tarikh tashri pada masa muroji un
TRANSCRIPT
TARIKH TASHRI’ PADA MASA MUROJI’UN
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah merupakan salah satu cara untuk mengetahui peristiwa yang telah lalu dengan
mempelajari secara kronologis untuk mengetahui sejarah hukum Islam khususnya masalah
periodesasi sejarah hukum Islam. Para ahli sejarah (muarrikhin) berbeda pendapat.
Menurut al-Khudhari, Hukum Islam dalam sejarahnya melalui enam fase tasyri’ (legislasi)
yang mempunyai ciri tersendiri sesuai dengan perkembangan yang dilalui oleh masyarakat
Islam.
1. Fase kerasulan Nabi Muhammad dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan
kepada beliau.
2. Fase para sahabat Nabi yang senior (kibar ash-shahabah), mulai dari saat kewafatan
Nabi sampai akhir masa Khulafa’ Rasyidin.
3. Fase para permulaan nabi yang junior (shighar ash-shahabah), mulai dari permulaan
masa Umawi sampai lebih kurang satu abad setelah Hijrah.
4. Fase fiqh menjadi ilmu tersendiri, mulai dari abad kedua hijrah sampai akhir abad
ketiga.
5. Fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha’, mulai dari
awal abad keempat atas dunia Islam pada abad ketujuh Hijrah (1258 M).
6. Fase taqlid (mengikuti kepada pendapat imam-imam terdahulu), mulai dari kejatuhan
Dinasti ‘Abbasiyah sampai sekarang1.
Selain yang disimpulkan oleh al-Khudhari ini, sebenarnya sebuah fase baru sedang
tumbuh dalam waktu ini. Bila kita memperhatikan perkembangan legislasi di dunia Islam
dewasa ini, hukum Islam sebenarnya sedang memasuki fase ketujuh; yaitu fase
kodifikasi/kompilasi di beberapa negara anggota OIC (Organization of Islamic Conference) dan
ijtihad untuk masalah-masalah kontemporer, terutama melalui lembaga-lembaga resmi negara 1 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam Di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999, hal 51-52
1
atau semi resmi, atau lembaga-lembaga internasional, atau murni swasta. Tujuannya adalah
untuk memperkaya hukum positif nasional.
Kodifikasi atau kompilasi paling terkenal di zaman modern dimulai di Turki Usmani
melalui sebuah tim yang diketuai oleh Menteri Kehakiman yang bekerja mulai tahun 1285
H/1869 M sampai 1293 H/1876 M. Tim ini berhasil merumuskan 1851 pasal materi hukum
berdasarkan pendapat yang terkuat dalam fiqih mazhab Hanafi dan diumumkan berlaku untuk
seluruh wilayah Turki Usmani pada tanggal 26 Sya’ban 1293 dengan nama Majallah al-Ahkam
al-‘Adliyyah.
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, terbagi kepada empat periode:
1) Periode Rasulullah Saw yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan yang berlangsung
selama kurang lebih 22 tahun beberapa bulan, sejak pelantikannya sebagai Rasul Allah
pada tahun 610 M sampai wafatnya tahun 632 M.
2) Periode sahabat yaitu periode penjelasan, pencerahan dan penyempurnaan yang
berlangsung sekitar 90 tahun, sejak wafatnya Rasul Saw tahun 11 H/632 M sampai akhir
abad pertama 101 H atauh 720 M.
3) Periode tadwin atau kodifikasi yaitu periode kodifikasi atau pembukuan atau tampilnya
para Imam Mujtahid. Periode ini dikenal sebagai masa puncak keemasannya yang
berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, yakni dari tahun 101-350 H/720-971 M.
4) Periode taklid, yaitu periode statis dan kebekuan yang berlangsung sejak pertengahan abad
ke 4 H yakni sekitar tahun 351 H dan tidak seorang pun yang tahu masa berakhkirnya
kecuali Allah.
Sedangkan menurut Sa’id Al-Khinn, ada 5 periode:
a) Hukum Islam zaman Rasul
b) Hukum Islam zaman sahabat
c) Hukum Islam zaman tabi’in
d) Hukum Islam zaman taklid
2
e) Hukum Islam zaman sekarang
Sedangkan menurut Subhi Mahmashani, dosen sistem hukum arab pada universitas
Amerika, Beirut. ada 4 periodesasi:
a) Hukum Islam zaman rasul
b) Hukum Islam zaman khulafaurrasyidin dan umawiyun
c) Hukum Islam zaman kemunduran dan taklid
d) Hukum Islam zaman kebangkitan
Sedangkan menurut Umar Sulaiman al-asyqar, ada 6 periodesasi:
a) Hukum Islam zaman Rasul
b) Hukum Islam zaman sahabat
c) Hukum Islam zaman tabi’in
d) Hukum Islam zaman pendiri mazhab
e) Hukum Islam zaman statis
f) Hukum Islam zaman sekarang
Sedangkan menurut Hasbi AS-Shiddiqy, ada 5 periodesasi:
a) Hukum Islam zaman pertumbuhan
b) Hukum Islam zaman sahabat dan Tabi’in
c) Hukum Islam zaman kesempurnaan
d) Hukum Islam zaman kemunduran
e) Hukum Islam zaman kebangkitan
3
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH HUKUM ISLAM PADA MASA MURAJI’UN
A. Masa Keemasan Islam
Disamping periode Nabi Muhammad dan pada periode Khulafaur Rasyidin, terdapat pula
periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan hukum Islam. Periode ini dilakukan di
masa pemerintahan Khalifah Umayyah (662-750 M) dan Khalifah Abbasiyah (750-1258 M).
Hukum fiqh Islam sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam mencapai puncak
perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama lebih kurang 500
tahun. Di masa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis
hukum fiqh Islam serta muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh
umat Islam sampai sekarang.
Pada periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M) pemerintahan Abbasiyah, telah
mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan
Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan
terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti Bani Abbasiyah ini sangat singkat
yaitu dari tahun 750 M – 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah
Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani
Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk lebih
menjaga kestabilan ibu kota negara yang baru berdiri yaitu al-Hasyimiyah, dekat Kufah, Al-
Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangun yaitu kota Baghdad yang
terletak di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat
4
pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota ini al-
Manshur melakukan fonsolidasi dan penertiban pemeritahannnya. Dia mengangkat sejumlah
personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan,
dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Dia
juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian negara. Di samping
membenahi angkatan bersenjata. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani
Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Selain itu pada periode ini gerakan ilmiah telah berkembang sangat pesat karena telah
sampainya peradaban kuno pada para pemikir dari bangsa arab. Hal ini disebabkan oleh adanya
dua unsur, diantaranya :
a) Unsur maula
Pada periode ini sejumlah besar dari bangsa persia, romawi dan mesir telah masuk
islam. Sebagian dari mereka ada yang menjadi tawanan perang dikala masih kecil,
kemudian dididik dibawah naungan tuan-tuan mereka, yaitu kaum muslimin, sehingga
para maula itu mewarisi ilmu-ilmu agama islam dari tuan-tuan mereka dimana ilmu itu
berasaskan al-qur’an dan al-sunah. Sebagian dari mereka ada yang menjadi qori’ –qori’
besar, ahli-ahli hadist yang besar-besar disamping ulama’ yang berbangsa Arab. Dan
sebagian dari maula itu ada yang masuk islam dikala sudah tua atau besar, sehingga
menuru wataknya mereka ini mengawinkan pemikiran dan menyempurnakan akal.
Periode ini dimulai dan para maula itu mempunyai peranan yang besar dalam politik
kenegaraan, karena sesungguhnya daulat abbasiyah itu berdiri diatas kepala para
maulanya dari penduduk khurasan dan irak. Dengan demikian mereka sekutu dalam
daulat itu, dan sempurna pula persekutuan mereka dalam bidang ilmu dan politik2.
b) Kitab-kitab persia dan romawi 2 Drs. Muh Zuhri, Terjemah Tarikh Al- Tasyri’ Al-Islami . Darul Ihya’ INDONESIA hal 333
5
Pada periode yang lampau telah dimulai adanya penterjemahan kitab-kitab Persia
dan Rumawi kedalam bahasa Arab. Pada periode ini Abu Ja’far Al-Mansur khalifah
Abbasiyah yang kedua perhatian terhadap penerjemahan ini, dan hal itu selalu
berkembang terus sampai masa khalifah Al-Ma’mun bin Ar- Rasyid pada awal abad
ketiga hijriyah.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah di letakkan dan dibangun oleh Abu al-
Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya yaitu:
1. Al-Mahdi (775-785 M)
2. Al-Hadi (775-786 M)
3. Harun al-Rasyid (786-809 M)
4. Al-Ma’mun (813-833 M)
5. Al-Mu’tashim (833-842 M)
6. Al-Wasiq (842-847 M)
7. Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pada masa khalifah-khalifah ini banyak kemajuan yang terjadi pada hukum Islam.
Diantaranya digalakkannya penerjemahan buku-buku asing. Berdirinya sekolah dan salah satu
karya terbesar yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Bani Abbasiyah ini merupakan lanjutan dari pemerintahan Bani Umayyah. Jika
dibandingkan dengan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah lebih maju. Dengan berpindahnya ibu
kota ke kota Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh Arab
sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat beorientasi kepada Arab. Kemudian dalam
penyelenggaraan negara, pada Bani Abbas ada jabatan wazir yang membawahi kepala-kepala
departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah. Demikian pula
ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas sebelumnya tidak
ada tentara khusus yang profesional.
6
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga
ilmu pengetahuan agama. Yakni dalam bidang tafsir. Dalam metode-metode tafsir sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga
terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam bidang teologi.
Dalam periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan ini banyak faktor yang
mendorong orang untuk menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum yaitu:
1. Wilayah Islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan India sampai Tiongkok di
Timur sampai ke Spanyol (Eropa) di sebelah Barat.
2. Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan
landasan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqh Islam
3. Telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah
hukum dan masyarakat
Dalam periode ini timbul para mujtahid atau Imam tersebut diatas. Dulu jumlahnya
banyak, tetapi kini yang masih mempunyai pengikut adalah 4 yakni:
1. Abu Hanifah (al-Nukman ibn Tsabit): 700-767 M
2. Malik bin Anas: 713 -795 M
3. Muhammad Idris as-Syafi’i: 767-820 M
4. Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M
Dan sebagaimana diketahui, sumber utama hukum Islam itu adalah al-Quran dan as-
Sunnah Nabi Muhammad. Al-Quran sudah dicatat di masa Nabi Muhammad, di himpun dalam
satu naskah di zaman khalifah Abu Bakar, dua tahun setelah Nabi Muhammad wafat dan
disalin serta dibukukan dalam satu Mushaf al-Quran standar di zaman khalifah Usman.
Demikian atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ke-3 H atau akhir abad ke-9 dan
permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab-kitab Hadist yang terkenal dengan nama al-Kutub
as-Sittah (Enam buah kitab Hadist).
7
Selain dari itu, perlu di catat pula bahwa pada periode ini pulalah metode-metode tertentu
pengambilan hukum dari Al-Quran dan Sunnah, penetapan dan penemuan hukum yang tidak
ada ketentuannya dalam dua sumber utama hukum Islam itu dikembangkan. Yang terpenting
diantaranya adalah: Ijma’, Qiyas, Masalih Al-Mursalah, Istihsan, Istishab, Al-‘urf.
B. Masa Kemunduran Islam
Sejak permulaan abad ke-4 H atau abad ke-10 – 11 M, ilmu hukum Islam mulai berhenti
berkembang. Ini terjadi di akhir penghujung pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa
ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya
yang telah dituangkan kedalam buku berbagai mazhab.
Yang memnjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum
tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang
terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi pikirannya ditumpukan pada
pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para Imamnya saja. Perkembangan
masyarakat yang berjalan terus dan persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada
masa ini tidak lagi diarahkan dengan hukum dan dipecahkan sebaik-baiknya seperti zaman-
zaman sebelumnya. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran
hukumnya berhenti.
Diantara faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan
pemikiran Islam di masa itu adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Kesatuan wilayah Islam yang luas itu, telah retak dengan munculnya beberapa negara
baru, baik di Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di Kawasan Timur Tengah dan Asia.
2) Ketidakstabilan politik yang mempengaruh kegiatan pemikiran hukum. Artinya orang
tidak bebas mengutarakan pendapatnya.
3) Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan itu menyebabkan merosotnya
kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan bersamaan dengan itu muncul
pula orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun
8
mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk fatwa yang membingungkan
masyarakat.
4) Timbullah gejala kelesuan berpikir di mana-mana karena kelesuan berpikir itu, para ahli
tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal
pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab
Periode taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar
dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali
hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum
terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan
dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah
dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Periode taqlid ini mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas
mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan.
Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi
menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah
merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka mencurahkan segenap
kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid
mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami
nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.
1) Sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad
Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya
kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
9
a) Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu
dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai
perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan
kekuasaan.
b) Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan.
Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan
mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan
memperkuat mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi
yang melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan
mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.
c) Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi
lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar
seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.
d) Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai
pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling
menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.
2) Kesungguhan ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini.
Para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa level atau tingkatan, yaitu:
a) Level pertama; ahli ijtihad dalam mazhab
Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syariat secara ijtihad mutlak, mereka hanya
berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah
dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Diantara mereka adalah al-Hasan bin
Ziyad (204 H/820 M) dari mazhab Hanafi, Ibn al-Qasim (191 H) dan Asyhab (204
H/820 M) dari mazhab Maliki dan al-Buwaithy (231 H) dan al-Muzanniy (264 H) dari
mazhab Syafi’i
10
b) Level kedua; ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari
imam mazhabnya.
Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan
juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka yang termasuk
dalam level ini adalah al-Khashaf (261 H), al-Thahawiy (lahir 230 H) dan al-Karkhiy
(340 H) dan penganut mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy (498 H), Ibnu al-‘Arabiy (542 H)
dan Ibnu Rusdy (1198 M) dan penganut mazhab Malikiyah. Abu Hamid al-Ghazaliy
(505 H/1111 M) dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418 H) dari penganut mazhab
Syafi’iyah.
c) Level ketiga; ahli takhrij
d) Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistimbatkan hukum mengenai berbagai
masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan
mazhab yang dianutnya, maka merka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum
dan prinsip-psrinsipnya. Yang termasuk dlam level ini ialah al-Jashshash (370 H) dan
rekan-rekannya dari penganut mazhab Hanafiyah.
e) Level keempat; ahli tarjih
Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-
macam yang bersumber dari pada imam mazhab merekadan sekaligus mampu
mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya.
Mereka yang termasuk dalam level ini ialah al-Qaduriy (428 H) dan pengarang kitab
al-Hidayah dan rekan-rekannya sesama penganut mazhab Hanafi.
f) Level kelima; ahli taqlid
Mereka ini mampu membeda-bedakan riwayat-riwayat yang jarang dikenal dan
riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membeda-bedakan antara dalil-
dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level ini antara lain
11
adalah para pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan ma’tabar dikalangan
mazhab Abu Hanafiah, seperti pengarang kitab al-Kanz dan al-Wiqayah.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya kesungguhan
aktivitas para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini adalah mencurahkan
perhatiannya kepada pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang sudah dibentuk dan
ditetapkan oleh para imam mazhab mereka.
BAB III
12
KESIMPULAN
Islam mengalami massa keemasan/kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan hukum
pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, tepatnya ketika pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah
dipimpin oleh:
1. Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M).
2. Al-Mahdi (775-785 M)
3. Al-Hadi (775-786 M)
4. Harun al-Rasyid (786-809 M)
5. Al-Ma’mun (813-833 M)
6. Al-Mu’tashim (833-842 M)
7. Al-Wasiq (842-847 M)
8. Al-Mutawakkil (847-861 M)
Hal ini di sebabkan karena adanya gerakan ilmiah dan telah sampainya kebudayaan kuno ke
tangan para pemikir islam. Hal ini terbukti dengan terbentuknya perundang-undangan hukum islam
pada saat itu, dan juga adanya pengembangan berbagai kajian ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
13
1. http://www.ikhsanudin.co.cc/2009/09/sejarah-perkembangan-hukum Islam
2. Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami,(terj.), Indonesia: Darul Ihya’
3. A. Hanafi M.A., Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Butan Bintang
4. H.M.K. Bakry, Sedjarah Hukum Dalam Islam, Djakarta: Widjaya
5. Drs. M. Noor-Matdawam, Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Perkembangannya),
Yogyakarta: Bina Karier
14