critical thinking guidelines

31
TUGAS MODUL 1 B CRITICAL THINKING GUIDELINES BAGI STAF AKADEMIK Oleh: Endang Lestari FK Unissula Pendahuluan Dunia mengalami perubahan, demikian yang disampaikan oleh Paul dan Elder (2002). Kita tidak akan bisa mengikuti perubahan tersebut tanpa merubah cara berfikir kita secara revolusioner. Dahulu, pola berfikir kita didesain untuk menghadapai dan melakukan hal-hal yang rutin, dan dengan prosedur yang baku. Kita mempelajari pekerjaan kita, kemudian melakukannya berulang-ulang apa yang telah kita pelajari tersebut. Akan tetapi, kompleksitas persoalan yang kita hadapi saat ini membutuhkan pola berfikir yang lebih kompleks, lebih adaptis, dan lebih sensitive terhadap perbedaan sudut pandang. Kita membutuhkan critical thinking. Kondisi tersebut juga terjadi pada bidang kedokteran dan praktek dokter. Tradisi clinical reasoning, yang menerapkan pattern recognition disadari tidak relevan untuk selalu dipergunakan, karena kompleksitas persoalan yang dihadapi dari satu pasien ke pasien lainnya mengharuskan dokter 1

Upload: itamartheani

Post on 28-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

critical thinking guidelines

TRANSCRIPT

Page 1: critical thinking guidelines

TUGAS MODUL 1 B

CRITICAL THINKING GUIDELINES BAGI STAF AKADEMIK

Oleh:

Endang Lestari

FK Unissula

Pendahuluan

Dunia mengalami perubahan, demikian yang disampaikan oleh Paul dan Elder

(2002). Kita tidak akan bisa mengikuti perubahan tersebut tanpa merubah cara berfikir

kita secara revolusioner. Dahulu, pola berfikir kita didesain untuk menghadapai dan

melakukan hal-hal yang rutin, dan dengan prosedur yang baku. Kita mempelajari

pekerjaan kita, kemudian melakukannya berulang-ulang apa yang telah kita pelajari

tersebut. Akan tetapi, kompleksitas persoalan yang kita hadapi saat ini membutuhkan

pola berfikir yang lebih kompleks, lebih adaptis, dan lebih sensitive terhadap perbedaan

sudut pandang. Kita membutuhkan critical thinking.

Kondisi tersebut juga terjadi pada bidang kedokteran dan praktek dokter. Tradisi

clinical reasoning, yang menerapkan pattern recognition disadari tidak relevan untuk

selalu dipergunakan, karena kompleksitas persoalan yang dihadapi dari satu pasien ke

pasien lainnya mengharuskan dokter befikir menyeluruh dengan menerapkan prinsip-

prinsip critical thinking. Kompleksitas persoalan pasien juga mengharuskan dokter untuk

terus berkembang menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta keadaan

lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu seorang dokter dituntut bersikap fleksible

beradaptasi dengan perubahan yang ada dengan terus belajar sepanjang hayat.

Kemampuan generik critical thinking sangat dibutuhkan dalam konteks ini, agar dokter

dapat menentukan kelayakan rujuk material yang dikaji dalam kegiatan belajar sepanjang

hayatnya.

1

Page 2: critical thinking guidelines

Proses pendidikan kedokteran tradisional yang mengandalkan kuliah teacher

centered, yang cenderung menekankan pada transfer pengetahuan, bukan pada

pemfasilitasan pembelajaran, diyakini sangat tidak memberikan kesempatan kepada

siswa untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya. Oleh karena itu, proses

pendidikan kedokteran yang ada selama ini dilaksanakan harus ditinjau kembali, karena

sudah tidak cocok dengan tuntutan keadaan. Mahasiswa kedokteran harus dididik dan

dilatih menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menghubungkan konsep dasar

dengan situasi yang sebenarnya di lapangan. Institusi penyelenggara pendidikan dokter

harus mampu membangun suatu bentuk pendidikan yang mengasah kemampuan berpikir

kritis dan membantu mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritisnya,

baik untuk menyelesaikan persoalan pasien, maupun untuk berkontribusi memberikan

penyelesaian persoalan masyarakat terkait dengan masalah kesehatan. Seluruh proses

pendidikan yang dilaksanakan harus mengarahkan siswa pada pencapaian kemampuan

critical thinking tersebut. Peran dosen / tutor /dan instruktur sangat penting, untuk

memastikan pelaksanaan dan ketercapaian tujuan tersebut. Untuk itu, perlu disusun

guidelines atau panduan bagi staf akademik dalam memfasilitasi pengembangan critical

thinking mahasiswa pada berbagai kegiatan akademik.

Definisi critical Thinking

- Schafersman (1991) menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir dengan

benar berdasarkan pengetahuan yang relevan dan reliable, atau cara fikir yang

beralasan, relfektif, bertanggungjawab, dan mahir. Seorang yang berfikir kritis

dapat menanyakan suatu hal dengan tepat, mencari informasi dengan tepat yang

akan dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah, dapat mengelola informasi

tersebut dengan logis, efisien dan kreatif sehingga dia dapat membuat simpulan

yang logis dan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan tepat

berdasarkan analisis informasi dan pengetahuan yang dimilikinya.

- John Dewey, dikutip oleh Fisher (2001) menjelaskan bahwa critical thinking

adalah pertimbangan yang aktif dan tepat serta berhati-hati atas keyakinan dan

keilmuan untuk mendukung kesimpulan.

2

Page 3: critical thinking guidelines

- Selain itu, Fisher (2001) juga mengambil pendapat Ennis, yang menyatakan

bahwa critical thinking adalah kegiatan berfikir yang beralasan dan reflektif yang

memfokuskan pada apa yang diyakini dan apa yang akan dilakukan.

- The APA Concensus Definition (dalam Facione, 1996) memberikan definisi

berfikir kritis sebagai keputusan yang memiliki tujuan dan dilakukan sendiri oleh

pelaku kegiatan berfikir, sebagai hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi

dan inferensi serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti,

konsep, metodologi, kriteriologi dan kontekstual, yang kemudian melandasi

keputusan yang dibuat oleh orang tersebut.

- Dari definisi tersebut, Facione (2004) menjelaskan bahwa sebagai cognitive skill,

bagian penting dalam kegiatan berfikir kritis adalah interpretasi, analisis, evaluasi,

inferensi, penjelasan dan pengaturan/pengelolaan diri.

Tujuan dan dasar pemikiran pengajaran critical thinking

Schafersman (1991) menjelaskan bahwa tujuan utama pengajaran critical thinking

adalah meningkatkan kemampuan berfikir siswa, agar mereka siap meraih kesuksesan di

dunia yang semakin kompleks persoalannya ini. Sesungguhnya ketika staf akademik

mengajarkan mata kuliahnya maka bersamaan itu pula diharapkan mereka juga

mengajarkan siswanya untuk berfikir kritis. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa

sebagian besar dosen hanya mengajarkan ’what to think’ ’apa yang harus difikirkan’

(yakni materi kuliah) dan bukan ’how to think’ ’bagaimana cara berfikir’ (yakni cara

memahami material tersebut, hingga materi tersebut dapat dipelajarinya sendiri). Banyak

dosen yang dapat melakukan tugas transfer materi dengan baik, akan tetapi tidak banyak

dosen yang berhasil untuk mengajarkan bagaimana berfikir kritis untuk memahami

materi tersebut dan bagaiman cara mengevaluasi pemahamannya terhadap material

tersebut secara mandiri.

Alasan lainnya adalah karena riset menunjukkan bahwa lebih dari 70% siswa

yang berusia 17 tahun tidak memiliki kemampuan ’high order intelectual skill’. 40% dari

mereka tidak dapat melakukan inferensi dari teks tulis yang dibacanya, hanya seperlima

dari mereka yang mampu menulis essay persuasif , dan hanya sepertiga dari mereka yang

dapat menyelesaikan soal matematika yang mengharuskan dipergunakannya banyak

3

Page 4: critical thinking guidelines

langkah (Schafersman,1991). Fenomena ini terjadi juga karena sistem pendidikan

tradisional yang lebih menekankan pada transfer pengetahuan sebanyak mungkin kepada

siswa, dan bukan mendidik mereka agar dapat berfikir kritis tentang subjek yang sedang

dipelajarinya (Pithers, 2000). Harus disadari bahwa agar dapat mengikuti perkembangan

ilmu, siswa tidak diharuskan memiliki kemampuan menghafal seluruh ilmu tersebut, akan

tetapi diharuskan memiliki kemampuan untuk menguasai metode (yakni critical thinking)

agar dapat memahami ilmu, menguasainya dan mengevaluasi informasi yang terkait

dengan keilmuan tersebut.

Alasan lainnya, adalah terkait dengan pendapat Dam dan Volman (2004), yang

menekankan bahwa critical thinking adalah kompetensi wajib bagi seorang warga negara

yang baik. Oleh karena itu, penguasaan kompetensi berfikir kritis ini harus menjadi

tujuan pendidikan bagi setiap warganegara. Dijelaskan bahwa seorang yang selalu

berfikir kritis adalah orang yang memiliki kepribadian yang baik dan hubungan social

yang baik pula. Dengan kata lain, orang yang berfikir kritis tidak akan melakukan hal-

hal yang tidak procedural, dan hal-hal yang merugikan/agregatif. Seorang yang berfikir

kritis selalu berusaha menjadi anggota masyarakat yang baik, yang selalu memecahkan

persoalan masyarakat dengan akurat menggunakan kemampuan critical thinking-nya.

Ketika dia menyelesaikan masalah dalam komunitasnya, dia selalu menggunakan

reflective thinking-nya yakni system berfikir yang mendasarkan pada alasan yang jelas

dan bukti yang akurat, melalui tahap-tahap interpretasi masalah, analisis masalah,

evaluasi, menjelaskan, dan introspeksi diri. Sistem ini membutuhkan kejujuran

intelektual, dan antisipatif terhadap apa yang akan terjadi di kemudian hari, kedewasaan

dalam memberikan penilaian, keadilan, meminimalkan bias, dan sikap selalu mencari

kebenaran. critical thinking harus diarahkan sampai pada critical participation, yakni

kemampuan berfikir kritis dalam keikutsertaannya sebagai warga masyarakat yang

bertanggungjawab atas persoalan di lingkungannya.

Bertolak dari pendapat tersebut, maka critical thinking wajib diajarkan, bahkan

harus sampai pada tujuan untuk menstimulasi siswa agar memberikan partisipasi dalam

seluruh kegiatan dan permasalahan masyarakat dengan menerapkan kemampuan berfikir

kritisnya. Seluruh partisipasi yang diberikan dan ditawarkan hendaknya dilandasi dengan

analisis dan reflective thinking, berpendapat dengan alasan (reasoning) yang jelas dan

4

Page 5: critical thinking guidelines

masuk akal dan berdasarkan bukti. Siswa dituntut untuk mampu melihat masalah dari

berbagai sudut pandang (perspective), menentukan isu pokok di masyarakat, dan asumsi-

asumsi masyarakat, kemudian menganalisisnya. Selain itu, siswa juga dituntut untuk

mampu memberikan pendapat berdasarkan norma dan nilai-nilai yang berkembang di

masyarakat, prinsip-prinsip umum yang ada di masyarakat, budaya, dan lain sebagainya.

Hal-hal yang harus diajarkan dalam critical thinking

Kemampuan yang harus dimiliki oleh critical thinker, bertolak dari definisi APA

Concensus Definition adalah interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi. Facione (2004)

menambahkan dua kemampuan lain yakni expalining dan self regulation. Saya

sependapat dengan Duldt-Battey (1997) yang menyatakan bahwa kemampuan-

kemampuan tersebut dapat diperoleh dengan membiasakan siswa untuk debat dan

menjelaskan. Menurutnya, jika seseorang mampu menerangkan sebuah fenomena,

mampu memberikan label pada setiap kejadian dan hal-hal yang terkait dengannya, maka

sesungguhnya dia sudah menguasai sebagian kecil dari ilmu tersebut. Selanjutnya, jika

dia telah mampu menghubungkan dua atau lebih konsep yang terkait dengan suatu

kejadian serta menjelaskan bagaimana hubungan konsep-konsep tersebut, sehingga dia

harus menyusun argumentasi yang menjelaskan logika hubungan antar konsep tersebut,

dan mempertahankannya posisi dan pandangannya dalam debat, maka dia sudah berada

pada posisi pemahaman yang lebih tinggi. Proses internal untuk mendefinisikan

fenomena, menyusun kriteria, emngevaluasi informasi yang dikumpulkannya, memilih

informasi mana yang relevan, memilih pendapat yang benar dan aman untuk diyakini,

adalah kegiatan penting dalam melatih critical thinking. Duldt-Battey (1997) juga

menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan berpikir kritis

1. Tahap verbal – tahap ini adalah tahap yang paling superfisial, karena mahasiswa

hanya menyatakan atau memberi definisi atas sesuatu. Mahasiswa menyampaikan

pengetahuan yang difahaminya dan definisi-definisi tersebut dengan kata-kata. Dosen

yang baik harus mendengarkan apa yang dikatakan oleh mahasiswa mengenai definisi

dan pemahaman siswa terhadap materi.

2. Tahap membaca- tahap ini agak lebih sulit dari tahap verbal, karena pada tahap ini

siswa diharuskan untuk memahami bagaimana orang lain menjelaskan sesuatu.

5

Page 6: critical thinking guidelines

Sebagai dosen harus mengetahui bagaimana siswa menginterpretasikan apa yang

telah dibacanya. Dalam membaca terjadi proses kombinasi antara apa yang dibaca,

pengetahuan pembaca sebelumnya dan pembaca menginterpretasikan, memeriksa dan

mengoragnisasikan bahan yang dibaca untuk membentuk suatu pengertian yang baru.

Cognitive learning theory menjelaskan bahwa proses belajar terjadi jika informasi

baru tersebut dapat disisipkan pada informasi lama yang tersimpan dalam long term

memory (Simon, 2001).

3. Tahap menulis – tahap yang paling sulit adalah menjelaskan dengan menulis. Pada

tahap ini, mahasiswa harus mampu menuliskan apa yang difikirkannya dan

mempresentasikannya dalam bentuk kalimat yang harus bisa difahami oleh orang

lain. Dosen harus memeriksa struktur dan isi substansi tulisan serta presentasi

mahasiswa atas tulisan tersebut secara oral.

Oleh karena itu, jika pendidikan berorientasi untuk mencetak sumber daya yang mampu

bekerja pada level profesional, maka kemampuan menulis, membaca, dan berbicara ini

harus diajarkan juga. Konsekuensinya adalah intruksional juga harus didesain untuk

mengajarkan kemampuan ketiga kemampuan tersebut. Sayangnya, di banyak institusi

pendidikan tinggi, ketrampilan menulis tidak banyak disentuh. Siswa umumnya memiliki

kesempatan untuk menulis hanya ketika menyusun tugas akhir, baik dalam bentuk Karya

Tulis Ilmiah atau skripsi.

Kegiatan akademik yang dapat dimanfaatkan untuk pengajaran critical thinking

Ada beberapa pendekatan instruksional yang dapat meningkatkan berpikir kritis menurut

Cotton (1991), yaitu

1. Redirecting/probing/reinforcement.

Redirecting artinya bila mahasiswa dalam diskusi keluar dari topik yang dibahas,

maka tutor mengarahkan kembali.

Probing artinya rasa keingintahuan mahasiswa hendaknya dibangkitkan atau

dimotivasi, dan Reinforcement artinya bila mahasiswa dapat menjawab dengan baik

dan berani berargumentasi, tutor memberikan pujian atau diberikan tepuk tangan.

6

Page 7: critical thinking guidelines

2. Mengajukan pertanyaan yang bersifat higher-order , terutama dalam mengevaluasi,

tidak hanya untuk level recall tetapi sampai pada jawaban analisa dan sintesis.

3. Memberikan waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk menjawab pertanyaan.

Sedangkan menurut Resnick (1990), beberapa program peningkatan critical

thinking yang dapat dilakukan adalah:

1. general problem solving skill. Program ini difungsikan untuk melatih kemampuan

reasoning dan penyelesaian masalah. Ada dua jenis program yang biasa dipakai,

yakni CoRT Thinking Program yang disusun oleh De Bono, dan Productive

Thinking Program yang disusun oleh Covington.

2. Reading and study strategy . program ini umum dipergunakan, dan yang paling

banyak diterapkan. Pada program ini, critical thinking diajarkan sebagai context

dependent.

3. Informal logic and critical thinking. Program ini lebih bernuansa filsafat

ketimbang psikologi. Pembelajaran mengenai logika biasanya diajarkan pada

level perguruan tinggi, dan lebih difokuskan untuk penyusunan argumentasi dan

penalaran (reasoning).

Karena penguasaan kemampuan critical thinking dapat dipelajari sekalipun

membutuhkan waktu yang cukup lama, maka critical thinking sebaiknya diajarkan dalam

seluruh kegiatan pendidikan di perguruan tinggi, sejak semester 1 hingga akhir

pendidikan. Pada semester awal, kegiatan dapat berupa pembiasaan berfikir logis, debat,

dan peningkatan kemampuan berbicara. Pada semester-semester akhir dalam kegiatan

rotasi klinik bagi mahasiswa fakultas kedokteran, misalnya, critical thinking dapat

diajarkan melalui kegiatan ’clinical problem solving’, yang mengharuskan mereka untuk

berfikir kritis terhadap informasi holistik yang mereka gali dari pasien, baik melalui

anamnesis maupun dari pemeriksaan fisik dan penunjang.

Seluruh kegiatan akademik pada dasarnya dapat dimanfaatkan oleh dosen untuk

mengajarkan kemampuan critical thinking pada mahasiswa. Berikut penjelasannya:

a. perkuliahan

Banyak ahli yang menyatakan bahwa tidak perlu mengajarkan topik khusus mengenai

critical thinking secara langsung pada siswa (Schafersman, 1991, Kee dan Bicle

7

Page 8: critical thinking guidelines

2001, Pithers, 2000). Mereka menjelaskan bahwa pengajaran critical thinking akan

lebih tepat jika dilakukan dalam context-dependent. Bahkan dalam laporan

penelitiannya, Abraham dkk (2004) menyatakan bahwa critical thinking dapat

diajarkan secara efektif jika diterapkan dalam konteks atau situasi sesungguhnya

(real-world context) dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Meskipun demikian, saya

sepakat dengan pendapat Winch (2006) yang menyatakan bahwa critical thinking

dapat pula diajarkan dalam context independent. Pada kondisi ini, konsep-konsep

critical thinking, reasoning, arguing, dll. dapat diajarkan kepada siswa, sekalipun

contoh-contoh, misal contoh argumentasi, logika, evaluasi terhadap sesuatu, dll., yang

diberikan atau yang dibuat oleh siswa tetap didasarkan pada kasus atau peristiwa atau

konteks tertentu.

Pada kegiatan perkuliahan hal yang dapat dilakukan oleh dosen agar dapat

meningkatkan kemampuan critical thinkingnya adalah dengan:

- memberikan pertanyaan yang tidak hanya mengharuskan siswa untuk memahami

material, tetapi juga mengharuskan mereka untuk menganalisa dan menerapkan

pada contoh yang lain (Schafersman, 1991)

- Dosen harus dapat mengajar secara multiperspektif dan berfokus pada keterkaitan

dan kesamaan dari materi. Mahasiswa harus aktif; mengajukan pertanyaan,

mencari informasi, menghubungkan dengan pertanyaan yang relevan.

- memberikan pertanyaan terbuka yang menuntut siswa untuk memberikan

penjelasan yang mengharuskannya berfikir sebelum memberikan jawaban

(Abraham, 2004)

- memberikan tugas kepada siswa, baik perorangan maupun kelompok untuk

membuat dan menyampaikan simpulan dari kegiatan perkuliahan yang baru saja

dilakukan, sebelum perkuliahan ditutup (Brown dan Monague, 2001)

Kegiatan tersebut dapat dilakukan jika kuliah yang diberikan oleh dosen

menggunakan komunikasi dua arah, dan menekankan learning oriented, tidak sekedar

content oriented.

b. Praktikum di laboratorium

Kegiatan ini juga dapat dimanfaatkan oleh dosen untuk meningkatkan kemampuan

critical thinking mahasiswa, karena ilmu yang dipelajari di laboratorium tersebut

8

Page 9: critical thinking guidelines

adalah sains yang pada umumnya membutuhkan penalaran. Dosen dapat meminta

siswa menjelaskan penalarannya atas kejadian atau fenomena yang dipraktekkan di

laboratorium dengan menggunakan logika ilmu yang dikajinya. Kegiatan seperti ini

dapat meningkatkan kemampuan reasoning.

c. Pekerjaan rumah

Pada pola pembelajaran tradisional, PR sama sekali tidak diorientasikan untuk

meningkatkan critical thinking. Umumnya, kegiatan ini hanya diorientasikan untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disediakan oleh dosen ataupun yang tersedia

di teksbook. PR sebaiknya diawali dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang

harus mereka jawab sebelum mereka membaca teks. Selanjutnya, perintahkan juga

kepada siswa untuk membuat tulisan baru dengan bahasa mereka sendiri untuk

menjelaskan topik yang ditulis oleh pengarang tulisan yang dikajinya tersebut

(membuat parafrase), membuat ringkasan, atau membuat bagan-bagan yang

menjelaskan hubungan topik-topik yang dibacanya tersebut, atau bahkan

mengharuskan mereka untuk melakukan critical appraisal atas tulisan yang

dibacanya. Kegiatan-kegiatan tersebut diyakini dapat menumbuhkan kemampuan

critical thinking mereka. Hasil pekerjaan mereka selanjutnya diberi bobot nilai

sebagai penghargaan.

d. Term paper

Cara terbaik untuk mengembangkan critical thinking adalah mengharuskan siswa

untuk menulis, karena menulis dapat mendorong siswa untuk mengorganisir

pemikirannya, melakukan kontemplasi atas topik-topik yang ditulisnya, mengevaluasi

data dan logika penyampaiannya, dan menyampaikan simpulan dalam bentuk

persuasif.

e. Tutorial atau small group discussion

Tutorial sangat mendidik siswa untuk berfikir kritis dan komprehensif. Dalam

kegiatan ini, siswa dibiasakan untuk mengkaji masalah dan menyelesaikannya dengan

menggunakan langkah-langkah yang terorganisir. Duldt-Battey (1997) mengambil

contoh metode Chubinski yang mengembangkan strategi mengajar berdasarkan teori

berpikir kritis Richard Paul yaitu dengan menggunakan langkah-langkah sebagai

berikut:

9

Page 10: critical thinking guidelines

1. Mengidentifikasi masalah

2. Menentukan tujuan

3. Mengungkapkan asumsi

4. Mengenal dan menggunakan paradigma yang berbeda

5. Demonstrasi berbagai metoda penalaran (reasoning)

6. Menguji data

7. Membuat berbagai pemecahan alternatif

8. Mengevaluasi pendapat orang lain

Chubinski menggunakan permainan ’pemilik sepatu’ ia memberikan sekumpulan

sepatu dan mahasiswa ditugaskan untuk menjelaskan siapa pemiliknya. Pertama-

tama, mahasiswa bekerja secara individual, kemudian dalam kelompok kecil dan

kelompok kelas. Pada sesi terakhir, Chubinski mengungkapkan pemilik sepatu yang

sebenarnya. Langkah-langkah tersebut sebenarnya hampir sama dengan 7 langkah

yang dipergunakan dalam kegiatan tutorial atau biasa disebut dengan seven jump step

yang saat ini dipergunakan di Maastrich University, yang saat ini dipergunakan di FK

Unissula. Diskusi pada keseluruhan step, terutama di step 2 (penyusunan masalah), 3

(analisis masalah), step 4 (brain storming untuk menentukan jawaban tentative dan

penyusunan skema yang menjelaskan jawaban tentative tersebut) serta step 7 (sharing

hasil belajar) adalah kegiatan yang mengharuskan siswa mengaktifkan kemampuan

berfikir kritisnya. Tutor, yang bertindak sebagai fasilitator dalam kegiatan diskusi

tersebut, harus benar-benar meyakinkan bahwa siswa menggunakan dan

mengaktifkan kemampuan critical thinkingnya dalan seluruh step. Memberikan

tantangan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang mendorong siswa berfikir kritis dan

mendalam terhadap topik tertentu, memberikan topik atau kasus baru yang

mengharuskan siswa berfikir lebih mendalam, evaluasi terhadap kelayakan rujuk

sumber pustaka yang diambil oleh siswa, dan lain sebagainya adalah contoh aktivitas

yang dapat dilakukan tutor selama kegiatan tutorial berlangsung. Dengan kata lain,

dalam seluruh kegiatan tersebut, tutor harus memfasilitasi penyusunan hipotesa,

interpretasi, informasi atau data, menentukan kriteria atau membantu mahasiswa

untuk memahami penerapan prinsip dalam situasi baru atau dalam membuat prediksi.

10

Page 11: critical thinking guidelines

Mahasiswa harus dibantu dalam membuat pertanyaan, mengumpulkan informasi,

diskusi, dan menentukan jenis dan validitas data dan membuat kesimpulan tentatif.

f. Belajar mandiri

Kegiatan belajar mandiri yang dilakukan siswa untuk mencari bahan belajar,

mengkajinya dan memahaminya agar dapat disampaikan dalam kegiatan tutorial pada

step 7 sangat mendidik siswa untuk menjadi independent learner dan pada gilirannya

akan mengarahkan mereka pada independent thinker. Harus diingat bahwa

independent thinking adalah tujuan utama dari transformational learning (Meriam,

2004). Mezirow (1997) menjelaskan bahwa mengembangkan kemandirian dalam

berfikir adalah tujuan dan metode pembelajaran orang dewasa, dan memperoleh

kemandirian dalam berfikir adalah produk dari transformative learning. Bertolak dari

pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mandiri juga

bagian yang harus mendapat porsi perhatian bagi tutor/dosen. Dosen harus

meyakinkan bahwa kegiatan belajar mandiri yang dilakukan siswa benar-benar

kegiatan belajar aktif, yang mengharuskan mereka menkaji dan mempertimbangkan

berbagai sumber belajar, dan bukan sekedar copy and paste pendapat atau tulisan dari

teksbook ini dan itu. Dalam kegiatan belajar mandiri, siswa diharuskan untuk

mengkritisi berbagai bahan yang dikumpulkan dan dibacanya, mengaitkan pendapat

satu dengan lainnya sehingga memberikan penjelasan yang logis. Jika ditemukan

pendapat yang saling bertentangan atau sulit difahami, siswa dapat berkonsultasi pada

ahli (dosen mata kuliah terkait).

g. skill lab

Kegiatan pelatihan penguasaan ketrampilan klinik atau biasa disebut dengan skill lab

juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan critical thinking. Pada kegiatan ini,

siswa tidak hanya diajarkan untuk melakukan kegiatan tersebut, akan tetapi mereka

juga harus diajak berfikir mengapa aktivitas tersebut harus dilakukan. Oleh karena

itu, instruktur ketrampilan klinik harus rajin menanyakan kepada siswa, ”menurut

anda mengapa aktivitas (misal resusitasi) ini harus dilakukan, mengapa dilakukan

seperti ini, mengapa bagiam yang diperiksa sebelah sini (misal pada pemeriksaan

fisik), mengapa jika terjadi ini maka yang anda lihat atau yang anda dengar seperti itu

(misal pada pemeriksaan thorax, suara perkusi pekak jantung karena ada kelainan

11

Page 12: critical thinking guidelines

tertentu) dan lain sebagainya, untuk membiasakan siswa melakukan kegiatan

reasoning.

h. rotasi klinik

Seluruh kegiatan dalam rotasi klinik harus diorientasikan pada peningkatan

kemampuan reasoning dan critical thinking, karena pada fase ini siswa sudah harus

menghadapi pasien, sehingga sejak memilih pertanyaan yang harus diajukan pada

pasien dalam anamnesis, memilih pemeriksaan fisik yang arus dilakukan,

menentukan pemeriksaan penunjang yang harus disarankan pada pasien, serta

menentukan diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan penyakit pasien,

keseluruhannya harus menggunakan critical thinking. Selain itu, kegiatan refleksi,

yang semestinya dilakukan oleh siswa untuk mengevaluasi seluruh kegiatan yang

dilakukannya dalam menangani pasien (Branch dan Paranjape, 2002) sejak

melakukan anamnesis hingga menatalaksa penyakit pasien, juga merupakan kegiatan

critical thinking. Perlu diingat bahwa selain mampu melakukan interpretasi, analisis,

evaluasi, dan eksplanasi, seorang critical thinker juga harus dapat melakukan self

regulation, yang ditandai dengan kemampuannya untuk mengkaji ulang kegiatan

berfikir yang telah dilakukannya (Facione, 2004).

i. ujian

Ujian, baik oral, praktek maupun tertulis, keseluruhannya harus diarahkan pada

peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa. Oleh karena itu, pada ujian tulis, soal

dalam bentuk esay yang menjelaskan pemikiran kritis siswa perlu juga diberikan. Jika

bentuk soal pilihan ganda yang dipergunakan, maka bentuk-bentuk soal yang

membutuhkan analisis, sintesis dan evaluasi serta problem solving (atau yang

memenuhi kriteria C4, C5, dan C6 dalam konsep Bloom dan problem solving dalam

konsep Gagne) harus dipergunakan.

Meskipun demikian, Sternberg (dalam Pithers, 2000) menyatakan bahwa kegiatan

pengajaran critical thinking sebagai generic skill tidak pernah berhasil. Selanjutnya Raths

dkk. (dalam Pithers, 2000) menjelaskan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh

berbagai kendala, diantaranya adalah:

12

Page 13: critical thinking guidelines

1. Dosen merasa tidak perlu belajar sesuatu dari mahasiswa: dalam berpikir kritis, dosen

adalah pembelajar yang perlu mendapatkan ide-ide baru, salah satunya adalah dari

mahasiswa.

2. Dosen hanya memberikan kuliah: seharusnya dosen menanggapai respon dari

mahasiswa dan menyajikan kuliah dengan lancan dan menggunakan teknologi. Dalam

konteks problem- based learning yang difungsikan untuk meningkatkan kemampuan

berfikir kritis mahasiswa, dosen harus terlibat aktif dalam proses belajar mengajar

sebagai fasilitator dan bukan sebagai instruktur.

3. Program yang tepat untuk meningkatkan kemampuan critical thinking. Dalam

berpikir kritis, program tergantung pada tujuan dan isi, serta tergantung pada konteks

dan kultur tempat siswa melaksanakan kegiatan berfikir.

4. Pilihan program berpikir kritis berdasarkan pilihan biner (holistic or processed-based,

flexible delivery vs face to face); program akan lebih efektif jika dilakukan dengan

pendekatan gabungan.

5. Hal yang terpenting adalah jawaban ’benar’, seharusnya yang perlu diketahui justru

adalah proses berpikir yang terjadi untuk dapat menjawab dengan benar.

6. Diskusi merupakan alat untuk meraih penyelesaian akhir. Dalam konsep criticl

thinking, seharusnya, critical thinking itulah yang harus menjadi alat penyelesaian

akhir.

7. Penguasaan materi, jika mahasiswa dapat menjawab 90% benar, berarti telah belajar

dalam 90% waktu. Padahal, seharusnya thinking dan performa dpat ditingkatkan terus

menerus.

8. Peran pembelajaran berpikir kritis adalah mengajar berpikir kritis, yakni mengajarkan

tentang konsepr dan teori berfikir kritis, bukannya melatih kemampuan berfikir kritis.

Untuk menjamin berlangsungnya kegiatan critical thinking mahasiswa pada seluruh

kegiatan pembelajaran, Fakultas harus mendorong tertanamnya sikap dosen yang baik

yang mampu menciptakan suasana kondusif untuk perkembangan kemampuan critical

thinking mahasiswa. Cotton (1991) memberikan saran beberapa sikap yang dimiliki

dosen agar dapat membuat iklim yang kondusif bagi peningkatan critical thinking:

1. Menetapkan peraturan-peraturan yang baik dalam proses belajar mengajar

13

Page 14: critical thinking guidelines

2. Membuat perencanaan kegiatan dengan baik

3. Menghormati setiap mahasiswa

4. Melaksanakan kegiatan yang tidak mengancam, baik secara fisik maupun mental

5. Fleksibel

6. Menerima perbedaan tiap-tiap individu

7. Menunjukkan sikap positif

8. Menjadi model / contoh dalam berpikir kritis

9. Menanggapi setiap respon

10. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi aktif

11. Menciptakan pengalaman yang mungkin akan berguna bagi kesuksesan tiap

mahasiswa

12. Menggunakan berbagai jenis metode pengajaran

Fakultas juga harus tegas terhadap perilaku dan sikap dosen yang bisa menghambat

mahasiswa berpikir kritis. Perilaku dosen yang hanya mendemonstrasikan dan

menjelaskan, tidak menanggapi respon mahasiswa, lebih banyak mencela daripada

memuji, menggoyahkan kepercayaan diri mahasiswa, menggunakan pertanyaan yang

hanya pada tingkat mengingat, harus ditegur dan diarahkan agar tidak menghambat

mahasiswa untuk berpikir kritis.

Mahasiswa juga harus dipersiapkan dalam pembelajaran berpikir kritis. Pithers (2000)

mengadopsi pendapat Raths menjelaskan bahwa sikap mahaiswa yang dapat menghambat

berpikir kritis diantaranya adalah:

1. Bertindak tanpa berpikir (impulsive)

2. Memerlukan bantuan pada setiap tahap (over dependent)

3. Menggunakan strategi yang tidak sesuai dengan tujuan (tidak memahami hubungan

sebab-akibat)

4. Mengalami kesukaran dalam pemahaman (miss meaning)

5. Merasa yakin ‘benar’ (dogmatism)

6. Kaku / tidak fleksibel (rigidity / infleksibility)

7. Tidak percaya diri (not confident)

14

Page 15: critical thinking guidelines

8. Beranggapan berpikir kritis sebagai membuang waktu (anti intellectual)

Aplikasi critical thinking pada kurikulum pendidikan dokter Indonesia

Telah dijelaskan di atas bahwa penumbuhan dan peningkatan kemampuan critical

thinking mahasiswa harus dialakukan pada seluruh tahap pendidikan. Oleh karena itu,

dalam aplikasinya pada kurikulum pendidikan kedokteran, critical thinking juga harus

dilatihkan di setiap tahapan pendidikan tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut:

Tahap Generic Skill Education (Semester I):

Pada tahap ini, mahasiswa diberi bekal keterampilan umum (generic skill) untuk belajar

di perguruan tinggi, yaitu belajar presentasi, membaca dan menulis artikel dengan kritis.

Karena kegiatan critical thinking akan diterapkan dan dilaksanakan pada keseluruhan

tahap pendidikan, maka konsep critical thinking ini perlu diajarkan dan dilatihkan pada

modul awal, yakni pada modul 1, bersamaan dengan modul ketrampilan pembelajaran.

Pengajaran critical thinking pada level ini jelas context independen, karena yang

dipelajari khusus kemampuan critical thinking saja, tdak dikaitkan dengan conten subjek

lain. Inilah yang menjadi alasan bahwa pengajaran critical thinking dalam context

independent tetap perlu diberikan seprti pendapat Winch (2006). Meskipun demikian,

dalam memberikan dan membuat contoh, siswa tetap harus mengaitkannya dengan

kontek sesuatu. Pada modul-modul selanjutnya, critical thinking lebih ditingkatkan

dengan diskusi kelompok, dan debat dalam collaborative learning (Gokjale, 1995), yaitu

suatu metoda instruksi dimana mahasiswa belajar bersama dalam kelompok kecil untuk

mencapai tujuan bersama. Belajar bersama dapat melibatkan mahasiswa dalam diskusi,

bertanggungjawab untuk diri sendiri, dan menjadi orang yang berpikir kritis. Belajar

secara kolaboratif secara bermakna hasilnya lebih baik dibandingkan belajar individual.

Tahap Biomedik (Semester II – VII):

Pada tahap ini, mahasiswa masuk pada fase biomedik. Integrasi vertikal dan horisontal

ilmu biomedik harus mereka hadapi. Karena pendekatan yang dipergunakan adalah

problem based learning, maka mahasiswa diharapkan menguasai ilmu dasar untuk

15

Page 16: critical thinking guidelines

membantu penegakkan diagnosis atau penyusunan hipotesis atas kasus klinis yang

diberikan kepada mereka. Problem-based learning merupakan salah satu metode yang

baik untuk mengembangkan berpikir kritis. Mahasiswa belajar berawal dari kasus sebagai

trigger dan tidak langsung ke materi (body of knowledge). Dengan masalah, mahasiswa

belajar bagaimana caranya memecahkan masalah, bagaimana mengevaluasinya dan

pengetahuan apa yang dibutuhkan.

Dengan belajar basic science mahasiswa terbantu untuk membuat hipotesa yang tepat dan

dapat melakukan diagnosis lebih akurat. Metode yang bisa diberikan misalnya Clinically

Oriented Physiology Teaching (COPT), yaitu pembelajaran fisiologi yang diintegrasikan

dengan kasus klinis dalam setiap pembelajaran (Abraham, 2004). Skenario, yang

bertindak sebagai pemicu diskusi, didisain sedemkian rupa sehingga memotivasi

mahasiswa untuk berpikir kritis, yaitu dengan membahas apa masalah intinya, informasi

apa yang harus dipelajari dan dikumpulkan agar dapat disusun hipotesis penyakinya, dan

lain sebagainya. Skenario juga harus diberikan dalam bentuk yang kompleks dan

komponen pengetahuannya multidimensional, sehingga membuat mahasiswa dapat

menyesuaikan diri untuk mencapai tujuan manajemen pasien yang efektif. Kegiatan

perkuliahan, praktikum, dan skill lab juga harus mengarahkan siswa untuk

mengembangkan reasoning dan critical thinking. Sekali lagi, proses collaborative

learning dan independent learning, yang mendorong tercapainya critical thinking

dilaksanakan dalam seluruh tahap

Tahap Rotasi klinik (semester VIII – X):

Pada tahap ini mahasiswa menjalani rotasi klinik, dan praktek sesuai dengan kasus nyata,

dengan pasien sesungguhnya dalam pengawasan dosen. Menghadapi kasus nyata dengan

kategori multipel dan dalam bentuk kombinasi akan mambuat mahasiswa mendapatkan

hasil belajar yang optimal. Pemikiran inilah yang kemudian mendorong dilaksanakannya

integrasi dalam pelaksanaan kepaniteraan klinik, bukan lagi departemental based yang

cenderung terkotak-kotak. Kemampuan Clinical reasoning untuk menegakkan diagnosis

merupakan implikasi nyata untuk mengevaluasi kemampuan critical thinking mahasiswa.

Penilaian tidak hanya didasarkan diagnosa yang tepat atau rencana manajemen yang baik

pada suatu kasus, serta pemahaman mekanisme patofisiologi penyakit tersebut, akan

tetapi yang terpenting adalah mahasiswa dapat mendiagnosa dengan tepat pada kasus

16

Page 17: critical thinking guidelines

lain, dan dengan reasoning yang jelas. Struyf dkk (2005) menjelaskan bahwa Evidence-

based medicine (EBM) juga diajarkan pada semesteri ini. Dengan EBM, mahasiswa

diaktifkan untuk berpikir kritis, meningkatkan pembelajaran sosial dan proses kelompok,

serta meningkatkan sikap mencari informasi secara mandiri dan terus menerus dan

critical appraisal. Selain itu, mahasiswa juga dapat diajarkan problem solving clinical

seminars (PSCS), yaitu seminar mengenai kasus klinis yang terdiri dari deskripsi masalah

pasien yang relevan dan diikuti dengan pertanyaan setengah terbuka agar dapat fokus

pada proses clinical reasoning. Sebelum seminar, mahasiswa mempelajari kasus secara

individual, kemudian didiskusikan dalam kelompok kecil untuk menjawab pertanyaan

setengah terbuka (half-open question). Selama persiapan ini, masalah dipresentesaikan

untuk dilakukan identifikasi, dianalisa dan dipecahkan dengan mengaktifkan pengetahuan

sebelumnya, mencari informasi yang dibutuhkan dan mendiskusikan pemecahan tersebut.

Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Critical thinking adalah kemampuan penting yang harus dimiliki oleh setiap

pembelajar agar dapat eksis di dunia global yang berubah dengan cepat ini.

Kemampuan berfikir kritis akan menuntun pembelajar untuk selalu ingin tahu,

meningkatkan kualitas diri agar dapat menganalisis, mengevaluasi dan

menginferensi dari berbagai hal yang dibaca dan dialaminya untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, dengan kemampuan

critical thinking, seseorang akan selalu termotivasi untuk melakukan kegiatan

belajar sepanjang hayat, memperbarui pemahamannya sesuai dengan konteks

zaman.

2. Kemampuan critical thinking sebaiknya diberikan seawal mungkin dan diajarkan

terus selama pendidikan di perguruan tinggi. Ada 3 tahap berpikir kritis , yaitu

tahap verbal, membaca dan menulis. Oleh karena itu, instruksional harus didesain

sedemikian rupa sehingga mencakup ketiga tahap tersebut.

3. Seluruh kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan baik kuliah, praktikum di

laboratorium, skill lab, tutorial, rotasi klinik, Collaborative-learning, problem-

17

Page 18: critical thinking guidelines

based learning (PBL), clinically oriented physiology teaching (COPT), evidence-

based medicine (EBM), problem solving clinical seminars (PSCS) semua dapat

dimanfaatkan untuk menumbuh kembangkan kemampuan critical thinking.

4. Dosen sebagai staf akademik harus memastikan agar siswa dapat

menumbuhkembangkan critical thinking skill dalam seluruh kegiatan

pembelajaran. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat menumbuhkan iklim critical

thinking harus diciptakan oleh dosen, dan menghindari hal-hal yang menjadi

kendala tumbuhnya skill tersebut.

Panduan ini, jika difahami dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, diharapkan dapat

bermanfaat bagi peningkatan kemampuan critical thinking mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, R R, Upadhnya, S, Torke, S, and Ramnarayan, K. 2004. Clinically oriented physiology teaching: strategy for developing critical-thinking skills in undergraduate medical students, Adv Physiol Educ, 2004; 28, 102-104

Branch, William and Paranjape, Anuradha. 2002. Feedback adn Reflection:Teaching Method for Clinical Settings. Journal of Academic Medicine Vol. 77 No. 12 December 2002.

Brown, George dan Monague, Michael. 2001. AMEE: Medical Education Guide: 22, Refreshing Lecturing: a Guide for lecturers. Medical Teacher, Vol 23 No. 3, 2001, 231-244

Cotton K. 1991. Teaching thinking skills. NW Regional Educational Laboratory. http://www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cu11.html

Dam, Geert ten dan Volman, Monique. 2004. Critical Thinking as Citizanship Competence: teaching strategy. Learning and Instruction. 14 (2004) 359-378.

Duldt-Battey, B.W. 1997. “Teaching winners: How to teach critical thinking” in Critical thinking accoss curriculum project: Longview Community College, Lee’s Summit, Missouri.

Facione NC, Facione PA. 1996. Externalizing the critical thinking in knowledge development and clinical judgment. Nursing Outlook, 44, 129-36.

18

Page 19: critical thinking guidelines

Facione NC.2004. Critical Thinking what it is and why it counts. California Academic Press.

Fisher, Alec, 2001, Critical Thinking an Introduction, UK: Cambridge University Press.

Gokjale A A. 1995. Collaborative learning enhances critical thinking, Journal of Technology Education, 1995; 7(1). (http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/jte-v7n1/gokhale.jte-v7n1.html)

Kee, F dan Bickle I. 2004. Critical thinking and Critical Appraisal: the chicken and the Egg? QMJ, 97, 609-614

Merriam, Sharan B. 2004. The Role of Cognitive Development in Mezirow’s Trnaformational Learning Theory. Jurnal of Adult Education Quartely Vol 55. No.1 November 2004.

Mezirow, Jack. 1997. Cognitive Process: Contemporary Paradigms of Learning. Adult Learning: a Reader. Edited by Sutherland, Peter. London: Kogan Page.

Paul, Richard, W and Elder Linda. 2002. Critical Thinking. USA: Pearson Education Inc.

Pithers RT, Soden R. 2000. Critical thinking in education: A review. Educational Research, 42(3), 237-49.

Resnick, L. 1990. “Instruction and the cultivation of thinking” in Handbook of Educational Ideas and Practice, N Enwistle (ed), Routledge.

Schafersman, Steven D. 1991. An Introduction to critical thinking.

Simon, Scott D. 2001. From Neo Behaviorism to Social Contructivism? The Paradigmatic Non-Evolution of Albert Bandura. Thesis submitted to Emory University. Downloaded at 24-11-2006.

Struyf E, Beullens J, Van Damme B, Janssen P, Jaspaert H. 2005. A new methodology for teaching clinical reasoning skills: problem solving clinical seminars, Katholieke Universiteit Leuven, Faculty of medicine, Centre for Medical Education, Leuven: Belgium

Winch, Cristopher. 2006. Education, Anatomy and Critical Thinking. New York: Routledge.

19