thinking dan tafakur
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Manusia diberi anugerah oleh Allah akal yang digunakan untuk berpikir
dan berusaha memahami segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini.
Berpikir merupakan proses kognitif yang berlangsung di pusat sistem syaraf
yaitu otak. Manusia selalu berupaya mencari informasi, memperoleh
pengetahuan dan mengikuti perkembangan pengetahuan yang baru. Dengan
berpikir memungkinkan kita untuk mengadakan tinjauan dan pembahasan
terhadap berbagai hal dan peristiwa.
Dalam Islam sendiri Alllah menganjurkan kepada manusia untuk
memfungsikan akal untuk digunakan dalam menelaah segala sesuatu. Islam
juga mempunyai persepsi positif terhadap pandangan atau pendapat para
ilmuwan Barat tentang proses berpikir manusia. Berpikir sendiri dilakukan
orang dengan tujuan untuk memahami realita dalam rangka mengambil
keputusan (making decision), memecahkan persoalan (problem solving) dan
menghasilkan sesuatu yang baru (creativity).
Makalah ini secara ringkas dan padat menjelaskan tentang definisi berpikir
menurut ilmuwan Barat dan ditinjau dari sudut pandang agama Islam. Dengan
penjelasan-penjelasan yang ada dalamnya diharapkan bisa menambah
wawasan kita tentang proses kognitif manusia.
1
PEMBAHASAN
SISTEM KOGNITIF MANUSIA
Otak merupakan salah satu unsur dari sistem syaraf kognitif pada semua
makhluk hidup. Sistem syaraf pada manusia adalah sebuah mesin yang rumit.
Sistem ini terdiri dari jutaan sel syaraf yang diperkirakan 12 sampai 200 juta sel.
Otaklah yang bertugas mengarahkan dan mengkoordinasi kerja sel-sel tersebut
sedemilkian rupa sehingga mampu melihat, mendengar, berpikir, mengingat serta
bertindak secara cepat dan tepat.
Otak ialah suatu alat tubuh bagian dari syaraf yang terletak di dalam rongga
tengkorak yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat yang sangat penting dan
berpengaruh karena merupakan pusat sistem semua alat tubuh. Otak menentukan
makhluk hidup bergerak, memerintahkan indera, menuntut dan mengadakan
persepsi, mengatur pola komunikasi, menentukan jumlah informasi dan sekaligus
menyeleksinya. Otak pulalah yang kemudian menerima impuls-impuls informasi
tersebut melalui reseptor, mengirimnya pada sejumlah efektor dan kemudian
menginterpretasikan keseluruhannya serta membuat sejumlah keputusan dan
respon terhadap informasi yang diterima tersebut.
A. BERPIKIR
Manusia dan hewan merupakan makhluk hidup ciptaan Allah yang sama-sama
dianugerahi panca indera yang berfungsi untuk menikmati kehidupan di dunia.
Namun, manusia berbeda dengan hewan karena diberi keistemewaan berupa akal
budi dan kemampuan berpikir yang memungkinkan unuk mengadakan tinjauan
dan pembahasan terhadap berbagai peristiwa dan hal-hal yang umum. Manusia
mempunyai kemampuan kognitif yang sangat luar biasa yaitu berpikir. Meskipun
manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang berpikir, tetapi tidak dapat
disangkal bahwa manusia merupakan makhluk pemikir.
2
Apakah Berpikir Itu ?
Ilmu Psikologi menggunakan istilah ini untuk memberikan label terhadap
kegiatan mental yang bermacam-macam, seperti misalnya penalaran,
memecahkan masalah dan pembentukan konsep-konsep. Ada beberapa definisi
berpikir yang diungkapkan oleh beberapa tokoh psikologi berikut ini :
1. Philip L Harriman mengungkapkan bahwa berpikir (thinking) adalah istilah
yang sangat luas dengan berbagai definisi misalnya angan-angan,
pertimbangan, kreativitas, tingkah laku, pembicaraan yang lengkap,
pemecahan masalah, penentuan, perencanaan dan aktivitas dalam menanggapi
suatu situasi yang tidak obyektif yang menyerang organ panca indera.
2. Drever mengemukakan masalah berpikir sebagai berikut: “Thinking is any
course or train of ideas; in the narrower and stricter sense, a course of ideas
initiated by a problem”. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa berpikir
bertitik tolak dari adanya persoalan atau problem yang dihadapi secara
individu.
3. “Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan
dengan menggunakan lambing-lambang sehingga tidak perlu langsung
melakukan kegiatan yang tampak,” kata Floyd L, Ruch dalam bukunya yang
klasik, Psychology and Life (1967).
Dengan demikian dari berbagai definisi yang telah diungkapkan diatas,
berpikir merupakan tingkah laku mental yang merupakan bagian dari kegiatan
mental sehari-hari pada setiap orang. Berpikir menunjukkan berbagai kegiatan
yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti obyek dan
peristiwa. Berpikir juga dapat didefinisikan sebagai proses menghasilkan
representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan
interaksi secara komplek antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi,
penalaran, imajinasi dan pemecahan masalah.
3
Komponen Dasar di dalam Berpikir
Proses berpikir secara normal menurut Mayer (dalam Solso, 1988) akan meliputi
tiga komponen pokok sebagai berikut:
Pertama, berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi di dalam mental
atau pikiran seseorang, tidak tampak, tetapi dapat disimpulkan berdasarkan
perilaku yang tampak. Contoh, seorang pemain catur memperlihatkan proses
berpikirnya melalui gerakan-gerakan atau langkah-langkah yang dilakukan di atas
papan catur.
Kedua, berpikir merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa
manipulasi pengetahuan di dalam sistem kognitif. Pengetahuan yang pernah
dimiliki (tersimpan di dalam ingatan) digabungkan dengan informasi sekarang
sehingga mengubah pengetahuan seseorang mengenai sesuatu yang sedang
dihadapi seseorang. Contoh, pada waktu seseorang membaca buku, informasi
diterima melalui berbagai tahapan mulai dari proses sensori sampai dengan
ingatan. Informasi ini kemudian ditransformasikan sehingga menghasilkan apa
yang disebut intisari sebagai informasi baru dan hal ini berarti pula sebagai
pengetahuan baru bagi orang itu.
Ketiga, aktivitas berpikir diarahkan untuk menghasilkan pemecahan
masalah. Sebagaimana seorang pemain catur, setiap langkah yang dilakukannya
diarahkan untuk memenangkan suatu permainan. Meski tidak semua langkah yang
dilakukan itu berhasil, namun secara umum di dalam pikirannya semua langkah
diarahkan pada suatu pemecahan.
Berkaitan dengan penyelesaian masalah dan proses berpikir sebenarnya
ada dua pendapat yang berbeda dari para ahli. Sebagian ahli menganggap bahwa
berpikir merupakan suatu aktivitas seperti peredaran darah. Jadi, berpikir
dianggap sebagai aktivitas syaraf otak yang tidak harus berhubungan dengan
masalah. Berpikir tidak hanya terjadi pada saat orang menghadapi persoalan
seperti kebanyakan pendapat para ahli psikologi. Contoh, orang dapat makan
sambil memikirkan suatu masalah. Hal ini dapat terjadi baik disadari maupun
tidak disadari. Sebagian ahli yang lain berpendapat bahwa berpikir selalu
4
berhubungan dengan suatu persoalan yang ingin dicari jalan keluarnya.
Kecenderungan yang banyak dianut orang adalah pendapat yang kedua, sebab
berpikir itu muncul karena ada sesuatu yang dipikirkan, keinginan terhadap
kondisi tertentu atau ketidakpuasan yang semuanya terjadi didalam kehidupan
manusia.
Barangkali perbedaan pendapat itu terletak pada pengertian sumber
masalah. Jika masalah dianggap sebagai sesuatu yang datang dari lingkungan
yang tidak terelakkan dan perlu dicari pemecahannya, maka pandangan pertama
dapat dibenarkan, karena pada saat itu orang akan berpikir. Sebaliknya, jika
masalah dipahami sebagai fenomena yang dapat muncul dari dalam diri
seseorang, misalnya mempermasalahkan sesuatu kemudian berusaha mencari
jalan keluar, maka pandangan kedua dapat dibenarkan karena pada saat itu orang
melakukan aktivitas berpikir juga.
Macam-macam Berpikir
Secara garis besar ada dua macam berpikir: berpikir autistik dan berpikir
realistik.
Yang pertama mungkin lebih tepat disebut melamun. Fantasi, menghayal,
wisful thinking adalah contoh-contohnya. Dengan berpikir autistik orang
melahirkan diri dari kenyataan dan melihat hidup sebagai gambar-gambar
fantastis. Kegiatan mental yang melantur ini tidak mempunyai tujuan tertentu, dan
seringkali dinamakan pikiran (berpikir) tidak terarah atau arus kesadaran arus
kesadaran jaga biasa.
Berpikir realistis, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam
rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Floyd L. Ruch menyebutkan tiga
macam berpikir realistik: deduktif, induktif, evaluatif (Ruch, 1967). Dengan kata
lain Floyd menyebut berpikir realistik sebagai pikiran terarah sebagai kebalikan
dari berpikiran tidak terarah. Pikiran atau berpikir terarah diarahkan pada tujuan
yang tertentu, sangat terkendali dan terikat pada suatu kejadian atau situasi
tertentu, sangat terkendali dan terikat pada satu kejadian atau situasi yang tertentu
pula. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa pikiran atau berpikir terarah ini antara
5
lain penalaran, pemecahan masalah dan belajar konsep. Menurut Floyd, meskipun
berpikir terarah dan berpikir tidak terarah itu mempunyai sasaran yang berbeda,
namun kedua jenis bepikir tersebut sama-sama tergantung pada konsep dasar
termasuk ingatan, imajinasi dan pembentukan asosiasi. Dalam pembahasan ini
kita akan membahas mengenai berpikir terarah atau bepikir realistik.
1. Berpikir Deduktif
Berpikir deduktif ialah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan; yang
pertama merupakan pernyataan umum. Dalam logika, ini disebut logisme.
Berpikir deduktif dapat dirumuskan, “Jika A benar, dan B benar, maka akan
terjadi C”. Dalam berpikir deduktif, kita mulai dari hal-hal yang umum pada
hal-hal yang khusus.
2. Berpikir Induktif
Berpikir induktif sebaliknya, dimulai dari hal-hal yang khusus dan kemudian
mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi. Ketepatan bepikir
induktif bergantung pada memadainya kasus yang dijadikan dasar.
3. Berpikir Evaluatif
Berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik buruknya, tepat atau
tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita menambah atau
mengurangi gagasan. Yang agak mirip dengan berpikir evaluatif adalah
berpikir analogi.
4. Berpikir Analogi
Berpikir analogi adalah berpikir kira-kira, yang didasarkan pada pengenalan
kesamaan. Umumnya orang menggunakan perbandingan atau kontras. Robert
J. Sternberg psikolog dari Yale, meneliti penggunaan analogi ini (Sternberg,
1977). Ia menulis, “Kita berpikir secara analogis setiap kali kita menetapkan
keputusan sesuatu yang baru dalam pengalaman kita, dengan
menghubungkannya pada suatu yang sama pada masa lalu kita”. Lucunya,
berpikir analogi yang tidak logis itu paling sering kita gunakan untuk
menetapkan keputusan, memecahkan soal, dan melahirkan gagasan baru.
6
Di dalam berpikir digunakan simbol-simbol, gambaran-gambaran, kata-
kata pengertian-pengertian yang ada dalam ingatan khususnya ingatan yang
berkaitan dengan long term memory. Simbol-simbol yang digunakan dalam
berpikir pada umumnya berupa kata-kata atau bahasa (language), karena itu
sering dikemukakan bahwa bahasa dan berpikir mempunyai kaitan yang erat.
Dengan bahasa manusia dapat menciptakan ratusan, ribuan simbol-simbol
yang memungkinkan manusia dapat berpikir begitu sempurna dibandingkan
dengan makhluk lain.
Sekalipun bahasa merupakan alat yang cukup ampuh (powerful) dalam
proses berpikir, namun bahasa bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan
dalam proses berpikir, sebab masih ada lagi yang dapat digunakan yaitu
bayangan atau gambaran (image). Misalnya, untuk dapat menjawab sebuah
pertanyaan mengenai benda tertentu, maka dalam benak kita akan muncul
gambaran itu, dan ini amat memudahkan kita untuk mengerti akan benda
tersebut tanpa benda itu tampil di hadapan kita. Dalam keadaan tertentu,
penjelasan yang menggunakan ucapan kata kurang berguna dibandingkan
dengan gambaran mental. Gambaran-gambaran yang dibentuk seseorang akan
berbeda ketajamannya antara orang yang satu dengan orang lainnnya.
Tampaknya adanya hal ini yang menggiring proses berpikir, yaitu bentuk
gambaran penglihatan, pendengaran, peraba dan pengecap.
Untuk Apa Orang Berpikir ?
Menurut Rahmat, berpikir dilakukan orang dengan tujuan untuk
memahami realita dalam rangka mengambil keputusan (making decision),
memecahkan persoalan (problem solving) dan menghasilkan sesuatu yang
baru (creativity).1
Memahami realitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai
kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sebagaimana
pendapat Walgito yang mengungkapkan bahwa tujuan dari berpikir ialah
memecahkan masalah yang dihadapi.2 Berdasarkan atas data yang ada, maka 1 Rahmat, J., 2000, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hal 55.2 Walgito, B., 1994, Pengantar Psikologi Umum; Andi Offset, Yogyakarta, hal 181.
7
ditariklah kesimpulan sebagai pendapat yang akhir atas dasar data atau
pendapat-pendapat yang mendahului. Jadi menurutnya, tujuan berpikir adalah
menarik kesimpulan. Utsman Najati mengungkapkan bahwa fungsi berpikir
adalah pemilah antara kebenaran dan kebatilan, antara kebajikan dan
kejahatan, untuk menyikapi realitas, memperoleh ilmu pengetahuan dan
mengangkat manusia pada tingkat perkembangan dan kesempurnaan, sehingga
apabila seseorang sampai pada keadaan yang demikian ini, maka pemikiran
akan besar nilainya dalam kehidupan. Dan ia menegaskan bahwa hal ini
adalah fungsi alamiah dan berpikir.3
B. TAFAKUR
Dari sudut pandang psikologi modern, tafakur termasuk bagian dari
psikologi berpikir. Tafakur berasal dari bahasa arab (tafakkur = berpikir,
memikirkan, merenungkan atau meditasi). Dalam Islam tafakur (meditasi)
didasarkan atas ayat-ayat Al Qur’an yang ditujukan kepada mereka yang
diberi pengetahuan dan dituntut untuk merenungkan tanda-tanda (fenomena-
fenomena) alam.
Dalam Al Qur’an sendiri banyak ayat-ayat yang menganjurkan manusia
untuk memfungsikan akal budi dalam menelaah segala sesuatu. Sebenarnya
selain kata tafakur (QS.16:68-69 dan QS.45:12-13) yang mempunyai makna
yang sama tentang anjuran manusia untuk merenungkan atau memikirkan
kejadian alam ini, terdapat pula kata lain dalam Al Qur’an yang pada dasarnya
mempunyai tujuan dan arti serupa, seperti kata-kata tadabbara (QS.38:29 dan
QS.47:24), tadzakkara (QS.16:17 dan QS.39:9).
Selanjutnya, kata ayat dalam Al Qur’an erat hubungannya dengan
perbuatan berpikir. Arti dasar ayat adalah tanda (QS.3:41 dan QS.19:10). Ayat
dalam arti tanda kemudian dipakai terhadap fenomena alam yang banyak
disebut dalam ayat kauniyyah, yaitu ayat tentang kejadian alam. Jadi, tafakur
ialah berpikir dan merenungkan serta memahami hikmah-hikmah yang
terkandung dalam keajaiban segala ciptaan-Nya dari segala sisi-sisinya.
3 Najati, MU., 1997, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka Bandung, hal 160.
8
Bertafakur tentang fenomena alam yang dianjurkan di dalam Al Qur’an
membuat adanya interaksi antara sisi kognitif (akal) dan hati (qalb). Dalam
ajaran tasawuf pemikiran, pemahaman atau perenungan itu dilakukan mulai
dari hati (qalb = kalbu) yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui akal
yang berpusat di kepala. Kata hati dapat berarti dua macam, yaitu hati dalam
arti jasmani dan hati dalam arti rohani. Hati dalam arti kedua merupakan
esensi manusia. Adapun yang dimaksud hati dalam ajaran tasawuf adalah hati
dalam pengertian rohani, bukan hati dalam pengertian jasmani yang berupa
benda sebagai alat yang terletak di dalam dada kiri manusia. Kalbu, selain
sebagai alat untuk merasa, juga merupakan alat untuk berpikir. Perbedaan hati
(qalb) dengan akal (aql) ialah bahwa akal tidak bisa memperoleh pengetahuan
yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan kalbu bisa mengetahui hakikat
dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan.
Dengan demikian, menurut pandangan umum, tafakur (pengertian,
pemikiran, pemahaman dan perenungan) adalah jalan untuk mengenal Tuhan
yang dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala. Sedangkan menurut
pandangan para sufi, tafakur itu dilakukan melalui hati yang berpusat di dada.
Fase-fase Tafakur
Perwujudan tafakur memiliki dan melalui tiga fase−yang saling
terkait−dan berakhir pada fase keempat yang disebut dengan istilah “syuhud”.
Fase pertama diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi empiris
yang langsung−melalui alat pendengaran, alat raba atau alat indera
lainnya−atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi atau
kadang pengetahuan rasional yang abstrak; sebagian besar pengetahuan ini
tidak ada hubungannya dengan emosi atau sentimen.
Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi
keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu berarti
ia telah berpindah dari pengetahuan yang dingin menuju rasa kekaguman akan
keagungan ciptaan; susunannya yang rapi dan pemandangannya yang indah.
9
Fase ini adalah fase kedua, fase tempat bergejolaknya perasaan. Kalau dengan
perasaan ini ia berpindah menuju sang Pencipta dengan penuh kekhusyukan
sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi,
berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Sekedar dapat memandang dan
menyaksikan ciptaan-Nya yang lebih dari fase awal yang primitif; pada fase
ini antara pandangan seorang mukmin dan seorang kafir tidak ada bedanya.
Fase kedua, yaitu fase tadlawuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap
ciptaan atau susunan alam yang indah; fase ini dapat dirasakan, baik oleh
orang mukmin maupun oleh orang kafir, tanpa melihat sisi keimanan atau sisi
kekufuran. Akan tetapi, pada fase pengetahuan yang ketiga yang
menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan
alam dengan Penciptanya yang Maha Agung dan Maha Tinggi, merupakan
nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh seorang mukmin. Seorang
mukmin, dalam keadaan takut dan berzikir kepada Allah secara emosional,
akan melihat ciptaan Allah yang ada disekitarnya tidak hanya menggunakan
cara berpikir yang dingin, tetapi juga dapat menembus keindahan dan
keagungan ciptaan Tuhan, sehingga ia dapat bertambah takut dan merasakan
keagungan Tuhannya.
Kalau kita amati masalah ini dari sisi proses belajar dan pembentukan
kebiasaan, kita katakan bahwa jika seorang mukmin senantiasa dalam kondisi
seperti itu, ia akan sampai pada fase keempat; tafakur menjadi suatu
kebiasaan. Proses tafakur yang semula jarang dilakukan dalam kehdupannya,
waktu dan frekuensi bertafakurnya sedikit demi sedikit terus bertambah.
Sehingga, semua yang sebelumnya merupakan hal-hal biasa dipandangnya
sebagai objek tafakur secara mendalam, akhirnya sampai pada perasaan akan
keagungan dan Tuhan dan segala kemuliaan-Nya. Semua yang ada
disekitarnya menjadi motivasi berpikir dan bertafakur. Pada batas ini, ia sudah
sampai pada fase keempat, yaitu fase “syuhud” atau “bashirah” yang banyak
diperbincangkan oleh para ulama, terutama oleh Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim
mengatakan bahwa seseorang yang telah sampai pada tingkatan berpikir
10
seperti ini akan dibuka baginya pintu untuk menyaksikan keagungan Allah
swt, pintu merasakan ke-Mahaperkasaan Allah. Ia dapat melihat segala
pergeseran alam dan gerak wujud hanya ditangan Allah, kemudian bersaksi
bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan−selain kemalangan−yang
menciptakan manusia serta memberinya rezeki, kematian dan kehidupan.
Perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan keagungan penciptaan
serta perasaan kecil dan hina di tengah alam yang ia saksikan merupakan
fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia untuk dapat melihat semua
yang ada di langit dan bumi ini, sehingga ia dapat menemukan sang Pencipta,
merasakan khusyuk terhadap-Nya dan menyembah-Nya, baik karena takut
maupun karena cinta.
Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi
didalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor perbedaan
waktu, ruang dan esensi benda-benda ciptaan itu sendiri. Tafakur merupakan
ibadah yang bebas. Seorang mukmin bebas dan merdeka untuk berimajinasi.
Tafakur merupakan pengembaraan pikiran intuitif yang dapat menghidupkan
dan menyinari mata hati ketika pikiran menerobos dinding tanda-tanda
kekuasaan Allah di alam raya ini menuju Sang Maha Pencipta dan Maha
Pemelihara. Disinilah arti sebenarnya dari upaya pengambilan pelajaran dan
peringatan.
Tafakur merupakan kunci segala kebaikan karena akan membentuk segala
kegiatan kognitif seorang mukmin, dengan zikir kepada Allah, berkenalan
dengan keagungan-Nya, bertafakur dan memahami hikmah-hikmah yang
terkandung dalam keajaiban segala ciptaan-Nya dari segala sisi-sisinya.Proses
tafakur semacam ini meliputi sisi-sisi pikiran, emosi dan persepsi seorang
mukmin. Ia mencakup semua kegiatan psikologis, kognitif dan spiritual.
Awal dari segala perbuatan adalah kegiatan berpikir dan kognitif di alam
sadar. Dasar dari setiap perbuatan sadar adalah berbagai pikiran dan niat atau
segala sesuatu yang terlintas dalam hati yang menciptakan pandangan-
pandanngan. Pandangan ini menciptakan kemauan-kemauan, dan kemauan-
11
kemauan ini menciptakan perbuatan-perbuatan dan mengulang-ulangnya
menjadi suatu kebiasaan. Karena itu, baik buruknya rentetan kesinambungan
ini bergantung pada pikiran dan segala sesuatu yang terlintas di dalam hati.
Kebaikan pikiran dan niat hati diperoleh dari kesinambungannya berhubungan
dan kedekatannya dengan Tuhan. Berdasarkan hal itu, orang yang selalu
berpikir panjang dan mendalam atau bertafakur akan dengan mudah
melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya.
12
PENUTUP
ANTARA BERPIKIR DAN TAFAKUR
Dari penjelasan tentang proses berpikir (thinking) dan tafakur diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya keduanya mempunyai orientasi yang
sama, yaitu menggunakan akal untuk menelaah segala sesuatu. Tetapi, di dalam
tafakur proses berpikir tidak hanya melalui akal melainkan juga menggunakan
hati (qalb) yang bisa merasakan adanya kekaguman akan penciptaan alam
semesta.
Jadi, tafakur memanfaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan
manusia dalam proses berpikir yang telah dibahas diatas. Tafakur adalah
menerawang jauh dan menerobos alam dunia ke dalam alam akhirat, dari alam
ciptaan kepada Pencipta. Loncatan inilah yang disebut al-ibrah, melihat jauh sarat
dengan pelajaran. Tafakur dapat menerobos sempitnya dunia ini menuju alam
akhirat yang luas; keluar dari belenggu materi menuju alam spiritual yang tiada
batas. Tafakur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam
dan luar seorang mukmin. Dalam proses tafakur ini, seorang mukmin
memanfaatkan pengalaman-pengalaman lamanya dan menghubungkannya dengan
persepsinya terhadap segala ciptaan yang sedang ia renungkan, melalui rumusan
bahasa yang ia gunakan. Ia menghubungkan persepsi-persepsi yang didapatinya
dari tafakur itu dengan gambaran lamanya, sekaligus sebagai bahan untuk
mendapatkan kemungkinan positif untuk hidupnya di kemudian hari. Sedangkan
berpikir (thinking) kadang hanya terbatas pada upaya memecahkan masalah-
masalah kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Badri, M., 1996, Tafakur: Perspektif Psikologi Islam; Bandung : PT Remaja
Rosda Karya, Terjemahan : Al-Tafakur min Al-Musyahadah ila al-
Syuhud: Dirasah al-Nafsiyah al-Islamiyah, cet I, 1996
Bastaman, HD., 1995, Integrasi Psikolog dengan Islam, Yogyakarta : Yayasan
Insan Kamil.
Shaleh, AR. dan Muhbib, AW., 2004, Psikologi Suatu Pengantar; Dalam
Perspektif Islam, Jakarta : Kencana.
Suharnan, MS., 2005, Psikologi Kognitif, Surabaya : Srikandi
14