tanda dan gejala disleksia

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak seluruh warga Indonesia. Mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu diperlukan bagi peningkatan kualitas hidup setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Pendidikan bahasa adalah salah satu pendidikan dasar yang sangat penting untuk didapatkan oleh setiap orang terutama anak-anak. Kemampuan berbahasa yang baik dapat menuntun anak-anak dalam menguasai kegiatan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Namun, tidak semua orang di dunia ini dapat mengikuti kegiatan belajar secara umum. Ada beberapa dari sebagian anak mengalami kesulitan belajar, sehingga menghambat proses pembelanjaran ke jenjang selanjutnya. Selain itu, anak akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. 1

Upload: panji-akbarul-mukmin

Post on 12-Feb-2015

292 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Artikel ini membahas rangkuman mengenai tanda dan gejala disleksia pada anak

TRANSCRIPT

Page 1: Tanda dan Gejala Disleksia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hak seluruh warga Indonesia. Mendapatkan

pendidikan yang layak dan bermutu diperlukan bagi peningkatan

kualitas hidup setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Pendidikan bahasa adalah salah satu pendidikan dasar yang sangat

penting untuk didapatkan oleh setiap orang terutama anak-anak.

Kemampuan berbahasa yang baik dapat menuntun anak-anak dalam

menguasai kegiatan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar.

Namun, tidak semua orang di dunia ini dapat mengikuti kegiatan

belajar secara umum. Ada beberapa dari sebagian anak mengalami

kesulitan belajar, sehingga menghambat proses pembelanjaran ke

jenjang selanjutnya. Selain itu, anak akan mengalami kesulitan dalam

bersosialisasi dengan lingkungannya.

Gambar I.1 Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Salah satu kesulitan belajar yang dapat mempengaruhi kegiatan

berbahasa adalah disleksia. Keadaan disleksia ini seringkali sulit

terdiagnosis oleh orangtua, keluarga maupun guru di sekolah. Istilah

disleksia bisa jadi tidak sepopuler autisme, tetapi masalah disleksia

sama sulitnya seperti autisme. Orangtua akan memiliki pandangan

1

Page 2: Tanda dan Gejala Disleksia

yang sama dengan lingkungan sekitar, yakni menganggap anak

bodoh atau malas. Sehingga tak jarang anak dengan disleksia akan

dibedakan dengan kakak atau adik mereka yang terlihat lebih pintar.

Hal ini akan membuat anak disleksia menjadi seseorang yang

memiliki rasa percaya diri rendah, mengisolasi diri sehingga hanya

memiliki sedikit teman bahkan tidak memiliki teman.

Gambar I.2 Bentuk Kesalahpahaman Orang Tua Terhadap Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Meskipun penderita disleksia memiliki kelebihan dibidang lain

seperti seni atau musik. Penderita disleksia akan melihat dirinya

sebagai seorang yang berbeda dari teman sebayanya, membuat

mereka meragukan kelebihannya. Bersosialisasi dengan lingkungan

sekitar akan menjadi hal yang sama menakutkannya dengan belajar

di kelas atau belajar di rumah bersama orang tua. Hal tersebut juga

dapat memicu anak untuk menghindar dari kegiatan belajar di sekolah

dan melakukan hal lain yang lebih menyenangkan daripada mengikuti

kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah yang sulit

untuk dimengerti, sehingga anak akan diberi label “nakal” oleh

lingkungan sekolah ataupun orang tua.

Tidak ada kata sembuh untuk orang dengan disleksia. Hanya saja,

seiring waktu tanda dan gejalanya akan semakin samar. Saat mereka

berhasil menemukan cara lain untuk membaca, menulis, dan

berbicara, disleksia tidak akan menjadi hambatan bagi mereka untuk

2

Page 3: Tanda dan Gejala Disleksia

bisa bersaing, karena kemampuan intelegensi mereka normal atau

bahkan diatas rata-rata. Karena itu, disleksia menjadi sangat penting

untuk diketahui masyarakat terutama para orang tua dalam

memahami tanda dan gejala disleksia pada anak. Penanganan sejak

dini diharapkan dapat memperbaiki kondisi yang dialami penderita

disleksia sebagai bentuk perhatian orang tua agar anak disleksia

tetap memiliki semangat dan rasa percaya diri dalam mencapai

impiannya.

1.2 Identifikasi Masalah

Sosialisasi mengenai keberadaan gangguan disleksia di Indonesia

masih belum menyeluruh.

Kepedulian masyarakat Indonesia tentang kesehatan masih sangat

minim.

Kurangnya peran serta orang tua dalam mengevaluasi kegiatan

belajar anak.

1.3 Fokus Masalah

Pembahasan ini akan difokuskan kepada tanda dan gejala disleksia

pada anak beserta cara penanganannya untuk saat ini.

1.4 Batasan Masalah

Melihat penjelasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

penelitian ini akan dibatasi dan disesuaikan dengan permasalahan

yang akan diteliti, yakni:

Tanda dan gejala disleksia pada anak.

Bentuk dukungan serta tindakan nyata orang tua dan kalangan

pendidik dalam menangani anak disleksia.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gangguan disleksia

pada anak-anak berupa tanda, gejala beserta penanganannya agar

dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat terutama orang tua.

3

Page 4: Tanda dan Gejala Disleksia

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.

Pencarian data yang dilakukan melalui 3 tahapan yakni:

a. Studi Pustaka

Sebagai landasan teori dalam penelitian ini, definisi, karakteristik,

gejala, dan penanganan anak disleksia diambil dari buku “Apa itu

Disleksia? Panduan Untuk Ibu Bapa, Guru, & Kaunselor.” karya

Sheila Devaraj dan Samsilah Roslan. Kemudian sebagai bahan

pelengkap dalam pemahaman dan penanganan orang tua

terhadap anak disleksia, buku pendukung yang digunakan yaitu

“Dyslexia Pocketbook” karya Julia Bennett.

b. Pencarian Data di Internet

Melakukan pencarian melalui mesin telusur “Google” dengan kata

kunci “Dyslexia, Disleksia, Kesulitan Belajar, Gangguan pada

anak, Learning Disability, Learning Disorder”

c. Wawancara

Melakukan wawancara kepada Kristiantini Dewi,dr.,SpA selaku

dokter spesialis anak pada child development center atau layanan

klinik tumbuh kembang anak di Santosa Hospital Bandung. Selain

itu wawancara juga dilakukan kepada para orang tua yang

memiliki peran dalam mengasuh dan mendidik anak disleksia.

4

Page 5: Tanda dan Gejala Disleksia

BAB II

DISLEKSIA

2.1 Pengertian Disleksia

Kata “disleksia” berasal dari bahasa Yunani, yakni “dys” kesulitan

dan “lexis” huruf atau leksikal, disleksia mengacu pada orang yang

mengalami kesulitan mengenal huruf dan kata yang kemudian

mempengaruhi kemampuan membaca dan mengeja. Disleksia

merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar yang paling sering

ditemui. Oleh sebab itu secara tidak langsung gangguan disleksia

dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menuliskan buah

pikirannya.

Gambar II.1 Visualisasi Buah Pikiran Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Disleksia bukan disebabkan oleh keterbelakangan intelektual,

kerusakan indra, dan faktor emosional. Selain itu gangguan disleksia

juga bukan disebabkan oleh faktor eksternal misalnya lingkungan atau

sebab-sebab sosial. Secara umum, disleksia dipahami sebagai akibat

neurologis (cabang ilmu kedokteran yang menangani kelainan saraf),

dimana beberapa bagian otak tidak bekerja secara efisien untuk

memproses bahasa yang tertulis.

Hingga saat ini para ahli neurologis belum dapat mengetahui

bagaimana otak manusia berfungsi secara keseluruhan tetapi untuk

5

Page 6: Tanda dan Gejala Disleksia

beberapa kawasan otak manusia, sudah dapat dikenali fungsinya

secara pasti. Meskipun setiap kawasan memiliki fungsinya tersendiri,

namun demikian setiap kawasan di dalam otak, berkaitan antara satu

sama lain. Hemisfera pada otak manusia terdiri dari dua bagian yang

dihubungkan oleh saraf penghubung, saraf itu dikenal sebagai

“corpus collosum”. Himesfera sebelah kiri didominasi oleh kegiatan

yang bersifat (verbal, logical, and controling half) sedangkan

himesfera dibagian kanan didominasi oleh aktifitas (non-verbal,

practical, and intuitive). Kemudian kawasan wernickle dan kawasan

broca menjadi bagian utama saat seseorang melakukan

pemprosesan bahasa. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).

Gambar II.2 Hemisfera Otak Manusia Tampak Atas

(Sumber: Buku “Apakah Itu Disleksia?”)

Gambar II.3 Himesfera Otak Manusia Tampak Samping

(Sumber: Buku “Apakah Itu Disleksia?”)

6

Page 7: Tanda dan Gejala Disleksia

Pada umumnya, saat manusia melakukan kegiatan yang bersifat

verbal atau pemprosesan bahasa, aktifitas pada himesfera bagian kiri

akan tampak lebih kecil daripada hemisfera bagian kanan. Namun hal

itu sangat berbeda dengan aktifitas orang yang mengidap gangguan

disleksia dimana aktifitas himesfera di kedua bagian menjadi sama

besar. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).

Hal tersebut memberikan gambaran kepada para ahli neurologis

bahwa anak disleksia membutuhkan proses yang lebih lama dalam

membedakan tampilan tulisan yang memiliki kesamaan dan bersifat

dua dimensi seperti huruf “b” dengan “d”. Kemudian mencoba

berhenti mengidentifikasi huruf dikarenakan keletihan yang

diakibatkan semakin terpusatnya proses perpindahan di dalam saraf

penghubung. sehingga proses penginformasian antar sarafnya

menjadi sangat lama serta tidak jelas arahnya. (Hornsby dalam

Devaraj, 2006).

Berikut adalah hasil scanning FMRI (functional Magenetic

Resonance Imaging) berupa tampilan kegiatan otak manusia saat

melakukan pemprosesan verbal antara anak normal dengan anak

disleksia. Anak disleksia sangat mudah merasakan kelelahan karena

efektifas yang dilakukan otaknya lebih rumit dalam melakukan

kegiatan verbal. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).

Gambar II.4 Perbandingan Isyarat Syaraf

7

Page 8: Tanda dan Gejala Disleksia

(Sumber: Buku “Apakah Itu Disleksia?”)

Banyak ahli yang mengemukakan pengertian disleksia antara lain:

a. Disleksia sebagai gangguan kesulitan membaca pada anak yang

memiliki kecerdasan normal dan bermotivasi cukup. Latar budaya

penderita disleksia juga memadai dan berkesempatan

memperoleh pendidikan (Guszak dalam Imandala, 2009).

b. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari

komponen-komponen data dan kalimat, yang secara historis

menunjukan perkembangan bahasa yang lambat dan hampir

selalu bermasah dalam menulis dan mengeja serta kesulitan

dalam mempelajari sistem berurutan atau pengulangan seperti

waktu , arah, dan masa (Bryan dan Mercer dalam Imandala,

2009).

c. Disleksia adalah bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis

terutama belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan

pikiran secara tertulis, memanfaatkan kesempatan bersekolah

dengan normal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam

mata pelajaran lainya (Corsini dalam Imandala, 2009).

d. Disleksia merujuk pada kesulitan membaca baik itu penglihatan

atau pendengaran. Intelegensinya normal dan usia keterampilan

bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor

neurologis yang bersifat biologis. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).

Diantara sekian banyak definisi, ada kesamaan secara umum

mengenai definisi dan penjelasannya yang disusun ke dalam empat

bagian yaitu:

a. Disleksia memiliki dasar biologis atau keturunan.

b. Masalah disleksia bertahan hingga dewasa.

c. Disleksia memiliki kepekaan panca indera, pola pikir dan bahasa.

d. Disleksia mengarah pada ganguan berbahasa yang di akibatkan

sebagian fungsi otak tidak bekerja secara baik.

8

Page 9: Tanda dan Gejala Disleksia

2.1.1 Karakteristik Anak Disleksia

Karakteristik anak disleksia sangat bervariasi, tergantung dari

gangguan yang menyertainya (Shodiq dalam imandala, 2009), berikut

adalah ciri-ciri anak yang mengalami gangguan disleksia adalah

sebagai berikut:

a. Ketidak akuratan dalam membaca seperti membaca lambat kata

demi kata jika dibandingkan dengan anak seusianya, intonasi

suara turun naik tidak teratur.

b. Tidak dapat ,mengucapkan irama perkataan secara benar dan

proporsional.

c. Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara

“kuda” dengan “daku”.

d. Sering mengulangi dan menebak kata-kata atau frasa.

e. Ketidakberaturan dalam mengolah kata yang hanya memiliki

sedikit perbedaan misalnya “buah” dan “bau”.

f. Kesulitan dalam memahami isi cerita/teks yang dibacanya.

g. Kesulitan dalam mengurutkan huruf dan kata.

h. Kesulitan dalam menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan

memadukannya menjadi sebuah kata.

i. Kesulitan dalam mengeja. Kemungkinan besar anak akan

mengeja satu kata dengan bermacam-macam ucapan.

j. Membaca satu kata dengan benar di satu halaman namun salah

di halaman lainya.

k. Kesulitan dalam penulisan kata seperti terbalik dalam menuliskan

atau mengucapkan kata. Misalnya, “kucing duduk diatas kursi”

menjadi “kursi duduk di atas kucing”.

l. Kesulitan dalam menggunakan kata-kata yang singkat, misalnya

“ke”, “dari”, “dan”, “jadi”.

m. Lupa memetakan titik dan tanda baca lainya.

9

Page 10: Tanda dan Gejala Disleksia

Berikut ini adalah bentuk-bentuk kesulitan membaca pada anak yang

mengalami gangguan disleksia (subini dalam Imandala, 2009):

a. Melakukan penambahan huruf dalam suku kata (addition),

misalnya “batu” menjadi “baltu”.

b. Menghilangkan huruf dalam suku kata (ommition), misalnya

“masak” menjadi “masa”.

c. Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri atau

kanan (inversion/mirroring), misalnya ‘dadu” menjadi “babu”.

d. Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik

atas atau bawah (reversal), misalnya “papa” menjadi “qaqa”.

e. Mengganti huruf atau angka (substitution), misalnya “lupa” menjadi

“luga”, dan “3” menjadi “8”.

Gambar II.5 Tulisan Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Penyandang disleksia tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang

berbeda dengan orang normal. Disleksia sebagai ketidakmampuan

belajar khusus (specific learning Disability) ini biasanya baru

terdeteksi setelah penyandang disleksia, memasuki dunia sekolah.

Masalah tersebut tampak saat anak-anak mulai menerima atau

mengirim bahasa dalam kegiatan komunikasi. Kegiatan berbahasa

dalam konsep komunikasi ini dibagi kedalam aspek, empat yakni

(bennet, 2006):

10

Page 11: Tanda dan Gejala Disleksia

Encoding atau pengubahan pesan baik itu lambang, atau bahasa

kedalam bentuk lisan terjadi ketika menuturkan kembali pesan

menjadi bahasa lisan dikenal dengan istilah berbicara. Sebagai

contoh ketika menyebutkan huruf yang membentuk kata topi, yaitu

t, o, p, dan i.

Decoding atau menerima sebuah pesan baik itu lambang, atau

bahasa kedalam bentuk lisan terjadi ketika menerima bentuk

tulisan menjadi bahasa lisan dikenal dengan istilah menyimak.

Reading fluency atau kelancaran dalam membaca, terjadi ketika

mengenali kata demi kata dengan cepat, membaca kalimat atau

wacana yang lebih panjang sehingga dapat dengan mudah

menghubungkannya. Kemampuan ini mengindikasikan bahwa

anak mengerti materi yang dibacanya.

Comprehension atau pemahaman terjadi ketika memahami arti

bacaan.

2.1.2 Faktor Penyebab atau Etimologi

Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis (Hornsby dalam

Devaraj, 2006), faktor-faktornya adalah sebagai berikut:

a. Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh

Grigorenko menghasilkan 20-65% anak disleksia juga memiliki

orang tua yang mengalami gangguan serupa.

b. Masalah dalam pergerakan neuron (saraf), penelitian ini dilakukan

oleh Simos yang menunjukan bahwa anak disleksia memiliki pola

aktifitas yang berbeda dengan anak normal biasanya yang

menggunakan hemisfer (bagian otak) kiri sedangkan anak

disleksia hemisfer kanan.

c. Pengaruh hormon prenatal atau kromosom.

2.2 Membaca dan Pemahaman Membaca

11

Page 12: Tanda dan Gejala Disleksia

Menurut Lim Imandala dalam situsnya http://pendidikankhusus.

wordpress.com yang diakses pada tanggal [23 Januari 2013]. Seorang

ahli membaca, steve Stahl (Santrock, 2006), mengemukakan ada tiga

tujuan utama dalam instruksi membaca yakni, pertama membantu

anak mengenali kata-kata secara otomatis. Kedua, memahami teks

bacaan dan yang ketiga membuat seseorang termotivasi untuk

membaca dan menghargai bacaan. Ketiga jika anak tidak mengerti

bacaan, maka anak tidak akan termotivasi untuk membacanya.

Gambar II.6 Hilangnya Motivasi Membaca Pada Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Analisis terkini dari Rich Mayer (Santrock, 2006), bahwa ada

proses kognitif yakni proses kepercayaan seseorang tentang sesuatu

yang didapatkan dari proses berpikir untuk membaca kata-kata yang

tercetak, prosesnya adalah:

a. Sadar akan unit suara dalam kata-kata, dimana terdiri dari

“mengenal, menghasilkan, dan memanupulasi fonem”.

b. Decoding word, artinya mengubah kata-kata yang tercetak dalam

suara.

c. Dapat mengakses arti kata, artinya dapat mendefinisikan arti kata

dalam memori.

Membaca adalah suatu proses yang berkembang sejak manusia

lahir, dari tidak menguasai hingga benar-benar memahami. Sebelum

12

Page 13: Tanda dan Gejala Disleksia

itu ada tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang anak sepanjang

mereka belajar membaca (Lerner dalam Imandala, 2009), yakni

sebagai berikut:

a. Logographic reading. Pada tahapan ini, anak mulai mengenali

kosakata yang terbatas dari seluruh kata melalui isyarat yang tidak

disengaja misalnya sebuah logo, gambar, warna, atau bentuk.

Sebagai contoh, orang tua yang memiliki anak pada tahapan ini

mungkin menemukan bahwa anak dapat memutuskan untuk

memakan makanan yang diinginkanya dikarenakan sebuah iklan

yang menunjukan merek yang mereka kenal. Pada awal tahap ini,

anak tidak dapat mengasosiasikan suara dengan simbol atau

menyadari bahwa kata yang diciptakan oleh fonem atau kata yang

disuarakan.

b. Early alphabetic. Untuk dapat berkembang dalam membaca, anak

perlu memahami wawasan dari tulisan alfabet yang

merepresentasikan fonem. Pada tahap ini, anak menggunakan

tulisan alfabet untuk menulis kata-kata. Sebagai contoh anak

mungkin menulis PTZU untuk pizza.

c. Mature Alphabetic reading. Pada tahap ini, anak mengetahui

asosiasi pengejaan dengan suaranya, anak juga dapat

menggunakannya untuk menguraikan pada kata-kata yang

sederhana.

d. Orthographic stages: Recognizing syllables and morphemes. Pada

tahap ini, anak menggunakan analogi kata yang diketahui

sebelumnya untuk membaca kata yang baru, misalnya “perang”,

“serang”.

e. Gaining fluency. Pada tahapan ini anak mulai mudah untuk

membaca materi.

2.3 Fluency dalam Pemahaman Membaca Anak Disleksia

Sebelumnya dijelaskan bahwa anak disleksia memiliki kecerdasan

rata-rata bahkan ada yang diatas rata-rata. Artinya, anak disleksia

13

Page 14: Tanda dan Gejala Disleksia

seharusnya tidak memiliki kesulitan ketika belajar membaca. Namun

dalam kenyataanya meskipun cerdas dan kemampuan berbicara

cukup lancar, anak disleksia tetap memiliki hambatan dalam belajar

membaca terutama dalam masalah pemahaman.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan tujuan akhir dari

membaca. Memahami materi yang dibaca dari susunan huruf yang

tercetak menjadi tujuan utama dari proses pengambilan informasi

yang dilihat oleh anak. Sebagai sebuah kemampuan yang

mengantarkan anak pada pemahaman, yakni fluency. Didalam

kegiatan membaca fluency didefinisikan sebagai kemampuan

mengenali kata dengan cepat, membaca kalimat dalam bacaan yang

lebih panjang dengan cara yang mudah sebagai indikasi pemahaman

materi bacaan atau reading comprehension (Lerner dalam Imandala,

2009).

Gambar II.7 Dukungan Orang Tua Pada Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Penangan dini yang dilakukan oleh orang-orang terdekat terhadap

penderita disleksia sebenarnya dapat membantu meminimalisir

hambatan anak dalam memahami materi bacaan. Pemberian program

linguistik yang memuaskan kepada semua anak dan terus melakukan

latihan, maka semakin banyak anak membaca akan semakin besar

kemungkinannya untuk menjadi pembaca yang baik. Orang tua

menjadi sangat penting perananya dalam memposisikan anak

14

Page 15: Tanda dan Gejala Disleksia

tertutama anak yang mengalami gangguan disleksia agar mau tetap

berlatih membaca dengan berbagai macam cara yang dianjurkan.

BAB III

TANDA DAN GEJALA DISLEKSIA

3.1 Tanda dan Gejala Disleksia Pada Anak

Disleksia merupakan gangguan yang berbasis neurologis. Cara

mereka membaca ”tidak sama” dengan otak individu yang tidak

mengalami disleksia. Masalah utama yang timbul hanya yang terkait

dengan membaca, mengeja dan menulis. Kesulitan lain yang

mengikuti, antara lain, kesulitan konsentrasi, daya ingat jangka

pendek kurang, tidak terorganisasir, dan kesulitan dalam menyusun

atau mengurutkan sesuatu.

Oleh karena itu, tanda dan gejala yang muncul untuk mendukung

diagnosis disleksia pada anak akan berkaitan dengan kesulitan dalam

membaca, mengeja dan menulis. Sedangkan tanda dan gejala lain

yang timbul di luar hal tersebut merupakan kesulitan lain yang

mengikuti dikarenakan anak disleksia mengalami kesulitan dalam

membaca, mengeja dan menulis. Sehingga, anak dengan disleksia

dapat dibedakan dari anak dengan gangguan pemusatan perhatian

dan hiperaktivitas, autisme atau anak dengan keterbelakangan

mental.

3.1.1 Tanda Anak Disleksia

Menurut Ronald Davis dalam situsnya http://www.dyslexia.com/ yang

diakses pada tanggal [21 Januari 2013]. Berikut ini adalah tanda-

tanda disleksia yang mungkin dapat dikenali oleh orang tua atau guru:

A. General

Tingkat intelegensi tinggi tetapi tidak dapat membaca, menulis

atau mengeja pada level dasar.

Memiliki kemampuan pada bidang drama, musik, olahraga,

mesin, bercerita, bisnis, designing, building dan engineering.

15

Page 16: Tanda dan Gejala Disleksia

Lebih mudah untuk mempelajari sesuatu secara langsung

dengan tangan sendiri, demonstrasi, bereksperimen dan

observasi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak disleksia cenderung aktif

dalam mengenal sesuatu dengan caranya sendiri. Disisi lain anak

yang menderita gangguan disleksia lebih paham atau menguasai

sesuatu diatas rata-rata orang normal.

B. Membaca, mengeja dan menulis

Sangat lambat kemajuannya dalam ketrampilan membaca.

Sulit menguasai / membaca kata-kata baru.

Kesulitan melafalkan kata kata yang baru dikenal.

Kesulitan membaca kata-kata singkat seperti : di, pada, ke

Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan ganda.

Kesulitan mengeja.

Membaca sangat lambat dan melelahkan.

Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya

antara “kuda” dengan “daku”.

Melakukan penambahan huruf dalam suku kata (addition),

misalnya “batu” menjadi “baltu”.

Menghilangkan huruf dalam suku kata (ommition), misalnya

“masak” menjadi “masa”.

Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri

atau kanan (inversion/mirroring), misalnya ‘dadu” menjadi

“babu”.

Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah

terbalik atas atau bawah (reversal), misalnya “papa” menjadi

“qaqa”.

Mengganti huruf atau angka (substitution), misalnya “lupa”

menjadi “luga”, dan “3” menjadi “8”.

Sulit dalam menggunakan alat tulis.

Tulisan tangan berantakan.

16

Page 17: Tanda dan Gejala Disleksia

Lupa memetakan titik dan tanda baca lainya.

Dalam bidang akademis terutama yang berkaitan dengan kegiatan

tekstual seperti membaca, menulis dan mengeja, anak disleksia jauh

tertinggal dengan anak-anak normal lainya.

C. Mendengar dan berbicara

Mudah terganggu oleh suara.

Telat berbicara. Pada umur dua tahun, misalnya, anak baru

dapat mengucapkan satu atau dua patah kata.

Kesulitan mencerna serta mengikuti beberapa instruksi yang

disampaikan secara verbal, cepat, dan berurutan.

Berbicara dengan kalimat yang tidak lengkap.

Dengan kata lain anak disleksia sangat sulit berkonsentrasi saat

mendengar suara. Ketidaktahuan masyarakat akan gangguan ini akan

membuat anak disleksia mendapatkan label nakal yang terkesan

seenaknya.

D. Matematika dan manajemen waktu

Kesulitan dalam menyebutkan waktu, mengatur waktu ataupun

melakukan sesuatu dengan tepat waktu.

Kesulitan dalam melakukan penghitungan diatas kertas. Lebih

pintar jika menghitung dengan menggunakan tangan atau trik

lain yang tidak berkaitan dengan tulis menulis.

Dapat menghitung, tetapi memiliki kesulitan dalam menghitung

objek atau berurusan dengan uang.

Anak disleksia bukanlah tidak dapat melakukan perhitungan

matematika, hanya saja mereka memiliki caranya sendiri dalam

meyelesaikan persoalan tersebut. Sebagai pendidik ada baiknya

untuk tidak memaksakan anak disleksia ketika mengajarkan

perhitungan menggunakan metode konvesional. Kesabaran tenaga

pendidik pun sangat dibutuhkan dalam menangani anak disleksia

17

Page 18: Tanda dan Gejala Disleksia

yang membutuhkan waktu lebih dalam proses berhitung terutama

yang bersifat soal cerita.

Gambar III.1 Metode Alternatif Pembelajaran Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

E. Ingatan dan pengetahuan

Ingatan yang buruk atau lemah terhadap informasi yang tidak

pernah dialami sebelumnya.

Pertama kali berpikir, yang diingat adalah gambar dan

perasaan, bukan suara atau kata.

Anak disleksia memiliki perasaan yang sangat sensitif, kemudian

anak disleksia sangat tertarik dengan hal-hal yang bersifat visual.

Maka tampilan visual yang baik dapat digunakan sebagai alat dalam

menyampaikan informasi terhadap anak disleksia.

F. Perilaku, kesehatan, perkembangan dan kepribadian

Terlihat pendiam, banyak berulah, malas atau tidak pernah

berusaha keras.

Biasanya memiliki perkembangan yang lamban (berbicara,

berjalan, mengikat tali sepatu)

Sensitif terhadap makanan dan produk kimiawi.

Memiliki rasa keadilan yang tinggi, sensitif secara emosional

dan selalu berusaha mencapai kesempurnaan.

18

Page 19: Tanda dan Gejala Disleksia

Kesalahan akan sering muncul secara dramatis manakala anak

dalam keadaan bingung, diburu oleh waktu, stres secara

emosional atau kesehatan yang menurun.

Secara kasat mata sangatlah sulit membedakan anak normal

dengan anak yang mengalami disleksia. Namun jika orang tua mau

mengikuti proses perkembangan anak dengan baik maka mereka

akan mengerti, kesulitan apa saja yang dialami sang anak. Melakukan

konsultasi kepada para ahli terutama yang berkaitan dengan tumbuh

dan kembang pada anak sangatlah dianjurkan, agar dalam

menanganinya pun tidak akan begitu sulit karena telah mengetahui

sebab-sebab ganguan yang terdapat pada anak.

3.1.2 Gejala Anak Disleksia

Menurut Kristiani Dewi S.pA selaku dokter spesialis anak, gejala

yang timbul pada anak disleksia cenderung sulit untuk diketahui

karena biasanya hal ini tidak akan disampaikan secara langsung oleh

anak yang menderita disleksia kepada orang tua, guru ataupun

tenaga kesehatan yang mereka temui. Gejala tersebut antara lain:

Mengeluh pusing, nyeri kepala atau sakit perut saat membaca.

Mengeluh melihat atau merasakan gerakan-gerakan yang

sebenarnya tidak ada saat membaca, menulis atau menyalin.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak disleksia membutuhkan

perhatian lebih, terutama disaat mereka melakukan kegiatan

membaca. Menemani dan memberikan semangat kepada mereka

sangatlah diperlukan, kemudian memberikan banyak waktu untuk

beristirahat dan sedikit kesempatan untuk melakukan kegiatan yang

mereka senangi. Orang tua pun meski memiliki kepintaran, dalam

memilih permainan yang mereka gunakan agar tetap menunjang

faktor tumbuh dan kembang anak.

3.2 Bentuk Dukungan dan Tindakan Nyata Pada Anak Disleksia

19

Page 20: Tanda dan Gejala Disleksia

Kristiani Dewi S.pA mengutarakan bahwa hal yang paling penting

pada disleksia adalah “kapan dan bagaimana orag tua harus bereaksi

ketika mereka melihat ada sesuatu yang tidak benar dalam kondisi

akademis dan perilaku anak mereka?”. Penolakan orang tua terhadap

kesulitan dalam membaca, mengeja dan menulis pada anak mereka

adalah hal yang paling sering dilakukan oleh orang tua, sekalipun

mereka mengetahui bahwa hal tersebut terjadi pada anak mereka.

Hal ini terjadi karena anak dianggap masih dalam proses belajar yang

mana hal tersebut akan berbeda bagi tiap individu.

Tidak jarang orang tua dari anak dengan disleksia akan mencari

pertolongan atau memeriksakan anaknya kepada petugas kesehatan

ketika kondisi mereka sudah parah bahkan, anak sudah mengalami

stress hingga depresi. Hal ini terjadi karena orang tua tidak mengenali

atau bahkan terlambat mengenali bahwa kesulitan belajar yang

dialami oleh anak mereka adalah disleksia. Sehingga prestasi

akademis anak akan terus menurun, anak kesulitan dalam ujian,

mendapat stigma negatif, diganggu (bullying), serta kesulitan dalam

kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan membaca dan

menulis.

Gambar III.2 Stigma Negatif Terhadap Anak Disleksia

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Mengingat demikian ”kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka

sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya

20

Page 21: Tanda dan Gejala Disleksia

menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera

membawa anaknya berkonsultasi kepada tenaga medis profesional

yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini

dikenali, semakin ”mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan

sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.

Peran orang tua tidak hanya berhenti hingga anak tersebut

didiagnosis oleh dokter serta psikolog menderita disleksia. Peran

orang tua juga sangat dibutuhkan untuk membantu anak melewati

proses belajar. Meskipun banyak orang tua yang menerima

sepenuhnya keadaan disleksia yang dialami anaknya, banyak pula

orang tua yang merasa stres. Pemicu stres yang paling umum adalah

mereka mulai memikirkan rencana belajar ulang anak mereka yang

akan menyita waktu para orang tua, pekerjaan rumah yang harus

mereka selesaikan setiap harinya, serta kewajiban untuk mengurus

anak-anak mereka yang lain.

Hal-hal tersebut diatas akan mempengaruhi orang tua dalam

keterlibatan serta pemberian dukungan pada anak dengan disleksia

yang justru sangat dibutuhkan. Karena bagaimana pun, keadaan

disleksia ini bukanlah penyakit yang dapat sembuh jika diobati namun

gangguan yang bersifat permanen.

Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu

keadaan yang menetap dan kronis. ”Ketidak mampuannya” di masa

anak yang nampak, seperti ”menghilang” atau ”berkurang” di masa

dewasa bukanlah karena disleksia tersebut telah sembuh namun,

karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi

kesulitan yang diakibatkan oleh keadaan disleksia tersebut.

Melihat keadaan tersebut, maka muncul beragam terapi alternatif

yang diberikan kepada orang tua anak disleksia. Padahal, semestinya

anak hanya boleh mendapatkan terapi berbasis bukti (evidence based

therapy). Tetapi, beragam alternatif tersebut sebenarnya mengacu

pada tiga model strategi pembelajaran yang terdiri dari metode

multisensori, metode fonik (bunyi), dan metode linguistik.

21

Page 22: Tanda dan Gejala Disleksia

Metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual

(kemampuan penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran),

kinestetik (kesadaran pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak.

Metode Fonik atau Bunyi memanfaatkan kemampuan auditori dan

visual anak dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyinya.

Misalnya, huruf B dibunyikan eb, huruf C dibunyikan dengan ec.

Adapun Metode Linguistik adalah mengajarkan anak mengenal kata

secara utuh. Cara ini menekankan pada kata-kata yang bermiripan.

Penekanan ini diharapkan dapat membuat anak mampu

menyimpulkan sendiri pola hubungan antara huruf dan bunyinya.

Gambar III.3 Metode Fonik

(Sumber: Film Taare Zameen Par)

Menerapkan model strategi pembelajaran tersebut diatas pada

proses belajar anak disleksia diharapkan dapat membantu anak

disleksia memahami apa yang tidak mereka pahami. Namun, terdapat

beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan kepada anak disleksia

sehingga, proses “penyamaran ketidakmampuan” yang terjadi akan

lebih maksimal, hal tersebut antara lain:

Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak

disleksia antara orang tua dan guru.

Anak duduk di barisan paling depan di kelas.

22

Page 23: Tanda dan Gejala Disleksia

Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan

tugas, misalnya guru meminta membuka sebuah halaman,

pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain.

Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat

menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu

untuk menyiapkan latihan. Anak disleksia yang sudah

menunjukkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus

diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu

diseling dengan waktu istirahat yang cukup.

Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak

duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan

murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’

dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis

huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh

begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan

murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama

berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o,

d, a, s, q”, bentuk zig zag:”k, v, x, z”, bentuk linear:”J, t, l, u, y, j”,

bentuk hampir serupa:”r, n, m, h”.

Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda

ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan

mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.

Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai

cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika.

Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka

merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan

mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi

jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat

”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa

anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak

percaya diri.

23

Page 24: Tanda dan Gejala Disleksia

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam menangani disleksia orang tua dan guru seyogyanya adalah

orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya,

memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang

diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali sekali membandingkan

anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak

mengalami gangguan disleksia. Disadari atau tidak itu bisa terjadi

pada siapa saja. Meskipun sulit dalam mengenali anak disleksia

orang tua dapat berkonsultasi dengan para ahli terutama mereka

yang menangani kegiatan tumbuh dan kembang anak. Meninggalkan

cara-cara klasik atau konvesional adalah bagian yang terpenting

dalam mendukung kegiatan belajar anak disleksia. Selalu mencari

informasi dan berpartisipasi dalam forum-forum yang membahas

gangguan disleksia juga sangat dianjurkan agar orang tua tidak putus

asa dalam memberikan motivasi serta dukungan nyata terhadap anak

disleksia.

4.2 Solusi Yang Bisa Dilakukan

Gangguan disleksia memang bersifat permanen atau dengan kata

lain tidak dapat disembuhkan. Namun orang tua tak dapat menutup

mata akan kelebihan yang mereka miliki dalam kesehariannya. Meski

lemah dibidang akademis terutama yang berkaitan dengan kegiatan

membaca, mereka dapat diarahkan untuk tetap beraktifitas seperti

mengenalkan anak dengan metode pembelajaran yang menarik dan

tidak membosankan, terdapat unsur-unsur permainan didalamnya dan

lebih mengedepankan visual serta audio. Adapun cara umum dimana

mereka dapat dididik melalui sekolah khusus yang mengedepankan

24

Page 25: Tanda dan Gejala Disleksia

bakat yang dimiliki anak dan mengenalkan metode-metode khusus

dalam menangani kegiatan belajar bagi anak disleksia.

25