bab i pendahuluan latar belakang -...

15
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Wacana agama sipil (civil religion) sempat mengemuka dan menjadi tema debat teoritis di Amerika Serikat pada dekade 1960-an. Aktor utamanya adalah Robert Nheely Bellah, Profesor Sosiologi di Universitas California Berkeley, Amerika Serikat. Dalam tulisan yang berjudul “Civil Religion in America”, 1 Bellah memberikan gambaran mengenai dasar bersama warga Amerika yang sangat bermanfaat dalam membangun tata kehidupan bersama. Gagasan Bellah memunculkan polemik. Ada yang mendukung, tak sedikit pula yang menentang. Kalangan gereja, mempertanyakan gagasan agama sipil (civil religion) yang diintrodusir oleh Bellah. Namun, para akademisi dan pemerhati masalah sosial keagamaan, mengapresiasi tawaran Bellah. Tak lama setelah itu, agama sipil menjadi tema besar yang menjadi lahan perdebatan di ruang kajian sosiologi agama. 2 Watak dasar yang melandasi gagasan ini salah satunya berhubungan dengan diskursus integrasi sosial. Agama dipahami dalam kerangka bahwa setiap kelompok masyarakat selalu memiliki kualitas keagamaan. Bukan agama yang berfungsi menghasilkan integrasi sosial, tetapi justru dalam setiap 1 Tulisan tersebut awalnya oleh Bellah ditulis sebagai bahan untuk dipresentasikan pada konferensi Daedalus mengenai Agama Amerika pada 1966. Tulisan itu kemudian dmuat di Jurnal Daedalus, 1-21. Lihat dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post- Traditional World (University of California Press, 1997), 168-189. 2 Lester Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective (Pine Forge Press, 1995), 186-191. Ronald L. Johnstone, Religion in Society: A Sociology of Religion (New Jersey: Prentice Hall, 1992), 153-156. Arthur E. Farnsley et.al., Sacred Circles, Public Squares: The Multicentering of American Religion, (Indiana University Press, 2003), 46-75. Michele Dillon (ed), Handbook of the Sociology of Religion (Cambridge University Press, 2003), 348-358.

Upload: ngokhanh

Post on 29-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wacana agama sipil (civil religion) sempat mengemuka dan menjadi tema

debat teoritis di Amerika Serikat pada dekade 1960-an. Aktor utamanya adalah

Robert Nheely Bellah, Profesor Sosiologi di Universitas California Berkeley,

Amerika Serikat. Dalam tulisan yang berjudul “Civil Religion in America”,1 Bellah

memberikan gambaran mengenai dasar bersama warga Amerika yang sangat

bermanfaat dalam membangun tata kehidupan bersama.

Gagasan Bellah memunculkan polemik. Ada yang mendukung, tak sedikit

pula yang menentang. Kalangan gereja, mempertanyakan gagasan agama sipil

(civil religion) yang diintrodusir oleh Bellah. Namun, para akademisi dan

pemerhati masalah sosial keagamaan, mengapresiasi tawaran Bellah. Tak lama

setelah itu, agama sipil menjadi tema besar yang menjadi lahan perdebatan di

ruang kajian sosiologi agama.2

Watak dasar yang melandasi gagasan ini salah satunya berhubungan

dengan diskursus integrasi sosial. Agama dipahami dalam kerangka bahwa

setiap kelompok masyarakat selalu memiliki kualitas keagamaan. Bukan agama

yang berfungsi menghasilkan integrasi sosial, tetapi justru dalam setiap

1 Tulisan tersebut awalnya oleh Bellah ditulis sebagai bahan untuk dipresentasikan pada

konferensi Daedalus mengenai Agama Amerika pada 1966. Tulisan itu kemudian dmuat di Jurnal Daedalus, 1-21. Lihat dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World (University of California Press, 1997), 168-189.

2 Lester Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective (Pine Forge Press, 1995), 186-191. Ronald L. Johnstone, Religion in Society: A Sociology of Religion (New Jersey: Prentice Hall, 1992), 153-156. Arthur E. Farnsley et.al., Sacred Circles, Public Squares: The Multicentering of American Religion, (Indiana University Press, 2003), 46-75. Michele Dillon (ed), Handbook of the Sociology of Religion (Cambridge University Press, 2003), 348-358.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

2

masyarakat ada kadar religiositas. Harus dimengerti pula bahwa pengertian

agama menurut Emile Durkheim sangat besar berpengaruh dalam wacana

agama sipil ini.3

Bellah sesungguhnya bukanlah orang pertama yang secara eksplisit

menulis gagasan agama sipil. Sejauh yang penulis dapatkan dan pahami dari

beberapa literatur, Jean-Jacques Rosseau-lah yang kali pertama mengenalkan

konsep mengenai civil religion. Dalam salah satu karyanya, On Social Contract,

Buku IV, Rosseau menyinggung tentang apa yang ia maksud sebagai agama sipil,

dengan penjabaran yang masih sangat sederhana.4

Bellah menjadikan Rousseau sebagai salah satu rujukannya dalam

mengupas ide agama sipil. Bellah mengatakan, di Amerika ada sebuah agama

sipil yang tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan gereja,

namun juga secara jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan.

Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai national

self-worship, tetapi sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-

prinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu harus dinilai.

Konsepsi agama sipil ini berkaitan dengan sistem yang mengikat, tapi

melampaui dogmatisme agama-agama. Latar belakang sebuah negara yang

plural, baik dari sisi agama maupun budaya, sudah barang pasti tidak mungkin

membangun negara di atas satu sistem keyakinan tertentu.

Agama, dalam diskursus agama sipil digambarkan dalam karakter

sosiologisnya. Agama yang dimaksud tentu saja ia yang bersifat historis dan

subjektif. Meski ia berwatak historis, tetapi pemaknaan terhadap agama sipil

selalu mengandung elemen yang bersifat suprahistoris atau melampau realitas

3 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995).

4 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole, (New York: Dover Publications, 2003), 93.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

3

yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan Bellah, misalnya,

dilihat sebagai seperangkat ide-ide transenden yang menunjukan sebuah fungsi

integratif dalam masyarakat.5

Dalam bahasan Rousseau, maksud yang tersirat ketika ia berbicara

tentang agama sipil adalah political religion atau agama politik. Rousseau

memang mengaitkan pembahasan agama sipil ini dengan filsafat politik yang

berupaya mencari legitimasi atas hakikat dari good society.6 Filsafat politik

Rousseau seperti yang tertuang dalam social contract itu, menurut Marcela Cristi

membahas dua hal pokok; menyediakan penjelasan rasional terhadap legitimasi

tertib sosial dan untuk mengindikasikan dasar, pembenaran dan pembatasan

kewajiban dan otoritas politik.7 Agama sipil dalam pemikiran Rousseau

karenanya harus dimengerti dalam pemahaman filsafat politik ini. Bagi

Rousseau, kekuatan sebuah negara itu tidak diderivasikan dari kekuasaan tetapi

dari dasar moral yang melegitimasinya.8 Kata Rousseau, no state has ever been

founded without a religious basis.9 Muncul kemudian apa yang disebut sebagai

religio-political problem.10 Masalah itu hadir karena negara harus memiliki

”dasar” agama (baca: moral). Lalu problem berikutnya adalah karena hukum

Kristen (baca: agama) tidak hanya lemah tapi juga menodai konstitusi negara.11

Persoalan itu yang kemudian ingin dipecahkan oleh Rousseau dengan tidak

menjadikan agama tertentu sebagai basis tetapi ada ikatan ”seperti agama” yang

menjadi alat perekat kelompok-kelompok yang berbeda keyakinannya. Apa yang

5 Niels Reeh, “American Civil Religion as State-Mythology”, dalam Annika Hvithamar, Margit Warburg and Brian Arly Jacobsen (eds), Holy Nations and Global Identities Civil Religion, Nationalism, and Globalisation (Leiden-Boston: Brill, 2009), 85. 6 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture, Religion and Politics (Wilfrid Laurier University Press, 2001), 17. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract., .

10 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion. . .18. 11 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract…

Page 4: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

4

dimaksud Bellah dengan agama sipil itu merupakan gambaran tentang kehendak

bersama dari sebuah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lainnya.

Kehendak bersama tersebut salah satunya temaktub dalam konstitusi, dasar dari

sebuah negara. Pengalaman agama sipil Amerika yang diintrodusir Bellah itulah

yang menjadi pijakan pembahasan karya ini yang kemudian mengaitkannya

dengan konteks keindonesiaan.

Karena agama sipil sangat terkait erat dengan general will, seharusnya

cita-cita luhur yang disepakati bersama itu harus melampaui identitas-identitas

primordial. Apakah konstitusi kita memuat aspek itu atau tidak? Jika semua

elemen masyarakat dari berbagai agama bisa menerima dasar itu, maka

bagaimana mereka beragama dalam payung bersama tersebut?

Momentum yang erat berkaitan dengan pemantapan dasar bersama

bangsa Indonesia adalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) pada 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Ketika berpidato pada

sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno menjabarkan tentang prinsip-prinsip

dasar bernegara. Dalam pidato yang kemudian diperingati sebagai hari

kelahiran Pancasila itu, presiden pertama republik ini menuturkan soal dasar

negara Indonesia. Lima prinsip dasar itu adalah Kebangsaan Indonesia

(nasionalisme), Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan dan Ketuhanan.12

Saat berbicara tentang Ketuhanan, Soekarno menuturkan bahwasanya

segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada

”egoisme-agama”.13 Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno

menekankan pentingnya dikembangkan kultur toleransi atau berkeadaban,

12 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 92-102. 13 Ibid., 101.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

5

dimana hormat menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan

satu dengan yang lainnya.

Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara

yang berketuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah ketuhanan

yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur serta

ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Dengan menggunakan

azas itulah segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaik-

baiknya.

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, setidaknya prinsip ketuhanan

tersebut telah menjadi semacam fondasi etika. Dengan menggunakan kata

ketuhanan dan tidak merujuk pada agama tertentu, Soekarno bermaksud untuk

menjadikan Pancasila (terutama Ketuhanan) sebagai payung bersama bagi

semua warga negara Indonesia tanpa membedakan identitas agamanya.

Ketuhanan menjadi semacam prinsip moral-etis dimana kehidupan bersama

yang dilandaskan atas semangat kekeluargaan adalah merupakan

pengejawantahan dari prinsip pengabdian kepada Tuhan.

Istilah Ketuhanan Yang Maha Esa yang diungkapkan Soekarno, secara

prinsip, bukanlah konsep Ketuhanan yang rumit. Soekarno menyadari bahwa

beragama (atau percaya pada Tuhan) dengan bentuk yang berbeda-beda adalah

bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Itulah makna terdalam dari

apa yang diungkapkan Soekarno sebagai ”...hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya

sendiri.”

Meminjam kategorisasinya Bellah di atas, penulis hendak mengaitkan

Pancasila di Indonesia dengan gagasan civil religion. Pancasila merupakan

agama sipil bangsa Indonesia. Kesimpulan itu setidaknya bisa dibaca dalam

Page 6: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

6

tulisannya Matti Justus. Schindehütte,14 Susan Selden Purdy,15 atau Karel A.

Steenbrink.16 Sementara meminjam pendekatan Jose Casanova, Benjamin

Fleming Intan17 melihat Pancasila ini dalam kapasitasnya sebagai “public

religion.”

Bellah mengatakan bahwa agama sipil adalah dimensi keagamaan publik

yang terekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritual. Dimensi

keagamaan itu ada dalam kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya

terhadap pengalaman sejarahnya dalam terang realitas transenden. Makna sila

Ketuhanan dalam Pancasila adalah sebagai penegasan bahwa kehidupan bangsa

Indonesia tidak semata-mata didasarkan humanisme tetapi juga memiliki

kualitas keagamaan atau dibangun di atas prinsip-prinsip moral. Disini,

Pancasila bisa dibedakan dari agama dalam pengertian normatif, tetapi juga bisa

dikatakan memiliki prinsip-prinsip yang ada dalam agama. Salah satunya,

moralitas itu tadi.

Diskursus civil religion yang dikembangkan Bellah bisa cukup menolong

bagaimana Pancasila memiliki makna dalam kehidupan umat beragama.

Pancasila tidak merupakan agama dan tidak menggantikan kedudukan agama.

Pancasila hanya memerankan fungsi-fungsi di level profan, salah satunya

sebagai unit perekat masyarakat atau jembatan untuk integrasi sosial. Meski

14 Matti Justus. Schindehütte, “Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft : Religion

als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens”, Thesis Ph.D, Hamburg University, 2005.

15 Susan Selden Purdy, “Legitimation of power and authority in a pluralistic state : Pancasila and civil religion in Indonesia”, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).

16 Karel A. Steenbrink, “The Pancasila Ideology and an Indonesian Muslim Theology of Religion” dalam Jacques Waardenburg (ed), Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical Survey (New York: Oxford University Press, 1999). 17 Benyamin Fleming Intan, ““Public Religion” and the Pancasila-based State of Indonesia: A Normative Argument within a Christian-Muslim Dialogue (1945-1998)”, (Ph.D Dissertasi, Boston College Department of Theology, 2004).

Page 7: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

7

tentu saja harus diuji kembali apakah gagasan agama sipil yang dikembangkan

oleh Bellah memiliki kesesuaian konteks dengan agama sipil di Indonesia.

Tetapi, diskusi tentang Pancasila sebagai agama sipil ini sebenarnya masih

bisa dilanjutkan. Memaknai Pancasila sebagai agama sipil ini memang bisa

diperdebatkan. Salah satu kritik terhadap diskursus itu adalah karena agama

sipil (di Amerika) mengasumsikan untuk dipisahkan secara penuh dari agama

dan negara.

Di Indonesia, agama dan negara tentu saja memainkan peran penting.

Kehadiran Pancasila sebagai “etika bersama” itu saja tidak lepas dari justifikasi

agama-agama. Dengan begitu, Pancasila penting untuk diteologisasi, yang

menyebabkan gagasan agama sipil tidak bisa dipisahkan dari kehidupan

keagamaan. Sekali lagi, ini penting untuk dikembangkan agar bisa memberikan

kenyamanan bagi pemeluk agama agar tidak terjadi benturan identitas

primordial (baca: agama) dengan identitas nasional di dalamnya.

Diskusi agama sipil di Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai

unit analisisnya, karenanya masih bisa dikembangkan. Pancasila merupakan

dasar negara yang telah diteologisasi, dijustifikasi secara keagamaan dan

dijadikan sebagai fundamen kehidupan bangsa yang memeluk beragam agama.

Pancasila merupakan “milestone” bagi pluralitas bangsa Indonesia. Pancasila

adalah cerita tentang sebuah bangsa yang bernama Indonesia dengan pluralitas

suku dan agamanya. Mereka yang berbeda itu bersepakat untuk hidup bersama

sebagai sebuah bangsa. Dalam pemahaman seperti inilah transformasi Pancasila

dalam sebuah religiositas sipil akan dikembangkan.

Rumusan Masalah

Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama

sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama

Page 8: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

8

dan etnis, juga pastinya memiliki simbol integrasi tersebut. Cita-cita itu sejatinya

termaktub dalam dasar negara konstitusi kita. Dalam diskursus sosiologi agama,

ada yang disebut agama sipil untuk menyebut sebuah dimensi keagamaan

sebuah masyarakat yang terekspresikan dalam konstitusi. Kerangka “civil

religion” ini akan menjadi pijakan awal untuk menggali tentang (i) apa yang

dimaksud dengan ide religiositas sipil dan apa yang membedakannya dengan

agama sipil? (ii) bagaimana ekspresi religiositas sipil dijabarkan dalam sebuah

masyarakat yang pluralis dari sudut pandang agama? (iii) sebagai dasar negara,

bagaimana Pancasila dipahami, kaitannya dengan transformasi religiositas sipil

dalam menghadapi kemajemukan identitas primordial bangsa Indonesia?

Tujuan Penulisan

Dengan merujuk pada masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian ini

dimaksudkan untuk menjawab beberapa persoalan yakni untuk

menggambarkan apa yang menjadi cita-cita bersama bangsa Indonesia dengan

berbagai macam latar belakang suku dan agamanya seperti yang termaktub

dalam dasar negara konstitusi kita. Dengan menjadikan diskursus agama sipil

sebagai titik keberangkatan awal, karya ini akan membahas isu baru yakni

religiositas sipil. Sehingga penelitian ini hendak mendeskripsikan perbedaan

antara ide agama sipil dan religiositas sipil. Disertasi ini juga bermaksud untuk

mendeskripsikian ekspresi religiositas sipil yang dimanifestasikan dalam sebuah

masyarakat pluralis dari sudut pandang agama . Tujuan dari karya ini juga untuk

bagaimana Pancasila dipahami dalam kaitannya dengan religiositas sipil saat

berhadapan dengan kemajemukan identitas primordial bangsa Indonesia.

Pembatasan Masalah

Pencarian terhadap diskursus agama sipil dalam penelitian ini akan

dibatasi pada aras konstitusi. Dalam konteks ini, konstitusi yang dimaksud

merujuk pada dua dasar yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945

Page 9: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

9

sebelum diamandemen. UUD 1945 yang dimaksud di sini adalah menyangkut

apa yang ada baik dalam Pembukaan maupun batang tubuhnya. Sementara

agama sipil sebagai kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan gambaran dari yang ditulis oleh Bellah dalam “Civil Religion in

America” dan “The Broken Covenant.”

Telaah Pustaka

Gagasan tentang agama sipil yang dihubungkan dengan semangat kolektif

bangsa Indonesia, telah beberapa kali diulas sebagai karya akademik. Penulis

menemukan setidaknya empat tulisan mengenai agama sipil dan gagasan

keindonesiaan yang sudah dieksplorasi.

Matti J. Schindehütte, mahasiswa Hamburg University Jerman menulis

disertasi yang berjudul “Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft. Religion

als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens/Civil

religion as a responsibility of the society: Religion as a political factor within the

development of the Pancasila in Indonesia.” Menurut Matti, wacana mengenai civil

religion mencari jalan keluar dari dilema kekerasan atas nama agama yang

menggejala. Yang menjadi masalah ialah hubungan yang wajar antara agama dan

masyarakat –sebuah masalah yang serta merta dihadapi baik di dunia barat

maupun di dunia Islam. Disertasi itu hendak mengantar ke dalam wacana itu.

Sebagai contoh telah dipilih Republik Indonesia yang sejak tahun 1945

diasaskan atas Pancasila sebagai semacam civil religion.

Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang terbesar jumlah

warganya yang memeluk agama Islam di seluruh dunia, menolak mewajibkan

umat Islam untuk tunduk pada hukum syari'at. Tulisan Matti menjelaskan

bagaimana Pancasila perlu dilihat atas latar belakang prasejarahnya sendiri dan

dengan demikian ia dapat diterima sebagai jawaban masyarakat Indonesia atas

pertanyaan mengenai asal mulanya.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

10

Tulisan berikut tentang agama sipil di Indonesia dieksplorasi oleh Elma

Haryani dalam karya yang berjudul “Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari

Format Demokratisasi Agama.”18 Tesis pada program Centre for Religion and

Cross Cultural Studies, Universitas Gajah Mada Jogjakarta itu menelaah faktor

yang mendukung gagasan agama sipil di Indonesia. Dalam kesimpulannya, Elma

menuturkan ada beberapa faktor yang mendukung tema agama sipil ini di

Indonesia, yaitu: Pertama, keberadaan ideologi negara Pancasila yang dimulai

dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dimana Tuhan dipahami secara bersama

antar berbagai agama; Kedua, warga negara yang heterogen terdiri dari berbagai

suku, etnis, bahasa dan agama tumbuh berkembang dan berelasi dengan tingkat

toleransi dan empati sosial yang relatif tinggi. Karya serupa ditulis oleh Nafisul

Atho’ dalam “Pancasila sebagai Civil Religion di Indonesia.”19 Karya yang

merupakan tesis pada jurusan Filsafat Islam di Program Pascasarjana IAIN

Sunan Kalijaga Jogjakarta itu kurang lebih bertutur tentang Pancasila sebagai

agama sipil bangsa Indonesia.

Susan Selden Purdy menulis disertasi yang berjudul Legitimation of power

and authority in a pluralistic state: Pancasila and civil religion in Indonesia.

Disertasi di Columbia University ini ditulis untuk melihat kekuatan legitimasi

dan otoritas dalam masyarakat yang pluralistik seperti halnya Indonesia.20

Menurut Purdy, meskipun klaim fungsional dari agama sipil memiliki

validitas, tentu saja perlu kualifikasi. Walau agama sipil Indonesia yang bekerja

menuju integrasi negara dinyatakan pluralistik, hal itu secara bersamaan

disfungsional, kontribusi perpecahan tinggi, dengan kelompok-kelompok

18 Elma Haryani, “Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari Format Demokratisasi Agama,” (Tesis Pascasarjana Ilmu Perbandingan Agama UGM Jogjakarta, 2004). 19 Nafisul Atho’, “Pancasila sebagai Civil Religion di Indonesia”, (Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005). 20 Susan Selden Purdy, “Legitimation of power and authority in a pluralistic state : Pancasila and civil religion in Indonesia”, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

11

tertentu. Jadilah agama sipil sebagai suatu retorika yang tidak otentik. Lebih

jauh lagi, bukti menunjukkan bahwa munculnya agama sipil sering lebih

menyerupai manuver untuk kontrol sosial oleh elit politik ketimbang gerakan

massa yang mencari instrumen makna dalam hidup mereka. Di Indonesia,

matriks ideologi agama sipil, ritual dan simbol dimobilisasi negara untuk

mewujudkan sasaran nasional, mewujud dalam kenyataan yang paradoks,

dengan gaya konservatif.

Di luar empat karya Pancasila tentang agama sipil, ada juga bahasan

tentang ide Hak Asasi Manusia (HAM) Berdasarkan Ideologi Pancasila21 dan

Konsep Keadilan dalam Pancasila.22 Keduanya berusaha menggali aspek HAM

dan Keadilan Pancasila.

Signifikansi

Merujuk pada karya terdahulu tentang agama sipil di Indonesia, penulis

melihat bahwa kebanyakan tulisan tersebut lebih banyak merujuk pada

Pancasila sebagai manifestasi apa yang disebut sebagai agama sipil. Hemat

penulis, kesimpulan itu memiliki, setidaknya dua kelemahan. Pertama, muatan

sila-sila dalam Pancasila tidak dapat dipisahkan dari pembukaan Undang-

undang Dasar 1945. Dengan begitu, analisis terhadap Pancasila tanpa

mengaitkannya dengan pembukaan UUD 1945 mengakibatkan hilangnya

signifikansi dalam memahami traktat bersama atau kontrak sosial bangsa

Indonesia. Kedua, UUD 45 (terutama pada pembukaannya), penting untuk

dieksplorasi karena ia tidak hanya sekedar pengantar sebuah Undang-undang.

Pembukaan UUD 1945 merupakan proklamasi diri sebuah bangsa yang baru saja

21 Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila (Yogyakarta: Kanisius, 1993). 22 Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama, 2007).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

12

terbentuk dan sudah barang pasti hakikatnya dalam. Penulis menduga, bahwa

disitulah ada sebentuk dimensi religiositas bangsa Indonesia.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data yang

disajikan dalam bentuk verbal.23 Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong

mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati.24 Dalam penelitian ini metode

pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran terhadap bahan-bahan

pustaka yang menjadi sumber data, sumber data tersebut berupa literatur yang

berkaitan dengan substansi penelitian ini.

Ada dua sumber data dalam penelitian ini, primer dan sekunder. Data

primer meliputi, Pancasila dan UUD 1945. Sementara, sumber sekundernya

adalah dokumen-dokumen seperti P-4, Tap MPR, dan karya yang membahas

tentang Pancasila dan UUD 1945.

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan peneliti menggunakan metode

library research atau studi kepustakaan yaitu usaha untuk memperoleh data

dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi

pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku referensi atau

hasil penelitian lain.25

Kerangka Teori

23 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 29.

Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), 174.

24 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Rosdakarya, 2002), 3. 25 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2003), 45.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

13

Sebagai landasan teoritik, penelitian ini mula-mula akan menyandarkan

diri pada diskursus mengenai wacana agama sipil seperti yang dielaborasi oleh

Bellah dalam “The Broken Covenant” dan “Civil Religion in America”. Menurut

Bellah, agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam

seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.26 Dimensi keagamaan itu ada dalam

kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman

sejarahnya dalam terang realitas transenden.27

Sistematika Penulisan

Penulisan karya ini akan dibagi ke dalam enam bab. Bab pertama

merupakan pendahuluan sebagai pengantar masuk pada kajian pokok. Di

dalamnya akan diuraikan mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Metode Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori serta Sistematika

Penulisan.

Bab II merupakan landasan teoritik tentang agama sipil dan religiositas

sipil. Pada bagian ini, pembahasan mengenai agama sipil akan dimulai dengan

bahasan ihwal formulasi awal agama sipil yang dikembangkan oleh JJ. Rousseau

dan Durkheim. Setelah itu pembahasan diteruskan dengan menjabarkan

pengalaman agama sipil Amerika dengan bersandar pada karya Robert N. Bellah.

Dua bahasan berikutnya masing-masing; Agama Sipil Pasca Bellah: Shank dan

Coleman serta Agama Sipil Sebagai Kuasi Agama. Di akhir bab, penulis akan

jabarkan tentang pergeseran dari diskursus agama sipil menuju religiositas sipil

dengan menggunakan jembatan transformasi.

Bab III masih merupakan landasan teoritik yang menitikberatkan pada

kajian mengenai agama, negara dan sekularisme. Dalam bab ini akan diawali

26 Robert N. Bellah, Beyond Belief… 171. 27 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (University of Chicago Press, 1992), 3

Page 14: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

14

dengan bahasan mengenai pengertian agama, kemudian dilanjutkan dengan

memetakan pengertian agama sebagai sebuah fakta sosial seperti yang

dijelaskan oleh Karl Marx, Max Weber dan Emil Durkheim. Bab ini akan

dipungkasi dengan memetakan agama, negara dan sekularisme.

Pembahasan di Bab IV merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi

religius dari Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai

dasar negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai.

Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam

bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil

yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan

Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas

keragaman agama, budaya, suku, etnis dan ras bangsa Indonesia. Identitas

Tuhan yang akan dideskripsikan dalam bab ini seperti yang tertuang dalam

pembukaan UUD 1945 alinea 3.

Setelah melihat Pancasila dengan menggunakan pendekatan agama sipil,

bahasan berikutnya adalah menganalisisnya dengan dua cara. Yang pertama

adalah analisis sosial dan politik. Kedua, menganalisis Pancasila sebagai

momentum integrasi yang disarikan dari dua sudut, eksternal (nasionalisme)

dan internal (teori tiga lapis budaya Soekarno).

Bab V merupakan pembahasan atau analisis terhadap data yang

terkumpul dalam Bab IV dengan landasan teori yang telah diuraikan

sebelumnya. Setelah menelaah Pancasila sebagai sebentuk agama sipil dan juga

religiositas sipil, bagian ini lebih fokus melihat Pancasila yang dinarasikan oleh

penguasa dari tiga masa, Soekarno di era orde lama (1945-1966), Soeharto pada

masa orde baru (1966-1998) dan KH. Abdurrahman Wahid di era reformasi

(1999-2001).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/1/D_762008003_BAB I.pdf3 yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan

15

Bab VI merupakan analisis terhadap Pancasila dan Ide Transformasi

Religusitas Sipil. Didalamnya akan dipaparkan mengenai Pancasila sebagai

“Milestone” Pluralitas Bangsa Indonesia, Transformasi Pancasila dalam

Religiositas Sipil: Merawat Pluralisme, Menjamin Kebebasan Beragama,

Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Teori Sekularisasi, Privatisasi

dan Pasar serta Pancasila Sebagai Kekuatan Integratif.

Karya ini akan dipungkasi melalui Bab VII yang berisi penutup. Di

dalamnya akan dibahas mengenai Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.