tanggung jawab pengawasan bpom dalam ......bpom selaku pengawas melakukan pengawasan dengan ketat...
TRANSCRIPT
TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BPOM DALAM KASUS
ALBOTHYL: KAJIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
PRAMA PRAJA MELALA
NIM : 11140480000114
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BPOM DALAM KASUS
ALBOTHYL: KAJIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
PRAMA PRAJA MELALA
NIM : 11140480000114
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Prama Praja Melala. NIM 11140480000114. TANGGUNG JAWAB
PENGAWASAN BPOM DALAM KASUS ALBOTHYL: KAJIAN HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M. ix + 65 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana bentuk tanggung jawab
BPOM terhadap konsumen dalam kasus obat Albothyl yang mengandung
kandungan yang tidak sesuai dengan khasiat obat Albothyl. Albothyl adalah obat
cairan antiseptik yang digunakan untuk pengobatan sariawan dan obat ini telah
memiliki izin edar dari pihak BPOM. Namun setelah mendapatkan 38 laporan
dari para profesional kesehatan yang menerima pasien, ternyata Albothyl memilki
efek samping serius yaitu sariawan yang membesar dan berlubang hingga
menyebabkan infeksi. Jelas bahwa kasus ini sangat merugikan pihak konsumen.
Penelitian ini pun bertujuan untuk mengetahui mekanisme pengawasan BPOM
selaku lembaga pengawas dan untuk mengetahui perlindungan konsumen yang
dilakukan BPOM selaku lembaga pengawas dalam kasus Albothyl.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
hukum normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan
(statute approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-
undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara menelaah produk obat Albothyl.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa dalam
pengawasannya BPOM memiliki 2 (dua) jenis pengawasan yaitu, pengawasan
sebelum beredar dan pengawasan setelah beredar, seharusnya kasus yang
merugikan konsumen seperti ini tidak akan terjadi dan dapat dicegah apabila
BPOM selaku pengawas melakukan pengawasan dengan ketat dan sesuai dengan
aturan yang berlaku, agar hak konsumen dapat terpenuhi seperti yang diatur dalam
beberapa peraturan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Tindakan pencegahan dari pihak BPOM selaku badan
pengawas dalam memberikan izin edar dengan proses registrasi yang lebih ketat
agar kasus-kasus seperti albothyl ini dapat dicegah terjadi dan selalu diawasi oleh
pihak yang terkait yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
melalui pengawasan Pre Market dan Post Market.
Kata Kunci: Tanggung Jawab, Perlindungan Konsumen, Produk Obat.
Pembimbing I : A.M. Hasan Ali, M.A.
Pembimbing II : Asrori S. Karni S.Ag., M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1982 sampai 2016
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, atas berkat rahmat,
hidayat dan juga anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Tangung Jawab Pengawasan BPOM Dalam Kasus Albothyl: Kajian Hukum
Perlindungan Konsumen”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh
peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat
manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat ini
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak selama penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencampaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. A.M. Hasan Ali, M.A. dan Asrori S. Karni, S.Ag., M.H. pembimbing Skripsi
peneliti, saya ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan waktu, arahan dan
kritik serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
4. Kedua Orang Tua yang sangat dicintai dan disayangi penulis, Bapak Sermay
Hasdi Melala dan Ibu Niz Laura yang selalu memberikan do’a, motivasi serta
dukungan baik moril maupun materil dalam kehidupan penulis. Dan tak lupa
terimakasih kepada Meisya Az Zahra atas semangat, dukungan, do’a, dan
vii
yang tak pernah lelah mendengar keluh kesah penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk
melengkapi hasil penelitian saya.
6. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan
atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini, dan juga menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Jakarta, 15 Januari 2019
Peneliti,
Prama Praja Melala
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ......................... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 4
D. Metode Penelitian ............................................................................ 5
E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Kerangka Konseptual ..................................................................... 10
1. Pengawasan ............................................................................... 10
2. BPOM ....................................................................................... 10
3. Albothyl .................................................................................... 10
B. Kerangka Teori .............................................................................. 10
1. Teori Perlindungan Hukum ....................................................... 10
2. Teori Perlindungan Konsumen ................................................. 12
3. Liability Principle ..................................................................... 13
4. Teori Kepastian Hukum ............................................................ 14
C. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen .................................... 15
1. Pengertian Perlindungan Konsumen ......................................... 15
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ............................... 16
3. Hak dan Kewajiban Konsumen ................................................. 18
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ............................................ 22
5. Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan
ix
Konsumen Oleh Pemerintah ..................................................... 25
6. Sanksi-Sanksi ............................................................................ 35
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu .............................................. 36
BAB III PERAN BPOM DALAM PENGAWASAN OBAT DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Mengenai Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) .......................................................... 39
1. Pengertian dan Latar Belakang BPOM ..................................... 39
2. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan BPOM .................................. 40
3. Prinsip Dasar dan Kerangka Konsep Sistem
Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) .............................. 42
4. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan .................................... 44
5. Susunan Organisasi BPOM ....................................................... 46
B. Tata Cara Registrasi Obat .............................................................. 47
BAB IV ANALISIS PENGAWASAN BPOM RI TERHADAP KASUS
ALBOTHYL DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Mekanisme Pengawasan BPOM Terhadap Obat Albothyl
Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen ................................... 54
B. Bentuk Tanggung Jawab Hukum BPOM Akibat Lemahnya
Pengawasan Dalam Kasus Albothyl Sebagai Implementasi
Prinsip Perlindungan Konsumen ................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 63
B. Rekomendasi .................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 66
LAMPIRAN ....................................................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman modern saat ini memberikan dampak pada setiap
lini kehidupan manusia, tak terkecuali di Indonesia, perkembangan zaman
memberikan sebuah kemajuan teknologi dalam aktifitas manusia dalam hal
sosial, politik, ekonomi, dan juga kesehatan, yang dalam hal ini mendorong
para produsen obat berlomba-lomba menciptakan obat untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan konsumen. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah
mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh undang-undang perlindungan
konsumen sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan
perilaku pengusaha dan pemerintah.
Tingginya konsumsi masyarakat terhadap produk-produk cenderung
terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk
pola konsumsinya. Sementara itu, pengetahuan masyarakat masih belum
memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar
dan aman. Transaksi jual-beli produk obat-obatan kian meningkat seiring
berkembangnya kebutuhan hidup masyarakat, sehingga pemerintah sebagai
lembaga negara harus menjamin perlindungan konsumen, pemerintah dalam
hal menjamin perlindungan konsumen membentuk sebuah badan yang
bertugas untuk melindungi konsumen pada bidang obat-obatan dan juga
makanan yaitu BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sesuai dengan Pasal 2
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan
tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. BPOM dibentuk oleh pemerintah
untuk meningkatkan perlindungan konsumen karena semakin banyaknya
produk-produk yang diproduksi oleh pelaku usaha menciptakan posisi yang
tidak menguntungkan pihak konsumen jika tidak ada badan atau suatu
2
lembaga yang menjamin dan melakukan pengawasan terhadap produk-produk
tersebut.
Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang
mengandung policresulen konsentrat dan digunakan hemostatik dan
antiseptik saat pembedahan, serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung,
tenggorokan (THT), sariawan, gigi, dan vaginal (ginekologi). Kajian yang
dilakukan BPOM dan klinisi terkait memutuskan policresulen dalam bentuk
sediaan cairan obat luar konsentrat tidak boleh digunakan sebagai hemostatik
dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit, THT,
sariawan, dan gigi.1
Obat ini telah dikonsumsi oleh masyarakat selama
beberapa tahun untuk mengobati sakit sariawan dan sebagai obat antiseptik,
namun pihak BPOM baru mengeluarkan surat edaran penarikan produk
Albothyl karena dinilai berbahaya untuk digunakan untuk mengobati sakit
sariawan. Konsumen perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan
kerugian yang dialaminya. Konsumen memiliki sejumlah hak hukum yang
perlu mendapat perlindungan dalam pemenuhannya. Hak-hak itu perlu
mendapat pemahaman dan penghargaan dari semua pihak, dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.2
Terkait pemantauan Albothyl, dalam 2 tahun terakhir BPOM RI
menerima 38 laporan dari profesional kesehatan yang menerima pasien
dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan,
diantaranya efek samping serius yaitu sariawan yang membesar dan
berlubang hingga menyebabkan infeksi (noma like lession).3 Hal ini sangat
merugikan konsumen, peneliti merasa seharusnya kejadian seperti ini bisa di
1
http://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 24 Maret 2018,
http://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/80/PENJELASAN-BPOM-RI--TERKAIT-ISU-
KEAMANAN-OBAT-MENGANDUNG-POLICRESULEN-CAIRAN-OBAT-LUAR-
KONSENTRAT.html
2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cet. 3, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2014), h. vii
3
http://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 24 Maret 2018,
http://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/80/PENJELASAN-BPOM-RI--TERKAIT-ISU-
KEAMANAN-OBAT-MENGANDUNG-POLICRESULEN-CAIRAN-OBAT-LUAR-
KONSENTRAT.html
3
cegah di awal sebelum beredarnya produk-produk ini jika BPOM selaku
badan yang mengawasi obat dan makanan memliki sistem pengawasan yang
ketat, sehingga perlindungan konsumen dapat dilaksanakan dengan baik oleh
pihak pemerintah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Adanya obat yang mengandung bahan berbahaya
bagi pemakainya bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa
“perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki sejumlah hak, diantaranya hak
konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa. Sebaliknya pelaku usaha bertanggung
jawab memenuhi kewajibannya dengan memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa tersebut serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah peneliti tuliskan di atas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang kemudian dituangkan dalam bentuk
skripsi dengan judul “TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BPOM
DALAM KASUS ALBOTHYL: KAJIAN HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN“.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasikan
beberapa masalah dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Terdapat kandungan berbahaya di dalam obat albothyl yang berbahaya
jika digunakan untuk penyakit sariawan.
b. Kelalaian pengawasan oleh BPOM dalam beredarnya obat Albothyl.
c. Tidak adanya kepastian perlindungan konsumen.
4
d. Ambiguitas tanggung jawab BPOM selaku lembaga yang berwenang
sebagai pengawas dalam kasus obat albothyl yang memiliki kandungan
berbahaya.
e. Belum ada pihak-pihak BPOM yang diberi sanksi akibat kelalaiannya.
f. Tidak adanya ancaman sanksi kepada pihak pengawas di dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna, dan
mendalam maka peneliti memandang permasalahan penelitian yang
diangkat perlu dibatasi variabelnya. Oleh sebab itu, peneliti membatasi
hanya berkaitan dengan tanggung jawab BPOM selaku badan pengawas
terkait adanya kelalaian pengawasan dalam kasus obat Albothyl.
3. Perumusan Masalah
Adanya kasus Albothyl belakangan ini yang menimbulkan beberapa
polemik di khalayak publik Indonesia. Hal ini membuat pertanyaan
bagaimana peran pengawasan BPOM yang diduga melakukan kelalaian
terhadap pengawasan obat Albothyl yang memiliki kandungan berbahaya.
Untuk mempertegas arah pembahasan maka peneliti mempertegas dalam
bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pengawasan BPOM dalam Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 Tentang
Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, terkait obat Albothyl dalam
perspektif perlindungan konsumen ?
b. Bagaimana bentuk tanggung jawab hukum BPOM akibat lemahnya
pengawasan dalam Kasus Albothyl sebagai implementasi prinsip
perlindungan konsumen ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan yang ditulis
diatas, dapat dilihat bahwa tujuan umum dari penulisan penelitian ini
untuk mengangkat suatu permasalahan, yaitu :
5
a. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan BPOM dalam kasus
Albothyl.
b. Untuk mengetahui perlindungan konsumen yang dilakukan BPOM
selaku lembaga pengawas dalam kasus Albothyl.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti
lain serta perkembangan ilmu hukum kedepannya, khususnya dalam
hukum Bisnis.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi
peneliti lain serta pemerintah khususnya Badan Pengawas Obat dan
Makanan dalam menangani masalah perizinan obat-obatan. Penelitian
ini juga di harapkan dapat menjadi penyelesaian terhadap maraknya
peredaran obat-obatan ilegal dan berbahaya atau kasus yang serupa
dimasa yang akan datang.
D. Metode Penelitian
Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini
antara lain :
1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.4 Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji pun berpendapat penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan
(data sekunder).5 Dalam penelitian ini peneliti mencari fakta-fakta yang
akurat mengenai sebuah peristiwa yang menjadi objek penelitian.
4 Widya Nukilan, Metode Penelitian Hukum, cet.1, (Jakarta: Tim Pengajar, 2005), h. 9
5
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, cet.1,
(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31
6
Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan
tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan-peraturan yang
terkait dengan penelitian ini. Sedangkan sifat dari penelitian yang
digunakan peneliti adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu
penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek atau obyek pada
saat sekarang berdasarkan fakta yang nampak.
2. Pendekatan Masalah
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapat informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicari jawabannya. Pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dimana guna
memahami kedudukan hukum dalam kaitannya pada obat-obatan yang
mengandung zat berbahaya (Albothyl), serta pendekatan konseptual dan
pendekatan kasus (case approach), yaitu pendekatan dengan cara beberapa
kasus ditelaah untuk referensi bagi isu hukum.6 Pendekatan ini diperlukan
guna mempelajari penerapan-penerapan norma-norma atau kaidah hukum
yang dilakukan dalam praktik hukum. Pendekatan kasus dalam penelitian
normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum
dalam praktek hukum. Pendekatan kasus diterapkan dalam mengamati
kasus yang telah terjadi yang berhubungan dengan permasalahan yang
diangkat.
3. Bahan Hukum
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitan ini, menggunakan
3 jenis bahan hukum, diantaranya:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum cet.3, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 142
7
digunakan dalam penelitian ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria
dan Tata Laksana Registrasi Obat.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa literatur,
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan
hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian
dimaksudkan untuk memperoleh sekunder guna menunjang bahan
yang bersifat primer.
c. Bahan non-hukum
Bahan Hukum non-hukum berupa bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
berupa ensiklopedia, jurnal, kamus hukum dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penulisan penelitian hukum normatif
menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi
kepustakaan (library research) terhadap bahan-bahan hukum maupun non
hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik kepustakaan
(library research) yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari
dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang- undangan,
artikel, dan serta jurnal hukum yang tentunya relevan dengan penelitian
agar dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau dalam memecah
suatu masalah.7
5. Analisis data
Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta
bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul dalam skripsi ini.
kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata
7 Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56
8
(word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lain
yang dimaksudkan dalam isi peraturan perundang-undang tersebut.
Analisis data dapat disimpulkan sebagai suatu proses penguraian
secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.8
Dari
pengertian yang demikian, terlihat analisis memiliki kaitan erat dengan
pendekatan masalah. Adapun analisis bahan hukum yang diperoleh
bersifat perspektif memberi petunjuk atau bergantung pada ketentuan yang
berlaku, dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dianalisis untuk melihat
kecurangan dalam pelanggaran para pelaku usaha yang dilakukan tersebut
guna menangani masalah perlindungan terhadap konsumen obat – obatan
yang dirugikan oleh pelaku usaha.
6. Teknis Penulisan
Teknik penulisan serta pedoman yang digunakan oleh penulis
dalam menyusun skripsi ini mengacu dengan kaidah-kaidah penulisan
karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017”.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian merupakan pola dasar pembahasan skripsi
dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan
merupakan suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini
sebagai berikut :
BAB I : Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
sistematika penulisan.
8 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali,
1982), h. 37
9
BAB II : Bab ini berisi tentang kerangka konseptual, kerangka teoritis,
tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III : Pada bab ini berisi tentang profil dan kewenangan BPOM
dalam Pendaftaran dan pengawasan peredarannya.
BAB IV : Pada bab ini akan membahas analisis peran pengawasan
BPOM dalam kasus Albothyl dengan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 Tentang
Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
BAB V : Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan
rekomendasi.
10
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Kerangka Konseptual
1. Pengawasan
Pengawasan adalah sebuah proses untuk memastikan bahwa
semua aktifitas yang terlaksana telah sesuai dengan apa yang telah
direncanakan sebelumnya.1
2. BPOM
BPOM menurut Pasal 1 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat
dan Makanan.
3. Albothyl
Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat
luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan untuk
hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan, serta penggunaan
pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi dan
vaginal (ginekologi).2
B. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan
terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai
1
http://www.pengertianku.net, diakses pada tanggal 24 Maret 2018,
http://www.pengertianku.net/2014/07/pengertian-pengawasan-dan-fungsinya.html
2
http://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 24 Maret 2018,
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/klarifikasi/80/PENJELASAN-BPOM-RI--
TERKAIT-ISU-KEAMANAN-OBAT-MENGANDUNG-POLICRESULEN-CAIRAN-OBAT-
LUAR-KONSENTRAT.html
11
oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang
diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa perlindungan
hukum di dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal
dengan sebutan “rechtbescherming”. Pendapat tersebut menunjukkan
bahwa kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda yakni “rechtbescherming”, maka pengertian perlindungan
hukum diartikan suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang
dilindungi sesuai dengan kewajiban hukum yang dilakukan.3
Perlindungan hukum berperan sebagai hal yang melindungi
subjek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Ada dua macam
perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum Preventif dan
perlindungan hukum Represif.
a. Perlindungan Hukum Preventif
Menurut Philipus M. Hadjon preventif merupakan
keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang
dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan
pencegahan jika kita bandingkan dengan teori hukum represif,
teori perlindungan hukum preventif dalam perlindungan agak
tertinggal, namun akhir-akhir ini disadari pentingnya
perlindungan preventif terutama dikaitkan dengan asas freies
ermessen (discretonaire bevoegdheid) dengan adanya teori ini
sebelum pemerintah menetapkan rencana tujuan (besteming
plannen), rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai
pendapat mengenai rencana keputusannya.4
Dengan kata lain bahwa perlindungan hukum preventif
bertujuan sebagai pelindungan bagi subjek hukum sebelum
3 Philipus M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1994), h. 10
4 Philipus M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ... h. 40
12
terjadinya suatu pelanggaran. Mengenai perlindungan hukum
preventif terdapat dalam peraturan-peraturan dengan maksud
untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan tanda-
tanda atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban
(hal yang menimbulkan kewajiban hukum).5
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan
hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.6
Perlindungan hukum haruslah menggambarkan dari bekerjanya
suatu fungsi hukum itu sendiri yaitu untuk mewujudkan tujuan-
tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum,
baik itu yang preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk
yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis
maupun yang tidak tertulis dalam rangka untuk mencapai
penegakan suatu peraturan hukum.
2. Teori Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan
nasional, yakni:7
a. Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
5 Philipus M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ... h. 41
6 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h.
38
7 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT.
Grasido, 2007), h. 159
13
b. Asas keadilan adalah memberikan kesempatan kepada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil maupun spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum adalah pelaku usaha mauapun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin
kepastian hukum.
3. Liability Principle
Teori tanggung jawab yang akan dibahas peneliti meliputi :
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Liability Based
on Fault)
Prinsip ini yang cukup berlaku dalam hukum pidana
maupun perdata. Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata,
khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang
secara teguh. Prinsip ini menekankan bahwasanya seseorang
dapat dimintai pertanggung jawaban jika melakukan kesalahan.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of
Liability Principle)
Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap selalu
bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan ada pada si
tergugat. Prinsip ini seperti pembuktian terbalik (omkering van
bewijslast). Dasar teori pembuktian pembalikan adalah seseorang
yang dianggap bersalah, sampai orang dapat membuktikan
sebaliknya.
14
c. Tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of Liability
Principle)
Prinsip ini menjelaskan tentang pelaku usaha dan
konsumen yang terikat karena perjanjian. Perjanjian yang
dimaksud berupa klausula eksonerasi yang diciptakan oleh pelaku
usaha.
d. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
(presumption of nonliability principle)
Prinsip ini hanya dikenal dalam ruang konsumen terbatas,
dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat
dibenarkan.8
e. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut (Absolute Liability).
Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminologi di atas.9 Perbedaan antara tanggung jawab mutlak
dengan tanggung jawab absolut terletak di Pengecualian terhadap
tanggung jawab. Tanggung Jawab Mutlak mempunyai
pengecualian seperti Force Majure.
4. Teori Kepastian Hukum
Menurut Fance M. Wantu, kepastian hukum dirumuskan sebagai
berikut:
a. Melakukan solusi autotorif yaitu memberikan jalan keluar untuk
menciptakan stabilitas yakni memberikan ketertiban dan
ketentraman bagi para pihak dan masyarakat.
b. Efisiensi prosesnya cepat, sederhana, dan biaya ringan.
8 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Grafindo, 2000), h. 61
9 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, ... h. 63
15
c. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu Undang-Undang yang dijadikan
dasar dari putusan untuk memberikan kepastian dalam hukum itu
sendiri dan kepastian karena hukum.10
Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan
jaminan bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik. Sudah
tentu kepastian hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Karena
kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum,
kepastian hukum ini menjadi keteraturan masyarakat berkaitan erat
dengan kepastian itu sendiri.11
C. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Tentang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 memberikan definisi
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen”.
Menurut Az. Nasution hukum konsumen adalah sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
dan masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/atau jasa)
antara penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-
asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen
dalam hubungannya dengan masalah penyediaan dan penggunaan
produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunaannya
dalam kehidupan masyarakat.12
Tegasnya, hukum perlindungan
10
Lihat Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan
Rasa keadilan Masyarakat”, h. 4
11
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty 2009), h. 21
12
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), h. 22
16
konsumen merupakan keseluruhan peraturan perundang-undangan,
baik undang-undang maupun peraturan perundang- undangan lainnya
serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai
kepentingan konsumen. 13
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Menurut Az.
Nasution kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya
atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha
penyedia kebutuhan konsumen tersebut.14
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas,
meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa, yang
berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa
hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa
tersebut.15
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan
nasional, yakni:16
a. Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
13
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), h. 21-24
14
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet. 3, (Jakarta: Predana Media Group, 2015), h. 4
15
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, ... h. 21-22
16
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT.
Grasido, 2007), h. 159
17
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
b. Asas keadilan adalah memberikan kesempatan kepada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil maupun spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum adalah pelaku usaha mauapun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin
kepastian hukum.
Memperhatikan substansi pada Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tampak
bahwa perumusannya mengacu pada filosofis pembangunan nasional
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan
kepada falsafah Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan pada Pasal tersebut, jika
diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:
a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen,
b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
c. Asas kepastian hukum.
Asas kepastian dan keseimbangan yang dikelompokkan ke
dalam asas keadilan, mengingat bahwa hakikat keseimbangan yang
dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing para
pihak, yakni konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Sedangkan
18
menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang
dikelompokkan ke dalam asas manfaat, karena keamanan dan
keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat
penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen
disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. 17
Selain kelima asas tersebut, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga merumuskan tujuan perlindungan konsumen, yang
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Istilah konsumen berasal dan ahli bahasa dari kata consumer,
secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap
17
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 26
19
orang yang menggunakan barang.18
Pengertian konsumen dalam arti
umum adalah pemakai, pengguna, dan atau pemanfaat barang dan atau
jasa untuk tujuan tertentu.19
Sedangkan pengertian konsumen menurut
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak
untuk diperdagangkan. Dengan demikian, konsumen bisa orang-
perorangan atau sekelompok masyarakat maupun makhluk hidup lain
yang membutuhkan barang dan/atau jasa untuk dikonsumsi oleh yang
bersangkutan, atau dengan kata lain barang/jasa tersebut tidak untuk
diperdagangkan.20
Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah “konsumen”
yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya, pengertian
konsumen dapat terdiri dari 3 (tiga) pengertian, yaitu:21
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial.
Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut,
konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha yang
berbentuk badan usaha perorangan maupun pengusaha yang
berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta
maupun pengusaha publik (perusahaan milih negara), dan dapat
terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang
18
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, ... h.15 19
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 30
20
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Edisi Revisi
Cet. 9, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), h. 194
21
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet. 3, ... h. 62
20
digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia
atau penjual produk akhir seperti supplier, atau pedagang
(distributor).
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon)
yang mendapatkan barang dan/atau jasa, yang digunakan untuk
tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau
rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Setiap individu diberikan hak dan kewajibannya masing-
masing tidak terkecuali hak dan kewajiban sebagai pemakai barang
dan/atau jasa. Pemahaman tentang hak-hak konsumen sangat penting
agar penyedia barang dan/atau jasa tidak berbuat semena-mena, serta
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri.
Presiden Jhon F. Kennedy mengemukakan 4 (empat) hak
konsumen yang harus dilindungi, yaitu:22
a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)
b. Hak memilih (the right to choose)
c. Hak mendapat informasi (the right to be informed)
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun
1985 Tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer
Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang
perlu dilindungi, meliputi:23
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan
dan keamanan;
b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial
konsumen;
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat
sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
22 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, ... h. 47
23
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, ... h. 32
21
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efekktif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau
organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan
kepada organisasi tersebut untuk menyeruakan pendapatnya
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka.
Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of
Consumers Union-IOCO) menambahkan 4 (empat) hak dasar
konsumen yang harus dilindungi, yaitu:24
a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
b. Hak untuk memperoleh ganti rugi.
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Indonesia melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menetapkan hak-hak
konsumen sebagai berikut:
a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
24
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, ... h. 49
22
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
secara tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya.
Selain memperoleh hak-hak tersebut, sebagai balance
konsumen juga mempunyai beberapa kewajiban. Kewajiban-
kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai engan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Hal tersebut dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat
memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian
hukum bagi dirinya. Serta memberikan konsekuensi terhadap pelaku
usaha tidak akan bertanggungjawab jika konsumen yang bersangkutan
menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pihak yang terkait dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen selain konsumen adalah pelaku usaha. Pada Pasal 1 Angka
3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, memberikan pengertian Pelaku Usaha adalah “setiap
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
23
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Definisi pelaku usaha yang diberikan oleh Pasal 1 Angka 3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen tersebut, pelaku usaha tidak harus suatu badan hukum,
tetapi dapat pula orang perseorangan. Menurut definisi tersebut,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku baik bagi pelaku
usaha ekonomi kuat, maupun bagi pelaku usaha ekonomi lemah
(UKM). Pelaku usaha menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga tidak terbatas pada pelaku usaha perorangan yang
berkewarganegaraan Indonesia atau badan hukum Indonesia, tetapi
juga pelaku usaha perorangan yang bukan berkewarganegaraan
Indonesia atau pelaku usaha badan hukum asing, sepanjang mereka itu
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia.25
Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1 Angka 3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen ini, mempunyai cakupan yang luas karena meliputi penjual
grosir, leveransi sampai pada pengecer. Namun dalam pengertian
pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha
di luar negeri, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen
membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia.26
Hak-hak yang diberikan kepada konsumen untuk menciptakan
kenyamanan dalam menggunakan suatu barang dan/atau jasa. Sebagai
25
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet. 3, ... h. 67 26
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ... h. 9
24
keseimbangan, makan kepada para pelaku usaha diberikan hak.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah
disebutkan, maka kepada pelaku usaha dibebankan kewajiban-
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku
usaha antara lain:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; Dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Kewajiban
pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
25
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif; Pelaku usaha dilarang membeda-
bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha
dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
diperdagangkan; Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa
tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa
mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberikan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
5. Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen Oleh
Pemerintah
a. Peran Pemerintah sebagai Pembina Dalam Undang-Undang
Dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa
“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha”.
Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa
26
pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh
pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya
hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban
masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan asas
keseimbangan kepentingan. Tugas pembinaan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri
atau menteri teknis terkait. Menteri ini melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen. Beberapa tugas
pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen telah dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen sebagai
berikut:
1) Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,
untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan
yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, menteri
melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan
konsumen dengan menteri teknis terkait. Tugas-tugas
koordinasi yang dimaksud adalah:
a) Menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
b) Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan
informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
c) Meningkatkan peran BPKN dan BPSK melalui
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga.
d) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha
dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-
masing.
27
e) Meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui
pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.
f) Meneliti terhadap barang dan/atau jasa yang beredar yang
menyangkut perlindungan konsumen.
g) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa.
h) Meningkatkan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab
pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang/jasa.
i) Meningkatkan pemberdayaan usaha kecil dan menengah
dalam memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa serta
pencantuman label dan klausula baku.
2) Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,
untuk mengembangkan LPKSM, menteri juga perlu
melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan
konsumen dengan menteri teknis. Tugas-tugas koordinasi
yang dimaksud adalah:
a) Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan
informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
b) Melakukan pembinaan dan peningkatan sumber daya
manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan,
dan keterampilan.
c) Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di
bidang perlindungan konsumen yang dimaksud untuk
meningkatkan sumber daya manusia.
Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa dalam upaya
28
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta
meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di
bidang perlindungan konsumen, menteri melakukan
koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan
menteri teknis sebagai berikut:
a) Meningkatkan kualitas aparat penyidik pegawai negeri
sipil di bidang perlindungan konsumen.
b) Meningkatkan kualitas tenaga peneliti dan penguji
barang/jasa.
c) Melakukan pengembangan dan pemberdayaan lembaga
pengujian mutu barang.
d) Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi
pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta
penerapannya.
b. Peran Pemerintah Sebagai Pengawas
Banyak orang beranggapan bahwa satu-satunya yang
berkewajiban memberikan perlindungan konsumen adalah
organisasi konsumen. Anggapan ini tentunya tidak benar.
Perlindungan konsumen sebenarnya menjadi tanggung jawab
semua pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha, organisasi
konsumen, dan konsumen itu sendiri. Tanpa adanya andil dari
keempat unsur tersebut, sesuai dengan fungsinya masing-masing
maka tidaklah mudah mewujudkan kesejahteraan konsumen.27
Pemerintah bertindak sebagai pengayom masyarakat, dan
juga sebagai Pembina pelaku usaha dalam meningkatkan
kemajuan industri dan perekonomian negara. Bentuk
perlindungan konsumen yang diberikan adalah dengan
mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah,
atau Penerbitan Standar Mutu Barang. Di samping itu, tidak kalah
27
Ahmadi Miru, dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.2, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), h.110
29
pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan
peraturan, ataupun standar-standar yang telah ada.28
Sikap yang adil dan tidak berat sebelah dalam melihat
kepentingan konsumen dan produsen diharapkan mampu
memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan
kepada konsumen tidak harus berpihak pada kepentingan
konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha, jadi harus
ada keseimbangan.29
Bagi pelaku usaha atau produsen, mereka perlu menyadari
bahwa kelangsungan hidup usahanya sangat tergantung pada
konsumen. Untuk itu mereka mempunyai kewajiban untuk
memproduksi barang dan jasa sebaik dan seaman mungkin dan
berusaha untuk memberikan kepuasan dan keamanan kepada
konsumen dalam memakai barang dan jasa mereka.
Hal-hal tersebut perlu disadari produsen. Pemahaman
bahwa yang dimaksud dengan “konsumen” adalah “kita semua”
sangatlah penting. Suatu musibah benar-benar dapat menimpa
kita semua, termasuk juga produsen. Tidak ada satu pihak pun
yang menjamin bahwa produsen tidak dapat ditipu, dan siapa
yang menjamin bahwa pemerintah tidak dapat terjebak suatu
transaksi atas suatu produk obat yang memiliki kandungan
berbahaya. Sebenarnya yang tidak kalah penting perannya dalam
mewujudkan perlindungan konsumen adalah konsumen itu
sendiri. Mereka mempunyai potensi dan kekuatan yang cukup,
untuk melindungi diri mereka sendiri ataupun kelompoknya
apabila terorganisir dengan baik, dan sangat mengharapkan
28
Ahmadi Miru, dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.2, ... h. 9
29
Ahmadi Miru, dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.2, ... h. 17
30
adanya penegakan hukum dalam ruang lingkup perlindungan
konsumen.30
Dalam melaksanakan penegakan hukum (law
enforcemen) perlindungan konsumen, khususnya dalam hal
peredaran produk obat, perlu adanya alat negara yang
melaksanakannya. Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah diatur
tentang penyidikan. Dalam pasal tersebut diatur bahwa selain
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan
konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
Artinya, untuk melakukan penyidikan tentang produk obat
yang memiliki kandungan berbahaya, bukan hanya wewenang
polisi, tetapi dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai
Negeri Sipil (PPNS). Penyidik PPNS tersebut berwenang:
1) Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen.
2) Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen.
3) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen.
30
Husni Syawali, dan Neni Sri Imamyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.Pertama,
(CV. Mandar Majis, 2000), h. 58
31
4) Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen.
5) Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap
barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
6) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
Dalam melakukan kewenangannya, Penyidik PPNS
tersebut memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia dan menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia. Di samping itu dalam Pasal 30 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa “Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat”.
Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa
perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh
pemerintah, masyarakat, dan LPKSM, mengingat banyak ragam
dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya
wilayah Indonesia. Berdasarkan penjelasan tersebut, tugas
pengawasan tidak hanya dibebankan kepada pemerintah,
masyarakat umum dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM).
32
Sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
bahwa “Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar”. Lebih lanjut, Pasal 30 Ayat
(4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen mengatur bahwa, “Apabila hasil pengawasan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan
konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlidungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
kepada masyarakat dan bisa disampaikan kepada menteri dan
menteri teknis.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan LPKSM.
1) Pengawasan oleh Pemerintah
Tugas pengawasan pemerintah terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh
menteri atau menteri teknis terkait, bentuk pengawasan oleh
pemerintah diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen sebagai berikut:
a) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku
usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang
dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku,
promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajual barang
dan/atau jasa.
33
b) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi,
pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
c) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2)
dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
d) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau
menteri teknis terkait bersamasama atau sendiri-sendiri
sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
2) Pengawasan oleh Masyarakat
Bentuk pengawasan oleh masyarakat diatur dalam
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen, sebagai berikut:
a) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
b) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau
survei.
c) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang
risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan
label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
d) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2)
dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat
disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.
3) Pengawasan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat Bentuk pengawasan oleh LPKSM
diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
34
2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, sebagai berikut:
a) Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
b) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau
survei (dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, cara
melakukan pengawasan di samping melalui penelitian,
pengujian, dan/atau survei bisa juga berdasarkan laporan
dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat
perorangan maupun kelompok).
c) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang
risiko penggunaan barang jika dihapuskan, pemasangan
label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan
kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
d) Penelitian pengujian dan/atau survei sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (2) dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur
keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan
konsumen (dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,
cara melakukan pengawasan di samping melalui
penelitian, pengujian, dan/atau survei bisa juga
berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik
yang bersifat perorangan maupun kelompok).
35
e) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2)
dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat
disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.
Pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 di atas,
dilakukan melalui laboratorium penguji yang telah
diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen). Maksud dari
ketentuan ini adalah untuk mendapatkan hasil yang
objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Lembaga laboratorium yang terakreditasi bisa berupa
lembaga nasional atau internasional.
6. Sanksi – Sanksi
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan beritikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa.31
Jika ada konsumen yang merasa dirugikan oleh
perbuatan pelaku usaha maka dia memiliki hak untuk meminta
pertanggung jawaban dari pelaku usaha tersebut.
Sanksi –sanksi yang bisa dikenakan atas pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha dalam suatu produk di atur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen di dalam bab XIII, dari
Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen membedakan menjadi sanksi
administratif dan sanksi pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Sanksi Administratif
31
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 44
36
Sanksi administratif di atur dalam Pasal 60 yang
menyatakan terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 Ayat
(2) dan Ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26 berupa
penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00.
b. Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dikenakan dan
dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Ketentuan mengenai sanksi pidana pokok dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen diatur pada Pasal 62.
c. Sanksi Pidana Tambahan
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dimungkinkannya diberikan sanksi pidana tambahan diluar sanksi
pidana pokok. Sanksi ini tercantum dalam Pasal 63 yaitu berupa,
perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim,
pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu
yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban
penarikan barang dari peredaran atau pencabutan izin usaha.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada buku maupun
jurnal terdahulu, tentunya terdapat pembeda yang membedakan apa yang
menjadi fokus masalah yang peneliti teliti, diantaranya :
1. Skripsi disusun oleh Syahirah Banun, Prodi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
pada tahun 2015. Berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Produk Saus Sambal Indosari”. Penelitian ini lebih
menjelaskan perlindungan terhadap pangan olahan produk dalam
negeri yakni saus sambal Indosari. Perbedaan skripsi tersebut dengan
skripsi yang diangkat oleh peneliti adalah lebih memfokuskan
terhadap tanggung jawab BPOM selaku badan pengawas negara
37
dalam hal obat dan makanan pada kasus Albothyl yang merugikan
pihak konsumen.
2. Skripsi disusun Ayu Eza Tiara, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2016.
Berjudul “Perlindungan Konsumen dalam Peredaran Kosmetik
Berbahaya Cream Syahrini”. Skripsi ini membahas mengenai
perlindungan hukum terhadap peredaran kosmetik berbahaya yang
dilakukkan BPOM, sedangkan skripsi yang peneliti kaji lebih fokus
mengenai perlindungan konsumen terhadap peredaran obat yang
mengandung bahan berbahaya yaitu dalam kasus albothyl oleh pihak
BPOM selaku badan pengawas obat dan makanan.
3. Skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk
Pangan Dalam Kemasan Tanpa Label Halal Pada Usaha Kecil” karya
Inayatul Aini, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2014. Dalam skripsi ini poin
bahasan yang dibahas terkait perlindungan terhadap konsumen
mengenai produk pangan tanpa label halal yang diproduksi oleh usaha
kecil, sedangkan pada skripsi yang peneliti kaji lebih fokus pada
pertanggung jawaban BPOM selaku lembaga pengawas negara dalam
hal obat dan makan terhadap konsumen pada kasus Albothyl ditinjau
dari hak-hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
4. Buku yang berjudul “HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
SUATU PENGANTAR” karya Nasution, A.Z, tahun 2002. Dalam
buku ini dijelaskan tentang bagaimana perlindungan konsumen serta
akibat hukum dari pelanggaran terhadap konsumen peneliti
menggunakan beberapa peraturan dasar dari buku ini untuk menjadi
landasan dasar dari setiap penelitian yang akan dilakukan peneliti.
Perbedaan antara buku di atas banyak membahas tentang peraturan-
peraturan tentang perlindungan konsumen, sedangkan peneliti lebih
38
memfokuskan mengenai perlindungan konsumen terhadap kasus
Albothyl dan bagaimana pengawasan BPOM dalam kasus Albothyl.
5. Jurnal ilmiah yang berjudul “PENGAWASAN TERHADAP
PEREDARAN KOSMETIK BERBAHAYA TEREGISTER BPOM
YANG DILAKUKAN OLEH DINAS KESEHATAN KOTA
MALANG BERDASARKAN PERATURAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1175/MENKES/PER/VIII/2010 (Studi di Dinas Kesehatan Kota
Malang)”, yang ditulis oleh Rizky Adi Yuristyarini, dalam jurnal
ilmiah ini permasalahan yang dikaji atau dibahas terkait bagaimana
pengawasan peredaran kosmetik berbahaya teregister BPOM yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Malang berdasarkan
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1175/MENKES/PER/VIII/2010, dan didalam skripsi ini,
peneliti fokus terhadap pengawasan dan tanggung jawab BPOM
terhadap hak-hak konsumen pada kasus Albothyl ditinjau dari Pasal 4
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen khususnya didalam .
39
BAB III
PERAN BPOM DALAM PENGAWASAN OBAT DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Mengenai Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM)
1. Pengertian dan Latar Belakang BPOM
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan
yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia,
makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan menggunakan
teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi
dalam skala yang besar. Dengan dukungan kemajuan teknologi
tersebut, maka produk- produk lokal ataupun impor dalam jangka
waktu yang singkat dapat menyebar secara luas dan mampu
menjangkau seluruh strata masyarakat.
Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan, dan gaya
hidup konsumen yang cenderung terus meningkat, pada realitasnya
dapat keningkatkan resiko dengan implikasi yang luas kepada
konsumen terhadap kesehatan dan keselamatannya. Terlebih jika
terdapat produk yang rusak atau terkontaminasi bahan berbahaya
maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta
berlangsung secara cepat.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat
dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu
mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud
untuk melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan
konsumennya baik didalam maupun di luar negeri. Untuk itu telah
dibentuk BPOM yang memiliki jaringan nasional dan internasional
serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibiltas
profesional yang tinggi.1
1
https://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 18 November 2018,
https://www.pom.go.id/new/view/direct/background
40
Pada Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80
Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
menyebutkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan yang
selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang
pengawasan obat dan makanan. Serta BPOM berada di bawah dan
tanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Dalam Pasal 1 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan menyebutkan bahwa
Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya di sebut
BPOM, adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang dibentuk
untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari Presiden.
2. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan BPOM
a. Tugas BPOM
Pada Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan, menyebutkan Tugas dari BPOM yaitu:
1) BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang engawasan obat dan makanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika,
prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan,
kosmetik, dan pangan olahan.
b. Fungsi BPOM
Pada Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan, menyebutkan fungsi dari BPOM yaitu:
41
1) Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan,
BPOM menyelenggarakan fungsi:
a) Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
b) Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
c) Penyusunan dan penetapan norrna, standar, prosedur,
dan kriteria di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar;
d) Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar;
e) Koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Malanan
dengan instansi pemerintah pusat dan daerah;
f) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
pengawasan Obat dan Makanan;
g) Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
h) Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan BPOM;
i) Pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab BPOM;
j) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
BPOM; dan
k) Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada
seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM.
2) Pengawasan Sebelum Beredar sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) adalah pengawasan Obat dan Makanan sebelum
beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin Obat
dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan
42
persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu produk
yang ditetapkan.
3) Pengawasan Selama Beredar sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) adalah pengawasan Obat dan Makanan selama
beredar untuk memastikan Obat dan Makanan yang beredar
memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta
tindakan penegakan hukum.
c. Kewenangan BPOM
Pada Pasal 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan, Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan
Makanan, BPOM mempunyai kewenangan:
1) Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat dan
mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan
Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
3) Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Prinsip Dasar dan Kerangka Konsep Sistem Pengawasan Obat
dan Makanan (SisPOM)
Dalam upaya meningkatkan perlindungan masyarakat dari
resiko produk obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu, BPOM berupaya memperkuat
Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang komprehensif
dan menyeluruh. SISPOM memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu2 :
2
https://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 18 November 2018,
https://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom
43
a. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan profesional.
b. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan berbasis
bukti-bukti ilmiah.
c. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh
siklus proses.
d. Berskala nasional/lintas propinsi, dengan jaringan kerja
internasional.
e. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.
f. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat
yang berkolaborasi dengan jaringan global.
g. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk.
Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan
berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu diperlukan sistem
pengawasan yang komprehensip, semenjak awal proses suatu produk
hingga produk tersebut beredar ditengah masyarakat. Untuk menekan
sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga
lapis, yaitu3 :
a. Sub-sistem pengawasan Produsen.
Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui
pelaksanaan cara-cara produksi yang baik atau good
manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari
standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen
bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang
dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran
terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan
sanksi, baik administratif maupun pro justitia.
b. Sub-sistem pengawasan Konsumen.
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri
melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan
3
https://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 18 November 2018,
https://www.pom.go.id/new/view/direct/kksispom
44
mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara
penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat
sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya
masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan
menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan
tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan
suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri
terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat
dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong
produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.
c. Sub-sistem pengawasan pemerintah/BPOM.
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan
dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk
sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan
sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta
peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum.
Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat
konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka
pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi
dan edukasi.
4. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
Sistem pengawasan Obat dan Makanan yang diselenggarakan
oleh BPOM merupakan suatu proses yang komprehensif, mencakup
pengawasan pre-market dan post-market. Sistem itu terdiri dari:4
a. standardisasi yang merupakan fungsi penyusunan standar,
regulasi, dan kebijakan terkait dengan pengawasan Obat dan
Makanan. Standardisasi dilakukan terpusat, dimaksudkan untuk
menghindari perbedaan standar yang mungkin terjadi akibat
setiap provinsi membuat standar tersendiri.
4
https://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 3 Januari 2019,
https://www.pom.go.id/new/view/direct/strategic
45
b. Penilaian (pre-market evaluation) yang merupakan evaluasi
produk sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat
diproduksi dan diedarkan kepada konsumen. Penilaian dilakukan
terpusat, dimaksudkan agar produk yang memiliki izin edar
berlaku secara nasional.
c. Pengawasan setelah beredar (post-market control) untuk melihat
konsistensi mutu produk, keamanan dan informasi produk yang
dilakukan dengan melakukan sampling produk Obat dan
Makanan yang beredar, serta pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi Obat dan Makanan, pemantauan farmakovigilan dan
pengawasan label/penandaan dan iklan. Pengawasan post-market
dilakukan secara nasional dan terpadu, konsisten, dan terstandar.
Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan terpadu,
konsisten, dan terstandar. Pengawasan ini melibatkan Balai
Besar/Balai POM di 33 provinsi dan wilayah yang sulit
terjangkau/perbatasan dilakukan oleh Pos Pengawasan Obat dan
Makanan (Pos POM).
d. Pengujian laboratorium. Produk yang disampling berdasarkan
risiko kemudian diuji melalui laboratorium guna mengetahui
apakah Obat dan Makanan tersebut telah memenuhi syarat
keamanan, khasiat/manfaat dan mutu. Hasil uji laboratorium ini
merupakan dasar ilmiah yang digunakan sebagai untuk
menetapkan produk tidak memenuhi syarat yang digunakan untuk
ditarik dari peredaran.
e. Penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
Penegakan hukum didasarkan pada bukti hasil pengujian,
pemeriksaan, maupun investigasi awal. Proses penegakan hukum
sampai dengan projusticia dapat berakhir dengan pemberian
sanksi administratif seperti dilarang untuk diedarkan, ditarik dari
peredaran, dicabut izin edar, disita untuk dimusnahkan. Jika
pelanggaran masuk pada ranah pidana, maka terhadap
46
pelanggaran Obat dan Makanan dapat diproses secara hukum
pidana.
5. Susunan Organisasi BPOM
Pada Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80
Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dalam
melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM
mempunyai susunan organisasi yang terdiri dari :
a. Kepala;
Kepala BPOM mempunyai tugas memimpin dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas, fungsi, dan
kewenangan BPOM.
b. Sekretariat Utama;
Sekretariat Utama berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Kepala. Sekretariat Utama dipimpin oleh Sekretaris
Utama. Sekretariat Utama mempunyai tugas menyelenggarakan
koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di
lingkungan BPOM.
c. Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika,
Prekursor, dan Zat Adiktif;
Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika,
Prekursor, dart Zat Adiktif berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Kepala. Deputi Bidang Pengawasan
Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif
dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Pengawasan Obat,
Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dart Zat Adiktif mempunyai
tugas menyelenggarakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
di bidang pengawasan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika,
prekursor, dan zat adiktif.
d. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen
Kesehatan, dan Kosmetik;
47
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen
Kesehatan, dan Kosmetik berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala. Deputi Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik dipimpin oleh
Deputi. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen
Kesehatan, dan Kosmetik mempunyai tugas menyelenggarakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
obat tradisional, kosmetik, dan suplemen kesehatan.
e. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan;
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan berada di
bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala. Deputi Bidang
Pengawasan Pangan Olahan dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang
Pengawasan Pangan Olahan mempunyai tugas menyelenggarakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
pangan olahan.
f. Deputi Bidang Penindakan; dan
Deputi Bidang Penindakan berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala. Deputi Bidang Penindakan
dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Penindakan mempunyai
tugas menyelenggarakan penJrusunan dan pelaksanaan keb[iakan
penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
g. Inspektorat Utama.
Inspektorat Utama berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Kepala. Inspektorat Utama dipimpin oleh Inspektur
Utama. Inspektorat Utama mempunyai tugas menyelenggarakan
pengawasan intern di lingkungan BPOM.
B. Tata Cara Registrasi Obat
Sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana
48
Registrasi Obat, Obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia wajib
memiliki Izin Edar, dan untuk mendapatkan izin edar menurut Pasal 2
Ayat (2) yaitu harus dilakukan Registrasi, dan untuk melakukan registrasi
diajukan oleh Pendaftar kepada Kepala Badan.
Menurut Pasal 4 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24
Tahun 2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, dijelaskan
bahwa obat yang mendapat izin edar harus memenuhi kriteria berikut :
1. khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan
melalui uji nonklinik dan uji klinik atau bukti lain sesuai dengan
status perkembangan ilmu pengetahuan;
2. mutu yang memenuhi syarat sesuai dengan standar yang
ditetapkan, termasuk proses produksi sesuai dengan CPOB dan
dilengkapi dengan bukti yang sahih; dan
3. Informasi Produk dan Label berisi informasi lengkap, objektif dan
tidak menyesatkan yang dapat menjamin penggunaan Obat secara
tepat, rasional dan aman.
Menurut Pasal 25 dalam melakukan registrasi terdapat tahapan-
tahapan tata laksana registrasi, yaitu tahap praregistrasi dan tahap
registrasi. Permohonan praregistrasi dan registrasi diajukan oleh Pendaftar
secara tertulis kepada Kepala Badan dengan melampirkan dokumen
praregistrasi dan dokumen registrasi. Permohonan diajukan dengan
mengisi Formulir. Selanjutnya dokumen praregistrasi dan dokumen
registrasi harus menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Dan
permohonan praregistrasi dan registrasi juga dapat diajukan secara
elektronik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam Pasal 26 dijelaskan bahwa permohonan praregistrasi dan
registrasi dikenai biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Biaya tersebut harus
dibayarkan paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal Surat
Perintah Bayar-Layanan Publik (SPB-LP) diterbitkan. Pendaftar wajib
melakukan konfirmasi pembayaran SPBLP dan menyerahkan dokumen
49
praregistrasi atau dokumen registrasi paling lama 3 (tiga) Hari terhitung
sejak tanggal pembayaran. Dan jika pendaftar tidak melakukan konfirmasi
pembayaran SPB-LP dan menyerahkan dokumen praregistrasi atau
dokumen registrasi maka permohonan dinyatakan batal.
Dokumen registrasi terdiri atas:
1. bagian I : dokumen administratif, Informasi Produk dan Label.
2. bagian II : dokumen mutu.
3. bagian III : dokumen nonklinik.
4. bagian IV : dokumen klinik.
Dokumen registrasi disusun sesuai dengan format ASEAN
Common Technical Dossier (ACTD) dan mengacu pada tata cara
penyusunan dokumen registrasi. Dokumen registrasi merupakan dokumen
rahasia yang dipergunakan hanya untuk keperluan evaluasi oleh yang
berwenang.
Dokumen Informasi Produk terdiri atas:
1. Ringkasan Karakteristik Produk/Brosur; dan
2. Informasi Produk untuk Pasien.
Informasi Produk untuk Pasien, untuk golongan Obat tanpa resep dokter
harus disertakan pada kemasan terkecil, dapat berupa catch cover/amplop,
blister, atau brosur yang melekat kuat pada kemasan terkecil, yang terbaca
selama penggunaan Obat. Dokumen Informasi Produk paling sedikit harus
mencantumkan informasi.
Dalam Pasal 31 menjelaskan Informasi Produk untuk Pasien harus
menggunakan bahasa Indonesia, huruf Latin, dan angka Arab. Selain
menggunakan bahasa Indonesia, informasi produk untuk pasien juga dapat
ditambahkan bahasa Inggris sesuai dengan informasi yang disetujui.
Dalam hal registrasi sesuai dengan Pasal 32, pendaftar memilki
tanggung jawab sebagai pihak pendaftar obat, yaitu:
1. kelengkapan dokumen yang diserahkan .
2. kebenaran dan keabsahan informasi yang tercantum dalam dokumen
registrasi.
50
3. perubahan data dan Informasi Produk yang sedang dalam proses
Registrasi atau sudah memiliki Izin Edar.
Dan jika ada perubahan data dan/atau Informasi Produk harus
mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Permohonan praregistrasi Obat dilakukan untuk penapisan
Registrasi meliputi penentuan kategori Registrasi, penentuan jalur
evaluasi, penentuan biaya evaluasi, dan penentuan dokumen registrasi.
Dan sesuai dengan Pasal 35, dalam mengajukan permohonan harus
mengisi formulir, menyerahkan bukti pembayaran biaya praregistrasi, dan
melampirkan dokumen.
Hasil Praregistrasi (HPR) diterbitkan dalam jangka waktu paling
lama 40 (empat puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan.
Hasil Praregistrasi bersifat mengikat dan berlaku selama 1 (satu) tahun
sejak tanggal diterbitkan. Jika diperlukan tambahan data, permintaan
tambahan data disampaikan secara tertulis kepada Pendaftar, jika
pendaftar diberikan surat permintaan tambahan data, perhitungan jangka
waktu akan dihentikan (clock off) sampai pendaftar menyampaikan
tambahan data yang diminta. Pendaftar harus menyampaikan tambahan
data Paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat
permintaan tambahan data. Perhitungan waktu evaluasi akan dilanjutkan
(clock on) setelah Pendaftar menyerahkan tambahan data secara lengkap.
Dan jika Pendaftar tidak dapat menyampaikan tambahan data dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) Hari, maka pendaftar dapat mengajukan
perpanjangan pemenuhan tambahan data 1 (satu) kali dengan dilengkapi
justifikasi. Apabila tidak dapat menyampaikan tambahan data, maka
praregistrasi dinyatakan batal dan biaya yang sudah dibayarkan tidak dapat
ditarik kembali.
Sesuai dengan Pasal 37 dijelaskan jalur evaluasi terdiri dari:
1. jalur 7 (tujuh) Hari meliputi Registrasi Obat khusus ekspor.
2. jalur 10 (sepuluh) Hari meliputi Registrasi Ulang.
3. jalur 40 (empat puluh) Hari meliputi Registrasi Variasi Minor.
51
4. jalur 100 (seratus) Hari meliputi:
a. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang diindikasikan
untuk terapi penyakit serius yang mengancam nyawa manusia (life
saving), dan/atau mudah menular kepada orang lain, dan/atau belum
ada atau kurangnya pilihan terapi lain yang aman dan efektif;
b. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang berdasarkan
justifikasi diindikasikan untuk penyakit serius dan langka (Orphan
Drug) di Indonesia;
c. Registrasi Baru Obat Baru, Produk Biologi, Obat Generik, dan Obat
Generik Bermerek ditujukan untuk program kesehatan nasional yang
dilengkapi dengan dokumen penunjang kebutuhan program atau
hasil prakualifikasi Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization);
d. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang telah melalui
proses Obat Pengembangan Baru yang dikembangkan oleh institusi
riset atau Industri Farmasi di Indonesia, dibuat oleh Industri Farmasi
di Indonesia dan sekurangnya 1 (satu) uji klinik dilakukan di
Indonesia;
e. Registrasi Baru Obat Generik yang memiliki Formula, sumber bahan
baku, spesifikasi Obat, mutu, spesifikasi kemasan, proses produksi,
dan menggunakan fasilitas produksi yang sama dengan Obat Generik
Bermerek yang telah disetujui;
f. Registrasi Variasi Major indikasi baru/posologi baru untuk Obat;
g. Registrasi Variasi Major terkait mutu dan Informasi Produk.
5. jalur 120 (seratus dua puluh) Hari meliputi Registrasi Baru Obat Baru
dan Registrasi Variasi Major indikasi baru/posologi baru yang telah
disetujui sekurangnya di 3 (tiga) negara dengan sistem evaluasi yang
telah dikenal baik.
6. jalur 150 (seratus lima puluh) Hari meliputi Registrasi Baru Obat
Generik dan Obat Generik Bermerek yang tidak termasuk dalam jalur
evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf d.
52
7. jalur 300 (tiga ratus) Hari meliputi Registrasi Baru Obat Baru dan
Produk Biologi serta Registrasi Variasi Major indikasi baru/posologi
baru yang tidak termasuk dalam jalur evaluasi sebagaimana dimaksud
pada huruf d dan huruf e.
Dalam hal Registrasi Baru sesuai dengan Pasal 38 dan Pasal 39,
Permohonan Registrasi Baru diajukan dengan mengisi Formulir, dan
melengkapi dokumen. Selain harus melengkapi dokumen registrasi baru
pendaftar juga harus menyerahkan rencana manajemen risiko.
Dan untuk melakukan Registrasi Ulang sesuai dengan Pasal 42,
Registrasi Ulang diajukan paling cepat 12 (dua belas) bulan dan paling
lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhir masa berlaku Izin Edar.
Dikecualikan dari ketentuan, apabila permohonan Registrasi Ulang tanpa
perubahan dapat diajukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhir
masa Izin Edar. Permohonan registrasi ulang diajukan dengan mengisi
Formulir dan melampirkan dokumen registrasi ulang. Perpanjangan Izin
Edar sebagai persetujuan atas permohonan registrasi ulang sebagaimana
berlaku sejak berakhir masa Izin Edar yang lama, sepanjang tidak terdapat:
1. Perubahan Zat Aktif;
2. Perubahan produsen Obat;
3. Perubahan Pendaftar;
4. Perubahan bentuk sediaan;
5. Perubahan Formula;
6. Perubahan jenis dan besar kemasan; dan/atau
7. Pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika dalam Registrasi Ulang terdapat perubahan, maka registrasi
diproses sesuai dengan kategori Registrasi Variasi. Obat yang tidak
diregistrasi ulang sampai dengan jangka waktu, dapat diajukan kembali
sebagai Registrasi Baru.
Pada Pasal 64 Ayat (1) Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
53
Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Obat dan Makanan dijelaskan
mengenai masa berlaku izin edar yaitu:
1. 5 (lima) tahun untuk Izin Edar Obat, Izin Edar Obat Tradisional, Izin
Edar Suplemen Kesehatan, Izin Edar Pangan Olahan, sertifikat CPOB,
sertifikat CDOB, sertifikat CPOTB, sertifikat CPKB, dan sertifikat
CPPOB.
2. 3 (tiga) tahun untuk Izin Edar Kosmetik dan sertifikat CPOTB
Bertahap.
3. 6 (enam) bulan untuk AHP Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi.
4. 1 (satu) kali pemasukan untuk Surat Keterangan Impor Obat dan
Makanan.
5. Untuk Surat Keterangan Ekspor Obat dan Makanan jangka waktu
sesuai dengan yang tertera dalam surat tersebut
54
BAB IV
ANALISIS PENGAWASAN BPOM RI TERHADAP KASUS ALBOTHYL
DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN.
A. Mekanisme Pengawasan BPOM Terhadap Obat Albothyl Dalam
Perspektif Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa pemerintah bertanggung
jawab atas pembinaan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan hak pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan kewajiban pelaku usaha. Selanjutnya dalam hal
pengawasan pemerintah, diatur lebih lanjut pada Pasal 7 yang
menyebutkan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat. Dengan demikian, jelas bahwa
pemerintah memiliki bagian dalam hal tanggung jawab untuk melindungi
masyarakat sebagai konsumen.
BPOM selaku Lembaga Pemerintahan Non Kementrian (LPNK)
memiliki tugas sebagai badan pengawas obat dan makan yang beredar di
Indonesia, terkait pemantauan Albothyl, dalam 2 tahun terakhir BPOM RI
menerima 38 laporan dari profesional kesehatan yang menerima pasien
dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan,
diantaranya efek samping serius yaitu sariawan yang membesar dan
berlubang hingga menyebabkan infeksi (noma like lession)1.
Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar
yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan untuk
1
https://www.pom.go.id, diakses pada tanggal 3 Januari 2019,
https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/80/PENJELASAN-BPOM-RI--TERKAIT-ISU-
KEAMANAN-OBAT-MENGANDUNG-POLICRESULEN-CAIRAN-OBAT-LUAR-
KONSENTRAT.html
55
hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan, serta penggunaan pada
kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi dan vaginal
(ginekologi).
BPOM selaku Lembaga Pemerintahan Non Kementrian (LPNK)
secara rutin melakukan pengawasan keamanan obat yang beredar di
Indonesia melalui sistem farmakovigilans untuk memastikan bahwa obat
yang beredar tetap memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan dan
mutu. Selanjutnya dalam pengawasan yang dilakukan oleh BPOM
bersama ahli farmakologi dari universitas dan klinisi dari asosiasi profesi
terkait telah melakukan pengkajian aspek keamanan obat yang
mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar
konsentrat dan diputuskan tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan
antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit
(dermatologi); telinga, hidung dan tenggorokan (THT); sariawan
(stomatitis aftosa); dan gigi (odontologi).
BPOM secara resmi memberikan keputusan bahwa obat Albothyl
tidak boleh digunakan karena memiliki efek samping dan tidak sesuai
dengan khasiat obat yang dapat membahayakan pengguna produk obat
Albothyl, maka pihak BPOM mengeluarkan surat edaran pembekuan izin
edar produk obat Albothyl dan memerintahkan pihak PT. Pharos Indonesia
(produsen albothyl) untuk menarik obat dari peredaran selambat-
lambatnya 1 bulan sejak dikeluarkannya surat pembekuan izin edar.
Dalam kasus ini pihak BPOM selaku lembaga yang memiliki tugas
dan wewenang dalam mengawasi peredaran obat di Indonesia memiliki
tahapan-tahapan registrasi obat untuk bisa diedarkan, Sesuai dengan Pasal
2 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017
Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, dinyatakan bahwa:
(1) Obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki Izin
Edar.
(2) Untuk memperoleh Izin Edar sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
harus dilakukan Registrasi.
56
(3) Registrasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diajukan oleh
Pendaftar kepada Kepala Badan.
Adapun untuk mendapatkan izin edar suatu obat haruslah
memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan di peraturan undang-
undang yang berlaku. Pada Pasal 4 Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat dijelaskan bahwa obat yang mendapat izin edar harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan
melalui uji nonklinik dan uji klinik atau bukti lain sesuai dengan
status perkembangan ilmu pengetahuan;
b. mutu yang memenuhi syarat sesuai dengan standar yang
ditetapkan, termasuk proses produksi sesuai dengan Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan dilengkapi dengan bukti
yang sahih; dan
c. Informasi Produk dan Label berisi informasi lengkap, objektif dan
tidak menyesatkan yang dapat menjamin penggunaan Obat secara
tepat, rasional dan aman.
Peneliti berpendapat bahwa di dalam kasus albothyl ini, pihak
produsen albothyl telah melakukan tahapan-tahapan registrasi obat sesuai
dengan tahapan-tahapan yang telah diatur di peraturan kepala BPOM
Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, dan pihak produsen
telah mendapatkan izin edar dari proses registrasi obat di BPOM.
Selanjutnya BPOM selaku pihak pengawas yang memiliki tugas untuk
mengawasi keamanan kandungan obat memiliki tahapan uji non-klinik dan
uji klinik atau bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu
pengetahuan, di dalam kasus ini peneliti merasa terdapat kelalaian
pengawasan yang dilakukan oleh pihak BPOM. Karena setelah menerima
38 pengaduan dari profesional kesehatan yang menerima pasien dengan
keluhan efek samping obat albothyl, pihak BPOM mengadakan pengkajian
aspek keamanan obat albothyl, obat albothyl tidak sesuai dengan khasiat
57
yang telah dicantumkan oleh pihak produsen, padahal BPOM selaku badan
pengawas obat dan makanan haruslah memilki tahapan seleksi yang ketat
dalam hal pengawasan kandungan yang terdapat di dalam obat. Maka dari
itu kasus albothyl ini sangatlah merugikan pihak konsumen, karena
seharusnya BPOM bisa lebih melakukan pengawasan yang lebih baik lagi
agar kasus-kasus yang merugikan konsumen bisa di cegah dan tidak
terjadi.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, Pada Pasal 64 Ayat (1)
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun 2018
Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
Sektor Obat dan Makanan dijelaskan mengenai masa berlaku izin edar
yaitu, izin edar obat memilki jangka waktu 5 (lima) tahun. Dan setiap izin
edar obat yang masa berlaku izin edarnya telah memasuki masa berakhir,
sesuai dengan Pasal 42 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat,
harus melakukan registrasi ulang yang diajukan paling cepat 12 (dua
belas) bulan dan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhir masa
berlaku Izin Edar.
Menurut hemat peneliti permasalahan-permasalahan terkait dengan
peredaran obat yang berbahaya seperti dalam hal kasus obat albothyl dapat
dicegah dan tidak terjadi jika pihak BPOM melakukan pengawasan
sebagai mestinya yang telah diatur dalam aturan-aturan yang berlaku,
sesuai dengan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang berasaskan
keamanan dan keselamatan konsumen. Pihak BPOM haruslah menjunjung
tinggi pengawasan yang ketat dan efektif agar hak-hak konsumen atas
keamanan dan kenyamanan dapat terjamin sesuai dengan tujuan dari
perlindungan konsumen di Indonesia.
Dalam menjalankan tugasnya BPOM memiliki tugas sebagai
pelaksana pengawasan, pengawasan yang dilakukan BPOM ada 2 macam,
yaitu pengawasan sebelum beredar dan pengawasan setelah beredar.
Peneliti berpendapat dengan adanya 2 (dua) jenis pengawasan yang
58
dilakukan oleh BPOM selaku badan pengawas, harusnya kasus albothyl ini
bisa saja dicegah. Karena kasus ini sangatlah merugikan pihak konsumen.
Seharusnya BPOM harus lebih melindungi konsumen dengan pengawasan
yang lebih ketat dan efektif agar pihak konsumen sebagai pengguna obat
bisa mendapatkan keamanan dari bahan-bahan obat yang beredar untuk
dikonsumsi sesuai dengan Pasal 4 Huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu, hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Dalam pengawasannya apabila Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) menemukan atau mendapatkan produk-produk obat
yang tidak sesuai khasiat, keamanan, dan mutu. Sesuai dengan Pasal 63
Ayat (1) Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun
2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, BPOM diberikan
kewenangan untuk memberikan sanksi adminstratif, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatalan proses Registrasi;
c. pembekuan Izin Edar Obat;
d. pencabutan Izin Edar Obat; dan/atau
e. larangan untuk melakukan pendaftaran selama 2 (dua) tahun.
Tindakan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) dengan merespon 38 laporan dari profesional kesehatan yang
menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk
pengobatan sariawan, diantaranya efek samping serius yaitu sariawan yang
membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi (noma like lession).
Dengan langsung melakukan pengkajian aspek keamanan obat dan
melakukan pembekuan izin edar Albothyl sudah sangat tepat, tetapi
sangatlah disayangkan kejadian kasus seperti ini bisa terjadi, karena
menurut peneliti kasus seperti ini harusnya bisa lebih dicegah saat
pemberian izin edar Albothyl. Dan dengan adanya sistem pengawasan
sebelum beredar dan pengawasan setelah beredar oleh pihak BPOM, kasus
59
seperti ini sangatlah bisa dicegah terjadi apabila BPOM selaku badan
pengawas obat dan makanan melakukan pengawasan dengan baik.
Peneliti berpendapat kasus ini sangat merugikan pihak konsumen,
seharusnya BPOM sebagai badan pengawas bisa lebih melindungi
konsumen dari kasus-kasus seperti Albothyl yang merugikan konsumen.
B. Bentuk Tanggung Jawab Hukum BPOM Akibat Lemahnya
Pengawasan Dalam Kasus Albothyl Sebagai Implementasi Prinsip
Perlindungan Konsumen.
Pembahasan mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum
konsumen akan lebih komperehensif jika dimulai dengan pembahasan
teoritis tentang perlindungan konsumen. Menurut Az. Nasution hukum
konsumen adalah sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan dan masalah penyediaan penggunaan produk (barang
dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunaannya dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungannya dengan masalah penyediaan dan
penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan
penggunaannya dalam kehidupan masyarakat.2
Tegasnya, hukum
perlindungan konsumen merupakan keseluruhan peraturan perundang-
undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang- undangan
lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur
mengenai kepentingan konsumen.3
Pemahaman mengenai perlindungan konsumen secara yuridis dapat
dipahami dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan definisi “segala upaya
2
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), h. 22 3 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), h. 21-24
60
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen”.
Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Menurut Az. Nasution
kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan
konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau
jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya
apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan
konsumen tersebut.4
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi
perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat
dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.5
BPOM selaku pihak yang memilki wewenang dalam hal
mengawasi peredaran obat dan makanan mempunyai tanggung jawab dan
tanggung gugat yang sama didepan hukum. Ada dua tanggung jawab yang
melekat pada BPOM yaitu tanggung jawab hukum administratif dan
tanggung gugat hukum pidana. Tanggung jawab administratif didasarkan
pada kedudukan BPOM sebagai badan pejabat tata usaha negara yang
memiliki kewenangan dalam hal sertifikasi/perijinan serta pengawasan
yang melekat pada BPOM. Dan dalam hal tanggung gugat, BPOM sebagai
lembaga pemerintahan dalam bidang pengawasan obat dan makanan dapat
digugat oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pengawasan BPOM
dengan dasar hukum Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sebagai perbuatan melanggar hukum karena BPOM telah lalai dalam
melaksanakan kewenangannya dalam mengawasi peredaran obat-obatan
4 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet. 3, (Jakarta: Predana Media Group, 2015), h. 4
5 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, ... h. 21-22
61
yang tidak sesuai dengan standar produksi, khasiat, keamanan yang telah
ditetapkan. Seperti yang tercantum dalam surah Al-Muddhatsir ayat 38:
Artinya: “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang
diperbuatnya” (Q.S 74:38).
Maka bentuk-bentuk perlindungan konsumen pada dasarnya
merupakan implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen oleh
berbagai pihak, dalam kasus albothyl dimana BPOM selaku pihak
pengawas obat dan makanan memebekukan izin edar obat albothyl dan
menarik obat albothyl dari peredaran. Secara yuridis dalam menjalankan
fungsinya apa yang dilakukan oleh BPOM merupakan salah satu tindakan
perlindungan hukum bagi konsumen. Karena adanya bentuk perlindungan
dalam aspek keamanan dan keselamatan bagi konsumen yang
menggunakan obat albothyl yang dinyatakan berbahaya untuk digunakan.
Namun peneliti berpendapat bahwa penyelenggaraan perlindungan
konsumen tidak hanya dilakukan dengan upaya-upaya represif seperti itu,
sedangkan tindakan-tindakan preventif dari berbagai stakeholders adalah
faktor penting dari terlaksananya perlindungan konsumen, sesuai dengan
prinsip perlindungan konsumen yang terbagi atas perlindungan preventif
dan perlindungan represif. Salah satunya tindakan pencegahan dari pihak
BPOM selaku badan pengawas dalam memberikan izin edar dengan proses
registrasi yang lebih ketat agar kasus-kasus seperti albothyl ini dapat
dicegah dan tidak terjadi lagi. Kemudian bentuk-bentuk pengawasan oleh
pemerintah, salah satunya penguatan kelembagaan BPOM dalam segi
yuridis serta harmonisasi fungsi BPOM terhadap Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka pelaku usaha yang
merupakan badan hukum harus bertanggung jawab atas segala kerugian
yang ditimbulkan. Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan
62
penggantian ganti rugi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Selanjutnya pada Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa ganti rugi
yang diberikan oleh pelaku usaha dapat berupa: pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan perundang- undangan.
Apabila pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi yang diminta
konsumen sesuai jangka waktu yang sudah ditetapkan, sebagaimana yang
diatur pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen maka konsumen dapat mengajukan gugatan
melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau kepada
badan peradilan ditempat kedudukan konsumen. Maka dalam menjalankan
tanggung jawab tersebut sudah sepatutnya pelaku usaha bersikap responsif
dan mempunyai itikad baik.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan dari permasalahan yang telah dikemukakan dalam skkripsi ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Mekanisme pengawasan BPOM dalam kasus Albothyl, pada dasarnya
telah sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat, namun dalam mekanisme pengawasan terkait obat
Albothyl terdapat kelalaian dalam pengawasan BPOM, karena terjadi
kasus yang merugikan pihak konsumen karena terlanggarnya hak atas
keamanan dan kenyamanan dalam mengkonsumsi obat Albothyl.
BPOM selaku pihak yang melakukan pengawasan obat dan makanan
melakukan kelalaian dalam kasus Albothyl ini, karena memberikan
izin edar obat Albothyl, sedangkan ternyata setelah ada 38 laporan
dari profesional kesehatan mengenai efek samping yang serius yaitu
sariawan yang membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi.
Pihak BPOM baru mengambil tindakan untuk melakukan pengkajian
aspek keamanan obat Albothyl dan yang diputuskan untuk tidak boleh
digunakan karena mengandung zat berbahaya. Sedangkan dalam tugas
dan wewenangnya melakukan pengawasan, BPOM memiliki 2 (dua)
jenis pengawasan yaitu, pengawasan sebelum beredar dan pengawasan
setelah beredar. Peneliti merasa seharusnya kasus yang merugikan
konsumen seperti ini tidak akan terjadi dan dapat dicegah apabila
BPOM selaku pengawas melakukan pengawasan dengan ketat dan
sebagai mestinya yang telah teratur di aturan-aturan yang berlaku.
2. Bentuk pertanggungjawaban hukum BPOM akibat lemahnya
pengawasan dalam Kasus Albothyl sebagai implementasi prinsip
perlindungan konsumen, dalam kasus Albothyl dimana BPOM selaku
64
pihak pengawas obat dan makanan telah membekukan izin edar obat
Albothyl dan menarik obat Albothyl dari peredaran. Maka secara
yuridis dalam menjalankan fungsinya apa yang dilakukan oleh BPOM
merupakan salah satu tindakan perlindungan hukum bagi konsumen.
Karena adanya bentuk perlindungan dalam aspek keamanan dan
keselamatan bagi konsumen yang menggunakan obat albothyl yang
dinyatakan berbahaya untuk digunakan. Namun peneliti berpendapat
bahwa penyelenggaraan perlindungan konsumen tidak hanya
dilakukan dengan upaya-upaya represif seperti itu, sedangkan
tindakan-tindakan preventif dari berbagai stakeholders adalah faktor
penting dari terlaksananya perlindungan konsumen. Salah satunya
tindakan pencegahan dari pihak BPOM selaku badan pengawas dalam
memberikan izin edar dengan proses registrasi yang lebih ketat agar
kasus-kasus seperti albothyl ini dapat dicegah terjadi. Kemudian
bentuk-bentuk pengawasan oleh pemerintah, salah satunya penguatan
kelembagaan BPOM dalam segi yuridis serta harmonisasi fungsi
BPOM terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan
rekomendasi, yaitu:
1. Instansi yang berwenang yaitu Pemerintah dan Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) lebih meningkatkan pengawasan dan
memperketat pengujian dengan uji lab yang dilakukan oleh pihak
pengawas yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta
pemberian izin edar terhadap obat dengan prosedur yang ketat agar
tidak terjadi kasus-kasus seperti ini.
2. Penguatan kelembagaan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) dalam segi yuridis dan harmonisasi fungsi Badan Pengawas
65
Obat dan Makanan (BPOM) terhadap Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
66
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab Suci
Al-Qur’anul Karim
B. Buku
Ahmad, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
cet.1, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia
Edisi Revisi cet.9, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
Barkatullah, Abdul Halim, Hak-hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010.
Hadjon, Philipus M., dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2009.
Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.2,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
67
, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta:
Diadit Media, 2007.
Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya cet.3, Jakarta: Prenada
Media Group, 2015.
Nukilan, Widya, Metode Penelitian Hukum, cet.1, Jakarta: Tim Pengajar,
2005.
Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi,
Jakarta: PT. Grasido, 2007.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Grafindo, 2000.
Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Sinamo, Nomensen, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Bumi Intitama
Sejahtera, 2009.
Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV.
Rajawali, 1982.
Syawali, Husni dan Neni Sri Imamyati, Hukum Perlindungan Konsumen,
Cet.Pertama, CV. Mandar Majis, 2000.
68
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013.
C. Website
http://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/80/PENJELASAN-BPOM-
RI--TERKAIT-ISU-KEAMANAN-OBAT-MENGANDUNG-
POLICRESULEN-CAIRAN-OBAT-LUAR-KONSENTRAT.html
http://www.pengertianku.net/2014/07/pengertian-pengawasan-dan-
fungsinya.html
https://www.pom.go.id/new/view/direct/background
https://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom
https://www.pom.go.id/new/view/direct/kksispom
https://www.pom.go.id/new/view/direct/strategic
D. Jurnal
Lihat Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian
Hukum dan Rasa keadilan Masyarakat”