bab vi pancasila dan transformasi religiositas...

52

Click here to load reader

Upload: duongnhi

Post on 19-Mar-2019

268 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

BAB VI

PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS SIPIL: SEBUAH ANALISIS

Sebagai agama sipil, salah satu keunikan Pancasila adalah karena ia tak

hanya berada dalam konteks perbedaan soal agama saja. Pancasila melampaui

gagasan agama sipilnya Bellah yang memang ada dalam konteks keagamaan.

Dalam hal mengakomodir pandangan non believers, ide agama sipil dalam

Pancasila barangkali agak lebih dekat dengan pandangan Andrew Shank. Agama

sipil Pancasila, selain berbicara tentang agama, juga datang dari dua pokok

fondasi lainnya, sosio-demokrasi dan sosio-Nasionalisme. Namun, pembahasan

dalam karya ini hanya akan fokus pada point pertama saja, yakni soal agama.

Pancasila sebagai “Milestone” Pluralitas Bangsa Indonesia:

Sebuah Proses Transformasi

Salah satu situasi politik yang menjadi latar lahirnya Pancasila adalah

pertarungan antara Islamisme dengan Nasionalisme. Pidato Soekarno saat ia

menawarkan lima dasar, sangat jelas menunjukkan situasi tersebut. Soekarno

misalnya mengatakan;

Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, kebangsaan ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa pada dasar pertama buat Indonesia adalah dasar kebangsaan.1

Dalam situasi demikianlah Pancasila lahir. Pancasila berupaya untuk

merengkuh semua golongan agar bisa terakomodir. Soekarno merasa harus

1 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 92.

Page 2: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

menyampaikan sebuah prinsip yang bisa membuat nyaman semua kelompok

yang ada dalam sidang BPUPKI. Dari banyak kelompok yang hadir, perwakilan

Islam memang sangat mendambakan sebuah negara dengan dasar Islam.

Soekarno melihat ada potensi disintegrasi karena ada keberatan dari kelompok

yang tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara. Lalu disepakatilah lima

dasar yang ditawarkannya pada 1 Juni 1945.

Lahir dari situasi dimana penuh ketegangan antar berbagai ideologi,

Pancasila diharapkan menjadi kompromi sekaligus dasar bersama bagi semua

kelompok. Soekarno sering menyebut Pancasila ini sebagai fundamen, filsafat,

pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat atau “philosofische grondslag”.

Dalam kesempatan lain, Soekarno (juga Soeharto) sering menyebut Pancasila

sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun, justru disinilah sesungguhnya ada

masalah dengan menempatkan Pancasila sebagai ideologi.

Jika Pancasila adalah sebuah ideologi, maka Pancasila menjadi sesuatu

yang benar di dalamnya dan tidak mengandung kontradiksi satu dengan lainnya.

Namun, hal itu harus dilakukan oleh Soekarno untuk mengatasi persoalan yang

timbul di Indonesia.

Persoalan yang ada dalam diri Pancasila itu pertama-tama adalah saat

Soekarno berusaha untuk menjadikannya sebagai payung bersama, perekat. Itu

bisa dilihat misalnya dalam Sila Persatuan. Muncul kemudian keinginan untuk

membuatnya kuat, kukuh dan tak tergantikan. Kecenderungan yang sangat

terasa ketika orde baru berkuasa melalui doktrin Pancasila sakti.

Seperti yang digambarkan dalam bab sebelumnya, dengan menggunakan

pendekatan ideologis, Pancasila menyiratkan ada ”inkompatibilitas intrinsik.”

Mencermati tiap-tiap sila dalam Pancasila, serta keterangan Soekarno saat

Page 3: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

menjelaskan masing-masingnya akan semakin jelas menunjukkan bagaimana

inkonsistensi itu mengemuka.2

Sila pertama yang disinggung oleh Soekarno merupakan antitesa dari

paham Pan Islamisme.3 Soekarno meminta kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo dan

kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara agar bisa

memahami apa yang ia sampaikan itu. Soekarno melanjutkan bahwa ide tentang

kebangsaan tersebut tidak dimaksudkannya untuk memaknai satu model

kebangsaan sempit, tetapi nasionalestaat. Soekarno kemudian menguraikan

tentang apa yang ia maksud sebagai Persatuan, Musyawarah, Kemanusiaan dan

Ketuhanan.

Persoalan kemudian muncul ketika Soekarno sampai pada pembahasan

tentang permusyawaratan, permufakatan, dasar ketiga yang ia tawarkan.

Soekarno menyadari betul bahwa asas ini menjadi kran untuk beradu pendapat,

menawarkan pandangan dan ideologinya masing-masing. Soekarno ada dalam

situasi dimana tuntutan kelompok Islam untuk menjadikannya sebagai dasar

negara sangatlah kuat. Soekarno membuka kesempatan kepada mereka untuk

berdebat dan memperjuangkannya di badan legislatif. Kehidupan di lembaga

perwakilan haruslah merupakan sebuah kawah candradimuka dimana ada

perjuangan paham di dalamnya. Negara yang sehat adalah negara yang

menyediakan ruang bagi perjuangan paham atau ide dan menjadikan lembaga

perwakilan itu bergolak mendidik. Termasuk jika umat Islam hendak

memperjuangkan idenya, maka bertarunglah di badan perwakilan itu.

2 Penulis berterima kasih kepada Donny Danardono yang memperkenalkan pendekatan ini dalam memahami Pancasila di berbagai diskusi. Uraian singkatnya tentang hal itu bisa disimak dalam Donny Danardono, Pancasila dan Hukum Sebagai Diskursus, Makalah disampaikan Konferensi Nasional Ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia: “Filsafat Hukum dan Kemajemukan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh AFHI, Epistema Institute dan Fakultas Hukum Universitas Katolik di Teater Thomas Aquinas Unika Seoegijapranata pada 16-17 Juli 2012. 3 Ibid.

Page 4: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.

Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada.4

Imbas dari apa yang disampaikan oleh Soekarno ini kemudian membuat

Pancasila berada dalam posisi yang dilematis. Sebagai dasar negara, Pancasila

akan sangat mungkin digantikan oleh paham lain, selama mereka yang

memperjuangkannya dapat menguasai parlemen. Yang terjadi kemudian,

sebagai dasar negara, philosofische grondslag atau weltanschauung, Pancasila tak

lagi kedap,5 pejal, sudah final dan kekal,6 Sementara, di sisi lain, Soekarno

menghendaki Pancasila itu sebagai suatu fondasi yang kokoh dan tak

tergantikan. Keberhasilan sebuah paham tertentu dalam lembaga perwakilan

akan menggoyahkan Pancasila yang hendak meniadakan “egoisme agama” serta

prinsip “semua buat semua”.

Pemahaman terhadap Pancasila dalam kerangka demikian, berpotensi

untuk menggoyahkan kemajemukan, pluralitas agama dan budaya yang sudah

4 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia . . . 98. 5 Ibid. 6 Goenawan Muhammad, “Menggali Pancasila Kembali”, Naskah pidato peluncuran politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, Senin 27 April 2009.

Page 5: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

terpatri di bumi Indonesia. Bagaimana Pancasila dapat menjadi jaminan agar

prinsip “egoisme agama” bisa ditanggalkan dengan semangat “semua buat

semua”.

Dengan menawarkan Pancasila, Soekarno berikhtiar agar bangsa yang

bhineka ini bisa menjadi eka, dan yang eka ini tetap menghargai yang bhineka.7

Menawarkan satu prinsip yang berdiri di atas kemajemukan, sudah pasti akan

mengundang banyak spekulasi. Bisa jadi akan ada titik temu yang mendamaikan,

tetapi bukan tak mungkin akan banyak titik tengkar yang akan memudarkan tali

persatuan. Situasi itulah yang juga dihadapi Soekarno saat menyampaikan

pidato tentang Pancasila. Meminjam bahasa Goenawan Muhammad, “Pidato

Bung Karno dengan ekspresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan:

penuh semangat tapi juga tak bebas dari rasa cemas”.8

Pancasila haruslah dipahami dalam kerangka yang utuh. Sila yang satu

harus dimbangi dengan sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus

diimbangi dengan Persatuan Indonesia dan begitu seterusnya. Memutlakan satu

sila di atas yang lain, akan berpotensi menghasilkan hegemoni dan dominasi

satu kelompok atas kelompok lainnya. Dengan kata lain, Pancasila yang

meniadakan “egoisme agama” itu harus dipahami secara utuh dari sila-sila yang

menjadi fondasinya. Merawat kemajemukan hanya mungkin bisa dilakukan jika

Pancasila ditafsirkan dalam kerangka demikian.

Disinilah kita bisa memahami apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai esensi

dari Pancasila yang akan terus dipertahankan. Sebagai negara dengan tingkat

kemajemukan yang tinggi, maka disintegrasi adalah masalah yang selalu akan

timbul di Indonesia. Bahkan, sila-sila dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya

bisa menjadi peta masalah di negara yang majemuk seperti Indonesia. Sila

pertama menyiratkan bahwa persoalan hubungan agama dan negara akan selalu

7 Ibid. 8 Ibid., 7.

Page 6: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

berkait dan berkelindan. Dasar negara Pancasila yang bukan teokrasi dan bukan

sekuler menyisakan ruang perdebatan tentang identitas bangsa ini. Sila kedua

(kemanusiaan yang adil dan beradab), merupakan peringatan bahwa akan selalu

ada masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Masalah

disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang akan dihadapi seperti disiratkan

dalam sila ketiga. Konsolidasi demokrasi yang masih terus berjalan selalu akan

menyisakan residu. Residu demokrasi itu yang akan terus berjalan mengiringi

proses demokratisasi yang sedang berjalan. Sila keempat mengindikasikan

hadirnya masalah tersebut. Sementara sila terakhir, menyiratkan persoalan

pokok dalam bidang ekonomi, yakni munculnya kecemburuan, terutama dalam

relasi pusat dan daerah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pandang kita terhadap Pancasila

agar ia tetap berfungsi untuk menjadi kekuatan integratif yang menjaga

kemajemukan tersebut?

Penulis menyebut bahwa Pancasila itu sebagai “milestone” bangsa

Indonesia.9 Titik tonggak yang mengawali komitmen akan menjaga keutuhan

bangsa dengan segala kekayaan perbedaan yang terkandung di dalamnya. Titik

inilah yang merupakan “kisah bersama” saat mereka yang berbeda itu

menyepakati satu janji untuk hidup dalam teritori yang disepakati. Kisah ini

yang menjadi rujukan jika pada suatu waktu ada kelompok tertentu yang

hendak keluar dari milestone atau “kisah bersama” itu. Pancasila menjadi

semacam personal experience, pengalaman intim antar komponen bangsa untuk

tetap menghargai kebhinekaan. Menjaga agar Pancasila tetap semua buat semua.

Dalam kerangka Pancasila, maka kehidupan bangsa Indonesia yang

memiliki keragaman identitas agama dan budaya haruslah tetap dijaga. Dengan

bingkai Pancasila pula, maka tidak ada warna dominan dalam kehidupan bangsa

9 Donny Danardono menyebut Pancasila sebagai Diskursus.

Page 7: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Indonesia. Indonesia tidak menjadi negara Kristen atau negara Islam. Indonesia

juga tidak menjadi negara Jawa, Batak, Sunda, dan lainnya.

Salah satu kekhawatiran Soekarno yang implisit muncul dalam pidato 1

Juni adalah disintegrasi bangsa yang diakibatkan oleh, salah satunya, masalah

agama. Bagaimana jika terjadi satu kelompok yang memperjuangkan golongan

agama tertentu memenangkan pertarungan di parlemen? Bukankah ini buah

dari sebuah proses yang demokratis dengan memenangkan suara terbanyak?

Bagaimana menjawab persoalan ini dalam kerangka Pancasila?

Franklin I. Gamwell menawarkan tentang apa yang disebut sebagai

democratic constitution atau konstitusi demokratis. Ia mencoba menghubungkan

antara ide kebebasan beragama dengan perdebatan di ranah politik.

Menurutnya, kebebasan beragama sebagai sebuah prinsip politik tidak memiliki

makna koheren kecuali sebuah asosiasi politik dapat dibentuk melalui sebuah

diskusi dan debat terbuka, termasuk melibatkan mereka yang berbeda

keyakinan.10

Berbeda dengan pandangan kelompok privatist seperti John Rawls,

Gamwell justru membuka ruang bagi pelbagai keyakinan keagamaan untuk bisa

bertarung di ruang publik, dengan syarat ada debat dan diskusi yang terbuka.11

Keyakinan keagamaan harus direpresentasikan dalam ekspresi politik, yang

dengan begitu maka sejatinya tidak ada larangan bagi keyakinan keagamaan

tertentu untuk ditransformasikan atau bahkan diadopsi menjadi kebijaksanaan

suatu negara. Namun, seperti disinggung dimuka, perlu ada debat yang bebas

dan terbuka untuk menguji keyakinan keagamaan tersebut. Tujuannya adalah

untuk melihat validitas keyakinan keagamaan yang dipegangi oleh kelompok

masyarakat tertentu.

10 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 34-35. 11 Tentang pandangan John Rawl yang disebut privatist oleh Gamwell, lihat dalam Ibid., 47-75.

Page 8: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Kebutuhan dalam diskusi dan debat terbuka ini adalah hadirnya “akal

sehat” serta “pengalaman kemanusiaan”. Keduanya akan sangat menentukan

apakah keyakinan keagamaan yang diajukan untuk menjadi kebijakan negara itu

bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian atau tidak. Tetapi sebelumnya,

perlu diskusi yang bebas ini hanya mungkin bisa dilakukan ketika “agama

sebagai sesuatu yang non-rational” dirubah “agama sebagai sesuatu yang

rational”. Atau dengan kata lain, Gamwell ingin mengatakan bahwa melihat

agama sebagai sesuatu yang rasional sebagai prasyarat untuk masuk ke dalam

diskusi terbuka adalah bentuk lain dari the public view of religious freedom.12

Pemecahan terhadap masalah kebebasan dan keragaman beragama secara

demokratis menghendaki suatu konstitusi yang demokratis pula. Konstitusi

demokratis adalah rumusan yang mampu menyelesaikan masalah agama

maupun politik. Ia mampu memastikan bahwa (i) konstitusi yang demokratis

harus konsisten dengan keyakinan keagamaan yang beragam dan (ii) konstitusi

demokratis harus mendapatkan afirmasi oleh para pengikut dari berbagai

keyakinan keagamaan. Dua kerangka itu menjadi prasyarat terlaksananya debat

itu bisa berjalan dengan baik atau tidak. Jika dua hal tersebut tidak terakomodir

dalam konstitusi, maka jaminan kebebasan beragama tidak ada dalam

konstitusi.

Gamwell mengatakan bahwa agama merupakan formasi budaya dimana

pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab. Ini yang membedakannya

dengan politik. Jika politik dibatasi oleh pertanyaan-pertanyaan parsial, maka

agama menjawab semua persoalan. Karena konstitusi bersifat manusiawi, maka

ia tentu tidak dimaksudkan untuk menjawab semua persoalan kehidupan

manusia. Konstitusi adalah pernyataan tentang apa yang harus dilakukan oleh

negara dan aparatusnya. Konsekuensinya, konstitusi ini tidak boleh menunjukan

12 Ibid., 153.

Page 9: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

keberpihakan pada salah satu kelompok agama tertentu. Konstitusi harus netral

dari klaim keagamaan.

Produk atau aturan negara bisa saja tidak diterima oleh kelompok

keagamaan tertentu. Setelah melewati sebuah prosedur formal misalnya,

ketentuan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan sebuah kelompok keyakinan

keagamaan. Disinilah terjadi tarik menarik antara keadilan yang bersifat

prosedural dengan keadilan substansial.

Dalam wacana demokrasi, keadilan prosedural memang mendapatkan

tempat yang penting. Perumusan sebuah aturan sangat berkaitan dengan

bagaiman prosedur konstitusional itu telah ditempuh. Meski begitu, bukan

berarti keadilan seperti ini mengenyampingkan keadilan substansial. Ada “akal

sehat” dan “pengalaman kemanusiaan” yang mengendalikan keadilan prosedural

itu. Pertimbangan tentang keadilan substansial dan prosedural ini yang bisa

menjadi ukuran dalam menakar segala produk perundangan di sebuah negara.

Kerangka inilah yang bisa digunakan dalam memahami bagaimana

rumusan 5 dasar dalam Pancasila. Pemahaman demikian yang bisa menjawab

kekhawatiran Soekarno ketika berbicara soal kebangsaan, permusyawaratan

dan Ketuhanan. Ada nilai keadilan yang menjadi pertimbangan keterlibatan

semua pihak di area “permusyawaratan” itu. Katakanlah jika di suatu wilayah di

Indonesia parlemen menghendaki penerapan hukuman potong tangan setelah

mereka memenangkannya dengan suara terbanyak, maka hal itu akan

bertentangan keadilan substansial dan akal sehat.

Pemahaman Pancasila seperti ini yang kemudian dijadikan sebagai dasar

bagi transformasi religiositas sipil. Mengutip Cobb, prinsip dasar dari

transformasi, adalah dalam komitmennya yang kuat terhadap keberimanannya,

seseorang haruslah terbuka kepada yang lain. Orientasi keberagamaan tidak

hanya sekadar beromantisme pada sejarah kejayaan sebuah agama di masa

Page 10: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

silam. Agama harus menjadi living values yang senantiasa berdialektika dengan

realitas, termasuk di dalamnya keyakinan-keyakinan yang berbeda.

Keterbukaan terhadap tradisi lain bukan sekadar membuka diri. Kata Cobb,

umat beragama harus mengakui bahwa ada praktek atau ajaran yang baik dan

penting untuk diderivasi dari tradisi keagamaan yang lain. Itulah yang oleh Cobb

disebut sebagai full openness, keterbukaan penuh. Keterbukaan terhadap

kebenaran secara nyata berisi tentang keterbukaan terhadap kebenaran

partikular yang ada dalam tradisi lain.

Religiositas sipil yang transformatif inilah yang harus dikembangkan dalam

kehidupan berbangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai “milestone”. Prinsip

dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan transformasi agama-

agama dalam kontes keindonesiaan. Dengan transformasi maka Kekristenan

yang dikembangkan bukanlah Kristen Barat. Begitu juga dengan tradisi

keagamaan lainnya. Jadi yang muncul pada nantinya adalah “Indonesianized

Christianity”, “Indonesianized Islam”, “Indonesianized Buddhism” dan lainnya.

Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Merawat Pluralisme, Menjamin Kebebasan Beragama

Salah satu kehendak luhur Pancasila hadir adalah dalam kerangka menjaga

kemajemukan atau pluralitas. Itulah pengertian Pancasila sebagai milestone

seperti yang penulis singgung dalam sub bab sebelumnya. Pancasila harus bisa

menjadi garansi terjaganya pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu elemen

bangsa Indonesia yang hendak dikawal eksistensinya oleh Pancasila adalah

agama, tepatnya pluralitas agama.

Soekarno, dalam pidato Hari Pancasila mengatakan bahwa bangsa

Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri-sendiri. Kebertuhanan ini

juga harus dibarengi dengan menanggalkan “egoisme-agama.” Selain

mengimplikasikan adanya keragaman agama yang harus ditoleransi (tiada

Page 11: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

egoisme agama), ungkapan Soekarno menyinggung secara langsung tentang

prinsip kebebasan beragama. Bangsa Indonesia dipersilahkan meyakini Tuhan

secara merdeka. Dalam kapasitasnya sebagai individu yang merdeka inilah,

bangsa Indonesia sesungguhnya diberi kesempatan untuk dapat secara terbuka

mengekspresikan keyakinan keagamaannya. Pancasila secara tegas

menggariskan hal tersebut.

Kemajemukan agama di Indonesia merupakan fakta yang tak terbantahkan.

Meski begitu, dalam realitanya kemajemukan selalu memiliki wajah ganda,

menyejukkan sekaligus mengkhawatirkan. Menyejukkan, karena bak bunga di

taman, ia akan terlihat indah karena jenisnya yang bermacam-macam. Itu

kenyataan di satu sisi. Di sisi lain, kemajemukan sangat potensial untuk menjadi

pemicu konflik, jika kenyataan itu tidak dikelola dengan baik.

Sehingga pertanyaannya kemudian, bagaimana membangun dialog

kehidupan dalam masyarakat dengan latar belakang identitas yang beragam?

Itulah persoalan pelik yang kerap menghinggapi dalam masyarakat modern.

Dengan kata lain, problem mengelola kemajemukan sebagai modal sosial itulah

yang seringkali mendapatkan tantangan.

Agama sebagai realitas sosial, didalamnya tak hanya terkandung aspek

ajaran yang bersifat normatif-doktrinal. Tetapi, dalam diri agama terdapat juga

variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan

ideologi yang dibangun dan dibela mati-matian oleh para pemeluknya.

Semua aktivitas umat beragama yang masuk dalam kategori deviasi, tentu

sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel tersebut, yang satu ikut memperkuat

yang lain dan di saat yang sama muncul juga variabel yang siap mencegahnya,

yakni hakikat ajaran agama yang senantiasa mengajarkan manusia untuk

menebar kasih dan sayang serta misi agama untuk mewujudkan peradaban yang

toleran dan humanis.

Page 12: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Jika tidak dikelola dengan baik, keragaman itu tak jarang berujung pada

sosial catastrophe. Tentu situasi seperti itu yang tidak dikehendaki oleh

semuanya. Maka dari itu, sekali lagi, perlu cara yang bijak dan arif untuk

memantapkan keragaman sebagai panglima untuk mengawal nilai-nilai

demokratisasi, HAM, multikulturalisme dan lainnya.

Agama dengan demikian, harus dipahami tidak sebagai standar,

normatifitas dan sebagai optik kebenaran bagi agama lain. Agama mesti

ditempatkan sebagai proses untuk menuju ultimate reality. Dan karena hidup

berdampingan, maka mau tidak mau pemeluk agama harus bisa menenggang

perbedaan.

Secara sosiologis, keyakinan keagamaan yang dipeluk masyarakat

Indonesia sangatlah banyak.13 ”Agama-agama dunia”seperti Islam, Kristen dan

Katolik ada di Indonesia. Begitu juga keyakinan yang berkembang dari ajaran

nenek moyang mereka.14 Yang menarik adalah munculnya upaya untuk

mendialogkan ajaran agama dengan budaya masyarakat. Ini misalnya bisa

dilihat dalam karya Marx Woodward dalam ”Islam in Java: Normative Piety and

Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta”.15 Woodward berusaha untuk

13 Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition

(University of Arizona Press, 1987), 3. Bisa disebutkan di sini beberapa agama suku tersebut antara lain Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di Kanekes (Banten); agama Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang dan Alu Todollo di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan lainnya. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala/batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan. 14 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka Caraka, 1981), Yekti Maunati, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (Yogyakarta: LKiS, 2006), Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Jakarta: The Interseksi Foundation dan TIFA, 2007), Nawari Ismail, Relasi Kuasa dalam Pengubahan Budaya Komunitas: Negara, Muslim, Wong Sikep (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012),

15 Marx Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta, terj. (Yogyakarta: LKiS, 1999).

Page 13: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

menegaskan bahwa Islam di Jawa juga Islam, buka Hindu atau Hindu-Buddha

seperti yang dituduhkan oleh kelompok muslim puritan dan banyak sejarawan-

antropolog. Islam Jawa adalah salah satu varian dari Islam. Kelompok ”Islam

lokal” lainnya dipaparkan oleh Erni Budiwanti dalam ”Islam Sasak: Watu Telu

versus Waktu Lima”.16 Erni, dalam karyanya tersebut seperti hendak

memperlihatkan satu model ketegangan antara dua kelompok Islam, adat dan

puritan. Yang terjadi di Lombok, lokasi penelitiannya, adalah menegaskan

bahwa sedang terjadi sebuah konfrontasi antara dua pihak tersebut.

Meski secara sosiologis ada banyak agama yang hidup dan berkembang di

Indonesia, tetapi negara kemudian melakukan “politik pembatasan” dan “politik

pengakuan”.17 Kata Adrian Vickers, syarat pengakuan negara ini terdengar

sebagai pengertian yang kontradiktif, karena status agama-agama seharusnya

jelas, tetapi kepercayaan dan ibadah asli berbagai kelompok etnis tidak diakui

menurut konstitusi.18 Kelompok aliran kepercayaan digambarkan sebagai orang

yang belum beragama karena dianggap sebagai praktik masyarakat adat yang

terbelakang.19 Tahun 1952, muncul Peraturan Menteri Agama No. 9/1952/Pasal

6 yang mengatakan bahwa “Aliran kepercayaan ialah suatu faham dogmatis,

terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih

pada suku bangsa yang masih terbelakangan. Pokok kepercayaannya, apa saja

adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa”.20

Pada tahun 1965, muncul Penetapan Presiden (PP) No. 1 (selanjutnya

ditulis PNPS 1965) yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai presiden dan

16 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Watu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000).

17 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil (Semarang: Rasail, eLSA dan UKSW, 2009). 18 Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, terj. (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), 181. 19 Ibid. 20 Dikutip dari Martin Ramstedt, “Introduction”, dalam Martin Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (New York: RoutledgeCurzon, 2004), 9.

Page 14: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

pemimpin besar revolusi pada tanggal 27 Januari 1965. PP ini berisi tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. PP inilah yang dalam

perkembangannya digunakan sebagai alat untuk membentengi agama-agama

resmi dari ”serangan” aliran-aliran sempalan. Status PP ini kemudian

ditingkatkan sebagai UU melalui UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyatan

berbagai penetapan Presiden sebagai Undang-undang.

PNPS 1965 hadir dalam situasi munculnya banyak aliran kebatinan. Untuk

mengetahui alasan kemunculan PNPS 1965, maka penjelasan atas aturan

tersebut sangat membantu memahami bagaimana begitu ketatnya pemerintah

membatasi ruang gerak aliran kebatinan.

Secara eksplisit, kekhawatiran itu dijelaskan dalam penjelasan atas PNPS

1965 bagian I point 2. Dituliskan di sana ”telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir

ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau

organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan

dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”.

Dalam pandangan pemerintah, kemunculan aliran-aliran tersebut

dipandang telah banyak menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah

persatuan Nasional dan menodai agama. Dan kalimat ini mungkin perlu

diperhatikan, ”...dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi-

organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan

dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini

bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan

agama-agama yang ada. Perhatikan kata-kata ”agama-agama yang ada” dalam

kalimat tersebut.

Dengan munculnya kalimat agama-agama yang ada, fungsi PNPS 1965

semakin menegaskan tentang geliat diskursus ”agama resmi” di Indonesia.

Tegasnya PNPS 1965 menjadi pertahanan sekaligus perlindungan bagi ”agama-

agama yang ada”.

Page 15: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Hal ini semakin jelas ketika kita membaca point 5 penjelasan PNPS 1965

Bagian I (umum). Disitu dijelaskan ”...dengan penetapan Presiden ini, tidaklah

sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggugugat hak hidup agama-agama

yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini

diundangkan”. Perhatikan pula kata ”agama-agama yang sudah diakui”. Dengan

adanya kalimat tersebut, maka semakin nyatalah tentang eksistensi agama resmi

yang ternyata tak hanya dalam tataran diskursus. Agama-agama tertentu di

Indonesia ”ada” dan juga ”diakui”, untuk menunjukkan bahwa ada agama yang

tidak diakui, ilegal alias tak memiliki dasar konstitusional yang kokoh.

Agama yang diakui, seturut yang muncul dalam PNPS 1965, sesungguhnya

juga masih berada dalam kekaburan makna. Paling tidak, ini bisa dilihat dalam

penjelasan bab I point lima yang menulis bahwa pemerintah tidak akan

mengganggugugat hak hidup agama yang sudah diakui oleh pemerintah sebelum

Penetapan Presiden ini diundangkan.

Kekaburan makna yang penulis maksud berada dalam dua level, yuridis

dan praktis-sosiologis. Dari aspek yuridis, tidak ada regulasi sebelum adanya

PNPS 1965 mengenai dasar hukum yang menunjukkan tentang agama yang

diakui (kecuali UUDS 1950 yang kemudian digugurkan oleh Dekrit Presiden 5

Juli 1959). Sementara dalam ranah praktis, agama yang diakui ini juga tidak jelas

wujudnya. Agama apa saja yang diakui itu (sebelum PNPS 1965).

Terlepas dari kekaburan makna tentang ”agama yang diakui”, ada baiknya

kita menyimak penjelasan dari beberapa pasal dalam PNPS 1965 yang kentara

menegaskan tentang ”agama resmi” ini. Dalam pasal 1 dikatakan ”Setiap orang

dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau

mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu

agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan

yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan

kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Page 16: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Pasal 1 menyinggung soal ”agama yang dianut”. Tentang hal ini, dalam

penjelasannya dikatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk

Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Cu (Confusius).

Eksistensi agama-agama tersebut, sesuai dengan penjelasan, karena agama-

agama itu bisa dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di

Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir

seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mendapat jaminan seperti yang

diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan

perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Setelah kalimat itu, penjelasan diteruskan dengan menyebut ”...ini tidak

berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasturian, Shinto, Thaoism

dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan

oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan

perundangan lainnya”.

Perlakuan berbeda diberikan kepada aliran kebatinan (kepercayaan) yang

dalam kacamata pemerintah dianggap bukan agama. Sehingga bagi mereka,

pemerintah mengupayakan untuk menyalurkan ke arah pandangan yang sehat

dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Analisis terhadap pasal 1 beserta penjelasannya barangkali akan semakin

mempertegas tentang hadirnya kuasa pengetahuan ihwal diskursus agama

resmi ini. Dalam pasal itu muncul kata-kata otoritatif seperti ”agama yang

dipeluk”, ”agama yang ada” dan ”agama yang diakui”. Terhadap kalimat-kalimat

yang otoritatif ini, perlu ada penjelasan lebih lanjut sesuai dengan struktur

kekuasaan pengetahuan yang ada dalam PNPS 1965 tersebut.

Pada dasarnya, semua warga negara yang beragama mendapatkan jaminan.

Tetapi jaminan tersebut, dibelahpilah menjadi ”jaminan penuh” dan ”jaminan

seadanya”. Jaminan penuh dalam pengertian bahwa agama-agama itu selain

Page 17: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

dijamin oleh UUD juga mendapat bantuan dan perlindungan hukum dari

serangan pemahaman-pemahaman di luar mainstream. Sementara ”jaminan

seadanya” adalah kosakata untuk menggambarkan model jaminan negara tanpa

adanya pengakuan yang melindunginya.

Dengan penelusuran ini, maka diskursus agama resmi sudah menemukan

bentuknya. Agama resmi dengan demikian mencakup didalamnya Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Cu. Agama-agama ini mendapatkan fasilitas

dari negara untuk mengembangkan institusi agamanya. Sementara yang lain,

keberadaannya tidak diingkari, tetapi tidak dirangkul dalam satu strata

konstitusi yang equal. Kalau diibaratkan, agama yang enam itu adalah anak

kandung negara, sementara di luar itu adalah anak haram negara.

Ada satu pertanyaan yang sangat mendasar tentang pengakuan enam

agama sebagai agama resmi itu. Atas dasar apakah mereka digolongkan sebagai

agama resmi? Kalau jawaban untuk pertanyaan tersebut kita cari dalam PNPS

1965, maka kita tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan untuk

pertanyaan tersebut. Di sana hanya tergambar dua jawaban yang masih sangat

mengawang-awang. Pertama, agama itu diakui karena ada legitimasi historis

dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hampir

dipeluk oleh penduduk Indonesia. Pendek kata, pengakuan itu hanya

berdasarkan dua asumsi yang tidak kuat dasarnya. Atau jika hendak dikejar

lebih jauh tentang substansi dari dua alasan itu, bukankah di luar ”agama resmi”

juga telah memenuhi kedua syarat tersebut?

Beralih ke persoalan aliran kepercayaan. Dengan melihat substansi PNPS

1965, posisi aliran kepercayaan menjadi sangat lemah. Eksistensinya sama

sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk keyakinan. Mereka

dianggap sebagai gerakan keagamaan ”yang tidak sehat” sehingga harus

disembuhkan oleh negara agar kembali kepada pemahaman ”yang sehat”

tentang dimensi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Page 18: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Pada penjelasan pasal 1 PNPS 1965, ada dua sikap negara yang berbeda

terhadap agama. Pertama, terhadap enam agama, pemerintah memberikan

jaminan dan bantuan. Kedua, terhadap agama di luar enam itu, pemerintah

hanya memberikan jaminan. Sejatinya, pemerintah juga memberikan jaminan

untuk beribadah terhadap penganut aliran kebatinan, meski mereka tidak

mendapatkan fasilitas. Tetapi, yang terjadi adalah aliran tersebut justru

mendapatkan perlakuan berbeda di luar enam ”agama resmi” dan agama yang

dicontohkan dalam penjelasan pasal 1 PNPS 1965.

Catatan berikutnya mengenai PNPS 1965 bisa kita temukan dalam kata

"kegiatan keagamaan” seperti yang tertuang pada pasal 1. Dalam penjelasan

disebutkan bahwa kegiatan keagamaan dimaksudkan segala macam kegiatan

yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama,

mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran

kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok

ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu

mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya. (Penjelasan Pasal 1).

Penjelasan itu, dengan telanjang memberikan kewenangan kepada

Departemen Agama (Depag) untuk menentukan mana aliran yang layak disebut

agama dan tidak. Atau dengan kata lain, mandat yang diberikan oleh PNPS 1965

kepada Depag adalah bahwa mereka dibebankan untuk mengawasi eksistensi

agama-agama serta menjadi ”hakim teologis” mana agama dan mana yang tidak.

Ajaran seperti apa yang ”sehat” untuk membedakannya dengan yang ”sakit”.

Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dengan memunculkan

diskursus ”agama resmi” ini perlu ditelusuri akar masalahnya. Hemat penulis

persoalannya adalah karena apa yang dimaksud agama tidaklah terumuskan

dengan baik. Kalau kita mengaitkan tentang klausul “agama yang dianut” dalam

PNPS 1965 dengan kenyataan yang sekarang kita alami, maka agama yang

dianut itulah yang disebut sebagai agama yang diakui. Alasan yang diajukan

Page 19: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

seperti tertuang dalam PNPS adalah karena ada legitimasi historis (ada sejak

dulu) dan sosiologis (dipeluk hampir seluruh penduduk). Pada gilirannya, enam

agama itulah yang sekarang ini menjadi “agama resmi”. Penulis hendak

mempertanyakan kembali alasan dibalik penetapan enam agama dengan dua

alasan tersebut. Jikalau yang menjadi alasan adalah fakta historis dan sosiologis,

maka Parmalim, Kaharingan, Aluk Todollo, Sunda Wiwitan, Kejawen juga

dipeluk oleh penduduk Indonesia dan ada sebelum agama-agama yang diakui itu

hadir ke nusantara.

Rita Smith dan Susan Rodgers dalam pengantar buku “Indonesian Religions

in Transition”, menguraikan kalau the politics of agama itu memberikan

implikasi pada dua hal. Pertama, munculnya kategori orang yang belum

beragama (people who do not yet have a religion). Kedua, adanya ambiguitas

karena banyak orang yang secara formal dan adminsitratif memeluk salah satu

“agama yang diakui” tetapi juga tetap mempraktekan tradisi-tradisi lama

mereka.21

Realitas masyarakat yang plural dari sisi agama itu tentu menyisakan

persoalan jika kemudian negara menetapkan status ada masyarakat yang tak

beragama. Disini prinsip “ber-Tuhan secara sendiri-sendiri” seperti disinggung

Soekarno, tidaklah terwujud.

Pada akhirnya, negara mengikuti pemikiran Antonio Gramsci, sebagaimana

halnya aparatus pemerintahan menjadi instrumen hegemoni yang bersifat

privat.22 Dalam bagian lain Gramsci mengatakan bahwa negara adalah kompleks

dari aktivitas praktis dan teoritis dimana kelas penguasa tidak hanya menjaga

dan membenarkan dominasinya, tetapi mengolah untuk mendapatkan

persetujuan aktif dari kelompok yang berada di bawah kekuasaannya.23

21 Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition. . .21

22 Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New York: International Publishers, 1971), 261. 23 Ibid., 244

Page 20: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Jika dilihat dari sisi konstitusi, Indonesia bukanlah negara yang didasarkan

atas satu agama tertentu. Bahkan jaminan konstitusional terhadap hak untuk

bebas memeluk agama ini begitu banyak disinggung dalam UUD 1945. Hal

tersebut misalnya bisa dilihat antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD

1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan:

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya.

Selain dalam pasal 28 E muatan mengenai jaminan konstitusional juga

termaktub dalam pasal 28I yakni

1. ... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apa pun.

2. Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif

atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(...)

3. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia

adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Naskah jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi juga bisa dilihat

dalam pasal 28J.

(...)

2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

Page 21: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak

dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Muatan lain yang ada dalam UUD 1945 soal kebebasan beragama dan

menjalan keyakinan keagamaan adalah pasal 29 yakni

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

itu.

Dilihat secara normatif, pasal-pasal tersebut menjadi legitimasi yuridis

bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama mendapat jaminan. Dalam UU

No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif

bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu

gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan:

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.

Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,

terutama pemerintah”.

Page 22: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun

1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3)

Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,

maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan

agama atau kepercayaan melalui Undang-undang. Elemen-elemen yang dapat

dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:24

Pertama, Restriction for the Protection of Publik Safety (Pembatasan untuk

Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di

publik dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan,

prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan

individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.

Kedua, Restriction for the Protection of Publik Order (Pembatasan untuk

Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan

agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan

mendaftar badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin

untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan

umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.

Ketiga, Restriction for the Protection of Publik Health (Pembatasan untuk

Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan

kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah

melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya.

Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan

petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah

penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada

ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfusi darah atau melarang

24 Lihat Siti Musdah Mulia, “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era

Reformasi”, Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008, 8-10. http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=240, diakses pada 2 Juli 2008

Page 23: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik

mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adat-istiadat tertentu di Afrika.

Keempat, Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk

Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan

agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan

kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan,

filsafat, dan sosial. Oleh karena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-

prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja.

Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-undang untuk tidak disembelih guna

kelengkapan ritual aliran agama tertentu.

Kelima, Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and

Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan

Kebebasan Orang Lain)

1.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap

tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di

dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas

misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk

tidak dikonversikan.

1.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau

kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang

lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari

kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan,

persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum

minoritas.

Page 24: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Merujuk pada dasar-dasar di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan

beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen,

yaitu:25

1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,

berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk

menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya

sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu

atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk

memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran,

pengalamannya dan peribadahannya.

3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan

yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi

suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.

4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan

menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di

dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis

kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli

atau pendatang, asal-usul.

5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati

kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin

bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan

keyakinannya sendiri.

6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan

beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan untuk

berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu,

komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau

25 Ibid,, 10-11.

Page 25: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam

pengaturan organisasinya.

7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk

memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat

dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan

dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak

dasar orang lain.

8. Non-Derogatebility. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama

atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.

Perlindungan secara legal itu sejatinya tengah mengandaikan peran negara

agar ia senantiasa menjadi payung untuk melindungi hak beragama warganya.

Hal itu dimungkinkan karena hak beragama tidak hanya merupakan hak asasi

manusia tetapi juga hak setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan

hukum.

Secara teoritis, kebebasan beragama memiliki dua pengertian, religious

freedom dan religious liberty. Keduanya biasa digunakan secara bergantian

dengan makna yang tidak berubah. Bedanya, barangkali ada pada konteksnya.

Jika religious freedom merupakan konsep yang luas, sementara religious liberty

digunakan dalam konteks yang spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik.26

Karena tidak memiliki signifikansi yang pada akhirnya akan merubah maksud

pengertian, penulis dalam karya ini akan menggunakan dua frase (religious

freedom dan liberty) tersebut dalam satu makna dan secara bergantian

digunakan.

Paul G. Kauper melihat bahwa religious liberty secara umum dipahami

sebagai salah satu aspek paling fundamental dari kebebasan sipil.27 Bagi

26 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World (Geneva: WCC Publications,

1992), 23. 27 Paul G. Kauper, “Legal Aspect of Religious Liberty” dalam George W. Forell et.al.,

Religious Liberty (New York: Board of Sosial Ministry Lutheran Church in America, 1968), 4.

Page 26: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Kekristenan, semua aspek dari kebebasan sipil berakar dalam sebuah fakta

bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk mengabdi kepadaNya. Dalam dunia

modern, fondasi keberagaman ini tidak hanya berlaku bagi pemeluk agama-

agama dunia tetapi juga dimaksudkan untuk menjaga kebebasan beragama bagi

penganut ”pseudo agama” seperti halnya Marxisme, Biologisme, Rasisme dan

Statisme.28

Ninan Koshy, dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi

kebebasan beragama ke dalam empat aspek.29 Pertama, kebebasan nurani

(liberty of conscience). Kedua, kebebasan mengekspresikan keyakinan

keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan

perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan

menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization).30

Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut

atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of

religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience

juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani

adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau

kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.31

Tentang kebebasan nurani, Michael Novak mengatakan:

This liberty of conscience transcends any and all political orders. Human freedom rooted in God declares that all states and all political orders are under God, limited not omnipotent. States can

28 Ibid., 5. 29 Ninan Koshy, Religious Freedom. . . 30 Empat aspek inilah yang dengan konsisten akan penulis gunakan sebagai parameter

untuk mengukur apakah ada jaminan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia. Tidak hanya dalam konstitusi dan regulasi, tetapi apakah hal itu juga terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat.

31 Ninan Koshy, Religious Freedom. . .

Page 27: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

crush or kill human beings, but they cannot alienate them from their responsibility to God and conscience.32

Sementara Franklin I. Gamwell dalam ”The Meaning of Religious Freedom”

memaparkan bahwa kebebasan nurani inilah yang hanya bisa dipahami secara

jernih jika agama ditempatkan dalam kategori narrowly defined. Menurut

Gamwell,

Religion is the primary form of culture in terms of which the comprehensive question is explicitly asked and answered and further, so answered that human authenticity is derived from the character of reality as such. In saying this I mean that the distinction between authentic and inauthentic human activity is identified by the relation of human activity to reality as such or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood as Yahweh, Allah, ”emptiness”, or in some other way, it is understood to be the ground of human authenticity. The point may also be expressed by saying that religion, narrowly understood, so addresses the comprehensive question that ultimate reality is said to authorize human authenticity.33

Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung

mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa

diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk

meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa

berbentuk ”ketiadaan”.34

Kembali pada keterkaitan antara internal dan eksternal aspek dalam

kebebasan beragama. Inner Freedom dengan demikian memiliki status yang

sama dengan dimensi eksternalnya. Wilayah eksternal adalah manifestasi dari

dimensi internal keberagamaan yang akan bersinggungan dengan wilayah

publik. Dalam konteks ini, aspek eksternal di dalamnya mengandung bentuk

32 Michael Novak, “Religion and Liberty: From Vision to Politics” Christian Century, July

6-13, 1988. 33 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The

Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 30. 34 Ibid.

Page 28: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

ketaatan untuk melaksanakan upacara keagamaan, termasuk asosiasi

keagamaan pemeluknya, mengekspresikan komitmen keberagamaan,

pengajaran dan penyebaran kepercayaan.35 Apa yang secara umum dipahami

sebagai kebebasan beragama juga harus dipahami sebagai kebebasan dalam

konteks manifestasi dimensi eksternal agama itu.

Jika aspek internal dari kebebasan beragama bersifat absolut, tidak

demikian halnya dengan dimensi eksternalnya yang bersifat relatif. Relativitas

sifat dari dimensi eksternal ini dipahami karena agama tidak selalu berbicara

tentang keyakinan personal. Agama juga hadir dan bersentuhan dalam wilayah

sosial serta berkaitan dengan institusi lainnya. Atas dasar ini, maka sekali lagi,

kebebasan beragama termasuk juga di dalamnya kebebasan untuk

mengekspresikannya. Karena agama, tidak hanya menyangkut keyakinan

individual, tetapi juga berarti di dalamnya adalah manifestasi atas keyakinan

tersebut.

Wilayah eksternal dari kebebasan beragama menyediakan ruang yang

cukup lapang bagi institusi agama untuk bersentuhan dengan formasi lain

kehidupan. Dengan demikian, kebebasan dalam menginstitusionalisasikan

agama juga pada akhirnya adalah sebuah teka-teki politik dimana umat

beragama juga mesti melakukan perhitungan dengan cermat tentang sebuah

strategi.

Sekadar perbandingan, pembagian aspek kebebasan beragama dijelaskan

oleh Kauper dalam ”Legal Aspects of Religious Liberty”.36 Kauper menjelaskan

tentang dua model kebebasan beragama yakni kebebasan pribadi dan

kebebasan gereja sebagai korporasi.

Kebebasan individual didalamnya memuat lima prinsip kebebasan.

Pertama, kebebasan nurani dan berkeyakinan. Kedua, kebebasan beribadah.

35 Ibid. 36 Paul G. Kauper, “Legal Aspect of Religious . . .,37.

Page 29: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Ketiga, kebebasan untuk menyebarkan ide-ide keberagamaan. Keempat,

kebebasan dalam hal pendidikan dan kehidupan keluarga. Kelima, kebebasan

dari agama yang disponsori negara.37

Jika Pancasila kita pahami sebagai sebuah “pengalaman personal” bangsa

Indonesia tentang pentingnya menjaga keberagaman, maka sikap terhadap

pluralisme dan kebebasan beragama, seharusnya tegas. Pluralisme merupakan

etika hidup yang hendak menjaga keragaman agar dibiarkan sebagaimana

adanya. Dalam situasi dimana perbedaan merupakan sesuatu yang harus

dibiarkan apa adanya, inilah kebebasan beragama, kebebasan menyembah

Tuhan dengan caranya masing-masing harus dijamin. Negara memiliki

tanggungjawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati

haknya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang diyakininya.

Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Teori Sekularisasi, Privatisasi dan Pasar

Dalam bab sebelumnya kita telah melihat bahwa penulis menggeser

kerangka agama sipil ke dalam diskursus religiositas sipil. Bellah menuturkan

bahwa agama sipil merupakan dimensi keagamaan yang bersifat publik (public

religious dimension). Dimensi keagamaan yang bersifat publik itu dapat kita

cermati dalam keyakinan, simbol dan ritualnya. Jika kita mencermati apa yang

oleh Bellah sampaikan tentang pengertian civil religion ini, maka tuturan tentang

ekspresi agama sipil itu sesungguhnya koheren dengan dimensi religiositas.

Religiositas dengan demikian bisa kita maknai dari dua aspek, internal dan

eksternal. Aspek internal agama bisa kita pahami sebagai religious consciousness.

Aspek eksternalnya adalah ekspresi dari apa yang diyakini itu dalam kehidupan

keseharian yang itu bisa dilihat dari pola, tindakan, tingkah laku yang sesuai

37 Ibid., 38-41

Page 30: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

dengan apa yang mereka yakini itu. Jika dikaitkan dengan civility, maka

religiositas sipil hendak penulis maknai sebagai kesadaran bahwa kehadiran

mereka dalam satu bangsa itu harus menghargai sesamanya, menyadari adanya

identitas kebudayaan dan agama yang plural, membangun masyarakat beradab

yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan keseharian.

Meminjam kerangka Gert Pickel and Kornelia Sammet, religiositas bisa kita

dekati setidaknya dengan tiga kerangka teori yakni, teori sekularisasi,

individualisasi dan teori pasar. Setelah didekati dengan tiga teori itu, kita akan

melihat perspektif mana yang paling relevan diterapkan dalam konteks

keIndonesiaan yang khas ini.

Sekularisme, seperti yang digambarkan Harvey Cox berusaha untuk

memisahkan urusan agama dan negara. Menurut Cox, sekularisasi menjadi

semacam pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan

perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Sekularisme sendiri memiliki

koneksi dan kontestasi makna. Secara kultural, sekularisasi menggambarkan

kerangka kognisi dan normatif. Secara politik, sekularisasi merujuk pada negara

dan politik.

Konstruksi dari klasifikasi sistem “double dualist” pada masa Kekristenan

Eropa pra-modern bisa menjadi pijakan awal untuk memahami sekularisasi

kultural.38 Reformasi Protestan memainkan peran yang destruktif. Ia menolak

kesatuan (unity), kesucian (sanctity), Kekatolikan (Catholicity), dan apostolicity

dari gereja.39 Sistem Reformasi Protestan adalah salah satu dari empat

perkembangan yang saling berkaitan dalam meruntuhkan sistem klasifikasi

religious abad pertengahan. Tiga lainnya adalah pembentukan negara-negara

modern, pertumbuhan kapitalisme dan revolusi keilmuan modern.

38 Veit Bader, Secularism or Democracy?: Associational Governance of Religious Diversity

(Amsterdam University Press, 2007), 39-40. 39 Jose Casanova, Publik Religion in the Modern World, terj. (Surabaya: Eureka, 2003), 18.

Page 31: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Di satu sisi dunia dibedakan antara the other dan the other world. Di sisi

lain, this world dibagi ke dalam dua realitas yang heterogen, yang religious dan

yang sekuler, dan dualisme spatio-structural diinstitusionalisasi di luar

masyarakat. Pembagian ini kemudian berkembang dalam dunia politik, dengan

memisahkan agama di satu sisi dan kepentingan politik di sisi lain.

Tesis sekularisasi dalam pengertian pemisahan antara agama dan politik

serta mundurnya peran agama di ruang publik ternyata tidak terbukti. Seperti

digambarkan dalam Bab III, bahwa yang terjadi bukanlah sekularisasi, tetapi

justru desekularisasi. Munculah agama-agama “modern” yang merupakan anak

kandung modernitas.40

Fenomena mistisisme individual seperti yang disinggung oleh Ernst

Troeltsch atau The Invisible Religionnya Thomas Luckmann bisa menjadi salah

satu contoh memahami bagaimana teori kedua, yakni individualisasi atau

privatisasi. Luckmann mengatakan bahwa self-expression dan self-realization

sudah menjadi invisible religion bagi modernitas.

Mistisisme individual bisa disimak misalnya dalam uraian Rousseau,

“agama manusia…tanpa candi-candi, altar-altar atau ritual-ritual”. Bisa juga kita

menyimak kata-kata “hati saya adalah gereja saya” seperti yang pernah

diungkapkan oleh Thomas Paine dan Thomas Jefferson yang mengatakan “saya

adalah sekte bagi saya sendiri”. Kata Casanova kalimat-kalimat itu merupakan

penggambaran dari high culture. Sementara fenomena Sheilaisme seperti yang

diuraikan oleh Bellah menggambarkan budaya rendah (low culture) dari

masyarakat modern. Sheila Larson mengatakan bahwa ia adalah seorang yang

percaya pada Tuhan, tetapi bukanlah penganut agama yang fanatik. Ia tidak bisa

mengingat lagi kapan ia pergi ke gereja. Dan keimananlah yang membuat ia bisa

melangkah lebih jauh.

40 Ibid, 24.

Page 32: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Dengan menggunakan tiga perspektif di atas, sekularisme dalam

pengertian pemisahan yang ketat antara agama dan negara di Indonesia tidak

mendapatkan presedennya. Sejak awal Indonesia tidak mengenal pemisahan

yang tegas antara agama dan negara. Selalu ada warna agama dalam setiap

kebijakan. Meski dasar negara Indonesia adalah Pancasila (bukan agama), tetapi

sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan Pancasila ini tidak sepenuhnya

sebagai simbol yang bersifat sekuler. Ini artinya, teori sekularisasi dalam

pengertian seperti itu, tidak relevan.

Sementara teori privatisasi, merupakan gambaran seperti yang oleh Bellah

ditulis sebagai one man, one faith. Di Indonesia, watak komunalistik masih

sangat terjaga. Institutionalized religión juga masih memainkan perannya

dengan baik. Agama-agama yang terinstitusionalisasi ini cukup kuat, terutama

dalam ranah sosial-politik.

Yang paling mungkin bisa diterapkan adalah pendekatan market models of

religion. Jika Indonesia ini diibaratkan supermarket, maka agama-agama di

Indonesia bisa “mempercantik” dirinya agar memiliki daya tarik. Daya tahan

agama pada akhirnya akan sangat tergantung dari cara agama mempertahankan

eksistensinya dalam kehidupan sosial. Kendala yang dihadapi melalui model ini

adalah pragmatisme kelompok-kelompok agama. Orientasi mereka akhirnya

haruslah menyesuaikan dengan selera pasar. Tapi justru disitulah arena

kontestasinya. Meski agak dekat dengan model ini, tetapi Indonesia tidak bisa

disebut sepenuhnya bisa didekati dengan cara tersebut. Peran negara dalam

mengatur kehidupan keberagamaan masih sangat kuat.

Pertanyaannya kemudian bagaimana melakukan transformasi Pancasila

sebagai pijakan dari “semua buat semua” ke dalam konteks religiositas sipil

dengan memperhatikan tiga kerangka teoritik yang sudah dipaparkan di atas?

Yang pertama-tama harus dicermati adalah peran negara dalam kaitannya

dengan pengaturan soal kehidupan agama. Asumsi utamanya adalah bahwa di

Page 33: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Indonesia negara ada dan hadir dalam kehidupan keagamaan. Dalam konstitusi

ia memiliki fungsi untuk “menjamin kemerdekaan” penduduk dalam meyakini

dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Dalam perspektif Franklin Gamwell, negara dijabarkan sebagai aktifitas

sebuah pemerintahan dimana semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh

masyarakat atau komunitas yang secara eksplisit disatukan atau diatur, dan

karenanya selalu dinyatakan secara partikular. Sebagai mesin negara, politik

diberikan mandat untuk menjawab persoalan keduniaan. Sementara, agama

tidak hanya diharapkan dapat memberikan jawaban keduniaan saja tetapi juga

kehidupan lain.

Itu artinya bahwa negara tidak bisa memberikan jawaban yang

komprehensif seperti halnya agama. Kalaupun terlibat dalam pengaturan

kehidupan keagamaan, maka negara hanya mengatur lalu lintas hak warga

negaranya saja. Negara harus dalam posisi netral dari klaim-klaim formal dari

keyakinan keagamaan tertentu.

Disini memang muncul tuntutan untuk menyelesaikan status hubungan

antara negara dan agama agar bisa diperankan masing-masing sesuai dengan

tugasnya. Negara adalah komunitas bayangan yang merangkum aneka

kepentingan masyarakat. Negara didirikan atas kontrak semua kelompok

masyarakat. Hal ini merupakan gagasan etis modern tentang negara. Negara

dengan sendirinya menjadi tempat kelompok-kelompok dapat melakukan

transformasi menuju cita-cita yang diidealkan. Dari gagasan dimana negara

menjadi tempat dan mekanisme transformasi yang disepakati, dengan

sendirinya wilayah negara melahirkan entitas negara dan entitas warga. Warga

adalah pemberi mandat dan negara (dalam pengertian ini aparat-aparatnya)

adalah yang diberi mandat.

Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan pula negara agama, akan tetapi

negara Pancasila. Dalam kaitannya dengan kehidupan keberagamaan, negara

Page 34: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

sekuler berprinsip dalam bahasanya Benyamin F. Intan, “netral-pasif”.41 Artinya,

ketika pemerintah secara netral menjamin kehidupan umat beragama dari

semua agama tanpa terkecuali, di sisi lain pemerintah tidak mendorong

perkembangannya alias bersikap pasif. Dalam negara agama, terjadi hal

sebaliknya, negara memegang prinsip “sektarian-aktif.” Artinya, hanya agama

tertentu mendapat perlakuan istimewa pemerintah. Kepada agama

bersangkutan, pemerintah bukan hanya menjamin hak kebebasan beragamanya

tapi juga secara aktif mendorong pertumbuhannya. Berbeda dari kedua prinsip

di atas, kebebasan beragama dalam negara Pancasila bersifat “netral-aktif”.

Artinya, pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari semua

agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama

tersebut dengan tanpa terkecuali.42

Luthfi Assyaukanie menggambarkan tiga model negara demokrasi yang ada

di Indonesia.43 Pertama, Negara Demokrasi Islam (NDI). Istilah “Demokrasi

Islam” merujuk pada ungkapan M. Natsir, politisi muslim terpenting di awal

abad kemerdekaan. Dengan menyebut nama Demokrasi Islam, Natsir berupaya

untuk keluar dari model teokrasi dan sekuler. NDI adalah jalan tengah untuk

tidak terjebak pada titik ekstrem itu.

Dalam ide NDI, menyimpan pesan bahwa pada dasarnya negara demokrasi

adalah negara yang baik. Demokrasi merupakan konsensus politik yang

menjamin egalitarianisme, tetapi ia harus dibatasi oleh kehendak Tuhan. Dengan

kata lain, NDI membuka lebar-lebar bagi klaim-klaim agama untuk masuk dalam

ranah publik. Ini dilandaskan pada asumsi bahwa dalam Islam, ada hal-hal yang

bersifat prinsipil dan tidak bisa diputuskan melalui jalur legislatif. Pada

gilirannya, dengan menyebut Islam dalam NDI, penyokong model ini 41 Benyamin Fleming Intan, “Rumah Ibadah dan Hegemoni Negara”, Suara Pembaruan, 1 Agustus 2009, hlm. 5

42 Ibid. 43 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011).

Page 35: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sementara

demokrasi dijadikan sebagai alat untuk memacu umat Islam agar bisa berkancah

dalam dunia sosial dan politik.

Sementara model kedua yang berkembang dalam alam pikir umat Islam

Indonesia adalah Negara Demokrasi Agama (NDA). NDA bermaksud untuk

menekankan pentingnya kehidupan pluralis di Indonesia dan menjadikan

negara sebagai pengawal semua agama.44 Model NDA lahir terutama pada masa

orde baru di bawah kekuasaan Soeharto. Pendukung NDA sadar kalau Indonesia

adalah negara yang plural. Ini sekaligus merespon NDI yang sedikit menegasikan

kenyataan itu. Dengan begitu, maka pemahaman apa pun soal isu agama dan

politik harus dibangun di atas kesadaran bahwa ia adalah negara yang plural.

Salah satu “keberhasilan” pendukung NDA adalah ketika mereka secara

meyakinkan berhasil membangun satu pembenaran teologis terhadap Pancasila.

Amin Rais dan Syafii Maarif merupakan contoh intelektual muslim yang

mendukung gagasan NDA. Bagi mereka, kehidupan politik haruslah didasari oleh

sikap religius. Agama harus menjadi dasar dari semua aspek kehidupan. Bagi

mereka yang sepakat dengan ide NDA, pelembagaan agama oleh negara

merupakan keniscayaan. Tak heran jika mereka mendukung kehadiran

Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, Peradilan Agama dan pengajaran

agama di sekolah.

Respon muslim Indonesia terhadap demokrasi yang ketiga termanifestasi

dalam ide Negara Demokrasi Liberal (NDL). Tujuan akhir dari NDL adalah

membebaskan agama dari hegemoni negara dan sekularisasi dijadikan alas

untuk menyokong demokratisasi. Gagasan fundamental yang menyokong NDL

adalah keyakinan bahwa urusan politik harus dijalankan di luar wilayah agama.

Umat Islam yang mendukung NDL menyandarkan pada fakta historis bahwa

kehadiran Nabi Muhammad adalah untuk memperbaiki akhlak, bukan

44 Ibid., 16.

Page 36: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

mendirikan negara. Pun pula, secara filosofis Islam hadir sebagai agama etik,

bukan politik.

Menariknya, pendukung NDL adalah generasi santri yang memiliki

pengetahuan yang sangat memadai dalam kajian keislaman. Sebut saja nama

Nurcholis Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid. Dengan kata lain,

mereka inilah cerminan potret “santri liberal”.

Secara prinsipil, pendukung NDL dan NDA memiliki banyak kesamaan

gagasan pokok. Mereka misalnya berbicara tentang finalitas dasar negara

Pancasila. Dua kelompok itu juga tak lagi berbicara tentang formalisasi syariat

Islam. Tetapi, keduanya berbeda dalam hal, sejauhmana negara dapat turut

campur dalam urusan agama. Jika kita hadirkan debat tentang UU No. 1 PNPS

1965 soal penodaan agama, maka kita dapat meraba bagaimana dua kelompok

itu menanggapinya. Bagi kelompok NDA, UU itu pasti masih dirasa perlu karena

dapat “melindungi” agama dari pelbagai “penodaan”. Sementara, Abdurrahman

Wahid, salah satu pengusul judicial review UU tersebut, menganggap aturan itu

justru pada perkembangannya membatasi kebebasan berkeyakinan dengan

status sebagai “penoda agama”.

Harus diakui bahwa kehidupan politik kontemporer umat Islam Indonesia,

bukanlah diwarnai oleh kelompok NDL. Tetapi, jangan lupa bahwa sekarang ide

liberalisasi, sekularisasi dan demokratisasi semakin hari semakin menunjukkan

kemajuan. Padahal, wacana pluralisme, sekularisme dan liberalisme, adalah bete

noire (hal yang dibenci) bagi kebanyakan umat Islam pada 40-50 tahun yang

lalu.45 Kini, diskusi tentang tema-tema itu menjadi sangat menarik, karena

sarjana muslim mencoba untuk membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada

pertentangan antara Islam dengan Barat, Demokrasi, Modernitas dan

Globalisasi. Karena itu, sejarah di Indonesia, tidak hanya perluasan peradaban

45 Ibid., 295.

Page 37: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

santri seperti diungkapkan oleh Benda46 tetapi juga adalah perluasan peradaban

santri liberal dan progresif seperti halnya Abdurahman Wahid.

Yudi Latif menggambarkan hubungan agama dan negara di Indonesia yang

bukan teokratis dan bukan sekuler itu sebagai “diferensiasi”.47 Konsep itu

merupakan jalan tengah antara fusi atau penyatuan dan separasi atau

pemisahan. Dalam perannya sebagai diferensiasi, maka institusi agama dan

negara bisa mengoptimalkan perannya dalam usaha pengembangan dan

penyehatan kehidupan publik.48

Meski di Indonesia umat Islam adalah mayoritas, tetapi di Indonesia tidak

akan pernah terjadi islamisasi total seperti yang digaungkan oleh

fundamentalisme religius radikal, atau sekularisasi (juga liberalisasi) secara

total seperti yang digemakan oleh para sekularis ultra nasionalis radikal.49

Tanggapan umat Islam dalam satu negara muslim dan bahkan tanggapan satu

komunitas muslim bisa sangat beragam terhadap islamisasi, liberalisasi ataupun

sekularisasi, termasuk Indonesia yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan

belahan negara muslim lain.

Teori sekularisasi seperti yang disitir di atas, menyatakan bahwa

modernisasi akan melemahkan ajaran agama, karena ia menyebabkan

pandangan yang lebih rasional begitu dominan dipegang oleh masyarakat.

Disinilah awal mula agama mengalamai alienasi. Dengan begitu, sektor-sektor

masyarakat dan budaya tidak lagi didominasi oleh lembaga-lembaga serta

simbol religius. Tetapi tidak demikian yang terjadi di Indonesia (dan negara-

negara yang mengalami keadaan serupa). Proyek modernisme yang diikuti oleh

46 Ibid., 296.

47 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2011, 111. 48 Ibid., 112. 49 Idem., Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), xvi.

Page 38: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

perkembangan paham liberalisme justru memunculkan para santri baru,

terutama di kampus-kampus sekuler.

Fenomena inilah yang penting untuk dibaca dalam memahami realitas

keberagamaan masyarakat Indonesia, yang harus dibedakan dengan

perkembangan masyarakat barat. Meski liberalisme berkembang dalam

landscape pemikiran keagamaan umat Islam Indonesia, tetapi yang terjadi di

Indonesia adalah pembedaan apa yang sakral dan profan, bukan pemisahan. Dan

bahkan dalam waktu yang sama liberalisme diikuti dengan menyeruaknya

fenomena dan jargon-jargon islamisasi yang menyebabkan Indonesia semakin

terlihat “saleh”.

Dalam ranah tersebut, transformasi Pancasila dibutuhkan dalam upaya

mengembangkan religiositas sipil. Seperti digambarkan di atas, religiositas sipil

di Indonesia merupakan pengejawantahan dari prinsip Pancasila yang ada

dalam lingkaran filosofi “semua buat semua”. Penghargaan terhadap

kemajemukan merupakan kondisi yang hadir bersamaan dengan Pancasila itu

sendiri. Jika dalam pengertian Gamwellian, negara beserta simbol-simbolnya

harus terbebas dari klaim-klaim konfesional agama tertentu, lalu bagaimana

dengan Pancasila? Apakah Pancasila sudah merupakan simbol yang “netral

agama”?

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk

keunikan religiositas bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menyatakan bahwa

mereka bersama-sama meyakini adanya kekuatan adikodrati yang disebut

Tuhan Yang Maha Kuasa sifat Ketuhanannya, Maha Esa. Tetapi sesungguhnya,

bersamaan dengan kekhasannya, sila ini mengandung anasir-anasir yang lebih

dekat dengan agama-agama dunia. Sementara, agama-agama suku atau agama

yang berkembang di lokus yang terbatas, konsep teologi seperti ini belum tentu

bisa ditemukan. Ini artinya, Pancasila tidak bisa diklaim sebagai simbol netral

agama.

Page 39: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Agama-agama lokal pada gilirannya tidak semata-mata merujuk pada satu

kultur atau moralitas tertentu yang tertanam dalam sebuah masyarakat. Karena

pada hakikatnya, tradisi, kata Giddens, terkait dengan memori terutama dengan

apa yang disebut sebagai “memori kolektif”.50 Tradisi melibatkan ritual, terkait

dengan apa yang disebut sebagai gagasan kebenaran formulatif; tradisi memiliki

penjaga dan tidak seperti adat-istiadat, mereka memiliki kekuatan pengikat yang

merupakan kombinasi moral dan emosi.

Memori, seperti tradisi adalah mengorganisasi masa lalu dalam kaitannya

dengan masa sekarang. Ada jejak-jejak tertulis dalam otak yang memungkinkan

keadaan ini diangkat ke tingkat kesadaran. Dari sudut pandang ini, masa lalu

jatuh ke dalam puing-puing, tetapi akan muncul kembali, karena ia terus ada di

bawah sadar.51

Istilah tradisi lokal juga kerap dikaitkan dengan masalah kearifan lokal

atau local wisdom.52 Ide ini merupakan konsep yang ada di bawah ideologi

tentang keberagaman, pluralisme atau multikulturalisme. Mereka tidak

mempercayai kesatuan tetapi keberagaman. Kesatuan membuat identitas hilang

dari setiap individu manusia ke dalam satu pemikiran atau kehidupan yang

tunggal. Istilah kearifan lokal memiliki makna yang sangat mendalam.

Komunitas agama lokal kerap menjawab tantangan kehidupan yang semakin

sophisticed ini dengan kearifan atau kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan

tersebut bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah

menjadikannya sebagai jawaban dan solusi.

Kearifan lokal menjadi cara yang paling tepat untuk mengembalikan nilai

dan moralitas sebagai pokok pengetahuan. Yang khas dari pandangan ini adalah

nilai dan moralitas itu tidak dicari melalui deduksi etika (misalnya dengan

50 Anthony Giddens, Living in Post-Traditional Society, terj., “Masyarakat Post-Tradisional”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 19

51 Ibid. 52 Jurnal Perempuan, 57, 2008, 129-130.

Page 40: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

memeriksa asumsi suatu ajaran tentang yang baik dan yang buruk, larangan dan

suruhan, atau dengan mencarinya dalam realitas peristiwa yang sedang

dihadapi.53 Kearifan lokal mendasarkan kebenaran pengetahuannya pada

ajaran-ajaran tradisional yang sudah jadi, dan hampir tidak mempersoalan lagi

kandungan politik ajaran-ajaran tradisional itu.

Sebagai momentum dari “pengalaman personal” bangsa Indonesia yang

hendak menjaga keragaman agama, maka Pancasila tentu saja harus bisa

mewadahi pelbagai kelompok keyakinan keagamaan ini. Jika tidak bisa

memerankan fungsi demikian, maka Pancasila sulit untuk menjadi inspirasi bagi

proses transformasi religiositas sipil.

Jawaban untuk pertanyaan ini sesungguhnya sama dengan apa yang

dipaparkan di bagian Sub Bab sebelumnya. Pemahaman terhadap Pancasila

haruslah bersifat holistik. Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh.

Pengejawantahan prinsip-prinsip beragama harus juga memperhatikan aspek

kemanusiaan, keadilan, demokrasi dan persatuan nasional. Inilah sesungguhnya

hakikat dari apa yang oleh Cobb sebut sebagai transformasi itu. Ajaran agama

apapun harus memperhatikan konteks dimana ia hidup dan berkembang.

Religiositas sipil dalam konteks Indonesia merupakan satu bentuk kesadaran

sekaligus mengejawantahkan prinsip peniadaan “egoisme agama”.

Pancasila Sebagai Kekuatan Integratif: Peluang dan Tantangan

Paul Ricoeur menegaskan tentang fungsi ideologi sebagai distorsi,

legitimasi kekuasaan dan integrasi. Dalam kerangka penulisan karya ini, penulis

sejak awal menempatkan Pancasila tidak sebagai ideologi, tetapi ”milestone”

bagi bangsa Indonesia dalam menghargai dan merawat keragaman. Namun,

53 Ibid., 69-70.

Page 41: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

kerangka ideologi sebagai kekuatan integratif akan penulis gunakan untuk

menjabarkan Pancasila dalam fungsi integratifnya.

Menarasikan Pancasila tidak sekadar menceritakan keunggulan dan

kesaktiannya. Meminjam Ricouer, Pancasila pada akhirnya akan menjadi

identitas naratif bagi bangsa Indonesia. Identitas naratif memberikan gambaran

bahwa identitas yang melekat pada diri kita tidak mungkin ada tanpa orang lain.

Identitas kita terbentuk dari sebuah proses dialektika dengan identitas-identitas

yang lainnya. Itulah yang diusahakan oleh Soekarno ketika memunculkan

Pancasila. Pancasila tidak mungkin bisa hadir seorang diri tanpa dialektikanya

dengan Islamisme, Kapitalisme, Komunisme dan yang lainnya.

Kata Ramage, Pancasila konstruktif bagi warga negara Indonesia untuk

membangun sebuah bangsa yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti

etnisitas, agama, dan toleransi serta keadilan sosial. Lanjut Rammage, “this is

Pancasila at the level of “intention”.54 Pancasila dalam pengertian intensi ini

dimaksudkan sebagai formula yang merepresentasikan ide tentang negara

Indonesia.

Di sisi lain, kata Ramage, sanggahan atau kontensi atas makna Pancasila

sebagai ide dominan negara menjadi bagian dari masalah akut dalam diskursus

politik kontemporer.55 Pancasila juga menjabarkan fungsi dasar dari setiap

ideologi itu untuk melegitimasi kekuasaannya. Di tahun 1990an, Pancasila juga

digunakan untuk aktor-aktor non negara sebagai objek perlawanan terhadap

negara.56

Persoalan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam transformasi

Pancasila ke dalam konteks religiositas sipil adalah semangat fundamentalisme

dan eksklusivisme, terutama yang datang dari kelompok agama. Sesungguhnya

54 Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (Taylor & Francis e-Library, 2005), 123. 55 Ibid., 123-24. 56 Ibid., 124.

Page 42: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

gejala ini tidak semata-mata khas Indonesia, tetapi juga di belahan dunia

lainnya. Gelombang ini berjalan berbarengan dengan era demokratisasi.

John L. Esposito dan John O. Voll mengatakan, religious resurgence and

democratization are two of most important development of the final decades of the

twentieth century. 57 Esposito dan John O Voll, mengungkapkan bahwa dua term

tersebut, sedang menjadi trend dalam pemikiran dan gerakan keagamaan,

khususnya di dunia Islam. Kebangkitan gerakan Islam dalam usahanya

merealisasikan daulah Islamiyyah sepertinya menjadi tuntutan yang tak pernah

mati.

Selain wacana kebangkitan gerakan Islam, isu mengenai demokratisasi

seperti yang diungkapkan oleh Esposito dan O Voll, juga tak kalah gencar.

Bahkan tak jarang dua diskursus tersebut harus saling berkonfrontasi. Diskursus

kebangkitan gerakan fundamentalis lengkap dengan karakter yang cenderung

eksklusif, ternyata mempunyai peluang untuk menjadi pesaing bagi gerakan

demokratisasi yang menghendaki adanya keterbukaan berpendapat.

Di Indonesia, kelompok dengan kecenderungan seperti disebut di atas ini

sangat lihai dalam memainkan media sebagai alat untuk mengkampanyekan

wacana yang diusungnya. Beberapa media yang kerap menjadi alat propaganda

adalah Media Dakwah yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia

57 Kalimat ini merupakan awal dari bab pendahuluan yang ditulis oleh John L Esposito

dan John O Voll. Di satu sisi , menurut dua Islamis ini, fenomena kebangkitan gerakan keagamaan ini mempunyai persenyawaan dengan upaya penguatan terhadap sistem politik demokratis. Namun disisi lain, dua hal tersebut (demokrasi dan religious resurgence) sangat membuka peluang timbulnya konflik. Di dunia Muslim, isu-isu ini diangkat dengan menggunakan kekuatan yang terbilang istimewa, karena didukung oleh semakin kuatnya kebangkitan gerakan Islam dan kuatnya tuntutan masyarkat muslim untuk berpartisipasi lebih besar dalam proses politik. Sehingga tingkat partisipasi masyarakat muslim, terutama dalam momen-momen kenegaraan seperti halnya sirkulasi elit, cukup besar. John L Esposito dan John O Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 3.

Page 43: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

(DDII). DDII didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 di Jakarta oleh Muhammad

Natsir dan keluarga besar Bulang Bintang.58

Perjuangan DDII selama empat dasawarsa terakhir konsisten dalam usaha

membentengi aqidah umat dari kontaminasi ajaran dan aliran di luar Islam yaitu

(1) menentang usaha sekularisasi Islam, (2) menghadang gerak laju kristenisasi

yang begitu ofensif (3) menghadang aliran-aliran sesat.59

Robert Hefner menyebut DDII sebagai Islam Antiliberal. Penilaian ini

terkait dengan keberatan DDII terhadap bias liberal di lingkungan IAIN dan

Departemen Agama.60 Terutama berkaitan dengan pengiriman sarjana ke

Universitas Amerika dan Eropa yang pada gilirannya melahirkan lulusan yang

terlalu toleran, humanistik dan liberal secara teologis seperti Nurcholis Madjid

dan Harun Nasution.

Transformasi Pancasila ke dalam kehidupan religiositas sipil akan selalu

diwarnai dengan fenomena eksklusivisme beragama seperti di atas. Disitulah

fungsi integratif dari Pancasila dipertaruhkan. Bagaimana Pancasila yang

menjadi “milestone” pluralitas bangsa Indonesia. Bisakah ia cukup ampuh

sebagai alarm yang mengingatkan ihwal kesepakatan untuk hidup bersama

dalam bingkai kemajemukan?

Tantangan terhadap agama sipil di Indoensia memang datang

bergelombang. Pada masa Soekarno, Pancasila dijadikannya sebagai “civil

religious legitimation” bagi Demokrasi Terpimpin yang ia jalankan.61 Pancasila

(juga Undang-undang Dasar 1945) menjadi teks suci, melegitimasi kekuasaan

dalam bentuk Ketuhanan Yang Maha Esa, seorang pemimpin yang berkharisma,

seperangkat konsep dan simbol-simbol yang signifikan (seperti Gotong Royong,

58 Muhammad Ali, Islam Muda: Liberal, Post-Puritan, Post Tradisional (Yogyakarta: Apeiron Philotes, 2006), 75. 59 Majalah Dakwah, September 2001. 60 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam and Democratization in Indonesia, (terj). Ahmad Baso. (Jakarta: ISAI, 2000), 196. 61 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority . . . , 89.

Page 44: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Revolusi) dan ritual peringatan dan retorika simbolik di seputar peringatan hari-

hari kenegaraan untuk melanjutkan Revolusi Indonesia dan menjaga negara

Pancasila.62

Purdy menelaah agama sipil pada era orde lama dan orde baru dari tiga

fungsinya; Integratif, Legitimasi dan Profetik. Di era orde lama, Pancasila,

Nasakom, Manipol-USDEK, dan simbol-simbol religio-politik tidak mampu

menjadi menyatukan keragaman bangsa Indonesia di bawah satu cara pandang

yang terintegrasi.63 Meski harus diakui bahwa Soekarno adalah (meminjam

bahasa Herbert Feith) seorang “solidarity makers”.

Di fase orde lama, agama sipil tidak bisa menjadi legitimasi saat terjadi

konflik, keragaman atau saat muncul ancaman terhadap negara. Krisis legitimasi

begitu terlihat di era ini. Agama sipil menjadi fenomena “episodik”. Apa yang

dilakukan Soekarno ketika memberikan pidato di Hari Kemerdekaan, meski

tidak ilmiah dan impresionistik, dan peringatan-peringatan selama periode

1964-1965 merupakan sejumlah kekuatan besar bagi legitimasi agama sipil saat

terjadi krisis di level politik. Agama sipil bukanlah institusi permanen yang

menyeluruh,bangun tapi fenomena episodik, datang dan pergi, kembali surut

setelah melakukan sebuah performa.64 Purdy melanjutkan, agama sipil menjadi

sebentuk “inauthentic rhetoric”, saat makna dari simbol nasional, ritual dan

bahasa di level politik kemudian dimanipulasi untuk kepentingan pribadi.65

Pemerintah orde baru berusaha untuk menciptakan sistem makna tunggal

atau sejenis “sacred canopy” (bahasanya Berger) yang dijadikan sebagai dasar

membangun kohesivitas sosial. Pemerintah kemudian menciptakan elemen-

elemen keagamaan sipil yang universal dari negara Pancasila.

62 Ibid., 162 63 Ibid., 182. 64 Ibid., 183-184. 65 Purdy meminjam istilah “Inauthentic Rethoric” ini dari Leo Pfeffer. Lihat dalam Ibid., 185.

Page 45: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Melanjutkan apa yang dilakukan Soekarno, Soeharto juga memberikan

gelar pahlawan. Ada pahlawan kemerdekaan nasional (PKN), pahlawan nasional

(PN), pahlawan proklamator (PP) atau pahlawan revolusi (PR). Ada juga

pahlawan emansipasi wanita yang secara kultural, dilekatkan pada figur RA.

Kartini. Ketika nama-nama itu telah dikenalkan, maka bangsa Indonesia

diakrabkan dengan sejarah perjuangannya, kontribusi bagi revolusi, senjata

yang digunakan, balatentara dan strategi perang serta pernak-pernik lainnya.

Terhadap kegigihan mereka, 10 November kemudian dijadikan sebagai hari

untuk memeringati jasa-jasanya. Dibuatlah pula tempat penguburan khusus bagi

para pahlawan di Kalibata, Jakarta.

Juga ada apel kehormatan yang dilaksanakan pada malam hari di taman

makam pahlawan. Ritual ini biasanya dilakukan oleh unit angkatan bersenjata,

kelompok pekerja, pegawai atau pramuka. Disamping itu mengheningkan cipta

juga kerapkali menyelimuti dan mewarnai upacara pada hari pahlawan, hari

kemerdekaan 17 Agustus, dan upacara kenegaraan.

Ritus lain bagi para pahlawan juga bisa kita temukan dalam kegiatan ziarah

ke taman makam pahlawan. Dua pemimpin pertama bangsa ini, Soekarno dan

Soeharto tidak pernah melewatkan momen ini, meski ada perbedaan dalam

aksentuasinya. Pemimpin-pemimpin negara tidak pernah alpa untuk

mengunjungi taman makam pahlawan meski sekadar untuk memberi

penghormatan dan menabur bunga. Ritus yang juga tidak boleh kita lewatkan

dalam mengingat pahlawan adalah napak tilas. Akhir tahun 70-an, napak tilas

mulai diperkenalkan untuk menghubungkan dua rute bersejarah.66 Tahun 1977

ada kegiatan napak tilas yang diadakan dengan rute dari makam MH Tamrin

menuju Taman Makam Pahlawan Nasional di Kalibata. Kegiatan napak tilas juga

difungsikan sebagai upaya untuk membangkitkan episode sejarah masa lalu

66 Klaus H. Schreiner, “Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional: Dari Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru, 1959-1993”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 411.

Page 46: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

dalam kehidupan saat ini. Taruhlah misalnya kegiatan napak tilas rute gerilya

Jenderal Sudirman di Jawa Tengah.

Di luar ritus-ritus tersebut, taman makam pahlawan tak dikenal di Kalibata,

tiba-tiba menjadi sentra dari segala bentuk peringatan terhadap jasa pahlawan.

Taman makam pahlawan Kalibata yang diresmikan tanggal 10 November 1974

itu menjadi sentrum dari ritual pada hari pahlawan. Dalam peresmian yang

dihadiri oleh Presiden Soeharto itu juga dilakukan oleh pemakaman kembali

tulang belulang jasad pejuang pemudi dari Surabaya yang terbunuh pada hari

pertama pertempuran dan dimakamkan di Surabaya.

Orde baru juga membentengi Pancasila agar tetap terjaga kesuciannya.

Kata “Kesaktian” menjadi alat untuk melawan segala bentuk disharmoni yang

datang dari ideologi-ideologi pesaing. Sama halnya ketika berada pada masa

Soekarno, di era Soeharto agama sipil juga tampil sebagai sebuah episodik. Pada

masa kepemimpinan Soekarno misalnya. Pancasila menjadi teriakan

kemerdekaan di tahun 1945; tahun 1950 jadi proposal Soekarno untuuk

Demokrasi Konstitusional; pada 1957 Pancasila dijadikan sebagai pemandu

untuk Demokrasi Terpimpin dan hingga tahun 1965 Pancasila jadi jiwa

NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis).

Orde baru kemudian menilai apa yang dilakukan Soekarno ini sebagai

sebuah penyelewengan. Soeharto melihat bahwa ideologi Nasakom seperti yang

digaungkan Soekarno dulu itu adalah kecelakaan. Pancasila menjadi tidak lagi

murni karena ia berubah menjadi Nasakom. Maka dari itu Soeharto mengajak

kepada bangsa Indonesia agar merumuskan Pancasila secara sederhana dan

jelas untuk digunakan sebagai pedoman hidup manusia Pancasila. Kata

Soeharto, “Jangan terulang lagi misalnya, Pancasila lalu berubah menjadi

“nasakom” yang membawa bencana itu. Ajakan saya adalah agar kita bersama-

Page 47: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

sama memikirkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam segala segi

kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari.67

Susan Shelden Purdy menyebut bahwa di era orde baru, agama sipil tampil

sebagai sebuah episodik pada kurun 1978. Terjadi protes yang meningkat

terhadap kebijakan pemerintah, penetapan Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan terhadap Pancasila (P4) dan lain-lain. Pancasila tidak bisa menjadi

sebuah ideologi pemersatu yang diterima secara universal seperti halnya

disinggung dalam literatur civil religion; collective consciousness (Durkheim),

sacred canopy (Berger) atau meaningful set of ultimate values on which the

morality of a society can be based (Bellah).68 Purdy kemudian menarik

kesimpulan bahwa pengalaman Indonesia (era orde lama dan orde baru)

menunjukan kalau civil religion selain menyediakan fungsi integratif bagi sebuah

bangsa yang plural, pada saat yang sama juga disfungsional, juga berkontribusi

kepada tingginya perpecahan kelompok.

Jika di dua fase awal kehidupan politik bangsa Indonesia, masalah utama

yang muncul adalah soal makro (baca: ideologi), setelah 1998 problemnya tidak

hanya soal makro tetapi juga mikro. Selain ada gugatan terhadap dasar negara,

tetapi juga muncul isu-isu lain yang lebih detail. Sebut saja misalnya penerapan

standar moral satu kelompok bagi kehidupan publik, keharusan lulus membaca

dan menulis ayat suci, hubungan antar dan intern umat agama dan lain-lainnya.

Penulis mengidentifikasi empat tantangan kehidupan keberagamaan di

Indonesia merujuk pada literatur civil religion seperti yang dipaparkan di atas.69

Pertama, individualisme atau the religion of man dalam bahasanya Rousseau.

Memang agak sulit menemukan fenomena ini di Indonesia. Nyaris tidak ada

67 Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS-Yayasan Proklamasi, 1976), 5-6.

68 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority . . . , 390. 69 Dua masalah pertama merupakan alasan kenapa Rousseau mengusulkan harus ada

“agama sipil” sementara dua masalah berikutnya adalah tipe agama sipil yang berpotensi memunculkan pelbagai problem seperti yang diurai oleh Coleman.

Page 48: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

ruang yang betul-betul bersih dari warna agama. Tapi Rousseau mungkin

bermaksud untuk mengatakan bahwa agama yang semata-mata dipraktekan

untuk kepentingan individu, tidak akan memiliki signifikansi dalam membangun

soliditas sosial. Sebentuk kesalehan individual yang abai terhadap realitas sosial

di sekelilingnya.

Kedua, ide untuk membangun negara agama. Ini juga masalah yang

membuat Rousseau mengusulkan agama sipil. Di Indonesia, pasca reformasi

gaung kelompok-kelompok yang menghendaki Islam sebagai dasar negara

semakin kencang terasa. Phillip Wogaman cukup keras menentang model ini. Ia

menyebut bahwa penganut model ini tengah berilusi.70 Beberapa masalah yang

muncul dalam negara teokratis ada pada aspek praktis dan juga politis. Agama

dalam negara teokratis pada akhirnya digunakan untuk kepentingan politis.

Problem praktis menunjukan bahwa di negara teokrasi akan sangat sulit

membedakan pernyataan iman yang benar-benar tulus dan tidak, dimana

institusi agama memiliki kekuatan dominan.

Isu yang terutama dalam negara teokratis adalah masalah teologis.

Teokrasi hadir dalam satu bentuk pengandaian bahwa kebenaran dapat

diketahui untuk membuat pembedaan antara mereka yang benar dan tidak.

Yang pertama, tentu harus diakui keberadaannya oleh pemerintah, yang kedua,

secara legal tidak memiliki kekuatan. Ilusi yang dimaksudkan dalam sistem

pemerintahan ini adalah bahwa hanya Tuhan, jika Tuhan adalah pusat

transendensi dan sumber kehidupan, maka Ia tidak akan pernah diketahui oleh

siapapun.

Ketiga, church-sponsored civil religion. Ini tipe agama sipil dari kategori

seperti yang diintrodusir oleh Coleman. Penulis sedikit bereksperimentasi untuk

menunjukan agama sipil yang disponsori oleh gereja (baca: agama) di Indonesia.

70 J Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000), 253.

Page 49: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

Agama sipil tipe ini adalah sebentuk model keberagamaan yang datang dari satu

kelompok keagamaan tertentu dan kemudian dijadikan sebagai “agama sipil”

bagi masyarakat yang lebih luas. Menjadikan Islam sebagai agama sipil bangsa

Indonesia adalah konkretnya. Mereka yang mendukung ide ini, salah satunya

adalah kelompok yang (meminjam kategorisasinya Luthfi Assyaukanie),

menyerukan Negara Demokrasi Islam (NDI).71 Dalam ide NDI, menyimpan pesan

bahwa pada dasarnya negara demokrasi adalah negara yang baik. Demokrasi

merupakan konsensus politik yang menjamin egalitarianisme, tetapi ia harus

dibatasi oleh kehendak Tuhan. Dengan kata lain, NDI membuka lebar-lebar bagi

klaim-klaim agama untuk masuk dalam ranah publik. Ini dilandaskan pada

asumsi bahwa dalam Islam, ada hal-hal yang bersifat prinsipil dan tidak bisa

diputuskan melalui jalur legislatif. Pada gilirannya, dengan menyebut Islam

dalam NDI, penyokong model ini berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai

dasar negara. Sementara demokrasi dijadikan sebagai alat untuk memacu umat

Islam agar bisa berkancah dalam dunia sosial dan politik. Seperti diungkapkan

oleh Coleman, ada persoalan dengan tipe ini, terutama dengan hak-hak

kelompok minoritas.

Keempat, state-sponsored civil religion. Dalam tipe ini, seperti yang diurai

Coleman, negaralah yang memaksakan bentuk “keagamaan” dalam kehidupan

bernegaranya. Kalau masalah keagamaan ini diperlebar tidak hanya dalam soal

agama (dalam pengertian konvensional), maka Pancasila di era orde baru adalah

sebentuk agama sipil yang disponsori oleh negara. Pancasila dibingkai oleh satu

konsepsi bahwa kekuasaan (seperti yang dipahami dalam masyarakat Jawa)

haruslah bersifat terpusat. Seperti digambarkan Bennedict Anderson, bahwa

kekuasaan dalam konsepsi Jawa bersifat terpusat, monopolistik, yang karenanya

71 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia...

Page 50: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

tidak mengenal pembagian kekuasaan.72 Kekuasaan juga berkaitan dengan

kehalusan. Semangat halus dalam konteks ini adalah bahwa ia bisa menguasai

diri, elegan, perasa, menghormati dan tepa selira. Dengan konsepsi seperti itu,

maka kekuasaan termanifestasikan dalam persatuan dan kesatuan. Konsepsi ini

merupakan perlambang keberhasilan sebuah kekuasaan.

Di Indonesia, agama sipil ternyata tidak selalu bisa memerankan diri untuk

memainkan fungsi integrasi, legitimasi ataupun profetiknya seperti yang dibaca

dalam tulisan-tulisan mengenai agama sipil. Pancasila, pada dua fase awal

pemerintah Indonesia hanya berjalan sebagai episodik semata. Nyatanya, dalam

masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, agama sipil tidak selalu

bisa memainkan perannya untuk menyediakan sistem makna yang disepakati

secara bersama-sama dimana kehidupan masyarakat bisa dibangun di atasnya.

Tetapi apakah itu artinya konsep mengenai civil religion, secara sosiologis, tidak

lagi memiliki dayaguna?

Arah kajian civil religion, mungkin harus diperluas; tak hanya dari

perspektif Rousseau tapi juga Durkheim. Pendek kata, menjadikan agama sipil

sebagai fenomena kebudayaan tidak hanya semata-mata fenomena politik.

Agama sipil tidak hanya soal ritus dan simbol-simbol negara, tapi juga tentang

kekayaan kebudayaan yang menjadi agama sipil untuk konteksnya masing-

masing. Meski tentu saja bukan berarti hal ini bisa menyelesaikan tensi antara

nasionalitas-primordialitas, atau religio-political problem, seperti diungkap

Bellah.

Dalam mengatasi persoalan ini, ada dua agen yang sangat berperan dalam

proses transformasi Pancasila ke dalam religiositas sipil bangsa Indonesia. Dua

72 Ben Anderson menggambarkan setidaknya empat karakter yang mendasari konsep kekuasaan itu, yaitu kekuasaan yang bersifat konkret, homogen, konstan dalam kuantitas yang total, serta tak perlu pengabsahan Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Cornell University Press, 1990), 22-23.

Page 51: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

komponen utama yang memegang peranan penting itu adalah masyarakat sipil

dan pemerintah plus aparatusnya.

Penyakit yang menjangkit di masyarakat dalam hal toleransi salah satunya

adalah sikap toleransi yang setengah hati. Dalam satu waktu mereka begitu

sangat toleran terhadap penganut agama lain, tetapi intoleran terhadap

denominasi lain dalam satu agama. Toleransi karenanya harus berjalan di dua

level, internal dan eksternal. Penganut sebuah agama tidak hanya bertenggang

rasa dengan pemeluk agama lain, tetapi juga dapat hidup berdampingan dengan

mereka yang berbeda madzhab. Inilah mungkin yang disebut sebagai toleransi

ganda (double toleration).

Harapan yang tinggi dibebankan salah satunya kepada kelompok pro

pluralisme. Tugas kelompok ini tidak hanya sekadar membumikan pluralisme

sebagai living ethic tetapi juga mencermati perkembangan yang terjadi di akar

rumput. Sehingga, tidak hanya persoalan intoleransi dan kekerasan yang

menjadi bahan sorotan tetapi juga kerukunan dan pemerintah yang menjamin

kehidupan kebebasan beragama warganya juga perlu diberi apresiasi. Selama ini

ada kesan bahwa kegiatan monitoring terhadap kehidupan keagamaan berhenti

pada proses dokumentasi terhadap fakta-fakta intoleransi. Sementara

kemajuan-kemajuan dalam kehidupan keberagamaannya tidak terlalu mendapat

perhatian.

Yang sudah pasti harus berbenah diri tentu saja pemerintah. Meski bukan

satu-satunya faktor, tetapi salah satu masalah yang kerap muncul dalam segala

bentuk intoleransi keagamaan adalah kurang tegasnya pemerintah.

Ketidaktegasan ini yang kemudian memunculkan hadirnya milisi-milisi sipil

yang kerap mengambil peran aparatus negara. Penegakan hukum akan menjadi

tinanda bagi masyarakat bahwa pemerintah ada dan menjalankan fungsinya.

Disini, sistem pendidikan juga memegang peranan penting. Pendidikan

harus menjadi basis bagi tersemainya benih-benih toleransi. Sikap untuk

Page 52: BAB VI PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/6/D_762008003_BAB VI.pdf · dalam karya ini hanya akan fokus pada ... Pancasila lahir

menenggang beda, harus ditanamkan sejak dini. Sehingga penghargaan terhadap

perbedaan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Secara filosofis, pendidikan agama yang diajarkan di pelbagai level

pendidikan mestinya harus dibingkai oleh satu semangat yang melandasi

kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan kata lain, pendidikan agama

haruslah berada dalam bingkai keindonesiaan. Disini, maka pendidikan

Pancasila haruslah menjadi variabel penting lainnya. Pendidikan agama yang

diajarkan di lingkungan pendidikan, haruslah berada dalam bingkai pendidikan

Pancasila. Ini harus berjalan secara konsisten mulai dari sekolah hingga

perguruan tinggi.

Disinilah pendidikan agama yang inklusif-pluralis bisa diterima.

Pendidikan agama yang mengajarkan tentang sistem keyakinan agama yang

mendasar, perlu juga dibarengi dengan mengenalkan bahwa agama yang kita

peluk itu hanyalah satu dari sekian banyak keyakinan yang ada di Indonesia.

Karena keyakinan yang banyak itu perlu dipahami sebagai satu kesatuan yang

integral, maka perlu dikembangkan sikap saling menghormati diantara mereka

yang berbeda agama dan keyakinan. Dengan begitu, maka pendidikan agama

yang hadir di lingkungan institusi pendidikan, tentu saja sangat kontributif bagi

pengembangan wawasan keindonesiaan yang menjunjung tinggi pluralitas atau

kemajemukan.