tb anak

42
1 PENDAHULUAN Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura, disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) (PDPI, 2006). TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun (Kemenkes RI, 2013). TB anak merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di dua puluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25%. (WHO, 2006). Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal

Upload: cita

Post on 09-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pediatri

TRANSCRIPT

Page 1: TB Anak

1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang menyerang jaringan

paru, tidak termasuk pleura, disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

tuberculosis) (PDPI, 2006). TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak

usia 0-14 tahun (Kemenkes RI, 2013).

TB anak merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara

berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu

penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang

maupun di negara maju. Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta

di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah

anak usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di dua

puluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan

dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak berkisar antara 3%

sampai >25%. (WHO, 2006).

Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit

didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya

mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti

overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment.

Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa

dengan sputum basil tahan asam (BTA) positif sehingga penanggulangan TB

ditekankan pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB

anak kurang diperhatikan.

Mendiagnosis TB pada anak cukup sulit, karena populasi basil TB paru

anak sangat sedikit (paucibacillary) sehingga sulit mendapatkan basil TB untuk

konfirmasi diagnosis TB, sehingga membutuhkan anamnesis dan analisis yang

teliti, adanya kontak dengan TB dewasa aktif, pemeriksaan fisik dan penunjang

lainnya seperti uji tuberkulin dan foto rontgen. Dengan menganalisis hasil

pemeriksaan yang teliti dapat dihindari overdiagnosis atau underdiagnosis TB

anak.

Page 2: TB Anak

2

Dosis obat anti Tuberkulosis pada anak juga relatif lebih tinggi daripada dewasa

karena perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik (Kusuma, 2007;

Kemenkes RI, 2013).

Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan dengan dosis yang tepat

maka akan meningkatkan kualitas hidup anak dan tumbuh kembang anak yang

optimal sesuai dengan potensi genetiknya.

DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang menyerang jaringan

paru, tidak termasuk pleura, disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

tuberculosis) (PDPI, 2006). TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak

usia 0-14 tahun (Kemenkes RI, 2013).

EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab

morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan. Setiap tahun

diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta

kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh

kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di dua puluh dua negara dengan beban

TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase

semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25% (WHO, 2006).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), penyakit TB

pada anak usia di bawah 15 tahun merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang sangat penting, salah satu alasannya adalah karena bayi dan anak lebih

berisiko dibandingkan orang dewasa dalam hal pengembangan bentuk ganas dari

TB. Diantara anak-anak, kasus TB paling banyak ditemukan pada anak usia di

bawah 5 tahun dan pada remaja usia di atas 10 tahun (CDC, 2014).

Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB dewasa, sehingga dalam

penanggulangan TB anak, penting untuk mengerti gambaran epidemiologi TB

pada dewasa. Infeksi TB pada anak terjadi akibat kontak orang dewasa sakit TB

aktif. (Kartasasmita, 2009)

Page 3: TB Anak

3

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB

setelah India dan Cina (PDPI, 2006). Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan

Dasar tahun 2013, prevalensi TB paru di Indonesia pada kelompok umur di bawah

1 tahun sebesar 200 per 100.000 penduduk, pada kelompok umur 1 -4 tahun

sebesar 400 per 100.000 penduduk, dan pada kelompok umur 5-14 tahun sebesar

300 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan Profil Kesehatan

Indonesia tahun 2012, jumlah kasus TB paru pada kelompok umur 0-14 tahun di

Indonesia sebanyak 1.703 kasus (Kemenkes RI, 2010).

ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, tidak membentuk spora,

tidak berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah,

serta memiliki ukuran panjang 1-4 mikrometer dan lebarnya 0,3-0,6 mikrometer.

M. tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob

obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung

banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan

basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian

besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan

arabinomanan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA

dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena

ketahanannya terhadap asam, M. tuberculosis dapat membentuk kompleks yang

stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan

carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara

yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan

dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali (PDPI, 2006).

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam

sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid.

Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi

jaringan yang mengandung kadar oksigen tinggi sehingga tempat predileksi

penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi

dari pada tempat lainnya (Rahajoe et al., 2010).

Page 4: TB Anak

4

M. tuberculosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning

telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara

lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari

media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji

sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara

itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan

menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas

terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari (Kusuma, 2007).

CARA PENULARAN (Kemenkes RI, 2013)

• Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun

anak.

• Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya,

kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.

• Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama

pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan

kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA

negatif.

• Ibu pada anaknya melalui placenta, cairan amnion, dan hematogen

• Pelaporan transmisi melalui ASI belum pernah ada kecuali ibu menderita

mastitis TB (Tumbelaka dan Karyanti, 2013)

PATOFISIOLOGI (Rahajoe et al., 2010; Kemenkes RI, 2010)

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB

dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 µm), akan

terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat

dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak

terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,

tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat

menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB

yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang

Page 5: TB Anak

5

tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan

akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di

tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe

menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran

limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di

saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika

fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat

adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di

apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus

primer,

limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8

minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga

mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas selular.

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah

terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB

terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin

masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi

baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.

Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli

akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated

immunity, CMI).

Page 6: TB Anak

6

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi

setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga

akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan

gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru

atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan

menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal

infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus

dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-

valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan

erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk

fistula.

Massa keju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai

lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman

menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut

menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen

langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut

sebagai penyakit sistemik.

Page 7: TB Anak

7

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ

di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling

sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga

bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada

umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),

demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan

fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB

apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,

sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh

tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB

secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul

dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung

pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya

penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun

pejamu (host)

dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)

terutama di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.

Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah

dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk

dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini

tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

Page 8: TB Anak

8

Gambar 1. Bagan patogenesis tuberkulosis

Perjalanan alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang

konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu

kalender terjadinya TB di berbagai organ.

Page 9: TB Anak

9

Gambar 2. Perjalanan penyakit tuberkulosis primer

Proses infeksi TB primer tidak langsung memberikan gejala. Uji

tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman

TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan

eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang

terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini (Rahajoe et al.,

2010).

MANIFESTASI KLINIS

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat

bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara

keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya,

sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta

kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu.

Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan

Page 10: TB Anak

10

sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan

clinically silent dissease (Kliegman, 2011).

Kita perlu curiga jika anak terkena TB paru saat (Kemenkes RI, 2013):

1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB

anak.

3. Terdapat gejala sistemik/umum TB anak:

a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1

bulan dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan

grafik pertumbuhan.

b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang

jelas, yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya

tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-

80% kasus.

c. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan

biasanya multipel.

d. Batuk lama ≥ 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah

reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain

batuk telah dapat disingkirkan.

e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat

badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).

f. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

g. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

Manifestasi Spesifik Paru (Kliegman, 2011; Cruz dan Starke, 2015)

a. TB Paru Primer

Tanda yang khas pada penyakit ini adalah kompleks primer. Kompleks

primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan limfadenitis regional.

Interpretasi pada rontgen sering terlihat adenopati hilus dan mediastinum.

Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan

hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis.

Page 11: TB Anak

11

Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan

diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling

sering adalah batuk non produktif dan dispneu.

b. TB Paru Progresif

TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer.

Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi

membesar membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam

bronkus membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya

jumlah basil TB. Hal tersebut merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak

dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi

diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran

klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk

sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan

bunyi nafas.

c. TB Paru Kronis/Reaktivasi

Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat

jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak

yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada

anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan

pada remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang

dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan

penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat

badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG (WHO, 2006; Kemenkes RI, 2013)

Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat

antigen yang kuat. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi

hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Jika

disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka

akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux

Page 12: TB Anak

12

dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di

bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.

Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi

sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif.

Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian

besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh

imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat

BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan

besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-

nya, tapi bila ukuran indurasinya ≥ 15 mm sangat mungkin karena infeksi

alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif.

Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais

atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang

digunakan ≥ 5mm.

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:

1. Infeksi TB alamiah

a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)

b. infeksi TB dan sakit TB

c. TB yang telah sembuh.

2. lmunisasi BCG (infeksi TB buatan).

3. Infeksi mikobakterium atipik.

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut:

1. Tidak ada infeksi TB.

2. Dalam masa inkubasi infeksi TB.

3. Anergi.

Uji interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen dari

kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen

TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian di

Page 13: TB Anak

13

kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan

antara infeksi TB dan sakit TB.

Radiologi

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan

radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Milier

d. Kalsifikasi dengan infiltrat

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Efusi pleura

h. Tuberkuloma

Mikrobiologi

Diagnosis pasti TB ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksan

mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologi terdiri dari pemeriksaan mikroskopis

apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M.

Tuberkulosis.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit

mendapatkan sputum sehingga dilakukan bilas lambung. Bilas lambung dilakukan

3 hari berturut-turut pada pagi hari. Namun hasilnya tetap lebih baik dengan

pemeriksaan sputum.

Pada pemeriksaan biakan M. Tuberculosis diperlukan waktu yang lama (5-

10 hari) dengan medium cair Bactec.

Patologi Anatomik

Pemeriksaan ini memiliki nilai yang tinggi setelah pemeriksaan

mikrobiologis. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran yang khas, yaitu

granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang

dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan

atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya

Page 14: TB Anak

14

ditemukannya sel datia Langhans. Diagnosis histopatologis dapat ditegakkan

dengan menemukn perkejuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit dan sel datia

Langhans. Kadang juga ditemukan BTA.

PENEGAKAN DIAGNOSIS (Rahajoe et al., 2010; Kemenkes RI, 2013)

Diagnosis TB dibuat berdasarkan adanya kontak dengan pasien TB dewasa

aktif, adanya gejala klinis, uji tuberculin, dan gambaran sugestif foto thorax.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan

apusan langsung dan/atau biakan (gold standart), atau gambaran PA TB. Hanya

saja diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena sedikitnya jumlah kuman

(paucibacillary), sulitnya pengambilan spesimen sputum, dan lokasi kuman di

parenkim paru yang jauh dari bronkus., sehingga hanya 10-15% pasien TB anak

yang hasil pemeriksaan mikrobiologisnya positif.

Maka dari itu, untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI

merekomendasikan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan

terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Tabel 1. Sistem skoring TB Anak

Page 15: TB Anak

15

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga (BTA negatif atau tidak jelas)

BTA(+)

Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosupresi)

Berat badan / Status Gizi

- BB/TB < 90%  atauBB/U < 80%

Klinis gizi burukatau BB/TB < 70%atau BB/U < 60%

-

Demam tanpa sebab yang jelas

- ≥ 2 minggu - -

Batuk - ≥ 3 minggu - -Pembesaran kelenjar koli, aksila, inguinal

- ≥ 1 cm, jumlah> 1, tidak nyeri

- -

Pembengkakan tulang / sendi panggul, lutut, falang

- Ada pembengkakan

- -

Foto Thorak Normal/kelainan tidak jelas

Gambaran sugestif TB

- -

Catatan:

Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat datang.

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;

Page 16: TB Anak

16

atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena

diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka

sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari)

harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat

diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,

dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan

kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat

inap di RS.

Gambar 3. Bagan skrining tuberkulosis

Page 17: TB Anak

17

PENATALAKSANAAN (Rahajoe et al., 2010; Kemenkes RI, 2013)

Tabel 2. Panduan OAT kategori anak

Jenis Fase

Intensif

Fase

Lanjutan

Prednison Lama

TB Ringan

2HRZ 4HR

-

6 bulanEfusi Pleura TB2 mgg dosis penuh kmdn

tapp off

TB BTA positif 2HRZE 4HR -

TB Paru dengan

tanda-tanda

kerusakan luas

2HRZ+E

atau S

7-10HR4 mgg dosis penuh kmdn

tapp off

9-12

bulanTB milier

TB + destroyed

lung

Meningitis TB

10HR

4 mgg dosis penuh kmdn

tapp off

12 bulanPeritonitis TB

2 mgg dosis penuh kmdn

tapp off

Perikarditis TB2 mgg dosis penuh kmdn

tapp off

Skeletal TB -

Prinsip pengobatan TB anak (Kemenkes RI, 2013):

a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk

mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman

intraseluler dan ekstraseluler

b. Waktu pengobatan TB paru tanpa komplikasi pada anak 6 bulan. Pemberian

obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya kekambuhan

c. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

Page 18: TB Anak

18

Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan

minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan

berat ringannya penyakit.

Tahap Lanjutan, selama 4 bulan selanjutnya, tergantung hasil

pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap

intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk

mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika

obat tidak diminum setiap hari.

d. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun

ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain

dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

e. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional

f. Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:

Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

h. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat

Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari

kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan

dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu

pasien.

i. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT

KDT.

1. Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang

sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam

keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik

terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman,

dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan

pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang

(adverse reaction) yang sangat rendah.

Page 19: TB Anak

19

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah

5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali

pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300

mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya

tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di

dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama

paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-

anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada

air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah

plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan

neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien

dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian

besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar

transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan

menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar

transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila

ada gejala dan tanda klinis.

2. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki

semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat

dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem

gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum

puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral

dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali

pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin

tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.

Distribusinya sama dengan isoniazid.

Page 20: TB Anak

20

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang

kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,

dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping

rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan

hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan

kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan

isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara

menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.

Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan

kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa

obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol,

kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian

kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk

anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan

menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum

bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.

3. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan

dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan

diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai

dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum

puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif

karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul

akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman

pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami

efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada

anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya

adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi

hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk

tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan

makanan.

Page 21: TB Anak

21

d. Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada

mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid

jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,

berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap

obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25

gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam.

Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi

dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu

tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada

keadaan meningitis.

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan

etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan

buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak

yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang

terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya

pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada

anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya

tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

e. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk

membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam

pengobatan TB tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif

meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan

dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 µg/ml

dalam waktu 1-2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi

tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi

baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan

Page 22: TB Anak

22

utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap

isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi

pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran

dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal

jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati

dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf

pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,

hipersensitivitas

Rifampisin 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,

hepatitis, trombositopenia,

peningkatan enzim hati, cairan

tubuh berwarna oranye

kemerahan

Pirazinamid 35 (30-40) - Toksisitas hati, atralgia,

gastrointestinal

Etambutol 20 (15-25) - Neuritis optik, ketajaman

penglihatan berkurang, buta

warna merah-hijau, penyempitan

lapang pandang,

hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisi

n

15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

Tabel 4. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi

10 mg/kgBB/hari.

Page 23: TB Anak

23

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik

melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan

pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga

macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase

lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk

membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang,

selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa, OAT diberikan pada anak setiap hari,

bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan

setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada

anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif

diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan

hanya diberikan rifampisin dan isoniazid (Kemenkes RI, 2013).

Tabel 5. Paduan obat antituberkulosis

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid

Rifampisin

Pirazinamid

Etambutol

Streptomisin

Prednison

EVALUASI (Kemenkes RI, 2013)

Page 24: TB Anak

24

Hasil Pengobatan

Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat

kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase

lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon

pengobatan pasien harus dievaluasi. Evaluasi pengobatan penting karena

diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi

pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis dan evaluasi

radiologis. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau

membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,

misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan

nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan

dilanjutkan.

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan

tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan

evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi

adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya

pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang

lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi

evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,

kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi.

Setelah pengobatan 6 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat

dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu

dilakukan secara rutin.

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu

subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan

dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya

kekambuhan.

Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan

dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan

pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB

BTA positif.

Page 25: TB Anak

25

Putus obat

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab

kegagalan terapi.

• Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase

lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari

awal.

• Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase

lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai

selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan

risiko terjadinya TB kebal obat.

PENCEGAHAN (WHO, 2006; Rahajoe et al., 2010)

Imunisasi BCG

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2

bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara

intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan

lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda

baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji

tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan

dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian

vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.

Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan

spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap

terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di

klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.

Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak

dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif

aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering

ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan

Page 26: TB Anak

26

insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi

imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal

tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan

optimal.

Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan

kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah

terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah

berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan

isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis

ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA

sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan

ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan

sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif),

maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi

status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah

dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk

evaluasi lebih lanjut.

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi

belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan

radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi

hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang

menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh

anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,

varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan

kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam

kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis

sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan

terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.

Page 27: TB Anak

27

DAFTAR PUSTAKA

CDC. 2014. TB in Children in The United States.

http://www.cdc.gov/tb/topic/populations/TBinChildren/default.htm. Diakses

tanggal 18 September 2015.

Cruz, A.T., dan Starke, J. R. 2015. Pediatric Tuberculosis. Pediatrics in

Review Vol. 31 (1): 13-26

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

2013. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Kartasasmita, C. B., 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri Vol. 11

(2): 124-129

Kusuma, C. 2007. Diagnostik Tuberculosis Baru. Sari Pediatri Vol. 8 (4):

143-151

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

Kemenkes RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta.

Kliegman, Robert M., MD et.all. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics 19th

Edition. Elsevier: USA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Rahajoe, N. N., Supriyatno, B., dan Setyanto, B. S. 2010. Buku

Ajarrespirologi Anak edisi pertama. Badan Penerbit IDAI: Jakarta

Tumbelaka, A. R., dan Karyanti, M. R. 2013. Air Susu Ibu dan Pengendalian

Infeksi. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-pengendalian-

infeksi.html. Diakses tanggal 18 September 2015.

WHO. 2006. Guidance for National Tuberculosis Programmes the

Management of Tuberculosis in Children. Geneva: World Health Organization.