bab vi pancasila dan transformasi religiositas...
TRANSCRIPT
BAB VI
PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS SIPIL: SEBUAH ANALISIS
Sebagai agama sipil, salah satu keunikan Pancasila adalah karena ia tak
hanya berada dalam konteks perbedaan soal agama saja. Pancasila melampaui
gagasan agama sipilnya Bellah yang memang ada dalam konteks keagamaan.
Dalam hal mengakomodir pandangan non believers, ide agama sipil dalam
Pancasila barangkali agak lebih dekat dengan pandangan Andrew Shank. Agama
sipil Pancasila, selain berbicara tentang agama, juga datang dari dua pokok
fondasi lainnya, sosio-demokrasi dan sosio-Nasionalisme. Namun, pembahasan
dalam karya ini hanya akan fokus pada point pertama saja, yakni soal agama.
Pancasila sebagai “Milestone” Pluralitas Bangsa Indonesia:
Sebuah Proses Transformasi
Salah satu situasi politik yang menjadi latar lahirnya Pancasila adalah
pertarungan antara Islamisme dengan Nasionalisme. Pidato Soekarno saat ia
menawarkan lima dasar, sangat jelas menunjukkan situasi tersebut. Soekarno
misalnya mengatakan;
Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, kebangsaan ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa pada dasar pertama buat Indonesia adalah dasar kebangsaan.1
Dalam situasi demikianlah Pancasila lahir. Pancasila berupaya untuk
merengkuh semua golongan agar bisa terakomodir. Soekarno merasa harus
1 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 92.
menyampaikan sebuah prinsip yang bisa membuat nyaman semua kelompok
yang ada dalam sidang BPUPKI. Dari banyak kelompok yang hadir, perwakilan
Islam memang sangat mendambakan sebuah negara dengan dasar Islam.
Soekarno melihat ada potensi disintegrasi karena ada keberatan dari kelompok
yang tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara. Lalu disepakatilah lima
dasar yang ditawarkannya pada 1 Juni 1945.
Lahir dari situasi dimana penuh ketegangan antar berbagai ideologi,
Pancasila diharapkan menjadi kompromi sekaligus dasar bersama bagi semua
kelompok. Soekarno sering menyebut Pancasila ini sebagai fundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat atau “philosofische grondslag”.
Dalam kesempatan lain, Soekarno (juga Soeharto) sering menyebut Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun, justru disinilah sesungguhnya ada
masalah dengan menempatkan Pancasila sebagai ideologi.
Jika Pancasila adalah sebuah ideologi, maka Pancasila menjadi sesuatu
yang benar di dalamnya dan tidak mengandung kontradiksi satu dengan lainnya.
Namun, hal itu harus dilakukan oleh Soekarno untuk mengatasi persoalan yang
timbul di Indonesia.
Persoalan yang ada dalam diri Pancasila itu pertama-tama adalah saat
Soekarno berusaha untuk menjadikannya sebagai payung bersama, perekat. Itu
bisa dilihat misalnya dalam Sila Persatuan. Muncul kemudian keinginan untuk
membuatnya kuat, kukuh dan tak tergantikan. Kecenderungan yang sangat
terasa ketika orde baru berkuasa melalui doktrin Pancasila sakti.
Seperti yang digambarkan dalam bab sebelumnya, dengan menggunakan
pendekatan ideologis, Pancasila menyiratkan ada ”inkompatibilitas intrinsik.”
Mencermati tiap-tiap sila dalam Pancasila, serta keterangan Soekarno saat
menjelaskan masing-masingnya akan semakin jelas menunjukkan bagaimana
inkonsistensi itu mengemuka.2
Sila pertama yang disinggung oleh Soekarno merupakan antitesa dari
paham Pan Islamisme.3 Soekarno meminta kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo dan
kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara agar bisa
memahami apa yang ia sampaikan itu. Soekarno melanjutkan bahwa ide tentang
kebangsaan tersebut tidak dimaksudkannya untuk memaknai satu model
kebangsaan sempit, tetapi nasionalestaat. Soekarno kemudian menguraikan
tentang apa yang ia maksud sebagai Persatuan, Musyawarah, Kemanusiaan dan
Ketuhanan.
Persoalan kemudian muncul ketika Soekarno sampai pada pembahasan
tentang permusyawaratan, permufakatan, dasar ketiga yang ia tawarkan.
Soekarno menyadari betul bahwa asas ini menjadi kran untuk beradu pendapat,
menawarkan pandangan dan ideologinya masing-masing. Soekarno ada dalam
situasi dimana tuntutan kelompok Islam untuk menjadikannya sebagai dasar
negara sangatlah kuat. Soekarno membuka kesempatan kepada mereka untuk
berdebat dan memperjuangkannya di badan legislatif. Kehidupan di lembaga
perwakilan haruslah merupakan sebuah kawah candradimuka dimana ada
perjuangan paham di dalamnya. Negara yang sehat adalah negara yang
menyediakan ruang bagi perjuangan paham atau ide dan menjadikan lembaga
perwakilan itu bergolak mendidik. Termasuk jika umat Islam hendak
memperjuangkan idenya, maka bertarunglah di badan perwakilan itu.
2 Penulis berterima kasih kepada Donny Danardono yang memperkenalkan pendekatan ini dalam memahami Pancasila di berbagai diskusi. Uraian singkatnya tentang hal itu bisa disimak dalam Donny Danardono, Pancasila dan Hukum Sebagai Diskursus, Makalah disampaikan Konferensi Nasional Ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia: “Filsafat Hukum dan Kemajemukan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh AFHI, Epistema Institute dan Fakultas Hukum Universitas Katolik di Teater Thomas Aquinas Unika Seoegijapranata pada 16-17 Juli 2012. 3 Ibid.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.
Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada.4
Imbas dari apa yang disampaikan oleh Soekarno ini kemudian membuat
Pancasila berada dalam posisi yang dilematis. Sebagai dasar negara, Pancasila
akan sangat mungkin digantikan oleh paham lain, selama mereka yang
memperjuangkannya dapat menguasai parlemen. Yang terjadi kemudian,
sebagai dasar negara, philosofische grondslag atau weltanschauung, Pancasila tak
lagi kedap,5 pejal, sudah final dan kekal,6 Sementara, di sisi lain, Soekarno
menghendaki Pancasila itu sebagai suatu fondasi yang kokoh dan tak
tergantikan. Keberhasilan sebuah paham tertentu dalam lembaga perwakilan
akan menggoyahkan Pancasila yang hendak meniadakan “egoisme agama” serta
prinsip “semua buat semua”.
Pemahaman terhadap Pancasila dalam kerangka demikian, berpotensi
untuk menggoyahkan kemajemukan, pluralitas agama dan budaya yang sudah
4 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia . . . 98. 5 Ibid. 6 Goenawan Muhammad, “Menggali Pancasila Kembali”, Naskah pidato peluncuran politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, Senin 27 April 2009.
terpatri di bumi Indonesia. Bagaimana Pancasila dapat menjadi jaminan agar
prinsip “egoisme agama” bisa ditanggalkan dengan semangat “semua buat
semua”.
Dengan menawarkan Pancasila, Soekarno berikhtiar agar bangsa yang
bhineka ini bisa menjadi eka, dan yang eka ini tetap menghargai yang bhineka.7
Menawarkan satu prinsip yang berdiri di atas kemajemukan, sudah pasti akan
mengundang banyak spekulasi. Bisa jadi akan ada titik temu yang mendamaikan,
tetapi bukan tak mungkin akan banyak titik tengkar yang akan memudarkan tali
persatuan. Situasi itulah yang juga dihadapi Soekarno saat menyampaikan
pidato tentang Pancasila. Meminjam bahasa Goenawan Muhammad, “Pidato
Bung Karno dengan ekspresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan:
penuh semangat tapi juga tak bebas dari rasa cemas”.8
Pancasila haruslah dipahami dalam kerangka yang utuh. Sila yang satu
harus dimbangi dengan sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus
diimbangi dengan Persatuan Indonesia dan begitu seterusnya. Memutlakan satu
sila di atas yang lain, akan berpotensi menghasilkan hegemoni dan dominasi
satu kelompok atas kelompok lainnya. Dengan kata lain, Pancasila yang
meniadakan “egoisme agama” itu harus dipahami secara utuh dari sila-sila yang
menjadi fondasinya. Merawat kemajemukan hanya mungkin bisa dilakukan jika
Pancasila ditafsirkan dalam kerangka demikian.
Disinilah kita bisa memahami apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai esensi
dari Pancasila yang akan terus dipertahankan. Sebagai negara dengan tingkat
kemajemukan yang tinggi, maka disintegrasi adalah masalah yang selalu akan
timbul di Indonesia. Bahkan, sila-sila dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya
bisa menjadi peta masalah di negara yang majemuk seperti Indonesia. Sila
pertama menyiratkan bahwa persoalan hubungan agama dan negara akan selalu
7 Ibid. 8 Ibid., 7.
berkait dan berkelindan. Dasar negara Pancasila yang bukan teokrasi dan bukan
sekuler menyisakan ruang perdebatan tentang identitas bangsa ini. Sila kedua
(kemanusiaan yang adil dan beradab), merupakan peringatan bahwa akan selalu
ada masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Masalah
disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang akan dihadapi seperti disiratkan
dalam sila ketiga. Konsolidasi demokrasi yang masih terus berjalan selalu akan
menyisakan residu. Residu demokrasi itu yang akan terus berjalan mengiringi
proses demokratisasi yang sedang berjalan. Sila keempat mengindikasikan
hadirnya masalah tersebut. Sementara sila terakhir, menyiratkan persoalan
pokok dalam bidang ekonomi, yakni munculnya kecemburuan, terutama dalam
relasi pusat dan daerah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pandang kita terhadap Pancasila
agar ia tetap berfungsi untuk menjadi kekuatan integratif yang menjaga
kemajemukan tersebut?
Penulis menyebut bahwa Pancasila itu sebagai “milestone” bangsa
Indonesia.9 Titik tonggak yang mengawali komitmen akan menjaga keutuhan
bangsa dengan segala kekayaan perbedaan yang terkandung di dalamnya. Titik
inilah yang merupakan “kisah bersama” saat mereka yang berbeda itu
menyepakati satu janji untuk hidup dalam teritori yang disepakati. Kisah ini
yang menjadi rujukan jika pada suatu waktu ada kelompok tertentu yang
hendak keluar dari milestone atau “kisah bersama” itu. Pancasila menjadi
semacam personal experience, pengalaman intim antar komponen bangsa untuk
tetap menghargai kebhinekaan. Menjaga agar Pancasila tetap semua buat semua.
Dalam kerangka Pancasila, maka kehidupan bangsa Indonesia yang
memiliki keragaman identitas agama dan budaya haruslah tetap dijaga. Dengan
bingkai Pancasila pula, maka tidak ada warna dominan dalam kehidupan bangsa
9 Donny Danardono menyebut Pancasila sebagai Diskursus.
Indonesia. Indonesia tidak menjadi negara Kristen atau negara Islam. Indonesia
juga tidak menjadi negara Jawa, Batak, Sunda, dan lainnya.
Salah satu kekhawatiran Soekarno yang implisit muncul dalam pidato 1
Juni adalah disintegrasi bangsa yang diakibatkan oleh, salah satunya, masalah
agama. Bagaimana jika terjadi satu kelompok yang memperjuangkan golongan
agama tertentu memenangkan pertarungan di parlemen? Bukankah ini buah
dari sebuah proses yang demokratis dengan memenangkan suara terbanyak?
Bagaimana menjawab persoalan ini dalam kerangka Pancasila?
Franklin I. Gamwell menawarkan tentang apa yang disebut sebagai
democratic constitution atau konstitusi demokratis. Ia mencoba menghubungkan
antara ide kebebasan beragama dengan perdebatan di ranah politik.
Menurutnya, kebebasan beragama sebagai sebuah prinsip politik tidak memiliki
makna koheren kecuali sebuah asosiasi politik dapat dibentuk melalui sebuah
diskusi dan debat terbuka, termasuk melibatkan mereka yang berbeda
keyakinan.10
Berbeda dengan pandangan kelompok privatist seperti John Rawls,
Gamwell justru membuka ruang bagi pelbagai keyakinan keagamaan untuk bisa
bertarung di ruang publik, dengan syarat ada debat dan diskusi yang terbuka.11
Keyakinan keagamaan harus direpresentasikan dalam ekspresi politik, yang
dengan begitu maka sejatinya tidak ada larangan bagi keyakinan keagamaan
tertentu untuk ditransformasikan atau bahkan diadopsi menjadi kebijaksanaan
suatu negara. Namun, seperti disinggung dimuka, perlu ada debat yang bebas
dan terbuka untuk menguji keyakinan keagamaan tersebut. Tujuannya adalah
untuk melihat validitas keyakinan keagamaan yang dipegangi oleh kelompok
masyarakat tertentu.
10 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 34-35. 11 Tentang pandangan John Rawl yang disebut privatist oleh Gamwell, lihat dalam Ibid., 47-75.
Kebutuhan dalam diskusi dan debat terbuka ini adalah hadirnya “akal
sehat” serta “pengalaman kemanusiaan”. Keduanya akan sangat menentukan
apakah keyakinan keagamaan yang diajukan untuk menjadi kebijakan negara itu
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian atau tidak. Tetapi sebelumnya,
perlu diskusi yang bebas ini hanya mungkin bisa dilakukan ketika “agama
sebagai sesuatu yang non-rational” dirubah “agama sebagai sesuatu yang
rational”. Atau dengan kata lain, Gamwell ingin mengatakan bahwa melihat
agama sebagai sesuatu yang rasional sebagai prasyarat untuk masuk ke dalam
diskusi terbuka adalah bentuk lain dari the public view of religious freedom.12
Pemecahan terhadap masalah kebebasan dan keragaman beragama secara
demokratis menghendaki suatu konstitusi yang demokratis pula. Konstitusi
demokratis adalah rumusan yang mampu menyelesaikan masalah agama
maupun politik. Ia mampu memastikan bahwa (i) konstitusi yang demokratis
harus konsisten dengan keyakinan keagamaan yang beragam dan (ii) konstitusi
demokratis harus mendapatkan afirmasi oleh para pengikut dari berbagai
keyakinan keagamaan. Dua kerangka itu menjadi prasyarat terlaksananya debat
itu bisa berjalan dengan baik atau tidak. Jika dua hal tersebut tidak terakomodir
dalam konstitusi, maka jaminan kebebasan beragama tidak ada dalam
konstitusi.
Gamwell mengatakan bahwa agama merupakan formasi budaya dimana
pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab. Ini yang membedakannya
dengan politik. Jika politik dibatasi oleh pertanyaan-pertanyaan parsial, maka
agama menjawab semua persoalan. Karena konstitusi bersifat manusiawi, maka
ia tentu tidak dimaksudkan untuk menjawab semua persoalan kehidupan
manusia. Konstitusi adalah pernyataan tentang apa yang harus dilakukan oleh
negara dan aparatusnya. Konsekuensinya, konstitusi ini tidak boleh menunjukan
12 Ibid., 153.
keberpihakan pada salah satu kelompok agama tertentu. Konstitusi harus netral
dari klaim keagamaan.
Produk atau aturan negara bisa saja tidak diterima oleh kelompok
keagamaan tertentu. Setelah melewati sebuah prosedur formal misalnya,
ketentuan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan sebuah kelompok keyakinan
keagamaan. Disinilah terjadi tarik menarik antara keadilan yang bersifat
prosedural dengan keadilan substansial.
Dalam wacana demokrasi, keadilan prosedural memang mendapatkan
tempat yang penting. Perumusan sebuah aturan sangat berkaitan dengan
bagaiman prosedur konstitusional itu telah ditempuh. Meski begitu, bukan
berarti keadilan seperti ini mengenyampingkan keadilan substansial. Ada “akal
sehat” dan “pengalaman kemanusiaan” yang mengendalikan keadilan prosedural
itu. Pertimbangan tentang keadilan substansial dan prosedural ini yang bisa
menjadi ukuran dalam menakar segala produk perundangan di sebuah negara.
Kerangka inilah yang bisa digunakan dalam memahami bagaimana
rumusan 5 dasar dalam Pancasila. Pemahaman demikian yang bisa menjawab
kekhawatiran Soekarno ketika berbicara soal kebangsaan, permusyawaratan
dan Ketuhanan. Ada nilai keadilan yang menjadi pertimbangan keterlibatan
semua pihak di area “permusyawaratan” itu. Katakanlah jika di suatu wilayah di
Indonesia parlemen menghendaki penerapan hukuman potong tangan setelah
mereka memenangkannya dengan suara terbanyak, maka hal itu akan
bertentangan keadilan substansial dan akal sehat.
Pemahaman Pancasila seperti ini yang kemudian dijadikan sebagai dasar
bagi transformasi religiositas sipil. Mengutip Cobb, prinsip dasar dari
transformasi, adalah dalam komitmennya yang kuat terhadap keberimanannya,
seseorang haruslah terbuka kepada yang lain. Orientasi keberagamaan tidak
hanya sekadar beromantisme pada sejarah kejayaan sebuah agama di masa
silam. Agama harus menjadi living values yang senantiasa berdialektika dengan
realitas, termasuk di dalamnya keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Keterbukaan terhadap tradisi lain bukan sekadar membuka diri. Kata Cobb,
umat beragama harus mengakui bahwa ada praktek atau ajaran yang baik dan
penting untuk diderivasi dari tradisi keagamaan yang lain. Itulah yang oleh Cobb
disebut sebagai full openness, keterbukaan penuh. Keterbukaan terhadap
kebenaran secara nyata berisi tentang keterbukaan terhadap kebenaran
partikular yang ada dalam tradisi lain.
Religiositas sipil yang transformatif inilah yang harus dikembangkan dalam
kehidupan berbangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai “milestone”. Prinsip
dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan transformasi agama-
agama dalam kontes keindonesiaan. Dengan transformasi maka Kekristenan
yang dikembangkan bukanlah Kristen Barat. Begitu juga dengan tradisi
keagamaan lainnya. Jadi yang muncul pada nantinya adalah “Indonesianized
Christianity”, “Indonesianized Islam”, “Indonesianized Buddhism” dan lainnya.
Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Merawat Pluralisme, Menjamin Kebebasan Beragama
Salah satu kehendak luhur Pancasila hadir adalah dalam kerangka menjaga
kemajemukan atau pluralitas. Itulah pengertian Pancasila sebagai milestone
seperti yang penulis singgung dalam sub bab sebelumnya. Pancasila harus bisa
menjadi garansi terjaganya pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu elemen
bangsa Indonesia yang hendak dikawal eksistensinya oleh Pancasila adalah
agama, tepatnya pluralitas agama.
Soekarno, dalam pidato Hari Pancasila mengatakan bahwa bangsa
Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri-sendiri. Kebertuhanan ini
juga harus dibarengi dengan menanggalkan “egoisme-agama.” Selain
mengimplikasikan adanya keragaman agama yang harus ditoleransi (tiada
egoisme agama), ungkapan Soekarno menyinggung secara langsung tentang
prinsip kebebasan beragama. Bangsa Indonesia dipersilahkan meyakini Tuhan
secara merdeka. Dalam kapasitasnya sebagai individu yang merdeka inilah,
bangsa Indonesia sesungguhnya diberi kesempatan untuk dapat secara terbuka
mengekspresikan keyakinan keagamaannya. Pancasila secara tegas
menggariskan hal tersebut.
Kemajemukan agama di Indonesia merupakan fakta yang tak terbantahkan.
Meski begitu, dalam realitanya kemajemukan selalu memiliki wajah ganda,
menyejukkan sekaligus mengkhawatirkan. Menyejukkan, karena bak bunga di
taman, ia akan terlihat indah karena jenisnya yang bermacam-macam. Itu
kenyataan di satu sisi. Di sisi lain, kemajemukan sangat potensial untuk menjadi
pemicu konflik, jika kenyataan itu tidak dikelola dengan baik.
Sehingga pertanyaannya kemudian, bagaimana membangun dialog
kehidupan dalam masyarakat dengan latar belakang identitas yang beragam?
Itulah persoalan pelik yang kerap menghinggapi dalam masyarakat modern.
Dengan kata lain, problem mengelola kemajemukan sebagai modal sosial itulah
yang seringkali mendapatkan tantangan.
Agama sebagai realitas sosial, didalamnya tak hanya terkandung aspek
ajaran yang bersifat normatif-doktrinal. Tetapi, dalam diri agama terdapat juga
variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan
ideologi yang dibangun dan dibela mati-matian oleh para pemeluknya.
Semua aktivitas umat beragama yang masuk dalam kategori deviasi, tentu
sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel tersebut, yang satu ikut memperkuat
yang lain dan di saat yang sama muncul juga variabel yang siap mencegahnya,
yakni hakikat ajaran agama yang senantiasa mengajarkan manusia untuk
menebar kasih dan sayang serta misi agama untuk mewujudkan peradaban yang
toleran dan humanis.
Jika tidak dikelola dengan baik, keragaman itu tak jarang berujung pada
sosial catastrophe. Tentu situasi seperti itu yang tidak dikehendaki oleh
semuanya. Maka dari itu, sekali lagi, perlu cara yang bijak dan arif untuk
memantapkan keragaman sebagai panglima untuk mengawal nilai-nilai
demokratisasi, HAM, multikulturalisme dan lainnya.
Agama dengan demikian, harus dipahami tidak sebagai standar,
normatifitas dan sebagai optik kebenaran bagi agama lain. Agama mesti
ditempatkan sebagai proses untuk menuju ultimate reality. Dan karena hidup
berdampingan, maka mau tidak mau pemeluk agama harus bisa menenggang
perbedaan.
Secara sosiologis, keyakinan keagamaan yang dipeluk masyarakat
Indonesia sangatlah banyak.13 ”Agama-agama dunia”seperti Islam, Kristen dan
Katolik ada di Indonesia. Begitu juga keyakinan yang berkembang dari ajaran
nenek moyang mereka.14 Yang menarik adalah munculnya upaya untuk
mendialogkan ajaran agama dengan budaya masyarakat. Ini misalnya bisa
dilihat dalam karya Marx Woodward dalam ”Islam in Java: Normative Piety and
Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta”.15 Woodward berusaha untuk
13 Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition
(University of Arizona Press, 1987), 3. Bisa disebutkan di sini beberapa agama suku tersebut antara lain Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di Kanekes (Banten); agama Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang dan Alu Todollo di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan lainnya. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala/batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan. 14 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka Caraka, 1981), Yekti Maunati, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (Yogyakarta: LKiS, 2006), Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Jakarta: The Interseksi Foundation dan TIFA, 2007), Nawari Ismail, Relasi Kuasa dalam Pengubahan Budaya Komunitas: Negara, Muslim, Wong Sikep (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012),
15 Marx Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta, terj. (Yogyakarta: LKiS, 1999).
menegaskan bahwa Islam di Jawa juga Islam, buka Hindu atau Hindu-Buddha
seperti yang dituduhkan oleh kelompok muslim puritan dan banyak sejarawan-
antropolog. Islam Jawa adalah salah satu varian dari Islam. Kelompok ”Islam
lokal” lainnya dipaparkan oleh Erni Budiwanti dalam ”Islam Sasak: Watu Telu
versus Waktu Lima”.16 Erni, dalam karyanya tersebut seperti hendak
memperlihatkan satu model ketegangan antara dua kelompok Islam, adat dan
puritan. Yang terjadi di Lombok, lokasi penelitiannya, adalah menegaskan
bahwa sedang terjadi sebuah konfrontasi antara dua pihak tersebut.
Meski secara sosiologis ada banyak agama yang hidup dan berkembang di
Indonesia, tetapi negara kemudian melakukan “politik pembatasan” dan “politik
pengakuan”.17 Kata Adrian Vickers, syarat pengakuan negara ini terdengar
sebagai pengertian yang kontradiktif, karena status agama-agama seharusnya
jelas, tetapi kepercayaan dan ibadah asli berbagai kelompok etnis tidak diakui
menurut konstitusi.18 Kelompok aliran kepercayaan digambarkan sebagai orang
yang belum beragama karena dianggap sebagai praktik masyarakat adat yang
terbelakang.19 Tahun 1952, muncul Peraturan Menteri Agama No. 9/1952/Pasal
6 yang mengatakan bahwa “Aliran kepercayaan ialah suatu faham dogmatis,
terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih
pada suku bangsa yang masih terbelakangan. Pokok kepercayaannya, apa saja
adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa”.20
Pada tahun 1965, muncul Penetapan Presiden (PP) No. 1 (selanjutnya
ditulis PNPS 1965) yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai presiden dan
16 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Watu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000).
17 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil (Semarang: Rasail, eLSA dan UKSW, 2009). 18 Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, terj. (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), 181. 19 Ibid. 20 Dikutip dari Martin Ramstedt, “Introduction”, dalam Martin Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (New York: RoutledgeCurzon, 2004), 9.
pemimpin besar revolusi pada tanggal 27 Januari 1965. PP ini berisi tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. PP inilah yang dalam
perkembangannya digunakan sebagai alat untuk membentengi agama-agama
resmi dari ”serangan” aliran-aliran sempalan. Status PP ini kemudian
ditingkatkan sebagai UU melalui UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyatan
berbagai penetapan Presiden sebagai Undang-undang.
PNPS 1965 hadir dalam situasi munculnya banyak aliran kebatinan. Untuk
mengetahui alasan kemunculan PNPS 1965, maka penjelasan atas aturan
tersebut sangat membantu memahami bagaimana begitu ketatnya pemerintah
membatasi ruang gerak aliran kebatinan.
Secara eksplisit, kekhawatiran itu dijelaskan dalam penjelasan atas PNPS
1965 bagian I point 2. Dituliskan di sana ”telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir
ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau
organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan
dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”.
Dalam pandangan pemerintah, kemunculan aliran-aliran tersebut
dipandang telah banyak menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah
persatuan Nasional dan menodai agama. Dan kalimat ini mungkin perlu
diperhatikan, ”...dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi-
organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan
dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini
bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan
agama-agama yang ada. Perhatikan kata-kata ”agama-agama yang ada” dalam
kalimat tersebut.
Dengan munculnya kalimat agama-agama yang ada, fungsi PNPS 1965
semakin menegaskan tentang geliat diskursus ”agama resmi” di Indonesia.
Tegasnya PNPS 1965 menjadi pertahanan sekaligus perlindungan bagi ”agama-
agama yang ada”.
Hal ini semakin jelas ketika kita membaca point 5 penjelasan PNPS 1965
Bagian I (umum). Disitu dijelaskan ”...dengan penetapan Presiden ini, tidaklah
sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggugugat hak hidup agama-agama
yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini
diundangkan”. Perhatikan pula kata ”agama-agama yang sudah diakui”. Dengan
adanya kalimat tersebut, maka semakin nyatalah tentang eksistensi agama resmi
yang ternyata tak hanya dalam tataran diskursus. Agama-agama tertentu di
Indonesia ”ada” dan juga ”diakui”, untuk menunjukkan bahwa ada agama yang
tidak diakui, ilegal alias tak memiliki dasar konstitusional yang kokoh.
Agama yang diakui, seturut yang muncul dalam PNPS 1965, sesungguhnya
juga masih berada dalam kekaburan makna. Paling tidak, ini bisa dilihat dalam
penjelasan bab I point lima yang menulis bahwa pemerintah tidak akan
mengganggugugat hak hidup agama yang sudah diakui oleh pemerintah sebelum
Penetapan Presiden ini diundangkan.
Kekaburan makna yang penulis maksud berada dalam dua level, yuridis
dan praktis-sosiologis. Dari aspek yuridis, tidak ada regulasi sebelum adanya
PNPS 1965 mengenai dasar hukum yang menunjukkan tentang agama yang
diakui (kecuali UUDS 1950 yang kemudian digugurkan oleh Dekrit Presiden 5
Juli 1959). Sementara dalam ranah praktis, agama yang diakui ini juga tidak jelas
wujudnya. Agama apa saja yang diakui itu (sebelum PNPS 1965).
Terlepas dari kekaburan makna tentang ”agama yang diakui”, ada baiknya
kita menyimak penjelasan dari beberapa pasal dalam PNPS 1965 yang kentara
menegaskan tentang ”agama resmi” ini. Dalam pasal 1 dikatakan ”Setiap orang
dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan
kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Pasal 1 menyinggung soal ”agama yang dianut”. Tentang hal ini, dalam
penjelasannya dikatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk
Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Cu (Confusius).
Eksistensi agama-agama tersebut, sesuai dengan penjelasan, karena agama-
agama itu bisa dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di
Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir
seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mendapat jaminan seperti yang
diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan
perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Setelah kalimat itu, penjelasan diteruskan dengan menyebut ”...ini tidak
berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasturian, Shinto, Thaoism
dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan
oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan
perundangan lainnya”.
Perlakuan berbeda diberikan kepada aliran kebatinan (kepercayaan) yang
dalam kacamata pemerintah dianggap bukan agama. Sehingga bagi mereka,
pemerintah mengupayakan untuk menyalurkan ke arah pandangan yang sehat
dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Analisis terhadap pasal 1 beserta penjelasannya barangkali akan semakin
mempertegas tentang hadirnya kuasa pengetahuan ihwal diskursus agama
resmi ini. Dalam pasal itu muncul kata-kata otoritatif seperti ”agama yang
dipeluk”, ”agama yang ada” dan ”agama yang diakui”. Terhadap kalimat-kalimat
yang otoritatif ini, perlu ada penjelasan lebih lanjut sesuai dengan struktur
kekuasaan pengetahuan yang ada dalam PNPS 1965 tersebut.
Pada dasarnya, semua warga negara yang beragama mendapatkan jaminan.
Tetapi jaminan tersebut, dibelahpilah menjadi ”jaminan penuh” dan ”jaminan
seadanya”. Jaminan penuh dalam pengertian bahwa agama-agama itu selain
dijamin oleh UUD juga mendapat bantuan dan perlindungan hukum dari
serangan pemahaman-pemahaman di luar mainstream. Sementara ”jaminan
seadanya” adalah kosakata untuk menggambarkan model jaminan negara tanpa
adanya pengakuan yang melindunginya.
Dengan penelusuran ini, maka diskursus agama resmi sudah menemukan
bentuknya. Agama resmi dengan demikian mencakup didalamnya Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Cu. Agama-agama ini mendapatkan fasilitas
dari negara untuk mengembangkan institusi agamanya. Sementara yang lain,
keberadaannya tidak diingkari, tetapi tidak dirangkul dalam satu strata
konstitusi yang equal. Kalau diibaratkan, agama yang enam itu adalah anak
kandung negara, sementara di luar itu adalah anak haram negara.
Ada satu pertanyaan yang sangat mendasar tentang pengakuan enam
agama sebagai agama resmi itu. Atas dasar apakah mereka digolongkan sebagai
agama resmi? Kalau jawaban untuk pertanyaan tersebut kita cari dalam PNPS
1965, maka kita tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan untuk
pertanyaan tersebut. Di sana hanya tergambar dua jawaban yang masih sangat
mengawang-awang. Pertama, agama itu diakui karena ada legitimasi historis
dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hampir
dipeluk oleh penduduk Indonesia. Pendek kata, pengakuan itu hanya
berdasarkan dua asumsi yang tidak kuat dasarnya. Atau jika hendak dikejar
lebih jauh tentang substansi dari dua alasan itu, bukankah di luar ”agama resmi”
juga telah memenuhi kedua syarat tersebut?
Beralih ke persoalan aliran kepercayaan. Dengan melihat substansi PNPS
1965, posisi aliran kepercayaan menjadi sangat lemah. Eksistensinya sama
sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk keyakinan. Mereka
dianggap sebagai gerakan keagamaan ”yang tidak sehat” sehingga harus
disembuhkan oleh negara agar kembali kepada pemahaman ”yang sehat”
tentang dimensi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada penjelasan pasal 1 PNPS 1965, ada dua sikap negara yang berbeda
terhadap agama. Pertama, terhadap enam agama, pemerintah memberikan
jaminan dan bantuan. Kedua, terhadap agama di luar enam itu, pemerintah
hanya memberikan jaminan. Sejatinya, pemerintah juga memberikan jaminan
untuk beribadah terhadap penganut aliran kebatinan, meski mereka tidak
mendapatkan fasilitas. Tetapi, yang terjadi adalah aliran tersebut justru
mendapatkan perlakuan berbeda di luar enam ”agama resmi” dan agama yang
dicontohkan dalam penjelasan pasal 1 PNPS 1965.
Catatan berikutnya mengenai PNPS 1965 bisa kita temukan dalam kata
"kegiatan keagamaan” seperti yang tertuang pada pasal 1. Dalam penjelasan
disebutkan bahwa kegiatan keagamaan dimaksudkan segala macam kegiatan
yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama,
mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok
ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu
mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya. (Penjelasan Pasal 1).
Penjelasan itu, dengan telanjang memberikan kewenangan kepada
Departemen Agama (Depag) untuk menentukan mana aliran yang layak disebut
agama dan tidak. Atau dengan kata lain, mandat yang diberikan oleh PNPS 1965
kepada Depag adalah bahwa mereka dibebankan untuk mengawasi eksistensi
agama-agama serta menjadi ”hakim teologis” mana agama dan mana yang tidak.
Ajaran seperti apa yang ”sehat” untuk membedakannya dengan yang ”sakit”.
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dengan memunculkan
diskursus ”agama resmi” ini perlu ditelusuri akar masalahnya. Hemat penulis
persoalannya adalah karena apa yang dimaksud agama tidaklah terumuskan
dengan baik. Kalau kita mengaitkan tentang klausul “agama yang dianut” dalam
PNPS 1965 dengan kenyataan yang sekarang kita alami, maka agama yang
dianut itulah yang disebut sebagai agama yang diakui. Alasan yang diajukan
seperti tertuang dalam PNPS adalah karena ada legitimasi historis (ada sejak
dulu) dan sosiologis (dipeluk hampir seluruh penduduk). Pada gilirannya, enam
agama itulah yang sekarang ini menjadi “agama resmi”. Penulis hendak
mempertanyakan kembali alasan dibalik penetapan enam agama dengan dua
alasan tersebut. Jikalau yang menjadi alasan adalah fakta historis dan sosiologis,
maka Parmalim, Kaharingan, Aluk Todollo, Sunda Wiwitan, Kejawen juga
dipeluk oleh penduduk Indonesia dan ada sebelum agama-agama yang diakui itu
hadir ke nusantara.
Rita Smith dan Susan Rodgers dalam pengantar buku “Indonesian Religions
in Transition”, menguraikan kalau the politics of agama itu memberikan
implikasi pada dua hal. Pertama, munculnya kategori orang yang belum
beragama (people who do not yet have a religion). Kedua, adanya ambiguitas
karena banyak orang yang secara formal dan adminsitratif memeluk salah satu
“agama yang diakui” tetapi juga tetap mempraktekan tradisi-tradisi lama
mereka.21
Realitas masyarakat yang plural dari sisi agama itu tentu menyisakan
persoalan jika kemudian negara menetapkan status ada masyarakat yang tak
beragama. Disini prinsip “ber-Tuhan secara sendiri-sendiri” seperti disinggung
Soekarno, tidaklah terwujud.
Pada akhirnya, negara mengikuti pemikiran Antonio Gramsci, sebagaimana
halnya aparatus pemerintahan menjadi instrumen hegemoni yang bersifat
privat.22 Dalam bagian lain Gramsci mengatakan bahwa negara adalah kompleks
dari aktivitas praktis dan teoritis dimana kelas penguasa tidak hanya menjaga
dan membenarkan dominasinya, tetapi mengolah untuk mendapatkan
persetujuan aktif dari kelompok yang berada di bawah kekuasaannya.23
21 Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition. . .21
22 Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New York: International Publishers, 1971), 261. 23 Ibid., 244
Jika dilihat dari sisi konstitusi, Indonesia bukanlah negara yang didasarkan
atas satu agama tertentu. Bahkan jaminan konstitusional terhadap hak untuk
bebas memeluk agama ini begitu banyak disinggung dalam UUD 1945. Hal
tersebut misalnya bisa dilihat antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD
1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya.
Selain dalam pasal 28 E muatan mengenai jaminan konstitusional juga
termaktub dalam pasal 28I yakni
1. ... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
2. Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(...)
3. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Naskah jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi juga bisa dilihat
dalam pasal 28J.
(...)
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Muatan lain yang ada dalam UUD 1945 soal kebebasan beragama dan
menjalan keyakinan keagamaan adalah pasal 29 yakni
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Dilihat secara normatif, pasal-pasal tersebut menjadi legitimasi yuridis
bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama mendapat jaminan. Dalam UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif
bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu
gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan:
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,
terutama pemerintah”.
Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun
1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3)
Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,
maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan
agama atau kepercayaan melalui Undang-undang. Elemen-elemen yang dapat
dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:24
Pertama, Restriction for the Protection of Publik Safety (Pembatasan untuk
Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di
publik dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan,
prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan
individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.
Kedua, Restriction for the Protection of Publik Order (Pembatasan untuk
Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan
agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan
mendaftar badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin
untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan
umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.
Ketiga, Restriction for the Protection of Publik Health (Pembatasan untuk
Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan
kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah
melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya.
Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan
petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah
penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada
ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfusi darah atau melarang
24 Lihat Siti Musdah Mulia, “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era
Reformasi”, Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008, 8-10. http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=240, diakses pada 2 Juli 2008
penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik
mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adat-istiadat tertentu di Afrika.
Keempat, Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk
Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan
agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan
kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan,
filsafat, dan sosial. Oleh karena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-
prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja.
Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-undang untuk tidak disembelih guna
kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
Kelima, Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and
Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan
Kebebasan Orang Lain)
1.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap
tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di
dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas
misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk
tidak dikonversikan.
1.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang
lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari
kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan,
persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum
minoritas.
Merujuk pada dasar-dasar di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan
beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen,
yaitu:25
1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu
atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk
memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran,
pengalamannya dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan
yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi
suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan
menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di
dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli
atau pendatang, asal-usul.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati
kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin
bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan
keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan
beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan untuk
berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu,
komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau
25 Ibid,, 10-11.
berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam
pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk
memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan
dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak
dasar orang lain.
8. Non-Derogatebility. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama
atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
Perlindungan secara legal itu sejatinya tengah mengandaikan peran negara
agar ia senantiasa menjadi payung untuk melindungi hak beragama warganya.
Hal itu dimungkinkan karena hak beragama tidak hanya merupakan hak asasi
manusia tetapi juga hak setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan
hukum.
Secara teoritis, kebebasan beragama memiliki dua pengertian, religious
freedom dan religious liberty. Keduanya biasa digunakan secara bergantian
dengan makna yang tidak berubah. Bedanya, barangkali ada pada konteksnya.
Jika religious freedom merupakan konsep yang luas, sementara religious liberty
digunakan dalam konteks yang spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik.26
Karena tidak memiliki signifikansi yang pada akhirnya akan merubah maksud
pengertian, penulis dalam karya ini akan menggunakan dua frase (religious
freedom dan liberty) tersebut dalam satu makna dan secara bergantian
digunakan.
Paul G. Kauper melihat bahwa religious liberty secara umum dipahami
sebagai salah satu aspek paling fundamental dari kebebasan sipil.27 Bagi
26 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World (Geneva: WCC Publications,
1992), 23. 27 Paul G. Kauper, “Legal Aspect of Religious Liberty” dalam George W. Forell et.al.,
Religious Liberty (New York: Board of Sosial Ministry Lutheran Church in America, 1968), 4.
Kekristenan, semua aspek dari kebebasan sipil berakar dalam sebuah fakta
bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk mengabdi kepadaNya. Dalam dunia
modern, fondasi keberagaman ini tidak hanya berlaku bagi pemeluk agama-
agama dunia tetapi juga dimaksudkan untuk menjaga kebebasan beragama bagi
penganut ”pseudo agama” seperti halnya Marxisme, Biologisme, Rasisme dan
Statisme.28
Ninan Koshy, dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi
kebebasan beragama ke dalam empat aspek.29 Pertama, kebebasan nurani
(liberty of conscience). Kedua, kebebasan mengekspresikan keyakinan
keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan
perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan
menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization).30
Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut
atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of
religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience
juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani
adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau
kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.31
Tentang kebebasan nurani, Michael Novak mengatakan:
This liberty of conscience transcends any and all political orders. Human freedom rooted in God declares that all states and all political orders are under God, limited not omnipotent. States can
28 Ibid., 5. 29 Ninan Koshy, Religious Freedom. . . 30 Empat aspek inilah yang dengan konsisten akan penulis gunakan sebagai parameter
untuk mengukur apakah ada jaminan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia. Tidak hanya dalam konstitusi dan regulasi, tetapi apakah hal itu juga terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat.
31 Ninan Koshy, Religious Freedom. . .
crush or kill human beings, but they cannot alienate them from their responsibility to God and conscience.32
Sementara Franklin I. Gamwell dalam ”The Meaning of Religious Freedom”
memaparkan bahwa kebebasan nurani inilah yang hanya bisa dipahami secara
jernih jika agama ditempatkan dalam kategori narrowly defined. Menurut
Gamwell,
Religion is the primary form of culture in terms of which the comprehensive question is explicitly asked and answered and further, so answered that human authenticity is derived from the character of reality as such. In saying this I mean that the distinction between authentic and inauthentic human activity is identified by the relation of human activity to reality as such or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood as Yahweh, Allah, ”emptiness”, or in some other way, it is understood to be the ground of human authenticity. The point may also be expressed by saying that religion, narrowly understood, so addresses the comprehensive question that ultimate reality is said to authorize human authenticity.33
Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung
mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa
diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk
meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa
berbentuk ”ketiadaan”.34
Kembali pada keterkaitan antara internal dan eksternal aspek dalam
kebebasan beragama. Inner Freedom dengan demikian memiliki status yang
sama dengan dimensi eksternalnya. Wilayah eksternal adalah manifestasi dari
dimensi internal keberagamaan yang akan bersinggungan dengan wilayah
publik. Dalam konteks ini, aspek eksternal di dalamnya mengandung bentuk
32 Michael Novak, “Religion and Liberty: From Vision to Politics” Christian Century, July
6-13, 1988. 33 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The
Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 30. 34 Ibid.
ketaatan untuk melaksanakan upacara keagamaan, termasuk asosiasi
keagamaan pemeluknya, mengekspresikan komitmen keberagamaan,
pengajaran dan penyebaran kepercayaan.35 Apa yang secara umum dipahami
sebagai kebebasan beragama juga harus dipahami sebagai kebebasan dalam
konteks manifestasi dimensi eksternal agama itu.
Jika aspek internal dari kebebasan beragama bersifat absolut, tidak
demikian halnya dengan dimensi eksternalnya yang bersifat relatif. Relativitas
sifat dari dimensi eksternal ini dipahami karena agama tidak selalu berbicara
tentang keyakinan personal. Agama juga hadir dan bersentuhan dalam wilayah
sosial serta berkaitan dengan institusi lainnya. Atas dasar ini, maka sekali lagi,
kebebasan beragama termasuk juga di dalamnya kebebasan untuk
mengekspresikannya. Karena agama, tidak hanya menyangkut keyakinan
individual, tetapi juga berarti di dalamnya adalah manifestasi atas keyakinan
tersebut.
Wilayah eksternal dari kebebasan beragama menyediakan ruang yang
cukup lapang bagi institusi agama untuk bersentuhan dengan formasi lain
kehidupan. Dengan demikian, kebebasan dalam menginstitusionalisasikan
agama juga pada akhirnya adalah sebuah teka-teki politik dimana umat
beragama juga mesti melakukan perhitungan dengan cermat tentang sebuah
strategi.
Sekadar perbandingan, pembagian aspek kebebasan beragama dijelaskan
oleh Kauper dalam ”Legal Aspects of Religious Liberty”.36 Kauper menjelaskan
tentang dua model kebebasan beragama yakni kebebasan pribadi dan
kebebasan gereja sebagai korporasi.
Kebebasan individual didalamnya memuat lima prinsip kebebasan.
Pertama, kebebasan nurani dan berkeyakinan. Kedua, kebebasan beribadah.
35 Ibid. 36 Paul G. Kauper, “Legal Aspect of Religious . . .,37.
Ketiga, kebebasan untuk menyebarkan ide-ide keberagamaan. Keempat,
kebebasan dalam hal pendidikan dan kehidupan keluarga. Kelima, kebebasan
dari agama yang disponsori negara.37
Jika Pancasila kita pahami sebagai sebuah “pengalaman personal” bangsa
Indonesia tentang pentingnya menjaga keberagaman, maka sikap terhadap
pluralisme dan kebebasan beragama, seharusnya tegas. Pluralisme merupakan
etika hidup yang hendak menjaga keragaman agar dibiarkan sebagaimana
adanya. Dalam situasi dimana perbedaan merupakan sesuatu yang harus
dibiarkan apa adanya, inilah kebebasan beragama, kebebasan menyembah
Tuhan dengan caranya masing-masing harus dijamin. Negara memiliki
tanggungjawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati
haknya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang diyakininya.
Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Teori Sekularisasi, Privatisasi dan Pasar
Dalam bab sebelumnya kita telah melihat bahwa penulis menggeser
kerangka agama sipil ke dalam diskursus religiositas sipil. Bellah menuturkan
bahwa agama sipil merupakan dimensi keagamaan yang bersifat publik (public
religious dimension). Dimensi keagamaan yang bersifat publik itu dapat kita
cermati dalam keyakinan, simbol dan ritualnya. Jika kita mencermati apa yang
oleh Bellah sampaikan tentang pengertian civil religion ini, maka tuturan tentang
ekspresi agama sipil itu sesungguhnya koheren dengan dimensi religiositas.
Religiositas dengan demikian bisa kita maknai dari dua aspek, internal dan
eksternal. Aspek internal agama bisa kita pahami sebagai religious consciousness.
Aspek eksternalnya adalah ekspresi dari apa yang diyakini itu dalam kehidupan
keseharian yang itu bisa dilihat dari pola, tindakan, tingkah laku yang sesuai
37 Ibid., 38-41
dengan apa yang mereka yakini itu. Jika dikaitkan dengan civility, maka
religiositas sipil hendak penulis maknai sebagai kesadaran bahwa kehadiran
mereka dalam satu bangsa itu harus menghargai sesamanya, menyadari adanya
identitas kebudayaan dan agama yang plural, membangun masyarakat beradab
yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan keseharian.
Meminjam kerangka Gert Pickel and Kornelia Sammet, religiositas bisa kita
dekati setidaknya dengan tiga kerangka teori yakni, teori sekularisasi,
individualisasi dan teori pasar. Setelah didekati dengan tiga teori itu, kita akan
melihat perspektif mana yang paling relevan diterapkan dalam konteks
keIndonesiaan yang khas ini.
Sekularisme, seperti yang digambarkan Harvey Cox berusaha untuk
memisahkan urusan agama dan negara. Menurut Cox, sekularisasi menjadi
semacam pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan
perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Sekularisme sendiri memiliki
koneksi dan kontestasi makna. Secara kultural, sekularisasi menggambarkan
kerangka kognisi dan normatif. Secara politik, sekularisasi merujuk pada negara
dan politik.
Konstruksi dari klasifikasi sistem “double dualist” pada masa Kekristenan
Eropa pra-modern bisa menjadi pijakan awal untuk memahami sekularisasi
kultural.38 Reformasi Protestan memainkan peran yang destruktif. Ia menolak
kesatuan (unity), kesucian (sanctity), Kekatolikan (Catholicity), dan apostolicity
dari gereja.39 Sistem Reformasi Protestan adalah salah satu dari empat
perkembangan yang saling berkaitan dalam meruntuhkan sistem klasifikasi
religious abad pertengahan. Tiga lainnya adalah pembentukan negara-negara
modern, pertumbuhan kapitalisme dan revolusi keilmuan modern.
38 Veit Bader, Secularism or Democracy?: Associational Governance of Religious Diversity
(Amsterdam University Press, 2007), 39-40. 39 Jose Casanova, Publik Religion in the Modern World, terj. (Surabaya: Eureka, 2003), 18.
Di satu sisi dunia dibedakan antara the other dan the other world. Di sisi
lain, this world dibagi ke dalam dua realitas yang heterogen, yang religious dan
yang sekuler, dan dualisme spatio-structural diinstitusionalisasi di luar
masyarakat. Pembagian ini kemudian berkembang dalam dunia politik, dengan
memisahkan agama di satu sisi dan kepentingan politik di sisi lain.
Tesis sekularisasi dalam pengertian pemisahan antara agama dan politik
serta mundurnya peran agama di ruang publik ternyata tidak terbukti. Seperti
digambarkan dalam Bab III, bahwa yang terjadi bukanlah sekularisasi, tetapi
justru desekularisasi. Munculah agama-agama “modern” yang merupakan anak
kandung modernitas.40
Fenomena mistisisme individual seperti yang disinggung oleh Ernst
Troeltsch atau The Invisible Religionnya Thomas Luckmann bisa menjadi salah
satu contoh memahami bagaimana teori kedua, yakni individualisasi atau
privatisasi. Luckmann mengatakan bahwa self-expression dan self-realization
sudah menjadi invisible religion bagi modernitas.
Mistisisme individual bisa disimak misalnya dalam uraian Rousseau,
“agama manusia…tanpa candi-candi, altar-altar atau ritual-ritual”. Bisa juga kita
menyimak kata-kata “hati saya adalah gereja saya” seperti yang pernah
diungkapkan oleh Thomas Paine dan Thomas Jefferson yang mengatakan “saya
adalah sekte bagi saya sendiri”. Kata Casanova kalimat-kalimat itu merupakan
penggambaran dari high culture. Sementara fenomena Sheilaisme seperti yang
diuraikan oleh Bellah menggambarkan budaya rendah (low culture) dari
masyarakat modern. Sheila Larson mengatakan bahwa ia adalah seorang yang
percaya pada Tuhan, tetapi bukanlah penganut agama yang fanatik. Ia tidak bisa
mengingat lagi kapan ia pergi ke gereja. Dan keimananlah yang membuat ia bisa
melangkah lebih jauh.
40 Ibid, 24.
Dengan menggunakan tiga perspektif di atas, sekularisme dalam
pengertian pemisahan yang ketat antara agama dan negara di Indonesia tidak
mendapatkan presedennya. Sejak awal Indonesia tidak mengenal pemisahan
yang tegas antara agama dan negara. Selalu ada warna agama dalam setiap
kebijakan. Meski dasar negara Indonesia adalah Pancasila (bukan agama), tetapi
sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan Pancasila ini tidak sepenuhnya
sebagai simbol yang bersifat sekuler. Ini artinya, teori sekularisasi dalam
pengertian seperti itu, tidak relevan.
Sementara teori privatisasi, merupakan gambaran seperti yang oleh Bellah
ditulis sebagai one man, one faith. Di Indonesia, watak komunalistik masih
sangat terjaga. Institutionalized religión juga masih memainkan perannya
dengan baik. Agama-agama yang terinstitusionalisasi ini cukup kuat, terutama
dalam ranah sosial-politik.
Yang paling mungkin bisa diterapkan adalah pendekatan market models of
religion. Jika Indonesia ini diibaratkan supermarket, maka agama-agama di
Indonesia bisa “mempercantik” dirinya agar memiliki daya tarik. Daya tahan
agama pada akhirnya akan sangat tergantung dari cara agama mempertahankan
eksistensinya dalam kehidupan sosial. Kendala yang dihadapi melalui model ini
adalah pragmatisme kelompok-kelompok agama. Orientasi mereka akhirnya
haruslah menyesuaikan dengan selera pasar. Tapi justru disitulah arena
kontestasinya. Meski agak dekat dengan model ini, tetapi Indonesia tidak bisa
disebut sepenuhnya bisa didekati dengan cara tersebut. Peran negara dalam
mengatur kehidupan keberagamaan masih sangat kuat.
Pertanyaannya kemudian bagaimana melakukan transformasi Pancasila
sebagai pijakan dari “semua buat semua” ke dalam konteks religiositas sipil
dengan memperhatikan tiga kerangka teoritik yang sudah dipaparkan di atas?
Yang pertama-tama harus dicermati adalah peran negara dalam kaitannya
dengan pengaturan soal kehidupan agama. Asumsi utamanya adalah bahwa di
Indonesia negara ada dan hadir dalam kehidupan keagamaan. Dalam konstitusi
ia memiliki fungsi untuk “menjamin kemerdekaan” penduduk dalam meyakini
dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Dalam perspektif Franklin Gamwell, negara dijabarkan sebagai aktifitas
sebuah pemerintahan dimana semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh
masyarakat atau komunitas yang secara eksplisit disatukan atau diatur, dan
karenanya selalu dinyatakan secara partikular. Sebagai mesin negara, politik
diberikan mandat untuk menjawab persoalan keduniaan. Sementara, agama
tidak hanya diharapkan dapat memberikan jawaban keduniaan saja tetapi juga
kehidupan lain.
Itu artinya bahwa negara tidak bisa memberikan jawaban yang
komprehensif seperti halnya agama. Kalaupun terlibat dalam pengaturan
kehidupan keagamaan, maka negara hanya mengatur lalu lintas hak warga
negaranya saja. Negara harus dalam posisi netral dari klaim-klaim formal dari
keyakinan keagamaan tertentu.
Disini memang muncul tuntutan untuk menyelesaikan status hubungan
antara negara dan agama agar bisa diperankan masing-masing sesuai dengan
tugasnya. Negara adalah komunitas bayangan yang merangkum aneka
kepentingan masyarakat. Negara didirikan atas kontrak semua kelompok
masyarakat. Hal ini merupakan gagasan etis modern tentang negara. Negara
dengan sendirinya menjadi tempat kelompok-kelompok dapat melakukan
transformasi menuju cita-cita yang diidealkan. Dari gagasan dimana negara
menjadi tempat dan mekanisme transformasi yang disepakati, dengan
sendirinya wilayah negara melahirkan entitas negara dan entitas warga. Warga
adalah pemberi mandat dan negara (dalam pengertian ini aparat-aparatnya)
adalah yang diberi mandat.
Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan pula negara agama, akan tetapi
negara Pancasila. Dalam kaitannya dengan kehidupan keberagamaan, negara
sekuler berprinsip dalam bahasanya Benyamin F. Intan, “netral-pasif”.41 Artinya,
ketika pemerintah secara netral menjamin kehidupan umat beragama dari
semua agama tanpa terkecuali, di sisi lain pemerintah tidak mendorong
perkembangannya alias bersikap pasif. Dalam negara agama, terjadi hal
sebaliknya, negara memegang prinsip “sektarian-aktif.” Artinya, hanya agama
tertentu mendapat perlakuan istimewa pemerintah. Kepada agama
bersangkutan, pemerintah bukan hanya menjamin hak kebebasan beragamanya
tapi juga secara aktif mendorong pertumbuhannya. Berbeda dari kedua prinsip
di atas, kebebasan beragama dalam negara Pancasila bersifat “netral-aktif”.
Artinya, pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari semua
agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama
tersebut dengan tanpa terkecuali.42
Luthfi Assyaukanie menggambarkan tiga model negara demokrasi yang ada
di Indonesia.43 Pertama, Negara Demokrasi Islam (NDI). Istilah “Demokrasi
Islam” merujuk pada ungkapan M. Natsir, politisi muslim terpenting di awal
abad kemerdekaan. Dengan menyebut nama Demokrasi Islam, Natsir berupaya
untuk keluar dari model teokrasi dan sekuler. NDI adalah jalan tengah untuk
tidak terjebak pada titik ekstrem itu.
Dalam ide NDI, menyimpan pesan bahwa pada dasarnya negara demokrasi
adalah negara yang baik. Demokrasi merupakan konsensus politik yang
menjamin egalitarianisme, tetapi ia harus dibatasi oleh kehendak Tuhan. Dengan
kata lain, NDI membuka lebar-lebar bagi klaim-klaim agama untuk masuk dalam
ranah publik. Ini dilandaskan pada asumsi bahwa dalam Islam, ada hal-hal yang
bersifat prinsipil dan tidak bisa diputuskan melalui jalur legislatif. Pada
gilirannya, dengan menyebut Islam dalam NDI, penyokong model ini 41 Benyamin Fleming Intan, “Rumah Ibadah dan Hegemoni Negara”, Suara Pembaruan, 1 Agustus 2009, hlm. 5
42 Ibid. 43 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011).
berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sementara
demokrasi dijadikan sebagai alat untuk memacu umat Islam agar bisa berkancah
dalam dunia sosial dan politik.
Sementara model kedua yang berkembang dalam alam pikir umat Islam
Indonesia adalah Negara Demokrasi Agama (NDA). NDA bermaksud untuk
menekankan pentingnya kehidupan pluralis di Indonesia dan menjadikan
negara sebagai pengawal semua agama.44 Model NDA lahir terutama pada masa
orde baru di bawah kekuasaan Soeharto. Pendukung NDA sadar kalau Indonesia
adalah negara yang plural. Ini sekaligus merespon NDI yang sedikit menegasikan
kenyataan itu. Dengan begitu, maka pemahaman apa pun soal isu agama dan
politik harus dibangun di atas kesadaran bahwa ia adalah negara yang plural.
Salah satu “keberhasilan” pendukung NDA adalah ketika mereka secara
meyakinkan berhasil membangun satu pembenaran teologis terhadap Pancasila.
Amin Rais dan Syafii Maarif merupakan contoh intelektual muslim yang
mendukung gagasan NDA. Bagi mereka, kehidupan politik haruslah didasari oleh
sikap religius. Agama harus menjadi dasar dari semua aspek kehidupan. Bagi
mereka yang sepakat dengan ide NDA, pelembagaan agama oleh negara
merupakan keniscayaan. Tak heran jika mereka mendukung kehadiran
Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, Peradilan Agama dan pengajaran
agama di sekolah.
Respon muslim Indonesia terhadap demokrasi yang ketiga termanifestasi
dalam ide Negara Demokrasi Liberal (NDL). Tujuan akhir dari NDL adalah
membebaskan agama dari hegemoni negara dan sekularisasi dijadikan alas
untuk menyokong demokratisasi. Gagasan fundamental yang menyokong NDL
adalah keyakinan bahwa urusan politik harus dijalankan di luar wilayah agama.
Umat Islam yang mendukung NDL menyandarkan pada fakta historis bahwa
kehadiran Nabi Muhammad adalah untuk memperbaiki akhlak, bukan
44 Ibid., 16.
mendirikan negara. Pun pula, secara filosofis Islam hadir sebagai agama etik,
bukan politik.
Menariknya, pendukung NDL adalah generasi santri yang memiliki
pengetahuan yang sangat memadai dalam kajian keislaman. Sebut saja nama
Nurcholis Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid. Dengan kata lain,
mereka inilah cerminan potret “santri liberal”.
Secara prinsipil, pendukung NDL dan NDA memiliki banyak kesamaan
gagasan pokok. Mereka misalnya berbicara tentang finalitas dasar negara
Pancasila. Dua kelompok itu juga tak lagi berbicara tentang formalisasi syariat
Islam. Tetapi, keduanya berbeda dalam hal, sejauhmana negara dapat turut
campur dalam urusan agama. Jika kita hadirkan debat tentang UU No. 1 PNPS
1965 soal penodaan agama, maka kita dapat meraba bagaimana dua kelompok
itu menanggapinya. Bagi kelompok NDA, UU itu pasti masih dirasa perlu karena
dapat “melindungi” agama dari pelbagai “penodaan”. Sementara, Abdurrahman
Wahid, salah satu pengusul judicial review UU tersebut, menganggap aturan itu
justru pada perkembangannya membatasi kebebasan berkeyakinan dengan
status sebagai “penoda agama”.
Harus diakui bahwa kehidupan politik kontemporer umat Islam Indonesia,
bukanlah diwarnai oleh kelompok NDL. Tetapi, jangan lupa bahwa sekarang ide
liberalisasi, sekularisasi dan demokratisasi semakin hari semakin menunjukkan
kemajuan. Padahal, wacana pluralisme, sekularisme dan liberalisme, adalah bete
noire (hal yang dibenci) bagi kebanyakan umat Islam pada 40-50 tahun yang
lalu.45 Kini, diskusi tentang tema-tema itu menjadi sangat menarik, karena
sarjana muslim mencoba untuk membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada
pertentangan antara Islam dengan Barat, Demokrasi, Modernitas dan
Globalisasi. Karena itu, sejarah di Indonesia, tidak hanya perluasan peradaban
45 Ibid., 295.
santri seperti diungkapkan oleh Benda46 tetapi juga adalah perluasan peradaban
santri liberal dan progresif seperti halnya Abdurahman Wahid.
Yudi Latif menggambarkan hubungan agama dan negara di Indonesia yang
bukan teokratis dan bukan sekuler itu sebagai “diferensiasi”.47 Konsep itu
merupakan jalan tengah antara fusi atau penyatuan dan separasi atau
pemisahan. Dalam perannya sebagai diferensiasi, maka institusi agama dan
negara bisa mengoptimalkan perannya dalam usaha pengembangan dan
penyehatan kehidupan publik.48
Meski di Indonesia umat Islam adalah mayoritas, tetapi di Indonesia tidak
akan pernah terjadi islamisasi total seperti yang digaungkan oleh
fundamentalisme religius radikal, atau sekularisasi (juga liberalisasi) secara
total seperti yang digemakan oleh para sekularis ultra nasionalis radikal.49
Tanggapan umat Islam dalam satu negara muslim dan bahkan tanggapan satu
komunitas muslim bisa sangat beragam terhadap islamisasi, liberalisasi ataupun
sekularisasi, termasuk Indonesia yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan
belahan negara muslim lain.
Teori sekularisasi seperti yang disitir di atas, menyatakan bahwa
modernisasi akan melemahkan ajaran agama, karena ia menyebabkan
pandangan yang lebih rasional begitu dominan dipegang oleh masyarakat.
Disinilah awal mula agama mengalamai alienasi. Dengan begitu, sektor-sektor
masyarakat dan budaya tidak lagi didominasi oleh lembaga-lembaga serta
simbol religius. Tetapi tidak demikian yang terjadi di Indonesia (dan negara-
negara yang mengalami keadaan serupa). Proyek modernisme yang diikuti oleh
46 Ibid., 296.
47 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2011, 111. 48 Ibid., 112. 49 Idem., Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), xvi.
perkembangan paham liberalisme justru memunculkan para santri baru,
terutama di kampus-kampus sekuler.
Fenomena inilah yang penting untuk dibaca dalam memahami realitas
keberagamaan masyarakat Indonesia, yang harus dibedakan dengan
perkembangan masyarakat barat. Meski liberalisme berkembang dalam
landscape pemikiran keagamaan umat Islam Indonesia, tetapi yang terjadi di
Indonesia adalah pembedaan apa yang sakral dan profan, bukan pemisahan. Dan
bahkan dalam waktu yang sama liberalisme diikuti dengan menyeruaknya
fenomena dan jargon-jargon islamisasi yang menyebabkan Indonesia semakin
terlihat “saleh”.
Dalam ranah tersebut, transformasi Pancasila dibutuhkan dalam upaya
mengembangkan religiositas sipil. Seperti digambarkan di atas, religiositas sipil
di Indonesia merupakan pengejawantahan dari prinsip Pancasila yang ada
dalam lingkaran filosofi “semua buat semua”. Penghargaan terhadap
kemajemukan merupakan kondisi yang hadir bersamaan dengan Pancasila itu
sendiri. Jika dalam pengertian Gamwellian, negara beserta simbol-simbolnya
harus terbebas dari klaim-klaim konfesional agama tertentu, lalu bagaimana
dengan Pancasila? Apakah Pancasila sudah merupakan simbol yang “netral
agama”?
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk
keunikan religiositas bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menyatakan bahwa
mereka bersama-sama meyakini adanya kekuatan adikodrati yang disebut
Tuhan Yang Maha Kuasa sifat Ketuhanannya, Maha Esa. Tetapi sesungguhnya,
bersamaan dengan kekhasannya, sila ini mengandung anasir-anasir yang lebih
dekat dengan agama-agama dunia. Sementara, agama-agama suku atau agama
yang berkembang di lokus yang terbatas, konsep teologi seperti ini belum tentu
bisa ditemukan. Ini artinya, Pancasila tidak bisa diklaim sebagai simbol netral
agama.
Agama-agama lokal pada gilirannya tidak semata-mata merujuk pada satu
kultur atau moralitas tertentu yang tertanam dalam sebuah masyarakat. Karena
pada hakikatnya, tradisi, kata Giddens, terkait dengan memori terutama dengan
apa yang disebut sebagai “memori kolektif”.50 Tradisi melibatkan ritual, terkait
dengan apa yang disebut sebagai gagasan kebenaran formulatif; tradisi memiliki
penjaga dan tidak seperti adat-istiadat, mereka memiliki kekuatan pengikat yang
merupakan kombinasi moral dan emosi.
Memori, seperti tradisi adalah mengorganisasi masa lalu dalam kaitannya
dengan masa sekarang. Ada jejak-jejak tertulis dalam otak yang memungkinkan
keadaan ini diangkat ke tingkat kesadaran. Dari sudut pandang ini, masa lalu
jatuh ke dalam puing-puing, tetapi akan muncul kembali, karena ia terus ada di
bawah sadar.51
Istilah tradisi lokal juga kerap dikaitkan dengan masalah kearifan lokal
atau local wisdom.52 Ide ini merupakan konsep yang ada di bawah ideologi
tentang keberagaman, pluralisme atau multikulturalisme. Mereka tidak
mempercayai kesatuan tetapi keberagaman. Kesatuan membuat identitas hilang
dari setiap individu manusia ke dalam satu pemikiran atau kehidupan yang
tunggal. Istilah kearifan lokal memiliki makna yang sangat mendalam.
Komunitas agama lokal kerap menjawab tantangan kehidupan yang semakin
sophisticed ini dengan kearifan atau kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan
tersebut bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah
menjadikannya sebagai jawaban dan solusi.
Kearifan lokal menjadi cara yang paling tepat untuk mengembalikan nilai
dan moralitas sebagai pokok pengetahuan. Yang khas dari pandangan ini adalah
nilai dan moralitas itu tidak dicari melalui deduksi etika (misalnya dengan
50 Anthony Giddens, Living in Post-Traditional Society, terj., “Masyarakat Post-Tradisional”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 19
51 Ibid. 52 Jurnal Perempuan, 57, 2008, 129-130.
memeriksa asumsi suatu ajaran tentang yang baik dan yang buruk, larangan dan
suruhan, atau dengan mencarinya dalam realitas peristiwa yang sedang
dihadapi.53 Kearifan lokal mendasarkan kebenaran pengetahuannya pada
ajaran-ajaran tradisional yang sudah jadi, dan hampir tidak mempersoalan lagi
kandungan politik ajaran-ajaran tradisional itu.
Sebagai momentum dari “pengalaman personal” bangsa Indonesia yang
hendak menjaga keragaman agama, maka Pancasila tentu saja harus bisa
mewadahi pelbagai kelompok keyakinan keagamaan ini. Jika tidak bisa
memerankan fungsi demikian, maka Pancasila sulit untuk menjadi inspirasi bagi
proses transformasi religiositas sipil.
Jawaban untuk pertanyaan ini sesungguhnya sama dengan apa yang
dipaparkan di bagian Sub Bab sebelumnya. Pemahaman terhadap Pancasila
haruslah bersifat holistik. Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh.
Pengejawantahan prinsip-prinsip beragama harus juga memperhatikan aspek
kemanusiaan, keadilan, demokrasi dan persatuan nasional. Inilah sesungguhnya
hakikat dari apa yang oleh Cobb sebut sebagai transformasi itu. Ajaran agama
apapun harus memperhatikan konteks dimana ia hidup dan berkembang.
Religiositas sipil dalam konteks Indonesia merupakan satu bentuk kesadaran
sekaligus mengejawantahkan prinsip peniadaan “egoisme agama”.
Pancasila Sebagai Kekuatan Integratif: Peluang dan Tantangan
Paul Ricoeur menegaskan tentang fungsi ideologi sebagai distorsi,
legitimasi kekuasaan dan integrasi. Dalam kerangka penulisan karya ini, penulis
sejak awal menempatkan Pancasila tidak sebagai ideologi, tetapi ”milestone”
bagi bangsa Indonesia dalam menghargai dan merawat keragaman. Namun,
53 Ibid., 69-70.
kerangka ideologi sebagai kekuatan integratif akan penulis gunakan untuk
menjabarkan Pancasila dalam fungsi integratifnya.
Menarasikan Pancasila tidak sekadar menceritakan keunggulan dan
kesaktiannya. Meminjam Ricouer, Pancasila pada akhirnya akan menjadi
identitas naratif bagi bangsa Indonesia. Identitas naratif memberikan gambaran
bahwa identitas yang melekat pada diri kita tidak mungkin ada tanpa orang lain.
Identitas kita terbentuk dari sebuah proses dialektika dengan identitas-identitas
yang lainnya. Itulah yang diusahakan oleh Soekarno ketika memunculkan
Pancasila. Pancasila tidak mungkin bisa hadir seorang diri tanpa dialektikanya
dengan Islamisme, Kapitalisme, Komunisme dan yang lainnya.
Kata Ramage, Pancasila konstruktif bagi warga negara Indonesia untuk
membangun sebuah bangsa yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti
etnisitas, agama, dan toleransi serta keadilan sosial. Lanjut Rammage, “this is
Pancasila at the level of “intention”.54 Pancasila dalam pengertian intensi ini
dimaksudkan sebagai formula yang merepresentasikan ide tentang negara
Indonesia.
Di sisi lain, kata Ramage, sanggahan atau kontensi atas makna Pancasila
sebagai ide dominan negara menjadi bagian dari masalah akut dalam diskursus
politik kontemporer.55 Pancasila juga menjabarkan fungsi dasar dari setiap
ideologi itu untuk melegitimasi kekuasaannya. Di tahun 1990an, Pancasila juga
digunakan untuk aktor-aktor non negara sebagai objek perlawanan terhadap
negara.56
Persoalan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam transformasi
Pancasila ke dalam konteks religiositas sipil adalah semangat fundamentalisme
dan eksklusivisme, terutama yang datang dari kelompok agama. Sesungguhnya
54 Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (Taylor & Francis e-Library, 2005), 123. 55 Ibid., 123-24. 56 Ibid., 124.
gejala ini tidak semata-mata khas Indonesia, tetapi juga di belahan dunia
lainnya. Gelombang ini berjalan berbarengan dengan era demokratisasi.
John L. Esposito dan John O. Voll mengatakan, religious resurgence and
democratization are two of most important development of the final decades of the
twentieth century. 57 Esposito dan John O Voll, mengungkapkan bahwa dua term
tersebut, sedang menjadi trend dalam pemikiran dan gerakan keagamaan,
khususnya di dunia Islam. Kebangkitan gerakan Islam dalam usahanya
merealisasikan daulah Islamiyyah sepertinya menjadi tuntutan yang tak pernah
mati.
Selain wacana kebangkitan gerakan Islam, isu mengenai demokratisasi
seperti yang diungkapkan oleh Esposito dan O Voll, juga tak kalah gencar.
Bahkan tak jarang dua diskursus tersebut harus saling berkonfrontasi. Diskursus
kebangkitan gerakan fundamentalis lengkap dengan karakter yang cenderung
eksklusif, ternyata mempunyai peluang untuk menjadi pesaing bagi gerakan
demokratisasi yang menghendaki adanya keterbukaan berpendapat.
Di Indonesia, kelompok dengan kecenderungan seperti disebut di atas ini
sangat lihai dalam memainkan media sebagai alat untuk mengkampanyekan
wacana yang diusungnya. Beberapa media yang kerap menjadi alat propaganda
adalah Media Dakwah yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia
57 Kalimat ini merupakan awal dari bab pendahuluan yang ditulis oleh John L Esposito
dan John O Voll. Di satu sisi , menurut dua Islamis ini, fenomena kebangkitan gerakan keagamaan ini mempunyai persenyawaan dengan upaya penguatan terhadap sistem politik demokratis. Namun disisi lain, dua hal tersebut (demokrasi dan religious resurgence) sangat membuka peluang timbulnya konflik. Di dunia Muslim, isu-isu ini diangkat dengan menggunakan kekuatan yang terbilang istimewa, karena didukung oleh semakin kuatnya kebangkitan gerakan Islam dan kuatnya tuntutan masyarkat muslim untuk berpartisipasi lebih besar dalam proses politik. Sehingga tingkat partisipasi masyarakat muslim, terutama dalam momen-momen kenegaraan seperti halnya sirkulasi elit, cukup besar. John L Esposito dan John O Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 3.
(DDII). DDII didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 di Jakarta oleh Muhammad
Natsir dan keluarga besar Bulang Bintang.58
Perjuangan DDII selama empat dasawarsa terakhir konsisten dalam usaha
membentengi aqidah umat dari kontaminasi ajaran dan aliran di luar Islam yaitu
(1) menentang usaha sekularisasi Islam, (2) menghadang gerak laju kristenisasi
yang begitu ofensif (3) menghadang aliran-aliran sesat.59
Robert Hefner menyebut DDII sebagai Islam Antiliberal. Penilaian ini
terkait dengan keberatan DDII terhadap bias liberal di lingkungan IAIN dan
Departemen Agama.60 Terutama berkaitan dengan pengiriman sarjana ke
Universitas Amerika dan Eropa yang pada gilirannya melahirkan lulusan yang
terlalu toleran, humanistik dan liberal secara teologis seperti Nurcholis Madjid
dan Harun Nasution.
Transformasi Pancasila ke dalam kehidupan religiositas sipil akan selalu
diwarnai dengan fenomena eksklusivisme beragama seperti di atas. Disitulah
fungsi integratif dari Pancasila dipertaruhkan. Bagaimana Pancasila yang
menjadi “milestone” pluralitas bangsa Indonesia. Bisakah ia cukup ampuh
sebagai alarm yang mengingatkan ihwal kesepakatan untuk hidup bersama
dalam bingkai kemajemukan?
Tantangan terhadap agama sipil di Indoensia memang datang
bergelombang. Pada masa Soekarno, Pancasila dijadikannya sebagai “civil
religious legitimation” bagi Demokrasi Terpimpin yang ia jalankan.61 Pancasila
(juga Undang-undang Dasar 1945) menjadi teks suci, melegitimasi kekuasaan
dalam bentuk Ketuhanan Yang Maha Esa, seorang pemimpin yang berkharisma,
seperangkat konsep dan simbol-simbol yang signifikan (seperti Gotong Royong,
58 Muhammad Ali, Islam Muda: Liberal, Post-Puritan, Post Tradisional (Yogyakarta: Apeiron Philotes, 2006), 75. 59 Majalah Dakwah, September 2001. 60 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam and Democratization in Indonesia, (terj). Ahmad Baso. (Jakarta: ISAI, 2000), 196. 61 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority . . . , 89.
Revolusi) dan ritual peringatan dan retorika simbolik di seputar peringatan hari-
hari kenegaraan untuk melanjutkan Revolusi Indonesia dan menjaga negara
Pancasila.62
Purdy menelaah agama sipil pada era orde lama dan orde baru dari tiga
fungsinya; Integratif, Legitimasi dan Profetik. Di era orde lama, Pancasila,
Nasakom, Manipol-USDEK, dan simbol-simbol religio-politik tidak mampu
menjadi menyatukan keragaman bangsa Indonesia di bawah satu cara pandang
yang terintegrasi.63 Meski harus diakui bahwa Soekarno adalah (meminjam
bahasa Herbert Feith) seorang “solidarity makers”.
Di fase orde lama, agama sipil tidak bisa menjadi legitimasi saat terjadi
konflik, keragaman atau saat muncul ancaman terhadap negara. Krisis legitimasi
begitu terlihat di era ini. Agama sipil menjadi fenomena “episodik”. Apa yang
dilakukan Soekarno ketika memberikan pidato di Hari Kemerdekaan, meski
tidak ilmiah dan impresionistik, dan peringatan-peringatan selama periode
1964-1965 merupakan sejumlah kekuatan besar bagi legitimasi agama sipil saat
terjadi krisis di level politik. Agama sipil bukanlah institusi permanen yang
menyeluruh,bangun tapi fenomena episodik, datang dan pergi, kembali surut
setelah melakukan sebuah performa.64 Purdy melanjutkan, agama sipil menjadi
sebentuk “inauthentic rhetoric”, saat makna dari simbol nasional, ritual dan
bahasa di level politik kemudian dimanipulasi untuk kepentingan pribadi.65
Pemerintah orde baru berusaha untuk menciptakan sistem makna tunggal
atau sejenis “sacred canopy” (bahasanya Berger) yang dijadikan sebagai dasar
membangun kohesivitas sosial. Pemerintah kemudian menciptakan elemen-
elemen keagamaan sipil yang universal dari negara Pancasila.
62 Ibid., 162 63 Ibid., 182. 64 Ibid., 183-184. 65 Purdy meminjam istilah “Inauthentic Rethoric” ini dari Leo Pfeffer. Lihat dalam Ibid., 185.
Melanjutkan apa yang dilakukan Soekarno, Soeharto juga memberikan
gelar pahlawan. Ada pahlawan kemerdekaan nasional (PKN), pahlawan nasional
(PN), pahlawan proklamator (PP) atau pahlawan revolusi (PR). Ada juga
pahlawan emansipasi wanita yang secara kultural, dilekatkan pada figur RA.
Kartini. Ketika nama-nama itu telah dikenalkan, maka bangsa Indonesia
diakrabkan dengan sejarah perjuangannya, kontribusi bagi revolusi, senjata
yang digunakan, balatentara dan strategi perang serta pernak-pernik lainnya.
Terhadap kegigihan mereka, 10 November kemudian dijadikan sebagai hari
untuk memeringati jasa-jasanya. Dibuatlah pula tempat penguburan khusus bagi
para pahlawan di Kalibata, Jakarta.
Juga ada apel kehormatan yang dilaksanakan pada malam hari di taman
makam pahlawan. Ritual ini biasanya dilakukan oleh unit angkatan bersenjata,
kelompok pekerja, pegawai atau pramuka. Disamping itu mengheningkan cipta
juga kerapkali menyelimuti dan mewarnai upacara pada hari pahlawan, hari
kemerdekaan 17 Agustus, dan upacara kenegaraan.
Ritus lain bagi para pahlawan juga bisa kita temukan dalam kegiatan ziarah
ke taman makam pahlawan. Dua pemimpin pertama bangsa ini, Soekarno dan
Soeharto tidak pernah melewatkan momen ini, meski ada perbedaan dalam
aksentuasinya. Pemimpin-pemimpin negara tidak pernah alpa untuk
mengunjungi taman makam pahlawan meski sekadar untuk memberi
penghormatan dan menabur bunga. Ritus yang juga tidak boleh kita lewatkan
dalam mengingat pahlawan adalah napak tilas. Akhir tahun 70-an, napak tilas
mulai diperkenalkan untuk menghubungkan dua rute bersejarah.66 Tahun 1977
ada kegiatan napak tilas yang diadakan dengan rute dari makam MH Tamrin
menuju Taman Makam Pahlawan Nasional di Kalibata. Kegiatan napak tilas juga
difungsikan sebagai upaya untuk membangkitkan episode sejarah masa lalu
66 Klaus H. Schreiner, “Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional: Dari Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru, 1959-1993”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 411.
dalam kehidupan saat ini. Taruhlah misalnya kegiatan napak tilas rute gerilya
Jenderal Sudirman di Jawa Tengah.
Di luar ritus-ritus tersebut, taman makam pahlawan tak dikenal di Kalibata,
tiba-tiba menjadi sentra dari segala bentuk peringatan terhadap jasa pahlawan.
Taman makam pahlawan Kalibata yang diresmikan tanggal 10 November 1974
itu menjadi sentrum dari ritual pada hari pahlawan. Dalam peresmian yang
dihadiri oleh Presiden Soeharto itu juga dilakukan oleh pemakaman kembali
tulang belulang jasad pejuang pemudi dari Surabaya yang terbunuh pada hari
pertama pertempuran dan dimakamkan di Surabaya.
Orde baru juga membentengi Pancasila agar tetap terjaga kesuciannya.
Kata “Kesaktian” menjadi alat untuk melawan segala bentuk disharmoni yang
datang dari ideologi-ideologi pesaing. Sama halnya ketika berada pada masa
Soekarno, di era Soeharto agama sipil juga tampil sebagai sebuah episodik. Pada
masa kepemimpinan Soekarno misalnya. Pancasila menjadi teriakan
kemerdekaan di tahun 1945; tahun 1950 jadi proposal Soekarno untuuk
Demokrasi Konstitusional; pada 1957 Pancasila dijadikan sebagai pemandu
untuk Demokrasi Terpimpin dan hingga tahun 1965 Pancasila jadi jiwa
NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis).
Orde baru kemudian menilai apa yang dilakukan Soekarno ini sebagai
sebuah penyelewengan. Soeharto melihat bahwa ideologi Nasakom seperti yang
digaungkan Soekarno dulu itu adalah kecelakaan. Pancasila menjadi tidak lagi
murni karena ia berubah menjadi Nasakom. Maka dari itu Soeharto mengajak
kepada bangsa Indonesia agar merumuskan Pancasila secara sederhana dan
jelas untuk digunakan sebagai pedoman hidup manusia Pancasila. Kata
Soeharto, “Jangan terulang lagi misalnya, Pancasila lalu berubah menjadi
“nasakom” yang membawa bencana itu. Ajakan saya adalah agar kita bersama-
sama memikirkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam segala segi
kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari.67
Susan Shelden Purdy menyebut bahwa di era orde baru, agama sipil tampil
sebagai sebuah episodik pada kurun 1978. Terjadi protes yang meningkat
terhadap kebijakan pemerintah, penetapan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan terhadap Pancasila (P4) dan lain-lain. Pancasila tidak bisa menjadi
sebuah ideologi pemersatu yang diterima secara universal seperti halnya
disinggung dalam literatur civil religion; collective consciousness (Durkheim),
sacred canopy (Berger) atau meaningful set of ultimate values on which the
morality of a society can be based (Bellah).68 Purdy kemudian menarik
kesimpulan bahwa pengalaman Indonesia (era orde lama dan orde baru)
menunjukan kalau civil religion selain menyediakan fungsi integratif bagi sebuah
bangsa yang plural, pada saat yang sama juga disfungsional, juga berkontribusi
kepada tingginya perpecahan kelompok.
Jika di dua fase awal kehidupan politik bangsa Indonesia, masalah utama
yang muncul adalah soal makro (baca: ideologi), setelah 1998 problemnya tidak
hanya soal makro tetapi juga mikro. Selain ada gugatan terhadap dasar negara,
tetapi juga muncul isu-isu lain yang lebih detail. Sebut saja misalnya penerapan
standar moral satu kelompok bagi kehidupan publik, keharusan lulus membaca
dan menulis ayat suci, hubungan antar dan intern umat agama dan lain-lainnya.
Penulis mengidentifikasi empat tantangan kehidupan keberagamaan di
Indonesia merujuk pada literatur civil religion seperti yang dipaparkan di atas.69
Pertama, individualisme atau the religion of man dalam bahasanya Rousseau.
Memang agak sulit menemukan fenomena ini di Indonesia. Nyaris tidak ada
67 Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS-Yayasan Proklamasi, 1976), 5-6.
68 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority . . . , 390. 69 Dua masalah pertama merupakan alasan kenapa Rousseau mengusulkan harus ada
“agama sipil” sementara dua masalah berikutnya adalah tipe agama sipil yang berpotensi memunculkan pelbagai problem seperti yang diurai oleh Coleman.
ruang yang betul-betul bersih dari warna agama. Tapi Rousseau mungkin
bermaksud untuk mengatakan bahwa agama yang semata-mata dipraktekan
untuk kepentingan individu, tidak akan memiliki signifikansi dalam membangun
soliditas sosial. Sebentuk kesalehan individual yang abai terhadap realitas sosial
di sekelilingnya.
Kedua, ide untuk membangun negara agama. Ini juga masalah yang
membuat Rousseau mengusulkan agama sipil. Di Indonesia, pasca reformasi
gaung kelompok-kelompok yang menghendaki Islam sebagai dasar negara
semakin kencang terasa. Phillip Wogaman cukup keras menentang model ini. Ia
menyebut bahwa penganut model ini tengah berilusi.70 Beberapa masalah yang
muncul dalam negara teokratis ada pada aspek praktis dan juga politis. Agama
dalam negara teokratis pada akhirnya digunakan untuk kepentingan politis.
Problem praktis menunjukan bahwa di negara teokrasi akan sangat sulit
membedakan pernyataan iman yang benar-benar tulus dan tidak, dimana
institusi agama memiliki kekuatan dominan.
Isu yang terutama dalam negara teokratis adalah masalah teologis.
Teokrasi hadir dalam satu bentuk pengandaian bahwa kebenaran dapat
diketahui untuk membuat pembedaan antara mereka yang benar dan tidak.
Yang pertama, tentu harus diakui keberadaannya oleh pemerintah, yang kedua,
secara legal tidak memiliki kekuatan. Ilusi yang dimaksudkan dalam sistem
pemerintahan ini adalah bahwa hanya Tuhan, jika Tuhan adalah pusat
transendensi dan sumber kehidupan, maka Ia tidak akan pernah diketahui oleh
siapapun.
Ketiga, church-sponsored civil religion. Ini tipe agama sipil dari kategori
seperti yang diintrodusir oleh Coleman. Penulis sedikit bereksperimentasi untuk
menunjukan agama sipil yang disponsori oleh gereja (baca: agama) di Indonesia.
70 J Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000), 253.
Agama sipil tipe ini adalah sebentuk model keberagamaan yang datang dari satu
kelompok keagamaan tertentu dan kemudian dijadikan sebagai “agama sipil”
bagi masyarakat yang lebih luas. Menjadikan Islam sebagai agama sipil bangsa
Indonesia adalah konkretnya. Mereka yang mendukung ide ini, salah satunya
adalah kelompok yang (meminjam kategorisasinya Luthfi Assyaukanie),
menyerukan Negara Demokrasi Islam (NDI).71 Dalam ide NDI, menyimpan pesan
bahwa pada dasarnya negara demokrasi adalah negara yang baik. Demokrasi
merupakan konsensus politik yang menjamin egalitarianisme, tetapi ia harus
dibatasi oleh kehendak Tuhan. Dengan kata lain, NDI membuka lebar-lebar bagi
klaim-klaim agama untuk masuk dalam ranah publik. Ini dilandaskan pada
asumsi bahwa dalam Islam, ada hal-hal yang bersifat prinsipil dan tidak bisa
diputuskan melalui jalur legislatif. Pada gilirannya, dengan menyebut Islam
dalam NDI, penyokong model ini berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Sementara demokrasi dijadikan sebagai alat untuk memacu umat
Islam agar bisa berkancah dalam dunia sosial dan politik. Seperti diungkapkan
oleh Coleman, ada persoalan dengan tipe ini, terutama dengan hak-hak
kelompok minoritas.
Keempat, state-sponsored civil religion. Dalam tipe ini, seperti yang diurai
Coleman, negaralah yang memaksakan bentuk “keagamaan” dalam kehidupan
bernegaranya. Kalau masalah keagamaan ini diperlebar tidak hanya dalam soal
agama (dalam pengertian konvensional), maka Pancasila di era orde baru adalah
sebentuk agama sipil yang disponsori oleh negara. Pancasila dibingkai oleh satu
konsepsi bahwa kekuasaan (seperti yang dipahami dalam masyarakat Jawa)
haruslah bersifat terpusat. Seperti digambarkan Bennedict Anderson, bahwa
kekuasaan dalam konsepsi Jawa bersifat terpusat, monopolistik, yang karenanya
71 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia...
tidak mengenal pembagian kekuasaan.72 Kekuasaan juga berkaitan dengan
kehalusan. Semangat halus dalam konteks ini adalah bahwa ia bisa menguasai
diri, elegan, perasa, menghormati dan tepa selira. Dengan konsepsi seperti itu,
maka kekuasaan termanifestasikan dalam persatuan dan kesatuan. Konsepsi ini
merupakan perlambang keberhasilan sebuah kekuasaan.
Di Indonesia, agama sipil ternyata tidak selalu bisa memerankan diri untuk
memainkan fungsi integrasi, legitimasi ataupun profetiknya seperti yang dibaca
dalam tulisan-tulisan mengenai agama sipil. Pancasila, pada dua fase awal
pemerintah Indonesia hanya berjalan sebagai episodik semata. Nyatanya, dalam
masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, agama sipil tidak selalu
bisa memainkan perannya untuk menyediakan sistem makna yang disepakati
secara bersama-sama dimana kehidupan masyarakat bisa dibangun di atasnya.
Tetapi apakah itu artinya konsep mengenai civil religion, secara sosiologis, tidak
lagi memiliki dayaguna?
Arah kajian civil religion, mungkin harus diperluas; tak hanya dari
perspektif Rousseau tapi juga Durkheim. Pendek kata, menjadikan agama sipil
sebagai fenomena kebudayaan tidak hanya semata-mata fenomena politik.
Agama sipil tidak hanya soal ritus dan simbol-simbol negara, tapi juga tentang
kekayaan kebudayaan yang menjadi agama sipil untuk konteksnya masing-
masing. Meski tentu saja bukan berarti hal ini bisa menyelesaikan tensi antara
nasionalitas-primordialitas, atau religio-political problem, seperti diungkap
Bellah.
Dalam mengatasi persoalan ini, ada dua agen yang sangat berperan dalam
proses transformasi Pancasila ke dalam religiositas sipil bangsa Indonesia. Dua
72 Ben Anderson menggambarkan setidaknya empat karakter yang mendasari konsep kekuasaan itu, yaitu kekuasaan yang bersifat konkret, homogen, konstan dalam kuantitas yang total, serta tak perlu pengabsahan Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Cornell University Press, 1990), 22-23.
komponen utama yang memegang peranan penting itu adalah masyarakat sipil
dan pemerintah plus aparatusnya.
Penyakit yang menjangkit di masyarakat dalam hal toleransi salah satunya
adalah sikap toleransi yang setengah hati. Dalam satu waktu mereka begitu
sangat toleran terhadap penganut agama lain, tetapi intoleran terhadap
denominasi lain dalam satu agama. Toleransi karenanya harus berjalan di dua
level, internal dan eksternal. Penganut sebuah agama tidak hanya bertenggang
rasa dengan pemeluk agama lain, tetapi juga dapat hidup berdampingan dengan
mereka yang berbeda madzhab. Inilah mungkin yang disebut sebagai toleransi
ganda (double toleration).
Harapan yang tinggi dibebankan salah satunya kepada kelompok pro
pluralisme. Tugas kelompok ini tidak hanya sekadar membumikan pluralisme
sebagai living ethic tetapi juga mencermati perkembangan yang terjadi di akar
rumput. Sehingga, tidak hanya persoalan intoleransi dan kekerasan yang
menjadi bahan sorotan tetapi juga kerukunan dan pemerintah yang menjamin
kehidupan kebebasan beragama warganya juga perlu diberi apresiasi. Selama ini
ada kesan bahwa kegiatan monitoring terhadap kehidupan keagamaan berhenti
pada proses dokumentasi terhadap fakta-fakta intoleransi. Sementara
kemajuan-kemajuan dalam kehidupan keberagamaannya tidak terlalu mendapat
perhatian.
Yang sudah pasti harus berbenah diri tentu saja pemerintah. Meski bukan
satu-satunya faktor, tetapi salah satu masalah yang kerap muncul dalam segala
bentuk intoleransi keagamaan adalah kurang tegasnya pemerintah.
Ketidaktegasan ini yang kemudian memunculkan hadirnya milisi-milisi sipil
yang kerap mengambil peran aparatus negara. Penegakan hukum akan menjadi
tinanda bagi masyarakat bahwa pemerintah ada dan menjalankan fungsinya.
Disini, sistem pendidikan juga memegang peranan penting. Pendidikan
harus menjadi basis bagi tersemainya benih-benih toleransi. Sikap untuk
menenggang beda, harus ditanamkan sejak dini. Sehingga penghargaan terhadap
perbedaan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.
Secara filosofis, pendidikan agama yang diajarkan di pelbagai level
pendidikan mestinya harus dibingkai oleh satu semangat yang melandasi
kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan kata lain, pendidikan agama
haruslah berada dalam bingkai keindonesiaan. Disini, maka pendidikan
Pancasila haruslah menjadi variabel penting lainnya. Pendidikan agama yang
diajarkan di lingkungan pendidikan, haruslah berada dalam bingkai pendidikan
Pancasila. Ini harus berjalan secara konsisten mulai dari sekolah hingga
perguruan tinggi.
Disinilah pendidikan agama yang inklusif-pluralis bisa diterima.
Pendidikan agama yang mengajarkan tentang sistem keyakinan agama yang
mendasar, perlu juga dibarengi dengan mengenalkan bahwa agama yang kita
peluk itu hanyalah satu dari sekian banyak keyakinan yang ada di Indonesia.
Karena keyakinan yang banyak itu perlu dipahami sebagai satu kesatuan yang
integral, maka perlu dikembangkan sikap saling menghormati diantara mereka
yang berbeda agama dan keyakinan. Dengan begitu, maka pendidikan agama
yang hadir di lingkungan institusi pendidikan, tentu saja sangat kontributif bagi
pengembangan wawasan keindonesiaan yang menjunjung tinggi pluralitas atau
kemajemukan.