, hanya mempunyai satu alofon, yaitu [ə]. Alofon ini terdapat pada suku kata buka dan

suku kata tutup. Contoh : e-nam [ənam].

ü  Fonem /u/, mempunyai dua alofon, yaitu [u] dan [U]. Fonem /u/ dilafalkan [u] jika terdapat pada

suku kata buka, atau suku kata tutup yang berakhir dengan /m/, /n/, atau /ŋ/ dan suku ini

mendapat tekanan yang keras.

Contoh :

Suku buka : u-pah [upah]

Suku tutup : bung-su [búŋsu]

Jika /u/ terdapat pada suku tutup dan tidak mendapat tekanan yang keras, fonem /u/ dilafalkan

[U] (contoh : wa-rung [wárUŋ]). Dan jika tekanan kata berpindah, /u/ yang semula dilafalkan

[U] akan menjadi [u] (contoh : [símpul] → [kesimpúlan]).

ü  Fonem /a/, hanya mempunyai sati alofon, yaitu [a]. Contoh : a-kan [akan].

ü  Fonem /o/, mempunyai dua alofon, yaitu [o] dan [○]. Fonem /o/ dilafalkan [o] jika terdapat pada

suku kata buka dan suku itu tidak diikuti oleh suku lain yang mengandung alofon [○]. Fonem /o/

dilafalkan [○] jika terdapat pada suku kata tutup atau suku kata buka yang diikuti oleh suku kata

yang mengandung [○].

Contoh : Suku buka : to-ko [toko]

Suku tutup : ro-kok [r○k○?]

2.1.2 Diftong

Dalam bahasa Indonesia terdapat 3 buah diftong, yaitu /ay/, /aw/, dan /oy/ yang masing-

masing dapat dituliskan : ai, au, dan oi. Ketiga diftong tersebut bersifat fonemis, dimana kedua

huruf vokal pada diftong melambangkan satu bunyi vokal yang tidak dapat dipisahkan.

Contohnya kata harimau → /aw/ /harimaw/ → ha-ri-mau, termasuk diftong. Berbeda dengan

kata mau → /au/ /mau/ → ma-u, termasuk deretan vokal biasa.

Dengan masuknya bahasa asing maka muncul diftong /ey/ yang ditulis ei. Diftong ini

sering bervariasi dengan /ay/ pada kata-kata tertentu.

Contohnya : /surfey/ survei ~ /surfay/ survai.

Pada umumnya, vokal dapat menjadi unsur pertama maupun unsur kedua deretan vokal.

Meskipun demikian, tidak semua vokal dapat berderet dengan vokal lain. Misalnya, vokal /ə/

hanya dapat berderet dengan vokal lain melalui imbuhan. Vokal /e/ dan /o/ hanya dapat diikuti

oleh vokal tertentu. Dan melalui kaidah fonotaktik, kaidah yang mengatur deretan fonem mana

yang terdapat dalam satu bahasa dan mana yang tidak, kita dapat merasakan secara intuitif

bentuk mana yang kelihatan seperti kata Indonesia, meskipun belum pernah melihat sebelumnya,

dan bentuk mana yang tampaknya asing.

2.1.3 Cara Penulisan Vokal Bahasa Indonesia

ü  Huruf a ditulis untuk melambangkan fonem /a/ dengan alofon tunggalnya.

Contoh : /adik/ → <adik>

ü  Huruf e mewakili dua fonem, yaitu /e/ dan /ə/ beserta alofonnya.

Contoh : /sore/ → <sore>, /bəsar/ → <besar>

ü  Huruf i dan u dipakai untuk menuliskan fonem /i/ dan /u/ tanpa memperhitungkan alofonnya.

Contoh : /kita/ → <kita>, /ulama/ → <ulama>

ü  Huruf o dipakai untuk menuliskan fonem /o/ dengan alofonnya.

ü  Huruf ai, au, dan oi digunakan untuk diftong /ay/, /aw/, dan /oy/.

Contoh : /pantay/ → <pantai>, /kalaw/ → <kalau>, /koboy/ → <koboi>

2.2 Konsonan dalam Bahasa Indonesia

Sesuai dengan artikulasinya, konsonan dalam bahasa Indonesia dikategorikan

berdasarkan tiga faktor, yaitu keadaan pita suara (konsonan bersuara dan tidak bersuara), daerah

artikulasi (konsonan bersifat labial, labiodental, alveolar, palatal, velar, atau glotal), dan cara

artikulasinya (konsonan hambat, frikatif, nasal, getar, atau lateral). Adapula konsonan yang

berwujud semivokal.

Daerah Artikulasi

Cara Artikulasi

Bila

bial

Labi

oden

tal

Den

tal /

Alv

eola

r

Pala

tal

Vel

ar

Glo

tal

Hambat Tak bersuaraBersuara

pd

td

kg

Afrikatif Tak bersuaraBersuara

cj

Frikatif Tak bersuaraBersuara

f sz š x h

Nasal Bersuaram n ñ ŋ

Getar Bersuara r

Lateral Bersuaral

Semivokal Bersuaraw y

2.2.1 Alofon Konsonan

ü  Fonem /p/ mempunyai dua alofon, yaitu [p] (alofon lepas) dan [p>] (alofon tak lepas).

Contoh : [pintu] pintu

[tatap>] tatap

ü  Fonem /b/ mempunyai satu alofon, yaitu [b]. Contoh : [baru] baru

ü  Fonem /t/ mempunyai dua alofon, yaitu [t] (alofon lepas) dan [t>] (alofon tak lepas).

Contoh : [timpa] timpa

[lompat>] lompat

ü  Fonem /d/ mempunyai satu alofon, yaitu [d] yang posisinya selalu diawal suku kata. Pada akhir

kata <d> dilafalkan [t>] kecuali jika diikuti oleh akhiran yang dimulai dengan huruf vokal.

Contoh : [duta] duta

[tekat>] tekad

[murtat>] → [kəmurtadan] → kemurtadan

ü  Fonem /k/ mempunyai tiga alofon, yaitu [k] (alofon lepas), [k>] (alofon tak lepas), dan [?] alofon

hambat glotal tak bersuara.

Contoh : [kaki] kaki

[pak>sa] paksa

[tidak>,tida?] tidak

ü  Fonem /g/ mempunyai satu alofon, yaitu [g] yang posisinya selalu diawal suku kata.

Pada akhir kata <g> dilafalkan [k>] kecuali jika diikuti oleh akhiran yang dimulai dengan huruf

vokal. Contoh : [gula] gula

[bedUk>] bedug

[ajək>] → [kə?ajəgan] →keajegan

ü  Fonem /f/ mempunyai satu alofon, yaitu [f] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku kata.

Contoh : [arif] arif

ü  Fonem /s/ mempunyai satu alofon, yaitu [s] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku kata.

Contoh : [sama] sama

ü  Fonem /z/ mempunyai satu alofon, yaitu [z] yang posisinya diawal suku kata.

Contoh : [izIn] izin

ü  Fonem /š/ mempunyai satu alofon, yaitu [š] yang posisinya diawal suku kata.

Contoh : [šukur] syukur

ü  Fonem /x/ mempunyai satu alofon, yaitu [f] yang posisinya terdapat diawal atau diakhir suku kata.

Contoh : [xas] khas

ü  Fonem /h/ mempunyai dua alofon, yaitu [h] (bersuara) dan [ħ] (tak bersuara). Namun pada kata

tertentu /h/ kadang dihilangkan.

Contoh : [hari] hari

[tahu, taħu] tahu

[lihat, liat] lihat

ü  Fonem /c/ mempunyai satu alofon, yaitu [c] yang posisinya diawal suku kata.

Contoh : [cari] cari

ü  Fonem /j/ mempunyai satu alofon, yaitu [j] yang posisinya diawal suku kata.

Contoh : [juga] juga

ü  Fonem /m/, /n/, /ŋ/ mempunyai satu alofon, yaitu [m], [n], dan [ŋ] yang posisinya selalu diawal

atau diakhir suku kata.

Contoh : [makan] makan

[nakal] nakal

[paŋkal] pangkal

ü  Fonem /ñ/ mempunyai satu alofon, yaitu [ñ] yang hanya terdapat diawal suku kata.

Contoh : [ñañian] nyanyian

ü  Fonem /r/ mempunyai satu alofon, yaitu [r] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku kata.

Contoh : [raja, Raja] raja

ü  Fonem /l/ mempunyai satu alofon, yaitu [l] yang posisinya selalu diawal atau diakhir suku kata.

Dan konsonan rangkap ll pada Allah dilafalkan sebagai [ł].

Contoh : [lama] lama

ü  Fonem /w/ mempunyai satu alofon, yaitu [w] yang posisinya diawal suku kata, tapi pada akhir

suku kata [w] berfungsi sebagai bagian diftong.

Contoh : [wak>tu] waktu

[kalaw] kalau

ü  Fonem /y/ mempunyai satu alofon, yaitu [y] yang posisinya diawal suku kata, tapi pada akhir suku

kata [y] berfungsi sebagai bagian diftong.

Contoh : [yakIn] yakin

[ramay] ramai

2.2.2 Struktur Suku Kata, Kata, dan Gugus Konsonan

Kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas satu suku kata atau lebih. Betapa pun

panjangnya suatu kata, wujud suku yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah

pembentukan yang sederhana. Berikut ini ada sebelas macam suku kata beserta contohnya !

1.       V a-mal, su-a-tu, tu-a

2.       VK ar-ti, ber-il-mu, ka-il

3.       KV pa-sar, war-ga

4.       KVK pak-sa, ke-per-lu-an, pe-san

5.       KVKK teks-til, mo-dern

6.       KVKKK korps

7.       KKV slo-gan, dra-ma

8.       KKVK trak-tor, kon-trak

9.       KKKV stra-te-gi, stra-ta

10.    KKKVK struk-tur

11.    KKVKK kom-pleks

Bahasa Indonesia tidak memiliki gugus konsonan rangkap pada akhir suku. Karena itu,

bahasa asing yang memiliki ciri tersebut dan dipakai dalam bahasa Indonesia sering disesuaikan

dengan kata umum bahasa Indonesia, dengan menyisipkan vokal dalam ucapannya atau

menghilangkan salah satu konsonannya.

Jika dua konsonan terdapat dalam satu suku kata yang sama, konsonan yang pertama

terbatas pada konsonan hambat /p, b, t, d, k, g/ dan konsonan frikatif /f, s/, sedangkan konsonan

kedua terbatas pada konsonan /r/ atau /l, w, s, m, n, f, t, k/.

Jika tiga konsonan berderet dalam satu suku kata, konsonan yang pertama selalu /s/, yang

kedua /t/, /p/, atau /k/ dan yang ketiga /r/ atau /l/. Seperti halnya dengan sistem vokal yang

mempunyai diftong dan deretan vokal biasa, sistem konsonan juga memiliki deretan konsonan

biasa.

2.2.3 Pemenggalan Kata

Pemenggalan kata berhubungan dengan kata sebagai satuan tulisan, sedangkan

penyukuan kata bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selalu

berpedoman pada lafal kata. Faktor lain dalam pemenggalan kata yang juga sangat penting

adalah kesatuan pernafasan pada kata tersebut yang juga mencakup urutan vokal dan imbuhan

(awalan-akhiran).

Kita juga harus menghindari pemenggalan pada akhir kata yang hanya terdiri atas satu

huruf saja karena akan menimbulkan kesan janggal (contohnya kata meliputi dapat dipenggal

menjadi me-liputi, bukan meliput-i).

Contoh : abdimu → ab-dimu, abdi-mu

berarti → ber-arti, berar-ti

kebanyakan → ke-banyakan, kebanyak-an

2.3 Ciri Suprasegmental dalam Bahasa Indonesia

Suatu fonem biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri suprasegmental, seperti

tekanan, panjang bunyi, dan nada. Ada pula ciri suprasegmental yang lain, yaitu intonasi dan

ritme.

Suatu kata dapat diberi penonjolan pada satu suku katanya dengan cara memperpanjang

pengucapannya, meninggikan nada, atau memperbesar tenaga atau intensitas. Gejala ini

dinamakan tekanan.

Dalam bahasa-bahasa tertentu ciri suprasegmental ini dapat mempengaruhi arti kata

dengan cara memindahkan letaknya.berbeda dengan bahasa Indonesia, letak tekanan bahasa

Indonesia teratur, jatuh pada suku kata sebelum yang terakhir, dan apabila suku kedua dari akhir

mengandung bunyi /ə/, tekanan akan ditempatkan pada suku akhir.

Dalam kalimat tidak semua kata mendapat tekanan yang sama, hanya yang dianggap

penting saja. Tekanan seperti itu disebut aksen. Aksen tidak hanya ditentukan oleh tekanan,

tetapi juga oleh faktor jangka dan nada. Sebuah suku kata lebih menonjol (mendapat aksen)

apabila dilafalkan dengan waktu yang lebih panjang dan dengan nada yang relatif lebih tinggi

dari suku kata yang lain.

Dalam tuturan ada jeda yang menandakan batas antar kata atau kalimat. Ada pula intonasi

yang lebih mengacu pada naik turunnya nada dalam pelafalan kalimat, dan ritme yang

mengacu pada pola pemberian tekanan pada kata dalam kalimat.

2.3.1 Peranan Ciri Suprasegmental

Dalam bahasa tulisan, tanda baca mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat

membedakan arti dari suatu klausa yang terdiri dari kata yang sama. Misalnya jika suatu klausa

diikuti dengan tanda titik (.) maka akan menyatakan pernyataan, sedangkan jika klausa dengan

kata yang sama diikuti dengan tanda tanya (?) maka akan menyatakan pertanyaan.

Contoh : Dia dapat pergi.

Dia dapat pergi ?

Dalam bahasa lisan tidak ditemui tanda baca. Maka dari itu, cara pengucapan kata dan

kalimat sangat penting. Intonasi menurun menyatakan pernyataan, dan intonasi naik menyatakan

pertanyaan. Ada pula penggunaan aksen yang harus diperhatikan, karena makna dari kalimat

tersebut akan mengandung informasi yang berbeda.

Pada tataran kata, tekanan, jangka, dan nada dalam bahasa Indonesia tidak berperan

sebagai pembeda makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang dalam hal tersebut akan

terasa janggal.

2.3.2 Intonasi dan Ritme

Ritme adalah pola pemberian aksen pada kata dalam untaian tuturan (kalimat) yang

dilakukan dengan selang waktu yang sama untuk beberapa bahasa dan dengan selang waktu yang

berneda untuk beberapa bahasa yang lain. Dalam bahasa Inggris, mengikuti ritme yang

berdasarkan jangka waktu. Sedangkan dalam bahasa Indonesia mengikuti ritme yang

berdasarkan jumlah suku kata. Makin banyak suku kata, makin lama pula waktu pelafalannya.

Intonasi adalah urutan pengubahan nada dalam untaian tuturan yang ada dalam suatu

bahasa. Pola pengubahan nada itu membagi suatu tuturan (kaliamat) dalam satuan yang secara

gramatikal bermakna. Dan tiap-tiap pola itu menyatakan informasi sintaksis tersendiri.

Bagian kalimat tempat berlakunya suatu pola perubahan nada tertentu disebut kelompok

tona. Pada setiap kelompok tona terdapat satu suku kata yang terdengar menonjol yang

menyebabkan terjadinya perubahan nada, suku kata itulah yang mendapatkan aksen.

Suku kata yang mendapat aksen dalam kelompok tona tidak dapat diramalkan karena

sangat bergantung apa yang dianggap paling penting oleh pembicara. Pada umumnya sebutan

tidak akan menerima aksen, aksen biasanya diberikan pada pokok pembicaraan (topik).

Pola intonasi dapat juga mengalami topikalisasi, yaitu pengutamaan bagian kalimat yang

dikontraskan dengan keterangannya.

PENGERTIAN DAN FUNGSI BAHASA

 1.1. Pengertian Bahasa

Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi “nasi” melambangkan konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok’.

 1.2. Fungsi-Fungsi Bahasa

Konsep bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who speak what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu fungsi-fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topic, kode dan amanat pembicaraan.

Fungsi Personal atau Pribadi

Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedang sedih, marah atau gembira.

Fungsi Direktif

Dilihat dari sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatuf tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara.

Fungsi Fatik

Bila dilihat segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik. Artinya bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu pamit, berjumpa atau menanyakan keadaan. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak gerik tangan, air muka atau kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut jika tidak disertai unsure paralinguistik tidak mempunyai makna.

Fungsi Referensial

Dilihat dari topik ujaran bahasa berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia di sekelilingnya.

Fungsi Metalingual atau Metalinguistik

Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik. Artinya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti ekonomi, pengetahuan dan lain-lain. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa.

Fungsi Imajinatif

Jika dilihat dari segi amanat (message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif. Bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginasi ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng dan sebagainya) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya.

 1.3. Pengaruh Bahasa Terhadap Perilaku Manusia

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya harus dapat berinteraksi dengan manusia di sekitarnya, untuk dapat berinteraksi dengan makhluk sekitarnya diperlukan sarana atau media yang menunjangnya, komunikasi adalah salah satu sarana penunjang untuk berinterkasi dengan makhluk sekitar, Komunikasi itu dapat di bagi menjadi beberapa bagian , salah satunya dengan komunikasi lisan dengan media bahasa, bahasa dapat menunjukan identitas suatu bangsa.

Tak hanya lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku manusia bahasa juga mempunyai andil besar dalam perilaku manusia, Bahasa sendiri ternyata secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku manusia, contohnya saja seseorang menceritakan tentang kisah hidup seorang usahawan yang sukses, maka orang yang mendengarnya akan menjadi termotivasi untuk menjadi sama seperti usahawan tersebut.

Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri. Maka dari itu kita dituntut untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena bahasa Indonesia merupakan kepribadian bangsa Indonesia.

Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan.

Bahasa yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami kesulitan dalam bermain dengan bahasa.

Namun, kita tidak usah takut jika kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pergaulan kita, maka kita akan terkesan aneh bahkan mungkin ditertawakan oleh mereka. Justru, dari sinilah kita mulai mengajarkan kepada mereka bahwa kita harus bangga menggunakan bahasa Indonesia, seperti negara-negara lainnya. Sehingga nantinya akan terbentuk komunikasi yang ilmiah. Komunikasi yang ilmiah adalah komunikasi yang bersifat pengetahuan, baik itu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari maupun pengetahuan dalam hal yang formal. Dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka maksud yang akan kita sampaikan kepada seseorang akan semakin jelas ditangkap oleh mereka. Karena bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang bisa diterima dimanapun.

Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa bahasa sangat berperan penting dalam mempengaruhi perilaku manusia, bila seseorang menggunakan bahasa baik dan benar, maka perilaku seseorang itu baik dan bila seseorang mempunyai bahasa yang kasar maka dapat di pastikan perilakunya kurang baik, tapi itu bagaimana kita menyikapi seseorang itu, sebab bahasa itu makanan otak kenapa dapat dikatakan demikian karena hal hal diatas, bila seseorang berbahasa dengan baik maka dia mudah bergaul dan dari pergaulan itu seseorang dapat bertemu orang yang baik juga, dan bukan tidak mungkin dengan bahasa yang baik kita dapat mendapatkan ilmu baru dari orang di sekitar kita, berbahasalah dengan baik.

 

RAGAM DAN LARAS BAHASA

 

2.1. Pengertian Ragam dan Laras Bahasa

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.

Laras bahasa adalah ragam bahasa yang digunakan untuk suatu tujuan atau pada konteks sosial tertentu. Banyak sekali laras bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa batasan yang jelas di antara mereka. Laras dan ragam bahasa merupakan suatu kesatuan dalam kehidupan sehari-hari, jika kita menggunakan laras dan ragam bahasa yang baik dan benar, maka orang akan mengerti, contoh, jika kita berbicara dengan orang yang lebih tua dengan bahasa yang sopan, namun laras yang digunakan tidak baik, maka tutur bahasanya pun akan berantakan. jadi kita harus bisa memadukan dengan baik laras dan ragam bahasa yang baik dan benar.

2.2. Contoh Ragam dan Laras Bahasa Di Lingkungan Sekitar

Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue. Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan 6 kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti. Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.

Contoh (1)

a) Ibu mengatakan, kita akan pergi besok

b) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok

Pada contoh 1 merupakan ragam semi standar dan diperbaiki contoh (1a)  yang merupakan ragam standar.

Contoh (2)

a) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.

b) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk). Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar. Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.