tari topeng cirebon

9
Tari Topeng Cirebon Berusaha Bertahan dari Kepunahan "Semoga kesenian ini tetap ada karena banyak hal yang bisa kita dapatkan dan pelajari dari tarian ini," kata Sujana Arja, salah seorang maestro tari topeng irebon dalam percakapan dengan Kompas belum lama ini. Hal itulah yang tetap dicoba oleh tarian topeng Cirebonan sebagai bentuk khas kesenian asli Cirebon. Hingga saat ini,n kesenian itu jatuh bangun mempertahankan keasliannya. Ironisnya, beberapa aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon hampir punah, bahkan beberapa di antaranya sudah punah. Sebagian seniman dari aliran tari topeng Cirebon ada yang mencoba mempertahankannya. Sering kali mereka dianggap kuno. Bahkan, beberapa maestro yang masih eksis, hidupnya pun jauh dari layaknya seorang maestro seni. Menurut Sujana, tradisi yang ada pada tari topeng sudah tidak sama dengan waktu ketika ia menari dulu. Selain banyak orang yang hanya asal bisa menarikan dan tuntutan masyarakat agar tari topeng diubah atau dimodifikasi, ternyata ada banyak tata cara dan tradisi yang harus dihilangkan mengikuti arahan pemerintah. Ada tiga hal yang harus diubah oleh Sujana beserta kelompok tarinya, yaitu ketentuan tidak boleh ngamen dari rumah ke rumah atau lazim dikenal dengan istilah bebarang, tidak boleh pakai kaus kaki ketika menari, dan harus mengganti baju berwarna hitam dengan baju yang lebih meriah. Menyebarkan agama Pada awalnya, tari topeng digunakan untuk menyebarkan agama dengan datang ke rumah seseorang dengan mengharapkan pemilik rumah bisa membawakan doa syahadat. Namun dalam perkembangannya, pembacaan syahadat memang tidak dikembangkan lagi, tapi diganti dengan bebarang ketika musim panen padi tiba.

Upload: ajihandoko87

Post on 12-Jun-2015

2.309 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TARI TOPENG CIREBON

Tari Topeng Cirebon Berusaha Bertahan dari Kepunahan

"Semoga kesenian ini tetap ada karena banyak hal yang bisa kita dapatkan dan pelajari dari

tarian ini," kata Sujana Arja, salah seorang maestro tari topeng irebon dalam percakapan dengan

Kompas belum lama ini.

Hal itulah yang tetap dicoba oleh tarian topeng Cirebonan sebagai bentuk khas kesenian asli

Cirebon. Hingga saat ini,n kesenian itu jatuh bangun mempertahankan keasliannya.

Ironisnya, beberapa aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon hampir punah, bahkan

beberapa di antaranya sudah punah. Sebagian seniman dari aliran tari topeng Cirebon ada yang

mencoba mempertahankannya.

Sering kali mereka dianggap kuno. Bahkan, beberapa maestro yang masih eksis, hidupnya pun

jauh dari layaknya seorang maestro seni.

Menurut Sujana, tradisi yang ada pada tari topeng sudah tidak sama dengan waktu ketika ia

menari dulu.

Selain banyak orang yang hanya asal bisa menarikan dan tuntutan masyarakat agar tari topeng

diubah atau dimodifikasi, ternyata ada banyak tata cara dan tradisi yang harus dihilangkan

mengikuti arahan pemerintah.

Ada tiga hal yang harus diubah oleh Sujana beserta kelompok tarinya, yaitu ketentuan tidak

boleh ngamen dari rumah ke rumah atau lazim dikenal dengan istilah bebarang, tidak boleh pakai

kaus kaki ketika menari, dan harus mengganti baju berwarna hitam dengan baju yang lebih

meriah. Menyebarkan agama

Pada awalnya, tari topeng digunakan untuk menyebarkan agama dengan datang ke rumah

seseorang dengan mengharapkan pemilik rumah bisa membawakan doa syahadat.

Namun dalam perkembangannya, pembacaan syahadat memang tidak dikembangkan lagi, tapi

diganti dengan bebarang ketika musim panen padi tiba.

Bila musim panen tiba,Sujana dan kelompok tarinya datang dari rumah ke rumah untuk

mengamen. Ketika itu, mereka dibayar dengan padi sistem bakdeng, satu bedeng atau sekitar 30

kilogram padi untuk satu babak.

Selain itu, pemakaian kaus kaki putih juga dilarang. Pasalnya, pemerintah menganggap kaus

kaki putih adalah simbol orang-orang penganut komunis.

Padahal, kaus kaki putih tersebut merupakan simbol kesucian seseorang, lebih dari sekadar

aksesoris. Seorang dalang yang akan menari harus suci hati dan pikirannya. Dalam hal ini

disimbolkan dengan kaus kaki berwarna putih.

Sedangkan aturan baru lainnya adalah perihal baju yang harus dibuat lebih berwarna, tidak

polosan dengan warna hitam.

Padahal awalnya, warna polos itu menyimbolkan kesederhanaan bagi dalangnya agar nantinya

para penonton tari tersebut dapat meniru cara hidup sederhana.

Page 2: TARI TOPENG CIREBON

"Saya waktu itu sampai sekarang ikut saja. Padahal, saya tahu kalau diubah, pastinya ada pesan

tertentu yang akan hilang. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga orang takut," ujar Sujana Arja.

Akan tetapi, gagasan perubahan yang digulirkan tidak sejalan dengan nasib tari topeng Cirebon.

Akhir-akhir ini, sajian tari topeng Sujana beserta kelompok tari Panji Dharma mulai ditinggalkan

masyarakat.

"Terakhir kali menerima order bayaran Rp 30 juta. Tapi sekarang uangnya sudah habis karena

harus dibagi rata dengan personel lainnya yang jumlahnya sekitar 30 orang. Kalau sudah begitu,

saya terpaksa utang tetangga karena sudah tidak ada yang tersisa dari saya untuk membiayai

hidup sehari-hari," katanya. Harus bersaing

Menurut Inu Kertapati-dalang tari topeng lainnya-berbeda dengan dulu, setiap hari selalu saja

ada orang yang memintanya untuk menarikan tari topeng. Baik khitanan, pernikahan, maupun

selamatan rumah, biasanya tari topeng selalu hadir dan diminati masyarakat.

"Kami sangat sadar kalau sekarang kami harus bersaing dengan kesenian yang kata orang lebih

baru seperti modern dance atau organ tunggal. Tapi apakah suatu kesalahan bila kami ingin

tetap pertahankan tradisi turun-temurun ini" ujar Inu, anak ketiga dari Sujana Arja.

Selain itu, menurut Inu, kepunahan tari topeng bisa saja lebih cepat terjadi. Pasalnya, selama ini

tari topeng Cirebon hanya ditampilkan pada waktu tertentu. Akibatnya minat dan pengetahuan

masyarakat terhadap tari topeng semakin berkurang.

Tari topeng biasanya hanya muncul saat even kejuaraan dan acara yang diselenggarakan pihak

Keraton di Cirebon. Di luar itu, tari topeng masih sulit ditemukan.

Biaya yang mahal dan adanya kesenian lain yang lebih modern membuat masyarakat mulai

meninggalkan tari topeng Cirebon. Kesenian di Jawa Barat setidaknya memiliki 35 rumpun seni,

yang terdiri dari 391 jenis kesenian. Dari jumlah itu, 100 jenis kesenian berkembang di

masyarakat, 39 di antaranya sangat berkembang.

Kesenian yang sangat terkenal di Jabar adalah Jaipongan. Kesenian ini berkembang, antara lain

di Kota Bandung, Cimahi, Tasikmalaya, Majalengka dan Bekasi.

Kesenian lain yang menjadi ciri khas Jabar adalah tembang sunda, tayub, wayang golek, reog,

calung, angklung/arumba, dan sintren. Di wilayah Cirebon terkenal dengan kesenian topeng

Cirebon, tarling, gembyung, dan wayang kulit. Sementara untuk daerah Kuningan dan Indramayu

jenis kesenian seperti sandiwara, sintren, kuda lumping juga berkembang baik.

Sementara di Sukabumi, potensi seni yang ada antara, lain uyeg, cador, kliningan, kecapi suling,

calung, debus, dan ketuk tilu.

Adapun kesenian yang berkembang di Karawang dan Subang, antara lain bajidoran, dombret,

dan kesenian sisingaan. Jumlah seniman di Jabar sebanyak 49.023 orang dan hingga kini masih

aktif.

Seniman yang tinggal di daerah Bandung 6.652 orang, Cianjur 5.347 orang, dan di

Sumedang 5.190 orang. (D01/DB01/LITBANG KOMPAS)

Page 3: TARI TOPENG CIREBON

In Memoriam” Sujana Arja: Maestro

dari Slangit

Oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy   

Tuesday, 18 April 2006

SETIAP kali ada seseorang yang hingga akhir hayatnya tetap kukuh memilih dunianya menjadi

bagian dari "ritus kehidupan", setiap kali ada seseorang yang selama hayatnya meletakkan

hampir seluruh kreativitasnya menjadi representasi dari segenap "totalitas kehidupan", setiap kali

pula seseorang itu, tanpa pamrih, dengan tulus mengajarkan serta merelakan dirinya hanya untuk

kesenian dan berdiri sebagai seniman yang dengan karya-karyanya sebuah bangsa, di antara

sekian karya yang lain, ditahbiskan berbudaya dan memiliki spirit peradaban. Adakah kita bisa

meletakkan kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang sama?

Saya kira, kita --siapa pun kita pada konteks maknanya yang diperluas dalam posisi sebagai

pejabat negara, politisi, pengusaha atau apa pun-- kesulitan untuk menjawab esensi pertanyaan

tadi dengan baik. Bahkan ada berbagai pertanyaan serupa yang sama sekali kita tidak bisa

memberi jawaban tepat. Seperti halnya pertanyaan berikut, apakah peran seniman memang

senantiasa berada di luar hiruk-pikuk kebijakan negara? Apakah karya-karya seni tidak menjadi

bagian signifikan dalam subsistem wacana kebudayaan suatu pemerintahan?

Seniman, terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi lengkap dengan membawa

khazanah lokal yang menjadi bagian substantif di dalamnya, tampak mengalami dilema di sana-

sini dalam menghadapi perubahan zaman. Sejumlah seni tradisi yang merupakan "ikon" dan

"akar" dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu, berada pada posisi marginal dan

feriferal. Dan, ironisnya, justru seni-seni tradisi yang semula menjadi simbol dalam penyeimbang

(equilibrium) seni-seni yang dinilai sebagai sentral (adiluhung).

Kematian yang Sunyi

Sujana Arja, atau akrab dipanggil Mang Jana, adalah maestro penari topeng yang Senin

(10/4/2006) baru saja wafat dengan usia di atas 70 tahun. Suatu kematian yang sunyi yang

menyisakan jejak panjang silsilah dari salah satu dinamika, stilistika, maupun estetika tari topeng

Cirebon: bagaimana tari topeng "gaya Slangit" membentuk dirinya dan mempertahankan

eksistensinya sekaligus. Bahkan dengan keteguhan seperti itu, ia tidak peduli apakah negaranya

memberi perhatian terhadap salah satu warisan seni tradisi bangsanya atau tidak; apakah

pemerintah daerahnya memahami atau tidak, bagaimana seharusnya menyusun grand strategy

apa yang diklaim para birokrat sebagai "pelestarian" seni tradisi.

Sujana dengan kehidupan yang sangat sederhana mampu bertahan untuk tidak bergeser sedikit

pun dari pengabdian hampir seluruh gerak dirinya pada khazanah seni tradisi tari topeng yang

diwariskan keluarga besar maestro penari topeng Arja. Sejak 1973, Sujana berlatih, mengajarkan

lima wanda tari topeng dan menempati sanggar tari Panji Asmara yang berada di pengujung utara

desa Slangit yang kiri-kanannya masih berupa semak perdu, rumpun bambu, jalan setapak, dan

Page 4: TARI TOPENG CIREBON

hamparan sawah. Kecuali menari, ia tidak pernah memilih profesi selainnya, apalagi sekadar

untuk menyelesaikan yang primer dan sekunder dalam kehidupannya selama ini.

Sujana telah melanjutkan proses regenerasi dan genealogi dari cikal-bakal tari topeng Cirebon.

Bersama dengan beberapa tokoh tari topeng segenerasinya seperti, Sawitri (gaya Losari), Tarwi

(Kreo), Sudji dan Dasih (gaya Palimanan) mengukuhkan tari topeng Cirebon dengan gaya

masing-masing. Sehingga meninggalnya almarhum Sujana, menandai berakhirnya generasi

kedua tari topeng Cirebon yang kini, mau tidak mau, diteruskan anak-cucu mereka. Tradisi tari

topeng --seperti seni-seni tradisi lain, mungkin agak mirip dengan perguruan shaolin yang

memiliki keniscayaan untuk melahirkan sejenis "pendekar" sebagai generasi penerus yang

eksploratif, andal, kukuh, teguh dalam menerima seluruh estafet dari dalam pepakem seni tradisi

tersebut.

Setidaknya, jika generasi tari topeng Slangit pasca-Sujana tidak segera menata berbagai

instrumen dalam perjalanannya ke depan akan menghadapi tantangan budaya global yang

mereduksi pandangan publiknya sedemian rupa. Dikhawatirkan tari topeng Cirebon yang tumbuh

dengan latar serta beragam gaya yang bertolak dari eksplorasi maupun improvisasi tokohnya

akan kehilangan generasi (lost generation). Sehingga beberapa gaya tari topeng Cirebon yang

pernah tumbuh pada beberapa daerah dengan beragam gaya, sebut saja Kalianyar, Gegesik,

Palimanan, Babakan, Kreo, dan Gujeg, tampak "ditinggalkan" generasi penerusnya.

Tari topeng "gaya Slangit" --diambil dari muasal nama desa tempat proses kreatif keluarga besar

maestro tari topeng Arja (ayahanda dan pendahulu Sujana) sebagai Generasi Pertama-- menjadi

tonggak penting bagi sembilan anak-anaknya; Sutija, Suwarti, Suparta, Sujaya, Sujana, Rohmani,

Roisi, Durman, dan Keni, yang semuanya berhasil menjadi penari topeng. Meski dari ke sembilan

anaknya, Sujana yang kelak tampil dan dikenal publik luas sebagai seorang maestro.

Sujana memulai proses kreatifnya untuk menjadi maestro sejak berusia 10 tahun yang mengikuti

bebarang (ngamen) bersama ayahnya. Kemudian atas prakarsa Pangeran Patih Ardja dari

Kesultanan Kanoman, sekitar tahun 1940-an, keduanya tampil dalam berbagai perhelatan ritual

tradisi di lingkungan keraton. Pada usia 17, Sujana dilepaskan secara mandiri untuk menerima

tanggapan (order hajatan) dan melakukan bebarang hingga ke luar daerah (Indramayu,

Majalengka Sumedang, Bandung, Garut, Cianjur, Banten) sebagai bagian dari proses

manunggaling lelaku (menyatukan jiwa-raga dengan filosofi tari topeng dalam konteks kehidupan)

--yang tidak dapat ditempuh melalui intellectual exercises dari wilayah dan norma-norma

akademis.

Karena itu, kita yang pernah menyaksikan pementasan Sujana, Sawitri, Sudji, Dasih atau Mimi

Rasinah --maestro penari topeng dari Pakandangan Indramayu-- akan tampak kekuatan tarian

yang melampaui fase-fase "batas nalar" dari kelincahan gerak penari yang memasuki usia uzur.

Energitas dan kreativitas menyatu dengan spiritualitas ruh penciptaan. Begitu juga totalitas dan

sinergitas menemukan ruang batin: di mana ekstase menyusun maknanya yang transenden dan

Page 5: TARI TOPENG CIREBON

tidak lagi samar-samar tersembunyi.

Hampir para maestro yang membuka ruang batinnya untuk selalu berada pada kosmos

pergulatan kreatif akan memperlihatkan puncak dimensi penciptaan ruhani yang dahsyat dan

menakjubkan. Dan, Mang Jana --dalam sebuah percakapan kecil dengan penulis, menolak

persepsi yang semata mengacu pada asumsi akademis yang menilai pencapaian transenden

dapat dimanipulasi melalui pemahaman sains, tanpa memasuki proses logosentrisme yang

menjadikan seniman berada dalam fase pemahaman empirik-kognitif (ngangsu kaweruh).

Dalam perspektif inilah, Sujana hendak menegaskan bahwa proses kreatif yang hanya kukuh

sebatas asumsi-asumsi akademis, berakhir dalam pemahaman formalnya sendiri: tari topeng

akan lebih tampak sebagai pola-pola gerakan ritmis yang penuh citraan (images) gerak tubuh

dalam filosofi makna dan tata aturan bunyi gamelan. Namun kehilangan ruh pencitraannya

sendiri, yang menyebabkan gerakan-gerakan tarian tampak ringan dan mekanik. Melalui proses

panjang manunggaling lelaku dan ngangsu kaweruh, seorang penari topeng akan menemukan

titik pencitraan berbagai dimensi penciptaan yang bersenyawa dengan totalitas jiwa-raga.

Pribadi yang Tulus

Dalam kurun waktu cukup panjang dan berliku, Sujana Arja, empu tari topeng Slangit itu, telah

menyiratkan dirinya menjadi pribadi yang tulus. Ia bukan saja berdiri sebagai seorang maestro,

melainkan juga guru untuk banyak muridnya (dalam dan luar negeri) yang sungguh-sungguh telah

mengabdikan serta mengabadikan kehidupannya pada seni tradisi. Meski, ia tahu, dengan sikap

penuh-seluruh, terlebih lagi ia sadari tanpa jaminan hari tua dari mana pun --termasuk

pemerintah-- seorang seniman justru akan terus berada dalam suasana "mencipta".

Saya masih teringat, ketika tahun 2000 Sujana Arja terpilih sebagai seniman pertama yang

menerima Anugerah Seni DKC-Award. Terlihat sepasang matanya yang mulai tampak renta,

berkaca-kaca. Dan yang menakjubkan, seusai menerima trofi perunggu berwarna kuning

keemasan berlogo kepala paksinagaliman, tiba-tiba sang maestro menari topeng rumyang secara

trance dengan tangan kirinya memegang trofi perunggu seberat 2,5 kg, berputar-putar seolah

hendak menyatakan dirinya ke arah kerumunan penonton.

Malam itu, kami seperti menyaksikan sebuah momen pertunjukkan dengan kecanggihan gerakan

tubuh memainkan kilasan improvisasi yang menghadirkan perpaduan dua sisi ekspresi yang

menghantarkan unsur-unsur modernitas dalam teater dan seni tradisi yang patuh pada pepakem.

Sebagaimana tarian rumyang yang melambangkan filosofi kehidupan manusia dengan paradoks

dua karakter yang berseberangan: antara ganjen dan gagah, antara samba dan tumenggung

yang dimainkan secara sempurna.

Setelah pertunjukan tari topeng usai, Sujana, dengan sikap seorang maestro, berjalan

terbungkuk-bungkuk penuh kesantunan melewati kerumunan penonton yang masih menyisakan

riuh kekaguman. Gerak tubuhnya yang gagah di panggung, seketika berubah menjadi sangat

perlahan. Ia tetap seorang kakek yang rendah-hati. Dari raut wajahnya yang tulus itulah, kami

Page 6: TARI TOPENG CIREBON

belajar memahami keteladanan sikap seorang maestro yang teguh dan kukuh hingga akhir

hayatnya.

Beberapa hari kemudian, kami bersilaturahim ke rumahnya --mungkin lebih tepat ke sanggarnya:

Sanggar Panji Asmara di desa Slangit-- Sujana sedang duduk termenung di kursi kayu dengan

latar belakang gamelan yang mulai kusam, berbagai piagam penghargaan tanpa figura yang

sengaja ditempel begitu saja di dinding, di antara bangunan sanggar yang masih belum

sepenuhnya selesai tertata.

Dari situlah, kami tahu, Sujana terus gelisah dengan masa depan tari topeng Cirebon, juga seni

tradisi lain, kini memasuki lorong panjang seni-budaya global yang bergemuruh dan

mencengangkan. Maestro itu, dengan suara lirih bergumam, "Kulae nggereges ningali keadaan

seniki. Pripun mengkine nasib seni tradisi kados tari topeng Slangit kuh?" (Saya sangat sedih

melihat kondisi sekarang. Bagaimana nanti nasib seni tradisi seperti tari topeng itu?).

Selamat jalan Mang Jana, selamat jalan maestro. Percayalah, salah seorang anakmu yang juga

murid setiamu, Inu Kertapati --bagaimanapun merupakan salah seorang penari topeng muda

Cirebon yang sangat diperhitungkan-- ia, seperti juga ayahnya, akan kukuh meneruskan silsilah

keluarga besarmu sebagai penari topeng dan meneguhkan dirinya menjadi Generasi Ketiga

keluarga maestro Arja.*** 

Penulis, penyair, "murid spiritual" maestro Sujana Arja.