tiga masalah fundamental praktik hukum ekonomi syariah

Upload: qhupunacygy9738

Post on 09-Jul-2015

1.335 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Tiga Masalah Fundamental Praktik Hukum Ekonomi SyariahTuesday, 01 February 2011 10:29 Last Updated on Tuesday, 01 February 2011 10:32 Written by Administrator

Permasalahan praktik ekonomi syariah di Indonesia, khususnya berkenaan dengan sisi hukumnya, dibedah dalam Dialog Stakeholder Ekonomi Syariah, di Ruang Pertemuan Ditjen Badilag, lantai enam Gedung Sekretariat Mahkamah Agung, Jumat (28/1/2011). Para stakeholder yang terlibat dalam dialog itu berasal dari Bank Indonesia, Bank Muamalat, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAEI), Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), notaris, pengacara dan akademisi. Dari Mahkamah Agung, hadir dua orang Hakim Agung dan Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama Ditjen Badilag. Hadir pula beberapa Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Agama dan sejumlah hakim.

Dalam dialog yang diprakrarsai Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah (HISSI) itu, tiga masalah fundemantal dalam praktik ekonomi syariah mulai terpetakan. Selaku pemandu dialog, Hakim Agung Prof Abdul Ghani Abdullah menyatakan, masalah pertama ialah formulasi akad. Di lapangan, bank dan lembaga keuangan syariah belum memiliki format akad yang baku. Dalam praktiknya, banyak bank syariah yang tidak konsisten menerapkan perikatan syariah. Yang paling sering terjadi, awalnya akad murabahah, lalu berubah menjadi akad biasa, baik jual beli maupun hutang, kata Prof Ghani. Menurut Prof Ghani, biasanya pihak bank tidak mau peduli pada persoalan mendasar ini. Di sisi lain, masyarakat selaku nasabah juga tidak tahu-menahu atau tidak mau ambil pusing. Padahal, dari sisi hukum, hal ini memiliki konsekwensi yang serius. Jadi, realitas yuridis, akad muamalah tapi realitas empiris, bukan muamalah, Prof Ghani menerangkan. Permasalahan kedua ialah masih belum ada kejelasan mengenai pembuatan akad syariah: apakah harus notariil ataukah hanya seperti perjanjian dalam asuransi antara penanggung dan tertanggung.

Perlu ada standarisasi formula akad, sehingga secara notariil dapat terumuskan dengan baik, tandas Prof Ghani. Selain itu, notaris yang dilibatkan dalam penandatanganan akad itu haruslah notaris yang memahami akad-akad syariah. Masalah ketiga ialah mengenai penyelesaian sengketa. Saat ini terdapat banyak pilihan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Secara garis besar, pilihan itu terpilah menjadi dua, yaitu jalur non-litigasi dan jalur litigasi. Jalur non-litigasi tidak hanya Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas), tapi juga dapat melalui alternatif lain di luar pengadilan. Sedangkan jalur litigasi dapat ditempuh melalui peradilan agama dan peradilan umum. Dalam klausul penyelesaian sengketa, kenyataannya pihak bank lebih cenderung menyatakan bahwa apabila terjadi sengketa maka tidak diselesaikan di pengadilan agama. Yang harus dimengerti, pengadilan agama tidak cari-cari perkara ekonomi syariah, tapi diberi kewenangan oleh Undang-Undang, kata Prof Ghani. Undang-Undang tersebut ialah UU 3/2006 dan UU 50/2009. Tukar pikiran Soal pergeseran akad syariah dalam praktik perbankan syariah ditanggapi Ketua Umum HISSI, Prof Amin Suma. Pengertian murabahah memang bergeser dari Fiqh, alasannya demi kemaslahatan. Kalau tidak begitu, maka akan ada double tax (pajak gandared). Itu legal karena sudah menjadi keputusan DSN MUI, ujarnya. Meski demikian, bagi Prof Ghani, soal pajak tidak lantas bisa dijadikan alasan menggeser akad. Dari segi yuridis, bila terjadi perubahan akad, harus ada wakalah (pemberian kuasa red) dari nasabah kepada pihak bank, tandasnya. Mewakili Bank Muamalat, Delyuzar Syamsi menepis dugaan Prof Ghani. Tidak semua bank syariah begitu. Kami di Bank Muamalat, selalu memakai wakalah bila ada pergeseran akad. Memang kesannya ribet, tapi kami tidak mau akal-akalan, tuturnya. Mengenai akad yang harus notariil, Syaifuddin sependapat dengan Prof Ghani. Jadikanlah notaris terlibat. Kalau akad syariah, tegaskan bahwa harus menggunakan jasa notaries syariah, kata notaris yang aktif di HISSI ini. Ketua MES, Prof Veithzal Rivai, punya penjelasan tersendiri mengapa bank-bank syariah cenderung enggan berperkara di pengadilan. Bank takut ke pengadilan karena di-publish di media. Kecil, tapi dampaknya besar, ungkapnya. Mulya E Siregar, dari Direktorat Perbankan Syariah BI, menyatakan bahwa dari sudut pandang pihak bank syariah, banyaknya pilihan penyelesaian sengketa sebenarnya memiliki sisi positif. Mana yang terbaik, itulah yang diambil teman-teman perbankan syariah, ujarnya.\ Sementara itu, pakar ekonomi syariah Adiwarman Karim menawarkan jalan keluar supaya penyelesaian sengketa ekonomi syariah diselesaikan peradilan agama. Perlu mendekati para

praktisi, bahwa bersengketa di PA itu tidak menakutkan. Kita buat sosialisasi, workshop, supaya mereka merasa nyaman, ujarnya. Di samping itu, menurut Adiwarman Karim, perlu lebih banyak notaris dan lawyer yang mengerti ekonomi syariah. Berdasarkan pengalamannya sebagai Dewan Pengawas Syariah di Bank HSBC, salah satu yang membuat kalangan perbankan syariah takut berperkara di PA ialah karena mereka tidak memiliki lawyer yang betul-betul mengerti persoalan perbankan syariah. Akan digaungkan Pertemuan kali ini lebih bersifat eksploratif. Masing-masing pihak diminta mengemukakan pendapatnya, tanpa ada kesimpulan yang disepakati bersama. Meski demikian, para peserta dialog sepakat, setelah ini akan ada satu pertemuan lagi. Setelah itu, HISSI berencana menggaungkan hasil pertemuan tersebut melalui seminar dalam skala besar yang melibatkan berbagai pihak. Rumusan hasil seminar itu akan disosialisasikan dan akhirnya mendapat pengakuan dari masyarakat, tutur Prof Amin. (hermansyah) http://ps2h.fshuinjkt.net/index.php?option=com_content&view=article&id=51:tiga-masalah-fundamentalpraktik-hukum-ekonomi-syariah&catid=1:latest-news&Itemid=50

Permasalahan Pajak Ganda Murabahaholeh ISLAMIC ECONOMIC pada 16 April 2011 jam 20:27

Permasalahan pajak ganda yang dikenakan kepada bank-bank Syariah dengan skim murabahahnya sebenarnya issue yang sudah lama. Rumor ini muncul sejak tahun 1997, dan saat ini kembali ramai diperdebatkan lantaran pajak yang harus dibayarkan kepada Ditjen Pajak jauh lebih besar dari pendapatan yang diterima oleh bank-bank syariah dengan transaksi murabahahnya. Pada prinsipnya Murabahah itu jual beli, ketika ada permintaan dari nasabah, bank terlebih dahulu membeli pesanan sesuai permintaan nasabah, lalu bank menjualnya kembali kepada pemesan dengan harga aslinya lalu ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati oleh pemesan. Karena transaksi jual beli itu terjadinya dua kali, maka terjadi dua kali peralihan kepemilikan sehingga PPN-nya dikenakan dua kali juga. Menurut UU No. 18 Tahun 2000 (tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, utamanya Pasal 1A ayat (1), huruf a dan b,) berarti juga terbebani dua kali pembayaran pajak. bagaimana pajak ganda itu diterapkan? Ilustrasi mudahnya begini; Misalkan saja, ada nasabah datang ke bank bermaksud ingin membeli motor seharga 15 juta di dealer A, lalu bank menuliskan transaksi akad tersebut dengan meminta margin (keuntungan) 5%. Jadi

harganya 15.750.000. lalu bank membeli motor tersebut di dealer A dan menyerahkan kepada nasabah. Nah pada saat bank membeli motor dari dealer A seharga 15 juta, bank sebenarnya sudah dikenai pajak, dimana harga yang Rp. 15 juta itu sudah termasuk pajak PPN 10%. Ceritanya menjadi lain jika membelinya langsung dari pabriknya. kemudian pada saat menjual kembali kepada pemesan seharga Rp. 15.750.000, bank dikenai pajak lagi. Katakanlah pajak PPN yang dikenakan sebesar 10%. Sehingga bank harus membayar pajaknya sebesar: 15.750.000 X 10% /100 = 1.575.000,- (ini yang menjadi sumber kerugian bank) Dengan ilustrasi diatas, dapat dikatakan dalam setiap melakukan transaksi murabahahnya, bank syariah akan selalu mengalami kerugian karena harus membayar pajak yang lebih besar dari keuntungan yang diperolehnya. pengambilan margin yang hanya sebesar 5 persen dari transaksi murabahah ini sebelumnya sudah dipertimbangkan oleh bank-bank syariah, sebab jika bank- syariah mengambil keuntungan yang lebih besar dari setiap transaksi murabahahnya, katakanlah lebih besar dari PPN 10% dengan alasan supaya menutupi kerugian pembayaran pajaknya, tentunya bank syariah akan kalah bersaing dengan bank-bank lain seperti bank konvensional yang memberikan kredit pembiayaan lebih kecil karena bank konvensional tidak dikenai pajak ganda. Lantaran mengambil margin yang lebih besar dari bank konvensional, para nasabah pun pastinya akan memilih bank yang memberikan pembayaran cicilan lebih murah dari bank syariah. Jika merujuk kepada UU Nomor 42/2009 mengenai PPN, aturan PPN murabahah sejatinya sudah dihapuskan, aturan ini baru efektif April 2010 nanti. Hanya saja, penghapusan ini hanya bersifat kasuistis. Artinya, bank syariah dengan transaksi murabahahnya, masih harus berkewajiban membayar tagihan pajak tahun-tahun sebelumnya. Itulah alasan mengapa sekarang ini bank-bank syariah menjadi bank yang memiliki tunggakan besar pajaknya. Sebagai contoh BNI, lantaran terkena pajak ganda, Bank dengan plat merah ini masuk dalam daftar penunggang pajak yang dirilis Ditjen Pajak. Pajak yang dimaksud adalah murni dari transaksi murabahah UUS BNI pada tahun 2007. Besarannya sekitar 128,2 milyar, dengan rincian PPn murabahah Rp. 108,2 milyar dan saksi administrasi Rp. 20 milyar. Padahal laba UUS BNI syariah pada tahun 2007 hanya 19,7 milyar. Jika dihitung dari sejak UUS BNI berdiri pada ahun 2000 hingga tahun 2009, maka total pajak murabahahnya adalah Rp 393 milyar.(Republika, 5 Februari 2010) Menurut Ahmad Baiquni (mengutip dari sini) mengapa pemerintah ngotot menarik pajak berganda ini karena melihat nilai pembiayaan murabahah yang lumayan. Tengok saja, dari total pembiayaan perbankan syariah sebesar Rp 60 triliun, sekitar 57% atau Rp 34,2 triliun merupakan pembiayaan akad murabahah. Jadi, ada potensi pajak Rp 3,42 triliun. Jika bank-bank syariah tetap harus membayar tunggakan pajaknya pada tahun-tahun sebelumnya, hal ini akan berakibat meruginya bank-bank syariah, selain itu juga akan berdampak menurunya nilai asset yang dimiliki. Sebab dari nilai transaksi yang dilakukan oleh bank-bank syariah, sekitar 80 persen diantaranya adalah transaksi murabahah. Menurunnya nilai asset, akan berdampak pada menurunya jumlah tranksaksi pembiayaan, menurunya jumlah transaksi pembiayaan akan menurunya keuntungan/profit yang diperoleh. Hal ini akan menghambat perkembangan bank syariah di Indonesia.

Selain itu, penghapusan pajak yang belum sepenuhnya clear, membuat enggannya minat investor untuk masuk ke domain perbankan syariah. Seperti misalnya; Kuwait Finance House dan Qatar Islamic Bank yang mau menanamkan modalnya untuk Bank syariah setelah dihapuskannya pajak berganda itu di Indonesia.

Oleh karena itu, agar tetap eksis dan berkembangnya bank-bank syariah di Indonesia, mari Qt dukung penghapusan pajak ganda murabahah dari tahun-tahun sebelumnya. Wallahualam Sumber Referensi : Koran Republika 5 Februari 2010.

Bank syariah tuntut netralisasi pajak ganda Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) mengajukan netralisasi untuk menuntaskan pajak ganda murabahah (jual beli) yang bisa menjadikan bank syariah merugi.Ketua Asbisindo A Riawan Amin menjelaskan pihaknya telah melayangkan surat ke Departemen Keuangan untuk membahas pemutihan pajak pertambahan nilai yang disampaikan sejak bulan lalu. Selama ini, katanya, transaksi di perbankan syariah 80% masih menggunakan akad murabahah sehingga kalau harus dikejar pajak ganda ke belakang, maka akan menghambat bisnis bank syariah.Sekarang amendemen UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sudah dilakukan tetapi temyata belum mengubah paradigma seluruhnya di Dirjen Pajak. Untuk itu, Asbisindo melakukan netralisasi pajak karena akan membuat modal bank tergerus, jelasnya dalam Temu Pers Asbisindo, kemarin. Riawan menyatakan jika pajak ganda yang diperdebatkan sejak 1997 itu harus dibayarkan maka secara tidak langsung juga akan membuat cacat program Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah karena kinerja keuangan bank syariah ke belakang akan terkoreksi. Kalau memang amendemen UU PPN sebuah pengakuan bahwa murabahah termasuk produk keuangan yang bebas pajak, harus dibebaskan.Riawan menambahkan komitmen pemerintah untuk mengembangkan perbankan syariah sebagai agenda nasional, harusnya dilakukan dengan tuntas setelah diterbitkan UU Perbankan Syariah dan amandemen UU PPN harusnya bisa sampai penghapusan pajak ganda seluruhnya. Kalau penghapusan pajak ganda murabahah temyata hanya untuk mengundang asing datang, sedangkan bank lokal masih dikenakan beban pajak itu sama saja menyulitkan.Sementara itu, Direktur UKM dan Syariah BNI Achmad Baiquni menjelaskan selama ini unit usaha BNI Syariah masih terbebani dengan persoalan pajak ganda murabahah mencapai Rpl28,2 miliar

terdiri dari tagihan pajak pertambahan nilai RplO8,2 miliar dan sanksi administrasi Rp20 miliar. BNI bersepakat dengan kalangan bank syariah lainnya khusus untuk murabahah tidak akan membayar pajak pertambahan nilai itu, agar bisa dihapuskan. Tapi temyata setelah amandemen UU PPN tetap saja ada penagihan pajak lama, kata dia. Keadilan Baiquni menyatakan pihaknya menuntut keadilan Direktorat Jenderal Pajak dalam menghitung objek pajak berganda transaksi murabahah perbankan syariah, karena semua bank dalam industri tersebut memakai sistem serupa.Namun, di sisi lain jika perhitungan itu diterapkan membuat industri perbankan gulung tikar karena akan membayar pajak pertambahan nilai yang mencapai Rp3 triliun dalam 1 tahun. Dia mengatakan semua perbankan syariah memakai transaksi murabahah dalam melakukan skema pembiayaan, sehingga jika dinilai ada pe-nunggakan pajak berganda semua industri terkena.Pekan lalu, Dirjen Pajak mengumumkan bahwa BNI bersama Bukopin masuk dalam 100 besar perusahaan penunggak pajak. Kasus kedua perusahaan itu disebabkan oleh transaksi murabahah yang dikenai pajak berganda. Sumber : Bisnis Indonesia

FRIDAY, 29 FEBRUARY 2008 07:23 HAPUS PAJAK GANDA PERBANKAN SYARIAH Mimbar Jumat Artikel Jumat SALAH satu permasalahan pada industri perbankan syariah adalah persoalan pajak ganda (double taxation). Pajak ganda yang dimaksud adalah pengenaan pajak dua kali atas transaksi pada produk perbankan syariah terutama pada skim murabahah. WASPADA Online Oleh Mustafa Kamal Rokan SALAH satu permasalahan pada industri perbankan syariah adalah persoalan pajak ganda (double taxation). Pajak ganda yang dimaksud adalah pengenaan pajak dua kali atas transaksi pada produk perbankan syariah terutama pada skim murabahah. Pengenaan pajak ini tentunya tidak menguntungkan bagi perkembangan industri bisnis syariah terutama pada perbankan syariah. Sebab akan menyebabkan biaya mahal dalam industri syariah. Untuk itu, mendesak dihapuskannya pajak ganda tersebut. Saat ini, salah satu skim terlaris dari produk perbankan syariah adalah skim murabahah dan bai bithaman ajal. Adapun mekanisme pada skim ini adalah bank membeli barang atau produk yang menjadi permintaan nasabah, kemudian bank menjual kembali barang tersebut kepada nasabah dengan tambahan harga, (harga asal ditambah profit margin) dan selanjutnya nasabah membayar dengan angsuran kepada pihak bank.

Karenanya, dalam skim ini berarti terjadi dua (2) kali transaksi jual beli, yakni pembelian barang oleh pihak bank, dan penjualan barang pihak bank kepada nasabah. Disebabkan dua kali transaksi jual beli berarti telah terjadi dua kali peralihan kepemilikan, karenanya dikenakan pajak dua kali (pajak ganda). Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undangundang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Tentunya regulasi ini menjadikan perbankan syariah sangat terbebani. Padahal data menunjukkan skim murabahah adalah produk yang sangat diminati dan menjadi andalan perbankan syariah saat ini. Dari data terlihat transaksi perbankan syariah tidak kurang dari Rp21,920 triliun dengan komposisi terbesarnya adalah murabahah yakni Rp13,340 triliun atau sebayak 60,86 persen (Republika, 4/2).

Urgensi penghapusan Paling tidak ada dua alasan mendesak pentingnya dihapus pajak ganda (double taxation) tersebut. Pertama, pajak ganda ini menjadi penghambat perkembangan perbankan syariah, padahal saat ini sedang dilakukan pencapaian target aset perbankan syariah menjadi dua persen. Jika kita melihat data pada skim pembiayaan terjadi penurunan, tahun 2007 tercatat laju pertumbuhan bank syariah mencapai 30,1 persen, lebih rendah dibanding pembiayaan tahun 2006 yang mencapai 34,2 persen. Data ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya. Kedua, penghapusan pajak ganda menjadi sangat penting terkait dengan kepentingan masuknya investasi asing di Indonesia. Adanya pajak ganda akan menyebabkan industri perbankan dan keuangan syariah Indonesia menjadi kurang menarik dikembangkan. Dampaknya, motivasi para investor untuk masuk dan mengembangkan industri syariah di Indonesia pun menjadi surut. Dengan adanya penghapusan pajak ganda akan memicu perkembangan industri syariah tidak hanya di perbankan syariah namun juga pada industri lainya seperti asuransi dan pasar modal syariah.Sesungguhnya pemberlakuan hanya satu kali pajak dalam pembiayaan syariah telah dilakukan oleh banyak negara lain. Saat ini negara yang memiliki industri keuangan dan perbankan syariah telah menghapuskan pajak ganda dalam transaksi pembiayaan syariah diantaranya, Amerika Serikat melalui Office of the Comptroller of the Currency (OOC) yang mengeluarkan dua interpretative letters yang berisi tentang transaksi murabahah dan ijarah. Demikian juga Inggris telah menghapus pajak ganda dengan diintroduksinya Finance Act 2003 oleh badan independen yang menentukan regulasi keuangan Inggris (FSA, Financial Services Authority). Singapura menghapus pajak ganda sejak Maret 2005 melalui Monetery Authority of Singapore. Sedangkan Malaysia telah menghapus pajak gandanya hampir satu dekade yang lalu yakni saat perkembangan awal industri syariah di negara tersebut. Malaysia menghapus pajak ganda dengan Amandement Real Property Gains Tax Act 1976 dengan tambahan pengaturan baru pada schedule 2 paragrap 3 (g) yang menyebutkan gain yang diperoleh bank penjualan aset kepada nasabah atas prinsip syariah dikecualikan dari pajak. Untuk menghapus pajak ganda di Indonesia, paling tidak ada dua upaya dapat dilakukan, yakni melakukan perubahan (amandemen) regulasi yang menyangkut pajak, atau dengan

melakukan penambahan klausula tentang penghapusan pajak ganda pada regulasi yang menyangkut industri bisnis syariah. Pertama, secara ideal, penghapusan ini dengan melakukan amandemen regulasi yang menyangkut pajak yakni UU No. 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undangundang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sebenarnya, jika kita cermat, saat ini telah ada Peraturan Pemerintah No. 144 tahun 2000 yang mengatur jasa perbankan mendapatkan dispensai untuk tidak terkena wajib pajak PPN. Kedua, dengan memanfaatkan momentum yang ada, yakni saat ini RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sedang dibahas, perlu memasukkan klausula yang menyangkut penghapusan pajak ganda pada kedua RUU tersebut. Adapun pasal yang menyangkut penghapusan pajak ganda pada RUU tersebut akan menjadi lex specialis (pengecualian hukum) terhadap UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab selama ini aturan yang mengatur perbankan syariah hanya berupa aturan tentang perbankan nasional (UU No.10 Tahun 1998), belum ada regulasi yang mengatur perpajakan bagi perbankan syariah sehingga transaksi syariah terkena pajak ganda. Mempertahankan pajak berganda akan menghambat perkembangan industri syariah ke depan, untuk itulah diperlukan political will dari pengambil kebijakan dan upaya sinkronisasi perundang-undangam secara menyeluruh dalam rangka membangun ekonomi syariah dan sistem perekonomian Indonesia yang kuat. Semoga. Penulis adalah Dosen Hukum Bisnis Fak. Syariah IAIN SU & Graha Kirana. Pajak murabahah perlu dihapus

Ditulis oleh Bisnis Indonesia Monday, 22 January 2007 JAKARTA: Kalangan pelaku bisnis bank syariah Indonesia mengharapkan RUU Perbankan Syariah yang saat ini digarap DPR bisa menyelesaikan persoalan pajak untuk murabahah perbankan syariah. Hingga saat ini belum ada ketentuan yang pasti mengenai pajak murabahah (jual beli) pada perbankan syariah di Indonesia. Di satu sisi terdapat bank syariah yang terkena pajak ganda pada kegiatan murabahah, sementara di sisi lain terdapat pula bank yang hanya dikenakan satu kali pajak. Direktur Treasury, Marketing, dan Sariah Bank Tabungan Negara (BTN) Iqbal Latanro menyatakan selesainya RUU yang saat ini sedang dibahas oleh DPR diharapkan bisa memberi kejelasan terkait dengan pajak murabahah perbankan syariah di Indonesia. Hal yang prinsip adalah selesainya pembahasan RUU Perbankan Syariah yang saat ini dibahas oleh DPR bisa menjawab persoalan pajak perbankan syariah yang hingga saat ini

belum ada kepastian. Sebab saat ini ada bank yang dikenakan pajak ganda untuk murabahah sedangkan yang lain ada yang dikenakan satu kali pajak, kata dia kepada Bisnis, kemarin. Dia lebih lanjut menyatakan, ketidakjelasan mengenai pajak tersebut turut menyumbang terhadap minimnya perkembangan perbankan syariah yang saat ini di bawah 5%. Ke depan diharapkan pajak untuk murabahah hanya satu kali saja dikenakan untuk perbankan syariah, lanjut dia. Alasan satu kali pengenaan pajak untuk murabahah, karena perbankan syariah tidak bisa dikategorikan dalam perusahaan dagang yang melakukan proses jual beli. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Senior Vice President & Syariah Banking Group Head Bank Niaga Ari Purwandono. Dia menyatakan, perbankan syariah perlu dikenakan pajak murabahah sekali saja. Sebab kami berkeyakinan bahwa perbankan syariah bukan jual beli seperti trading company. Kalau perusahaan dagang kan ada jual beli dan ada value added. Sementara perbankan syariah kan konsepnya kan intermediari, dan bukan jual beli, kata dia pekan lalu. (m04) Bisnis Indonesia, 22/1/2007

IAEI Dukung Sikap Penolakan Pajak Murabahah THURSDAY, 04 FEBRUARY 2010 08:29 BAHRUL Agustianto Jakarta, (04/02). Kekesalan para pelaku bisnis perbankan syariah terhadap pajak berganda pada transaksi Murabahah, mendapat dukungan dari Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI). Melalui Sekretaris Jenderal IAEI, Agustianto, mengatakan, perlu sebuah kajian yang adil terhadap peraturan tersebut, sehingga bank syariah tak merasa dirugikan. Terlebih kata dia, pemerintah harus melihat dimana pun negara yang melaksanakan sistem keuangan syariah tak memasukkan pajak berganda tersebut dalam operasional perbankan syariah. Maka dari itu perlu dipahami oleh pemerintah dan jangan seenaknya sendiri dalam membuat peraturan,kata Agustianto saat ditemui di kantor IAEI Setiabudi, Jakarta Pusat Rabu (3/2). Menurut Agustianto, memang benar jika pajak berganda Murabahah tidak dihapus yang terjadi adalah banyak bank syariah yang menunggak pajak dan itu jumlahnya sangat besar sekali. Untuk menjembatani persoalan silang pendapat antara pelaku perbankan syariah dan pemerintah, Sekjen IAEI bersedia untuk memediasi serta mengkaji mengenai regulasi Undang-Undang Pajak tersebut.

Sebab apa? Jika hal ini dipaksakan akan menganggu perkembangan bank syariah kedepan,ujar Agustianto. (Agus Y www.pkesinteraktif.com) 5 Investor Bank Syariah Mundur Gara-gara Kasus Pajak Ganda Selasa, 23 Februari 2010 20.30 WIB Oleh: Iin Caratri (Managementfile Tax) Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) mengharapkan kasus tunggakan pajak yang melilit bank-bank syariah dapat dihapuskan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kasus pajak tersebut telah menganggu minat investor asing untuk menempatkan dananya di bank-bank yang terlilit utang pajak hingga Rp 400 miliar. Hal tersebut disampaikan Ketua Asbisindo Riawan Amin usai Panja RDP dengan Komisi XI di Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa (23/02/2010). Kasus pajak ini sangat menganggu karena setidak-tidaknya ada lima investor yang berminat menempatkan dananya. Namun karena adanya ketidakpastian hukum pajak ganda murabahah. Mereka enggan masuk karena takut dibebankan tunggakan pajak, ujar. Untuk itu, lanjut Riawan melalui DPR Asbisindo meminta agar masalah pajak berganda yang dibebankan kepada bank-bank syariah dapat terselesaikan. Ya, kita inginnya dihapus saja. Mudah-mudahan DPR bisa menindaklanjuti, tegasnya. Ditempat yang sama Ketua Panja Perpajakan Komisi XI Melchias Markus Mekeng mengatakan akan mencari celah untuk menyelesaikan kasus pajak bank-bank syariah. Kita berencana membentuk Panja Khusus untuk masalah Asbisindo ini. Bagaimanapun akan kita dukung penghapusan pajak tersebut, ungkap Melky panggilan akrab Melchias. Melky menegaskan, konsep bank konvensional sangat berbeda dengan bank syariah dimana transaksi murabahah (jual beli) tidak seharusnya dikenakan pajak pertambahan nilai (PPn). Kalau dikenakan, buku mereka akan selalu buruk karena akan ada tunggakan pajak, kata Melky. Mengenai skema penghapusan pajak tersebut, Melky mengatakan masih akan dibahas lebih lanjut. Pasalnya Menteri Keuangan dapat menghapuskan pajak jika nilai tunggakannya dibawah Rp 10 miliar. Jika diatas Rp 10 miliar maka harus melalui DPR. Kita akan membicarakan dengan Kementrian Keuangan lebih lanjutnya, pungkas Melky. (ic/IC/dtc)

Tunggakan Pajak BNI Hasil Transaksi Syariah Murabahah sumber : Antara 2/Feb/2010 14:36

Jakarta (ANTARA) Direktur Bank BNI Ahmad Baiquni mengatakan hasil publikasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bahwa BNI termasuk salah satu penunggak pajak terbesar adalah penerapan pajak ganda transaksi murabahah (perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah) perbankan syariah. Tunggakan pajak senilai Rp128 miliar dan semunya dari transaksi `murabahah` pada 2007 senilai Rp108 miliar dan ditambah Rp20 miliar merupakan sanksi administrasi, kata Baiquni, saat acara media gathering di Jakarta, Selasa. Menurut Baiquni, pihaknya tidak akan membayar pajak ganda ini karena masih akan diperjuangkan berbagai kalangan pelaku bank syariah (Asosiasi Bank Syariah Indonesia/ASBISINDO). Jika dibayar, maka potensi pajak PPN (pajak pertambahan nilai) dari transaksi perbankan syariah Bank BNI mencapai Rp397 miliar, katanya. Direktur UKM (Usaha Kecil Menengah) dan Perbankan Syariah Bank BNI ini menegaskan bahwa pihaknya dapat margin dari nasabah hanya 5 persen, sedangkan untuk bayar PPN 10 persen. Jadi ini bukan proyek untung, tapi proyek rugi, jelasnya. Baiquni juga mengatakan bahwa BNI akan melakukan spin off unit usaha syariah (UUS) dengan setor modal Rp1 triliun. Jika termasuk untuk bayar pajak, maka setoran modal tersebut hampir setengahnya untuk bayar pajak, tambahnya. Ketua Umum ASBISINDO Riawan Amin mengatakan bahwa permasalahan pajak ganda pada transaksi murabahah pada sistem perbankan syariah ini merupakan faktor penghambat utama saat ini. Memang amandemen pajak ganda memang disetujui dan berlaku per April 2010, namun untuk warisan pajak sebelumnya yang masih dikejar terus masih menjadi masalah, katanya. Amin berharap masalah warisan pajak ganda dihilangkan, sehingga tidak menjadi beban perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Ia juga mengungkapkan bahwa masalah pajak ganda ini menjadi fokus utama calon investor yang ingin masuk ke Indonesia. Di Indonesia yang mayoritas muslim justru menerapkan pajak ganda, sedangkan di negara lain yang muslimnya minoritas seperti Singapura, Inggris justru tidak ada pajak ganda, tegas Amin. Netralisasi PPN Transaksi Murabahah Diantara Madu dan Racun

Bagikan 31 Maret 2010 jam 11:29 Implementasi netralisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi murabahah diyakini memiliki dampak yang beragam, bagi perbankan syariah baru yang beroperasi dibulan April akan merasa lega, karena mereka dikenakan PPN atas transaksi murabahah tersebut. tapi sebaliknya bagi perbankan syariah yang beroperasi sebelum peraturan tersebut keluar tetap akan ditagih pajak oleh Direktorat Perpajakan. Fenomena ini menjadikan madu dan racun bagi perbankan syariah. Pengamat ekonomi syariah, Adiwarman A Karim dalam pandangannya mengatakan, bahwa perkembangan regulasi tersebut positif bagi perkembangan industri perbankan syariah. Sebab, netralisasi memungkinkan industri tak lagi mendapat ganjalan atas penerapan kewajiban yang tak lebih bersifat sebagai pajak ganda (double tax). Meski demikian, ungkap President KBC, penerapan netralisasi PPN atas transaksi murabahah tak serta merta langsung menghilangkan ganjalan yang dirasakan industri. Aturan UndangUndang PPN dan PPn BM yang mengatur masalah tersebut, hanya mencakup netralisasi pajak per 1 April 2010 dan seterusnya. Dengan demikian, artinya industri masih harus menyelesaikan kewajiban pajak sebelum UU tersebut diberlakukan. Terlebih sebelum netralisasi diberlakukan, mengutip data Direktorat Jenderal Pajak baru-baru ini, jumlah tunggakan PPN Syariah mencapai Rp400 miliar,ujar Adiwarman A Karim. Kemudian Adiwarman menjelaskan, ada indikasi positif dari penerapan kebijakan netralisasi PPN ini adalah banyaknya pendirian bank-bank umum syariah baik melalui akuisisi maupun spin off berbarengan dengan diberlakukannya netralisasi PPN atas transaksi murabahah di sektor perbankan syariah. Ini bukan suatu kebetulan, tapi merupakan peluang yang sengaja dimanfaatkan kalangan investor dalam menyasar pasar perbankan syariah. Kita ketahui, ada beberapa bank yang siap beroperasi berbarengan dengan penerapan kebijakan tersebut. Sebut misalnya PT Bank Victori Syariah yang siap beroperasi 1 April, PT BCA Syariah pada 7 April. Beberapa lagi segera beroperasi seperti PT BNI Syariah,paparnya. Diakui olehnya, ada hal yang sulit untuk menyalahkan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan terkait penerapan PPN murabahah ini. Sebab, mereka pun melakukannya berdasarkan dasar dan ketentuan perundang-undangan yang jelas. Aturan tersebut termuat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI), dimana dalam PBI ini, transaksi murabahah didefinisikan sebagai jual beli yang menjadi objek pajak. Aturan kedua termuat pada Pedoman Akuntansi Syariah (PAS), dimana transaksi murabahah jadi bagian dari objek pajak. Sebelum tahun 2003, atau sebelum adanya kedua ketentuan ini, hampir tidak ada perdebatan terkait kewajiban PPN atas transaksi murabahah. Baru setelah ada kedua aturan tersebut, yang diterbitkan sekitar Maret 2003, muncul perdebatan soal PPN atas transaksi murabahah.

Karena demikian aturannya, maka mereka tentu saja mau tidak mau tetap harus masuk, menagih kewajiban perpajakan PPN atas transaksi murabahah. Meski sebetulnya, Direktorat Jenderal Pajak juga memahami bahwa ini bukan merupakan objek pajak karena substansinya sama dengan transaksi pada perbankan konvensional,paparnya.Perkembangan Pemikiran Ekonomi Syariah oleh : Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, MA. MSI-UII.Net - 12/2/2005

Pendahuluan Dewasa ini kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan kolektif suatu negarabangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilanmenjadi sangat materialistk. Oleh karena itu, ilmu ekonomi menjadi amat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Namun demikian, pakar ilmu ekonomi sekaliber Masrhal menyatakan bahwa kehdiupan dunia ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama), hanya saja kekuatan ekonomi lebih kuat pengaruhnya daripada agama.[1] Demikian juta peradaban Islam yang gemilang di masa silam tidak mungkin terwujud tanpa dukungan kekuatan ekonomi dan ilmu ekonominya. Kini kit aperlu menggabungkan dua kekuatan kehidupan hidup manusia sebagaimana dinyatakan Marshall untuk disatukan dalam apa yang kita sebut membangun pemikiran dan disiplin ekonomi Islam dalam kerangka kerja pembangunan sosial budaya dan politik. Pentingnya membangun pemikiran ekonomi syariah didasarkan, selain argumentasi di atas, masih ada dua argumentasi utama:[2], Pertama, argumentasi teologis yang menyatakan bahwa Islam adalah agama samawi yang berdasarkan wahyu (Al-Quran) yang berfungsi untuk: membimbing kehidupan umat manusia, baik sosial, politik, maupun ekonomi. [Q.S.2 al-Baqarah: 2, 185][3]; criterion (al-furqan) pembeda antara yang hak dari yang batil [Q.S.25 al-Furqan:1][4]; menjelaskan aturan hukum yang terinci [Q.S. 11 Hud:1][5]; Islam adalah agama sempurna yang merupakan karunia Tuhan [Q.S.5 al-Maidah: 3+;*6+ Kedua, argumentasi filosofis empiris dan faktual. Pertama, ada kesenjangan dan kelangkaan literatur di bidang ilmu ekonomi yang dapat menjelaskan filsafat, kelembagaan, prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi Islam; kedua, kenyataan menunjukan diperlukanya perkembangan ekonomi bagi negara-negara Islam. Dewasa ini kebanyakan dunia Islam masih tergolong negara berkembang bahkan terbelakang dilihat dari ukuran dan kriteria kekayaan, lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan. Suatu kenyataan yang bertolak belakang dengan doktrin, nilai serta norma Islam itu sendiri. Membangun pemikiran ekonomi syariah hendaklah moderat. Tidak ke Barat dan tidak pula ke Timur. Perlu membuat sintesa dari dua kekuatan aliran ekonomi yang positifnya dengan semangat dan api akidah dan syariah Islam. Nabi Muhamad: Perumus Pertama Ekonom Syariah Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad saw adalah pemikir dan aktivis pertama ekonomi syariah[7], bahkan sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Pada zamanya telah dikenal pula

transaksi jual beli serta perikatan atau kontrak (al-buyu wa al-uqu`d). Di samping, samp*ai batsbatas tertentu, telah dikenal pula bagaimana mengelola harta kekayaan negara dan hak rakyat di dalamnya. Berbagai bentuk jual beli dan kontrak termaksud telah diatur sedemikian rupa dengan cara menyerap tradisi dagang dan perikatan serta berbagai bentuk kontrak yang telah ada sebelumnya yang mendapat penyesuaian dengan wahyu, baik Alquran maupun Sunnah. Bahkan lebih jauh lagi, Sunnah Rasul telah mengatur berbagai alat transaksi dan teori pertukaran dan percampuran yang melahirkan berbagai istilah teknis ekonomi syariah serta hukumnya, seperti albuyu, al-uqud, al-musyarakah, al-mudlarabah, al-musaqah, dll.[8] Sementara para aktivis awal di bidang ini adalah para Sahabat Rasul itu sendiri. Pemikiran ekonomi mendasar yang dikemudian hari disebut teori pertukaran atau percampuran (the theory of exchange) telah digariskan oleh Rasulullah. Landasan pertukaan barang dan jasa yang merupakan salah satu inti kegiatan ekonomi terdiri dari dua pilar: Pertama, obyek pertukaran yang dalam fiqh dibedakan jenisnya, yakni: ayn (real assets) berupa barang dan jasa; dan dayn (financial assets) berupa uang dan, sekarang dalam bentuk, surat berharga. Kedua, waktu pertukaran, yakni dalam bentuk naqdan (immediate delivery) yakni penyerahan pada saat itu juga atau ghayru naqdan (penyerahan kemudian). Ada tiga jenis pertukaran jika dilihat dari segi obyeknya, yakni: ayn bi ayn; ayn bidayn; dan, dayn bidyan seperti pada gambar di bawah ini[9]:

Gambar 1 Teori Petukaran/Percampuran Barang dan Jasa Pertukaran Obyek pertukaran Kasat/tidak kasat mata Waktu penyerahan obyek petukaran Ayn dengan ayn Lain jenis Sejenis: -sawaan bisawain (sama jumlahnya) -mistlan bimitslin (sama mutunya) - yadan biyadin (sama waktu penyerahanya)

Kasat mata, mutu beda Kasat mata mutu sama

ayn dengan dayn Barang (al-bay) Jasa (al-ijarah) Now for now Deferred payment (muajjal) Deferred delivery (salam) Ijarah Jualah dayn dengan dayn Uang Surat berharga Represent ayn Represent ayn Note: tabel lihat langsung di www.msi-uii.net

Pengagas dan Aktivis Ekonomi Ssyariah

Suatu survey pemikiran ekonomi syariah[10] berhasil menyusun penggagas, pemikir dan aktivis ekonomi Islam secara kronologis, walaupun belum begitu memadai. Berikut di bawah ini disajikan beberapa penggagas dasar ilmu ekonomi syariah yang melambangkan perkembangan pemikiran ekonomi syariah sekaligus. Zaid bin Ali (80-120H./699-738M) Zaid adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[11] Abu Hanifah (80-150H/699-767M) Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionlistis dan dikenal puga sebagai penjahit pakaian atau taylor dan pedagang dari Kufah, Iraq. Ia menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay al-sala`m dan almura`bahah.[12]

Al-Awzai (88-157H./707-774M.) Nama lengkapnya Abdurahman al-Awzai yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzaraah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[13] Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.) Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.[14] Abu Yusuf (112-182H./731-798H.) Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (al-Qadli=hakim) Abu Yusuf Yaqub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.[15] Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-usyur, alshadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[16] Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari diambil oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tasir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tasir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tasir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.[17] Abu Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M) Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu Ubayd, al-Amwal, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ala` al-raiyyah, wa haqq al-raiyyah ala al-ima`m (hak

pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Alquran dan hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-d`in al-nshi`hat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah penggembala yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan hukum.[18] Abu Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis penulisanya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam Malik, al-Muwatha, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk hukum Islam. Abu Hamid al-Ghazali (1059-1111) Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar Tusi (1201-1274) Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai bentuk kontrak sosial. Ibnu Taymiyyah (1262-1328) Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasa`t al-Syariyyah fi` Ishla`h al-Ra`iy wa al-Raiyyah

menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada` al-ama`na`t ila` hliha`. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siya`sa`t l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dustu`riyyah maupun al-siya`sa`t al-ma`liyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi` al-Isla`m, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.[19] Ibn Khaldun (1332-1406) Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[20] tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada ketentuan akal dan etika telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb. Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan dengn penulis klasik sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes. al-Mawardi (w.450H.) Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,*21+ adalah pakar dari kubu Syafiiyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi. Pergeseran Pemikiran ke Pergerakan Ekonomi Syariah Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan

menjadi gerakan perekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924[22] dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negaranegara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[23] Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam.[24] Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai petunjuk AlQuran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang menimbulkan pemikiran untuk memutarkan uang mereka melalui lembaga keuangan syariah. Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah terumuskanya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[25] Gerakan Ekonomi melalui Pendirian Bank Syariah Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembag-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni: 1. menerima simpanan uang; 2. meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzaraah dan musaqah; 3. memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah tehnis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang daam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.

Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[26] yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer. Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908932)[27]. Sementara itu, saq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[28] Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975.[29] Kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya. Pemikiran dan Aktivitas Ekonomi Syariah di Indonesia Jika kita lacak akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalambentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.

Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren.[30] Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif sukses.[31] Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina[32], Denmark[33], Luxemburgdan AS[34], akhirnya Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Muamalat (1992). Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa factor: 1. adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2. tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3. dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah. Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka mematok bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di banak syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah[35]. Terleps dari kekurangan dankelebihan perbankan syariah, yang pasti dan factual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter. Penutup Uraian-uraian yang telah disampaikan mengarah pada kesimpulan pokok, yaitu bahwa Seminar ini bertugas dan harus berfungsi untuk: mempertegas dan memperjelas kerangka akademik sistim ekonomi syariah dengan segala ikutanya dan memberikan konstribusi bagi perkembangan institusi ekonomi syariah di Indonesia khusunya dan dunia pada umumnya. Maka menjadi kewajiban institusional perguruan tinggi Islam untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang siap mengerakan roda perekonomian Islamik serta ikutanya yang meliputi berkembangnya institusi perbankan, perasuransian, sistm akuntansi dsb. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, diskusi-diskusi diharapkan dapat menyelesaikan masalah akademik-teoritik dan praktis perekonomian Islam. Masalah-masalah akademik yang meliputi: 1. Struktur dan disiplin ilmu ekonomi syariah di antara ilmu-ilmu agama Islam.

2. Posisi dan struktur hukum institusi-institusi syariah di Indonesia sehingga terjamin kepastian hukumnya 3. Pemetaan kurikulum, jenjang pendidikan serta kepakaran dan keterampilan yang diperlukan dan disiapkan bagi terlaksananya sistim ekonomi syariah di Indonesia. 4. Perluasan wilayah kajian sistim ekonomi syariah yang meliputi ilmu akuntansi syariah, asuransi, sistim jaminan keamanan sosial, dsb.

Masalah-masalah praktek perekonomian syariah meliputi: 1. Bagaimana cara dan materi (kurikulum) sosialisasi doktrin, nilai, norma, hukum dan kebiasaankebiasaan dalam dunia ekonomi dan perbakan Islam kepada masyarakat luas. 2. Bagaimana membuat peta dan kerangka penggalian sumber-sumber daya dan sumber dana penunjang sistim ekonomi Islam Indonesia, baik dari zakat, infak, sadaqah, wakaf, hibah dsb. 3. Bagaimana membuat proyek-proyek percontohan atau miniatur (labolatorium) lembaga-lembaga ekonomi, keuangan syariah di pedesaan yang kecil tetapi kuat.

Daftar Bacaan Abdullah Alwi Haji HHHHHasan, Sales and Contracts in Early Islamic Commercial Law, Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad, 1986. Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, The International Institute for Islamic Though, Indonesia, Jakarta, 2003. ________ , Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003. Abu Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwal, Muassassat alNashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m alSultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut [nd]. Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003. Ibn Khaldun, The Muqaddimah, [nd] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd]

________ , al-Siyasat al-Syariyyah fi` Isla`h al-Ra`iy wa al-Raiyyah Irfan al-Haq, Economic Doctrine of Islam, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Herndon, Virginia, 1996. Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullah dkk., e.,) PLP2M, Yogyakarta, 1985. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakata dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999. Mahmud Abu Suud, Khuthut raisiyyah fi` al-Iqtisha`d al-Isla`miyy, Maktabat al-mana`r alisla`miyyah, Kuwait,1968. Muhammad Abu Zahrah, al-Imam Zaid, Cairo, Dar al-Fikr al-Araby, *nd+. ________ , Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-Araby *nd+. ________ , Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-Araby, 1952 Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1993. Shobhi Mahmashani, al-Awzai: Talimuhu al-Insaniyyah wa al-a`nuniyyah, Beirut, Dar al- Ilmli alMalain, 1978. al-Qadli AbuYusuf Yaqub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.]. Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999. Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya, 1997. Sami Hassan Hamoud, Progress of Islamic Bankin: the Aspirations and the Realities, Islamic Economic Studies, vol 2 No.1. December 1994.

--------------------------------------------------------------------------------

*1+ Marshal sebagaimana dikutip oleh Mahmud Abu Suud, Khuthut raisiyyah fi` al-Iqtisha`d alIsla`miyy, Maktabat al-mana`r al-isla`miyyah, Kuwait,1968, h. 56 Kitab ini mengutip definisi ilmu ekonomi menurut Marshal, yaitu: ilmu yang mengajarkan manusia tentang kehidupanya sehari-hari; membahas aktivitas individu dan kolektif untuk memenuhi kebutuhan materialnya dan cara-cara memanfaatkanya untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. [2] Irfan al-Haq, Economic Doctrine of Islam, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Herndon, Virginia, 1996 h.5-6 dengan modifikasi dari penulis [3] dzalik al-Kitab la rayba fih hudan li al-muttaqi`n. Terjemahnya: AlQuran adalah tidak diragukan lagi adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa (Q.S.2 al-Baqarah, 2), syahr Ramadha`n a-lladzi unzil fih al-Quran hudan li al-nas wa bayyinat min al-huda` wa al-furqan. Terjemahnya: AlQuran diturunkan pada bulan Ramadhan. Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia dan berbagai penjelasan dari petunjuk tersebut serta menjadi pembeda (S.S.2 al-Baqarah, 185) [4] Taba`rak al-ladzi` nazzal al-furqan ala` abdihi` liyaku`n ala` al-alami`n nadzi`ra. Terjemahnya: Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqa`n, yakni AlQuran kepada hamba-Nya (Muhammad) agar ia memberikan peringatan kepada seluruh alam. [5] Alif la`m ra`, kita`bun uhkimat a`ya`tuhu` tsumma fusshilat min ladun haki`min khabi`rin. Terjemahnya: Alif La`m Ra`, Inilah Kitab yang ayat-ayatnya tersusun dengan rapih yang kemudian diberikan penjelasan rinci dari Tuhan Yang Maha Bijaksana. *6+ al-yawm akmaltu lakum di`nakum wa atmamtu alaykum nimati` wa radli`tu lakum al-Isla`m di`na` Terjemahnya: Pada hari ini (Haji Wada) Aku sempurnakan bagi kamu agamamu, dan Aku meridoi Islam menjadi agamamu [7] Perlu dicatat bahwa yang dimaksud term syariah dalam ilmu ekonomi syariah itu berbeda dengan syariah dalam pengertian umum, yaknni sumber ajaran Islam. Tentu saja, syariah dalam term ini adalah interpretasi atas doktrin, nilai, norma dan hukum syariah atau hukum Islam. Oleh karena itu, istilah yang tepat adalah Islamic economic, yakni ekonomi yang bersifat dan sesuai, dan tidak bertentangn dengan doktrin, nilai, norma dan hukum Islam. *8+ Abdullah Alwi Haji HHHHHasan, Sales and contracts in Early Islamic Commercial Law, Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad, 1986; Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, The International Institute for Islamic Though, Indonesia, Jakarta, 2003. [9] Dikutip dari Adiwarman Karim Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, h. 59 dimodifikasi oleh penulis [10] Survey dilakukan berdasarkan pemikiran ekonomi yang tersebar dalam kitab-kitab tafsir dan hadis serta sejumlah literatur berbahasa Arab, Inggris, dan Urdu.. Mohammad Nejatullah Shiddiq adalah professor yang mengkhususkan diri dalam bidang studi sejarah ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan oleh Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, IIIT Indonesia, cetakan ke-2,

2002 [11] Ibid., hal. 5-7, Cf. Muhammad Abu Zahrah, al-Imam Zaid, Cairo, Dar al-Fikr al-Araby, *nd+., hal. 539 [12] Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-Araby *nd+., hal. 404-410, 432-442, 539 [13] Shobhi Mahmashani, al-Awzai: Talimuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- Ilmli al-Malain, 1978, hal. 426, 314-318, 447 [14] Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-Araby, 1952, hal. 73-74, 335-383, 432. [15] Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h.. 24 [16] al-Qadli AbuYusuf Yaqub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.] [17] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakata dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999 *18+ Abu Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwal, Muassassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981 [19] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [20] Cf. The Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York [21] Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m alSultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut [nd] [22] Pasca Perang Dunia II berakahir banyak pemuda mahasiswa Muslim belajar ekonomi di Barat sehingga mereka mendapat wawasan ekonomi yang luas. Menyadari hal itu mereka berupaya menghidupkan kembali prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi Islami untuk kemudian merekaberusaha untuk mengaplikasikanya di tanah air mereka. [23] Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk., e.,) PLP2M, Yogyakarta, 1985, h. 100-111 [24] Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003

[25] Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 199, hal. 4-5 dengan mengutip berbagai sumber. [26] Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa Muawiyah (661-680M). Istilah ini dipinjam dari bahasa Persia kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah jihbiz digunakan untuk orang yang melaksanakan fungsi dan tugas mengumpulkan pajak tanah. [27] Pada masa ini setiap wazir (menteri) mempunyai bankirnya masing-masing. Misalnya: Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai bankirnya. [28] Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya, 1997, h. 2. Sami Hassan Hamoud, Progress of Islamic Bankin: the Aspirations and the Realities, Islamic Economic Studies, vol 2 No.1. December 1994, h. 71-80 [29] Bank ini menyediakan bantuan finansial bagi negera-negara anggotanya; membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negara masing-masing; memainkan pernan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam. [30] Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin menjamur setelahdigulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998 [31] Ketika terjadi krisis moneter di tnah air, sejumlah Bank Perkreditan Rakyat milik PEMDA Jabar banyak yang mati (70-80%). Akan tetapi, BPRS yang beroperasi di Jawa Barat, walaupun ada yang mati, tingkat kematianya jauh lebih rendah dari BPR konvensional, yakni kurang dari 50%. Iniberarti BPRS lebih dapat bertahan dan berkompetisi dari dan dengan BPR konvensional [32] Bank amanah berdiri di Pilipina 1987 di negeri sekuler yang penduduk Muslimnya minoritas. [33] Bank Islam pertama yang berdiri di Eropa, yakni Denmark (1983) dan di negeri sekuler adalah The Islamic Bank International of Denmark. Kini bak-bank besar dari Negara-negara Barat seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manahathan Bank dan Jardine Fleming telah membuka Islamic Windo dalam rangka melayani perbankan sesuai dengan syariat Islam. [34] Muslim Saving and Investment berdiri tahun 1987 di Los Angelos , California [35] Data diperoleh dari nasabah dan investigasi penulis terhadap Bank Syariah Lembur Kuring (nama samaran)

http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/perkembangan-pemikiran-ekonomi-syariah.html

Pertumbuhan Perbankan Syariah Belum Selesaikan Masalah EkonomiArtikel ini dipublish pada 25 September 2011 at 19:39 oleh Choir

Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), A Riawan Amin, mengatakan pertumbuhan perbankan syariah nasional belum menyelesaikan permasalahan perekonomian nasional. Pertumbuhan aset sebesar 40 persen atau 50 persen. Kalau pertumbuhan itu hanya 3 persen dari pangsa pasar perbankan nasional, kapan mau jadi solusi ekonomi? kata Riawan kepada Antara. Riawan mengatakan perbankan syariah sebagai bagian dari ekonomi syariah harus menjadi obat bagi sistem keuangan konvensional yang sekarang diimplementasikan di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam sistem ekonomi (keuangan) yang ada sekarang, uang itu tidak mencerminkan sektor riil. Tapi, pergerakan sektor riil itu ditentukan oleh uang yang beredar, kata Riawan. Menurut Riawan, pangkal dari krisis ekonomi global adalah bukan emas atau perak yang dijadikan standar dalam sistem keuangan, tapi dolar AS. Jadi, tantangannya bukan membesarkan bank syariah. Tantangannya menghilangkan transaksi riba yang ada dalam sistem perbankan konvensional, kata Riawan. Saya melihat ini (keuangan syariah) bagian dari skenario besar untuk menyelamatkan sistem keuangan negara. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, aset total perbankan syariah pada Agustus 2011 mencapai Rp 120 triliun. Aset bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) mencapai Rp 116 triliun. Sedangkan, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) mencapai Rp 3,7 triliun. Aset total pada Desember 2010 mencapai Rp100,26 triliun dengan rincian BUS dan UUS sebesar Rp 97,52 triliun dan BPRS sebesar Rp 2,74 triliun. Sementara, pada triwulan ketiga

2010 jumlah kantor bank umum syariah dan unit usaha syariah menjadi 1388 dibanding pada periode yang sama 2009 dengan 924 kantor. Sumber : Republikahttp://zonaekis.com/pertumbuhan-perbankan-syariah-belum-selesaikan-masalah-ekonomi/

Kondisi Perbankan Syariah Indonesia Masih MemprihatinkanArtikel ini dipublish pada 17 September 2011 at 19:33 oleh Choir

Dunia perbankan syariah Indonesia tergolong memprihatinkan. Pasalnya, hampir selama 20 tahun beroperasi, menunjukkan kinerja yang memprihatinkan. Masalah itu masih ditambah lagi dengan kondisi pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih relatif kecil dibanding di Timur Tengah dan Malaysia. Pangsa pasar perbankan syariah Indonesia masih tergolong kecil yaitu 3,20 persen dibanding dengan Timur Tengah sekitar 20% dan Malaysia sekitar 10 persen, kata Sugeng Hariadi SE MSi saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Dia juga mengungkapkan tingkat religiusitas nasabah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas nasabah bank dalam membuat putusan untuk mengubah perilaku dalam menempatkan dan di bank. Nasabah religius cenderung akan bersikap loyal sehingga tingkat bunga menjadi tidak penting. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa informasi keharaman bunga telah menurunkan secara signifikan keinginan nasabah atas besaran suku bunga menjadi sebesar norma rate of return. Menurutnya, tingkat religiusitas nasabah berpengaruh signifikan terhadap keinginan memperoleh penghasilan dari bunga bank setelah memperoleh keharaman bunga.

Semakin religius nasabah bank, maka informasi keharaman bunga akan mengubah pandangan terhadap bunga menjadi haram sehingga meminta bunga rendah, bahkan nol persen, papar dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Surabaya itu. SUmber : Suara Merdeka