thomas s. kuhn-- paradigma_ revolusi ilmu pengetahuan_ dan pendidikan agama islam

37
A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015). Petunjuk pemakaian: 1. Soft file ini bukan sebagai bahan referensi (sumber rujukan). Baik sebagai sumber rujukan pada diskusi (lisan) maupun dalam membuat karya tulis (makalah). Kecuali, sebagai bahan referensi (sumber rujukan) untuk karya tulis mahasiswa khusus pada mata kuliah Filsafat Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah Filsafat Pendidikan PAI smstr III kelas A, B, C, dan D di STAIN Kediri. 2. Soft file ini sebagai bahan salah satu bacaan dasar mahasiswa supaya dapat memahami arah perkuliahan Filsafat Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta Filsafat Pendidikan PAI smster III kelas A, B, C, dan D di STAIN Kediri tahun 2015. 3. Soft file ini tidak boleh disebarkan kepada siapapun, kecuali kepada teman sekelas pada mata kuliah Filsafat Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah Filsafat Pendidikan kelas A, B, C, dan D di STAIN Kediri tahun 2015. Ilmu Filsafat merupakan studi “praktik” berpikir radikal. Manfaat berpikir radikal salah satunya ialah untuk menemukan hakikat sesuatu hal secara utuh. Dengan memahami sesuatu secara utuh, diharapkan hasil dari pemikiran itu akan membawa maslahat bagi seluruh manusia. Oleh sebab itu, bagi siapapun yang ingin berfilsafat seharusnya banyak membaca dari berbagi macam sumber rujukan sebagai bahan acuan dalam berpikir. Bukan hanya dari satu jenis sumber yang akan mengungkung pemikiran manusia, bahkan bisa jadi menyebabkan manusia menjadi fanatik buta terhadap sesuatu itu. Semoga bermanfaat...

Upload: rifqi-amin

Post on 04-Jan-2016

103 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Filsafat, Pendidikan Islam, dan Thomas S. Kuhn

TRANSCRIPT

Page 1: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Petunjuk pemakaian:

1. Soft file ini bukan sebagai bahan referensi (sumber

rujukan). Baik sebagai sumber rujukan pada diskusi

(lisan) maupun dalam membuat karya tulis (makalah).

Kecuali, sebagai bahan referensi (sumber rujukan) untuk

karya tulis mahasiswa khusus pada mata kuliah Filsafat

Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah

Filsafat Pendidikan PAI smstr III kelas A, B, C, dan D di

STAIN Kediri.

2. Soft file ini sebagai bahan salah satu bacaan dasar

mahasiswa supaya dapat memahami arah perkuliahan

Filsafat Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta

Filsafat Pendidikan PAI smster III kelas A, B, C, dan D

di STAIN Kediri tahun 2015.

3. Soft file ini tidak boleh disebarkan kepada siapapun,

kecuali kepada teman sekelas pada mata kuliah Filsafat

Ilmu PAI smstr III kelas F, G, dan H serta mata kuliah

Filsafat Pendidikan kelas A, B, C, dan D di STAIN

Kediri tahun 2015.

Ilmu Filsafat merupakan studi “praktik” berpikir radikal. Manfaat

berpikir radikal salah satunya ialah untuk menemukan hakikat sesuatu

hal secara utuh. Dengan memahami sesuatu secara utuh, diharapkan

hasil dari pemikiran itu akan membawa maslahat bagi seluruh manusia.

Oleh sebab itu, bagi siapapun yang ingin berfilsafat seharusnya banyak

membaca dari berbagi macam sumber rujukan sebagai bahan acuan

dalam berpikir. Bukan hanya dari satu jenis sumber yang akan

mengungkung pemikiran manusia, bahkan bisa jadi menyebabkan

manusia menjadi fanatik buta terhadap sesuatu itu.

Semoga bermanfaat...

Page 2: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Prawacana

Thomas Kuhn merupakan salah satu tokoh filosof modern yang ide-idenya (teori) sampai sekarang

ini masih diakui oleh dunia. Ia merupakan salah satu tokoh yang mampu “mengkritisi” paradigma

posistivisme yang dominasinya berpengaruh luar biasa di barat. Dari gagasannya, dapat ditarik sebuah

pendapat bahwa ilmu itu tidak ada yang fixed (pasti) di dunia ini termasuk “ilmu” agama. Ilmu

menurut gagasannya tidak hanya “berkembang” ke depan tapi bisa juga ke samping. Ilmu tidak

didasarkan pada kaidah benar-salah, akan tetapi mengacu pada paradigma “apa” yang digunakan.

Dengan paradima itu, seorang atau para ilmuwan akan menjadikannya sebagai dasar (pedoman)

dalam melihat sekaligus memahami realitas (fenomena). Selain itu, dengan paradigma maka ilmuwan

akan bisa menentukan metode apa yang akan mereka gunakan dalam “mendekati” masalah.

Dalam wacana ini, apa yang dimaksud dengan kebenaran ialah sesuatu yang masih dijadikan

pedoman oleh ilmuwan untuk memandu mereka dalam pengembangan ilmu. Suatu “kebenaran”

akan senantiasa dipegang teguh selama paradigma baru yang lebih unggul belum ditemukan. Di

mana, manfaat hadirnya paradigma baru yang lebih unggul ialah untuk menggantikan paradigma lama

yang sudah tidak layak lagi digunakan dalam memandu ilmuwan. Dengan adanya pergeseran

paradigma (dari paradigma lama menuju paradigma baru) inilah suatu ilmu akan senantiasa

berkembang.

Tulisan yang anda baca ini menyuguhkan tentang beberapa gagasan Kuhn dari berbagai sudut

pandang. Meski masih ada beberapa kelemahan, diharapkan tulisan ini tetap membawa manfaat bagi

mahasiswa. Terutama, sebagai dasar dekonkonstruksi pemikiran bahwa ilmu yang menjadi “ciptaan”

manusia itu sesungguhnya memiliki keterbatasan. Bilapun memiliki keunggulan, sesungguhnya yang

mengunggulkan adalah manusia itu sendiri melalui komunitas (masyarakat) ilmiah yang mereka

bentuk. Sebaliknya, bilapun memiliki kelemahan, sesungguhnya yang melemahkan ialah manusia itu

sendiri melalui komunitas (masyasrakat) ilmiah yang mereka bentuk sehingga kemudian kadangkala

mereka juga akan menawarkan “ilmu” baru yang bisa jadi lebih unggul.[]

Page 3: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

(catatan: nomor halaman daftar isi di bawah ini tidak menunjukkan nomor halaman yang

sebenarnya. Dalam artian, antara nomor halaman dalam bentuk soft file ini berbeda dengan

nomor halaman dalam bentuk cetakan buku/print out)

Daftar Isi

Persembahan ..........................................................................................................................................

Kata Pengantar Penerbit .......................................................................................................................

Kata Pengantar Ahli ..............................................................................................................................

Kata Pengantar Penulis .........................................................................................................................

Daftar Isi ................................................................................................................................................. i

Daftar Gambar dan Tabel .................................................................................................................... v

Bab I Pendahuluan ...................................................................................................................... 1

A. Pengertian Pengembangan Pendidikan Agama Islam .................................................. 2

B. Urgensi Pengembangan Pendidikan Agama Islam ....................................................... 4

C. Kerangka Acuan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ....................................... 5

D. Ruang Lingkup Pengembangan Pendidikan Agama Islam ......................................... 9

E. Hal-hal yang Terkait dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ................... 11

F. Sistematika Isi Buku .......................................................................................................... 14 Daftar Rujukan ........................................................................................................................... 17

Bab II Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pe-ngetahuan .......................................................................................................................... 18

A. Konsep Dasar .................................................................................................................... 20

1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn ................................................... 20

2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan ....................................... 26

B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn ..................................................................... 28

1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs. Puzzle-solving Milik Thomas S. Kuhn ........... 28

2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn ............................................. 29

3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn .... 30

C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ................................................................................................................................... 31 1. Patokan Parelelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendi-

dikan Agama Islam .................................................................................................... 33 2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam ................................. 34

3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam . 35

4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 36

5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ....... 38

D. Penutup ............................................................................................................................... 39 Daftar Rujukan ........................................................................................................................... 40

Page 4: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Bab III Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Bera- gam (Multiple Intelligences) ............................................................................... 43

A. Konsep Dasar .............................................................................................................. 46 1. Pengertian Kecerdasan Beragam ......................................................................... 46 2. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ......................................... 47 3. Perubahan Paradigma Kecerdasan ........................................................................ 48 4. Otak sebagai Kunci Utama Kecerdasan ............................................................... 50 5. Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Beragam ... 51

B. Paradigma Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam .......................................................................................................................... 52

C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ide- al ..................................................................................................................................... 56

D. Penutup ......................................................................................................................... 64 Daftar Rujukan .................................................................................................................... 66

Bab IV Masalah Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan .............................. 68

A. Konsep Dasar ............................................................................................................... 70 1. Pengertian Terorisme ............................................................................................. 70 2. Pengertian Human Security ....................................................................................... 72 3. Pengertian Pendidikan Agama Islam .................................................................... 73 4. Tujuan Pendidikan Agama Islam .......................................................................... 74 5. Melacak Akar Terorisme ....................................................................................... 75 6. Teror Atas Nama Agama ...................................................................................... 77

B. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ..................... 79 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ........................ 79 2. Agama dan Kekerasan ............................................................................................ 80 3. Urgensi Pendidikan Agama Islam dalam Membangun Budaya Nirkekera-

san .............................................................................................................................. 82 4. Upaya Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan .... 84

C. Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui Pendidikan Agama Islam ................................................................................................................... 87

D. Penutup ............................................................................................................................. 91 Daftar Rujukan ............................................................................................................... 93

BAB V Pendidikan Islam di Indonesia: Pesantren, Madrasah, dan Seko- lah ..................................................................................................................... 97

A. Konsep Dasar ................................................................................................................ 100 1. Bentuk Pendidikan Islam di Indonesia ................................................................. 100 2. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia ..................................................... 104 3. Karakteristik Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Seko-

lah .............................................................................................................................. 105 4. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ......... 111 5. Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Seko-

lah................................................................................................................................. 112 B. Kecenderungan Masyarakat dalam Memilih Bentuk Pendidikan Islam .................. 116 C. Konsep Bentuk Pendidikam Islam yang Ideal ........................................................... 117

1. Konsep Pendidikan Agama Islam di Pesantren ................................................... 117 2. Konsep Pendidikan Agama Islam di Madrasah .................................................. 118 3. Konsep Pendidikan Agama Islam di Sekolah ...................................................... 119

D. Penutup .............................................................................................................................. 121 Daftar Rujukan ........................................................................................................................ 123

BAB VI Pemikiran Tentang Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam .................................................................................. 126 A. Konsep Dasar ............................................................................................................... 128

1. Hal-hal Terkait dengan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia ........... 128

Page 5: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

2. Landasan Fondasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Ting- gi Agama Islam ...................................................................................................... 129

3. Landasan Operasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Ting- gi Agama Islam ...................................................................................................... 133

B. Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam .............................................................................................................................. 136 1. Pengembangan Program Studi Tipe 1 ............................................................... 137 2. Pengembangan Program Studi Tipe 2 ............................................................... 137 3. Pengembangan Program Studi Tipe 3 ............................................................... 138

C. Menuju Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam yang Integratif dan Mandiri dalam Keilmuan ............................................................................................ 138

D. Penutup ........................................................................................................................ 140 Daftar Rujukan ................................................................................................................... 141

BAB VII Penutup ......................................................................................................... 143 Indeks .............................................................................................................................. 144 Tentang Penulis ....................................................................................................................................... 147

Page 6: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Daftar Tabel dan Daftar Gambar

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan ....... 6

Gambar 1.2 Langkah-langkah Research and Development Menurut Sugiyono ......................................... 23

Gambar 1.3 Piramida Sistematika Pengembangan PAI Melalui Empat Perspektif .......................... 31

Gambar 2.1 “Bukit Paradigma”: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan ........... 54

Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn ............................... 61

Gambar 3.1 Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan ........................................................................... 100

Gambar 3.2 Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam ....................................... 113

Gambar 3.3 Dua Jenis “Makna” Kesuksesan ......................................................................................... 122

Gambar 4.1 Mekanisme Psikologi Teroris dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri ........................ 174

Gambar 4.2 Upaya Pemutusan Mata Rantai Ideologi Teroris Melalui Pendidikan ........................... 176

Gambar 5.1 Konsumen Fanatik Bentuk Pendidikan Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ............... 227

Gambar 5.2 Mekanisme Lama Bentuk Pendidikan Indonesia ............................................................. 235

Gambar 5.3 Mekanisme Baru (Sebagai Adaptasi) Sistem Pendidikan Indonesia .............................. 236

Gambar 6.1 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Diambil atau Berasal dari PTU .................................. 263

Gambar 6.2 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Mengajar Mata Kuliah Keagamaan ............................ 263

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat ............................ 106

Tabel 3.2 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Pembelajaran PAI ...................................... 117

Tabel 3.3 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Lingkup Satu Tema (materi) .................... 119

Tabel 3.4 Kecerdasan pada Manusia Purba dan Spesises Selain Manusia .......................................... 123

Tabel 3.5 Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel .............................................. 125

Tabel 5.1 Kasus Tertentu: Terjadi Kelunturan Identitas/Karakteristik ............................................. 208

Tabel 5.2 Nilai-nilai Karakter pada Sekolah Berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati Jawa Te-

ngah) ............................................................................................................................................ 235

Tabel 6.1 Pengembangan Prodi Berdasarkan Nilai Kesejarahan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam .................................................................................................................... 262

Page 7: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Page 8: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

BAB II GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG REVOLUSI

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh: A. Rifqi Amin

Kajian filsafat ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam1 merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau analisa dalam menemukan hakikat dan nilai ―kebenaran‖ menurut paradigma2 manusia. Diharapkan, kebenaran yang menjelma menjadi ilmu pengetahuan dan produknya bisa bermanfaat bagi sendi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebagai awal penguraian (starting point) isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan Thomas Samuel Kuhn3 dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran kontemporer Kuhn sangat bermanfaat dalam memahami filsafat ilmu dengan cara yang baru.4 Kendati dapat dipahami bahwa pemikiran Kuhn bukanlah pemikiran bebas dari kritik. Dengan demikian, mendalami mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar untuk mengkaji dan mengembangkan sejumlah teori pada Bab-bab berikutnya.

Lebih lanjut, tulisan ini difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait gagasannya yang cemerlang. Hasil kemampuan berfikirnya –salah satunya terinspirasi dari pendalamannya terhadap kajian ―sejarah ilmu pengetahuan‖5— menjadi landasan

1Yang dimaksud Pendidikan Agama Islam di sini meliputi pendidikan makro sekaligus pendidikan mikro.

Di mana pendidikan makro salah satunya menelaah bidang pendidikan tertentu dalam wilayah luas. Misalnya, lingkup kajiannya pada jenjang pendidikan dasar seperti menelaah SD dan SMP. Tentu ini akan sedikit banyak berbeda bila mengkaji MI (Madrasah Ibtidaiah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Oleh karena itu, ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangannya pu juga akan berbeda. Yakni, membutuhkan ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, manajemen, filsafat, dan beberapa lainnya. Sedangkan pendidikan mikro salah satunya mengkaji pendidikan dalam wilayah sempit. Misalnya, hanya menelaah individunya saja yaitu salah satunya terkait dengan bakat-minat serta perubahan sikapnya, sehingga ilmu yang diperlukan untuk pengembangannya lebih sedikit seperti psikologi saja. 2Mengenai paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni menuliskan bahwa ―Ilmu sosial

menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbepa pula. Contoh ekstrem diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah. Hasilnya adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang berbeda pula.‖ Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal 19 Februari 2015. 3Thomas Samuel Kuhn penulis buku ―The Structure of Scientific Revolutions,‖ terbit pertama kali tahun

1962. Untuk bukunya edisi kedua tahun 1970 terdapat beberapa penambahan. Buku tersebut telah diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa dan terjual lebih dari satu juta copy (salinan). Lihat, N. M. Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir (tanpa kota: National Academy of Sciences: 2013), hlm 15. 4Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan

mendobrak citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, objektif. Disamping itu, teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat besar dan luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Lihat, Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 210-211. 5Sejarah ilmu pengetahuan adalah ―studi tentang sejarah perkembangan sains dan pengetahuan ilmiah,

termasuk ilmu alam dan ilmu sosial... Dari abad ke-18 sampai akhir abad ke-20, sejarah sains, khususnya ilmu fisika dan biologi, sering disajikan dalam narasi progresif yang mana teori yang benar menggantikan keyakinan yang salah. Interpretasi sejarah yang lebih baru, seperti dari Thomas Kuhn, menggambarkan sejarah sains dalam istilah yang lebih bernuansa, seperti paradigma-paradigma yang saling bersaing atau sistem konseptual dalam matriks yang lebih luas yang mencakup tema intelektual, budaya, ekonomi dan politik luar sains.‖ Pendapat Thomas Kuhn lainnya adalah ―pengetahuan ilmiah bergerak melalui ‗pergeseran paradigma‘ dan belum tentu progresif.‖ Oleh karena itu, ―sejak publikasi Kuhn The Structure of Scientific Revolutions pada tahun 1962, sejarawan, sosiolog, dan filsuf sains telah mendebat makna

Page 9: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

sekaligus peletup keberanian ilmuwan agamais dalam mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Lebih gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu pengetahuan menjadi jawaban atas keraguan dari beberapa kalangan tentang keabsahan integrasi antara dua ilmu. Selain juga, teori Kuhn bisa menjadi kritik atas dominasi luar biasa ilmu pengetahuan, utamanya yang lahir dari rahim positivisme. Misalnya, karena kegagalan ilmu pengetahuan sekuler dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang begitu kompleks dan rumit, menyebabkan timbulnya perubahan ―gagasan.‖ Kemudian, muncullah gagasan baru sebagai pemecah masalah tersebut, yakni salah satunya pengintegrasian antara agama dengan ilmu.

Bisa dikatakan gagasan Kuhn tentang ilmu pengetahuan telah mendobrak persepsi manusia di abad modern ini yang terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Bahkan mengagungkan rasionalitas manusia-manusia, sehingga dianggap sebagai mahkluk tak terbatas. Dengan demikian, sangat wajar bila setelah periode Kuhn banyak ilmuwan –tak terkecuali ilmuwan agamais— terpengaruh oleh gagasannya. Utamanya para ilmuwan dan pemikir yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan umum. Yakni, dalam mengatasi adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya ditimbulkan oleh produk-produk ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn telah menginspirasi masyarakat atau komunitas ilmuwan, terutama terkait konsep cerdasnya tentang ―revolusi ilmu pengetahuan‖ atau ―pergeseran paradigma (paradigm shift)‖

Selama ini ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus independen, dan empiris. Namun, menurut Kuhn ilmu pengetahuan tidak akan bisa bebas dari yang namanya ―paradigma.‖ Kendati disadari atau tidak, paradigma yang dipegang individu selalu dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Misalnya, organisasi (kelompok) yang ia ikuti, ideologi yang ia anut, alur logika yang digunakan, otoritas (tokoh) yang ia percayai, hingga fanatismenya terhadap sesuatu. Dengan demikian, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan satu teori saja, terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Sebagaimana menurut Tamtowi, bahwa pergeseran paradigma (shifting paradigm) ―merupakan perubahan yang bersifat mistik dan tidak bisa dijangkau oleh rasio, maka ia berada dalam bidang psychology of discovery dan dibangun di atas logic of discovery.‖6 Dengan kata lain, pergeseran paradigma tidak dapat dipaksan dengan menggunakan logika (rasional),7 karena setiap paradigma bersifat incommensurable (tidak dapat dibandingkan). Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan bisa terjadi karena faktor psikologis, agamais, filosofis, sosiologis, historis, dan sebagainya yang berada dalam ―wadah‖ paradigma sehingga ikut berperan mendorong perubahan.

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan terbangun tidak hanya karena manusia telah memiliki kesadaran (pencerahan) berpikir dan berlogika. Pengembangan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada motif tertentu. Salah satunya karena ingin memperbaiki paradigma lama yang bila tetap digunakan akan membahayakan bagi keadaan terbaru. Hal ini bukan berarti paradigma lama itu adalah sesuatu yang salah, karena bisa disingkirkan oleh paradigma baru. Melainkan, paradigma lama adalah sesuatu yang dianggap ―benar‖ (bermanfaat) di tempat dan masa kejayaanya terdahulu. Dapat disimpulkan, peluang adanya gugatan (kegelisahan) atas keganjilan (anomali) yang terjadi pada setiap paradigma senantiasa ada. Di mana, kadang bukti empiris tak bisa menjawab atas keganjilan itu, tak pelak penggunaan ―nilai kemanusiaan‖ dan objektivitas dari sains.‖ Lihat, Anonim, ―Sejarah Sains,‖ dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_sains, diakses tanggal 16 Februari 2015. 6Moh. Tamtowi, ―Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi Pengembangan Studi Islam,‖

Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011: hlm 32-41, hlm. 33, dalam http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52, didownload 21 Desember 2014. 7―[pergeseran paradigma] Ini bukan proses rasional; ada langkah imajenatif dan tak terduga ke dalam

yang tidak diketahui, semua dipengaruhi oleh metafora, perumpamaan, dan asumsi yang diambil dari bidang lain. Kuhn tampaknya menyarankan bahwa faktor-faktor estetika, sosial, sejarah, dan psikologi juga terlibat, sehingga cita-cita ―ilmu murni‖ adalah sebuah angan-angan.‖ Lihat, Karen Armstrong, ―Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme,‖ dalam The Case for God; What Religion Really Means, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan Cet. III, 2011), hlm. 456.

Page 10: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

(etika/moral) yang dianggap subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah masalah.

Sebagai penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri pokok-pokok pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni, tentang pentingnya gagasan ―revolusi ilmu pengetahuan‖ bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep ―revolusi ilmu pengetahuan‖ milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk di dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma8 ke dalam dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap masih mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan paradigma lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara ragu-ragu atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum ―dimunculkan‖ secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini selain sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI, sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer. A. Konsep Dasar

1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn Nomenklatur adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada

bidang ilmu tertentu. Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai ―ciri khas‖ bagi objek studi pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.9 Pada setiap gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan istilah yang butuh pemahaman tersendiri. Hal ini karena beberapa nomenklatur yang diusung oleh Kuhn masih sangat asing bagi masyarakat awam. Bahkan beberapa diantaranya baru dapat dipahami maksudnya secara utuh setelah dijelaskan runtutan mekanismenya. Oleh karena itu, sebelum membahas pokok persoalan secara detail, perlu didalami terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh Kuhn. Diantaranya sebagai berikut:

a. Paradigma (paradigm)

Paradigma (P)10 adalah bagian dari ―teori‖ lama yang pernah digunakan serta dipaparkan berdasarkan pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap anggota masyarakat ilmiah yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya. Selain itu paradigma dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain yang telah diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat ilmiah.11 Dengan demikian dalam paradigma ada serangkaian keyakinan yang diadopsi ilmuwan untuk praktik ilmiah, selain juga digunakan sebagai ―contoh riset terdahulu‖ sehingga menjadi inspirasi dan pemandu riset

8Menurut Kuhn, ide ―pergeseran paradigma‖ diartikan sebagai peralihan secara terus-menerus (berturut-

turut) dari satu paradigma ke paradigma yang lain melalui revolusi. Hal itu merupakan hal biasa dalam pola perkembangan saat tercapai ilmu matang. Saat ini, kemungkin studi Islam di Indonesa menunjukkan dinamika. Bahkan mulai mencapai tahap kematangannya. Menurut Khun, perlu ada pergeseran paradigma ketika para ilmuwan menemukan anomali yang belum terpecahkan dan adanya arus paradigma baru yang menantang paradigma lama. Oleh karena itu, disiplin ilmu lama (paradigma lama) berhak dilempar ke atas meja ―krisis.‖ Lihat, Muhammad Sirozi, ―In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,‖ dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015. 9―Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),‖ KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-

offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014. 10

Huruf ―p‖ kapital dengan font bold (cetak tebal) yang berada dalam tanda baca kurung seperti berikut ini ―(P)‖ merupakan singkatan dari kata paradigma. Untuk pembahasan selanjutnya masih terdapat huruf atau gabungan huruf yang cara penulisannya berpola sama dengan singakatan tersebut. Salah satu contohnya ―(IN)‖ yang merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan normal. Teknik penyingkatan tulisan seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah penggambaran gagasan perkembangan ilmu pengetahuan ke dalam bentuk gambar ―bukit paradigma‖ yang akan dibahas pada halaman berikutnya. 11

Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 201.

Page 11: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

mereka.12 Dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan konsensus pemahaman (penafsiran) masyarakat ilmiah tentang suatu ―pandangan dasar‖ atau cara berfikir mengenai pokok persoalan pada kajian-kajian ilmu tertentu.13 Paradigma jugalah yang menjadi ―roh‖ atau sumber kehidupan sehingga suatu teori bisa terbangun. Tidak hanya itu, paradigma ternyata bisa menjadi gen konstruksi sosial, sehingga menentukan corak (warna), sifat, dan bentuk ilmu pengetahuan berikutnya.

Menurut Kuhn, apa yang benar menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru (adanya relativisme).14 Itu artinya paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan tetapi dapat terbimbing oleh sesuatu yang ―baik‖ atau yang ―terbaik‖ bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain, penelitian yang akan dilakukan ilmuwan seharusnya tidak hanya untuk menemukan ―kebenaran‖ dan kecanggihan. Namun, juga untuk memberikan nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak benar-benar objektif. Alasannya, nilai objektifnya tersebut bisa didapat pada penggunaan metode tertentu yang disepakati dan dapat dipahamai bersama oleh masyarakat ilmiah. Pada akhirnya, paradigma akan menentukan metode apa yang cocok lalu disepakati mereka untuk dipakai dalam pemecahan suatu masalah.

―Kuhn juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma satu dengan lainnya bukanlah hal yang mudah karena semua yang menyusun paradigma sangat berbeda dan tidak analog.‖ Lebih rinci, salah satu prasyarat terjadinya percepatan pergantian atau pergeseran paradigma dari yang lama menuju yang terbaru adalah melalui dunia pendidikan (akademis). Hal ini karena hampir tidak mungkin illmuwan dapat bekerja secara cepat jika melalui jalur otodidak. Yakni, tanpa menggunakan konsep yang sudah mapan, tanpa latihan, dan dimulai dengan sesuatu yang masih benar-benar baru (prematur).15 Dapat dikatakan, paradigma merupakan konstelasi (tatanan) beberapa gagasan yang saling terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh para ilmuwan di zamannya.16 Oleh karena itu, antara paradigma lama dengan paradigma baru

12

Dian Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ dalam http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn, 05 September 2014, diakses tanggal 23 September 2014. 13

Setiap komunitas ilmiah pasti diselimuti atau dipengaruhi oleh paradigma, sehingga paradigma dapat menjadi pemandu komunitas ilmiah dalam memahami segala sesuatu, termasuk memandang fenomena. 14

Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ diakses tanggal 23 September 2014. 15

Surjani Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains (Jakarta: Indeks, 2010), hlm. 123. 16

―A paradigm, in Thomas Kuhn‟s view, “is not simply the current theory, but the entire worldvew in which it exists, and all of the implications which come with it.” This view implies that developing or changing scentific paradigm is not an overnight job for every researchers, because it will take time for investigation, discussion, and dissemmination. It is also not a simple process, because it will involve and require social and political context and construction... It requires long term commitment, intensive researches, and extensive discussions, considering many opinions, and involving scholars of various disciplines. For this reason, a long term planning and action plans will pave the way for thedevelopment of a unique paradigm for Indonesian Islamic studies that can produce open minded attitude and broad understanding of Islamic teachings. In a long term, Azyumardi believes, such a paradigm will develop and promote “moderate Islam (wasatiyyah Islam)” that can be a model for other Muslim countries.‖ Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa sebuah paradigma dalam pandangan Thomas Kuhn, ―adalah bukan sekedar teori yang muncul saat ini, tetapi seluruh cara pandang (worldview) ilmuwannya di mana ia eksis (berada), dan semua implikasinya yang datang dengannya.‖ Pandangan ini mengimplisitkan bahwa mengembangkan atau mengubah paradigma lama bukanlah pekerjaan semalam untuk setiap peneliti-peneliti, karena hal tersebut akan memerlukan waktu untuk agenda penelitian, diskusi, dan penyebarannya. Hal itu juga bukan proses yang simple, karena itu akan melibatkan dan memerlukan konteks sosial dan politik... Serta memerlukan komitmem jangka panjang, penelitian intensif, dan diskuksi yang luas, mempertimbangkan banyak opini, dan melibatkan sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Untuk alasan ini, perencanaan jangka panjang dan tindakan terencana akan membuka jalan untuk pengembangan paradigma yang unik pada studi Islam di Indonesia yang dapat memproduk pola tingkah terbuka dan pemahaman orisinil tentang pengajaran Islam. Dalam jangka panjang, Azyumardi percaya, paradigma seperti itu akan berkembang

Page 12: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

tidak bisa saling mengklaim mana yang baik dan yang benar. Bagaimanapun di antara keduanya adalah sama-sama benar dan baik untuk tempat dan zaman yang menaunginya.

Dapat disimpulkan, fungsi paradigma adalah menyuplai ―teka-teki‖ (puzzle) bagi para ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan ―alat‖ sebagai solusi bagi mereka.17 Untuk memecahkan teka-teki (puzzle solving) tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan dugaan teoritis. Di mana pada setiap ―teka-teki‖ karakternya berbeda satu sama lain. Artinya, paradigma menjadi dasar dalam melihat, memahami, dan mepersepsi realitas (fenomena). Dengan kata lain, paradigma menjadi wordwiew (cara pandang terhadap dunia) untuk menentukan metode apa yang akan dipakai pada penelitian. Dengan landasan, setiap paradigma selalu berbeda tergantung waktu dan tempatnya. Setiap kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya berbeda. Bahkan setiap individu ilmuwan dalam satu komunitas pun ―paradigmanya‖ dimungkinkan bisa berbeda. Oleh karena itu, paradigma bisa menentukan sifat dan karakter ilmu pengetahuan yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan merupakan sekumpulan teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada pada masing-masing ilmuwan.

b. Ilmu Pengetahuan Normal (normal science)

Yang dimaksud dengan ―normal‖ adalah didasarkan pada aturan atau pola yang umum, sehingga tidak ada penyimpangan dari suatu norma atau kaidah.18

Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan normal (IN) merupakan kumpulan teori yang sudah mapan atau diakui oleh komunitas ilmiah. Sedang menurut Surjani yang dipahami dari Kuhn bahwa ilmu pengetahuan normal adalah kegiatan ilmiah dalam masyarakat ilmiah, mereka bekerja dalam strukturnya sendiri, bidang kajian tersendiri, dengan hukum serta teori yang mendasari kenyataan menurut topik bahasan mereka.19 Dapat diartikan, bahwa ilmu pengetahuan normal merupakan ilmu pengetahuan yang ―dasarnya‖ masih dikaji dan digunakan oleh ilmuwan karena metode dan isinya masih layak untuk dijabarkan serta dikembangkan secara mendalam.

Ilmu pengetahuan normal merupakan ilmu pengetahuan yang pemikiran atau teorinya mendominasi teori lainnya. Dengan kata lain, mayoritas komunitas atau beberapa aliran pemikiran lain mengakui hegemoni bahkan berkiblat kepada ilmu pengetahuan normal tersebut. Hal ini bisa terjadi karena ilmu pengetahuan normal menjanjikan pemecahan masalah yang lebih akurat dan menawarkan penelitian yang lebih maju. Bisa dikatakan bahwa pada normal science ini masyarakat ilmiah tunduk pada paradigma yang paling berhasil dalam memecahkan masalah daripada yang ditawarkan oleh paradigma lainnya

yang dianggap sebagai paradigma gagal (PG). Keberhasilan di sini, tidak harus sangat berhasil secara sempurna dalam menangani satu atau sejumlah masalah. Melainkan, dicukupkan pada paradigma tersebut mampu memberikan janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan pada contoh-contoh pilihan dan yang masih belum lengkap.20

dan menyebarkan ―Islam moderat‖ yang dapat menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya. Lihat, Muhammad Sirozi, ―In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,‖ dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015. 17

Anonim, ―Thomas Kuhn,‖ dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/, 13 Agustus 2011, diakses 23 September 2014. 18

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 19

Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm.123 20

Yeremias Jena, ―Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan,‖ Jurnal Melintas (Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic University, 28 Februari, 2012), hlm. 161-181, dalam https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sains_dan_Kritik_Larry_Laudan, didownload tanggal 23 September 2014.

Page 13: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Pada lingkup ilmu pengetahuan normal ini, ilmuwan tidak bersikap terlalu kritis terhadap paradigma yang membangun ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini karena mereka kesulitan menemukan kelemahannya, sehingga ilmu pengetahuan tersebut telah dinyatakan sebagai kesepakatan umum (general agreement). Namun, lambat laun jika dikaji terus-menerus maka bisa saja ditemukan sebuah ―keganjilan‖ (anomali) pada ilmu pengetahuan normal ini. Di mana para ilmuwan tidak lagi mampu menjelaskan dan memecahkan keganjilan tersebut dengan teori-teori lamanya. Selanjutnya, ilmu pengetahuan normal yang dipenuhi oleh anomali ini akan dipertanyakan eksitensinya. Mumpuni untuk tetap digunakan atau bisa digantikan dengan teori lain yang menentangnya.

Hal tersebut menurut Nurkhalis bukan berarti normal science bertujuan mematikan diri sendiri, akan tetapi justru menghendaki adanya revolusi sains.21 Dengan kata lain, di dalam lingkup normal science terdapat keinginan untuk regenerasi ilmu pengetahuan, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai di situ saja. Di mana revolusi itu sangat penting dilakukan agar diperoleh suatu ilmu yang tepat untuk memecahkan solusi sesuai permasalahan baru yang dihadapi. Dapat disimpulkan bahwa normal science adalah ilmu pengetahuan atau sekumpulan teori yang sudah mapan. Artinya, di dalamnya terdapat usaha tersistem yang kokoh untuk menjelaskan manfaat paradigma yang digunakan sebagai cara memecahkan masalah. Implikasinya, ia bisa menjadi dasar bagi sejumlah teori lain, baik untuk pengembangan teori maupun untuk pembenaran teori.

c. Anomali (anomalous/anomaly)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ―anomali‖ (An) berarti terjadinya penyimpangan dan keganjilan dari yang normal.22 Sedangkan menurut Kuhn, anomali adalah terjadinya ketidakselarasan antara kenyataan yang ada (fenomena)dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan. Dengan kata lain, anomali adalah sebagai syarat awal (permulaan) terjadinya proses penemuan baru. Yakni, ketika ada kesesuaian atau keterjalinan antara fakta baru dengan teori yang baru.23 Dapat digambarkan pada kondisi ini seorang atau komunitas ilmuwan menemukan kejanggalan dalam mempertahankan keampuhan paradigma yang ia gunakan untuk membangun teori. Di sisi lain, secara naluriah individu ilmuwan tidak akan mau menjatuhkan atau menolak teori yang ia bangun sendiri. Implikasinya, ia akan mencari bukti, argumen, dan teori-teori yang kuat untuk menjaga teori yang dibangunnya agar tetap valid.

Dapat disimpulkan bahwa anomali adalah berkurangnya atau bahkan hilangnya kemampuan paradigma lama dalam memecahkan persoalan (teka-teki) yang ada pada ilmu normal. Dalam kondisi ini, komunitas ilmuwan menyangsikan kekuatan paradigma yang selama ini digunakan. Hal itu terjadi karena paradigma tersebut tidak mampu lagi menerangkan atau menjadi pemandu dalam memahami bermacam fenomena terbaru. Dengan kata lain, proses adanya anomali karena para ilmuwan menemukan berbagai kejanggalan pada ilmu pengetahuan normal. Di mana kejanggalan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan paradigma yang selama masa tersebut digunakan oleh masyarakat ilmiah sebagai pedoman mereka. Oleh karena itu, para ilmuwan dipaksa untuk melakukan pembaruan dengan menggali paradigma baru (menemukan teori baru) agar lebih cocok bagi kehidupan kontemporer.

21

Nurkhalis, ―Konsep Epistemologi Paradigma Thomas Kuhn,‖ Jurnal Subtantia, vol. 14, No. 2, Oktober 2012 (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry), hlm. 210-223, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KONSEP%20EPISTIMOLOGI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN, didownload tanggal 21 Desember 2014. 22

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 23

Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya Cet. VII, 2012), hlm. 52-53.

Page 14: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Namun demikian, syarat terjadinya anomali tidak serta merta hanya karena paradigma yang masih digunakan tersebut mendapat kritik. Bagaimanapun, sanggahan atau kritik saja tidak cukup untuk melemahkan gagasan yang dilontarkan ilmuwan lain. Meski bantahan tersebut menggunakan beberapa teori sebagai argumentasinya. Perlu alasan mendasar dan urgen suatu gagasan harus segera diganti dengan gagasan lain. Salah satunya adalah adanya realitas bahwa masyarakat luas sangat memerlukan solusi baru untuk memecahkan masalah yang baru. Sebagaimana pernyataan terdahulu bahwa suatu ―penelitian‖ atau kajian bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi mencari nilai kemanfaatan (untuk memecahkan permasalahan atau puzzle solving). Alasan lainnya, kritik yang ditujukan pada gagasan (paradigma) lama harus agresif dalam ―membombardir‖ hal-hal yang paling vital pada objek terdalamnya.

Hal ini berarti bahwa sampai kapanpun tidak ada paradigma yang terbaik, utuh, dan terlepas dari anomali. Akibatnya, suatu teori atau gagasan yang dibalut oleh paradigma ―lama‖ akan senantiasa berpeluang diperbarui oleh paradigma baru. Senyampang paradigma baru tersebut mampu menggempur lalu menciptakan krisis pada ilmu pengetahuan normal. Dengan kata lain, bila memenuhi syarat maka secara terus-menerus akan terjadi pergeseran dari satu paradigma ke paradigma lain. Yakni, paradigma yang dipandang lebih cocok digunakan untuk memecahkan masalah terbaru. Dengan demikian, dalam pengembangan ilmu pengetahuan faktor ―kesadaran‖ dan ketulusan akan adanya anomali adalah sangat penting. Di mana anomali diawali tidak hanya dengan kritik belaka terhadap gagasan yang ada. Melainkan, mesti ditindak lanjuti dengan penelitian atau kajian mendalam untuk menemukan teori baru sehingga mampu menimbulkan krisis.

Dapat disimpulkan, perbedaan antara ―anomali‖ dengan ―krisis‖ adalah anomali timbul karena faktor ditemukannya kelemahan dari dalam paradigma lama. Dampaknya, banyak ilmuwan yang meragukan keampuhan paradigma lama dalam memecahkan masalah. Sedangkan adanya krisis karena faktor serangan dari luar paradigma lama. Yakni, ditemukannya ―tawaran‖ yang lebih segar oleh paradigma baru dalam memecahkan masalah baru. Bisa dikatakan, anomali menjadi penggugah ilmuwan untuk menawarkan paradigma baru agar anomali yang terjadi segera normal seperti sedia kala. Bila tawaran itu mampu ―menggoyang"atau ―mengubrak-abrik‖ paradigma lama maka inilah yang disebut dengan keadaan krisis.

d. Krisis (crisis)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ―krisis‖ (Kr) salah satunya

punya arti ―keadaan genting; kemelut,‖ dan ―keadaan suram (tentang ekonomi, moral, dan sebagainya).‖24 Kata krisis bisa juga berarti pertama ―masa gawat,‖ kedua ―saat genting,‖ dan ketiga ―kemelut, kegentingan, kegawatan.‖25 Secara detail Nurkhalis menyatakan bahwa krisis merupakan gejala kebaruan yang timbul secara tak terduga dan berulangkali disertai muatan teori-teori terbaru. Lebih rinci, suatu krisis bisa terjadi bila hal-hal baru tersebut tidak dapat diterangkan (dijinakkan) oleh paradigma lama, sehingga ketidakpercayaan terhadap paradigma lama tersebut mulai bermunculan. Faktor lainnya adalah terjadi ketidaksesuaian antara teori dengan fakta. Selain daripada itu, karena sekumpulan gejala anomali (anomaly) secara fundamental serta terus-menerus begitu nyata (memuncak) ada pada diri paradigma lama. Dengan demikian, tidak ada pergeseran paradigma (revolusi) tanpa adanya krisis, karena dalam hal ini peran anomoli saja tidak cukup.26 Dapat dikatakan adanya ―krisis‖ adalah

24

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 25

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 155. 26

Nurkhalis, ―Konsep Epistemologi Paradigma,‖ Jurnal Subtansia, didownload 21 Desember 2014.

Page 15: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

sebagai salah satu faktor penentu sebuah paradigma lama harus diganti dengan kandidat paradigma terbaru (sebagai calon pengganti) atau tidak.

Lebih gamblang, dalam komunitas ilmuwan, Khun menyatakan ada beberapa individu yang lebih kritis dari pada yang lainnya. Mereka lebih peka dan mensinyalir adanya anamoli dalam paradigma yang selama ini dipegang oleh komunitas, sehingga harus ditindaklanjuti dengan usaha penemuan baru. Di sisi lain, kebanyakan masyarakat ilmiah secara reflek akan menentang setiap perubahan konseptual. Dengan demikian, dalam masyarakat ilmiah terdapat dua unsur, yaitu individu ilmuwan yang kritis dan individu yang konservatif.27 Sebagaimana pernyataan Muslih bahwa fenomena krisis terjadi tatkala ―menumpuknya anomali, sebagai akibat dari sikap kritis komunitas ilmiah, menimbulkan krisis kepercayaan terhadap paradigma [lama]. Paradigma mulia diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.‖28 Bisa dikatakan, peristiwa genting antara paradigma satu dengan paradigma lain seperti inilah yang disebut dengan pertarungan/perbandingan

paradigma atau pertentangan paradigma (PP).

Lebih lanjut, ketika menghadapi situasi krisis, para ilmuwan dihadapkan beberapa pilihan yang dilematis. Yakni, akan setia pada paradigma lama dengan berbagai argumentasinya atau menerima paradigma baru. Bisa juga dengan menemukan, mengembangkan, dan merumuskan paradigma lain yang dirasa lebih tepat dalam memecahkan masalah daripada kedua paradigma sebelumnya. Namun, bila dalam perjalanan selanjutnya ternyata paradigma baru (calon pengganti paradigma lama) tersebut gagal menjaga ―kewibaannya‖ dalam menaungi ilmu pengetahuan maka paradigma lama bisa kembali bangkit lagi. Hal inilah yang disebut dengan penguatan/peneguhan paradigma atau

afirmasi paradigma (AP).

Dalam menanggapi fenomena di atas, Kuhn menyatakan ―bahwa ada diskontinuitas ketika para ilmuwan menghadapi masa-masa krisis.‖29 Diskontinuitas ini terjadi karena munculnya beberapa gagasan (teori) baru yang tak terkontrol, sehingga berpeluang besar menggantikan paradigma lama. Di mana sejumlah gagasan baru ini muncul dari beberapa arah yang sebagian darinya menentang paradigma lama. Di sinilah terjadi ketidaksinambungan munculnya ilmu pengetahuan, disebabkan serangan paradigma baru dilakukan secara tiba-tiba (tak terduga) dan berbeda dengan yang sebelumnya. Ketidaksinambungan terjadi bisa juga karena komunitas ilmuwan mencari berbagai cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga kegagalan paradigma lama bisa diselesaikan oleh calon paradigma baru. Sekali lagi, hal ini bukan berarti paradigma lama tidak mendapatkan tempat. Bagaimanapun paradigma lama tetap bernilai dan bermanfaat di zaman dan tempatnya ketika ia masih jaya. Sedangkan, untuk zaman dan tempat terbaru (sekarang ini) paradigma lama tersebut sebagian atau bahkan keseluruhan darinya sudah tidak tepat untuk digunakan lagi. Meski banyak kasus, dapat terjadi paradigma lama menginspirasi (menyemangati) lahirnya paradigma baru.

e. Revolusi Ilmu Pengetahuan (revolutionary science/scientific revolution)

Revolusi ilmu pengetahuan (Rev) adalah terjadinya lompatan-lompatan dan

perubahan-perubahan secara drastis. Menurut Kuhn proses revolusi ilmu pengetahuan hampir sama dengan proses terbentuknya ―sejarah ilmu pengetahuan‖ dan tentu ―sejarah masyarakat‖ yang bersifat diskontinu.30 Dalam

27

Anonim, ―The Structure of Scientific Revolutions,‖ dalam http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structure_of_Scientific_Revolutions, diakses tanggal 23 September 2014. 28

Mohammad Muslih, ―Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu,‖ Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011: hlm. 53-80, ISID Gontor Ponorogo, dalam http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/84/75, diakses tanggal 21 Desember 2014. 29

Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ diakses tanggal 23 September 2014. 30

Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 181.

Page 16: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

konteks perkembangan ilmu pengetahuan apapun, Kuhn telah membuka lebar (open-ended) peluang terjadinya revolusi. Di mana revolusi merupakan sesuatu yang sangat bernilai bagi terjadinya perkembangan tersebut. Dengan kata lain, sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak lepas dari proses revolusi.31 Selain dari pada itu, Kuhn menekankan bahwa revolusi ilmu pengetahuan melibatkan revisi atas keyakinan (asumsi) dan praktek ilmiah yang ada.32

Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan adalah manifestasi atau efek yang paling mentok dari ketidakselarasan antara paradigma lama dengan paradigma baru. Yakni, ketika paradigma baru mampu eksis dan diterima oleh sebagian atau bahkan seluruh kalangan ilmuwan. Dengan itu, maka dapat dikatakan suatu revolusi telah terjadi. Namun kalau sebaliknya, maka paradigma lama tetap digunakan atau akan digantikan oleh paradigma baru yang lainnya. Dengan kata lain, dalam revolusi terjadi penjungkirbalikan paradigma yang ada (lama) oleh paradigma baru yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya, baik itu isinya maupun pada metodenya.33 Pada kategori revolusi ilmu pengetahuan ini sikap kritis, ―kesadaran,‖ dan usaha sungguh-sungguh individu dan masyarakat ilmiah untuk memecahkan masalah sangat berperan penting.

Setalah itu, apabila ada kesepakatan maka akan terjadinya perpindahan komunitas ilmiah, dari komunitas paradigma lama menuju paradigma yang baru. Yakni, memungkinkan ilmuwan untuk mengekspolrasi persoalan baru yang berbeda hasilnya jika tetap menggunakan paradigma lama. Hal ini karena dengan menggunakan paradigma baru mereka seakan-akan ditransformasikan ke wilayah lain. Meski kenyataannya tempatnya tetap pada yang lama. Akan tetapi, karena paradigmanya (perlengkapan) berbeda dari yang lama maka wilayah tersebut ―tampak‖ berbeda pula dengan sebelumnya. Bahkan, dengan paradigma baru tersebut ilmuwan mampu menyentuh ―sesuatu‖ yang sebelumnya tidak pernah mereka sentuh.34 Dari sudut pandang lain, pernyataan tersebut dirasa terlalu kaku tatkala dibandingkan dengan ungkapan Shuttleworth:

Kuhn originally believed that a paradigm would make a sudden leap from one to the next, called a shift, and he believed that the new paradigm could not be built upon the foundations of the old. Probably the best example of this is in physics. Newton's Laws were an example of a paradigm, and scientists worked upon his principles for centuries. The discovery of the internal structure of the atom started to find holes in the theory, and Einstein provided the 'out of the box thinking' that dragged the paradigm in another direction. However, Kuhn later conceded that the process might be more gradual. For example, Relativity did not completely prove Newton wrong, but added to it and adapted it. Even the Copernican revolution was a little more gradual before completely throwing out Ptolemy's beliefs. Taking the Chinese researcher example, there is now a better integration between eastern and western medical philosophies, so the paradigms are merging.35

31

Ibid., hlm.183-184. 32

Anonim, ―Thomas Kuhn,‖ diakses 23 September 2014. 33

Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 120. 34

Sebagaimana pernyataan Choudhury bahwa ―with the change in paradigm and a newer way of looking at the world, come about reorganizations and transformations. In such changes, new rules, institutional structures, human convictions and instruments to enforce the new ways of thinking arise.‖ Ia juga mengutip pendapat Thomas Kuhn yang menyatakan ―It is rather as if the professional community had been suddenly transported to another planet where familiar objects are seen in a different light and are joined by non-familiar ones as well.‖ Lihat, Masudul Alam Choudhury, The Universal Paradigm and the Islamic Word-System: Economy, Society, Ethics, and Science (Singapore: World Scientifc, 2007), hlm. 13. 35

Martyn Shuttleworth, ―What Is a Paradigm?,‖ dalam https://explorable.com/what-is-a-paradigm, diakses tanggal 23 September 2014.

Page 17: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Khun awalnya meyakini bahwa pergeseran paradigma terjadi dengan adanya ―lompatan‖ secara tiba-tiba. Ia pun awalnya percaya bahwa paradigma baru tidak bisa dibangun di atas dasar paradigma lama. Namun, Kuhn lantas mengakui bahwa proses revolusi dimungkinkan terjadi dengan bertahap. Contoh yang paling mudah adalah teori relativitas Einstein tidak sepenuhnya menjadikan (membuktikan) bahwa teori Newton salah. Bagaimanapun, dalam teori relativitas juga terdapat penambahan dan adaptasi dari teori Newton. Contoh lainnya adalah ketika peneliti China melakukan integrasi antara filsafat medis Timur dengan Barat dengan cerdas, sehingga terjadi penggabungan paradigma. Oleh karena itu, dalam revolusi ilmu pengetahuan suatu paradigma tidak harus diganti seluruhnya. Akan tetapi sebagian saja sudah cukup bila dengan ―sebagian‖ paradigma yang diganti tersebut mampu ―mengungguli‖ paradigma lama dalam memecahkan masalah.

Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam revolusi

ilmu pengetahuan tidak ada ―kematangan‖ ilmu atau immatur science (IS). Hal ini karena setiap kali ilmu pengetahuan berada pada posisi ―matang‖ akan selalu rentan ditandingi oleh paradigma baru yang lebih menjanjikan. Dengan kata lain, kematangan suatu ilmu dianggap berlaku hanya di zaman (waktu) dan tempat (ruang) ketika ia masih jaya. Ilmu tersebut tidak akan dianggap ―matang‖ lagi di zaman dan tempat lain karena paradigma baru ternyata lebih ―matang.‖ Kenyataan ini terjadi disebabkan para ilmuwan dari satu generasi ke generasi lainnya pada dasarnya ingin terus-menerus mengadakan pengembangan. Bahkan, kadang sepenuhnya terjadi penolakan dari hasil temuan ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Implikasinya, sebuah ―kebenaran‖ yang diakui oleh ilmuwan zaman sekarang belum tentu akan diakui sebagian atau seluruh kebenerannya oleh ilmuwan masa mendatang.

2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti perubahan mendasar dalam suatu bidang tertentu. Sedangkan kata ―perkembangan‖ terkait erat dengan kata ―berkembang‖ yang salah satunya memiliki arti ―menjadi bertambah sempurna‖ tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Bisa juga diartikan ―menjadi banyak (merata, meluas, dsb).‖ Sedangkan ilmu pengetahuan artinya kumpulan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan tersistem dengan memperhitungkan sebab serta akibat.36 Kata lain yang biasanya sebagai pengganti kata ―ilmu pengetahuan‖ adalah sains. Di mana sains berarti pertama ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan benda mati secara detail (ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.37

Dalam pembahasan buku ini disengaja tidak menggunakan kata ―sains‖ sebagai pengganti kata ―ilmu pengetahuan.‖ Alasannya sederhana, karena kata ―sains‖ lebih cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam dan kurang menekankan ilmu pengetahuan sosial. Adapun, kata ―scientific‖ dalam bukunya Kuhn yang paling terkenal berjudul ―The Structure of Scientific Revoluions‖ memiliki arti ―(secara) ilmiah, pendekatan secara ilmiah.‖38 Sedangkan kata ―ilmiah‖ itu sendiri berarti ―bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.‖39 Oleh karena itu, untuk mempertegas diri dari kesan

36

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 37

Ibid. 38

Echols dan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hlm. 504. 39

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014.

Page 18: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

keperpihakan dengan ―ilmu alam‖40 saja maka dalam buku ini sengaja menggunakan kata ―ilmu pengetahuan‖ sebagai pengganti dari kata sains.

Pembahasan ini diawali dengan pernyataan Kuhn bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak terjadi secara kumulatif atau linier (kontinu), tapi terjadi secara non kumulatif dan diskontinu.41 Hal ini menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya paling akhir itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang baru.42 Di mana terdapat lompatan-lompatan yang tak teratur dalam proses kelahiran ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mekanisme revolusi ilmu pengetahuan dapat disamakan dengan revolusi sosial dan politik.

Bagi Kuhn, penemuan teori tidak menjadi kekuatan pendorong ilmu pengetahuan ke arah kemajuan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan kestabilan dan terus menerus ditambah dengan penemuan baru. Akan tetapi, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian selingan yang dimulai dari revolusi intelektual para pemikir. Setelah ada revolusi, konsep baru akan menggantikan konsep ilmu pengetahuan lama, sehingga terjadi pergantian konsep yang berbeda secara terus-menerus. Hal itu akan terus terjadi sepanjang kehidupan sejarah manusia.43 Dengan demikian, senyampang para ilmuwan dari generasi ke generasi terus aktif melakukan pengembangan dan pembaruan gagasan, selama itu pula peluang revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung.

Kembali ditegaskan, perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses yang tak menentu, sulit untuk ditebak, dan terjadi tanpa keteraturan yang mana bisa terjadi sewaktu-waktu.44 Agar tercipta pemahaman yang jelas tentang mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan maka perlu dipaparkan skema yang diberi nama Bukit Paradigma dari hasil analisis penulis sebagai berikut:

40

Perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya ada ketidakpercayaan komunitas masyarakat ilmuwan (komunitas ilmiah) terhadap teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan bisa terbentuk karena senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Implikasinya, terdapatnya proses pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan disebabkan adanya proses pengembangan teori-teori yang sudah ada. Tentunya, sebuah teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses tindakan (penelitian) ilmiah. Dengan demikian, pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara komprehensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek ilmu-ilmu alam (sains) atau metode tertentu saja. Namun juga melihat ―pengaruh‖ ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan mendominasi suatu ―teori‖ tersebut. 41

James A. Marcum, Thomas Kuhn‟s Revolution: An Historical Philosophy of Science (New York: Coontinum, 2005), hlm. 68, 75. 42

Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ diakses tanggal 23 September 2014. 43

Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm.119 44

Anonim, ―Pemikiran Karl Poper dan Thomas Kuhn tentang ‗Science‘. Apa Persamaan dan Perbedaannya?‖, dalam http://www.wisnudewobroto.com/pemikiran-karl-popper-dan-thomas-kuhn-tentang-%E2%80%9Dscience%E2%80%9D-apa-persamaan-dan-perbedaannya/, diakses tanggal 23 September 2014.

Page 19: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Keterangan:

P1 : Paradigma Pertama (ke-1)

IN : Ilmu Pengetahuan Normal

IS : Ilmu pengetahuan yang tak pernah matang/mapan (immature science)

An : Keganjilan (anomali) yang ditemukan pada IN

Kr : Krisis, kegagalan P dalam menjelaskan secara tepat tentang Anomali

Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru

PP : Pertentangan antar Paradigma (paradigma lama Vs paradigma baru)

P2 : Paradigma ke-2 (paradigma baru yang berhasil menggantikan P1)

PG : Paradigma baru yang gagal menggantikan paradigma lama

AP2 : Afirmasi (bangkitnya) paradigma lama (P2), paradigma baru gagal (PG) dalam

merevolusi

P3 : Paradigma ke-3 (paradigma terbaru yang berhasil menggantikan P2)

PPS : Pergeseran paradigma sebagian (tidak seluruhnya tergantikan oleh paradigma

baru)

Gambar 2.1 “Bukit Paradigma”: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Dari gambar di atas dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma secara luas

tidak saling berhubungan, akan tetapi berdiri sendiri. Kendati harus diaku sebagian dari ―kaki‖ bukit paradigma terjadi keterkaitan antara paradigma lama dengan paradigma penggantinya. Di sinilah letak revolusionernya, karena paradigma bertugas membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus. Dari hal tersebut, dapat dikatakan revolusi perkembangan ilmu pengetahuan adalah perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma yang tersusun berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma terbentuk dari konteks masyarakat).45 Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat unsur-unsur perubahan secara mendasar bahkan saling bertolak belakang. Perubahan itu terjadi secara undetermination (tidak tentu arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri dari paradigma baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisa dikatakan mengalami perkembangan bila terjadi pergantian paradigma. Meski perlu ditekankan kembali bahwa paradigma lama seringkali memberi inspirasi dan modalitas (nampak di kaki bukit paradigma terutama pada ―kolong‖ bagian Rev) bagi berkembangnya paradigma baru.

45

Menurut Wittegenstein sebagaimana dikutip Maksum, arti kebenaran bukan kesesuaian ―teori‖ dengan data empiris. Namun, kebenaran ditentukan oleh konteks, dalam bingkai linguistik (language-game) dan bingkai sosio-kultur (form of life). Penggunaan bingkai komunitarian ini kemudian dipakai oleh Thomas Kuhn. Bahkan, menurutnya data empiris menjadi data empiris bila ada bingkai itu (theory-ladenness). Lihat, Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 259.

Page 20: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn

1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs Puzzle-Solving Milik Thomas S. Kuhn Menurut Kuhn, yang namanya kebenaran tunggal (objektif) itu tidak pernah

ada. Karena bagaimanapun konsep kebenaran yang ada sekarang ini dibangun terdiri atas ―paradigma-paradigma‖ yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat ilmiah/akademis (ilmuwan). Dengan kata lain, menurut Kuhn kebenaran tunggal yang dianut positivisme46 merupakan suatu paradigma ilmu pengetahuan yang tetap mapan karena mendapat dukungan dan dimapankan pihak kalangan komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, ―paradigma‖ merupakan alat yang menjadi kerangka konseptual dalam memahami ―kebenaran‖ alam semesta. Artinya, ilmuwan atau masyarakat ilmiah dalam melakukan penelitian tidak bisa lepas dari paradigma. Secara otomatis kebenaran ilmu tidaklah mutlak-tunggal, tapi relatif-plural, maka ―kebenaran‖ yang ada akan terus-menerus diteliti atau dikritisi oleh komunitas ilmiah lain.47 Dari sini, sebagian dari kalangan mengatakan dengan tegas bahwa Kuhn merupakan filsuf penganut relativisme.48 Bahkan disebut pengusung irasionalisme dalam ilmu pengetahuan.

Hal ini berarti dalam benak Kuhn, istilah pencarian kebenaran mendapat penolakan darinya. Namun, yang ada adalah pemecahan ―teka-teki‖ (Puzzel-Solving).49 Di mana, pada hakikatnya manusia mengembangkan ilmu pengetahuan bukan untuk menemukan kebenaran, lalu menyalahkan yang ―tidak benar.‖ Akan tetapi penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan untuk memecahkan masalah sosial. Dengan kata lain, seringkali ilmuwan ingin atau sedang ―menemukan‖ sesuatu karena memang pada saat itu masyarakat membutuhkan temuan tersebut untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Implikasinya, saat proses pemecahan ―teka-teki‖ itu ―kadang‖ metode ilmiah tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana ilmuwan mampu membangun konsep dari segala sudut. Termasuk di dalamnya ―konteks‖ dan sejarah ilmu pengetahuan yang dapat memecahkan ―teka-teki‖ tersebut, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

46

Selama ini ilmu pengetahuan berkembang dinaungi oleh paradigma yang dianut oleh positivisme. Yakni, bahwa kebenaran itu harus bersifat mutlak-tunggal (pasti). Di mana, suatu kebenaran (ilmu) bisa diakui keabsahannya bila ilmu tersebut lolos dari ujian verifikasi, standar keilmuan, dan uji kebenaran lainnya. Ciri lainnya adalah suatu ilmu itu harus diperoleh memulai syarat-syarat tertentu, menggunakan prosedur ilmiah, bersifat netral, dan bebas nilai. Implikasinya, ada penolakan atau penerimaan terhadap teori tertentu, sehingga yang ditolak tersebut harus ditinggalkan dan dibuang sepenuhnya. Dengan kata lain, sesuatu yang tidak bisa ―diraba‖ melalui prosedur ilmiah dinyatakan sebagai sesuatu yang salah dan tidak bermakna sama sekali. Hal inilah yang ujungnya menyebabkan terjadinya penyeragaman berfikir, bahkan penyeragaman dalam tataran praktik. Bila paradigma tersebut dituangkan dalam dunia PAI maka bisa berakibat pada ketidakabsahannya PAI diakui sebagai sebuah ilmu. Dengan kata lain, menurut positivistik kajian PAI tidak lebih dari gagasan omong kosong yang tidak dapat dibutkikan kebenarannya secara empiris. 47

Andri, ―Paradigma Ilmu Thomas Kuhn dan Karl Popper,‖ dalam https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/, 08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014. 48

―Kebenaran ilmiah itu bersifat relatif dan ilmu pengetahuan perlu terus menerus diadakan penelitian (research) untuk menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan yang sudah ada.‖ Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015. Selain itu menurut Ben Dupré menjelaskan bahwa ―Kuhn sendiri berusaha menjauhkan dirinya dari pemahaman relavistik atas karyanya, perhatian tentang bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melahirkan keraguan pada gagasan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan secara objektif fakta-fakta yang benar tentang bagaimana segala sesuatu berada di dunia... Pandangan umumnya adalah kebenaran dari sebuah teori ilmu pengetahuan merupakan masalah mengenai seberapa baik teori itu berdiri berdampingan dengan observasi-observasi netral dan objektif tentang dunia. Tetapi bagaimana jika tidak ada fakta-fakta ‗netral‘ dan garis yang tegas antara teori dan data? Bagaimana jika, sebagaimana dinyatakan oleh karya Kuhn, setiap observasi itu merupakan ‗theory-laden‘ (mengandung banyak teori)?‖ Lihat, Ben Dupré, ―50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui,‖ dalam 50 Big Ideas You Really Need to Know, terj. Benyamin Hadinata (tanpa kota: Esensi, 2010), hlm. 54. 49

Anonim, ―Scientific Revolution,‖ dalam http://www.slideshare.net/anjanaaaaaaa/thomas-kuhn-and-paradigm-shift?qid=5bd4b765-3538-461d-8888-ea9308659f26&v=qf1&b=&from_search=3, diaskes tanggal 23 September 2014.

Page 21: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Dapat disimpulkan, karena ―paradigma‖ masing-masing ilmuwan maupun paradigma yang disepakati (konsensus) dalam masyarakat ilmiah ikut andil dalam perumusan teori ilmiah (yang diyakini kebenaran), maka subjektivitas memiliki peranan. Nilai subjektivitas muncul bisa berupa pengaruh dari ideologi, psikologis, otoritas, dan fanatisme yang ada pada komunitas ilmiah tersebut. Nilai-nilai subjektivitas inilah yang penulis yakini sebagai salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahun terjadi secara revolusioner bukan secara evolusioner. Meskipun dalam dinamika tersebut diperlukan beberapa waktu yang berbeda dalam tahap-tahapannya, karena kemampuan dan kecepatan ―perumus‖ paradigma baru berbeda-beda pada tiap zamannya. Dengan demikian ―kebenaran‖ tidak ada yang abadi, karena yang abadi adalah dinamika ilmu pengatahuan itu sendiri beserta perubahan paradigma ilmuwan dari masa ke masa yang disertai dengan interpretasinya.

2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn

Salah satu ciri utama ―konstruk‖ ilmu pengetahuan yang diciptakan Kuhn beserta aktivitas ilmiahnya adalah tidak mengabaikan peranan sejarah ilmu. Menurutnya, mempelajari sejarah ilmu pengetahuan tak akan bisa lepas dari memahami dua ―istilah‖ penting. Yakni, pertama discovery yang artinya kebaruan fakta atau penemuan. Lalu yang kedua invention, artinya kebaruan teori atau penciptaan. Di mana menurut Kuhn ―penemuan-penemuan‖ (discovery) sebagai salah satu unsur pembangunan ilmu pengetahuan bukanlah peristiwa-peristiwa yang dapat diabaikan begitu saja.50 Bagaimanapun sebagian besar penciptaan (invention)51 teknologi sekarang ini bisa ada karena berkat adanya sejarah ilmu pengetahuan terdahulu. Walaupun sebagian besar penemuan ilmuwan terdahulu sifatnya masih dasar. Dengan kata lain penciptaan (invention) merupakan bagian dari tahap-tahap pengembangan atau lebih tepatnya ―pergeseran‖ yang berasal dari penemuan (discovery) sebelumnya. Dimana ―struktur‖ pentahapannya selalu berulang dan berpola sama. Yakni, antara discovery dan invention terjadi keterjalinan yang sangat erat.

Selanjutnya, pernyataan tentang ilmu pengetahuan terikat pada ―sejarah ilmu,‖ berimplikasi pada ilmu pengetahuan juga terikat dengan nilai, ideologi, sosiologis, otoritas, dan latar belakang kehidupan penemunya. Alasannya, mempelajari sejarah secara otomatis akan mempelajari sebanyak-banyaknya lingkup kehidupan yang menyertai tokohnya. Semakin banyak atau lengkap dan komperhensifnya data sejarah maka bisa dikatakan isi kajian sejarah tersebut otentik. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai, utamanya tidak bisa terbebas dari pengaruh ―paradigma‖ penemu-penemunya yang mereka peroleh sejak masih kecil hingga dewasa. Implikasi lainnya adalah karena mempelajari sejarah pasti mempelajari ruang dan waktu tentang zaman sebelumnya, maka ilmu pengetahuan juga terikat oleh ruang dan waktu. Itu artinya, bisa saja paradigma sebagai pengkonstruk ilmu pengetahuan belum tentu dapat digunakan pada waktu yang lain. Konsekuensinya, bila ditemukan permasalahan yang berbeda dengan waktu yang berbeda pula, maka penggunaan paradigma lain merupakan kewajiban.

Akhirnya, melalui konsep The Structure of Scientific Revolutions, sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan menemui jalan terjal. Selama ini ilmuwan menyembah ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang seakan tak

50

Thomas S. Kuhn, The Structure of, terj. Tjun Surjaman, hlm. 52. 51

Perbedaan Invetioan dengan Discovery adalah pada hak paten atau hak ciptanya. Di mana untuk discovery tidak bisa diurus hak patennya karena secara asali ―produk‖ yang ditemukan tersebut sudah tersedia di alam. Sedangkan invention bisa diurus hak patennya karena ―produk‖ itu adalah murni dari hasil intelektual penciptanya. Secara detail, kata Invention diserap oleh bahasa Indonesianya menjadi ―invensi.‖ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata invensi memiliki arti ―penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak ada; reka cipta.‖ Lihat, Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014.

Page 22: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

terbantah dan sudah mapan. Kini, dengan nomenklatur ―paradigma‖ milik Kuhn ilmuwan bisa menghargai subjektifitas. Yakni, dimungkinkan bagi ilmuwan untuk mengungkapkan bias dan memodifikasi model.52 Oleh karena itu, menurut kacamata Kuhnian53 bahwa klaim kebenaran pada satu teori yang diyakini ―abadi‖ dan tak tergoyahkan tidaklah tepat. Bagaimanapun suatu saat pasti akan ada revolusi (penjungkirbalikan) ilmu pengetahuan.

Dapat dikatakan, ilmu pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi. Yakni, ketika paradigma atau teori yang lama bisa menggantikan paradigma yang sama sekali baru (paradigma matang/dewasa yang lainnya). Oleh karena itu, dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan paradigma. Kapan pun itu setiap paradigma pasti rentan terkena ―keganjilan‖ atau penyimpangan (anomali) dari apa yang dinamakan kenormalan (ilmu normal). Di mana paradigma yang paling cocok dan terbaru akan menggantikan paradigma yang lama. Sebaliknya, ketika paradigma baru tidak cukup matang dan tidak lebih baik dari paradigma lama maka paradigma lama akan tetap digunakan oleh komunitas ilmuwan. Kalau itu terjadi berakibat perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan untuk sementara waktu hingga ditemukan paradigma baru.

3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn

Dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak berdiri sendiri atau terpisahkan satu satu sama lain. Asumsinya, kekuatan ilmu pengetahuan terletak pada sifat dan mekanisme revolusinya. Di mana, perkembangan ilmu pengetahuan diperoleh bila teori yang ada bisa ditinggalkan dan sepenuhnya diganti oleh teori yang lebih sesuai. Menurut Kuhn unsur terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu adalah adanya masyarakat illmiah atau komunitas ilmiah. Baik itu dalam lingkungan formal seperti kampus dan lembaga penelitian, maupun lingkungan nonformal seperti kehidupan masyarakat secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi faktor terbentuknya struktur ilmiah baru dan dapat berkembang dalam kurun waktu tertentu. Semua itu tergantung pada kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat tersebut.54

Berdasarkan pandangan Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, ketika ada peralihahan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni. Di mana, di dalamnya juga diselingi oleh paradigma ―ilmu normal‖ sebagai ilmu yang ―sementara‖ mapan sebagai penjaga peradaban di zaman atau periodenya. Untuk lebih jelas dan detailnya pembahasan, maka penulis paparkan tahap-tahap perkembangan menurut Kuhn sebagai berikut:55 1. Fase pra-paradigma, pada tahap ini perkembangan ilmu pengetahuan berada

pada episode cukup lama. Di mana penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Pada episode ini, muncul berbagai aliran pemikiran yang saling bertentangan konsepsinya tentang masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan metode apa yang cocok digunakan untuk mengevaluasi teori-teori.

2. Fase ilmu normal, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran pemikiran (teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya. Di mana ―teori‖ ini menjanjikan pemecahan masalah yang lebih handal dan bisa terciptanya masa depan ilmu yang lebih maju.

3. Fase anomali dan krisis, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan dalam memecahkan masalah yang baru. Kemudian, tatkala masalah yang begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan

52

Anonim, ―Thomas S. Kuhn,‖ dalam http://www.goodreads.com/review/show/191787098?book_show_action=true&page=1, diakses tanggal 23 September 2014. 53

Khunian adalah sebutan bagi siapa saja yang menjadi pendukung bahkan pengikut filsafat yang dicanangkan Thomas Samuel Kuhn. 54

Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 199. 55

Jena, ―Thomas Kuhn Tentang,‖ Jurnal Melintas, didownload tanggal 23 September 2014.

Page 23: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

P1 IN An Kr Rev P2

buntu. Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka mulai meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh, muncullah ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan masalah ―krisis‖ yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu menemukan ilmu atau teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas ilmiahlah yang akan menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.

4. Fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan masalah ―krisis‖ yang dihapadapi pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian komunitas ilmiah tidak menerima (meragukan) paradigma baru ini. Akhirnya, karena bermanfaatnya paradigma baru itu maka perlahan-lahan paradigma baru tersebut diterima.

Agar lebih mudah dalam memahami tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan menurut Khun, maka perlu diuraikan dalam gambar berikut ini:56

Pr Pr Pr Pr Pr Pr

Keterangan:

P1 : Paradigma awal yang diterima IN : `Ilmu-ilmu normal An : Penyimpangan (anomali) Kr : Krisis (kegagalan P1 dalam menjelaskan secara tetap mengenai

penyimpangan atau An) Rev : `Menyangsikan P1 sehingga menemukan gagasan baru P2 : Paradigma baru, diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-

persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh P1 Pr : Periode (masa/waktu)

Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn

(diadaptasi dari pemaparan Muhaimin)

Dari gambar57 tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengganti paradigma lama ke paradigma baru diperlukan beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui. Meskipun –seperti dalam pembahasan sebelumnya– dalam setiap tahapan (periode)58 pada kasus paradigma tertentu masing-masing berbeda masa atau waktu ―prosesnya.‖ Inilah yang berarti bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh waktu atau tahapan (periode). Artinya, proses ―pergeseran‖ dari satu periode ke periode lain akan menentukan proses perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sama seperti revolusi-revolusi di bidang lainnya seperti kasus revolusi pada bidang sosial atau poitik, yang juga membutuhkan waktu. Bahkan, untuk satu jenis revolusi yang sama membutuhkan sejumlah waktu yang berbeda bila diterapkan di tempat lain. Semuanya tergantung pada paradigma yang digunakan oleh mayoritas masyarakat.

56

Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada Orientasi Program Studi Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014. 57

Gambar tersebut hampir sama dengan gambar yang dibuat oleh Tobroni. Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015. 58

―Kuhn‟s distinctions between normal science, crisis, and revolution are often misconstrued as a rigid periodization of the development of scientific disciplines. Normal science and crisis are instead ways of doing science. One or the other may typically predominate within a field at any given time, but they can also coexist.‖ Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Kuhn membedakan antara ilmu pengetahuan normal, krisis, dengan revolusi yang sering disalahpahami sebagai pereodiasi rigid (kaku) pada pengembangan disiplin ilmu. Di mana, salah satu dari mereka bisa mendominasi lainnya yaitu dari segi waktunya, meski tak jarang satu sama lain juga bisa saling hidup berdampingan dalam satu waktu. Lihat, Josephrouse, ―Kuhn‘s Philosophy of Scientific Practice,‖ dalam Thomas Kuhn, ed. Thomas Nickles (New York: Cambridge University, 2003), hlm. 113.

Page 24: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam

Antara paradigma Pendidikan Agama Islam59 dengan paradigma pendidikan sekuler (yang cenderung positivistik) sesungguhnya sangat berbeda. Kajian positivistik salah satunya berparadigma hegemonik dan empiris, sedang PAI salah satunya berparadigma teologis.60 Perbedaan tersebut menyebabkan PAI di mata positivistik bukan sebagai kajian dari ilmu pengetahuan karena kajiannya tidak empiris dan tidak memenuhi standar ilmiah (dipenuhi unsur metafisika dan transendetal).61 Hal ini dalam kacamata Kuhn, bukan berarti dari salah satu keduanya terdapat kebenaran, sedang yang satunya sebagai pihak yang salah. Namun keduanya memiliki kaidah atau pola pikir sendiri yang telah disepakati oleh masing-masing komunitas pendukungnya.62 Sebagaimana pernyataan Tobroni bahwa paradigma dapat dijadikan asumsi atau proposisi, bahkan dari itu bisa menjadi pijakan dalam berbagai kegiatan ilmiah. Selanjutnya ia menjelaskan secara detail:

Berangkat dari konsep tentang paradigma ini lantas melahirkan konsep-konsep turunannya seperti world view (pandangan dunia), frame work (kerangka kerja), logical frame work analysis dan mindset. Misalnya, keyakinan bahwa kitab suci merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas dijadikan rujukan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang berpedoman pada

59

Berdasarkan pemaparan Sirozi dalam acara AICIS ke-13 di Mataram bahwa agenda konferensi tersebut menekankan gagasan ―pergeseran paradigma‖ untuk studi Islam di Indonesia. Untuk mencapainya diperlukan penggalangan kesadaran kolektif serta pembangunan perspektif umum tentang pentingnya sebuah gagasan baru. Koferensi itu juga menunjukkan bahwa paradigma baru studi Islam di Indonesia dibutuhkan untuk mengidentifikasi, merefleksikan, dan merepresantasikan pengalaman sejarah, sosiologis, antropologis, dan budaya sebagai karakteristik utama Islam di Indonesia. Hal itu juga menggambarkan bahwa Islam di Indonesia adalah berkarakter pluralistik dan moderat. Oleh karena itu, paradigma baru dibutuhkan untuk kontekstual dan yang relevan dengan karakteristik ini. Dengan paradigma yang khas tersebut dapat dikembangkan melalui analisis komprehensif dan pemahaman tentang karakteristik unik dari Islam Indonesia. Lebih lanjut, studi Islam tidak dapat dikembangkan hanya dengan mengadopsi atau meniru paradigma timur tengah atau paradigma Barat. Dalam hal ini, diperlukan studi Islam di Indonesia untuk menggabungkan studi normatif dan empiris dengan pendekatan multidisipliner. Salah satunya menggunakan metode ilmiah yang diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu sosial modern, ilmu alam, dan kemanusian harus ditelaah secara hati-hati dan dikritisi. Kemudian dikombinasikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga melahirkan model pengetahuan integratif. Yakni, kombinasi ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum atau antara ayat Kauliyah dengan ayat Kauniyah. Lihat, Sirozi, ―In Search of a Distinctive,‖ diakses tanggal 23 Februari 2015. 60

Idealnya paradigma teologi tidak hanya pada tataran keilmuan atau materi yang dikaji, akan tetapi menyentuh pada tataran praktis. Harapannya, suatu paradigma yang ―dipegang‖ tidak hanya di dalam wilayah abstrak saja. Bisa juga suatu paradigma yang ada (diakui bersama), oleh oknum pelaku pengembangan pendidikan dimanipulasi (manipulasi psikologis). Yakni, sesuatu yang awalnya oleh paradigma yang ia pegang sesuatu itu adalah haram-buruk menjadi mubah-netral. Untuk memuluskan cara itu perlu pencarian pembenaran-pembanaran, baik secara psikologis, keilmuan, atau ideologi. Misalnya, seorang kepala sekolah untuk memuluskan agar lembaganya mendapat akreditasi ―A‖ rela menyuap assessor. Dalihnya adalah supaya bisa membuat pendidik dan peserta didik percaya diri ketika tampil di masyarakat. Contoh lainnya, seorang pendidik yang awalnya bertekad untuk mengabdikan diri secara tulus, pada akhirnya terbawa arus berlomba-lomba dengan ―menghalalkan‖ segala cara agar mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Bahkan, setelah beberapa tahun karena ada peningkatan kesejahteraan hidup menyebabkan mereka bertindak negatif. Salah satunya, digunakan untuk selingkuh. Padahal, seharusnya uang rakyat itu difungsikan untuk ―menunjang‖ keprofesionalan pendidik.. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan dan pengembangan SDM (terutama pendidik) agar mereka bisa memanajemen uang. 61

―Jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini [menurut pandangan posivistik] derajat sains memang menjadi lebih tinggi dari segalanya. Maka pendidikan Islam sebagai pendidikan yang berbasis Islam, akan sangat sulit memasuki diskursusnya [wacana], atau paling tidak perjuangan penuh liku harus terlebih dulu dilaluinya.‖ Lihat, Muslih, ―Pendidikan Islam dalam,‖ Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014. 62

―He claims that normal science can succeed in making progress only if there is a strong commitment by the relevant scientific community to their shared theoretical beliefs, values, instruments and techniques, and even metaphysics.‖ Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa Kuhn mengklaim ilmu pengetahuan normal dapat sukses dalam membuat kemajuan bila ada komitmen yang kuat dari komunitas Ilmiah. Tentunya, mereka harus pula mempertajam keyakinan-keyakinan teoritis, nilai-nilai, alat dan teknik, dan bahkan metafisika. Lihat, Anonim, ―Thomas Kuhn,‖ diakses 23 September 2014.

Page 25: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

keyakinan akan kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma teologis, yaitu pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber dari Tuhan.63

Hampir sama dengan pernyataan Muslih, pada wilayah paradigma sesungguhnya peran ―kesejarahan‖ ilmu pengetahuan menjadi terbukti. Yakni, ada beberapa faktor lain di luar keilmuan (standar ilmiah) yang merupakan kesatupaduan dalam membangun ilmu. Misalnya, faktor ekonomi, politik, budaya, dan ideologi. Atas dasar ini maka semakin terbuka jalan bagi bangunan ilmu pengetahuan untuk menerima berbagai ―nilai.‖ Termasuk nilai etika-religius sebagaimana yang didamba-dambakan pendidikan Islam. Oleh karena itu, berdasar dari paradigma Kuhnian maka tidak benar bila semua aktivias pendidikan itu disamaratakan (dianggap sama). Bagaimanapun, meski dalam suatu lingkup pendidikan itu berbasis logika, teori, dan tarekat (jalan) yang sama tapi masing-masing tradisi (organisasi dan pengalaman beragama) mengusung paradigmanya sendiri-sendiri. Dengan demikian, wajar seandainya terdapat perbedaan dalam model pendidikan seperti model pendidikan salaf (ortodoks), khalaf (modern), Ma‘arif (NU), Muhammadiyah, Gontor, dll. Lahirnya berbagai model pendidikan ini terkait erat dengan pemahaman keislaman sekaligus pemahaman tentang hakikat ilmu.64

Ia juga menambahkan bahwa paradigma dalam dunia pendidikan menjadi basis filosofis dan sosiohistoris sekaligus. Dengan demikian, peran dan posisi eksistensi pendidik (ustaz, guru, dan dosen), pengelola (penyelenggara, yayasan, organisasi afiliasi, dan sebagainya) tidak dapat diabaikan. Bahkan hal itu semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengembangan keilmuaan dan proses pendidikan. Dari sini dapat dipahami bahwa meskipun metodologi itu penting, akan tetapi bukanlah segala-galanya, bagaimanapun ―keberadaan‖ pendidik jauh lebih penting daripada metodologi. Selain itu, dalam perspektif filsafat ilmu kontemporer, setiap model pendidikan mestinya memberi perhatian lebih secara bersamaan pada tiga elemen filsafat. Di antaranya teori serta metodologi pendidikan, filsafat serta sosiologi pendidikan, dan teologi serta metafisika pendidikan. Tiga hal itu membawa dunia pendidikan tampil lebih bercirikhas, kokoh, dan tidak pragmatis. Hal ini karena keyakinan hingga keimanan Islam sebagai dasar teologis-metafisik penyelenggaranya punya posisi yang kuat. Yakni, sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses pendidikan yang dikembangkannya.65

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa pengembangan PAI tidak boleh berhenti sampai di sini. Hal ini karena selama ini ada anggapan bahwa ilmu Islam, termasuk pendidikan Islam telah mengalami kemandekan atau mencapai titik kulminasi (puncak). Artinya, tidak ada yang boleh mengotak-atik metodologi dan teori dalam PAI. Padahal, pengembangan PAI –dalam artian metodologi dan teorinya- merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat dewasa ini. Asumsinya, dengan stagnannya segala apa yang ada dalam PAI berimplikasi pada berhentinya kesadaran intelektual (ilmu pengetahuan dan teknologi) umat Islam. Di mana umat Islam tidak ada yang mampu menjadi penemu di berbagai bidang IPTEK. Bila dikaitkan dengan pemikiran Kuhn, maka bisa dikatakan ilmu PAI sekarang ini berada pada fase anomali (anomaly). Yakni, masa di mana PAI telah mengalami beberapa goncangan dan pertanyaan substansial yang menyerangnya. Hal itu terjadi karena ilmu PAI sekarang ini dianggap tidak mampu lagi menopang permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan ilmu PAI mutlak dilakukan agar menghasilkan gagasan PAI yang terbaru,66 yang diharapkan bisa mengatasi segala permasalahan masyarakat luas.

63

Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015. 64

Muslih, ―Pendidikan Islam dalam,‖ Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014. 65

Muslih, ―Pendidikan Islam dalam,‖ Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014. 66

Apabila konsep tentang pergeseran paradigma milik Kuhn digunakan untuk memahami pendidikan Islam, maka PAI harus selalu diteliti, dikaji, dan dievaluasi secara berkelanjutan. Bagaimanapun, adanya permasalahan bidang pendidikan yang senantiasa berkembang mengharuskan adanya pengembangan

Page 26: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Dengan demikian, dapat disimpulkan paradigma PAI adalah pandangan mendasar yang terkait dengan permasalahan utama dalam suatu ilmu pendidikan, dengan menggunakan ajaran Islam sebagai asasnya. Bisa dikatakan seseorang boleh menggunakan berbagai sudut pandang (kajian ilmu) dalam melihat, meneliti, dan mengetahui permasalahan PAI. Kemudian mencari solusinya dengan menggunakan berbagai pendekatan yang memungkinkan. Di mana semuanya itu, baik cara mengetahui maupun memecahkan masalahnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, PAI sebagai sebuah ilmu sekaligus keyakinan dan pengalaman dalam beragama tidak bisa dimiliki atau diklaim oleh komunitas tertentu saja.67 Implikasinya, siapapun boleh melakukan pengembangan PAI sesuai dengan paradigma masing-masing komunitas. Namun sekali lagi, pengembangan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip utama ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam konteks ilmu PAI maka ajaran Islam yang universal (tidak parsial) berwenang memandu dan mengkonstruk pengembangan ilmu pendidikan. Secara detail terkait pembahasan itu, berikut ini beberapa hal terkait pengembangan PAI yang diparalelisasikan dengan pemikiran Kuhn:

1. Patokan Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam

Memang harus diakui Kuhn merupakan ahli fisika, yang selanjutnya menjadi pengajar sejarah filsafat ilmu (cenderung ilmu alam). Karya-karya tulisnya sebelum buku terkenalnya ―The Structure of Scientific Revolutions‖ (1962) pun dipenuhi oleh kajian ilmu-ilmu kealaman di antaranya tentang Copernican Revolution, Galileo, Kepler, Descartes, Newton, dll. Di mana sebagian besar bahasannya tersebut tentang fisika dan astronomi.68 Menyikapi kenyataan itu, menurut Gray Gutting, dkk. sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono bahwa ―tesis [pemikiran] Kuhn bisa juga diaplikasikan pada penelitian-penelitian bidang sejarah, ekonomi, politik, sosiologi, filsafat, budaya, dan agama.‖ Selain dari pada itu, Suyono menambahi bahwa:69

Namun hal itu tidak harus diartikan sebagai aplikasi total secara serampangan. Setidaknya dari segi term-termnya seperti discovery

teori dan metode pendidikan. Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015. 67

Menurut Amin Abdullah sebagaimana ditulis Suharyanta dan Sutarman bahwa ―konsep pendidikan agama yang rahmatan lil al-„alamin merupakan wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup manusia dengan memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran agama meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan dalam segala aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak pernah mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan bagaimana seharusnya tujuan-tujuan ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi [kebermanfaatan ilmu] dalam teologi ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu [termasuk pengembangan pendidikan Islam]. Selain ontologi dan epistemologi keilmuan, agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian, bahwa ilmu yang dihasilkan tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai nilai normativitas semata, tetapi sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka objektifikasi ilmu merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman untuk seluruh manusia yang bersifat menyejukkan dan damai bukan sebaliknya. Jadi, hakikatnya pengetahuan itu haruslah objektif, artinya harus dapat dirasakan dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.‖ Lihat, Suharyanta dan Sutarman, ―Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-interkonektif Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam,‖ Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012: hlm. 55-76, dalam http://www.aljamiah.org/mukaddimah/index.php/muk/article/download/6/6, didownload tanggal 18 Februari 2015. 68

Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996, hlm. 5-13. 69

Yusuf Suyono, ―Studi Perbandingan Risālat al-Tauhīd dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam,‖ (Disertasi Doktor, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 13-14, dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/14350/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Page 27: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

(penemuan) dan invention (penciptaan) adalah hanya bisa diaplikasikan dalam ilmu fisika, dan tidak mungkin bisa diaplikasikan dalam ilmu tauhid secara total. Demikian pula term anomali – sebuah penyimpangan dari suatu paradigma menurut tesis [pemikiran] Kuhn, paling-paling bisa diartikan perbedaan pendapat dalam aplikasinya pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Krisis dalam tesis Kuhn, paling-paling dimaknai sebagai perbedaan pendapat yang tidak bisa dikompromikan lagi, sehingga pendapat belakangan berdiri sendiri dan pada gilirannya mendapat dukungan serta pengikut dan akhirnya menjadi aliran. Sebagai contoh, sejarah berdirinya aliran Mu‘tazilah yang dimulai dari perbedaan pendapat antara Wāṣil ibn

‗Aṭā serta temannya ‗Amr Ibn ‗Ubaid dengan Ḥasan al-Baṣriy mengenai orang yang berdosa besar,...

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya, gagasan Kuhn tidak

semuanya mutlak bisa digunakan dalam pengembangan PAI. Bagaimanapun, nilai-nilai pokok Islam dalam PAI seperti akidah (ketauhidan), tidak bisa direvolusi. Kajian monoteisme dalam Islam mesti dibebaskan dari berbagai macam bentuk ancaman krisis, bahkan anomali (keganjilan) sekalipun. Dengan demikian, akidah Islam harus dijaga secara terus menerus oleh komunitas Muslim agar terhindar dari kritik dan penyimpangan. Asumsinya, agama Islam (rukun Islam dan rukun iman) adalah doktrin atau dogma yang harus ditanamkan secara kuat dan kokoh pada generasi umat Islam melalui pendidikan. Di satu sisi lain, pendidikan Islam bukanlah dogma sehingga ia pantas dimasukkan pada jajaran ilmu yang berpeluang untuk direvolusi. Pada akhirnya, fungsi agama dalam pengembangan PAI adalah sebagai pemandu periset (komunitas ilmiah) dan pelaku pengembangan. Oleh sebab itu, kepercayaan tentang Islam sebagai agama yang kebenarannya bersifat mutlak, tak tergantikan, dan tidak terikat oleh tempat maupun waktu harus mendarah daging serta didakwahkan secara turun-temurun.

Hal penting lain yang perlu ditegaskan adalah bahwa Islam bukanlah sebuah paradigma. Melainkan, pemahaman dan pengalaman umat Islam tentang agama Islamlah yang disebut sebagai paradigma. Fungsi Islam adalah sebagai pedoman mutlak umat Islam dalam membangun paradigma. Sedangkan paradigma bermanfaat memandu umat Islam dalam memahami teks, mengamalkan, dan mengembangkan peradaban serta kehidupannya. Tentu, salah satu diantaranya pengembangan pendidikan Islam. Dari itu, maka pemikiran Kuhn dalam pengembangan PAI dapat disejajarkan (paralel) dengan konsep agama Islam (secara historis dan nilai) yang mengusung semangat pembaharuan70 –termasuk di dalamnya ―discovery‖ dan ―invention‖— di segala tempat dan waktu. Oleh karena itu, pengembangan PAI bukanlah perbuatan dosa bahkan bisa bernilai ibadah bila diniatkan sepenuhnya untuk mencari rida Allah dan mengesakan-Nya. Asumsinya, seseorang yang melakukan pengembangan PAI dengan tetap berteguh mengesakan Allah SWT, pasti menjadikan pengembangan itu sebagai upaya untuk mendekatkan diri pada-Nya.

2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam

Dalam pelaksanaan proses pembelajaran perlu adanya desain ulang. Di mana tatkala dikaitkan dengan konsep Kuhn, salah satu contohnya pendidik dapat merangsang peserta didiknya dengan menunjukkan data-data ―anomali.‖ Dari data tersebut diharapkan pendidik mampu mengubah paradigma (nilai kehidupan, mental, dan kognisi) peserta didik ke arah yang lebih baik. Asumsinya, selama peserta didik tidak mau merubah paradigmanya (merevolusi) ke arah yang lebih

70

Roda intelektual Islam selalu mengalami perkembangan ke arah pemikiran yang dinamis. Bagaimanapun, Islam sesungguhnya inheren (berhubungan erat) dengan kemajuan. Banyak ayat al Qur‟an maupun Hadith yang mendorong ummat Islam untuk melakukan pengembangan. Dengan kata lain, Islam dengan sangat tegas dan lugas tidak menyukai kemapanan (status quo). Lihat, Mujtahid, ―Islam dan Nalar Ilmiah,‖ dalam http://old.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1943:islam-dan-nalar-ilmiah-2&catid=35:artikel&Itemid=210, 12 Februari 2011, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Page 28: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

unggul, maka tingkat pengetahuannya akan tetap seperti semula, tidak terjadi perkembangan.71 Pendidik juga harus menyadarkan mereka bahwa kebenaran ilmu itu bersifat tentatif. Oleh karena itu, semangat untuk mencari ―anomali‖ senantiasa terus dilakukan, kemudian disusul dengan spirit penciptaan. Di mana, ―mencipta‖ atau merubah tidak hanya di bidang sosial, akan tetapi di bidang teknologi hingga ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi. Nilai-nilai dasar sebagai intagible assets seperti itu selayaknya tidak hanya ditanamkan dan dimiliki oleh peserta didik. Namun, pendidik beserta seluruh manusia yang terlibat langsung dalam pengembangan PAI perlu mempunyai jiwa tersebut.

Menurut Amin Abdullah, sebagaimana yang ia pahami dari pemikiran Kuhn bahwa seorang pelaku lapangan –menurut penulis termasuk salah satunya adalah pendidik (ustad, guru, dosen, dll)— kebanyakan masih terbiasa memecahkan masalah melalui cara-cara yang umum (konvensional). Yakni, cara-cara yang baku, mapan, dan senantiasa ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi di lapangan. Hal ini terjadi karena mereka ―terpenjara‖ oleh aktivitas rutin, sehingga mereka tidak menyadari munculnya anomali-anomali yang hadir dalam wilayah ―ilmu pengetahuan normal.‖ Hanya kalangan terbatas, yang umumnya para pengamat, peneliti, dan kritikus yang mengetahui di mana adanya anomali-anomali tersebut. Selain itu, ia menegaskan bahwa pergeseran paradigma dalam wilayah kebudayaan dan peradaban –atau menurut penulis pada lingkup kecil adalah lembaga pendidikan— harus melalui media dialog peradaban. Bukan lewat ―benturan peradaban‖ atau benturan kebudayaan yang selama ini sering-sering didengungkan. Dengan proses dialog yang bersifat terbuka serta proses take and give antar berbagai peradaban, maka proses pergeseran paradigma akan berjalan wajar, alami, dan menguntungkan kedua belah pihak. Serta tidak mengakibatkan gejolak sosial yang cenderung negatif.72

Dari pernyataan itu, semestinya nilai-nilai dasar ditanamkan kepada seluruh pelaku pengembangan PAI. Salah satunya yaitu kepada peserta didik. Diharapkan mereka mampu merubah paradigma lama yang sudah mengalami fase krisis (tidak lagi handal dalam memecahkan masalah). Salah satunya paradigma yang cenderung ―pasif-pesimis-permisif‖ diubah menjadi ―aktif-optimis-progesif.‖ Dengan itu peserta didik akan mempunyai mental ―pembaharu‖ yang tidak mudah ikut arus yang menjurus negatif. Misalnya, melalui penekanan dan pemberian semangat bahwa ―Jika ingin memperoleh sesuatu yang lebih baik harus berusaha dulu, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.‖ Bisa juga pemberian motivasi ―Pengembangan diri adalah kewajiban! Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari besok harus lebih baik dari hari ini.‖ Teknik pengembangan seperti itu didasarkan dari pandangan sebagian kalangan bahwa gagasan Kuhn merupakan pengetahuan yang bersifat apriori. Artinya, suatu paradigma tidak harus dibangun dari sesuatu yang empiris, tapi bisa dicukupkan pada asumsi-asumsi (praduga) dasar yang dipegang teguh bersama.

Dengan penekanan dan penanaman nilai-nilai dasar secara terus menerus serta menggunakan berbagai metode, diharapkan lambat laun orientasi kehidupan peserta didik berubah. Yakni, yang awalnya hanya ingin menjadi ―figuran‖ dalam kehidupan ini berubah tekat menjadi salah satu bagian dari ―pemain utama‖ kehidupan. Dapat dikatakan, paradigma lama peserta didik diguncang tidak menggunakan cara pendoktrinan secara frontal. Melainkan, dengan cara menggunggah peserta didik supaya bisa menemukan sendiri solusi dari anomali-anomali kehidupan yang diajukan. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai dasar dilakukan secara halus. Khawatirnya, bila diguncang dengan cara pendoktrinan secara langsung bisa jadi peserta didik atau orang tuanya (masyarakat) akan

71

Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 209. 72

M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam: Di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. III, 2004), hlm. 110-111.

Page 29: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

menentang ―doktrin‖ tersebut. Kendati demikian, tidak serta merta peserta didik diberi kebebasan untuk menemukan ―kebenaran‖ secara liberal. Bagaimanapun otoritas pendidik untuk mendoktrin akidah keislamannya harus tetap ada. Tergantung pada jenjang pendidikannya dan latar belakang kehidupan peserta didik itu sendiri.

3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan PAI

Agama Islam merupakan agama yang benar dan sempurna. Oleh sebab itu, tak seorangpun bisa mengadakan pembaruan terhadap teks Islam atau ayat Kauliyah.73 Akan tetapi yang perlu diperbarui adalah ―paradigma‖ manusia terhadap agama. Serta bukan dinamika al Qur‟an yang harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Melainkan, dinamika umat Islam dalam memahami teks al Qur‟an-lah yang harus dimulai dan terus-menerus dilakukan sepanjang zaman.74 Pernyataan ini hampir sama maksudnya dengan pandangan Kuhn, bahwa ―kunci utama perubahan revolusioner ini ada pada metodologi. Alam tidak terlalu berubah namun metode pencarian penjelasan akan gejala alam kadang-kadang revolutif.‖75 Dengan kata lain, bukan teks al Qur‟an-nya yang dirubah tapi ―metodologi‖ dalam memahami teksnya yang harus dirubah (direvolusi).

Berdasarkan pemaparan di atas, ketika dalam proses pengembangan PAI ditemukan ―anomali‖ (keganjilan) atas paradigma manusia tentang isi al Qur‟an, maka perlu diadakan reinterpretasi terhadap teksnya.76 Bagaimanapun, tafsir merupakan ilmu, sebagaimana dengan ilmu lainnya. Walaupun tak dapat dinafikkan bahwa konteks dan kualitas ―perumusnya‖ di zaman dulu dengan sekarang tentu jauh berbeda. Proses tersebut dilakukan agar pembelajaran PAI bisa kontekstual dan memiliki nilai praktis bagi masyarakat. Serta tentunya agar PAI tidak dicap bertentangan dengan ilmu pengetahuan lain. Misalnya, bagaimana pendidik PAI bisa menjelaskan keberadaan fosil manusia purba yang nyata-nyatanya memang benar keberadaannya tak terpungkiri. Sedangkan di dalam al Qur‟an secara qath‟i belum pernah ditemukan penjelasan tentang ―keberadaan‖ fosil tersebut. Oleh karena itu, wajar bila ada penafsiran pada ayat-ayat terentu terkait keberadaan fosil.

Lebih ekstrim daripada pernyataan itu, Mujtahid menyampaikan ―kritik akal Islam berupaya untuk membongkar mitos pemikiran (ijtihad) yang sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat sekarang. Dengan demikian, tujuan utama kritik akal Islam adalah membebaskan pemikiran dari segala macam citra dan gambaran yang sempit, karena tidak mungkin bagi akal Islam, berpikir jernih

73

Ayat Kauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah SWT dalam bentuk al Qur‘an (wahyu) yang bersifat tetap (mutlak). Manusia wajib bertadabur terhadapnya dengan hati. Lihat, http://menaraislam.com/content/view/209/1/, diakses 25 Februari 2014. 74

Ahmad Muflih Saefuddin, ―Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,‖ dalam Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 15. 75

Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 121. 76

Misalnya, secara qath‟i Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al Baqarah: 275). Dengan kata lain, secara jelas (mutlak) dapat dimengerti dan tidak bisa disanggah lagi bahwa riba itu merupakan perbuatan haram. Akan tetapi, pemahaman (interpretasi) sebagian umat Islam terhadap istilah ―riba‖ itu sendiri masih mengalami perbedaan pendapat. Terlebih, pada era modern ini mulai marak adanya bunga pada bank dan sistem perkreditan pada jual beli motor, rumah, mobil, dan sebagainya. Apakah bunga bank atau sistem perkreditan seperti itu dikatagorikan sebagai ―riba‖ yang diharamkan secara mutlak sehingga tidak boleh dilakukan? Atau itu suatu perbuatan yang ―disamakan‖ dengan riba tapi dengan alasan demi ―kebaikan‖ dan asas ―keterpaksaan‖ sehingga boleh dilakukan? Ironis, selama ini umat Islam masih hanya berkutat pada perselisihan yang tidak jauh terkait dengan hal-hal semacam itu. Asumsinya, alangkah lebih baik bila umat Islam memberikan solusi nyata atas permasalahan itu. Dengan tidak hanya memperdebatkan interpretasinya (penafsiran) tentang suatu hal-hal baru yang muncul belakangan. Lebih dari sekedar itu, seharusnya umat Islam mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (salah satunya melalui pendidikan) sehingga bisa memberikan bukti nyata berupa wujud peradaban Islami. Misalnya mendirikan bank berbasis Islam, lembaga hutang-piutang (kredit) berbasis Islam, atau menderikan perusahaan yang sekiranya segala apa yang ada di dalamnya tidak menimbulkan ―kekhawatiran‖ akan melanggar ketentuan dari Allah.

Page 30: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

selama citra-citra semacam ini melekat dalam akal mereka.‖ Ia melanjutkan bahwa dengan mengkritik akal Islam (hasil pemikiran umat Islam) bisa membedakan antara teks/wahyu dengan sejarah serta analisisnya. Dengan demikian, seharusnya wahyu diposisikan kembali pada tempat semula yang bersifat transenden. Alasannya, wahyu telah mengalami relasi dengan sejarah manusia yang bermuatan ideologi, politik, dan kepentingan lainnya sehingga mengalami reduksi nilai di dalamnya. Oleh karena itu, semua teologisme termasuk epistemologi seperti fiqh, tafsir, dan sebagainya masih perlu dikritisi dalam konteks hari ini. Bagaimanapun, semuanya merupakan ciptaan manusia, sehingga layak untuk diletakkan di atas ―meja‖ kritisisme. Pada akhirnya, revolusi ilmiah tidak akan hilang dari panggung dunia pemikiran Islam sepanjang dinamika kehidupan ini tetap berlangsung.77

4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam

Ayat Kauniah78 adalah ayat-ayat di luar teks al Qur‟an sebagai tanda Kemahabesaran Allah SWT sekaligus pembenar kandungan al Qur‟an yang sebagiannya bersifat mungkin untuk dikembangkan. Bisa berbentuk benda (zat/materi), peristiwa, dan mekanisme (sistem). Manusia wajib bertafakur terhadap sebagiannya dengan akal.79 Dengan demikian, ―daftar muatan‖ pengembangan PAI sebenarnya tidak berhenti pada aspek normatif dan doktrin ajaran agamanya saja. Namun, bagaimana menjadikan peserta didik mampu memahami, menghayati, dan memanfaatkan alam ini menjadi lebih baik. Yakni, dengan cara pengembangan ilmu pengetahuan yang muaranya bisa terciptanya produk yang berguna bagi kehidupan manusia.

Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan konsep ―paradigma‖ Kuhn –seperti pembahasan sebelumnya— maka perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak pernah bisa lepas dari nilai. Termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, sosial, dan kemanusiaan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak bisa berdiri sendiri. Nilai tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan arah perkembangan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, tanpa adanya unsur nilai menyebabkan kehadiran ilmu pengetahuan akan hampa, tanpa makna. Adanya hanya kepuasaan, kesenangan, kebenaran ―palsu,‖ dan kehidupan mapan yang semu. Bahkan ketika terus-menerus dibiarkan akan berujung pada bencana kehidupan manusia. Oleh karena itu, memfungsikan ayat Kauniah sebagai sesuatu yang sakral80, dijunjung tinggi, dan mengadakan ―penafsiran‖ mendalam (penggalian ilmu pengetahuan) terhadapnya merupakan tindakan terpuji.

Selanjutnya, semangat penggalian ilmu pengetahuan itu salah satunya dengan cara ―peniruan‖ (kajian) terhadap pengembangan ilmu pendidikan sekuler. Kendati, sesungguhnya tidak semua ilmu pendidikan sekuler (utamanya dari Barat)81 dapat menjawab permasalahan dan pertanyaan yang problematis. Utamanya persoalan

77

Mujtahid, ―Islam dan Nalar‖ diakses tanggal 18 Februari 2015. 78

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ayat kauniah salah satunya berarti ―bukti yang ada dalam alam nyata atau maujud (seperti binatang, bulan, matahari)‖ Lihat, Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 79

Anonim, ―Ayat Kauniyah,‖ dalam http://an-naba.com/ayat-kauniyah-2/comment-page-1/, diakses 25 Februari 2014. 80

Nilai kesakralannya adalah ayat kauniyah seperti halnya ayat kauliyah keduanya sama-sama berasal dari Allah. Oleh karena itu, mensakralkan ayat kauniyah merupakan tindakan terpuji, tentunya bila diniatkan untuk mencari ridha Allah. Salah satunya, diwujudkan dengan cara bangga menciptakan IPTEK, hingga kemudian dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai Islam. 81

―Ilmu di Barat berkembang secara sekuler dan menafikan sama sekali peran agama. Sekularisasi ilmu akan menimbulkan problema teologis yang sangat krusial, karena banyak ilmuwan Barat yang merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan Tuhan dalam argumentasi ilmiah mereka. Bagi mereka Tuhan telah berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara alam semesta.‖ Lihat, Mohammad Kosim, ―Menyoal Islamiasai Sains di Madrasah (Studi Atas Kandungan Agama Islam dalam Buku Ajar Sains di Madrasah Aliyah),‖ Annual International Conference on Islamic Studies Chapter I: Religion & Science: Integrasion Through Islam Studies, hlm 109-124, dalam diktis.kemenag.go.id/aicis/file/dokumen/114162031651650DIES.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Page 31: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

yang terkait dengan keyakinan dan pengalaman orang dalam beragama. Mengapa manusia ini harus hidup? Dari mana alam semesta ini diciptakan? Mengapa manusia di zaman modern, penuh intelektualitas, dan berperadaban tinggi tapi masyarakatnya masih tetap gemar berperang? Mengapa mayoritas manusia di dunia ini mau beragama (percaya hal gaib)? Apa manfaat terjadinya fenomena menakjubkan (ajaib dan jarang terjadi) bagi kehidupan manusia? dll. Terkadang justru pendidikan agama utamanya di negara-negara berkembang yang handal dalam mengkaji dan menjelaskan masalah-masalah itu. Dengan kata lain, hanya agamalah yang sanggup ―menenangkan‖ keresahan mayoritas manusia ketika menghadapi dialektika seperti itu.

Upaya kritik yang lebih ekstrem dari itu adalah berupa pertanyaan adakah keterkaitan antara ―mekanisme takdir‖ dengan ―teori peluang‖? Misal, secara kenyataan atau kepastian (takdir) bung Karno salah satu mantan Presiden RI menikahi ibu Fatmawati, lalu apa akibatnya (peluang yang terjadi) bila beliau tidak memperistrinya? Apakah menyebabkan tidak akan pernah ada proklamasi kemerdaan Indonesia? Apakah nasib negara Indonesia akan jauh berbeda seperti sekarang ini? Ataukah ada ―pergeseran‖ ruang dan waktu yaitu proklamasi tidak dilakukan pada tanggal 17 Agustus? Apapun jawabannya, yang pasti bila itu terjadi maka Megawati (mantan Presiden RI) tak akan lahir, begitu pula Puan Maharani (cucu Bung Karno). Dengan kata lain, bila perubahan sedikit itu (tidak menikahnya bung Karno dengan Fatmawati) memang terjadi, akan sangat mempengaruhi keadaan Indonesia dan kemungkinan juga dunia. Artinya, dengan tindakan (perlakukan) sekecil apapun terhadap sesuatu akan berdampak pada perubahan bidang lainnya meski sedikit. Bahkan bukan kemustahilan hasilnya jauh berbeda dari kenyataan sekarang ini. 82

Dapat disimpulkan, runtutan akibat (efek) karena adanya perubahan sekecil apapun di masa lalu –baik yang bersifat kemungkinan maupun yang pasti—tidak bisa terelakkan. Dengan kata lain, perubahan sekecil apapun di suatu zaman dan tempat dapat berefek pada perubahan yang besar untuk beberapa puluh, ratusan, hingga ribuan tahun berikutnya. Begitu pula apa yang manusia lakukan sekarang ini. Sekecil apapun yang diperbuatnya di kala ini bisa berakibat besar di kemudian hari. Inilah penguat pendapat bahwa ―takdir‖ sudah ditentukan secara detail, baik dari segi waktu, tempat, dan dimensinya. Bergeser sedikit saja (waktu dan tempat) maka tentu ―takdir‖ akan mengalami perubahan yang besar. Sistem yang teramat rumit itu memperlihatkan bahwa adanya keterlibatan Maha Cerdas untuk mengatur takdir itu agar tidak bergeser sedikit pun. Asumsinya, bila ada kesalahan dalam mengatur mekanisme takdir (bergeser sedikit saja) bisa berakibat fatal. Yakni, runtutan akibat yang bisa merubah ―nasib‖ dunia ini tidak seperti ―seharusnya.‖

Dari penjelasan di atas, umat Islam sepatutnya meyakini bahwa konsep pengembangan pendidikan Islam suatu saat hasilnya pasti jauh lebih bermanfaat dari ilmu pendidikan sekuler. Utamanya bisa membentuk manusia bermental utuh dan seimbang. Yakni, yang tidak ingin sukses di akhirat saja, atau sebaliknya di dunia saja. Dapat disimpulkan, untuk memenuhi tantangan itu PAI harus bisa membentuk manusia yang ahli dalam ilmu umum tetapi tidak mengalami kegersangan hidup karena ilmunya dipadukan dengan nilai-nilai agama. Bisa juga membentuk ahli agama Islam yang berwawasan dan berbudaya IPTEK, sehingga

82

Penjelasan dan pertanyaan tersebut terinspirasi dari chaos theory dan gagasan tentang mekanisme butterfly effect yang secara tidak sengaja ditemukan oleh Edward Lorenz. Menurut Dupré, dipaparkan bahwa terdapatnya ―sensitivitas yang mengejutkan dari sistem [kehidupan] terhadap peristiwa-peristiwa kecil di dalamnya... [selain itu] ketidakmampuan praktisnya dalam mengidentifikasi penyebab-penyebab setiap peristiwa dalam sistem itu. Sungguh, dengan adanya kenyataan bahwa peristiwa-peristiwa yang sangat kecil dapat menyebabkan efek-efek yang besar dan bahwa peristiwa-peristiwa kecil semacam itu mungkin melampau kekuatan-kekuatan deteksi kita dalam prinsip, maka barangkali akan didapati kemudian bahwa sistem itu, meskipun sepenuhnya deterministik seluruhnya tidak dapat diramalkan.‖ Lihat, Dupré, ―50 Gagasan Besar, hlm. 227.

Page 32: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

kajian keagamaannya digunakan untuk mendorong umat Islam memanfaatkan dan menciptakan IPTEK secara benar menurut akidah Islam.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pemaparan Nurcholis Madjid bahwa penggunaan ayat-ayat Allah yang Kauliyah beserta kauniah perlu dipahami dan diberi interpretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan interpretasi beserta reinterpretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.83 Dengan demikian, pengembangan PAI itu bersifat open-ended. Artinya, senantiasa terbuka untuk dikritik, direduksi, dan dirubah. Begitu pula pendidikan sekuler maupun pendidikan Islam –dalam wilayahnya sebagai ilmu dan produk (konsep serta benda) atau karya manusia— tidak bisa terus-menerus menghindarkan diri dari ketentuan itu. Di mana, dalam kaidah seperti itu peran ilmu sejarah, psikologi, dan sosiologi sangat penting. Bagaimanapun, pengalaman dinamika pendidikan Islam terdahulu hingga pendidikan Islam sekarang ini sangat bertalian erat. Oleh karena itu, pengembangan PAI tidak bisa berdiri sendiri hanya dengan menggunakan pemahaman (tafsir) manusia terhadap ayat Kauliyah (wahyu). Masih diperlukan kajian PAI di bidang lain yang bercorak interdisipliner. Yakni, kajian mendalam terhadap ayat Kauniah beserta ilmu-ilmu yang menyertainya untuk ikut andil dalam pengembangan PAI.

5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan PAI

Dalam bahasa Indonesia istilah komunitas ilmiah memiliki padanan kata –yang artinya tidak jauh beda— dengan masyarakat ilmiah, komunitas akademis, dan masyarakat akademis. Komunitas ilmiah erat kaitannya dengan aktivitas (praktik) ilmiah, metode ilmiah, sikap ilmiah, dan produk (berbentuk teori atau benda) ilmiah. Menurut penulis, sebagaimana hasil pemahaman dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa komunitas ilmiah PAI memiliki arti sekelompok orang ahli yang aktivitas dan kajiannya terfokus dalam bidang PAI, dengan ciri utamanya memiliki paradigma yang sama terutama terkait praduga (asumsi), nilai, aturan (norma), tujuan, metode (model), dan keyakinan (faith) mereka. Biasanya, komunitas ilmiah PAI saling ―berinteraksi‖ (berargumen) satu sama lain melalui wadah dunia akademis (pendidikan, profesi, dll), media tulis-menulis (jurnal, buku, makalah, laporan penelitian, dll), dan forum ilmiah lainnya. Dengan demikian, tatkala komunitas ilmiah PAI memiliki paradigma yang sama, misalnya ilmu PAI sekarang ini tidak perlu dikembangkan, berdampak suatu pengembangan PAI tidak akan terjadi. Namun, jika ada satu anggota (ilmuwan) komunitas ilmiah yang keluar jalur utama(mainstream) lalu diikuti oleh mayoritas komunitas ilmiah PAI, maka suatu proses pengembangan telah terjadi. Pengembangan PAI dalam bidang tertentu bisa pula terprakarsai adanya aklamasi atau konsensus ―secara alami‖ maupun yang terencana dari mayoritas komunitas ilmiah PAI untuk mengadakan pembaharuan.

Menurut kacamata penulis, suatu komunitas ilmiah PAI pada saat ini telah menunjukkan keberagamannya. Yakni, komunitas ilmiah PAI yang konservatif (tradisional) berfungsi sebagai kritik dan pengerem atas keblabasannya pembaharuan, komunitas ilmiah PAI yang moderat (akomodatif) berfungsi penyeimbang, dan komunitas ilmiah PAI yang liberal (modernis) berfungsi sebagai pembaharu. Di mana, ketiga macam komunitas tersebut saling berdialektika satu sama lain dengan mengajukan argumen supaya gagasan mereka diterapkan di ranah nyata. Implikasinya, karena paradigma dari ketiga jenis komunitas ilmiah PAI itu berbeda, mengakibatkan masing-masing teori yang dibangun (dikembangkan) akan berbeda pula. Selain itu bisa jadi metode, tujuan, nilai, dan sebagainya yang mereka gunakan dalam ―memahami‖ PAI pun akan berbeda. Oleh sebab itu, tidak

83

Nurcholis Madjid, ―Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,‖ dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.

Page 33: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

mengherankan ketika cara pandang sekaligus perlakukan mereka terhadap PAI juga tidak sama. Apabila perbedaan tersebut tidak ada titik temu (kesepakatan) maka menjadi suatu kepastian adanya beberapa varian ilmu PAI versi konservatif, paradigma akomodatif, dan liberal. Serta, tidak menutup kemungkinan adanya varian-varian lain yang salah satunya merupakan sintesis dari beberapa model tersebut.

Dapat dikatakan, peran penting komunitas ilmiah dalam pengembangan PAI adalah sebagai sumber paradigma, sehingga apapun hasilnya dapat dijadikan panduan bagi praktisi PAI. Dengan kata lain, pengembangan PAI –utamanya dalam scope luas— tidak akan bisa berlangsung baik tatkala tidak didukung mayoritas komunitas ilmiah. Meski sekalipun pengembangan itu hanya pada wilayah instruksional (pembelajaran di kelas) tetap membutuhkan ―penguat‖ dari komunitas ilmiah. Bagaimanapun, kemampuan dan wawasan mayoritas pendidik bisa berkembang karena adanya ―paradigma‖ yang diusung oleh komunitas ilmiah PAI. Yakni, paradigma tersebut mereka dapatkan ketika membaca buku, mengikuti seminar, diklat (workshop), dan tentunya juga paradigma yang berasal dari kampus ketika mereka masih proses kuliah. Oleh karena itu, permasalahan dalam dunia PAI harus diselesaikan oleh ahlinya, terlebih lagi adanya kesepakatan dari komunitas ilmiah PAI. Ibaratnya, seorang yang sakit gigi akan sangat kurang optimal penanganannya ketika paradigma pengobatan yang digunakan menggunakan paradigma dokter umum. Penanganan dan penyembuhannya akan bisa berjalan baik dan berefek samping paling sedikit kalau ditangani oleh dokter gigi.

Dapat disimpulkan, keberadaan komunitas ilmiah PAI merupakan cermin bagi dunia pendidikan Islam. Apabila komunitas ilmiahnya aktif dalam mengadakan pengembangan PAI secara positif dan konsisten, maka lambat laun akan menghasilkan proses pendidikan Islam yang baik dalam segala aspeknya. Sebaliknya, ketika komunitas ilmiah PAI tidak peka (sensitif) terhadap perubahan masyarakat dan merasa perlu mempertahankan paradigma lama, dampaknya proses pendidikan Islam akan mengalami stagnansi. Hasilnya, generasi umat Islam tidak akan memiliki perbedaan yang jauh dengan generasi-generasi sebelumnya dalam mengatasi masalah. Padahal, paradigma umat Islam terdahulu belum tentu handal untuk digunakan dalam pemecahan masalah di masa kini. Oleh karena itu, ―regenerasi‖ komunitas ilmiah PAI perlu terus dilakukan dan dikembangkan. Alasannya, tanpa adanya komunitas ilmiah PAI yang berkualitas, maka sebuah paradigma ―berkualitas‖ tidak akan pernah ada. Merekalah yang berperan memilihara bahkan seharusnya juga mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara moral, mereka adalah pengemban tugas penting untuk membawa umat Islam menyusul dari ketertinggalan yang jauh hingga akhirnya bisa mendahului. Pada akhirnya, umat Islam mampu mendukung bahkan pantas ikut serta aktif dalam memajukan negara Indonesia.

D. Penutup

Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan bahwa gagasan ―paradigma‖ juga ―revolusi‖ ilmu pengetahuannya telah membuka jalan lebar bagi segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri. Bagaimanapun, Allah SWT telah memberi dan menunjukkan berbagai ―fenomena‖ kehidupan, sehingga tugas ilmuwan adalah ―membuat‖ teorinya. Termasuk di dalamnya ―ilmu‖ Pendidikan Agama Islam yang selama ini dianggap sebagai ilmu dogmatis yang tidak dapat dianggap (tidak memenuhi syarat) sebagai ilmu pengetahuan.

Ilmu Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu ―alat‖ agama Islam untuk mengembangkan ajarannya perlu diinovasi dan diperbarui. Yakni, salah satunya dengan cara reinterpasi atau penafsiran ulang terhadap sebagian ―paradigma‖ lama yang dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah kekinian. Dengan kata lain, bila melihat konteks kehidupan masyarakat sekarang ini kebutuhan

Page 34: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

terhadap revolusi perkembangan ilmu pengetahuan Pendidikan Agama Islam merupakan hal yang mendesak.

Ide-ide Kuhn tersebut memang di satu sisi oleh kalangan positivistik tidak bisa dikatan ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang cermelangnya tersebut, Khunian bisa menyentuh konteks masyarakat yang tidak bisa dijangkau oleh kaum positivistik. Misalnya, apakah kaum positivistik bisa menyentuh aspek sosiologis, psikologis, dan kepercayaan yang menancap kuat (benar-benar ada) pada suatu fenomena secara tepat dan mendalam. Selain itu dari gagasan Khun tersebut, sebenarnya ilmuwan diajak untuk berfikir kritis. Di mana, dengan sikap kritis itu kemungkinan besar intensitas perkembangan ilmu pengetahuan akan berjalan dinamis sesuai zamannya.

Page 35: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Daftar Rujukan

―Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),‖ KBBI Offline Versi 1.5, dalam

http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam: Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar Cet. III, 2004. Andri, ―Paradigma Ilmu Thomas Kuhn dan Karl Popper,‖ dalam

https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/, 08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.

Anonim, ―Ayat Kauniyah,‖ dalam http://an-naba.com/ayat-kauniyah-2/comment-page-1/,

diakses 25 Februari 2014. Anonim, ―Pemikiran Karl Poper dan Thomas Kuhn tentang ‗Science‘. Apa Persamaan

dan Perbedaannya?‖, dalam http://www.wisnudewobroto.com/pemikiran-karl-popper-dan-thomas-kuhn-tentang-%E2%80%9Dscience%E2%80%9D-apa-persamaan-dan-perbedaannya/, diakses tanggal 23 September 2014.

Anonim, ―Scientific Revolution,‖ dalam http://www.slideshare.net/anjanaaaaaaa/thomas-

kuhn-and-paradigm-shift?qid=5bd4b765-3538-461d-8888-ea9308659f26&v=qf1&b=&from_search=3, diaskes tanggal 23 September 2014.

Anonim, ―Sejarah Sains,‖ dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_sains, diakses

tanggal 16 Februari 2015. Anonim, ―The Structure of Scientific Revolutions,‖ dalam

http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structure_of_Scientific_Revolutions, diakses tanggal 23 September 2014.

Anonim, ―Thomas Kuhn,‖ dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/, 13

Agustus 2011, diakses 23 September 2014. Anonim, ―Thomas S. Kuhn,‖ dalam

http://www.goodreads.com/review/show/191787098?book_show_action=true&page=1, diakses tanggal 23 September 2014.

Armstrong, Karen. ―Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan

Ateisme,‖ dalam The Case for God; What Religion Really Means, terj. Yuliani Liputo. Bandung: Mizan Cet. III, 2011.

Basuki, Dian. ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ dalam

http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn, 05 September 2014, diakses tanggal 23 September 2014.

Choudhury, Masudul Alam. The Universal Paradigm and the Islamic Word-System:

Economy, Society, Ethics, and Science. Singapore: World Scientifc, 2007. Dupré, Ben. ―50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui,‖ dalam 50 Big Ideas You

Really Need to Know, terj. Benyamin Hadinata. Tanpa kota: Esensi, 2010. Echols, John M.dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia,

2013.

Page 36: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Http://menaraislam.com/content/view/209/1/, diakses 25 Februari 2014. Jena, Yeremias. ―Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan,‖

Jurnal Melintas (Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic University, 28 Februari, 2012), hlm. 161-181, dalam https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sains_dan_Kritik_Larry_Laudan, didownload tanggal 23 September 2014.

Josephrouse, ―Kuhn‘s Philosophy of Scientific Practice,‖ dalam Thomas Kuhn, ed.

Thomas Nickles. New York: Cambridge University, 2003. Kosim, Mohammad. ―Menyoal Islamisasi Sains di Madrasah (Studi Atas Kandungan

Agama Islam dalam Buku Ajar Sains di Madrasah Aliyah),‖ Annual International Conference on Islamic Studies Chapter I: Religion & Science: Integrasion Through Islam Studies, hlm 109-124, dalam diktis.kemenag.go.id/aicis/file/dokumen/114162031651650DIES.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman. Bandung:

Remaja Rosdakarya Cet. VII, 2012. Madjid, Nurcholis. ―Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,‖ dalam

Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.

Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2008. Marcum, James A.Thomas Kuhn‟s Revolution: An Historical Philosophy of Science. New

York: Coontinum, 2005. Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada

Orientasi Program Studi Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014.

Mujtahid, ―Islam dan Nalar Ilmiah,‖ dalam http://old.uin-

malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1943:islam-dan-nalar-ilmiah-2&catid=35:artikel&Itemid=210, 12 Februari 2011, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Muslih, Mohammad. ―Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu,‖ Hunafat: Jurnal

Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011: hlm. 53-80, ISID Gontor Ponorogo, dalam http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/84/75, diakses tanggal 21 Desember 2014.

Nurkhalis, ―Konsep Epistemologi Paradigma Thomas Kuhn,‖ Jurnal Subtantia, vol. 14,

No. 2, Oktober 2012 (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry), hlm. 210-223, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KONSEP%20EPISTIMOLOGI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN, didownload tanggal 21 Desember 2014.

Saefuddin, Ahmad Muflih. ―Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,‖ dalam

Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1991.

Page 37: Thomas S. Kuhn-- Paradigma_ Revolusi Ilmu Pengetahuan_ Dan Pendidikan Agama Islam

A. Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Yogyakarta: LKiS, 2015).

Sirozi, Muhammad. ―In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,‖ dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015.

Shuttleworth, Martyn. ―What Is a Paradigm?,‖ dalam https://explorable.com/what-is-a-

paradigm, diakses tanggal 23 September 2014. Suharyanta dan Sutarman, ―Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-interkonektif

Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam,‖ Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012: hlm. 55-76, dalam http://www.aljamiah.org/mukaddimah/index.php/muk/article/download/6/6, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Suyono, Yusuf. ―Studi Perbandingan Risālat al-Tauhīd dan The Reconstruction of

Religious Thought in Islam,‖ (Disertasi Doktor, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 13-14, dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/14350/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Swerdlow, N. M. Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir. Tanpa kota:

National Academy of Sciences: 2013. Tamtowi, Moh. ―Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi

Pengembangan Studi Islam,‖ Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011: hlm 32-41, hlm. 33, dalam http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52, didownload 21 Desember 2014.

Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ dalam

http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal 19 Februari 2015.

Wonorajardjo, Surjani. Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains.

Jakarta: Indeks, 2010. Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala

Thomas Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.