tempoedisi-v

4
Novel-novel pop marak diproduksi para santri. Tabir pesantren diungkap dengan gaul. Suplemen ini dipersembahkan the WAHID Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakhir di Majalah TEMPO. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org Suplemen the WAHID Institute V/Tempo - 26 Februari - 4 Maret 2007 C inta kemuliaan, membuat Dahlia rela banting tulang menjadi penari untuk menghidupi ke- luarganya yang miskin. Cinta kebaikan membuatnya selalu ingin belajar untuk lebih baik. Dahlia memang perempuan yang dipenuhi cinta. Tak heran jika pu- yang dianggap haram. Ada kisah lain lagi. Seuntai mawar dan surat berisi puisi tanpa nama pengirim tiba-tiba muncul di asrama pesantren putri tiap akhir pekan. Mawar dan puisi itu ditujukan kepada Zahra. Pesantren puteri itu pun jadi geger. Teenlit dari Bilik Pesantren tra dua pengasuh pesantren, Aiman dan Bilal jatuh hati padanya. Jalinan cerita juga memunculkan konflik. Mbah Jalaluddin Rumi, ayah Aiman, membela Dahlia ketika Kiai Umar dan ormas Islam lainnya me- nyudutkan Dahlia dengan tariannya— Teenlit kian digandrungi pembaca. Dok. The Wahid Institute /Witjak

Upload: witjak

Post on 10-Jun-2015

118 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: tempoedisi-v

Novel-novel pop marak diproduksi para santri. Tabir pesantren diungkap dengan gaul.

Suplemen ini dipersembahkan the WAHID Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakhir di Majalah TEMPO. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org

Sup

lem

en th

e W

AH

ID In

stitu

te V

/Tem

po -

26 F

ebru

ari -

4 M

aret

200

7

Cinta kemuliaan, membuat Dahlia rela banting tulang menjadi penari untuk menghidupi ke-

luarganya yang miskin. Cinta kebaikan membuatnya selalu ingin belajar untuk lebih baik. Dahlia memang perempuan yang dipenuhi cinta. Tak heran jika pu-

yang dianggap haram.Ada kisah lain lagi. Seuntai mawar dan

surat berisi puisi tanpa nama pengirim tiba-tiba muncul di asrama pesantren putri tiap akhir pekan. Mawar dan puisi itu ditujukan kepada Zahra. Pesantren puteri itu pun jadi geger.

Teenlit dari Bilik Pesantren

tra dua pengasuh pesantren, Aiman dan Bilal jatuh hati padanya.

Jalinan cerita juga memunculkan konflik. Mbah Jalaluddin Rumi, ayah Aiman, membela Dahlia ketika Kiai Umar dan ormas Islam lainnya me-nyudutkan Dahlia dengan tariannya—

Teenlit kian digandrungi pembaca. Dok. The Wahid Institute /Witjak

Page 2: tempoedisi-v

Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-Rachman Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif | Redaktur Pelaksana: Gamal Ferdhi | Desain: Widhi Cahya

Sup

lem

en th

e W

AH

ID In

stitu

te V

/Tem

po -

26 F

ebru

ari -

4 M

aret

200

7

Zahra tak tahu siapa pengirimnya. Karena itu ia bungkam ketika ditanya oleh petugas keamanan pondok. Go-sip pun beredar. Ada lesbi di asrama itu yang diam-diam mencintai Zahra. Sahna, santriwati senior yang selama ini dikenal dekat dengan Zahra, jadi tertuduh.

Isu ini khas pesantren, karena me-mang tak boleh seorang lelaki pun me-miliki akses ke pesantren puteri, kecuali keluarga kiai.

Dua cerita di atas adalah cuplikan novel Tarian Cinta dan Gus Yahya Bukan Cinta Biasa, dua dari banyak novel ber-gaya teenlit yang lahir dari pesantren, sekolah yang selama ini dianggap tidak gaul.

Kehadiran teenlit (teen literature) pesantren adalah buah dari maraknya novel teenlit impor yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Teenlit terjemahan itu menampilkan tokoh dan gaya hidup remaja kota yang relatif liberal. Remaja belasan tahun sudah terbiasa berciuman dengan lawan jenis dan pergi ke pesta-pesta.

Novel remaja karya anak muda yang hidup dalam dunia yang berkecukupan ini, kerap menampilkan tokohnya yang mempunyai mobil pribadi, kerap ber-libur ke seantero dunia, nongkrong di kafe, memuja bintang pop, dan berbe-lanja di pertokoan terkenal.

Dengan mengadaptasi gaya dan teknik penceritaan seperti itu, sejumlah pengarang muda di Indonesia menulis teenlit ala Indonesia. Jumlahnya sangat fenomenal. Bahkan, beberapa dianta-ranya telah diangkat ke layar perak dan layar gelas.

Kini hadir pula novel pop gubahan para santri belia yang telah memberi warna tersendiri dalam dunia buku sastra remaja.

Teenlit pesantren berbicara tentang remaja dan ditulis oleh remaja. Fina Af ’idatussofa, penulis Gus Yahya Bukan Cinta Biasa, misalnya tahun ini baru menjelang 17 tahun. Sementara Maia Rosyida, penulis Tarian Cinta, belum lagi 20 tahun.

“Gaya bahasa yang digunakannya pun sama, yakni bahasa gaul remaja

Madura yaitu Lora –disingkat dengan Ra– juga ditampilkan. “Menurut cerita yang dapat dipertanggungjawabkan alias mutawatir, Ra Faris dikenal sebagai aktivis yang superaktif dan tidak pernah ada kata cewek dalam kamus hidupnya,” tulis Ana.

Karya Fina, Maia, Ismah, Ana dan banyak penulis muda lainnya itu dipubli-kasi penerbit Matapena yang berbasis di Yogyakarta. Lembaga ini memang paling giat membidani kelahiran teenlit pesantren. Kehadiran novel-novel itu dimaksudkan untuk mengisi kekosong-an dari novel remaja yang sudah terbit. “Matapena ingin memperkenalkan sosok remaja pesantren yang selama ini luput dari perhatian, bahkan sering dianggap tidak gaul,” kata Nur Ismah.

Untuk kepentingan ini, dibentuklah Komunitas Matapena. Ini adalah ko-munitas penulis muda pesantren. Me-reka berkeliling ke sejumlah pesantren, menggelar diskusi buku dan membuat workshop penulisan. Kini sudah ada 45 rayon yang berbasis di pesantren-pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Untuk Jakarta dan Banten sedang dirintis. “Jumlah penulis yang telah direkrut sekitar 300-an,” ujar Ismah.

Sejak berdiri pada akhir 2005, Mata-pena berhasil meluncurkan 20 novel. Beberapa di antaranya telah dicetak ulang, bahkan Santri Semelekete karya Ma’rifatun Baroroh dan Pangeran Bersa-rung yang ditulis Mahbub Jamaluddin, sudah dibeli sebuah rumah produksi

yang sedang tren: penuh dengan isti-lah Inggris, banyak akronim dan style Jakarta,” jelas Redaktur Majalah Seni Gong Hairus Salim.

Tapi jika ditelesik, kata Manajer Divisi Matapena Nur Ismah, tetap ada sesuatu yang berbeda dalam teenlit pesantren. “Ada semacam pandangan khas pesantren, yang membuat ia tidak sekadar jadi cerita cinta remaja saja,” jelas Ismah (baca: Menelusuri Lokalitas Pesantren).

Ia lalu mencontohkan karyanya, Jerawat Santri. Ada tokoh Mahsa yang memberikan semacam kuliah mengenai reproduksi berdasarkan kaca mata fikih dan psikologi sosial kepada yuniornya, Una. Dalam Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji (2006), ada tokoh Rara yang menolak poligami. Untuk itu, Rara yang berjilbab modis mesti membantah dan berdebat dengan para seniornya di kampus.

Sedang dalam Tarian Cinta karya Maia Rosyida dikisahkan kearifan dari Mbah Jalaluddin Rumi. Sang kiai tak serampangan memberi fatwa haram tar-ian Dahlia yang meniru gaya Toxic-nya Britney Spears.

“Nah, itu kan bukan sekadar cerita cinta remaja toh?” tegas Nur Ismah.

Ciri khas teenlit pesantren juga di-paparkan Hairus Salim. “Ada istilah-istilah fikih, referensi kitab dan buku pesantren, humor ala pesantren, ba-hasa prokem pesantren, dan lain-lain,” kata Salim yang sering meneliti sastra pesantren.

Tengok polah Hadziq, sant r i Mbah Ja l a lud-d in Rumi da lam Tar - i -an Cinta, yang berseman-gat membahas kitab Qur-ratul Uyun. “Sengaja milih kitab yang agak menghi-bur. Maksudnya yang agak ‘porno’ biar nggak terlalu pusing dengan rumus nah-wunya,” tulis Maia Rosyida dalam Tarian Cinta.

Ana FM dalam Cinta Lora menggunakan istilah ilmu hadis, serta panggilan khas untuk putera kiai di Ragam judul teenlit pesantren

Page 3: tempoedisi-v

Suplemen ini dipersembahkan the WAHID Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakhir di Majalah TEMPO. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org

Sup

lem

en th

e W

AH

ID In

stitu

te V

/Tem

po -

26 F

ebru

ari -

4 M

aret

200

7

Menelusuri Lokalitas PesantrenNur Ismah, Manajer Matapena

Kiprah perempuan mungil itu memang tidak bisa dipisahkan dari teenlit (teen literature) pesantren atau yang kadang disebut novel pop pesantren.

Nur Ismah, nama perempuan kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 23 Desember 1978 ini, adalah manajer Matapena, sebuah divisi di penerbit Lembaga Kajian islam dan Sosial (LKiS), Yogyakarta.

Matapena khusus menerbitkan karya-karya sastra remaja dari kalangan pesantren dan bercerita tentang remaja pesantren. Namun Ismah bukan sekadar manajer. Penulis dengan nama pena Isma Kazee ini, telah membesut dua teenlit pesantren yaitu Jerawat Santri (2006) dan Ja’a Jutek (2007).

Pesantren memang bukan dunia asing bagi Ismah. Pahit manisnya masih membekas hingga sekarang. Maklum, ia menghabiskan tujuh tahun masa remajanya di Pesantren Putri Al-Fathimiyyah, Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.

Selepas dari pesantren, Ismah hengkang ke Yogyakarta dan mengambil kuliah di Jurusan Sastra Arab, Universitas Islam Negeri (UIN), Sunan Kalijaga. Kegiatan menulis yang ia pupuk sejak nyantri dan keterlibatannya dalam dunia pers mahasiswa, mengantar Ismah ke dunianya kini.

Ismah punya alasan kenapa harus membesarkan teenlit pesantren. “Selain ingin menandingi gaya hidup remaja perkotaan yang ditawarkan teenlit pada umumnya, juga ingin menunjukkan Islam pesantren yang membumi.”

Hal itu ia tunjukkan dalam karyanya. Tengok saja Jerawat Santri. Di situ ada tokoh Mahsa yang memberikan semacam kuliah mengenai reproduksi berdasarkan kaca mata fikih dan psikologi sosial kepada yuniornya, Una.

Contoh lain bisa disimak dalam Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji (2006). Di sana, ada episode

ketika tokoh Rara menyatakan t a k s e t u j u p ad a poligami. Untuk itu, Rara yang berjilbab modis, mesti membantah dan mendebat para seniornya di kampus yang disebutnya sebagai kalangan ”jilbaber gedombor-dombor”. “Nah, itu kan bukan sekadar cerita cinta remaja toh?” kilah Nur Ismah.

Ismah menambahkan, ada kisah tentang kearifan Mbah Jalaluddin Rumi, dalam Tarian Cinta karya Maia Rosyida. Pesan pokoknya: tak serta-merta memfatwa haram tarian Dahlia yang mirip Toxic-nya penyanyi tenar Britney Spears. “Kalau di novel lain, hal itu pasti haram,” kata Ismah.

Namun dalam cara berbicara, hobi, pakaian, selera musik dan film, jelas Ismah, teenlit pesantren tetap mengikuti pakem zamannya. “Remaja di mana pun, kini memiliki kultur gaul yang pada dasarnya adalah kultur global atau kultur MTV. Televisi jelas menjadi ‘imam’ dari kultur ini,” kata Ismah.

Karena itu, ujar Ismah, banyak orang menilai teenlit pesantren tak beda dengan teenlit pada umumnya. Bahkan dituding tak punya ciri khas. “Penilaian ini kalau semata melihat kemasannya,” kata mantan reporter majalah perempuan dan anak MITRA YKF-LKPSM Yogyakarta ini.

Tapi jika ditelesik, kata Ismah, ada ciri khas dalam teenlit pesantren. “Ada semacam pandangan khas pesantren, yang membuat ia tidak sekadar jadi cerita cinta remaja saja,” jelasnya.

Banyak tradisi pesantren yang belum diolah jadi cerita. Sebab itu, Ismah yakin bahwa tema-tema pesantren tidak akan pernah habis digali. “Pesantren seperti juga etnik, memiliki lokalitasnya sendiri. Nah, lokalitas-lokalitas itulah yang akan terus kita telusuri.”[]

untuk diangkat ke layar sinetron.Sedangkan Forum Lingkar Pena

(FLP) yang juga giat mengembang-kan kemampuan menulis di kalangan remaja Islam mengakui tidak mem-punyai lini khusus yang menangani sastra pesantren. “Walaupun begitu, ada juga novel dari komunitas kami yang mengambil latar cerita kehidupan pesantren,” kata Ketua FLP Yogyakarta I. R. Wulandari.

Menurut Salim, pertumbuhan gene-rasi baru penulis novel dari pesantren saat ini bagai cendawan di musim hujan. Unik, memang. Mengingat umumnya pesantren masih melarang santrinya

membaca buku-buku ‘putih’, yaitu buku karya penulis anyar apalagi yang diang-gap pop. “Mereka hanya diwajibkan untuk membaca dan mempelajari kitab kuning, yakni buku-buku keagamaan yang ditulis dalam bahasa Arab,” ung-kap Salim.

Pandangan ‘kaku’ seperti itulah yang menyulitkan Ismah masuk ke pesantren. Tetapi setelah melakukan pendekatan kepada kalangan pimpinan pondok bahwa gerakan ini untuk kepentingan santri, barulah kehadiran mereka disam-but baik. “Kini bukan lagi kami yang menawarkan, sejumlah pesantren juga telah meminta para penulis Matapena

untuk memberikan workshop penulisan di pesantren-pesantren mereka,” jelas Ismah.

Jika diperkirakan ada sekitar 3 jutaan santri di seluruh Indonesia, maka hadir-nya karya-karya remaja pesantren jelas cukup rasional dari segi pasar. Tapi bukan soal pasar yang paling penting. Komunitas Matapena, dengan caranya sendiri telah mengembangkan kegiatan menulis. Mendorong minat baca, kini mereka jadikan sebagai suatu gerakan. Sebuah tindakan terpuji yang patut didukung, bukan dipasung.[]

Hairus Salim dan Gamal Ferdhi

Nurul H. Maarif, Gamal Ferdhi

Nur Ismah Dok. Pribadi

Page 4: tempoedisi-v

Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-Rachman Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif | Redaktur Pelaksana: Gamal Ferdhi | Desain: Widhi Cahya

Sup

lem

en th

e W

AH

ID In

stitu

te V

/Tem

po -

26 F

ebru

ari -

4 M

aret

200

7

Teenlit (teen literature) pesantren a tau sas t ra pop rema ja pesantren boleh jadi merupakan

kelanjutan perubahan dunia pesantren yang telanjur terbuka atas informasi dan tak bisa lagi menolak perubahan. Namun, dunia dan bakat alam mereka seperti luput dari pengamatan banyak pihak. Para santri remaja itu begitu tekun dengan dunia mereka sendiri, tak peduli hiruk-pikuk para ‘orang tua’ mereka.

Meskipun kini pesantren sedang digempur dari berbagai arah dan ditarik kanan kiri, para santriwan yang suka pakai sarung dan mukena bagi santriwati, itu rela berjam-jam nongkrong di depan komputer.

Mereka menulis, merefleksi dan menggugat lingkungan dan pemikiran dunia mereka sendiri yang selama ini dianggap menyesakkan. Hasilnya adalah novel, cerpen, kumpulan puisi dan karangan lainnya. Beberapa karya mereka bahkan dibeli oleh production house (PH) untuk diangkat ke sinetron TV.

Dahsyatnya arus informasi melalui berbagai saluran, tidak mungkin dicegah dengan cara apapun. Internet dengan seluruh situsnya dan TV dengan semua kanal yang ada dengan mudah bisa diakses oleh segala umur. Hanya kesadaran pribadi dan lingkungan yang bisa membimbing mereka. Para penulis remaja itu, adalah di antara mereka yang mampu memanfaatkan arus informasi tersebut dengan maksimal untuk memproduksi gagasan.

Dilihat dari bahasa, jalan cerita, istilah yang digunakan, tak ada bedanya dunia para penulis pesantren ini dengan sastra pop remaja atau teenlit umumnya. Bedanya, novel-novel itu banyak mengambil setting pesantren. Tak sedikit yang memakai term-term

orang-perorang dan kelompok. Tetapi setiap dzuhur dan ashar mereka wajib berjamaah bersama dan di malam hari harus mengikuti sekolah diniyah di pesantren desa itu. Dan guru hanya berfungsi sebagai pembimbing.

Komunitas Azan di desa Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat lain lagi. Kelompok yang dipimpin Acep Zamzam Noor, yang bergerak di wilayah kajian sastra, telah melahirkan puluhan seniman dan penulis. Bersama seniman di Tasikmalaya lainnya, mereka berhasil meyakinkan pemerintah daerah untuk mendirikan Gedung Kesenian, sejak 6 tahun lalu. Konon, ini adalah Gedung Kesenian pertama di kabupaten di Indonesia.

Lambat-laun terbangun pula sistem penerbitan, percetakan dan pemasaran. Penghargaan untuk para penulis, pemantauan bakat dan mobilisasi karya-karya mereka makin digalakkan. Saya jadi ingat kata-kata Gus Dur suatu saat pada tahun 70-an di Institut Teknologi Bandung (ITB) bahwa kebangkitan Islam hanya akan terjadi jika telah ada kebebasan berkreasi dan kebebasan berekspresi di dunia Islam.[]

Ahmad Suaedy Direktur Eksekutif The WAHID Institute - Jakarta

Sastra Pop Kaum Sarungan

kitab kuning, menyinggung kehidupan agama, terkadang berupa kritik dengan sangat tajam.

Para santri remaja nan kreatif ini tentu harus terus didorong. Mereka sedang mencari dunia mereka sendiri dengan menggunakan referensi yang mereka pelajari di pesantren. Hal ini lalu mereka kaitkan dengan realitas yang mereka serap dari dunia nyata.

***Da l am konteks pergeseran

peran pesantren, fenomena teenlit sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia boleh jadi merupakan buah dari proses perubahan dan terbangunnya sistem baru dari dunia yang pernah dianggap paling kolot itu. Sejak digagas oleh Gus Dur dan kawan-kawan atas dunia pesantren dan Nahdlatul Ulama, gerakan pembaharuan itu bergulir terus hingga kini, melampaui apa yang dipikirkan saat itu.

Di pelbagai daerah, dari tingkat kecamatan hingga desa, di kawasan basis pesantren, para santri umumnya punya komunitas tersendiri. Terbentuklah berbagai kelompok, seperti kelompok remaja, pelajar dan mahasiswa yang berlatar belakang pesantren. Ada kelompok diskusi, kajian kitab kuning, bahtsul masail sampai kelompok advokasi serta tulis-menulis sampai pendidikan alternatif.

Tengok saja di ‘sekolah alternatif ’ SMP dan SMU Qoryah Tayyibah, di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Di sekolah yang baru empat tahun berdiri itu, lahir tiga penulis berbakat, yaitu Maia Rosyida, Fina Af’idatussofa dan Upik. Sekolah ini dikelola dengan pendekatan semacam komunitas riset untuk anak-anak seusia pelajar. Mereka diberi fasilitas internet 24 jam sehari dan perpustakaan, serta dipersilakan untuk memilih topik kajian secara

Dalam konteks pergeseran peran pesantren, fenomena teenlit sesungguhnya tidak

berdiri sendiri. Ia boleh jadi merupakan

buah dari proses perubahan dan terbangunnya sistem

baru dari dunia yang pernah dianggap paling kolot itu.

Ahmad Suaedy. Dok. Wahid Institute