bab iii agama, negara dan sekularisme beberapa pengertian...

42
BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian Tentang Agama Dalam studi ini, pengertian tentang agama yang menjadi titik tolak untuk mengaitkannya dengan negara, terutama diambilkan dari tradisi sosiologi agama, dengan dari para sosiolog, mengecualikan pengertian agama yang ditawarkan Wilfred Cantwel Smith (fenomenologi) dan Ludwig Wittgenstein (filsafat analitika). Emile Durkheim mengatakan bahwa fenomena keberagamaan didasarkan atas dua kategori dasar, belief atau kepercayaan dan ritus. 1 Belief, dalam bahasa Durkheim adalah states of opinion and consist of representations. Sementara ritus adalah bentuk partikular dari tindakan. 2 Ritus dapat dibedakan dari praktek manusia lainnya, hanya dengan melihat dasar yang khusus dari objek tersebut. Dasar spesial itulah yang diekspresikan dalam ”belief”. Sehingga, hanya setelah mendefinisikan belief, kita baru dapat mendefinisikan ritus. 3 Agama, karenanya lebih dari sekadar gagasan tentang Tuhan dan roh, sehingga agama tidak dapat dibatasi dan didefinisikan semata-mata kaitannya dengan keduanya. Segala hal yang terkait dengan keyakinan dan praktek yang memiliki ketersambungan dengan sesuatu yang sakral itulah yang dalam terminologi Durkheim dikenal sebagai agama. Ada catatan menarik dari Durkheim yang bisa kita cermati. Ia menuturkan bahwa agama berbeda dengan magis. 4 Jika magis merupakan upaya individual, sementara agama tidak dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan atau moral. Dengan kata lain, watak dasar agama, dalam konteks sosiologis adalah keperluan akan institusi sosial untuk melegitimasi kandungan doktrinnya. 1 Emile Durkheim, The Elementary forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995), 34. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid., 39.

Upload: lengoc

Post on 12-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

BAB III

AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME

Beberapa Pengertian Tentang Agama

Dalam studi ini, pengertian tentang agama yang menjadi titik tolak

untuk mengaitkannya dengan negara, terutama diambilkan dari tradisi

sosiologi agama, dengan dari para sosiolog, mengecualikan pengertian agama

yang ditawarkan Wilfred Cantwel Smith (fenomenologi) dan Ludwig

Wittgenstein (filsafat analitika). Emile Durkheim mengatakan bahwa

fenomena keberagamaan didasarkan atas dua kategori dasar, belief atau

kepercayaan dan ritus.1 Belief, dalam bahasa Durkheim adalah states of

opinion and consist of representations. Sementara ritus adalah bentuk

partikular dari tindakan.2 Ritus dapat dibedakan dari praktek manusia

lainnya, hanya dengan melihat dasar yang khusus dari objek tersebut. Dasar

spesial itulah yang diekspresikan dalam ”belief”. Sehingga, hanya setelah

mendefinisikan belief, kita baru dapat mendefinisikan ritus.3

Agama, karenanya lebih dari sekadar gagasan tentang Tuhan dan roh,

sehingga agama tidak dapat dibatasi dan didefinisikan semata-mata

kaitannya dengan keduanya. Segala hal yang terkait dengan keyakinan dan

praktek yang memiliki ketersambungan dengan sesuatu yang sakral itulah

yang dalam terminologi Durkheim dikenal sebagai agama. Ada catatan

menarik dari Durkheim yang bisa kita cermati. Ia menuturkan bahwa agama

berbeda dengan magis.4 Jika magis merupakan upaya individual, sementara

agama tidak dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan atau moral.

Dengan kata lain, watak dasar agama, dalam konteks sosiologis adalah

keperluan akan institusi sosial untuk melegitimasi kandungan doktrinnya.

1 Emile Durkheim, The Elementary forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995), 34. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid., 39.

Page 2: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Kemudian masuklah kita pada definisi agama dari Durkheim yang

sangat familiar itu. Agama, menurut Durkheim adalah ”unified system of

beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart

and forbidden-beliefs and practices which unite into one single moral

community called a Church, all those who adhere to them”.5

Dari tradisi fenomenologi, Wilfred Cantwel Smith menuturkan, dalam

diri agama selalu terkandung dua faktor yang berbeda jenis tetapi sama-sama

dinamis yakni “tradisi kumulatif” yang historis dan iman personal manusia.6

Tradisi kumulatif merupakan keseluruhan massa data objektif terbuka

yang merupakan kandungan historis dari kehidupan religius pada masa

silam. Contoh yang paling konkret untuk menggambarkan tradisi kumulatif

adalah bangunan-bangunan peribadatan, kitab-kitab suci, sistem teologi,

pola-pola tari, institusi legal dan sosial lainnya, konvensi, kode moral, mitos

dan sebagainnya. Dengan kata lain, tradisi kumulatif merupakan sesuatu

yang dapat dan memang dialihkan dari satu orang atau generasi ke orang

atau generasi lain serta dapat diamati oleh sejarawan.

Tradisi kumulatif ini tentu saja menjadi aspek yang cukup penting

untuk melihat sejauhmana agama dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat.

Jika tradisi kumulatif merupakan gambaran konkret agama, tidak demikian

halnya dengan iman personal. Iman personal sangat terkait erat dengan

bagaimana ia mengkonseptualisasikan tentang Yang Transenden. Jika teologi

adalah bagian dari tradisi-tradisi, maka iman berada di luar, melampaui

teologi yakni dalam hati manusia.

Leonard Swidler dan Paul Mojzes dengan rumusannya yang sederhana,

namun sangat filosofis, mengatakan bahwa agama merupakan eksplanasi

terhadap makna tertinggi dalam hidup. Biasanya agama mengandung empat

5 Ibid., 44. 6 Wilfred Cantwel Smith, The Meaning and End of Religion, terj. (Bandung: Mizan, 2004), 269.

Page 3: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

unsur yakni Creed, Code, Cult dan Community-Structure atau yang lebih

dikenal dengan formulasi 4 C.7

Creed merujuk pada aspek kognitif dari agama. Code (of behaviour) atau

etika termasuk didalamnya semua aturan dan adat atau prilaku yang

merupakan pengejawantahan dari code. Sementara cult adalah upacara

sebagai media untuk berkomunikasi dengan creed. Community yakni

komunitas yang bersama-sama menjalankan creed, code dan cult.8

Dengan bahasa yang sedikit berbeda, meski ada banyak semangat yang

sama, Meredith B. McGuire dalam ”Religion: The Social Context” mengatakan

bahwa agama mengandung empat aspek.9 Pertama, religious belief. Seperti

halnya yang dikatakan Swidler dan Mojzes, aspek ini merupakan aspek

kognitif. Dengan kepercayaan, manusia membuat pilihan, menafsirkan setiap

kejadian dan merencanakan tindakan.

Kedua, religious ritual. Aspek ini terkait dengan tindakan simbolik yang

merepresentasikan makna agama. Ritual merupakan jalan yang efektif untuk

mentransformasi tempat dan waktu. Tempat-tempat ritual seperti gunung

dan kuil dapat ditransformasi ke dalam lokus kekuasaan dan kekaguman.

Aspek ritual, memang menjadi catatan menarik dalam sebuah agama.

Inilah yang mendorong E. Thomas Lawson dan Robert N. McCauley mencoba

merumuskan ritual dalam tiga kapasitas.10 Ritual bisa dimaknai, pertama-

tama dalam artian ungkapan performatif. Yang kedua, ritual bisa juga

diartikan sebagai komunikasi informasi. Dan yang terakhir, ritual dijelaskan

sebagai sistem formal.11

Ketiga, religious experience. Menurut McGuire, aspek ini merupakan

ekspresi dari semua keterlibatan subjektif dari individu dengan yang

7 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue (Philadelpia: Temple University Press, 2000), 7. 8 Ibid., 7-8. 9 Meredith B. McGuire, Religion: The Social Context (California: Wadsworth, 1992), 16. 10 E. Thomas Lawson dan Robert N. McCauley, Rethinking Religion: Connecting Cognition and Culture (Cambridge University Press, 1990), 45-59. 11 Ibid.

Page 4: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

sakral.12 Meskipun pengalaman secara esensial bersifat privat, manusia

mencoba untuk mengkomunikasikannya melalui ekspresi keyakinan dan

dalam ritual. Ritual komunal menjadi seting bagi pengalaman keagamaan

personal. Sholat, meditasi, bernyanyi dan menari adalah seting bersama bagi

pengalaman keagamaan personal.

Keempat, religious community. Pengalaman keagamaan termasuk

didalamnya adalah kesadaran memiliki kelompok keagamaan. Ritual selalu

mengingatkan individu terhadap kepemilikan akan hal ini, menambah

intensitas terhadap kebersamaan.13 Nilai dari definisi, klasifikasi dan

konseptualisasi sosial mengenai agama, termasuk yang menyangkut

komunitas, bisa dilihat dalam keberhasilannya menteoritisasikan dan

menjelaskan fenomena sosial.14

Roland Robertson membuat dua pembedaan dalam menerangkan

definisi sosiologis mengenai agama, definisi nominal dan riil (nominal

definition and real definition).15 Definisi nominal menjadi menarik, karena

dapat dicoba ke dalam suatu bagan konseptual, kurang lebih dengan

mengabaikan permasalahan empiris tertentu. Sementara definisi riil

digunakan dalam jalan yang sangat berbeda yakni dalam pernyataan tentang

dunia yang empiris.

Pembedaan secara sosiologis model lain digunakan Robertson untuk

melihat agama, yakni functional dan substantive definition. Bentuk ini, meski

berbeda dengan kategori nominal dan riil, tetapi memiliki ketersambungan

makna. Menurut Robertson, definisi fungsional pada prakteknya mengarah

pada definisi nominal, sedangkan definisi substantif cenderung menjadi

definisi riil.

Definisi fungsional mengenai agama, diajukan sebagai kriteria untuk

mengidentifikasi dan mengklasifikasi sebuah fungsi dimana fenomena itu

12 Meredith B. McGuire, Religion. . ., 18. 13 Ibid., 20. 14 Roland Robertson, The Sociological Interpretation of Religion (Oxford: Basil Blackwell: 1972), 36. 15 Ibid.

Page 5: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

digambarkan.16 Dalam konteks tertentu, definisi fungsional dapat berjalan

beriringan dengan fungsi substantifnya. Karenanya, keduanya tidak harus

dilihat sebagai dua arus terpisah.

Contohnya bisa dilihat dalam penjelasan mengenai komunisme.

Komunisme bisa diidentiifikasi sebagai agama karena dapat memenuhi

semua fungsi agama.17 Atau dalam pengertian yang lebih ringan, komunisme

memiliki fungsi yang ekuivalen dengan agama. Dengan term ini berarti

komunisme menggambarkan fungsi serupa yang secara konvensional dan

intuitif dimengerti sebagai agama dalam masyarakat non komunis. Tesis

fungsional-ekuivalen itu penting karena mengkombinasikan elemen

substantif dan fungsional. Itu berarti, komunisme secara fungsional,

ekuivalen dengan agama, sebagai pendefinisian secara substantif.18

Berbeda halnya dengan Robertson dan McGuire, George A. Lindbeck

memaknai agama sebagai sistem cultural-linguistic.19 Agama, kata Lindbeck,

bisa dilihat sebagai kerangka kultural dan linguistik atau medium yang

membentuk seluruh kehidupan dan pemikiran.20

Seperti halnya budaya atau bahasa, agama juga merupakan fenomena

komunal yang membentuk subjektifitas individual bahkan terutama

merupakan manifestasi dari subjektifitas tersebut.21 Bahasa berhubungan

dengan form of life, dan budaya memiliki dimensi kognitif dan perilaku,

demikian pula halnya dengan tradisi agama. Doktrin, mitos dan cerita kosmis,

petunjuk etis, secara integral dihubungkan dengan praktek ritual, sentimen

atau pengalaman menumbuhkannya, tindakan yang merekomendasikan, dan

institusi yang mengembangkan.22

16 Ibid. 17 Ibid., 38. 18 Ibid., 39. 19 George A. Lindbeck, The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age (Philadelphia: The Westminster Press, 1984), 33. 20 Ibid. 21 Ibid. 22 Ibid.

Page 6: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Kata Lindbeck, agama, yang terutama adalah external word atau verbum

externum, yang mencetak dan membentuk diri dan dunianya, lebih dari

ekspresi atau tematisasi dari diri yang ada sebelumnya atau pengalaman

yang sudah terkonsep.23 Meski Lindbeck menekankan pada aspek verbum

externum, tetapi verbum internum (dalam Kekristenan biasa dikenal dengan

Roh Kudus atau ”Holy Spirit”) juga penting diperhatikan. Tetapi verbum

internum hanya dapat dipahami dalam model penggunaan teologis sebagai

kapasitas untuk mendengar dan menerima agama yang benar, bisikan luar,

lebih dari pengalaman bersama yang diartikulasikan secara berbeda dalam

berbagai agama.24

Tentang bahasa, Ludwig Wittgenstein, seorang filosof analitis dari

Austria melihat bahwasanya bahasa ilmiah tidak mungkin bisa merangkum

realitas yang terhampar di alam raya. Keterbatasan bahasa ini pulalah yang

kemudian berimbas pada pemahaman metapor bahasa agama. Karena

baginya, agama tidak lahir dalam kondisi yang sama serta dengan struktur

pengetahuan yang mapan.25

Karenanya ia mengajukan satu metode yang cukup apik saat manusia

berhadapan dengan kompleksitas bahasa agama, yakni “the language game”.

Dalam pengertian ini, manusia memperlakukan bahasa bagaikan dalam

sebuah permainan, seperti halnya bermain catur atau sepak bola.

Meskipun sifatnya permainan, tetapi di sana terdapat karakter atau rule

of the game yang harus ditaati. Pertama, berbahasa, seperti halnya

permainan, selalu bersifat publik. Artinya, bahasa dan permainan selalu

tumbuh bersama dan di tengah masyarakat. Kedua, sebuah permainan

memiliki aturan yang disepakati oleh pemain, penonton dan wasit. Ketiga,

ada tujuan yang hendak diraihnya. Keempat, berbahasa memiliki keasyikan

tersendiri, sehingga lebih nyaman berbicara daripada tutup mulut. Jadi

23 Ibid., 34. 24 Ibid. 25 Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 250.

Page 7: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

berbahasa selalu bersifat sosial, spontan memiliki aturan dan bertujuan.

Seseorang tidak bisa berbicara sekehendak hatinya tanpa melalui

kesepakatan sosial.26

Permainan bahasa ala Wittgenstein inilah yang patut diperhatikan

dalam operasionalisasi bahasa agama. Meski memiliki kompleksitas tinggi,

tetapi ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam memahami bahasa

agama.27 Oleh karenanya, makna terdalam dari sebuah bahasa tidak bisa

diukur dengan menggunakan standar gramatika yang baku, tetapi juga

melibatkan aspek psikologis, sistem nilai yang dianut, serta imajinasi yang

melatarbelakangi munculnya sebuah ungkapan atau tulisan.

Sebagai rujukan teoritis yang terakhir, penulis mengajukan argumentasi

J. Milton Yinger. Penegasannya tentang hal ini akan sangat membantu kita

memahami bagaimana agama dan kepercayaan dibedakan sekaligus

disepadankan. Kala berhadapan dengan kepercayaan individual, Yinger

mengajukan pertanyaan mendasar “are individual system of belief to be called

religion”?28

Bagi Yinger, agama yang sempurna bagaimanapun harus berupa

fenomena sosial.29 Agama harus bisa diidentifikasi sebagai kenyataan penting

bahwa keyakinan yang ada didalamnya juga memiliki dampak pada asosiasi

26 Kebenaran dalam sebuah bahasa agama akan bisa dilihat dengan tiga optik.

Pertama, apa yang dalam filsafat bahasa disebut sebagai teori ideational. Kebenaran bahasa dalam pandangan teori ini akan ditemukan bukan berada dalam dirinya, tetapi ada dalam makna yang esensial dan berada secara otonom dalam bentuk ide. Kedua, cara lain untuk mengetahui kebenaran bahasa agama adalah dengan menggunakan teori referential. Kebenaran dalam pandangan teori ini terletak pada ketepatan relasi antara proposisi dan objek yang ditunjuk dengan dukungan kekuatan penalaran logis (the power of logical thinking). Sementara yang ketiga, kebenaran akan bisa ditangkap melalui teori behavioral. Kebenaran bahasa agama akan sangat ditentukan oleh pesan yang dikehendaki oleh pembicara dalam rangka mempengaruhi perilaku pendengar atau pembicara. Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Teraju, 2003), 28-29 dan 66. 27 Tedi Kholiludin, “Kompleksitas Bahasa Agama”, Koran Tempo, 23 September 2007. 28 J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion (New York: Macmillan Publishing, 1970), 10. 29 Ibid.

Page 8: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

manusia. Bahkan, kematian sekalipun, kata Yinger secara fundamental

bukanlah termasuk krisis individu, melainkan krisis kelompok.30

Dalam pandangan Joachim Wach, semua agama, dengan berbagai

variasi yang dimilikinya, memiliki tiga ekspresi umum. Secara teoritis agama

merupakan sistem kepercayaan. Secara praktis, agama adalah sistem ibadah.

Dan secara sosiologis, agama tak lain dari sistem hubungan masyarakat.31

Sebelum tiga aspek tersebut dipenuhi, maka seseorang mungkin hanya

bisa dikatakan baru sebatas memiliki tendensi keagamaan atau

melaksanakan satu elemen keagamaan saja, tetapi bukan ”full religion”.32

Meskipun sistem kepercayaan merupakan jantung dari agama, petunjuk

etnologis dan etimologis memberi kesan bahwa agama sebagai penyembahan

dan sistem hubungan sosial adalah aspek yang paling dasar.33 ”Belief” datang

kemudian yang mencoba memberi koherensi dan makna terhadap

penyembahan dan asosiasi.

Agama Sebagai Fenomena Sosial:

Konsepsi Marx, Weber dan Durkheim

Dalam pergumulan ilmu-ilmu sosial, bahasan agama dihubungkan

dengan fenomena lain seperti struktur, ekonomi dan solidaritas sosial. Relasi

antara agama dengan institusi sosial lainnya itulah yang memunculkan

berbagai hipotesis tentang pengaruh diantara elemen-elemen tersebut. Karl

Marx, Max Weber dan Emile Durkheim adalah tiga orang yang cukup

memiliki peran dalam bahasan ini.

Pokok yang menjadi bahasan sosiologi Marx salah satunya adalah soal

alienasi. Dalam “Economic and Philosophic Manuscripts of 1844”, Marx

menunjukkan bentuk keterasingan manusia yang disebabkan oleh pekerjaan

(baca: ekonomi politik). Melalui tulisannya itu, Marx mengatakan kalau

30 Ibid.

31 Joachim Wach, Sociology of Religion (The University of Chicago Press, 1958), 17-34 32 J. Milton Yinger, The Scientific Study. . . 33 Ibid.

Page 9: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

pekerjaan pada gilirannya menjadi komoditas, bahkan menjadi komoditas

yang paling menyusahkan; penderitaan pekerja itu bertambah buruk

bersamaan dengan bertambahnya kekuasaan dan jumlah produksinya. Hasil

dari persaingan adalah terkumpulnya modal pada segelintir orang, dan

mapannya monopoli dalam bentuknya yang lebih buruk. Pada akhirnya

perbedaan antara pemilik modal dan tuan tanah, dan antara buruh pertanian

dan pekerja industri pasti akan terlihat dan keseluruhan masyarakat terbagi

menjadi dua kelas, yakni pemilik yang kaya (property-owners) dan pekerja

yang miskin (propertyless-workers).34

Bahasan tentang ekonomi menjadi sentrum dari pemikiran Marx. Dalam

“The German Ideology”, Marx merumuskan premis dasar bahwa bidang

ekonomi menentukan bidang politik dan pemikiran manusia, bahwa bidang

ekonomi ditentukan oleh pertentangan antara kelas-kelas pekerja dan kelas-

kelas pemilik, bahwa pertentangan itu dipertajam oleh kemajuan teknik

produksi, dan bahwa pertentangan itu akhirnya meledak dalam sebuah

revolusi yang mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi serta

mengubah struktur kenegaraan dan gaya manusia berpikir.35

Saat seorang buruh melakukan pekerjaan, Marx melihat kalau sang

buruh itu jatuh lebih miskin dari apa yang ia hasilkan dan meningkatnya daya

serta jangkauan barang tersebut.36 Barang yang dihasilkan pekerja

merangkak jauh lebih mahal daripada dirinya. Peningkatan devaluasi

kemanusiaan di satu sisi, dibarengi dengan meningkatnya nilai barang di sisi

yang lain. Kata Marx, labor produce not only commodities; it produces itself

and the worker as a commodity.37

Pada gilirannya, tindakan itu mengimplikasikan bahwa objek yang

diproduksi buruh kini bertentangan dengan buruh itu sendiri; objek itu

34 Robert C. Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London, New York: Norton Company, 1978), 70. 35 Ibid., 147-200. 36 Ibid., 71. 37 Ibid.

Page 10: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

menjadi makhluk asing dan kekuatan yang bebas dari pembuatnya.38 Apa

yang dihasilkan buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam

bentuk objek dan kemudian berubah menjadi benda fisik; produk ini

merupakan objektifikasi (objectification) buruh.39 Tindakan kerja pada saat

yang sama, tidak lebih dari objektifikasinya. Tindakan kerja, oleh ekonomi

politik dilihat sebagai pelemahan kerja, objektifikasi sebagai penghilangan

dan sebagai perbudakan pada objek, dan apropriasi sebagai alienasi.40

Tindakan kerja benar-benar terlihat sebagai pelemahan, yakni ketika

pekerja dilemahkan hingga menderita kelaparan. Objektifikasi terlihat

sebagai penghilangan objek, yakni pekerja dicabut, bukan hanya dari esensi

kehidupan, tetapi juga dari esensi pekerjaannya. Konsekuensi itu muncul dari

fakta bahwa pekerja berhubungan dengan hasil kerjanya sebagaimana

dengan objek yang asing. Semakin jelaslah bahwa semakin pekerja

mengembangkan dirinya dalam kerja, semakin kuat objek yang

diciptakannya yang berada dihadapannya, maka semakin miskinlah

kehidupan batiniahnya dan semakin dia tidak menjadi dirinya sendiri. Hal

yang sama sebenarnya juga berlaku pada agama. Semakin manusia mensifati

dirinya dengan Tuhan, dia tidak mempunyai kehidupan dalam dirinya.41

Pekerjaan menyerahkan hidupnya pada objek, kemudian kehidupannya tidak

lagi menjadi dirinya, tetapi milik objek.

Kritik Marx terhadap agama (selain sebagai alienasi) bisa dilihat saat ia

menjelaskan soal kesadaran (manusia). Manusia adalah produsen ide,

konsepsi dan lainnya. Cara memahami manusia bukanlah berbicara dari apa

yang dikatakan, dimimpikan dan dipahami manusia, juga tidak berbicara dari

apa yang ternarasikan, terpikirkan, terbayangkan dan terpahami manusia.

Untuk sampai pada manusia, maka penting untuk melihat manusia nyata

yang aktif dari kehidupan faktualnya.

38 Ibid. 39 Ibid.

40 Ibid., 71-72. 41 Ibid., 72.

Page 11: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Apa yang ada dalam pikiran manusia sebenarnya juga tak lain dari

sublimasi dari proses kehidupan manusia, yang secara empiris dapat

diverifikasi dan terikat dengan premis-premis material. Moralitas, agama,

metafisika, semua ideologi dan bentuk kesadaran yang terikat, makanya tidak

mempertahankan kemiripan independensinya. Kesemuanya itu tidak

memiliki sejarah, perkembangan, tetapi manusialah yang mengembangkan

produksi dan hubungan materialnya, mengubah, sepanjang eksistensi

nyatanya, pemikiran dan produk-produk berpikirnya.

Makna kehidupan yang paling hakiki diuraikan dalam satu frase yang

cukup menarik bahwa, “Hidup tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi

kesadaran ditentukan oleh hidup” (Life is not determined by consciousness,

but consciousness by life). Dalam pendekatan pertama, titik awalnya adalah

kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang hidup, sedangkan dalam

pendekatan yang kedua, titik awalnya adalah individu-individu itu sendiri

yang hidup secara nyata, karena mereka berada dalam kehidupan aktual,

sedangkan kesadaran dengan sendirinya semata-mata dianggap sebagai

kesadaran mereka.

Pendekatan yang pertama, dengan menjadikan kesadaran sebagai titik

awal, bagi Marx sama sekali tidak bisa dijadikan premis. Pendekatan hanya

bisa dimulai dari premis nyata. Premis-premisnya adalah manusia, bukan

isolasi fantastik atau definisi abstrak, yang berada dalam proses

perkembangan yang aktual yang bisa dipahami secara empiris di bawah

kondisi-kondisi tertentu. Inilah filosofi dari gagasan pokok materialisme

Marx. Ia kemudian melanjutkan bahwa segera setelah proses kehidupan yang

aktif ini dideskripsikan, sejarah tidak lagi menjadi sekadar koleksi fakta-fakta

beku karena sejarah berada di tangan para empiris (tetapi mereka sendiri

masih abstrak), atau menjadi sebuah aktivitas imajiner dari subjek-subjek

yang imajiner juga ketika sejarah berada di tangan idealis.

Inilah sebenarnya filosofi dari kritik Marx terhadap agama. Ia kemudian

menggambarkan kritik terhadap agama adalah prasyarat terhadap seluruh

Page 12: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

kritik.42 Landasan kritisisme irreligious adalah; manusia menciptakan agama,

bukan agama yang menciptakan manusia.43 Marx konsisten dengan

argumentasinya bahwa manusia adalah penggerak sejarah, termasuk dalam

kaitannya dengan agama. Menurut Marx, agama adalah sebentuk kesadaran

diri (self consciousness) dan harga diri (self esteem) manusia yang belum

menemukan dirinya sendiri atau sudah kehilangan dirinya sendiri.44 Hanya

saja perlu dimengerti bahwa manusia menginjakkan kakinya di bumi, dalam

sebuah edaran sejarah. Manusia adalah dunia umat manusia; negara,

masyarakat (state, society). Ia berada diantara masyarakat. Masyarakat itulah

yang menghasilkan agama yang oleh Marx dianggap sebagai kesadaran dunia

yang terbalik dimana agama merupakan teori umum tentang dunia tersebut.

Marx kemudian menuturkan bahwa agama merupakan realisasi esensi

manusia (human essence) yang penuh khayalan (fantasi) karena inti manusia

itu belum memiliki realitas yang nyata.45 Bagi Andrew McKinnon, pernyataan

ini merupakan gambaran agama seperti yang diungkapkan oleh Ludwig

Feurbach.46 Maka, perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah

perjuangan melawan sebuah dunia yang aroma spiritualnya adalah agama

tersebut.

Lalu Marx mengatakan,

Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people. The abolition of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their real happiness. To call on them

42 Ibid., 53.

43 Ibid. 44 Ibid. 45 Ibid. 46 Andrew McKinnon, “Opium as Dialectics of Religion: Metaphor, Expression and Protest”, dalam Warren S. Goldstein (ed), Marx, Critical Theory and Religion: A Critique of Rational Choice, (Boston: BRILL, 2006), 20.

Page 13: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions.47

Agama sebagai “opium” kerapkali dijadikan sebagai “standar” untuk

menggambarkan pikiran Marx soal agama. Daniel L. Pas tidak terlalu

mementingkan apakah Marx tahu kegunaan opium pada masanya itu atau

tidak.48 Yang pasti, Marx tahu bahwa opium adalah narkotik dan

halusinogenik yang dapat meringankan rasa sakit dan menciptakan fantasi-

fantasi. Disitulah makna agama yang dapat meringankan beban bagi mereka

yang membutuhkan, terutama orang-orang miskin. Berangkat dari kenyataan

seperti itu, Marx memberi solusi dengan mengamini tawaran Ludwig

Feurbach. Dalam “Theses on Feurbach,” Marx mengatakan the philosophers

have only interpreted the world, in various ways; the pint, however, is to change

it.49

Meski menyetujui komentar Feurbach soal upaya merubah dunia (tidak

hanya menafsirkan), namun Marx mengkritik pendapat Feurbach soal agama.

Marx menilai gagasan Feurbach tentang esensi agama itu sebagai suatu yang

abstrak. Dalam “Theses of Feurbach,” Marx menuturkan kalau Feurbach

melebur hakekat keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi hakekat

kemanusiaan bukanlah abstraksi yang terdapat pada satu-satu individu.

Dalam kenyataannya, ia adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan

sosial.50

Berbeda dengan Feurbach yang menekankan pada abstraknya esensi

manusia, Marx bergerak pada ranah yang lebih konkrit. Dengan memperluas

makna “ekspresi”, Marx menggarisbawahi pentingnya dimensi sosial dengan

mengatakan bahwa agama adalah semangat dari mereka yang tak memiliki

47 Ibid. 48 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 2006), 135. 49 Robert C. Tucker (ed), The Marx-Engels Reader. . . 145. 50 Ibid.

Page 14: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

semangat dan hati dari situasi sosial yang tak berhati, dimana agama

merupakan keluhan dan saksi terhadap penindasan.51

Melihat pengertian Marx tentang agama di atas, kita akan mendapati

tiga kata penting, yakni ekspresi (expression), protes (protest) dan opium.

Kata opium sebagaimana digambarkan oleh Marx, kata McKinnon memiliki

pengertian yang merupakan dialectical culmination of movement dari

ekspresi dan protes.52 Kata McKinnon, pembaca “tradisional” terhadap Marx

kerapkali mengabaikan konteks dan dialektika dari gerakan ekspresi dan

protes ini, dimana opium menjadi penanda yang membawa keduanya dalam

satu momen.53 Opium, dalam kalimat tersebut merupakan sebuah metafora

dimana Marx menggunakannya dalam konteks yang khusus dan mendorong

kita untuk melihatnya secara dialektis: opium/agama merupakan ekspresi

dan protes.

Terlepas dari perdebatan tentang opium, yang jelas pengertian Marx

tentang agama telah bergerak dari percaturan teologi dan menjadikannya

sebagai problem ekonomi dan politik. Selain itu, Marx menempatkan agama

lebih konkret daripada Feurbach, dengan mengalamatkannya pada negara

dan masyarakat, bukan esensi manusia. Kaitannya dengan persoalan

ekonomi, Marx menunjukkan paralelitasnya dengan agama. Keduanya

ditandai oleh alienasi.54 Walaupun demikian, Marx juga menyoroti hubungan

antara kehidupan material dan spiritual yang saling mempengaruhi.

Kehidupan di bidang ekonomi akan merubah kehidupan spiritual.55 Pada

akhir abad pertengahan memang kita menyaksikan hadirnya kapitalisme dan

pergeseran dari Katolikisme ke Protestantisme. Hanya saja pertanyaannya

kemudian, apakah faktor ekonomi menjadi satu-satunya agen perubahan

tersebut? Atau bisa jadi yang ada dalam kenyataan adalah hal sebaliknya,

51 Andrew McKinnon, “Opium as Dialectics of Religion. . ., 22. 52 Ibid. 53 Tentang konteks historis fungsi dan kegunaan opium pada abad 19, lihat Ibid., 12-17. 54 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion. . . 134. 55 Ibid., 141.

Page 15: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

dimana nilai agama yang merubah kehidupan ekonomi? Pertanyaan terakhir

ini menggiring kita pada pemikiran tokoh Jerman yang lahir dua dasawarsa

setelah kematian Marx yakni, Max Weber.

Fokus utama dari tulisan-tulisan Max Weber dalam wilayah agama,

dibentangkan hingga masalah organisasi dan proses ekonomi, sistem politik

organisasi formal, dan hukum. Ketika dia berbicara tentang agama, Weber

tidak menuturkan agama “as such” seperti halnya para teolog atau sejarawan

gereja mengupasnya, tetapi hubungan antara ide-ide keagamaan dan

komitmen serta aspek lain dari kehidupan manusia terutama karakteristik

manusia dalam sebuah masyarakat. Konsentrasi Weber adalah

mengkhususkan diri pada apa yang disebut sebagai sosiologi agama. Weber

menampilkan fase baru dalam memahami hubungan antara aspek

keagamaan dan aspek lain dari perilaku manusia.

Soal mendefinisikan agama, bisa dikatakan bahwa Weber adalah orang

yang gagal melakukannya. Setidak-tidaknya sebuah catatan sistematika

tentang apa yang akan dilakukan untuk sampai pada pembuatan definisi

agama, Weber tidak berhasil memformulasikan hal tersebut. Weber

mengatakan, mendefinisikan agama, mengatakan apa itu agama, tidaklah

mungkin dimulai dari awal penyajian. Definisi dapat dilakukan hanya pada

kesimpulan dari kajian ini. ”Esensi sebuah agama bukanlah perhatian kami,

tugas kami adalah mempelajari kondisi-kondisi dan pengaruh jenis tertentu

dari perilaku sosial,” kata Weber.56

Dengan begitu, maka secara apa adanya, Weber mengatakan bahwa

perilaku sosial yang dibahasnya dalam sosiologi agamanya akan dimasukkan

dengan istilah agama. Karenanya, kita juga harus menerima pandangan

implisitnya tentang Budhisme, Islam, Judaisme dan Kristen yang semuanya

adalah agama. Menurut Weber dimensi eksternal dari perilaku keagamaan

itu berbeda-beda dan bahwa pemahaman terhadap perilaku ini hanya dapat

dicapai dari sudut pandang pengalaman-pengalaman subjektif, ide dan 56 Guenter Roth and Claus Wittich (ed), Max Weber: Economy and Society, vol.I (Los Angeles: University of California Press, 1978), 399.

Page 16: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

maksud-maksud dari individu yang berkaitan –atau singkatnya, dari sudut

pandang “makna” perilaku keberagamaan.57 Bentuk yang paling dasar dari

perilaku manusia, termotivasi oleh faktor agama atau magis berorientasi ke

dunia ini.58 Bagi Weber, baik tindakan maupun pikiran tentang agama

ataupun magis tidak bisa dipisahkan dari maksud tertentu, terutama karena

dari awal bahkan hingga akhir tindakan agama atau magis didominasi

persoalan ekonomi.59

Berbeda halnya dengan Marx yang menyebut ekonomi berperan dalam

mengubah superstruktur termasuk di dalamnya agama, Weber justru

berpendapat sebaliknya. Weber menjabarkan Etika Protestan serta relasinya

dengan semangat kapitalisme.60 Weber menunjukkan bahwa perkembangan

di bidang ekonomi, terutama dengan munculnya semangat kapitalisme

modern di dunia barat, telah dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri

sendiri.61 Kapitalisme modern di dunia barat, menurut Weber timbul sebagai

akumulasi dari kekuatan sosial, politik dan ekonomi serta agama yang

berakar jauh di dalam sejarah Eropa.

Kapitalisme, sebagai suatu sistem perekonomian, yang terletak pada

suatu organisasi dari para penerima upah bebas secara legal, dengan suatu

tujuan untuk mendapatkan keuntungan uang, dari para pemilik modal dan

agen-agennya, dan membuat tanda-tanda dalam setiap aspek masyarakat,

merupakan suatu fenomena modern.

Weber menunjukan salah satu elemen fundamental dari spirit

kapitalisme modern dan seluruh budaya modern adalah tindakan rasional

yang didasarkan pada panggilan (calling) yang lahir dari semangat asekese

Kristen.62 Weber disini menyebut soal calling (panggilan). Gejolak reformasi

telah berhasil memisahkan dualisme moral yang berlaku universal dan

57 Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid., 400. 60 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (New York: Charles Scribner’s Sons, 1976). 61 Ibid.

62 Ibid., 180

Page 17: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

kepatuhan yang sangat keras.63 Calvin berusaha menghindari kesulitan

bagaimana memahami manusia dan anugerah Tuhan. Calvinisme mengutuk

kenikmatan, tetapi tidak mengijinkan pelarian dari keduniaan dan

menganggap bekerja dengan orang-orang lain dibawah sebuah disiplin

rasional sebagai kewajiban religius seseorang.64 Bagi kaum Calvinis, suatu

panggilan bukanlah suatu kondisi sejak manusia dilahirkan, tetapi

merupakan usaha manusia yang sangat sulit dan berat yang telah dipilih oleh

manusia sendiri dan yang telah dicari lewat rasa tanggungjawabnya.

Disinilah kemudian Weber menyebut kata ”vokasi” atau vocation.65 Vokasi

bisa bermakna bahwa bekerja bukanlah semata-mata sarana atau alat

ekonomi, tetapi ibadah.66

Di bagian awal buku The Protestant Ethic, Weber menunjukkan gejala

kapitalisme dengan membandingkan antara tradisi Katolik dan Protestan.

Dengan melihat data statistik di negara Eropa, Weber mengatakan bahwa

keanekaragaman pemeluk agama di Jerman, mendorong media massa dan

literatur Katolik serta diskusi-diskusi di kongres Katolik di Jerman untuk

menghadapi kenyataan bahwa para pemimpin bisnis dan pemilik modal

maupun para karyawan perusahaan yang memiliki kemampuan tinggi

ataupun staf terdidik, baik secara teknis maupun komersil ternyata

kebanyakan adalah orang Protestan.67

Disitu terlihat partisipasi relatif yang lebih besar dari orang-orang

Protestan dalam hal kepemilikan modal, manajemen dan dalam tingkat

pekerjaan karyawan yang lebih tinggi pada industri-industri modern dan

perusahaan-perusahaan komersial yang besar mungkin sebagian bisa

dijelaskan dalam aspek kondisi-kondisi historis, yakni satu aspek yang

63 Stanislav Andreski, Max Weber on Capitalism, Bureaucracy and Religion, terj. Hartono, “Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama” (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), 129. 64 Ibid., 130.

65 Ibid. Lihat pada bagian politics as vocation dan science as vocation. H.H. Gerth dan Charles Wright Mills, From Max Weber: Essays in Sociology (New York: Oxford University Press, 1946), 77-128. 66 Ibid. 67 Max Weber, The Protestant Ethic. . . 35.

Page 18: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

menarik perhatian kita ke masa silam dan pada saat ketika aliansi agama

bukanlah sebab dari kondisi perekonomian, namun pada saat tertentu

nampak seperti akibat dari kondisi-kondisi itu. Partisipasi dalam fungsi-

fungsi perekonomian seperti tersebut di atas biasanya melibatkan beberapa

kepemilikan modal sebelumnya dan pada umumnya melibatkan juga biaya

pendidikan yang mahal dan seringkali pula melibatkan keduanya sekaligus.

Beberapa bagian dari Kekaisaran tua yang dalam bidang ekonomi tumbuh

paling pesat dan didukung oleh sumber-sumber alam dan situasi, khususnya

mayoritas di kota-kota kaya mengenal Protestantisme pada abad 16. Situasi

inilah yang mendorong orang Protestan bahkan sampai sekarang, dalam

perjuangan mereka untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Dengan menyandarkan pada uraian Martin Offenbacher, Weber

membuat kesimpulan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam tradisi

Katolik dan Protestan itu kaitannya dengan dunia ekonomi. ”Orang-orang

Katolik biasanya lebih tenang, mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk

memperoleh sesuatu; mereka lebih menyukai kehidupan dengan

kenyamanan yang terjamin walau hanya dengan mendapat penghasilan yang

lebih kecil daripada memilih kehidupan yang dipenuhi risiko dan kesenangan

walau jenis pekerjaan itu memberi banyak kesempatan untuk mendapatkan

kehormatan dan kekayaan.”68 Jika dihadapkan pada pilihan “makan enak atau

tidur nyenyak” (eat well or sleep well), maka kata Weber, Protestant prefers to

eat well, the Catholic to sleep undisturbed.69

Proses rasionalisasi hadir dari cita-cita kapitalisme dan karenanya

agama yang ajaran-ajarannya teratur dan tersusun rapi juga berusaha untuk

melembagakan sistem kepercayaan juga sistem nilai yang lain, termasuk

bidang ekonomi, untuk memberikan rasa puas dan aman kepada para

pemeluknya.70 Agama adalah merupakan penjelasan rasional sekaligus

68 Ibid., 40-41. 69 Ibid., 41. 70 Ajat Sudrajat, Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 37

Page 19: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis. Diantara bangunan

kepercayaan inilah dibangun pemikiran-pemikiran rasional.

Dari sini dapat dimengerti bahwa proses rasionalisasi yang disebut

Weber juga berasal dari agama itu sendiri, disamping perkembangan daya

nalar manusia yang dengan cepat dapat mengikuti proses tersebut. Daya

nalar itu baik dalam arti formal sehubungan dengan konsistensinya

(kemantapan dalam bertindak) dan sifat sistematikanya maupuan dalam arti

substansi (kokoh) dalam menyisihkan hal-hal yang tidak rasional dan

mengandung fantasi atau mitos. Lepas dari berbagai kritik yang muncul

terhadap tesisnya, Weber menunjukan bahwa dalam sistem ekonomi

tersebut terlihat perkembangan teologi rasional.71 Perkembangan ini nampak

dalam masyarakat Barat. Dengan demikian, menurut Weber, ciri dari

kegiatan perekonomian yang bersifat kapitalistis adalah rasionalitas yang

didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun

secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang

diharapkan.

Diantara para sosiolog (agama), Emile Durkheim adalah pemikir yang

mencoba melakukan analisis terhadap hubungan antara agama dengan

struktur sosial. Pandangan Durkheim tentang agama terpusat pada klaimnya

bahwa ide tentang masyarakat menjadi jiwa dari agama.72 Sumber agama

adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai sesuatu itu bersifat sacral

atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap

kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-elemen ”supernatural”,

melainkan terletak pada konsep tentang ”yang sakral” atau the sacred,

dimana keduanya yaitu supernatural dan yang sakral, memiliki perbedaan

yang mendasar.

71 Richard L. Means, “Weber's Thesis of the Protestant Ethic: The Ambiguities of Received Doctrine”, The Journal of Religion, Vol. 45, No. 1. (Jan., 1965), 1-11 dan Bryan S. Turner, “Islam, Capitalism and the Weber Theses”, The British Journal of Sociology, Vol. 25, No. 2. (Jun., 1974), 230-243.

72 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion. . . 85.

Page 20: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Kesimpulan demikian ia tandaskan dalam magnum opusnya, The

Elementary Forms of Religious Life.73 Sesuai dengan judul bukunya, apa yang

ditawarkan oleh Durkheim dalam karya tebal itu antara lain tentang bentuk

dasar dari agama. Atau Durkheim dalam karya tersebut, hendak melihat

tentang struktur dasar dari kepercayaan yang kemudian membentuk apa

yang kita sebut sebagai agama. Terkait dengan masyarakat, agama kata

Durkheim, sebagaimana dikutip Swidler dan Mojzes, telah melahirkan

banyak sesuatu yang esensial dalam masyarakat.74 Kita dapat memantapkan

fakta bahwa kategori-kategori fundamental dari pemikiran dan konsekuensi

pengatahuan adalah asal-usul agama. Dalam perkembangannya, banyak

institusi sosial yang besar, lahir dalam agama.75

Agama dalam bahasan Durkheim tidak bisa dilepaskan dari tema moral

dan masyarakat, baik fungsi maupun hakikatnya.76 Dalam masyarakat,

terkandung apa yang disebut solidaritas yang merupakan domain sosiologi.77

Solidaritas merupakan fakta sosial yang hanya bisa diketahui melalui efek

sosialnya. Menurut Durkheim, di antara semua unsur peradaban ilmu

pengetahuan adalah satu-satunya untuk menganggap, dalam kondisi

tertentu, sebuah karakter moral.78 Akibatnya, karena peradaban terdiri dari

apa-apa yang menampilkan ini kriteria moralitas, secara moral netral.

Sehingga jika peran pembagian kerja yang semata-mata untuk membuat

peradaban mungkin, akan membangun netralitas moral yang sama.79

Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa

masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat

modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi pusat

73 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (New York: The Free Press, 1995). 74 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue (Philadelphia: Temple University Press, 2000), 1. 75 Ibid. 76 Emile Durkheim, The Division of Labor in Society (New York: The Free Press, 1984).

77 Ibid., 27. 78 Ibid., 13. 79 Ibid., 15.

Page 21: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat

adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk

solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada

masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk

solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan

bentuk solidaritas sosial organik.

Pada saat solidaritas mekanik (Durkheim juga menyebutnya solidarity

by similarities) memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh

dikatakan lenyap, karena ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya

sekadar mahluk kolektif. Masing-masing individu diserap dalam kepribadian

kolektif. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional

bersifat “mekanis” dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang

lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara

sesamanya.

Hal inilah yang diungkapkan oleh hukum bersifat represif (menekan).80

Pelanggaran yang dilakukan individu menimbulkan reaksi terhadap

kesadaran kolektif, terdapat suatu penolakkan karena tidak searah dengan

tindakan kolektif. Tindakan ini dapat digambarkan, misalnya tindakan yang

secara langsung mengungkapkan ketidaksamaan yang menyolok dengan

orang yang melakukannya dengan tipe kolektif, atau tindakan-tindakan itu

melanggar organ hati nurani umum. Durkheim mengatakan, its real function

is to maintain inviolate the cohesion of society by sustaining the common

consciousness in all its vigour.81

Sementara, solidaritas organik berasal dari semakin terdiferensiasi dan

kompleksitas dalam pembagian kerja (division of labor) yang menyertai

perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja

sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai sosial yang

bersifat umum. Titik tolak perubahan tersebut berasal dari revolusi industri

yang meluas dan sangat pesat dalam masyarakat. Menurutnya, 80 Ibid., 61. 81 Ibid., 63.

Page 22: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

perkembangan tersebut tidak menimbulkan adanya disintegrasi dalam

masyarakat, melainkan dasar integrasi sosial sedang mengalami perubahan

ke satu bentuk solidaritas yang baru, yaitu solidaritas organik. Bentuk ini

benar-benar didasarkan pada saling ketergantungan di antara bagian-bagian

yang terspesialisasi.

Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal

pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok

yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai

kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang

sesuai dengan pekerjaannya saja. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat

abstrak dan universal. Mereka membentuk solidaritas dalam kelompok-

kelompok kecil, yang dapat bersifat mekanik.

Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas mekanik adalah

adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian

kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Sementara

dalam masyarakat dengan solidaritas organik, yang menjadi karakternya

adalah heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu

berbeda satu sama lain.

Masing-masing pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk

dirinya, dimana solidaritas organik mengakui adanya kepribadian masing-

masing orang. Karena sudah terspesialisasi dan bersifat individualistis, maka

kesadaran kolektif semakin kurang. Integrasi sosial akan terancam jika

kepentingan-kepentingan individu atau kelompok merugikan masyarakat

secara keseluruhan dan kemungkinan konflik dapat terjadi. Kaitannya

dengan hukum, jika masyarakat mekanis memfungsikan hukum secara

represif tidak demikian halnya dalam masyarakat organis. Dalam masyarakat

yang memiliki solidaritas organis, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan

bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal

dari suatu masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat modern, mereka

membutuhkan fondasi, dasar moral yang umum, tetapi karena masyarakat

Page 23: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

itu mengandung kebebasan individual, maka kesadaran kolektif mereka

jangkauannya lebih kecil.

Durkheim meyakini bahwa moralitas, kewajiban pada orang lain dan

standar kelompok, tidak bisa dipisahkan dari agama. Agama dan moral tidak

bisa dipisahkan dari konteks sosial. Ketika konteks sosialnya berubah, maka

berubah pula agama dan moral.82

Untuk mengetahui bentuk dasar dari agama, Durkheim memilih

melakukan analisis terhadap agama-agama primitif, ketimbang agama-agama

modern. Sistem keyakinan yang primitif dapat ditemukan pada masyarakat

sederhana dan dapat dengan mudah dijelaskan. Atas alasan tersebut,

Durkheim kemudian memilih Suku Arunta masyarakat Aborigin di Australia

sebagai sample penelitiannya terhadap agama untuk dapat memberikan

pengetahuan tentang apa itu agama.83 Masyarakat primitif seperti Aborigin,

dapat lebih mudah dipahami konteks keyakinannya dibanding masyarakat

modern yang kompleks. Mereka (baca: masyarakat primitif) memenuhi

kebutuhan yang sama, memainkan peran yang sama, dan bertolak dari sebab

yang sama. Oleh karenanya mereka dapat menjelaskan karakter dasar dari

kehidupan keagamaan.84

Studinya tentang agama, kata Durkheim merupakan langkah untuk

mengangkat persoalan lama tentang asal usul agama, but under new

conditions.85 Pada dasarnya, menurut Durkheim tidak ada agama yang salah.

Semua agama benar menurut fashion-nya masing-masing. Semuanya

memenuhi kondisi tertentu dari manusia, meskipun dengan jalan yang

berbeda.86 Wajar kalau Durkheim sendiri tidak tertarik dengan status

epistemologi agama, yakni pertanyaan apakah keyakinan agama itu benar

atau salah. Penelitiannya terhadap masyarakat primitif, sama sekali bukan

berarti gagasan itu menurunkan nilai agama pada umumnya, karena agama-

82 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion. . . 91-92. 83 Emile Durkheim, The Elementary Forms. . .21 84 Ibid., 3. 85 Ibid., 7. 86 Ibid., 2.

Page 24: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

agama tersebut tidak kurang terhormat dibandingkan agama lainnya.87

Agama-agama, kata Durkheim merespon kebutuhan yang sama, memainkan

peran yang sama, bergantung pada sebab yang sama; ia juga dapat berfungsi

untuk menunjukkan sifat kehidupan keagamaan dengan baik.

Pada posisi ini, tampaknya Durkheim tidak mau mendefinisikan agama

secara spesifik dari sudut pandang supernatural dan menolak definisi agama

yang dikemukakan Tylor bahwa ”agama adalah keyakinan pada ”ada”

spritual (spiritual being)”. Menurutnya, Budhisme adalah agama, tetapi ”tidak

memiliki ide tentang Tuhan dan roh” dan beberapa sekte dalam agama Budha

yang juga ”menolak eksistensi Tuhan” dan dewa-dewi.88

Selain itu, juga terdapat beberapa jenis ritual kelompok yang tidak ada

sama sekali keterkaitannya dengan unsur Tuhan ataupun roh-roh. Maka,

agama tidak lebih dari ”sekadar gagasan tentang Tuhan dan roh”.

Konsekuensinya, agama tidak dapat didefinisikan semata mata dalam

kaitannya dengan kedua hal tersebut.

Durkheim kemudian sampai pada definisi agama yang ia bidik dari

sudut pandang ”yang sakral” (the sacred). Ini berarti ”agama adalah kesatuan

sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang

sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan

praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut

Gereja, di mana semua orang tunduk kepadanya” atau sebagai tempat

masyarakat memberikan kesetiannya. Dari definisi Durkheim ini, terlihat

yang menjadi kata kunci adalah ”komunitas”. Ide agama tidak dapat

dipisahkan dari gereja, yang menunjukkan pada satu collective thing.

Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling

mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-

elemen ”supernatural” seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan

terletak pada konsep tentang ”yang sakral” (Sacred), di mana keduanya yaitu

supernatural dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut 87 Ibid., 3. 88 Ibid., 28.

Page 25: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana

maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu

memisahkan antara ”yang sakral” (Sacred) dan ”yang profan” (profane), yang

selama ini dikenal dengan ”natural” dan ”supernatural”. Durkheim

menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat ”sakral” selalu diartikan sebagai

sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut

tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat ”profan”

merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada ”yang

sakral”, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan

kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki

pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari

setiap individu. Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang

”yang sakral” dan ”yang profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah

konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang

profan sebagai ”keburukan”. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan

sama-sama ada dalam ”yang sakral” ataupun ”yang profan”. Hanya saja yang

sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan begitupula sebaliknya yang

profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, fokus utama agama

terletak pada hal-hal yang sakral.

Yang sakral, kata Durkheim adalah tidak lain dari masyarakat itu

sendiri. Karena masyarakat melibatkan kelompok yang lebih besar dan

terkait dengan kesejahteraan dari komunitas yang besar. Sementara yang

profan adalah masalah-masalah yang kecil yang mencerminkan kegiatan

individu sehari-hari. Inilah yang membedakan agama dari magis. Magis,

merupakan upaya individual, sementara agama tidak dapat dilepaskan dari

ide komunitas peribadatan atau moral.

Durkheim meyakini bahwa totemisme telah memainkan peran yang

fundamental dalam kebudayaan masyarakat primitif. Tapi yang dirasakan

oleh peneliti-peneliti awal adalah kesulitan merasakan makna dari

Page 26: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

totemisme ini secara penuh. Memang, semua peneliti mengakui bahwa

bangsa-bangsa suku membagi diri mereka ke dalam klan-klan yang berbeda,

masing-masing diidentikkan dengan suatu binatang, tumbuhan atau objek

totem yang lain. Dan semuanya mengamati bahwa totem itu sendiri, baik

berupa beruang, burung gagak, kanguru, atau pohon-pohon dianggap suci

oleh klan yang mengklaimnya. Tetapi bagaimana totemisme itu digunakan

untuk menggambarkan konsep yang sakral dan yang profan, belum ada yang

menggambarkannya dengan baik.

Totemisme adalah kepercayaan kepada sesuatu yang tak bernama dan

impersonal yang meskipun terdapat pada diri makhluk manusia, hewan dan

benda ataupun tumbuhan, tidak dapat dicampurbaurkan dengan mereka. Ini

merupakan suatu prinsip yang bebas. Individu boleh saja meninggal dunia,

tetapi kekuatan ini akan hidup terus dan tetap sama. Ia menghidupi setiap

generasi baik yang sekarang ini, yang telah lalu maupun yang akan datang. Ia

dapat disebut dewa dalam kepercayaan totemik, bersifat impersonal, tanpa

nama dan tersebar melekat pada benda yang tak terhitung jumlahnya.89

Durkheim, mengamati bahwa dalam masyarakat primitif, setiap

binatang ”yang bukan totem” boleh diburu dan dimakan karena binatang

tersebut termasuk ”yang profan”. Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai

totem adalah bagian sakral bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang

bagi seluruh anggota klan untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk

dijadikan sebagai korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacara

keagamaan. Durkheim, berhasil menemukan lambang atau simbol-simbol

binatang totem tersebut sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena

binatang tersebut bukan hanya dianggap sebagai bagian dari ”yang sakral”,

akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari

yang sakral. Sikap tersebut dapat dilihat ketika klan tersebut mengadakan

upacara-upacara keagamaan yang selalu menggunakan simbol-simbol dari

totem mereka, terbuat dari ukiran kayu atau batu dan diletakkan ditengah-

89 Ibid., 304-305.

Page 27: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

tengah mereka dalam upacara tersebut. Bagi klan, totem tersebut adalah hal

yang paling sakral dan dapat mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada

mahkluk yang ada disekelilingnya. Durkheim menyimpulkan kepercayaan

terhadap totemisme adalah hal yang paling penting dalam masyarakat yang

sangat sederhana ini, karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lainpun

sangat dipengaruhi totem-totem ini.

Totem menurut Durkheim bisa dilihat dari dua pandangan. Pertama,

totem merupakan bentuk luar dan kasat mata dari prinsip totemik atau

“Tuhan”. Kedua, totem juga merupakan simbol dari sebuah masyarakat yang

disebut marga. Totem adalah benderanya marga, tanda yang dipergunakan

oleh marga untuk membedakan dirinya dengan marga lain.90 Tanda yang

kasat mata dari keberbedaannnya, dan tanda dari segala sesuatu yang

menjadi bagian dari marga, manusia, binatang dan hal-hal lain. Oleh

karenanya totem adalah simbol dari tuhan dan masyarakat.

Dewa klan, prinsip totemik, dapat merupakan klan itu sendiri yang

dipersonifikasikan dan digambarkan dalam imajinasi di bawah bentuk

binatang atau sayuran yang dapat dilihat dan bertindak sebagai totem. Totem

secara terus menerus merupakan simbol dewa dan klan, karena dewa dan

klan adalah hal yang betul-betul sama. Dalam bentuk yang singkat, pemujaan

pada seorang dewa atau dewa-dewa adalah bagaimana suku-suku primitif

mengungkapkan dan menegakkan pemujaan mereka pada klan.

Peran simbol totem, karenanya dapat diidentifikasi dengan jelas.

Dengan diukir di kayu atau batu, ia adalah objek konkret yang membawa

fakta pada setiap orang bahwa klan yang menuntut kesetiaan dari semua

anggota, tidak hanya sesuatu yang dibayangkan; ia adalah hal yang riil, yang

memaksakan dirinya pada kehidupan dan pemikiran setiap orang. Tanaman

dan binatang menjadi simbol totem, karena ia objek yang khusus, konkret,

dekat dan erat kaitan dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Tujuan

totemisme yakni untuk memperhatikan keterkaitan antara benda-benda,

90 Ibid., 208.

Page 28: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

jaringan rumit dari hubungan yang mengikat tiap orang dengan generasi

yang akan datang di dalam suatu klan, klan secara keseluruhan dengan dunia

natural dan diantara bagian-bagian dunia yang berbeda-beda satu sama lain.

Skema pemikiran Marx, Weber dan Durkheim dalam diskursus agama

merupakan konseptualisasi gagasan mengenai hubungannya dengan masalah

sosial. Marx melihat agama sangat berkaitan dengan masalah ekonomi

sebagai basisnya. Sementara agama itu sendiri oleh Marx ditempatkan

sebagai bangunan atas, alias superstruktur. Marx menyadari bahwa baik

ekonomi maupun agama berperan untuk menciptakan alienasi. Kaitan antara

basis dan superstruktur bisa dijelaskan dengan rumusan sederhana, bahwa

perubahan struktur ekonomi yang ada di bawah, akan berperan besar dalam

mengubah bangunan atasnya. Tentunya kritik ekonomi itu berada pada

kendali masyarakat dan negara, bukan individu. Disinilah ia mengkritik

Feurbach.

Berbeda dengan Marx yang menyebut ekonomi sebagai basis yang

dapat merubah pandangan agama, Weber justru melihat sebaliknya. Etika

Protestan, justru berperan besar dalam merubah tatanan ekonomi.

Kapitalisme terbangun melalui rasionalisasi dan berjalan dengan sangat baik

di dunia barat. Sementara di dunia timur, kapitalisme agak sulit berkembang

seperti halnya di Barat. Tentu saja kenyataan ini dilatari oleh perbedaan

agama yang menjadi dasar kehidupan masyarakat di sana. Dengan

memunculkan tesis bahwa prilaku agama sangat mempengaruhi ekonomi,

maka Weber dengan tegas mengkritik determinisme ekonominya Marx.

Weber meyakini bahwa agama menjadi sumber terciptanya perubahan

sosial.

Sementara Durkheim menunjukan semangat fungsionalismenya dalam

membahas agama. Durkheim memunculkan masyarakat dalam konteks

solidaritas sosial, kohesi sosial dan integrasi sosialnya. Karena itu, Durkheim

seringkali menyebut agama sebagai sebuah fakta sosial, bukan fakta

individual. Ia harus dilihat sebagai persoalan kelompok. Hal inilah yang juga

Page 29: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

ia tunjukan ketika membahas fenomena bunuh diri dalam karyanya,

”Suicide”. Bunuh diri, terutama yang bersifat egoistik, bagi Durkheim hanya

bisa dilihat semata-mata sebagai persoalan sosiologis, bukan psikologis. Kata

Durkheim, “the conclusion from all these facts is that the social suicide-rate can

be explained only sociologically”.91 Studinya tentang masyarakat Arunta

memperlihatkan bahwa ada simbol yang dapat mempersatukan anggota

masyarakat ke dalam sebuah kelompok. Disini, peran totemisme perlu

diperhatikan. Ia menjadi simbol terintegrasi individu-individu itu ke dalam

satu kelompok yang secara bersama-sama memiliki ”Yang Sakral”.

Marx, Weber dan Durkheim sama-sama melihat agama dalam kaitannya

dengan kehidupan sosial. Ketiganya meyakini bahwa salah satu dari dua

elemen tersebut berpengaruh satu terhadap lainnya. Marx dan Weber

bersepakat bahwa klaim kausal yang terpenting dari agama adalah persoalan

ekonomi. Sementara Durkheim tidak terlalu mempersoalkan aspek yang khas

dari kehidupan manusia itu, apakah ekonomi, politik atau yang lain. Pendek

kata, yang paling penting menurut Durkheim adalah sistem sosial dalam

masyarakat itu sendiri.

Durkheim dan Weber bersepakat bahwa agama memiliki fungsi dalam

kehidupan masyarakat. Durkheim melihat agama sebagai memiliki peran

dalam mengintegrasikan sistem sosial. Agama atau etika keagamaan juga

berperan dalam mempengaruhi atau merubah sistem ekonomi (kapitalisme)

seperti kata Weber. Disinilah Marx justru berpendapat sebaliknya bahwa

agama merupakan variabel terpengaruh, sementara yang menjadi variabel

bebasnya adalah ekonomi. Agama bagi Marx justru hanya menjadi tempat

pelarian manusia yang tidak berdaya menghadapi kenyataan hidup.

91 Emile Durkheim, Suicide: A Study in Sociology (New York: Free Press, 1968), 299.

Page 30: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Agama dan Negara: Antara Sekularisasi dan Desekularisasi

Pemikiran tiga tokoh (Marx, Weber dan Durkheim) sangat membantu

untuk melihat agama sebagai sebuah fakta sosial. Dalam kenyataan itu,

agama bergulat dan bersanding dengan institusi sosial lainnya. Salah satunya

adalah negara. Hubungan agama dan negara yang dijabarkan dalam sub bab

ini, berangkat dari posisi agama sebagai realitas sosial seperti yang sudah

disinggung oleh tiga pemikir di atas.

Franklin I. Gamwell dalam ”The Meaning of Religious Freedom”

memaparkan tentang karakter dasar dari agama. Menurut Gamwell,

Religion is the primary form of culture in terms of which the comprehensive question is explicitly asked and answered and further, so answered that human authenticity is derived from the character of reality as such. In saying this I mean that the distinction between authentic and inauthentic human activity is identified by the relation of human activity to reality as such or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood as Yahweh, Allah, ”emptiness”, or in some other way, it is understood to be the ground of human authenticity. The point may also be expressed by saying that religion, narrowly understood, so addresses the comprehensive question that ultimate reality is said to authorize human authenticity.92

Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung

mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa

diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk

meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa

berbentuk ”ketiadaan”.93

Jika agama dipahami sebagai primary form of culture, maka politik, kata

Gamwell adalah “a specific form of association in which the question of the

state is explicitly asked and answered”.94 Dari sini bisa dimengerti kalau

negara tidak lain dari seperangkat aktifitas sebuah pemerintahan dimana

92 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The

Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 30. 93 Ibid. 94 Ibid., 32.

Page 31: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh masyarakat atau komunitas yang

secara eksplisit disatukan atau diatur, dan karenanya selalu dinyatakan

secara partikular.95

Pertanyaannya kemudian, jika agama sebagai satu bentuk khas dari

budaya berusaha menjawab pertanyaan secara komprehensif, apa yang

harus dijawab oleh politik?

Definisi tentang politik yang telah diajukan oleh Gamwell di atas,

sebenarnya menolong untuk memahami bahwa sebagai sebuah bentuk

spesifik dari aktifitas, atau hanyalah satu bentuk asosiasi, maka aktifitas

politik diidentifikasi sebagai partisipasi dalam politik atau body politics.96 Jika

agama menjawab semua persoalan baik yang terkait dengan kehidupan fisik

maupun metafisik, politik hanyalah menjawab pertanyaan eksplisit mengenai

tugas negara sebagai pengatur lalu-lintas hak warganya.

Maksud dari asosiasi politis atau negara adalah untuk menentukan

aktifitas-aktifitas apa yang harus dan akan dilakukan negara. Tentunya,

pertanyaan itu bisa diajukan dan dijawab secara kritis, yang disitu klaim

tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dapat disepakati secara

eksplisit dan aktifitas politik juga bisa mengambil bentuk ini. Aktifitas politik,

dengan demikian adalah partisipasi dalam proses politik. Meskipun maksud

dari politik adalah untuk menentukan aktifitas negara, hal itu juga berarti

refleksi kritis terhadap pertanyaan negara, juga merupakan aktifitas politik,

yakni ketika partisipasi politik diambil dalam bentuk argumen atau

perdebatan.97

Kebebasan beragama, dalam pandangan Gamwell, karenanya bisa

dilihat tidak lain dari sebentuk prinsip politik yang tidak memiliki makna

secara koheren tanpa sebuah asosiasi politik yang dikonstitusikan melalui

sebuah free discussion dan perdebatan yang didalamnya melibatkan

95 Ibid. 96 Ibid. 97 Ibid., 36.

Page 32: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

keyakinan-keyakinan yang berbeda.98 Intinya, Gamwell bermaksud untuk

mengatakan kalau jangkar dari kehidupan beragama itu ada pada ruang

politik.

Problematika politik modern kemudian hadir saat memposisikan agama

dalam ruang negara. Relasi antara keduanya menjadi masalah dalam

masyarakat politik modern, karena dalam komunitas ini mengandung

pluralitas legitimasi agama. Hubungan antara gereja dan negara dilihat

secara berbeda oleh masing-masing masyarakat, bahkan dalam satu

komunitas gereja sekalipun. Statemen yang diungkapkan oleh Paus Paulus

XIII berdasar atas tradisi bahwa negara memiliki kewajiban untuk

menunjukkan agama yang benar. Sementara Konsili Vatikan II yang

dikeluarkan pada tahun 1965 merefleksikan sensitivitas yang paling dalam

terhadap pluralisme, berbicara tentang hak seluruh warga, apapun

keyakinan keagamaannya. Kedua pernyataan diatas datang dari Gereja

Katolik Roma, tetapi kedua pandangan tersebut berbeda satu dengan lainnya

dan dapat digambarkan dalam komunitas masyarakat yang lebih banyak lagi.

Dalam politik modern, persoalan yang kerap mengundang perdebatan

adalah membangun relasi antara agama dan negara. Relasi antara keduanya

menjadi masalah dalam masyarakat politik modern, karena dalam komunitas

ini mengandung pluralitas legitimasi agama. Philip Wogaman menulis bahwa

ada empat bentuk (baca: negara) dalam kaitannya dengan eksistensi gereja.99

Pertama, Teokrasi, dimana negara berada di bawah kontrol para pemimpin

atau institusi agama untuk kepentingan agama. Negara teokrasi dapat

tergambar dalam masyarakat primitif seperti Tibet, sekte Mormon awal di

Utah serta Iran. Model ini juga yang tergambar pada pemerintahan Vatikan II

yang didasarkan pada doktrin Katolik.

98 Ibid., 34-35. 99 J Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics (Kentucky: Westminster John

Knox Press, 2000), 250.

Page 33: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Wogaman cukup keras menentang model ini. Ia menyebut bahwa

penganut model ini tengah berilusi.100 Beberapa masalah yang muncul dalam

negara teokratis ada pada aspek praktis dan juga politis. Agama dalam

negara teokratis pada akhirnya digunakan untuk kepentingan politis.

Problem praktis menunjukan bahwa di negara teokrasi akan sangat sulit

membedakan pernyataan iman yang benar-benar tulus dan tidak dimana

institusi agama memiliki kekuatan dominan.

Isu yang terutama dalam negara teokratis adalah masalah teologis.

Teokrasi hadir dalam satu bentuk pengandaian bahwa kebenaran dapat

diketahui untuk membuat pembedaan antara mereka yang benar dan tidak.

Yang pertama, tentu harus diakui keberadaannya oleh pemerintah, yang

kedua, secara legal tidak memiliki kekuatan. Ilusi yang dimaksudkan dalam

sistem pemerintahan ini adalah bahwa hanya Tuhan, jika Tuhan adalah pusat

transendensi dan sumber kehidupan, maka Ia tidak akan pernah diketahui

oleh siapapun.

Kedua, erastianisme yang merupakan model dimana gereja berada

dibawah otoritas negara. Sebagai sebuah paradigma, Erastianisme diambil

dari nama pencetus gagasan ini Thomas Erastus (1524-1583), seorang ahli

fisika asal Swiss yang juga Teolog Protestan. Sesungguhnya Erastus tidak

menjabarkan doktrinnya ini dalam sebuah bentuk yang ekstrem. Idenya

berakar pada zaman kuno dan ditemukan dalam bentuk yang berbeda oleh

para filosof abad pertengahan seperti Marsilius Padua dari Italia.

Erastus, merupakan penerus ajaran Huldreich Zwingli, yang menentang

model Calvinis yang disukai oleh Elector Frederick III. Erastus menentang ide

John Calvin mengenai excommunication (pengucilan), dimana para anggota

dewan gereja dapat mengeluarkan masyarakat dari Ekaristi. Menurut

Erastus, hanya negara yang memiliki kekuasaan koersif dan dapat digunakan

sebagai aturan gereja, tetapi tidak pernah dapat menghalangi siapapun untuk

keluar dari perjamuan kudus.

100 Ibid., 253.

Page 34: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Ninan Koshy menambahkan, kategori yang paling tepat untuk

menggambarkan model ini adalah “established church”. Disini, negara

memiliki “agama resmi”.101 Agama yang mapan itu dipenuhi haknya,

sementara agama yang lain tidak. Dalam hukum Inggris, sebagaimana terlihat

dalam perdebatan mengenai hukuman terhadap Shalman Rushdie penulis

“The Satanic Verse”, pasal-pasal blasphemy atau penodaan agama diterapkan

hanya terhadap KeKristenan dan secara spesifik terhadap Gereja Inggris (The

Church of England).102

Tetapi, di saat yang sama, meski agama tertentu memiliki hak istimewa,

tetapi sesungguhnya agama tersebut tidak dapat sepenuhnya

mengekspresikan ajaran agama secara bebas, karena keputusan-keputusan

yang bersifat strategis selalu didasarkan atas seberapa besar keuntungan

yang pada nantinya akan didapatkan negara. Inilah yang menjadi pangkal

persoalan dari model Erastianisme. Di satu sisi, ia hanya berkutat pada

kepentingan agama tertentu dan di sisi lain kepentingan agama anak emas

itupun dipagari agar tidak membahayakan kepentingan negara.

Ketiga, pemisahan antara agama dan negara secara ramah (friendly),

yakni model pemisahan antara agama dan institusi politik secara legal tetapi

satu yang lain tidak saling bermusuhan. Secara esensial, hal tersebut

merupakan prinsip pemisahan yang dipraktekan di Amerika Serikat. Prinsip

untuk tidak memapankan agama dalam konstitusi Amerika tidak harus

dipahami sebagai sesuatu yang negatif. Sikap tersebut justru harus dimaknai

sebagai sebagai dukungan bagi integritas dan independensi institusi agama.

Keempat, pemisahan antara agama dan negara secara tidak ramah

(unfriendly), yaitu pemisahan secara legal dan dalam posisi yang

antagonistik. Paradigma ini banyak berkembang pada akhir abad 20.

Antiklerikalisme di Perancis pada abad 19 merupakan penerjemahan dari

101 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World (Geneva: WCC Publications,

1992), 36-37. 102 Ibid.

Page 35: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

model paradigma ini. Hal yang sama berlaku di Meksiko yang kemudian

menghasilkan bentuk pemisahan yang tidak ramah.

Melihat fenomena keberagamaan yang tergambar dalam setiap fase

sejarah menggiring kita pada satu fenomena penting. Disadari atau tidak,

kehidupan beragama dalam lanskap negara lengkap dengan segenap tertib

hukum yang dimilikinya, sebenarnya sedang bergerak pada jalur sekularisasi.

Meski agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang bersifat hakiki dan sangat

personal, tetapi ruang yang dihadapi adalah kenyataan yang sekuler. Ruang

hukum dan negara itulah yang sekuler. Karenanya fenomena ini penulis

sebut sebagai proses beragama di ruang sekuler. Meski begitu ruang sekuler

ini tidak lantas membuat agama hilang dari lipatan sejarah (baca:

desekularisasi).

Proses ini nyata dalam kehidupan kita karena negara memang harus

bergeser dari peran ecclesiastical ke political authority.103 Harvey Cox, yang

dianggap memiliki tesis cukup otoritatif tentang makna dan substansi

sekularisasi mencontohkan bahwa ketika sekolah atau rumah sakit bergerak

dari fungsi gerejawi ke fungsi administrasi umum, maka inilah yang disebut

sebagai sekularisasi.104

Dalam buku ”The Secular City”, Cox menunjukan bahwa ada tiga

komponen penting dalam Bibel yang menjadi kerangka asas kepada

sekularisasi. Pertama, adalah disenchantment of nature yang dikaitkan

dengan penciptaan (creation). Kedua, desacralization of politics dengan

migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari Mesir. Ketiga, deconsecration of

values yang ditandai oleh Perjanjian Sinai melalui penghancuran segala

bentuk pemberhalaan.105

Jadi menurut Cox, sekularisasi menjadi semacam pembebasan manusia

dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain

103 Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological

Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967), 17. 104 Ibid.

105 Ibid., 15.

Page 36: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

menuju dunia kini. Sekularisasi, menurut Cox menjadi konsekuensi autentik

dari kepercayaan terhadap Bibel.106

Dari sini, Cox berusaha membedakan sekularisasi dengan sekularisme.

Jika sekularisasi bersifat open-ended, dalam arti menunjukkan sifat

keterbukaan dan kebebasan bagi aktivitas manusia untuk proses sejarah,

maka sekularisme bersifat tertutup. Dalam pengertian bukan merupakan

sebuah proses lagi, akan tetapi telah menjadi semacam paham atau

ideologi.107

Jika dibandingkan secara sekilas, mengenai substansi makna yang

dikandung dalam kata sekularisasi dalam pandangan Cox ada yang berbeda

antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi mengimplikasikan proses

sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu

dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup

(closed metaphysical worldviews). Jadi intinya, sekularisasi adalah

perkembangan yang membebaskan (a liberating development).

Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah

pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan

agama. Selain itu, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf

tertentu, ia adalah otentifikasi dari implikasi terhadap kepercayaan Bible

dalam sejarah Barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme

yaitu ideologi (isme) yang tertutup. Menurut Cox, sekularisme

membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh

sekularisasi. Makanya, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah

untuk menjadi ideologi negara.108

Robert Audi menjelaskan bahwa dari sekularisme diturunkan tiga

prinsip dalam kehidupan bernegara, yaitu prinsip kebebasan (libertarian),

prinsip kesetaraan (equality), dan prinsip netralitas (neutrality). Berdasarkan

prinsip terakhir, suatu negara haruslah mengambil sikap netral di antara

106 Ibid., 15

107 Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik (Yogyakarta: Grafiti, 1993), 21. 108 Ibid.

Page 37: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

agama-agama.109 Implikasinya, jika negara mengutamakan atau mengadopsi

suatu agama tertentu (di antara beragam agama) untuk mengatur kehidupan

bernegara, berarti negara itu telah melanggar satu prinsip dasar sekulerisme.

Harvey Cox dengan teologi sekularnya itu seperti ingin menjembatani

dua kubu yang paradoks secara ekstrim, yakni teologi konservatif dan teologi

radikal. Cox mengkritik pendapat para teolog kematian Tuhan, karena

mereka keliru karena dua faktor. Pertama, mereka telah menjadikan

pandangan hidup saintifik modern sebagai parameter, padahal humanisme

saintifis modern itu beranekaragam. Selain itu, para saintis pun mengakui

bahwa metodologi saintifik bersifat operasional dan berada dalam ruang

lingkup yang terbatas. Oleh sebab itu, metodologi saintifik tidak menawarkan

“pandangan hidup”. Kedua, pendapat teolog radikal terhadap teologi Kristen

tidak kritis dan ahistoris. Mereka menganggap isi doktrin Kristen tidak

berubah, maka perlu dibuang.

Dalam pandangan Cox sebuah negara atau kota yang bercorak sekuler

(dalam bahasanya Cox, Technopolis) paling tidak memiliki dua corak.110

Pertama, pragmatisme. Dunia, dalam kacamata pragmatisme dilihat bukan

sebagai suatu kesatuan metafisik, tetapi sebagai rangkaian masalah dan

proyek. Kedua, profanitas. Dengan mengatakan profan, Cox tidak bermaksud

untuk memberi kesan bahwa manusia sekuler adalah sacrilegious, tetapi ia

adalah seorang yang unreligious.

Elaborasi Cox paralel dengan uraian Nurcholis Madjid dalam kaitannya

dengan upaya pembaharuan pemikiran Islam. Nurcholis Madjid, bersama

Abdurrahman Wahid sebenarnya hidup dalam dua dimensi yang paradoks

pada masa pemerintahan Orde Baru. Mereka mendapat dukungan paling

menentukan dari aliran pembaruan teologis keagaman yang datang dari

konteks sosial politik di mana kecenderungan ini berkembang. Konteks

109 Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (terj) Yusdani

dan Aden Wijdan (Jogjakarta: UII Pres dan Pusat Studi Islam UII, 2002), 48-50. 110 Harvey Cox, The Secular City. . ., 52.

Page 38: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

tersebut terkait dengan sistem politik orde baru yang menolak gagasan yang

mengaitkan Islam dan negara secara legalistik dan formalistik.111

Namun, wacana yang ditumbuhkembangkan oleh Nurcholis Madjid

tentang sekularisasi serta Abdurrahman Wahid dengan pribumisasi Islam

tampaknya telah menyentak kesadaran segmen tertentu kaum Muslim

terdidik di Indonesia yakni bagian penting dari audiens yang sepantasnya

menjadi target gerakan pembaruan keagamaan ini.

Gagasan yang dielaborasi itu menyebabkan timbulnya sejumlah kritik

dari berbagai kalangan. Kritikus tersebut berpandangan bahwa gerakan

pembaruan yang diusung para pembaharu tersebut tidak saja merupakan

sumber kontroversi keagamaan, melainkan juga sebagai sesuatu yang dapat

membahayakan keberagamaan umat Islam di Indonesia.112

Sebagai penggagas sekularisasi di Indonesia, Nurcholish menjadikan

sekularisasi sebagai sebuah proses penduniawian.113 Dalam proses itu,

terjadi pemberian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan

duniawi. Pengetahuan mutlak diperlukan, guna memperoleh ketepatan

setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah dunia. Dan disinilah letak

peranan ilmu pengetahuan. Maka secara ringkas, pokok tentang sekularisasi,

menurut Nurcholish, adalah pengakuan wewenang kepada ilmu pengetahuan

dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Ilmu pengetahuan

sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaan.

Jika sekularisasi merupakan proses yang dinamis, maka tidak demikian

dengan sekularisme. Sekularisme adalah suatu paham keduniawian. Ia

membentuk filsafat tersendiri dengan pandangan dunia baru yang berbeda,

atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini.114

111 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 242. 112 Endang Saifuddin Anshari, Kritik Atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan” Nurcholis Madjid, (Bandung: Bulan Sabit, 1973), 54. Simak juga, H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 28-30.

113 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,1987), 216. 114 Ibid., 217-218.

Page 39: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Farah Anthun (1874-1922) editor pada majalah Al-Jami’ah sebuah

majalah berbahasa Arab yang cukup menggetarkan pada masanya (sekitar

1897 M) mencoba melihat akar-akar sekularisasi dalam peradaban Barat

yang menyebabkan majunya pemikiran Eropa.

Atas dasar itu, seperti yang dikutip Albert Hourani, ia berkeinginan

untuk membangun prakonsepsi tentang sebuah negara sekuler yang di

dalamnya orang-orang Muslim dan Kristen dapat berperan serta atas dasar

kesetaraan yang menyeluruh. Prakonsepsi yang ia kehendaki itu adalah

pertama, bahwa apa yang esensial dalam semua agama seharusnya

dipisahkan dari apa yang aksidental. Yang esensial adalah tubuh prinsip,

yang tidak esensial adalah tubuh hukum, umum maupun khusus.115 Menurut

Anthun, pemisahan yang esensial dan aksidental ini menjadi dasar dari

toleransi sejati.

Kondisi kedua dari sekularisme yang tak kalah pentingnya adalah

pemisahan antara otoritas duniawi dan spiritual. Ada lima sebab mengapa

hal ini penting dilakukan.116 Pertama, tujuan dari keduanya berbeda dan

bahkan berlawanan. Tujuan agama adalah penyembahan dan kebaikan sesuai

dengan kitab wahyu dan masing-masing agama meyakini dia sendirilah yang

memiliki kebenaran dan manusia harus mengikuti jalannya untuk mencapai

keselamatan dan oleh karena itu otoritas keagamaan dengan kekuatan politik

akan menggunakannya untuk membungkam mereka yang tidak setuju.

Tujuan pemerintahan adalah menjaga kebebasan manusia di dalam batas-

batas konstitusi. Dengan cara ini, pemerintah tidak akan membungkam

manusia karena apa yang mereka pikirkan.

Kedua, masyarakat yang baik didasarkan pada kesetaraan mutlak

antara “putra-putra dari bangsa yang sama” suatu kesetaraan yang melewati

batas-batas perbedaan agama. Ketiga, otoritas keagamaan membuat hukum

115 Albert Hourani, Arabic Thought ini the Liberal Age 1798-1939, (terj). “Pemikiran Liberal di Dunia Arab” (Bandung: Mizan dan Freedom Institute, 2004), 407-408. 116 Ibid., 408-409.

Page 40: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

dengan pandangan yang tertuju pada alam akhirat dan karenanya kontrol

mereka akan mengganggu tujuan pemerintah, yakni membuat hukum dunia.

Keempat, negara-negara yang dikontrol oleh agama biasanya lemah.

Otoritas agama dalam kodratnya lemah karena mereka berbelaskasihan

dengan perasaan-perasaan masa. Kelima, pemerintahan agama mengarahkan

pada perang, kendati agama sejati adalah satu, kepentingan-kepentingan

agama yang berbeda akan bermusuhan satu sama lain dan karena loyalitas

keagamaan itu cukup kuat di kalangan masa, selalu terbuka kemungkinan

untuk membangkitkan perasaan mereka.

Meski sekularisasi telah dianggap sebagai salah satu biang keberhasilan

majunya peradaban, tetapi kenyataan yang dihadapi manusia abad 21, justru

berkebalikan. Kata Peter L. Berger, dunia sekarang tidak lagi mengalami

proses sekularisasi tetapi justru sebaliknya yakni desekularisasi.

Desekularisasi meniscayakan bahwa proses modernisasi tidak hanya

membuat orang-orang sekuler dan meninggalkan agama di satu sisi, tetapi di

sisi lain modernisasi juga membuat simbol-simbol keagamaan semakin

memamahbiak.

Dalam ”Globalization”, Malcolm Waters mengatakan bahwa globalisasi

memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak, terhadap

penyebaran fundamentalisme.117 Efek langsung yang dirasakan oleh kaum

fundamentalisme menurut Waters karena, (i) universalisasi budaya Barat

memaksa partikularisme lokal melegitimasinya dengan bahasa mereka. (ii)

globalisasi negara-bangsa menolak legitimasi dari kesetiaan terhadap Gereja

dan Tuhannya. (iii) sekularisasi dan abstraksi hukum menjadi basis bagi

ketertiban sosial. (iv) menguatkan fakta bahwa dunia adalah pluralistik dan

didasarkan atas pilihan, dan di sana tidak ada satu budaya yang superior.118

Disitulah desekularisasi menjadi anak sejarah yang tidak bisa

dipandang sebelah mata eksistensinya. Peter L. Berger merupakan orang

yang menyadari betul proses desekularisasi ini. Secara tulus, ia mengakui 117 Malcolm Waters, Globalization (New York: Routledge, 1995), 130-131. 118 Ibid.

Page 41: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

kesalahannya yang mengatakan bahwa secara sederhana teori sekularisasi

bermaksud menunjukkan bahwa modernisasi menyebabkan merosotnya

agama, baik dalam ranah masyarakat maupun individu.119

Menurut Berger, disinilah kebanyakan teoritikus sosial salah

menganalisis fenomena tersebut. Meski modernisasi telah menghasilkan

sekularisasi, tetapi pada waktu bersamaan, modernisasi juga membangkitkan

apa yang ia sebut sebagai powerful movements of counter-secularization.120

Sekularisasi yang terjadi di level masyarakat, tidak memiliki hubungan

langsung dengan kesadaran di level individu.121 Walaupun ditemukan adanya

lembaga keagamaan tertentu yang tidak memiliki pengaruh di dataran

komunitas, tetapi keyakinan dan praktek keagamaan baru terus berkembang

dalam kehidupan individu. Tak jarang perkembangan di level individu ini

pada gilirannya hadir dengan format baru yang kemudian menghadirkan

semangat yang baru pula.

Bagi Berger, jalan menghadirkan counter sekularisasi itu bisa dilihat

dari dua strategi. Pertama, revolusi agama (religious revolution). Dengan

melakukan revolusi, berarti jalan yang diupayakan adalah dengan merubah

masyarakat secara menyeluruh dan menciptakan model agama modern

sebagai tandingan. Revolusi Iran adalah contoh yang tepat untuk

menggambarkan ini. Franco di Spanyol menerapkan model ini dan ternyata

tidak berhasil, sementara Mullah di Iran masih bertahan. Kedua menciptakan

subkultur agama (religious subcultures). Cara ini dinilai efektif untuk

menangkal pengaruh dari masyarakat luar.122 Pendek kata, mereka

menciptakan pagar-pagar pembatas antara dunia mereka dengan dunia

modern. Amish di Pensylvania serta Rabbi Hasidic di kawasan Williamsburg

di Brooklyn adalah contoh untuk gerakan ini.

119 Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview”, dalam

Peter L. Berger (ed), The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics (Washington DC-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center-William B. Eerdmans Publishing Company, 1999), 2.

120 Ibid., 3. 121 Ibid. 122 Ibid., 3-4.

Page 42: BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/3/D_762008003_BAB III...BAB III AGAMA, NEGARA DAN SEKULARISME Beberapa Pengertian

Berger mengkritik pandangan yang menyatakan kala sekularisasi

berhadapan dengan fundamentalis, kaum sekuler akan memenangkan

pertarungan. Dan ini berarti bahwa tesis sekularisasi bisa dipertahankan.123

Baginya, dunia abad nanti sekalipun tidak akan berkurang religiusitasnya

dibandingkan dengan abad sekarang.

Pola relasi yang memisahkan agama di satu sisi dan negara di sisi lain,

ternyata sama sekali tidak menghilangkan minat agama baik dari aspek

ekspresinya maupun sebagai objek studi. Sekularisasi ternyata tidak

membuat agama benar-benar hilang dari peredaran. Dalam pengantar buku

The Desecularization of the World, Peter L. Berger menuturkan tentang

anggapan yang keliru soal teori sekularisasi.124 Meski sekularisasi telah

dianggap sebagai salah satu biang keberhasilan majunya peradaban, tetapi

kenyataan yang dihadapi manusia abad 21, justru berkebalikan. Kata Peter L.

Berger, dunia sekarang tidak lagi mengalami proses sekularisasi tetapi justru

sebaliknya yakni desekularisasi. Dunia saat ini, tidak jauh berbeda dengan

masa-masa dimana agama menjadi sesuatu yang marak, dan bahkan di

beberapa tempat lebih kuat daripada yang pernah terjadi.

Desekularisasi meniscayakan bahwa proses modernisasi tidak hanya

membuat orang-orang sekuler dan meninggalkan agama di satu sisi, tetapi di

sisi lain modernisasi juga membuat simbol-simbol keagamaan semakin

memamahbiak. Disitulah desekularisasi menjadi anak sejarah yang tidak bisa

dipandang sebelah mata eksistensinya. Peter L. Berger merupakan orang

yang menyadari betul proses desekularisasi ini. Ia mengakui kesalahannya

yang mengatakan bahwa secara sederhana teori sekularisasi bermaksud

menunjukkan bahwa modernisasi menyebabkan merosotnya agama, baik

dalam ranah masyarakat maupun individu.

123 Ibid., 4.

124 Ibid., 2.