tanggung jawab hukum developer terhadap...

Download TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP …balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Wulan.pdf · Dekan Ketua Departemen Hukum Perdata (Dr. Haposan Siallagan, SH.,MH ... Dengan

If you can't read please download the document

Upload: trinhnhu

Post on 06-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI

    PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN

    MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011

    TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN

    PERMUKIMAN

    (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)

    SKRIPSI

    Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam

    Menempuh Gelar Sarjana Hukum

    Program Studi Ilmu Hukum

    Departemen Perdata

    Diajukan oleh :

    WULAN CINTA UTAMI 0 9 6 0 0 1 2 2

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

    MEDAN 2013

  • FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

    FORMULIR PENULISAN SKRIPSI No : 630/Pdt/FH/IV/2013

    Dengan ini menyatakan bahwa :

    NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM PERDATA

    Telah dapat memulai penulisan skripsi dengan program Strata Satu (S-I) dan

    maksud ini kami meminta agar saudara :

    1. Agust P. Silaen SH.,MH : menjadi Pembimbing I

    2. Jinner Sidauruk SH.,MH : menjadi Pembimbing II

    Dengan ini kami memohon kesedian Bapak dan Ibu menjadi pembimbing serta memperbaiki rencana judul skripsi dan proposal bila mana diperlukan. Judul Skripsi:TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP

    PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 201I TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

    (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)

    Medan, 16 April 2013 Ketua Bagian Hukum Perdata

    (Tulus Siambaton, SH, MH) Pembimbing I Pembimbing II

    (Agust P. Silaen, SH.,MH) (Jinner Sidauruk, SH.,MH)

  • UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    NAMA : WULAN CINTA UTAMI

    NPM : 09600122

    BAGIAN : ILMU HUKUM PERDATA

    JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI PERUMAHAN TER- KAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

    (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)

    DOSEN PEMBIMBING I : Agust P. Silaen, SH., MH

    DOSEN PEMBIMBING II : Jinner Sidauruk, SH., MH

    Medan, Agustus 2013

    Diketahui Oleh

    Dekan Ketua Departemen Hukum Perdata

    (Dr. Haposan Siallagan, SH.,MH) (Tulus Siambaton, SH,.MH) Disetujui Untuk Seminar Disetujui Ujian Akhir

    Pembimbing I Ketua Dapartemen Hukum Perdata

    (Agust P. Silaen, SH.,MH) (Tulus Siambaton, SH., MH)

  • UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    Dengan ini menerangkan bahwa karya ilmiah penulisan skripsi Sarjana Hukum Program Strata Satu (S-1) Terakreditasi yang ditulis oleh : NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 BAGIAN : ILMU HUKUM PERDATA JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP

    PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

    (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)

    Telah diterima dan terdaftar pada Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan dan telah melengkapi syarat-syarat akademik untuk menempuh ujian lisan Komprehensif guna menyelesaikan studi untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

    Medan, Agustus 2013

    Dekan Ketua Bagian Perdata

    (Dr. Haposan Siallagan, SH., MH) (Tulus Siambaton, SH,.MH)

    Pembimbing I Pembimbing II

    (Agust P. Silaen, SH.,MH) (Jinner Sidauruk, SH.,MH)

  • UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    Dengan ini menerangkan bahwa karya ilmiah penulisan skripsi Sarjana Hukum Program Strata Satu (S-1) Terakreditasi yang ditulis oleh :

    NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 Program Studi : ILMU HUKUM JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI

    PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

    (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan) Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Hari /tanggal : Jumat, 30 Agustus 2013 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat. Medan, September 2013

    Tim Penguji

    Penguji I Penguji II (Tulus Siambaton,SH.,MH) (Erita W. Sitohang,SH.,MKn)

    Ketua Sidang Bagian Hukum Perdata

    (Tulus Siambaton,SH.,MH) Pembimbing I Pembimbing II (Agust P. Silaen,SH.,MH) (Jinner Sidauruk,SH.,MH) Diketahui/disetujui

    Dekan

    (Dr.Haposan Siallagan,SH.,MH)

  • PROSEDUR PENULISAN SKRIPSI

    KETERANGAN TANDA TANGAN DAN NAMA LENGKAP

    TANGGAL

    JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan) ACC JUDUL SKRIPSI Dilanjutkan Membuat Proposal

    Besty Habeahan SH.,MH

    2/3/2013

    PROPOSAL : ACC PEMBIMBING I ACC PEMBIMBING II Dilanjutkan Penulisan Skripsi Secara Lengkap

    Agust P. Silaen SH.,MH

    Jinner Sidauruk SH.,MH

    15/5/2013

    29/5/2013

    SKRIPSI : ACC PEMBIMBING I ACC PEMBIMBING II Dilanjutkan pemeriksaan buku

    Agust P. Silaen SH.,MH

    Jinner Sidauruk SH.,MH

    29/7/2013

    24/7/2013

    ACC PEMERIKSAAN BUKU Dilanjutkan perbanyakan konsep asli

    Agust P. Silaen SH.,MH

    ACC PERBANYAKAN KETIKAN

    Agust P. Silaen SH.,MH

    23/8/2013

    ACC UNTUK DISEMINARKAN

    Agust P. Silaen SH.,MH

    29/7/2013

    ACC PEMBANDING

    Besty Habeahan SH.,MH

    23/8/2013

    ACC MEJA HIJAU Tulus Siambaton SH.,MH

  • NAMA : WULAN CINTA UTAMI NPM : 09600122 BAGIAN : ILMU HUKUM PERDATA JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI

    PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN (Riset Pada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan)

    JUDUL : TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP

    PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

    CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

    Tanggal Pembimbing I Tanggal Pembimbing II

    30-04-2013

    06-05-2013

    15-05-2013

    19-07-2013

    19-07-2013

    05-08-2013

    Pengajuan Bab I & III Perbaikan Bab I & III ACC Bab I & Bab III Pengajuan Bab V, Abstraksi & Daftar Pustaka. Perbaikan Bab V, Abstraksi dan Daftar Pustaka. Acc Bab I,II,III,IV,V, Abstraksi, Kata Pengantar & Daftar Pustaka.

    29-05-2013

    13-06-2013

    25-06-2013

    03-07-2013

    19-07-2013

    24-07-2013

    Pengajuan Bab II Perbaikan Bab II ACC Bab II Pengajuan Bab IV Perbaikan Bab IV Acc Bab IV

    ACC Pembimbing I ACC Pembimbing II (Agust P. Silaen, SH.,MH) (Jinner Sidauruk, SH.,MH)

  • i

    ABSTRAKSI TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMBELI

    PERUMAHAN TERKAIT BELUM DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN

    DAN KAWASAN PERMUKIMAN Wulan Cinta Utami * Agust P. Silaen, SH., MH **

    Jinner Sidauruk, SH., MH ***

    Tanah menjadi unsur pokok kehidupan manusia. Salah satu kebutuhan manusia yaitu kebutuhan akan rumah yang membutuhkan tanah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan membangun sendiri di atas tanah sendiri dan ada pula yang disediakan oleh developer. Setiap orang tidak bisa dengan leluasa membangun meskipun bangunan yang didirikan itu berada di atas tanah haknya jika tidak sesuai dengan peraturan. Developer sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kegiatan pendirian bangunan berkewajiban untuk mengurus izin yang diperlukan dalam membangun perumahan pada pemerintah setempat. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun diatas tanah yang belum mendapatkan izin. Dan untuk mengetahui tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli atas tanah perumahan yang belum mendapatkan izin. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ilmiah ini adalah metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif yaitu data yang telah dianalisis disajikan dengan pemaparan yang logis dengan menguraikan bagian-bagian masalah secara komprehensif serta menggambarkan obyek penelitian secara sistematis lalu diuraikan bagian-bagiannya (analisis) sesuai dengan identifikasi masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab developer terhadap pembeli perumahan terkait belum dipenuhinya perizinan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun diatas tanah yang belum mendapatkan izin yaitu rumah akan dibongkar setelah melalui beberapa tahap. Dan tanggung jawab developer terhadap pembeli atas tanah perumahan yang belum mendapatkan izin yaitu mengganti kerugian konsumen dengan mengembalikan uang muka yang telah diberikan kepada developer. Kata Kunci : Developer, Perumahan, Perizinan * Penulis ** Pembimbing I *** Pembimbing II

  • ii

    ABSTRACT LEGAL RESPONSIBILITIES RELATED To HOUSING DEVELOPER To PURCHASERS ALLEGING THE PERMIT ACCORDING To LAW

    NUMBER 1 Of 2011 On HOUSING And RESIDENTIAL AREAS Wulan Cinta Utami * Agust P. Silaen, SH., MH **

    Jinner Sidauruk, SH., MH ***

    Soil into basic elements of human life. One of human needs it the need for houses in need of land. This need is met by building itself on its own land and some are provided by the developer. Not everyone can freely build although structures built on land that is right if it is not in accordance with regulations. Developers as the party responsible for the construction of the building activity is obliged to take care of the necessary permits to build housing on the local government. purpose of this thesis is to determine the legal effect of the housing built on land that has not been getting permits. And to determine the legal responsibility of the buyer to land developers who have not received permission housing.

    As for the research methods used in scientific writing is descriptive analysis method. Descriptive analysis method is data that has been analyzed is presented with a logical presentation by outlining the parts issue comprehensively and systematically describes the research object and described the parts (analysis) in accordance with the identification of issues relating to the responsibility of the buyer housing developer in question are not compliance with the permit. Data was collected by conducting field research and library research.

    This research explains that the legal effect of the housing built on land that has not received permission to be demolished after the house through several stages. And the responsibility of the developer to the buyer at buyer's housing land is yet to get clearance to compensate consumers who return the advance payment has been given to the developer. Keywords: developer, housing, licensing * Writer ** Supervisor *** Co Supervisor

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala

    pertolongan dan kasih karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi dengan judul: Tanggung Jawab Hukum Developer

    Terhadap Pembeli Perumahan Terkait Belum Dipenuhinya Perizinan Menurut

    Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan

    Permukiman dengan baik untuk memenuhi persyaratan guna mencapai gelar

    Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.

    Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada

    kedua orangtua penulis yaitu J. Tamba,SH dan T. Simanjuntak yang telah banyak

    membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik dari segi moril dan materil.

    Terimakasih banyak buat mama yang selalu mengerti keinginanku bahkan selalu

    memberi tanpa diminta sekalipun, buat papa yang selalu siaga yang selalu

    meluangkan waktunya untuk selalu ada disampingku. Kalian anugerah terindah yang

    pernah ku miliki. Semoga mama papa panjang umur. Youre my life.

    Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan mengingat

    kemampuan, waktu dan pengetahuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis

    dengan senang hati menerima segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi

    kesempurnaan skripsi ini.

    Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa kesemuanya ini tidak

    mungkin dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dan dorongan dari bapak dan ibu

    dosen serta pihak-pihak yang terkait. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis

    menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

    1. Dr. Ir. Jongkers Tampubolon, MSc, selaku Rektor Universitas HKBP

    Nommensen Medan.

    2. Dr. Haposan Siallagan, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

    HKBP Nommensen Medan.

    3. Bapak Jinner Sidauruk, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

    Universitas HKBP Nommensen Medan.

  • iv

    4. Bapak Jan Prins D. Saragih, SH, MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas

    Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.

    5. Bapak Marthin Simangunsong, SH,MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas

    Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.

    6. Bapak Tulus Siambaton, SH, MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Perdata

    Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan dan sebagai Penguji

    I dalam ujian Meja Hijau.

    7. Ibu Besty Habeahaan, SH, MH, selaku Sekretaris Departemen Perdata

    Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan dan sebagai Dosen

    Pembanding dalam Seminar.

    8. Bapak Agust P. Silaen, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I, penulis

    berterimakasih atas perhatian Bapak karena selama penulisan ini mau

    bermurah hati dan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk

    membimbing dan mengarahkan penulis sehingga akhirnya penulis bisa

    menyelesaikan skripsi ini.

    9. Bapak Jinner Sidauruk, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing II, penulis

    berterimakasih atas perhatian Bapak karena selama penulisan ini mau

    bermurah hati dan meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk

    membimbing dan mengarahkan penulis sehingga akhirnya penulis bisa

    menyelesaikan skripsi ini.

    10. Ibu Erita W. Sitohang,SH.,MKn, selaku Penguji II dalam ujian Meja Hijau.

    11. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen

    Medan yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis belajar di

    Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.

    12. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan

    yang telah melayani dan memberikan kemudahan fasilitas dalam pengurusan

    administrasi.

    13. Ibu Indri dan Ibu Erika Ginting yang bekerja di Dinas Tata Ruang dan Tata

    Bangunan Kota Medan, penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya dalam

  • v

    memberikan bahan-bahan penunjang sehingga penulisan skripsi ini dapat

    diselesaikan.

    14. Dan juga teristimewa buat keluarga-keluarga penulis, adik-adikku (Lidwina

    Tamba, Bangga Tamba, dan Dayang Tamba), terima kasih telah memberikan

    motivasi kepada penulis.

    15. Seniorku Yani Siallagan, SH, dan lainnya terima kasih banyak sudah bersedia

    meluangkan waktunya untuk membantu penulis.

    16. Buat teman-teman seperjuangan penulis, Maria, Cici, Rimka, Elisa, Rica dan

    Nimrod, serta teman-teman lainnya terimakasih buat kebersamaan kita selama

    ini.

    Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita

    semua, kiranya Tuhan senantiasa memberikan berkatnya kepada semua pihak yang

    telah memberikan bantuan kepada penulis. Sekian dan terima kasih.

    Medan, Agustus 2013

    Penulis

    Wulan C. Utami

  • vi

    DAFTAR ISI

    ABSTRAKSI ...................................................................................................... i ABSTRACT....................................................................................................... ii KATA PENGANTAR....................................................................................... iii DAFTAR ISI...................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang....................................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah.................................................................................. 5

    C. Tujuan Penelitian................................................................................... 5

    D. Manfaat Penelitian................................................................................. 6

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Jual Beli antara Developer dan

    Konsumen............................................................................................. 7

    1. Pengertian Umum Tentang Developer........................................... 7

    2. Pengertian Umum Tentang Konsumen.......................................... 9

    3. Perjanjian Jual Beli........................................................................ 10

    3.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli................................................ 10

    3.2 Asas-Asas dan Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli.................. 12

    3.3 Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli.................................... 16

    3.4 Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli. 18

    3.5 Bentuk-Bentuk Perjanjian Jual Beli........................................ 28

    3.6 Risiko dalam Perjanjian Jual Beli .......................................... 30

    B. Tinjauan Umum Tentang Perizinan....................................................... 30

    1. Pengertian Perizinan....................................................................... 30

  • vii

    2. Sifat Izin.......................................................................................... 34

    3. Fungsi Pemberian Izin.................................................................... 36

    4. Tujuan Pemberian Izin................................................................... 36

    5. Bentuk dan Substansi Izin............................................................ 37

    BAB III METODE PENELITIAN

    A. Ruang Lingkup Penelitian................................................................ 41

    B. Sumber Data..................................................................................... 41

    C. Metode Pengumpulan Data............................................................. 42

    D. Metode Analisis Data...................................................................... 43

    BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    A. Akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas tanah yang

    belum mendapatkan izin...................................................................... 44

    B. Tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli atas tanah

    perumahan yang belum mendapatkan izin........................................... 47

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan.................................................................................... 54

    B. Saran.............................................................................................. 54

    DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Tanah menjadi unsur pokok dalam kehidupan manusia. Di atas tanahlah semua

    kegiatan hidup dan penghidupan dilakukan oleh manusia. Peningkatan jumlah

    penduduk dari tahun ke tahun membuat kebutuhan atas tanah terus meningkat disisi

    lain ketersediaan tanah terbatas. Pembangunan perumahan dan permukiman akan

    terus meningkat seirama dengan pertumbuhan penduduk, dinamika kependudukan

    dan tuntutan ekonomi, sosial budaya yang berkembang. Kondisi ini akan

    menimbulkan konflik kepentingan antar individu maupun antar warga apabila tidak

    dikelola dan diatur dengan baik.

    Salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan papan atau rumah

    yang membutuhkan tanah tentu juga akan menimbulkan masalah dengan tanah yang

    terbatas tersebut. Kebutuhan dasar ini pemenuhannya dicukupi individu dengan

    membangun sendiri di atas tanah sendiri, ada pula yang disediakan oleh pihak lain,

    developer melalui perumahan yang ditawarkan.

    Adapun pengertian perumahan dan rumah diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan 7

    Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

    Permukiman, perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,

    baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan

    utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Rumah adalah

    bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana

  • 2

    pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi

    pemiliknya.

    Pembangunan perumahan di Indonesia banyak dilakukan oleh developer.

    Dengan semakin banyaknya developer di bidang perumahan sudah tentu

    memudahkan masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya dalam memilih rumah sesuai

    dengan kemampuan keuangannya masing-masing. Pengembangan perumahan yang

    dilakukan oleh developer perlu diatur sedemikian rupa sehingga pengembangannya

    sesuai dengan fungsi arahan rencana tata ruang, guna menjaga keseimbangan

    lingkungan fisik maupun sosial. Di sisi lain pengembangan perumahan juga

    diharapkan mampu menyediakan perumahan yang layak secara fisik dan tertib secara

    administrasi.

    Setiap orang tidak bisa dengan leluasa membangun meskipun bangunan yang

    didirikan itu berada di atas tanah haknya jika tidak sesuai dengan peraturan.

    Developer sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kegiatan pendirian bangunan

    berkewajiban untuk mengurus izin yang diperlukan dalam membangun perumahan

    pada pemerintah setempat.

    Dalam setiap pembangunan gedung, baik akan digunakan untuk rumah,

    kantor, toko, hotel, bengkel dan lain-lain harus memenuhi kaidah dasar sebagai

    berikut.1

    1. Memenuhi persyaratan administrasi yang meliputi : a. status tanah dan izin dari pemanfaatan tanah dan b. izin mendirikan bangunan. 2. Memenuhi ketentuan teknis bangunan yang terdiri dari : 1 Gatut Susanta, 2009, Mudah Mengurus IMB di 55 Kota dan Kabupaten di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, hlm. 6

  • 3

    a. sempadan bangunan, b. kepadatan dan ketinggian bangunan, c. sirkulasi dan parkir, d. rencana pemetaan , e. ruang terbuka dan tata hijau, dan f. prasarana dan utilitas. 3. Memenuhi keandalan bangunan yang meliputi: a. fungsi bangunan, b. keamanan dan keselamatan, c. kesehatan dan kenyamanan, dan d. kelengkapan bangunan.

    Dewasa ini izin mendirikan bangunan telah menjadi bagian utama dari

    komponen bangunan. Hal ini disebabkan karena hampir semua bentuk perizinan

    mensyaratkan pemilikan izin mendirikan bangunan. Misalnya, untuk mendapatkan

    izin HO (Hinder Ordonantie)/izin gangguan atau pengajuan pinjaman ke bank,

    seseorang harus terlebih dahulu memiliki izin mendirikan bangunan.2 Tidak sedikit

    rumah atau bangunan yang didirikan (sudah jadi) tanpa dilengkapi izin mendirikan

    bangunan. Jika suatu bangunan tidak memiliki izin mendirikan bangunan maka akan

    dikategorikan sebagai bangunan liar.

    Dalam Pasal 1 angka 19 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012

    Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan disebutkan Izin Mendirikan Bangunan,

    yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah

    daerah kecuali untuk bangunan fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik

    bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah/memperbaiki/rehabilitasi/

    renovasi, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan, dan/atau memugar

    2 Ibid, hlm. 72

  • 4

    dalam rangka melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan

    persyaratan teknis yang berlaku.

    Dalam Pasal 42 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

    dan Kawasan Permukiman dijelaskan bahwa rumah yang masih dalam tahap

    pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli.

    Perjanjian pendahuluan jual beli adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang

    masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia

    rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian pendahuluan jual beli

    itupun baru dapat dilakukan setelah memenuhi beberapa persyaratan yaitu status

    pemilikan tanah, hal yang diperjanjikan, kepemilikan izin mendirikan bangunan

    induk, ketersediaan fasilitas umum dan telah selesai dibangun minimal 20 %. Apabila

    salah satu dari persyaratan tersebut tidak di penuhi oleh developer, maka developer

    dilarang untuk menjual rumahnya tersebut.

    Realitanya, developer sama sekali tidak memiliki izin mendirikan bangunan

    namun telah melaksanakan pembangunan perumahan. Parahnya lagi developer

    memasarkan perumahan tersebut kepada konsumen dan konsumen telah membayar

    uang muka kepada developer, padahal developer sama sekali belum memiliki

    perizinan. Tindakan developer ini tentu sangat merugikan konsumen.

    Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan

    menyusunnya dalam bentuk skripsi dengan judul TANGGUNG JAWAB HUKUM

    DEVELOPER TERHADAP PEMBELI PERUMAHAN TERKAIT BELUM

  • 5

    DIPENUHINYA PERIZINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1

    TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN.

    B. Rumusan Masalah

    Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :

    a. Bagaimana akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas tanah

    yang belum mendapatkan izin ?

    b. Bagaimana tanggung jawab developer terhadap pembeli atas tanah perumahan

    yang belum mendapatkan izin ?

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

    a. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas

    tanah yang belum mendapatkan izin.

    b. Untuk mengetahui tanggung jawab developer terhadap pembeli atas tanah

    perumahan yang belum mendapatkan izin.

    D. Manfaat Penelitian

  • 6

    a. Untuk memperdalam ilmu hukum bagi penulis khususnya mengenai

    tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli perumahan terkait

    belum dipenuhinya perizinan.

    b. Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan dan wawasan

    mengenai tanggung jawab hukum developer terhadap pembeli perumahan

    terkait belum dipenuhinya perizinan.

    c. Sebagai syarat untuk menyelesaikan program Sarjana Hukum pada

    Universitas HKBP Nommensen.

  • 7

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Jual Beli Rumah Antara Developer dan Konsumen

    1. Pengertian Umum Tentang Developer

    Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus

    bahasa inggris artinya adalah pembangun perumahan. Sementara itu menurut

    Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974,

    disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula

    masuk dalam pengertian developer, yaitu :

    Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang

    berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam

    jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu

    kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana

    lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat

    penghuninya.

    Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen developer masuk

    dalam kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1

    angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen yaitu:

    Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

    berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara

  • 9

    Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

    menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

    Pengembang perumahan (real estate developer) atau biasa juga

    disingkat pengembang/developer adalah orang perorangan atau perusahaan

    yang bekerja mengembangkan suatu kawasan permukiman menjadi

    perumahan yang layak huni dan memiliki nilai ekonomis sehingga dapat

    dijual kepada masyarakat.3

    Secara umum, pengembang/developer dapat digolongkan dalam 3

    (tiga) kategori, yaitu :4

    (a) Pengembang besar : membangun perumahan dengan harga satuan rumah di

    atas Rp 800 juta,

    (b) Pengembang menengah : membangun perumahan dengan harga per satuan

    antara Rp 300 juta hingga Rp 800 juta, dan

    (c) Pengembang kecil mengkhususkan pembangunan perumahan dengan harga

    satuan rumah maksimal Rp 300 juta.

    Pengembang/developer dapat terdiri dari orang-perorangan maupun

    perusahaan, baik perusahaan yang belum berbadan hukum (seperti CV atau

    Firma) maupun perusahaan yang sudah berbadan hukum (seperti PT atau

    Koperasi).5

    3 R. Serfianto Dibyo Purnomo; Iswi Hariyani; Cita Yustisia, Kitab Hukum Bisnis Properti, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hlm. 11 4 Ibid, hlm. 12 5 Ibid.

  • 10

    2. Pengertian Umum Tentang Konsumen

    Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-

    Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata

    consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.

    Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai

    pemakai atau konsumen.6

    Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi

    ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan (oleh sebagian pelaku usaha).

    Akibatnya, hak-hak konsumen perlu dilindungi.7 Menurut Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, Konsumen adalah setiap orang pemakai

    barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

    sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

    diperdagangkan.

    Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis,

    maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan

    perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. Dalam naskah-naskah

    akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-

    undangan, cukup banyak di bahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan

    yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah

    akademik itu yang patut mendapat perhatian, antara lain :8

    6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 22 7 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hlm. 22 8 Ibid, hlm. 23

  • 11

    a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN),

    menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang,

    digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk

    diperjualbelikan.

    b. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia :

    Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan

    diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

    c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum

    Universitas Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan

    RI, berbunyi :

    Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk

    dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.

    3. Perjanjian Jual Beli 3.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli

    Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-

    undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus

    terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam KUH

    Perdata. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 KUH Perdata. Menurut

    Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang

    satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, dan pihak yang lain untuk

    membayar harga yang telah dijanjikan. Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457

    KUH Perdata diatas, perjanjian jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban

    yaitu:

  • 12

    1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

    2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

    Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian

    yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak

    penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak

    menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak

    menerima objek tersebut.9 Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :

    a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli

    b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga

    c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli

    Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana

    antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan barang yang

    menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah

    pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli

    tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi jual beli

    dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai

    kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan

    maupun harganya belum dibayar .10 Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan

    barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual

    beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan.

    9Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak , Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kedelapan, 2011, hlm. 49 10 Ibid.

  • 13

    Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum

    tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan

    (levering) benda.

    3.2 Asas-Asas dan Syarat Perjanjian Jual Beli

    Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam

    perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum

    asas perjanjian ada lima yaitu :

    1. Asas Kebebasan Berkontrak

    Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

    Perdata yang berbunyi: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

    undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

    kepada para pihak untuk :11

    a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,

    b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

    c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

    d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

    2. Asas Konsensualisme

    Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.

    Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian

    11 H. Salim HS; H. Abdullah; Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 2

  • 14

    adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Dengan demikian, apabila

    tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu

    belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya

    kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa

    juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan

    kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.12

    3. Asas mengikatnya suatu perjanjian Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dimana suatu

    perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.

    Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut

    karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut

    mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.13

    4. Asas iktikad baik (Goede Trouw)

    Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH

    Perdata). Iktikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap

    praperjanjian, secara umum iktikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian

    sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.14

    12 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 3 13 Ibid, hlm. 4 14 Ibid, hlm. 7

  • 15

    5. Asas Kepribadian

    Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk

    dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 KUH Perdata tentang

    janji untuk pihak ketiga.

    Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH

    Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli

    merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan

    bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :

    1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

    Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu

    kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan

    adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini

    tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak

    lainnya.

    Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan :15

    a. Bahasa yang sempurna dan tertulis.

    b. Bahasa yang sempurna secara lisan.

    c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

    d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.

    e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

    15 H. Salim HS; H. Abdullah; Wiwiek Wahyuningsih, Op. Cit, hlm. 9

  • 16

    Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya

    kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis .Seseorang yang melakukan

    kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta autentik maupun akta di

    bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa

    melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta. Sedangkan akta autentik adalah

    akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.16

    Dalam Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa tiada ada suatu sepakat

    yang sah apabila sepakat itu diberikan atau diperoleh atas:

    a. Kekhilafan (dwaling)

    b. Paksaan (geveld)

    c. Penipuan (bedrog)

    Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat

    bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.

    2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

    Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum

    yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah

    segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk

    melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan

    adalah berumur 21 tahun.

    Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah :17

    a. Anak dibawah umur. 16 Ahmadi Miru, Op. Cit, hlm. 15 17 Salim H.S, Op. Cit, hlm. 34

  • 17

    b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.

    c. Istri. Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan

    hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1963.

    3. Suatu hal tertentu

    Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Di dalam berbagai

    literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok

    perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban pembeli dan apa yang

    menjadi hak penjual.

    Prestasi terdiri atas :18

    a. memberikan sesuatu,

    b. berbuat sesuatu, dan

    c. tidak berbuat sesuatu.

    4. Suatu sebab yang halal

    Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang

    halal. Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang.

    Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,

    kesusilaan, dan ketertiban umum.

    Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut dengan

    pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat

    disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama

    18 Ibid, hlm. 34

  • 18

    dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya bahwa salah

    satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang

    disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu

    tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu

    batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.19

    3.3 Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli

    Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari

    perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan

    badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat

    menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan

    syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah.

    Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk

    melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini :20

    1. Jual beli Suami istri

    Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri

    adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi

    pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin.

    Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:

    19 Ibid. 20 Ibid, hlm. 50

  • 19

    a. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau

    suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa

    yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.

    b. Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari

    siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya

    mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi

    kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.

    c. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi

    sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta

    perkawinan.

    2. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris

    Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada

    benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan,

    maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya,

    rugi dan bunga.

    3. Pegawai yang memangku jabatan umum

    Yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan diri sendiri terhadap

    barang yang dilelang.

  • 20

    Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan

    benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya.

    Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah :21

    a. Benda atau barang orang lain,

    b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang,

    c. Bertentangan dengan ketertiban, dan

    d. Kesusilaan yang baik.

    3.4 Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli

    Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak

    pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan

    kewajiban penjual adalah sebagai berikut :22

    1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan beserta

    kelengkapannya

    Hal ini meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk

    mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual

    kepada si pembeli. Di dalam KUH Perdata mengenal dua macam benda, yaitu:

    a. Benda bergerak

    1) Benda bergerak yang berwujud atau bertubuh

    21 Ibid, hlm. 51 22 Handri Raharjo, 2010, Buku Pintar Transaksi Jual Beli dan Sewa Menyewa, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 17

  • 21

    Penyerahannya dengan cara menyerahkan kekuasaan atas barang itu atau

    dengan kata lain penyerahan dari tangan ke tangan yang biasa disebut

    penyerahan nyata.

    2) Benda bergerak tak bertubuh atau tidak berwujud

    a) Penyerahan piutang atas nama

    Penyerahannya dengan perbuatan yang dinamakan cessie yaitu dengan

    akta autentik atau akta di bawah tangan yang khusus dibuat untuk

    mengalihkan hak-hak atas kebandaan itu kepada orang lain.

    b) Penyerahan piutang atas pembawa

    Penyerahannya dengan cara menyerahkan surat piutang yang

    bersangkutan (penyerahan dari tangan ke tangan yang biasa disebut

    penyerahan nyata).

    c) Penyerahan piutang atas pengganti/tunjuk

    Penyerahannya dengan cara menyerahkan surat piutang yang

    bersangkutan disertai endosemen.

    b. Benda tetap (tidak bergerak)

    Penyerahannya dengan perbuatan yang dinamakan Balik Nama, misalnya

    seperti tanah, gedung, pabrik, atau semua yang melekat di atas tanah harrus

    dilakukan dengan balik nama yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta

    Tanah (PPAT), kemudian ada ketentuan bahwa kewajiban menyerahkan suatu

    barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta

    dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik,

    jika itu ada (Pasal 1482 KUH Perdata). Dengan demikian maka penyerahan

  • 22

    sebidang tanah meliputi penyerahan sertifikat dan penyerahan kendaraan

    bermotor meliputi BPKP-nya.

    2. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung

    terhadap cacat-cacat tersembunyi.

    Kewajiban untuk menanggung nikmat tentram merupakan konsekuensi

    daripada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang

    yang dijual dan di-lever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri terbebas

    dari suatu beban atau tuntutan dari pihak manapun. Kewajiban tersebut

    menemukan realisasinya memberikan penggantian kerugian jika sampai

    terjadi si pembeli karena sesuatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan

    hakim dihukum untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak

    ketiga tersebut atau si pembeli sewaktu digugat oleh pihak ketiga ia dapat

    meminta kepada hakim agar si penjual dapat diikutsertakan dalam proses yang

    sedang berjalan.

    Dalam Pasal 6 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen hak pelaku usaha, meliputi :

    a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

    kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

    b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

    beritikad tidak baik.

    c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

    hukum sengketa konsumen.

  • 23

    d. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

    kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan.

    Dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha, meliputi :

    a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

    b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan

    pemeliharaan.

    c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

    diskriminatif.

    d. Menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

    berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

    e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

    barang/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang

    dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

    f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat

    penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

    diperdagangkan.

    g. Memberi kompensasi dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak

    sesuai dengan perjanjian.

    Hak-hak dasar konsumen sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar

    umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut

    pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat

  • 24

    (AS), pata tanggal 15 Maret 1962, melalui A special Message for the

    Protection of Consumer Interest atau yang lebih dikenal dengan istilah

    Deklarasi Hak Konsumen (Declaration of Consumer Right). Bob

    Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi tersebut menghasilkan empat

    hak dasar konsumen (the four consumer basic rights) yang meliputi hak-hak

    sebagai berikut.23

    1. Hak untuk Mendapat atau Memperoleh Keamanan atau the Right to be Secure

    Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/jasa yang

    dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk makanan atau

    minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatan. Artinya, produk

    makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan sanitasi, serta tidak

    mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia.

    2. Hak untuk Memperoleh Informasi atau the Right to be Informed

    Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan

    komprehensif tentang suatu produk barang/jasa yang dibeli (dikonsumsi).

    Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa mengetahui

    bagaimana kondisi barang/jasa yang akan dikonsumsi. Jika suatu saat ada

    risiko negatif dari produk/jasa yang telah dikonsumsinya, konsumen telah

    mengetahui hal tersebut sebelumnya. Artinya, konsumen memiliki hak untuk

    mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari

    mengonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label/kemasan

    produk. 23 Happy Susanta, Op. Cit, hlm. 24

  • 25

    3. Hak untuk Memilih atau the Right to Choose

    Setiap konsumen berhak memilih produk barang/jasa dengan harga yang

    wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan

    untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak-

    haknya. Ia harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap

    barang/jasa yang akan dikonsumsi.

    4. Hak untuk Didengarkan atau the Right to be Heard

    Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa

    didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh

    lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan hak-hak

    konsumen.

    Masyarakat Eropa (Europose Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga

    menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut.24

    1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan.

    2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi.

    3. Hak mendapat ganti rugi.

    4. Hak atas penerangan.

    5. Hak untuk didengar.

    Dalam Pasal 4 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen hak-hak konsumen meliputi :

    1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi

    barang/jasa. 24 Ibid.

  • 26

    2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai

    tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

    3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang/jasa.

    4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang

    digunakan.

    5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

    sengketa perlindungan konsumen secara patut.

    6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

    7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

    diskriminatif.

    8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau, atau penggantian,

    jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

    sebagaimana mestinya.

    Dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen kewajiban konsumen meliputi :

    1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan

    barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan

    bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan

    meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara

    penggunaannya.

  • 27

    2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Itikad baik

    sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang

    baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa

    terpenuhi dengan penuh kepuasan.

    3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu

    membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang

    disepakati.

    4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

    secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah

    didapat ,konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan

    pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa mungkin

    dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara

    hukum bisa dilakukan asalkan memerhatikan norma dan prosedur yang

    berlaku.

    Dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor

    09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, penjual (developer)

    dan pembeli mempunyai kewajiban :25

    a. Kewajiban Penjual

    1) Penjual wajib melaksanakan pendirian bangunan sesuai waktu yang telah

    diperjanjikan menurut gambar arsitektur, gambar denah dan spesifikasi

    teknis bangunan, yang telah disetujui dan ditandatangani bersama oleh

    25 Handri Raharjo, Buku Pintar Transaksi Jual Beli dan Sewa Menyewa, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 58-60

  • 28

    kedua belah pihak dan dilampirkan, yang menjadi bagian tak terpisahkan

    dalam akta pengikatan jual beli rumah tersebut.

    2) Penjual wajib menyelesaikan pendirian bangunan dan menyerahkan tanah

    dan bangunan rumah tepat waktu seperti yang diperjanjikan kepada

    pembeli, kecuali karena hal-hal yang terjadi keadaan memaksa (force

    majeure) yang merupakan hal di luar kemampuan penjual antara lain

    seperti bencana alam, perang, pemogokan, huru-hara, kebakaran, banjir

    dan peraturan-peraturan/kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter.

    3) Penjual sebelum melakukan penjualan dan atau melakukan pengikatan

    jual beli rumah wajib memiliki :

    a) Surat izin persetujuan prinsip rencana proyek dari pemerintah daerah

    setempat dan surat izin lokasi dan kantor Pertanahan

    Kabupaten/Kotamadya. Khusus untuk DKI Jakarta surat izin

    Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT).

    b) Surat keterangan dari kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya,

    bahwa yang bersangkutan (developer) telah memperoleh tanah untuk

    pembangunan perumahan dan permukiman.

    c) Surat izin mendirikan bangunan.

    4) Penjual wajib mengurus pendaftaran perolehan hak atas tanah dan

    bangunan rumah, seketika setelah terjadinya pemindahan hak atas tanah

    dan bangunan rumah atau jual beli rumah (tanah dan bangunan) dihadapan

    PPAT.

  • 29

    5) Apabila penjual lalai untuk menyerahkan tanah dan bangunan rumah tepat

    waktu seperti yang diperjanjikan kepada pembeli, diwajibkan membayar

    denda keterlambatan penyerahan tersebut sebesar dua perseribu dari

    jumlah total harga tanah dan bangunan rumah untuk setiap hari

    keterlambatannya.

    6) Apabila penjual ternyata melalaikan kewajibannya untuk mengurus

    pendaftaran perolehan hak atas tanah dan bangunan rumah tersebut, maka

    pembeli mempunyai hak dan dianggap telah diberi kuasa untuk mengurus

    dan menjalankan tindakan yang berkenaan dengan pengurusan

    pendaftaran perolehan hak atas tanah dan bangunan rumah tersebut kepada

    instansi yang berwenang.

    b. Jaminan Penjual

    1) Penjual menjamin bagi kepentingan pihak pembeli bahwa tanah dan

    bangunan rumah yang menjadi objek pengikatan jual beli adalah hak

    penjual sepenuhnya. Dan tidak dalam keadaan sengketa, tidak dikenakan

    sita jaminan oleh instansi yang berwenang.

    2) Penjual menjamin serta membebaskan pembeli dari segala tuntutan yang

    timbul di kemudian hari baik dari segi perdata maupun pidana atas tanah

    dan bangunan rumah tersebut.

    3) Penjual menjamin dan bertanggungjawab terhadap cacat yang tersembunyi

    yang baru diketahui di kemudian hari, sesuai dengan ketentuan Pasal 1504

    dan 1506 KUH Perdata.

    c. Kewajiban Pembeli

  • 30

    1) Pembeli telah menyetujui jumlah total harga tanah dan bangunan rumah

    sesuai gambar arsitektur, gambar denah, dan spesifikasi teknis bangunan

    yang telah ditetapkan bersama.

    2) Pembeli wajib membayar jumlah total harga tanah dan bangunan rumah,

    beserta segala pajak, dan biaya-biaya lain yang timbul sebagai akibat

    adanya pengikatan jual beli rumah, dengan tata cara pembayaran yang

    disepakati bersama.

    3) Pembeli wajib membayar biaya pembuatan akta notaris, pengikatan jual

    beli rumah, biaya pendaftaran perolehan hak atas tanah atas nama

    pembeli, sedangkan biaya pengurusan sertifikat ditanggung oleh penjual.

    4) Apabila pembeli lalai untuk membayar angsuran harga tanah dan

    bangunan rumah pada waktu yang telah ditentukan, maka dikenakan

    denda keterlambatan, sebesar dua perseribu dari jumlah angsuran yang

    telah jatuh tempo untuk setiap hari keterlambatan.

    5) Apabila pembeli lalai membayar angsuran harga tanah dan bangunan

    rumah, segala pajak, serta denda-denda, dan biaya-biaya lain yang

    terhutang selama 3 (tiga) kali berturut-turut, maka pengikatan jual beli

    rumah dapat dibatalkan secara sepihak, dan segala angsuran dibayarkan

    kembali dengan dipotong biaya administasi oleh penjual.

    Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kewajiban dari pihak pembeli adalah

    merupakan hak bagi pihak penjual dan sebaliknya kewajiban dari pihak penjual

    adalah merupakan hak bagi pihak pembeli.

  • 31

    3.5. Bentuk-Bentuk Perjanjian Jual Beli

    Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat

    dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi

    perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu

    bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak

    sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat

    pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut.

    Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris.

    Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :

    1. Lisan, yaitu perjanjian yang dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak

    bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang

    dilakukan secara lisan.

    2. Tulisan, yaitu perjanjian yang dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan

    dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.

    Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik

    dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan

    merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang

    berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi

    wewenang untuk itu. Berbeda dari akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak

    berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat

    yang berwenang, dan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.26

    26 Ahmadi Miru, Op. Cit, hlm. 14

  • 32

    Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah

    karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu

    dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik

    selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Maksudnya adalah bahwa jika

    suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan

    harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut, Sedangkan

    apabila akta autentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta autentik tidak perlu

    membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus

    membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian

    akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta

    autentik adalah pembuktian kepalsuan.27

    3.6 Risiko dalam perjanjian jual beli

    Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan resicoleer

    (ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran ,yaitu seseorang berkewajiban

    memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang

    menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.28

    Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan,

    yaitu apakah :29

    a. Barang telah ditentukan

    b. Barang tumpukan

    27 Ibid. 28 Salim H.S, Op. Cit, hlm. 103 29 Ahmadi Miru, Op. Cit, hlm. 130

  • 33

    c. Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.

    B. Tinjauan Umum Tentang Perizinan

    1. Pengertian Perizinan

    Agak sulit memberikan defenisi izin. Hal ini dikemukakan oleh Sjachran

    Basah. Pendapat yang dikatakan Sjachran agaknya sama dengan yang berlaku di

    negeri Belanda, seperti dikemukakan van der Pot, Het is uiterst moelijk voor begrip

    vergunning een definitie te vinden (sangat sukar membuat defenisi untuk menyatakan

    pengertian izin itu). Hal ini disebabkan oleh antara para pakar tidak terdapat

    persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek

    yang didefinisikannya. Sukar memberikan defenisi bukan berarti tidak terdapat

    defenisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi

    yang beragam.30

    Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan

    halangan, hal yang dilarang menjadi boleh, atau Als opheffing van een algemene

    verbodsregel in het concrete geval, (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum

    dalam peristiwa konkret).31

    Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara

    bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan

    30 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 167 31 Ibid, hlm. 170

  • 34

    persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan

    perundang-undangan.32

    E.Utrecht mengatakan bahwa bila pembuat peraturan umum tidak melarang

    suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara

    yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan administrasi negara

    yang memperkenankan perbuatan perbuatan tersebut bersifat suatu izin

    (vergunning).33

    Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu

    persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk

    memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum di

    larang.34

    N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas

    dan sempit, yaitu izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan

    dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis

    untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari

    penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam

    keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan

    perundang-undangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang

    memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang.

    32 Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid.

  • 35

    Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum

    mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas, dari pengertian

    izin.35

    Selanjutnya N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, mendefinisikan izin dalam arti

    sempit yakni pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya

    didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan

    tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah

    mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang untuk mencapai

    suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.

    Tujuannya ialah mengatur tindakan tindakan yang oleh pembuat undang-undang

    tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan

    pengawasan sekadarnya. Hal yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa

    suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam

    ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti

    diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk

    hanya memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar

    tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan

    dalam ketentuan-ketentuan).36

    Menurut Prins, vergunning adalah keputusan Administrasi Negara berupa

    aturan, tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga

    35 Ibid. 36 Ibid, hlm. 171

  • 36

    memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing

    hal yang kongkret, maka perbuatan Administrasi Negara yang diperkenankan tersebut

    bersifat suatu izin.37

    Dalam perkembangannya, secara yuridis pengertian izin dan perizinan

    tertuang dalam Pasal 1 angka 8 dan 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24

    Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

    Dalam Pasal 1 angka 8 ditegaskan bahwa izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh

    pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang

    merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau

    badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Kemudian Pasal 1 angka 9

    menegaskan bahwa perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau

    pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.

    Definisi izin dan perizinan juga didefinisikan sama dalam Pasal 1 angka 8 dan angka

    9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman

    Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.38

    Dengan demikian, perizinan merupakan upaya mengatur kegiatan-kegiatan

    yang memiliki peluang menimbulkan gangguan pada kepentingan umum. Mekanisme

    perizinan, yaitu melalui penerapan prosedur ketat dan ketentuan yang harus dipenuhi

    untuk menyelenggarakan suatu pemanfaatan lahan. Perizinan adalah salah satu

    bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki

    37 Ibid. 38 Ibid, hlm. 173

  • 37

    pemerintah, merupakan mekanisme pengendalian administratif terhadap kegiatan

    yang dilakukan oleh masyarakat.

    2. Sifat Izin

    Pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat/badan tata usaha negara yang

    berwenang, yang isinya atau substansinya mempunyai sifat sebagai berikut.39

    1. Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang

    penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang

    berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam

    memutuskan pemberian izin.

    2. Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang

    penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta

    organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya

    tergantung pada kadar sejauh mana peraturan perundang-undangan

    mengaturnya. Misalnya, izin yang bersifat terikat adalah IMB, izin HO, izin

    usaha industri, dan lain-lain.

    3. Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai

    sifat menguntungkan pada yang bersangkutan. Misalnya, dari izin yang

    menguntungkan adalah SIM, SIUP, SITU, dan lain-lain.

    39 Ibid.

  • 38

    4. Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung

    unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan

    kepadanya. Misalnya, pemberian izin kepada perusahaan tertentu.

    5. Izin yang segera berakhir, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan

    yang akan segera berakhir atau izin yang masa berlakunya relatif pendek,

    misalnya izin mendirikan bangunan (IMB), yang hanya berlaku untuk

    mendirikan bangunan dan berakhir saat bangunan selesai didirikan.

    6. Izin yang berlangsung lama, merupakan izin yang nenyangkut tindakan-

    tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya relatif lama, misalnya izin

    usaha indiustri dan izin yang berhubungan dengan lingkungan.

    7. Izin yang bersifat pribadi, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat

    atau kualitas pribadi dan pemohon izin. Misalnya, izin mengemudi (SIM).

    8. Izin yang bersifat kebendaan, merupakan izin yang isinya tergantung pada

    sifat dan objek izin misalnya izin HO, SITU, dan lain-lain.

    3. Fungsi Pemberian Izin

    Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu sebagai fungsi penertib

    dan sebagai fungsi pengatur. Sebagai fungsi penertib, dimaksudkan agar izin atau

    setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan mayarakat

    lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap segi

    kehidupan masyarakat dapat terwujud.40

    40 Ibid, hlm. 193

  • 39

    Sebagai fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat

    dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin

    yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat juga sebagai

    fungsi yang dimiliki oleh pemerintah.41

    4. Tujuan Pemberian Izin

    Secara umum, tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian

    daripada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi

    pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun

    oleh pejabat yang berwenang. Selain itu, tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari

    dua sisi yaitu:42

    1. Dari sisi pemerintah, dan

    2. Dari sisi masyarakat.

    1. Dari Sisi Pemerintah

    Dari sisi pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut.

    a. Untuk melaksanakan peraturan

    Apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai

    dengan kenyataan dalam praktiknya atau tidak dan sekaligus untuk

    mengatur ketertiban.

    b. Sebagai sumber pendapatan daerah

    41 Ibid. 42 Ibid, hlm. 200

  • 40

    Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung

    pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang

    dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin

    banyak pula pendapatan di bidang retribusi tujuan akhirnya, yaitu untuk

    membiayai pembangunan.

    2. Dari Sisi Masyarakat

    Dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut.

    a. Untuk adanya kepastian hukum.

    b. Untuk adanya kepastian hak.

    c. Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas. Apabila bangunan yang

    didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas.

    5. Bentuk dan Substansi Izin

    Sesuai dengan sifatnya, yang merupakan bagian dari ketetapan, izin

    selalu dibuat dalam bentuk tertulis. Sebagai ketetapan tertulis, secara umum

    izin memuat substansi sebagai berikut.43

    1. Kewenangan Lembaga

    Dalam izin dinyatakan siapa yang memberikannya, biasanya dari kepala surat

    dan penandatanganan izin akan nyata lembaga mana yang memberikan izin.

    Pada umumnya pembuat aturan akan menunjuk lembaga berwenang dalam

    43 Ibid, hlm. 201

  • 41

    sistem perizinan, lembaga yang paling berbekal mengenai mated dan tugas

    bersangkutan, dan hampir selalu yang terkait adalah lembaga pemerintahan.

    2. Pencantuman Alamat

    Izin ditujukan pada pihak yang berkepentingan. Biasanya izin lahir setelah

    yang berkepentingan mengajukan permohonan untuk itu. Oleh karena itu,

    keputusan yang memuat izin akan dialamatkan pula kepada pihak yang

    memohon izin.

    3. Substansi dalam Diktum

    Keputusan yang memuat izin, demi alasan kepastian hukum, harus memuat

    uraian sejelas mungkin untuk apa izin itu diberikan. Bagian keputusan ini,

    dimana akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan, dinamakan

    diktum, yang merupakan inti dari keputusan setidak-tidaknya diktum ini

    terdiri atas keputusan pasti, yang memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban

    yang dituju oleh keputusan itu.

    4. Persyaratan

    Dalam pembuatan keputusan, termasuk keputusan berisi izin, dimasukkan

    pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan dibentuk dengan menunjuk

    batas-batas dealam waktu, tempat atau dengan cara lain. Sebagai contoh,

    paqda izin lingkungan dapat dimuat pembatasan izin untuk periode tertentu

    misalnya lima tahun. Disamping itu, dalam keputusan dimuat syarat-syarat.

    Dengan menetapkan syarat-syarat, akibat-akibat hukum tertentu digantungkan

    pada timbulnya suatu peristiwa dikemudian hari yang belum pasti dalam

  • 42

    keputusannya berisi izin dapat dimuat syarat penghapusan dan syarat

    penangguhan.

    5. Penggunaan Alasan

    Pemberian alasan dapat memuat hal-hal seperti penyebutan ketentuan undang-

    undang, pertimbangan-pertimbangan hukum, dan penetapan fakta. Penyebutan

    ketentuan undang-undang memberikan pegangan kepada semua yang

    bersangkutan, organ penguasa, dan yang berkepentingan, dalam menilai

    keputusan itu. Pertimbangan hukum merupakan hal penting bagi organ

    pemerintahan untuk memberikan atau menolak permohonan izin.

    Pertimbangan hukum ini biasanya lahir dari interpretasi organ pemerintahan

    terhadap ketentuan undang-undang. Adapun penetapan fakta, berkenaan

    dengan hal-hal diatas. Artinya, interpretasi yang dilakukan oleh organ

    pemerintahan terhadap aturan-aturan yang relevan, turut didasarkan pada

    fakta-fakta sebagaimana ditetapkannya.

    6. Penambahan Substansi Lainnya

    Pemberitahuan tambahan dapat berisi bahwa kepada yang dialamatkan

    ditunjukkan akibat-akibat dari pelanggaran ketentuan dalam izin, seperti

    sanksi-sanksi yang mungkin diberikan pada ketidakpatuhan. Pemberitahuan-

    pemberitahuan ini mungkin saja merupakan petunjuk-petunjuk sebagaimana

    sebaiknya bertindak dalam mengajukan permohonan-permohonan berikutnya

    atau informasi umum dari organ pemerintahan yang berhubungan dengan

    kebijaksanaannya sekarang atau di kemudian hari. Pemberitahuan-

  • 43

    pemberitahuan tambahan ini sejenis pertimbangan yang berlebihan, yang pada

    dasarnya terlepas dan diktum selaku inti ketetapan. Oleh sebab itu, mengenai

    pemberitahuan ini, karena tidak termasuk dalam hakikat keputusan, secara

    formal seseorang tidak dapat menggugat melalui hakim administrasi.

  • 44

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Ruang Lingkup Penelitian

    Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang

    menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan

    membatasi area penelitian. Lingkup penelitian juga menunjukkan secara pasti

    faktor-faktor mana yang akan diteliti, dan mana yang tidak, atau untuk

    menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan

    diteliti ataukah akan dieliminasi sebagian.44

    Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

    akibat hukum terhadap perumahan yang dibangun di atas tanah yang belum

    mendapatkan izin dan untuk mengetahui tanggung jawab developer terhadap

    pembeli atas tanah perumahan yang belum mendapatkan izin.

    B. Bahan Hukum

    1) Bahan Hukum Primer, ialah bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum

    primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain UU Nomor 1 Tahun

    2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU Nomor 8 Tahun

    1999 tentang Perlindungan Konsumen, KUH Perdata, Perda Kota Medan

    Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Peraturan

    Walikota Medan Nomor 41 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis atas

    44 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 111

  • 45

    Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin

    Mendirikan Bangunan serta hasil penelitian pada Dinas Tata Ruang dan Tata

    Bangunan Kota Medan.

    2) Bahan Hukum Sekunder, ialah bahan hukum yang memberikan penjelasan

    mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum skunder yang digunakan dalam

    penelitian ini berupa buku-buku literatur, dokumen-dokumen, karya ilmiah

    dan tulisan-tulisan lainnya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

    3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari kamus hukum,

    kamus bahasa indonesia dan ensiklopedia yang mempunyai relevansi dengan

    penelitian ini.

    C. Metode Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

    1. Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research)

    Metode penelitian kepustakaan yaitu suatu proses penelitian dengan

    mengumpulkan dan mempelajari berbagai jenis bahan bacaan seperti buku-

    buku literatur, dokumen-dokumen, karya ilmiah dan tulisan-tulisan lainnya

    yang berhubungan dengan objek penelitian ini.

    2. Metode Penelitian Lapangan (Field Research)

    Metode Penelitian Lapangan yaitu suatu proses penelitian untuk memperoleh

    data primer maka dilakukan penelitian langsung dengan cara wawancara

    kepada staf Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan.

  • 46

    D. Metode Analisis Data

    Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    metode analisis deskriptif kualitatif yaitu data-data yang telah dianalisis disajikan

    dengan pemaparan yang logis dengan menguraikan bagian-bagian masalah secara

    komprehensif serta menggambarkan obyek penelitian secara sistematis lalu

    diuraikan bagian-bagiannya (analisis) sesuai dengan identifikasi masalah.45

    45 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 106

  • 47

    BAB IV

    PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    A. Akibat Hukum Terhadap Perumahan yang Dibangun Di atas Tanah

    yang Belum Mendapatkan Izin

    Pada proses pembangunan perumahan yang dilakukan oleh developer

    ada tahapan yang harus dilalui baik itu berupa fisik atau non fisik (yuridis) ,

    yang berupa non fisik (yuridis) salah satunya ialah perizinan. Perizinan yang

    harus dipenuhi oleh pihak developer sangat banyak, diantaranya izin lokasi,

    izin mendirikan bangunan, izin prinsip, dan izin peruntukan dan penggunaan

    tanah.

    Walaupun dalam teorinya terdapat banyak izin, namun pada

    praktiknya terutama di Kota Medan izin yang utama dan sering menjadi

    permasalahan adalah izin mendirikan bangunan. Di Kota Medan developer

    dapat langsung mengurus izin mendirikan bangunan dengan mengajukan

    permohonan izin mendirikan bangunan kepada Kepala Dinas Tata Ruang dan

    Tata Bangunan Kota Medan dengan mengisi formulir yang telah disediakan

    dengan melampirkan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Hal ini

    dikarenakan Kota Medan sudah memiliki rencana tata ruang kota. Rencana

    tata ruang kota adalah hasil perencanaan tata ruang Kota Medan berupa

    rencana umum tata ruang kota, rencana detail tata ruang kota, tata bangunan

    dan lingkungan serta peraturan zonasi.46

    46 Wawancara dengan Ibu Erika Ginting bagian tata ruang Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan Tanggal 10 Juni 2013

  • 48

    Pembangunan perumahan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan

    izin mendirikan bangunan. Apabila developer belum mendapat izin

    mendirikan bangunan tidak boleh terjadi pembangunan perumahan.

    Perumahan yang berdiri tanpa memiliki izin mendirikan bangunan sudah tentu

    melanggar peraturan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Peraturan

    Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan

    Bangunan bahwa setiap orang pribadi atau badan dilarang:

    a. mendirikan bangunan tanpa IMB;

    b. memulai pekerjaan mendirikan bangunan sebelum diterbitkannya IMB;

    dan/atau

    c. mendirikan bangunan yang tidak sesuai dengan IMB yang telah diterbitkan.

    Pembangunan perumahan yang dilakukan tanpa pengurusan izin

    mendirikan bangunan terlebih dahulu akan menimbulkan akibat hukum bagi

    perumahan tersebut. Dalam Pasal 52 Peraturan Walikota Medan Nomor 41

    Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Atas Peraturan Daerah Kota Medan

    Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

    menyebutkan bahwa terhadap kegiatan mendirikan bangunan yang tidak

    memiliki izin mendirikan bangunan :

    - Terlebih dahulu diberikan surat peringatan pemberhentian melakukan

    pekerjaan kepada pemilik/penanggung jawab bangunan untuk menghentikan

    kegiatan dan/atau membongkar sendiri bangunan yang tidak memiliki izin

    mendirikan bangunan.

  • 49

    - Terhadap surat peringatan yang dikeluarkan apabila tidak dipatuhi akan

    dilanjutkan dengan surat peringatan bongkar sendiri dengan tenggang waktu

    selama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak diterima oleh

    pemilik/penanggung jawab bangunan.

    - Apabila batas waktu yang ditentuk