teori moral development lawrence kohlberg dalam...

92
TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Disusun Oleh : Khairunnisa NIM.11150110000007 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019

Upload: others

Post on 15-Feb-2020

32 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Disusun Oleh :

Khairunnisa

NIM.11150110000007

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019

KEMENTERIAN

AGAMA FORM (FR)

No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

FITK No. Revisi: : 01

Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Khairunnisa

Tempat/Tgl.Lahir : Bekasi, 2 Oktober 1997

NIM : 11150110000007

Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam

Perspektif Pendidikan Islami

Dosen Pembimbing : Yudhi Munadi, M.Ag

NIP. 19701203 199803 1 003

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya

sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, Agustus 2019

Mahasiswa Ybs.

Khairunnisa

NIM. 11150110000007

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Khairunnisa

NIM.11150110000007

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Skripsi

Yudhi Munadi, M. Ag

NIP. 19701203 199803 1 003

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi berjudul Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam

Perspektif Pendidikan Islami disusun oleh Khairunnisa, NIM

11150110000007, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melalui

bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah dan layak diujikan pada

sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.

Jakarta, 18 Agustus 2019

Yang mengesahkan,

Dosen Pembimbing,

Yudhi Munadi, M. Ag

NIP. 19701203 199803 1 003

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi berjudul Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam

Perspektif Pendidikan Islami disusun oleh Khairunnisa, NIM 11150110000007,

diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada

tanggal 02 September 2019 dihadapan dewan penguji. Oleh karena itu penulis

berhak mendapatkan gelar Sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Agama

Islam.

Jakarta, 02 September 2019

Panitia Ujian Munaqasah

UJI REFERENSI

Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul Teori

Moral Development Lawrence Kohlberg dalm Perspektif Pendidikan Islami,

disusun oleh Khairunnisa, NIM. 11150110000007, Jurusan Pendidikan Agama

Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta telah diuji kebenarannya oleh Dosen Pembimbing Skripsi

pada Tanggal 18 Agustus 2019.

Jakarta, 18 Agustus 2019

Pembimbing,

Yudhi Munadi, M. Ag

NIP. 19701203 199803 1 003

i

ABSTRAK

KHAIRUNNISA 11150110000007. TEORI MORAL DEVELOPMENT

LAWRENCE KOHLBERG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

ISLAMI. Program Studi Pendidkan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440 H/2019 M.

Lawrence Kohlberg membawa teori perkembangan moral yang didasarkan

pada penalaran moral yang merupakan produk rasio atau akal. Penulis mencoba

mengangkat perspektif dari pendidikan Islami.

Metode yang penulis gunakan adalah library research dengan sumber penelitian

bersifat dokumenter dengan landasan teori moral development dan teori

pendidikan Islami.

Teori moral development Lawrence Kohlberg membahas perkembangan

yang dialami seorang anak yang akan mencapai tahap perkembangan tertentu

dengan melalui tahapan moral yang sebelumnya.

Tulisan ini mengungkap perspektif pendidikan Islami terhadap teori moral

development Lawrence Kohlberg. penelitian ini menghasilkan, pertama teori

perkembangan moral berdasarkan antroposentris dan teosentris, kedua benang

merah antara kecerdasan spiritual dengan agama yang disebut dengan kecerdasan

ruhaniah, yang harus dimiliki oleh peserta didik sebagai syarat menjadi manusia

bermoral.

Kata Kunci : Moral Development, Pendidikan Islami,Perkembangan Moral,

Antropologi Agama, Konstruktivisme.

Pembimbing : Yudhi Munadi, M. Ag

Daftar Pustaka :1980 sampai 2018

ii

ABSTRACT

KHAIRUNNISA 11150110000007. THEORY OF MORAL

DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG IN THE PERSPECTIVE OF

ISLAMIC EDUCATION. Islamic Education Study Program, Faculty of

Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University

Jakarta 1440 H / 2019 M.

Lawrence Kohlberg brought a theory of moral development based on

moral reasoning which is a product of reason or reason. The author tries to raise

the perspective of Islamic education.

The method I use is library research with documentary research sources

on the basis of moral development theory and Islamic education theory.

Lawrence Kohlberg's moral development theory discusses the development

experienced by a child who will reach a certain stage of development through the

previous moral stages.

This paper reveals the perspective of Islamic education on Lawrence

Kohlberg's theory of moral development. This research results, first the moral

development theory based on anthropocentric and theocentric, secondly the

common thread between spiritual intelligence and religion called spiritual

intelligence, which must be possessed by students as a condition of being a moral

human being.

Key Word : Moral Development, Pendidikan Islami,Perkembangan Moral,

Antropologi Agama, Konstruktivisme.

Mentor : Yudhi Munadi, M. Ag

Bibliography : 1980 sampai 2018

iii

KATA PENGANTAR

السالم عليكم ورمحة اهلل وبركاته

Alhamdulillah, Maha Suci Allah SWT dengan segala keagungan dan

kebesaran-Nya, segala puji syukur hanya tercurahkan pada-Nya yang telah

melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga atas ridho-

Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun belum mencapai sebuah

kesempurnaan. Namun dengan harapan hati kecil semoga dapat bermanfaat.

Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada junjungan alam, Nabi besar

Muhammad SAW yang syafaatnya selalu didambakan kelak di hari akhir. yang

menjadi cahaya di atas cahaya bagi seluruh alam, beserta keluarga, sahabat dan

pengikutnya yang setia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yudhi Munadhi, MA

sebagai dosen Pembimbing Akademik sekaligus dosen Pembimbing Skripsi yang

telah memberikan banyak ilmu dan pengarahan, kepada kedua orang tua yang

senantiasa memberikan do‟a dan dukungan baik berupa materil maupun

nonmateril, serta kepada teman-teman yang senantiasa memberikan semangat agar

skripsi ini yang berjudul “Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam

Perspektif Pendidikan Islami” dapat selesai tepat waktu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi

ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

penyusun mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak

yang berperan, antara lain:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., sebagai Rektor Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Sururin, M.Ag., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Abdul Haris, M.Ag., sebagai ketua jurusan Pendidikan Agama Islam UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

iv

4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., sebagai Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Yudhi Munadi, M.Ag., sebagai Dosen Penasihat Akademik sekaligus Dosen

Pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan banyak waktu untuk

membimbing, berbagi ilmu, dan memberi nasihat serta arahan.

6. Kedua orang tua saya, Bapak Arif Sadarwan dan Ibu Reswani sebagai pendidikan

pertama yang senantiasa mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mendidik

dan membesarkan putrinya.

7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan

banyak ilmu dan berbagi pengalaman kepada penyusun selama masa perkuliahan.

8. Teman-teman seperjuangan khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, Ikatan

Keluarga Alumni Raudhatul Ulum Sakatiga (IKARUS).

9. Serta kepada pihak-pihak lain yang dapat penyusun sebutkan satu persatu yang

turut membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

والسالم عليكم ورمحة اهلل وبركاته

Jakarta, 18 Agustus 2019

Penulis

v

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

UJI REFERENSI

ABSTRAK ..............................................................................................................i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang........................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................. 6

C. Pembatasan Masalah ................................................................. 6

D. Rumusan Masalah ..................................................................... 7

E. Tujuan Penelitian....................................................................... 7

F. Manfaat Penelitian..................................................................... 8

G. Metode Peneltian ....................................................................... 8

1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................ 8

2. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian .............. 8

3. Sumber Data ..................................................................... 9

H. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 9

I. Teknik Analisis Data ............................................................... 10

J. Sistematika Penulisan .............................................................. 10

K. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................... 11

BAB II KAJIAN TEORITIS ......................................................................... 14

A. Moral Development dalam Bingkai Konstruktivisme ......... 14

1. Konstruktivisme sebagai Basic Teori Lawrence

Kohlberg .......................................................................... 14

B. Kritik Terhadap Teori Moral Development Lawrence

Kohlberg ................................................................................... 37

1. Kritik Ahli ....................................................................... 37

2. Kritik Tokoh ................................................................... 41

3. Kritik dari Penulis .......................................................... 41

vi

BAB III PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI ......................................... 43

A. Antroposentris dan Theosentris ............................................. 43

B. Moral dalam Perspektif Islam ................................................ 52

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia ......................... 58

D. Hubungan Moral dengan Antroposentris ............................. 60

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................... 64

A. Analisis Deskriptif Moral Development Lawrence

Kohlberg ................................................................................... 64

B. Perspektif Pendidikan Islami Menurut Para Ahli ................ 66

C. Moral Development dalam Bingkai Nilai-nilai

Pendidikan Islami .................................................................... 71

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 75

A. Kesimpulan ............................................................................... 75

B. Saran ......................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 77

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia pendidikan tidak pernah dapat terpisahkan dari nilai-nilai yang

berpengaruh dalam proses perkembangan peserta didik. Salah satunya masalah

nilai moral, moral merupakan sesuatu yang seringkali menjadi perhatian

masyarakat, tentu urusan moral merupakan satu dari sekian banyak nilai-nilai

penting yang harus dimiliki oleh setiap orang.1Kita sebagai generasi penerus

bangsa, sebagai calon pendidik yang dari tangan kita seharusnya lahir

peradaban bangsa yang bermartabat, tentu kita memiliki peran penting dan

tanggung jawab yang lebih untuk memperhatikan masalah moral

ini.Mengingat perkataan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan

daya upaya untuk memajukan dan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,

karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.2

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional juga menyebutkan, bahwa “pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan

bertujuan untuk mengambangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”.3

Karena pendidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan manusia

yang sarat akan perkembangan, maka kita sebagai calon pendidik harus

mampu mendukung pembangunan di masa mendatang, yaitu dengan

memberikan pendidikan yang bukan hanya transfer of knowladge saja kepada

1Zakiyah Dradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),

Hlm 8 2Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenamedia Group, 2012), Hlm 5

3Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Pasal 1, No. 20, Tahun 2003

2

peserta didik,4 tapi juga nilai-nilai moral yang turut berkembang seiring

berkembangnya pengetahuan seorang peserta didik.

Banyak sekali yang membicarakan tentang pendidikan, setiap orang

yang belum merasa puas akan mutu pendidikan merasa perlu untuk ikut andil

dalam memajukan pendidikan. Kita sebagai manusia, memerlukan bantuan

orang lain untuk menjadi manusia, yaitu yang telah memiliki nilai (sifat)

kemanusiaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan pendidikan adalah me-

manusia-kan manusia.Agar tujuan tersebut dapat dicapai maka kita juga harus

paham dengan jelas bagaimana ciri-ciri mausia yang telah menjadi manusia.5

Yang penulis pahami, kita sebagai manusia harus berlaku sebagai

manusia, dengan berbekal akal maka tugas kita berikutnya adalah menelaah

dan menyelami hakikat moral, sehingga sikap terutama sikap manusia

terpelajar berkembang tidak bertentangan dengan perkembangan jiwa dan

akal.6

Dalam menentukan baik buruknya moral seseorang, maka kita perlu

memahami betul apa yang dimaksud dengan moral, bagaimana moral bekerja

dan mempengaruhi perbuatan-perbuatan baik ataukah buruk, melalui tahapan

apa saja moral berkembang, dan seperti apa moral dalam pandangan

pendidikan Islami.7 Dalam hal ini, ada banyak sekali teori-teori moral yang

dikembangkan oleh para ahli, salah satunya adalah Bandura dan Gewirtz yang

menyatakan bahwa moral berkembang dan berlangsung melalui proses latihan

dan peniruan. Sebagai contoh apabila orang tua mereka melakukan hal yang

tidak sewajarnya dan dilihat oleh anaknya seperti perkelahian antara ibu dan

bapaknya, maka hal tersebut beresiko akan ditiru oleh anak-anak mereka.8

Selain itu, perkembangan yang terjadi ialah perkembangan sejak bayi

hingga akhir hayat, ada beberapa teori perkembangan sosial yaitu teori

4Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenamedia Group, 2012), Hlm 4 5Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), Hlm

33 6Poespoprodjo, Filsafat Moral, Cetakan-I, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 1999), Hlm 6 7Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan,(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Hlm 13 8Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,

(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-kepribadian-sosial-dan-moral/).

Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.17

3

cognitive psychology, dan teori social learning.Sigmund Freud adalah teorisi

pertama yang fokus pada perkembangan kepribadian dan menekankan

pentingnya peran masa bayi dan awal seorang anak dalam membentuk

karakter sesorang, Freud mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jiwa

pasien antara lain dengan cara mengembalikan mereka ke pengalaman masa

kanak-kananknya. Selain Freud, Gustav Jung juga merupakan salah satu tokoh

perkembangan kepribadian, Jung berpendapat bahwa semua peristiwa

disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian

sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose). Menurutnya, kegagalan di masa

lalu bukan dijadikan sebagai beban melainkan sebagai stimuli untuk belajar

lebih baik lagi dari kegagalan tersebut.Tokoh perkembangan kepribadian

lainnya adalah Erik H. Erikson, melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu

yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan

suatu pemikiran yang sangat maju untuk memahami persoalan atau masalah

psikologi yang dihadapi manusia pada era modern seperti sekarang ini.Bagi

Erikson dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara

kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan

sosial.9

Tokoh teori perkembangan sosial dan moral ialah Jean Piaget dan

Lawrence Kohlberg menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa

perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan

berkembang secara bertahap. Serupa dengan pendapat Eliet Turiel, terdapat

beberapa persamaan dengan teori moral judgment Kohlberg, yaitu

bahwasanya perkembangan moral akan lebih baik dipahami dengan

menganalisa moral judgment, menganggap perilaku adalah hasil dari moral

judgment, moralitas terbentuk bukan dari interaksi individu dan

lingkungannya.10

Menurut Thomas Lichona, sebuah perilaku moral saja belum

9Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,

(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-kepribadian-sosial-dan-moral/).

Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.58 10Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral, vol. III,

2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59

4

cukup, sehingga perilaku moral tersebut harus diimbangi dengan adanya

pengetahuan dan pertimbangan apakah perilaku tersebut termasuk perilaku

moral ataukah bukan.11

Pemikiran yang disumbangkan oleh Piaget dalam

mempelajari, memahami perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah

adalah dengan membuat tahapan, ada tiga tahapan yang dikemukakan Piaget:

(1) Fase absolut, yaitu anak merasakan peraturan merupakan otoritas yang

dihormatinya. (2) Fase realitas, usaha seorang anak menyesuaikan diri untuk

menghindari penolakan dari orang lain, peraturan dirumuskan secara bersama

sehingga dianggap dapat diubah. (3) Fase subyektif, seorang anak

memperhatikan penilaian perilaku. Moral berkembang karena dipengaruhi

upaya melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, memperluas

interaksi sehingga anak semakin mampu memahami pandangan orang lain

dalam kehidupan bermoral dalam kebersamaan.12

Penulis akan mendalami salah satu teori yang dikembangan oleh salah

seorang tokoh seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu pada teori

perkembangan moral yang dikembangkan oleh Kohlberg.13

Permasalahan moral merupakan permasalahan yang seringkali menjadi

perdebatan dimasyarakat mengenai benar atau tidak benar, pantas atau tidak

pantas mengenai sikap moral seseorang yang berada dalam lingkungan

sosial.14

Pendidikan yang diterima oleh seorang anak dari kedua orang tuanya,

melalui pembiasaan pergaulan hidup, cara berinteraksi, cara menentukan

sikap, akhlak dan lain sebagainya menjadi sebuah teladan yang akan selalu

diingat dan ditiru anak sebagai pedoman.15

11

Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral, vol. III,

2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59 12

Laila Maharani, Perkembangan Moral Pada Anak, 2014,

(https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli). Diakses tanggal 5 April 2019 jam 22.01 13Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,

(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-kepribadian-sosial-dan-moral/).

Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.17 14Laila Maharani, Perkembangan Moral Pada Anak, 2014,

(https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli). Diakses tanggal 5 April 2019 jam 20.19 15

Zakiyah Dradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),

Hlm 20

5

Sebagaimana pernyataan Al-Ghazali tentang akhlak (moral dalam

Islam), akhlak tersebut merupakan perangai yang sudah tertanam dan menjadi

label dalam diri seseorang, sehingga akan memunculkan perbuatan yang baik

tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Perubahan-perubahan

seringkali terjadi pada beberapa ciptaan Allah, kecuali hal-hal yang sudah

menjadi ketetapan Allah seperti langit dan bintang-bintang. Dalam hal ini,

keadaan dalam diri seseorang yang dapat diadakan kesempurnaannya dengan

jalan pendidikan. Pada dasarnya imam Al-Ghazali mengemukakan dua tujuan

pendidikan Islami, yaitu pertama untuk mencapai kesempurnaan manusia

dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua sekaligus untuk mencapai

kesempurnaan hidup manusia dalam menjalani hidup dan penghidupannya

dalam mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.16

Menurut Abuddin Nata, tugas dan tanggung jawab pendidik dalam

melahirkan manusia yang cerdas, berakhlak mulia, unggul dalam ilmu, cakap

dalam keterampilan, dan ramah dalam pergaulan, adalah hal yang semestinya

kita lakukan, sebab manusia-manusia yang demikianlah yang diperlukan di era

global saat ini dan manusia yang seperti itu pula yang dikehendaki oleh Al-

Qur‟an.17

Menyadari pentingnya memperhatikan perkembangan moral peserta

didik, yang sangat berkaitan dengan pendidikan secara hirarki yang

mempengaruhi sikap peserta didik, maka kita perlu melihat teori Moral

Development atau perkembangan moral yang telah dikaji secara umum di

Barat jika dikaitkan dengan unsur-unsur yang ada dalam pendidikan Islami,

maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian yang berjudul “Teori

Moral Development Lawrence Kohlberg dalam Perspektif Pendidikan

Islami”.

16 Sitti Trinurmi, Hakekat dan Tujuan Hidup Manusia dan Hubungannya dengan

TujuanPendidikan Islam, Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam, Vol. 2, No. 1, (Desember 2015),

hlm. 58 17Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Prenamedia Group,

2016). Hlm 13

6

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas kiranya dapat diidentifikasi beberapa

masalah yang muncul, yang bila dikelompokkan menjadi dua kelompok besar

permasalahan yang berkaitan dengan pentingnya peran orang tua dan guru

dalam perkembangan dan pendidikan anak, serta implementasi Undang-

Undang tentang pendidikan dan perbedaan pemikiran ahli psikologi, yang

akan penulis uraikan sebagai berikut:

a. Tentang pentingnya peran orang tua dan guru dalam perkembangan dan

pendidikan anak

1. Bagaimanakah tanggung jawab para orang tua dalam mempersiapkan

perkembangan anak baik dari segi psikologi dan jasmaninya?

2. Apakah pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru sudah

cukup untuk membimbing dan mengarahkan peserta didik pada

perkembangan yang baik?

3. Apakah perkembangan yang dialami peserta didik sudah sesuai dengan

tujuan pendidikan itu sendiri?

b. Implementasi Undang-Undang tentang pendidikan, dan perbedaan

pemikiran para ahli psikologi

1. Apakah Undang-Undang dalam pendidikan sudah terimplementasi

sesuai dengan sistem pendidikan yang saat ini mengedepankan

pendidikan karakter?

2. Apakah perbedaan pemikiran yang terjadi di kalangan para ahli

memunculkan konsep perkembangan moral yang sesuai dengan

kebutuhan pendidikan saat ini?

3. Bagaimanakah teori perkembangan moral yang dikembangkan oleh

Lawrence Kohlberg jika dilihat dari sudut pandang pendidikan yang

Islami?

C. Pembatasan Masalah

Setelah mengidentifikasi beberapa permasalahan seperti yang telah

penulis uraikan di atas, penulis tidak akan membahas seluruh permasalahan

7

tersebut, dengan demikian maka agar lebih jelas dan memberi arah yang tepat

serta menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini penulis akan

membatasi pada satu permasalahan saja, yaitu mengenai “Teori perkembangan

moral yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg jika dilihat dari sudut

pandang pendidikan yang Islami”

D. Rumusan Masalah

Dalam kehidupan bersosial, kita sebagai manusia yang membutuhkan

manusia lainnya dalam berinteraksi, sudah seharusnya kita menjunjung tinggi

nilai-nilai, akhlak, etika, dan moral yang dibutuhkan dalam berperilaku di

dalam komunitas sosial.Secara teoritis Nilai-nilai, akhlak, etika, dan moral

merupakan cakupan dari ranah afeksi (sikap).Namun faktanya, Lawrence

Kohlberg seorang ahli psikologi anak Spanyol mengembangkan teori

perkembangan anak atau yang disebut moral development melalui

perkembangan kognitifnya. Berdasarkan problem statement ini penulis tertarik

untuk memperdalam dan menganalisa teori tersebut, dan lebih fokus kepada

bagaimana teori tersebut jika dilihat dari sudut pandang pendidikan Islami.

Dari problem statement di atas maka penulis menarik benang merah dan

mengangkat beberapa pertanyaan, sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Moral Development?

2. Bagaimana pendidikan Islami menurut para ahli ?

3. Bagaimana Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam bingkai

nilai-nilai pendidikan Islami ?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian moral development.

2. Untuk mengetahui peran pendidikan Islami dalam perkembangan

moral.

3. Untuk mengetahui perkembangan moral atau teori moral development

Kohlberg dalam perspektif Pendidikan Islami.

8

F. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan kepada penulis

khususnya dan kepada pembaca umumnya.

2. Dapat menambah khazanah pengetahuan penulis sebagai calon yang

mendalami lembaga pendidikan Agama Islam.

3. Penelitian ini menjadi langkah awal dan dapat dikembangkan oleh

peneliti selanjutnya.

4. Dapat menjadi referensi bagi masyarakat umum tentang kajian teori

perkembangan moral dalam Pendidikan Islami.

G. Metode Peneltian

1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Teori Moral Development Lawrence

Kohlberg dalam Perspektif Pendidikan Islami” ini berlangsung sejak

disetujuinya judul proposal skripsi yaitu pada tanggal 27 Desember 2018

sampai dengan 28 Januari 2019, penulis mencari dan mengumpulkan data

dari sumber-sumber tertulis yang didapat dari buku-buku di perpustakaan,

jurnal, dan sumber lainnya yang terdeskripsi mendukung penelitian,

terkhusus yang berkaitan dengan moral, perkembangan moral, pendidikan

Islam, dan teori-teori moral. Dalam pelaksanaannya penelitian ini

bertemepat di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan di

tempat lain yang mendukung dalam mempermudah dalam penulisan

penelitian.

2. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian adalah cara berfikir dan berbuat yang telah

dipersiapkan dengan baik untuk mempermudah dalam pengadaan

penelitian dan mencapai suatu tujuan penelitian.18Dalam penelitian yang

18Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mondari Maju, 1996),

Hlm. 20.

9

penulis lakukan, penulis menggunakan jenis penelitian library research

atau studi pustaka, yang mana penelitian yang data-datanya didapatkan

melalui studi pustaka atau dengan literature terkait, studi pustaka adalah

penelitian yang teknik pengumpulan datanya dilakukan di lapangan

(perpustakaan). Karena dalam perpustakaanmerupakan tempat paling ideal

untuk melakukan rekreasi intelektual dan tentu akan membantu dan

mempermudah penulis untuk menemukan berbagai sumber yang relevan

berdasarkan pembacaan terhadap literature-literatur yang mengandung

informasi dan relevansi dengan topik penelitian.19Metode ini berkembang

dan yang menjadi kriterianya adalah tujuan dari penelitian ini, salah

satunya adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam dari sudut

pandang subjek yang diteliti.20

Library research (penelitian kepustakaan) artinya adalah penelitian

yang sifatnya kepustakaan murni, yang data-datanya berdasarkan atau

diambil dari bahan-bahan tertulis, baik berupa buku atau yang lainnya

terkait dengan topik pembahasan skripsi ini.21Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk melatih penulis dalam membaca literature-literatur scara

kritis dan untuk mendeskripsikan semua bahan.

3. Sumber Data

Sumber penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi

ini bersifat dokumenter, atau data yang bersifat simbol, kepustakaan, dan

sumber bacaan lain yang dikira relevan dan linier dengan judul skripsi ini.

H. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan selama penelitian ini, sesuai

dengan jenis penelitian yang telah penulis pilih, penulis melakukan kajian

19Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2010), Hlm. 34. 20Nusa Putra, S.Fil., dkk, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm. 18 21Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), Hlm. 6.

10

kepustakaan, yaitu dengan membaca literature yang berkenaan dengan topik

penulis tentang Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam

Perspektif Pendidikan Islami.Setelah mendapatkan data dari berbagai sumber,

selanjutnya adalah seluruh sumber tersebut dipilih dan disusun menjadi

kerangka penelitian yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Teknik dalam mengumpulkan data ini tidak memungkinkan untuk

penulis membaca seluruh sumber berupa buku yang ada di perpustakaan. Oleh

karena itu penulis memanfaatkan alat riset dan mekanisme standar yang biasa

ada pada perpustakaan seperti ensiklopedia, maupun internet.22

I. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis data dan

mendeskripsikannya dari setiap sumber yang berhubungan dengan teori

perkembangan moral dalam pendidikan Islam, hal ini dilakukan agar penulis

mengetahui bagaimana perkembangan moral dalam pendidikan Islam.

J. Sistematika Penulisan

Agar lebih jelas dalam memahami penelitian skripsi ini, maka materi-

materi yang dituliskan pada skripsi dikelompokkan menjadi beberapa sub bab

dengan sistematika penyampaian sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN DAN METODE PENELITIAN

Berisi tentang penjabaran latar belakang penelitian, identifikasi masalah,

pembatasan masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian.Tempat dan waktu penelitian, metode dan pendekatan penelitian,

sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, sistematika

penulisan, dan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian.

BAB II KAJIAN TEORI

Bab ini membahas teori yang berkaitan dengan judul skripsi berupa definisi

dan pengertian yang diambil atau dikutip melalui sumber-sumber, pada bab

22Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, hlm. 166

11

ini khusus dibahas seluruh teori yang berkaitan dengan salah satu dari dua

variabel judul skripsi, yaitu membahas tentang teori moral development

Lawrence Kohlberg. Penjabaran akan dipaparkan dalam dua sub bab, sub A

akan membahas moral development dalam bingkai konstruktivisme, sub B

akan membahas tentang kritik terhadap teori moral development Lawrence

Kohlberg.

BAB III KAJIAN TEORI

Dalam BAB III ini akan dipaparkan lanjutan dari teori yang sebelumnya

belum di bahas dalam BAB II, bab ini akan membahas seluruh teori yang

berkaitan dengan variabel judul skripsi yg kedua yaitu mengenai perspektif

pendidikan Islami. Sub-sub judul yang akan dibahas dalam bab ini adalah,

antroposentris dan teosentris, moral dalam perspektif Islam, pertumbuhan dan

perkembangan manusia, hubungan moral dengan antroposentris.

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini lah akan muncul perspektif dari penulis, mengenai seluruh

teori yang akan dipaparkan sekaligus pembahasannya, sub judul yang dibuat

dalam bab ini adalah, analisis deskriptif mengenai moral development

Lawrence Kohlberg, perspektif pendidikan Islami dari para ahli, dan korelasi

moral development Kohlberg dengan nilai-nilai pendidikan Islami dalam

perspektif ahli.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Ini adalah bab penutup dalam penulisan skripsi, dalam bab ini akan dibahas

kesimpulan dan inti dari penelitian yang penulis buat.

K. Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telahmelakukan pencarian mengenai

beberapa karya-karya yang relevan dengan topik pembahasan, seperti mengenai

perkembangan moral, pendidikan Islam, teori moral development, akhlak (moral) dalam

Islam dan karya-karya yang berkaitan dengan judul yang dipilih oleh penulis.

Adapun beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah

sebagai berikut:

12

Pertama, skripsi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nanda Etik

Setioasih, (Mahasiswa jurusan Psikologi Universistas Muhammadiyah Malang)

yang berjudul Hubungan antara Perkembangan Moral dengan Perilaku

Prososial Pada Remaja(2016), dalam skripsinya tersebut Nanda Etik

Setioasihmenggunakan metode kuantitatif karena gejala-gejala hasil penelitian tersebut

berwujud data, diukur, dan dikuantitatifkan serta dianalisis dengan teknik statistik.

Dalam penelitiannya tersebut, Nanda menemukan adanya korelasi antara sikap

prososial dengan perkembangan moral seseorang, adanya hubungan positif

menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat perkembangan moral seseorang maka

akan semakin tinggi pula perilaku prososialnya dan ketika tingkat perkembangan

moralnya rendah maka akan rendah pula perilaku prososialnya. Penelitian ini

diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dalam bersikap dan berperilaku. Dan untuk

akademisi diharapkan untuk dapat memberikan manfaat teoritis tentang studi

perkembangan moral dan perilaku prososial. Dalam skripsi tersebut, berbeda dengan

apa yang akan penulis sajikan pada proposal skripsi ini, perbedaannya adalah terdiri

dari metode penelitian yang dilakukan, kemudian, konten dari apa yang disampaikan

Nanda, adalah sebuah korelasi antara perkembangan moral dengan sikap prososial

pada remaja, sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan adalah teori

perkembangan moral (Moral Development) dalam perspektif pendidikan Islami.

Kedua, skripsi yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh M.

Nur Hidayat (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang berjudul

Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam (2011), dalam

skripsi tersebut peneliti menggunakan penulisan dengan pendekatan filosofis

educatif dengan metode penelitian deskriptif dan jenis penelitiannya adalah

library research atau penelitian kepustakaan, sama halnya dengan penelitian

yang akan penulis lakukan selanjutnya. Kajian yang dilakukan pada skripsi

tersebut adalah konsep mengembangkan nilai-nilai kepribadian Rasullullah

SAW dalam kegiatan pendidikan. Outputnya adalah diharapkan para praktisi

pendidikan Islam dapat kembali memahami nilai-nilai pendidikan karakter

yang dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam.

13

Ketiga, skripsi yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh

Isnawati (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang berjudul Studi

Komparasi Pemikiran Hasan al-Banna dan Ahmad Dahlan tentang Konsep

Pendidikan Islam (2015), dalam skripsi tersebut peneliti menggunakan jenis

penelitiannya adalah library research atau penelitian kepustakaan, sama

halnya dengan penelitian yang akan penulis lakukan selanjutnya. Dalam

skripsi tersebut peneliti memaparkan pemikiran-pemikiran dari dua tokoh

besar mengenai konsep pendidikan Islam, sedangkan penelitian yang penulis

akan lakukan adalah bagaimana pendidikan Islam itu sendiri dalam proses

perkembangan moral.

Keempat, skripsi yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh

Abdul Aziz (Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang berjudul

Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mengatasi Krisis Akhlak Siswa

(2010), dalam skripsi tersebut peneliti melakukan studi kasus di SMA

Darussalam Ciputat, penelitian tersebut dilakukan dan menghasilkan

kesimpulan bahwa pendidikan Agama Islam sangat berperan penting dalam

mengatasi krisis akhlak pada siswa, jadi yang dikaji dalam skripsi tersebut

adalah peranan pendidikan Agama Islam dalam mengatasi krisis akhlak

(moral) siswa. Skripsi tersebut berbeda dengan penelitian yang akan penulis

lakukan pada bentuk teknik, jenis dan metode penelitian, namun memiliki

kesamaan yang linier pada konten dari apa yang hendak dicapai dari penelitian

yang dilakukan.

14

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Moral Development dalam Bingkai Konstruktivisme

1. Konstruktivisme sebagai Basic Teori Lawrence Kohlberg

a. Eksplorasi dan Elaborasi Teori-teori Pendukung Moral Development

Proses belajar seorang peserta didik, dituntut untuk mampu

mengkonstruksi informasi yang didapatkan di dalam kognisinya agar

ia terlatih untuk membangun pengetahuannya sendiri.23

Pada

umumnya, terdapat teori-teori dasar yang digunakan dalam

pembelajaran, salah satu teori tersebut, ialah teori konstruktivisme.

Dalam teori konstruktivisme, dikatakan bahwa individu-individu

berkembang dengan melalui serangkaian tingkatan.24

Konstruktivisme

dijelaskan pula sebagai teori yang memahami hakikat belajar sebagai

kegiatan manusia dalam membangun, menciptakan pengetahuan

dengan memaknai pengetahuan tersebut sesuai dengan pengalaman

dirinya. Menurut pandangan konstruktivisme, seorang anak secara

aktif membangun pemahaman dan pengetahuan dengan terus menerus

menyesuaikan dan mengakomodasi sebuah informasi baru, sehingga

dengan kata lain konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif

yang memberikan penekanan pada keaktifan siswa dalam membangun

pemahaman mereka tentang pengalaman yang mereka dapatkan dari

kehidupan realita.25

Teori konstruktivisme digagas oleh dua tokoh penting, yaitu

Jean Piaget dan Lev Semonovich Vygotsky.Konstruktivisme ini

berperan besar terhadap pengembangan pendidikan di dunia Barat.26

23Chairil Anwar, Teori-teori Pendidikan Klasik Hingga Kontemporer,(Yogyakarta: IRCiSoD,

2017), hlm. 316 24Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 2,

Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 21:59 25

Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 3,

Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 22:23 26

Chairil Anwar,Teori-teori Pendidikan Klasik Hingga Kontemporer,(Yogyakarta: IRCiSoD,

2017), hlm. 317

15

Jean Piaget adalah pencetus pertama dasar teori

konstruktivisme, maka konstruktivisme merupakan sebuah aliran baru

yang lahir di dalam psikologi pembelajaran.Piaget merupakan seorang

tokoh yang beraliran kognitivisme, sehingga konstruktivisme

hakikatnya merupakan pengembangan khusus dari aliran

kognitivisme.27

Piaget berpendapat, manusia pasti memiliki struktur

pengetahuan di dalam otaknya, dikatakan, seperti sebuah kotak-kotak

yang memiliki makna berbeda pada masing-masingnya. Atau dapat

disimpulkan bahwa setiap orang memiliki pengalaman individu, yang

terkadang meski pengalamannya sama, tetapi dimaknai berbeda-beda

oleh masing-masing individu dan tersimpan di dalam kotak ingatan

yang berbeda pula. Pengalaman baru tersebutlah yang akan

dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah ada dalam otak

manusia.28

Menurut Vygotsky, pendekatan konstruktivisme dalam belajar

adalah terjadinya interaksi sosial individu dengan lingkungannya.

Bagi Vygotsky, belajar merupakan proses yang melibatkan dua

elemen. Pertama, belajar adalah proses secara biologi sebagai proses

dasar. Kedua, proses secara psikososial yang merupakan proses lebih

tinggi dan memiliki esensi yang erat kaitannya dengan lingkungan

sosial budaya. Sehingga perilaku seseorang yang muncul adalah

karena adanya hubungan antara kedua elemen tersebut.29

Sebagian teoritisi mengkategorikan Vygotsky sebagai seorang

konstruktivisme sosial, dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa ia

adalah konstruktivis psikologis, karena tertarik dengan perkembangan

dalam diri individu. Salah satu keunggulan teori pembelajaran adalah

memberikan cara untuk mempertimbangkan yang bersifat psikologis

27

Ibid, hlm. 318 28

Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 4,

Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 18:56 29

Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014, hlm 6,

Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 19.25

16

maupun sosial, Vygotsky menjembatani keduanya. Sebagai contoh,

konsep Vygotsky tentang Zone Of Proximal Development (Zona

Perkembangan Proksimal), wilayah tempat seorang anak

menyelesaikan masalah dengan bantuan (scaffolding) orang dewasa

atau sebayanya yang lebih mampu, disebut sebagai tempat budaya dan

kognisi saling menciptakan.30

Budaya menciptakan kognisi ketika

orang dewasa menggunakan alat-alat dan praktik-praktik dari

budayanya (membaca, menulis, menenun, menari).Kognisi

menciptakan budaya ketika orang dewasa dan anak-anak bersama

membentuk praktik dan solusi masalah baru untuk ditambahkan ke

kelompok budayanya.31

Teori Kohlberg mengenai perkembangan moral secara formal

disebut dengan cognitive-developmental theory of moralization, yang

bermula dari karya Piaget. Asumsi yang diberikan Piaget yakni bahwa

kognisi (pikiran) dan afek (perasaan) berkembang secara paralel dan

keputusan moral merupakan proses dari perkembangan kognisi secara

murni.32

Menurut pemahaman kognitif, belajar adalah proses yang

melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia, sebagai

akibat dari sebuah proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk

memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,

pemahaman, tingkah laku, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat

relatif dan berbekas.33

Dalam karya John Gibbs edisi ketiga merangkum salah satunya

Teori Kohlberg, dikatakan bahwa teori moral development Kohlberg

mengacu pada moral Judgment atau pendekatan perkembangan

kognitif yang mengacu pada penilaian moral.Agar dapat konsisten

dalam bernalar untuk mengambil keputusan moral ketika menghadapi

30

H. Dadang Supardan, Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran,

vol. 4, No. 1, (2016), hlm. 5 31Ibid. 32Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 11 33

Chairil Anwar,Teori-teori Pendidikan Klasik Hingga Kontemporer,(Yogyakarta: IRCiSoD,

2017), hlm. 119

17

kondisi yang dilematis, seseorang harus menapaki tahapan demi

tahapan yang disebut dengan tahap perkembangan moral.34

Teori Moral Development Kohlberg, terdapat tahapan-tahapan

sebagaimana yang akanpenulis paparkan, dan masing-masing tahapan

tersebut memiliki struktur dan cara berpikir akan persoalan moral.

Dan perkembangan yang dialami seorang anak, akan mencapai

tahapan-tahapan perkembangan moral tertentu dengan melalui

tahapan moral yang sebelumnya. Karena tahapan tersebut merupakan

integrasi yang hierarkis.35

Dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah suatu

pandangan yang mendasarkan bahwa seseorang mendapatkan

pengetahuan atau konstruksi ketika seseorang yang sedang belajar

tentu diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang pada akhir

proses belajar, pengetahuan tersebut akan dibangun melalui

pengalamannya dari hasil interaksi dengan

lingkungannya.36

Konstruktivisme juga merupakan sebuah gerakan

besar dan memiliki posisi filosofis dalam pendekatan dan strategi

pembelajaran, olehkarenanya konstruktivisme sangatlah berpengaruh

dalam bidang pendidikan, yang memicu munculnya beragam

metode/strategi pembelajaran baru.37

Perspektif konstruktivis yang

marak berkembang bermula dari penelitian yang dilakukan oleh John

Dewey, Jean Piaget, Lev Vygotsky, Jerome Burner, dan para ahli

psikologi lainnya.38

Teori-teori yang serupa, yang menitikberatkan pada bagaimana

seseorang mendapatkan atau memperoleh pengetahuannya, seperti

teori yang dikembangkan oleh David Ausubel, inti dari teori belajar

bermakna atau yang dikenal dengan meaningfull learning adalah

34

Nida, Fatma Laili, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg dalam

Dinamika Pendidikan Karakter, Vol. 10, No. 2, Jurnal Edukasia, (26 Mei, 2014) 35

Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 12 36Sulthon, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivistik dalam

Pendidikan Bagi Anak Usia Dini, vol. 1, No. 1, (Juli-Desember 2013), hlm. 5 37H. Dadang Supardan, Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran,

vol. 4, No. 1, (2016), hlm. 2 38Ibid,

18

bahwa sebuah proses dalam pembelajaran akan mudah dipelajari dan

serta dipahami oleh peserta didik jika guru mampu memberi

kemudahan bagi siswa sehingga siswa mampu mengaitkan

pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah tersimpan di

long term memory atau diingatan yang sudah dimiliki peserta

didik.39

Menurut Ausubel subjek yang dipelajari oleh peserta didik

harus bermakna (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan

suatu proses mengaitkan sebuah informasi yang baru pada konsep-

konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif

seseorang.40

Struktur kognititf ini adalah fakta-fakta, konsep-konsep,

dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh

peserta didik.41

Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat

konstruktivisme, karena keduanya menekankan pentingnya peserta

didik mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru

kedalam sistem pengertian yang telah dimilikinya.42

Selain itu, ada juga teori yang dikenal dan dikembangkan oleh

Jean Piaget yaitu cognitive development, dalam teorinya tersebut

Piaget mencurahkan pandangannya mengenai bagaimana cara seorang

anak belajar, ini juga merupakan pandangan konstruktivisme.43

Dalam

konstruktivisme, sebuah pengetahuan tumbuh dan berkembang

melalui pengalaman. Ada tiga dalil pokok dalam perkembangan

mental manusia menurut Piaget; (1) Perkembagan intelektual terjadi

dengan melalui tahap-tahap beruntun yang kemudian selalu terjadi

dengan urutan yang sama. (2) Tahapan tersebut didefinisikan sebagai

kluster dari operasi-operasi mental yang memunculkan tingkah laku

intelektual. (3) Gerak melalui tahapan demikian dilengkapi oleh

adanyakeseimbangan (ekulibration) proses pengembangan yang

39Nur Rahmah, Belajar Bermakna David P. Ausubel di SD/MI, vol. 3, No. 1, (Juni 2015),

hlm. 5 40

Amin Otoni Harefa, Penerapan Teori Pembelajaran Ausubel dalam Pembelajaran,

(Majalah Ilmiah, ISSN: 1829-7463), Edisi 36: Tahun 2013, hlm. 3 41Ibid. 42Ibid, hlm. 7 43Ramlah, Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget Tahap Operasional Konkret pada

Hukum Kekekalan Materi, Jurnal Pendidikan UNISKA, vol. 3, No. 2, November 2015, hlm. 2

19

menguraikan terjadinya interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan

struktud kognitif yang timbul (akomodasi).44

Dalam perkembangan kognitif Piaget, istilah perkembangan

menunjukkan pada bagaimana seseorang tumbuh, menyesuaikan diri,

dan berubah selama hidupnya dengan melalui berbagai perkembangan

seperti perkembangan fisik, kepribadian, perkembangan sosioemosi,

perkembangan kognisi pemikiran, dan juga perkembangan

bahasa.Sehingga perkembangan adalah sebuah pertumbuhan dan

penyesuaian yang berlangsung dengan teratur selama perjalanan

hidup.45

Membahas teori tentang berbagai perkembangan, maka

terdapat banyak sekali teori perkembangan manusia, antara lain adalah

teori perkembangan kognisi dan moral Jean Piaget, teori

perkembangan kognisi Lev Vygotsky, teori perkembangan

kepribadian dan social Erik Erikson, dan juga teori perkembangan

moral Lawrence Kohlberg.46

Teori yang dihasilkan oleh Piaget

bermula pada saat Piaget mempelajari bagaimana dan mengapa

kemampuan mental dapat berubah lama-kelamaan.Menurutnya,

perkembangan tergantung sebagian besar pada manipulasi anak

terhadap interaksinya dengan lingkungan.Pandangan Piaget adalah

pengetahuan berasal dari tindakan.Teori perkembangan kognisi Piaget

menyatakan kecerdasan atau kognisi anak mengalami perubahan dan

kemajuan dengan melalui empat tahapan yang jelas.47

Teori Piaget ini

termasuk salah satu golongan konstruktivisme, yang mana teori ini

berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif merupakan

sebuah proses yang secara aktif membangun sistem pengertian dan

pemahaman tentang realitas dengan melalui pengalaman dan interaksi

yang dialami anak.48

44Ibid, hlm. 3 45Mukhlisah AM., Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar Anak

Diskalkulia, Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, No. 2, Tahun 2015, hlm. 3 46Ibid. 47Ibid, hlm. 4 48Mukhlisah AM., Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar Anak

Diskalkulia, Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, No. 2, Tahun 2015, hlm. 7

20

Thomas Lickona, memperoleh gelar Ph.D dalam bidang

psikologi dari State University of New York, Albany tentang risetnya

yang berkaitan dengan perkembangan penalaran moral anak-anak.

Lickona menyumbangkan pemikirannya tentang pendidikan karakter,

ia menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah sebuah

usaha sengaja untuk membantu seseorang hingga dia memiliki

kemampuan untuk memahami, memperhatikan, dan melaksanakan

nilai-nilai etika, juga untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas

kemanusiaan yang baik secara objektif, bukan hanya baik untuk

perseorangan tapi juga untuk seluruh masyarakat.

Lickona memberikan suatu cara berpikir tentang karakter yang

tepat bagi pendidikan nilai, karakter, moral, yang terdiri dari nilai

operatif , nilai dan tindakan. Menurut Lickona, karakter yang baik

terdiri dari seseorang yang mengetahui hal yang baik knowing the

good, menginginkan hal yang baik desiring the good, dan melakukan

hal yang baik doing the good. Kebiasaan dalam cara berpikir,

kebiasaan dalam hati dan kebiasaan dalam tindakan. Hal tersebutlah

yang diperlukan untuk menjadi arahan suatu kehidupan moral.

Pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Lickona lebih menanamkan

membangun pada habbit atau kebiasaan seorang anak, sehingga

peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan hal

baik. Sehingga misi pendidikan karakter ini membawa misi yang sama

dengan tujuan yang diharapkan dari pendidikan akhlak atau

pendidikan moral untuk mengembangkan moral seseorang.49

Menurut Thomas Lickona, karakter berkaitan dengan konsep

moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku

moral (moral behavior), sehingga dengan tiga komponen tersebut

dapat kita nyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh

pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan

melakukan perbuatan baik.

49 Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap gagasan Thomas

Lickona dalam Educating for Character), Jurnal Al-Ulum, Vol. 14, No. 1, (Juni, 2014), hlm. 271

21

Banyaknya teori-teori perkembangan tersebut menunjukkan

bahwa para ilmuwan Barat tidak mengingkari betapa pentingnya

sebuah pendidikan moral dalam setiap perkembangan anak.Termasuk

juga salah satu Ilmuwan atau tokoh yang terkenal dengan teori belajar

sosial (Social Learning) atau terkenal juga dengan teori pembelajaran

melalui observasi (Observational Learning) yaitu Albert Bandura.50

Teori ini mengemukakan tentang sebuah proses perkembangan sosial

dan moral peserta didik yang selalu berkaitan dengan proses belajar,

sebab prinsip dasar belajar yang dihasilkan oleh Bandura ini adalah

belajar sosial dan moral. Proses belajar dimaknai sangat penting

karena amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan

berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral

tradisi, dan norma moral lainnya yang berlaku di masyarakat atau

lingkungan tempat mereka tinggal.51

Teori ini disebut dengan

pembelajaran social-kognitif atau disebut juga sebagai teori

pembelajaran melalui peniruan, teori Bandura ini didasarkan pada tiga

asumsi, antara lain adalah: (a) Individu mendapatkan pelajaran dengan

meniru apa yang ada di lingkungannya terutama perilaku-perilaku

orang lain yang disebut dengan model atau perilaku contoh. (b)

Terdapat hubungan atau ikatan yang erat antara peserta didik dengan

lingkungannya, karena akan terjadi pembelajaran pada keterkaitan

pada tiga pihak yaitu lingkungan, perilaku, dan faktor pribadi lainnya.

(c) Hasil dari pembelajaran tersebut adalah berupa bentuk perilaku

visual dan verbal yang ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari.dengan

demikian maka teori ini disebut dengan sosial kognitif karena proses

kognitif dalam diri individu tersebut memiliki peran penting dalam

pembelajaran sedangkan pembelajaran terjadi karena adanya pengaruh

dari lingkungan sekitar individu.52

Teori kognitif sosial berakar pada

pandangan tentang human agency bahwa individu merupakan agen

50Qumruin Nurul Laila, Pemikiran Pendidikan Moral Albert Bandura, vol. III, No. 1, Maret

2015, hlm. 3 51Ibid. 52Ibid, hlm. 6

22

yang proaktif mengikutsertakan dalam lingkungan mereka sendiri dan

dapat membuat sesuatu terjadi dengan tindakan mereka.53

b. Teori Moral Development Lawrence Kohlberg

Lawrence Kohlberg lahir pada tahun 1972, dibesarkan di

Brouxmille, New York.Beliau menamatkan Sekolah Menengah di

Andover Academy di Massachusetts.Kohlberg melanjutkan

pendidikan dan masuk pada Universitas Chicago, ia mengambil

bidang psikologi, dan tertarik dengan Teori Piaget yang saat itu

merupakan gurunya.Pada tahun 1958 Kohlberg lulus S3 dengan

Disertasi Thedevelopment of Modes of Thinking and Choice in year 10

to 16, yang merupakan landasan teori perkembangan moralnya.54

Kohlberg menyatakan bahwa posisi psikologis dan antropologis

tentang moralitas tentu melibatkan penggabungan dari nilai-nilai,

standar, atau norma budaya seseorang.55

Kohlberg juga menyatakan

dalam karangannya, bahwa tujuan dari penelitiannya adalah usaha

untuk memahami hubungan pengembangan pemikiran moral untuk

perilaku moral dan emosi, keduanya adalah hal yang penting untuk

diperhatikan, seperti misalnya emosi, emosi yang terkait erat dengan

moralitas adalah hal-hal positif seperti, simpati, empati, dan rasa

hormat. Emosi tidak dapat mendorong pemikiran dan perilaku

seseorang, sehingga individu tidak akan bertindak nonrasional atau

irasional hanya karena reaksi emosional yang tidak disadari.56

Asumsi yang tertanam dalam pendekatan Kohlberg adalah,

sebuah gagasan bahwa penilaian moral dan sosial sangat erat

53Abd. Mukhid, Self-Efficacy Perspektif Kognitif Sosial dan Implikasinya Terhadap

Pendidikan, Tadris, vol. 4, No. 1, Tahun 2009, hlm. 3 54Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social, and

Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human Development 2008, p. 1,

Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.17. 55Ibid, p. 3 56

Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social, and

Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human Development 2008, p. 4,

Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.44.

23

kaitannya dengan asumsi bahwa seseorang aktif dalam pemikiran.

Dan dalam lingkungan sosialnya, mereka memiliki kecenderungan

emosional atau mental yang peduli dengan kesejahteraan orang lain

serta keadilan dalam setiap hubungan mereka, dan dalam setiap

prosesnya mereka tidak hanya didorong oleh emosi atau biologis yang

tidak disadari.57

Lawrence Kohlberg called his theoretical approach to morality

and moral motivation "cognitive developmental" to describe his

contextualization of moral development within social and non-

social (or physical) cognitive development. one of moral

development kohlberg's chief sources of inspiration, jean piaget,

considered mature morality to be a logic or rationality inherent

in social relations. morality in the cognitive developmental

approach refers mainly to the moral judgment (or reasoned

evaluation) of the prescriptive values of right and wrong. this

approach emphasiezes moral development.58

Teori Moral Development ini menganggap moralitas yang

matang merupakan logika atau rasionalitas yang melekat dalam

hubungan sosial.Moralitas dalam pendekatan perkembangan kognitif

yang mengacu terutama pada penilaian moral dari nilai-nilai

preskriptif benar dan salah. Teori ini berkembang melalui tulisan

disertasi doktor yang dibuat oleh Lawrence Kohlberg pada saat beliau

melanjutkan studi psikologi di University of Chicago, yang mana

terinspirasi dari hasil pemikiran Jean Piaget.59

Piaget melihat bahwa anak yang berbeda umurnya

menggunakan cara berpikir yang berbeda, hal inilah yang

memengaruhi pandangan Piaget mengenai tahap-tahap perkembangan

kognitif anak.60

Dalam pemikirannya tentang perkembangan kognitif, Piaget

menjelaskan mengenai mekanisme dan proses perkembangan kognitif

57Ibid, p. 5 58John C. Gibbs, Moral Development. (New York: Oxford University Press, 2010), Hlm. 39 59Ibid, p. 39 60Chairil Anwar,Teori-Teori Pendidikan Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD,

2017). Hlm 319

24

manusia dari bayi, masa kanak-kanak, hingga menjadi manusia

dewasa yang dapat bernalar dan berpikir.61

Perkembangan pemikiran moral perlu disertai dengan

pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan

moral, kedua komponen tersebut, yaitu kognitif dan afektif sama

pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat

menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif

menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk

melakukan tindakan bermoral.62

Dalam hal ini Lawrence Kohlberg mengembangkan teori

perkembangan moral yang pada dasarnya berada di ranah afektif,

namun juga berkembang secara kognitif sebagaimana sebuah proses

yang berkembang melalui tahapan-tahapan tertentu.63

Kohlberg mencoba mengembangkan dan meningkatkan

kesadaran penalaran moral dengan cara menekankan pada interaksi.

Menurut Kohlberg aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari

lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat dikembangkan atau

dipelajari. Perkembangan moral ini merupakan proses internalisasi

nilai atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan

kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang

berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral ini mencakup

aspek kognitif tentang pengetahuan baik atau buruk, benar atau salah,

dan aspek afektifnya yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana

cara pengetahuan moral tersebut dipraktikkan dalam kehidupan.64

Teori Kohlberg mengenai perkembangan moral secara formal

disebut dengan cognitive-developmental theory of moralization, yang

bermula dari karya Piaget. Asumsi yang diberikan Piaget yakni bahwa

61Ibid. Hlm 321 62Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 8 63Supeni, Maria Goretti, Moralitas dan Perkembangannya, Vol. 33, No. 1, (15 Desember,

2010), Hlm. 15 64Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 11

25

kognisi (pikiran) dan afek (perasaan) berkembang secara paralel dan

keputusan moral merupakan proses dari perkembangan kognisi secara

murni. Bertolak belakang dengan asumsi dari para ahli psikologi pada

masa itu yang mengatakan bahwa pikiran moral lebih merupakan

proses psikolog dan sosial.65

Mereka berasumsi bahwa moralitas

merupakan hasil dari pendidikan perasaan pada usia dini dan sedikit

sekali hubungannya dengan proses berpikir rasional. Yang mereka

percayai adalah bahwa dalam memahami moralitas, seseorang harus

mempelajari proses sosialisasi yang dipelajari anak-anak dengan

mematuhi aturan dan norma masyarakat. Sebagaimana pendapat

Piaget bahwa validitas prinsip-prinsip moral harus tidak terbatas untuk

masyarakat tertentu.Prinsip-prinsip moral tidak dipelajari pada masa

kanak-kanak tetapi merupakan hasil keputusan moral.66

Menurut Kohlberg, moralitas tidaklah diperoleh melalui

lingkungan sosial. Karena ketika seseorang dihadapkan dengan

persoalan nilai-nilai yang bertentangan, maka ia akan kesulitan untuk

memilih nilai yang manakah yang ada dalam lingkungan sosialnya

yang harus dianut. Dengan demikian seseorang akan menghadapi

dilema moral ketika harus memilih dua kebenaran, akan sulit dalam

memutuskannya, maka ia harus benar-benar mempertimbangkan

konsekuensi dari keputusannya.67

Gagasan Piaget dan Kohlberg

mengenai konstruksi moralitas, melihat konstruksi ini dengan

tahapan-tahapan, dengan pendekatan yang berasal dari tradisi

pragmatis Amerika.68

Gagasan umum yang dibawa oleh Kohlberg, yaitu hubungan

antara filsafat moral dan psikologi moral, dasar dan landasan dari

keenam tahapan yang kontroversial, yaitu psikologi moral

65Ibid. 66Ibid. 67Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 12 68Gerhadrd Zecha, Paul Weingartner, Conscience: An Interdisciplinary View, (Holland: D

Reidel Publishing Company), p. 16

26

membutuhkan filosofi moral. Tahap ideal, adalah bentuk rekonstruksi

rasional perkembangan ontogenetik dalam beberapa kategori

moralitas, yang mana seseorang akhirnya dapat memperoleh dan

mencapai urutan tahapan.69

Terkait pendekatan yang digunakan Kohlberg, yaitu antara

psikologi moral deskriptif dan filsafat moral.70

Dalam karya John Gibbs edisi ketiga merangkum salah satunya

Teori Kohlberg, dikatakan bahwa teori moral development Kohlberg

mengacu pada moral Judgment atau pendekatan perkembangan

kognitif yang mengacu pada penilaian moral.

Agar dapat konsisten dalam bernalar untuk mengambil

keputusan moral ketika menghadapi kondisi yang dilematis, seseorang

harus menapaki tahapan demi tahapan yang disebut dengan tahap

perkembangan moral. Setiap tahapan mengandung struktur cara

berpikir mengenai hal-hal yang berkaitan dengan moral. Sebagaimana

disebut tahapan, maka tahap-tahap yang ada tentu berurutan secara

hierarkis. Seorang anak akan mencapai tahap perkembangan moral

tertentu setelah mencapai tahap moral pada tingkat sebelumnya.

Tahapan demikian disebut dengan integrasi yang hierarkis.Artinya,

ketika seseorang meningkat ke tahap yang lebih tinggi struktur

berpikir pada tahap yang lebih tinggi tersebut terintegrasi kembali

dengan struktur berpikir pada tahap yang lebih rendah.71

Pada teori moral development Lawrence Kohlberg memakai

sebuah metodologi, ia menyusun instrumen penelitian untuk

mempermudah dalam mengkualifikasi proses dari penalaran

seseorang tersebut dalam mengatasi dilema moral. Instrument tersebut

disusun juga untuk menemukan tahap kepatutan moral

seseorang.Kohlberg menggunakan wawancara keputusan Judgment

69Ibid, p. 17 70Ibid, p. 18 71Nida, Fatma Laili, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg dalam

Dinamika Pendidikan Karakter, Vol. 10, No. 2, Jurnal Edukasia, (26 Mei, 2014)

27

moral, yang mana terdiri dari tiga dilema hipotesis.Setiap dilema

menghadapkan subjek pada solusi yang sulit dan harus memilih dua

nilai yang bertentangan.Subjek diminta mengatasi suatu masalah dan

memberikan alasan terhadap pemecahan masalah yang dianggapnya

benar.72

Konsep tahapan itulah yang merupakan inti pendekatan

perkembangan kognitif.73Hal ini didukung dengan pernyataan

Durkheim, beliau menyimpulkan tesisnya yang dimulai dengan

pernyataan tegas “bahwa ilmu pengetahuan dapat membantu kita

menentukan jalan bagaimana kita harus mengorientasikan tingkah

laku kita”.74

Menurut Hogan dan Busch peningkatan pertimbangan

mengenai moral pada diri seseorang yang dirancang secara sengaja

melalui pendidikan di sekolah maupun di rumah, dapat membantu

membentuk kepribadian seseorang karena denga terbentuknya

pertimbangan moral pada dirinya maka seseorang akan berperilaku

(behavior) sesuai dengan cara berfikir moral (moral thinking) yang

ada padanya, perilaku yang ada pada diri seseorang berlandaskan pada

pertimbangan-pertimbangan kognitifnya.75

Kontribusi Lawrence Kohlberg dalam bidang perkembangan

moral sangat besar.Dia hampir sendirian dalam berinovasi bidang

pengembangan moral kognitif dalam Psikologi Amerika.Hal demikian

hampir tidak ada pada awal 1960-an, dimulai ketika kohlberg mulai

menerbitkan penelitiannya. Pilihan topiknya pada saat itu adalah

moralitas, penelitian yang dia lakukan menjadikannya semacam

"bebek aneh" dalam psikologi Amerika. Karena hampir tidak ada

ilmuwan sosial terkini, yang mengenal (relativisme) analisis

72Ibid., Hlm. 12 73Ibid., Hlm. 13 74Emile Durkheim, Moral Education, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama). 75Mulya Hasanah, Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2,

Desember 2018, Hlm. 26

28

psikologis, behaviorisme, dan antropologi budaya, menggunakan kata-

kata seperti moralitas atau pengembangan penilaian moral sama

sekali.76

Pandangan yang dimiliki Kohlberg tentang pendidikan adalah

masih revolusioner dan transformatif, hal ini karena Kohlberg

menganggap dan mendefinisikan pendidikan sebagai pendidikan

moral, ia sering mengatakan bahwa pendidikan moral menakutkan

baginya jika tidak kepada orang lain. Bagi Kohlberg, pendidikan di

sekolah harus mengajarkan “yang baik”, sebuah klaim yang

berpegang pada pemahaman bahwa pendidikan adalah sebuah usaha

moral, sarat akan nilai-nilai, dan terhubung dengan masyarakat yang

luas.77

Ide yang dikembangkan oleh Kohlberg, bahwa sistem

pendidikan harus selalu didahulukan dan dikhususkan sebagai bentuk

persiapan pembangunan seumur hidup atau jangka

panjang.Pembangunan untuk jangka panjang harus didasari dengan

perubahan progresif dari waktu ke waktu, domain pengalaman hidup

dan perubahan yang terjadi pada setiap individu saling mempengaruhi

dalam lintas waktu, kapasitas individu dan integrasi untuk

meningkatkan kognitif sosial dan kemampuan pemecahan masalah.78

Teori perkembangan moral dan teori pendidikan moral yang

ditemukan oleh Kohlberg berdasarkan hasil penelitian empirisnya

mengenai tahap-tahap keputusan moral.Kohlberg mendefinisikan

perkembangan moral sebagai gerakan dari tahap satu menuju tahap

berikutnya, dan pendidikan moral berarti merangsang gerakan

tersebut.Untuk memahami teori tersebut maka kita harus betul-betul

tahu mengenai definisi dari masing-masing tahap perkembangan

76John C. Gibbs, Moral Development. (New York: Oxford University Press, 2010), Hlm. 81-

85 77Boris Zizek, Detlef Garz and Ewa Nowak, Moral Development and Citizenship Education

(Kohlberg Revisited), Volume 9 (Taipei: Sense Publisher), p. 28 78Ibid., p. 29

29

moral.Lawrence Kohlberg menggambarkan 3 (tiga) tingkatan yang

menjadi enam tahapan tentang penalaran moral, masing-masing

tingkatan tersebut memiliki 2 tahapan. Enam Tahapan Keputusan

Moral Lawrence Kohlberg adalah79

:

Tabel 1.1 Enam Tahap Keputusan Moral Lawrence Kohlberg

Tingkat dan Tahap Makna Tahap Perspektif Sosial Setiap

Tahap

Tingkat I:

Prakonvensional

Tahap I:

Moralitas Heteronomi

Orientasi kepatuhan dan

hukuman: patuh semata-mata

karena ingin berbuat patuh,

menghindari hukuman fisik atau

kerusakan hak milik

Pandangan egosentrik, tidak

mempertimbangkan

keinginan orang lain dan

tidak menyadari bahwa setiap

orang berbeda-beda.

Tindakan orang lain hanya

dipandang secara fisik, tidak

ada dorongan psikologisnya.

Masih bingung dalam

membedakan antara

pandangan penguasa dengan

pandangan sendiri.

Tahap 2:

Individualisme,

egosentris, minat

pribadi (apa untungnya

bagi saya?), tujuan

instrumental, dan

pertukaran

Menaati peraturan jika sesuai

dengan kepentingannya sendiri,

bertindak untuk memenuhi

keinginan dan kebutuhannya

sendiri dan membiarkan orang

lain bertindak demikian juga.

Benar juga berarti keadilan atau

pertukaran perlakuan, perjanjian

yang adil

Pandangan individualistik

yang konkret. Menyadari

bahwa setiap orang memiliki

keinginan yang hendak

dicapainya, yang mungkin

saking bertentangan:

kebenaran bersifat relative.

Tingkat II:

Konvensional

Berbuat sesuai dengan harapan

orang-orang yang dekat dengan

Pandangan individual dalam

hubungan dengan individu-

79Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008).

Hlm 16

30

Tahap 3:

Orientasi keserasian

Interpersonal dan

Komformitas (sikap

anak baik)

dirinya atau sesuai dengan

harapan orang pada umumnya

mengenai bagaimana menjadi

anak, saudara, dan teman yang

baik. menjadi orang yang baik

itu penting dan bermakna

memiliki motif yang baik.

percaya akan hukum Tuhan,

keinginan menjaga peraturan

dan penguasa yang memiliki

perilaku yang baik.

individu lain. Menyadari

perasaan, persetujuan, dan

harapan bersama yang

mengutamakan keinginan

individu, bertenggang rasa.

Tahap 4:

Sistem Sosial dan Suara

Hati

Melaksanakan tugas-tugas yang

telah disetujui, orientasinya

adalah untuk memenuhi tugas,

menepati hukum. Untuk

menjaga agar lembaga berjalan

dengan menyeluruh dan

menghindari pelanggaran sistem.

Suara hati nurani penting sekali

untuk memenuhi tanggung

jawab seseorang.

Membedakan pandangan

masyarakat dari persetujuan

atau motif antarpribadi.

Menggunakan pandangan

sistem yang mendefinisikan

peran dan aturan;

mempertimbangkan

hubungan individual dalam

kerangka sistem.

Tingkat III:

Pasca Konvensional

atau Memiliki Prinsip

Tahap 5:

Kontrak Sosial atau

Hak Milik dan Hak

Individu

Menyadari bahwa masyarakat

memiliki berbagai nilai dan

pendapat, dan kebanyakan

peraturan mereka bersifat relatif

bagi kelompok mereka.

Biasanya menjunjung tinggi

kemauan rakyat secara

keseluruhan karena memiliki

kontrak sosial. Beberapa nilai

dan hak yang tidak bersifat

relatif (misalnya hak hidup dan

Mengutamakan perspektif

sosial. Kesadaran rasional

setiap individu akan nilai dan

hak sebelum membuat

kontrak sosial.

31

kebebasan) harus dijunjung

tinggi dalam masyarakat,

bagaimanapun pendapat

kelompok mayoritas.

Tahap 6:

Prinsip Etika Universal

Mengikuti prinsip-prinsip etis

pilihan pribadi. Undang-undang

khusus atau persetujuan sosial

biasanya valid karena didasarkan

pada prinsip-prinsip tersebut.

Jika Undang-undang tidak sesuai

dengan prinsip ini, orang tetap

bertindak sesuai dengan prinsip

meski harus melanggar Undang-

undang. Prinsip ini adalah

prinsip universal mengenai

keadilan, persamaan hak-hak

kemanusiaan, dan menghargai

martabat manusia sebagai

individu.

Perspektif pandangan moral

yang berasal dari persetujuan

sosial. Perspektif bahwa

individu rasional menyadari

hakikat moralitas atau

menyadari kenyataan bahwa

orang memiliki tujuan dan

harus diperlakukan sesuai

tujuannya.

Sumber: Lawrence Kohlberg, Moral Stages and Moralization: The cognitive Development

Approach, dalam Reimer, Paolitto, dan Hersh (1983:58-61)

c. Aplikasi Teori Moral Development Kohlberg dalam Pembelajaran

Pemahaman mengenai perkembangan tingkat kognitif,

psikomotorik, afektif merupakan hal yang sangat penting bagi calon

guru, sehingga ketika menjadi guru memiliki pedoman dalam membina

sikap, perilaku, moral dan karakter siswa.Sama pentingnya dengan

pemahaman tentang perkembangan psikologi dan moral anak sejak

kecil sampai dewasa.Beberapa teori yang sering dijadikan guru sebagai

32

dasar pedoman dan pembinaan, dan pembelajaran moral, salah satunya

adalah teori Kohlberg.80

Dalam pendidikan, untuk membangun karakter maka memiliki

tiga komponen penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan

moral action/ moral behavior.Komponen tersebutlah yang menjadi

dasar satu kesatuan yang terus menerus dalam perkembangan moral

anak.81

Oleh karena itu mempelajari bagaimana perkembangan moral

anak akan memberikan manfaat bagi kita sebagai dasar pemahaman

untuk melaksanakan dan mewujudkan pendidikan karakter sesuai

dengan kurkulum yang saat ini berlaku.82

Teori perkembangan moral

Kohlberg ini, merupakan modifikasi dan penyempurnaan atas teori

perkembangan kognitif Piaget. Mengenai bagaimana anak-anak

berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, yang

mulai dikembangkan oleh Piaget pada tahun 1932 dengan penelitian

yang mendalam, metode yang digunakannya adalah observasi dan

wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Penelitian Kohlberg

mengenai teori perkembangan moral adalah sebagai penyempurnaan

pentahapan yang dikembangan oleh gurunya yaitu Piaget.83

Lawrence Kohlberg berhasil menelurkan kelompok tahapan-

tahapan perkembangan moral menjadi 6 tahapan, yang mana

diperolehnya dengan mengubah dan memodifikasi tiga tahap Piaget/

Dewey kemudian masing-masing dijadikannya tiga tingkatan

kemudian tingkatan tersebut dibagi lagi atas dua tahap.84

Ketiga tingkatan tersebut sebagaimana telah penulis paparkan

pada sub bab sebelumnya, yaitu tingkat prakonvensional,

konvensional, dan pasca-konvesional. Anak yang berada dalam tahap

prakonvensional akan berperilaku “baik” dan peka terhadap pandangan

80H. M. Mukiyat, Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana untuk

Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015), hlm. 6 81Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg

Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus

(2013)., hlm. 4 82Ibid. 83Ibid, hlm. 13 84

Ibid.

33

atau label budaya tentang baik dan buruk, benar dan salah. Namun

anak-anak tersebut hanya memaknai pandangan tersebut dari segala

bentuk fisiknya saja seperti hukmannya, ganjarannya, ataupun

kebaikan.Anak-anak yang berada pada tingkatan ini biasanya anak

yang bekisar usianya di 4 hingga 10 tahun. Dalam tingkatan ini, terbagi

lagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap I, Orientasi hukuman dan

kepatuhan, anak berorientasi pada hukuman dan rasa hormat yang

tidak dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi, dengan akibat

fisik sebuah tindakan, mereka akan terlepas dari arti atau nilai

kemanusiawiannya, akan menentukan sifat baik atau buruknya dari

tindakan ini.85

Tahap ke-2, Orientasi relativis-instrumental, perbuatan yang

dilakukan adalah perbuatan benar yang secara instrumental berupa

kepentingan dan kebutuhan individu itu sendiri dan kadang-kadang

memuaskan kebutuhan orang lain. Pada tahap ini hubungan antar

manusia terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal balik, bukan sebuah

kesetiaan, rasa terimakasih, atau keadilan.86

Kedua tahap pada tingkat awal ini disebut dengan Hedonisme

instrumental atau sifat timbal balik menjadi peranan, atau dalam artian

“moral balas dendam”.

Selanjutnya tingkat kedua yaitu tingkat konvensional, pada

tingkatan ini berlaku pada anak usia 10-13 tahun, dalam tingkatan ini

anak-anak akan menuruti dan memenuhi harapan dari keluarga,

kelompok atau bangsa, sehingga dipandang sebagai hal yang bernilai

dalam dirinya tanpa mengindahkan akibat yang mereka dapatkan. Pada

tingkatan ini individu seorang anak bukan hanya sekedar berupaya

untuk menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, namun juga untuk

85

Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg

Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus

(2013)., hlm. 14 86Ibid.

34

menjaga, mendukung serta membenarkan sebuah tatanan sosial

tersebut.87

Pada tingkat konvensional ini, ada dua tahapan yaitu; tahap 3,

orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “menjadi anak

baik”. Di tahap ini, perilaku yang baik adalah perilaku menyenangkan

atau membantu orang lain, dan tentunya yang disetujui oleh mereka.

Terdapat banyak konformitas88

dengan gambaran-gambaran mengenai

apa yang dianggap tingkah laku mayoritas atau yang “wajar”.

Kemudian adalah tahap 4, yaitu anak terpatok pada orientasi

hukum dan ketertiban, orientasi pada otoritas, peraturan atau

pemeliharaan aturan sosial.Perbuatan yang benar adalah ketika

menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan

pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu

sendiri.Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku

sebagaimana kewajibannya.89

Berikutnya tingkat pasca-konvensional yang terjadi pada usia 13

tahun ke atas, ciri-cirinya adalah adanya dorongan utama menuju ke

prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, dan mempunyai validitas dan

penerapan, dan tentu terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau

dari identifikasi individu tersebut terhadap pribadi atau kelompok

tersebut. Pada tingkatan ini muncul usaha yang jelas untuk

merumuskan nilai dan prinsip moral yang dapat diterapkan.

Pada tingkat pasca-konvensional ada dua tahapan yaitu tahap 5;

Orientasi kontrak sosial legalistis.Suatu orientasi kontrak sosial, yang

umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian.Perbuatan yang benar

cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran

yang telah diuji dengan kritis lalu disepakati oleh seluruh

masyarakat.Terdapat suatu kesadaran mengenai relativisme nilai-nilai

87Ibid. 88Konformitasadalah: suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan

tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. 89

Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg

Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus

(2013)., hlm. 15

35

dan pendapat-pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang

sesuai untuk mencapai kesepakatan.

Dalam tingkat ini diakhiri oleh tahap 6 yang berisi Orientasi

Prinsip Etika Universal.Yaitu orientasi pada keputusan suara hati dan

pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, mengacu pada

pemahaman logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi.90

Tingkat

ini disebut dengan moralitas yang berprinsip (Principled

morality).Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih

besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis ataupun

kewenangan tokoh otoritas.91

Tahap kematangan moral seseorang dicapai tahap demi tahap

sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, tidak dapat dicapai

dengan sendirinya, dan juga tidak setiap orang dewasa mampu

mencapai tingkat yang tertinggi (tahap ke-6), karena untuk mencapai

moral yang baik dan matang diperlukan belajar yang mana dimulai

sejak anak-anak sampai dewasa.Oleh karena itu penting untuk

memperhatikan pendidikan dan pembinaan sikap, perilaku dan moral

anak di sekolah dan keluarga.92

Tiga aras perkembangan moral Kohlberg adalah sebagai berikut:

Principled

Conventional

Premoral

Preschool Usia Sekolah Masa Dewasa

90Ibid, 91Anata Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence

Kohlberg, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, vol. 28, No. 2, (Agustus 2015), hlm.

5 92

H. M. Mukiyat, Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana untuk

Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015), hlm. 7

36

Beberapa pendekatan yang digunakan sebagai dasar dalam merancang

dan menerapkan pembelajaran moral adalah:

a. Konstruktivistic Approach

Pada pendekatan ini siswa secara individual diharuskan untuk

menemukan lalu mengubah informasi yang komplek menjadi

sederhana dan bermakna agar informasi tersebut menjadi

pengetahuan bagi dirinya.Siswa mencari dan menemukan sendiri

nilai yang baik, perilaku, dan sikap yang baik atau buruk. Setelah

proses itu dihayati secara konstan sikap dan perilaku serta moral

yang baik tersebut akan tertanam dalam dirinya tanpa adanya

paksaan dari pihak manapun.

b. Contextual Teaching and Learning

Pendekatan pembelajaran ini adalah pendekatan yang menggiring

siswa kepada realita.Penerapan prosesnya adalah siswa dibawa ke

dunia nyata, seperti sesekali ke sebuah pondok pesantren, panti

asuhan, ataupun ke ladang.Untuk mengamati, dan mempelajari hal-

hal yang terjadi di kehidaupan nyata tersebut.Pendekatan ini

membuat pembelajarn moral tidak lagi abstrak, karena siswa betul-

betul ikut serta merasakannya dalam kehidupan nyata.

c. Avocation Approach atau Ekspresi Spontan

Dalam pendekatan ini siswa diberi kesempatan dan kebebasan

penuh untuk berpendapat, menanggapi, mengekspresikan isi

perasaannya, serta mengemukakan penilaian dengan cara

memberikan stimulus yang mempengaruhi emosional siswa.

d. Moral Reasoning Approach

Yaitu pendekatan untuk mencari kejelasan moral, yang pertama

harus dilakukan oleh pembelajar adalah memunculkan atau

mengadakan stimulus berupa “Dilema Moral” (sebuah masalah

yang penuh konflik) yang dilontarkan kepada

pembelajar.Kemudian mereka diajak terlibat dalam dilemma

37

tersebut, mintalah untuk mengemukakan pendapat dan menentukan

kejelasan moral yang baik dengan melalui diskusi atau dialog.

e. Awarenessm Approach atau Pendekatan Kesadaran

Ini merupakan pendekata kesadaran, melalui sebuah kegiatan siswa

dituntun untuk mengklarifikasi dirinya atau menilai orang lain,

sehingga akan memunculkan kesadaran pada dirinya,

menumbuhkan rasa empati dan kepedulian kepada sesama

manusia.

f. Value Analisis Approach

Dalam pendekatan ini siswa diajak mengadakan analisis nilai-nilai

yang ada dalam suatu kejadian dengan menggunakan media.Lalu

peristiwa tersebut dianalisis mulai dari analisis sederhana seperti

reportasi hingga pengkajian secara akurat, teliti dan tepat.

g. Comitment Approach

Sebuah pendekatan yang akrab disebut kesepakatan, yaitu

kesepakatan yang terjadi antara dua pihak yaitu pembelajar, dan

siswa mengenai isi kegiatan, dan konten atau materi.Dengan

pendekatan ini di dalam pendidikan moral untuk melatih disiplin

dalam pola berpikir dan perilakunya agar senantiasa melakukan

sesuati yang sudah menjadi kesepakatan bersama.

B. Kritik Terhadap Teori Moral Development Lawrence

Kohlberg

1. Kritik Ahli

Teori perkembangan moral Kohlberg sampai saat ini masih menjadi

rujukan dan referensi di banyak tempat, namun meskipun demikian teori

tersebut tidaklah lepas dari adanya kritikan. Kelemahan-kelemahan yang

terkait atas teori tersebut adalah masalah metodologi penelitian yang

digunakan Kohlberg, hubungan antara penalaran moral dan perilaku

38

moral, sifat universalitas dari teori tersebut, gender dan perkembangan

moral serta tinjauan dari filsafat moral.93

Masalah Metodologis, Durkin (1995) membuat pernyataan

mengenai kelemahan teori Kohlberg yaitu adanya masalah metodologis

dalam penelitian Kohlberg. Prosedur skoring yang digunakan adalah

isoterik dan subjektif (dilakukan oleh sebagian besar anggota kelompok

penelitian Kohlberg sendiri di Hardvard), dan tidak stabil karena

menggunakan kriteria yang berbeda-beda pada setiap poin dalam evaluasi

teori). Beberapa ahli menolak adanya pendapat Kohlberg mengenai

konsistensi dalam subjek, selain itu melalui beberapa penelitian

membuktikan individu yang sama dapat memiliki skor yang berbeda pada

satu seri atau jenis dilema. Point nya adalah yakni metodologi Kohlberg

tidak menjamin keabsahan data yang dihasilkan, sehingga sebagian ahli

meragukan tahapan penalaran moral tersebut.

Hubungan antara penalaran moral dan perilaku moral, beberapa

ahli menyatakan bahwa seperti tidak terdapat korelasi yang terlihat secara

konsisten antara perkembangan moral Kohlberg dengan perilaku moral

seseorang, atau dengan kata lain moral yang ada pada diri seseorang,

mungkin tidak nampak dalam perilakunya. Bahkan Kohlberg sendiri

menyatakan bahwa “untuk bertindak secara moral dengan cara yang baik

maka dibutuhkan penalaran moral pada tahap yang tinggi, dan seseorang

akan tidak dapat mengikuti prinsip-prinsip moral (tahap 5 dan 6) jika

seseorang tersebut tidak memiliki pemahaman atasnya atau tidak

mempercayainya”. Kohlberg menyatakan bahwa tahapan moral bukanlah

satu-satunya yang menentukan perilaku moral, artinya masih terdapat

faktor lain yang ikut mempengaruhi seperti misalnya kesepakatan sosial,

persepsi terhadap resiko, dan lainnya. Namun Kohlberg tetap percaya

93Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence

Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, hlm. 7

39

bahwa tahapan moral adalah salah satu prediktor sebuah perilaku yang

baik.94

Sifat universal dari teori Kohlberg, kritik berikut ini dinyatakan

dalam sebuah buku karya (Hook, 1999) dan (Durkin, 1995) yaitu tahapan

penalaran moral Kohlberg adalah sebuah interpretasi moralitas yang

ditemukan dalam kehidupan masyarakat demokratis Barat, sehingga

kemungkinan tidak akan dapat diterapkan dalam kebudayaan selain Barat.

Gender dan perkembangan moral Kohlberg, sebagian para ahli

mengungkapkan bahwa tahap-tahap penalaran moral Kohlberg tidak

dapat diterapkan dengan seimbang pada laki-laki dan perempuan,menurut

Carrol Gilligan (dalam Durkin, 1995) menyatakan bahwa kerangka kerja

Kohlberg bertitik fokus pada perkembangan konsep keadilan. Yang mana

didasarkan pada cara laki-laki dalam memandang sesuatu, maka terjadilah

bias terhadap perempuan dalam instrumentasi dan prosedur skoring.Dan

faktanya, penelitian yang dilakukan Kohlberg lebih banyak dilakukan

dengan subjek laki-laki. Menurut Gilligan (dalam Hook, 1999) dinyatakan

bahwa perempuan dan laki-laki tidaklah berpikir moralitas dengan cara

yang sama, dalam penelitiannya Gilligan menemukan bahwa dalam

membuat keputusan-keputusan moral, perempuan dinilai lebih banyak

berbicara dibandingkan dengan laki-laki terkait hubungan interpersonal,

tanggung jawab, tidak menyakiti orang lain, dan persoalan pentingnya

hubungan diantara orang-orang.Gilligan menyebut bahwa moralitas

perempuan adalah “orientasi perhatian”. Sehingga berdasarkan perbedaan

gender tersebut Gilligan menyatakan perempuan akan memiliki skor yang

lebih rendah.Menurutnya, laki-laki membuat keputusan moral sesuai dan

berdasarkan dengan isu-isu keadilan, yang mana isu-isu tersebut cocok

dengan tahapan penalaran moral yang tinggi.sebagaimana penelitian yang

dilakukan Holstein (dalam Durkin, 1995) ia menemukan sebagian anak

94Ibid, hlm. 8

40

perempuan berada dalam tahap 3, dan sebagian besar anak laki-laki

berada dalam tahap 4.95

Berikutnya pada jurnal yang ditulis oleh peneliti bernama Agus

Abdul Rahman, ia menuliskan beberapa kritik terhadap teori Kohlberg,

salah satunya kritik yang datang dari Eliot Turiel dalam karyanya social

cognitive domain theory, dalam karya Turiel tersebut sebenarnya terdapat

beberapa kesamaan paradigma antara Turiel dengan Kohlberg yakni

bahwa perkembangan moral akan lebih baik jika dipahami dengan cara

menganalisa moral judgment. Emosi dianggap terpisah dan tidak

mempengaruhi kekuatan moral judgment.Kritik Turiel adalah bahwa

moralitas hanyalah salah satu dari tiga bentuk pengetahuan sosial (social

knowledge).Pengetahuan sosial menurutnya ditandai dengan adanya

heterogeneity dan coexistence antara orientasi sosial, motivasi dan tujuan.

Turiel menyampaikan bahwa untuk dapat memahami fungsi serta

perkembangan moral dalam masyarakat hendaknya juga memahami

kultur dan struktur masyarakatnya, yang mana hal tersebut tidak termasuk

dalam teori perkembangan Kohlberg.96

Dari kalangan cultural psychology dan cross-cultural psychology,

mendapati kritik terhadap klaim bahwa adanya prinsip-prinsip moral yang

bersifat universal sebagaimana yang dikembangankan atau dibahas oleh

Jean Piaget, Lawrence Kohlberg, Carrol Gilligan, dan Elliot

Turiel.Cultural psychology memiliki sebuah premis yang bahwa proses

kultural dan psikologis sama pentingnya dalam memahami perkembangan

moral.Mereka mengakui adanya non-rasionalitas di dalam konsepsi

moral. Jelas berbeda dengan mainstream teori psikologi mengenai moral

yang mengabaikan peran agama dalam pembentukan moralitas, cultural

psychology justru mengakuinya, seperti Shweder dkk (1997) misalnya,

berdasarkan penelitian ethnografis di India, Brazil, dan Amerika yang

95Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence

Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, hlm. 10 96Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral,

Psympathic Jurnal Ilmiah Psikologi, vol. III, No. I, Tahun 2010, hlm. 3

41

mengidentifikasi adanya tiga domain moral, yang salah satunya moralitas

yang berhubungan dengan agama, yaitu autonomy, community, divinity.

Artinya, yang ingin Shweder sampaikan adalah perilaku moral individu

juga dapat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan kelompok

bahkan Tuhan, jadi bukan semata-mata ditentukan oleh moral

reasoning.97

2. Kritik Tokoh

Teori Kohlberg adalah teori perkembangan moral yang dipengaruhi

oleh pemikiran Jean Piaget tentang model perkembangan kognitif, hal ini

berarti teori Kohlberg merupakan gabungan antara teori keadilan Rawls

dan teori perkembangan moral Piaget.Kohlberg lebih fokus pada

penilaian moral dari proses-proses lain yang justru dimasukkan dan

menjadi model yang dibuat oleh James R. Rest, seorang yang dulunya

merupakan pengikut atau yang terbilang sepakat terhadap pemikiran

Kohlberg.Namun ia dan teman-temannya menyimpang dari teori

Kohlberg, pada tahun 1999 mereka membina satu model yang dikenal

dengan neo-Kohlbergian. Perbedaan yang dibawa dalam model yang

dikembangkan oleh Rest adalah lebih menekankan komponen kerjasama

sosial dalam pertimbangan keadilan.Sementara Kohlberg menegaskan

bahwa konsep keadilan adalah berdasarkan kepada individu, pointnya

adalah Rest telah kembali mengonsepkan yang dijustifikasi untuk

menyempurnakan ke enam tahap perkembangan moral dalam konteks

kerjasama sosial berdasarkan pertimbangan keadilan yang dibuat

Kohlberg.98

3. Kritik dari Penulis

Hidup ini merupakan kumpulan dari keputusan yang dilahirkan oleh

keyakinan-keyakinan terhadap sesuatu, sebagai manusia yang mampu

bertahan hidup dengan bergantung pada manusia lain hablu min an-naas,

97Ibid 98Syafrilsyah, dkk., Moral dan Akhlaq dalam Psikologi Moral Islami, Psikoislamedia Jurnal

Psikologi, vol. 2, No. 2, Tahun 2017, hlm. 5

42

tidak cukup jika hanya bergerak dan berkembang sebagaimana teori yang

Kohlberg suguhkan. Seluruh konten yang disampaikan oleh Kohlberg

mungkin merupakan pilihan-pilihan terbaik dalam penelitian yang

dilakukannya, namun tetap saja sebagai muslim, manusia yang hidup dari

yang Maha Hidup dan Maha Menghidupkan, kita juga perlu untuk

mengasah hati dan memperkaya diri dengan nilai-nilai agama yang Tuhan

sampaikan dengan wahyu, dan tidak melepaskan diri dari tali agama

Allah, serta terus melibatkan Allah dalam setiap keputusan kita dengan

cara berdialog dengan potensi yang paling jujur di dalam diri manusia.

Sehingga dengan demikian akan semakin lengkaplah upaya kita untuk

terus belajar menjadi manusia yang kamil.

43

BAB III

PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI

Jika mendengar atau membaca kata perspektif, yang ada di dalam pikiran

adalah hal-hal yang erat ikatannya dengan sudut pandang, pendapat, dan lain

sebagainya.Dalam penelitian kali ini penulis menggunakan kalimat perspektif

pendidikan Islami, yaitu sudut pandang yang berasal dari para ahli pendidikan

yang telah melakukan interpretasi terhadap sesuatu yang berdasarkan

interpretasinya dari Al-Qur‟an dan Hadits, dalam pendidikan Islami yaitu adalah

berbagai pendapat, banyaknya gagasan, munculnya teori dan segala interpretasi

tentang pendidikan berdasarkan nilai-nilai yang tertuang dalam Al-Qur‟an dan

Hadits.

Maka di bawah ini akan dipaparkan pendapat para ahli yang mendasarkan

pendidikan Islami yang interpretasinya pada Al-Qur‟an dan Hadits.

A. Antroposentris dan Theosentris

Sebelum membahas tentang berbagai perspektif ahli, di sini saya ingin

mengatakan bahwa pandangan manusia itu ada yang berpusat dan didasarkan

dengan pemikiran ansikhatau berpusat pada kemampuan manusia tanpa

campur tangan Tuhan, dan ada yang didasarkan pada spirit ilahiah yang

sering didengar dengan kataAntroposentris dan Theosentris.

Oleh karena itu sub bab ini akan lebih spesifik membahas pemikiran

para ahli antropologi dan theologi terkemuka dalam pandangannya terhadap

agama. Diantaranya adalah E.B. Taylor, yang menyumbangkan pemikirannya

tentang agama dalam karyanya, Primitive Culture.Prinsip yang terkandung

dalam pemikirannya adalah selalu ada hubungan antara pemikiran rasional

dasar dengan evolusi sosial dalam setiap aspek sebuah budaya jika kita

perhatikan lebih dekat.99

Kaitannya dengan agama, Taylor mengakui bahwa

tidak akan ada seseorang yang bisa menjelaskan sesuatu kecuali jika ia telah

tahu sesuatu yang hendak dijelaskan. Sehingga baginya, agama perlu untuk

99Yusron Razak, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta: Diterbitkan atas

kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press), Desember 2007, hlm. 43

44

didefinisikan.Kita tidak dapat terus mengikuti hasrat alami untuk

mendeskripsikan agama sekadar hanya keyakinan kepada Tuhan.Dengan

pendekatan demikian hanya akan membuat porsi besar dari ras manusia-

manusia yang sebetulnya religious namun percaya pada tuhan atau dewa yang

lebih banyak dari Kristen dan Yahudi.100

Melalui perkembangan pemikiran

keagamaan, sampai pada tingkatan ini, ketika manusia menyembah dewa

hutan, maka mereka mulai menyadari bahwa daerah-daerah berpohon itu

adalah rumahnya, namun mereka juga mengetahui bahwa mereka bisa kapan

saja meninggalkan rumah ini jika mereka kehendaki.

Berikutnya adalah Emile Durkheim, ia lebih tertarik pada pemikir

Perancis paling terkenal pada abad ke-19 M, yaitu August Comte (1798-

1857), yang mengusulkan agar serupa dengan Taylor dan Frazer, sebuah

model evolusi besar peradaban manusia.

Dalam perspektif dan bingkai pemikiran yang demikian, tingkatan-

tingkatan lebih awal pemikiran manusia, yang pada mulanya dirancang oleh

teologi dan juga ide-ide abstrak para filosof, pada akhirnya mengalami puncak

masa pemikiran positivisti, yaitu kajian-kajian mendalam dari fakta-fakta

yang diobservasi menjadi kunci dari semua pengetahuan. Selama periode

sains ini, yang disebut “agama humanitas” yang baru menggantikan agama

dan filsafat masa lalu yang dipinggirkan.101

Kita sebut kembali bahwa gagasan Tylor dan Fazer fokus pada ide

konvensional yaitu bahwa agama adalah kepercayaan kepada wujud-wujud

supernatural, seperti Tuhan atau dewa-dewa. Namun Durkheim sejak awal

mengklaim bahwa masyarakat-masyarakat primitif normalnya tidak secara

sungguh-sungguh memikirkan dunia yang berbeda, dimana yang satu

dikatakan natural sementara yang lain dikatakan supernatural.

Permasalahan lingkungan dan alam berawal dari mengakarnya filsafat

antroposentrisme dalam jiwa manusia. Antroposentrisme dimaknai dengan

teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah

100Ibid,hlm. 45 101

Yusron Razak, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta: Diterbitkan atas

kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press), Desember 2007, hlm. 43

45

manusia.Sehingga keputusan dan kepentingan manusia itu sendiri yang

menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara

langsung atau tidak. Antroposentris ini juga diduga kuat berakar pada ajaran

agama-agama monotheis, termasuk Islam dituduh mengembangkan ajaran

tersebut, ajaran monotheis telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam

dan Ilahi, begitu yang tertulis dalam pengantar buku Agama Ramah

Lingkungan.

Jika ditelaah dari sejarahnya, lahirnya filsafat antroposentris berawal

dari filsafat pelepasan manusia dari kukungan Tuhan. Yaitu pada abad

pertengahan, alam pikiran dunia Barat diisi dengan pikiran mitologis, akarnya

pada mitologi Yunani, saat itu Barat sangat terkukung di dalam paham

keagamaan bahwa seolah-olah Tuhan itu membelenggu manusia.102

Paradigm

lama tersebut lama kelamaan mulai ditinggalkan dan digantikan dengan

munculnya renaissance.Muncul pemikiran yang mengatakan bahwa manusia

adalah pusat dari segala sesuatu.Tuhan dan dewa-dewa hanya dianggap

sebagai mitos.Pandangan antroposentrisme lazim dikenal dengan humanisme

yang beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan, melainkan

manusia.Manusialah yang menguasai realitas, yang menentukan nasib bagi

diri mereka sendiri dan kebenaran, sehingga Tuhan dan kitab-kitab suci tidak

diperlukan lagi.

Konsep antroposentrisme adalah merdekanya manusia dan mereka yang

menjadi pusat dari segala sesuatu.Menurut Resmussen sebagaimana yang

dikutip oleh Mary Evelyn dan John A. Grim, yaitu bahwa akar dari segala

sesuatu permasalahan yang terjadi di lingkungan berawal dari filsafat

antroposentrisme, mereka mendefinisikan antroposentrisme sebagai sebuah

teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta ini adalah

manusia, sehingga kepentingan manusialah yang paling menentukan dalam

pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan alam secara langsung ataupun

tidak.

102Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan

Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 3

46

Lebih lanjut, dalam sebuah pendapat yang dikutip oleh Junaidi Abdillah

dalam jurnalnya, dikatakan bahwa konstruksi teologi lingkungan yang sudah

populer dalam masyarakat diduga telah terkontaminasi oleh paham

antroposentrisme. Ditandai dengan melonjaknya kesadaran akan rasa percaya

diri manusia dalam kuasa atas sumber daya alam dan lingkungan. Hal

demikian berkembang sangat pesat sebab manusia percaya diri sebagai

makhluk istimewa dengan berbekal kemampuan rasionalnya.Paham

antroposentrisme meyakini manusia merupakan makhluk yang mempunyai

kelebihan dan kemampuan dibanding makhluk lainnya.

Dalam dimensi kajian Islam, antroposentrisme dikatakan bersumber dari

prinsip-prinsip dasar Islam yang berkaitan dengan konsep hakikat manusia

sebagai makhluk istimewa (super being), sebagai makhluk yang diberi akal

rasional, dan sebagai makhluk yang paling kuasa atas alam dan konsep

khalifah fi al-ardh. Prinsip demikianlah yang merupakan symbol-symbol

teologi yang bias antroposentris.Sehingga dapat dipahami bahwa manusia

adalah makhluk terbaik sebab memiliki akal, manusia makhluk yang dinamis

sedangkan yang lainnya adalah makhluk statis.103

Terdapat beberapa ayat Al-Qur‟an yang dikatakan mengandung nilai

dan paham antroposentrisme.Pertama, konsep manusia sebagai makhluk yang

paling istimewa, terdapat dalam QS.at-Tin ayat 4:

Kedua, ayat yang mengandung makna dan menggambarkan manusia

sebagai makhluk yang berakal yaitu terdapat dalam QS.al- Baqarah ayat 75:

104

103Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan

Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 7 104 Artinya: “Apakah kamu masih mengharap mereka akan percaya kepadamu, padahal

segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka

memahaminya, sedang mereka mengetahui.”

47

Berikutnya adalah ayat Al-Qur‟an yang menggambarkan manusia

seakan makhluk yang paling berkuasa atas sumber daya alam dan lingkungan,

mereka lantas merasa demikian (manusia) karena menganggap semesta ini

diciptakan hanya untuk manusia.Diantaranya terdapat dalam QS.al-Baqarah

ayat 22:

105

Keempat, ayat-ayat tentang posisi dan kedudukan manusia sebagai

khalifah fi al-ardh atau wakil Allah di bumi.Tercantum dalam QS.al-Baqarah

ayat 30:

106

Dalam keempat dasar di atas, kemudian dibingkai dalam sewadah

teologi lingkungan yang memberi kesan antroposentris.Dalam jurnal yang

mengutip pendapat beberapa ahli, dijelaskan bahwa kekhalifahan bermakna

berarti manusia harus menjadi hamba yang memegang mandat Tuhan untuk

menyelenggarakan kehidupan yang bertanggung jawab.107

Dalam aliran Teologi Islam konsep kebebasan kehendak manusia ini

telah banyak menjadi pertentangan antara kaum Qadariyah dengan kaum

105Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,

dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan

sebagai rezeki untukmu”. 106 Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “sesungguhnya Aku

hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa engkau hendak

menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan

darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau.” 107Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan

Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 15

48

Jabariyah, di mana yang pertama mengakui adanya kebebasan manusia dan

yang lainnya justru menafikannya.

Kita sudah tidak asing dengan sebuah konsep teologi seorang ahli

yang berbunyi wahdat al-wujud, yang membahas kalimat Allah dalam

mengajarkan adam seluruh nama-nama dengan pengertian bahwa manusia

adalah menifestasi nomor wahid dan yang paling sempurna dari seluruh

atribut Allah SWT. Demikianlah konsep yang dibawa oleh Ibnu Arabi, dalam

pandangannya, manusia dan mikrokosmos adalah serupa.Ia sering

menyebutnya dengan istilah mikrokosmos; dunia kecil bagi manusia dan

dunia besar; makrokosmos bagi alam semesta.Dalam sebuah ilustrasi yang

sangat indah, manusia bagi alam semesta ini adalah ruh bagi jasad manusia.

Pendapat di atas semakin memperkuat bahwa antroposentrisme

tidaklah ditemukan diberbagai jalan apa lagi diajarkan di dalam Islam. Dalam

ekologi Islam justru manusia ditempatkan dengan proporsional, karena meski

manusia memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk Tuhan

yang lain, ia masih menjadi bagian dari lingkungan dan bukan berada di luar

ekosistem keberadaannya. Sejatinya, antroposentrisme tidak lahir dari agama

Islam, pandangan antroposentrisme terkemuka disebabkan oleh banyaknya

penafsiran yang parsial dan atomistik.Islam sendiri memandang manusia

dengan lingkungan alam bersifat simbiosa mutual dan manusia secara

fungsional adalah makhluk pembangun atau khalifah yang seharusnya

amanah dan berihsan.108

Banyak yang perlu kita benahi dalam cara berpikir kita, terutama

terkait permasalahan Tauhid dan sikap percaya atau beriman kepada Allah.

Dalam Agama Islam, kesan yang amat kuat adalah Tauhid hanya memiliki

arti beriman atau percaya kepada Allah, lalu setelah itu kita merasa sudah

cukup memiliki tauhid di dalam hati kita hanya percaya kepada Allah,

padahal jika kita mau mentafakkuri dan mengelaborasi terhadap makna-

makna Al-Qur‟an ternyata yang terjadi sebetulnya tidaklah demikian, sebab

orang-orang musyrik di Makkah yang disebut dalam Al-Qur‟an mereka

108Ibid., hlm. 21

49

memusuhi Rasulullah sedangkan mereka adalah kaum yang sangat dan

sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah QS. Az-

Zumar ayat 38:

109

Dalam pemikiran mainstream teologi selalu bersifat di mana Tuhan lah

yang menjadi pusat segala kekuatan dan kekuasaan lalu manusia harus tunduk

dan ditundukkan dihadapan Tuhan atau yang kita kenal dengan teosentris,

pemahaman yang ada dalam logika teosentris adalah perjalanan kehidupan

dengan kehadiran Tuhan, Tuhan yang bukan hanya menciptakan manusia

tetapi juga mengintervensi, mendatangi, dan bersemayam dalam kehidupan

duniawi. Teologi adalah wilayah ketuhanan, sedang realitas sosial adalah

wilayah kemanusiaan.110

Teologi dipandang sebagai unsur penting yang mendasari adanya

sebuah agama, yang tanpa teologi maka tidak ada agama dalam keimanan

seseorang.Tujuan dari teologi ini adalah untuk mensucikan (Tanzih) Tuhan.111

Teologi (ilmu kalam) menurut Nurcholis Majid, adalah bidang strategis

yang menjadi landasan dalam upaya pembaharuan pemahaman dan

pembinaan umat Islam, karena sifatnya metodologis. Menurut ahli lain,

teologi adalah aspek yang penting karena fungsinya adalah sebagai refleksi

109 “Artinya: Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, siapakah yang

menciptakan seluruh langit dan bumi? Pastilah mereka akan menjawab, Allah! Katakan: Apakah

telah kamu renungkan sesuatu (berhala) selain Allah itu? Dan jika Dia menghendaki rahmat

untukku, apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu menahan Rahmat-Nya?! Katakan

(Muhammad):”Cukuplah bagiku Allah (saja), Kepada-Nyalah bertawakkal mereka yang (mau)

bertawakkal”. 110M. Ghufron, Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris (Telaah

atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 3, No. 1,

Juni 2018, hlm. 18 111Ibid., hlm. 16

50

kritis terhadap tindakan manusia dalam melihat realitas sosial yang

dihadapinya.

Hassan Hanafi salah seorang ahli yang banyak menghabiskan masa

hidupnya di Mesir, sehingga membuatnya memiliki pandangan lain terhadap

dikotomi yang masih banyak terjadi antara kaum teologis dan antroposentris.

Hassan Hanafi membangun pemikiran baru yang ia tulis dalam karyanya,

mengenai teologi dalam antroposentris. Counter pemikiran yang menganggap

agama adalah caramengenal Tuhan saja (teosentris) justru menuai tafsiran dan

cara pandang lain, yang sebaliknya, yaitu pemahaman bahwa agama adalah

cara seseorang untuk hablum min an-naas/ bermanusia. Cara pandang itulah

yang melahirkan teologi antroposentris yang dibawa oleh Hassan Hanafi.

Pemikiran Hassan Hanafi ini timbul atas kritiknya terhadap pemikiran

kalam (teologi) terdahulu yang dianggapnya jauh dari etos progesivitas

kemanusiaan.Kalimat-kalimat pujian terhadap Allah, dan pernyataan

kelemahan manusia dihadapan kemaha Besaran-Nya, memberikan pengaruh

pasivitas dalam diri manusia, hal demikian menimbulkan kondisi psikologis

yang seakan tidak mampu mengubah keadaan. Jiwa orang islam seakan

diperkerdilkan dan diperlemah dengan selalu menjejalkan dalam kesadaran

manusia ingatan, bahwa Dia yang Maha Besar, sementara diri sendiri serba

lemah dan membutuhkan pertolongan. Demikianlah yang terpatri dalam jiwa

manusia sehingga membuatnya merasa tidak percaya diri ketika berhadapan

dengan penguasa-penguasa temporal baik dalam hal politik, budaya, maupun

penguasa keagamaan.

Oleh sebab itu Hassan Hanafi sangat berambisi untuk membangun

pemikiran teologis yang antroposentris dengan berorientasi pada

pemberdayaan rakyat.Dasar asumsinya adalah teologi yang berkembang

dalam dunia Islam selama ini tidaklah menjawab problema kemasyarakatan

51

manusia sehingga perlu untuk didekonstruksi baik dari segi epistimologisnya,

maupun wacana dan struktur.112

Sehingga pandangan hidup yang teosentris dapat dilihat dengan cara

menjadikan diri dalam kegiatan keseharian yang antroposentris. Keduanya

tidak dapat dipisahkan, konsekwensinya adalah orang yang berketuhanan

dengan sendirinya akan berperikemanusiaan. Teologi antroposentris Hassan

Hanafi adalah wujud kecil sebuah perumusan kembali teologi yang tentu saja

tidak ada maksud untuk mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang

Tauhid, hanya merupakan upaya untuk riorientasi pemahaman keagamaan

secara individual maupun kolektif dalam kenyataan empiris sesuai dengan

perspektif ketuhanan.113

Kohlberg membawa teori dengan tujuan membangun spiritual yang

moralitas tetapi dengan basicsekuler atau antroposentris. Sebagaimana yang

telah dibahas pada bab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana teori moral

development Kohlberg. Sebagai contoh bahwa bagi Kohlberg, seorang anak

dapat mengerti bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik tanpa

menyertakan embel-embel agama di dalamnya.

Berseberangan dengan salah satu pendapat seorang ahli, KH. Toto

Tasmara dalam bukunya beliau mengungkapkan bahwa di dalam qalbu

terhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tentang salah dan

benar, baik dan buruk, dan berbagai keputusan lainnya yang kelak akan

dipertanggung jawabkan secara sadar. Qalbu atau hati nurani merupakan awal

dari sikap sejati manusia yang paling autentik, yaitu kejujuran, keyakinan,

dan prinsip-prinsip kebenaran.114

Toto Tasmara mengungkapkan, untuk mendapati hati nurani (qalbu)

yang dapat merasakan dan menangkap fungsi indrawi, diperlukan adanya

latihan atau pencerahan (tazkiyah, dan tarbiyatul qulub), yaitudengan cara

112M. Ghufron, Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris (Telaah

atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 3, No. 1,

Juni 2018, hlm. 22 113Ibid, hlm. 24 114Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk Kepribadian

yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press 2001), hlm. 47

52

memposisikan qalbu senantiasa menerima cahaya ruh yang berisi kebenaran

dan kecintaan kepada Ilahi.

Seharusnya, manusia yang lahir sebagai makhluk yang dinamis dan

komplek, terlahir dengan fitrah berbagai potensi dalam dirinya, mampu untuk

tetap teguh menjaga kemanusiaannya.Seringkali manusia tidak mengenali

dirinya, sebab tidak mengenali Tuhannya.Manusia menjadi sulit

mengembangkan potensi dirinya.Sebab tidak mengenali potensi diri, manusia

membuat persoalan-persoalan di dalam hidupnya, salah satunya permasalahan

akhlak kemanusiaan atau karakter manusia itu sendiri.

Akhlak adalah akibat dari potensi teologi dalam diri manusia dalam

batin manusia.Teologi antroposentris Hassan Hanafi di atas menjadi salah

satu solusi sebagai dasar membentuk akhlak kemanusiaan atau karakter.115

B. Moral dalam Perspektif Islam

Drs. Sidi Gazalba mengatakan bahwa moral ialah sesuai dengan ide-ide

yang umum diterima tentang tindakan manusia, sehingga beliau

menyimpulkan bahwa moral itu adalah suatu tindakan yang sesuai dengan

ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan

tertentu.116

Secara terminologi perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin

„mores‟ yang merupakan bentuk jamak dari perkataan „mos‟ yang berarti adat

kebiasaan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya

digunakan ketika akan menetukan batas-batas suatu perbuatan seseorang,

kelakuan, sifat, dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau

tidak layak, patut atau tidak patut. Moral dalam istilah juga dipahami sebagai

(1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2)

115Manijo, Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan dengan Teologi Kepribadian Hassan Hanafi

(Perspektif Teologi Antroposentris), Jurnal Fikrah, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2013, hlm. 2 116Abd Haris. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbaisis Rasional Religius, (Jakarta: LKiS

Yogyakarta, 2010). Hlm 33.

53

kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau

gambaran tentang tingkah laku yang baik.117

Dalam kehidupan moral, orang mukmin harus mematuhi ajaran-ajaran

hukum Tuhan. Dengan dipersatukannya segi spiritual dan segi keduniaan,

Islam menjadikan insan muslim seorang yang terlibat dalam moral.118

Ada banyak sekali istilah yang memiliki makna sama ketika

membicarakan tentang etika sosial manusia, diantaranya adalah moral, etika,

dan akhlak. Dalam salah satu karya Rachmat Djatnika yang berjudul Sistem

Etika Islami (Akhlak Mulia), dikatakan persamaan dari akhlak adalah etika dan

moral.119). Dalam hadits lain yang sangat populer juga Rasul menegaskan misi

utamanya itu, beliau bersabda “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan

keluhuran budi pekerti (akhlaq al-kariimah)”. (HR. Baihaqi)

Ajaran akhlak seperti dalam pantulan cermin yang menemukan

bentuknya dengan sempurna pada agama Islam dengan bertitik pangkal pada

Tuhan dan akal manusia. Agama Islam mengandung jalan hidup untuk

manusia yang paling sempurna dan berisi ajaran-ajaran yang akan

membimbing dan menjadi penuntun bagi manusia untuk mendapatkan

kebahagiaan dan kesejahteraan, janji-janji itu semua terkandung dalam Al-

Qur‟an yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang akan kita teladani dari

Nabi Muhammad SAW.120

Hukum-hukum Islam, yang berisi serangkaian pengetahuan tentang

akidah dan pokok-pokok akhlak dan perbuatan terdapat dalam sumber aslinya

di dalam Al-Qur‟an, Allah SWT berfirman:

117Munari, Tahap Perkembangan Moral Perspektif Barat dan Islam, Artikel, Jurnal

Pendidikan Islam, Hlm 3. 118Lubis, Mawardi, Pengembangan Instrumen Evaluasi Perkembangan Moral Keagamaan

Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol. 6, No. 1, (01 Juni, 2004). 119Mulya Hasanah, Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2,

Desember 2018, Hlm. 23 120Abuddin Nata., Akhlak Tasawuf, Cet. 5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2003. hlm.

67

54

121

Demikian adalah salah satu firman Allah yang menunjukkan betapa jelas

tertera petunjuk-petunjuk bagi manusia berupa pokok-pokok akidah

keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip perbuatan.Di dalam Al-

Qur‟an juga banyak firman-firman Allah yang menyeru kepada kebaikan dan

mencegah untuk melakukan kemungkaran. Sebagaimana ayat berikut:

122

Melalui ayat-ayat di atas, merupakan petunjuk bahwa al-Qur‟an sangat

memperhatikan masalah pembinaan akhlak, dan memberi petunjuk macam-

macam perbuatan yang termasuk akhlak mulia.Apa yang diperintahkan Allah

tersebut, dikerjakan oleh manusia, dan akibatnya pun untuk manusia tersebut.

Allah berfirman di dalam Al-Qur‟an juga mengenai apa-apa saja yang di

larang-Nya, apa saja yang dapat mendekatkan diri pada-Nya, apa saja bahaya

dan keuntungan dari perbuatan yang dilakukan manusia, dan lain sebagainya.

Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak dapat dijumpai dengan

melalui perhatian Nabi Muhammad SAW sebagaimana terlihat dalam

ucapannya dan perbuatannya yang mengandung akhlak.Sebagaimana yang

telah disebutkan dalam hadits sebelumnya, bahwa beliau adalah utusan di

muka bumi ini yang diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.Orang

121 “Artinya: Sesungguhnya Al-Qur‟an ini menunjukkan kepada jalan yang paling lurus dan

memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan

mendapat pahala yang besar”. (Al-Isra: 9) 122 “Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS.

An-Nahl: 90)

55

yang paling berat timbangan amal baiknya di akhirat adalah orang yang

paling baik akhlaknya.123

Dalam rangka pembentukan akhlak, Islam juga menghargai peran dan

pendapat akal pikiran yang sehat yang tidak menyimpang dari jalan al-Qur‟an

dan Sunnah. Ajaran akhlak yang berdasarkan dengan al-Qur‟an dan sunnah

bersifat absolut, universal, dan mutlak. Yaitu tidak dapat ditawar lagi dan

berlangsung sepanjang zaman. Namun, apa yang dijabarkan di dalam al-

Qur‟an dan sunnah secara mutlak dan universal tersebut memerlukan akal

pikiran manusia. Dengan pikiran dan akal manusia dalam menghadapi hal

yang absolut tentu akan melahirkan bentuk yang berbeda-beda yang sesuai

dengan keadaan yang masyarakat akui, maka dengan begitu ajaran akhlak

akan mudah diterima oleh seluruh masyarakat berdasarkan hasil ijtihad akal

pikiran.

Berikutnya, membahas moral, akhlak, akan selalu bersentuhan dengan

pembahasan mengenai etika, kesusilaan dan hubungan diantara satu sama

lain. Etika, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti

watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika

memiliki arti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).124

Dengan

begitu, etika juga memiliki hubungan dengan upaya menentukan tingkah laku

manusia.

Pengertian etika selanjutnya dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara,

bahwa etika adalah sebuah ilmu yang mempelajari perihal kebaikan dan

keburukan di dalam hidup manusia secara keseluruhan, terutama yang

mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat menimbulkan atau

merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mencapai tujuannya yang

dapat merupakan perbuatan.125

Ketika pengertian etika dan moral dihubungkan maka ditemukan bahwa

antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu membahas tentang

123

Abuddin Nata., Akhlak Tasawuf, Cet. 5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2003. hlm.

76 124Ibid, hlm. 89 125

Ibid, hlm. 90

56

segala perbuatan manusia yang kemudian barulah ditentukan sebagai baik

atau buruk posisinya. Perbedaan diantara keduanya adalah, dalam etika, untuk

menentukan baik atau buruk nilai perbuatan seorang manusia dengan

menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio.Sedangkan dalam moral

maka tolak ukurnya adalah norma-norma yang berlaku dan tumbuh

berkembang di dalam masyarakat.Dengan begitu etika lebih bersifat

pemikiran yang filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep.Moral,

berada dalam dataran realitas dan timbul dalam bentuk berupa tingkah laku

yang berkembang di masyarakat.

Seseorang yang memiliki kesadaran moral akan senantiasa jujur,

tindakan yang bermoral tentu tidak akan menyimpang dan akan selalu

berpegang pada nilai-nilai yang berlaku, hal itu terjadi jika seseorang

memiliki kesadaran, bukan merupakan dorongan atau paksaan dari sesuatu

melainkan kesadaran dalam diri seseorang tersebut.

Kesadaran moral erat dengan hati nurani, atau dalam bahasa Arab

disebut dengan Fu’ad, dalam bahasa Inggris conscience.Ada tiga hal yang

tercakup sebagai kesadaran moral.Pertama, merasa wajib dan harus untuk

melakukan perbuatan yang bermoral.Kedua, kesadaran moral dapat berwujud

rasional dan obyektif, atau perbuatan yang secara umum diterima oleh

masyarakat atau yang berlaku di dalamnya.Ketiga, kesadaran moral dapat

muncul dalam bentuk kebebasan yang mana manusia dapat menentukan

perilaku dan terpampang nilai kemanusiaan di dalamnya.126

Manusia terlahir dengan fitrah kecerdasan yang terdiri dari lima bagian

utama kecerdasan, yaitu sebagai berikut:

1. Spiritual Intelligence atau kecerdasan ruhaniah, kemampuan seseorang

untuk mendengarkan hati nuraninya, baik buruk dan rasa moral dalam

caramenempatkan diri dalam pergaulan.

126

Abuddin Nata., Akhlak Tasawuf, Cet. 5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2003. hlm.

95

57

2. Kecerdasan intelektual, kemampuan seseorang memainkan potensi logika,

kemampuan dalam berhitung, menganalisa dan matematik (Logical

mathematical intelligence).

3. Emotional Intelligence, kecerdasan emosional berupa kemampuan

manusia untuk mengendalikan diri (sabar) dan kemampuan untuk

memahami irama, nada, musik, dan nilai estetika.

4. Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam menjalin sebuah

hubungan dengan orang lain, baik individu maupun kelompok.

5. Kecerdasan fisik (bodily-kinesthetic intelligence, kemampuan seseorang

dalam mengkoordinasikan dan memainkan isyarat-isyarat tubuhnya.

Semua kecerdasan tersebut, berdiri di atas kecerdasan ruhaniah, sehingga

segala potensi yang dimilikinya membuahkan kemuliaan akhlak.127

Berikutnya terdapat istilah susila, kesusilaan, atau yang berasal dari

bahasa sansekerta yaitu su dan sila.Su berarti baik, bagus, dan sila memiliki

arti dasar, prinsip, peraturan hidup dan norma. Dalam masyarakat susila

sering digunakan sebagai arti hidup yang lebih baik. Seseorang yang bersusila

adalah orang yang dilabeli berkelakuan baik, sehingga susila menggambarkan

keadaan seseorang yang senantiasa menerapkan nilai-nilai yang dipandang

baik.

Di dalam salah satu karya Abuddin Nata yang berjudul akhlak

tasawuf, segala istilah yang telah penulis paparkan di atas merupakan hal

yang saling berhubungan.Bahwa seluruhnya adalah sebagai patokan dalam

menentukan hukum atau nilai suatu perbuatan manusia untuk mengetahui

baik-buruknya.Beliau menyertakan pula perbedaan diantaranya,

perbedaannya terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk

menentukan baik atau buruk.Dalam etika, penilaian baik buruk berdasarkan

penilaian dan pendapat akal pikiran, di dalam moral dan susila adalah

kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat, maka pada akhlak

127

Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk Kepribadian

yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press 2001), hlm. 49

58

ukuran yang dijadikan sebagai penentu baik atau buruk sesuatu adalah al-

Qur‟an dan al-Hadits.128

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, hakikatnya adalah makhluk

yang pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan

lingkungan.Manusia makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani

sebagai potensi pokok. Aspek jasmani manusia sebagaimana disebutkan

dalam surah al Qashash ayat 77, Allah SWT berfirman:

129

Manusia dalam pandangan Islam memiliki aspek jasmani yang tidak

dapat terpisahkan dari aspek rohani ketika manusia masih hidup di

dunia.Selain jasmani manusia juga memiliki aspek akal, seluruh aspek dalam

diri manusia senantiasa tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan-

tahapan.Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri yang mesti ada

pada diri Muslim yang sempurna.

Menurut Harun Nasution, baik dimensi material maupun non material

manusia memiliki keduanya, energy atau daya (al-Quwwah). Ada dua energy

atau daya dimensia material manusia, yaitu daya-daya fisik atau jasmani

seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, dan mencium.Kedua daya gerak,

yaitu kemampuan menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata dan

sebagainya.Kemudian kemampuan untuk berpindah tempat, berpindah tempat

duduk keluar rumah dan sebagainya.Sementara dimensi non material manusia

128Ibid, hlm. 97 129“Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah

kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang

lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan

di bumi, sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”. (QS. al Qashahs: 77)

59

juga memiliki dua daya yaitu daya berpikir atau ‘aql yang berpusat di kepala

dan daya rasa atau qalb yang berpusat di dada.

Dalam psikologi Islam ada konsep fitrah atau menjadi fitrah yang

merupakan citra seorang manusia yang berpotensi untuk menjadi baik atau

buruk.Fitrah manusia sejak di dalam kandungan ialah setelah ditiupkan ruh,

maka manusia diberi akal pikiran, hati nurani.Yang mana keduanya tentu

terus mengalami pertumbuhan.Pertumbuhan secara fisik yang melalui

tahapan prenatal sampai pada tahap akhir.130

Dengan memiliki fitrah yang kaya akan potensi, manusia mengalami

pertumbuhan dan perkembangan, namun bukan semata-mata perubahan dan

pertumbuhan fisik saja melainkan perkembangan yang terjadi dalam diri

manusia pada akhlaknya, budayanya, moralnya. Akal manusia berkembang,

sehingga dengan akal manusia akan mampu mengerti baik dan buruk. Setelah

mengerti baik dan buruk, maka manusia dapat menentukan dan menilai mana

baik dan buruk.Manusia tidak tumbuh secara fisik saja tetapi juga terjadi

pengembangan di dalam moralnya, akhlaknya, dan lain sebagainya.

Pertumbuhan dan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi

pada setiap makhluk hidup. Perubahan yang terjadi pada seseorang tidak

hanya meliputi apa yang kelihatan seperti perubahan fisik dengan

bertambahnya berat badan dan tinggi badan, tetapi juga perubahan

(perkembangan)dalam segi lain seperti berpikir, emosi, bertingkah laku,

semua anak-anak tumbuh melalui suatu tahapan pertumbuhan dan perubahan

fisik, kognitif, dan emosional yang dapat diidentifikasi.131

Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal dapat dicapai

dengan dukungan faktor intrinsik dan ekstrinsik.Peran orang tua, keluarga,

sahabat, guru, dan masyarakat sekitar sangat mempengaruhi tumbuh kembang

seorang anak.Perkembangan dalam akhlak Islam berdasarkan hubungan

130Tarmizi, Konsep Manusia dalam Psikologi Islam, Jurnal al Irsyad, vol. VII, no. 2 Juli-

Desember (2017), hlm. 14 131Wandari Arifia Lathifa, Hubungan Antara Penalaran Moral dengan Kecerdasan Spiritual

pada Siswa Kelas XI di SMK MUhammadiyah 3 Yogyakarta, Skripsipada Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2015. hlm. 3

60

manusia dengan Tuhan, perkembangan moral konvensional menunjukkan

hubungan erat antara sesama manusia yang bersifat empirik.132

Nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan Islami adalah Islam

menginginkan pemeluknya cerdas dan pandai sehingga mampu dalam

menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat.Kekuatan rohani (qalbu) lebih

jauh dan luas daripada kekuatan akal.Kekuatan jasmani terbatas pada objek-

objek dengan wujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.

Secara umum, tugas dari pendidikan yang Islami adalah membimbing

dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik sampai pada

tahap yang optimal.133

Imam al Ghazali pada dasarnya mengemukakan dua

tujuan pokok pendidikan Islami, untuk mencapai kesempurnaan hidup

manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.Kedua untuk mencapai

kesempurnaan hidup manusia dalam menjalani kehidupannya untk mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Untuk itu seorang anak yang pasti mengalami pertumbuhan dan

pengembangan dalam setiap tahapannya, penting untuk mendapatkan

pendidikan yang memberikan nilai-nilai ke-Islam-an agar senantiasa

dibimbing dalam melatih qalbu sehingga mampu melewati masa

pertumbuhan dan perkembangan dengan cerdas dan mencapai tujuan seorang

hamba yaitu menjadi insan kamil di muka bumi.

D. Hubungan Moral dengan Antroposentris

Sebagai makhluk biologis dan sosial, agar dapat bertahan hidup maka

manusia sangat bergantung dengan manusia lainnya, bergantung dengan

lingkungan fisik dan sosialnya. Segala bentuk dan cara manusia dalam

bertindak sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial, tindakan manusia

132Safrilsyah, dkk., Moral dan Akhlak dalam Psikologi Moral Islami, Psikoislamedia Jurnal

Psikologi, vol. 2, No. 2, (2017), hlm. 10 133Sitti Trinurmi, Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dan Hubungannya dengan Tujuan

Pendidikan Islam. Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan dan Penyuluhan Islam Vol. 2, No. 1,

Desember (2015), hlm. 2

61

ditentukan oleh apa yang mereka pikirkan terutama oleh nilai-nilai dan

kepercayaannya.134

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia akan menjadi label

moral dalam dirinya, dalam perilakunya, baik atau buruk. Moral dan susila

merupakan produk rasio dan budaya masyarakat yang dengan selektif diakui

bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia.

Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya, memaknai

antroposentris adalah pandangan bahwa manusia adalah pusat dari segala

sesuatu, makhluk atau entitas yang paling penting dari pada makhluk lain, ini

adalah tahap awal perkembangan pikiran manusia. Sehingga dalam menjalani

kehidupan dan menghadapi alam semesta penting bagi manusia untuk

memiliki moral demi menyeimbangkan etika alam yang ada. Moral dan

antroposentris keduanya adalah produk rasio dan budaya masyarakat, salah

satu potensi biologis (otak) adalah kecerdasan spiritual, dalam hal ini sudut

pandang Barat dan Islam tentang kecerdasan spiritual adalah sama, namun

terdapat perbedaannya juga, yaitu bagi masyarakat Barat kecerdasan spiritual

mereka lihat nilai-nilai spiritualnya dalam perspektif budaya, bukan agama.

Sehingga mereka sama sekali melepaskan diri dari keagamaan dan

menganggap bahwa agama tidak dapat memberikan kebebasan pencarian

kebenaran ilmiah, mereka beralasan keberpihakan pada kebenaran ilmiah

yang objektif dan universal.135

Sedangkan sesungguhnya di dalam Islam bahkan untuk seluruh umat,

sebagai hamba Allah SWT, kita diberi seseorang yang dapat kita jadikam

sebagai uswah hasanah, suri tauladan di muka bumi ini contoh dari segi

akhlaknya, moral, sikap dan seluruh perbuatan dan perkataannya, yaitu Nabi

Muhammad SAW.Seharusnya hal tersebut juga membuka mata dan hati

nurani kita sebagai manusia bahwa Islam sangatlah memberikan keleluasaan

dan kebebasan bagi pemeluknya dalam mempergunakan kecerdasan

134Yusron Razaq, Ervan Nurtawaban, Antropologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press,

2007), hlm. 26 135

Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk Kepribadian

yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press 2001), hlm. Xi

62

spiritualnya, melakukan eksplorasi namun tetap berada pada koridor

tauhid.Sebagaimana firman Allah QS.al-A‟raf: 172

136

Dalam ayat di atas, kita diingatkan terhadap janji yang pernah manusia

buat dihadapan Tuhan sebuah kesaksian bahwa Allah itu ahad,wahid. Kita

bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan kita.Dan sebagai manusia makhluk sosial

yang fitrahnya bergantung kepada manusia lainnya untuk bertahan hidup,

bagaimana mungkin melepaskan diri dari Tuhan yang Maha Hidup dan

memberi kehidupan.

Benar bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah fil al ardh

karena manusia memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk-Nya yang

lain. Oleh karena itu kita diberi akal untuk bertafakur atas apa yang ada di

langit dan di bumi. Karena Allah SWT telah mengatur seluruhnya dengan

sebaik-baiknya, dengan moral, bahkan meski dalam hal berperang pun, diatur

untuk berperang sebaik-baiknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits

Shahih Muslim:

لة وإذا ذبتم إ ن الله كتب اإلحسان على كل شىء فإذا ق ت لتم فأحسنوا القت

بة وليحد أحدكم شفرته وليح ذبيحته فأحسنوا الذArtinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala

sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang

baik. jika kalian hendak menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang

baik. hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan

yang kalian sembelih.”(HR.Muslim)

136“Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak

cucu adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian tehadap roh mereka (seraya

berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami),

kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,

“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”. (Al-A‟raf: 172)

63

Orang yang bermoral dan senantiasa mengikuti kata hati,

mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dipilihnya dengan hati,

akan mendapatkan kedamaian karena mengenal hakikat penciptaan langit dan

bumi. Dengan begitu manusia akan mencapai tujuannya di dunia yaitu

menjadi sebaik-baiknya hamba yang dapat disebut cerdas spiritualnya

sebagaimana kecerdasan lainnya yang merupakan bagian dari alam.

64

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Deskriptif Moral Development Lawrence Kohlberg

Teori moral development Kohlberg berlandaskan dengan

konstruktivisme, yang merupakan sebuah teori perkembangan kognitif yang

memberikan penekanan pada keaktifan siswa dalam membangun pemahaman

mereka tentang pengalaman yang mereka dapatkan dari kehidupan realita. Kohlberg

meyakini prinsip-prinsip moral adalah alasan untuk suatu tindakan yang sesuai

dengan teori perkembangan kognitifnya, sehingga teori ini adalah merupakan sebuah

struktur dan bukan isi atau contens. Sehingga hasil akhir dari penalaran moral bukan

apa yang baik atau buruk, tetapi bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa

sesuatu itu baik atau buruk.

Seorang tokoh yang populer dalam disiplin ilmiyah dikalangan pendidik,

secara psikologis dan filosofis ia sukses dan dihormati sebagai ilmuwan berdisiplin

khususnya dalam bidang kajian moral.

Teori Kohlberg banyak mendapat kritikan dari kalangan ahli ataupun tokoh-

tokoh lain, karena dianggap berlebihan dalam menekankan penalaran moral sehingga

tidak memperhatikan perilaku moral. Kohlberg menekuni pada pendidikan moral

dengan sistem hidden curriculum, sehingga ia menekankan pengajar atau guru

mampu membantu dalam mewujudkan suatu kondisi yang akan mencerminkan

moral dalam diri peserta didik.

Kohlberg mengutarakan bahwa konsep moralitas merupakan konsep yang

filosofis (etis) daripada sekedar sebuah konsep tingkah laku, dengan analisa

filosofisnya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa struktur esensial moralitas

adalah prinsip keadilan (the principle of justice), selain itu, inti dari keadilan adalah

distribusi hak dan kewajiban yang diatur oleh konsep “equality” dan “reciprocity”.

“Juctice is not a rule or a set of rules: its is a moral principle. By a

moralprinciple we mean a mode of choosing which which is universal, a

ruleof choosing which we want all people to adopt always in all

situations.We know its all right to be dishonest and steal to save a life

because aman’s right to property. We know its sometimes right to kill,

becauseits sometimes just. The German who triad to kill Hitler were doing

right because respect for the equal values of lives demands that we kill

someone murdering others in orders in order to sasve their lives. There

65

are exceptions to rules, than, but no exceptions to principle. A moral

obligations is an obligations to respect the right or clime of another

person. A moral principle for resolving competing claims, yiu versus me,

you versus a third person. There is only one principles basis for

resolving claims: justice or equality. Treat every man’s claim impartially

regardless of the man. A moral principle is not only a rule of action but a

reason for action. As a reason for actions, justice is called resfect for

persons”137

Melalui kutipan di atas, Kohlberg mengatakan bahwa prinsip moral

bukan merupakan aturan-aturan untuk suatu tindakan, namun merupakan

alasan untuk suatu tindakan.Oleh karena itu istilah yang digunakan Kohlberg

adalah “moral reasoning” atau “moral judgment” yang dimaknai dengan

penalaran moral.

Namun demikian, beberapa kelompok psikolog berpandangan bahwa

orang sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai,

seperti nilai keadilan, hukum, hak asasi manusia dan norma etika yang

abstrak. Sehingga dengan hal ini statement yang telah dianalisis oleh

Kohlberg dan psikolog rasionalis lainnya hanya dianggap merupakan

rasionalisasi dari keputusan intuitif. Yang berarti bahwa penalaran moral

kurang relevan terhadap tindakan moral dibandingkan apa yang dikemukakan

oleh Kohlberg.

Lawrence Kohlberg melalui teori perkembangan moralnya ia mengagas

pemecahan dilema moral pada diri seseorang dengan penalaran atau kognitif

sehingga mengabaikan perilaku moral yang sebenarnya merupakan sebuah

menifestasi dari keluhuran moral yang ada dalam diri seseorang. Keluhuran

moral yang ada dalam diri manusia diperoleh dengan pengenalan diri,

sehingga mengantarkan kepada pengenalan yang Maha Abadi, Allah

SWT.siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya.

Kohlberg memilih untuk menggunakan cerita-cerita tentang dilema

moral dalam penelitiannya, melihat bagaimana orang-orang menjustifikasi

tindakan mereka apabila mereka sedang berada dalam persoalan moral yang

137Kusdwirati Setiono, Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget, Selaman, Kohlberg dan

Terapannya dalam Reset, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 43

66

sama. Konsep teorinya adalah internalisasi atau terjadi perubahan

perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi

perilaku yang dikendalikan secara internal.138

B. Perspektif Pendidikan Islami Menurut Para Ahli

Kata Islam dalam kalimat “pendidikan Islami” menandakan banyaknya

warna dalam sebuah pendidikan tertentu, pendidikan yang berwarna Islam,

pendidikan yang islami adalah yang berdasarkan Islam.Ada banyak definisi

pendidikan yang dimaknai secara formal, seperti pendidikan adalah

bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan

jasmani dan ruhani anak didik untuk tujuan membentuk kepribadian yang

utama. Masih banyak definisi-definisi pendidikan yang berasal dari perspektif

para ahli, pada kenyataannya, pendidikan yang dialami seseorang dalam

proses menuju perkembangan yang sempurna, bukan hanya dipengaruhi oleh

orang lain, bukan hanya antara guru dan murid, namun ia juga akan menerima

pengaruh dari selain manusia. Pengaruh lain dapat juga didapati dari budaya,

alam fisik, dan lainnya.139

Orang tua mendidik anaknya, anaknya mendidik orang tuanya, sapi

mendidik pengembalanya begitu pula sebaliknya, segala yang kita sebutkan

dan kita lakukan dapat mendidikkita, begitu pula yang orang lain lakukan

terhadap kita, hal tersebut dapat mendidik kita.

Pendidikan memiliki kegiatan-kegiatan secara garis besar, diantaranya

adalah: (1)Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh diri sendiri, (2) kegiatan

pendidikan oleh lingkungan, (3) kegiatan pendidikan oleh orang lain. Dengan

pembinaan pendidikan yang juga terangkum dalam tiga bagian, (1) daerah

jasmani,(2) daerah akal, (3) daerah hati. Dan tempat pendidikan juga ada tiga

bagian pokok, yaitu (1) di dalam rumah tangga, (2) di masyarakat, dan (3) di

sekolah.

138Suhaidi, Konsep Pembinaan Moral Studi Komparatif antara Al-Ghazali dengan Lawrence

Kohlberg, Thesis (UIN Sultan Syarif Kasim, Riau), 2011, hlm. 147 139Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, cet ke-3 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015),

hlm. 34

67

Dalam karya Ahmad Tafsir dikatakan bahwa mendidik dalam arti

pedagogis tidak dapat disamakan dengan makna pengajaran. Karena

pengajaran adalah suatu kegiatan yang menyangkut pembinaan anak

mengenai segi kognitif, psikomotorik semata, tujuannya agar anak lebih

banyak pengetahuannya dan memiliki kecakapan dalam berpikir kritis,

sistematis, objektif, dan memiliki keterampilan dalam bidang-bidang tertentu

seperti menulis, lari cepat, berenang dan lain sebagainya.140

Dalam hal ini, Sayid Muhammad al-Naquib al-Attas mencoba

menjelaskan ketiga istilah dalam bahasa arab yang menjadi istilah dan

disepakati sebagai pengertian dari pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan

ta’dib.Ta‟dib merupaka istilah yang dirasa paling tepat sebagai gambaran

pengertian pendidikan, tarbiyah dimaknai masih terlalu luas karena di

dalamnya juga mencakup istilah pendidikan untuk hewan.Ta‟dib merupakan

mashdar dari kata kerja addaba yang berarti pendidikan, menurut al-Attas,

adabun berarti pengenalan dan pengakuan mengenai hakikat bahwa

pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis.Dengan pengertian

adab tersebut, al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai

pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan pada

manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam

tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan

pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.

Initi dari definisi al-Attas ialah menghendaki bahwa pendidikan

menurut Islam adalah usaha agar seseorang mengenali dan mengakui tempat

Tuhan dalam kehidupan ini.

Dalam bab sebelumnya telah dipaparkan beberapa pengertian tentang

hakikat manusia,untuk memahami tujuan dari pendidikan Islami maka

penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri manusia sempurna menurut

Islam. Menurut Islam, hakikat manusia adalah makhluk ciptaan Allah.

Pengetahuan mengenai hakikat manusia sesungguhnya ini seharusnya dapat

140Ibid,hlm, 37

68

menjadi tolak ukur manusia dalam menetapkan pandangan hidup bagi

seorang muslim.

Pihak ilmuwan muslim berkesimpulan bahwa menurut al-Qur‟an, pada

awalnya manusia ini adalah makhluk yang percaya dan bersaksi atas ke Esa-

an Tuhan, namun manusia juga memiliki potensi untuk menjadi seseorang

kafir, seorang yang musyrik, meskipun tujuan wujudnya manusia adalah

untuk beribadah kepada Allah SWT. Muhammad Mahmud Hijazi juga

membahas hakikat kejadian manusia yang tiba pada kesimpulan bahwa fitrah

seorang manusia adalah Muslim, lalu Tabataba‟I menyatakan bahwa salah

satu sifat hakiki manusia adalah ingin mencapai kebahagiaan.Hal itu

merupakan sunnatullah untuk manusia.Oleh karenanya, dalam mencapai

kebahagiaan tersebut maka manusia membutuhkan agama.

Menurut Al-Syaibani, manusia memiliki tiga dimensi dalam dirinya

yaitu, badan atau jasmani, akal, dan ruh. Islam sangat mengehendaki agar

seorang muslim itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman) adalah

merupakan persoalan mental. Lalu kesehatan dan kekuatan mental juga

berkaitan dengan potensi menguasai filsafat dan sains serta dalam mengelola

alam. Maka wajarlah bila Islam memandang jasmani yang sehat serta kuat

menjadi salah satu ciri muslim yang sempurna. Dan pada jasmani yang

demikian itu lah terdapat indera yang sehat dan akan berfungsi dengan

baik.141

Berikut adalah ayat yang biasa digunakan dalam ungkapan bentuk

perintah agar terus belajar dan terus menggunakan indera dan akal:

142

Manusia yang sempurna menurut Islam berikutnya adalah cerdas serta

pandai karena itu yang menjadi ciri akal yang berkembang dengan

sempurna.Kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat

itu dinamai cerdas dan pandai ditandai dengan memiliki banyak pengetahuan.

141Ibid,hlm. 59 142 “Artinya: dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang

memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. al-Ankabut:43)

69

Akal yang cerdas merupakan karunia dari Tuhan, dengan indikator

kecerdasan umum (IQ), yang kemudian dikenalkan oleh Daniel Goelman

yang disebut dengan (EQ) Emotional Intelligence, dan penemuan yang

dipelopori oleh Dannah Zohsr tentang (SQ) spiritual Intelligence.

Ciri manusia sempurna berikutnya adalah memiliki ruhani yang

berkualitas tinggi, mungkin manusia tidak memiliki pengetahuan untuk

mengetahui hakikat ruh. Dengan uraian di atas kalbu yang berkualitas adalah

kalbu yang penuh dengan iman kepada Allah, dengan begitu akan muncul

manusia yang berpikir dan selalu bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan.

Dalam konferensi Dunia pertama tentang Pendidikan Islami

disimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islami adalah manusia yang

menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah SWT.143

para ahli pendidikan

Islami sepakat bahwa tujuan umum pendidikan Islami adalah manusia yang

baik adalah manusia yang beribadah kepada Allah, tujuan ini akan menjadi

arah pendidikan Islami. Al-Syaibani memaparkan beberapa tujuan pendidikan

Islami, yang berkaitan dengan Individu, mencakup perubahan berupa

pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan ruhani, dan kemampuan untuk

bertahan hidup di dunia lalu mempersiapkan hidup untuk di akhirat kelak.

Tujuan berkaitan dengan masyarakat adalah mencakup tingkah laku di

masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, dan memperkaya pengalaman

masyarakat.Dan tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan

pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan

masyarakat.

Di dalam pendidikan ada pandangan yang sepakat bahwa agama tidak

boleh menjadi kurikulum sekolah (kurikulum sekuler), dan pihak lain justru

sepakat bahwa agama merupakan sebuah pokok kurikulum yang menjadi

dasar pendidikan sekolah. Hal ini yang belum terselesaikan dalam konsep

pengintegrasian.

Pendidikan Islami adlaah pendidikan yang berdasar Islam, ajaran Islam

itu bersumber dari Al-Qur‟an, Hadits dan akal. Dasar dan sumber teori

143Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 37

70

pendidikan Islami itu adalah pengetahuan Tuhan, dan pengetahuan Tuhan,

ada yang tertulis dengan jelas di dalam al-Qur‟an dan Hadits (revealed

knowledge), dan ada yang tertulis pada alam (acquired knowledge).

Ilmu pendidikan di Barat adalah ilmu pendidikan yang berdasar pada

rasio, teori-teori pendidikannya juga dikembangan dari hasil kerja rasio.Rasio

tugasnya meneliti alam dan hasil penelitian itulah yang menjadi teori-teori

pendidikan dan disebut dengan ilmu pendidikan rasional. Jika dibandingakan

dengan konsep pendidikan Islami mka pendidikan barat hanya

dikembangankan dari alam (acquired knowledge). Pandangan-pandangan di

atas menyimpulkan bahwa Tuhan Maha Mengetahui, yang berarti Maha

pintar dan tidak pernah salah.

Pendidikan membantu manusia untuk menjadi manusia, jika seseorang

sudah selesai dalam satu tahapan proses pendidikannya dan dia mampu untuk

menunjukan sikap kemanusiaannya, maka barulah pendidikan itu dianggap

sukses. Akhlak yang rendah akan menyebabkan timbulnya penyakit jiwa pada

manusia, dan akhlak yang rendah timbul juga karena memiliki sebab-sebab,

jika dilihat secara teoritis, iman yang melemah akan menyebabkan

kemerosotan akhlak, menurut Ahmad Tafsir, penyebab melemahnya iman

salah satunya adalah adanya kesalahan dalam desain pendidikan nasional.

Dari Undang-Undang 45 telah diturunkan Undang-Undang nomor 2

Tahun 1989 yang kemudian sudah diganti dengan UU nomor 20 tahun 2003

tentang pendidikan nasional. Bahkan dalam Undang-undang ini tersirat

konsep penting yaitu Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalamnya

dikatakan bahwa “pendidikan Nasional bertujuan untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu

manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan

berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,

kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta

rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”144

144Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), hlm.

302

71

Dalam pendidikan Islami, untuk membantu meningkatkan mutu

pendidikan di kalangan umat Muslim, meningkatkan mutu pendidikan

Nasional, dan pendidikan Islami untuk membantu meningkatkan mutu

pendidikan dunia dengan konsep yang jelas, filsafat pendidikan yang

dipersiapkan untuk dunia haruslah filsafat pendidikan yang berketuhanan,

yang artinya filsafat itu harus dibangun dengan berdasarkan wahyu Tuhan.

Mengambil hal baik yang dapat kita pelajari dari orang Yunani, kita

mengetahui bahwa sekurang-kurangnya misi universal pendidikan ada dua,

yaitu membuat aturan untuk mengatur manusia dan membuat aturan untuk

mengatur alam.Aturan yang mengatur manusia harus melahirkan manusia

yang berakhlak mulia, dan aturan yang mengatur alam, harus menghasilkan

kemampuan untuk mengetahui hukum alam. Dalam perspektif Islam, dua

tujuan pendidikan itu juga menjadi tujuan universal pendidikan dalam Islam.

Pendidikan menurut Islam haruslah memberikan pendidikan akhlak

agar lulusan berakhlak mulia dan memberikan pendidikan sain agar lulusan

menguasai sain.Seorang manusia sudah merupakan manusia ideal dalam

pandangan Islam bila sudah memiliki akhlak yang mulia dan menguasai sain.

Makna pendidikan dan segala yang terlibat di dalamnya adalah hal yang

sangat penting dalam merumuskan sistem pendidikan dan implementasinya.

Bagi Naquib al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke

dalam diri manusia.145

Dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan adalah

untuk menjadi manusia yang baik, jadi sistem pendidikan Islam haruslah

mencerminkan manusia universal (insan kamil).146

C. Moral Development dalam Bingkai Nilai-nilai Pendidikan Islami

Secara garis besar, kecerdasan spiritual yang datang dari Barat ini sama

dengan kecerdasan spiritual dalam Islam. Yang membedakannya adalah

mereka sama sekali tidak menyentuh dan memaknainya dengan menggali

145Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung:

Penerbit Mizan), Terjemahan buku “The Concept of Education in Islam: A Framework for an

Islamic Philosophy of Educaton”, (Kuala Lumpur, 1980), hlm. 35 146Ibid,hlm. 84

72

pesan-pesan yang menjadi kepercayaan umat Muslim sebagai sumber

pemikiran yang bersifat universal.Orang-orang barat menilai kecerdasan

spiritual lahir dari kognitif manusia, atau mereka percaya bahwa segala

sesuatu merupakan kemampuan manusia atau ansikh.

Teori moral development Kohlberg mencoba untuk membangun

spiritual yang moralis namun dasarnya adalah dengan basic antroposentris.Ia

percaya bahwa banyak sekali manusia yang dapat menjadi baik, berlaku baik,

dan memberi nilai yang baik tanpa adanya ikatan atau sangkut paut terhadap

agama. Sebagaimana telah penulis paparkan mengenai teori Kohlberg yang

mulanya berkembang dari pemikiran Piaget, Piaget banyak mempelajari cara

anak-anak mengenal Tuhan, diantaranya ia mengatakan bahwa Tuhan dikenal

anak-anak secara berangsur-angsur, pada umur kira-kira tujuh tahun atau

delapan tahun anak-anak yang ditanyai oleh Piaget dalam penelitiannya

mengatakan bahwa Tuhan ada di langit, pada umur 10 tahun anak-anak akan

beranjak mengetahui bahwa berbohong itu tidak baik dan merupakan suatu

dosa.Tuhan tidak menyenangi orang yang berdosa.Dan tidak ditemukan

pernyataan yang tegas bahwa manusia membutuhkan agama.Lawrence

Kohlberg yang meneruskan pemikiran Piaget sampai pada puncak akhir

pernyataannya bahwa manusia memerlukan prinsip-prinsip universal tentang

keadilan, persamaan, dan penghormatan terhadap ketinggian harkat

manusia.147

Prinsip-prinsip yang disebutkan memang layak dan tidak salah jika ada

di dalam agama, sehingga dapat disimpulkan bahwa studi Piaget dan

Kohlberg berkesimpulan bahwa manusia memerlukan agama. Jika ditelisik

dari keenam tahapan perkembangan moral yang dibawa Kohlberg, memang

tidak tertulis jelas atau tidak tertulis secara terang-terangan mengenai hal-hal

yang bersinggungan dengan agama, keenamnya hanya berisikan kepatuhan

dan taat pada hukum, mengedepankan hubungan kepada manusia lainnya, dan

berisi tanggung jawab-tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk diri

147

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, cet ke-3 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015),

hlm. 52

73

sendiri.Hanya pada point tingkat ke II tahap ke 3 berisi point penting untuk

percaya pada hukum Tuhan.

Dalam point tahapan lainnya, disebutkan bahwa mendengarkan suara

hati nurani merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi tanggung

jawab seseoran.Hal ini serupa dengan konsep pendidikan dan konsep hakikat

diri manusia yang sebelumnya telah dibahas dari berbagai perspektif

ahli.Bahwa dalam diri manusia terdapat tiga unsur, yaitu jasmani, akal, dan

ruhani/ qalb/ hati nurani.

Teori moral development Kohlberg dengan pendidikan Islami,

keduanya sama-sama menginginkan mewujudkan dan menjadikan manusia

menjadi insan kamil yang sukses dalam proses pendidikan di bumi dengan

alam dan manusia sebagai pembelajar dan mampu mengemban tugas sebagai

khalifahfil al-ardh.

Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan manusia yang dahaga mencari

makna hidup, akan terjawab selama manusia mau menerima kebenaran

ilahiah yang diarahkan dan dibimbing melalui kecerdasan ruhaniah, IQ, EQ,

dan SQ harus tunduk pada TQ (Transcendental Intelligence) atau kecerdasan

ruhaniah. Karena nilai spiritual yang tidak dibimbing oleh kebenaran Ilahiah

dapat menumbuhkan khayalan dan bid‟ah yang menghancurkan.148

Titik

terang yang mungkin dapat dimunculkan dari kedua hal yang menjadi sebuah

dasar dari konsep pendidikan, konsep perkembangan moral, seharusnya

memiliki titik singgung antara kecerdasan spriritual dengan agama, berupa

kecerdasan ruhaniah untuk memperbesar potensi keduanya sehingga

berhimpitan secara penuh.

Sehingga kita sebagai manusia mampu menyadari makna pendidikan

yang menjadikan kita bukan hanya terpesona pada ritual-ritual dalam agama

namun kurang maksimal dalam mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-

hari, yang bermakna beragama hanya sebatas pengetahuan, tanpa

148Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence) Membentuk

Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press,

2001), hlm. xi

74

penghayatan dan akhirnya tidak memiliki pengalaman spiritual atau

beragama.

Sense of responsibility dalam sudut pandang Islam yang disuguhkan

oleh Toto Tasmara bermakna Takwa, merupakan salah satu ciri kecerdasan

ruhaniah. Takwa bukan hanya pengetahuan namun merupakan sebuah

dorongan untuk menunjukkan bukti tanggung jawab atas apa yang

diketahuinya. Sebagai contoh kecil, para pegawai swasta ataupun pelayan

publik sangat mengetahui dan paham bahwa kata dan kalimat yang bermuatan

moral, akan tetapi pada kenyataannya sikap dan perilaku mereka tetap saja

tidak berubah.sehingga pengetahuan mereka tentang berbagai istilah moral,

kejujuran, disiplin, integritas dan lain sebagainya tersebut hanya menjadi

sebatas pengetahuan saja. Dan tanggung jawab lah yang dapat menjadi salah

satu indikator untuk menghadapi dan memberi solusi terhadap persoalan

moral kemudian dilakukan dengan kekuatan hukum yang menunjukkan rasa

tanggung jawab atau moralitas hukum.

75

BAB V

PENUTUP

Sebagai penutup dalam penelitian ini, penulis menyuguhkan kesimpulan

yang berdasarkan dengan analisis hasil penelitian dan memberikan sedikit saran

untuk perbaikan ke depannya.

A. Kesimpulan

Teori moral development Lawrence Kohlberg adalah salah satu dari

sekian banyak teori-teori perkembangan moral yang dapat dijadikan rujukan

dan penambahan wawasan terkait perkembangan moral seseorang, di dalam

teori Kohlberg ini terdapat salah satu point yang di dalamnya berupa konsep

tertulis untuk mengambil keputusan sesuai dengan kata hati nurani, yang

mana di dalam Islam serupa dengan konsep dasar hakikat manusia dan

pendidikan Islami yang menghendaki tumbuhnya seorang manusia menjadi

manusia yang baik yang memiliki ketakwaan dalam hatinya untuk menjadi

tolak ukur dalam menimbang baik dan buruk perbuatan yang akan dilakukan.

Moral development yang disebut sebagai salah satu potensi kecerdasan

spiritual seharusnya bukan hanya menjadi sebuah pengetahuan saja tanpa

agama, justru kecerdasan spiritual yang sempurna apabila disandingkan

dengan agama akan melahirkan kedamaian dan kebebasan dalam memilih

dengan hati tentang keputusan-keputusan dalam hidup karena memiliki

kecerdasan baru yang lahir dari kedua irisan (kecerdasan spiritual dan

agama), yaitu kecerdasan ruhaniah sehingga mampu menjadi manusia yang

tegas dan berani mempertanggung jawabkan derajat kemanusiaan di hadapan

Allah dan di mata manusia.

Pembahasan tentang perkembangan teori kognitivisme dilihat dari

perspektif pendidikan Islami, teori kognitivisme dan konstruktivisme hanya

terbatas pada kemampuan sebagian kecil dari fungsi akal. Teori kognitivisme

memandang belajar adalah sebuah proses seperti “instal” atau pemasangan

perangkat lunak ke dalam kognitif seseorang. Yang mana output-nya adalah

manusia-manusia yang menguasai materi suatu bidang keilmuan namun

76

mereka miskin hati. Bahkan pengetahuan yang diperoleh melalui teori

kognitivisme bersifat lebih antroposentris, karena pada dasarnya kognitif

adalah potensi intelektual semata. Hal penting yang sering terlupakan setelah

seseorang memiliki pengetahuan adalah “bersyukur”, yaitu menggunakan

semua potensi yang dimiliki sesuai dengan tujuan Allah.

B. Saran

Penulis mengharapkan bahwa hasil dari penelitian ini bisa memberikan

sumbangan berupa pemikiran untuk memperbanyak wawasan dan menjadi

upaya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan pendidikan yang Islami dan

memperbaiki mutu pendidikan dengan menjadikan peserta didik seorang yang

penuh moral dan kasih sayang, dan tumbuh menjadi insan kamil melalui

tahapan-tahapan yang tepat. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan

untuk memperbaiki dasar pendidikan yang Islami adalah:

1. Untuk seluruh pendidik pada jajaran dan tingkat sekolah juga segala

sesuatu yang dapat dimaknai sebagai pendidikan (bukan di sekolah) agar

selalu melakukan pelatihan diri untuk mengasah kepekaan ruhanikarena

hal itu akan menjadi pengaruh besar apabila kita bergerak dibidang

pendidikan dan pengajaran dan menjadi tanggung jawab kita untuk

menunjukan versi terbaik sebagai orang yang patut digugu dan ditiru.

2. Sebagai seorang peserta didik kita harus terus menggali sampai menyadari

potensi yang menjadi fitrah dalam diri manusia untuk selalu memperbaiki

diri dimulai dari memperbaiki hati nurani dengan cara terus mengingat

dan selalu berserah kepada Allah SWT, dengan begitu maka akan

sendirinya kita tumbuh melalui tahapan perkembangan yang melahirka

moral-moral baik sesuai dengan yang Allah kehendaki.

3. Sebagai orang tua penting untuk menyadari tanggung jawab utama

menjadi orang tua adalah membantu anaknya untuk melalui setiap fase

dalam hidupnya agar bermakna dan menjadi contoh yang baik bagi anak-

anaknya.

77

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Juanaidi, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama

dan Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014)

AM, Mukhlisah, Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar

Anak Diskalkulia, Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, No. 2, Tahun

2015

Anwar, ChairilTeori-Teori Pendidikan Klasik Hingga Modern,(Yogyakarta:

IRCiSoD, 2017)

Azra, Azyumardi,Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenamedia Group, 2012)

Drajat, Zakiyah, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1997)

Durkheim, Emile, Moral Education, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama)

Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social,

and Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human

Development 2008, p. 1, Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.17.

Ghufron, M,Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris

(Telaah atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic

Studies and Humanities, vol. 3, No. 1, Juni 2018

Gibbs, C John, Moral Development.(New York: Oxford University Press, 2010)

Haris, Abd. Etika Hamka Konstruksi Etik Berbaisis Rasional Religius, (Jakarta:

LKiS Yogyakarta, 2010)

Hasanah, MulyaPendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam,Vol. 3, No.

2, Desember 2018

Ikrommullah, Anata, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut

Lawrence Kohlberg, Jurnal Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, vol. 28, No. 2, (Agustus 2015)

Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mondari Maju,

1996)

Keraf, Gorys, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa.

Laila, Qumruin NurulPemikiran Pendidikan Moral Albert Bandura, vol. III, No.

1, Maret 2015

78

Lathifa, Wandari Arifia, Hubungan Antara Penalaran Moral dengan Kecerdasan

Spiritual pada Siswa Kelas XI di SMK MUhammadiyah 3 Yogyakarta,

Skripsipada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta,

Yogyakarta, 2015

Lubis, Mawardi, Pengembangan Instrumen Evaluasi Perkembangan Moral

Keagamaan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol. 6, No.

1, (01 Juni, 2004)

Maharani, LailaPerkembangan Moral Pada Anak, 2014,

(https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli). Diakses tanggal 5

April 2019 jam 22.01

Manijo, Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan dengan Teologi Kepribadian Hassan

Hanafi (Perspektif Teologi Antroposentris), Jurnal Fikrah, Vol. 1, No.

2, Juli-Desember 2013, hlm. 2

Muchsin, Bashori, dkk, Pendidikan Islam Humanistik, (Bandung: PT Refika

Aditama, 2010)

Muhammad, Syed Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Mizan),

Terjemahan buku “The Concept of Education in Islam: A Framework

for an Islamic Philosophy of Educaton”, (Kuala Lumpur, 1980)

Mukhid, Abd, Self-Efficacy Perspektif Kognitif Sosial dan Implikasinya Terhadap

Pendidikan, Tadris, vol. 4, No. 1, Tahun 2009

Mukiyat, M,Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana

untuk Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015)

Munari,Tahap Perkembangan Moral Perspektif Barat dan Islam, Artikel, Jurnal

Pendidikan Islam

Nata, Abuddin,Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: PRENAMEDIA

GROUP 2016)

Nazir, Moh, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015)

Nida, Fatma Laili, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg

dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Vol. 10, No. 2, Jurnal

Edukasia, (26 Mei, 2014)

Nurhayati, Siti Rohmah,Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral

Lawrence Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006

Poespoprodjo, Filsafat Moral, Cetakan-I, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 1999)

79

Putra, Nusa, dkk, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2012)

Rahmah, NurBelajar Bermakna David P. Ausubel di SD/MI, vol. 3, No. 1, (Juni

2015)

Rahman, Agus Abdul, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral,

vol. III, 2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59

Ramlah, Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget Tahap Operasional

Konkret pada Hukum Kekekalan Materi, Jurnal Pendidikan UNISKA,

vol. 3, No. 2, November 2015

Razak, Yusron, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta:

Diterbitkan atas kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan

UIN Jakarta Press), Desember 2007

Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,

(safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-

kepribadian-sosial-dan-moral/). Diakses tanggal 4 April 2019 jam

20.17

Setiono, Kusdwirati Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget, Selaman,

Kohlberg dan Terapannya dalam Reset, (Bandung: Widya

Padjadjaran, 2009)

Suhaidi, Konsep Pembinaan Moral Studi Komparatif antara Al-Ghazali dengan

Lawrence Kohlberg, Thesis (UIN Sultan Syarif Kasim, Riau), 2011.

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2010)

Sulthon, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan

Konstruktivistik dalam Pendidikan Bagi Anak Usia Dini, vol. 1, No. 1,

(Juli-Desember 2013)

Sunanik, Perkembangan Anak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, vol. 2, 2014,

hlm 2, Diakses tanggal 3 Mei 2019 jam 21:59

Supardan, DadangTeori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam

Pembelajaran, vol. 4, No. 1, (2016)

Supeni, Maria Goretti, Moralitas dan Perkembangannya, Vol. 33, No. 1, (15

Desember, 2010)

Syafrilsyah, dkk., Moral dan Akhlaq dalam Psikologi Moral Islami,

Psikoislamedia Jurnal Psikologi, vol. 2, No. 2, Tahun 2017

80

Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2017)

Tarmizi, Konsep Manusia dalam Psikologi Islam, Jurnal al Irsyad, vol. VII, no. 2

Juli-Desember (2017)

Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Transcendental IntelligenceMembentuk

Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak,

(Jakarta: Gema Insani Press 2001)

Trinurmi, Sitti, Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dan Hubungannya dengan

Tujuan Pendidikan Islam. Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan dan

Penyuluhan Islam Vol. 2, No. 1, Desember (2015), hlm. 2

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Pasal 1 , No. 20,

Tahun 2003

Zizek, Boris, Detlef Garz and Ewa Nowak, Moral Development And Citizenship

Education (Kohlberg Revisited), Volume 9 (Taipei: Sense Publisher),

p. 28

Zuchdi, Darmiyati,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008)