teori marketing politik

29
TEORI MARKETING POLITIK Robby Milana, S.Ip (Mahasiswa Program Pascasarjana MIKOM UMJ) 1. Pengertian Marketing Politik Istilah marketing politik merupakan istilah baru di Indonesia, sehingga wajar jika masih banyak orang yang bertanya mengenai hakikat marketing politik. Kejelasan hubungan antara marketing politik, komunikasi politik dan manajemen politik pun tidak selalu jernih dan seringkali diburamkan oleh intepretasi yang tumpang tindih. Namun secara konseptual banyak diakui bahwa marketing politik dapat menjadi payung (umbrella) dalam menerapkan praksis marketing di ruang politik, terutama ketika proses kampanye berlangsung. Tidak ada jaminan bahwa dengan menggunakan framework dan paksis marketing, maka seorang kandidat politik akan memperoleh kemenangan untuk menduduki jabatan publik atau jabatan politik tertentu. Namun sebagai sebuah payung, marketing dapat memaksimalkan potensi kandidat. Di samping itu, dengan menerapkan teknik standar marketing dalam sebuah kampanye politik, maka paling tidak kampanye yang dilakukan akan menjadi lebih sistematis, efisien dan voter-oriented.

Upload: adiee77

Post on 03-Jan-2016

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hggh

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Marketing Politik

TEORI MARKETING POLITIK

Robby Milana, S.Ip(Mahasiswa Program Pascasarjana MIKOM UMJ)

1. Pengertian Marketing Politik

Istilah marketing politik merupakan istilah baru di Indonesia, sehingga wajar jika

masih banyak orang yang bertanya mengenai hakikat marketing politik. Kejelasan hubungan

antara marketing politik, komunikasi politik dan manajemen politik pun tidak selalu jernih

dan seringkali diburamkan oleh intepretasi yang tumpang tindih. Namun secara konseptual

banyak diakui bahwa marketing politik dapat menjadi payung (umbrella) dalam menerapkan

praksis marketing di ruang politik, terutama ketika proses kampanye berlangsung.

Tidak ada jaminan bahwa dengan menggunakan framework dan paksis marketing,

maka seorang kandidat politik akan memperoleh kemenangan untuk menduduki jabatan

publik atau jabatan politik tertentu. Namun sebagai sebuah payung, marketing dapat

memaksimalkan potensi kandidat. Di samping itu, dengan menerapkan teknik standar

marketing dalam sebuah kampanye politik, maka paling tidak kampanye yang dilakukan akan

menjadi lebih sistematis, efisien dan voter-oriented. Marketing dapat mempromosikan

sumberdaya yang langka secara efektif, memberikan informasi yang sangat bernilai kepada

kandidat maupun bagi pemilih, dan mampu mempromosikan keunggulan responsif dalam

proses politik. Penerapan marketing dalam wilayah politik bagi negara demokratis bukanlah

sebuah noktah politik yang ditabukan. Berbagai negara penganut demokrasi di dunia

menerapkan marketing politik dan menjadikannya sebagai sebuah manajemen terintegrasi

yang seringkali efektif dan efisien untuk mencapai tujuan politik.

Secara sederhana marketing politik berarti aplikasi kegiatan marketing di dalam

ruang politik yang umumnya terkonsentrasi pada saat pemilu atau pilkada. Jika melihat

Page 2: Teori Marketing Politik

definisi sederhana ini, maka sesungguhnya dalam praktiknya pelaksanaan marketing politik

bukanlah hal baru, termasuk di Indonesia.

Menurut O’Shaughnessy, seperti dikutip Firmanzah, marketing politik berbeda dengan

marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” partai politik

(parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan bagaimana

sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat program yang berhubungan dengan

permasalahan aktual. Di samping itu, marketing politik merupakan sebuah teknik untuk

memelihara hubungan dua arah dengan publik.1

Dari definisi tersebut terkandung pesan; Pertama, marketing politik dapat menjadi

“teknik” dalam menawarkan dan mempromosikan parpol atau kandidat. Kedua, menjadikan

pemilih sebagai subjek, bukan objek. Ketiga, menjadikan permasalahan yang dihadapi

pemilih sebagai langkah awal dalam penyusunan program kerja. Keempat, marketing politik

tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk menjaga hubungan

dengan pemilih sehingga dari hal itu akan terbangun kepercayaan yang kemudian diperoleh

dukungan suara pemilih.2

M. N. Clemente mendefinisikan marketing politik sebagai pemasaran ide-ide dan

opini-opini yang berhubungan dengan isu-isu politik atau isu-isu mengenai kandidat. Secara

umum, marketing politik dirancang untuk mempengaruhi suara pemilih di dalam pemilu.3

Menurut A. O’Cass marketing politik adalah analisis, perencanaan, implementasi dan

kontrol terhadap politik dan program-program pemilihan yang dirancang untuk menciptakan,

1 Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), p. 156-157.

2 Ibid.3 Andrew Hughes dan Stephen Dann, “Political Marketing 2006; Direct Benefit, Value and Managing

The Voter Relationship,” http://conferences.anzmac.org/ANZMAC2006/ documents/Hughes_Andrew1.pd f , Tanggal 26 November 2010.

Page 3: Teori Marketing Politik

membangun dan memelihara pertukaran hubungan yang menguntungkan antara partai dan

pemilih demi tujuan untuk mencapai political marketers objectives.4

Butler dan Collins mendefinisikan marketing politik sebagai “adaptasi” dari konsep

dan teknik marketing komersial yang dilakukan oleh para aktor politik untuk mengorganisasi,

mengimplementasi dan memanage aktivitas politik untuk mewujudkan tujuan politik.5

Menurut Firmanzah, paradigma dari konsep marketing politik adalah; Pertama,

Marketing politik lebih dari sekedar komunikasi politik. Kedua, Marketing politik

diaplikasikan dalam seluruh proses, tidak hanya terbatas pada kampanye politik, namun juga

mencakup bagaimana memformulasikan produk politik melalui pembangunan simbol, image,

platform dan program yang ditawarkan. Ketiga, Marketing politik menggunakan konsep

marketing secara luas yang meliputi teknik marketing, strategi marketing, teknik publikasi,

penawaran ide dan program, desain produk, serta pemrosesan informasi. Keempat, Marketing

politik melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama sosiologi dan psikologi. Kelima, Marketing

politik dapat diterapkan mulai dari pemilu hingga lobby politik di parlemen.6

Lees-Marshment menekankan bahwa marketing politik berkonsentrasi pada hubungan

antara produk politik sebuah organisasi dengan permintaan pasar.7 Pasar, dengan demikian,

menjadi faktor penting dalam sukses implementasi marketing politik.

Philip Kotler dan Neil Kotler menyatakan bahwa untuk dapat sukses, seorang kandidat

perlu memahami market atau pasar, yakni para pemilih, beserta kebutuhan dasar mereka serta

aspirasi dan konstituensi yang ingin kandidat representasikan.8

4 Ibid.5 Kobby Mensah, “Kwame Nkrumah and Political Marketing,” www.kobbymensah.com , Tanggal 26

November 2010.6 Firmanzah, Op. Cit, p. 156-157.7 Robert P. Ormrod, “Understanding Political Market Orientation,”

http://research.asb.dk/fbspretrieve/5432/ormrod_2009 , Tanggal 25 November 2010.8 Philip Kotler and Neil Kotler, “Political Marekting; Generating Effective Candidates, Campaigns and

Causes,” dalam Bruce I. Newman, Handbook of Political Marketing (California: Sage Publication, 1999), p. 3.

Page 4: Teori Marketing Politik

Dengan demikian, yang dimaksud dengan marketing politik dalam penelitian ini

adalah keseluruhan tujuan dan tindakan strategis dan taktis yang dilakukan oleh aktor politik

untuk menawarkan dan menjual produk politik kepada kelompok-kelompok sasaran.

Dalam prosesnya, marketing politik tidak terbatas pada kegiatan kampanye politik

menjelang pemilihan, namun juga mencakup even-even politik yang lebih luas dan -jika

menyangkut politik pemerintahan- bersifat sustainable dalam rangka menawarkan atau

menjual produk politik dan pembangunan simbol, citra, platform, dan program-program yang

berhubungan dengan publik dan kebijakan politik.

Tujuan marketing dalam politik menurut Gunter Schweiger and Michaela Adami

adalah; (1) Untuk menanggulangi rintangan aksesibilitas; (2) Memperluas pembagian

pemilih; (3) Meraih kelompok sasaran baru; (4) Memperluas tingkat pengetahuan publik; (5)

Memperluas preferensi program partai atau kandidat; (6) Memperluas kemauan dan maksud

untuk memilih.9

Marketing politik, menurut Patrick Bulter dan Neil Collins, memiliki dua karakter

yang melekat dalam dirinya, yakni karakter struktural dan karakter proses. Karakter struktural

mencakup produk, organisasi dan pasar. Sementara karakter proses mencakup pendefinisian

nilai, pembangunan nilai dan penyampaian nilai.10

Karena itu, layaknya dalam marketing komersial, dalam marketing politik juga

terdapat unsur-unsur marketing seperti orientasi pasar politik, STP, serta marketing mix

dalam politik.

9 Gunter Schweiger and Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political Parties,” dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 348.

10 Patrick Butler and Neil Collins, “A Conceptual Framework for Political Marketing,” dalam Bruce I. Newman, Ibid, p. 56-57.

Page 5: Teori Marketing Politik

2. Orientasi Pasar Politik

Seorang kandidat atau sebuah parpol dikatakan berorientasi pasar jika ia menjadikan

calon pemilih (kelompok sasaran) sebagai pijakan awal dalam mengembangkan produk dan

komunikasi pemasarannya, dan lebih jauh dalam menawarkan dan menjual produk politiknya.

Kandidat itu memiliki kemampuan untuk mengumpulkan, mendesiminasi dan menggunakan

informasi yang tepat tentang pemilih.

Menurut Lees-Marhment, sebagaimana dikutip Firmanzah, orientasi pasar dalam

marketing politik berarti proses perancangan brand, kebijakan dan pesan politik yang

disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Dengan kata lain, titik awal penyusunan produk

adalah pasar.11

Orientasi pasar artinya adalah para kandidat mengenali sifat alami dari proses

pertukaran (exchange process) saat para kandidat meminta para pemilih untuk memilih. Dan

para kandidat harus melihat kampanye yang mereka lakukan melalui sudut pandang pemilih,

konstituen, donator, dan konsumen.12

Robert P. Ormrod mengatakan bahwa partai atau kandidat dikatakan berorientasi pasar

ketika partai atau kandidat sensitif terhadap sikap, kebutuhan, dan keinginan stakeholders

internal dan eksternal, dan menjadikan pandangan stakeholders sebagai basis untuk

membangun kebijakan dan program-program demi meraih tujuan partai atau

kandidat.13

Kebutuhan stakeholders, konsumen, pemilih atau pasar antara lain adalah program

kerja yang jelas, ideologi yang mantap, harapan serta kepemimpinan yang mampu

memberikan rasa pasti untuk melangkah ke depan. Sesuai dengan pesan marketing politik

yang tidak menjadikan pemilih sebagai objek namun menjadikannya sebagai subjek, maka

11 Firmanzah, Op. Cit, p. 160.12 Ibid.13 Robert P. Ormrod, Loc. Cit.

Page 6: Teori Marketing Politik

dalam proses pelaksanaan marketing politik ada kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan

politik kepada pemilih, transparansi penjaringan kebutuhan pemilih, dan berpolitik atas dasar

motivasi kepada pemilih, atau dalam hal ini kepada rakyat.

Menurut Robert P. Ormrod, model konseptual dari orientasi pasar dalam politik terdiri

dari empat bangunan yang merepresentasikan orientasi dari stakeholders yang ada di tengah

masyarakat, yakni pemilih (voters), partai kompetitor (competing party), anggota partai (party

members), dan kelompok eksternal (external groups) seperti media, warga, serta kelompok

lobby dan kelompok kepentingan.14

Bangunan konseptual pertama adalah orientasi pasar pada pemilih (voters). Parpol

atau kandidat sebaiknya memahami, sadar dan perduli dengan kebutuhan dan keinginan

pemilih dalam rangka pembangunan program atau proses pertukaran nilai ketika pemilihan

terjadi.

Bangunan kedua adalah partai kompetitor (competing party). Parpol atau kandidat

harus memahami pasar ini untuk menemukan celah kerjasama atau koalisi yang dapat

berguna bagi tujuan parpol atau kandidat.

Bangunan ketiga adalah anggota internal parpol (party members). Parpol akan

memperoleh ide-ide mengenai apa yang pemilih inginkan dengan cara mendengarkan

pendapat anggota partai, baik anggota grassroot maupun aktivis.

Bangunan keempat adalah kelompok eksternal (external groups). Memperhatikan

kelompok eksternal bukan saja karena menganggap mereka sebagai pemilih potensial, namun

lebih dari itu, kelompok eksternal dapat menjadi kelompok yang berpengaruh dalam

keberlanjutan dan karir politik partai atau kandidat. Tidak sedikit pula bahwa bagian dari

kelompok eksternal merupakan opinion leader di tengah masyarakat.

14 Robert P. Ormrod, Ibid.

Page 7: Teori Marketing Politik

Sementara Kotler dan Kotler mengemukakan lima jenis pasar politik yang mesti

diperhatikan oleh parpol atau kandidat dalam konteks orientasi pasar politik, terutama pada

saat melakukan perhelatan kampanye politik. Pertama, pemilih (voters), yakni kelompok

penting pada saat pemilihan. Kedua, aktivis, kelompok kepentingan dan konstituen sebuah

organisasi, yakni kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh dalam pemilihan dan donasi.

Ketiga, media, yakni institusi yang mampu membuat parpol atau kandidat muncul ke

hadapan publik atau tidak. Keempat, organisasi partai, yakni kelompok internal dan ekternal

partai yang berada di daerah. Kelima, donatur dan kontributor, yakni kelompok yang akan

membantu atau tidak dalam soal keuangan parpol atau kandidat.15

Dalam konteks pilkada, menurut pandangan penulis, pasar yang harus diperhatikan

adalah; Pertama, partai politik (parpol). Parpol bukan saja memiliki massa, sistem politik

yang mapan atau popularitas, namun juga menjadi acuan hukum ketika seorang kandidat

bermaksud mencalonkan diri menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, dan dapat pula

menjadi rekan koalisi untuk menjaring kekuatan lebih. Penyusunan produk politik juga dapat

diacu dari anggota partai jika partai tersebut mencalonkan seseorang untuk maju dalam

pilkada.

Kedua, pemilih. Pemilih merupakan warga yang akan memberikan suaranya pada saat

pilkada berlangsung. Pemilih merupakan bagian terpenting bagi parpol atau kandidat yang

akan maju ke dalam pilkada. Memahami pemilih dengan berbagai tingkah laku, kebutuhan,

keinginan, dan orientasinya menjadi kunci merebut hati pemilih.

Ketiga, opinion leader. Para pembentuk opini (opinion leader) mencakup ketua

organisasi masyarakat, tokoh keagamaan, media, kelompok kepentingan, dan tokoh

masyarakat. Mereka bukan saja akan menjadi pemilih, namun juga dapat memberi pengaruh

pada pemilih yang lebih luas.

15 Philip Kotler and Neil Kotler, dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 5.

Page 8: Teori Marketing Politik

Keempat, funding atau penyumbang dana. Dalam pilkada yang membutuhkan banyak

biaya, diperlukan kerjasama dari funding untuk mendonorkan uang kepada parpol atau

kandidat demi kepentingan proses kampanye.

Keempat kelompok itu merupakan pasar politik dalam pilkada. Berorientasi pasar

berarti melakukan analisa atas kebutuhan, keinginan dan tingkah laku keempat kelompok di

atas. Keempatnya dapat pula dikatakan sebagai “stakeholders politik”, yakni kelompok atau

individu yang dapat memberi pengaruh atau dipengaruhi oleh achievement dari tujuan utama

parpol atau kandidat. Berorientasi pada pasar dapat memberikan parpol atau kandidat

inspirasi dalam pembentukan program atau perencanaan kampanye dalam pilkada.

3. Segmentasi, Targeting dan Positioning

Pembahasan ini berangkat dari analogi bahwa masyarakat bersifat heterogen.

Masyarakat tersusun dari beragam struktur dan lapisan yang masing-masing memiliki

karakteristik yang unik. Dalam konsep marketing politik, parpol atau kandidat harus mampu

mengidentifikasi kelompok-kelompok yang terdapat dalam masyarakat; perbedaan usia

(pemilih pemula dan pemilih dewasa), jenis kelamin, pendidikan, etnis, status sosio-ekonomi,

dan seterusnya mesti disegmentasikan ke dalam ragam entitas pasar yang memiliki kebutuhan

masing-masing.

Sebagaimana dalam segmentasi pasar pada marketing komersial, dalam marketing

politik dapat juga dilakukan segmentasi dengan menggunakan empat variabel segmentasi

pasar, yakni geografis, demografis, psikografis dan tingkah laku. Namun Firmanzah juga

menambahkan satu variabel tambahan, yakni variabel sosial-budaya. Berikut uraiannya;16

16 Firmanzah, Op. Cit, p. 186.

Page 9: Teori Marketing Politik

Pada variabel geografis, pasar politik dapat disegmentasi berdasar wilayah dan

kerapatan populasinya. Masyarakat yang tinggal di pedesaan akan berbeda kebutuhannya

akan produk politik dibanding masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Pada variabel demografis, masyarakat dapat disegmentasi berdasarkan umur, jenis

kelamin, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial. Masing-masing kategori

memiliki karakteristik yang berbeda mengenai isu politik. Kebutuhan dan orientasi politik

pemilih pemula, misalnya, kemungkinan besar akan sangat berbeda dengan mereka yang

sudah pernah memilih, karena ada perbedaan dalam segi usia atau pendidikan.

Pada variabel psikografis, masyarakat disegmentasi berdasarkan kebiasaan, gaya

hidup, dan prilaku yang terkait dengan isu-isu politik. Masyarakat yang gemar membuka

internet, misalnya, akan sangat berbeda dengan masyarakat yang tidak pernah membuka

internet.

Pada variabel tingkah laku, masyarakat dibedakan dan dikelompokkan berdasarkan

proses pengambilan keputusan, intensitas ketertarikan dan keterlibatan dengan isu politik,

loyalitas, dan perhatian terhadap permasalahan politik.

Pada variabel sosial-budaya, masyarakat disegmentasi melalui karakteristik sosial dan

budayanya. Klasifikasi seperti budaya, suku, etnik dan ritual spesifik seringkali membedakan

intensitas, kepentingan dan prilaku terhadap isu-isu politik.

Segmentasi pasar politik dibutuhkan sebagai aktivitas identifikasi, deteksi, evaluasi

dan pemilihan kelompok yang memiliki karakteristik sama sehingga memungkinkan untuk

mendesain sebuah strategi yang sesuai dengan karekteristik tersebut. Dan segmentasi

diperlukan untuk memudahkan parpol atau kandidat dalam menganalisis prilaku masyarakat.

Page 10: Teori Marketing Politik

Lebih dari itu, segmentasi kemudian akan memberi kemudahan dalam menyusun program

kerja, terutama cara berkomunikasi dan membangun interaksi dengan pasar atau masyarakat.17

Setelah pasar disegmentasi, lalu langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi untuk

mengelompokan pasar sasaran atau melakukan targeting. Evaluasi tersebut akan

memunculkan pasar sasaran atau target market, yakni sekelompok “pembeli” yang berbagi

kebutuhan dan karakteristik yang sama yang akan treatment oleh parpol atau kandidat.

Lima pola targeting ala Kotler dan Lane dapat diterapkan; Pertama, Single Segment

Concentration, yakni parpol atau kandidat memilih satu segmen saja untuk diberi perlakuan.

Misalnya parpol atau kandidat hanya berkonsentrasi pada pemilih yang beragama Islam yang

diperkirakan jumlahnya sudah cukup banyak untuk memenangkan sebuah pemilihan. Dengan

pola ini, parpol atau kandidat lebih bisa mencapai posisi yang kuat di satu segmen, dengan

pengetahuan yang baik terhadap kebutuhan segmen sehingga bisa diperoleh keuntungan.

Namun, konsentrasi di satu segmen mempunyai potensi resiko yang cukup besar.

Kedua, Selective Specialization, yakni parpol atau kandidat menseleksi beberapa

segmen untuk diberi perlakuan. Segmen yang dipilih mungkin tidak saling berhubungan atau

membentuk sinergi, tetapi masing-masing segmen menjanjikan profit politis.

Ketiga, Product Specialization, yakni parpol atau kandidat berkonsentrasi membuat

sebuah produk khusus. Melalui cara ini, parpol atau kandidat membangun reputasi yang kuat

pada produk yang spesifik.

Keempat, Market Specialization, yakni parpol atau kandidat berkonsentrasi melayani

berbagai kebutuhan dalam kelompok tertentu. Parpol atau kandidat memperoleh reputasi yang

kuat dan menjadi channel untuk semua produk baru yang dibutuhkan dan dipergunakan oleh

kelompok tersebut.

17 Ibid, p. 182-183.

Page 11: Teori Marketing Politik

Kelima, Full Market Coverage, yakni parpol atau kandidat berusaha melayani semua

kelompok dengan produk yang dibutuhkan. Namun, hanya parpol dan kandidat yang kuat

yang bisa melakukannya.

Langkah berikutnya adalah melakukan positioning. Proses positioning politik adalah

sebuah determinasi mengenai bagaimana cara terbaik untuk menggambarkan kandidat atau

parpol kepada segmen yang relevan diantara pemilih dan juga untuk meyakinkan dan

membujuk pemilih agar memilih kembali kandidat atau parpol atau agar pemilih berpindah

dukungan dari kandidat atau parpol lain.18

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, sasaran dalam melakukan positioning

adalah benak, dalam hal ini benak pemilih. Positioning nantinya akan menyangkut persoalan

image kandidat atau parpol, track record, program, serta reputasinya di dalam alam pikiran

pemilih. Positioning adalah sebuah “strategi” agar bagaimana kandidat atau parpol berada

di posisi paling unggul dalam alam pikiran pemilih.

Menurut Firmanzah, positioning merupakan semua aktivitas untuk menanamkan kesan

di benak pemilih. Dalam positioning, atribut produk dan jasa yang dihasilkan akan direkam

dalam bentuk image yang terdapat dalam sistem kognitif pemilih. Dengan hal itu pemilih

akan dengan mudah mengidentifikasi sekaligus membedakan produk dengan produk lainnya.

Sesuatu yang berbeda atau unik dapat membenatu pemilih dalam melakukan diferensiasi atas

suatu produk di dalam benak mereka.19

4. Empat P’s dalam Politik

18 Paul R. Baines, “Voter Segmentation and Candidate Positioning,” dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 413.

19 Firmanzah, Op. Cit, p. 189-190.

Page 12: Teori Marketing Politik

Sebagaimana dalam bisnis, 4 P’s atau marketing mix dalam politik juga terdiri dari

unsur product, promotion, price dan place. Keempatnya dapat digunakan untuk melakukan

analisis terhadap sumber daya kandidat dan juga analisis terhadap pemilih. a. Product

Product yang ditawarkan dalam marketing politik berbeda dengan marketing

komersial karena lebih kompleks, dimana pemilih akan menikmatinya setelah partai atau

kandidat terpilih.

Seorang kandidat atau sebuah partai yang ingin memperoleh kemenangan tidak bisa

melepaskan persoalan image; pakaian, sikap, pernyataan, dan tindakan kandidat dapat

membentuk kesan di benak pasar. Istilah yang sering digunakan untuk membentuk image

bagi sebuah produk adalah konsep produk. Tema utamanya adalah dengan membangun

“unique selling proposition” atau “promised benefit” dari sebuah produk.20

Kandidat atau partai harus cermat dalam memilih konsep produk yang akan

dipasarkan. Apakah kandidat atau partai ingin diasumsikan sebagai reformer, negarawan yang

bijak atau figur yang cerdas, bergantung pada sumber daya kandidat, kebutuhan pasar dan

kondisi oponen. Konsep produk bukan sekedar sebuah slogan; konsep produk menyangkut

semua kebutuhan dalam implementasi kampanye politik yang mencakup koalisi yang

dibentuk, pernyataan yang dibuat, penampilan di depan publik, dan berbagai hal lain.

Pasar atau pemilih mencari sesuatu dari kandidat; umumnya mereka mencari janji atau

jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi. Kandidat atau parpol harus menyerap pesan-

pesan yang ada di tengah pasar untuk kemudian mengemas pesan pasar itu menjadi sebuah

konsep produk. Kandidat tidak perlu membuat sebuah konsep yang ideal, tapi cukup dengan

membuat konsep yang dapat menjadikannya berada di posisi terbaik untuk menawarkan

produknya dibanding kandidat lain.

20 Philip Kotler and Neil Kotler, dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 14.

Page 13: Teori Marketing Politik

Niffenegger, dalam Firmanzah, membagi produk politik dalam tiga kategori; Pertama,

Platform partai atau kandidat yang berisi konsep, ideologi dan program kerja. Kedua, Post

record atau catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lalu dalam pembentukan sebuah

produk politik. Ketiga, Karakteristik personal seorang kandidat atau sebuah partai dalam

memberikan citra, simbol dan kredibilitas produk politik.21

Henneberg menyatakan produk politik mencakup; (1) Atribut personal, seperti

karakteristik kandidat; (2) Maksud politik, seperti isu-isu politik tertentu yang

dikomunikasikan kandidat; (3) Kerangka ideologis (ideological framework), seperti

kepercayaan dan sikap kandidat.22

Produk politik dalam penelitian ini mencakup; Pertama, Karakter personal atau brand

image kandidat, yang mencakup karakter fisik dan non-fisik kandidat; Kedua, Platform

kandidat, yang meliputi ideologi, konsep dan program kerja kandidat; Ketiga, Track-record

kandidat, terutama dalam soal kepemimpinan dan kenegarawanan.

Produk politik bersifat tidak nyata, sangat terkait dengan sistem nilai, harapan, visi,

dan kepuasan masyarakat. Produk politik ini nantinya akan dipropagandakan melalui iklan

politik lewat berbagai media yang dibutuhkan. Kunci sukses dalam menawarkan dan menjual

produk politik kepada pasar adalah dengan melakukan unique selling point dan unique selling

proposition produk. Unique selling point merupakan nilai unik yang dimiliki produk yang

mempunyai keunggulan berbeda dari produk lain dan mempunyai daya jual. Misalnya, jika

ideologi keagamaan atau nasionalisme sudah dianggap sebagai idelogi yang klise oleh pasar,

maka kandidat bisa menampilkan ideologi baru berupa nasionalisme-religius. Karena belum

ada di tengah political marketplace, maka ideologi ini unik dan berbeda. Unique selling

proposition merupakan keunikan penampilan produk. Misalnya, jika ideologi keagamaan

21 Ibid, p. 200-201.22 Stephan C. M. Henneberg, “Generic Functions of Political Marketing Management,”

http://www.bath.ac.uk/management/research/pdf/2003-19.pdf , Tanggal 26 November 2010.

Page 14: Teori Marketing Politik

selalu ditunjukan dengan menggunakan atribut sorban, kerudung atau salib, sementara

ideologi nasionalisme selalu ditunjukan menggunakan atribut bendera merahputih, maka

ideologi nasionalisme-religius ditunjukan dengan menggunakan atribut setelan safari dengan

peci hitam.

b. Price

Price atau harga dalam marketing politik menyangkut banyak hal, mulai dari

ekonomi, psikologis sampai ke citra nasional. Harga ekonomi menyangkut semua biaya yang

dikeluarkan untuk membayar iklan, publikasi, rapat-rapat, hingga biaya administrasi. Harga

psikologis menyangkut pada harga persepsi psikologis seperti kenyamanan pemilih dengan

latar belakang (agama, ras, pendidikan, etnis, dan lain-lain) yang dimiliki oleh seorang

kandidat. Harga citra nasional berkaitan dengan kepuasan pemilih terhadap citra positif

kandidat.23

Menurut Niffenegger, harga politik dalam marketing politik adalah bangunan

psikologis yang dibentuk oleh perasaan pemilih atas harapan dan ketidaknyamanan nasional,

ekonomi dan psikologi.24

Perbedaan antara harga dalam marketing politik dengan marketing komersial adalah

tidak dikenakannya biaya kepada pasar dalam proses pembelian produk politik. Sebagai

contoh, pemilih tidak akan dipungut biaya ketika melakukan pemilihan di dalam bilik suara.25

Harga (price) dalam penelitian ini adalah; (1) harga ekonomi, yakni biaya yang

dikeluarkan dan didapat dalam proses kampanye politik kandidat, dan biaya yang didapat

pemilih dari kandidat; (2) harga psikologis, yakni kepuasan dan rasa saling menguntungkan

23 Firmanzah, Op. Cit, p. 205.24 Kobby Mensah, “Kwame Nkrumah and Political Marketing,” www.kobbymensah.com , Tanggal 26

November 2010.25 Firmanzah, Op. Cit, p. 207.

Page 15: Teori Marketing Politik

yang didapat kandidat dan pemilih; (3) harga politis, yakni nilai-nilai politis yang didapat

kandidat dan pemilih dalam transaksi yang dilakukan.

c. Place

Place atau tempat berkaitan dengan cara hadir atau distribusi parpol atau kandidat

politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Place dalam

marketing politik bisa berbentuk roadshow, kampanye, safari politik, temu kader, dan lain

sebagainya. Place diartikan pula sebagai distribusi jaringan yang berisi orang dan institusi

yang terkait dengan aliran produk politik kepada masyarakat secara luas, sehingga

masyarakat dapat merasakan dan mengakses produk politik dengan lebih mudah.26

Menurut Henneberg, place merupakan distribusi kandidat sebagai pengganti produk

melalui even-even kampanye, pengerahan massa atau tatap muka kepada massa. Dan

distribusi grassroot yang memberikan dukungannya melalui kampanye atau penyebaran

selebaran dalam kampanye yang dilakukan kandidat.27

Place dalam penelitian ini adalah lokasi atau distribusi yang menyangkut pada

persoalan di mana produk politik akan dijual dan bagaimana produk tersebut dapat sampai

kepada pemilih.

d. Promotion

Promotion menyangkut cara-cara yang digunakan dalam menyebarkan dan

mempropagandakan produk-produk politik. Tidak jarang sebuah parpol atau seorang kandidat

26 Ibid, p. 207.27 Kobby Mensah, Op. Cit.

Page 16: Teori Marketing Politik

bekerja sama dengan agen iklan dalam membangun slogan (tagline), jargon dan citra yang

akan ditampilkan.28

Hal terpenting dalam proses promosi politik adalah pemilihan media yang tepat agar

transfer pesan politik sampai kepada masyarakat. Karena itu sangat valid jika dikatakan

bahwa penggunaan televisi nasional kurang tepat untuk melakukan kampanye dalam Pilkada

karena terlalu luas dan mahal. Jika, misalnya, hanya mencalonkan diri menjadi Walikota

Tangerang Selatan, tidak perlu berpromosi di televisi nasional yang jangkauannya ke seluruh

Indonesia dimana sebagian besar pemirsanya bukan calon pemilih atau masyarakat

Tangerang Selatan. Ini seperti membeli sebuah sepatu bermerk Belly; sepatunya memang

bagus karena mahal, namun ukurannya kebesaran.

5. Branding Politik

Secara sederhana branding dapat diartikan sebagai “pemberian merk” terhadap suatu

produk dengan tujuan untuk menanamkan kesan yang tidak terhapuskan (indelible

impression) dari benak konsumen.

Secara etimologis branding berasal dari kata brand yang sering diartikan sebagai

sekumpulan pengalaman dan asosiasi yang berhubungan dengan pelayanan, orang atau entitas

lain. Belakangan brand juga diartikan sebagai asesoris kultural dan filosofi personal.

Brand merupakan identitas atau kepribadian yang mengidentifikasi sebuah produk,

layanan atau lembaga ke dalam bentuk nama, tanda, simbol, design atau kombinasi di antara

hal-hal itu, dan bagaimana identifikasi itu berhubungan kepada konstituen kunci seperti pasar,

anggota, funding, dan lain-lain.29

28 Firmanzah, Op. Cit, p. 203.29 http://en.wikipedia.org/wiki/Brand , Tanggal 26 November 2010. 30 Firmanzah, Op. Cit, p. 141.

Page 17: Teori Marketing Politik

Brand juga dapat diterjemahkan sebagai totalitas pengetahuan konsumen tentang apa

yang diketahui, dipikirkan, dirasakan dan diasosiasikan tentang suatu produk dan jasa atau

suatu lembaga.30

Brand biasanya dibagi menjadi dua, yakni brand experience dan brand image. Brand

experience merupakan pengalaman yang dimiliki pasar atau konsumen atas kontak yang

mereka lakukan terhadap merk. Sementara brand image menyangkut pada persoalan

psikologis, yakni bangunan simbolik yang tercipta di dalam pikiran pasar atau konsumen

yang terdiri dari keseluruhan informasi dan harapan yang sering diasosiasikan dengan produk

atau jasa sebuah merk. Brand image sering dihubungkan dengan pemikiran, citra, perasaan,

persepsi, keyakinan atau sikap.30

Brand menyangkut dari hal besar sampai yang paling detil dari sebuah produk atau

jasa; dari karakter personal hingga huruf dan warna logo yang digunakan, dan dari yang

berbentuk fisik hingga non-fisik. Karena itu ada pakar yang menyatakan bahwa brand

merupakan payung (umbrella) dalam marketing, karena brand manungi setiap hal detil pada

strategi marketing.

Sementara itu branding adalah keseluruhan aktivitas untuk menciptakan brand yang

unggul (brand equity), yang mengacu pada nilai suatu brand berdasarkan loyalitas, kesadaran,

persepsi kualitas dan asosiasi dari suatu brand. Branding bukan hanya untuk menampilkan

keunggulan suatu produk, namun juga untuk menanamkan brand ke dalam benak konsumen.31

Dalam panggung politik, branding sering kali hanya diartikan sebagai tindakkan

pencitraan atau pembangunan image terhadap kandidat, yakni pada karakter personal

kandidat. Branding lebih dari itu.

30 http://en.wikipedia.org/wiki/Brand , Tanggal 26 November 2010.31 Firmanzah, Loc. Cit.

Page 18: Teori Marketing Politik

Dalam penelitian ini branding politik diartikan sebagai semua pengalaman, aktivitas

dan unsur psikologis dalam menciptakan brand politik yang unggul, unik, menarik dan

mampu memberikan pengaruh ke dalam benak konsumen.

Pada pembangunan branding politik yang baik, prasyarat teknis yang harus dipenuhi

adalah penyampaian pesan secara jelas dan komunikatif, mempertegas kredibilitas diri,

hubungkan target market yang prospektif kepada brand secara emosional, memotivasi target

market, membangun loyalitas target market secara berkesinambungan. Di samping itu, untuk

meraih sukses dalam branding, kandidat mesti memahami kebutuhan dan keinginan pasar dan

bagaimana prospeknya. Hal ini dilakukan dalam setiap kontak dengan publik.32

Mengutip Joko Santoso,33 ada lima tahap strategi branding yang aplikatif dalam

branding politik kandidat, yakni Pertama, Tahap Brand Awareness. Pada tahap ini kandidat

memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Hasil pada tahap ini adalah pemilih “tahu” dan

sadar akan keberadaan kandidat.

Kedua, Tahap Brand Knowledge. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai punya

pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap kandidat. Hasil dari tahap ini adalah pemilih

sudah tahu akan eksistensi kandidat sekaligus mulai memahami maksud politik dan program

kandidat.

Ketiga, Tahap Brand Preference. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai

membandingkan antara kandidat dengan kandidat yang lain dengan memberikan persepsi

yang positif kepada kandidat dibanding kepada kandidat lain. Tahap ini sekaligu menunjukan

tingkat keberhasilan positioning yang dilakukan kandidat.

32 http://marketing.about.com/cs/brandmktg/a/whatisbranding.htm , Tanggal 26 November 2010.33 Wawancara dengan Joko Santoso, “Strategi Branding dalam Komunikasi Pemasaran Politik,”

Tanggal 1 Oktober 2010.

Page 19: Teori Marketing Politik

Keempat, Tahap Brand Liking. Pada tahap ini calon pemilih mulai memiliki rasa suka

terhadap kandidat dan berniat akan memilihnya pada saat pemilihan. Jika seorang kandidat

sudah memasuki tahap ini dan memperoleh hasilnya, maka dapat dibilang posisinya sudah

memasuki wilayah aman tahap satu. Namun yang mesti diingat, rasa suka seseorang masih

bisa dipengaruhi bahkan dirubah dengan berbagai kondisi yang datang kemudian

Kelima, Tahap Brand Loyalty. Pada tahap ini calon pemilih sudah setia kepada

kandidat yang akan dipilihnya. Pemilih sudah memiliki keyakinan yang kuat untuk

mendukung dan memilih kandidat dan tidak akan memilih kandidat lain.