tesis - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang...

182
REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ DALAM INTEGRASI KEILMUAN (Membangun Pendidikan Integratif Nondikotomik) TESIS Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Pengkajian Islam dalam bidang Pendidikan (MA.Pd) Oleh : Ahmad Zamakhsari NIM : 12.2.00.1.03.01.0008 Pembimbing : Suparto, M.Ed, Ph.D SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2014 M

Upload: dokiet

Post on 24-Jul-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ

DALAM INTEGRASI KEILMUAN

(Membangun Pendidikan Integratif Nondikotomik)

TESIS Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Pengkajian

Islam dalam bidang Pendidikan (MA.Pd)

Oleh :

Ahmad Zamakhsari

NIM : 12.2.00.1.03.01.0008

Pembimbing :

Suparto, M.Ed, Ph.D

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1436 H/2014 M

Page 2: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam yang telah

memberikan berbagai macam Ni’mat, Hidayah dan Taufiq-Nya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan Tesis sebagai salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister dalam Ilmu Pendidikan Islam dengan judul

“REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ DALAM

INTEGRASI KEILMUAN (Membangun Pendidikan Integratif

Nondikotomik)” di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta.

Ṣalawat dan ṣalam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad

SAW, keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang senantiasa istiqomah dan

konsisten mengikuti ajarannya, mudah-mudahan kita sebagai umatnya

mendapatkan shafa’at dari beliau di hari kiamat nanti, Āmi>n.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian Tesis ini banyak kendala

yang dihadapi terutama dari segi literatur yang minim, Namun kendala

tersebut dapat diminimalisir sehingga Tesis ini dapat terwujud dengan

baik, tidak dipungkiri selesainya Tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan

dukungan berbagai pihak. Dengan demikian penulis mengucapkan terima

kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya terutama

kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Direktur Sekolah Pascasarjana

(SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Suparto, M.Ed, Ph.D., Dosen Pembimbing terima kasih atas

bimbingan, petunjuk dan arahan-arahan yang telah diberikan,

sehingga penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini.

4. Seluruh dosen yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis

selama masa studi, juga kepada seluruh civitas akademika yang

telah banyak membantu dalam pelayanan administrasi.

5. Bapak dan Ibu pegawai/karyawan/i UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Program Pascasarjana dan Pimpinan Perpustakaan yang

telah banyak membantu dan melayani penulis selama dalam proses

studi sampai ke tahap penyelesain tesis ini.

Page 3: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

iii

6. Bapak Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Marhalah

Al ʽUlya Bekasi, yang telah memberikan izin serta bantuan moril,

materil dan spirituil, sehingga penulis mendapat kesempatan untuk

melanjutkan pendidikan.

7. Kedua orangtua-ku, H. Muhammad Khotib dan Hj. Lilis Suryani

yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dari

tingkat dasar sampai ke jenjang S2 ini, dan juga sebagai motivasi

utama dalam menyelesaikan tesis ini serta do’a dan cinta kasihnya

yang tulus kepada ananda dalam menyelesaikan tesis ini.

Sepantasnyalah do’a khusus buat beliau penulis abadikan dalam

karya ini :

”ياين صغرياـام كام ربهمـلدي وارحالورب اغفريل و “

8. Para teman-teman seperjuangan Good luck selalu semoga sukses

mengiringi kalian semua dan para teman-teman yang sudah

membantu dalam membuat dan mengoreksi tesis ini.

Akhirnya hanya kepada Allah-lah, penulis berserah diri dan

meminta semoga amal baik dari seluruh elemen yang membantu proses

penyusunan Tesis ini diberikan balasan berlipat ganda oleh Allah SWT

dan menjadi amal ibadah disisi-Nya, serta senantiasa mendapatkan pahala

yang berlipat ganda, Āmīn.

Dengan segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga

jerih payah penulis ini dapat menjadi langkah awal bagi pengembangan

wawasan intelektual penulis dan tentunya dengan berharap dapat menjadi

sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Inshā Allah

Jakarta, 10 November 2014

Penulis

Ahmad Zamakhsari

Page 4: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

yang bertanda tangan dibawah ini, saya :

Nama : Ahmad Zamakhsari

NIM : 12.2.00.1.03.01.0008

Menerangkan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :

“REKONSTRUKSI PEMIKIRAN MULLĀ SADRĀ DALAM

INTEGRASI KEILMUAN (Membangun Pendidikan Integratif

Nondikotomik)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan

plagiasi dari orang lain, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk

sumbernya sesuai dengan atauran penulisan yang belaku.

Apabila dikemudian hari terbukti plagiasi dari karya orang lain,

saya sanggup menerima sanksi akademik dari instansi yang bersangkutan.

Jakarta, 10 November 2014

Yang membuat Pernyataan

AHMAD ZAMAKHSARI

NIM. 12.2.00.1.03.01.0008

Page 5: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

v

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penulis tesis atas nama saudara AHMAD

ZAMAKHSARI, NIM. 12.2.00.1.03.01.0008, dengan judul

“Rekonstruksi Pemikiran Mullā Sadrā dalam Integrasi Keilmuan

(Membangun Pendidikan Integratif Nondikotomik)”, memandang

bahwa tesis yang bersangkutan dapat disetujui untuk diajukan ke UJIAN

PROMOSI.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk digunakan sebagaimana

mestinya.

Jakarta, 28 Oktober 2014

Pembimbing,

SUPARTO, M.Ed., Ph.D

Tgl.

Page 6: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

vi

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN

Tesis yang berjudul : “Rekonstruksi Pemikiran Mullā Sadrā dalam

Integrasi Keilmuan (Membangun Pendidikan Integratif Nondiktomik)”

Oleh: AHMAD ZAMAKHSARI, NIM : 12.2.00.1.03.01.0008 Mahasiswa

Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

telah dinyatakan lulus pada UJIAN PENDAHULUAN yang

diselenggarakan pada hari/tanggal : Selasa, 21 Oktober 2014.

Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji,

sehingga disetujui untuk diajukan ke UJIAN PROMOSI.

Jakarta, 28 Oktober 2014

Tim Penguji :

No. Nama Tanda Tangan Tanggal

1 Dr. YUSUF RAHMAN, MA

Ketua Sidang/Merangkap Penguji

2 Prof. Dr. SUWITO, MA

Penguji I

3 Prof. Dr. AMSAL BAKHTIAR, MA

Penguji II

4 SUPARTO, M.Ed, Ph.D

Pembimbing/Merangkap Penguji

Page 7: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

vii

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa konsep integrasi ilmu dan agama bersifat

Integratif-Holistik, yaitu eksistensi ilmu umum dan ilmu agama saling

bergantung satu sama lain. Eksistensi (wujūd) yang ada pada pelajaran umum dan

agama dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan

sama, yang membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-

wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya.

Kesimpulan tersebut mendukung beberapa pendapat lain, seperti :

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1981), Isma’il Raji al-Faruqi (1982)

yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan

meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi menjadi satu. Amin Abdullah

(2003) dengan konsep jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-

integralistik mengatakan bahwa ilmu yang ada di dunia ini haruslah menjadi satu.

Mulyadhi Kartanegara (2005) yang mengatakan bahwa integrasi ilmu dan upaya-

upaya mengintegralkan ilmu agama dan ilmu umum berpusat pada Tauḥīd yang

ditransformasikan dalam waḥdah al- wujūd.

Di sisi lain kesimpulan tesis ini berbeda dengan peneliti yang lain,

diantaranya :

Pervez Hoodbhoy (1991), Fazlur Rahman (1998), Abdus Salam yang

mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersifat objektif, sehingga perbedaan

antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu, tidak ada yang disebut

ilmu Islami dan semua usaha untuk mengislamkan ilmu akan mengalami

kegagalan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini

menggunakan jenis penelitian Library Research melalui pendekatan Historis,

Sosiologis dan Filosofis. Data primer yang digunakan adalah karya Mullā Sadrā,

yaitu Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfār al-ʽAqliyah al-Arbaʽah. Data-data yang

dihimpun dianalisis dengan metode kualitatif dengan pola fikir deduktif-induktif.

Kata Kunci : Mullā Sadrā, Integrasi, Holistik, Tauḥid dan Pendidikan Integratif

Page 8: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

viii

ABSTRACT

This thesis proves that the concept of the integration of science and

religion is a Integrative-Holistic, which means that the existence of general

science and science of religion are interdependent on each other. The existence

(wujūd) which is in general studies and religion with all shapes and characters are

essentially one and the same, a thing to distinguish one from another is just

gradation (tashkīk al-wujūd) which is caused by the difference in essence.

That conclusion supports several other opinions, such as:

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1981) and Isma'il Raji al-Faruqi

(1982) which say that science must be cleansed of the stain of secularism by

putting back the authority of revelation and intuition into one. Amin Abdullah

(2003) with the concept of spider web-patterned teoantroposentris integralistic

says that the science which is there in this world must be united each other.

Mulyadhi Kartanegara (2005) who said that the integration of science and

integrating the efforts of religious knowledge and general science are centered on

Tauḥīd which is transformed into Waḥdah al-Wujūd.

On the other hand the conclusions of this thesis differ from other

researchers, such as :

Pervez Hoodbhoy (1991), Fazlur Rahman (1998), Abdus Salam as who

say that science is objective, so that the difference between modern science and

Islam is false, no one calls Islamic sciences and all attempts to islamize science

will experience failures.

This type of research is used in the preparation of this research using this

type of research through the library research which is supported by Historical,

Sociological and Philosophical approaches. The primary data that is used is the

work of Mulla Sadra, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfār al-ʽAqliyah al-Arbaʽah.

The data which are collected are analyzed by using qualitative methods with

deductive-inductive.

Keywords: Mullā Sadrā, integration, Holistic, Tauḥid and Integrative education.

Page 9: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

ix

ملخص البحث

طرحت هذه الرسالة أن مفهوم التكامل بني العلوم والدين شمويل تكاميل، وهي وجود

وجود الدروس العامة والدينية مع أن . بعضها عىل بعض العلوم العامة وعلوم الدين مرتابطة

التشكيك نفسها التي متيز أحدمها من اآلخريف مجيع األشكال واألحرف يف احلقيقة واحدة

هذه الرسالة تعزز نتائج البحوث منها : . الفرق يف جوهرها سببيالوجود الذي

نيقوال ان( الذ1891( وإسامعيل راجي الفاروقي )1891) النقيب العطاس حممد سيد

سلطة الوحي واحلدس من أن العلم جيب أن تطهر من وصمة عار للعلامنية بوضع مرة أخرى

"نسيج العنكبوت"مع مفهوم نمط ( 1002آمني عبد اهلل )تصبح واحدة .

teoantroposentris-integralistik . يقول أن العلم هناك يف هذا العامل يصبح واحدة

لعلوم الدينية وتكامل بني االذي يقول أن تكامل جهود العلم (1002) موليادى كارتانيجارا

والعامة تدور عىل التوحيد الذي يتحول يف وحدة الوجود .

: ، منها ىاإلستنتاج األخرهذه الرسالة ختتلف عن

أن العلم ( و عبد السالم هم يقولون 1889) فضل الرمحنو (1881) هودهبوي برويز

يسمى العلوم الذي وال أحد، هو اهلدف، حيث أن الفرق بني العلوم احلديثة واإلسالم كاذبة

.اإلسالمية ومجيع املحاوالت الرامية إىل صبغ العلوم سوف تواجه الفشل

ويستخدم هذا النوع من البحوث يف إعداد هذه الدراسة باستخدام هذا النوع من

املصادر والسوسيولوجية والفلسفية. خيةـالتاريمن خالل اتباع هنج األبحاث املكتبةالبحوث

احلكمة املتعالية يف أسفار "املال صدرا الرئيسية التي تستند إليها البحث يف هذه الدراسة هي كتاب

يف . ويتم حتليل البيانات التي تم مجعها بأسلوب نوعي مع أنامط التفكري "األربعة العقلية

. ستنباطيإلستقرائي واإلا

. والشامل ، والتوحيد ، والرتبـية، التكاملو، املال صدرا :كلامت البحث

Page 10: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN

Pedoman Transliterasi Arab – Latin yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai barikut :

A. KONSONAN

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

s{ = ص

d{ = ض

t{ = ط

z{ = ظ

ع = ‘

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

B. VOKAL

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah a A

Kasrah i I

Dhammah u U

Page 11: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

xi

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

ي ... Fathah dan ya Ai a dan i

و ... Fathah dan wau Au a dan w

Contoh :

Ḥaul : حول Ḥusain : حسني

C. MADDAH

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan Alif a> a dan garis di atas ــــــا

Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ــــي

ــو Dhommah dan wau u> u dan garis di atas ــ

D. TA’ MARBUTAH ( ة )

Transliterasi Ta’ marbutah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata

sesudahnya maupun tidak. Contoh Mar’ah (مرأة) madrasah (مدرسة) .

Contoh :

al-Madi>nah al-Munawwarah : املدينة املنورة

E. SHADDAH

Shaddah/Tashdi>d ditransliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.

Contoh :

ـنا ل <rabbana : رب nazzala : نـز

Page 12: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

xii

F. KATA SANDANG

Kata sandang “ ال “ dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya,

jika diikuti huruf syamsiyah, maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan dan di

tulis “al“ jika diikuti dengan huruf qomariyah. Selanjutnya ال ditulis lengkap baik

menghadapi al-Qamariyah seperti kata al-Qamaru ( القمر ) maupun al-

Syamsiyah seperti kata al-Rajulu ( جل . ( الر

Contoh :

مس al-Qalam : القلم ash-Shams : الش

G. PENGECUALIAN TRANSLITERASI

Pengecualian Transliterasi adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim

digunakan di dalam bahasa indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa

Indonesia, seperti lafaz Allah, asma’> al-husna> dan ibn, kecuali menghadirkannya

dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

Page 13: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................ iv

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. v

LEMBAR PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN .................... vi

ABSTRAK ....................................................................................................... vii

ABSTRACT ..................................................................................................... viii

ix .......................................................................................... ملخص البحث

PANDUAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................. x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Permasalahan .................................................................................... 13

1. Identifikasi Masalah .................................................................. 13

2. Pembatasan Masalah ................................................................. 13

3. Perumusan Masalah .................................................................. 13

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 14

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................................. 14

E. Metodologi Penelitian ....................................................................... 19

1. Obyek Penelitian ....................................................................... 19

2. Sumber Data .............................................................................. 20

3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 20

4. Teknik Analisa Data .................................................................. 20

F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 21

BAB II INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

DALAM LINTAS SEJARAH PENDIDIKAN

A. Integrasi dan Dikotomi Pendidikan .................................................. 23

B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ditinjau dari :

1. Tinjauan Normatif Teologis ...................................................... 42

2. Tinjauan Filosofis ...................................................................... 47

C. Tipologi Integrasi Keilmuan ............................................................. 55

D. Integrasi Ilmu Versus Dikotomi Ilmu ................................................ 68

Page 14: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

xiv

BAB III REINTEGRASI ILMU DALAM REKONSTRUKSI

HOLISTIK MULLĀ SADRĀ

A. Biografi Mullā Sadrā ........................................................................ 77

1. Riwayat Hidup .......................................................................... 77

2. Karya-karya Ilmiah Mullā Sadrā ............................................... 81

B. Latar Belakang Corak Pemikiran Mullā Sadrā ................................. 87

1. Filsafat Peripatetik (Mashā’ī) ................................................... 87

2. Illuminasionisme (Ishrāqī) ........................................................ 90

3. Gnostik (‘Irfānī) ........................................................................ 92

C. Tauḥid: Prinsip Utama Integrasi Ilmu ............................................... 95

BAB IV HUBUNGAN ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

DALAM PERSPEKTIF MULLĀ SADRĀ

A. Tinjauan Ontologi (Tataran Obyek Ilmu) ......................................... 100

1. Wahḏat al-Wujūd ....................................................................... 101

2. Tashkīk al-Wujūd ....................................................................... 108

3. Aṣālat al-Wujūd ......................................................................... 110

B. Tinjauan Epistemologi (Tataran Cara Memperoleh

Ilmu) ................................................................................................ 111

C. Tinjauan Aksiologi (Tataran Manfaat Ilmu) ..................................... 126

BAB V INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

DALAM KONTEKS PENDIDIKAN NASIONAL;

SEBUAH TAWARAN MEMBANGUN

PENDIDIKAN INTEGRATIF

A. Kerangka Pendidikan Holistik .......................................................... 133

B. Kurikulum Berbasis Integrasi ........................................................... 137

C. Integrasi Materi Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan Materi

Umum .............................................................................................. 142

BAB VI Penutup

A. Kesimpulan ....................................................................................... 151

B. Saran ................................................................................................. 152

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 153

GLOSARIUM .................................................................................................. 162

INDEKS ........................................................................................................... 164

RIWAYAT PENULIS ..................................................................................... 168

Page 15: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai ajaran yang bersifat universal dan berlaku sepanjang

zaman bukan hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Demikian

pula Islam mengatur ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Tuhan dan ilmu-ilmu yang

berkaitan dengan keduniaan. Islam mengatur keduanya secara integrated. Di

dalam al-Qur’ān dan as-Sunnah sesungguhnya tidak ada istilah ilmu agama dan

ilmu umum, yang ada hanya ilmu itu sendiri dan seluruhnya bersumber dari

Allah SWT. Apa yang disebut sebagai ilmu agama sebenarnya di dalamnya juga

mengatur ajaran tentang bagaimana sesungguhnya hidup yang baik dan beradab

di dunia ini dan apa yang disebut ilmu umum, sebenarnya amat dibutuhkan

dalam rangka berhubungan dengan Tuhan. Namun, jika dilihat dari sifat dan

jenisnya sulit dihindari adanya paradigma ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu

umum, atau paling tidak paradigma tersebut hanya untuk kepentingan teknis

dalam mengklasifikasikan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.1

Hubungan ilmu (sains) dan agama, baik dalam ranah ontologis,

epistemologis maupun aksiologis selalu menyisakan persoalan yang tidak pernah

selesai dibicarakan.2 Ilmu pengetahuan dewasa ini mengalami dikotomisasi

akibat gerakan sekularisasi barat sehingga ada pemisahan antara ilmu umum dan

ilmu agama. Ilmu umum diidentikkan dengan ilmu yang sumber pengambilannya

dari alam semesta, sedangkan ilmu agama yang bersumber dari wahyu, padahal

semua itu berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa karena

wahyu dan alam semesta semuanya adalah ayat-ayat Allah, maka kalau melihat

perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam tidak dijumpai adanya dikotomi

antara ilmu keagamaan dan ilmu non keagamaan.3

1 M. Hasbi Amiruddin dan Usman Husen, Integrasi Ilmu dan Agama (Banda

Aceh: Yayasan PENA, 2007), 35. 2 Berawal dari temuan Copernicus (1473-1543) yang kemudian diperkuat oleh

Galileo Galilei (1564-1642) tentang struktur alam semesta yang heliosentris (matahari

sebagai pusat tata surya) berhadapan dengan gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat

tata surya), telah melahirkan ketegangan antara ilmu dan agama. Penerimaan atas

kebenaran ilmu dan agama menjadi satu pilihan yang dilematis. Di Inggris pada tahun

1870 dalam satu kuliah umum Max Muller telah mengejutkan audiensnya ketika ia

mempromosikan apa yang ia sebut sebagai ilmu agama (science of religion). Satu

kombinasi yang pada saat itu dianggap aneh karena pasca Origin of Species-nya Darwin,

kebenaran ilmu dan agama semakin tidak dapat dipertemukan. Yang satu meyakini

bahwa alam semesta terjadi karena diciptakan langsung oleh Tuhan (kreasionisme) dan

yang lain menganggap alam semesta semata-mata merupakan proses alamiah yang sangat

panjang (evolusionisme). Lihat Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, terj. Ali Noer

Zaman (Yogyakarta: Penerbit Kalam, 2001), 6. 3 Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua

bagian. Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok

yang saling bertentangan. Secara Terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan

Page 16: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

2

Islam adalah agama yang memiliki berbagai macam pengetahuan, baik

itu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam Islam pengetahuan

tidak dibedakan, bahkan Islam menganggap kedua pengetahuan tersebut ibarat

mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan

satu sama lainnya. Dewasa ini, banyak orang yang sudah terbiasa dengan sebutan

Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum. Ilmu Agama Islam yang berbasiskan pada

wahyu, hadith Nabi, penalaran dan fakta sejarah sudah berkembang demikian

pesat, misalnya Ilmu Kalām (Teologi)4, Ilmu fiqh (Uṣūl fiqh)5, Filsafat6,

antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-

dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia

pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality).

Lihat M. Rusydi, ia menulis Artikel, “Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam

dan Pengaruhnya,” Jurnal: Al-Banjari, Vol.5, No.9 (2006) : 23. 4 Ilmu kalām (Teologi) termasuk ilmu Agama Islam yang paling pertama kali

muncul dalam Islam. Kemunculan ilmu ini ada hubungannya denga peristiwa politik

yang terjadi antara pasukan yang dipimpin Khalīfah Alī bin Abī Ṭalib (Khalīfah IV)

dengan Muʽāwiyah bin Abī Sufyan yang saat itu menjadi penguasa di Damaskus.

Muʽāwiyah yang merasa memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan pengikutnya

mencoba menghimpun kekuatan untuk memberontak melawan Khalīfah Alī bin Abī

Ṭalib. Menghadapi yang demikian itu Alī bin Abī Ṭalib memutuskan untuk menumpas

pemberontakan tersebut dan karenanya terjadilah peperangan disuatu tempat yang

namanya Siffin. Peperangan yang hampir saja dimenangkan oleh pasukan Alī bin Abī

Ṭalib ini terpaksa dihentikan, karena dari pihak Muʽāwiyah menawarkan cara

penyelesaian melalui damai (Arbitrase). Tawaran ini disetujui oleh Alī secara terpaksa,

hingga secara politis pihak Alī bin Abī Ṭalib dikalahkan. Keadaan ini menyebabkan

timbulnya kelompok yang tidak puas dan keluar dari Alī bin Abī Ṭalib. Kelompok ini

selanjutnya disebut Aliran Khawārij, Murjiʽah dan berbagi aliran teologi lainnya. Dalam

upaya saling menyalahkan atas kekalahan politis tersebut, alirannya tersebut

menggunakan terminologi teologi, seperti Imān, kāfir, mushrik dan seterusnya.

Perkembangan munculnya aliran teologi ini juga dipengaruhi oleh pemikiran filsafat

yunani yang terjadi di zaman Abbasiyah. Atas pengaruh aliran filsafat ini munculah

aliran Muʽtazilah, Ashʽariyah, Māturīdiyah dan sebagainya. Lihat Harun Nasution,

Teologi (Ilmu Kalam) (Jakarta: UI Press, 1978), Cet. 1, 45. dan Abuddin Nata, Ilmu

Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: Rajawali, 1982), Cet. 1, 15-20. 5 Ilmu Fiqh (Ushul Fiqh) secara harfiah adalah ilmu yang membahas hukum-

hukum shara’ yang diproses melalui dalil-dalil terperinci. Ilmu yang amat “sibuk”

mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan

hubungan manusia dengan alam ini termasuk ilmu yang paling menonjol dan amat besar

pengaruhnya dalam Dunia Islam. Sebagaimana dalam Ilmu Kalām, Ilmu Fiqh (Uṣūl

Fiqh) termasuk Ilmu yang sarat dengan nuansa perbedaan pendapat yang melelahkan.

Lihat Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Cet. II, 34. 6 Filsafat Islam adalah istilah yang mengacu kepada pemikiran-pemikiran

filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim, seperti al-Kindi, ar-Rāzi, al-Farābi, Ibnu

Maskawaih dan Ibnu Sīna di dunia Islam belahan timur, serta Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail,

al-Ghazāli dan Ibnu Rushdy di belahan Barat. Filsafat Islam mulai muncul bersamaan

dengan munculnya filosof muslim pertama, al-Kindi pada pertengahan abad ke-9 M

(parohan pertama abad ke-3 H). Filsafat Islam mencapai puncaknya di tangan al- Farābi

Page 17: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

3

Taṣawuf7, Tafsīr (Ulūm al-Tafsīr)8, Hadith (Ulūm Hadith), Sejarah dan

Peradaban Islam, Pendidikan Islam, Dakwah Islam9 dan lain sebagainya.

Konferensi Pendidikan Islam Sedunia I di Makkah pada 1977

mengklasifikasikan ilmu kepada ilmu naqli (wahyu) dan ilmu ʽaqli (dicari

dengan akal). Ilmu aqli itu kemudian diklasifikasikan lagi kepada sains-sains

alam (natural science) dan sains kemanusiaan (social science and humanities).10

Ilmu

Naqli Aqli

Tabi’i Kemanusiaan

Ekonomi Sosiologi Psikologi Geografi Lain-lain

Jadi, kalau ingin menerapkan nilai Islam dalam sains kemanusian, maka

yang dimaksudkan adalah ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi,

geografi, manajemen, perniagaan, komunikasi dan lain-lain. Di samping itu,

harus sadar bahwa ilmu berkembang setiap hari. Misalnya, dari ilmu sains

kemanusiaan, ada yang bersifat teoritis seperti ekonomi, psikologi, sosiologi dan

dan Ibnu Sīna (abad ke-4 dan ke-5 H). Kedua filosof itu merupakan dua bintang

terkemuka dalam filsafat Islam, sedangkan para filosof muslim lainnya dianggap sebagai

satelit-satelitnya. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam

(Jakarta: Ushul Press, 2012), 108. 7 Taṣawuf menurut bahasa Arab, berarti memakai pakaian dari ṣuf (bulu domba

yang kasar, belum diolah) orang yang memakainya dapat disebut ṣufi atau mutaṣawwif.

Memakai pakaian dari bulu domba yang kasar itu merupakan praktek yang lumrah

dikalangan orang-orang miskin atau di kalangan mereka yang masa lalu (jauh sebelum

datangnya Islam dan juga pada masa setelah datangnya Islam itu di abad ke-7 M). Lihat

Abdul Aziz Dahlan, Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam, 169. 8 Tafsīr (Ilmu Tafsīr) adalah ilmu yang membantu orang yang mempelajari

untuk memahami kandungan al- Qur’ān secara benar sesuai dengan ajaran al-Qur’ān itu

sendiri. Di dalam ilmu ini-pun banyak sekali cabang dan alirannya, ada yang bercorak

teologi, falsafi, sufistik, fiqhiyah dan sebagainya. Lihat Abuddin Nata, Suwito, Masykuri

Abdillah, Armai Arief, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2005), 2. 9 Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum, 2. 10 Untuk laporan lebih lengkap tentang konferensi ini, lihat Hamid H. Bilgrami

dan S. Ali Ashraf (Eds.), The Concept of Islamic University, terj. Machnun Husein

dengan judul Konsep Universitas Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)

Page 18: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

4

lain-lain, dan ada pula yang bersifat praktikal seperti manajemen, perniagaan,

pendidikan, konseling dan lain-lain.11

Selanjutnya ilmu-ilmu umum yang berbasiskan pada penalaran akal dan

data empirik juga mengalami perkembangan yang lebih pesat lagi dibandingkan

dengan ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di dalam Islam. Ilmu-ilmu

umum ini secara garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, ilmu

umum yang bercorak Naturalis dengan alam raya dan fisik sebagai objek

kajiannya, yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain; Fisika, Biologi,

Kedokteran, Astronomi, Geologi, Botani dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut

selanjutnya disebut sains. Kedua, ilmu umum yang bercorak Sosiologis dengan

perilaku sosial/manusia sebagai objek kajiannya, yang termasuk ke dalam ilmu

ini antara lain; Antropologi, Sosiologi, Politik, Ekonomi, Pendidikan,

Komunikasi, Psikologi dan sebagainya. Ketiga, ilmu umum yang bercorak

Filosofis Penalaran, yang termasuk kedalam ilmu ini antara lain; Filsafat,

Logika, Seni dan ilmu-ilmu Humaniora lainnya.12

Banyak faktor yang menyebabkan ilmu-ilmu tersebut tidak harmonis

atau dikotomis. Pada inter ilmu agama misalnya, ketidak harmonisan tersebut

banyak disebabkan oleh kepentingan politik kelompok, metode berfikir serta

aliran yang diyakininya, situasi dan kondisi dimana seorang mujtahid berada,

kecerdasan dan latar belakang pendidikan serta hubungan sosial lainnya.

Sedangkan dalam inter ilmu umum perbedaan terjadi antara lain karena

perbedaan metode dan pendekatan yang digunakan, situasi sosial politik,

kecenderungan individual, kecerdasan dan keterbatasan pengetahuan, serta

ideologi yang diyakininya. Adapun terjadinya dikotomi antara ilmu agama Islam

dengan ilmu umum antara lain karena adanya perbedaan pada dataran ontologi,

11 Selanjutnya kita perlu mengemukakan definisi sains yang banyak diterima

oleh pakar pendidikan yang mengatakan: "sains adalah sejumlah konsep dan binaan

hipotesis (hypothetical construct) yang terwujud sebagai hasil dari proses pengamatan

dan eksperimen yang pada gilirannya membawa kepada lebih banyak pengamatan dan

eksperimen". Kalau kita terima definisi ini, maka kita akan sampai pada kesimpulan

bahwa sains mengandung dua unsur utama, yaitu kandungan sains itu dan proses yang

membawa kepada menemukan fakta dan konsep yang membentuk kandungan itu dan

selanjutnya menolong menyusun dan mengatur fakta dan konsep itu dalam tataran yang

saling terkait (interconnected) yang selanjutnya mendorong untuk memperoleh lebih

banyak pengetahuan baru. Lihat Azhar Arsyad, ia menulis Artikel, “Buah Cemara

Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama,” Hunafa Jurnal Studia Islamika,

Vol.8, No.1 (2011) : 4. 12 Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan umum bergerak amat cepat dan

luar biasa sebagai akibat dari intensifnya kegiatan penelitian yang didukung oleh etos

ilmiah yang tinggi, dana yang berlimpah serta alat bantu penelitian yang canggih dan

lengkap. Ilmu pengetahuan yang dahulunya dikuasai oleh umat Islam, kini sebagai besar

dikuasai masyarakat Barat dan Eropa. Lihat Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap

Peradaban Eropa dan Barat, (Jakarta: P3M, 1980), Cet. 1, 76.

Muhammad R. Mirza dan Muhammad Iqbal Siddiqi, Muslim Contribution to

Science, (Pakistan: Kazi Publications, 1986), Cet.1, 17-29.

Page 19: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

5

epistemologi dan aksiologi kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang

mutlak benar dan dibantu dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya

tidak boleh bertentangan dengan wahyu. Sementara itu, ilmu pengetahuan umum

yang ada selama ini berasal dari barat dan berdasar pada pendangan filsafat yang

ateistik, meterialistik, sekularistik, empiristik, rasionalistik, bahkan hedonistik.

Dua hal yang menjadi dasar kedua ilmu ini jelas amat berbeda dan sulit

ditemukan.13

Salah satu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut adalah dengan cara

mengintegrasikan intern ilmu agama dan intern ilmu umum, serta integrasi

antara ilmu agama dengan ilmu umum. Upaya ini perlu dilakukan jika tidak

menginginkan keadaan yang lebih membahayakan masa depan umat manusia.

Upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum tersebut mulai

diperkenalkan para ahli yang visioner sejak akhir abad ke-20, yang menimbulkan

pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju tentang Islamisasi ilmu14 tersebut dan

di pihak lain ada yang tidak setuju. Sikap ini mirip dengan sikap yang

ditunjukkan oleh umat Islam ketika merespons pelbagai masalah sosial politik.15

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu

pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M sampai abad ke-15 M. Setelah itu, masa

keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 M ini.16

Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pendidikan Islam yang berkembang

adalah pendidikan Islam non-dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan

13 Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. 5-6. 14 Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya

sebagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria

pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain,

Islam hanya berlaku sebagai kriteria etis di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi

dasarnya, bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka

menganggap mustahil muncul ilmu pengetahuan Islami, sebagaimana mustahilnya

pemunculan ilmu pengetahuan Marxistis. Lihat Mulyanto, “Islamisasi Ilmu

Pengetahuan,” dalam Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu

Pengetahuan (Jakarta: LSAF, Iris, Cidesindo, 2000), Cet. 1, 17-18. 15 Paling kurang terdapat tiga kelompok yang berpandangan berbeda-beda dalam

merespons hubungan agama dan politik. Kelompok pertama, mereka yang mengatakan

bahwa agama mengatur segala hal yang berkaitan dengan politik dan kenegaraan,

sebagaimana diperlihatkan oleh Abul A’la al-Maudūdi, Hasan al-Bana dan lain-lain.

Kelompok kedua, mereka yang mengatakan bahwa antara agama dan politik tidak ada

hubungannya sama sekali. Agama mengaur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan

politik mengatur hubungan manusia dengan manusia, sebagaimana diperlihatkan oleh Ali

Abd. Razak dan lain-lain. Kelompok ketiga, berpendapat bahwa agama memiliki

hubungan yang erat dengan politik dalam hal memberikan prinsip-prinsip etis tentang ke

arah mana politik tersebut dibawa. Lihat Munawir Sadzali, Islam dan Ketatanegaraan

(Jakarta: UI Press, 1996), Cet.1, 34. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam

(Jakarta: Grafiti, 2000), Cet. 1. 26-26. 16 Syamsul Ma’arif, Revitasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007),

18.

Page 20: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

6

intelektual muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif

terhadap eksistensi kehidupan manusia. Menurut Harun Nasution,17

cendekiawan-cendekiawan Islam tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan

filsafat dari buku yunani, tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan

yang mereka lakukan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran

mereka dalam ilmu filsafat. Dengan demikian, lahirlah ahli-ahli ilmu

pengetahuan dan filosof-filosof Islam, seperti Ibnu Haytham (w. 1039) pelopor

dibidang optik dengan kamus optiknya (kitāb al-Manaẓir), al-Tūsi (w.1274)

astronom kawakan dari Damaskus yang melakukan penelitian tentang gerakan

planet-planet, membuat model planet (planetarium), al-Farāzi (astronom Islam),

Ibnu Sīna (ahli kedokteran, sehingga dijuluki dengan doctor of doctors

(Avicena), al-Bīruni (ahli filsafat, astronom, geografi, matematika, juga sejarah),

Ibnu Rushdy (filosof dan ahli fiqh, sehingga dijuluki Averous), al-Khawārizmi

(ahli matematika, sehingga dijuluki Algorismus), Ibn al-Haitham (ahli astronomi,

sehingga dijuluki al-Hazen). Sedangkan dalam ilmu agama, terdapat para ulama

yang mengembangkan ilmu hadith (Bukhāri Muslim abad ke-9 M), Ilmu hukum

Islām (Imam Abū Hanīfah, Imām Mālik, Imām Shafi’i dan Ibn Hambal abad ke-

7, ke-9) dan lain-lain.

Sementara itu, pada masa dan pasca al-Ghazāli18 (w. 1111 M) dan Ibnu

Khaldun (w. 1406) mulailah terjadi diskursus dikotomi ilmu yang disebabkan

oleh pendapat al-Ghazāli yang memandang sebagai farḍu ain untuk menuntut

“ilmu agama” dan “farḍu kifāyah” untuk “ilmu-ilmu non agama” yang telah

menimbulkan ketimpangan yang nyata antara kedua klasifikasi ilmu tersebut.19

Bukan itu saja al-Ghazāli pun dalam bukunya “Tahāfut al-falāsifah”

mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga mengharamkan filsafat

dan mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Ditangannya,

dunia Islam dipenuhi dengan sisi mistis (taṣawuf). Dalam hal ini, bagi Sayyed

Hossein Nasr serangan al-Ghazāli terhadap filsafat dianggap telah melumpuhkan

filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang berbeda

17 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press,

1979), 71. 18 Al-Ghazāli merupakan tokoh intelektual yang menjadi ikon khazanah

keilmuan dalam Islam. Gelar yang disandangkan kepada al-Ghazāli seperti Hujjat al-

Islām, Zain al-Dīn, Sharaf al-Ummah dan Mujaddid merupakan simbol pengakuan

terhadap kebesaran namanya dan kapasitas keilmuannya sebagai salah seorang

cendekiawan muslim ternama dalam sejarah. Kefenomenalannya tersebut membuat ia

dianggap oleh banyak orang sebagai orang yang mempunyai otoritas keagamaan terbesar

setelah Nabi Muhammad SAW. Bahkan, menurut al-Subki (w. 1370 H), seperti yang

dikutip oleh Azyumardi Azra, yang mengatakan “Seandainya ada lagi Nabi setelah Nabi

Muhammad, maka manusianya adalah al- Ghazāli”. Lihat Azyumardi Azra, Historiografi

Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2002), 383. 19 Baharuddin, Umiarso, Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas

dan Implikasi pada Masyarakat Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), ix.

Page 21: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

7

dari gnosis dan teknologi di seluruh wilayah Arab pada dunia Islam.20 Walaupun

sikap al-Ghazāli tersebut akhirnya mendapatkan jawaban dan serangan frontal

dengan evaluasi kritis-akademis dari Ibn Rusdy dalam Tahāfut al-Tahāfut (rancu

dalam kerancuan). Bahkan kalau dikaji secara “nakal”, al-Ghazāli merupakan

orang yang paling bertanggungjawab terhadap ambruknya kecemerlangan

peradaban Islam, sehingga wajar jika orientalis Philip K. Hitti mencapnya

sebagai orang anti intelektual.21

Di sisi lain, jika ditelusuri dari data sejarah, sebenarnya dikotomi

terhadap ilmu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam itu sendiri, tetapi juga

sudah terjadi sebelumnya, khususnya dikalangan umat Kristen dimasa kegelapan

Eropa (the dark age). Pada masa itu eropa berada dalam kekuasaan otoriter

gereja, terutama setelah raja Roma constantine memeluk agama Kristen. Agama

Kristen resmi menjadi agama negara dan agama yang berkuasa, sehingga lama

kelamaan kekuasaan Paus dan pemuka agama kristen menjadi sedemikian

besarnya, sehingga para raja di barat wajib tunduk kepada mereka, dan pada abad

pertengahan ini manusia dianggap kurang dihargai, sedangkan kebenaran diukur

berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan ukuran yang dibuat oleh

manusia.

Pada stadium ini kemudian Paus dan pemuka-pemuka agama Kristen

kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan dan mensucikannya

menjadi teori atau bahkan postulat yang “kebenarannya tidak terbantahkan”.

Dengan otoritas yang dipaksakan melahirkan sikap otoriter dari gereja sendiri

dalam menancapkan kuku-kuku kekuasaannya, sehingga siapa saja yang

menentangnya akan menghadapi pengadilan di mahkamah Gereja (inkuisisi).

Orang-orang yang diadili hingga mencapai 300.000 orang, 32.000 orang

diantaranya mendapatkan punisment dengan ganjaran dibakar hidup-hidup. Dia

antara mereka terdapat dua ahli ilmu pengetahuan yang terkenal, yaitu Giordano

Bruno dan Galileo Galilei. Giordano Bruno dianggap menentang gereja karena

mengatakan bahwa alam ini banyak jumlahnya. Sedangkan Galileo Galilei

mengatakan bahwa bumi berputar di sekitar matahari (Heliocentris). Kedua

temuan ilmiah tersebut mendapat sambutan konfrontatif dari gereja yang

mengindikasikan ototritas pengaruhnya takut terganggu oleh fakta tersebut.22

20 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNNY Press,

1981), 72. Sementara itu, pada karyanya yang lain Seyyed Hossein Nasr menyatakan

bahwa sekalipun al- Ghazāli telah menyerang filsafat, namun pengarang Tahāfut al-

Falāsifah ini dianggap sebagai “filosof” juga. Kerena dia mengerti persoalan filsafat dan

melakukan kritik atasnya secara filosofis. Meskipun membatasi ruang gerak rasionalisme

Muslim, al-Ghazāli telah meratakan jalan bagi penyebar doktrin iluminasionis (ishrāqi)

Suhrawardi (w. 587/1191) dan gnosis (ʽirfani) mazhab Ibnu ‘Arabi (w.638/1240). Lebih

detailnya lihat dalam Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard

University Press, 1968), 55. 21 Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmilan Press Ltd., 1974),

432. 22 Syahminan Zaini, Integrasi Ilmu dan Aplikasinya menurut Al-Qur’an (Jakarta:

Kalam Mulia, 1989), 7.

Page 22: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

8

Disisi lain, ada ilmuan yang memiliki konsep dalam mengatasi dikotomi

tersebut, ia adalah Mullā Sadrā23 tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo

Galilei (1564-1642). Artinya ketika di Barat sedang terjadi kebuntuan

pemahaman tentang ilmu dan agama, Mullā Sadrā telah mempunyai konsep yang

cemerlang untuk menjawab kebuntuan itu. Satu kondisi atmosfir keilmuan yang

sangat kontras, karena di Barat sedang terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama.

Sedangkan di dunia Islam hubungan ilmu dan agama justru mengalami

penguatan. Refleksi awal tentang pemikiran Mullā Sadrā dapat dikemukakan

bahwa ia menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi “konflik”, keduanya

mempunyai tolok ukur kebenaran sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh

tidaklah saling bertentangan. Metode yang di gunakan untuk menemukan

kebenaran ilmu dan agama bersifat kooperatif-saling mendukung. Ini terlihat dari

pandangannya yang tidak menolak rasio dan empiris sebagai sarana untuk

memperoleh kebenaran, disamping ia juga menambahkan metode sufistik untuk

mencapai kebenaran hakiki. Mullā Sadrā melakukan sintesis terhadap sumber

pengetahuan yang meliputi iluminasi intelektual (kashf, dhauq atau ishrāq),

penalaran atau pembuktian rasional (‘aql, burhān, atau istiḍlāl) dan agama atau

wahyu (shar’i atau waḥy).24

Mullā Sadrā dengan konsepnya Tauḥīd25 yang dituangkan dalam

Waḥdah al-wujūd dapat dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi

status ontologis objek-objek penelitiannya. Menurutnya, segala wujud yang ada

dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama,

yang membedakan yang satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-

wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Oleh karena mereka

pada dasarnya satu dan sama, wujud apapun yang kita ketahui yang bersifat

spiritual atau materil tentu mempunyai status ontologis yang sama-sama kuatnya

dan sama-sama riilnya. Oleh karena itu, segala tingkat wujud boleh menjadi

23 Sadr al-Dīn Muhammad Ibnu Ibrāhīm, dikenal sebagai Mullā Sadrā, lahir di

Shīraz (sekarang Iran) pada Tahun 979 H/1572 M dan meninggal dunia pada tahun pada

tahun 1050 H/1641 M. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-ʽAqliyah

al-Arbaʽah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāts Al’Arabī, 1981), 13. 24 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullā Sadrā (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2002), 5. 25 Konsep tentang Tauḥīd, yang lazimnya diterjemahkan sebagai paham ke-

Esaan Tuhan, memanifestasikan adanya kesatuan dalam ilmu. Kesatuan ilmu bermakna

tidak adanya kompartementalisasi atau bifurkasi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu

umum. Konsep ilmu dalam Islam terkait dan terjalin erat dengan pandangan dunia Islam

(Islamic worldview) yang bermuara pada konsep Tauḥīd. Dengan kata lain, pandangan

Islam tentang Tuhan, kenabian (nubuwwah), alam semesta, manusia, unsur-unsur dan

konsep-konsep kunci Islam terkait dengan ilmu. Tauḥīd merupakan aspek sentral atau

poros dimana seluruh konsep-konsep Islam berputar mengitarinya. Ibarat tata surya,

Tauḥīd adalah matahari dimana semua planet mengitari dan menyerap energinya. Lihat

M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, keduanya menulis Artikel “Filsafat Sains dalam Al-

Qur’ān: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama” (UIN Malang: Jurnal, Tth),

5.

Page 23: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

9

objek yang valid bagi ilmu karena realitas ontologis mereka telah ditetapkan

(Fixed).26

Dalam kondisi kepanikan spiritual tersebut strategi pendidikan Islam

yang dikembangkan secara umum di seluruh dunia Islam masih cenderung

bersifat dikotomis, sehingga tidak bisa melahirkan umat Islam yang mempunyai

komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam.27 Di samping

itu, upaya integrasi yang dilakukan pada umumnya belum membuahkan hasil.

Hal ini dapat dianalisis dari pendekatan pembaharuan pendidikan Islam yang

telah dilakukan sejauh ini.28 Terjadinya dikotomi menyebabkan pendidikan Islam

belum mampu melahirkan mujtahid-mujtahid besar, pendidikan Islam merupakan

lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman, efek pembaharuannya baru dirasakan

dalam lapangan reorganisasi dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti

teologi dan filsafat. Pendidikan Islam belum mampu membangun paradigma baru

yang tetap berangkat dari pemahaman al-Qur’ān, sehingga mampu melahirkan

apa yang disebut oleh Fazlur Rahman dengan “Intelektualisme Islam.” Menurut

Rahman untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah

dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama secara organis dan

menyeluruh. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak

dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian, di dalam kurikulum maupun silabus

pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu-ilmu sosial,

ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalām,

tafsīr, hadith dan lain sebagainya.29

Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu telah melanda seluruh

negara muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dikotomi sistem

pendidikan itu bukan hanya menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja,

tapi juga perbedaan yang lahir dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan

pendidikan.30 Sistem pendidikan kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat

nilai-nilai yang berasal dari al-Qur’ān. Di dalam al-Qur’ān dinyatakan bahwa

tujuan-tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang

taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah-

Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan

berusaha untuk memahami seluruh fenomena di dalam dan di luar khazanah

kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus

mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkan-Nya dalam

26 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 35. 27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia

(Bandung: Mizan, 1993), 146. 28 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual

Tradition (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1984), 130. 29 Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan

Pendidikan Islam, 109. 30 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education (Jeddah:

King Abdul Aziz University, 1979), 56.

Page 24: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

10

penjelasannya mengenai asal-usul alam raya atau fenomena dengan manusia

selalu berhubungan setiap harinya. Akibatnya, di satu pihak akan menghasilkan

manusia yang dikarunia rasa ketaatan yang sangat besar, sedangkan di lain pihak

akan melahirkan sosok manusia yang beranggapan bahwa tidak ada batasan atau

akhir dari kemungkinan-kemungkinan di dalam dirinya atau dia dapat

membentuk sendiri kehidupan yang dijalaninya tanpa tuntunan Ilahi. Kondisi

yang tidak kondusif ini mengundang para cendikiawan Muslim dari pelbagai

penjuru dunia untuk memecahkan persoalan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan

diadakannya pelbagai pertemuan internasional yang melahirkan beraneka macam

gagasan baru untuk memecahkan dikotomi pendidikan Islam tersebut antara lain

dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu

umum.31

Adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu umum (dunia) dengan ilmu-ilmu

agama dalam suatu kurikulum pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung32

pada gilirannya akan melahirkan spesialisasi pada bagian ilmu sesuai periode

perkembangan, sesuai dengan tingkat pendidikan, sesuai dengan spesialisasi

sempit pada tingkat pendidikan tinggi, di masjid-masjid dan rumah-rumah

hikmah (universitas-universitas) kemudian hari sampai sekarang. Menurut

Fazlur Rahman33 bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu yaitu

berasal dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam al-

Qur’ān. Menurut al-Qur’ān semua pengetahuan datangnya dari Allah, sebagian

diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’āniyah dan

sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan

menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan

31 Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan

Pendidikan Islam, 109. 32 Untuk itu, menurut Hasan Langgulung, Kurikulum Pendidikan dalam Islam

harus meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu-ilmu kealaman (natural) dan sebagaian

ilmu-ilmu yang membantu ilmu ini, seperti sejarah, geografi, sastra, sya’ir, nahwu,

balaghah, filsafat dan logika. Lihat Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam

(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), 117-118. 33 Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di benua India, di

sebuah daerah yang kini terletak di barat laut Pakistan, ia dikenal sebagai intelektual yang

mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang sejarah Islam baik dalam

bidang pemikiran, perkembangan sosial politik dan kehidupan pada umumnya (termasuk

bidang pendidikan) serta kemampuannya kepada khazanah klasik Islam secara cermat

serta merefleksikan nuansa dan pesan-pesan al-Qur’ān secara akurat. Sungguh pun

Rahman diasuh dalam keluarga yang memegang teguh tradisi Sunni bermazhab Hanafi

dan suasana keluarganya juga kental dengan warna tradisional serta sempat mengenyam

pendidikan di madrasah Deoband, Namun pandangan-pandangannya terlihat sangat

inklusif dan egaliter. Lihat, Nurcholish Madjid, Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika

al-Qur’an dalam Islamika (Jakarta: Mizan, 1993), 23.

Page 25: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

11

mempunyai kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh,

kebenarannya tidak mutlak.34

Menurut hemat penulis, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh

Mullā Sadrā itulah yang pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada

masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang

diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu umum) maupun

ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagian di akhirat (ilmu-ilmu agama). Pendekatan

integralistik seperti itu, yang melihat adanya hubungan fungsional antara ilmu-

ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang

memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan-

pengetahuan luas dan mendalam pada masa klasik. Ibn Sina misalnya, selain ahli

agama, juga seorang psikolog, ahli dalam bidang kedokteran dan sebagainya.

Demikian pula dengan Ibn Rushdy, ia disamping sebagai ahli hukum Islam, juga

ahli dalam bidang matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu

pengobatan.35

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan filosofis, Maka

yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah melihat integrasi ilmu agama dan

ilmu umum (sains) dalam perspektif ontologis, epistemologis, dan aksiologis

dalam kaitanya dengan pencapaian tujuan pendidikan Islam. Pendekatan filosofis

inilah yang secara netral dan proporsional dapat menjembatani sekaligus

mempertemukan dua domain ini. Dalam mengeksplorasi hubungan ilmu dan

agama ini, penulis menggunakan pandangan-pandangan seorang pemikir Islam

kelahiran Persia, yaitu Mullā Sadrā (1572-1641), sebagai suatu perspektif.

Sayyed Hussein Nasr menilai bahwa Mullā Sadrā secara cemerlang telah

menghidupkan kembali filsafat Islam setelah dianggap mati bersamaan dengan

meninggalnya Ibnu Rushdy. Mullā Sadrā secara harmonis telah merangkum

beragam corak pemikiran yang berkembang di dunia Islam, yaitu Filsafat

Peripatetik (mashsha’i) Islam dari Ibnu Sīna, iluminasionisme (teosofi ishrāqi)

dari Shuhrawardi, ajaran taṣawuf dari Ibnu ‘Arabi, dan teologi Islam (kalām)

termasuk sabda Rasūlullah dan para imam Shi’ah. Karena itu, pemikirannya

34 Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukan ke

dalam kurikulum pendidikan Islam. Ibn Khaldun menyebutkannya dengan istilah

pengetahuan naqliyah (diwahyukan) dan aqliyah (dipikirkan). Sekarang tatkala

pemikiran telah begitu maju, keterampilan begitu juga, hubungan antara pengetahuan

yang diwahyukan dengan pengetahuan yang diperoleh terganggu, sehingga muncullah

keterpisahan. Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik dalam diri

perorangan maupun dalam masyarakat, Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam

dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1992), 8. 35 Oleh karena itu menurut Abuddin Nata, pendekatan dikotomis dalam sistem

pendidikan harus segera diakhiri. Karena pendekatan ini merupakan warisan sejarah

Islam masa kemunduran dan warisan penjajah belanda. Di samping itu pendekatan

tersebut juga tidak sejalan dengan semangat al-Qur’ān, yang tidak mengenal pemisahan

antara urusan dunia dan akhirat. Kedua urusan tersebut menempati posisi yang sejajar

dalam pandangan al- Qur’ān. Lihat Abuddin Nata, Mencari sosok Pendidikan Islam

untuk abad ke-21, dalam Studi Islamika, no 32, Tahun 1993, 31.

Page 26: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

12

dikenal sebagai Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah (hikmah yang tertinggi), seringkali

disebut juga sebagai hikmah yang ketiga setelah Al-Ḥikmah Al-Mashsha’iyyah

dari Ibnu Sīna dan Al-Ḥikmah al-Ishrāqiyyah Shuhrawardi.36

Atas dasar inilah, maka orientasi dan sistem pendidikan di sekolah tidak

perlu terjadi ambivalensi dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum (sains).

Dengan demikian, pendidikan harus mampu mengintegrasikannya secara lebih

terpadu. Perpaduan yang dimaksud bukanlah sekedar proses pencampuran biasa

(atau Islamisasi), tetapi sebagai proses pelarutan. Pemikiran ini kiranya

mengandaikan suatu bentuk perpaduan sejati antara ilmu agama dan sains, yang

dapat mensinergikan keduanya secara fleksibel dan tentu saja link and match.37

Penelitian tentang pemikiran, sebagaimana biasanya tidak dapat

diharapkan hasilnya secara konkret dan aplikatif, seperti pada penelitian empirik,

namun hasilnya masih berbentuk konsep-konsep dan teori-teori. Walaupun

demikian temuan-temuan yang akan dihasilkan ini di samping memperkaya

khazanah pemikiran di Indonesia, juga pada tingkat yang lebih praktis akan dapat

dijadikan pedoman untuk melakukan pembaharuan, khususnya dalam pendidikan

Islam di tanah air. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan

problema pendidikan Islam tersebut, maka studi rekonstruksi pemikiran Mullā

Sadrā tentang solusi problema pendidikan Islam modern menjadi sangat penting.

Dari latar belakang masalah ini penulis mencoba mengemukakan bahwa

alasan-alasan penulis dalam memilih judul ini adalah :

1. Untuk membuktikan bahwa pemikiran Mullā Sadrā dalam integrasi ilmu

dan agama dapat diwujudkan dalam pendidikan integratif sehingga dapat

diimplementasikan pada era globalisasi sekarang ini.

2. Untuk memberikan informasi bahwa, Mullā Sadrā selain seorang filosof,

ia juga seorang praktisi pendidikan yang mempunyai wawasam berfikir

luas, ini terbukti ketika ia menentang adanya dikotomi dan

mengupayakan terjadinya integrasi Ilmu dan Agama.

3. Untuk mengetahui bahwa terjadinya kemunduran umat Islam dari zaman

dahulu sampai sekarang disebabkan karena adanya dikotomi/dualisme

keilmuan.

4. Untuk memadukan antara pemikiran tokoh-tokoh pendidik pada zaman

sekarang sesuai dengan apa yang telah dirumuskan oleh Mullā Sadrā

dalam sistem pendidikan integratif yang meliputi misi, visi, tujuan,

kurikulum dan strategi pembelajaran.

5. Penelitian ini sangat berguna dalam menggali kembali konsep-konsep

ilmuan muslim terdahulu yang dituangkan dalam sistem pendidikan yaitu

membangun pendidikan integratif non dikotomik.

36 Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi, Kearifan Puncak (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004), xiii. 37 Ibnu Rusydi, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-

Transformatif,” Jurnal Pendidikan Islam (JPI), Vol.1, No. 1 (2012) : 111.

Page 27: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

13

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian dapat

diidentifikasi antara lain ; (1) Persoalan hubungan antara sains dan agama

muncul pertama kali di Barat pada Abad Pertengahan, ketika terjadi pertentangan

pendapat antara ilmuwan dan agamawan (Gereja) tentang pusat alam semesta.

Ilmuwan berpandangan bahwa pusat alam semesta adalah matahari (heliosentris),

sedangkan agamawan berpandangan bahwa pusat tersebut adalah bumi

(geosentris). Peristiwa itu menandai babak baru berkembangnya wacana

hubungan antara ilmu dan agama secara akademik. Problem epistemologi yang

kemudian berkembang hingga saat ini adalah terkait dengan diterima atau

tidaknya agama sebagai sumber ilmu. Paling tidak ada tiga sikap terkait dengan

hal ini, yaitu a) upaya memisahkan ilmu dan agama yang dilakukan oleh

sekularisme, b). upaya menggantikan agama dengan ilmu yang dilakukan oleh

saintisme, dan c). upaya untuk menyatukan ilmu dan agama yang dilakukan oleh

integralisme

(2) Terjadinya heterogenitas lembaga pendidikan/adanya dikotomi yaitu

terjadi dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan umum yang

memisahkan kajian-kajian agama dengan ilmu pengetahuan.

2. Pembatasan Masalah

Pembahasan tentang agama (Islam) dan hubungannya dengan ilmu

pengetahuan ini cukup kompleks. Topik ini antara lain meliputi pembahasan

tentang sejarah, pertumbuhan dan karakter dasar Islam (ilmu-ilmu keislaman)

dan ilmu pengetahuan pada umumnya, pola-pola hubungan antara Islam dan ilmu

pengetahuan sepanjang yang diwacanakan/diperbincangkan oleh berbagai

kalangan madhhab maupun yang dipraktekkan dalam tradisi kelimuan. Penelitian

terhadap suatu konsep pemikiran dan tujuan pembelajaran dapat diidentifikasi

sekian banyak masalah, tergantung dari sudut pandang dan sumber yang

dijadikan bahan penelusuran. Penelitian ini dibatasai pada pembahasan mengenai

gagasan Mullā Sadrā yang dianggap masih relevan terhadap isu pendidikan masa

kini dan perlu menjadi solusi dalam pendidikan Islam modern dalam menanggapi

problematika pendidikan kontemporer.

3. Perumusan Masalah

Penelitian ini mengkaji pandangan seorang pemikir Islam kelahiran

Persia sekaligus filosof besar yang telah membangun suatu konstruksi pemikiran

filsafat Islam yang kemudian diaplikasikan dalam sistem pendidikan.

Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas dapat diketahui

bahwa pada masa modern ini, dunia pendidikan Islam masih dihadapkan kepada

beberapa problem pendidikan. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep integrasi keilmuan dalam perspektif Mullā Sadrā ?

2. Bagaimana hubungan ilmu agama dan ilmu umum dalam membangun

pendidikan integratif ?

Page 28: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

14

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Untuk membuktikan bahwa pemikiran Mullā Sadrā masih dapat

dijadikan pedoman dalam ranah pendidikan mengenai integrasi ilmu dan

agama.

2. Untuk menilai relevansi pendapat Mullā Sadrā terhadap problema

pendidikan di masa kini yaitu banyak terjadinya dikotomi keilmuan.

3. Untuk mengelaborasi metode, tujuan dan strategi pembelajaran dalam

perspektif Mullā Sadrā, guna membangun pendidikan integratif.

Apabila tujuan utama penelitian tersebut diatas dapat tercapai, secara

teoritis kegunaan dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Dapat memberikan kontribusi ilmiah, khususnya dalam rangka

memperkaya khazanah dalam bidang pemikiran pendidikan Islam.

2. Dapat memberikan motivasi dan inspirasi positif bagi para mahasiswa

pada khususnya, untuk melakukan kajian dan penelitian serupa yang

dihubungkan dengan pemikiran pendidikan Islam.

3. Dapat menjadi bahan bacaan bagi siapa saja yang mempunyai minat

untuk mengetahui dan mendalami kajian pemikiran Islam, khususnya

dalam bidang pendidikan.

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Telaah kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang

hubungan penelitian yang diajukan dengan penelitian sejenisnya yang pernah

dilakukan terdahulu, sehingga menghindari adanya keterulangan dalam

pengkajian materi yang akan diteliti. Untuk lebih memudahkan pemahaman

dalam kajian ini, Penulis di dalam mendeskripsikan peneliti-peneliti terdahu

membagi dua bagian; pertama tentang pemikiran-pemikiran Mullā Sadrā dan

kedua tentang dikotomi dan integrasi. Diantara peneliti terdahulu yang dapat

penulis temukan tulisannya adalah sebagai berikut :

a. Peneliti yang menulis pemikiran Mullā Sadrā

Kepustakaan yang berkenaan dengan Mullā Sadrā dan pemikirannya

masih relatif kurang dibandingkan dengan tokoh filosof Muslim lainnya,

khusunya mengenai integrasi ilmu dan agama. Baru sebagian kecil penulis yang

melakukan penelitian dan menganalisis pemikiran-pemikirannya.

Seorang pemikir juga ideolog Revolusi Islam di Iran, Murtadha

Muthahhari menulis tentang Mullā Sadrā yang berjudul Filsafat Hikmah

Pengantar Pemikiran Mullā Sadrā, buku ini hanya sebatas pengenalan

pengantar.

Karya khusus yang membahas tentang filsafat Mullā Sadrā adalah tulisan

Fazlur Rahman yang berjudul Filsafat Mullā Sadrā. Meskipun buku ini lebih

kritis dan analitis terhadap pemikiran Mullā Sadrā, namun interprestasinya terlalu

rasionalistik, tanpa mempertimbangkan latar belakang dan spiritual yang

menumbuhkan unsur mistik dan gnosis yang merupakan sesuatu yang esensial

dalam ajaran-ajaran Sadra. Fazlur Rahman juga memiliki dua tulisan yaitu; “The

Page 29: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

15

God-World Relationship in Mullā Sadrā” dalam Goerge F. Hourani, Essay on

Islamic Philosophy and Saince (Albany: State University of New York Press,

1975) dan The Philosophy of Mullā Sadrā (Albany: State University of New

York Press, 1975).

Syaifan Nur mengangkat tokoh Mullā Sadrā dalam tulisannya yang

berjudul Filsafat Wujud Mullā Sadrā, membahas tentang persoalan wujud dalam

perspektif al-Ḥikmah al-muta’āliyah. Murtadha Muthahhari juga membahas

tentang Pengantar Pemikir Sadrā Filsafat Ḥikmaḥ, buku ini banyak

mendeskripsikan tentang filsafat Mullā Sadrā, historisitas kehidupan Mullā

Sadrā, masalah kontradiksi dalam filsafat ḥikmah dan lain sebagainya.

Seyyed Hossein Nasr, seorang sarjana dan intelektual Syi’ah yang

produktif menulis tentang Mullā Sadrā, dalam bentuk buku tersendiri yang dapat

dikatakan yang paling lengkap berkenaan dengan Mullā Sadrā adalah bukunya

yang berjudul Sadr al-Dīn dan Ḥikmah muta’āliyah. Sayyed Hosein Nashr juga

banyak menulis tentang Mullā Sadrā, diantaranya; “Sadr al-Dīn Shirazī (Mullā

Sadrā)” dalam M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy (Wiesbaden: Otto

Harrasoitzs, 1966) judul ini juga telah diedit oleh Mehdi Amin Razavi dengan

judul The Islamic Intellectual Tradition in Persia (New Delhi: Curzon Press,

1996). Islamic Life and Thought (london: Goerge Allen & Unwin, 1981) Sayyed

Hosein Nashr sangat menonjolkan filsuf ini ketika mengkaji perkembangan

filsafat.

Dalam bentuk artikel tentang Mulla Sadra diantaranya adalah tulisan

Hossein Ziai, tulisan ini mengungkapkan kehidupan dan karya-karya Mullā

Sadrā.

Seyyed Mohsen Miri menulis artikel tentang Mullā Sadrā dengan judul

Mullā Sadrā : Kehidupan dan Pemikirannya, tulisan ini mengungkapkan secara

singkat biografi Mulla Sadra dan pemikirannya tentang manusia sempurna.

Sedangkan Makalah “Transenden Theosophy” yang ditulis oleh A. Khudori

Soleh, dalam makalah ini penulis memaparkan pokok-pokok pemikiran Mullā

Sadrā yang berkaitan dengan Ḥikmah Muta’āliyah sebagai karya terbesar Mullā

Sadrā.

Penelitian berikutnya yang penulis temukan adalah disertasi Syaifan Nur,

yang kemudian dibukukan dengan judul Filsafat Wujud Mullā Sadrā. Penelitian

ini menjelaskan secara rinci dan mendalam tentang teori wujūd dalam bingkai

aliran filsafat yang dibangun oleh Mullā Sadrā. Penulis buku mengemukakan

bahwa filsafat wujūd Mullā Sadrā ditopang oleh prinsip, yaitu prinsipilitas

wujūd, kemanunggalan dan gradasi wujud.

Hasan Bakti Nasution tentang “Hikmat Al-Muta’āliyah Analisa

Terhadap Proses Sintesa Filosofis”, kesimpulan disertasi tersebut bahwa Hikmat

Al-Muta’āliyah merupakan metode filsafat Islam terkini sebagai sintesa dari

aneka wacana intelektual Islam sebelumnya, yaitu ilmu kalam, filsafat

paripatetik, illuminasionisme dan gnostik.38

38 Hasan Bakti Nasution, “Hikmat Al-Muta’āliyah Analisa Terhadap Proses

Sintesa Filosofis” (Disertasi: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001)

Page 30: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

16

Berbeda dengan karya-karya tersebut di atas, penelitian ini lebih

mengkhususkan pada kajian tentang konsep dan hakikat integrasi ilmu dan

agama dalam perspektif Mullā Sadrā, yang dihubungkan dengan upaya

membangun pendidikan integratif yang masih sedikit sekali ditemukan pada

penelitian terdahulu.

b. Peneliti yang menulis konsep integrasi

Wan Moh Nor Wan Daud tentang The Educational Philosophy and

Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas.39 Daud mengkaji pemikiran

Naquib al-Attas dalam berbagai hal terkait dengan pendidikan Islam yang

menyangkut tentang metafisika, ilmu pengetahuan dan tujuan pendidikan, serta

gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktiknya yang

diimplementasikan dalam perguruan tinggi miliknya yang dikenal dengan

ISTAC.

Sementara Syed Naquib al-Attas dalam Islam dan Sekularisme40,

Ziauddin Sardar dalam Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter

Saince Islam41 dan Isma’il Raji al-Faruqi dalam Islamization of Knowledge42

mereka memfokuskan kajiannya pada usaha Islamisasi ilmu. Dalam sistem

pendidikannya, mereka meninggalkan metode asal Barat yang melahirkan

sekularisme yang membahayakan, kemudian menggantikannya dengan konsep

pendidikan baru yang mereka wujudkan dalam reformasi pendidikan Islam dalam

satu wacana Islamisasi pengetahuan. Dalam hal ini al-Faruqi mengusulkan agar

semua disiplin ilmu modern diberikan tujuan-tujuan dan visi baru yang konsisten

dengan Islam. Setiap disiplin harus ditempa kembali sehingga memberikan

relevansi Islam sepanjang ketiga sumbu tauḥīd.

Fazlur Rahman dalam Islamization of Knowledge,43 ia menyatakan

bahwa pengetahuan kontemporer itu mereflesikan etos Barat, namun dengan

tegas ia berpendapat bahwa orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau

memerinci suatu strategi untuk mencapai pengetahuan Islami. Menurutnya, satu-

satunya harapan umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara

pemikiran umat Islam.

Pervez Hoodbhoy dalam Islam and Science: Religion Orthodoxy and The

Batle for Rationality,44 ia tidak setuju adanya usaha Islamisasi ilmu pengetahuan,

39 Wan Moh Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed

Muhammad Naquib al-Attas. An Exposition of The Original Concept of Islamization

(Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998). 40 Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981). 41 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter Saince

Islam, (Terj) AE Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998). 42 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and

Workplan (Herndon : IIIT, 1982). 43 Fazlur Rahman, Islamization of Knowledge: A Response. “American Journal

of Islamic Social Science, (1998). 44 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science; Religion Orthodoxy and The Battle for

Rationality (London an New Jersey: Zed Books ltd, 1991)

Page 31: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

17

bahkan menolak adanya sains dalam Islam dengan mengemukakan tiga alasan;

Pertama, semua usaha yang pernah dilakukan untuk menciptakan sains Islam

telah gagal. Kedua, menjelaskan sekumpulan prinsip-prinsp moral dan teologi

betapapun tingginya tidak memungkinkan seseorang menciptakan sains baru dan

permulaan. Ketiga, belum pernah ada dan sampai kini belum ada definisi sains

Islam yang dapat diterima semua kaum muslim.

Azyumardi Azra dalam Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam,45 Ia

mengatakan telah berhasil membuat klasifikasi cendekiawan muslim dalam

merespon terhadap persoalan integrasi ilmu. Menurutnya, bahwa integrasi ilmu

adalah memadukan ilmu umum dengan ilmu agama. Dalam Esei-esei Intelektual

Muslim dan Pendidikan Islam,46 ia menyatakan bahwa integrasi ilmu perlu

dilakukan dalam rangka usaha untuk mencetak biru pendidikan Islam di masa

depan. Secara implementatif integrasi ilmu dilakukan dengan cara

mengintegrasikan ajaran-ajaran, ideologi dan pandangan Islam secara

menyeluruh ke dalam mata pelajaran di sekolah.

Sementara Zainal Abidin Bagir ed. Dalam Integrasi Ilmu dan Agama:

Interpretasi dan Aksi,47 menegaskan bahwa integrasi yang hanya cenderung

mencocok-cocokan ayat-ayat al-Qur’ān secara dangkal dengan temuan-temuan

ilmiah, menimbulkan kesan adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh

sains. Namun, ia menganggap penting adanya integrasi konstruktif dimana

integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu

tersebut terpisah. Hal ini dilakukan untuk menghindari dampat negatif yang

mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri.

Mulyadhi Kartanegara tentang Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi

Holistik. Tulisan ini banyak mendeskripsikan tentang Tauḥid sebagai basis dari

integrasi ilmu dan juga upaya-upaya mengintegralkan antara ilmu agama dan

ilmu umum.48

Armai Arief tentang Melacak Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu dalam

Pendidikan Islam. Dalam penjelajahan intelektual tersebut, Armai Arief

memberikan konklusi bahwa terdapat mainstream yang jelas sepanjang pada

abad klasik dan pertengahan bahwa ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama

diberikan tidak pernah dalam satu institusi yang sama, masing-masing ilmu

tersebut tumbuh subur di lahannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, kesimpulan

45 Azyumardi Azra, Reintegrasi ilmu-ilmu dalam Islam “Zainal Abidin

Bagir,ed.” Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005). 46 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999). 47 Zainal Abidin Bagir,ed, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi

(Bandung: Mizan, 2005). 48 Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Arasy Mizan, 2005).

Page 32: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

18

Armai Arief semenjak dahulu sejak masa pertumbuhannya, pendidikan dalam

dunia Islam telah mempraktekkan dualisme dalam sistem pendidikannya.49

Holmes Rolston dalam Science and Religion,50 ia lebih fokus pada

integrasi ilmu dengan menegaskan bahwa agama mesti diintegrasikan atau

dipadukan dengan wilayah-wilayah kehidupan manusia. Hanya dengan inilah

agama dapat bermakna dan menjadi rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia

atau bahkan keseluruhan alam semesta. Ketika membicarakan ilmu dan agama,

“Integrasi” tampaknya menjadi kata kunci untuk mengungkapkan sikap yang

dianggap tepat, khususnya dari sudut pandang umat beragama. Rolston,

menambahkan bahwa hidup yang “berorientasi pada makna” merupakan suatu

bentuk agama, sementara ilmu sejak dari “logika Newtonian” memang lebih

merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab material.

Taha Jabir al-Alwani dalam Islamic Thought an Approach Reform,51 ia

mengemukakan pentingnya gerakan Islamisasi pengetahuan sebagai salah satu

fondasi penting dari pembaharuan agama Islam dalam rangka membangun

kembali ummah dari suatu bangsa dan mengusahakan terwujudnya masyarakan

Islam kontemporer.

Tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian tersebut secara umum

membahas tentang biografis dan uraian yang deskriptif-analisis mengenai hasil

pemikiran Mullā Sadrā dalam filsafat. Penelitian tersebut juga membahas sejarah

dan praktek dikotomi yang sudah lama menjadi akar problematika pendidikan,

sehingga harus ada solusi di dalam mengentaskan problema tesebut, yakni

dengan cara mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.

Adapun perbedaannya dengan tesis yang diajukan penulis disini adalah,

bahwa salah satu upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum

dengan cara mencari sumber integrasi dan tipologinya. Dalam tesis ini penulis

mengemukakan ilmuan asal persia yang dijadikan objek penelitian yaitu Mullā

Sadrā. Penelitian ini merumuskan sesuatu yang belum tertuang dalam karya

terdahulu yang menitik beratkan pemikiran Mullā Sadrā dalam mengintegrasikan

ilmu pengetahuan. Pemikiran Mullā Sadrā dalam integrasi ilmu masih sedikit

sekali, sehingga penulis ingin meneliti filsuf tersebut guna mendapatkan konsep

yang integral dalam pendidikan. konsep integrasi ilmu dan agama dalam

perspektif Filsafat Mullā Sadrā merupakan filosofis yang dibangun di atas

landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Meskipun demikian, tulisan-

tulisan terdahulu tersebut, bisa menjadi sumber dan bahan rujukan penulis dalam

penelitian tesis ini.

49 Armai Arief, Melacak Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan

Islam, dalam “Jauhar”: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Vol. 3 No. 2. Desember

(2002) : 221. 50 Holmes Rolston, Science and Religion (New York: A. Critical Survey, With

a New Introduction, 2006). 51 Taha Jabir al-Alwani, Islamic Thought an Approach Reform (London-

Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2006).

Page 33: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

19

E. Metodologi Penelitian

Melihat permasalahan yang ada dan juga mempertimbangkan

pembahasan ini cenderung bersifat teoritis, maka pengumpulan data-data

dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian Library Research52 melalui

pendekatan Historis53, Sosiologis54 dan Filosofis55 yang bersifat deskriptif dengan

menelaah dan membaca buku-buku Mullā Sadrā sendiri sebagai data primer dan

buku-buku atau komentar-komentar terhadap Mullā Sadrā sebagai data sekunder.

Data-data yang dihimpun dianalisis dengan metode kualitatif dengan pola fikir

deduktif dan induktif.

Metode penelitian yang digunakan dengan beberapa pendekatan dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Obyek Penelitian

Penelitian tentang pemikiran seorang tokoh, berarti melakukan

penelusuran terhadap data yang berbentuk konsep-konsep yang terformulasi

dalam berbagai tulisan, yakni menelaah karya Mullā Sadrā dan tulisan-tulisan ini

sebagai sumber rujukan, terutama pemikirannya yang berkaitan dengan

pendidikan, serta berupaya melihat penerapan pemikiran pendidikan Mullā Sadrā

tersebut.

Sementara itu, untuk melihat pemikiran karya Mullā Sadrā tentang solusi

problema pendidikan Islam secara konkret dan menyeluruh, maka penulis

mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Mullā Sadrā, baik dalam bentuk

buku, artikel maupun makalah, setelah itu dilakukan telaah dan klasifikasi, mana

yang membahas atau yang ada kaitannya dengan tema pendidikan Islam.

52 Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang

dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan

maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. Lihat M. Iqbal Hasan, Pokok-

pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002),

11. 53 Pendekatan Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas

berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan

pelaku dari peristiwa tersebut. Lihat Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1987), 105. 54 Pendekatan Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam

masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang mneguasai hidupnya itu.

Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh

serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,

keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap

persekutuan hidup manusia. Lihat Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat

Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1983), Cet. IX, 1. 55 Pendekatan Filosofis adalah pendekatan yang pada intinya berupaya

menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek

formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik

yang bersifat lahiriah. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2011), 42.

Page 34: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

20

2. Sumber Data

Dari survei kepustakaan tentang karya-karya Mullā Sadrā yang berkaitan

dengan paradigma pemikiran solusi problema pendidikan, khususnya mengenai

integrasi keilmuan dan latar belakangnya, sumber utama yang digunakan adalah :

Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-ʽAqliyah al-Arbaʽah.56 Buku ini ditulis

dalam bahasa Arab dan diedit oleh al-Allamah Thabathaba’i dengan edisi baru.

Penetapan karya ini sebagai rujukan utama atau data primer, didasarkan pada

pertimbangan bahwa buku ini merupakan magnum opus Mullā Sadrā sehingga

semua karya lainnya merujuk kepada buku ini.57 Penulis juga mencantumkan

beberapa informasi tambahan dari buku Sadr al-Dīn Shīrāzī karya Hossein Nasr,

buku filsafat Mullā Sadrā karya Fazlur Rahman, buku Filsafat Wujud Mullā

Sadrā karya Syaifan Nur dan buku Pengantar Pemikir Sadrā Filsafat Hikmah

karya Murtadha Muthahhari.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data primer dalam penelitian ini dikumpulkan dari karya Mullā

Sadrā yang membahas tentang integrasi keilmuan dalam dunia pendidikan.

Sedangkan data sekundernya dihimpun dari karya Mullā Sadrā yang membahas

bidang ilmu lainnya dan dari beberapa karya orang lain yang membahas tentang

pendidikan untuk melengkapi penelitian ini. Oleh sebab itu penelitian ini

sepenuhnya merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu suatu aktivitas

yang terfokus kepada data-data dari bahan-bahan tertulis baik data-data tersebut

berada di perpustakaan atau tempat lain.

Setelah ditelusuri dari berbagai literatur yang merupakan data-data

primer dan sekunder tersebut, penulis kemudian berupaya melakukan

kategorisasi dalam pemilahan dari data yang diperoleh kemudian penulis lakukan

interpretasi, diskusi, analisis kritis filosofis dan pengujian akan keabsahannya.

Selanjutnya penulis berusaha mendeskripsikannya secara detail dan argumentatif

dari data-data tersebut seraya berusaha memahami kausalitas pemikiran Mullā

Sadrā dengan merujuk dari beberapa hal yang melatar belakanginya, seperti latar

belakang keluarga, pendidikan aktivitas dan lain sebagainya.

4. Teknik Analisa Data

Sebagai suatu analisis filosofis terhadap pemikiran seorang tokoh dalam

waktu tertentu di masa lalu, tulisan ini sengaja menggunakan pendekatan sejarah

56 Kata Asfār, sebagai bentuk plural dari Safar berarti perjalanan, yaitu

perjalanan rohani manusia, yang disebut Mullā Sadrā dengan Salīk. Empat perjalanan itu

ialah; dari makhlūq menuju al-ḥaqq (min al-khalq ila al-ḥaqq), dari al-ḥaqq menuju al-

ḥaqq dengan al-ḥaqq (min al-ḥaqq ila al-ḥaqq bi al-ḥaqq), dari al-ḥaqq kepada makhlūq

bersama al-ḥaqq (min al-ḥaqq ila al-ḥaqq ma’a al-ḥaqq), dan dari makhlūq menuju

makhlūq dengan al-ḥaqq (min al-khalq ila al-khalq bi al-ḥaqq). Lihat Mullā Sadrā, Al-

Hikmat Al-Muta’āliyah fi’l Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāts

Al’Arabī, 1981), 14-15. 57 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Sadrā (Albany: State University of

New York Press, 1975), 16-17.

Page 35: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

21

(Historical Approach), sebab salah satu jenis penelitian sejarah58 itu adalah

penelitian biografis, yaitu penelitin terhadap kehidupan seseorang dalam

hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, pengaruh pemikiran dan idenya

serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hayatnya.59 Sehingga dimana

pun seorang pemikir berada, ia tidak akan melepaskan diri dari bentukan sejarah

yang mengitarinya.60

Dalam menganalisis data digunakan analisis isi (content analysis)61.

Metode ini digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam

pemikiran-pemikiran Mullā Sadrā. Berdasarkan isi yang terkandung dalam

pemikiran Mullā Sadrā tersebut kemudian dilakukan pengelompokkan dengan

tahapan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan tesis ini sistematis dan terarah sehingga pada tiap bab-

nya memiliki relevansi yang kuat, maka penulis mengklasifikasikan tulisan ini

kedalam enam Bab, yang terbagi menjadi; Satu bab pendahuluan, Satu bab kajian

teori dan perdebatan akademik, Tiga bab pembahasan dan Satu bab penutup

beserta rinciannya.

Bab I merupakan pendahuluan yang memaparkan landasan umum

penelitian ini, yang terdiri dari; latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian

yang terdahulu yang relevan, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II mengekspresikan tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum

dalam lintas sejarah pendidikan. Pada bab ini dituliskan tentang integrasi dan

dikotomi pendidikan, integrasi ilmu agama dan ilmu umum ditinjau dari

Normatif Teologis, Historis, Filosofis dan diuraikan tentang tipologi integrasi

keilmuan serta dijelaskan tentang adanya perdebatan akademik antara integrasi

ilmu dengan dikotomi ilmu.

Bab III deskripsi wacana reintegrasi ilmu dalam rekonstruksi Holistik

Mullā Sadrā. Pada Bab ini akan dijelaskan tentang biografi mullā sadrā, latar

belakang corak pemikiran mullā sadrā dan Tauḥīd: prinsip utama integrasi ilmu.

58 Ilmu penelitian modern membagi penelitian kepada lima macam, yaitu

penelitian sejarah, penelitian deskripsi, penelitian eksprimental, penelitian grounded

research dan penelitian tindakan. Salah satu ciri yang menonjol dari penelitian sejarah

adalah ia merupakan penyelidikan kritis mengenai pemikiran yang berkembang di zaman

lampau dan menggunakan sumber primer. Lihat Muhammad Nazir, Metode Penelitian

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 56-57. 59 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, 62. 60 Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy (California: Wordworth

Publishing Company, 1984), 3. 61 Analisis isi (content analysis) adalah studi tentang arti verbal. Analisis ini

digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi yang disampaikan dalam bentuk

lambang. Analisis ini dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk, seperti surat

kabar, buku, puisi, lagu, cerita rakyat, lukisan pidato, peraturan, undang-undang, musik,

teater. Lihat M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan

Aplikasinya, 88.

Page 36: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

22

Bab IV difungsikan untuk kelanjutan dari pembahasan pada bab tiga,

yang merupakan penjabaran dari pemikiran mullā sadrā tentang integrasi

keilmuan. Pada bab ini akan diuraikan tentang hubungan ilmu agama dan ilmu

umum dalam perspektif mullā sadrā, yang mengkaji dari sudut; Pertama,

Ontologi (Tataran Obyek Ilmu) yang meliputi Wahḏat al-Wujūd, Aṣālat al-

Wujūd, Tashkīk al-Wujūd. Kedua, Epistemologi (Tataran Cara Memperoleh

Ilmu) dan Ketiga, Aksiologi (Tataran Manfaat Ilmu).

Bab V mengelaborasi hasil pemikiran Mullā Sadrā yang dituangkan

dalam integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam konteks pendidikan nasional:

sebuah tawaran membangun pendidikan integratif. Pada bab ini akan membahas

tentang kerangka pendidikan holistik, Kurikulum berbasis integrasi, integrasi

materi pendidikan agama Islam (PAI) dengan materi pendidikan umum.

Bab VI Penutup. Pada bab ini dikemukakan kesimpulan sebagai jawaban

dari tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini, serta saran-saran yang

relevan, antara lain perlunya membangun komitmen untuk menyelamatkan umat

manusia melalui reintegrasi ilmu agama dan ilmu umum. Tesis ini juga

dilengkapi dengan daftar pustaka sebagai bahan bagi para pembaca untuk

melakukan pengecekan dan pendalaman lebih lanjut. Sedangkan teknik penulisan

tesis ini mengunakan teknik penulisan ilmiah yang ditandai oleh adanya isi yang

didukung oleh sumber rujukan yang otoritatif dan valid serta mengandung

analisis yang objektif, kritis dan inovatif, bahasa yang lurus, datar dan memakai

kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Page 37: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

23

BAB II

INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

DALAM LINTAS SEJARAH PENDIDIKAN

Dalam rangka mencari landasan teoritis untuk mengkaji persoalan yang

terkait dengan integrasi keilmuan, Pada bab ini akan dikemukakan perdebatan

teoritis tentang integrasi dan dikotomi keilmuan dalam ranah pendidikan

dikalangan intelektual Muslim dan Barat.62 Pemetaan perdebatan teoritis penting

untuk memudahkan penulis di dalam memposisikan kajian dalam tesis ini.

Dengan demikian, dalam bab ini akan dipaparkan tentang; integrasi dan dikotomi

pendidikan, integrasi ilmu agama dan ilmu umum ditinjau dari normatif teologis

dan filosofis, serta ditutup dengan perdebatan akademik antara integrasi ilmu

versus dikotomi ilmu.

A. Integrasi dan Dikotomi Pendidikan

Dalam Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kata integrasi

memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat.63

Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan

atau keseluruhan. yaitu proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling

berbeda. Ide pengintegrasian ilmu dikembangkan pertama kali oleh Muhammad

Natsir. Beliau melihat bahwa mereka yang hanya mempelajari ilmu agama dan

yang hanya mempelajari ilmu dunia sama-sama jauh dari agamanya. Sebab di

dalam al-Qur’ān surat Al-Qashash ayat 77,64 Allah memerintahkan kita agar

hidup seimbang. Dengan demikian Integrasi adalah keterpaduan antara nilai-nilai

agama (dalam hal ini Islam), dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Sedangkan kata dikotomi diambil dari kata dichotomy yang berarti

adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.65 Secara

leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikotomi mempunyai pengertian

62 Perdebatan Islam dengan Barat yang sekuler dimana Barat yang sekuler hanya

memiliki landasan empiris dan rasional melalui akal dalam menangkap realitas,

sementara epistemolgi Islam tidak hanya memiliki landasan pada kekuatan empiris

(tajribī) dan rasional (burhānī) semata, melainkan juga pada intuisi (ʽirfānī). Barat

sekuler hanya mengakui sumber ilmu pengetahuan itu didapati melaui metode empiris

dan rasional saja, sementara Islam mengakui bahwa sumber ilmu pengetahuan didapati

tidak hanya melaui metode empiris dan rasional saja, melainkan juga melaui intuisi. Lihat

Ruslan dalam Tesis yang berjudul “Integrasi Agama dalam Pelajaran Sains (Studi Kasus

di MAN 4 Model Jakarta)”, (Jakarta: SPS UIN, 2010), 23. 63 Menuk Hardaniwati dkk, Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Pertama (Jakarta:

Pusat Bahasa, 2003), 251-252. 64 Surat Al-Qashash : 77. Al-Qur’ān Digital Versi 2.0

نيا ار اآلخرة وال تنس نصيبك من الد وابتغ فيام آتاك اهلل الد

65 John M. Echols dan Hassan Shadily, “dichotomy”, Kamus Inggris-Indonesia

(Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1992), 180.

Page 38: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

24

sebagai pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.66 Pius A.

Partanto dan M. Dahlan al-Barry mengartikan dikotomi sebagai pembagian

dalam dua bagian yang saling bertentangan.67 Sedangkan Mujammil Qomar

mengartikan dikotomi sebagai pembagian atas dua konsep yang saling

bertentangan68 dan Jamaladdin Idris seperti yang dikutip oleh Yuldelasharmi

mengartikan dikotomi sebagai pemisah secara teliti dan jelas dari suatu jenis

menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak

dapat dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.69 Bagi al-Faruqi,

dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.70

Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu

dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik

lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia

pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split

personality).71 Dengan demikian, segala hal yang membagi sesuatu menjadi dua

kelompok yang berbeda, bahkan saling bertentangan antara kelompok tersebut

adalah dikotomi. Berarti, pengertian dikotomi ilmu adalah membedakan,

memisahkan ilmu menjadi dua kelompok atau dua bagian yang saling berbeda

dan bertentangan. Istilah dikotomi dalam tulisan ini adalah sikap atau paham

yang membedakan, memisahkan dan mempertentangkan antara “ilmu-ilmu

agama” dan “ilmu-ilmu non-agama (ilmu umum)”.

Sedangkan, Perkataan “dualisme” adalah gabungan dua perkataan dalam

bahasa latin yaitu “dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo” memberi

arti kata dua. Sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama bagi satu kata

kerja. Dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan. Secara terminologi

dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling

bertentangan. Oleh karena itu, dualisme ialah keadaan yang menjadi dua, dan ia

adalah satu sistem atau teori yang berdasarkan kepada dua prinsip yang

menyatakan bahwa ada dua substansi.72

66 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 2001), 264. 67 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:

Arkola, 1994), 110. 68 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional

Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), 74. 69 Yuldelasharmi, Dikotomi Ilmu Pengetahuan: Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu

dalam Peradaban Islam, dalam Samsul Nizar (Edit), Sejarah Pendidikan Islam:

Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi Muhammad sampai Indonesia (Jakarta:

Kencana, 2009), 230. 70 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and

Workplan (Herndon : IIIT, 1982), 37. 71 Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di

Indonesia”, Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta

(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), 104. 72 Asal dualisme ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika

yang lahir dari alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan raga

Page 39: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

25

Rene Descartes yang dinobatkan sebagai Bapak filsafat modern adalah

orang pertama yang memformulasikan dualisme epistemologi sains modern.

Baginya yang real itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that

think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance)

sehingga kemudian mengarakterisasikan pada penekanan adanya perbedaan

antara subjek dan yang di objek, yakni antara pengamat dan dunia luar (yang

diamati) sebagai realitas yang hanya dapat diketahui melalui observasi dan

penalaran.73

Selain itu, struktur dualisme74 epistemologi Barat modern telah

melepaskan dirinya dari teologi, yang melepaskan fisika dari metafisika.

Immanuel Kant, filosof Jerman berperan penting dalam menghilangkan aspek

metafisika sebagai sumber epistemologi karena menurutnya tidak dapat dicerna

oleh panca indera. Teologi yang ditinggalkan itu kemudian digantikan oleh

antropologi, sehingga kesimpulannya pun menjadi aneh sebagaimana menurut

Feurbach bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia. Hal ini pun

manusia. Asal usul konsep dulaisme terkandung dalam pandangan hidup tentang alam

(world view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan peradaban Barat.Gagasan

tentang dualisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman Plato dan Aristoteles yang

memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan

dan kebijakan.Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa “kecerdasan” seseorang

merupakan bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan

dengan fisik.Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena

mental adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik.Oleh karena itu, faham dulaisme ini

melihat fakta secara mendua.Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis

terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain. Dualisme yang

dikenal secara umum sampai hari ini diterapkan oleh René Descartes (1641), yang

berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali

memodifikasi dulaisme dan mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan

membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Baginya yang riil itu adalah

akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi

yang menempati ruang(extendedsubstance). Dengan demikian memang secara ideologis

diciptakan adanya dulaisme pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan

pemerintah dan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional dan

madrasah, pondok pesantren, sekolah yang kurang mendapat perhatian dan menjadi

tanggung jawab Kementerian Agama. M. Hasyim Mustamin Akar Historis Dualisme

Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia, http://makalahmajannaii./2012/12/akar-historis-

dualisme-dalam-sistem.html, di unduh pada tanggal, 08 Januari 2014. 73 John Losee, A Historical Introduction to The Philosophy of Science (Oxford

University Press, New York: 2001), 63-68. 74 Pengertian dualisme merupakan pandangan filosofis yang menegaskan

eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat direduksi, unik.Contoh:

adikodrati/kodrati, Allah/Alam semesta, Roh/Materi, Jiiwa/Badan, Dunia yang

kelihatan/Dunia yang tidak kelihhatan, Dunia inderawi/Dunia intelektual, Substansi yang

berpikir/Substansi Material, Realitas aktual/Realitas kemungkinan, Dunia

noumenal/Dunia fenomenal, Kekuatan kebaikan/Kekuatan kejahatan, Alam semesta

dapat dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat

(Jakarta: Gramedia, 1976), 174.

Page 40: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

26

dilanjutkan oleh Nietzche yang menganggap Tuhan merupakan hasil khayalan

dalam jiwa dan pikiran manusia. Oleh karena itu sains di Barat adalah jauh dari

nilai ketuhanan (Godless) atau atheis. Para cendikiawan Barat seperti halnya Karl

Marx, Charles R. Darwin, Auguste Comte, Emil Durkheim, Herbert Spencer,

Sigmund Frued, Friederich Nietzche bukanlah tokoh teolog melainkan sebagai

tokoh atheis. Pada akhirnya epistemologi mereka mereka tidak mengandung

teologi.

Hal ini tentunya sangatlah bertolak belakang dengan tokoh ulama dalam

Islam yang ilmunya justru semakin mendekatkan dirinya dengan Tuhannya.

Dualisme epistemologi Barat modern dengan pendekatan yang dikotomis,

akhirnya berimplikasi pada Godless, confusion, meanigless. Dengan pemaknaan

dikotomi tersebut, maka dikotomi pendidikan adalah dualisme sistem pendidikan

antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan

kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada

dataran pemilahan tetapi masuk wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang

dikotomik pada pendidikan akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan

akan menafikan peradaban Islam yang kaffāh (menyeluruh).75

Istilah lain dari dikotomi ilmu yang lebih menukik pada akar ilmu adalah

pandangan dari A. Malik Fadjar, ia mengistilahkan dikotomi ini dengan hellenis

untuk ilmu umum atau ilmu modern dan semitis untuk ilmu agama.76 Istilah lain

yang diungkapkan oleh Harun Nasution bahwa dikotomi merupakan sikap yang

memisahkan terhadap ilmu ini dengan “dualisme ilmu”. Dalam dualisme, unsur-

unsur yang paling mendasar dari setiap realitas itu cenderung dipertentangkan,

namun tidak saling menafikan antara keduanya, misalnya kejahatan dan

kebaikan, Tuhan dan alam semesta, ruhani dan jasmani, jiwa dan badan dan lain

sebagainya.77 Akan tetapi, jika istilah ilmu itu hanya sekedar membedakan atau

mengklasifikasikan ilmu menjadi “ilmu agama” dan “ilmu non agama”,

sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak berlebihan, apalagi sampai

melakukan diskriminasi terhadap salah satu diantara keduanya.78

75 M. Rusydi, ia menulis Artikel, “Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan

Islam dan Pengaruhnya,” Jurnal: Al-Banjari, Vol.5, No.9 (2006) : 24. 76 Gagasan Hellenis berasal dari Yunani klasik yang ciri menonjolnya

memberikan porsi yang amat besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional

serta lebih menyukai ilmu-ilmu sekuler, sedangkan gagasan Semitis mewarnai alam

pikiran kaum agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani yang mendahului Islam,

dengan ciri memberikan porsi yang amat besar kepada otoritas wahyu, sikap patuh

terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu keagamaan. Lihat A. Malik Fadjar,

Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999),

99-100. 77 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun

Nasution, Edit.: Saiful Muzani (Bandung: Mizan, 1995), 40. 78 Dengan demikian, konseptual-teoritis dalam diskursus ilmu ini ditandai

dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan

bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat. Terjadinya diskursus dikotomi

Islamic knowledge dan non Islamic knowledge mengakibatkan ilmu-ilmu ʽaqliyah yang

Page 41: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

27

Mulyadhi Kartanegara menilai bahwa dikotomi ilmu ke dalam ilmu

agama dan non-agama sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai

tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam, tetapi dikotomi tersebut tidak

menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, hingga

sistem pendidikan sekuler barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui

imperialisme. Problematikanya adalah ketika paradigma dikotomi ilmu menjadi

bagian dari sudut pandang umat Islam yang mengeliminir salah satu ilmu dengan

mengklasifikasikan antara high education dan low education atau suprioritas

ilmu dan inferior ilmu.79

Konsekuensinya adalah munculnya problematika dalam dunia

pendidikan Islam khususnya pendidikan tinggi Islam yang sebagian besar masih

mengikuti platform keilmuan klasik yang didominasi ʽulamā’ al-shar’i.80

Memasuki periode modern, tradisi itu mengalami kesenjangan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah sangat kuat

mempengaruhi peradaban umat manusia dewasa ini. Implikasinya adalah

kesenjangan itu telah menghadapkan dunia pendidikan tinggi Islam dalam tiga

situasi yang buruk; pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama

dan ilmu umum, kedua keterasingan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari

realitas kemodernan, ketiga menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-

nilai agama.81 Implikasi lain yang bisa muncul dari dikotomi ilmu adalah

timbulnya kesenjangan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Para

pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber Ilahi dalam

bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual

sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati. Di pihak lain,

menjadi pilar bagi sains dan teknologi menjadi pudar, bahkan lenyap dari tradisi

keilmuan dan pendidikan Islam. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu ʽaqliyah tadi mengalami

transmisi ke dunia Barat. Akhirnya, umat Islampun menjadi terperangah dengan

supremacy knowledge yang dikuasai Barat dan mengalami ketergantungan kepada

mereka dalam hampir semua aspek kehidupan. Lihat Baharuddin, Umiarso, Sri Minarti,

Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat Islam

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 3-4. 79 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 19. 80 Sedangkan Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam melihat pendidikan tinggi Islam

sangat menukik, ia mengatakan bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini

berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi

tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa muslim

pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan

tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus

besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip

ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas angin.

Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini. Lihat detailnya dalam Ahmad

Syafi’i Ma’arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate studi Islam melalui

Paradigma Baru yang lebih Efektif, Makalah Seminar Tahun 1997, 7-8. 81 Husni Rahim, Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Malang: UIN

Malang Press, 2004), 51.

Page 42: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

28

ilmuan-ilmua sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui

pengamatan inderawi.82 Kondisi yang demikian, menurut Abdul Munir Mulkhan

adalah akibat dari ketidak jelasan sikap dan kerangka keilmuan praktik

pendidikan tersebut.83

Menurut Ikhrom setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-

ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama, diantaranya :

1. Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana selama

ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan

dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-

dīn yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka.

Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukkan

kurikulum pendidikan meupun ke dalam lembaga tersebut telah

mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-

dīn tersebut. Akibatnya telah terjadi pergeseran makna bahwa mata

pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai

tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.

2. Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran

Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan

dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu

umum. Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep dengan konsep

ajaran Islam sendiri yang bersifat integral, dimana Islam mengajarkan

keharusan adanya keseimbangan antara urusan dunia (umum) dengan

urusan akhirat (agama).

3. Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing

sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh

mempertahankan kediriannya. Meskipun jalan kompromi semisal

modernisasi telah diusahakan, tetapi karena adanya hegemoni sistem

umum atas sistem agama, maka tetap memunculkan dikotomi sistem dan

keilmuan.

4. Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini

disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya

kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijadikan tolok

ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa.84

Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu

umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagai pemikir muslim terhadap

ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non muslim, khususnya

pandangan ilmuan Barat, sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas

82 Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 22-23. 83 Abdul Munir Mulkhan, Membangun Tradisi Ilmu Pesantren, dalam Umiarso

dan Nur Zazin, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan: Menjawab Problematika

Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren (Semarang: RASail, 2010), viii. 84 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta: CRSD PRESS, 2005),

131-132.

Page 43: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

29

dan otoritas ajaran agamanya. Integrasi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-

ilmu umum berarti usaha mengislamkan atau melakukan purifikasi (penyucian)

terhadap ilmu pengetahuan produk Barat yang selama ini dikembangkan dan

dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar

diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas Islami”. Pengetahuan dalam

pandangan Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memantapkan dan

menguatkan iman. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu

pengetahuan. Albert Einstein mengatakan bahwa “Ilmu tanpa Agama buta, dan

Agama tanpa Ilmu lumpuh (science without religion is blind and religion without

science is lame).85

Selanjutnya, sejarah/historisitas dikotomi ilmu pengetahuan lahir dari

konflik intern Eropa yang notabenenya beragama Kristen pada abad pertengahan,

dimana terdapat subordinasi rasio kepada kepercayaan Kristen86, dimana akal

tidak memiliki peran signifikan dalam ajaran keagamaan bahkan akal sendiri

berusaha untuk ditenggelamkan dan harus tunduk pada kesewenang-wenangan

gereja, dimana dalam Bible sendiri banyak memuat hal-hal yang bertentangan

dengan akal dan ilmu pengetahuan yang gilirannya berseberangan dengan para

ilmuan seperti Galileo Galilei (1546-1642) Nicolas Copernicus (1473-1543) dan

lain sebagainya, maka dari gejolak inilah muncul gerakan-gerakan pemisahan

terhadap agama dan ilmu yang berkembang di barat terbentuk atas dasar fakta

empiris dan bersifat rasional-indrawi dengan menganalisa fenomena lahiriah

(ayat kauniyah) saja tanpa menghiraukan sumbernya yakni Allah SWT, maka

dikotomi itu sendiri lahir dari dari proses sekularisasi Barat akibat kekecewaan

ilmuan terhadap hirarki gereja yang mendukung keberadaan akal.87

Terjadinya pemisahan “ilmu agama” dan “ilmu umum” terjadi pada abad

pertengahan, yakni pada saat umat Islam kurang memperdulikan baca dan

meninggalkan IPTEK. Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam

adalah ulama Fiqh. Salah satu contohnya adalah pada abad pertengahan, tepatnya

pada abad ke-11 M di Madrasah Nizamiyyah terjadi penspesifikasian kurikulum

yang hanya menekankan pada supremasi Fiqh an sich. Semua cabang ilmu

agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menompang superioritas dan

penjabaran hukum Islam. Fiqh oriented education adalah ciri yang menonjol

pada masa itu sehingga Madrasah Nizamiyyah benar-benar menjadi model

pendidikan yang dikotomi.88 Di sisi lain, selain ulama Fiqh ada juga ulama yang

85 Jujun S. Suriasumatri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1999), 3. 86 Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal ? (Ponorogo, Center

for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), 30. 87 AM Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus (Jakarta: PPA Consultants,

2010), 271-272. 88 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Non dikotomik:

Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gama Media,

2002), 112.

Page 44: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

30

berpengaruh yaitu ulama tarekat, dan keduanya menanamkan paham Taqlīd89 dan

membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih

dikenal sebagai ilmu agama seperti tafsīr, Fiqh dan Tauḥīd. Ilmu tersebut

mempunyai pendekatan normatif dan tarekat, tarekat hanyut dalam wirid dan

dzikir dalam rangka mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah dengan

menjauhkan kehidupan duniawi.

Dalam konteks historis, Azra memberikan contoh sebagai berikut:

Sebelum kehancuran teologi Mu’tazilah pada masa khalifah al-Ma’mun (198-218

H / 813-833 M), mempelajari ilmu-ilmu umum (kajian-kajian nalar empiris) ada

dalam kurikulum madrasah, tetapi dengan adanya pemakruhan atau bahkan lebih

ironis lagi “Pengharaman“ penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-

ilmu umum yang dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum madrasah. Mereka

yang berminat mempelajari ilmu-ilmu umum dan yang mempunyai semangat

scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) untuk membuktikan kebenaran ayat-ayat

kauniyah, terpaksa harus belajar sendiri-sendiri atau di bawah tanah, karena

dipandang sebagai ilimu-ilmu subversif yang dapat menggugat kemapanan

doktrin sunni, terutama dalam kalām dan fiqh. Adanya madrasah al-Ṭibb

(Sekolah kedokteran) juga tidak dapat mengembangkan ilmu kedokteran dengan

bebas, karena sering digugat fuqahā, misalnya tidak diperkenankan

menggunakan organ-organ mayat sekalipun dibedah untuk diselidiki. Demikian

pula rumah sakit riset di Baqdad dan Kairo, karena dibayangi legalisme fikih

yang kaku akhirnya berkonsentrasi pada ilmu kedokteran teoritis dan perawatan.

Paparan tersebut menunjukan bahwa dalam realitas sejarah pernah terjadi

disharmonisasi hubungan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sekuler)

yang mendorong terjadinya dikotomi antara ilmu pendidikan agama dan ilmu

pendidikan umum. Lahirnya dualisme pendidikan tersebut mengakibatkan

terjadinya kemunduran umat Islam dari berbagai bidang, seiring dengan

kemajuan Barat (Eropa) yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan

berusaha menguak misteri alam dan menaklukan lautan dan daratan. Salah satu

faktor lainnya yang menyebabkan kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme

dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan

89 Taqlīd adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang

digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, ataupun mengetahui tentang keshahihan

hujjah Taqlīd itu sendiri. Taqlīd itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib

bagi orang yang bukan mujtahid sebagaimana yang dikatakan oleh Imam as-Suyūti.

Dengan demikian, Taqlīd itu tidak hanya terbatas pada awwam saja melainkan orang-

orang alim yang sudah mengetahui dalil-pun masih dalam kategori seorang muqallīd.

Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka tetap wajib ber-Taqlīd, sebab

pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan tidak sampai kepada proses,

metode dan seluk beluk dalam menentukkan suatu hukum. Lihat Muhyiddin

Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis; Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-

hari (Surabaya: Pustaka Bayan, 2006), 64.

Page 45: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

31

bermasyarakat melahirkan sikap eksklusivisme. Gerakan Islam termasuk dalam

kategori gerakan eksklusif tersebut.90

Menurut Harun Nasution dikotomi terjadi berawal dari masa kemunduran

umat Islam di segala bidang. Sejarah mencatat, setelah kejayaan umat Islam

selama hampir 700 tahun (571-1250) di zaman klasik, maka pada zaman

pertengahan (1250-1800) terjadilah kemunduran secara tajam peradaban Islam

termasuk ilmu pengetahuan. Pada zaman pertengahan itu, pemikiran tidak

berkembang lagi baik dalam bidang agama, sains maupun filsafat akibatnya

timbullah konsep Taqlīd. Zaman itu orang hanya mengikuti saja kepada apa yang

sudah ditentukkan pada zaman klasik. Filsafat-pun hilang karena pemikiran

rasional hilang yang berkembang pemikiran tradisonal dan tarekat yang

berorientasi akhirat. Karenanya soal dunia ditinggalkan termasuk sains. Sains

tidak lagi diajarkan di madrasah-madrasah, yang diajarkan di madrasah hanya

ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, akhlaq dan bahasa Arab. Hal ini

berkembang selama 600 tahun lamanya. Kondisi ini diperparah oleh penjajahan

yang melanda dunia Islam. Eropa dalam waktu singkat menguasai timur tengah

dan afrika utara. Untungnya, berbagai kondisi buruk yang menimpa umat Islam

itu segera menyadarkan beberapa ulama yang berfikiran maju, mereka

berpendapat kelemahan umat Islam karena tidak menguasai ilmu pengetahuan

(sains). Dalam pemikiran mereka, Eropa dahulunya masih dalam kegelapan

ketika umat Islam maju di segala bidang. Kini berkat ilmu pengetahuan (sains)

mereka mampu menjadi pemimpin. Harun Nasution menunjuk salah satu sebab

kemunduran umat Islam dalam penguasaan ilmu adalah ditinggalkannya

pemikiran rasional. Maka sejak abad 19, kesadaran bahwa umat Islam dapat

menjadi pelopor dan pemimpin peradaban menguat kembali, mereka segera

merintis pendidikan yang berorientasi kapada sainstik. Namun, banyak ulama

tradisional mengharamkan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat. Sejak itu,

terjadi pemilahan bahwa mereka yang ingin belajar ilmu pengetahuan agama ke

lembaga pendidikan tradisional, sedangkan bila mereka ingin belajar ilmu

pengetahuan non agama mereka harus ke lambaga pendidikan yang berorientasi

ke Barat. Sejak itu di seluruh dunia muncullah dikotomi intelektual yang hanya

menguasai ilmu umum dan ulama yang menguasai ilmu agama.91

Implikasinya adalah hilangnya budaya berfikir ilmiah-rasionalistik

dikalangan umat Islam yang bercirikhaskan liberal terbuka, inovatif dan

konstruksif. Hilangnya budaya ini terlebih lagi disebabkan oleh serangan al-

Ghazāli terhadap para filosof dan tokoh rasionalis seperti al-Farabi dan Ibnu Sina

yang dikemukakan dalam kitabnya “Tahāfut al-falāsifah”. Kritik al-Ghazāli ini

menyebabkan pengaruh tradisi serta semangat ilmuan rasional menjadi lenyap

90 Taufiq, dalam Artikel; “Peta Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia: Telaah

Dikotomi Pendidikan,” Jurnal Hunafa, Vol.7, No.2 (2010) : 149. 91 Harun Nasution, Republika-Dialog Jum’at “Dikotomi Ilmu, antara Fardhu Ain

dan Fardhu Kifayah (05 Januari 1996)” dalam buku Proses Perubahan IAIN manjadi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Rekaman Media masa (Ciputat: UIN Jakarta Press,

2002), 26.

Page 46: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

32

karenanya.92 Al-Ghazāli bisa dikatakan, tidak mencetuskan ide-ide kesatuan ilmu

pengetahuan. Ia memandang sebagai farḍu ʽain untuk menuntut “ilmu agama”

dan farḍu kifāyah untuk “ilmu-ilmu non agama”93 dan ia juga sibuk dengan

usahanya mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan “asas-asas dikotomi

keilmuan”, dimana ia secara sadar memisahkan antara ilmu-ilmu agama

(religius/ukhrāwi/farḍuʽain) dan ilmu-ilmu umum (intelek/duniawi/farḍu

kifāyah) yang telah menimbulkan ketimpangan yang nyata antara kedua

klasifikasi ilmu tersebut bukan hanya itu saja, ia juga mengeluarkan fatwa-fatwa

yang “membabi buta” hingga mengharamkan filsafat dan mengkafirkan orang

yang mempelajari dan mengajarkannya sebagaimana yang ia tulis dalam buku

“Tahāfut al-falāsifah”.94

Ditangannya, dunia Islam dipenuhi dengan sisi mistis (taṣawuf). Dalam

hal ini, bagi Sayyed Hossein Nasr, serangan al-Ghazāli terhadap filsafat dianggap

telah melumpuhkan filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai

disiplin yang berbeda dari gnosis dan teknologi di seluruh wilayah Arab pada

dunia Islam.95 Walaupun sikap al-Ghazāli tersebut akhirnya mendapatkan

jawaban dan serangan frontal dengan evaluasi kritis-akademis dari Ibn Rushdy

dalam Tahāfut al-Tahāfut (rancu dalam kerancuan). Bahkan kalau dikaji secara

“nakal”, al-Ghazāli merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap

ambruknya kecemerlangan peradaban Islam, sehingga wajar jika orientalis Philip

K. Hitti mencapnya sebagai orang anti intelektual.96

Menurut hemat penulis, pendikotomian ilmu yang dilakukan al-Ghazāli

tidak bersifat differensial (membedakan/memisahkan), ia hanya sekedar

mengklasifikasikan ilmu menurut substansinya, menilai ilmu mana yang lebih

diprioritaskan tidak serta merta memisahkan keilmuan tersebut. Tidak lah benar

jika dikatakan bahwa memudarnya kecenderungan filsafat dalam dunia Islam

atau lebih ekstrem lagi mundurnya peradaban Islam dikarenakan al-Ghazali, yang

92 Ahmad Baiquni, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakarta: Dana

Bhakti Wakaf, 1995), 121. 93 Abu Hāmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyā

‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dar al-Kutub al-Islāmiyyah, tth), 17. 94 Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah, Armai Arief, Integrasi Ilmu Agama

dan Ilmu Umum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 148. 95 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNNY Press,

1981), 72.

Sementara itu, pada karyanya yang lain Seyyed Hossein Nasr menyatakan

bahwa sekalipun al-Ghazāli telah menyerang filsafat, namun pengarang Tahāfut al-

Falāsifah ini dianggap sebagai “filosof” juga. Kerena dia mengerti persoalan filsafat dan

melakukan kritik atasnya secara filosofis. Meskipun membatasi ruang gerak rasionalisme

Muslim, al-Ghazāli telah meratakan jalan bagi penyebar doktrin iluminasionis (ishrāqi)

Suhrawardi (w. 587/1191) dan gnosis (ʽirfāni) madhhab Ibnu ‘Arabi (w.638/1240). Lebih

detailnya dalam Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge: Harvard

University Press, 1968), 55. 96 Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmilan Press Ltd., 1974),

432.

Page 47: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

33

ada sebagaimana tercatat dalam sejarah setelah masa al-Ghazāli lahirlah

perkembangan positif dengan munculnya perpaduan antara dunia sufi dan

filsafat, seperti lahirnya tokoh-tokoh Fakhruddin al-Razi, Ibnu Khaldun, Mulla

Sādrā dan lain sebagainya. Al-Ghazāli tetap layak disebut sebagai filsuf muslim,

karangan utamanya yang menyerang filsuf lain, yakni Tahāfut al-falāsifah

bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan koreksi terhadap tokoh-tokoh yang

dianggap menyeleweng dalam filsafat Islam. ketika ada peninjauan kembali

secara kritis-realistis, setelah meninggalnya al-Ghazāli dunia intelektualisme

Islam masih mampu melahirkan banyak ilmuan, seperti Ibnu Rushdy (w.1198 M)

yang dianggap sebagai Aristotelian sejati dan Ibnu Khaldun (w. 1406 M) yang

dianggap sebagai bapak sosiolog modern bukan saja bagi umat Islam, tapi juga

bagi dunia internasional.97

Sedangkan dalam dunia pendidikan, dualisme sistem pendidikan telah

membelah wajah pendidikan nasional menjadi dua, pertama, pendidikan umum

yang memiliki karakter khas dan berada di bawah naungan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, pendidikan agama yang juga memiliki

karakter khas dan berada di bawah naungan Kementerian Agama.98 Dua wajah

97 Perlu dicatat juga, bahwa al-Ghazāli lebih menjadi “milik” umat Islam secara

keseluruhan dari pada “hanya” terbatas kalangan sufi, bahkan ia lebih dikenal dalam

ranah ke-Islaman populer dari pada dalam dunia sufi itu sendiri, meskipun karya-karya

sufistiknya jauh lebih dominan dibanding karya-karya filosofis ataupun fiqhnya. Menurut

Azyumardi Azra, al-Ghazāli adalah seorang manusia dengan pengetahuan yang amat luar

biasa, yang menyerap keseluruhan kebudayaan keilmuan pada zamannya. Ia terlibat

dalam pengembangan ilmu teologi, filsafat, astronomi, politik, ekonomi, sejarah, hukum,

sastra, musik, etika, sufisme, kimia, ilmu kedokteran dan biologi. Ia juga mengatakan al-

Ghazāli merupakan tokoh intelektual yang menjadi ikon khazanah keilmuan dalam Islam.

Gelar yang disandangkan kepada al-Ghazāli seperti Hujjat al-Islām, Zain al-Dīn, Sharaf

al-Ummah dan Mujaddid merupakan simbol pengakuan terhadap kebesaran namanya dan

kapasitas keilmuannya sebagai salah seorang cendekiawan muslim ternama dalam

sejarah. Kefenomenalannya tersebut membuat ia dianggap oleh banyak orang sebagai

orang yang mempunyai otoritas keagamaan terbesar setelah Nabi Muhammad SAW.

Bahkan, menurut al-Subki (w. 1370 H), seperti yang dikutip oleh Azyumardi Azra, yang

mengatakan “Seandainya ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad, maka manusianya

adalah al-Ghazāli” Lihat Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer; Wacana,

Aktualitas dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 383-384. 98 Usaha untuk memadukan antara kedua sistem tersebut sebenarnya telah lama

didengungkan, dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam

sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum

sekolah-sekolah modern. Dengan demikian diharapkan sistem pendidikan tradisional

akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern. Dan

inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembahasan pendidikan Islam,

yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni, sebagaimana dipelopori oleh al-Afghani,

Muhammad Abduh, dan lain-lain. Namun demikian, sampai sekarang dualisme sistem

pendidikan ini masih menjadi permasalahan utama di Negara- negara muslim, termasuk

indonesia. Lihat Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1985),

125.

Page 48: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

34

pendidikan inilah yang telah mewarnai pendidikan di Indonesia sejak zaman

kalonial hingga saat ini. Dikotomi sistem pendidikan merupakan kesinambungan

sejarah, baik sejarah umat Islam pada khususnya maupun sejarah bangsa

Indonesia pada umumnya. Di samping itu, wacana dikotomi pendidikan juga

menguat kembali akibat gejolak politik nasional yang bermuatan ideologi

tertentu. Dari zaman sebelum kemerdekaan hingga kini telah terjadi perseteruan

politik antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis religious (Islam).

Kedua kelompok yang bersebrangan visi ini saling berebut pengaruh untuk

menaklukkan dan sekaligus menguasai sistem konstitusi Negara. Akibatnya

masing-masing berusaha melegitimasi ideologi tertentu, malah kalau perlu secara

konfrontatif dengan melakukan proses pelembagaan formal.99 Dari proses inilah

lahir dualisme sistem pendidikan, di satu sisi pendidikan Islam berada di bawah

payung Kementerian Agama, di sisi yang lain pendidikan umum berada di bawah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.100

Munculnya dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia tidak bisa

dilepaskan dari pengaruh kemunduran dunia Islam yang didominasi oleh pola

pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik dan juga pengaruh

penjajahan Barat. Oleh sebab itu, sistem pendidikan di Indonesia di satu sisi

masih mewarisi pola pendidikan Islam (tradisional) dan di satu sisi mewarisi

sistem penjajah (Barat). Karel A. Steenbrink mendapati bahwa asal usul sistem

pendidikan yang dualistik di Indonesia telah bermula sejak zaman kolonial

Belanda hingga berlanjut ke zaman kemerdekaan. Penolakan politik pemerintah

kolonial penjajah untuk menyesuaikan diri dan menggabungkan sistem

pendidikan agama Islam seperti pondok pesantren yang telah ada sebelumnya

menjadi dasar untuk mengembangkan sekolah-sekolah umum menjadi salah satu

sebab wujudnya sekolah-sekolah yang menggunakan sistem pendidikan kolonial.

Steenbrink dalam tulisannya mengutip pernyataan J.A. Van der Chijs, seorang

inspektur pendidikan pribumi pertama yang dilantik dalam kalangan pegawai

pemerintah kolonial Belanda, yang menyatakan bahwa ”Walaupun saya sangat

setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi, namun saya

tidak menerimanya kerana kebiasaan tersebut terlalu jelek, sehingga tidak dapat

dipakai dalam sekolah pribumi.” Para sarjana kolonial pada masa itu menyatakan

bahwa tradisi didaktik pendidikan pribumi seperti membaca teks arab dan

penggunaan kaedah hafalan tidak dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan

suatu sistem pendidikan umum. 101

99 Muarif, Liberalisasi Pendidikan (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008),

28. 100 Sebagai pembanding baca Noorhaidi Hasan, “Islamizing Formal Education:

Integrated Islamic School and New Trend in Formal Education Institution in Indonesia”

Artikel Online di S. Rajartanam School of International Studies Singapore, Febsari 2011,

4-5. 101 Hasil penelitian Steenbrink 1986 menunjukan bahwa pendidikan kolonial

tersebut sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja

dari segi metode, tetapi lebih khusus dari isi dan tujuanya. Pendidikan yang dikelolah

oleh Kolonial Belanda khusunya berpusat pada pengetahuan umum dan keterampilan

Page 49: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

35

Maka didirikanlah sejumlah sekolah Kristen di Minahasa Sulawesi dan

Maluku yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah dan manajemennya

dilaksanakan oleh para zending Kristen. Sama seperti lembaga pendidikan Islam,

sekolah ini pada awalnya hampir seratus persen memusatkan diri pada

pendidikan agama Kristen, walaupun guru-guru setempat yang mendapatkan

pendidikan dari lembaga tersebut bertujuan untuk mempersiapkan pemimpin-

pemimpin agama bagi masyarakat setempat, namun bagi penjajah kolonial

sekolah ini lebih mudah penggabungannya untuk memasukkan sekolah tersebut

ke dalam sistem sekolah umum berbanding lembaga pendidikan Islam seperti

pesantren. Hal itu antara lain karena disebabkan murid di sekolah umum sudah

terbiasa dengan tulisan Romawi dibandingkan dengan tulisan dan Bahasa Arab.

Faktor lain juga adalah disebabkan oleh adanya hubungan organisasi yang

bersifat kepentingan ideologis antara pemerintah kolonial dan zending

dibandingkan dengan Islam.102

Sebetulnya, Dalam dunia pendidikan Islam benar-benar tidak terjadi

pendikotomian ilmu-ilmu, khususnya oleh ilmuan Islam pada lima abad pertama

Islam (abad ke-7 sampai 11 M). Pendikotomian ilmu agama dan ilmu umum baru

terjadi di kalangan umat Islam pada akhir abad ke-11 menjelang abad ke-12.

Sebagai akibatnya, terjadilah kemunduran peradaban dan intelektualisme

Islam.103 Pada awal abad ke-20 M., pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua

golongan, yaitu (1) Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah barat yang

sekuler yang tidak mengenal ajaran agama, dan (2) Pendidikan yang diberikan

oleh pondok Pesantren yang hanya mengenal agama saja atau menurut istilah

Wirjosukarto 1985 pada periode tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu:

Corak lama yang berpusat di Pondok Pesantren dan corak baru dari perguruan

(sekolah-sekolah) yang didrikan oleh Pemerintah Belanda.104 Demikanlah sejak

permulaan abad 20 pendidikan Islam mulai mengembangkan satu model

pendidikan sendiri yang berbeda dan terpisah dari sistem pendidikan Belanda

maupun sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh departemen pendidikan dan

kebudayaan Indonesia. Dari sini nampak, bahwa sistem pendidikan umum di

duniawi yaitu pendidikan umum. Sedangkan lemabaga pendidkan Islam lebih ditekankan

pada pengetahuan dan keterampilan berguna bagi penghayatan agama. Sementara ilmu

dalam studi Islam terkait erat dengan pembagian kelompok ilmu Islam dalam pengertian

ilmu agama yang diperlawankan dengan kelompok non-Islam atau ilmu umum, ini

berimbas pada kemunculan dikotomi kelembagaan dalam pendidikan Islam. Akibatnya,

muncul pula istilah sekolah-sekolah agama dan sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain,

sekolah agama berbasis ilmu-ilmu “Agama” dan sekolah umum berbasis ilmu-ilmu

“Umum”. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES The

Columbia Encyclopedia (1963) NY & London: Colombia University Press, 1986), 3. 102 Suyatno, dalam Artikel; “Dekonstruksi Pendidikan Islam sebagai sub sistem

Pendidikan Nasional,” Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1 No. 1(2012) : 124. 103 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:

Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, 121. 104 Taufiq, dalam Artikel; “Peta Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia: Telaah

Dikotomi Pendidikan, 151-152.

Page 50: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

36

Indonesia, bukanlah muncul akibat penyesuaiannya dengan sistem pendidikan

Islam tradisional. Sebaliknya sistem pendidikan Islam yang pada akhirnya lama

kelamaan akan menyesuaikan diri dan masuk ke dalam sistem pendidikan

umum.105

Kemunculan dikotomi sekolah umum pada satu sisi dan sekolah

madrasah yang merupakan perwakilan sekolah agama pada sisi lain merupakan

wujud kongkrit dikotomi dalam pendidikan Islam. Kondisi ini lebih parah dengan

dikelurakannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, Menteri Dalam

Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama pada tahun

1975 yang mempersamakan kedudukan sekolah umum dengan madrasah yang

statunya masih sebagai sekolah agama. Pengintegrasian ini menimbulkan

kesalapahaman dalam dunia pendidikan. Pendidikan umum yang bersifat umum

disamakan dengan pendidikan agama Islam dalam arti khusus. Akibatnya,

penunggalan dalam pendidikan Islam makin rancu pada penggunaan istilah bagi

semua jenjang, model, dan bidang studi. Menjadi hal yang klasik dan menjadi

perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang

masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-ʽulūm al-diniyyah atau religious

sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences). Dikotomi yang mulai

muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan

di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia

muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan

pendidikan.106

Berbicara lebih jauh tentang pendikotomian ilmu hal ini sangatlah terkait

dengan masalah dikotomi pendidikan (kelembagaan), sehingga berimbas pada

terjadinya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama dalam arti

kelembagaan yang dimana hal ini merupakan warisan dari zaman kolonial

Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum

kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan

saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok

pesantren, yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang

didirikan pemerintah kolonial Belanda. Karena tekanan politik pemerintah

kolonial, maka sekolah-sekolah agama Islam memisah diri dan terkontak dalam

kubu tersendiri.Sehingga dengan sendirinya mulailah pendidikan terkotak-kotak

(dikotomi) antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bila kita menoleh

sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi Azra, hal ini bermula dari

historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum

105 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1999), 150-151. 106 Azyurmardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan

Demokratisasi (Jakarta: Buku Kompas, 2002), Cet. I, 101.

Page 51: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

37

(keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika

mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.107

Setelah kemerdekaan, dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial

Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pandangan

beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai

sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola sekolah

tersebut berpegang pada sikap semula : berdiri di kutub yang berbeda dengan

sekolah umum. Oleh karena itu, keikutsertaan Departemen Agama secara historis

dalam menangani sekolah-sekolah agama sangat diperlukan. Sebab kalau tidak

sekolah-sekolah akan berjalan dengan arahnya sendiri-sendiri. Dengan tugas dan

fungsinya dibidang pendidikan, Departemen agama telah mengemban konsep

konvergensi yaitu satu pihak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum

sekolah agama. Kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri

Pendidikan, Menteri Agama dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan

madrasah juga menjadi usaha untuk menghilangkan dikotomi pendidikan di

Indonesia,walaupun secara kelembagaan berjalan terus. Akan tetapi SKB tiga

menteri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang hingga kini tetap

menjadi-jadi.108

Dengan demikian memang secara ideologis diciptakan adanya dualisme

pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan pemerintah dan

menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan

madrasah, pondok pesantren, sekolah yang kurang mendapat perhatian dan

menjadi tanggung Kementerian Agama. Kondisi demikian pada akhirnya

pemerintah terlibat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan mengembangkan

beberapa madrasah menjadi madrasah negeri. Alasannya ialah karena situasi dan

kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada

awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan

nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis

sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis

Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam

(keagamaan) dalam pengelolaan Kementerian Agama merupakan keharusan

sejarah (ḍaruri), maka tidak demikian halnya di waktu sekarang.109

Dari sini dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan nasional Indonesia

dewasa ini menunjukkan adanya kecenderungan, setidaknya untuk

meminimalisir dampak dan implikasi pemikiran dualisme terhadap sistem

107 Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan

Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. I,

206-208. 108 Pada sekitar pertengahan dekade tahun 1970-an, perhatian pemerintah mulai

ditujukan pada pembinaan madrasah secara lebih sistematis, misalnya, dengan lahirnya

kurikulum 1973 dan SKB 3 Menteri pada 24 Maret 1975 yang mengaskan bahwa

kedudukan madrasah sejajar dengan sekolah formal. Lihat Mahmud Arif, Pendidikan

Islam Transformatif (Yogyakarta: LKIS, 2008), Cet. I, 205. 109 Suyatno, dalam Artikel; “Dekonstruksi Pendidikan Islam sebagai sub sistem

Pendidikan Nasional”, 130.

Page 52: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

38

pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari upaya untuk melalukan integrasi

institusi pendidikan umum dan agama. Segala konsekuensi yang dapat timbul

dari hal tersebut, termasuk mengenai keberlanjutan eksistensi dualisme dalam

pemikiran dan praktek pendidikan Indonesia di tengah-tengah upaya tersebut,

masih menyediakan ruang terbuka bagi perdebatan-perdebatan selanjutnya.

Dikotomi pengetahuan ini muncul bersamaan atau setidak-tidaknya

beriringan dengan masa Renaissance di Barat. Masa Renaissance inilah yang

telah melahirkan sekularisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari

sekulerisasi ini lahirlah dikotomi ilmu pengetahuan.110 Lantas, mengapa terjadi

dikotomi ilmu ? Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa

hal.

Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang

bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu,

bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya,

filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi

merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat

ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”,

bagaimana cara mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar,

sumber, tujuan dan klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi, muncullah

struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang.111 Sebagai contoh, ketika

filsafat sebagai induk segala ilmu (mother off all sciences) mengalami

pembidangan dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin

ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi

pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan dan seterusnya.

Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah lagi menjadi anak cabang,

semisal perencanaan pendidikan, perencanaan kurikulum, strategi belajar

mengajr, dan seterusnya. Tak pelak lagi hal ini menyebabkan jarak antar filsafat

sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak cabang ilmu.Hal ini menyebabkan

munculnya spesialisasi keilmuan, di mana pelakunya menjadi ahli atau

profesioanl di bidangnya masing-masing.112

Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa

stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang

pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini

disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini,

dominasi fuqahā dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi

kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong farḍuʽain atau kewajiban

individu, sedangkan ilmu umum termasuk farḍu kifāyah atau kewajiban

110 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional

Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2007), 75.

111 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKIS, 2008),

Cet. I, 205.

112 Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) Cet. I, karangan Jasa Ungguh Muliawan, vii-ix.

Page 53: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

39

kolektif.113 Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam

saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

(IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.

Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang

mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya

problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat

dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam.114 Sehinggga, dalam lembaga

pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum.

Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga

pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke

seluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Shi’ah,

bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan

aliran teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi

pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-

wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia-alam dan antara ilmu agama dengan ilmu

umum. Sehinggga mau tidak mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi

dikotomi tersebut. Bahkan hal ini diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang

dipengaruhi oleh sistem politik, budaya, hukum dan seterusnya yang melanda

umat Islam, sebagai krisis yang dialami pendidikan Islam.

Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab

pokok terjadinya dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:

1. Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam

Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang

non-Muslim kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M.,

yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para

pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri

sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka

mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas

dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk

inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada sharī’ah. Saat

itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni “ijtihād”.

Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan

sharī’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka

menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari sharī’ah adalah inovasi, dan setiap

inovasi tidak disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-

sekolah, sharī’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam.

Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia,

113 Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam

Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN

Sunan Kalijaga Yoyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998), 87. 114 Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif,

x.

Page 54: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

40

Balkan, Eropa Tengah dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat

meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.115

Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang

ditaklukkan Ottoman di Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah

dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil

diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk

dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum

Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang

dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang

ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin

muslim di Turki, Mesir dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap

umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan

militer.

2. Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam

Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah

pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk

mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah

laku.Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar

berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan

untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam. Pada waktu yang

bersamaan, seorang faqīh (ahli fiqh adalah imām, mujtahid, qāri, muhaddith,

guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum

profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya

dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua

orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.116 Di kemudian hari,

kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat keduanya terpisah,

masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan pemilik

kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa

berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka.

Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa

asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan posisi

mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan

besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari

keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan

mereka dalam mengutuk otoritas politik.

Dalam pengamatan penulis, setelah memahami berbagai literatur ternyata

timbulnya dikotomi tersebut membawa pada kesimpulan bahwa akar munculnya

dikotomi ilmu disebabkan;

115 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and

Workplan (Hemdon : IIIT, 1982), 40-41. 116 Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and,

40-41.

Page 55: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

41

Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang

bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu,

bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya

filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum kian jauh. Proses

Rekontruktivisme tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan al-Ghazāli terhadap

filsafat dan apa yang dibantah oleh Ibn Rushdy dan apa yang dipahami masyakat

awam terhadap polemik tersebut sesungguhnya merupakan bagian rekonstruksi

ilmu dan juga apa yang dilakukan oleh Barat dalam merekonstruksi ilmu telah

memperdalam terjal terhadap pemahaman akan dikotomi ilmu pada masyarakat

umumnya.

Kedua, faktor historis perkembangan umat islam ketika mengalami masa

stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang

pengaruhnya bahkan masih terasa samapai kini atau meminjam istilah Azra hal

ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini,

dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi

kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong farḍu ʽain atau kewajiban

individu, sedangkan ilmu umum termasuk farḍu kifāyah atau kewajiban kolektif.

Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini

tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila

dibandingkan dengan umat dan Negara lain.

Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang

mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya

problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat

dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.

Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata,

karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi

pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam

kelesuan politik dan budaya.117 Mereka cenderung menengok ke belakang ke

romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan

bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat

para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para

sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia

Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa

memberinya arah.118

117 M. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Yogyakarta: Ircisod-UMG

Press. 2004), 10-13. 118 Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem

pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi mencari

solusi dari malise yang dihadapi umat, pengetahuan harus diIslamisasikan, sambil

menghindari perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan

itu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. Untuk menuang

kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti membuat teori, metode,

prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan

pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia. Dengan

demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat Islam

Page 56: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

42

B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ditinjau dari :

1. Tinjauan Normatif Teologis

Tinjauan normatif teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai

suatu cara memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal

dari Tuhan sebagaimana terdapat di dalam wahyu yang diturunkan-Nya. Sebagai

sebuah ajaran yang berasal dari Tuhan yang memiliki segala sifat kesempurnaan,

maka dapat diyakini bahwa ajaran tersebut sangat ideal, mutlak benar, absolut,

berlaku sepanjang zaman tidak terbatas. Dengan pentingnya tinjauan normatif

teologis ini, maka ia telah digunakan sebagai salah satu cara untuk melihat

masalah.119

Amin Abdullah120 menawarkan konsep integralisme dan reintegrasi

epistemologi keilmuan untuk dapat memberikan solusi konkret ketegangan-

ketegangan antar sekulerisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-

agama yang dipahami secara kaku oleh sebagian kalangan. Untuk memberikan

gambaran yang lebih jelas mengenai konsep tersebut, berikut ini ilustrasi

hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik:

(termasuk dikotomi pendidikan) adalah islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni

pemaduan kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern melalui

filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan

menengah, juga kuliyah-kuliyah dan jami’ah-jami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus

dipadukan dengan sistem sekular dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum

dengan proses Islamisasi ilmu. Lihat Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge:

General Principles and, 55-59. 119 Dari Survei yang dilakukan para ahli terhadap istilah teologi dihasilkan tiga

kesimpulan. Pertama, teologi mesti berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, apakah

dilihat secara mitologis, filosofis atau dogmatif. Kedua, meskipun memiliki banyak

nuansa, doktrin tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi. Ketiga, teologi

sesungguhnya adalah aktivitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan

tersebut. Lihat Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta:

LkiS, 1989), cet. 1, 18. 120 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan

Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 405.

Page 57: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

43

Gambar 1:

Jaring Laba-laba

Dari bagan tersebut Amin Abdullah ingin menunjukkan dua hal.

Pertama, Idealitas yang ingin dicapai dari Teoantroposentris-integralistik, yakni

penyatuan seluruh ilmu yang ada di dunia ini. Kedua, kondisi riil dari aktivitas

keilmuan dari pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, Khususnya IAIN

dan STAIN. Kenyataannya pendidikan agama hanya terfokus pada lingkaran ke-

1 (al-Qur’ān dan as-Sunnah) dan lingkarang ke-2 (kalām, Falsafah, Taṣawuf,

Hadith, Tārikh, Fiqh, Tafsīr, Lughah) selain itu, pendekatan keilmuannya masih

humaniora klasik. IAIN belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial

humaniora kontemporer seperti tergambar pada lingkaran ke-3 (Antropologi,

Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan lain-lain). Akibatnya terdapat jurang yang tidak

terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru

yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora

kontemporer.121

121 Amin Abdullah, Etika Tauhidik sebagai dasar kesatuan epistemologi

keilmuan umum dan agama (dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke arah

Teoantroposentrik-integralistik) dalam Jarot Wahyudi, M. Anas Amin, Mustofa (editor),

Menyatukan kembali imu-ilmu agama dan umum: Upaya mempertemukan Epistemologi

Islam dan Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), 12-13

Page 58: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

44

Alur di atas juga menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah

al-Qur’ān dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah

kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak

dapat diubah-ubah, sedangkan wilayah yang mengitarinya masih terbuka untuk

terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan

pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainya. Menyimak gambar

di atas, maka dapat dipahami bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan

integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam segala sektor perikehidupan,

baik sektor tradisional maupun sektor modern karena dikuasainya salah satu ilmu

dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-

globalisasi. Selain itu, memberikan wawasan pribadi manusia beragama Islam

yang terampil menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem

kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan seterusnya dengan dikuasainya

berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science),

ilmu-ilmu sosial (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di

atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan

etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Qur’ān dan as-

Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak

pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam

satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk

kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang

manusia tersebut.122

Sedangkan Azhar Arsyad123 mencoba membuat suatu konsep tentang

integrasi keilmuan dari sudut teologis yang ia sebut dengan “integrasi dan

interkoneksitas sains dan agama”. Integritas dan interkoneksi metaforis akar,

alur, ranting dan buah dan tujuan transendental ilmu pengetahuan yang sifatnya

universal yang bisa terwujud dalam suatu wadah yang namanya universitas atau

sekolah tinggi “ Ilmu Tarbiyah dan keguruan” dan “Ilmu Hukum dan Sharīʽah”

misalnya. sebagaimana kita lihat nanti. Gambaran pohon cemara

mengindikasikan sesuatu yang hidup tidak mati sejuk dipandang karena ia pohon

maka ia makin lama makin tumbuh dan berkembang lalu mengerucut. Makin

lama makin rindang. Pohon ini akan menghasilkan buah, dan buah itulah yang

menjadi nama suatu ilmu yang tentunya akan berbuah lagi dan seterusnya.

Bagian-bagiannya terintegrasi dan berinterkoneksi. Gambaran sel

menggambarkan segi segi interkoneksitas sintetik, sementara cemara

menggambarkan transcendental akhir melalui kerasulan Muhammad menuju

Allah. Dalam ungkapan al-Qur’ān:

نس إال ليعبدون ن واإل وما خلقت ال

122 Suharyanta dan Sutarman, dalam Artikel; “Relevansi Epistemologi Keilmuan

Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam,” Jurnal:

Mukaddimah, Vol.18 No. 1 (2012) : 67-68. 123 Azhar Arsyad, dalam Artikel; “Buah Cemara integrasi dan interkoneksitas

sains dan agama,” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.8 No. 1 (2011) : 11-12.

Page 59: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

45

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Al-Dhāriyat : 56).

Hal ini diperkuat lagi oleh pendapat Imam Suprayogo124, Rektor UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang dalam mengintegrasikan ilmu dan Islam

(Agama) mengatakan jika muncul pertanyaan-perntanyaa akademik, yang

pertama dilakukan adalah meninjau kepada al-Qur’ān dan hadith tentang

persoalan tersebut, al-Qur’ān dan hadith bicara apa. Karena al-Qur’ān itu

universal, yang isisnya adalah hal-hal yang pokok (qauliyyah) tidak langsung

bicara teknis, disisi lain bagaimana hasil eksperimen dan observasi penalaran

logis (kauniyyah). Dalam dunia pendidikan Islam al-Qur’ān dan hadith adalah

ayat qauliyyah, sementara ilmu alam, ilmu sosial, humaniora adalah ayat-ayat

kauniyyah. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan atas dasar sumber ayat

qauliyyah dan ayat kauniyyah adalah gambaran sesungguhnya cara berpikir

dunia pendidikan Islam. Hal ini sesungguhnya merupakan model integrasi ilmu

dan Islam (Agama).

124 Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’ān Pergulatan

Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Press, 2004), 51.

Page 60: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

46

Gambar 2 :

Pohon Ilmu125

Akar dari pohon ilmu tersebut adalah ilmu-ilmu alat, yakni bahasa Arab,

bahasa Inggris, filsafat, ilmu alam, ilmu sosial. Akar pohon tersebut diharapkan

kuat, artinya bahasa kuat, filsafat kuat, lalu dipakai untuk mengkaji al-Qur’ān

dan hadith, sīrah nabawi, pemikiran Islam dan sebagainya. Sedangkan dahan-

dahannya itu untuk menggambarkan ilmu modern, ilmu ekonomi, ilmu politik,

hukum, peternakan, pertanian, teknologi dan seterusnya.

125 Ilustrasi dari Bapak Imam Suprayogo tentang konsep pohon ilmu “semua

orang tahu, hukum ṣalat jenazah adalah farḍu kifāyah. Dan yang melaksanakan ṣalat

jenazah adalah orang yang sehari-hari ṣalat lima waktu. Karena itu, jika kebetulan ada

orang meninggal, lalu orang-orang melaksanakan ṣalat jenazah. Hal ini bukan berarti

mereka yang ikut ṣalat jenazah terbebas dari ṣalat wajib lima waktu”. Demikianlah yang

dimaksud dengan pohon ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Lihat Saefuddin dkk, On Islamaic Civilization; Menyalakan Kembali Lentera Peradaban

Islam Yang Sempat Padam (Semarang: UNISSULA Press, 2010), 323-324.

Page 61: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

47

2. Tinjauan Filosofis

Mengingat pendidikan integratif sangatlah penting dan harapan

kepadanya sangatlah besar, maka yang patut digarisbawahi adalah bahwa

harapan tersebut bukanlah harapan yang utopis. Pendidikan integratif yang

memadukan sains dan nilai-nilai agama memiliki landasan filosofis yang

sangatlah kuat. Bahkan, pendidikan yang integral tersebut juga memiliki

landasan teologisnya dalam agama normative. Dengan begitu, pendidikan yang

integral memiliki dua dasar sekaligus: filosofis dan teologis.126 Dasar filosofis

dapat dilihat dari kenyataan bahwa perjumpaan antara sains dan agama

merupakan keniscyaan yang rasional. Para ilmuan telah banyak menyuarakan

secara filosofis tentang integrasi sains dan agama. Seperti yang dikutip oleh Moh

Dahlan, secara gairs besar, Ian G. Barbour membagi relasi pengetahuan (sains)

dan agama menjadi empat pendekatan:

Pertama, pendekatan konflik, yaitu pendekatan yang saling menafikan

antara agama dan sains. Dengan menggunakan pendekatan ini maka akan

dipahami bahwa sains dan agama merupakan dua hal yang saling bertentangan.

Hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling berlawanan

antara ilmu dan agama dalam melihat satu persoalan. Keduanya sama-sama

memiliki argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan

menafikan satu dengan yang lain. Ian Barbour, seorang fisikawan sekaligus

teolog, mencatat bahwa momentum kuat munculnya konflik antara ilmu dan

agama terjadi pada masa abad pertengahan, manakala otoritas gereja

menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1633, Karena

mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar

mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak teori Ptolemaeus yang

didukung oleh otoritas ilmiah Aristoteles dan otoritas kitab suci yang menyakini

bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris). Seseorang tidak dapat

menerima pandangan heliosentris dan geosentris sekaligus atau dengan kata lain

harus memilih salah satu apakah akan menerima kebenaran agama atau

kebenaran ilmu. Jika menerima kebenaran agama akan berimplikasi pada

penolakan objektifitas kebenaran ilmu, dan jika menerima kebenaran ilmu akan

berimplikasi pada pengingkaran kebenaran agama dan dituduh sebagai kafir.127

Galileo melanjutkan pernyataannya bahwa kita harus menerima tafsir harfiah

atas al-kitab jika ada teori ilmiah yang terbukti secara tak terbantahkan.

Pernyataan ini mengandung prasyarat bagi diterimanya kebenaran kitab suci,

yaitu sejauh diterima akal dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Satu pernyataan

yang dianggap melawan otoritas gereja (agama).

Persoalan lain yang menggambarkan hubungan konflik antara ilmu dan

agama adalah masalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad ke-19.

Sejumlah ilmuwan dan agamawan menganggap bahwa teori evolusi Darwin dan

126 Ibnu Rusydi, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-

Transformatif,” Jurnal Pendidikan Islam (JPI), Vol.1, No. 1, (2012) : 112. 127 Ian Barbour, Nature, Human Nature and God (Fortress Press: Minneapolis,

2002), 47-50.

Page 62: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

48

kebenaran kitab suci tidak dapat di pertemukan. Kaum Literalis Biblikal

memahami bahwa alam semesta di ciptakan Tuhan secara langsung

(kreasionisme), adapun kaum evolusionis berpandangan bahwa alam semesta

terjadi secara alamiah melalui proses yang sangat panjang (evolusionisme).

Dengan menunjukan bukti-bukti empiris kaum evolusionisme tidak menisbahkan

proses yang panjang itu pada Tuhan, namun melalui proses yang alamiah.

Makhluk hidup dapat berkembang menjadi beraneka ragam melalui mekanisme

adaptasi, survival for live dan seleksi alam. Meskipun Darwin tidak mengatakan

manusia berasal dari kera namun baginya manusia bukanlah makhluk yang di

ciptakan khusus kemudian ditempatkan di bumi ini sebagaimana yang di pahami

kreasionisme. Menurutnya, manusia hanyalah proses evolusi tersebut. Pandangan

demikian tentu menggeser pandangan gereja bahwa Tuhanlah yang menciptakan

satu persatu makhluk hidup dan secara khusus menciptakan manusia yang

memiliki posisi lebih tinggi dari makhluk yang lain.

Ada sementara agamawan menyatakan bahwa teori evolusi bertentangan

dengan keyakinan agama, sedangkan ilmuwan ateis mengklaim bahwa berbagai

bukti ilmiah atas teori evolusi tidak sejalan dengan keimanan. Dua kelompok ini

sepakat bahwa seseorang dapat mempercayai Tuhan dan teori evolusi sekaligus.

Dengan demikian maka ilmu dan agama berada dalam posisi bertentangan.

Pandangan konflik demikian masih terjadi hingga saat ini. Dalam Islam sikap ini

terlihat jelas dalam pandangan Harun Yahya yang menolak teori evolusi Darwin,

satu sikap yang mirip dengan apa yang terjadi pada zaman Abad Pertengahan,

yaitu melawankan penyelidikan ilmiah dengan ajaran kitab suci (dalam hal ini al-

Qur’ān). Kalau pada Abad Pertengahan ilmuan ‘menggugat’ kitab suci, Harun

Yahya berangkat dari teks al-Qur’ān ditambah hasil penelitian ilmiahnya

menggugat teori evolusi. Hanya saja pandangan Harun Yahya ini tidak

berimplikasi secara luas pada persoalan ilmu dan agama secara umum

sebagaimana terjadi di Barat. Di kalangan pemikir Islam, pandangan Harun

Yahya ini dinilai terlalu terburu-buru untuk mempertentangkan teori Darwin

dengan al-Qur’ān. Sikap mempertentangkan temuan ilmiah dengan teks kitab

suci memiliki risiko besar terhadap pemandulan kerja ilmiah. Ilmuan mencari

kebenaran melalui pembacaan terhadap alam, adapun agamawan mencari

kebenaran melalui pembacaan terhadap kitab suci.

Ada perbedaan antara kebenaran yang das ding an sich terdapat pada

alam dan kitab suci dengan kebenaran menurut interpretasi manusia. Pembacaan

Darwin atas proses kejadian makhluk hidup dapat ditempatkan pada fragmentasi

dari proses panjang upaya manusia memahami rahasia penciptaan itu. Darwin

berpandangan berdasarkan fakta ilmiah yang ia temukan. Namun, fakta tidaklah

sama dengan realitas karena realitas merupakan misteri yang berada dalam

kenyataan yang sesungguhnya dari terjadinya makhluk hidup itu sendiri. Pada

lain kesempatan barangkali ada tokoh lain yang menemukan fakta baru yang bisa

jadi mendukung teori Darwin atau bahkan menggugurkannya. Demikian pula

pandangan Harun yahya atas teks al-Qur’ān perlu dibedakan antara das ding an

sich yang ada dalam teks dan kebenaran menurut interpretasi Harun Yahya.

Dalam konteks interpretasi, pandangan Harun Yahya tidak dapat dianggap

Page 63: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

49

sebagai interpretasi yang paling valid dalam membaca teks yang terkait dengan

proses penciptaan karena ada kesenjangan antara teks dan interpretasi manusia.

Artinya dari sudut yang lain seseorang dapat menginterpretasikan teks dengan

makna yang berbeda. Oleh karena itu, tetap berlangsung tanpa terburu-buru

untuk saling mengintervensi apalagi men-judge satu sama lain. Sikap demikian

barangkali bisa menjadi gambaran independensi yang akan dibahas kemudian.

Pada era sekarang, pandangan konflik dapat pula dilihat dalam

pemikiran kaum skeptis yang memandang bahwa ilmu dan agama memiliki

banyak perbedaan yang mendasar sehingga tidak akan pernah dapat didamaikan.

Agama berawal dari keyakinan dan resisten terhadap perubahan, sedangkan ilmu

berawal dari keraguan dan setiap saat bisa mengalami perubahan. Agama tidak

dapat membuktikan ajaran agamanya dengan tegas sebagaimana ilmu yang

selalu menguji hipotesis dan teorinya melalui pengalaman dan eksperimentasi.128

Para penganut skeptisisme mengatakan bahwa agama dilandasi oleh

asumsi-asumsi apriori sebagai kebenaran yang given, sedangkan ilmu dilandasi

asumsi aposteriori yang tidak mudah begitu saja menerima sesuatu sebagai yang

benar. Agama bersandar pada keimanan yang dogmatis, sedangkan ilmu

bertumpu pada fakta yang diamati. Agama bersifat subjektif dan emosional

sedangkan ilmu objektif dan rasional. Mehdi Golshani menggunakan istilah ilmu

sakral (sacred science) dan ilmu sekuler (secular science). Ilmu sakral adalah

ilmu yang terbingkai dalam pandangan dunia yang teristik pandangan dunia yang

menganggap Tuhan sebagai pencipta dan pemilihara alam semesta, yang tidak

mengurung wujud dalam wilayah meterial, meyakini pada tujuan bagi alam

ciptaan dan mengakui aturan moral. Sedangkan ilmu sekuler mengabaikan

seluruh poin tersebut.129 Schumacher melihat perubahan ilmu dari ilmu untuk

pemahaman (science for understanding) menjadi ilmu untuk menipulasi (science

for manipulation). Dari penguraian tanda-tanda Tuhan di alam kepada eksploitasi

128 Kalau dikalangan ilmuan ada kaum skeptis, dikalangan agamawan ada kaum

literalis. Kaum literalis berpandangan bahwa kebenaran kitab suci harus dipahami secara

harfiah. Mereka memegang teguh hanya ada satu kebenaran, yaitu kitab suci. Apabila ada

ide-ide ilmiah yang tidak sejalan dengan apa yang tertulis dalam al-kitab, maka ilmunya

pasti yang salah dan agama yang benar. Kaum ini tidak memberikan ruang sama sekali

bagi sikap kritis terhadap al-kitab. Pandangan yang lebih ekstrim lagi ditunjukkan oleh

Brya Appleyard yang mengatakan bahwa perkembangan keilmuan modern telah merusak

dan mengikis otoritas tradisi, akibatnya pengalaman modern pun kehilangan makna

tradisionalnya. Keilmuan modern bukanlah jalan pengetahuan yang benar-benar netral

tetapi merupakan kekuatan subversif dan bahkan demonik yang telah membuat

kebudayaan kehilangan substansi spiritualnya. Lihat John F.Haught, Science and

Religion: From Conflict to Conversation, terjemah Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains

dan Agama: dari Konflik ke Dialog (Mizan: Bandung, 2004), 2-4. 129 Mehdi Golshani, Sacred Science and Secular Science, dalam Zainal Abidin

Bagir (editor), Science and Religion, In a Post-colonial World Interfaith Perspectives

(ATF Press: Australia, 2005), 96.

Page 64: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

50

alam.130

Kedua, pendekatan independensi, yaitu pendekatan yang menyatakan

bahwa agama dan sains merupakan dua domain independen yang dapat hidup

bersama selagi menjaga “jarak aman” satu sama lain. Karena itulah, antara

agama dan sains tidak perlu ada konflik, sebab keduanya berada di dua domain

yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan pernyataan agama tidak

boleh dipertentangkan, karena kedua pernyataan itu memerankan fungsi

pelayanan yang berbeda dalam kehidupan manusia. Pandangan idependensi

menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan

agama sama-sama absah selama berada pada batas ruang lingkup penyelidikan

masing-masing. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan

yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar

terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan

keduanya.131 Menurut pandangan ini upaya peleburan merupakan upaya yang

tidak memuaskan untuk menghindari konflik. Kalangan Kristen Konservatif

berusaha meleburkan ilmu dan agama dengan mengatakan bahwa Kitab Suci

memberikan informasi ’ilmiah’ yang paling dapat di percaya tentang awal mula

alam semesta dan kehidupan yang kehidupan yang tidak mengandung kesalahan.

Mereka menolak teori evolusi Darwin, dan membangun konsep baru tentang

penciptaan yang dinamakan “ilmu penciptaan” (creation science) berdasarkan

atas penafsiran harfiah terhadap kisah-kisah Biblikal. Hal serupa juga di lakukan

oleh penganut konkordisme yang memaksakan agar Kitab Suci bisa disamakan

dengan alur-alur kisah kosmologi modern. Bagi penganut aliran ini, agama harus

dibuat sedemikian rupa sehingga tampak ilmiah kalau agama ingin dihargai

secara intelektual.132

Apabila di kalangan agamawan dan kristen konservatif yang

menganggap satu-satunya kebenaran adalah kitab suci, di kalangan ilmuan ada

saintisme. Faham ini menganggap bahwa ilmu merupakan satu-satunya cara

yang tepat untuk mencapai keseluruhan kebenaran. Saintisme adalah satu

“Kepercayaan” filosofis (tepatnya kepercayaan epistemologis) yang

mengabdikan ilmu sebagai satu-satunya metode yang benar-benar terpercaya

untuk mempertautkan akal budi manusia dengan realitas objektif. Kalau kristen

130 “Ilmu kuno kebijaksanaan, atau ilmu untuk pemahaman secara primer

diarahkan kepada kebaikan puncak, yakni yang Maha Benar, Maha Baik, Maha Indah

dan pengetahuan tentangnya akan mendatangkan kebaikan dan keselamatan. Ilmu baru

terutama diarahkan kepada kekuasaan material, tendensi ini berkembang sedemikian

rupa, sehingga peningkatan kekuasaan politik dan ekonomi telah lazim dianggap sebagai

tujuan pertama dan justifikasi utama bagi pengeluaran pada kerja saintifik. Ilmu kuno

melihat alam sebagai buah karya Tuhan dan ibu manusia, sementara ilmu baru cenderung

melihatnya sebagai musuh untuk ditaklukkan atau buruan untuk dieksploitasi”. Lihat E.F.

Schumacher, A Guide For The Perplexed (Jonatan Cape: London, 1977), 65. 131 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation,

terjemah Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog

(Mizan: Bandung, 2004), 7-9. 132 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, 10.

Page 65: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

51

konservatif peleburannya dengan cara menjadikan agama sebagai ilmu induk

yang memiliki kategori rasional, adapun saintisme peleburannya dengan cara

menjadikan ilmu sebagai “agama” yang mengandung nilai-nilai yang objektif

dan universal.

Karl Barth133 berpandangan bahwa ilmu dan agama memiliki metode dan

pokok persoalan yang berbeda. Ilmu di bangun berdasarkan pengamatan dan

penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu Tuhan. Francis Bacon,

demikian pula Newton mengatakan bahwa sikap ilmiah sejati berangkat dari

keberanian berfikir dan mengamati sendiri tanpa bersandar pada otoritas apapun,

sementara sikap dasar agama adalah kepercayaan dan kepasrahan pada otoritas

lain terutama otoritas Tuhan.134 Oleh karenanya ilmu dan agama harus berjalan

sendiri-sendiri tanpa ada campur tangan satu dengan yang lain. Barbour

menambahkan bahwa selain metode dan pokok persoalan, bahasa dan fungsinya

juga berbeda. Bahasa ilmiah berfungsi menjawab bagaimana, yang ditujukan

untuk mendeskripsikan dan mencari jalan keluar atas fenomena riil kemanusiaan,

sedangkan bahasa agama berfungsi untuk menjawab mengapa, yang akan

mendorong seseorang untuk mematuhi prinsip-psinsip moral tertentu. Bahasa

agama lebih banyak diwarnai mitos, metafora dan retorika, sedangkan bahasa

ilmu lebih rasional, faktual dan lugas.135

Gambaran yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi ini adalah

seperti halnya permainan, misalnya; catur dan bisbol. Keduanya memiliki aturan

permainan yang sangat berbeda. Peraturan dalam catur tidak dapat diterapkan

dalam bisbol demikian pula sebaliknya. Tidak ada gunanya untuk mengatakan

yang satu lebih baik dari yang lain. Demikian halnya dengan ilmu dan agama,

tidak ada yang dapat diperbandingkan satu dengan yang lain dan keduanya tidak

dapat ditempatkan pada posisi bersaing atau konflik. Pendukung pendapat ini

menekankan bahwa permainan yang dimainkan ilmu ialah menguji dunia natural,

sedangkan permainan agama ialah mengungkapkan makna melampaui dunia

natural. Ilmu memusatkan perhatian pada bagaimana segala sesuatu terjadi di

alam ini, sedangkan agama pada mengapa sesuatu itu terjadi dan ada (eksis).

Ilmu berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan agama berurusan dengan

makna. Ilmu berurusan dengan berbagai masalah yang dapat dipecahkan. Ilmu

berusaha menjawab berbagai persoalan menyangkut cara kerja alam, sedangkan

agama berurusan dengan landasan terakhir dari alam. Ilmu memberi perhatian

pada kebenaran partikular, sedangkan agama tertarik untuk menjelaskan

kebenaran universal.136

133 Karl Barth, Dogmatics in Outland (Harper & Row: New York, 1949), iii. 134 Bambang Sugiharto, Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi,

dalam Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (editor), Integrasi Ilmu dan

Agama: Interpretasi dan Aksi (Mizan: Yogyakarta, 2005), 41. 135 Ian Barbour, Nature, Human Nature and God (Fortress Press: Minneapolis,

2002), 68-69. 136 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, 13.

Page 66: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

52

Pendekatan independensi ini dinilai cukup aman karena dapat

menghindari konflik dengan cara memisahkan hubungan di antara keduanya.

Pendekatan ini menggambarkan ilmu dan agama sebagaimana jalur kereta yang

ber-rel ganda, masing-masing memiliki jalan yang independen dan otonom.

Ketegangan antara Galileo Galile dengan gereja semestinya tidak perlu terjadi

jika agama tidak masuk kewilayah privasi ilmu, demikian pula ilmu tidak

memaksakan diri dengan rasional-empirisme pada agama. Ilmu dan agama

mempunyai bahasa sendiri karena menjalani fungsi yang berbeda dalam

kehidupan manusia, agama berurusan dengan nilai dan makna tertinggi,

sedangkan ilmu menelusuri cara kerja banda-benda dan berurusan dengan fakta

objektif, agama rentan dengan perubahan karena sifatnya yang deduktif,

sedangkan ilmu setiap saat bisa berubah karena sifatnya yang lebih induktif. Ilmu

dan agama adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang

mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Ilmu dan agama berada pada

posisi sejajar dan tidak saling mengintervensi satu dengan yang lain.

Pendekatan independensi meskipun merupakan pilihan yang cukup

aman, namun dapat menjadikan realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan

kebenaran antara ilmu dan agama menjadi satu pilihan dikotomis yang

membingungkan karena tidak dapat mengambil keduanya sekaligus. Adapun

bagi seseorang yang berusaha menerima keduanya akan mengalami split

personality, berkepribadian ganda, karena menerima dua macam kebenaran yang

saling berseberangan. Menurut Barbour,137 pendekatan ini membantu tetapi

membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang bisa membuat orang

putus asa. Pendekatan dialog memandang bahwa ilmu dan agama tidak dapat

disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini

menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik, maupun normatif.

Bagaimanapun juga, di Barat, agama telah memberikan banyak inspirasi bagi

perkembangan ilmu, demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga

mempengaruhi teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin

benar-benar dipisahkan.

Ketiga, pendekatan dialog, yaitu pendekatan yang berusaha

menunjukkan sisi-sisi kemiripan metode agama dan sains sekaligus sisi-sisi

perbedaannya. Model konseptual dan analogi dapat digunakan untuk

menggambarkan hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung (misalkan

Tuhan). Sebagai alternatifnya, dialog dapat terjadi ketika sains menyentuh

sesuatu di luar wilayah kekuasaannya sendiri. Pendekatan ini digunakan ketika

agama dan sains saling membutuhkan. Apabila tidak saling membutuhkan maka

pendekatan tersebut tidak digunakan.138

Pendekatan ini sangat menghargai relasi dengan cara membangun

interaksi dan dialog. Kalau perlu saling memberikan pengaruh, meskipun tetap

137 Ian Barbour, Religion in an Age of Science (Harper & Row: New York,

1990), 15. 138 Ibnu Rusydi, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-

Transformatif,” Jurnal Pendidikan Islam (JPI), Vol.1, No. 1 (2012) : 112.

Page 67: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

53

mempertahankan perbedaan-perbedaan yang ada. Pendekatan ini mencegah

terjadinya peleburan, pemisahan secara tegas dan juga konflik. Dialog antara

ilmu dan agama dapat memperkaya keyakinan keagamaan sekaligus

memperdalam pemaknaan akan temuan ilmiah. Ilmu tidak harus membuktikan

keberadaan Tuhan secara ilmiah, namun cukup merasa puas apabila menafsirkan

penemuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan.139 Pendekatan dialog ini

dapat membangun hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari ilmu, agama

dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak terlalu over

sensitive terhadap hal-hal yang baru. Kehati-hatian dalam menarik kesimpulan

yang dilakukan oleh ilmu dapat digunakan oleh agama menghadapi

berkembangnya bersifat tafsir terbaru. Melalui temuan-temuan barunya ilmu

dapat merangsang agama untuk selalu mengaktualisasikan diri untuk

menghindari stagnasi. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan perhatian

agama pada masalah harkat kemanusiaan. Dalam dunia manusia, ada realitas

batin yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan

menuju kebenaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk

kemanusiaan. Agama dapat membantu memahami batas-batas rasio, yaitu pada

wilayah adikodrati atau supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya.140

Dialog juga dapat menghasilkan pemahaman baru yang berusaha

mempertemukan ilmu dan agama. Sebagai contoh dalam kasus terjadinya alam

semesta yang melahirkan dua kubu ekstrim, yaitu evolusionisme dan

kreasionisme. Dalam konteks pendekatan konflik terlihat dua kubu ini saling

berseteru, saling tidak mengakui kebenaran satu dengan yang lain dengan satu

pernyataan bahwa “seorang tidak dapat menerima evolusionisme dan

kreasionisme sekaligus. Sedangkan dalam konteks pendekatan independensi

mereka terkotak-kotak, menganggap dua kebenaran ini meruapakan dua jalan

yang berbeda tidak dapat dikomunikasikan dan juga tidak berkonflik. Adapun

dalam pendekatan dialog dua kubu ini dapat saling berinteraksi dan

menghasilkan satu rumusan yang bersifat sintesis, sebagaimana dikatakan oleh

Mehdi Golshani dan Teuku Jacob, bahwa “evolusi adalah cara Tuhan

menciptakan alam semesta”.

Evolusi sebagai hasil temuan ilmiah dapat dipahami melalui ajaran

dalam kitab suci bahwa alam semesta tercipta dalam enam masa. Demikian pula

bagi penganut kreasionisme dapat memahami bahwa pernyataan enam masa

dalam kitab suci bisa menjadi indikasi bahwa alam diciptakan Tuhan dalam

kerangka proses. Teori evolusi tidak secara otomatis meruntuhkan pandangan

tentang konsep Tuhan Yang Maha Pencipta (kreasionisme) demikian pula

kreasionisme dapat pula memahami bahwa tidak harus dianggap bertentangan

dengan keimanan apabila seseorang memahami bahwa cara Tuhan menciptakan

alam semesta ini melalui proses yang panjang milyaran tahun (dalam ukuran

139 John F.Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, 19. 140 Bambang Sugiharto, Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi,

dalam Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (editor), Integrasi Ilmu dan

Agama: Interpretasi dan Aksi (Mizan: Yogyakarta, 2005), 45-46.

Page 68: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

54

manusia) atas enam masa (dalam ukuran Tuhan). Hubungan dialogis berusaha

membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan

perbedaan. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan

diluar wilayahnya sendiri. Misalnya dengan menanyakan mengapa alam semesta

serba teratur dan dapat dipahami. Dalam banyak hal agama juga memerlukan

metode yang dikembangkan ilmu untuk lebih memantapkan keyakinan

agamanya, atau memahami realitas yang tidak melulu dijawab hanya dengan

keyakinan.

Keempat, pendekatan integrasi, yaitu pendekatan yang berusaha

membangun kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara sains dan

agama yang terjadi di kalangan orang-orang yang mencari titik temu di antara

keduanya.141 Ada dua makna dalam tipologi ini. Pertama, bahwa integrasi

mengandung makna implisit ‘reintegrasi’, yaitu menyatukan kembali ilmu dan

agama setelah keduanya terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna ‘unity’,

yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial. Makna yang

pertama populer di Barat karena kenyataan sejarah menunjukan keterpisahan itu.

Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia Islam karena secara

ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya

pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembacaan

al-Qur’ān, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling

mendukung dan tidak saling bertentangan. Kalau pun terjadi pertentangan

dipahami sebagai perbedaan interpretasi manusia dalam memahami al-Qur’ān

ataupun alam, meminjam istilah Immanuel Kant, perbedaan yang terjadi hanya

pada kawasan fenomena tidak pada kawasan noumena. Ilmu dan pengetahuan

manusia lebih banyak bergerak pada kawasan fenomena tersebut. Melalui

pendekatan filsafat, terutama yang dikembangkan oleh Mullā Sadrā seseorang

akan dibawa untuk memahami kawasan noumenal tersebut.

Integrasi tidak dipahami sebagai peleburan. Bagi Ian Barbour dan John

Haught peleburan dapat berimplikasi pada penghilangan identitas yang justru

menghasilkan absurditas pada keduanya. Sebagai ilustrasi dapat ditunjukan

bahwa tidak mungkin melakukan teologisasi ilmu karena akan dapat mengurangi

bobot keilmiahan ilmu. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin melakukan

empirisasi teologi, karena teologi banyak bergerak dalam wilayah emosional,

intuitif dan dogmatis yang tidak mudah dibuktikan secara empiris. Dalam Islam

juga terdapat berbagai varian dalam memandang ilmu terutama keilmuan

modern. Ibrahim Kalin142 mengklasifikasi pandangan dunia Islam terhadap

keilmuan modern ini menjadi tiga kelompok, yaitu pandangan etis/puritan,143

141 Moh Dahlan, “Relasi Sains Modern dan Sains Islam; suatu upaya pencarian

paradigma baru” dalam ejournal.umm.ac.id, diunduh pada 16 Maret 2014. 142 Ibrahim Kalin dalam Ted Peters Muzaffat Iqbal, Syed Nomanul Haq (editor),

Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama (Mizan: Bandung, 2006), 75. 143 Pandangan etis/puritan terhadap sains, yang merupakan sikap yang paling

umum di dunia Islam, memandang sains modern pada dasarnya netral dan objektif yang

membahas buku alam sebagaimana adanya tanpa komponen filosofis atau idiologis yang

Page 69: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

55

epistemologis144 dan ontologis/metafisis145. Sikap yang pertama terlihat jelas

dalam pandangan Ataturk (Bapak Turki Modern) yang dinyatakannya dalam satu

pidato yang dikutip oleh Von Grunebaum pada 27 Oktober 1922. Ia mengatakan

bahwa “Kita harus mengambil sains dan pengetahuan dari mana pun, dan

menanamkannya di benak setiap anggota bangsa. Demi sains dan pengetahuan,

tidak ada pembatasan dan persyaratan. Bagi semua bangsa yang bersikukuh

mempertahankan tradisi dan keyakinan yang berdasar pada bukti logis, kemajuan

pasti sangat sulit, mungkin malah mustahil”.146

C. Tipologi Integrasi Keilmuan

Merumuskan model-model atau tipologi integrasi keilmuan secara

konsepsional memang tidak mudah. Hal ini terjadi karena berbagai ide dan

gagasan integrasi keilmuan muncul secara sporadis baik konteks tempatnya,

waktunya, maupun argumen yang melatarbelakanginya. faktor yang terkait

dengan gagasan ini juga tidak tunggal. Ada beberapa faktor yang terkait

dengannya, yakni (1) sejarah tentang hubungan sains dengan agama147; (2)

kuatnya tekanan dari kelompok ilmuwan yang menolak doktrin "bebas nilai"-

nya sains148; (3) krisis yang diakibatkan oleh sains dan teknologi149; dan (4)

ketertinggalan umat Islam dalam bidang ilmu dan teknologi.

terkait dengannya. Masalah-masalah seperti krisis lingkungan, positivisme, materialisme

dan lain sebagainya yang semua terkait dengan sains modern dalam satu atau lain hal

dapat diatasi dengan menambahkan dimensi etis dalam praktik dan pengajaran sains. 144 Pandangan epistemologis, pada prinsipnya menaruh perhatian pada status

epistemik sains (kealaman modern), klaim kebenaran, metode untuk meraih pengetahuan

yang benar dan fungsinya bagi masyarakat secara umum. Dengan menganggap sains

sebagai suatu konstruksi sosial, mazhab epistemik memberikan penekanan khusus pada

sejarah dan sosiologi sains. 145 Pandangan ontologis/metafisis terhadap sains menandai peralihan yang

menarik dari filsafat ke metafisika sains. Klaimnya yang paling penting terletak pada

tuntutannya untuk menganalisis dasar metafisis dan ontologis dari sains (kealaman)”. 146 Ibrahim Kalin dalam Ted Peters Muzaffat Iqbal, Syed Nomanul Haq (editor),

Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama, 71 147 Kajian tentang hubungan agama dan sains dalam tradisi akademik Barat telah

berlangsung cukup lama. Tetapi kajian tentang tentang ini mulai serius dilakukan kurang

lebih dalam satu dekade terakhir ini, sebagaimana dikatakan oleh David Klinghoffer:

"Science and religion is a field that you can make a living in today, which you couldn't

do five or 10 years ago. That has a lot to do with the Templeton Foundation, which has

put millions of dollars into the dialogue between religion and science, sponsoring

seminars, conferences, prizes"—not least the $1.1 million Templeton Prize. The latter

has gone in recent years to scientists such as John C. Polkinghorne, Rev. Canon Dr.

Arthur Peacocke and Professor Paul Davies, who argue for the compatibility offaith and

science. Polkinghorne's backlist from Yale University Press includes his 1998 book

Belief in God in an Age of Science. Lihat, David Klinghoffer, Science vs. Religion: A

False Dichotomy, Access Research Network,

http://www.stephenunwin.com/media/Publish- ers%20Weekly.pdf; Desember 2013. 148 Paham "bebas nilai" (values free) dijunjung tinggi oleh para ilmuwan ketika

usaha dalam ilmu pengetahuan mau mencapai obyektivitas maksimal. Bagi mereka,

Page 70: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

56

Dari faktor-faktor yang mendorong munculnya gagasan integrasi

keilmuan tersebut, secara umum modal integrasi keilmuan dapat dikelompokkan

ke dalam model-model berikut ini:

1. Model IFIAS

Model integrasi keilmuan IFIAS (International Federation of Institutes

of Advance Study) muncul pertama kali dalam sebuah seminar tentang

“Knowledge and Values”, yang diselenggarakan di Stockholm pada September

1984.150 Model yang dihasilkan dalam seminar itu dirumuskan dalam gambar

sekama berikut ini :

paham "bebas nilai" ini diperlukan untuk menjaga sikap agar tidak mempunyai bias dan

unsur tidak memihak. Namun demikian, paham "bebas nilai" tersebut belakang banyak

disangkal oleh beberapa ilmuwan kontemporer, termasuk di dalamnya para pemikir

Muslim. Kelompok kedua ini mulai menemukan momentumnya ketika objektivitas

ilmiah mulai disangkal, karena upaya ilmiah seringkali dilakukan dalam kerangka tujuan

tertentu. Dengan demikian, upaya ilmiah mengandaikan nilai-nilai tertentu yang

melatarbelakanginya. Pengandaian nilai pun akan berlangsung ketika sampai pada

aplikasi ilmu dan teknologi. Sedangkan pemikiran metafisika diperlukan agar penjelasan

dan dasar logikanya mampu melampaui realitas sehingga terbangun penalaran yang

berdasar pada paham dasar pemikiran yang melatarbelakanginya. Di Indonesia,

pemikiran yang cukup kritis muncul dalam karya Francisco Budi Hardiman, Kritis

Ideologi (Yogyakarta: Kanisius,1996). 149 Salah seorang pemikir postmodernisme yang intens mengkritisi dampak

negatif sains terhadap masyarakat modern adalah Pauline M. Rosenau. Dalam kajiannya

mengenai postmodernisme dan ilmu- ilmu sosial, ia mencatat setidaknya lima alasan

penting terjadinya krisis modernisme. Pertama, modernisme dipandang gagal

mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik

sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern

tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan pe-nyalahgunaan otoritas

keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori

dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan

bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi

manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi

sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan

metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu. Lihat Pauline M.

Rosenau, Postmodernism and Social Sciences: Insight, Inroads, and Intrusion (Princeton

University Press: Princeton, 1992), 10. 150 Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Bandung: Pustaka Hidayah,1996),

67.

Page 71: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

57

Gambar 3:

Model Integrasi IFIAS

Skema di atas kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut :151

Iman kepada Sang Pencipta membuat ilmuwan Muslim lebih sadar akan

segala aktivitasnya. Mereka bertanggungjawab atas perilakunya dengan

menempatkan akal di bawah otoritas Tuhan. Karena itu, dalam Islam, tidak ada

pemisahan antara sarana dan tujuan sains. Keduanya tunduk pada tolok ukur

etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti prinsip bahwa sebagai ilmuwan

yang harus mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya pada Tuhan, maka ia

harus menunaikan fungsi sosial sains untuk melayani masyarakat, dan dalam

waktu yang bersamaan melindungi dan meningkatkan institusi etika dan

moralnya. Dengan demikian, pendekatan Islam pada sains dibangun di atas

landasan moral dan etika yang absolut dengan sebuah bangunan yang dinamis

berdiri di atasnya. Akal dan objektivitas dianjurkan dalam rangka menggali ilmu

pengetahuan ilmiah, di samping menempatkan upaya intelektual dalam batas-

batas etika dan nilai-nilai Islam.

Anjuran nilai-nilai Islam abadi seperti khilāfah, ibādah dan adl adalah

aspek subjektif sains Islam. Emosi, penyimpangan, dan prasangka manusia harus

disingkirkan menuju jalan tujuan mulia tersebut melalui penelitian ilmiah.

Objektivitas lembaga sains itu berperan melalui metode dan prosedur penelitian

yang dimanfaatkan guna mendorong formulasi bebas, pengujian dan analisis

151 Huzni Thoyyar, Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun

Landasan Keilmuan Islam; Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam Kontemporer

(Artikel: Makalah, tth), 15.

Tauḥīd

Khilāfah

Ibādah

Ilmu Pengetahuan

Halāl

‘Adl

Istishlah

Harām

Zhulm

Dhiya

Page 72: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

58

hipotesis, modifikasi dan pengujian kembali teori-teori itu jika mungkin. Karena

sains menggambarkan dan rnenjabarkan aspek realitas yang sangat terbatas, ia

dipergunakan untuk mengingatkan kita akan keterbatasan dan kelemahan

kapasitas manusia. Al-Qur’ān juga mengingatkan kita agar sadar pada

keterbatasan kita sebelum terpesona oleh keberhasilan penemuan-penemuan

sains dan hasil-hasil penelitian ilmiah.152

2. Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)

Model yang dikembangkan oleh Akademi Sains Islam Malaysia

(ASASI) muncul pertama kali pada Mei 1977 dan merupakan satu usaha yang

penting dalam kegiatan integrasi keilmuan Islam di Malaysia karena untuk

pertamanya, para ilmuwan Muslim di Malaysia bergabung untuk, antara lain,

menghidupkan tradisi keilmuan yang berdasarkan pada ajaran Kitab suci al-

Qur’ān. Tradisi keilmuan yang dikembangkan melalui model ASAI ini

pandangan bahwa ilmu tidak terpisah dari prinsip-prinsip Islam. Model ASASI

ingin mendukung dan mendorong pelibatan nilai- nilai dan ajaran Islam dalam

kegiatan penelitian ilmiah; menggalakkan kajian keilmuan di kalangan

masyarakat; dan menjadikan al-Qur’ān sebagai sumber inspirasi dan petunjuk

serta rujukan dalam kegiatan-kegiatan keilmuan. ASASI mendukung cita-cita

untuk mengembalikan bahasa Arab, selaku bahasa Alquran, kepada

kedudukannya yang hak dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam,

dan berusaha menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan

152 Dalam Al-Qur’ān Surat Yāsīn : 77-83, Allah SWT Berfirman :

نسان أنا ب لنا مثالا ونس خلقه قال من ييي 77خلقناه من نطفة فإذا هو خصيم مبني )أومل ير اإل ( وض

ة وهو بكل خلق عليم )79العظام وهي رميم ) ل مر ذي أنشأها أو ييها ال ذي جعل لك 78( قل ي م من ( ال

ا فإذا أنتم منه توقدون ) جر األخض نارا لق 90الش اموات واألرض بقادر عىل أن ي ذي خلق الس ( أوليس ال

ق العليم ) ذي بيده 91يقول له كن فيكون ) ( إنام أمره إذا أراد شيئاا أن 91مثلهم بىل وهو الال ( فسبحان ال

وإليه ترجعون )ء (92ملكوت كل ش

Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari

setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!. Dan ia membuat

perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang

dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan

dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha

mengetahui tentang segala makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari

kayu yang hijau, Maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu". Dan tidaklah Tuhan

yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu?

benar, Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha mengetahui. Sesungguhnya

keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!"

Maka terjadilah ia. Maka Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala

sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan

Terjemahnya (Bandung: Diponogoro, 2000), 440.

Page 73: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

59

masyarakat Islam dalam bidang sains dan teknologi.153

Pendekatan ASASI berangkat dari menguraikan epistemologi Islam

dengan menggunakan pemikiran keilmuan para ulama klasik semacam al-

Ghazāli yang pada umumnya menggunakan pendekatan fiqh di satu sisi dan

pendekatan para filosof seperti al-Farābi di sisi lain. Model integrasi keilmuan

ASASI berangkat pada pandangan klasik bahwa ilmu diklasifikasikan ke dalam

empat kategori, yaitu ilmu sains Islam yang berdasarkan Keesaan Allah. ASASI

mengembangkan model keilmuan Islam yang memiliki karakteristik

menyeluruh, integral, kesatuan, keharmonisan dan keseimbangan. ASASI

berpendapat bahwa ilmu tidak hanya diperoleh melalui indra persepsi (data

empirik) dan induksi, dan deduksi, akan tetapi juga melalui intuisi, heuristik,

mimpi dan ilham dari Allah.

3. Model Islamic Worldview Model ini berangkat dari pandangan bahwa pandangan dunia Islam

(Islamic worldview) merupakan dasar bagi epistemologi keilmuan Islam secara

menyeluruh dan integral. Dua pemikir Muslim yang secara intens menggagas

dan mengembangkan model ini adalah Alparslan Acikgenc, Guru Besar Filsafat

pada Fatih University, Istanbul Turki. Ia mengembangkan empat pandangan

dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan Islam, yaitu: (1) iman

sebagai dasar struktur dunia (world structure, iman); (2) ilmu sebagai struktur

pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm); (3) fikih sebagai struktur nilai (value

structure, al-fiqh); dan (4) kekhalifahan sebagai struktur manusia (human

structure, khalīfah).154

153 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, ia menulis

Artikel “ Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam

Konteks Dasar Sains Negara,” Jurnal, No. 1, (1999) : 15-16. 154 Dalam menjelaskan pandangan dunia Islam yang di dalamnya terdapat

struktur keilmuan Islam ia menyatakan : As it is seen all structures are dominated by a

doctrinal concept around which a network of integrated concepts and notions are

formed. The world structure is the framework from which our conception of the universe

and humankind in it arises. A person having such a mental framework in mind gives

meaning to existence according to this structure. It is, as such, the most fundamental

framework on which all other structures are built. It is clear from the Qur'an that this

structure has three fundamental elements: God, prophethood and the idea of a final

judgment, all of which lead to an understanding of man, religion and knowledge, as such

it constitutes the fundamental metaphysics of Islam. These fundamental concepts are

integrally woven into the Islamic vision of reality and truth, which, as an architectonic

mental unity, acts as the foundation of all human conduct, and as the general framework

out of which follow all other frameworks. Thus comes next the knowledge structure as a

fundamental element of the Islamic worldview. Since the activity at hand is science we

need to examine only the frameworks established thus far. Therefore, I shall not discuss

the value and human structures in this context. Lihat Alparslan Acikgenc, “Holisitic

Approach to Scientific Traditions, Islam & Science,” Journal of Islamic Perspective on

Science, No. 1, Vol 1, Juni (2003) : 102.

Page 74: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

60

Pandangan Alparslan Acikgenc tentang pandangan dunia Islam itu,

didasarkan pada epistemologi ilmu pada umumnya, yaitu (1) kerangka yang

paling umum atau pandangan dunia (the most general framework or worldview);

(2) di dalam pandangan dunia itu kerangka pemikiran mendukung keseluruhan

aktivitas epistemologi yang disebut dengan struktur pengetahuan (within the

worldview another mental framework supporting all our epistemological

activities, called ”knowledge structure"); (3) rencana konseptual keilmuan secara

umum (the general scientific conceptual scheme); dan (4) rencana konseptual

keilmuan secara spesifik (the specific scientific conceptual scheme).

4. Model Struktur Pengetahuan Islam

Model Struktur Pengetahuan Islam (SPI) banyak dibahas dalam berbagai

tulisan Osman Bakar, Professor of Philosophy of Science pada University of

Malaya. Dalam mengembangkan model ini, Osman Bakar berangkat dari

kenyataan bahwa ilmu secara sistematik telah diorganisasikan dalam berbagai

disiplin akademik. Bagi Osman Bakar, membangun SPI sebagai bagian dari

upaya mengembangkan hubungan yang komprehensif antara ilmu dan agama,

hanya mungkin dilakukan jika umat Islam mengakui kenyataan bahwa

pengetahuan (knowledge) secara sistematik telah diorganisasikan dan dibagi ke

dalam sejumlah disiplin akademik.155

Osman Bakar mengembangkan empat komponen yang ia sebut sebagai

struktur pengetahuan teoretis (the theoretical structure of science). Keempat

struktur pengetahuan itu adalah: (1) komponen pertama berkenaan dengan apa

yang disebut dengan subjek dan objek matter ilmu yang membangun tubuh

pengetahuan dalam bentuk konsep (concepts), fakta (facts, data), teori (theories),

dan hukum atau kaidah ilmu (laws), serta hubungan logis yang ada padanya; (2)

komponen kedua terdiri dari premis-premis dan asumsi-asumsi dasar yang

menjadi dasar epistemologi keilmuan; (3) komponen ketiga berkenaan dengan

155 Osman Bakar ia mengatakan “We now examine the structure of science as a

branch of knowledge and as an intellectual activity. It is only meaningful to speak of the

structure of science if we accept the fact that knowledge has been systematically

organized and divided into numerous academic disciplines and these disciplines

classified in groups according to some well-defined criteria. Just as knowledge grows

through specialization, so the academic disciplines grow in numbers. In Islamic

tradition, there was tremendous intellectual activity focused on the issue of organization

of knowledge into disciplines and their classifications. Muslim intellectual culture was

also a witness to the creation of new scientific disciplines. Muslim philosophers of

science called these disciplines 'sciences' (’ulum) and generally agreed that science

understood in this sense is structurally divided into four basic components. The first

component is a well-defined subject matter or object of study pertaining to which is

established an accumulative body of knowledge in the form of concepts, facts (data),

theories and laws, and the logical relationships that exist among them. This body of

knowledge constitutes the main content of a science. Lihat Osman Bakar,

“Reformulating a Comprehensive Relationship Between Religion and Science: An

Islamic Perspective, Islam & Science,” Journal of Islamic Perspective on Science, No. 1,

Vol, 1, Juni (2003) : 33.

Page 75: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

61

metode-metode pengembangan ilmu; dan (4) komponen terakhir berkenaan

dengan tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu. Menurutnya untuk membangun

kerangka pengetahuan ke-Islam-an, keempat struktur pengetahuan itu, perlu

diformulasikan dengan menghubungkannya dengan tradisi keilmuan Islam

(Islamic sciences) seperti teologi (theology), metafisika (metaphysics),

kosmologi (cosmology), dan psikologi (psychology).156

5. Model Bucaillisme

Model ini menggunakan nama salah seorang ahlki medis Perancis,

Maurice. Bucaille, yang pernah menggegerkan dunia Islam ketika menulis suatu

buku yang berjudul “La Bible, le Coran et la Science”, yang juga telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.157 Model ini bertujuan mencari

kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat al-Qur’ān. Model ini banyak mendapat

kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami

perubahan di masa depan. Menganggap al-Qur’ān sesuai dengan sesuatu yang

masih bisa berubah berarti menganggap al-Qur’ān juga bisa berubah.158 Model

ini di kalangan ilmuwan Muslim Malaysia biasa disebut dengan “Model

Remeh”159 karena sama sekali tidak mengindahkan sifat kenisbian dan kefanaan

penemuan dan teori sains Barat dibanding dengan sifat mutlak dan abadi al-

Qur’ān. Penemuan dan teori sains Barat berubah-ubah mengikut perubahan

paradigma, contohnya dari paradigma klasik Newton yang kemudian berubah

156 Osman Bakar, “Reformulating a Comprehensive Relationship Between

Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science”, 41. 157 Maurice.Bucaille, Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A. Rasyidi

(Bulan Bintang, Jakarta, 1992). 158 Kritik tajam terhadap pendekatan ini di antaranya dikemukakan oleh

Ziauddin Sardar, yang mengatakan bahwa Bucaillisme mengandung pikiran logika yang

keliru. Ziauddin Sardar, op-cit, hal. 20. Kritik Tajam juga dikemukakan oleh Muzaffar

Iqbal, yang menyatakan: He is simply interested in correlating certain scientific “facts”

with the Qur’anic verses. Since the publication of the English translation of his book, La

Bible, le Coran et la Science (1976) as The Bible, the Qur’an and Science (1978),

Bucaille has, however, become the pioneer of an unfortunate trend in modern times and

several studies have been devoted to “prove” the divine origin of the Qur’an on the basis

that the Qur’an contains certain scientific facts which were unknown to humanity at the

time of its revelation. As far as Bucaille is concerned, his work is perfectly

understandable. He grew up in an environment hostile to Islam and his initial knowledge

of Islam came from the ill informed critiques of the French orientalists who declared that

“Mohmet was the author of the Qur ’an ”. He grew up to become a surgeon and retired

as the chief of the Surgical Clinic at the University of Paris. In his late forties, Bucaille

became interested in Islam, he learned Arabic and studied the Qur’an in its original

language. Leif Stenberg, The Islamization of Science: Four Muslim Positions

Developing an Islamic Modernity, Journal of Islamic Studies, Vol. 36, No. 3, 1997, hal.

50 159 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, ia menulis

Artikel “ Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam

Konteks Dasar Sains Negara,” Jurnal, No. 1, (1999) : 8.

Page 76: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

62

menjadi paradigma quantum Planck dan kenisbian Einstein. Model ini mendapat

kritik tajam karena, apabila Ayat al-Qur’ān dinyatakan sebagai bukti kebenaran

suatu teori dan teori tersebut mengalami perubahan, maka kewibawaan al-Qur’ān

akan rusak karena membuktikan teori yang salah mengikuti paradigma baru ini.

6. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik

Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik berusaha menggali

warisan filsafat Islam klasik. Salah seorang sarjana yang berpengaruh dalam

gagasan model ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Menurut Seyyed Hossein Nasr

pemikir Muslim klasik berusaha memasukkan Tauḥīd ke dalam skema teori

mereka. Prinsip Tauḥīd, yaitu Kesatuan Tuhan dijadikan sebagai prinsip

kesatuan alam tabi'i (ṭabi’ah)160. Para pendukung model ini juga yakin bahwa

alam tabi'i hanyalah merupakan tanda atau ayat bagi adanya wujud dan

kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah Kebenaran sebenar-benarnya dan alam

tabi'i ini hanyalah merupakan wilayah kebenaran terbawah. Bagi Seyyed

Hossein Nasr, ilmuwan Islam moden hendaklah mengimbangi dua pandangan

tanzih dan tashbih untuk mencapai tujuan integrasi keilmuan ke-Islaman.

7. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Taṣawuf

Pemikir yang terkenal sebagai penggagas integrasi keilmuan Islam yang

dianggap bertitik tolak dari tasawwuf ialah Syed Muhammad Naquib al-Attas,

yang kemudian ia istilahkan dengan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan

(Islamization of Knowledge). Gagasan ini pertama kali muncul pada saat

konferendi Makkah, di mana pada saat itu, Al-Attas mengimbau dan

menjelaskan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”161. Identifikasinya yang

meyakinkan dan sistematis mengenai krisis epistemologi umat Islam sekaligus

formulasi jawabannya dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini yang

secara filosofis berkaitan, benar-benar merupakan prestasi inovatif dalam

pemikiran Islam modern.

Formulasi awal dan sistematis ini merupakan bagian integral dan

konsepsinya mengenai pendidikan dan universitas Islam serta kandungan dan

metode umumnya. Karena kebaruan ide-ide yang dipresentasikan dalam kertas

kerjanya di Makkah, tema-tema gagasan ini diulas kembali dan dijelaskan

panjang lebar pada Konferensi Dunia yang Kedua mengenai Pendidikan Umat

Islam pada 1980 di Islamabad162. Dalam karya-karyanya, dia mencoba

160 Nasr juga menyebutnya dengan istilah "unity of nature", sebagaimana yang

dikatakannya: The spirit of Islam emphasizes, by contrast, the unity of Nature, that unity

that is the aim of the cosmological sciences, and that is adumbrated and prefigured in the

continuous interlacing of arabesques uniting the profusion of plant life with the geometric

crystals of the verses of the Qur’ān, 25. 161 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas adalah pendiri Internastional Institut of

Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia. Lihat Syed M. Naquib al-Attas, Islam

and Scularism, Angkatan Muda Belia Islam Malaysia,(Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 43-

44. 162 Syed M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, Muslim Youth

(Kuala lumpur: Movement of Malaysia,1980), 155-156.

Page 77: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

63

menghubungkan deislamisasi dengan westernisasi, meskipun tidak secara

keseluruhan. Dari situ, dia kemudian menghubungkan program Islamisasi ilmu

pengetahuan masa kini dengan dewesternisasi. Predikat ilmu masa kini sengaja

digunakan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam yang berasal dari

kebudayaan dan peradaban pada masa lalu, seperti Yunani dan India, telah

diislamkan. Gagasan awal dan saran-saran yang konkret ini, tak pelak lagi,

mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya dari almarhum Isma'il al-Faruqi

dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. 163 Pada tingkat individu dan

pribadi, islamisasi berkenaan dengan pengakuan terhadap Nabi sebagai

pemimpin dan pribadi teladan bagi pria maupun wanita; pada tingkat kolektif,

sosial, dan historis, ia berkaitan dengan perjuangan umat ke arah realisasi

kesempurnaan moralitas dan etika yang telah dicapai pada zaman Nabi. Secara

epistemologis, Islamisasi berkaitan dengan pembebasan akal manusia dari

keraguan (shak), prasangka (ẓann), dan argumentasi kosong (mird) menuju

pencapaian keyakinan (yaqīn) dan kebenaran (ḥaqq) mengenai realitas-realitas

spiritual, penalaran, dan material. Proses pembebasan ini pada mulanya

bergantung pada ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya selalu dibangun atas

dan dibimbing oleh suatu bentuk ilmu pengetahuan khusus, ma’rifah (ilmu

pengenalan).

Bentuk ilmu pengetahuan khusus ini melibatkan ilmu farḍu ʽain,

sedangkan bentuk pengetahuan ilmiah melibatkan ilmu farḍu kifāyah. Ilmu farḍu

ʽain tidaklah statis dau tidak terbatas pada pengetahuan dasar mengenai pokok-

pokok ajaran Islam yang diajarkan pada tingkar pendidikan rendah dan

menengah. Ilmu farḍu ’ain bersifat dinamis: ia meningkat sesuai dengan

kemampuan spiritual dan intelektual serta tanggung jawab sosial dan profesional

orang yang bersangkutan. Khusus dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan

masa kini, islamisasi berarti: “Pembebasan ilmu pengetahuan dari penafsiran

yang berdasarkan ideologi, makna-makna, dan ungkapan-ungkapan sekuler”.164

Dalam Islam and Secularism, al-Attas menjelaskan bahwa islamisasi ilmu

pengetahuan masa kini melibatkan dua proses yang saling berhubungan:

Pertama, pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang

163 Ciri khas Al-Attas yang tecermin dalam karya-karyanya adalah istilah-istilah

dan ide-ide kunci yang digunakannya jelas dan tidak dibiarkan kabur dan

membingungkan. Oleh karena itu, pengertian umum istilah islamisasi diterangkan

dengan jelas seperti yang terjadi dalam sejarah, yaitu: “.... Pembebasan manusia dari

tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yangbertentangan dengan Islam) dan

dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa .... Juga pembebasan dari

kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri

atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat

dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya, dan berbuat tidak

adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak

sekuat proses evolusi dan devolusi ....”. Lihat Syed M. Naquib al-Attas, Islam and

Scularism,127. 164 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.

Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 2003), Cet. I, 336.

Page 78: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

64

membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini, khususnya ilmu-

ilmu humaniora. Meskipun demikian, dia menambahkan, ilmu-ilmu alam atau

fisika dan ilmu-ilmu terapan harus juga diislamkan, khususnya dalam lingkup

interpretasi fakta dan formulasi teori.165

Kedua, pemasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke

dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Kedua tugas

yang sangat menantang ini mensyaratkan pemahaman yang mendalam mengenai

bentuk, jiwa, dan sifat-sifat Islam sebagai agama, kebudayaan, dan peradaban,

juga mengenai kebudayaan dan peradaban Barat. Selanjutnya, al-Attas juga

memerincikan dan menjelaskan beberapa konsep dasar Islam yang harus

dimasukkan ke dalam tubuh ilmu apa pun yang dipelajari umat Islam, seperti

konsep dīn, manusia (insān), ilmu (ʽilm dan maʽrifah), keadilan (ʽadl), amal yang

benar ( amal sebagai adab), dan semua istilah dan konsep yang berhubungan

dengan itu semua. Konsep universitas (kulliyyah jamʽiah) dianggap penting

karena berfungsi sebagai implementasi semua konsep itu dan menjadi model

sistem pendidikan untuk tingkat rendah.166

Konsep-konsep tersebut adalah bagian integral dari pandangan dunia

metafisika Islam yang merupakan derivasi darinya, seperti yang dipahami dan

dialami oleh para sufi tingkat tinggi yang secara pribadi dicontohkan oleh al-

Attas dan secara koheren dijelaskannya dalam satu seri risalah. Al-Attas juga

telah menyiapkan sebuah model komprehensif organisasi mata kuliah yang

ditawarkan pada tingkat universitas. Jika disampaikan oleh dosen yang memiliki

otoritas di bidangnya, pengajaran disiplin-disiplin ilmu dalam kategori farḍuʽain,

yang meliputi ilmu-ilmu agama, secara alamiah akan mengislamkan ilmu-ilmu

farḍu kifāyah yang terdiri dari ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Dia

secara khusus menyarankan agar disiplin ilmu baru ditambahkan pada kategori

ilmu farḍu kifāyah, yaitu ilmu perbandingan agama, kebudayaan dan peradaban

Barat, ilmu linguistik, dan sejarah Islam. Alasannya, khususnya yang terakhir,

165 Di tempat lain dia menjelaskan: Dalam menilai, kita harus menguji secara

kritis metode-metode ilmu modern; konsep-konsep, teori-teori, dan simbol-simbolnya;

aspek-aspek empiris dan rasional serta aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan

etika; interpretasinya mengenai asal-usul; teorinya mengenai ilmu pengetahuan;

pemikirannya mengenai eksistensi dunia nyata, keseragaman alam raya dan rasionalitas

proses-proses alam; teorinya mengenai alam semesta; klasifikasinya mengenai ilmu;

batasan-batasan serta kaitannya antara satu ilmu dan ilmu-ilmu lain serta hubungan

sosialnya. Berdasarkan penafsiran epistemologis dan ontologisnya mengenai konsep

hdqq dan bathil dan konsep-konsep lain yang berkaitan, dia sampai pada suatu observasi

penting bahwa tidak semua fakta khususnya semua yang diciptakan manusia adalah

benar, jika tidak berada pada tempat yang betul dan tepat dan tidak sesuai dengan

pandangan hidup Islam. Lihat Syed M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics

of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, ISTAC

(Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 144. 166 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.

Naquib al-Attas, 337.

Page 79: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

65

hal itu akan menjamin kesinambungan dan keterpaduan tahapan perkembangan

pendidikan dari ilmu-ilmu agama ke ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis

atau sebaliknya.

Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, bagi yang berpikiran dangkal,

mungkin akan menyangka bahwa memisahkan konsep-konsep Barat dan

memasukkan yang islami ini bersifat mekanis dan fisikal, yaitu berada di luar

pikiran dan jiwa, seakan-akan fakultas rasio dalam jiwa manusia adalah muatan

yang bersifat fisik dan elemen-elemen Barat dan Islam menjadi entitas fisikal di

dalamnya. Orang semacam ini gagal memahami apa yang sedang dibahas

sesungguhnya berkaitan dengan konsep-konsep, bukan dengan objek fisika.167

8. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh

Model ini digagas oleh Ismail Raji al-Faruqi168. Pada tahun 1982 ia

menulis sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles

and Work Plan diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought,

Washinton. Menjadikan al-Faruqi sebagai penggagas model integrasi keilmuan

berbasis fiqh memang tidak mudah, lebih-lebih karena ia termasuk pemikir

Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi Ilmu

Pengetahuan. Masalahnya pemikiran integrasi keilmuan Islam al-Faruqi tidak

berakar pada tradisi sains Islam yang pernah dikembangkan oleh al-Bīruni, Ibnu

Sīna, al-Farābi dan lain, melainkan berangkat dari pemikiran ulama fiqh dalam

167 Pada beberapa tempat, Al-Attas menjelaskan apa yang dia maksudkan

dengan kata-kata "dalam jiwa atau pikiran” (in the soul or mind):” Ketika berbicara

mengenai bentuk-bentuk intelligible yang berada "dalam" pikiran, atau imaji-imaji yang

berada di "dalam" imajinasi kognitif, kita tidak bermaksud bahwa bentuk- bentuk atau

imaji-imaji itu "termuat" di dalamnya. Namun, ia lebih merupakan konstruksi- konstruksi

intelek atau pikiran ketika proses penalaran semua bentuk intelligible itu terjadi sehingga

semuanya "hadir" di dalam akal (intellect), kemudian dianggap sebagai sesuatu yang

berada "di dalam" otak; dan produksi imajinasi kognitif ketika pikiran memproyeksikan

dunia nyata.” Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, para pembaca yang ceroboh mungkin

menganggap islamisasi sebagai suatu proses yang berkaitan dengan objek-objek

eksternal, kemudian mengaitkannya dengan sepeda, kereta api, bahkan bom Islam! Pada

tingkat yang agak lebih canggih, beberapa dari mereka, yang telah terbelenggu oleh

pandangan dualistis, memberikan perhatian yang sedikit sekali pada pengembangan yang

telah dilakukan oleh para cendekiawan dan pernikir Muslim yang mumpuni di segala

bidang. Mereka lebih cenderung memberikan penekanan yang berlebihan pada

pengembangan institusi-institusi, seakan-akan institusi-institusi itu dapat didirikan

dengan baik dan bertahan hidup tanpa partisipasi cendekiawan dan pemikir yang

mumpuni dan kreatif. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan

Islam Syed M. Naquib al-Attas, 338. 168 Seorang sarjana Palestina-Amerika yang masyhur sebagai ahli Perbandingan

Agama. Ia pernah mengajar di Al-Azhar, Islamic Studies McGill University, juga sebagai

profesor filsafat agama pada Temple Universiaty.

Page 80: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

66

menjadikan al-Qur’ān dan as-Sunnah sebagai puncak kebenaran.169 Kaidah fiqh

ialah kaedah penentuan hukum fiqh dalam ibadah yang dirumuskan oleh para

ahli fiqh Islam melalui deduksi al-Qur’ān dan keseluruhan korpus al-Hadith.

Pendekatan ini sama sekali tidak menggunakan warisan sains Islam yang

dipelopori oleh Ibn Sīna, al-Bīruni dan sebagainya. Bagi al-Faruqi, “sains Islam”

seperti itu tidak Islami karena tidak bersumber dari teks al-Qur’ān dan Hadith.

Kelemahan model ini ialah karena kaidah fiqh hanya menentukan status

sains dari segi hukum dan oleh karena itu hanya mampu melakukan Islamisasi

pada level aksiologis. Namun demikian, ketokohan al-Faruqi dan sumbangannya

tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat respek dari beberapa pemikir

Islam.170 Bagi al-Faruqi, Islamisasi ilmu harus beranjak dari Tauḥīd dan selalu

menekankan adanya kesatuan pengetahuan, yaitu disiplin untuk mencari

objektivitas yang rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran;

kesatuan hidup, segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan

penciptaan; dan kesatuan sejarah, segala disiplin akan menerima yang ummatis

atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-

tujuan ummah di dalam sejarah.

9. Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group)

Pendekatan Ijmali dipelopori oleh Ziauddin Sardar yang memimpin

sebuah kelompok yang dinamainya Kumpulan Ijmali (Ijmali Group). Menurut

Ziauddin Sardar tujuan sains Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi

melakukan penyelidikan sains menurut kehendak masyarakat Muslim

berdasarkan etos Islam yang digali dari al-Qur’ān. Sardar yakin bahwa sains

adalah sarat nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan dalam

suasana pemikiran atau paradigma tertentu. Pandangan ini mengikuti konsep

paradigma ilmu Thomas Kuhn. Sardar juga menggunakan konsep ‘adl dan ẓulm

sebagai kriterium untuk menentukan bidang sains yang perlu dikaji dan

dilaksanakan.171 Walaupun Sardar yakin dengan pendekatan Kuhn yang bukan

hanya merujuk kepada sistem nilai saja, tetapi kebenaran sains itu sendiri, namun

ia tidak langsung membicarakan kebenaran teori sains Barat itu sendiri.

Pandangan Sardar ini seakan-akan menerima semua penemuan sains Barat

modern dan hanya prihatin terhadap sistem nilai atau etos yang mendasari sains

tersebut. Dengan menggunakan beberapa istilah dari al-Qur’ān seperti Tauḥīd,

‘ibādah, khilāfah, halāl, harām, taqwa, ‘ilm dan istislah. Hampir senada dengan

169 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain ia menulis

Artikel “ Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam

Konteks Dasar Sains Negara”, 11. 170 I. Kalin, Three Views of Science in the Islamic World (Turki: University of

Istanbul, 2006), 14. 171 Kedua konsep ini merupakan sebagian dari sepuluh konsep yang disepakati

dalam sebuah seminar tentang "Pengetahuan dan Nilai" telah dilaksanakan di bawah

perlindungan International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS) di

Stockholm pada September 1981. Lihat Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam

(Bandung: Pustaka Hidayah,1996), 33.

Page 81: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

67

al-Faruqi, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Sardar tidak merujuk pada

tradisi sains Islam klasik. Bagi Sardar sains adalah "is a basic problem-solving

tool of any civilization"172 (perangkat pemecahan masalah utama setiap

peradaban).

Sardar sebagaimana juga Naquib al-Attas memandang perlunya untuk

membangun konsep epistemologi Islam sebagai “pandangan dunia” (world view)

Islam. Sardar memandang bahwa ciri utama epistemologi Islam adalah: (1)

didasarkan atas suatu pedoman mutlak; (2) epistemologi Islam bersifat aktif dan

bukan pasif; (3) memandang objektivitas sebagai masalah umum; (4) sebagian

besar bersifat deduktif; (5) memaduka pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; (6)

memandang pengetahuan bersifat inklusif; (7) menyusun pengalaman subyektif;

(8) perpaduan konsep tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif;

(9) tidak bertentangan dengan pandangan holistik. Dengan demikian

epistemologi sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan

pribadi dan pertumbuhan intelektual.173

172 I. Kalin, Three Views of Science in the Islamic World, 14. 173 Bahkan dalam salah satu tulisannya, Sardar menyusun ukuran-ukuran bagi

sains Islam, yaitu: (1) percaya Pada wahyu; (2) sains adalah saranauntuk mencapai ridla

Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial; (3) banyak

metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid;

(4) komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual

maupun sosial; (5) pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu

bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya

sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan

konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen

tak bermoral; (6) adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas

sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada

tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif

pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya; (7)

menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak

meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil

keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang

meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat

destruktif dari aktivitas seseorang; (8) sintesa, cara yang dominan meningkatkan

kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai; (9) holistik, sains adalah sebuah

aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah

pemahaman interdisipliner dan holistik; (10) universalisme, buah sains adalah bagi

seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau

dijual; sesuatu yang tidak bermoral; (11) orientasi masyarakat, penggalian sains adalah

kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak

dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya; (12) orientasi

nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau

buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat; (13) loyalitas pada

Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat

Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan

lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus

didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu; (14) manajemen

Page 82: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

68

10. Model Kelompok Aligargh (Aligargh Group)

Model ini dipelopori oleh Zaki Kirmani yang memimpin Kelompok

Aligargh University, India. Model Kelompok Aligargh menyatakan bahwa sains

Islam berkembang dalam suasana ‘ilm dan tashkir untuk menghasilkan gabungan

ilmu dan etika. Pendek kata, sains Islam adalah sekaligus sains dan etika. Zaki

Kirmani menetapkan model penelitian yang berdasarkan berdasarkan wahyu dan

taqwa. Ia juga mengembangkan struktur sains Islam dengan menggunakan

konsep paradigma Thomas Kuhn. Kirmani kemudian menggagas makro

paradigma mutlak, mikro paradigma mutlak dan paradigma bayangan.174

Hasil survey terhadap literatur kontemporer ditemukan bahwa gagasan

para pemikir Muslim kontemporer tentang upaya untuk memadukan ilmu-ilmu

ke-Islam-an dengan ilmu-ilmu “umum” dapat dikelompokkan ke dalam 10 model

integrasi ilmu, yakni: 1) Model IFIAS (International Federation of Institutes of

Advance Study); 2) Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI); 3) Model

Islamic Worldview; 4) Model Struktur Pengetahuan Islam; 5) Model

Bucaillisme; 6) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik; 7) Model

Integrasi Keilmuan Berbasis Taṣawuf; 8) Model Integrasi Keilmuan Berbasis

Fiqh; 9) Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group); 10) Model Kelompok Aligargh

(Aligargh Group).

Kendati begitu banyak model integrasi ilmu ke-Islam-an yang

ditawarkan oleh para pemikir Muslim kontemporer, upaya membangun landasan

pengembangan keilmuan Islam mesti berangkat dari pandangan dasar Islam

tentang ilmu serta berbagai tantangan nyata yang dihadapi oleh umat Islam.

E. Integrasi Ilmu Versus Dikotomi Ilmu

Pencarian konsep tentang ilmu dan agama merupakan salah satu isu

sentral dalam sejarah pendidikan Islam. Gerakan Islamisasi dalam perkembangan

selanjutnya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia seperti politik,175 budaya,

ekonomi dan pendidikan. Konsep Islamisasi176 di bidang pendidikan terfokus

sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang-buang dan

digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus

dipaksa oleh nilai etika dan moral; (15) tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada

perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal),

yakni, dalam batas-batas etika dan moralitas. Lihat Ziauddin Sardar, Explorations in

Islamic sciences (London-New York: Mansell, 198), 97. 174 Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, 14-15. 175 Dalam diskursus pemikiran politik Islam, paling tidak ada tiga paradigma

pola hubungan agama dan negara, yaitu : Paradigma Integrated, Sekularistik dan

Simbiotik. Lihat Ridwan, Islam Kontekstual; Pertautan Dialektis Teks dengan Konteks

(Yogyakarta: Grafindo Lentera Media, 2009), 203. 176 Kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris “Islamization” yang artinya

pengislaman. Islamisasi bermakna to bring with in Islam. Makna yang lebih luas dari

Islamisasi menurut Armai Arief adalah proses pengislaman, dimana objeknya adalah

orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Sementara Abraham

Sulaiman, sebagaimana dikutip Masykuri Abdillah, Islamisasi itu untuk mencari ilmu

Page 83: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

69

pada upaya pencarian landasan filosofis bangunan keilmuan Islam yang

melahirkan perdebatan di kalangan Muslim.

Di kalangan cendekiawan muslim terdapat pro dan kontra dalam

menyikapi isue integrasi ilmu/islamisasi ilmu pengetahuan. Masing-masing pihak

memiliki berbagai alasan yang cukup mendasar. Pihak yang pro berargumentasi

bahwa : (1) umat Islam membutuhkan sebuah sistem sains untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan mereka, baik meterial maupun spiritual, sedangkan sistem

sains yang ada kini belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Karena ia banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam; (2)

kenyataan membuktikan bahwa sains modern telah menimbulkan ancaman-

ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan umat manusia dan lingkungannya;

(3) umat Islam pernah memiliki suatu peradaban islami, yaitu sains bekembang

sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan umat, sehingga untuk menciptakan

kembali sains Islam dalam peradaban yang islami perlu dilakukan islamisasi

sains.177

Sedangkan pihak yang kontra berargumentasi bahwa dilihat dari segi

historis, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat saat

ini banyak diilhami oleh para ulama Islam yang ditransformasikan terutama pada

“masa keemasan Islam”, sehingga mereka banyak berhutang budi terhadap

ilmuan muslim. Kerena itu, jika hendak meraih kemajuan di bidang iptek, maka

perlu melakukan transformasi besar-besaran dari Barat tanpa ada rasa curiga,

walaupun harus selalu waspada. Iptek adalah netral, ia bergantung kepada

pembawa dan pengembangnya. Karena itulah islamisasi ilmu pengetahuan adalah

tidak begitu penting, tetapi yang lebih penting justru adalah islamisasi subjek

atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri. Jika dicermati dari

argumentasinya, kedua pihak tersebut (pro dan kontra) sebenarnya mempunyai

pretensi yang sama, yaitu sama-sama menginginkan terwujudnya kemajuan

peradaban yang Islami dan masing-masing juga tidak menghendaki terpuruknya

kondisi umat Islam ditengah-tengah akselerasi perkembangan dan kemajuan

iptek. Hanya saja pihak yang pro lebih melihat dimensi ilmu pengetahaun sebagai

objek kajian yang perlu dicarikan landasan filosofisnya yang Islami, sedangkan

pihak yang kontra lebih melihat subjeknya atau pembawan dan pengembang

iptek itu sendiri yang harus Islami.

Kelompok yang menafikan berpendapat bahwa ilmu pengetahuan

bersifat objektif, sehingga perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam

adalah semu. Bagi mereka ilmu juga bersifat universal, sehingga bisa berlaku

sama di mana saja di Barat maupun di Timur. Di antara para tokoh yang tidak

baru yang berbeda dengan Barat. Lihat Masykuri Abdillah dalam Kusmana, integrasi

keilmuan, 235. 177 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia

Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 43.

Page 84: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

70

setuju terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah Fazlur Rahman,178 Pervez

Hoodbhoy179 dan Muhammad Abdus Salam180.

Pervez Hoodbhoy (1991) adalah seorang fisikawan yang cukup dikenal

di Universitas Quad-i-azam di Pakistan. Dalam bukunya Islam dan Sciense, ia

menyatakan bahwa “tidak ada yang disebut ilmu Islami dan semua upaya untuk

mengislamkan ilmu akan mengalami kegagalan”. Alasannya tentu saja

universalitas dan objektivitas ilmu. Untuk memperkuat argumennya ia

mengemukakan kasus Abdus Salam dan Stevenweinberg, dua fisikawan yang

berbagi hadiah novel tahun 1976 dalam bidang fisika, karena keduanya telah

berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan lemah elektro-maagnetik yang ada pada

alam, padahal yang satu bergama Islam dan yang lain terus terang mengaku

ateis.181

Sedangkan bagi kelompok yang membenarkan adanya perbedaan

fundamental antara epistemologi modern dan Islami, berpandangan bahwa ilmu

pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subjektivitas sang ilmuan dan

karena itu ilmu tidak bisa dikatakan objektif, bebas nilai dan universal. Rolston

(1987), seorang profesor filsafat di Colorado State University yang mendapat

gelar di bidang fisika dan metematika, misalnya menyatakan dalam bukunya

178 Fazlur Rahman menyangsikan keberhasilan usaha Islamisi ilmu dengan

menyatakan bahwa pengetahuan kontemporer itu merefleksikan etos Barat. Ia

menegaskan bahwa orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau merinci suatu

strategi untuk mencapai pengetahuan Islami. Menurutnya satu-satunya harapan umat

Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara pemikiran umat Islam. Lihat

Fazlur Rahman, Islamization of Knowledge: A Respone. “American Journal of Islamic

Social Science”, (1998), 3-11. 179 Menurut Pervez Hoodbhoy, bahwa sains Islam tidak mengarah pada

pembuatan mesin atau instrument sains, sintesis senyawa kimia atau obat-obatan yang

baru, rencana percobaan baru atau penemuan hal-hal yang sampai sekarang belum

diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Lihat Pervez Hoodbhoy, Islam and Science;

Religion Orthodoxy and The Battle for Rationality (London an New Jersey: Zed Books

ltd, 1991), 77. 180 Menurut Muhammad Abdus Salam, bahwa mereka (tokoh Islamisasi) telah

melakukan perkerjaan yang merugikan sains di negara-negara Islam, bila mereka

menyeru kepada sains Islami yang dimotivasi secara religious dan bukan secara kultural,

apapun maknanya. Hanya ada satu sains universal, persoalan dan faktanya mendunia.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa tidak ada yang disebut dengan sains Islam

sebagaimana tidak ada pula sains Hindu, sains Konghucu serta sains Kristen. Lihat

Muhammad Abdus Salam dalam Pervez Hoodbhoy, Islam and Science, ix. Bahkan,

menurut Amin Aziz bahwa yang harus diislamkan adalah orang atau manusianya, bukan

ilmu pengetahuan atau apapun obyek lainnya termasuk negara. Jadi, yang harus

menganut pada prinsip tauḥīd adalah pemeluk atau pencari ilmu itu sendiri bukan

ilmunya. Lihat M. Amin Aziz “Islamisasi ilmu sebagai Isu dalam Ulūm al-Qur’ān, Vol.

III, No. 41192, 3. Baca pula Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-

Faruqi,” Al-banjar, Vol. 7, No. 1 Januari, (2008) : 42. 181 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia

Pendidikan, 44.

Page 85: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

71

Science and Religion: A Critical Survey, ia mengatakan bahwa “seorang peneliti

akan terwarnai oleh apa yang mereka teliti atau paling tidak menyumbang skema

konseptual yang menyaring apa yang mereka ketahui”.

Dapat ditegaskan bahwa beberapa ilmuan Barat berpihak pada pemikiran

materialistik atau alam positif, yakni pembahasan seputar alam harus dijauhkan

dari Tuhan. Karena pembahasan seputar alam dianggap semakin otonom dan

alam tercipta dengan sendirinya (self generating), di samping keteguhan mereka

tidak menerima kajian seputar hal-hal yang bersifat spiritual182. Demikian juga

yang terjadi pada umat Islam, yakni: Adanya dikotomi di kalangan ulama Islam

yang tidak begitu memahami atau salah faham terhadap pemikiran Al-Ghazāli,

sehingga mereka memisahkan ilmu-ilmu agama dari sains dan teknologi183.

Berbagai pemikiran para ilmuan Barat yang berusaha memisahkan

hubungan ilmu dan agama sebagai upaya sekularisasi dalam metode ilmiah

sebagai berikut;

1. Pierre Simon de Laplace menyatakan; “I mistrust anything but the direct

result of obsevation and calculation / saya mencurigai atau tidak percaya

apa pun (sebagai sumber ilmu) kecuali hasil langsung observasi dan

kalkulasi)”. Di samping Laplace juga menguatkan statement-nya ketika

Kaisar Napoleon menanyakan “mengapa dalam buku karyamu tidak

disinggung nama Tuhan”. Laplace menjawab; I don’t need that kind of

hypothesis / saya tidak butuh hipotesis seperti itu. Dalam pernyataan ini

Laplace memposisikan Tuhan sebagai hipotesis.184

2. Charles Darwin185 menyatakan; alam telah berkembang secara perlahan

(evolutif) dari satu tingkat wujud ke tingkat lainnya yang lebih tinggi,

dari mineral sampai manusia. Demikian pula dengan munculnya spesies-

182 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam,

(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), Cet II, 87. 183 Ashaari Muhammad al-Tamimi, Membangun Sains dan Teknologi Menurut

Kehendak Tuhan (Jakarta: Giliran Timur, 2007), 30. 184 Pierre Simon de Laplace adalah seorang astronom dan filosof Prancis yang

pertama kali merintis teori Big Bang, di samping kepercayaannya secara penuh pada

determinisme mekanis. Laplace menganggap bahwa Tuhan dipandang sebagai hipotesis

yang tidak diperlukan. Baginya determinisme mekanik telah cukup untuk menjelaskan

dengan baik apa yang terjadi di alam raya ini, disamping anggapannya bahwa Tuhan

telah berhenti menjadi pencipta, pemelihara ataupun perusak alam ini. Lihat Mulyadhi

Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, 87. 185 Darwin merupakan penganut agama Kristen yang taat, namun kemudian

menjadi ateis. Teori seleksi alamiah ini berangsur-angsur mengesampingkan Tuhan

dalam teori-teorinya tentang penciptaan spesies-spesies tersebut. Darwin pun

mengatakan; Dahulu orang boleh percaya kepada Tuhan setelah menyaksikan adanya

keserasian pada alam, namun kini telah ditemukan hukum seleksi alamiah sehingga untuk

mampu bertahan hidup, maka makhluk hidup harus mampu mengubah dan

menciptakannya sendiri dengan kukuh dan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan

kekuatan-kekuatan diluar dirinya seperti kekuatan Tuhan. Lihat Nora Barlow (ed.), The

Autobiography of Charles Darwin (London: Collins, 1958), 87.

Page 86: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

72

spesies pada tumbuhan dan hewan terjadi karena faktor lingkungan.

Keinginan untuk hidup (survive) di tengah-tengah kelangkaan bahan

makanan ini, telah bertanggung jawab atas terjadinya transmutasi di

antara makhluk-makhluk tersebut, yakni makhluk hidup harus mampu

menyesuaikan diri dengan cara mengikuti perubahan bentuk maupun

struktural agar mampu bertahan hidup (the survival of the fittest).

3. Sigmund Freud186 menyatakan agama sebagai ilusi dan agama akan

segera ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena kemungkinan benarnya

sangat tipis, setipis harapan seorang gadis desa yang ingin dipersunting

oleh seorang pangeran. Karena agama dikembangkan oleh manusia pada

tahap primitif atas dasar ketidakberdayaan dalam menghadapi tantangan

alam. Oleh karena itu, sebetulnya Tuhan bukan pencipta manusia,

sebaliknya pikiran manusialah yang menciptakan Tuhan.

4. Emile Durkheim187 berusaha mengembangkan sebuah sistem ilmu dan

pendidikan yang cocok dengan pandangan masyarakatnya yang sekular.

Ilmu pengetahuan telah mengajarkan kepadanya bahwa tidak ada suatu

apapun dibalik hal yang positif, termasuk Tuhan. Durkheim pun

menambahkan “apa yang kita sebut Tuhan, tidak lain sebetulnya muncul

dari pikiran masyarakat, karena pikiran masyarakatlah yang mampu

mengakomodasi segala sifat yang biasanya ditujukan kepada Tuhan”.

5. Siger Van Brabant dan Boethius Decie (tokoh Avveroisme)188

berpendirian bahwa kesimpulan filsafat yang berdasarkan logika murni

186 Sigmund Freud seorang filosof Yahudi Austria yang terkenal dengan nama

bapak psikoanalis. Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh

Dalam Sejarah (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 2006), 1-3. 187 Emile Durkheim adalah seorang sosiolog Prancis abad ke-19 dan awal abad

ke-20. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam,

91. 188 Pada abad 13 M, perkembangan gerakan Averroisme ke wilayah Eropa lebih

mengedepankan aspek akal dan menolak faham-faham gereja yang dianggap tidak sesuai

dengan akal. Gerakan Averroisme meyakini pandangan Ibnu Rusyd tentang

keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, namun di sisi lain mengalami

konflik dengan ajaran-ajaran Kristen, ketika berhasil ditemukannya metode-metode

eksperimentasi dan observasi tentang konklusi-konklusi ilmu pengetahuan yang

bertentangan dengan keyakinan agama Kristen. Hanya saja metode logika ilmiah

Aristoteles yang dikembangkan oleh Ibnu Rusyd dalam menunjukkan dan membuktikan

kebenaran selalu bertentangan dengan kepercayaan agama mereka. Dalam konteks

sejarah, pada abad ke-13 tersebut, para pemikir Barat menganut konsep kebenaran ganda

(double truth). Mereka memandang bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran

filosofis adalah benar, tetapi bertentangan dengan kepercayaan Kristen. Namun mereka

masih meyakini kebenaran Kristen sebagai kebenaran terakhir. Pada abad ke-14, para

pemikir Avveroisme mulai bersikap skeptis terhadap agama. Untuk mengekspresikan

sikap anti agamanya, para pemikir avveroisme ini membuat berbagai karya tulis yang

mengarah pada pemberontakan terhadap ortodoksi Kristen, karena Kristen yang ortodok

sebenarnya tidak sesuai dengan pendirian mereka sebagai orang-orang yang rasional

Page 87: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

73

tidak sejalan dengan kepercayaan agama Kristen. Karena dua tokoh

tersebut memandang kebenaran keyakinan agama lebih utama dari pada

kebenaran filosofis. Walaupun keduanya berusaha menemukan titik temu

bahwa kebenaran akal harus ditundukkan demi kepentingan kebenaran

agama dan Frederich Nietszche (1844-1900) dengan terang-terangan

memproklamasikan kematian Tuhan melalui ucapannya yang terkenal

dengan “God is dead”.189

Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, para ilmuan di atas

juga menolak keberadaan agama, karena agama dalam pandangan mereka

membawa kemunduran dan bertentangan dengan semangat rasional mereka.

Tuhan tidak boleh diikutkan dalam pengembangan ilmu, karena materi adalah

segalanya. Sebagaimana ajaran Averroisme yang menyelewengkan pemikiran

murni Ibnu Rushdy tentang qadīm-nya alam yang dikembangkan dalam ilmu

kimia dengan teori “kekekalan massa atau kekekalan materi”, menurut teori ini,

alam semesta tidak pernah diciptakan, tetapi ada selama-lamanya, sejak waktu

yang tidak terhingga yang akan datang.

Dalam Islam konsep integrasi memiliki beberapa varian. Zainuddin190

mengelompokkan pemikir integrasi tersebut dalam tiga kelompok:

sebagaimana Ibnu rusyd. Lihat Muhammad Iqbal, Ibn Rushdy & Averroisme Sebuah

Pemberontakan Terhadap Agama (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 101-102. 189 Pada abad pertengahan, para pemikir cenderung senang menguji setiap ajaran

filsafat dari segi kesesuaian ataupun pertentangannya dengan ajaran agama dan

interpretasi yang dikembangkan gereja. Jika bertentangan antar keduanya, maka

keimanan (faith) harus diutamakan atas penalaran (reason), karena pengembangan

filsafat harus difungsikan untuk memperkuat keyakinan agama. Lorenzo Valla (1406-

1457) mengembangkan filsafat hedonisme dengan menegaskan bahwa kebaikan yang

tertinggi adalah kesenangan dan kepuasan sensual. Valla menolak segala hal yang berbau

agama (Kristen). Machiavelli (1467-1527) merumuskan filsafat politiknya yang terbebas

dari nilai-nilai moral dan agama. Pada masa Rene Descartes (1596-1650) abad ke-17

yang dianggap sebagai Bapak filsafat Barat modern, pemikiran-pemikiran yang

memisahkan agama dari kehidupan semakin mendapatkan lahan yang subur. Para filosof

Barat menolak ilmu agama Kristen dan buku-buku yang menjadi dasar-dasar agama.

Descartes sendiri menyatakan bahwa moralitas dan agama yang bersifat abstrak dan

terkadang tidak dapat dilogikakan karena tidak memiliki hubungan dengan nalar

(reason). Rosseau (1712-1778) dan Voltaire (1694-1778) bersikap lebih keras lagi. Ia

mengecam gereja dalam segala lapangan dan dogma ajaran Kristen. Menurutnya setiap

orang yang berpikiran waras harus takut terhadap Kristen. Pada abad ke 19, filosof

August Comte (1798-1857) mengembangkan filsafat positivisme yang menyingkirkan

keimanan dan moral, karena dianggap tidak indrawi dan tidak bisa diukur dengan

matematika. Karl Marx (1818-1883) yang dianggap sebagai “nabi” bagi kaum

komunisme, menyerang agama dan menganggapnya sebagai candu yang membius. Lihat

Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama,

102. 190 M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Islam (Bayumedia: Malang, 2003),

46.

Page 88: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

74

Pertama, kelompok Bucaillian, pengikut Maurice Bucaille seorang ahli

bedah perancis penulis buku The Bible the Qur’ān and Science, kelompok ini

beranggapan bahwa ilmu bersifat universal dan netral dan semuanya dapat

diketemukan dalam al-Qur’ān. Pandangan ini dianggap naif oleh Ziauddin Sardar

karena al-Qur’ān dianggap sebagai ensiklopedi ilmu. Pandangan ini juga

dianggap mengandung bahaya karena sikap seorang Muslim terhadap penemuan-

penemuan baru dalam ilmu hanyalah mencocok-cocokan penemuan ilmiah

dengan ayat-ayat al-Qur’ān. Kebenaran al-Qur’ān adalah mutlak, sementara

kebenaran ilmu adalah relatif. Apabila di kemudian hari suatu penemuan ilmiah

digugurkan oleh penemuan yang lain, akan memunculkan pertanyaan apakah

berarti ayat al-Qur’ānnya juga ikut gugur.

Kedua, kelompok Islamisasi ilmu. Kelompok ini ingin membangun

persemakmuran ilmu di negara-negara Islam. Tokoh terpenting yang tergabung

di sisi adalah Muhammad Naquib al-Attas191 dan Ismail Raji al-Faruqi192. Mereka

191 Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuan berkewarganegaraan

Malaysia, lahir di Bogor, Jawa Barat Indonesia pada 05 September 1931. Ayahnya

bernama Syed Ali al-Attas. Pada usia 5 tahun ia pindah ke Malaysia dan pada zaman

Jepang pindah lagi ke Indonesia dan belajar Bahasa Arab di pesantren al-Urwah al-

Wusqa di Sukabumi. Pendidikan formal ditempuh di English College di Johor Malaysia,

kemudian ke Royal Militery Academi, Sandhurst Inggris (1955), Kajian Ilmu Sosial di

Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1959). Gelar MA diperoleh di McGill University,

Kanada (1962) di bidang Teologi dan Metafisika. Gelar Ph.D ia peroleh di The School of

Oriental and African Studies, The University of London (1966). Al-Attas menjadi Dekan

Fakultas Sastra di Universitas Malaya (1968-1970), Pendiri Institut Sastra, Universitas

Kebangsaan Malaysia (1970-1973), Pendiri Institus Bahasa, Kesusastraan dan

Kebudayaan Melayu, salah seorang pendiri Universitas Islam Antar Bangsa, malaysia

(1987) serta pendiri pimpinan internasional Institute of Islamic Thought and Civilizations

(ISTAC) 1989 hingga 2002. Al-Attas telah menghasilkan lebih dari 26 judul buku dan 27

artikel ilmah. Berkat karya ilmiahnya itu ia mendapat penghargaan dari The Imperial

Iranian Academy of Philosphy (1975) dari Pakistan atas kajiannya terhadap Iqbal serta

pemegang pertama kursi kehormatan al-Ghazali dalam Studi Pemikiran Islam. Lihat

Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2013),

255. 192 Isma’il Raji al-Faruqi lahir di daerah Jaffa, Palestina pada 1 Januari 1921. Al-

Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Libanon sejak 1926 hingga

1936. Pendidikan tinggi ia temmpuh di The American University di Beirut. Gelar sarjana

muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi

pegawai di pemerintahan Palestina di bawah mandat Inggris selama empat tahaun,

sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun, pada 1947,

provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika

Serikat. Di negeri paman sam itu garis hidupnya berubah. Ia dengan tekun menggeluti

dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari

universitas Indiana, AS pada 1949 dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard

dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value

(Tentang kebenaran kebaikan; Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar

doktornya diraih dari Universitas Indiana.Lihat Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif

Barat dan Islam, 261.

Page 89: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

75

mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan

meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi menjadi satu. Beberapa

pandangan kedua tokoh ini terutama al-Attas sedikit banyak terlihat

keterpengaruhnya dengan tokoh Mullā Sadrā.

Ketiga, kelompok yang diwakili oleh Ziauddin Sardar dan Fazlur

Rahman. Kelompok ini ingin membangun paradigma baru (epistemologi) Islam,

meliputi paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku. Paradigma

pengetahauan memusatkan perhatian pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam.

Adapaun paradigma perilaku menentukkan batas-batas etis bagi ilmuan. Ilmu

berawal dari al-Qur’ān tidak seperti Bucaille dan al-Faruqi yang berakhir pada al-

Qur’ān.

Tokoh pendidikan lainnya adalah Amin Abdullah, Kuntowijoyo, Zaenal

Abidin Bagir dan Imam Suprayogo. Amin Abdullah menawarkan pendekatan

Interkoneksitas.193 Pendekatan ini merupakan pendekatan yang tidak saling

melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan

integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi.

Suatu perbuatan disebut obyektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang non

Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan

keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap

menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal.194

Menurut Amin Abdullah, sebenarnya pendekatan keilmuan umum dan

Islam dapat dibagi menjadi tiga corak, yaitu; Pertama, pendekatan pararel yaitu

masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa

ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan lainnya. Kedua, pendekatan

linear, yaitu salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada

kemungkinan berat sebelah dan ketiga, pendekatan sirkular, yaitu masing-

masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan

kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil

manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain

serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada

diri sendiri.195

Kuntowijoyo menawarkan model ilmu-ilmu integralistik. Menurutnya,

integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu

Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan

193 Interkoneksitas adalah usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan

yang dihadapi dan dijalani manusia, sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik

keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri

sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling

koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan. Lihat Amin Abdullah, Islamic

Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2006), Cet 1, 219-223. 194 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epitemologi, Metodologi dan Etika

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 50. 195 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan

Integratif-Interkonektif, 213.

Page 90: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

76

Tuhan (sekulerisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticism).196

Sedangkan Zaenal Abidin Bagir sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara

mempunyai konsep integrasi konstruktif, yaitu integrasi yang menghasilkan

kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah atau bahkan

integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul

jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Walaupun menurutnya konsep ini

mengandung kelemahan, yaitu adanya kesan penaklukan, seperti teologi

ditaklukkan oleh sains.197

Imam Suprayogo, menawarkan model integrasi dengan menjadikan al-

Qur’ān dan as-Sunnah198 sebagai grand theory pengetahuan, sehingga integrasi

ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah dapat dipakai.199 Sementara Soetandyo

Wingyosoebroto menawarkan tiga model pengintegrasian ilmu agama dan ilmu-

ilmu umum. Pertama, dengan menyatukan atau mensenyawakan. Menurutnya

apakah ini mungkin, karena akan berkonsekuensi pada pemikiran untuk

menggantikan paradigma epistemologisnya, dari apa yang disebut metode

dualisme ke metode monisme. Kedua, dengan mempersatukan ilmu agama yang

normatif-tekstual yang berkenaan dengan segala fenomena dengan ilmu

pengetahuan yang sainstifik-kontektual yang hanya berkenaan dengan segala

fenomena empirik. Ketiga, menempatkan ilmu agama yang normatif dan ilmu

pengetahuan yang bertradisi sains itu tetap dalam ranah masing-masing yang

otonom, sebagai dua wujud yang ditempatkan dalam suatu garis progresi secara

terpisah, namun dalam hubungan antara keduanya yang fungsional dan

komplementer.200

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diskursus integrasi

ilmu agama dan ilmu umum masih menjadi perdebatan dikalangan ilmuan

muslim dan barat. Akar perdebatan tersebut diantaranya adalah persoalan

perspektif filosofis yang mendasari bangunan keilmuan, yakni ilmu itu bebas

nilai atau tidak bebas nilai.

196 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 55. 197 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 208-223. 198 H. M. Rosyidi menekankan perlunya menjadikan al-Qur’ān dan Sunnah

sebagai pedoman hidup umat Islam. Menurutnya, dengan mengutip pendapat Roger

Garaudy bahwa ajaran Islam diperlukan oleh umat manusia demi kelestarian manusia itu

sendiri. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-

19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), vii. 199 Imam suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama dalam Pengalaman

UIN Malang. Zainal Abidin Bagir, ed (Malang: UIN Press, 2004), 49. 200 Soetandyo Wignyosoebroto, “Perspektif Filosofis Integrasi Agama dan

Sains” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. ed. M. Zainuddin

(Malang: UIN Press, 2004), 47.

Page 91: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

77

BAB III

REINTEGRASI ILMU DALAM REKONSTRUKSI

HOLISTIK MULLĀ SADRĀ

Dalam menyelami ilmu dan agama, membedakan dalam dua ranah

pencermatan, maka Pemikiran Mullā Sadrā, sebagai bagian dari fragmentasi

perkembangan pemikiran Islam, secara cerdas dan jernih menempatkan

kedudukan ilmu dan agama pada posisi yang harmonis. Tidak salah tentunya

apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran Islam terjadi manakala agama

secara mutualis menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu. Agama

bukan penghambat perkembangan ilmu sebagaimana terjadi di Barat tetapi justru

merupakan pendorong sekaligus ruh bagi karakteristik keilmuan Islam. Mullā

Sadrā adalah tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo Galilei.201 Artinya ketika

di Barat sedang terjadi kebuntuan pemahaman tentang ilmu dan agama, Mullā

Sadrā telah mempunyai konsep yang cemerlang untuk menjawab kebuntuan itu.

Satu kondisi atmosfir keilmuan yang sangat kontras karena di Barat sedang

terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama sedangkan di dunia Islam hubungan

ilmu dan agama justru mengalami penguatan. Pada bab ini akan dipaparkan

berbagai hal yang terkait dengan pemikiran Mullā Sadrā yang meliputi Biografi

Mullā Sadrā, latar belakang corak pemikiran Mullā Sadrā, yang meliputi filsafat

peripatetik, illuminasionisme dan gnostik serta diakhir dengan membahas Tauḥīd

sebagai prinsip utama integrasi ilmu.

A. Biografi Mullā Sadrā

1. Riwayat Hidup

Sadr al-Dīn Sirāzi adalah salah seorang filosof yang paling dihormati

dalam Islam, khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang ini. Nama

lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrāhīm al-Qawami al-Sīrazi, yang dikenal

dengan Mullā Sadrā. Gelar kehormatannya Shadr al-Dīn (Ahli Agama),

menunjukkan derajat tingginya di dalam lingkaran teologis tradisional,

sementara sebutannya sebagai “Teladan” atau Otoritas Filosof- filosof Ilahi

(Sadr al-Muta’allihīn) menandakan posisi uniknya di mata generasi-generasi

filosof yang datang setelahnya. Ia lahir di Shiraz, Persia Selatan, pada 979

H/1572 M dari sebuah keluarga yang berada. Ayahnya konon adalah menteri

201 Galileo Galilei adalah salah satu tokoh yang menjadi saksi sekaligus korban

kebiadaban Paus dengan hegemoni gereja ketika itu. Akibat teori Heliocentris (matahari

sebagai pusat tata surya) yang dipromosikannya, ia terpaksa “diseret” ke pengadilan

inguisisi kemudian dipaksa meralat dan mencabut teorinya itu. Jika menolak berarti

memasang diri untuk dihukum. Mengapa ? sebab gereja menganut doktrin Geocentris

(bumi sebagai pusat tata surya). Mungkin, menurut pihak gereja, jika teori Heliocentris

ini diterima berarti secara tidak langsung merendahkan martabat Paus sebagai wakil

Tuhan di muka bumi. Galileo tidak berdaya menghadapi tekanan gereja, secara terpaksa

ia mencabut teorinya itu. Meski orang-orang tahu, Galileo dipihak yang benar. Lihat M.

Ardiansyah, 20 Catatan Kritis Untuk Kaum Liberal (Pustaka Luma al-Misykat: Jakarta,

2013), xiv.

Page 92: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

78

dalam istana Shafawiyyah, sekaligus seorang ulama. Shadr al-Dīn, menurut suatu

riwayat telah berhaji ke Makkah sebanyak enam kali dan dalam perjalanan yang

ketujuh pada 1050 H/1640 M ia meninggal dan di kuburkan di Basrah.202

Biografi pribadinya tidak banyak diketahui orang, namun catatan

otobiografis yang tercantum dalam pengantar magnum opusnya, al-Asfār al-

Arbaʽah memberikan banyak informasi kehidupam intelektual dan spiritualnya.

Mullā Sadrā sejak menjadi seorang murid telah menunjukkan ketertarikan dan

mengabdikan sepenuh hati pada teosofi atau teologis filosofis. Ia mempelajari

ḥikmah dari tradisi masa lalu (paripatetisme dan iluminisme) dan dengan

penemuan intelektualnya sendiri ia ingin menyatukan hikmah para guru

pendahulunya. Upaya ini mengundang sejumlah kritik perlawanan kuat dari para

agamawan yang menganut paham tradisional, karena sebagaimana yang

dikatakan oleh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, bahwa pandangan ontologis

Sadrā yang tertuang dalam risālah Ṭarh al-Kunain menunjukkan dukungan

Sadrā terhadap ajaran waḥdah al-Wujūd (kesatuan wujud).203

Kebanyakan sejarawan dan komentator atas karya-karyanya membagi

kehidupannya menjadi tiga periode terpisah.204

1. Masa Pendidikan Formal

Masa ini, ia lalui di Sīraz dan Isfahan. Perlu diketahui bahwa selama

berabad-abad, sebelum kemunculan dinasti Safawi, Sīraz telah menjadi pusat

filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional lainnya. Posisi ini terus berlanjut

sampai abad ke-10/ke-16, meskipun fungsinya tidak lagi sehebat sebelumnya. Di

dalam tradisi pendidikan inilah Mullā Sadrā memperoleh pendidikan awalnya.

Merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya di Sīraz, dia berangkat ke

Isfahan. Ketika itu, Isfahan telah menjadi pusat intelektual yang penting di Persia

202 Hossein Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi

Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 902. 203 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Sadrā (State University of New

York: Albany Press, 1975), 2. 204 Sedangkan menurut Ridha al-Muzhaffar, ia membagi kehidupan Mullā Sadrā

dalam tiga fase. Fase Pertama, studinya di Isfahan (kira-kira tahun 1587-1610). Selama

periode ini ia mendalami filsafat Peripatetik, Neo-platonisme dan berbagai pandangan

filsuf dan teolog Muslim, seperti Ibnu Sina dan at-Tusi, filsuf Iluminasionis seperti

shuhrawardi dan filsuf mistik Ibnu Arabi. Seluruh tokoh ini mempengaruhi filsafatnya.

Fase Kedua (1610-1625) merupakan pengasingan diri dan Uzlah-nya di desa kecil kahak,

sekitar wilayah Qum selama 15 tahun. Sebagaimana ia katakan bahwa meskipu ia mulai

pengasingannya dari kekecewaan secara total dengan dunia dan kegagalan spekulasi

filosofis, ia menyerahkan kehendaknya kepada Tuhan dan memulai meditasi dan

kontemplasi atas berbagai kesulitan fundamental tentang yang ada melalui sesuatu yang

diistilahkan dengan intuitive invasion from without. Fase Ketiga (1625-1641), Mullā

Sadrā mulai mengajar di Madrasah yang dibangun dan ditunjang oleh bangsawan

Shafawiyyah, Allāhwirdī Khān di Shiraz dan mulai menulis karya-karya filosofisnya dan

religiusnya. Karya terbesar yang merupakan magnum opus-nya adalah Al-Hikmat Al-

Muta’āliyah fi’l Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah (kearifan puncak dalam empat perjalanan

intelektual), sering hanya disebut dengan Asfar. Lihat Arqom Kuswanjono, Integrasi

Ilmu dan Agama (Yogyakarta: Penerbit Lima, 2010), 11-12.

Page 93: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

79

dan mungkin di belahan Timur dunia Islam secara keseluruhan.205

Isfahan tidak mengecewakan Sadrā, karena di sini ia menjumpai

beberapa orang murshid yang memberikan pengaruh mendalam terhadap dirinya.

Di sini ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh-tokoh terkemuka saat

itu : Bahā al-Dīn al-Amili ( w . 1 6 2 1 M), Mīr Dāmād (w. 1631 M) dan Mīr

Abdul Qāsim Findirishi (w.1641M). Dengan Bahā al-Dīn al-Amili, Sadrā belajar

al-ulūm al-Naqliyyah (transmitted sciences) seperti tafsīr Qur’ān dan Fiqh.

Sedangkan dengan Mīr Dāmād yang memiliki nama lengkap Sayyid Bagir

Muhammad Astarabadi, Sadrā belajar al-ulūm al-Aqliyyah (Intellectual

sciences), yaitu perpaduan antara prinsi-prinsip filsafat Ibnu Sīna dengan doktrin

illuminasi Syuhrawardī. Dan dengan Mīr Abdul Qāsim Findirishi, Sadrā belajar

tentang filsafat Peripatetik dan Asketisme sufi.

Al-Amili adalah seorang saintis, ahli hukum (fiqh), teolog, arsitek dan

pujangga, sedangkan Mīr Dāmād adalah seorang teolog, filosof dan mistikus di

samping pujangga, ia mengajar filsafat Ibn Sīna dengan interpretasi Ishrāqiyyah

(illuminatif). Karya yang merupakan master piecenya, Qabasat (Fire Brands)

menjelaskan tentang pergumulan antara filsafat, teologi dan gnosis. Tokoh inilah

yang mendirikan ajaran yang kemudian dikembangkan Mullā Sadrā, yakni al-

ḥikmah al-mutaʽāliyah (Transcendent Theosophy). Sementara itu al-Findirishi

adalah seorang guru besar bidang filsafat Ibn Sīna yang banyak belajar dan

menulis komentar tentang Hindu dan Yoga206 di bawah bimbingan para murshid

tersebut, Mullā Sadrā dengan cepat menjadi tokoh yang berwibawa dalam bidang

ilmu keislaman dan kemudian mencari peringkat yang melebihi gurunya sendiri.

2. Masa Pelatihan Spiritual

Setelah periode formal studinya, Mullā Sadrā ʽuzlah (mengasingkan diri)

dan menghabiskan beberapa tahun untuk meditasi dan latihan spiritual. Ia

memilih mengasingkan diri di desa kecil, Kahak, tidak jauh dari kota suci Qum.

Periode ini menandai kesibukan Mullā Sadrā yang kian meningkat dengan

kehidupan kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-

dasar bagi kebnyakan karya utamanya. Periode ini ditandai dengan periode

panjang meditasi dan praktek spiritual yang menyertai dan melengkapi studi

formalnya. Sehingga menyempurnakan program untuk melatih seorang filosof

sejati menurut Suhrawardi. Selama periode inilah tercapai pengetahuan yang

kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.207 Pengaruh dari pengasingan itu

adalah karis filsafatnya yang luar biasa. Perubahan besar pemikirannya adalah

dari esensialisme ke eksistensialisme. Pada masa itu juga ia juga telah

menyelesaikan outline Asfarnya.

205 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullā Sadrā (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2002), 44. 206 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004), 8. 207 Hossein Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi

Tematis Filsafat Islam, 904.

Page 94: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

80

Bagi Sadrā latihan rohani adalah satu keperluan asas dan penting bagi

mereka yang bercita-cita untuk mencapai “rahasia Ilahi” dan menghirup udara

suci ilmu hakikat yang dinamakan Hikmat Ilahi atau ilmu Ilahiyat (teosofi).

Dengan sunyi menyendiri semua keperluan jiwa yang ingin bermujahadah akan

dapat dicapai dan pertemuan dengan alam ruhani pada “diri batin yang tentram”

adalah syarat awal bagi penghidupan spiritual yang sebenarnya. Mullā Sadrā

menjalani kehidupan menyendiri ini dalam jangka waktu kira-kira tujuh tahun,

tetapi ada sumber lain yang menyatakan sebelas tahun dan ada pula yang

menyatakan lima belas tahun. Sadra mengabdikan dirinya dengan renungan

kalbu dan latihan ruhani lainnya hingga akhirnya keluar dari persemadian ini

sebagai seorang hukama yang jiwa metafisika (ilahiyah) bukan lagi pemahaman

akal tetapi yang diturunkan sampai ke hati.208

Alasan lain, dari kemunduran Mullā Sadrā dari kehidupan ramai adalah

didorong oleh kekecewaannya terhadap orang-orang sezamannya yang sudah

kehilangan sifat-sifat terpuji, berperilaku tidak beradab, dan kehilangan sifat

intelektual, juga kaum intelektual yang hanya terlihat secara lahiriah saja, namun

senantiasa melakukan kejahatan dan keburukan. Demikian pula para

mutakallimun telah keluar dari logika yang benar dan berada di luar kebenaran.

Sedangkan para fuqaha telah kehilangan rasa penghambaan diri, menyimpang

dari kepercayaan terhadap metafisika, bersifat taqlīd dan menyangkal

keberadaan darwisy. Disamping itu pengunduran dirinya juga didorong oleh rasa

ketidakpuasan terhadap kebenaran-kebenaran filosofis yang bersumber dari

metode rasional, yang menurutnya bersifat dangkal dan tidak dapat mencapai

kebenaran hakiki dan perasaan bersalah karena dia begitu tergantung kepada

kemampuan intelektualnya sendiri, bukan menghambakan diri kepada kehendak

dan kekuasaan Tuhan dengan jiwa yang suci dan ikhlas.

3. Periode ketiga, masa Mengajar dan Menulis

Periode ini berawal dari tawaran yang diberikan Gubernur Sīraz,

Allahwirdi Khan, untuk memimpin madrasah yang baru dibangunnya di kota itu.

Memenuhi panggilan itu, Mullā Sadrā kembali ke kota kelahirannya untuk

mendidik sejumlah murid. Perwatakan dan ilmunya menarik perhatian pelajar

dari jauh dan dekat dan menjadikan Syiraz kembali sebagai sebuah kota pusat

ilmu seperti dulu. Pusat Kajian Khan atau Madrasah Khan menjadi sangat

masyhur hingga ia menarik perhatian pengembara luar. Thomas Herbert,

pengembara abad ke-11 H/17 M yang pernah melawat ke Syiraz semasa hidup

Sadra, menulis bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat,

astrologi, fisika, kimia dan matematika yang menyebabkannya termasyhur di

seluruh Parsi. Dalam karirnya sebagai guru, Mullā Sadrā telah berhasil

melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di dalam

aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Ada dua murid yang paling

terkemuka yang perlu disebutkan karena karya-karya mereka masih tetap dikaji

208 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi dan Hikmat Muta’aliyah, Terj.

Baharuddin Ahmad (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), 23 – 27.

Page 95: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

81

hingga kini yaitu Mullā Abdul Razzaq Lahiji (w. 1072 H / 1661 M) dan Mullā

Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H / 1680 M).209

Disamping bertugas sebagai pendidik di Madrasah Khan yang dilaluinya

selama tiga puluh tahun, di periode ini juga beliau banyak menulis karya-

karyanya. Sepanjang periode ini juga, Mulla Sadra melakukan beberapa kali

perjalanan haji ke kota Makkah yang kesemuanya dilakukan dengan berjalan

kaki. Intensitas kesalehannya tidak hanya semakin meningkat, tetapi bahkan

semakin tercerahkan melalui pandangan spiritual yang dihasilkannya dari

praktek-praktek spiritual selama bertahun-tahun. Sekembalinya dari perjalanan

haji yang ketujuh, Mulla Sadra jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada

tahun 1050 H / 1640 M.210

2. Karya-karya Ilmiah Mullā Sadrā

Sebagai pemikir besar, Mullā Sadrā menghasilkan karya-karya besar

dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kendati Mullā Sadrā berkiprah di

kawasan Persia, namun hampir seluruh karyanya ditulis dalam bahasa arab.

Hossein Ziai dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam buku kedua,211 membagi

karya utama Mullā Sadrā dalam dua kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu Naqliyyah

dan ilmu-ilmu ʽAqliyyah. Karya-karya Naqliyyah Sadrā adalah karya yang terkait

dengan fiqih tradisional Islam, Tafsīr al-Qur’ān, Ilmu Hadith dan Teologi. Karya-

karya tersebut antara lain :

1. Sharh Uṣūl al-Kāfī. Karya ini merupakan komentar atas karya Kulainī

yang berjudul Uṣūl al-Kāfī, suatu kumpulan Hadith Shi’ah pertama

tentang berbagai masalah spesifik dalam fiqh dan teologi. Ini merupakan

salah satu karya terbaik Sadrā meskipun tidak lengkap, karena hanya

mengomentari sampai bab XI tentang Kitāb al-Hujjah. edisi

lithografinya dicetak di Teheran pada tahun 1282 H.

2. Mafātih al-Ghaib. Karya ini mengandung doktrin-doktrin irfāni tentang

metafisika, kosmologi dan eskatologi, serta berisi rujukan terhadap al-

Qur’ān dan Hadith. Hossein Ziai mengkategorikan karya ini sebagai

tafsir al-Qur’ān. Edisi lithografinya dicetak di Teheran tanpa keterangan

tahun.

3. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm. Karya ini merupakan hasil penafsiran Mullā

Sadrā atas beberapa surat dan ayat al-Qur’ān, penafsiran yang bersifat

esoterik dan hermeneutik Surat dan ayat tersebut adalah al-Fātihah, al-

Baqarah, sampai ayat 65, dan ayat al-kursi (ayat 256), Surat al-Nūr (ayat

35), al-Sajadah, Yāsin, al-Qāqi’ah, al-hadīd, al-Jumu’ah, al-Tāriq, al-

A’la dan al-Zilzāl. Disertai komentar dari Mullā ‘Alī Nūrī. karya ini

diterbitkan pertama kali tahun 1322 H di Teheran.

4. Asrār al-Āyat wa Anwār al-Bayyināt. Karya dalam bidang tafsir secara

ʽIrfāni mengulas masalah ketuhanan, kenabian, penciptaan dan

209 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullā Sadrā, 55. 210 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi dan Hikmat Muta’aliyah, 28. 211 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat

Islam (Bandung: Mizan, tth), 909.

Page 96: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

82

eskatologi Dicetak pertama kali di Teheran pada tahun 1319 H. disertai

dengan komentar Mullā ‘Alī Nūrī dan edisi kritisnya oleh disunting oleh

Muhammad Khājāwī di Teheran tahun 1402 H.

5. Mutashabihat al-Qur’ān. Karya ini merupakan risalah kecil yang terdiri

atas enam fasal yang menjelaskan berbagai pandangan dari berbagai

aliran tentang ayat-ayat al-Qur’ān yang bersifat Mutashābihat dan

kemudian Mullā Sadrā menjelaskan pandangannya sendiri secara irfāni

Karya ini termasuk dalam edisi S.J. Asytiyāni, Se Resāle (Tiga Risalah),

Risalah yang kedua, Mashad tanpa tahun.

6. Imāmah, risalah pendek tentang teologi Shi’ah. Berbagai tafsir al-Qur’ān

Mullā Sadrā merupakan kelanjutan dari ”teosofi transenden”-nya yang

merupakan hasil perkembangan dari makna batin al-Qur’ān sebagaimana

dipahami olehnya. Sadrā menegaskan keselarasan antara wahyu (al-

wahy) dan intelek/akal (‘Aql).

Mullā Sadrā membedakan penafsir eksoterik yang hanya melihat makna

lahir dari al-Qur’ān dan penafsir esoterik yang hanya melihat makna batin al-

Qur’ān dengan mengabaikan bentuk luar. Sadrā menolak dua tipe penafsir

tersebut, namun menggabungkan keduanya. Akan tetapi jika hanya ada satu

pilihan maka ia lebih memilih sebagai penafsir eksoterik Alasannya paling tidak

tetap menjaga dan memelihara wadah lahiriah wahyu. Metode terbaik adalah

yang membahas makna esoterik tanpa bertentangan dengan pengertian eksoterik

kata-kata al-Qur’ān.212

Adapun karya-karyanya dalam bidang ilmu ʽaqliah antara lain adalah:

1. Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-‘Aqliyah al-Arbaʽah. Karya ini

merupakan masterpiece dari seluruh karyanya yang membahas secara

terperinci keseluruhan subjek filsafat yang telah dibahas oleh berbagai

aliran pemikiran keislaman terdahulu. Edisi lithografinya diterbitkan

pertama kali di Teheran pada tahun 1282 H dalam 4 jilid besar dengan

diberi catatan pinggir oleh Haji Mulia Hadi Sabzawari. Edisi barunya

diterbitkan di Teheran tahun 1378 H/1958 M dan disunting oleh

‘Allamah Tabatabai, yang terdiri atas 9 jilid disertai dengan komentar

Tabatabai sendiri dan para hakim Persia lainnya. Karya ini membahas

tentang empat perjalanan intelektual yang meliputi: Pertama, persoalan

metafisika dan ontologi. Kedua, filsafat kealaman. Ketiga, ilmu

ketuhanan. keempat, psikologi dan eskatologi.

2. Shawāhid al-Rubūbiyyah fi al-Manāhij al-Sulūkiyyah.213 Karya ini dinilai

sebagai ringkasan dari Asfār, istilah yang sering digunakan untuk

menyebut Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar al-‘Aqliyah al-Arbaʽah.

Buku ini membahas berbagai doktrin gnostik dan filosofis tanpa merajuk

212 Hossein Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi

Tematis Filsafat Islam, 930. 213 Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mullā Sadrā (Yogyakarta: TB. Rausyanfikr,

2012), 70.

Page 97: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

83

pada pandangan-pandangan sebelumnya. Corak ʽirfāni-nya lebih tampak

dibanding dengan karya lainnya. Edisi lithografinya diterbitkan pertama

kali di Teheran pada tahun 1286 H disertai dengan komentar dari

Sabzawārī. Komentar ini pun merupakan masterpiece sendiri yang

kemudian diterbitkan bersama- sama dengan teks al-Shawāhid dalam

edisi kritis oleh S.J. Asytiyānī. Edisi baru ini juga berisi pendahuluan

dan pengantar bahasa Inggris dari Seyyed Hossein Nasr yang diterbitkan

di Mashad pada tahun 1386 H/1967M.

3. Al-Mabdaʽ wa al-Maʽād, merupakan karya Mullā Sadrā berkenaan

dengan metafisika, kosmogoni dan eskatologi. Dicetak di Teheran pada

tahun 1314 H, disertai komentar dari Sabzawārī. Pada tahun 1396 H

diterbitkan kembali setelah secara kritis direvisi oleh S.J. Asytiyānī yang

didasarkan atas manuskrip dari ‘Abd Al- Razzaq lāhījī murid dan

menantu Mullā Sadrā.

4. Kitab al-Mashā’ir. Kitab ini banyak dikaji oleh para hakim di Persia

yang muncul belakangan. Karya ini mengandung sinopsis dari

pandangan ontologisnya karena terkumpul di dalamnya fondasi

filosofisnya yang fundamental. Dicetak di Teheran pada tahun 1315 H,

kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1383 H dengan edisi kritis oleh

Henry Corbin, yang sekaligus menerjemahkannya ke dalam bahasa

Perancis dan disertai dengan tejemahan ke dalam bahasa Persia oleh

Badi’ Al-Mulk Mirzā “Imād Al-Daulah.

5. Al-Masāil al-Qudsiyyah. Karya ini ditulis pada tahun 1049 H, satu tahun

sebelum Mullā Sadrā meninggal. Karya ini sengaja ditulis untuk

mempermudah para pencari hikmah dalam memahami persoalan

ontologi, yang secara panjang lebar telah ia tulis dalan Al-Ḥikmah al-

Mutaʽāliyah. Karya ini diterbitkan dalam edisi S.J. Asytiyānī, Se Resāle

risalah pertama.

6. Ajwibah al-Masā’il. Karya ini merupakan risalah yang berisi jawaban

atas pertanyaan yang diajukan oleh para murid Mullā Sadrā terkait

dengan persoalan filosofis dan metafisis. Karya ini ditemukan

belakangan dari perpustakaan Mirzā Tahīr Tūnikābūnī. Di terbitkan

dalam edisi S.J. Asytiyānī, Se Resāle, risalah ketiga.

7. Ajwibah Masā’il Shams al-Dīn Muhammad Al-Jilāni. Satu risalah yang

berisi jawaban atas lima pertanyan filosofis dan metafisis yang diajukan

oleh tokoh yang hidup sezaman dengan Mullā Sadrā yaitu Mullā

Shamsā, yang populer disebut Shams Al-Dīn Muhammad Al-Jilanī.

Risalah ini dicetak pada bagian pinggir kitab al-Mabdaʽ wa al-Maʽād,

Teheran 1314 H.

8. Ajwibah al-Masāil al-Nasiriyyah. Karya ini merupakan risalah yang

berisi jawaban Mullā Sadrā atas tiga pertanyaan filosofis dan metafisis

yang tidak terjawab yang diajukan Nasir al-Dīn al-Tūsi kepada Shams

Al- Dīn Abd al-Hamid bin ‘Isa Al-Khosrawshāhī. Dicetak dua kali pada

bagian pinggir dari Sharh al-Hidaya al-Asiriyyah karya Mullā Sadrā di

Teheran, 1313H dan pada bagian pinggir Tahzīb al-Akhlāq karya Ibnu

Page 98: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

84

Miskawaih, yang dicetak bersamaan dengan kitab al-Mabdaʽ wa al-

Maʽād, Teheraj 1314H

9. Al-Ḥikmah al-ʽArshiyyah.214 Dua persoalan penting, yaitu ketuhanan dan

eskatologis dibahas dalam karya ini. Karya ini dipandan penting karena

mengandung ringkasan pandangan eskatologisnya dan merupakan

sumber utama kontroversi di kalangan berbagai aliran kalām. Karya ini

mendapat komentar dan kritik dari Shaikh Ahmad Ahsā’ī, pendiri aliran

Shaikhī, dan kritikan tersebut dijawab oleh Mullā Isma’īl Isfahānī.

Dicetak di Teheran pada tahun 1315 H dan pada tahun 1382 H

diterbitkan di Isfahan beserta terjemahan dalam bahasa Persia oleh

Gulam Husain Āhamī. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh James

Winston Morris dan diberi judul The Wisdom of the Throne: An

Introduction to the Philosophy of Mullā Sadrā, diterbitkan oleh

Princeton. New Jersey 1981. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh

Dimitri Mahayana dan Dedi Djuniardi dengan judul Kearifan Puncak,

diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

10. Al-Wāridah al-Qalbiyyah fi Ma’rifah al-Rubūbiyyah. Karya ini me-

rupakan kritik Mullā Sadrā terhadap para ulama duniawi yang hidup

sezaman dengannya yang mendukung para penguasa tiran demi tujuan

yang bersifat duniawi. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā, Teheran 1302

H, dan diterbitkan secara terpisah, disertai komentar dan terjemahan

lengkap dalam bahasa Persia oleh Ahmad Syafi’īha, Teheran, 1399 H.

11. Al-Mazāhir al-Ilāhiyyah fī Asrār al-Ulūm al-Kamāliyyah. Risalah ini

mengandung berbagai pandangan ringkas Mullā Sadrā tentang 16

persoalan metafisika, meliputi 8 persoalan berkaitan dengan konsep-

konsep fundamental dan 8 lainnya tentang eskatologi. Edisi lithografinya

dicetak pada bagian pinggir kitab al-Mabdaʽ wa al-Maʽād, Teheran 1314

H.

12. Iksīr al-Ārifīn fī ma’rifah Ṭarīq al-Haqq wa al-Yaqīn. Sebuah risa lah

yang berkaitan dengan klasifikasi ilmu dan hakikat manusia. Dicetak

dalam Rasā’il Mullā Sadrā, Teheran 1302 dan edisi Kritis- nya disunting

dengan disertai terjemahan dalam bahasa Jepang oleh Shigeru Kamada,

Tokyo, 1983.

13. Kasr al-Asnām al-Jāhiliyyah fi Dham Al-Mutaṣawwifīm. Dalam risalah

ini Mullā Sadrā mengkritik berbagai ekses negatr dari mereka yang

berperilaku seperti Sufi, namun mengabaikan sharī’ah dan ajaran-

ajarannya. Kata Mutaṣawwifīn tidak mengacu pada pengertian yang

biasa yaitu mereka yang mengikuti jalan sufi, namun menunjuk pada

mereka yang berpura-pura seperti sufi Disunting dalam edisi kritisnya

oleh M.T Danechepazhuh, Teheran, 1381 H.

14. Resāle Se Asl. Karya ini berisi tentang pembelaan dirinya yang bersifat

otobiografis terhadap para ulama eksoterik, juga berisi tentang ilmu jiwa

dari sudut Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah. Karya ini ditulis dalam bahasa

214 Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mullā Sadrā, 74.

Page 99: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

85

Persia dan edisi kritisnya disunting dengan disertai pengantar dan catatan

oleh S.H. Nasr, serta diterbitkan bersama dengan Masnawī dan

Rubā’iyyat dari Mullā Sadrā, Teheran. 1380 H.

15. Risālah fī Ittisāf al-Māhiyyah bi al-Wujūd. Risalah yang membahas

hubungan antara wujūd dan māhiyyah. Dicetak pada Rasā’il Mullā

Sadrā, Teheran, 1302 H.

16. Risālah fī al-Tashakhkhus. Risalah ringkas tentang partikularisasi suatu

persoalan filsafat yang sangat sulit. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā,

hal. 120-131, Teheran, 1302 H.

17. Risālah fī Surāyan al-Wujūd. Risalah ketika Mullā Sadrā masih

menganut asālat al-mahīyyah daripada asālat al-wujūd, satu risalah yang

ditulis ketika Mullā Sadrā masih muda. Dicetak pada Rasā’il Mullā

Sadrā, hal. 132-148, Teheran, 1302 H.

18. Risālah fī al-Qada' wa al-Qadr. Risalah ini membahas persoalan

predestinasi dan kehendak bebas, serta bagaimana takdir Tuhan bisa

tercakup dalam kejahatan yang terjadi pada manusia. Dicetak pada

Rasā’il Mullā Sadrā, hal. 148-157, Teheran, 1302 H.

19. Risālah fī Ḥudūth al-ʽĀlam. Risalah ini membahas asal-usul kejadian

alam di dalam waktu yang didasarkan atas doktrin Mullā Sadrā tentang

al-harakah al-jauhariyyah. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā, hal. 341-

371, Teheran, 1302 H.

20. Risālah fī al-Ḥasyr. Risalah ini membahas persoalan kebangkitan

kembali segala sesuatu termasuk di dalamnya mineral-mineral. Dicetak

pada Rasā’il Mullā Sadrā, hal. 148-157, Teheran, 1302 H.

21. Risālah fī Khalq al-Aʽmāl. Mullā Sadrā mengemukakan pandangan dari

aliran kalām, filsafat dan pandangannya sendiri tentang persoalan

kehendak bebas dan determinasi. Dicetak pada Rasā’il Mullā Sadrā, hal.

371-377, Teheran, 1302 H.

22. Al-Lama’ah al-Mashrīqiyyah fi Funūn Al-Mantiqiyyah. Risalah ringkas

tentang logika dan merupakan sumbangan baru Mullā Sadrā dalam

bidang logika. Dicetak di Teheran, 1347 H disertai terjemahan ke dalam

bahasa Persia dan komentar dari ‘Abd al Husain Musykāt al Dīnī.

23. Risālah fī Al-Taṣawwur wa al-Taṣdīq. Risalah ini membahas dan

menganalisis persoalan logika tentang konsep dan keputusan. Edisi

lithografnya dicetak pada bagian pinggir al-Jauhar al-Nadid karya al

Hillī, Teheran, 1311 H.

24. Al-Tanqiyyah. Risalah tentang logika yang belum diterbitkan naskahnya

ditemukan oleh Mīrza Tāhir Tunikābūmī.

25. Risālah fī Ittihād Al-ʽĀqil wa Al-Maʽqūl. Risalah ini merupakan salah

satu doktrinnya yang terkenal tentang kesatuan subjek yang berpikir dan

objek pemikiran. Menurut penulis al-Zarī'ah, vol I, hal. 81, risalah ini

dicetak di Teheran, namun versi yang sudah dicetak tersebut belum

ditemukan.

26. Tarh Al-Kaunain. Risalah yang ditulis sebelum Al-Ḥikmah al-

Muta’āliyah, naskah risalah ini tidak ditemukan. Sementara ahli

Page 100: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

86

mengidentikkan risalah ini dengan Risālah fī al-Hashr, sebagian Yang

lain menyatakan sebagai Risālah fī Sarayān al-Wujūd. Namun ada pula

yang mengatakan bukan keduanya, karena risalah ini berkaitan dengan

pembahasan Waḥdah al-wujūd, yang tidak dibahas oleh kedua risalah

tersebut.

27. Dīwān, satu kumpulan puisi terpilih dari Mullā Sadrā yang dikoleksi oleh

murid dan menantunya yaitu Mullā Muhsin Faid Kumpulan puisi ini

diterbitkan oleh S.H Nasr bersama-sama dengan edisi Resale Se Asl,

Teheran, 1380 H.

28. Dībāche-yi ‘Arsy Al-Taqdis, judul karya ini dengan bahasa Persia namun

sesungguhnya isinya merupakan pengantar berbahasa Arab terhadap

karya gurunya, Mir Dāmād yang berjudul ʽArsy Al-Taqdis.

29. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (1), surat yang ditulis

Mullā Sadrā untuk Mīr Dāmād, yang oleh S.J. Asytiyānī diterbitkan

secara tidak lengkap dalam karyanya yang berjudu Sharh-i Hāl wa Ārā-i

Falsafi-yi Mullā Sadrā, Mashad, 1381 H, hal 225-228.

30. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (II), surat ke dua

Mullā Sadrā kepada Mīr Dāmād yang ditulis dalam bahasa Persia

Diterbitkan oleh M.T. Danechepazhuh dalam Rah Nāmā-yi Kitāb, Vol V,

No. 8-9,1341 H, hal. 757-765.

31. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (III), surat ketiga

yang ditulis dalam bahasa Persia dan Arab, diterbitkan olel M.T.

Danechepazhuh dalam Farhang-i Iran Zamin, Vol 13, No 1 4,1966, hal.

84-95.

32. Nāmā-yi Sadrā bi Ustād-i Khud Sayyid Mīr Dāmād (IV) surat ketiga

yang ditulis dalam bahasa Persia, diterbitkan secara tidak lengkap oleh

M.T. Danechepazhuh dalam Farhang-i Irān Zamīn,Vol 13, No1-4,1966,

hal. 95-98.

33. Sharh al-Hidāyah al-Asīriyyah. Satu komentar Mullā Sadrā terhadap

Hidāyah al-Hikmah karya Asīr al-Dīn al-Abharī. Karya tentang

serangkaian filsafat Peripatetik ini memperoleh perhatian besar di Persia

dan telah ditulis beberapa komentar terhadapnya. Di anak benua Indo-

Pakistan buku ini dijadikan sebagai buku pegangan dalam mengkaji

filsafat Peripatetik sedangkan di India buku ini diajarkan di madrasah-

madrasah tradisional hingga sekarang. Dicetak di Teheran tahun 1313H.

34. Sharh Ilāhiyyāt al-Syifā’ merupakan komentar terhadap bagian ilāhiyyāt

dari Kitāb al-Syifā’ karya Ibnu Sina. Dalam karya ini Mullā Sadrā

menjelaskan berbagai pandangan Ibnu Sina, mengomentari kata-katanya

yang sulit, mengkritiknya dan mengemukakan sebagian pendapatnya

sendiri. Komentar ini juga tidak lengkap karena hanya sampai pada akhir

makalah keenam. Dicetak bersama-sama dengan Kitab Al-Syifā' jilid I,

Teheran 1303 H.

35. Taʽlīqah Sharh Ḥikmah al-Ishrāq. Karya ini merupakan kajian penting

atas ishrāqiyyah dan perbandingannya dengan mashsha-ʽiyyah Meskipun

karya ini merupakan komentar terhadap Sharh Ḥikmah al-Ishrāq yang

Page 101: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

87

ditulis oleh Qutb Al-Dīn Al-Syīrāzī, namun pandangannya lebih

didasarkan atas teks Suhrawardi. Dicetak di Teheran, 1315 H.

36. Zād Al-Musāfir. Risalah yang mengandung ringkasan doktrin Mullā

Sadrā tentang eskatologi, yaitu tentang kebangkitan jasmani. Kāzim

Mudīr Shanachi menyunting risalah ini dalam Nashriyya-yi Dānishkada-

yi Ilāhiyyat wa Ma’ārif-i Islām-i Danishgāh-i Mashad, No. 2, 1351, hal.

134-144. Risalah yang sama dengan judul yang berbeda yaitu, Al-Ma'ād

Al-Jasmānī diterbitkan di Teheran pada tahun 1359 disertai komentar

dari S.J.Asytiyānī.215

B. Latar Belakang Corak Pemikiran Mullā Sadrā

1. Filsafat Peripatetik (Mashā’ī)

Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Peripatetic”

yang berarti mengembara atau pengembaraan. Kata ini memiliki makna yang

sama dengan bahasa Arab, yaitu “Mashā’ī” (مشائي), yang berarti berjalan.

Sebutan mengembara atau berjalan diberikan kepada aliran ini, karena ajarannya

disampaikan Aristoteles, sebagai founder (pembangun), sambil berjalan-jalan

disekitar sebuah gedung olahraga di kota Athena yang bernama Peripatos.216

Murid-murid terpentingnya ialah Theopharastos dan andronikos. Kedua murid ini

berperan, kecuali mendengar dan menulis juga menyebarluaskan pemikiran

Aristoteles.217

Filsafat peripatetik Islam merupakan sintesa ajaran-ajaran Islam dengan

Aristoteles dan Neoplatonisme,218 yang dilakukan oleh para filosof Muslim

sebelum Suhrawardi, yaitu Iranshahri,219 Al-Kindi,220 Al-Farābī,221 Abū

215 Banyak yang menulis karya-karya Mullā Sadrā, diantaranya Seyyed Hossein

Nasr, Sadr al-Dīn Shirazi, 40-50; Pendahuluan Shaīkh Muhammad Reza al-Muzaffar

terhadap Mullā Sadrā, al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah, jilid 1, 16-22; Pendahuluan Muhsin

Bidarfar terhadap Mullā Sadrā, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm, Jilid 1, 90-110 dan Syaifan

Nur, Filsafat Hikmah Mullā Sadrā, 68-81. 216 M. Said Syaikh, Kamus Filsafat Islam, Terjemahan Machun Husein (Jakarta:

Rajawali, 1991), 154. dan Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT Gramedia,

1986), 79. 217 Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 79.

Istilah “Peripatetik” merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya

kepada murid-muridnya. Peripatetik (Masha’un) berarti “Ia yang berjalan memutar atau

berkeliling”. dan ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan

mengelilingi murid-muridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Dengan demikian istilah

peripatetik merujuk kepada para pengikut setia Aristoteles. Lihat Mulyadi Kartanegara,

Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 26. 218 Seyyed Hossein Nashr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis,

terjemahan Suharsono & Djamaluddin MZ (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet II, 33. 219 Nama ini agak luput dari perhatian, karena data mengenainya tidak ada yang

tersisa, padahal dialah filosof pertama yang memasukkan filsafat ke dunia Islam. Lihat

Sayyed Hossein Nashr, Tiga Pemikir Islam; Ibn Sīna, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Terjemah

Ahmad Mujahid (Bandung: Risalah, 1985), 3.

Page 102: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

88

Sulaymān al-Sijistāni,222 Ibnu Sīna223 sebagai penyempurna sehingga filsafat

paripatetik Islam menampilkan wujud yang utuh, Ibnu Rushdy224 dan lain-lain.

Upaya sintesa dilakukan pertama kali oleh al-Kindi, sekaligus sebagai

filosof pertama terhadap hubungan agama dan filsafatnya. Menurutnya, tidak

terdapat pertentangan diantara kedua wacana ini, karena sama-sama sebagai

kajian yang membicarakan kebenaran (بحث عن الحق). Sintesa agama-filsafat al-

Kindi ini sangat menentukkan bagi penerimaan filsafat, sebagai titik awal

perkembangan filsafat di dunia Islam. kecuali itu, al-Kindi berperan di dalam

Arabisasi (pembahasa Araban) teks-teks dan term-term filsafat (Yunani) melalui

terjemahan-terjemahannya. Al-Farabi, selain berjasa dalam upaya memadukan

agama dengan filsafat, juga dalam pemaduan di antara Plato dan Aristoteles,

sebagai induk dari Aristotelianisme dan Neoplatonisme. Upaya ini dilakukan

220 Nama lengkapnya ialah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishāq ibn al-Shabbah ibn

Imrān ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi, lahir di kuffah tahun 185 (801)

dan wafat tahun 246 (860). Nama Al-Kindi diambil diambil dari nama qabilahnya

Kindah. Upaya sintesa agama dan filsafat dapat dilihat dari karya-karyanya. Melalui buku

Kitāb al-Kindi ilā al-Mu’tashim fi al-Falsafah al-‘Ulā, dicoba dijelaskan dasar-dasar

agama secara filosofis. Buku ini diwarnai oleh pemikiran Aristoteles dalam bukunya On

Metaphysics. Buku lainnya ialah Risālah al-Hikmiyyah fī Asfār al-Rūhiyyah, sebuah

uraian filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual. Untuk memperkenalkan Aristoteles al-

Kindi menulis buku Kitāb fī Qashd Aristhūthālis fī al-Ma’qulat. 221 Nama lengkapnya ialah Abū Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan

ibn Auzalagh, dikenal dengan nama Abu Naser dalam bahasa Latin. Ia lahir di Wasij,

distrik Farab, Tukistan tahun 257 (870) dan wafat tahun 950 di Damaskus. Ia digelar

sebagai “Aristoteles kedua”, karena kemahirannya menguraikan pemikiran Aristoteles.

Ibnu Sīna berhutang budi pada tokoh ini, karena melalui toko inilah Ibnu Sīna mampu

memahami konsep metafisika Aristoteles melalui buku Al-Farabi, Al-Ghard Aristhy fī

Kitāb ma Ba’da al-Thabī’ah. padahal sebelumnya Ibn Sīna telah membaca buku

Aristoteles sebanyak 40 kali dan bahkan menghafalnya, kecuali dua karya diatas. Karya

penting lainnya ialah Al-Madīnah al-Fāḍilah, sebuah uraian mengenai konsep negara

ideal dalam perspektif Islam. 222 Filosof ini berasal dari Sijistan, Persia. Kurang dikenal tetapi berperan di

dalam mengadakan kesinambungan pengembangan filsafat Islam dari Al-Farābi ke ibn

Sīna yang dibatasi mencapai seratus tahun. Lihat Joel L. Kraemer, Philosophy in the

Renaissance of Islam; Abū Sulayman al-Sijistāni (Leiden: EIJ. Brill, 1986). 223 Nama lengkapnya ialah Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn al-Hasan ibn Ali

ibn Sīna. Ia lahir tahun 370 (980) di desa Afsyanah, Bukhara, Transoxiana dan wafat

tahun 428 (1037) di Hamadzan. Karena penyakit maag yang disebabkan oleh kelelahan

bekerja. Banyak karya terpandang Ibn Sīna yang terpenting ialah Asy-Syifa (Sanatio),

sebuah buku kedokteran. Buku lainnya ialah Al-Isyārat wa al-Tanbīhāt, berisikan kajian

logika dan filsafat; Al-Manthiq al-Masyriqiyyah, berisikan kajian logika timur dan lain-

lain. 224 Nama lengkapnya ialah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd,

lahir tahun 520 di Cordova, Spanyol. Di Barat ia dikenal dengan nama Averroes.

Kedalaman ilmunya menyebabkan Dante dalam bukunya Devine Commedia,

memberinya gelar “Commentator” (pengulas Aristoteles) dan digelar pula sebagai

“Penyelamat filsafat di Barat”.

Page 103: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

89

dengan menulis sebuah buku berjudul Al-Jamʽu bayna Raʽyi al-Hakāmain

Aflaton al-ilāhi wa Aristhū (The book of Accord Between The Ideals of The

Devine Plato and Aristo). Ibnu Sīna, tidak hanya mengadakan sintesa tetapi juga

mengadakan penyelesaian filosofis terhadap problem-problem ketuhanan yang

belum terpecahkan sebelumnya, seperti kajian mengenai wujud (ontologi).225

Filsafat peripatetik disebut juga teolog dialektik, yaitu penyusunan premis-premis

dari kebenaran umum (primary truth) untuk menghasilkan kesimpulan

(silogisme) baru; metode demikian sering dikenal sebagai metode deduktif.226

Puncak dari perjalanan aliran ini ada pada kelahiran kembali Aristotelianisme.

Paripatetik dalam bahasa Arab dikenal dengan nama al-Mashaiʽyyah, yang

berarti orang yang berjalan.227 Ini diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu

berjalan-jalan dalam mengajar. Tokoh penting aliran paripatetik ini adalah Ibnu

Sīna. Ia mempunyai pandangan yang berbeda dengan kebanyakan filosof Islam

lainnya. Sementara para filosof berpendapat bahwa ide diabstraksikan dari dunia

pengalaman inderawi, Ibnu Sīna tidak, Menurutnya ide abstrak telah mewujud

dalam pikiran. Wahana apapun yang kita miliki untuk memperoleh ide-ide

tersebut berasal dari ide itu sendiri, bukan dari pikiran kita tentang alam.228

Ciri khas (karakteristik) aliran Peripatetik dari sudut metodologis atau

epistemologis bisa dikenali dalam beberapa hal : (1) modus ekspresi atau

penjelasan para filosof peripatetik bersifat sangat diskursif (baḥthi), yaitu

menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur

penalaran yang mereka gunakan adalah apa yang dikenal dalam istilah filsafat

sebagai “silogisme”, yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang

telah diketahui dengan baik yang mereka sebut premis (mayor dan minor) dan

setelah ditemukan term yang mengantarai dua premis di atas yang biasa disebut

“middle term” atau al-ḥadd al-awṣaṭ. (2) karena sifatnya yang diskursif, maka

filsafat yang mereka kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung

karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol, baik berupa

kata-kata atau konsep maupun representasi. Modus pengetahuan seperti ini biasa

disebut ḥuṣuli (perolehan); yakni diperoleh secara tidak langsung melalui

perantara. (3) ciri lain dari filsafat peripatetik dari sudut metodologis ini adalah

penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio, sehingga kurang

memprioritaskan pengetahuan intuitif.

Ciri khas lain dari aliran Peripatetik ini berkaitan dengan aspek

ontologis. Ini bisa dilihat, misalnya dengan ajaran mereka yang biasa disebut

hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini

terdiri atas dua unsur uatamanya itu materi (hyle/al-hayula) dan bentuk

225 Seyyed Hossein Nashr, Intelektual Islam; 36-37. 226 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah; Pengantar Pemikiran Sādra

(Bandung: Mizan, 2002), 47. 227 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis (Bandung:

Mizan, 2002), 101. 228 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis

(Bandung: Mizan, 2002), 74-75.

Page 104: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

90

(morphis/ṣūrah). Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh

Aristoteles sebagai hasil reformasi terhadap ajaran gurunya, plato yang

mengatakan bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain dari pada bayang-bayang

dari ide-ide yang ada di dunia atas yang kemudian biasa disebut ide-ide plato

(Platonic Ideals). Ide-ide ini direformulasikan Aristoteles sebagai bentuk dan

bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi yang dimaksud dengan bentuk disini

bukanlah bentuk fisik, melainkan semacam esensi (hakikat) dari sesuatu.

Sedangkan materi adalah bahan yang tidak akan mewujud (muncul dalam bentuk

aktualitas) kecuali setelah bergabung dengan bentuk tadi.229

Ciri terakhir dari aliran Peripatetik adalah ajaran atau teori emanasi.

Persoalan utama yang mendorong munculnya teori emanasi adalah bagaimana,

dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang beraneka, padahal ada diktum

filosofis yang telah diterima secara umum yang menyatakan bahwa dari yang

satu hanya akan muncul yang satu juga. Diktum ini yang kemudian

memunculkan ajaran filosofis yang dikenal sebagai “Murajjih” atau alasan yang

memadai (The sufficient reason). Murajjih mutlak diperlukan untuk apapun yang

terjadi dalam sebuah perubahan.

2. Illuminasionisme (Ishrāqī)

Istilah Illuminasionisme230 berasal dari bahasa Inggris, yaitu Illumination

yang berarti pancaran. Dalam bahasa Arab disebut juga Ishrāqi (اإلشراق) yang

mengandung arti pancaran cahaya. Kedua kata dan arti ini pada intinya memiliki

makna yang sama, yaitu cahaya yang memancar dari sumber cahaya, yaitu

Tuhan. Penetapan aliran ini sebagai Illuminasionisme (isrhāqi) didasarkan pada

pendapatnya bahwa yang hakikat dari segala sesuatu ialah cahaya, segala sesuatu

adalah cahaya. Selain cahaya terdapat kesiapan sebagai lawan dari cahaya dan

terdapat penghubung di antara cahaya dan kegelapan yang disebut dengan

barzakh. Aliran ini tampil sebagai reaksi terhadap aliran filsafat peripatetik yang

berkembang di saat kelahiran Ishrāqi dan suhrawardi mengambil peluang ini

untuk mengajukan corak lain di luar filsafat peripatetik.231 Sebagai corak baru,

maka terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua corak ini, khususnya

mengenai alat pembuktian kebenaran. Apabila filsafat peripatetik menggunakan

alat rasio melalui logika, maka corak ishrāqi menggunakan dhauq melalui

pancaran dari Tuhan. Namun demikian, sesuai dengan karakter Ishrāqi yang

229 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam

(Jakarta: Lentera Hati, 2006), 27-33. 230 Aliran Illuminasionis didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi al-Maqtul (w.

1191). Dikatakan Maqtul, karena ia dijatuhi hukuman mati oleh sultan Shalah al-Din al-

Ayyubi dari Mesir atas pengaduan para ulama Suriah dan tuduhan karena rasa iri mereka

kepadanya bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat. Walau meninggal dalam usia yang

relatif muda, yaitu 35 tahun, Namun ia telah menyusun beberapa karya yang signifikan,

seperti Kitāb al-Mash’ari wa al-Mutharahat; al-Talwīhāt dan al-Muqawwamāt. Tetapi

yang paling besar, berpengaruh dan orisinal adalah Ḥikmah al-‘Ishrāq yang telah menjadi

kitab utama di atas filsafat Ishrāqī dibangun. 231 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis, 404.

Page 105: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

91

berupaya memadukan filsafat dan tasawuf yang dipertentangkan Imām Ghazālī,

Ishrāqi tidak serta merta menolak filsafat Peripatetik. Prinsip filsafat peripatetik

digunakan sebagai upaya menjelaskan mekanisme kerja Ishrāqi.232 Seperti juga

filsafat peripatetik, corak ini memiliki akar historis dari Yunani, seperti Plato,

Hermes, Empedokles, Pythagoras, Aghatamadaimon, Aselepius dan Aristoteles.

Juga terdapat para juru bicara di Timur, seperti Jamasp, Farashaustra,

Bujurzumhr, Zoroaster dan lain-lain. Di dunia Islam, corak ini telah dirintis oleh

Abu Yazid al-Busthami dan al-Halaj dan kemudian memiliki kematangan setelah

disistimatiskan oleh Suhrawardi.233

Iluminisme yang dipelopori oleh Suhrawardi, seperti halnya filsafat

emanasi memahami adanya hierarkhi wujūd, yaitu bahwa semakin dekat dengan

sumber cahaya, maka intensitas mendapatkan cahaya juga semakin banyak,

sebaliknya semakin jauh dari sumber cahaya, maka semakin sedikit pula

intensitas cahaya yang diterima. Oleh karena itu, manusia harus berusaha

mendekatkan diri kepada Allah agar dapat menangkap cahaya-Nya sebanyak-

banyaknya. Hierarkhi keberadaan manusia banyak ditentukan pada kedekatannya

dengan sumber cahaya itu.234 Apabila taṣawuf (ʽIrfān) mengajukan konsep

tentang keserbatunggalan wujud atau eksistensi (tauḥīd wujūdi), iluminisme

mengindentikan wujud dengan cahaya dan non wujud dengan kegelapan. Namun

diantara keduanya mempunyai pandangan epistemologis yang sama, bahwa

mengetahui sesuatu sama dengan memperoleh pengalaman tentangnya. Dalam

pengantar bukunya yang berjudul Ḥikmah al-Ishrāq (Filsafat Iluminasi),

Suhrawardi mengatakan :”Saya pada awalnya, tidak mendapatkan gagasan lewat

proses berfikir (kogitasi), melainkan lewat sesuatu yang lain. Hanya setelah itu,

saya mencari bukti-bukti tentangnya”. Hanya saja, kalau kaum sufi (mistik)

menghindari bukti-bukti rasional dalam menyampaikan pengalaman mistiknya,

Suhrawardi memberikan landasan rasional bagi penyaksian spiritual.235

Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, filsafat Illuminasi tentu memiliki

beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain

ditinjau dari sudut metodologis, ontologis dan kosmologis. Aliran ini berbeda

dengan aliran peripatetik (yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai

metode berfikir dan pencarian kebenaran), sedangkan filsafat Illuminasi mencoba

memberikan tempat yang paling penting bagi metode intuitif (ʽIrfānī) sebagai

pendamping dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba

mensintesiskan dua pendekatan ini, Burhāni dan ‘Irfānī dalam sebuah sistem

pemikiran yang solid dan holistik. Aspek ontologis aliran Illuminasionis adalah

232 John Walbridge, The Science of Mystic Light; Quthb al-Din Shirazi and The

Illuminationist Tradition In Islamic Philosophy (Cambrigde: Harvard University Press,

1992), 39. 233 Sayyed Hossein Nashr, Three Moslem Sages, 62-63 234 Hossein Ziai, “Mullā Sadrā; Kehidupan dan karyanya” dalam Ensiklopedi

Tematis Filsafat Islam (Bandung Mizan, tth), 451. 235 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Hikmah Mullā Sadrā”,

dalam Basis, No. 03-04, Tahun ke-55, Maret April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 5.

Page 106: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

92

konsep metafisika cahaya. Suhrawardi adalah filosof muslim yang paling

maksimal memanfaatkan simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya.

Baginya Tuhan adalah cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika

dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah cahaya di atas cahaya

(Nūr al-Anwār). Ia adalah sumber dari segala cahaya, dari mana semua cahaya

lainnya berasal atau memancar.

Sesuai dengan pengertian di atas, maka konsep wujud menurut aliran

Illuminasi ialah cahaya, sebagai realitas material yang menembus segala sesuatu

baik fisik maupun non fisik.236 Dikaitkan dengan permasalahan wujud di atas,

maka semuanya cahaya. Cahaya adalah segalanya, Namun apa yang dimaksud

dengan cahaya tidak memiliki definisi yang jelas. Hal ini menurut Suhrawardi,

karena cahaya sudah jelas maka tidak dibutuhkan definisi untuk menjelaskan

sesuatu yang sudah jelas. Bahkan cahaya itulah yang menjadikan segala sesuatu

menjadi jelas.237

3. Gnostik (‘Irfāni)

Kata Gnostik berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Gnosis” yang

mengandung arti pengetahuan atau ilmu.238 Kata ini terkait dalam term

gnosiology seabagai; (1) Teori pengetahuan yang mengadakan analisa sejauh

mana sebuah ilmu memiliki kaitan dengan karakter dasarnya. (2) Mengadakan

analisa sejauh mana keshahihan sebuah ilmu yang berbeda dengan ilmu

intelektual dan (3) sebuah studi mengenai dasar-dasar dari sebuah konsep.

Melalui tiga pendekatan di atas, maka gnostik merupakan pengetahuan terdalam

yang dimiliki manusia, sejenis ngilmu dalam tradisi jawa. Karena itu disebut

juga dengan “ilmu sejati”. 239

Dalam literatur bahasa Arab disebut dengan ‘Irfān (عرفان) yang

mengandung arti “Pengenalan” atau pengetahuan yang mendalam tentang

hakekat segala sesuatu, termasuk keagamaan dan ketuhanan secara esoterik

(bathin). Pengetahuan ini dalam tradisi tasawuf disebut dengan maʽrifah. Corak

pemikiran ini pertama kali muncul pada abad 2 dan 3 M, yang dikembangkan

oleh Neo Platonisme. Seiring dengan masukya Neo Platonisme ke dunia Islam,

corak ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan tersebut. 240

Berbeda dengan corak filsafat peripatetik yang memasuki dunia Islam

melului jalur filsafat, maka corak gnosis melalui jalur taṣawuf. Kerena itu,

konsep ma’rifah sangat terkait dengan dua sufi besar, yaitu Zunnun al-Mishri dan

Imām Ghazālī. Menurut Zunnun al-Mishri, ma’rifah ialah pengetahuan terhadap

sesuatu yang diperoleh melalui hati sanubari. Pengenalan Tuhan, menurutnya

236 Ian P. McGreal, Great Thinkers of The Eastern World (New York:

HarperCollins Publication, 1995), 173. 237 Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis, 409-410. 238 Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri; Prinsip-prinsip Epistemologi dalam

Filsafat Islam dari Suhrawardi via Wittgenstein (Bandung: Mizan, 1994), 50-51. 239 Dagober D. Runes, Dictionary of Philosophy, 117. 240 Jamīl Shalibā, Al-Mu’jam al-Falsafi (Beirut: Dar al-Kitāb al-Lubnāni, 1971),

Jilid 2, 72.

Page 107: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

93

tidak hanya melalui akal, melainkan melalui hati sanubari manusia. Pengetahuan

ini diraih manusia atas anugerah Tuhan, sesua dengan ungkapan Zunnun al-

Mishri241 :

ب ر ت ف ر ع ا مل ب ر ال و ل و ب ر ب ب ر ت ف ر ع

“Aku mengetahui Tuhanku melalui Tuhanku dan sekiranya tidak karena

Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku”.

Sedangkan Imām Ghazālī memberi pengertian ma’rifah dengan

ungkapan242 :

تب األمور اإلل بوبية والعلم برت ار الر ـهية املحيطة بكل موجودات اإلطالع عىل أس

“Tersingkapnya rahasia-rahasia Ketuhanan dan pengetahuan terhadap

ilmu-ilmu Ketuhanan yang mencakup segala sesuatu”.

Dari definisi Imām Ghazālī ini dapat diketahui bahwa ma’rifah

merupakan rahasia ketuhanan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu

dan dengan pengetahuan ini, seseorang akan mengetahui rahasia segala alam

semesta. orang yang telah mencapai taraf ma’rifah akan mampu mengetahui

segala sesuatu, kendati belum terjadi.243 Dengan demikian gnosis atau ‘Irfān tidak

bisa disamakan dengan pengetahuan (‘Ilm), karena diantara keduanya terdapat

perbedaan, baik pada alat maupun cara memperoleh melalui pencerahan hati atau

perolehan secara intuitif. Imām Qushayri mengajukan tiga alat yang digunakan

untuk memperoleh ilmu ini, yaitu qalb, ruh dan sirr. Qalb untuk mengetahui sifat-

sifat Tuhan, ruh untuk mencintai Tuhan dan sirr untuk melihat Tuhan.

Konsekuensi logis dari perbedaan alat yang digunakan ialah perbedaan hasil yang

diperoleh. Ilmu bersifat rasionalistik dan empirik, sedangkan gnosis bersifat

eksperimental individual, sesuai dengan pengalaman seseorang yang memperoleh

pencerahan dari Tuhan.244

Dari uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang wacana

yang mempengaruhi pemikiran Mullā Sadrā sebagai berikut :

Pertama, terdapat tiga wacana intelektual dengan karakter varian yang

berkembang sebelum Mullā Sadrā (Pra-Sadrian), yaitu filsafat Peripatetik,

Illuminasionisme dan gnostik. Filsafat peripatetik menekankan pada pendekatan

rasio (rasionalisasi) di dalam merumuskan kebenaran, sehingga menerima

241 Ungkapan ini merupakan gambaran kedekatan manusia dengan Tuhan.

Karena itulah Zunnun al-Mishri mengatakan bahwa ma’rifah yang sempurna ialah ketika

seseorang memiliki ketergantungan kepada Tuhan, tidak kepada selain-Nya. Lihat Abd.

Hakim Mahmud, Zū al-Nūn al-Mishri (Cairo: Dar al-Sya’b, tth), 67. 242 Imām Ghazālī, Ihyā Ulūm al-Dīn (Cairo: Dar al-Kutub al-Islāmiyyah, tth),

Jilid 3, 20-21. 243 William C. Chillick, Ibn al-‘Arabi’s Metaphisics of Imagination; The Sufi

Part of Knowledge (Albany State University of New York Press, 1989), 148. 244 Reynold A. Nicholson, The Myctics of Islam (London: Rautledge and Kegan

Paul Ltd, 1966), 68.

Page 108: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

94

kebenaran hanya jika didukung oleh rasio. Sedangkan Illuminasionalisme dan

Gnostik menekankan pada pendekatan intuisi, yaitu ketajaman rohani manusia

yang mampu memperoleh pengetahuan murni (Nūr = Illuminasi dan Ma’rifah =

Gnosis) yang langsung diperoleh dari Tuhan. Karena ilmu ini bersifat perolehan,

maka kebenarannya kadangkala diluar jangkauan rasio atau tidak bisa

dirasionalkan.

Kedua, perbedaan karakteristik wacana diatas berakibat pada perbedaan

cara pandang di dalam mencermati sikap permasalahan, seperti konsep wujud,

pembagian ilmu dan metode memperoleh ilmu. Filsafat Peripatetik memiliki

konsep wujūd yang dualistik, sehingga menetapkan hubungan yang signifikan

(interrelasi) di antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujūd), namun pada

akhirnya berkesimpulan bahwa wujudlah yang prinsipal. Illuminasionisme dan

Gnostik melihat wujud secara monistik (satu), yaitu Tuhan. Karena itu selain

Tuhan dipandang hanya ilusi (maya). Pandangan ini berakibat pada kesimpulan

bahwa yang hakikat adalah esensi.

Menyangkut metode perolehan ilmu terjadi perbedaan pandangan di

antara tiga wacana Pra-Sadrian. Filsafat Peripatetik, sesuai dengan dominasi akal,

ilmu diperoleh melaui rasio (rasionalisasi), yaitu aktualisasi akal manusia mulai

dari tingkat rendah maupun tingkat tinggi. Sementara menurut

Illuminasionalisme dan Gnostik, kendati mengakui metode perolehan ilmu

melalui indra dan akal, namun menetapkan bahwa ilmu yang paling sempurna

ialah yang diperoleh melalui kontak spiritual manusia dengan Tuhan, sebagai

sumber dan pemberi cahaya (menurut Illuminasionalisme) dan melalui

pengenalan (ma’rifah) yang hakiki menurut Gnostik.

Mullā Sadrā tidak hanya mengkaji seluruh warisan pemikiran Islam dan

menggabungkannya, tetapi ia juga menghasilkan satu sintesis yang genuine dari

semua arus tersebut. Karena itu sebagaian orang menyebut filsafat Mullā Sadrā

(Al-ḤIkmah al-Mutaʽāliyah) sebagai filsafat Islam sesungguhnya.245 Mullā Sadrā

tidak pernah menamkan aliran pemikirannya Al-ḤIkmah al-Mutaʽāliyah.

Penyebutan Al-ḤIkmah al-Mutaʽāliyah sebagai aliran filsafat diperkenalkan

untuk pertama kalinya oleh ‘Abd al-Razzāk Lāhījī (w. 1072 H/161 M) murid dan

sekaligus menantunya. Adapun tokoh yang sangat bersemangat menjelaskan

alasan penggunaan istilah ini sebagai nama aliran filsafat Mullā Sadrā adalah

Mullā Hādī Sabzawārī (1212-1295 H/1797-1878 M), seorang filosof dan

mistikus terbesar persia pada abad ke-13 H/19 M.246

245 Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat (Bandung: Pustaka

Hidayah, 2002), 155. 246 Seyyed Hosein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Penerjemah; Ach.

Maimun Syamsuddin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 194.

Page 109: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

95

B. Tauḥīd: Prinsip Utama Integrasi Ilmu

Konsep tauhid (tauḥīd) tentu saja diambil dari formula konvensional

Islam “Lā Ilāha Illallāh” yang artinya “tiada tuhan melainkan Allah”. tauḥīd

telah menjadi prinsip paling dasar dari ajaran Islam dan dalam kaitannya dengan

concern kita tentang integrasi ilmu, telah menjadi prinsip yang paling utama dari

prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu

atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia. Dalam perkembangannya,

formula “Lā Ilāha Illallāh” telah dipahami dan dirumuskan secara beragam oleh

para teolog, fuqaha, Sufi dan filosof. Para teolog dan fuqaha cenderung

mengambil arti harfiah dari formula tersebut dengan menerjemahkannya sebagai

“tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah”. 247

Konsep tentang Tauḥīd, yang lazim diterjemahkan sebagai paham

keesaan Tuhan, memanifestasikan adanya kesatuan dalam ilmu. Kesatuan ilmu

bermakna tidak adanya kompartementalisasi atau bifurkasi antara ilmu-ilmu

"agama" dengan "ilmu umum". Konsep ilmu dalam Islam terkait dan terjalin erat

dengan pandangan dunia Islam (Islamic worldview), yang bermuara pada konsep

Tauḥīd. Dengan kata lain, pandangan Islam tentang Tuhan, kenabian

(nubuwwah), alam semesta, manusia, unsur-unsur, dan konsep-konsep kunci

Islam terkait dengan ilmu. Tauḥīd merupakan aspek sentral atau poros dimana

seluruh konsep-konsep Islam berputar mengitarinya. Ibarat tata surya, Tauḥīd

adalah matahari dimana semua planet mengitari dan menyerap energinya.

Dalam tradisi intelektual Islam, terdapat kesatuan hierarki ilmu.

Sebarang bentuk fragmentasi tidak dapat ditolerir, karena bertentangan dengan

spirit Tauḥīd. Ilmu Tauḥīd menempati posisi yang paling tinggi dalam klasifikasi

ilmu dan segenap disiplin ilmu yang lain berkait kelindan dengannya. Sementara

ilmu modern kehilangan visi hierarkis (lost the hierarchic vision of knowledge)

dan lacks of unity. Dalam Islam terdapat kesatuan, antara ilmu, iman

(ketauhidan), dan amal. Sebaliknya, konsep ilmu Barat sekuler meniadakan dan

memisahkan iman dari ilmu. Sebagai konsekuensinya, ilmu tersebut melahirkan

saintis tanpa iman. Ilmu pengetahuan tanpa keyakinan terhadap keesaan Tuhan

akan menyesatkan dan dapat melahirkan sikap anti terhadap agama. Atau, ilmu

tanpa hidayah dan hikmah hanya akan membuat para ilmuwan kian jauh dari

keimanan.248

Di sini, kata Ilāh dimengerti sebagai Tuhan yang wajib disembah (al-

Ma’būd) karena manusia adalah hamba-hamba-Nya (ʽābid). Namun, sejalan

dengan pendekatan filosofis di sini akan dibahas tauḥīd dalam perspektif filosofis

karena dalam perspektif inilah integrasi ilmu menemukan ekspresinya yang

paling nyata. Berbeda dengan para teolog dan fuqaha, Para filosof Muslim

mempunyai tafsīr mereka sendiri tentang keesaan Tuhan (tauḥīd) ini. Keesaan

247 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Arasy Mizan, 2005), 32. 248 M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, keduanya menulis Artikel “Filsafat

Sains dalam Al-Qur’ān: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama,” Jurnal

LKQS (Tth) : 5-6.

Page 110: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

96

Tuhan bagi mereka berarti bahwa Tuhan haruslah simple (basīṭ), tidak boleh

tersusun dari apa pun kecuali zat (esensi)-Nya sendiri. Karena itu, Tuhan pada

diri-Nya tidak bisa dikatakan mempunyai sifat, kalau dengan sifat itu diartikan

sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada zat-Nya, karena kalau begitu akan

terkesan adanya tarkīb (komposisi) pada diri Tuhan. Ini tentunya juga merupakan

inti pandangan kaum rasionalis Muslim, yang disebut Mu’tazilah, yang memang

merupakan para teolog yang sangat dipengaruhi oleh ide-ide filosofis. Seiring

dengan semangat itu, Ibn Sina (w. 1037), misalnya juga mengatakan bahwa pada

diri Tuhan esensi dan eksistensi adalah sama dan satu, sedangkan pada wujud

yang selainnya, esensi dan eksistensi merupakan dua hal yang berbeda, adapun

alasan yang dikemukakannya adalah bahwa sementara segala sesuatu selain

Tuhan memiliki genusi dan spesies, Tuhan tidak memiliki genus dan spesies

sehingga pada diri-Nya esensi dan eksistensi bersatu.

Mullā Sadrā mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang

ontologi dan epistemologi yang memiliki karakter yang kuat pada tipe integrasi

meskipun secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan

sains dan agama. Konsep Tauḥīd Mullā Sadrā yang berimplikasi pada kesatuan

ciptaan, yakni keterhubungan (interrelatedness) bagian-bagian alam, dan

selanjutnya berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tauḥīd bukan saja

menjadi kerangka keimanan (frame of faith) yang menjadi dasar keyakinan umat

Islam kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran (frame of

thought) yang membangun integrasi kebenaran.249 Pandangan Tauḥīd ini

didasarkan atas beberapa fiman Allah dalam al-Qur’ān, yaitu

حيم محن الر وإهلكم إله واحد ال إله إال هو الر

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan

melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah :

163)

اموات واألرض يدعوكم ليغفر لكم من ذنوبكم ر السقالت رسلهم أيف اهلل شك فاط

ونا عام كان يعبد ويؤخ ى قالوا إن أنتم إال بش مثلنا تريدون أن تصد ركم إىل أجل مسم

.آباؤنا فأتونا بسلطان مبني

“Berkata Rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap

Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan

kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang

ditentukan?" mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami

juga. kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) Kami dari

249 Mustofa, “Tauḥid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim” dalam

Intelektualisme Islam, Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, editor Lutfi

Mustofa dan Helmi Syaifuddin (UIN malang: LKQS, 2007), 12.

Page 111: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

97

apa yang selalu disembah nenek moyang Kami, karena itu datangkanlah kepada

Kami, bukti yang nyata". (QS. Ibrāhīm : 10)

ا لذهب كل إله بام خلق ولعال بعضه ذ اهلل من ولد وما كان معه من إله إذا م عىل بعض ما اخت

كون 81سبحان اهلل عام يصفون ) هادة فتعاىل عام يش (81) ( عامل الغيب والش

“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada

Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing

Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari

tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa

yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang

nampak, Maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan”. (QS.

Al-Mu’minūn : 91-92)

Keesaan Tuhan menurut Mullā Sadrā disebut sebagai ajaran “waḥdah al-

wujūd”.250 Tentu saja konsep waḥdah al-wujūd Mullā Sadrā ini diadopsi dari

konsep sufi, khususnya Ibn ‘Arabi (w. 1240). Tetapi, di antara keduanya terdapat

beberapa perbedaan yang cukup mendasar. Berbeda dengan para teolog yang

mengartikan kata “Ilāh” dalam formula “Lā Ilāha Illallāh” dengan “Tuhan yang

wajib disembah”, para sufi mengartikan kata “Ilāh” sebagai “hakikat” (realitas)

sehingga bagi mereka “Lā Ilāha Illallāh” bisa berarti “tidak ada realitas yang

betul-betul sejati kecuali Allah”. Ibn Arabī mengatakan bahwa alam ini tidak lain

daripada manifestasi-manifestasi (tajalliyāt) Allah, atau lebih tepatnya

manifestasi sifat- sifat, nama-nama, dan afāl Allah. Pada dirinya alam tidak

memiliki realitas, Tuhanlah yang memberi realitas tersebut kepada alam.

Tuhanlah satu-satunya realitas sejati, karena itu mereka sebut Al-ḥaqq (Sang

Kebenaran, Sang Realitas Sejati).

Sejalan dengan itu, para filosof Muslim, khususr Ibn Sīnā juga

mengatakan bahwa pada dirinya alam adalah mumkin al-wujūd artinya wujud-

wujud yang mungkin dan dengan itu dia maksudkan sebagai wujud potens. Jadi,

dalam pandangan tokoh utama peripatetik Muslim ini pada dirinya alam hanyalah

sebuah potensi bukan aktualitas, dan karena itu belum lagi memiliki realitas

seperti yang kita lihat sekarang. Sebagai potensi, alam tidak bisa mewujudkan

dirinya sendiri oleh dirinya. Ia membutuhkan (karena itu Suhrawardī menyebut

alam al-faqīr) wujud lain yang senatiasa aktual, yaitu Tuhan yang mandiri untuk

keberadaannya. Jadi wujud alam bukanlah milik dirinya melainkan diberi Tuhan

atau dipinjamkan Tuhan untuk suatu saat nanti diambil kembali. Dapat

. إن واجب الوجود بسيط احلقيقة غاية البساطة . وكل بسيط احلق 250 يقة كذلك ، فهو كل األشياء

. ال يرج عنه شيئ من األشياء

فواجب الوجود كل األشياء

Wujud yang wajib ada bersifat murni, karena ada murni bersifat wajib ada,

yang mencakup segala sesuatu dan tidak keluar dari-Nya sesuatu apapun/ tidak bisa

dikaitkan dengan materi dan forma. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah Al-Mutā’aliyah fi’ al-

Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba’ah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāth, 1981), Jilid 2, 49.

Page 112: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

98

disimpulkan bahwa, baik bagi sufi maupun filosof pemilik sejati wujud adalah

Tuhan, Dia-lah realitas sejati (al-ḥaqq) menurut para sufi dan wajib wujud

menurut para filosof, yang wujud-Nya senantiasa aktual. Sedangkan alam,

apabila dilepaskan kaitannya dengan Tuhan hanya memiliki potensi murni yang

oleh Aristoteles disebut dengan materi awal.251

Penjelasan Mullā Sadrā tentang waḥdah al-wujūd ini, tampaknya telah ia

adopsi dari ajaran Suhrawardī Al-Maqtūl (w.1191) tentang cahaya. Menurutnya,

cahaya pada hakikatnya adalah satu, tetapi ia menjadi berbeda-beda tingkat dan

intensitasnya beda tingkat dan intensitasnya karena adanya barzakh-barzakh

(barāzikh) yang menyela di antaranya. Dengan demikian, semakin jauh sebuah

cahaya dari sumbernya, yaitu Allah, sang Nūr al-Anwār, maka akan semakin

redup sinarnya karena sebagian diserap oleh rangkaian barzakh yang amat

panjang, yang seperti kaca riben dapat merambatkan cahaya itu pada yang di

bawahnya, tetapi sebagian lagi teredam pada dirinya. Semakin jauh, semakin

suram dan ketika mencapai alam materi maka cahaya itu pun telah hampir

kehilangan sinarnya dan ke- gelapanlah yang kemudian mendominasinya.

Dengan mengganti “cahaya” dengan “wujūd”, Mullā Sadrā dapat dengan relatif

mudah mengatakan bahwa wujud seperti halnya “cahaya” dalam filsafat

Suhrawardi adalah satu dan sama dan hanya berbeda dalam derajat dan inten-

sitasnya oleh barzakh-barzakh pada hakikatnya adalah satu dan sama. Mereka

berbeda hanya dalam gradasi disebabkan oleh modus tindakan esensi yang

berbeda-beda. Wujūd tentu telah menimbulkan rangkaian wujud-wujud yang

berbeda derajatnya, dari Tuhan, Sang Wujūd Murni, yang tentu saja bersifat

immateriil (mujarad) melalui entitas-entitas immateriil lainnya yang lebih rendah

(para malaikat) ke benda-benda langit (heavenly bodies) yang merupakan

campuran antara benda-benda materi dan entitas-entitas immateriil (jiwa dan

akal-akal dalam pengertian Avicenna) sampai ke benda-benda materiil seperti

yang kita lihat di dunia fisik. Konsep kesatuan wujud telah mengintegrasikan

berbagai wujūd yang berbeda-beda ini ke dalam kesatuannya yang kukuh dan

memberi segala tingkat wujūd ini status ontologis mereka solid. Sehingga mereka

tidak bisa dipisahkan dengan kategori riil dan tidak riil nyata atau ilusi.252

Dengan demikian konsep “waḥdah al-wujūd” Mullā Sadrā dapat

dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi status ontologis objek-objek

penelitiannya. Menurutnya, segala wujud yang ada dengan segala bentuk dan

karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama yang membedakan satu

dengan yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd) yang disebabkan

oleh perbedaan dalam esensinya. Oleh karena itu, mereka pada dasarnya satu dan

sama, wujud apapun yang kita ketahui yang bersifat spiritual atau yang materil

tetntu mempunyai status ontologis yang sama-sama kuatnya dan sama-sama

riilnya. Segala tingkat wujud boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu, karena

251 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, 34-35. 252 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, 36.

Lihat Juga Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam

(Lentera Hati: Jakarta, 2006), 72-73.

Page 113: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

99

realitas ontologis mereka telah ditetapkan (fixed). Konsep tentang pemikiran

Mullā Sadrā akan merasa dapat dipahami secara jelas pada bab selanjutnya yaitu

di bab IV.

Page 114: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

100

BAB IV

HUBUNGAN ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM

DALAM PERSPEKTIF MULLĀ SADRĀ

Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik,

independensi, dialog atau integrasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

Banyak kalangan mengambil sikap aman pada posisi independensi. Mereka

berpendapat bahwa ilmu dan agama memang dua hal yang berbeda, baik

metodologi, ukuran kebenaran dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga

menempatkan keduanya pada posisi saling tidak mencampuri urusan satu dengan

yang lain menjadi pilihan yang terbaik. Pilihan dialog sekali-kali diambil

manakala ada persoalan yang membutuhkan jawaban segera atau sementara

ketika ilmu belum menemukan jawabannya. Di tengah kebimbangan untuk

memahami pada posisi mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, Mullā Sadrā

mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi dan

epistemologi, yang menunjukkan karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun

secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan antara ilmu

dan agama.253

A. Tinjauan Ontologi

Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membicarakan masalah

“Yang ada”, baik bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak

berbicara tetang hakikat “Yang ada” sehingga sering kali disamakan dengan

metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang realitas, kualitas,

kesempurnaan, yang ada, yang oleh Aristoteles disebut Filsafat Pertama.254

Konsep “Ada” dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustahil ada (mustaḥīl al-

Wujūd),255 mungkin ada (jawāz al-Wujūd)256 dan wajib ada (wājib al-Wujūd)257.

253 Secara umum terdapat tiga kajian penting filsafat, yaitu ontologi,

epistemologi dan axiologi. Ontologi membicarakan keadaan sesuatu (metafisik),

Epistemologi membicarakan sumber dan cara memperoleh sesuatu dan Axiologi

membicarakan kegunaan dari sesuatu. Dalam filsafat Barat ketiga sudut pandang ini

harus senantiasa dijadikan tolok ukur mengenai sesuatu. Misalnya A adalah titik-titik,

bersumber dari titik-titik, diperoleh dengan cara titik-titik dan gunanya untuk titik-titik.

Dengan cara ini keberadaan A akan diketahui secara utuh. Uraian yang relatif memadai

terhadap ketiga bidang tersebut dapat dilihat pada; Jujun S. Suriasumantri, Filsafat

Umum (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 30. 254 Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 19. 255 Yang dimaksudkan dengan mustahil ada adalah sesuatu yang keberadaannya

bersifat mustahil, yang tidak ada dalam realitas kongkret, misalnya kuda terbang. Tidak

ada realitas kongkret makhluk ini kecuali hanya dalam cerita fiksi atau khayalan semata. 256 Adapun “Mungkin ada” adalah sesuatu yang keberadaannya bersifat

mungkin, yaitu mungkin ada mungkin tidak ada. Keberadaan yang bersifat mungkin ini

sangat tergantung pada sesuatu yang menjadi penyebab keberadaannya. Misalnya ‘Kursi’

akan ada apabila terdapat kayu atau besi yang meminjam pandangan Aristoteles menjadi

sebab bahannya (kausa materialis), terdapat sebab bentuk (kausa formalis), terdapat

Page 115: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

101

Pandangan ontologi Mullā Sadrā dapat diketahui dari filsafatnya tentang wujud.

Dalam khasanah pemikiran Islam di antara tema-tema metafisika yang paling

banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujūd ini. Mullā Hadi

Sabzawari (w.1289) mengatakan bahwa sulitnya untuk memahami konsep ini

atau bahkan tak mungkin untuk didefinisikan karena terlalu jelasnya konsep ini.

Ia memahami Wujūd dalam dua pengertian, yaitu konsep Wujūd (mafhūm

Wujūd), yaitu sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis dan realitas

Wujūd (haqīqah Wujūd), yaitu sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami.258

Konsep Wujūd (mafhūm Wujūd) digambarkan seperti pemahaman atas

pernyataan “ada seekor kuda” atau “kuda itu ada”. Setiap orang dengan segera

akan memahami pernyataan tersebut tanpa melalui refleksi yang mendalam,

karena terjadi secara natural dan spontan. Seseorang tidak perlu belajar untuk

dapat memahami pernyataan tersebut.259 Akan tetapi tidaklah mudah untuk

memahami realitas Wujūd (haqīqah Wujūd) karena sedemikian jelasnya konsep

ini. Analoginya bahwa Wujūd sedemikian terangnya sehingga tak mungkin bisa

dilihat. Sabzawari mengatakan : its (Wujūd ’s) notion is one of the best-known

things, but its deepest reality is in the extremity of hiddenness.260

Konsep Mullā Sadrā terdiri atas tiga prinsip yang fundamental, yaitu:

Waḥdah al-Wujūd , Tashkīk al-Wujūd dan Aṣālah al-Wujūd .

1. Waḥdah al-Wujūd (Kesatuan Wujud)

Pandangan Waḥdah al-Wujūd ini diadopsi Mullā Sadrā dari konsep

mistisisme yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Waḥdah al-Wujūd adalah pilar

utama pemikiran Ibnu Arabi sehingga banyak pemikir selalu mengasosiasikan

Waḥdah al-Wujūd dengan tokoh ini.261 Berdasarkan penelitian WC. Chittick Ibnu

Arabi tidak pernah menamakan ajarannya Waḥdah al-Wujūd .262 Orang pertama

subjek manusia yang merealisasikan bahan dan bentuk itu menjadi sebuah kursi (kausa

efisien) serta ada tujuan mengapa kursi itu diciptakan yaitu sebagai tempat untuk duduk

(kausa finalis) 257 Sedangkan ‘wajib ada’ adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada

tidak kerena disebabkan oleh sesuatu yang lain, namun justru menjadi penyebab atas

keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa Prima

yang dalam bahasa agama disebut Tuhan. 258 Mehdi Mohaghegh dan Toshihiko Izutsu, The Metaphysics of Sabzavari

(Iran: University Press, 1983), 33. 259 Megawati Moris, Mullā Sadrā’s Doctrine of The Primary of Existence

(ISTAC: IIUM, 2003), 44. 260 Mehdi Mohaghegh dan Toshihiko Izutsu, The Metaphysics of Sabzavari, 33. 261 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2000), 183. 262 Dalam konsep hubungan antara Allah dan manusia menurut Ibnu Arabi

adalah hubungan antara khāliq dan makhlūq. Manusia sempurna tidak akan mengklaim

bahwa dirinya memiliki bau ketuhanan dan tidak akan mengatakan seperti “Aku adalah

al-Ḥaqq”, melainkan mengaku sebagai hamba sejati yang mendekatkan diri kepada

penciptanya dengan penuh kerendahan diri. Hamba adalah hamba, Tuhan adalah Tuhan.

Pemberian predikat kehambaan kepada hamba berarti pemberian predikat ketuhanan pada

Page 116: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

102

yang menggunakan istilah ini adalah Sadr al-Dīn al-Qunawi (w. 673/1274).

Hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai satu istilah teknis yang

mempunyai makna khusus. Tokoh yang paling besar peranannya dalam

mempopulerkan istilah Waḥdah al-Wujūd adalah Taqi al-Dīn Ibnu Taimiyyah (w.

728/1328) yang pandangannya mengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para

pengikutnya.263 Ibnu Arabi menyatakan bahwa seluruh produk pemikirannya

bukan berasal dari sekedar pengkajian dan analisis logika, melainkan dari

penyingkapan sufistik sebagai imbalan ketaatannya kepada Rasulullah. Ia

sebagaimana ahli kashf yang lain berpegang teguh pada ilham dan anugerah ilahi.

Ilmu diperoleh melalui ilham atau pemberian langsung dari Allah yang

memenuhi jiwa manusia berupa pikiran-pikiran yang masuk (al-khawātir).

Rahasia kegaiban Allah ini hanya diberikan kepada yang Allah kehendaki.

Khawātir pada awalnya muncul dalam hati ketika mengkonsentrasikan diri

kepada Allah dengan hati yang ikhlas, penuh keimanan dan penghambaan

kepada-Nya. Ini merupakan penyingkapan (kashf) pertama yang datang tiba-tiba

kepada manusia. Ibnu Arabi menyebutnya ilmu yang dilemparkan (‘ilm adh-

dharbah) atau ilmu yang dihunjamkan (‘ilm ar-Ramyah).264

Tuhan. Menurutnya kehinaan akan memberikan ke-khushu’an. Ke-khusu’an memberikan

ilmu dan memancar sinar kebenaran. Lihat A.J. Arberry, Revelation and Reason in Islam

(London: George Allen & Unwin Ltd, 1956), 106. 263 Ibnu Arabi berpendapat bahwa rasio memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan

bawah dan kekuatan atas. Kekuatan bawah berhubungan dengan panca indera dan

pikiran. Kekuatan ini tidak dapat mencapai zat dan sifat Allah. Adapun kekuatan atas

merupakan akal murni, pemberian dari al-ḥaqq karena ma’rifat kepada-Nya.

Penyingkapan (kashf) menurut Ibnu Arabi adalah satu-satunya cara untuk mencapai

ma’rifat hakiki. Tasawuf Ibnu Arabi berpijak pada pola filosofis, termasuk di dalamnya

cita rasa spiritual (dzauq) dan penyingkapan (Kashf). Tasawufnya pada awalnya berporos

pada penggunaan daya nalar (tafkir) dan argumentasi (istidlāl) yang kemudian disertai

dengan penyingkapan spiritual (kashf) dan penyaksian (mushāhadah). Lihat Ibrahim

Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 142. 264 Tujuan sufisme secara umum adalah penyatuan dengan Tuhan yang

merupakan hasil dari cinta yang ditanam dalam diri manusia. Penyatuan itu dipahami

dengan istilah-istilah penyucian (purification) hati secara bertahap dan pencapaian

berbagai kebijaksanaan spiritual yang akhirnya mengantarkan pada keadaan pelenyapan

(fana) dan keabadian (baqa’) dalam Tuhan. Demikian pula dalam membaca al-Qur’ān

tidak sekedar menggunakan suara dan kata-kata, tetapi dengan menggunakan hati

sehingga al-Ḥaqq turun ke dalam hatinya dan mengajaknya berbicara ketika ia merenung

dalam kesendiriannya. “Hatiku telah memberitakan kepadaku tentang Tuhan tanpa

perantara. Lihat Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat, 155.

Ibnu Arabi dalam bukunya Risālah al-Ahādiyah (Risalah tentang kesatuan)

yang dikutip oleh Seyyed Hosein Nasr, mengatakan : “Dia adalah dia, bersama-Nya tak

ada sesudah dan sebelum, tak ada di atas dan di bawah, tidak ada jauh atau dekat, tidak

ada kesatuan dan keterpecahan, tidak ada bagaimana, mengapa dan dimana, tidak ada

waktu atau tempat. Dia adalah dia sekarang dan dia dahulu. Ia adalah yang satu tanpa

kesatuan, tunggal tanpa ketunggalan. Ia tidak terdiri dari nama dan yang dinamai, kerena

Page 117: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

103

Dalam pemaknaan yang varian, Waḥdah al-Wujūd menjadi bagian

integral dari diskursus aneka wacana intelektual Islam, yaitu ilmu kalam,

Tasawuf, filsafat Peripatetik, Illuminasionisme dan terutama Gnostik (‘Irfāni).

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti eratnya kaitan Tuhan dengan

alam seperti di gambarkan al-Qur’ān bahwa manusia sebagai bagian kecil

(minor) alam berasal dan akan kembali kepada Tuhan. Karena itu, membicarakan

Waḥdah al-Wujūd menurut Mullā Sadrā haruslah terlebih dahulu menguraikan

beberapa pandangan sebelumnya, sehingga pandangannya dapat dirumuskan

secara proporsional.265

Secara umum dalam pembahasan tentang Waḥdah al-Wujūd terdapat

empat tipologi hubungan antara Wujūd dan maūjud dilihat dalam ketunggalan

dan kejamakannya, yaitu 1). Ketunggalan Wujūd dan maujūd, 2). Kejamakan

Wujūd dan maujūd, 3). Ketunggalan Wujūd dan kejamakan maujūd, 4).

Kejamakan Wujūd dan ketunggalan maujūd. Di antara keempat tipologi ini,

Mullā Sadrā dapat dikategorikan berada pada tipe pertama dan ketiga. Tipe

pertama banyak dianut kaum sufi yang beranggapan bahwa pada dasarnya antara

Wujūd dan maujūd merupakan satu kesatuan. Adapaun tipe ketiga

menggambarkan bahwa Wujūd adalah satu dan dari yang satu itu berkembanglah

beraneka maujūd. Tipe yang ketiga ini dapat dilihat dalam konsep Mullā Sadrā266

tentang tingkatan Wujūd yang uraiannya sebagai berikut :

a) Wujūd Murni, yaitu Wujūd yang tidak tergantung kepada-Nya selain

diri-Nya dan tidak terbatasi oleh apapun. Wujūd ini tidak memiliki nama,

sifat dan tidak dapat ditangkap oleh indera maupun rasio, karena setiap

yang memiliki nama dan sifat tentu merupakan satu konsep yang terdapat

dalam pikiran dan pemahaman. Demikian pula segala sesuatu yang

ditangkap oleh indera dan rasio tentu terkait dengan sesuatu yang

tergantung dengan sesuatu yang lain. Ia tidak dapat dideterminasi oleh

apapun. Wujūd murni keberadaannya mendahuli segala sesuatu, ia ada

pada diri-Nya sendiri, tanpa perubahan dan pergerakan. Ia merupakan

Wujūd mutlak dan mutlak Wujūd -Nya. Dia adalah yang pertama, bukan

berarti bahwa ada yang kedua setelah-Nya, karena kesatuan Tuhan

bukanlah bersifat bilangan karena bilangan merupakan karakteristik alam

materi.

b) Wujūd yang keberadaannya tergantung kepada selain dirinya, ia dibatasi

oleh sifat-sifat yang dilekatkan pada dirinya. Contohnya adalah akal,

jiwa, benda langit, unsur pembentuk manusia, hewan, tumbuhan, batu-

batuan dan lain-lain.

nama-Nya adalah dia dan yang dinamai adalah dia ...” Lihat Sayyed Hossein Nashr, Tiga

Madzhab Utama Filsafat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 183. 265 Sayyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought (London: Goerge Allen &

Unwin, 1981), 174-175. 266 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah

(Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāth, 1981), 327-329.

Page 118: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

104

c) Wujūd Absolut dalam penyebarannya, yaitu Wujūd yang menyebar ke

seluruh hal yang bersifat ‘mungkin’ dan keseluruhan kuiditas (māhiyah).

Mullā Sadrā melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, ia memiliki

intensitas yang membentang dari wujud yang wajib (واجب الوجود) yang sifat

wujudnya adalah niscaya (necessary), ke maujūd yang bersifat mungkin( ممكن

Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan .(الوجود

sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah

matahari itu sendiri. Wujud yang wajib berbeda dengan wujud yang mungkin,

namun dalam masa yang sama entitas-entitas itu tiada lain adalah realitas wujud

yang wajib juga.

Hal ini dapat dijelaskan pula dengan adanya dua jenis keniscayaan

esensial. Pertama, keniscayaan esensial abadi. Kedua, keniscayaan esensial

sementara. Keniscayaan esensial mempertautkan eksistensi dan esensi.

Perbedaannya, dalam keniscayaan esensial abadi subjek tidak memerlukan

asumsi atau syarat. Adapun dalam keniscayaan esensial sementara seubjek

memerlukan asumsi dan syarat. Contohnya : esensi manusia adalah hewan

rasional, maknanya bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan

keberadaan esensi kehewanan dan rasionalitasnya. Rasionalitas menjadi prasyarat

bagi eksistensi manusia. Dalam keniscayaan esensial abadi dapat dicontohkan de-

ngan pernyataan Allah Yang Maha Agung. Ke-Agung-an bukanlah merupakan

prasyarat untuk eksistensi Allah, namun keduanya merupakan kesatuan Wujud

yang bersifat abadi. Inilah salah satu sumbangan Mullā Sadrā yang membedakan

antara “niscaya ada dengan selainnya” (necessary by something else) dengan

“niscaya ada dengan sendirinya” (necessary by itself).267

Wujūdiyyah menerangkan dua perkara yang cukup fundamental.

Pertama, disebut dengan istilah maujūd murakkab (composite existence), yaitu

keberadaan entitas yang bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu

yang termasuk dalam kategori ini wujudnya pasti akan terbatas. Kedua, maujūd

267 Dalam konsep kausalitasnya, Mullā Sadrā berpandangan bahwa kesebaban

('illiyyah) dan keakibatan (ma’luliyyah) sepenuhnva bertumpu pada eksistensi.

Keberadaan maujud identik dengan ketergantungan, keterhubungan, keterkaitan dan

kebutuhan dengan sebab. Istilah yang ia gunakan adalah ‘keserbamungkinan yang

membutuhkan’(al-imkān al-faqrī).Teori waḥdah al-wujūd menekankan pada kesatuan

wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujūd. Tuhan berwujud,

manusia berwujud, alam semesta berwujud. Apakah wujud setiap satu dari mereka

sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru subsist by other. Lalu kalau

pilihannya adalah yang kedua, memunculkan pertanyaan: apa beda antara wujud Tuhan

dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin bisa dibayangkan bahwa wujud itu

satu, sementara di dunia realitas ditemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri?

Bukankah keberadaan entitas si Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si Amir?

Apalagi dibandingkan dengan entitas hewan, nabati, dan sebagainya. Lantas di mana

letak ke- tunggalannya? Untuk menjawab persoalan itu terdapat pembahasan tentang

kemajemukan dan ketunggalan. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah Al-Mutā’aliyah fi’ al-

Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba’ah, Jilid 3, 135.

Page 119: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

105

basīt (the simple existentence), yaitu sesuatu yang jenis wujudnya tak pernah

bergantung pada unsur apapun. Karenanya ia tidak pernah terbatas. Wujud basit

ini hanya milik Allah SWT saja yang wujudnya merupakan maujūd-Nya itu

sendiri.268 Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera

lahiriah. Ia tak bisa diserupakan dengan apapun, tak dapat dilihat oleh mata, tak

dapat diliputi oleh pikiran, tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk

apapun karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran, maka

berarti Wujūd-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil

meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas

adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terba-

tas. Oleh karena itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil.

Dalam hal ini, Mullā Sadrā mengatakan: “Para filsuf muta’allihin mengenal

Tuhan dan bersaksi atas keberadaan-Nya tapi tak mengenal hakikat-Nya, karena

kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud

kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan

intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak

mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup me-

nyaksikan hakikat Tuhan karena ter-hijab-i oleh intensitas pancaran dan cahaya-

Nya. Kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna

“meliputi” dan "mencakupi” realitas wujud-Nya”. 269

Simplifikasi jenis Wujūd Allah ini kemudian melahirkan sebuah formula

yang dalam filsafat Sadrā disebut dengan istilah basitul haqīqah kullu shaiʽ

(Wujūd yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala eksistensi yang

berada di tingkat bawahnya). Karenanya, mengikut formula ini, wujud manusia

dan segala sesuatu yang ada yang murakkab adalah bagian inheren dari wujud

Allah yang basīt. Prinsip waḥdah al-Wujūd dalam filsafat Sadrā ini yang melihat

kesatuan wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu",

mulai dari wājib al-Wujūd sampai ke mumkin al-Wujūd (contingent beings)

yang beraneka ragam dan bervariasi. Prinsip ini pada akhirnya melahirkan

prinsip lain yang dikenal dengan istilah tashkīk al-Wujūd atau graditas wujud.

Wujūd Tuhan, karena tak memiliki kuiditas, tidak termasuk dalam aksiden atau

substansi yang keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan

dalam Wujūd-Wujūd abstrak (non materi) tak termasuk dalam kategori bilangan,

karena Wujūd mereka bersifat substansial. Wujūd Tuhan tak terbatas, karena itu

tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujūd Tuhan yang

sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya Wujūd

selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa Wujūd

Tuhan terbatas. 270

268 Megawati Moris, Mullā Sadrā’s Doctrine of The Primary of Existence

(ISTAC: IIUM, 2003), 62. 269 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,

115. 270 Mullā Sadrā, Al-Masā’il al-Qudsiyyah; Mutashābihāt al-Qur’ān (Resāle:

Masyhad University Press, tth), 5.

Page 120: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

106

Konsep Waḥdah al-Wujūd menampakkan sosoknya yang utuh melalui

sistimatisasi Ibn ‘Arabi, sehingga istilah Waḥdah al-Wujūd dijadikan sebagai

sebuah teori wujud yang identik dengan tokoh ini.271 Pada intinya Waḥdah al-

Wujūd meruapakan pandangan bahwa wujud yang ada adalah satu yaitu Tuhan,

sedangkan alam semesta hanyalah bayangan (Mir’ah, manifestation) atau

gambaran (Ṣurah)272 dari Tuhan (There is only one Being and all existence is

nothing, but the manifestation).273 Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi mengatakan :

“Wujud yang hakiki hanyalah Allah, sedangkan Wujūd makhluk hanyalah

bayangan-bayangan dari yang mempunyai bayangan dan gambaran dalam kaca

dari yang mengaca. Maka Khalq adalah bayangan, sedangkan al-Ḥaq adalah

Yanga Maha Suci dan makhluk adalah tiruan. Ketidak hakikatan alam dipandang

sebagai bayangan dan yang benar-benar wujud hanyalah Tuhan. Ibn ‘Arabi

dengan singkatnya, ia mengatakan :

ام هو اهلل ه خيال يف خيال والوجود احلق إن فالوجود كل

Segala Wujūd adalah ilusi, karena wujud yang sebenarnya hanyalah

Allah.274

Kehakikatan Tuhan dan ketidak hakikatan (ilusi) alam menyebabkan

para ahli menyebut pemikiran Ibn ‘Arabi dengan minisme eksistensi (Waḥdah al-

Wujūd ),275 monisme absolut,276 yang dalam istilah modern disebut panteisme,

monisme atau monisme panteistik. Konsep Waḥdah al-Wujūd di atas,

bagaimanapun terdapat keterkaitan yang signifikan, namun berbeda dengan ajuan

Mullā Sadrā. Untuk itu harus dibuat klasifikasi sebagai dasar pijakan untuk

menentukan corak Waḥdah al-Wujūd Mullā Sadrā. Paling tidak ada empat

kriteria yang dijadikan sebagai titik tolak, yaitu :

1. kesatuan dalam esensi dan eksistensi

2. keanekaragaman esensi dan eksistensi

3. kesatuan esensi dan keanekaragaman eksistensi, dan

4. keanekaragaman esensi dan kesatuan eksistensi277

271 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi; Waḥdah al-wujūd dalam Perdebatan

(Jakarta: Paramadina), 35. 272 Sesuai dengan maksud Hadith Qudsi yang berbunyi : “Sesungguhnya Allah

menciptakan Adam sesuai dengan Ṣurah-Nya”. Ibn ‘Arabi, Fushūsh al-Hikam wa al-

Ta’liqat ‘Alaih, Jilid 2, 29 dan 90. 273 William C. Chittick, Ibn al-‘Abi’s Metaphisics of Imagination; The Sufi

Parth of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 1989), 79. 274 Ibn ‘Arabi, Fushūsh, Jilid 1, 104. 275 Mulyadhi Kartanegara, Trilogi Metafisis; Tuhan, Alam, Manusia (Bandung:

Mizan, 2000), 48. 276 A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995),

29. 277 Sayyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought, 175.

Page 121: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

107

Dari empat kriteria di atas, Mullā Sadrā mengambil kemungkinan ketiga,

yaitu kesatuan esensi dalam keanekaragaman eksistensi. Segala Wujūd pada

prinsipnya sama, namun ia tampil dalam intensitas yang berbeda, sesuai dengan

konsep cahaya Suhrawardi. Mullā Sadrā menyempurnakan konsep cahaya

dengan merubahnya menjadi Wujūd, yaitu terdapat tingkatan wujud dari

sempurna tidak sempurna, awal-akhir, tersembunyi-nyata dan sebagainya. Mullā

Sadrā mengatakan :

ق أنه و يكن بني الوجود إختالف بذواتا إال بام ذكرناه من الكامل وما جيب أن يق إن مل

، ل كن يلزمها بحسب كل مرتب من املرار والظهور والفاء م والتأخ تب والنقص والتقد

179ت خاصة إمكانيةأوصاف معينة ونعو

Jelaslah bahwa kendati semua wujud sama dan hanya dibedakan oleh

tingkatan kesempurnaan, kekurangan, yang mendahului, yang mengakhiri, nyata

dan tersembunyi, namun setiap tingkat wujud memiliki karakter eksklusif yang

membedakannya dari yang lain.

Berbeda dengan teologi yang memandang Tuhan dalam arti hakikat dan

selain Tuhan tidak hakikat; berbeda dengan tasawuf (al-bustami dan al-Halaj)

yang menetapkan hubungan manusia dengan Tuhan secara “Komplemen”;

berbeda dengan sufi yang menetapkan hubungan dalam arti mutlak dan tidak

mutlak, berbeda dengan hubungan filsafat peripatetik yang melihat hubungan

sebagai limpahan dan sumber limpahan, berbeda dengan Suhrawardi yang

melihat keterkaitan dalam bentuk cahaya, dan berbeda dengan Ibn ‘Arabi yang

melihat hubungan secara eksistensial, sehingga disebut monisme eksistensial

(Waḥdah al-Wujūd),279 menurut Mullā Sadrā, hubungan Tuhan dengan alam

bersifat “Hirarkhis” (monisme hirarkis), menurut pandangan ini, terdapat adanya

hubungan dalam bentuk kesatuan wujud (Waḥdah al-Wujūd) seperti dipahami

dari ungkapan berikut ini :280

ة غاية البساطة . وكل بسيط احلقيقة كذلك ، فهو كل إن واجب الوجود بسيط احلقيق

. رج عنه شيئ من األشياء ال ي

. فواجب الوجود كل األشياء

األشياء

Wujūd yang wajib ada bersifat murni, karena ada murni bersifat wajib

ada, yang mencakup segala sesuatu dan tidak keluar dari-Nya sesuatu apapun/

tidak bisa dikaitkan dengan materi dan forma.

278 Sayyed Hossein Nashr, Sadr al-Dīn Shirazi & Hikmah Muta’āliyah,

diterjemahkan oleh Baharuddin Ahmad (Kuala Lumpur: Dewasa Bahasa dan Pustaka

Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992), 98-99. 279 Mulyadhi Kartanegara, Trilogi Metafisis; Tuhan, Alam, Manusia, 48. 280 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,

Jilid 2, 49.

Page 122: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

108

Melalui kutipan ini Mullā Sadrā mengajukan teori baru tentang Tuhan

sebagai “Yang hakekat-Nya sederhana meliputi segala sesuatu Wujūd” (al-Basīṭ

Ḥaqiqah Kull al-Ashyā’) dan menganggapnya sebagai orang pertama yang

memformulasikannya di dunia Islam. Basīṭ yang dimaksudkannya ialah seperti

makna mutlak yang diajukan kaum sufi, sebagai sesuatu yang tidak menrima

sifat-sifat afirmatif dan negatif. Tuhan hanya memiliki sifat positif dan hanya

non-wujudlah sebagai negasi-Nya.281 Berbeda dengan Waḥdah al-Wujūd Ibn

‘Arabi, masing-masing (tingkatan) Wujūd memiliki karakter eksklusif yang

membedakannya satu sama lain Inilah kata kunci, sehingga Waḥdah al-Wujūd

Mullā Sadrā berbeda dengan konsep Waḥdah al-Wujūd lainnya. Karena itu,

seperti juga Ibn Sina, Mullā Sadrā mengadakan pemisahan kajian Ketuhanan,

sebagai wujud hakiki, dan di luar katuhanan (alam semesta) sebagai Wujūd yang

mungkin dan tidak mungkin.282

Mullā Sadrā mengajukan pembagian yang varian. Menurutnya, Wujūd

dapat dibagi kepada dua kelompok, yaitu (1) Wujūd tidak terikat (self subsistent

being, al-Wujūd al-nafs) dan (2) Wujūd terikat (connective being, al-Wujūd al-

irtibāṭī). Wujūd pertama ialah Wujūd yang ada dengan sendirinya, tanpa terkait

dengar faktor di luar diri-Nya. Sebagai hakikat mumi, hakikat-Nya tidak terkait

dengan esensi atau eksistensi, karena Dia adalah Wujūd yang terlepas dari semua

gambaran. Sedangkan Wujūd kedua sebaliknya, keberadaannya sangat terkait

dengan faktor di luarnya. Wujūd ini terbagi kepada (a) jawhar; yaitu sesuatu yang

menjadi kualitas bagi yang lain dan (b) ʽaradh, yaitu sesuatu yang menjadi

kualitas bagi yang lain. Sama secara prinsip dengan klasifikasi Aristoteles, Mullā

Sadrā juga sepakat bahwa realitas selain Tuhan dapat dibagi kepada mineral,

tumbuhan, hewan dan manusia. Namun Mullā Sadrā tidak sepakat dengan prinsip

klasifikasi absolut, karena menurutnya, klasifikasi di atas bersifat dinamis dan

progressif, sesuai dengan konsep tashkīk, seperti akan diuraikan berikutnya.

Klasifikasi ini identik dengan ajuan Ibn Sina yang membagi Wujūd kepada wajib

(necessary), mungkin (possible) dan mumtaniʽ (imposible). Baik Wujūd yang

wajib maupun yang mungkin masing-masing terbagi kepada: oleh dirinya (bi

nafsihī) dan oleh di luar dirinya (bi ghairihī). Wajib Wujūd karena diri-Nya sama

dengan wujud Irtibāṭī al-Nafsī dalam teori Mullā Sadrā. Sedangkan wajib ada

karena diluar dirinya sama dengan Irtibāṭī bil Ghairihi.

2. Tashkīk al-Wujūd (Gradasi Wujud)

Tashkīk mengandung arti menjadi “lebih atau kurang” atau menjadi

“bertambah atau berkurang”. Dari pengertian ini, keadaan berbagai hal yang ada

mengandung ciri-ciri lebih dulu atau lebih kemudian, lebih sempurna atau tidak

lebih sempurna, lebih kuat atau lebih lemah. Prinsip ini menyatakan bahwa

meskipun Wujūd merupakan suatu realitas tunggal yang pada dasarnya adalah

sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada adalah

281 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,

Jilid 1, 110-115. 282 Ibn Sīna, al-Syifa’ al-Ilahiyyah (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah lī Syu’un al-

Mathabi’ al-‘Amiriyyah, 1388/1960), 37.

Page 123: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

109

penampakan-penampakan diri dari realitas tunggal tersebut, namun ia juga

menjadi prinsip pembeda.283

Ada dua proposisi yang mendukung prinsip tashkīk al-Wujūd. Pertama,

bahwa Wujūd merupakan sifat umum yang secara equivokal284 menyifati seluruh

yang ada285 (prinsip persamaan). Kedua, bahwa secara univokal realitas hanya

menjadi Wujūd semata (prinsip pembedaan), karakter Wujūd yang demikianlah

yang memungkinkan terjadinya gerakan evolusioner. Mullā Sadrā berpendapat

bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi

sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Sadrā tidak menyimpulkan

sebagai waḥdat al-Wujūd, tetapi mengajukan tashkīk al-Wujūd sebagai solusinya,

yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadrā,

dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak

terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak

sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya.

Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mullā Sadrā yang disebut “Ḥikmah al-

Muta’āliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa

besar antara teologi, filsafat dan mistik. 286

Dalam perspektif al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah, Wujūd merupakan suatu

realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi.

Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa

Wujūd-Wujūd di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak

memiliki unsur kesamaan yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan

kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang

kesatuan Wujūd yang individual (waḥdah al-shakhsh al-Wujūd ). Mereka

menolak secara mutlak ide kejamakan Wujūd. Gradasi Wujūd dalam filsafat

Mullā Sadrā ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan Wujūd dan kejamakan

Wujūd. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh

satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak

dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi

Wujūd.

283 Alparslan Acikgenc, Being and Existence in Sadrā and Heidegger (Kuala

Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993), 130. 284 Istilah “univokal” dan “equivokal” adalah istilah yang digunakan dalam

tradisi klasik logika Aristoteles. Menurut Aristoteles yang universal dapat dibedakan atas

dua tipe, yaitu yang dapat diterapkan secara univokal dan yang dapat diterapkan kepada

seluruh manusia, sedangkan contoh equivokal adalah kata “jiwa” yang dapat diterapkan

pada jiwa-jiwa yang ada di bumi, langit maupun manusia. Lihat Fazlur Rahmn, Filsafat

Mullā Sadrā penerj: Munir A. Muin (Bandung: Pustaka, 2000), 45. 285 Lihat Mullā Sadrā, Ḥikmah al-Muta’āliyah, Jilid 1, 35

شكيل ال محل التواطؤ .أن مفهوم الوجود مشرتك حممول عىل ما حتته محل الت

286 Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī al-Asfār al-ʽAqliyyah al-Arbaʽah,

Jilid 3, 433.

Page 124: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

110

3. Aṣālat al-Wujūd

Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang

sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi

sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang

secara resmi di sebut dengan Aṣālat al-Wujūd. Pendiri mazhab filsafat ini adalah

Shadr al-Dien Syirazi (Mullā Sadrā) yang menyebut metodologi pemikirannya

metafilsafat (al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah)287

Maksud (Aṣālat al-Wujūd ) dalam filsafat Mullā Sadrā adalah bahwa

setiap wujud kontingen (mumkin al-Wujūd) terjadi atas dua modus (pola

perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-

benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas

(esensi) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.288 Para filosof

muslim sebelum Mullā Sadrā telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina,

eksistensi mendahului esensi. Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-

satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-

sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini,

keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut

Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi. Eksistensi adalah realitas yang

sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi tidak

lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya289

Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari esistensi, sebab

eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia yang merupakan realitas

sesungguhnya adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-

bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan

benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau

kebenderangannya.

Mullā Sadrā pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi

kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi

tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tentang

waḥdat al-wujūd , ketunggalan wujūd. Bagi Sadrā benda-benda disekitar kita,

semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama

seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut

tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap

esensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi

dengan eksistensi. Bagi Sadrā, eksistensi adalah realitas objektif di luar pikiran,

sedang esensi adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada

dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa

287 Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam

Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), 51. 288 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Mullā Sadrā

(Bandung: Mizan, 2002), 80. 289 Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam (Bandung: Risalah, 1986), 22-25.

Page 125: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

111

dianggap sebagai cerminan hakikat Wujūd, karena transformasinya ke dalam

konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan290

Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya

terhadap wujud, Mullā Sadrā telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek

kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif

secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara

pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti

halnya Mullā Sadrā, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan

kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan

kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya

kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah kebenaran yang

bersifat intelektual dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang

bersifat kognitif. Pengalaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak

bertentangan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran

yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran

formal.291

Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan

atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-

pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual

dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka

kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai

pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya

jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua

itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya

manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah

terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.

B. Tinjauan Epistemologi Setiap pandangan epistemologi pasti didasari oleh suatu pemahaman

ontologi tertentu. Seseorang yang menyakini bahwa hakekat segala sesuatu

adalah materi (materialisme), maka bangunan epistemologinya pun akan

bercorak materialisme. Paham ini akan mengarahkan setiap penyelidikannya

pada apa yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Paham ini

dapat dilihat misalnya pada empirisisme, rasionalisme dan positivisme. Demikian

pula bagi seseorang yang secara ontologis menyakini bahwa kenyataan hakiki

adalah non-materi, mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada non-

materi, paham ini dapat dilihat misalnya pada intuisionisme. Contoh yang

sederhana dapat dikemukakan bahwa apabila seseorang ilmuan tidak

mempercayai adanya jin atau malaikat, maka ia tidak akan mungkin

mengembangkan penyelidikan atau menciptaka suatu disiplin ilmu untuk

290 Fazlur Rahman, Filsafat Sadra, terj. Munir Muin (Bandung: Pustaka, 2000),

3. 291 Syaifan Nur, Filsafat…. 181-182.

Page 126: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

112

mengkaji jin dan malaikat. Namun kalau ia mempercayainya, tidak mustahil ia

akan berusaha sebagai disiplin ilmu.292

Inilah misalnya yang terjadi pada pemikir Barat seperti Laplace, Darwin,

Freud, Durkheim, Marx dan para pemikir naturalis atau materialis lain. Oleh

karena mereka tidak mempercayai status ontologis entitas metafisik, maka

mereka membatasi kajian keilmuannya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris

saja. Bahkan bagi empirisme logis, metafisika, etika dan estetika tidak dapat

dikategorikan sebagai ilmu karena tidak menjelaskan apa-apa kecuali hanya

pandangan subyektif tentang hal-hal transenden, hal-hal yang baik dah hal-hal

yang indah. Tidak ada keberadaan yang dapat diterima secara objektif kecuali

hanya ungkapan-ungkapan yang muncul dari perasaan yang bersifat psikologis.

Berbeda halnya dengan pemikir yang mempercayai keberadaan entitas

yang metafisik, mereka pun akan membangun kerangka epistemologinya dengan

memasukkan unsur-unsur metodis yang akan mengungkap realitas yang non

fisik-empiris, sebagaimana dilakukan oleh para pemikir Islam seperti Al-Farābi,

Ibnu Sīna, Ibu Rushdy, Mullā Sadrā dan lain-lain. Mullā Sadrā sendiri

memahami bahwa semua Wujūd, dari Wujūd Tuhan hingga Wujūd benda-benda

materi, pada hakikatnya adalah satu. Mereka hanya berbeda dalam gradasinya,

maka keseluruhan Wujūd, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, seara

integrated bahan kajian dalam bangunan keilmuan Islam. Pandangan

epistemologi Mullā Sadrā melampaui pandangan empirisisme, rasionalisme

maupun kritisisme yang lahir dan berkembang di Barat. Empirisisme

baranggapan bahwa kebenaran yang dapat dipercaya adalah yang diperoleh

melalui pencerapan indera, rasionalisme melalui rasio dan kritisisme melalui

indera dan rasio sekaligus. Namun menurut Immanuel Kant sebagai penggagas

kritisisme, kedua saran ini hanya mampu memahami kebenara pada tingkat

fenomena saja, dan tidak mampu menembus pemahaman yang noumena yang

menurutnya berada pada ruang ‘iman’.

Mullā Sadrā juga melampaui pandangan para pemikir Islam lainnnya

karena keberhasilannya memadukan empat aliran besar pemikir Islam, yaitu

Filsafat Peripatetik (Mashā’ī) Islam dari Ibnu Sīna, iluminasionis (teosofi

Ishrāqī) dari Syuhrawardi, ajaran tasawuf dari Ibnu ‘Arabi, dan teologi Islam

(kālam). Keempat aliran tersebut tidak begitu saja digabungkan secara eklektik,

namun ia juga mengajukan kritik atas aliran-aliran tersebut serta

mengembangkan menjadi filsafat utuh yang dikenal sebagai Al-Ḥikmah al-

Muta’āliyah. Dikatakan melampaui pemkiran epistemologi Barat karena melalui

Al-Ḥikmah al-Muta’āliyah ini manusia dapat menembus pemahaman noumena,

yang oleh Immanuel Kant dianggap mustahil. Konsep mengetahui yang dipahami

oleh Sadrā adalah hadirnya Wujūd (yang dalam konteks ini dapat diidentikan

dengan noumena) ke dalam diri manusia. Kerja pengetahuan bukan hanya kerja

pikir dan indera saja tetapi juga kerja intuisi. Intuisi bukanlah sesuatu yang diuar

rasio tetapi merupakan rasio pada tingkatan yang lebih tinggi yang dengannya

292 Mulyadi Kartenegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung dan UIN Jakarta Press: Arasy Mizan, 2005), 209.

Page 127: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

113

manusia dapat mengalami pengalaman mistis. Melalui Sadrā, sebagaimana

diyakini oleh Ibnu Arabi dan Suhrawardi, bahwa seorang. Mistikus yang tidak

memiiki kemampuan berpikir konseptual adalah mistikus yang tidak sempurna.

Demikian pula sebaliknya seorang filsuf yang mengalami Realitas secara

langsung juga bukan filsuf yang sempurna.293

Agar lebih utuh memahami epistemologi Mullā Sadrā maka perlu

dijelaskan tiga hal pokok yang menjadi kerangka bagi bangun epistemologinya,

yaitu: 1) ilmu huḍūrī, 2) konsep tentang persepsi, dan 3) kesatuan antara yang

mengetahui dan yang diketahui.

1. Ilmu huḍūrī

Mullā Sadrā sebagaimana para pemikir Islam yang lain membagi

pengetaahuan menjadi dua. Pertama,pengetahuan berdasarkan korespondensi

atau representasi, disebut juga pengetahuan capaian (al-‘ilm al-huṣuli atau al-

ma’rifah al-huṣuliyah atau acquired knowledge); dan kedua pengetahuan

presensial (al-‘ilm al-huḍūrī atau al-ma’rifah al-huḍūrīyah atau knowledge by

presence).294 Epistemologi Barat modern hanya mengenal pengetahuan huṣuli,

yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan akal, sebagai kerja yang

murni dilakukan manusia. Mereka tidak mengakui pengetahuan presensial

(huḍūrī) sebagai pengetahuan yang secara intuitif didapatkan langsung dari

pemilik kebenaran. Pemahaman Sadrā tentang ilmu huḍūrī ini didasarkan atas

dua ayat dalam Al-Quran, yaitu :

Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)

seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:

"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-

orang yang benar. (Q.S Al Baqarah: 31).

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang

mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia menge-tahui apa yang di daratan

dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia

mengetahuinya (pula), dan ti-dak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi,

293 Toshihiko Izutsu, The Concept abd Reality of Existence (Tokyo: The Keo

Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 62. 294 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Ḥikmah Mullā Sadrā”,

dalam Basis, No 03-04 Tahun ke-55,Maret-April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 8.

Page 128: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

114

dan tidak se-suatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab

yang nyata (Lauh Al-Mahfudz). (Q.S. Al An’ām : 59).

Pengetahuan huṣuli diperoleh melalui konsep-konsep dalam pikiran

tentang ‘yang diketahui’, sedangkan pengetahuan huḍūrī mengimplikasikan

kehadiran ‘realitas yang diketahui’ dalam akal/intelek secara langsung tanpa

perantara. Pengetahuan ini bersifat intuitif, iluminatif dan melampaui alam rasio,

tetapi bukan berarti tanpa bobot intelektual. Mullā Sadrā mengistilahkan dengan

signifikansi wahyu sebagai sumber asasi bagi pengetahuan.295 Pengetahuan

huḍūrī selalu dikualifikasi oleh ungkapan persis pada saat pengalaman langsung

akan penginderaan dan perasaan kita. Dapat diungkapkan dengaan bahasa lain

“realitas nyeri pada saat yang sama adalah pengetahuan saya tentangnya.”

Pengetahuan dalam hal ini tidak beroperasi pada dataran konseptualisasi,

melainkan tatanan ada (Wujūd ).296

Mullā Sadrā menyangkal teori-teori yang menganggap pengetahuan

sebagai proses abstraksi, maupun sebagai hubungan relasional antara subyek

yang mengetahui dan objek yang diketahui. Menurutnya, realitas pengetahuan

sepenunya merupakan kehadiran objek sebagaimana ia diketahui oleh subjek.

Pengetahuan huṣuli atau capaian mengasumsikan bahwa yang masuk ke dalam

diri subjek adalah objek dalam aspek quiditas (whatness)nya atau esensinya

semata, sedangkan pengetahuan presensial atau huḍūrī mengasumsikan bahwa

yang masuk ke dalam diri subjek adalah objek dalam aspek eksistensi

(Wujūd/ada)-nya. Teori abstaksi adalah teori yag dikembangkan oleh Ibnu Sina.

Teori ini mengatakan bahwa setiap persepsi, baik yang bersifat inderawi,

imajinatif, estimatif maupun aqliyah, semuanya terjadi karena proses abstraksi

dari bentuk-bentuk materi. Proses persepsi adalah bertingkat-tingkat. Pertama,

semua organ indera eksternal melakukan abstraksi terhadap bentuk-bentuk

materi, selanjutnya, kemampuan imajinasi melakukan abstraksi tahap kedua

sehingga bentuk-bentuk tersebut memasuki tingkat tanpa materi dan ketiadaan

materi. Setelah itu kemampuan estimasi melakukan abstraksi ketiga, yaitu

memberikan makna bentuk tersebut yang tidak lagi bersifat inderawi tetapi sudah

menjadi pemahaman. Pemahaman pada tahap ini masih merupakan makna

partikular dan bukan universal. Makna inilah yang selanjutnya diabstraksikan

lagi oleh kekuatan akal menjadi bentuk universal yang akan tetap ada di dalam

kehadiran akal terebut.297

Pada awalnya Mullā Sadrā adalah pendukung teori ini. Namun,

kemudian ia mengkritiknya dan mengungkapkan pandangannya sendiri. Menurut

Sadrā , persepsi tentang dunia fisik eksternal, misalnya, penglihatan tidak muncul

melalui pemancaran cahaya visual dari mata, tidak pula disebabkan oleh kesan

295 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,

2003), 913. 296 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Ḥikmah Mullā Sadrā”,

dalam Basis, No 03-04 Tahun ke-55,Maret-April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 9. 297 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran

Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 79.

Page 129: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

115

dari bayang-bayang benda yang tampak pada membran kristalin mata. Menurut

Sadrā apa yang ada dalam objek fisik bukanlah jenis benda yang dapat

dihubungkan secara hakiki dengan persepsi. Ia tidak dapat hadir langsung dalam

persepsi dan berada dalam kesadaran. Dalam pandangan iluminatifnya, Sadrā

berpendapat bahawa perbuatan melihat (bersifat kejiwaan) tidak dapat

beradadalam posisi yang sama dengan objek (bersifat material). Penglihatan

terjadi setelah terpenuhinya kondisi tertentu dengan ijin Allah, muncul dari jiwa

bentuk-bentuk yang bergelantungan (arketipe) yang mengada melewati jiwa,

hadir dalam jiwa, dan muncul di dunia jiwa, tidak dalam dunia material.

Kebanyakan pandangan mengatakan bahwa persepsi terkait dengan ‘bentuk’ dari

benda-benda material. Sedangkan Sadrā memahaminya sebagai relasi iluminatif

antara jiwa dan bentuk yang dipersepsi. Konsep inilah yang kemudian disebut

dengan kesatuan antara yang mengetahui dan diketahui.298

Menurut Sadrā pengetauan adalah wujūd, yakni status wujūd dan status

pengetahuan adalah sama. Agar pengetahuan menjadi mungkin, wujūd objek

material eksternal harus mengalamit ransformasi, suatu perubahan aktual. Dalam

persepsi yang terjadi bukan abstraksi bentuk dalam materi, Namun transformasi

objek persepsi yang hadir dalam jiwa yang mengetahui. Oleh karena apa yang

diketahui bukan abstraksi atau ciptaan pikiran, maka sesuatu yang diketahui

merupakan sesuatu yang riil dalam totalitasnya ,tanpa pengurangan atau

tambahan. 299 Mullā Sadrā sebagai penduduk kesatuan wujūd (Waḥdah al-

Wujūd) yang memahami wujūd sebagai realitas tunggal dengan tingkatan-

tingkatan yang berbeda (Gradasi Wujūd, Tashkīk al-Wujūd) dan setiap tingkatan

merupakan sebuah manifestasi yang disebut haḍrah (hadirat, kehadiran) sebuah

realitas ilahi, maka ia berpandangan bahwa memahami sesuatu berarti hadirnya

eksistensi sesuatu itu ke dalam hadirat jiwa. Namun, bagaimana halnya dengan

adanya berbagai eksistensi yang terpisah satu dengan yang lain. Mullā Sadrā

mengatakan bahwa pada tingkat pengetahuan huḍūrī, perbedaan diantara

eksistensi-eksistensi akan hilang dan semuanya menyatu dalam cahaya

pengetahuan dan semuanya muncul dari ketiadaan kepada kehadiran. Dalam

pengetahuan huṣuli hubungan antara subjek dengan objek jelas terpisah sehingga

ada konsep dualisme di dalamnya. Sementara pada pengetahuan huḍūrī dualisme

itu hilang. Yang ada adalah kesatuan antar subjek penahu dan objek yang

diketahui.

Ciri utama pengetahuan huḍūrī adalah sulit dideskripsikan karena

sepenuhnya bersifat personal. Pengetahuan huḍūrī adalah pengetahuan yang

tidak mengenal benar dan salah, akan tetapi ketika pengetahuan itu

dikomunikasikan maka akan menjadi pengetahuan yang koresponden yang akan

298 Mullā Sadrā, Kearifan Puncak, diterjemahkan dari Hikmah Al-Arsyiah,

penerjemah: Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),

184. 299 Mullā Sadrā, Manifestasi- Manifestasi Ilahi: Sebuah Risalah Teosofi Islam,

terjemahkan dari Al-Mazhāhir Al- Ilāhiyyah fī Asrār Al-Ulūm Al-Kamāliyyah,

penerjemah: Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), 181.

Page 130: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

116

tunduk pada evaluasi benar dan salah. Sebagaimana planet dan benda-benda

langit yang tidak dapat salah, sedangkan teori-teori astronomi mungkin dapat

salah. Ada kebenaran di dalam halnya dan ada kebenaran interpretatif. Hairi

Yazdi300 memberikan penjelasan tentang pengetahuan huḍūrī ini dengan

membedakan antara pengalaman mistik (level pertama) yang tidak

terdeskripsikan dengan bahasa mistik (level kedua) dan meta-mistisisme filosofis

(level ketiga). Pengalaman mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat

terdeskripsikan, tidak dapat dievaluasi benar dan salahnya karena sifatnya yang

personal. Sedang pada level bahasa mistik, para mistikus mempresentasikan atau

mengkonseptualisasikan pengalamannya, oleh karenanya tidak bebas dari

kategori benar dan salah. ʽIrfan yang dikembangkan Ibnu Arabi berada pada

level ini. Adapun meta-mistisisme filosofis merupakan penyelidikan (ilmiah)

tentang ʽirfan. Contoh pemikir pada level ini adalah al-Ghazāli. Sedang

iluminisme Suhrawardi dan Mullā Sadrā dapat dikatakan menempati level kedua

dan ketiga sekaligus. Pada level ketiga juga merupakan pengetahuan

representasional yang tidak bebas dari kesalahan.

Untuk mendapatkan pengalaman mistik ini, Mullā Sadrā menganggap

bahwa pengetahuan diri sebagai asal muasal segala kebijaksanaan, sebagaimana

sabda Nabi : “Orang yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya”. Tabir

yang menutup pengenalan diri adalah dosa-dosa yang ditimbulkan oleh

kecenderungan nafsu badani dan duniawi yang tidak terkendali, sehingga satu-

satunya jalan untuk mendapatkan pengetahuan sejati adalah dengan penyucian

jiwa dari segala dosa dan ketergantungan pada sesuatu yang bersifat duniawi.301

2. Persepsi

Dalam terminologi Barat istilah persepsi hanya merujuk pada sensasi

fisik saja, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pencerapan indera. Akan

tetapi bagi Sadrā, sensasi bukan hanya meliputi fisik namun juga non fisik.

Persepsi adalah sebutan bagi perbuatan yang dilakukan oleh jiwa untuk

mengetahui apapun objek yang diketahuinya, baik fisik maupun non fisik. Ia

membagi persepsi meliputi empat tingkat,302 yaitu persepsi indera (al-ḥiss),

imajinal (al-khayāl), intuisi indera (wahm), inteleksi (ta’aqqul). Namun karena

persepsi imajinal dan intuisi indera merupakan perantara antara persepsi indera

dengan inteleksi, Sadrā meringkasnya menjadi tiga, yaitu persepsi indera,

imajinal dan inteleksi.

300 Mahdi Haidir Yazid, The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy:

Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 159. 301 Haidar Bagir, “Pengalaman Mistik dalam Filsafat Ḥikmah Mullā Sadrā”,

dalam Basis, No 03-04 Tahun ke-55,Maret-April 2006 (Yogyakarta: Basis, 2006), 11. 302 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran

Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 22-24.

Page 131: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

117

a. Persepsi indera (al-ḥiss)

Persepsi indera dapat dipahami di dalam tiga kondisi yang ditentukan

oleh sifat-sifatnya. Pertama, materi harus hadir pada instrumen persepsi, yang

mempersepsi menemukan bentuk tersebut di dalam Wujūd-Wujūd material.

Kehadiran materi mutlak diperlukan agar jiwa dapat memahami bentuk

materinya. Kedua, bentuk materi tersebut terselubung oleh kualitas-kualitas dan

sifat-sifat yang bisa dipahami, ketiga, sesuatu yang dipersepsi secara inderawi

bersifat partikular dan tidak universal. Muthahhari303 mengistilahkannya dengan

epistemologi dangkal (sath-in).

Indera ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain adalah : pertama,

indera hanya mengetahui objek secara partikular, tidak holistik. Ketika melihat

orang yang sedang berbicara, mata hanya menangkap sisi visual berupa bentuk,

warna dan gerak objek dilihat, sedang telinga hanya mendengar suaranya.

Keduanya bekerja secara parsial, artinya ketika telinga ditutup rapat-rapat, mata

masih bisa menangkap warna, bentuk dan gerak tersebut. Demikian pula

meskipun mata terpejam telinga tetap bisa mendengar suara orang yang berbicara

tersebut, artinya kedua indera ini berjalan sendiri-sendiri dan ada hubungan

secara langsung dan tidak dapat menghubungkan atas apa yang dilihat dan apa

yang didengar.

Kedua, indera dalam dirinya sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk

memahami sesuatu. Hal ini terjadi pada kasua orang yang melamun, mata

melihat suatu objek tetapi apa yang dilihat tidak memberikan informasi apapun.

Demikian pula pada orang yang sedang konsentrasi melihat acara televisi seakan-

akan tidak mendengar kegaduhan yang terjadi di belakangnya padahal suatu itu

tidak mungkin tidak ia dengar. Semua suara masuk ke telinga, namun telinga,

dalam dirinya sendiri, tidak bisa memilahkan apa yang seharusnya didengar dan

apa yang seharusnya diabaikan.

Ketiga, indera mencerap sesuatu di balik apa yang dicerap. Dalam kasus

perampokan misalnya, indera mampu mengamati pelaku, korban dan tempat

kejadian, namun tidak mungkin melakukan refleksi untuk memahami apa hakikat

dari kejahatan. Indera juga mencerap objek apa adanya, misalnya ketika melihat

batang kayu tersebut akan terlihat bengkok, padahal dalam kenyataan nya tentu

tidak.

Keempat, indera hanya mengetahui apa yang diamati saat ini dan di sini.

Ia tidak dapat mengasosiasikan apa yang dilihat saat ini sama dengan apa yang

dilihat pada saat yang lalu atau pada saat kemudian. Ketika seseorang bertemu

dengan teman lamanya yang sudah tidak bertemu selama sepuluh tahu, yang

secara fisik sudah mengalami perubahan, manakalah ia masih mengenal bahwa

orang itu adalah teman lamanya adalah bukan kerja indera, karena indera hanya

menangkap apa yang saat itu diamati.

Kelima, indera manusia dalam banyak hal memiliki kemampuan lebih

rendah dibanding dengan hewan. Mata manusia tidak mampu menandingi mata

303 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Penghantar Pemikiran Sadrā

(Bandung: Mizan, 2002), 130.

Page 132: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

118

elang yang dapat melihat objek dalam jarak yang sangat jauh. Daya cium

manusia tidak mampu menandingi daya cium anjing, demikian pula indera lahir

yang lain.304

Atas dasar ini semua, dapat dikatakan bahwa mengandalkan indera

sebagai satu-satunya kebenaran, sebagaimana diyakini kaum empiris, dapat

menghasilkan kesimpulan yang salah. Namun demikian, indera bukanlah sesuatu

yang tidak penting. Indera adalah alat yang pertama untuk mendapatkan

informasi. Tanpa idera tidak akan mungkin memulai kerjanya. Bagaimana

mungkin seseorang memiliki konsep tentang warna kalau sejak lahir sudah buta.

Keindahan musik tentu tidak dapat dipahami oleh orang yang tuli. Akan tetapi

seluruh kelemahan indera sebagaimana disampaikan di atas akan dilengkapi oleh

akal sehingga manusia dapat mengatasi kelemahan inderanya. Bahkan melalui

alat yang diciptakannya dapat melebihi kemampuan yang dimiliki binatang.

Dalam pembahasan tentang indera, Mullā Sadrā tidak berhenti pada

pengertian indera dalam arti lahir. Sebagaimana Ibnu Sina, Sadrā memahami

indera meliputi dua macam, yaitu indera lahir dan indera batin. Indera lahir

adalah kelima pacaindera yang secara lahiriah mencerap objek-objek material

yang berfungsi manakala manusia dalam kondisi sadar, tidak sakit, tidak tidur

dan tidak mati. Adapun indera batin adalah tidak pernah berhenti beraktivitas

meskipun secara fisik manusia dalam keadaan tidur, sakit maupun mati. Indera

lahir merupakan akar persepsi eksternal, namun, dalam aspek teologis, dapat juga

menjadi penutup (hijab) bagi ketajaman indera batin.305

Pandangan Sadrā ini sangat jelas menunjukkan kekuatan sisi spiritualitas

(rohani) manusia di samping sisi materialitas (jasmani) nya. Dan itulah yang

menjadi kelebihan manusia dibanding makhluk yang lain. Kekuatan indera

(dalam arti yang fisik) sangat dibatasi oleh ruang, waktu dan kondisi. Ketika

mata sedang tidak sehat, maka ia tidak akan mampu memahami objek dengan

baik. Berbeda dengan indera (dalam arti kejiwaan) yang mampu menembus

ruang dan waktu, bahkan ketika secara fisik indera tersebut sedang mengalami

sakit, inilah yang dimaksud sebagai indera batin. Fenomena demikian banyak

dialami oleh kaum sufi yang setelah melakukan penyucian jiwa, maka jiwanya

menjadi jernih sehingga mampu menangkap kebenaran yang tersembunyi, yang

tidak ditangkap oleh orang lain.

Indera lahir dikatakan dapat menutup ketajaman indera batin, karena

keterpukauan indera lahir terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, menjadikan

indera batinnya tumpul sehingga tidak mampu menangkap pesa Iilahi yang lebih

bersifat batiniah. Terlebih lagi apabila indera batin selalu digunakan untuk

mencerap hal-hal yang dilarang oleh agama, maka menjadikan indera batinnya

tertutup untuk menangkap pancaran sinar ilahi.

304 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Penghantar Pemikiran Sadrā, 131. 305 Mullā Sadrā, Kearifan Puncak, diterjemahkan dari Hikmah Al-Arsyiah,

penerjemah: Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),

183.

Page 133: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

119

b. Imajinal (al-khayāl)

Nasr dan Leaman306 menerjemahkan al-khayāl dengan imajinal bukan

imajiner karena istilah yang terakhir ini bermakna peyoratif. Pada tingkat ini

sebagaimana persepsi indera yang mempersepsi hal-hal yang bersifat material,

namun perbedaannya pada tingkatan ini tidak mensyaratkan kehadiran objek bagi

indera.

Mullā Sadrā menambahkan pandangan Suhrawardi bahwa tingkat

imajinal ini tidak hanya berhubungan denga realitas mikrokosmik manusia

(khayāl al-muttaṣil), namun juga realitas makrokosmik (khayāl al-munfaṣil).

Realitas yang terakhir ini memiliki cakupan yang lebih luas daripada dunia fisik.

Realitas ini mempunyai realitas yang tidak terkait dengan materi, paling tidak

bukan materi dari dunia fisik. Istilah yang digunakan adalah al-mutsul al-

mu’alaqah (bentuk-bentuk yang menggantung). Bentuk-bentuk dalam realitas ini

memiliki warna, bentuk, bau sebagaiana bentuk-bentuk di dunia ini, namun

berada di atas dunia fisik, suatu dunia yang dapat dialami di kehidupan ini dan

dunia yang dimasuki oleh manusia pada saat kematian. Ini adalah dunia tempat

manusia mempuyai raga-raga halus (subtil) atau imajinal (al-jism al-khayāli).

Mullā Sadrā mendefinisikan persepsi imajinal sebagai sebuah kekuatan

batin yang bukan akal, yang bukan indera eksternal. Ia memiliki alam lain yang

bukan alam akal yang hakiki, juga bukan alam materi dari sifat dan gerak (yang

berlaku pada tubuh fisik). Persepsi imajinal adalah kekuatan jiwa yang

menggabungkan antara benda-benda inderawi yang memiliki materi, ukuran dan

bentuk dengan objek-objek yang tidak mempunyai ukuran atau bentuk. Persepsi

imajinal merupakan imajinal kognitif atau pemahaman akal dengan ukuran,

bentuk dan eksistensi yang material. Mullā Sadrā kemudian memberikan

beberapa keterangan tentang imaterialitas eksistensi sebagai berikut :307

1) Bentuk-bentuk yang disaksikan seseorang dalam mimpi dan segala

sesuatu yang disaksikan secara mental atau jika seseorang

membayangkan sesuatu, maka semua bentuk tersebut adalah sesuatu

yang eksistensial. Namun demikian, bentuk-bentuk yang mewujud

tersebut muasalnya adalah jiwa, ruang yang di dalamnya bentuk-bentuk

tersebut ada dengan keberadaa yang berbeda dengan bentuk-bentuk fisik.

2) Jika bentuk-bentuk imajinal berada di dalam bagian otak atau organ

indera tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut akan mengambil tempat

tertentu yang tidak bisa lagi ditempati oleh bentuk yang lain. Namun

keyataannya, seseorang dapat mengingat sekian banyak pekerjaan,

namun kota, nomor telefon dan lain-lain, padahal bentuk-bentuk dari

objek tersebut tetap tinggal di dalam memori dan imajinasi orang

tersebut. Oleh karena itu, bentuk-bentuk imajinal itu tidak menempati

306 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,

2003), 924. 307 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran

Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 76-77.

Page 134: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

120

ruang di dalam pneuma otak, tetapi bentuk-bentuk tersebut mewujud

karena jiwa di dalam kekuatan imajinalnya pasti bukan bersifat material.

3) Jika kemampuan imajinal adalah tubuh material, maka kemampuan

imajinal tersebut pasti memiliki eksistensi materi pula. Dengan demikian,

jika seseorang membayangkan suatu eksistensi dan imajinasi

teraktualisasi di dalam eksistensi itu, maka imajinasi ini akan

memerlukan integrasi kedua eksistensi dalam materi yang sama, suatu

keadaan yag tidak mungkin.

4) Jika kemampuan imajinal adalah tubuh material, maka kemampuan ini

akan memiliki sifat seperti bagian-bagian, tubuh material, yakni lapuk

dan usang.

Kemampuan imajinal adalah suatu subtansi yang terpisah dan

independen dari materi tubuh fisik, yang berdiri sendiri melalui esensi sumberya,

yakni akal. Hubungan dengan otak bukanlah berarti bahwa hubungan fakultas

imajinal inheren di dalamnya, namun ia lahir dari jiwa. Ia tidak memerlukan

materi untuk menggantungkan maujudnya. Ia hanya memerlukan subjek aktif

yang membentuknya, seperti halnya bentuk-bentuk artistik yang mewujud dalam

jiwa seniman atau karya cipta yang mewujud dalam jiwa penciptanya. 308 Jiwa

tidak memiliki pengetahuan atau ide bawaan ketika ia diciptakan sebagaiamana

dipahami oleh Plato. Pengetahuan bukanlah pengumpulan ulang ide-ide yang

dianggap sudah ada sebelumnya, tetapi jiwa justru menciptakan pengetahuan.309

c. Inteleksi (ta’aqqul)

Inteleksi merupakan tingkat persepsi yang tertinggi, berkaitan dengan

kuiditas dan bukan yang lain. Objek pemahaman inteleksi terlepas dari Wujūd

material, kualitas maupun sifatnya, karena inteleksi itu hanya memahami objek-

objek universal. Pembedaan ketiga tingkat tersebut didasarkan atas derajat

keterlepasannya (tajarud) dengan materi. Persepsi indera adalah persepsi yang

paling rendah dan inteleksi merupakan persepsi yang paling tinggi. Istilah

tajarud ini sebenarnya dinisbatkan kepada Allah sebagai Wujūd Wajib yang tidak

memiliki keterikatan dengan apapun kecuali diri-Nya sendiri. Dalam pengertian

persepsi, inteleksi merupakan kemampuan manusia untuk memahami hakikat

segala sesuatu tanpa adanya kekaburan yang disebabkan oleh imajinasi dan

persepsi indera.

Tujuan ajaran Mullā Sadrā tentang intelek ini adalah untuk menunjukkan

bahwa pikiran manusia pada dasarnya menyatu dengan Akal Aktif atau Intelek

Universal. Pegetahuan baginya merupakan gerak substansif untuk mencapai

tingkat Wujūd yang baru yaitu bersatu dengan Aktif tersebut. Kata kunci yang

308 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran

Mullā Sadrā (Makasar: Safinah, 2003), 78. 309 Mullā Sadrā, Manifestasi- Manifestasi Ilahi: Sebuah Risalah Teosofi Islam,

terjemahkan dari Al-Mazhāhir Al- Ilāhiyyah fī Asrār Al-Ulūm Al-Kamāliyyah,

penerjemah: Irwan Kurniawan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), 236.

Page 135: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

121

berkaitan dengan ajaran intelek ini adalah “Keserdehanaan”, artinya Wujūd pada

tingkat yang lebih rendah merupakan bagian yang terpisah dan saling eksklusif,

sedangkan Wujūd pada tingkat yang lebih tinggi saling inklusif dan menyatu.310

Ketiga persepsi ini, secara epistemologis, sangat terkait dengan

pandangan ontologisnya, yang bisa digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4 :

Tinjauan Epistemologis

Mullā Sadrā membuat hubungan yang paralel antara ontologi dan

epistemologi, sehingga antara keduanya memiliki kesejajaran dan merupakan

satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dunia Inteleksi hanya dapat dipahami

menggunakan persepsi Inteleksi, dunia imajinal dengan persepsi imajinal dan

dunia indera dengan persepsi indera. Persepsi indera adalah tingkatan persepsi

yang terendah karena untuk mengamati realitas Wujūd yang terendah pula, yaitu

dunia indera. Demikian pula persepsi imajinal dan inteleksi yang digunakan

untuk memahami dunia yang lebih tinggi, yaitu dunia imajinal dan inteleksi.

Banyak kalangan memandang bahwa pandangan Plato tentang ide dan

Plotinos tentang emanasi, yang oleh Suhrawardi dikembangkan dalam konsep

ilumianasi, banyak mempengaruhi pemikiran Mullā Sadrā ini. Sebagaimana

Plato yang memahami dunia material sebagai dunia yang tidak nyata, konsep

gradasi Wujūd-nya Sadrā juga menempatkan dunia fisik (material) sebagai

Wujūd yang paling rendah, Wujūd yang paling tinggi bersifat metafisik dan

puncaknya pada Wujūd Tuhan. Untuk menggambarkan mengapa dunia indera

(fisik) lebih rendah dari dunia imajinal (dunia ide) dapat dicontohkan dengan

beradaan komputer. Komputer (dalam arti fisik) tidak akan terwujūd sebelum ada

orang yang memikirkannya, membuat konsep, teori dan rumus-rumus yang

memungkinkan komputer tersebut ada. Konsep, teori dan rumus-rumus adalah

sesuatu yag berada dalam dunia ide. Hal ini terjadi pula pada semua benda-benda

fisik yang sebelumnya ada ‘ide’ terlebih dahulu sebelum mewujūd dalam realitas

fisikya. Demikian pula keberadaan alam semesta didahului oleh ide Tuhan

tentangnya. Artiya ide mendahului keberadaan fisik atau dengan kata lain dunia

fisik merupakan imitasi dari dunia ide.

310 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Sadrā (Albany: State University of

New York Press, 1975), 232.

PERSEPSI IMAJINAL

PERSEPSI INDERA

DUNIA INTELEKSI PERSEPSI INTELEKSI

DUNIA IMAJINAL

DUNIA INDERA

Page 136: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

122

Bagan di atas dapat dikatakan sebagai integrasi onto-epistemologi ilmu

dan agama. Yang terjadi bukan hanya integrasi antara ilmu dan agama, namun

juga integrasi antara epistemologi dan ontologi, Mullā Sadrā menyatukan

ontologi dan epistemologi sekaligus. Untuk memperkuat kenyakinan adanya

Tuhan ia menggunakan metode mistik dan metode ini pula yang digunakan untuk

membuka tabir kebenaran ilmu. Pandangan ini didasarkan atas keyakinannya

bahwa setiap eksistensi (Wujūd) tidak dicampur dengan ketiadaan (adam), bagi-

Nya tidak ada yang ghaib. Zat-Nya adalah pengetahuan(ʽilm), yang mengetahui

(ʽalim) dan yang diketahui (maʽlūm). Wujūd dan cahaya (nūr) adalah satu.311

Beberapa ayat yang mendukung pandangan ini adalah :

“ Allah adalah cahaya langit dan bumi” (Q.S. An-Nūr : 35)

“ Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui ( apa yang

kalian Tampakkan dan rahasiakan) (Q.S. al Mulk : 14)

“ Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu walaupun sebesar atom

dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih

besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata [ al-lauh al-

mahfuzh] (Q.S. Yunūs : 61).

Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu merupakan Realitas yang

Tuggal. Tetapi pada saat Pengetahuan-Nya tersebut tersebut Tunggal, ia juga

merupakan pengetahuan tentang tiap hari. Pengetahuan Uniter-Nya adalah

Realitas Pengetahuan yang tidak tercampur dengan kebodohan, sehingga Ia

adalah pengetahuan segala sesuatu dari semua segi. Dan hal yang sama dapat

dikatakan tentang seluruh sifat-sifat KesempurnaaNya (yakni, Kehidupan,

Kekuatan, Kehendak dan lain-lain yang juga Tunggal dengan Zat dan Wujūd -

Nya.312 Pandangan ini didasarkan pada Al-Quran yang berbunyi :

“ Ia tidak meninggalkan apapun yang kecil atau besar, namun ia

mencatat semuanya” (Q.S. Al-Kahfi : 49).

311 Mullā Sadrā, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Qur’ān,

penerjemah: Latimah-Parvin Peerwani ( London: ICAS, 2004), 69. 312 Mullā Sadrā, Kearifan Puncak, 127.

Page 137: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

123

Menurut Mullā Sadrā pengetahuan-Nya sesungguhnya kembali kepada

wahyu-Nya sebagaimana Wujūd-Nya Yang Maha Suci seperti itu pula

pengetahuan-Nya. Pengetahuan-Nya bukanlah sesuatu yang terpisah dengan

Wujūd -Nya, seperti halnya sifat-sifat-Nya adalah identik dengan zat-Nya. ‘Ilm

seringkali dijadikan atribut bagi sesuatu yang diketahui esensinya (ma’lūm bi

adz-dhāt) yang merupakan bentuk yang hadir pada yang mengenal (mudrik).

Pada prinsipnya antara ilm, ma’lum bil adz-dhāt dan mudrik merupakan satu

kesatuan. Mullā Sadrā 313 mengutip pandangan Ibnu Sina dalam at-Ta’liqāt yang

mengatakan: “ Bila engkau berkata: Aku memikirkan sesuatu, ini berarti

pengaruh darinya ada di dalam esensimu. Dengan demikian pengaruh ini

memiliki eksistensi, dan esensimu memiliki eksistensi pengaruh itu”.

3. Kesatuan yang mengetahui dan yang diketahui

Mullā Sadrā314 mengatakan bahwa yang ditangkap oleh indera bukanlah

sifat benda materialnya (sensible), namun kualitas khusus yang bersifat kejiwaan

dalam benda tersebut. Indera sesungguhnya adalah kekuatan jiwa, dengan

demikian antara yang mempersepsi dan yang dipersepsi berada dalam satu modus

keberadaan. Konsep inilah yang dikenal sebagai ‘kesatuan antara yang

mengetahui dan yang diketahui’. Doktrin metafisika Sadrā lainnya yang terkait

dengan pengetahuan adalah kesatuan intelek dengan intelijible (iṭṭihād al āqil wa

al-ma’qūl). Pada saaat tindakan inteleksi berlangsung maka terjadilah kesatuan

antara bentuk intelijible (maʽqūl), pemilik intelek (‘āqil) dan intelek (aql).

Kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui pada akhirnya

mempunya implikasi kesatuan pengetahuan dengan Wujūd . Dengan demikian

pandangan ini mengandung konsep bahwa ada hubungan yang disignifikan

antara memahami pengetahuan dengan tingkat kesempurnaan manusia.315

Ketika pengetahuan manusia masih rendah. Namun apabila pengetahuan

manusia ada pada tingkat yang tinggi terutama pada pengetahuan ketuhanan,

dikarenakan objek yang diketahui menyatu dengan subjek yang megetahui, maka

eksistensi manusia menjadi tinggi karena semakin dekat dengan eksistensi

Tuhan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW bahwa: Allah akan

mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.

Eksistensi manusia akan menjadi ketinggian keimanan agamanya dan ketinggian

ilmunya. Dalam kaitannya dengan hal-hal yang kontingen (mungkin) Mullā

Sadrā berpandangan bahwa pengetahuan-Nya terhadap hal-hal yang kontingen

(mungkin) bukanlah atas bentuk-bentuk yang tertulis dalam Hakikat-Nya, tidak

pula atas hal-hal yang kontingen sama dengan esensi hal-hal kontingen itu. Ini

tidak mungkin karena pengetahuan-Nya kekal, sedangkan hal-hal yang kontingen

muncul dalam waktu. Sadrā menolak pandangan Asy’ariyah yang mengatakan

bahwa pengetahuan-Nya kekal, namun hanya berelasi dengan hal-hal kontingen

pada saat hal kontingen itu bermula dalam waktu. Ia juga menolak pandangan

313 Mullā Sadrā, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Qur’ān, 71. 314 Mulla Sadra, Kearifan Puncak, 182. 315 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 922.

Page 138: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

124

Plato bahwa pengetahuan-Nya mengandung esensi-esensi dan bentuk-bentuk

yang ada secara terpisah dari materi. Ia juga tidak bisa menerima pandangan

Prophyry yang mengatakan tentang “ penyatuan”Nya dengan intelligible.

Penyatukan yag dipahami sebagai penggabungan dua entitas yang pada mulanya

terpisah. Ia juga menolak dengan keras pandangan sementara pemikir bahwa

bentuk-bentuk yang material sebagai suatu bentuk pengetahuan yang hadir pada-

Nya. Dalam pandangan Sadrā Wujūd -Wujūd material itu terhalang dari dan oleh

dirinya sendiri. Kehadirannya sama dengan ketidakhadirannya, koherensinya

sama dengan keterpisahannya, ketunggalannya sama dengan kejamakannya.

Bagaimana mungkin sesuatu yang kontingen hadir pada Yang Wajibul Wujūd .316

Mulla Sadrā 317 membagi ilmu menjadi tiga tingkatan, yaitu al‘ināyah,

al-qalam dan al-lau, qadha dan qadar. Pertama, al-‘ināyah, yakni ilmu tentang

segala sesuatu yang merupakan Zat-Nya. Inilah sederhana (al-‘aql al-basīṭ) atau

pengetahuan sederhana (‘ilm basīṭ) yang meliputi segala sesuatu. Esensi segala

sesuatu muncul dari-Nya, bukan berada di dalam-Nya.

Dan di sisi-Nya ada kunci-kunci kegaiban yang tidak ada yang

mengetahui kecuali Dia (Q.S.6: 59).

Kedua, al-qalam dan al-lauḥ. Al-qalam adalah maujud, bersifat akal

yang menengahi anatara Allah dan ciptaan-Nya. Di dalamnya terdapat semua

bentuk atau forma segala sesuatu yang bersifat konseptual. Al-Qalam bersifat

banyak, tidak sederhana. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān:

Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami Khasanahkan

(Q.S.15: 21).

Dan kepunyaan Allah pembendaharaan langit dan bumi (Q.S.63: 7).

Qalam merupakan akal-akal aktif yang bertugas membentuk hakikat-

hakikat dalam lembaran (lauḥ) jiwa dan lembaran hati. Lauḥ adalah subtansi

bersifat jiwa dan malaikat ruhaniyah yang menerima ilmu-ilmu dari qalam dan

mendengar kalam Allah darinya. Dengan Qalam dilimpahkan formal-formal

pada jiwa-jiwa universal dan jiwa-jiwa langit, sebagaimana firman Allah Bacalah

dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan (manusia) dengan

perantara qalam (Q.S. 96: 3-4).

Ketiga, qadha dan qadar. Qadha adalah eksistensi semua maujud dengan

hakikat universalnya dan bentuk konseptualnya di alam akal (al’ālam al-‘aqlī).

316 Mulla Sadra, Kearifan Puncak, 139. 317 Mulla Sadra, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Quran,

penerjemah: Latimah-Parvin Peerwani (London: ICAS, 2004), 73.

Page 139: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

125

Adapun qadar terdiri atas dua macam, yaitu qadar ‘ilmī dan qadar khāriji. Qadar

‘ilmī adalah teguhnya formal semua maujud di alam jiwa (al-‘ālam an-nafsī)

dalam bentuk persial sesuai dengan apa yang ada di dalam materi eksternalnya

yang bersadar pada sebab-sebab (‘illat) nya. Adapun qadar khārijī (eksternal)

merupakan eksistensi maujud di dalam materi-materi eksternalnya yang terpisah

satu per satu, terikat dengan waktu dan zamanya. Dan Kami tidak

menurunkannya melainkan dengan ukuran (qadar) yang tertentu. (Q.S.15: 21).

Qadar ‘ilmī ditunjukkan dengan firman-nya . sesungguhnya Kami menciptakan

segala sesuatu menurut ukuran tertetu (Q.S.54: 49), dan Allah menghapuskan

dan menetapkan apa saja yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Umm Al-

Khiṭāb (Q.S.13: 39).

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana konsep integrasi

epistemologis antara ilmu dan agama. Integrasi epistemologis ilmu dan agama,

dalam perspektif filsafat Mulla Sadrā, sesungguhnya merupakan penyatuan

seluruh sumber ilmu yang diperoleh, baik melalui sarana yang sudah melekat

dalam diri manusia, meliputi indera, akal dan intuisi, maupun yag diperoleh

melalui wahyu. Keseluruhan sumber ilmu ini secara simultan bergerak bersama-

sama dalam mencari dan mencapai kebenaran. Seluruh proses epistemologis pun

harus diimbangi dengan upaya pendekata diri kepada Allah, dengan cara

mengosongkan jiwa dari ketergatungan duniawi, diganti dengan ketergantungan

kepada Allah. Melalui pembersihan ini jiwa menjadi bersih sehingga nūr

(cahaya) Kebenaran akan mudah masuk, menyinari dan mengisi relung jiwa,

sehingga dalam berdiri, duduk dan berbaringnya selalu mengingat Allah. Ketika

seluruh hidupnya diisi dengan Allah, maka Allah akan menjadi pendengarannya,

penglihatannya, tangan dan kakinya, sebagaimana yang dinayataka dalam Hadith

riwayat Bukhāri: “... maka apabila Aku telah kasih padanya, Akulah yang

menjadi pendengarannya dan penglihatannya, dan sebagai tangan yang

digunakannya dan kaki yang dijalankannya.318

Dalam konsep Islam, ilmu tidak hanya dicari tetapi juga diminta dari

Sang Pemilik Ilmu, “rabbi zidni ‘ilman”, ya Rabbi berilah kami ilmu. Padangan

ini bertolak belakang dengan pandangan kaum rasionalis yang berpandangan

hanya meninggalkan Tuhan ilmu dapat berkembang. Kebenaran ilmu diibaratkan

sebagaimana cahaya, semakin jauh dari sumber cahaya maka akan semakin

sedikit mendapatkan sinar cahaya tersebut, demikian pula semakin dekat dengan

sumber cahaya, maka akan semaki banyak mendapatkan pancaran cahaya

tersebut. Tuhan adalah cahaya ilmu sehingga apabila menginginkan curahan ilmu

manusia harus mendekat pada Sumber Cahaya tersebut. Konsep inilah yang

menjadi dasar epistemologis bahwa ilmu tidak dapat lepas dari agama, karena

untuk mendapatkan ilmu seseorag harus meingkatkan kualitas kedekatannya

kepada Tuhan.

Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan

agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan

318 Imam Abu Zakaria Yahya An-Nawawy, Riyadhus Sholihin, terjemahan Salim

Bahreisj, (Bandung: PT. Al Ma’arif 1986), h.120

Page 140: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

126

agama yang integratif-komplementer. Dalam pandangan Mullā Sadrā, sumber

ilmu tidak hanya rasio dan empiris, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat

sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Di masukkannya intuisi

dan wahyu sebagai sumber ilmu memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi

diterimanya kebenaran metafisik, yaitu agama.

C. Tinjauan Aksiologi

Aksiologis adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah

nilai, sehingga aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan yang

dibahas antara lain adalah: apa sesungguhya nilai itu, apakah nilai bersifat

objektif atau subjektif, apakah fakta mendahului nilai ataukah nilai mendahului

fakta. Sebagai cabang filsafat, aksiologi memiliki ranting yaitu logika yang

mebicarakan nilai kebenaran, dalam arti kebenaran rasional; etika yang

membicarakan nilai kebaikan; dan estetika yang membicaraka nilai keindahan.

Dalam persoalan nilai sebenarnya ada satu nilai lagi yaitu nilai keilahian yang

secara khusus dibicarakan dalam teologi, namun teologi bukanlah ranting dari

aksiologi karena merupakan cabang ilmu tersendiri. Oleh karena aksiologi

berbicara tentang berbagai hal tentang nilai, maka ada sementara pendapat yang

mengatakan bahwa filsafat tidak lain adalah aksiologi itu sendiri.319

Dalam perkembangan pemikir Barat terdapat tiga pemahaman tentang

aksiologi, yaitu pemahaman material, esensial dan psikologis.320 Nilai memiliki

sifat polaris dan hierarkhis. Polarisasi nilai menggambarkan bahwa dalam

319 Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta: Kanisius,

2004), 46. 320 Pemahaman material ditandai dengan munculnya pemikiran orang-orang

lonia pada abad ke-6 SM yang mempertanyakan tentang hakikat realitas. Jawaban yang

mereka kemukakan adalah subtansi yang bersifat material seperti air, udara dan apeiron.

Pada pemahaman ini dunia lahiriah merupakan tema penyelidikan filsafati yang pertama

dan nilai direduksi menjadi objek benda-benda. Nilai tidak dapat berdiri sendiri karena

butuh pengemban nilai yang pada umumnya adalah subtansi yang berbadan. Keindahan,

misalnya, tidak memiliki makna apa-apa apabila tidak dilekatkan kepada sesuatu seperti

baju, alam, manusia, lukisan da lain-lain. Oleh karena nilai tidak ada dalam dirinya

sendiri dan kebenarannya bergantug kepada benda-benda fisik maka nilai merupakan

eksistensi yang bersifat ‘parasitis’. Para pemikir seperti Pitagoras, Socrates dan Plato

tidak puas dengan jawaban itu dan tidak ingin berhenti pada perenungan atas dunia fisik.

Mereka melanjutkannya kepada objek-objek ideal seperti bilangan, konsep dan

hubungan. Inilah yang dimaksudkan sebagai pemahaman psikologis. Nilai identik dengan

sesuatu yang menyenangkan, diinginkan dan merupakan sasaran perhatian kita, sehingga

nilai direduksi pula dalam kondisi psikologis atau pengalaman pribadi semata. Untuk

menghindari berbagai reduksi atas nilai ini, maka perlu dilakukan ‘reduksi baik’ untuk

memisahkan nilai dengan objek material, esensi maupun pengalaman psikologis.

Keindahan memiliki konsepnya sendiri tanpa harus dilekatkan pada benda-benda

material, esensi, maupun kondisi psikologis. Dengan kata lain, nilai bukan benda-benda

material, bukan objek ideal, bukan pula sesuatu yang menyenangkan atau yang

diharapkan. Lihat Risier Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan dari what is

Value?, Penerjemahan: Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001), 5-7.

Page 141: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

127

penilaian tedapat dua kutub yang saling berlawanan, misal benar-salah, baik-

buruk, indah-jelek, salah-buruk, jelek bukan sesuatu yang tidak bernilai, akan

tetapi memiliki nilai yang bersifat negatif. Adapun hierarkhi nilai menunjukkan

bahwa terdapat gradasi nilai, yaitu amat buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik

sekali.

Wacana lain yang dibahas tentang aksiologi adalah tentang

subjektivitisme dan objektivisme nilai, dengan pertanyaan dasar tentang apakah

suatu objek itu bernilai setelah ada penilaian dari subjek penilaian ataukah di

dalam objek tersebut secara inheren sudah bernilai. Subjektivisme beranggapan

bahwa subjek yang menentukan nilai, tidak ada nilai sebelum penilaian, dengan

kata lain penilaian mendahului nilai. Sebagai contoh: jurang tidak dapat

dikatakan mengerikan atau menyenangkan sebelum subjek melakukan penilaian.

Sebaliknya objektivisme beranggapan bahwa ada atau tidak adanya subjek.

Penilai, nilai sudah melekat di dalam objeknya, dengan kata lain nilai

mendahului penilaian. Sebagai contoh : alam semesta ini sudah melekat di

dalamnya nilai-nilai, sebelum manusia ada. 321

Jalan tengah bagi dua pandangan tersebut adalah bahwa di dalam suatu

objek sudah ada nilai (bersifat potensial). Nilai yang ada dalam objek tersebut

belum ‘aktual’ sebelum ada subjek yang menilai. Dengan demikian nilai

merupakan relasi antara objek yang dinilai dan subjek penilai.322 Persoalan

keilmuan yang terkait dengan problem aksiologis adalah tentang apakah ilmu

bebas nilai atau tidak. Pandangan yang bebas nilai menganggap bahwa ilmu

netral terhadap semua pandangan agama dan ideologi. Ilmu memiliki metodologi

universal yang khas terdiri atas observasi, eksperimentasi dan kerja teoritis.

Pandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai mengatakan bahwa kerja

keilmuan sangat sarat dengan praduga-praduga filsofis dan keagamaan.

Metafisika memainkan peran penting pada segenap tahapan aktivitas keilmuan,

meskipun bisa saja semua itu berlangsung tanpa disadari. Mehdi Golshani323

321 Nilai adalah nilai, kemudian, apa sesungguhnya nilai itu. Nilai secara

sederhana dapat diartikan sebagai ‘kualitas’. Kualitas ini dapat melekat pada sesuatu

(pengemban nilai). Sebagai contoh ‘patung batu itu indah’. ‘Patung batu’ adalah

pengemban nilai sedangkan ‘indah’ merupakan kualitas (nilai) yang melekat pada patung.

Namun sesungguhnya, nilai tidaklah memberi atau menambah realitas atau subtansi,

karena batu sepenuhnya sudah ada sebelum dipahat menjadi patung yang indah. Kualitas

dasar yang tanpa itu objek tidak dapat menjadi ada disebut dengan ‘kualitas primer’,

seperti bentuk, luas dan berat. Ada pula yang disebut dengan ‘kualitas sekunder’, yaitu

kualitas yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti warna, rasa, bau dan sebagainya.

Selain itu ada pula kualitas tersier yaitu kualitas yang tidak dapat dicerap indera, misal

anggun, ceria dan lain-lain. Lihat Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler

(Yogyakarta: Kanisius, 2004), 46. 322 Risier Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, 32. 323 Mehdi Golshani, “ Sacred Science and Secular Science”, dalam Zainal

Abidin Bagir, Science and Religion in a Post-colonial World, Interfaith Perspective

(Australia: ATF Press 2005), 89.

Page 142: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

128

menunjukkan beberapa bukti bahwa aktivitas keilmuan ternyata melibatkan

pertimbangan-pertimbangan nilai, yaitu:

a. Beberapa aturan etis seperti kejujuran, imparsialitas dan integritas

berfungsi sebagai mekanisme mengontrol kualitas ilmu.

b. Pertimbangan-pertimbangan nilai dapat berdampak pada riset seseorang

ilmuan atau pilihannya atas sekumpulan teori. Misalnya, Einstein dan

Heisenbreg begitu menekankan pada simplisitas teori-teori fisika,

sedangkan Dirac menekankan pada keindahan teori-teori fisika.

Perhitungan pragmatis juga dipakai oleh sebagian orang dalam memilih

sekumpulan teori.

c. Pertimbangan-pertimbangan nilai mempengaruhi keputusan ilmuwan

dalam menentukan aplikasi ilmu dan teknologi. Selanjutnya aplikasi-

aplikasi tersebut mempengaruhi penilaian ilmuwan selanjutnya.

Mullā Sadrā dalam karya-karyanya tidak banyak membahas masalah

aksiologi, namun pandangan ontologi dan epistemologinya cukup memberikan

bahan bagi peneliti untuk melakukan refleksi bagaimana pandangan

aksiologinya. Berangkat dari padangannya tentang gradasi Wujūd, maka secara

aksiologis ilmu dan agama juga bersifat gradatif, namun tidak hanya gradatif

dalam konteks penilaian manusia (amat buruk, buruk, cukup baik dan baik

sekali), akan tetapi berada dalam kerangka gradasi Wujūd yang dapat

digambarkan dalam bagan sebagai berikut324:

Gambar 5 :

Tinjauan Aksiologis

Nilai indera adalah nilai yang paling rendah dan bersifat relatif karena

terkait dengan realitas kebendaan yang sangat mudah mengalami perubahan.

Subjektivitas penilai sangat memegang peranan di dalam menentukan penilaian,

sehingga setiap kali terjadi perubahan pada benda, maka penilaian subjek akan

mengalami perubahan kembali. Dengan demikian nilai indera tidak dapat

dijadikan sebagai tolok ukur utama dalam melakukan penilaian karena tingginya

324 Muhammad Irshadnia, ia menulis artikel, “Pengaruh Prinsip Filsafat

Terhadap Nilai Teks Agama,” Yogyakarta: Mullā Sadrā Jurnal Filsafat Islam dan

Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 41.

NILAI IMAJINAL

NILAI INDERA

DUNIA INTELEKSI NILAI INTELEKSI

DUNIA IMAJINAL

DUNIA INDERA

Page 143: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

129

tingkat subjektivitas. Pemikiran aksiologis yang dapat digunakan sebagai analogi

pada level ini adalah empirisisme logis. Paham ini dipelopori oleh Ludwig

Wittgenstein melalui karyanya Tractatus Logico-philosophicus dan kemudian

dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Wiener Kreis) yang diorganisasikan atas

dasar sebuah seminar yang dipimpin oleh Moritz Schlick. Paham ini hanya mau

menerima proposisi yang bersifat empiris dan menganggap bahwa proposisi

metafisis sama sekali tidak bermakna. Proposisi ini dianggap tidak menegaskan

sesuatu, sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah.325 Pernyataan

‘pemandangan itu indah’ merupakan pengungkapan kondisi emosioal yang sama

sekali tidak memiliki isi teoretis atau kognitif. Menurut paham ini hanya nilai

kebenaran logis yang dapat diterima, sedagkan nilai keindahan, kebaikan dan

kelahian karena tidak dapat menunjukkan ukuran-ukuran objektifnya, maka

merupakan proposisi yang tidak bernilai.

Adapun nilai imajinal merupakan nilai yang berada di atas fisik kebedaan

yang menjadi esensi dari realitas nilai indera. Nilai imajinal berupa arketip-

arketip yang hanya dapat ditangkap oleh akal. Nilai ini memiliki sifat yang lebih

tetap dibanding dengan nilai indera. Konsep keadilan akan tetap ada meskipun

realitas masyarakatnya chaos, pada tingkatan ini nilai tidak tergantung kepada

pengemban nilai, dapat dianalogikan meskipun ‘patung batu’ secara fisik sudah

hancur, akan tetapi nilai keindahan dari patung tersebut tidak ikut hancur. Nilai

imajinal bersifat otonom, dapat berdiri sendiri, bahkan justru menjadi sumber

bagi nilai indera, artinya nilai keindahan yang imajinal dapat divisualisasikan

dalam beragam bentuk keindahan yang inderawi.

Nilai Inteleksi adalah nilai yang tertinggi karena paralel dengan Dunia

Inteleksi dan Persepsi Inteleksi. Nilai Inteleksi menyatu dengan Wujūd Tuhan

dan Pengetahuan Tuhan, oleh karenanya bersifat Absolut. Keberadaan nilai

kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian yang dipahami manusia secara

iluminatif berasal dari Nilai kebenaran (al-Ḥaq), kebaikan (al-Birr) keindahan

(al-Mushawwir) dan keilahian yang berasal dari Tuhan. Penjelasan ini sekaligus

menjawab pertanyaan apakah nilai itu objektif atau subjektif. Secara iluminatif

dapat di pahami bahwa nilai bersifat objektif dan berasal dari Tuhan. Namun

ketika nilai tersebut dipahai manusia, yaitu pada tingkat nilai indera, maka

interpretasi manusia akan nilai menjadi beragam, oleh karenanya bersifat

subjektif. Terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi terhadap penilaian, yaitu objek

yang dinilai, nilai dan subjek penilai. Objek yang dinilai dapat bersifat material

(seperti keadilan, demokasi, moralitas dan lain-lain). Nilai adalah sesuatu yang

berdiri sendiri, semacam arketipe-arketipe atau kategori-kategori, yang secara

apriori ada di dalam pikiran manusia, sedangkan subjek penilai adalah manusia

yang memiliki kesadaran, yaitu kemampuan untuk menilai. Lukisan di dalam

diriya sudah memiliki potensi untuk dinilai, namun subjek memiliki peran yang

325 Risier Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, 69.

Page 144: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

130

sangat besar untuk menentukan polarisasi nilai (baik atau buruk) atau hierarki

nilai (buruk sekali, agak buruk, buruk, baik, agak baik, baik sekali).326

Berangkat dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara

ontologis bersifat integratif-komplementer, maka secara aksiologis ilmu dan

agama dapat dikatakan memiliki hubungan yang integratif-kualifikatif. Artinya

nilai-nilai (kebenaran, kebaikan keindahan dan keilahian) secara simultan terkait

satu sama lain dijadikan pertimbangan untuk menentukan kualitas nilai.

Berbicara tentang ilmu tidak hanya berbicara masalah nilai kebenaran (logis)

saja, namun juga nilai-nilai yang lain. Dengan perkataan lain, yang benar harus

juga yang baik, yang indah dan yang ilahiyah. Pandangan bahwa ilmu harus

bebas nilai di satu sisi sisi telah mengakselerasi secara cepat perkebangan ilmu,

amun di sisi yang lain telah menghasilkan dampak negatif yang sangat besar.

Berbagai problem keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah

menghasilkan beragam krisis kemanusiaan dan lingkungan, oleh karena

diabaikannya berbagai nilai di luar nilai kebenaran.

Pandangan demikian ini sangat sesuai dengan konsep manusia yang

multidimensional, yang mengenal dan mengembangkan keseluruhan nilai

kemanusiaan, yaitu nilai kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian. Dalam

kenyataannya manusia tidak dapat bebas dari keempat nilai tersebut. Ilmu

meskipun di dalam dirinya (internal) menuntut objektivitas, namun secara

eksternal tidak hanya terkait dengan nilai kebenaran. Ia juga harus memberikan

maṣlahat (mafaat) bagi manusia dan alam semesta (nilai kebaikan), perlu juga

mengindahkan aspek estetika, dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah

keagamaan (nilai keilahian). Secara ontologis, epistemologis dan aksiologis,

hubungan integrasi yang holistik antara ilmu dan agama dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 6 :

Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi

Ontologi Epistemologi Aksiologi

Konsep integrasi holistik ilmu dan agama selain bersifat gradatif

(meliputi tingkat Inteleksi, Imajinal dan Indera), merupakan kesatuan pula antara

Dunia Inteleksi (ontologi), Persepsi Inteleksi (epistemologi) dan Nilai Inteleksi

326 Syaifan Nur, ia menulis artikel, “Filsafat Himah Mullā Sadrā,” Yogyakarta:

Mullā Sadrā Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 199.

Dunia Inteleksi

Dunia Imajinal

Dunia Indera

Persepsi Inteleksi

Nilai Inteleksi

Persepsi Imajinal

Nilai Imajinal

Persepsi Indera

Nilai Indera

Page 145: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

131

(aksiologi). Secara lebih sederhana bagan tersebut dapat digabarkan sebagai

berikut :

Gambar 7 : Integrasi Holistik

Bagan di atas memberikan gambaran tentang dua hal, pertama, integrasi

ilmu dan agama, kedua, integrasi antara ontologi, epistemologi dan aksiologi.327

Integrasi antara ilmu dan agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang

terpisah dan bukan pula sesuatu yang berada di atas yang lain. Pandangan bahwa

agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu

dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran

relatif yang oleh karenanya memiliki posisi yang lebih rendah di banding agama

sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Dalam konteks gradasi

Wujūd Sadrā, ilmu dapat bersifat absolut, demikian pula sebaliknya agama dapat

bersifat relatif, tergantung keduanya berada pada tingkat gradasi yang mana.

Dalam tingkat dunia Inteleksi ilmu bersifat absolut, karena kebenarannya

menyatu dengan kebenaran Tuhan, demikian pula dalam tingkat dunia indera

agama bersifat relatif, karena agama dipahami sejauh yang mampu dikonsepsikan

oleh manusia. Kesatuan ilmu dan agama berada pada tingkat dunia Inteleksi yang

merupakan kebenaran Absolut. Pada tingkatan ini ilmu dan agama berada dalam

kesatuan eksistensial, karena keduanya berada di dalam dan menjadi bagian dari

Tuhan.

327 M. Said Marsaoly, ia menulis artikel, “Pengetahuan dan Spiritualitas

Berbasis Agama Sebuah Tinjauan Epistemologi,” Yogyakarta: Mullā Sadrā Jurnal

Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 33.

ONTOLOGI

EPISTEMOLOGI

AGAMA

ILMU

AKSIOLOGI

Page 146: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

132

Integrasi antara ontologi, epistemologi dan aksiologi328 Dalam Islam

dikenal konsep iman, ilmu dan amal. Konsep ini sebenarnya merupakan konsep

teologis bahwa keimanan harus didasarkan atas ilmu dan diejawantahkan dalam

amal perbuatan. Dalam bahasa lain sering di ungkapkan bahwa keimanan harus

membuahkan ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiah. Konsep ini secara

filosofis dapat memberikan gambaran tentang hubungan yang integratif antara

ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi berbicara masalah ada (Wujūd),

dalam Islam Wujūd tertinggi adalah Allah. Kenyakinan ontologis yang demikian

itulah yang disebut dengan iman. Keyakinan bahwa Wujūd tertinggi adalah Allah

akan memberikan corak keilmuan Islam religius, yang tidak memisahkan antara

ilmu dan agama (aspek epistemologis). Kenyakinan ontologis dan epistemologis

demikian juga akan mewarnai pandangan aksiologis bahwa ilmu tidak bebas

nilai.

Dengan demikian, pada hakikatnya dalam konteks kesatuan Wujūd ,

tidak ada dikotomi antara ilmu Tuhan dan ilmu ciptaan manusia, karena dikotomi

itu akan mengandaikan bahwa ada ilmu ciptaan manusia yang seakan-akan

berada di luar ilmu Tuhan. Adanya pembedaan ilmu naqliyah (berasal dari

wahyu) dan aqliyah (berasal dari akal) tidak menunjukkan bahwa ilmu naqliyah

adalah ilmu Tuhan sedangkan aqliyah adalah ilmu manusia. Namun konsep

naqliyah dan aqliyah adalah konsep epistemologis cara bagaimana manusia

menemukan kebenaran. Adapun ilmunya sendiri yang berupa ayat qauliyah dan

ayat kauniyah, keduanya merupakan ilmu Allah. Manusia tidak memiliki ilmu

tetapi menguasai ilmu (karena Allah berkuasa untuk mencabut ilmu yang

dikuasai manusia). Demikia pula, tepat untuk dikatakan bahwa manusia bukan

pencipta ilmu namun penemu ilmu.

Jelaslah kiranya bahwa konsep integrasi ilmu dan agama sesungguhnya

berpusat pada Tuhan (tauḥid), karena darinya semua berasal dan kepadanya

semua aka kembali, inna lillāhi wa inna ilaihi rāji’un (segala sesuatu berasal dari

Allah dan kepada-Nya semua akan kembali).

328 M. Said Marsaoly, ia menulis artikel, “Pengetahuan dan Spiritualitas

Berbasis Agama Sebuah Tinjauan Epistemologi,” Mullā Sadrā Jurnal Filsafat Islam dan

Mistisisme, Vol. 1, No. 4 (2011) : 38.

Page 147: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

133

BAB V

INTEGRASI ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM DALAM KONTEKS

PENDIDIKAN NASIONAL: SEBUAH TAWARAN MEMBANGUN

PENDIDIKAN INTEGRATIF

Sebagai agama yang memiliki dua sumber ilmu, yaitu ayat-ayat

Tanziliah dan ayat-ayat Kauniyah, maka Islam mengenal dua jenis ilmu, yaitu

ilmu agama dan ilmu umum. Dua macam ilmu ini tumbuh dan berkembang

sejalan dengan sejarah perjalanan umat Islam. Pemisahan dua jenis ilmu sangat

jelas dari sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Hal ini mendorong

lahirnya upaya menciptakan sistem pendidikan Islam yang tidak dikotomistik.

Sistem pendidikan Islam yang tidak dikotomi memang sulit diterapkan, karena

dua hal : Pertama, Sumber ilmu yang menjadi dasar terselenggaranya pendidikan

Islam memang dua yakni. Pertama, al-Qur’ān yang di dalamnya terdapat ayat-

ayat Tanziliah adalah sumber ilmu agama. kedua, alam dan masyarakat yang di

dalamnya terdapat ayat-ayat Kauniyah sebagai sumber ilmu umum. Kedua,

Sistem Pendidikan Islam di Indonesia adalah sistem “multi atap”, artinya

pendidikan agama di bawah naungan Depag dan pendidikan umum di bawah

Depdiknas. Sedangkan di negara-negara Islam lainnya hanya menganut sistem

“satu atap”.329 Oleh karena itu, Pada bab ini penulis akan menjelaskan titik temu

antara ilmu agama dan ilmu umum dalam mewujudkan pendidikan integratif.

A. Kerangka Pendidikan Holistik

Visi pendidikan Islam telah membuat perbedaan tegas antara

mengajarkan “hal-hal tentang Islam” (informatif) dan “bagaimana menjadi

Muslim sejati” (transformatif). Tujuan dari pendidikan Islam bukanlah untuk

memberi informasi tentang Islam kepada anak didik saja, tetapi lebih

menekankan bagaimana menjadi seorang muslim dan memberi mereka inspirasi

sehingga ilmu tersebut bisa ditransformasikan dalam kehidupan mereka. Adanya

perubahan paradigma dari pendidikan yang berorientasi pada informasi ke

pendidikan yang berorientasi pada transformasi adalah esensial untuk dilakukan

jika kita benar-benar berharap membangun paradigma baru pendidikan bagi

pembangunan masyarakat muslim ideal.330

329 Abd. Rahim Yunus, Mereka Bicara Pendidikan Islam; Sebuah Bunga

Rampai (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 331. 330 Jika kita menginginkan posisi yang penting dalam percaturan dunia saat ini,

maka reformasi pendidikan mesti dilakukan. Reformasi akan membutuhkan pemikiran

ulang dalam penstrukturan ulang elemen-elemen kunci dari sebuah lembaga pendidikan

seperti kerangka konseptual, isi, struktur dan proses pendidikan. Perlu dicatat juga di sini

bahwa usaha reformasi serupa juga sekarang lagi dilakukan oleh dunia pendidikan Barat.

Tuntutan untuk menerapkan pendidikan yang holistik, pengajaran terpadu, pembelajaran

kooperatif, pendidikan karakter, pembelajaran penemuan (discovery learning), dan

penilaian otentik sangat banyak ditemukan dalam literatur pendidikan. Adapun konsep

pendidikan Islam merupakan usaha untuk melakukan reformasi yang sesuai dengan

tuntutan- tuntutan tersebut (dari model industri ke model humanis), yakni lebih natural,

Page 148: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

134

Reformasi yang menyeluruh amatlah dibutuhkan dalam sistem

pendidikan di dunia Muslim. Adapun pendekatan ini berdasarkan pada empat

komponen inti; Pertama, kerangka konseptual terpadu tentang pendidikan yang

berdasarkan prinsip Tauḥīd dan pendidikan holistik. Kedua, tinjauan ulang

terhadap tujuan pendidikan dan komponennya bagi pengembangan karakter

(character development). Ketiga, merekonstruksi kurikulum atau gagasan-

gagasan besar (powerful ideas) yang mempunyai kekuatan untuk

mentransformasikan kepribadian. Keempat, penetapan ulang pengalaman

mengajar dan belajar ke arah proses pembelajaran penemuan/pencarian

(discovery learning).

Dalam tabel di bawah ini, penulis mengidentifikasi berdasarkan

komponen-komponen pendidikan yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan

untuk dapat terwujudnya pendidikan holistik.331

Gambar 8 :

Komponen Pendidikan Holistik

Komponen Senyatanya Seharusnya

Visi

Pendidikan dianggap

sebagai disiplin yang

terpisah; partikularistik,

masih memakai paradigma

mekanistik (model

perusahaan)

Pendidikan dipandang

secara holistik dan

menyeluruh berparadigma

rekonstruktif.

Isi

Pembelajaran bersifat

tradisional; sekadar

informatif, tidak relevan

dengan kehidupan riil siswa

fokus pada instruksi/

pengajaran textbook.

Pembelajaran bersifat

modern, transformatif,

realistik, kurikulum

berbasis kehidupan riil

Struktur

Struktur tidak koheren atau

disusun oleh disiplin

akademik yang rigid.

Gagasan bersifat poweful

(powerful ideas); mampu

memberi inspirasi dan

transformasi, mampu

membangun kepribadian,

otentik dan efektif. Lihat M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam

Holistik,” Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 83. 331 M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulūl

Albāb (Malang: UIN Press, 2007), 97.

Page 149: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

135

Metode Didaktik (ceramah dan

kuliah); guru sebagai pusat,

satu model untuk semua

siswa, tidak menarik dan

tidak inspiratif.

Discovery learning;

terpusat pada siswa,

pengajaran bervariasi, gaya

pembelajaran yang variatif,

guru sebagai penunjuk

(guide), modellling dan

mentoring, model

pembelajaran

terpadu/integrated learning

model (ILM)

Program Terfokus pada masa lampau

‘tentang Islam’ sebagai

agama, ritual-ceremonial.

Life mastery; terpusat pada

hal-hal kekinian ‘tentang

menjadi Muslim; Islam

sebagai gaya hidup; Islam

untuk pemahaman atau

penguasaan hidup/Is/am for

Life Mastery (ILM)

Tujuan Perolehan informasi ansich,

pengetahuan dan

keterampilan hanya untuk

perolehan pekerjaan

Beyond schooling;

bagaimana belajar (how to

learn), pembelajaran

seumur hidup,

pengembangan manusia

seutuhnya

Penilaian Tes formal berdasarkan

buku, benar atau salah,

lulus atau tidak lulus, tes

standar.

Authentic assessment; tugas

otentik, berhubungan

dengan dunia riil, penilaian

bersifat multi intelligensi

Wilayah pertama yang perlu direformasi adalah visi atau kerangka

konseptual pendidikan secara menyeluruh. Pendidikan bermula dari prinsip

Tauḥīd (keutuhan dan keterpusatan pada Tuhan). Hal inilah yang menjadi dasar

pijakan dalam pandangan dunia pendidikan. Prinsip Tauḥīd mencakup konsep

filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren terhadap pemahaman

kita terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Tauḥīd mengajarkan kita untuk

menghimpun pandangan yang holistik, terpadu dan komprehensif terhadap

pendidikan.332 Pendidikan modern (baik Islam maupun Barat) secara umum

berdasarkan pandangan pendidikan yang tidak koheren dan parsial. Akibatnya,

siswa dan guru jarang sekali punya pandangan yang sama tentang proses

pendidikan secara menyeluruh. Kebanyakan siswa meninggalkan sekolah sekitar

332 M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam Holistik,”

Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 85.

Page 150: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

136

umur 13-17 tahun tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, bahkan yang

mereka pikirkan hanya mendapatkan kerja. Lebih dari itu, prinsip Tauḥīd

menuntut para pendidik mempunyai pandangan yang menyeluruh dan tujuan

sejati terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, konsep

Tauḥīd harus menjadi landasan tentang bagaimana kita mendidik anak, termasuk

apa yang diajarkan (isi), bagaimana kita mengorganisir apa yang harus diajarkan

(struktur), dan bagaimana kita mengajarkannya (proses). Akhirnya, Tauḥīd

haruslah membentuk fondasi pemikiran, metodologi dan praktik pendidikan kita.

Konsep pendidikan Islam mestilah dirancang sebagai pendidikan yang

benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi, struktur, dan proses

dan terpadu dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum (baik bagaimana dan

apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan dengan praktik,

aplikasi dan pelayanan. Konsep ini menegaskan bahwa aspek-aspek integratif

secara signifikan akan meningkatkan kekuatan, relevansi dan keefektifan

pengalaman belajar dan mengajar. Konsep ini mengadvokasikan pendekatan

holistik dalam pendidikan.

Gambar 9 : Aspek Holistik Pendidikan

Aspek Holistik Contoh

Tujuan Pembelajaran seumur hidup,

bersifat komprehensif, menjadikan

anak didik sebagai khairu ummah.

Pandangan

Terhadap Anak

Pemahaman anak secara utuh;

pikiran, tubuh, jiwa, multi

intelegensi, dan juga gaya belajar.

Apa yang harus di

ajarkan

Gagasan yang poweful dan

pertanyaan-pertanyaan brillian

terhadap dunia secara utuh

(multikultural).

Bagaimana

mengorganisir Kurikulum terpadu; pembelajaran

integrated.

Bagaimana

mengajarkannya

Sesuai dengan kemampuan anak

didik, pengajaran yang bervariasi,

pemanfaatan lingkungan.

Adapun prinsip Tauḥīd (holistik, terpadu, terpusat pada Tuhan) adalah

prinsip dasar dari pendekatan tarbiyah. Selain itu, terdapat sejumlah prinsip

lainnya yang mendukung terbentuknya kerangka teoritis dari pendekatan

tersebut. Beberapa prinsip itu berasal dari adanya perenungan terhadap proses

Page 151: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

137

pertumbuhan dan perkembangan alam.333 Prinsip Tauḥīd yang dituangkan

melalui konsep Waḥdah al-Wujūd Mullā Sadrā sangat berguna untuk

mengafirmasi status ontologis objek-objek ilmu yang dalam tradisi ilmiah barat

hanya dibatasi pada objek-objek fisis atau empiris dengan alasan bahwa hanya

objek-objek fisiklah yang status ontologisnya tidak bisa diragukan karena bisa

ditngakap oleh indera, sedangkan objek-objek lainnya yang nonfisik diragukan

satatus ontologisnya karena tidak bisa ditangkap oleh indera. Dengan demikian,

epistemologi Islam telah mencoba mengintegrasikan seluruh sumber ilmu yang

bisa dimiliki manusia dalam satu kesatuan yang utuh dan holistik.334

B. Kurikulum Berbasis Integrasi Kurikulum dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak dipisahkan

walaupun keduanya mempunyai kedudukan dan fungsi yang berbeda. Suatu

rencana atau program kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak

diimplementasikan dalam pembelajaran. Sebaliknya tanpa kurikulum yang jelas

maka sejatinya pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif. Hal ini sesuai

yang dikemukakan oleh Saylor, Alexander dan Lewis, “Without a curriculum or

plan, there can be no efektive instruction and without instruction the curriculum

has little meaning”. Landasan pokok penyusunan kurikulum islami harus

memuat prinsip: a) Mengandung nilai kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam

pada setiap waktu dan tempat. b) mengandung nilai kesatuan kepentingan dalam

mengembangkan misi ajaran Islam. c) mengandung materi yang bermuatan

pengembangan spiritual, intelektual dan jasmaniah.335

Bertolak dari rumusan UU Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 tahun

2003 pasal 339, yang mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia

mengarahkan warganya kepada kehidupan yang beragama. Maka sebagai salah

satu bentuk realisasi dari UU Sisdiknas tersebut, Integrasi adalah alternatif yang

harus di pilih untuk menjadikan pendidikan lebih bersifat menyeluruh (integral-

holistik). Gagasan integrasi (nilai-nilai islami/agama dan umum) ini bukanlah

sebuah wacana untuk meraih simpatik akademik, melainkan sebuah kebutuhan

mendesak yang harus dijalankan sebagai pedoman pendidikan yang ada,

mengingat pendidikan selama ini dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara

ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum/sekuler yang menyebabkan dikotomi

ilmu, sebagaimana dipaparkan di atas. Bukti nyata dari kebutuhan adanya

333 M. Zainuddin, ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam Holistik,”

Jurnal Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 86. 334 Prinsip waḥdah al-wujūd dalam filsafat Sadrā ini yang melihat kesatuan

wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai dari wājib

al-wujūd sampai ke mumkin al-wujūd (contingent beings) yang beraneka ragam dan

bervariasi. Prinsip ini pada akhirnya melahirkan prinsip lain yang dikenal dengan istilah

tashkīk al-wujūd atau graditas wujud. Lihat Mullā Sadrā, Al-Masā’il al-Qudsiyyah;

Mutashābihāt al-Qur’ān (Resāle: Masyhad University Press, tth), 5. 335 Saylor, J. Galen, Alexander, William M. dan Lewis Arthur J., Curriculum

Planning For Better Teaching and Learning (New York: Holt-Rinchart and Winston,

1981), 10.

Page 152: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

138

panduan dan model integrasi ilmu ini ditunjukan dengan diselenggarakannya

berbagai seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu, sampai pada

kebijakan dari pemerintah, seperti kebijakan integrasi madrasah ke dalam sistem

pendidikan nasional dalam UUSPN No. 2 tahun 1989, madrasah mengalami

perubahan “sekolah agama” menjadi “sekolah umum bercirikan khas islam”.

Pengintegrasian madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional menemukan titik

puncaknya pada awal 2000, setelah Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid

yang mengubah struktur kementrian pendidikan dari “Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”. Berdasarkan Hal

itu Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan satu atap” sistem

pendidikan nasional dan memiliki status serta hak yang sama. Inilah yang

diharapkan dan mengakhiri dikotomi “pendidikan umum” dan “pendidikan

Islam”.336

Proses pendidikan dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan dalam

kelas akan berjalan dengan lancer, kondusif dan interaktif apabila dilandasi

dengan kurikulum yang baik dan benar. Pendidikan bisa dijalankan dengan baik

ketika kurikulum dapat menjadi penyangga utama dalam kegiatan pembejaran,

sehingga akan mendapatkan hasil yang optimal. Dengan kurikulum yang

mengandung banyak unsur konstruktif, maka akan dapat membuka mindset

peserta didik yang progresif dan membangun kesadaran kritis terhadap realita

sosial.337 Kurikulum merupakan rencana tertulis yang berisi tentang gagasan-

gagasan dan ide-ide yang telah dirumuskan oleh pengemban kurikulum.

Kurikulum itulah yang selanjutnya menjadi pedoman guru dalam melaksanakan

proses pembelajaran di dalam kelas. Dengan demikian sistem kurikulum yang

digunakan atau sistem pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada dasarnya

merupakan implementasi dari kurikulum.338 Secara garis besar pada bagian ini

akan dibahas mengenai landasan penyusunan kurikulum, desain kurikulum yang

berorientasi pada materi pelajaran, alasan mengapa menggunakan kurikulum

integrasi dan pengembangan kurikulum di sekolah. Hal ini dikaitkan dengan

aspek-aspek pembelajaran yang akan dicapai.

Banyak hal yang dibicarakan, termasuk tentang konsep pendidikan Islam

yang integratif. Paling tidak dapat menarik sebuah benang merah tentang hal itu.

Pertama, integratif dimaksud adalah memadukan ilmu agama dan umum dalam

kurikulum yang dilaksanakan di sekolah. Model ini persis sama dengan yang

diterapkan Departemen Agama dulu, sekarang dan mungkin sampai esok di

semua sekolah dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs) dan

336 Ali M dan Luluk Y. R., PAradigma Pendidikan Universal di Era Modern

dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita (Jakarta:

Media Press, 2004), 267-274. 337 Moh Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan (Jogjakarta: Diva

Press, 2009), 13-14. 338 Wina Sanjaya, kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktek

Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media

Grup, 2008), 16-17.

Page 153: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

139

Aliyah (MA). Kedua, integratif yang kami tangkap adalah model yang

dipopulerkan pada masa BJ Habibie berkuasa. Yaitu memadukan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (imtek) dan Imtak (Iman dan Takwa). Realisasinya,

memberikan nilai Agama Islam berdasarkan al-Qur’ān dan Hadith pada setiap

ilmu atau mata pelajaan yang diberikan kepada peserta didik.

Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan bahwa penerapan

Kurikulum 2013 merupakan momentum untuk mengintegrasikan ilmu agama dan

ilmu lainnya. “Kini sudah saatnya para tenaga pendidik atau pun guru

mengerahkan perhatian untuk mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu

lainnya,” katanya saat memberi pembekalan dan sekaligus mengukuhkan

pengawas dan kelompok kerja (Pokjawas) Pendidikan Agama dan Madrasah

Provinsi Jawa Barat di Bogor.339

339 Dalam kesempatan itu, tampak hadir Kanwil Kemenag Jabar Saeroji, para

anggota DPR seperti Ratih Sanggarwati, Reni Marlinawati, Wardatul Asriyah, tokoh

pemuda Joko Purwanto dan pemerhati perempuan Dia Anita Prihapsari. "Pendidikan

jangan dipandang terkotak-kotak agar ke depan tidak ada lagi dikotomi antara ilmu

agama dan ilmu pengetahuan lain, tetapi saling melengkapi. Para guru agama sudah

saatnya dapat mengimplementasikannya dengan rencana penerapan Kurikulum 2013,"

katanya. Menurut dia, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. "Ilmu agama

yang dipelajari pun harus didukung dengan ilmu lainnya sehingga satu sama lain saling

melengkapi dan akan bermakna bagi kehidupan dan peradaban manusia ke depan,"

katanya. Selama ini, di berbagai lembaga pendidikan Islam banyak diajari ilmu seperti

fikih, hadits, tasawuf dan lainnya. Ilmu keagamaan itu tak akan berkembang dan akan

makin sulit dipahami anak-anak ke depan jika saja tak ditunjang dengan ilmu lainnya

untuk memahami alam semesta ciptaaan Allah. "Bukankah esensi ilmu adalah semata

ciptakan Allah semata," kata Suryadharma Ali di hadapan sekitar 2000 para tenaga

pengajar.

Menteri Agama juga menjelaskan tentang kemajuan yang dicapai para anak

didik dari lembaga pendidikan Islam. Sekarang ini, anak-anak lulusan madrasah dan

kuliah di perguruan tinggi negeri justru menduduki peringkat terbaik. "Saya baru ketemu

Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), tadi siang. Banyak anak-anak asal madrasah,

prestasinya luar biasa. Lulus dengan angka terbaik," cerita Suryadharma Ali di atas

podium, dan menambahkan; "Selain itu, hafal Al Quran pula." Kualitas pendidikan

Pada kesempatan itu, Menag juga mengingatkan tentang delapan standar nasional

pendidikan sebagai acuan standar mutu. Standar itu dimaksudkan untuk menjamin mutu

pendidikan nasional. Kedelapan standar adalah standar isi, standar proses, standar

kompetensi lulusan, standar sarana prasarana, standar pendidikan dan tenaga

kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. "Saya

berpendapat, dari delapan standar nasional pendidikan tersebut, standar pendidikan dan

tenaga kependidikan merupakan prioritas nomor wahid untuk dipenuhi," katanya. Lebih

baik siswa belajar di tepi danau dengan diajar guru kompeten dan profesional ketimbang siswa belajar di dalam ruang ber-AC, punya ruang kelas baik dan mewah, tapi

diajar guru lemah dan tidak profesional. "Jadi, sarana baik dan mewah tidak akan

membawa dampak tanpa kehadiran guru profesional," katanya. Namun ia mengingatkan,

Kementerian Agama yang juga sebagai pengelola anggaran terbesar dalam bidang

pendidikan Islam harus memperhatikan sarana dan prasarana sekolah. Jika ada bangunan

Page 154: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

140

Cerminan kurikulum Islami harus memuat prinsip: a). Mengandung nilai

kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; b).

mengandung nilai kesatuan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran

Islam; c). mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual,

intelektual dan jasmaniah. Hal di atas mengisyaratkan bahwa implementasi

kurikulum pendidikan Islami mendapatkan porsi yang strategis dalam

melengkapi kurikulum pendidikan umum artinya proses pembelajaran antara

pendidikan umum dan agama menjadi poros utama dalam menciptakan sumber

daya manusia yang berwawasan imtak dan iptek, sehingga nilai tambah yang

didapatkan siswa dengan diterapkannya pembelajaran yang berwawasan Islami,

mengarahkan siswa pada moral, akhlak dan prilaku yang lebih baik, dapat

menumbuhkan minat dan kesadaran siswa yang menghasilkan kecerdasan secara

integrated (kecerdasan komplit) antara kecerdasan Intelektual (IQ), kecerdasan

Emosional (EQ), kecerdasan Spritiual (SQ), dan berpusat (bersumber) pada

kecerdasan Religi (RQ).340

Kurikulum pendidikan Islam disekolah dijabarkan dalam tiga komponen

utama, yakni: (1) Pembentukan Shakhsiyyah Islāmiyyah (Kepribadian Islam), (2)

Thaqofah Islam dan (3) Ilmu Kehidupan (Iptek dan Keahlian).

rusak, kepala kantor agama setempat harus bertanggung jawab, termasuk Pemda setempat

harus memberi dukungan. Para guru pun harus memiliki tanggung jawab besar. Jika ada

bangunan sekolah rusak, selekasnya melapor untuk segera diperbaiki agar tidak

mengganggu kegiatan belajar mengajar, pinta Suryadharma Ali. "Jangan sampai anak

terus menerus bersekolah sepatu ditenteng menyeberang sungai dengan jembatan rusak

dan membahayakan. Lihat

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/12/30/mymfwf-kurikulum-2013-.

diakses pada tanggal 19 Agustus 2014 340 Ali M dan Luluk Y. R., PAradigma Pendidikan Universal di Era Modern

dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita (Jakarta:

Media Press, 2004), 267-274.

Page 155: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

141

Jenjang

Pendidikan TK SD SMP SMU PT

Komponen

Materi

Shakhsiyyah

Islāmiyyah

Pembentukan Dan

Kematangan Dasar-dasar

Thaqofah

Islam

5

4

3

2

1

Ilmu

Kehidupan

5

4

3

2

1

Gambar 10 : Tabel Struktur dan performa Komponen Kurikulum

Sebagaiman yang tercermin dalam tabel diatas, selain muatan penunjang

proses pembentukan Shakhsiyyah Islāmiyyah yang secara terus menerus

diberikan pada tingkat TK-SD dan SMP-SMU-PT, muatan Thaqofah Islam dan

Ilmu kehidupan (Iptek dan Keahlian) diberikan secara bertingkat sesuai dengan

daya serap dan tingkat kemampuan peserta didik berdasarkan jenjang

pendidikannya masing-masing.

Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), susunan

struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, berpadu dan

merata bagi semua peserta didik yang mengikutinya. yang termasuk dalam materi

dasar ini antara lain: pengenalan al-Qur’ān dari segi harfiah dan bacaan; prinsip-

prinsip agama; mambaca; menulis dan menghitung; prinsip bahasa Arab; menulis

halus; sirah Rasul dan Khulafaur Rasyidin serta berlatih berenang dan

menunggang kuda.341

341 Muhammad Ismail Yusanto, “Menggagas Pendidikan Integratif dan

Optimalisasi Negara dalam Penyelenggaraan Pendidikan Menuju Generasi Shaleh-

Muslih”. Makalah disampaika dalam Seminar Nasional Pendidikan “Reposisi Peran

Pendidikan Menuju Negara Mandiri, Berharga Diri”, 8-9.

Page 156: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

142

C. Integrasi Materi Pendidikan Agama Islam dengan Materi Umum

Berdasarkan tinjauan kritis terhadap kurikulum pendidikan agama Islam

di sekolah yang fragmented atau terpisah-pisah, maka diperlukan inovasi-inovasi

pembelajaran dengan menggunakan berbagai pendekatan atau strategi

diantaranya adalah dengan pendekatan terpadu atau integrated. Menurut

Depdiknas, kurikulum terpadu atau pembelajaran terpadu sebagai suatu proses

mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: holistik, bermakna, otentik dan aktif.342

Pembelajaran terpadu merupakan salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan

untuk menciptakan atau membuat proses pembelajaran secara relevan dan

bermakna bagi peserta didik dengan pendekatan inquiry yaitu melibatkan peserta

didik mulai dari merencanakan, mengeksplorasi dan brain storming dari peserta

didik.

Bentuk implementasi pembelajaran terpadu materi-materi yang ada dapat

dipadukan dengan melalui intra atau antar bidang studi. Namun dalam

pembahasan ini lebih menekan pada katagori pembelajaran terpadu intra bidang

studi dalam arti memandukan kompentensi-kopentesi dasar pada kelas yang

sama dari aspek-aspek mata pelajaran PAI tanpa melupakan keterkaitan antar

bidang studi yang lainnya. Namun demikian kadang-kadang batas-batas antara

suatu aspek PAI (al-Qur’ān/hadith, keimanan, akhlaq, fiqh dan tārikh) dengan

aspek yang lainnya sangat samar bahkan ada yang tidak tampak sekat yang

membatasi sehingga dapat dipadukan materi-materi tersebut untuk menghindari

tumpang tindih atau penggulangan yang dapat membosankan peserta didik. 343

Dalam hal ini peserta didik terdorong untuk saling bekerjasama secara kelompok

berdasarkan pengalaman mereka masing-masing. Berbicara pembelajaran maka

berbicara tentang segala hal yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran

peserta didik baik di dalam maupun di luar kelas. Diawali denagan tahap

persiapan, pelaksanaan dan kegiatan evaluasi pembelajaran untuk mengukur

keberhasilan dan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

Integrasi Materi Pembelajaran PAI

Untuk menjadikan pembelajaran PAI yang terpilah-pilah menjadi

integrated maka guru dapat melakukan model-model pengembangan yang sesuai

dengan sistem pendidikan yaitu salah satunya dengan pembelajaran terpadu.

342 Holistik dimaksudkan bahwa pembelajaran dengan mengkaji dari berbagai

bidang kajian tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak. Bermakna berarti

pembelajaran yang dilakukan mempunyai makna bagi peserta didik karena konsep-

konsep yang dipelajari tidak terlepasb dari kehidupan mereka. Otentik, peserta didik

dapat memahami secara langsung prinsip-prinsip dan konsep-konsep melalui kegiatan

pembelajaran. Sedangkan aktif artinya pembelajaran terpadu menekankan keaktifan

peserta didik dalam proses pembelajaran baik secara fisik, emosi, mental, maupun

intelektual secara optimal. Lihat Trianto, Model Pembelajaran Terpadu: Konsep,

Strategi, dan Implementasinya dalam KTSP (Jakarta: Bumi Aksara), 62-63. 343 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia

Pendidikan (Jakarta: raja grafindo persada, 2006), 174-175.

Page 157: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

143

Dalam konteks kurikulum PAI yang terbentuk board fiel344 tentunya dalam

melakukan pembelajaran terpadu tidak terlepas dari kurikulum yang telah ada.

Bentuk kurikulum PAI sangat memberikan kebebasan kepada guru melakukan

inovasi-inovasi pembelajaran khususnya pembelajaran terpadu dengan

mengkaitkan antara materi yang satu dengan yang lainnya. Sehingga integrated

dan holistik. Pembelajaran terpadu dapat diterapkan pada pembelajaran PAI

dengan cara melakukan pengorganisasian materi-materi yang terkait dalam

kurikulum. Ada banyak model sekuen345 yang dapat digunakan dalam melakukan

pengorganisasian materi dalam pembelajaran terpadu sebagaimana yang telah

ditemukan oleh forgaty.346 Dari kesekian konsep pembelajaran forgaty ada

beberapa model yang dinilai penulis cocok untuk di terapkan pada pembelajaran

PAI tentunya dalam berbagai pertimbangan. Model-model pembelajaran yang

cocok untuk diaplikasikan kedalam pelajaran PAI menurut penulis antara lain :

Model connected, sequenced dan integrated.

1. Model Connected (Tehubung)

Model connected merupakan model pelajaran terpadu yang

menghubungkan atau mengkaitkan antara topik atau konsep atau skill yang satu

dengan yang lainnya. Penghubungan ini hanya dapat dilakukan dalam satu

bidang studi/mata pelajaran dan tidak untuk dihubungkan dengan mata pelajaran

lain.347 Dengan demikian maka penghubungan topik atau konsep dalam model

344 Jenis kurikulum yang menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan

atau berhubungan menjadi satu bidang studi dengan menghilangkan batas-batas masing-

masing, seperti pelajaran al-Qur’an Hadith, Fiqh, Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam

menjadi pendidikan Agama Islam. Walaupun jenis kurikulum ini berbentuk board field,

tetapi berpangkal pada separated subject curriculum, yakni subjek-subjek pelajaran pada

masing-masing mata pelajaran disajikan dengan secara terpisah. Lihat Nana Sayodih

Sukmadinata, Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum (Jakarta: PPLTK, 1988),

127. Bandingkan dengan S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara,

2008), 194-195. 345 Sekuen merupakan pengorganisasian materi dalam bentuk pengaturan urutan

materi-materi yang terkait dalam sebuah kurikulum terpadu. Lihat Syaefuddin Sabda,

Desain Pengembangan dan Implementasi Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtak

(Jakarta: Quantum Teaching, 2006), 77. 346 Forganty mengemukakan 10 model kurikulum terpadu, yaitu : 1) fragmented

; pemisahan antara berbagai bidang studi, 2) connected ; hubungan antara topik yang satu

dengan sama yang lain, 3) nested ; mata pelajaran yang terpisah, 4) sequenced ;

pengirtergrasian yang bersifat terbatas, 5) shared ; menghubungan materi yang ada pada

dua mata pelajaran, 6) webbed ;penggabungan berbagai mata pelajaran dengan

menggunakan tema, 7) threaded ; jenis kurikulum tersembunyi, 8) integrated ; terpadu

antara mata pelajaran, 9) immersed ; memilih atau menyaring berbagai topik mata

pelajaran dan 10) networked ; jaringan yang melibatkan berbagai pihak ahli pada masing-

masing bidang. Lihat Lihat Robin forgaty, The Mindful School; How to Integrate The

Curricula (IIIionis: IRI/Skylight Publishing Inc., 1991), 5-99. 347 Lihat Robin forgaty, The Mindful School; How to Integrate The Curricula,

34.

Page 158: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

144

pembelajaran connected terjadi pada satu disiplin keilmuan atau mata pelajaran.

Dalam kurikulum PAI tahun 2006 di SMA penghubungan dapat dilakukan antara

kompetensi yang satu dan kompetensi yang lain. Ketika guru PAI menjelaskan

tentang standar kompetensi al-Qur’ān kelas X semester satu yaitu memahami

ayat-ayat al-Qur’ān tentang manusia dengan tugasnya sebagi khalifah di muka

bumi, maka dapat di kaitkan dengan konsep keimanan, fiqh, akhlak dan tārīkh.

Atau ketika guru PAI menjelaskan tentang keimanan dapat dikaitkan dengan al-

Qur’ān fiqh, ahklak dan tārīkh. Pengintegrasian ide-ide yang di pelajari tersebut

dalam satu semester dengan semester berikutnya menjadi satu kesatuan yang

utuh. Jika diilustrasikan dalam gambar dilihat pada skema di bawah ini :

Gambar 10 :

Pembelajaran Model Connected

Aspek al-Qur’ān/Hadith

Implementasi dari gambar tersebut di atas memberikan kejelasan,

misalnya, Ketika guru PAI menjelaskan Q.S. al-Baqarah : 30

Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya

aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini.

Indikator atau kompetensi yang ingin dicapai tidak hanya sebatas pada

penguasaan peserta didik dalam membaca dengan fasih, melafalkan arti,

mengidentifikasi tajwid, menyimpulkan isi kandungan ayat dan menunjukan

perilaku yang mencerminkan isi kandungan surat al-baqarah : 30 tetapi lebih luas

dari itu khususnya dalam penafsiran atau isi kandungan ayat.

Ayat tersebut dapat dihubungkan dengan aspek keimanan dengan

menjelaskan sifat-sifat Allah, seperti sifat-sifat Allah al-khāliq (maha pencipta)

al-mālik (maha menguasai), penjelasan tersebut sekaligus dapat dikaitkan dengan

aspek akhlak dengan kompetensi yang dicapai lebih menekankan kepada setiap

Aspek

Keimanan

Aspek

Akhlak

Aspek

Fiqh

Aspek

Tārīkh

Page 159: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

145

muslim agar menyadari akan tugas dan kedudukannya sebagai seorang makhluk

yang berkewajiban untuk menyambah kepada sang khaliq dengan cara istiqomah

dan berpengharapan (rājaʽ) segala apa yang diinginkan dengan melalui ibadah

diantaranya berdo’a dan berikhtiar. Bagaimana seorang muslim menyembah

kepada Allah maka dapat dikaitkan dengan aspek fiqh baik yang dengan

berkaitkan dengan ibādah makhḍah maupun ghairu makhḍah. Di samping itu

juga dapat dikaitkan dengan sejerah umat-umat dahulu sebelum umat Nabi

Muhammad SAW yang mendapatkan azab dari Allah, karena mereka

mengingkari akan kekuasaan Allah yang ada di seluruh alam semesta dalam cara

menentang ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul.

2. Model Sequenced (Berurutan)

Model sequenced merupakan model pembelajaran yang mencoba untuk

melakukan pemanduan melalui urutan topik dan konsep pada masing-masing

materi pelajaran yang di hubungkan berdasarkan kesamaan ide tau konsep

tersebut kemudian disajikan dengan secara pararel atau berbarengan dengan

waktu yang bersamaan. Maurer sebagai dikutip oleh Saefudin Sabda dengan

istilah the correlated event sequence model.348 Saat guru PAI mangajarkan suatu

aspek tertentu, maka ia menyusun urutan topik dan aspek tertentu yang kemudian

dimasukan pada pada topik-topik dan aspek lain yang terkandung dalam mata

pelajaran PAI kedalam urutan penyampaian pembelajaran, karena adanya

relevansi antara topic-topik tersebut. Artinya bahwa satu aspek mata pelajaran

membawa serta aspek-aspek lain dan sebaliknya.349 Misalnya ketika guru PAI

mengajarkan Q.S al-Baqarah : 148 yang menyangkut masalah kompetisi dalam

kebaikan dimulai dari aspek al-Qur’ān, kemudian memasukan aspek keimanan,

akhlak, fiqh dan tārīkh kebudayaan Islam. Model sequenced dapat dilihat pada

gambar dibawah ini :

Gambar 11 :

Pembelajaran Model Sequenced

348 Saefudin Sabda, Desain Pengembangan dan Implementasi Model Kurikulum

Terpadu Iptek dan Imtak, 80. 349 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia

Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 178.

Aspek

Keimanan

Aspek

Akhlak

Aspek

Fiqh Aspek

Tarikh

Q.S. al-Baqarah :

148 Tentang

Kompetensi

dalam Kebaikan

Page 160: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

146

Pada pembahasan PAI aspek al-Qur’ān Q.S al-Baqarah : 148 (tentang

kompetisi dalam kebaikan)

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap

kepadanya, maka berlomba-lombalah kamu dalam (membuat kebaikan).

Maka kompetensi yang akan dicapai oleh peserta didik adalah dimulai

dari aspek membaca dengan fasih, mengidentifikasi tajwid, menjelaskan isi

kandungan, kemudian mengamalkan isinya. Dalam kaitannya dengan isi

kandunagan ayat atau pengamalan isi ayat, maka guru PAI daapat memasukan

secara topik-topik yang lain relavan.

Aspek lain yang pararel dan dapat dimasukan dalam pembahasan, yaitu

aspek keimanan dengan mengembangkan topik tentang iman kepada rasul-rasul

Allah, yaitu meneladani sifat-sifat rasul yang empat yaitu: Sidiq, amanah,

tabligh, fatonah dalam perilaku sehari-hari disertai dengan penjelasan fungsi

iman kepada rasul-rasul Allah. Kemudian aspek akhlak dapat mengembangkan

tentang topik kebiasaan berperilaku terpuji seperti husnu ẓan, membiasakan

bertaubat kepada Allah setiap melakukan perbuatan dosa dan lain sebagainya.

Sebagai implementasi dari bentuk-bentuk ibadah yang menjadikan seorang

muslim itu beriman kepada rasul-rasul Allah dan membiasakan berkompetisi

dalam kebaikan dengan melalui aspek fiqh dengan mengembangkan pentingnya

pengamalan ibadah (zakāt, infāq dan ṣadaqah) sebagai pendekati diri kepada

Allah dan antar sesama manusia. Aspek lain adalah tarikh mengembangkan topik

tentang perilaku para sahabat Rasulullah yang mempunyai komitmen tinggi

dalam memperjuangkan agama Islam masa-masa awal, tidak hanya sebatas

perjuangan dengan harta bahkan nyawapun mereka siap berkorban demi

kejayaan Islam.

3. Model Integrated

Makna integrasi dalam model pembelajaran intergrated berarti

berpaduan, kordinasi, kebulatan dan keutuhan. Model pembelajaran integrasi

meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan

pelajaran dalam bentuk unit dan keseluruhan yang saling tumpang tindih sebagai

titik-tolak kajianya.350 Dengan demikian, terlihat jelas bahwa semua mata

pelajaran/bidang studi telah terpadu sebagai satu kesatuan yang bulat atau utuh.

Model ini merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang menggunakan

350 Untuk menentukan pokok-pokok manakah yang dapat dijadikan unit yang

akan dipelajari oleh peserta didik dapat menggunakan pertanyan-pertanyan sebagai

berikut : (1) Apakah pokok itu dibangkitkan oleh minat, kebutuhan dan pengalaman

peserta didik dalam kelas ? (2) Apakah bahan pelajaran itu sesuai dengan taraf dengan

kematangan peserta didik ? (3) Cukupkah kesempatan dalam pelajaran ini untuk

merangsang peserta didik berpikir dan berbuat banyak mungkin ? (4) Apakah sarana dan

prasarana tersedia untuk melaksanakan unit?. Lihat S. Nasution, Asas-asas kurikulum,

Cet. VIII (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 207-208.

Page 161: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

147

pendekatan antar bidang studi.351 Sekuen materi dalam model ini didesain dengan

mencari konsep-konsep, skills dan attitudes tertentu yang operlaping di berbagai

mata pelajaran/bidang studi, kemudian dibahas pada suatu masing-masing mata

pelajaran/bidang studi yang terkait.352 Pada model ini tema dan tema yang

berkaitan dan tumpang tindih merupakan hal terakhir yang ingin dicari dan

dipilih oleh guru dalam tahap perencanaan program.

Jika ditinjau dari sifat materi yang dipadukan, maka ada dua macam

bentuk pembelajaran terpadu, yaitu pembelajaran terpadu intra bidang studi dan

pembelajaran terpadu antar bidang studi. Dalam arti yang dipadukan adalah

kompetensi dasar. Kompetensi dasar ada pada kelas yang sama dari berbagai

aspek mata pelajaran PAI dengan memilih tema yang dapat mempersatukan

kompetensi dasar tersebut untuk setiap kelas dan semester atau memadukan

materi-materi dalam satu bidang studi PAI.

Sedangkan pengintegrasian materi antar bidang studi, yaitu mengkaji

sesuatu tema ditinjau dari berbagai aspek yang tidak hanya pada aspek-aspek

yang terdapat pada mata pelajaran PAI, tetapi mata pelajaran-mata pelajaran

yang lainnya. Dalam konteks pengembangan ilmu dan teori biasa disebut dengan

multidisiplin. 353 Karena melibatkan banyak disiplin keilmuan atau mata

pelajaran/bidang studi, maka dapat dilakukan dengan team teaching. Tean

teaching dimaksud sebagai saran sharing atau bertukar pikiran dengan mengenai

informasi atau konsep antar guru-guru mata pelajaran/bidang studi yang terkait,

sehingga pembahasan yang disampaikan menjadi holistik. Implikasi dilapangan

pelajaran terpadu ini di sajikan atau diajarkan dengan cara team; satu topik

pembelajaran dilakukan oleh lebih dari seorang guru (team teaching).354 Tema-

tema yang berkaitan tumpang tindih merupakan hal yang terakhir yang ingin

dicari dan dipilih oleh guru dalam tahap perencanaaan program. Konsep-konsep,

ketrampilan dan sikap di ajarkan dalam satu semester dari beberapa mata

pelajaran/bidang studi selanjutnya dipilih beberapah konsep, ketrampilan dan

sikap yang memiliki keterhubungan yang erat dan tumpang tindih diantara

berbagai bidang studi.355

351 Trianto, Model Pembelajaran Terpadu; Konsep, Strategi dan impletasinya

dalam KTSP, 43. 352 Robin forgaty , the mindful school: how to curricula, 76. Bandingkan

Saefudin sabda, Desain Pengembangan dan Implementasi Model Kurikulum Terpadu

Iptek dan Imtak, 83. 353 Multidisiplin adalah cara kerjanya seorang ahli suatu disiplin ilmu yang

berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsulasi pada ahli disipli lain. Lihat

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,

181. 354 Trianto, Model Pembelajaran Terpadu; Konsep, Strategi dan impletasinya

dalam KTSP, 117. 355 Ketrampilan-ketrampilan belajar menurut forgaty meliputi ketrampilan

berpikir (Thinking skil), ketrampilan sosial (Social skil) dan ketrampilan mengorganisir

(Organizing skil). Lihat Robin forgaty, The Mindful School; How to Integrate The

Curricula, 77.

Page 162: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

148

Dalam tesis ini lebih menekankan pada pemanduan antara aspek-aspek

yang ada pada kurikulum 2013, yaitu; aspek al-Qur’ān, aqidah, ahklak, fiqh dan

tārīkh kebudayaan Islam. Terdapat tema-tema atau ide-ide konseptual yang dapat

dipandukan atau ditinjau melalui kajian dari berbagai mata pelajaran/bidang studi

lainya, sehingga menjadi unit356 yang dapat dikaji dalam sebagai mata pelajaran

masing-masing aspek mata pelajaran PAI memiliki karakterisiknya sendiri-

sendiri. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan contoh model integrated dengan

tema haji diilustrasikan melalui gambar berikut ;

Gambar 12 :

Pembelajaran Model Intregated 1

Dalam gambar tersebut diatas terlihat jelas bahwa ketika guru PAI

menjelaskan tentang haji, maka tidak hanya berorientasi pada tinjauan fiqih

semata, karena persoalan haji menyangkut juga masalah-masalah aspek PAI yang

lainnya. Dalam arti, ketika menerangkan haji maka guru PAI tidak hanya

menjelaskan tentang pengertian haji, syarat-syarat, rukun, wajib dan sunah-sunah

haji dan sebagianya, tetapi juga pada pembahasan tersebut tidak akan lepas pada

kajian aspek al-Qur’ān, keimanan, ahklak dan tārīkh.

Disamping itu untuk lebih memperkaya kajian tema-tema mata pelajaran

PAI dapat dilakukan dengan mengunakan sudut pandang di luar aspek-aspek

356 Ada beberapa cirri PAI sebagai pembelajaran antara lain : a) unit merupakan

suatu keseluruhan yang bulat dan yang menyatukan adalah problem yang terkandung

dalam pokok yang akan di selidiki, b) unit menerobos batas-batas mata pelajaran, c) unit

didasarkan atas kebutuhan atau kehidupan peserta didik, d) unit didasarkan pada

pendapat-pendapat modern mengenai cara belajar, e) unit menggunakan berpikir ilmiyah

menurut Dewey, dan f) unit direncanakan bersama oleh guru dan peserta didik. Lihat

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,

181-182.

Qur’ān

Hadith

Aqīdah

HAJI

Akhlak

Tārīkh

Fiqh

Page 163: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

149

yang ada pada pelajaran PAI. Sebagaimana ketika membahas tentang materi

zakat, maka guru PAI tidak hanya membahas materi tersebut dari sudut pandang

aspek-aspek yang ada pada mata pelajaran PAI, tetapi juga dapat ditinjau dari

sudut lain, seperti zakat dari sudut sosial, ekonomi dan politik. Bagaimanapun

zakat mempunyai dampak terhadap sosial kemasyarakatan, ekonomi dan politik.

Untuk lebih memperjelas dapat diilustrasikan dalam gambar berikut ini :

Gambar 13 :

Pembelajaran Model Integrated 2

Gambar di atas terlihat jelas bahwa pembahasan zakat dapat dikaji

melalui sudut pandang al-Qur’ān/Hadith, Aqidah, Akhlak, Fiqh, Tarikh, Sosial,

Ekonomi dan Politik. Dari model pembelajaran terpadu atau integrated

hakikatnya dapat menjadikan Pendidikan Agama Islam yang terpilah-pilah dapat

terintegrasi menjadi sebuah pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang holistik.

Dengan model integrated semua aspek mata pelajaran PAI dapat terintegrasi dan

lebih bermakna diperkaya dengan sudut pandang di luar aspek-aspek mata

pelajaran PAI. Pada sisi normatifnya Menurut Kuntowijoyo zakat bertujuan

mengasihi fakir miskin serta membersihkan jiwa dan harta. Pada tingkat empirik

objektif, nilai ajaran zakat dapat menjadi alasan untuk menyusun konsep teoritik

Qur’ān

Hadith

Aqīdah

ZAKAT

Sosial

Politik

Akhlak

Tārīkh

Ekonomi

Fiqh

Page 164: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

150

tentang ekonomi Islam. Dalam tataran ini Islam mengakui kelas-kelas sosial,

Fuquhā, masākīn, ḍu’afā, mustaḍāfīn, agniyā dan sebagainya.357

Dengan demikian, untuk membangun pendidikan integratif diperlukan

Konsep pendidikan Islam yang dirancang sebagai pendidikan yang benar-benar

holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi, struktur dan proses. Terpadu

dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum (bagaimana dan apa yang harus

diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan dengan praktik, aplikasi dan

pelayanan. Hal tersebut bisa terealisasi dengan mengadopsi pemikiran Mullā

Sadrā tentang Waḥdah al-Wujūd358 yang tertuang dalam prinsip Tauḥīd.

Pendidikan holistik inilah mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang

terstruktur dan koheren kepada pemahaman terhadap dunia dan seluruh aspek

kehidupan. Ilmu-ilmu agama yang berbasis pada wahyu (al-Qur’ān dan al-

Ḥadith) sebagai ayat-ayat qauliyyah dan ilmu-ilmu umum berbasis pada akal,

penalaran terhadap fenomena alam sebagai ayat-ayat kauniyyah. Seluruh metode

yang diterapkan dalam ilmu umum dan agama (panca indera, rasio, intuisi dan

wahyu) secara sinergis diterapkan dalam menemukan kebenaran.

Dengan demikian segala Wujūd 359 yang ada pada pelajaran umum dan

agama dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan

sama, yang membedakan yang satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya

(tashkīk al-Wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya.

357 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan,

1991), 329. 358 Penjelasan Mullā Sadrā tentang waḥdah al-wujūd yang kemudian menjadi

basis integraasi ilmu agama dan ilmu umum ini, tampaknya telah ia adopsi dari ajaran

Suhrawardī Al-Maqtūl (w.1191) tentang cahaya. Menurutnya, cahaya pada hakikatnya

adalah satu, tetapi ia menjadi berbeda-beda tingkat dan intensitasnya beda tingkat dan

intensitasnya karena adanya barzakh- barzakh (barāzikh) yang menyela di antaranya.

Oleh karena itu diantara pelajaran umum dan agama pada esensinya adalah satu yang

membedakan hanyalah tingkatannya saja, sehingga tidak dikenal dengan adanya dikotomi

ilmu pengetahuan. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi

Holistik (Bandung: Arasy Mizan, 2005), 36.

. إن واجب الوجود بسيط احلقيقة 359 غاية البساطة . وكل بسيط احلقيقة كذلك ، فهو كل األشياء

. ال يرج عنه شيئ من األشياء

فواجب الوجود كل األشياء

Wujud yang wajib ada bersifat murni, karena ada murni bersifat wajib ada,

yang mencakup segala sesuatu dan tidak keluar dari-Nya sesuatu apapun/ tidak bisa

dikaitkan dengan materi dan forma. Lihat Mullā Sadrā, Al-Ḥikmah Al-Mutā’aliyah fi’ al-

Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba’ah (Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāth, 1981), Jilid 2, 49.

Page 165: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

151

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang telah disebutkan dalam

bab-bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyimpulkan bahwa

integrasi ilmu dan agama adalah integrasi yang bersifat integratif-holistik yaitu,

eksistensi ilmu umum dan ilmu agama saling bergantung satu sama lain.

Eksistensi (wujūd) yang ada pada pelajaran umum dan agama dengan segala

bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama, yang

membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd) yang

disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Adapun konsep integrasi ilmu dan

agama dalam perspektif Mullā Sadrā memiliki landasan ontologis, epistemologis

dan aksiologis.

a) Secara ontologis, Konsep Mullā Sadrā terdiri atas tiga prinsip yang

fundamental, yaitu Waḥdah al-Wujūd, Tashkīk al-Wujūd dan Aṣālah al-

Wujūd. Ketiga prinsip tersebut tertuang dalam Konsep Tauḥīd yang

berimplikasi pada kesatuan ciptaan, yakni keterhubungan

(interrelatedness) bagian-bagian alam, dan selanjutnya berimplikasi pula

pada kesatuan pengetahuan. Tauḥīd bukan saja menjadi kerangka

keimanan (frame of faith) yang menjadi dasar keyakinan umat Islam

kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran (frame of

thought) yang membangun integrasi kebenaran.

b) Secara epistemologis, penyatuan seluruh sumber ilmu yang diperoleh, baik

melalui sarana yang sudah melekat dalam diri manusia, meliputi indera,

akal dan intuisi, maupun yag diperoleh melalui wahyu. Keseluruhan

sumber ilmu ini secara simultan bergerak bersama-sama dalam mencari

dan mencapai kebenaran. Dengan kata lain, filsafat Mullā Sadrā

memunculkan kembali pentingnya pandangan metafisika dan epistemologi

Rasional-Intuitif sebagai usaha mengembalikan kodrat manusia dalam

mencapai pengetahuan sejati.

c) Secara aksiologis, seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan, dan

keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. Nilai kebenaran,

yang sering kali menjadi tolok-ukur utama ilmu, merupakan kebenaran

yang baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus. Justifikasi ilmu tidak

hanya benar-salah (nilai kebenaran) saja, namun juga termasuk didalamnya

baik-buruk (nilai kebaikan), indah-jelek (nilai keindahan) dan sakral-

profan, halal-haram (nilai keilahian). Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak

hanya untuk ilmu, tetapi ilmu harus disinari oleh-terutama-nilai tertinggi,

yaitu nilai keilahian (ketuhanan). Implikasi atas saling mengkualifkasinya

Page 166: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

152

keseluruhan nilai dalam ilmu akan mengarahkan perkembangan ilmu

menjadi ilmu yang bermoral.

Kedua, Dengan mengadopsi pemikiran Mullā Sadrā tentang integrasi

keilmuan yang tertuang dalam prinsip Tauḥid, maka untuk membangun

pendidikan integratif diperlukan Konsep pendidikan Islam yang dirancang

sebagai pendidikan yang benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal

visi, isi, struktur dan proses. Terpadu dalam pendekatannya baik terhadap

kurikulum (bagaimana dan apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang

menyatupadukan dengan praktik, aplikasi dan pelayanan. Pendidikan holistik

inilah mencakup konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan

koheren kepada pemahaman terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Ilmu-

ilmu agama yang berbasis pada wahyu (al-Qur’ān dan al-Ḥadith) sebagai ayat-

ayat qauliyyah dan ilmu-ilmu umum berbasis pada akal, penalaran terhadap

fenomena alam sebagai ayat-ayat kauniyyah. Seluruh metode yang diterapkan

dalam ilmu umum dan agama (panca indera, rasio, intuisi dan wahyu) secara

sinergis diterapkan dalam menemukan kebenaran.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka beberapa

saran perlu dikemukakan dalam tesis ini, diantaranya sebagai berikut ; Pertama,

Penelitian tentang integrasi ilmu dan agama sangatlah penting dan merupakan

sebuah keniscayaan, agar dapat diimplementasian dalam dunia pendidikan. Oleh

karena itu, pendidikan haruslah berorientasi kepada sebuah kurikulum yang dapat

mensinergikan materi umum dan agama. Kedua, Penelitian tentang tokoh

sangatlah penting, guna merekonstruksi pemikirannya dan dapat diaplikasikan

untuk waktu dan tempat yang kiranya relevan untuk diterapkan. Namun,

Penelitian tentang pemikiran, sebagaimana biasanya tidak dapat diharapkan

hasilnya secara konkret dan aplikatif, seperti pada penelitian empirik. Walaupun

demikian temuan-temuan yang akan dihasilkan ini di samping memperkaya

khazanah pemikiran di Indonesia, juga pada tingkat yang lebih praktis akan dapat

dijadikan pedoman untuk melakukan pembaharuan, khususnya dalam pendidikan

Islam di tanah air. Ketiga, Untuk segenap civitas akademisi, agar dapat

mengadakan penelitian lebih lanjut, karena hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan khususnya mengenai integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam

perspektif Mullā Sadrā dalam pendidikan, semoga hasil penelitian ini dapat

menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

Page 167: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

153

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: LkiS,

1989.

-------- Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.

Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

Abdusshomad, Muhyiddin. Fiqih Tradisionalis; Jawaban Pelbagai Persoalan

Keagamaan Sehari-hari. Surabaya: Pustaka Bayan, 2006.

Acikgenc, Alparslan. Being and Existence in Sadrā and Heidegger. Kuala

Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization,

1993.

Afifi, A.E. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995.

Aisyah, S. dkk. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006.

Al-Attas, Syed M. Naquib. The Concept of Education in Islam, Muslim Youth.

Kuala lumpur: Movement of Malaysia,1980.

-------- Islam and Scularism, Angkatan Muda Belia Islam Malaysia. Kuala

Lumpur: ABIM, 1978.

-------- Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the

Fundamental Element of the Worldview of Islam, ISTAC. Kuala

Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization,

1995.

Al-Alwani, Taha Jabir. Islamic Thought an Approach Reform. London-

Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2006.

-------- Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD PRESS, 2005.

Al-Faruqi, Isma’il Raji. Islamization of Knowledge: General Principles and

Workplan. Hemdon : HIT, 1982.

Ali, Muhammad. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru

Algesindo, 2008. Cet. V.

Al-Mandary, Mustamin. Menuju Kesempurnaan Persepsi dalam Pemikiran

Mullā Sadrā. Makasar: Safinah, 2003.

Arberry, A.J., Revelation and Reason in Islam. London: George Allen & Unwin

Ltd, 1956.

Ardiansyah, M. 20 Catatan Kritis Untuk Kaum Liberal. Pustaka Luma al-

Misykat. Jakarta, 2013.

Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD PRESS. 2005.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif . Yogyakarta: LKIS, 2008.

Assegaf, Abd. Rahman. Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan

Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

-------- Paradigma Baru Pendidikan Nasional: rekonstruksi dan Demokratisasi

(Jakarta: Buku Kompas, 2002.

Page 168: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

154

-------- Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam Abdul Munir

Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN

Sunan Kalijaga Yoyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998.

-------- Reintegrasi ilmu-ilmu dalam Islam “Zainal Abidin Bagir,ed.” Integrasi

Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan, 2005.

-------- Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos

Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999.

Baharuddin, Umiarso, Minarti, Sri. Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan

Implikasi pada Masyarakat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2011.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1976.

-------- Metafisika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Baiquni, Ahmad. Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana

Bhakti Wakaf, 1995.

Barbour, Ian. Nature, Human Nature and God. Fortress Press: Minneapolis,

2002.

Barlow, Nora (ed.), The Autobiography of Charles Darwin. London: Collins.

1958.

Barth, Karl. Dogmatics in Outland. Harper & Row: New York, 1949.

Bucaille, Maurice. Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A. Rasyidi.

Jakarta: Bulan Bintang,1992.

Butt, Nasim. Sains dan Masyarakat Islam. Bandung: Pustaka Hidayah,1996.

Chillick, William C. Ibn al-‘Arabi’s Metaphisics of Imagination; The Sufi Part of

Knowledge. Albany State University of New York Press, 1989.

Dahlan, Abdul Aziz. Teologi, Filsafat, Tasawuf dalam Islam. Jakarta: Ushul

Press, 2012.

Echols, John M dan Shadily, Hassan. “dichotomy”, Kamus Inggris-Indonesia.

Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1992.

Fadjar, A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan Pendidikan

Islam Fajar Dunia, 1999.

Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan,

2002.

Forgaty, Robin. The Mindful School; How to Integrate The Curricula. IIIionis:

IRI/Skylight Publishing Inc., 1991.

Frondizi, Risier. Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan dari what is Value?,

Penerjemahan: Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001.

Glatthon, Allan A. Curriculum Leadhership. Illinois: Scott Foresman and

Company, 1987.

Golshani, Mehdi. Sacred Science and Secular Science, dalam Zainal Abidin

Bagir (editor), Science and Religion, In a Post-colonial World Interfaith

Perspectives. ATF Press: Australia, 2005.

H. Hart, Michael. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah.

Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya. 2006.

Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja

Rosda Karya, 2008. Cet II.

Page 169: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

155

Hardaniwati, Menuk dkk. Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Pertama. Jakarta:

Pusat Bahasa, 2003.

Hardiman, Budi. Kritis Ideologi. Yogyakarta: Kanisius,1996.

Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 1986.

Hasan, M. Iqbal. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Haught, John F. Science and Religion: From Conflict to Conversation, terjemah

Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke

Dialog. Mizan: Bandung, 2004.

Hilal, Ibrahim. Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah,

2002.

Hitti, Philip K,. History of The Arab. London: Macmilan Press Ltd., 1974.

Husain, Syed Sajjad dan Ashraf, Syed Ali. Crisis in Muslim Education. Jeddah:

King Abdul Aziz University, 1979.

Husaini, Adian. Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal ?. Ponorogo, Center

for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007.

-------- Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2013.

Hoodbhoy, Pervez. Islam and Science; Religion Orthodoxy and The Battle for

Rationality. London an New Jersey: Zed Books ltd, 1991.

Hossein, Ziai, ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi

Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme Sebuah Pemberontakan Terhadap

Agama. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Izutsu, Toshihiko. The Concept abd Reality of Existence. Tokyo: The Keo

Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971.

Jumali, M. dkk., Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University

Press, 2008. Cet III.

Kalin, I. Three Views of Science in the Islamic World. Turki: University of

Istanbul, 2006.

Kalin, Ibrahim dalam Ted Peters Muzaffat Iqbal, Syed Nomanul Haq (editor),

Tuhan, Alam, Manusia; Perspektif Sains dan Agama. Mizan: Bandung,

2006.

Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam.

Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.

-------- Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy Mizan,

2005.

-------- Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera

Hati, 2006.

-------- Trilogi Metafisis; Tuhan, Alam, Manusia. Bandung: Mizan, 2000.

Khalaf, Abd. Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1978. Cet. II.

Kraemer, Joel L. Philosophy in the Renaissance of Islam; Abū Sulayman al-

Sijistāni. Leiden: EIJ. Brill, 1986.

Kuswanjono, Arqom. Integrasi Ilmu dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Lima,

2010.

Page 170: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

156

Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna,

1992.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis.

Bandung: Mizan, 2002.

Losee, John. A Historical Introduction to The Philosophy of Science. Oxford

University Press, New York. 2001.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate studi

Islam melalui Paradigma Baru yang lebih Efektif, Makalah Seminar

Tahun 1997.

-------- Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993.

Ma’arif, Syamsul. Revitasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Madjid, Nurcholish. Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika al-Qur’an dalam

Islamika. Jakarta: Mizan, 1993.

Mahayana, Dimitri & Djuniardi, Dedi. Kearifan Puncak. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004.

Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1999.

Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:

Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta:

Gama Media, 2002.

Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah.

Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 2006.

Moris, Megawati. Mullā Sadrā’s Doctrine of The Primary of Existence. ISTAC:

IIUM, 2003.

Muarif, Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008.

Muhaimin, nuansa baru pendidikan islam: mengurai benang kusut dunia

pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo persada, 2006.

-------- Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan

Pendidikan Islam. Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999.

-------- Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia

Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.

Muhammad al-Tamimi, Ashaari. Membangun Sains dan Teknologi Menurut

Kehendak Tuhan. Jakarta: Giliran Timur, 2007.

Muliawan, Ungguh. Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan

Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005.

Mulkhan, Abdul Munir. Membangun Tradisi Ilmu Pesantren, dalam Umiarso dan

Nur Zazin, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan: Menjawab

Problematika Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren. Semarang:

RASail, 2010.

Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” dalam Moeflich Hasbullah, Gagasan

dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LSAF, Iris,

Cidesindo, 2000, Cet. 1.

Page 171: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

157

Mustofa, “Tauḥid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim” dalam

Intelektualisme Islam, Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,

editor Lutfi Mustofa dan Helmi Syaifuddin. UIN malang: LKQS, 2007.

Muthahhari, Murtadha. Filsafat Hikmah; Pengantar Pemikiran Sadrā. Bandung:

Mizan, 2002.

Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought. Albany: SUNNY Press, 1981.

-------- Three Muslim Sages. Cambridge: Harvard University Press, 1968.

-------- Sadr al-Din Shirazi dan Ḥikmat Muta’āliyah, Terj. Baharuddin Ahmad.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.

-------- Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, terjemahan Suharsono &

Djamaluddin MZ. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

-------- Tiga Pemikir Islam; Ibn Sīna, Suhrawardi, Ibnu Arabi. Terjemah Ahmad

Mujahid. Bandung: Risalah, 1985.

Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Oliver. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.

Bandung: Mizan, tth.

Nasution .S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Cet. VIII.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press,

1979.

-------- Teologi (Ilmu Kalam). Jakarta: UI Press, 1978, Cet. 1.

-------- Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Edit.:

Saiful Muzani. Bandung: Mizan, 1995.

-------- Republika-Dialog Jum’at “Dikotomi Ilmu, antara Fardhu Ain dan Fardhu

Kifayah (05 Januari 1996)” dalam buku Proses Perubahan IAIN manjadi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Rekaman Media masa. Ciputat: UIN

Jakarta Press, 2002.

Nasution, Hasan Bakti. “Hikmat Al-Muta’āliyah Analisa Terhadap Proses

Sintesa Filosofis”. Disertasi: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.

Nata, Abbudin. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2005.

-------- Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: Rajawali, 1982.

-------- Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Nata, Abuddin Suwito., Abdillah, Masykuri., Arief, Armai. Integrasi Ilmu

Agama dan Ilmu Umum.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Nicholson, Reynold A. The Myctics of Islam. London: Rautledge and Kegan Paul

Ltd, 1966.

Noer, Kautsar Azhari. Ibn al-‘Arabi; Waḥdah al-wujūd dalam Perdebatan.

Jakarta: Paramadina.

Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mullā Sadrā. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mullā Sadrā. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Nurdin, Syafrudin. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Ciputat:

Quantum Teaching, 2005. Cet. III.

Pals, Daniel L. Seven Theories Of Religion, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta:

Penerbit Kalam, 2001.

Page 172: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

158

Partanto, Pius A dan al-Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:

Arkola, 1994.

Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Peradaban Eropa dan Barat. Jakarta:

P3M, 1980.

Qomar, Mujammil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional

Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2006.

R. Mirza, Muhammad dan Siddiqi, Muhammad Iqbal. Muslim Contribution to

Science. Pakistan: Kazi Publications, 1986.

Rahim, Husni. Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Malang: UIN

Malang Press, 2004.

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual

Tradition. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1984.

-------- The Philosophy of Mullā Sadrā. State University of New York Press:

Albany, 1975.

Ridwan, Islam Kontekstual; Pertautan Dialektis Teks dengan Konteks.

Yogyakarta: Grafindo Lentera Media. 2009.

Rolston, Holmes Science and Religion. New York: A. Critical Survey, With a

New Introduction, 2006.

Rosada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana Prenada

Media Grup, 2007. Cet.III.

Rosenau, Pauline M. Postmodernism and Social Sciences: Insight, Inroads, and

Intrusion. Princeton University Press: Princeton, 1992.

S. Suriasumatri, Jujun. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1999.

Sadrā, Mullā. Al-Hikmat Al-Muta’āliyah fi’l Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah.

Beirut: Dār Ihyā wa al-Turāts Al’Arabī, 1981.

-------- Al-Masā’il al-Qudsiyyah; Mutashābihāt al-Qur’ān. Resāle: Masyhad

University Press, tth.

--------Kearifan Puncak, diterjemahkan dari Hikmah Al-Arsyiah, penerjemah:

Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

-------- Manifestasi- Manifestasi Ilahi: Sebuah Risalah Teosofi Islam,

terjemahkan dari Al-Mazhāhir Al- Ilāhiyyah fī Asrār Al-Ulūm Al-

Kamāliyyah, penerjemah: Irwan Kurniawan. Bandung: Pustaka Hidayah,

2004.

Mullā Sadrā, On the Hermeneutic of the Light Verse of the Qur’ān, penerjemah:

Latimah-Parvin Peerwani. London: ICAS, 2004.

Sadzali, Munawir. Islam dan Ketatanegaraan. Jakarta: UI Press, 1996.

Shalibā, Jamīl. Al-Mu’jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitāb al-Lubnāni, 1971.

Syaikh, M. Said. Kamus Filsafat Islam, Terjemahan Machun Husein. Jakarta:

Rajawali, 1991.

Schumacher, E.F. A Guide For The Perplexed. Jonatan Cape: London, 1977.

Saefuddin, AM. Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PPA Consultants, 2010.

Sardar, Ziauddin. Explorations in Islamic sciences. London-New York: Mansell,

1998.

Page 173: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

159

-------- Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter Saince Islam, (Terj)

AE Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.

Shadily, Hassan. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara,

1983.

Shofan, M. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Ircisod-UMG

Press. 2004.

Siregar, Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2000.

Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004.

Steenbrink, Karel A,. Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES The

Columbia Encyclopedia (1963) NY & London: Colombia University

Press, 1986.

-------- Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan

Bintang, 1984.

Sugiharto, Bambang. Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan Tinggi,

dalam Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, Afnan Anshori (editor),

Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Mizan: Yogyakarta,

2005.

Sukmadinata, Nana Sayodih. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek.

Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.

Sukmadinata, Nana Sayodih. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum.

Jakarta: PPLTK, 1988.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Umum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 1992.

Thoib, Ismail. Wacana Baru Pendidikan; Meretas Filsafat Pendidikan Islam,

Yogyakarta: Genta Press, 2008.

Thoyyar, Huzni. Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan

Keilmuan Islam; Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam

Kontemporer. Artikel: Makalah, tth.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka, 2001.

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya

dalam KTSP. Jakarta: Bumi Aksara.

Usa, Muslih. Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta :

Tiara Wacana, 1991.

Wahana, Paulus. Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius,

2004.

Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.

Naquib al-Attas. Bandung: Mizan, 2003. Cet. I.

Woodhouse, Mark B,. A Preface to Philosophy. California: Wordworth

Publishing Company, 1984.

Yamin, Moh. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Jogjakarta: Diva Press,

2009.

Page 174: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

160

Yazid, Mahdi Haidir. The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy:

Knowledge by Presence. Albany: State University of New York Press,

1992), 159.

Yulaelawati, Kurikulum dan pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi.

Bandung Raya, 2004.

Yuldelasharmi, Dikotomi Ilmu Pengetahuan: Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu

dalam Peradaban Islam, dalam Samsul Nizar (Edit), Sejarah Pendidikan

Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi Muhammad

sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.

Zaini, Syahminan. Integrasi Ilmu dan Aplikasinya menurut Al-Qur’an. Jakarta:

Kalam Mulia, 1989.

Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Islam. Bayumedia: Malang, 2003.

Ziai, Hossein. ”Mullā Sadrā: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Ensiklopedi

Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan,

2003.

Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1985.

B. Jurnal dan Internet

Acikgenc, Alparslan. Artikel “Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam

& Science”. Journal of Islamic Perspective on Science, Juni (2003), No.

1, Vol 1.

Arief, Armai. “Melacak Akar Timbulnya Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan

Islam”, dalam Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Vol. 3 No. 2.

Desember 2002. Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

(2002).

Arsyad, Azhar. Artikel “Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan

Ilmu Agama”. Makasar: Hunafa Jurnal Studia Islamika, (2011). Vol.8,

No. 1.

Aziz , M. Amin “Islamisasi ilmu sebagai Isu dalam Ulūm al-Qur’ān, Vol. III,

No. 41192, 3. Baca pula Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail

Raji al-Faruqi,” Al-banjar, Vol. 7, No. 1 Januari, (2008) : 42.

Bakar, Osman. Artikel “Reformulating a Comprehensive Relationship Between

Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science”.

Journal of Islamic Perspective on Science, Juni (2003), No. 1, Vol, 1.

Dahlan, Moh. “Relasi Sains Modern dan Sains Islam; suatu upaya pencarian

paradigma baru” dalam ejournal.umm.ac.id, diunduh pada 16 Maret

(2014).

Hadi Masruri, M. dan Imron Rossidy. Artikel “Filsafat Sains dalam Al-Qur’ān:

Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama”. UIN Malang:

Jurnal, Tth.

Mustofa, “Tauḥid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim” dalam

Intelektualisme Islam, Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,

Page 175: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

161

editor Lutfi Mustofa dan Helmi Syaifuddin (UIN malang: LKQS, (2007),

12.

Nur, Syaifan. “Filsafat Mullā Sadrā”. Yogyakarta: Mullā Sadrā Jurnal Filsafat

Islam dan Mistisisme, 2011. Vol. 1, No. 4 .

Rahman, Fazlur. Islamization of Knowledge: A Response. “American Journal of

Islamic Social Science, (1998).

Rusydi, Ibnu. Artikel “Paradigma Pendidikan Agama Integratif-Transformatif”.

Jurnal Pendidikan Islam (JPI): Yogyakarta, (2012). Vol.1, No. 1.

Rusydi, M. Artikel “Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam dan

Pengaruhnya”. Jurnal: Al Banjari, (2006).

Sanjaya, Wina. kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan praktek Pengembangan

kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media

Grup, 2008.

Saylor, Dkk. Curriculum Planning For Better Teaching and Learning. New

York: Holt-Rinchart and Winston, 1981.

Suharyanta dan Sutarman. Artikel “Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-

Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam”. Jurnal:

Mukaddimah, (2012), Vol. 18 No. 1.

Suyatno, Artikel “Dekonstruksi Pendidikan Islam sebagai sub sistem Pendidikan

Nasional”. Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Islam, 2012, Vol. 1 No. 1.

Taufiq. Artikel “Peta Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia: Telaah Dikotomi

Pendidikan Jurnal Hunafa: STAIN Datokarama Palu, (2010), Vol.7, No.

2.

Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, ia menulis Artikel “

Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi

dalam Konteks Dasar Sains Negara”. Jurnal: Kesturi, (1999), No. 1.

Zainuddin, M., ia menulis artikel “Paradigma Pendidikan Islam Holistik,” Jurnal

Ulumuna, Vol. XV, No. 1 (2011) : 85.

article.cgi?aid=00004595&channel=university%20ave&start=0&end=9&chapter

=1&page= 1; Desember 2013

David Klinghoffer, Science vs. Religion: A False Dichotomy, Access Research

Network, http://www.stephenunwin.com/media/Publish-

ers%20Weekly.pdf; Desember 2013.

Ibrahim A. Ragab, Islamic Perspectives on Theory-Building In the Social

Sciences, http://www. ibrahimragab.com/ebooks-15

Muhammad Gill, What is Islamization of Knowledge?,

http://www.chowk.com/show

http://www.makalahkuliah.com/2013/01/konsep-pendidikan-islam-

integratif.html. diakses pada tanggal 19 Agustus 2014.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/12/30/mymfwf-kurikulum-

2013-. diakses pada tanggal 19 Agustus 2014

Integrated Curriculum Guide,

http:/www.archework.org/project/tesp/ic_guide_p5.html.diakses pada tanggal 17

Agustus 2014.

Page 176: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

162

‘Irfan : Mistisisme Islam, memiliki konsep tentang

kesebatunggalan wujud (tauḥid wujūdi).

al-‘Ilm al-ḥuḍūri : Pengetahuan presensial atau al-ma’rifah al-

ḥuḍuriyyah (knowledge by presence).

al-‘Ilm al-ḥuṣūli : Pengetahuan korespondesi atau representasi,

disebut juga pengetahuan capaian atau al-

ma’rifah al-ḥuṣūliyah (acquired knowledge).

al-Ḥikmah al-muta’āliyah : Hikmah yang tertinggi, dikenal sebagai nama

dari filsafat Mullā Sadrā.

al-Iḍāfah al-‘ishrāqiyyah : Keterhubungan iluminatif.

al-Imkān al-faqri : keserbamungkinan yang membutuhkan.

al-ḥarakah al-jauhariyyah : Gerak substansial.

Ḥarakah : Secara harfiah berarti gerak, istilah ini

digunakan untuk menunjukkan perubahan

bertahap seiring dengan perputaran waktu,

dibedakan dengan kaun wa fasād secara harfiah

berarti kejadian dan kehancuran, istilah ini

digunakan untuk menunjukkan perubahan

seketika.

Aṣālah al-māhiyah : Pandangan bahwa māhiyah (kuiditas) adalah

realitas yang mendasar.

Aṣalah al-wujūd : Pandangan bahwa wujūd adalah realitas yang

mendasar.

Isti’dād : Kesiapan

Māhiyah : Kuiditas, hakikat yang sesungguhnya atau ciri

esensial sesuatu, berasal dari bahasa latin quid,

yaitu apa.

Maqūlah : Himpunan umum kuiditas.

Maujūd baṣīṭ : The simple existent, yaitu sesuatu yang jenis

wujudnya tak pernah bergantung pada unsur

Page 177: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

163

apapun. Kebalikannya adalah maujūd murakkab

(composite existence), yaitu keberadaan entitas

yang bergantung pada unsur-unsur pokoknya.

Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini

wujudnya pasti akan terbatas.

Tashkīk al-wujūd : Graditas wujūd.

wahḍah al-wujūd : Kesatuan wujūd.

wajib al-wujūd : Wujud yang wajib yang sifat wujudnya adalah

niscaya (necessary), dibedakan dengan mumkin

al-wujūd, wujud yang bersifat mungkin

(contingent beings) keberadaannya tergantung

dari wujud lain.

Page 178: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

164

Indeks

‘Irfānī, 98

A

agama, 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 23,

24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33,

34, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43,

44, 45, 46, 47, 48, 51, 52, 53, 54,

55, 56, 57, 58, 60, 64, 69, 70, 73,

76, 77, 78, 80, 81, 82, 94, 95,

102, 103, 107, 108, 127, 130,

133, 134, 136, 137, 138, 139,

140, 141, 144, 147, 148, 149,

151, 156, 159, 160, 162

aksiologis, 1, 12, 71, 136, 137, 138,

139, 141, 161

al-Attas, 17, 18, 67, 68, 69, 70, 71,

79

al-Bīruni, 6, 70

al-Farabi, 35

al-Farāzi, 6

al-Ghazāli, 3, 6, 7, 35, 36, 45, 63,

124

Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah, 8, 13,

22, 88, 89, 90, 110, 112, 115, 117

Al-Ḥikmah al-Mutaʽāliyah fī Asfar

al-ʽAqliyah al-Arbaʽah, 8, 22

Amin Abdullah, 46, 47, 48, 80, 81

Aristoteles, 27, 51, 77, 93, 94, 95,

96, 97, 105, 107, 108, 116

Aṣālat al-Wujūd, 24, 117, 118

Azhar Arsyad, 4, 48

Azyumardi Azra, 7, 18, 19, 36, 40,

42

C

Charles R. Darwin, 28

D

dikotomi, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14,

15, 20, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31,

32, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 41,

42, 43, 44, 45, 76, 140, 141, 142,

147, 148, 159

dualisme, 10, 13, 14, 19, 26, 27, 28,

29, 34, 37, 40, 41, 81, 124, 147

E

eksistensi, 6, 27, 28, 41, 68, 98, 101,

103, 111, 113, 114, 116, 117,

118, 122, 123, 127, 128, 130,

131, 132, 133, 135, 160

epistemologi, 5, 14, 20, 28, 42, 46,

47, 63, 64, 65, 67, 71, 75, 80,

101, 103, 107, 119, 120, 121,

125, 129, 130, 139, 140, 146, 161

F

farḍu ’ain, 68

farḍu kifāyah, 7, 35, 42, 45, 50, 68,

69

Fazlur Rahman, 9, 10, 11, 16, 18,

22, 74, 80, 83, 118, 129

filsafat peripatetik, 83, 93, 96, 97,

99, 115, 117

Page 179: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

165

Frederich Nietszche, 78

G

Galileo Galilei, 1, 8, 32, 51, 82

geosentris, 1, 14, 51

Giordano Bruno, 8

gnostik, 17, 83, 88, 99, 100

H

Harun Nasution, 2, 6, 29, 34, 35

heliosentris, 1, 14, 51

Holistik, 9, 19, 24, 30, 31, 81, 102,

105, 119, 139, 142, 143, 144,

145, 146, 151, 159, 160, 161

Holmes Rolston, 19

Hossein Ziai, 17, 83, 85, 87, 88, 98

huḍūrī, 121, 122, 123, 124

I

Ibn ‘Arabi, 104, 113, 114, 115

Ibnu Haytham, 6

Ibnu Rushdy, 3, 6, 12, 36, 78, 94

Ibnu Sīna, 3, 6, 12, 70, 84, 94, 95,

120

illuminasionisme, 17, 83

ilmu agama, 1, 5, 10, 12, 13, 24, 27,

29, 30, 32, 34, 35, 38, 40, 43, 47,

69, 78, 81, 142, 147, 148, 160,

162

ilmu umum, 1, 4, 5, 9, 10, 11, 12,

13, 15, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 27,

29, 30, 31, 32, 33, 35, 38, 39, 40,

42, 43, 44, 45, 81, 82, 102, 142,

147, 159, 160, 162

Imam Suprayogo, 49, 50, 80, 81

integrasi, 5, 9, 12, 13, 15, 16, 17, 18,

19, 20, 22, 23, 24, 25, 31, 41, 48,

49, 51, 58, 59, 61, 63, 67, 70, 73,

78, 81, 82, 83, 101, 102, 103,

105, 107, 128, 130, 133, 139,

140, 141, 146, 148, 156, 160,

161, 162

integrasi keilmuan, 15, 22, 24, 25,

48, 59, 61, 63, 67, 70, 73, 161

ishrāqi, 7, 12, 35, 97

Ismail Raji al-Faruqi, 70, 75, 79

K

Karel A. Steenbrink, 38, 81

kauniyah, 11, 32, 33, 141

Kuntowijoyo, 80, 81, 159

kurikulum, 10, 11, 14, 31, 32, 33,

37, 41, 42, 143, 145, 146, 147,

148, 149, 151, 152, 153, 156,

157, 159, 161, 162

Kurikulum 2013, 148

kurikulum pendidikan, 11, 31, 149,

151

M

Mīr Dāmād, 84, 92

Muhammad Natsir, 26

Mullā Abdul Razzaq Lahiji, 86

Mullā Hadi Sabzawari, 108

Mullā Muhsin Faidh Kasyani, 86

Mullā Sadrā, 8, 9, 12, 13, 14, 15, 16,

17, 20, 21, 22, 23, 24, 58, 80, 82,

83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91,

92, 93, 98, 100, 101, 103, 104,

105, 107, 108, 109, 110, 111,

112, 113, 114, 115, 116, 117,

Page 180: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

166

118, 120, 121, 122, 123, 124,

125, 126, 127, 128, 129, 130,

131,132, 134, 137, 138, 140, 146,

159, 160, 161, 162

Mulyadhi Kartanegara, 9, 19, 29, 30,

76, 77, 81, 102, 105, 114, 115,

159

N

Naquib al-Attas, 17, 67

Nicolas Copernicus, 32

O

ontologis, 1, 9, 12, 27, 58, 59, 83,

96, 98, 105, 119, 134, 138, 139,

141, 146, 161

P

Pendidikan, 2, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12,

13, 19, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 33,

34, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45,

48, 49, 51, 57, 67, 68, 69, 70, 74,

75, 79, 82, 84, 114, 142, 143,

144, 145, 146, 147, 148, 149,

150, 151, 152, 155, 157, 159,

160, 162

pendidikan integratif, 13, 14, 15, 17,

24, 51, 142, 159, 161

Pendidikan Islam, 2, 3, 6, 7, 10, 11,

12, 13, 19, 26, 27, 29, 30, 31, 33,

34, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 48, 49,

51, 57, 68, 69, 70, 74, 75, 82,

142, 143, 144, 146, 152, 155, 157

Pervez Hoodbhoy, 18, 74, 75

Q

qauliyyah, 49, 81, 160, 162

R

reintegrasi, 24, 46, 58, 147

rekonstruksi, 13, 24, 45

S

Sadr al-Dīn Shirazī, 16

Sadra, 16, 17, 85, 86, 118, 131, 132

Sadrā, 8, 12, 16, 17, 20, 21, 22, 23,

82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90,

91, 92, 93, 101, 103, 104, 105,

106, 110, 112, 114, 115, 116,

117, 118, 119, 120, 121, 123,

124, 125, 126, 128, 130, 131,

132, 133, 138, 140, 146

Sayyed Hossein Nasr, 7, 35

Sigmund Frued, 28

Suhrawardi, 7, 35, 85, 93, 94, 96,

97, 98, 99, 105, 114, 115, 117,

118, 120, 124, 127, 130

Syed Ali Ashraf, 10

Syed Sajjad Husain, 10

T

Tahāfut al-falāsifah, 7, 35, 36

Tahāfut al-Tahāfut, 7, 36

Tanziliah, 141

tashkīk al-wujūd, 9, 106, 146, 161

Tauḥīd, 9, 24, 33, 66, 71, 83, 101,

102, 103, 143, 144, 145, 159, 161

tipologi integrasi, 24

Page 181: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

167

W

Waḥdah al-Wujūd, 108, 109, 110,

113, 114, 115, 123, 146, 159, 161

wujūd, 9, 17, 91, 92, 97, 100, 104,

105, 108, 112, 113, 118, 123,

146, 159, 160

Z

Zaenal Abidin Bagir, 80, 81

Zainuddin, 78, 82, 142, 143, 144,

146

Ziauddin Sardar, 18, 66, 71, 72, 79,

80

Zunnun al-Mishri, 99

Page 182: TESIS - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang mengatakan bahwa Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme dengan meletakkan kembali

168

Ahmad Zamakhsari, lahir di Bekasi pada tanggal 31

Juli 1989. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD

Islam As-Syafi’iyah 04 pada tahun 2001, kemudian

MTs As-Syafi’iyah 05 pada tahun 2004, selanjutnya

MA Annida Al-Islamy Bekasi pada tahun 2007,

kemudian melanjutkan Pendidikan Strata 1 di STIT

(Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah) Al Marhalah Al

ʽUlya Bekasi

pada tahun 2011 dengan konsentrasi Pendidikan Agama Islam (PAI)

dengan Judul Skripsi “Konsep Pendidikan Islam dalam Surat al-‘Alaq

Ayat 1-5 (Studi Tafsir al-Misbāh)”. Pada tahun 2012, Penulis melanjutkan

studi program Magister (S2) pada Program Studi Pengkajian Islam

Konsentrasi Pendidikan Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Aktivitas Penulis sehari-hari adalah Guru di Mutiara

Indonesia International School dan Dosen di STIT Al Marhalah Al ʽUlya

bekasi sampai sekarang.

Tesis ini merupakan hasil penelitian di Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada bidang Pendidikan Islam (Islamic

Studies) guna memperoleh gelar MA di bidang Pendidikan. Selain aktif

mengajar penulis juga aktif menulis sekaligus menjadi editor pada buletin

dan jurnal yang diterbitkan oleh STIT Al Marhalah Al ʽUlya Bekasi dan

buku-buku bahasa Arab pedoman tingkat SMP/MTs serta beberapa jurnal

ilmiah.