tanda dan gejala disleksia
DESCRIPTION
Artikel ini membahas rangkuman mengenai tanda dan gejala disleksia pada anakTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hak seluruh warga Indonesia. Mendapatkan
pendidikan yang layak dan bermutu diperlukan bagi peningkatan
kualitas hidup setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali.
Pendidikan bahasa adalah salah satu pendidikan dasar yang sangat
penting untuk didapatkan oleh setiap orang terutama anak-anak.
Kemampuan berbahasa yang baik dapat menuntun anak-anak dalam
menguasai kegiatan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar.
Namun, tidak semua orang di dunia ini dapat mengikuti kegiatan
belajar secara umum. Ada beberapa dari sebagian anak mengalami
kesulitan belajar, sehingga menghambat proses pembelanjaran ke
jenjang selanjutnya. Selain itu, anak akan mengalami kesulitan dalam
bersosialisasi dengan lingkungannya.
Gambar I.1 Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Salah satu kesulitan belajar yang dapat mempengaruhi kegiatan
berbahasa adalah disleksia. Keadaan disleksia ini seringkali sulit
terdiagnosis oleh orangtua, keluarga maupun guru di sekolah. Istilah
disleksia bisa jadi tidak sepopuler autisme, tetapi masalah disleksia
sama sulitnya seperti autisme. Orangtua akan memiliki pandangan
1
yang sama dengan lingkungan sekitar, yakni menganggap anak
bodoh atau malas. Sehingga tak jarang anak dengan disleksia akan
dibedakan dengan kakak atau adik mereka yang terlihat lebih pintar.
Hal ini akan membuat anak disleksia menjadi seseorang yang
memiliki rasa percaya diri rendah, mengisolasi diri sehingga hanya
memiliki sedikit teman bahkan tidak memiliki teman.
Gambar I.2 Bentuk Kesalahpahaman Orang Tua Terhadap Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Meskipun penderita disleksia memiliki kelebihan dibidang lain
seperti seni atau musik. Penderita disleksia akan melihat dirinya
sebagai seorang yang berbeda dari teman sebayanya, membuat
mereka meragukan kelebihannya. Bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar akan menjadi hal yang sama menakutkannya dengan belajar
di kelas atau belajar di rumah bersama orang tua. Hal tersebut juga
dapat memicu anak untuk menghindar dari kegiatan belajar di sekolah
dan melakukan hal lain yang lebih menyenangkan daripada mengikuti
kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah yang sulit
untuk dimengerti, sehingga anak akan diberi label “nakal” oleh
lingkungan sekolah ataupun orang tua.
Tidak ada kata sembuh untuk orang dengan disleksia. Hanya saja,
seiring waktu tanda dan gejalanya akan semakin samar. Saat mereka
berhasil menemukan cara lain untuk membaca, menulis, dan
berbicara, disleksia tidak akan menjadi hambatan bagi mereka untuk
2
bisa bersaing, karena kemampuan intelegensi mereka normal atau
bahkan diatas rata-rata. Karena itu, disleksia menjadi sangat penting
untuk diketahui masyarakat terutama para orang tua dalam
memahami tanda dan gejala disleksia pada anak. Penanganan sejak
dini diharapkan dapat memperbaiki kondisi yang dialami penderita
disleksia sebagai bentuk perhatian orang tua agar anak disleksia
tetap memiliki semangat dan rasa percaya diri dalam mencapai
impiannya.
1.2 Identifikasi Masalah
Sosialisasi mengenai keberadaan gangguan disleksia di Indonesia
masih belum menyeluruh.
Kepedulian masyarakat Indonesia tentang kesehatan masih sangat
minim.
Kurangnya peran serta orang tua dalam mengevaluasi kegiatan
belajar anak.
1.3 Fokus Masalah
Pembahasan ini akan difokuskan kepada tanda dan gejala disleksia
pada anak beserta cara penanganannya untuk saat ini.
1.4 Batasan Masalah
Melihat penjelasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
penelitian ini akan dibatasi dan disesuaikan dengan permasalahan
yang akan diteliti, yakni:
Tanda dan gejala disleksia pada anak.
Bentuk dukungan serta tindakan nyata orang tua dan kalangan
pendidik dalam menangani anak disleksia.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gangguan disleksia
pada anak-anak berupa tanda, gejala beserta penanganannya agar
dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat terutama orang tua.
3
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Pencarian data yang dilakukan melalui 3 tahapan yakni:
a. Studi Pustaka
Sebagai landasan teori dalam penelitian ini, definisi, karakteristik,
gejala, dan penanganan anak disleksia diambil dari buku “Apa itu
Disleksia? Panduan Untuk Ibu Bapa, Guru, & Kaunselor.” karya
Sheila Devaraj dan Samsilah Roslan. Kemudian sebagai bahan
pelengkap dalam pemahaman dan penanganan orang tua
terhadap anak disleksia, buku pendukung yang digunakan yaitu
“Dyslexia Pocketbook” karya Julia Bennett.
b. Pencarian Data di Internet
Melakukan pencarian melalui mesin telusur “Google” dengan kata
kunci “Dyslexia, Disleksia, Kesulitan Belajar, Gangguan pada
anak, Learning Disability, Learning Disorder”
c. Wawancara
Melakukan wawancara kepada Kristiantini Dewi,dr.,SpA selaku
dokter spesialis anak pada child development center atau layanan
klinik tumbuh kembang anak di Santosa Hospital Bandung. Selain
itu wawancara juga dilakukan kepada para orang tua yang
memiliki peran dalam mengasuh dan mendidik anak disleksia.
4
BAB II
DISLEKSIA
2.1 Pengertian Disleksia
Kata “disleksia” berasal dari bahasa Yunani, yakni “dys” kesulitan
dan “lexis” huruf atau leksikal, disleksia mengacu pada orang yang
mengalami kesulitan mengenal huruf dan kata yang kemudian
mempengaruhi kemampuan membaca dan mengeja. Disleksia
merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar yang paling sering
ditemui. Oleh sebab itu secara tidak langsung gangguan disleksia
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menuliskan buah
pikirannya.
Gambar II.1 Visualisasi Buah Pikiran Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Disleksia bukan disebabkan oleh keterbelakangan intelektual,
kerusakan indra, dan faktor emosional. Selain itu gangguan disleksia
juga bukan disebabkan oleh faktor eksternal misalnya lingkungan atau
sebab-sebab sosial. Secara umum, disleksia dipahami sebagai akibat
neurologis (cabang ilmu kedokteran yang menangani kelainan saraf),
dimana beberapa bagian otak tidak bekerja secara efisien untuk
memproses bahasa yang tertulis.
Hingga saat ini para ahli neurologis belum dapat mengetahui
bagaimana otak manusia berfungsi secara keseluruhan tetapi untuk
5
beberapa kawasan otak manusia, sudah dapat dikenali fungsinya
secara pasti. Meskipun setiap kawasan memiliki fungsinya tersendiri,
namun demikian setiap kawasan di dalam otak, berkaitan antara satu
sama lain. Hemisfera pada otak manusia terdiri dari dua bagian yang
dihubungkan oleh saraf penghubung, saraf itu dikenal sebagai
“corpus collosum”. Himesfera sebelah kiri didominasi oleh kegiatan
yang bersifat (verbal, logical, and controling half) sedangkan
himesfera dibagian kanan didominasi oleh aktifitas (non-verbal,
practical, and intuitive). Kemudian kawasan wernickle dan kawasan
broca menjadi bagian utama saat seseorang melakukan
pemprosesan bahasa. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).
Gambar II.2 Hemisfera Otak Manusia Tampak Atas
(Sumber: Buku “Apakah Itu Disleksia?”)
Gambar II.3 Himesfera Otak Manusia Tampak Samping
(Sumber: Buku “Apakah Itu Disleksia?”)
6
Pada umumnya, saat manusia melakukan kegiatan yang bersifat
verbal atau pemprosesan bahasa, aktifitas pada himesfera bagian kiri
akan tampak lebih kecil daripada hemisfera bagian kanan. Namun hal
itu sangat berbeda dengan aktifitas orang yang mengidap gangguan
disleksia dimana aktifitas himesfera di kedua bagian menjadi sama
besar. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).
Hal tersebut memberikan gambaran kepada para ahli neurologis
bahwa anak disleksia membutuhkan proses yang lebih lama dalam
membedakan tampilan tulisan yang memiliki kesamaan dan bersifat
dua dimensi seperti huruf “b” dengan “d”. Kemudian mencoba
berhenti mengidentifikasi huruf dikarenakan keletihan yang
diakibatkan semakin terpusatnya proses perpindahan di dalam saraf
penghubung. sehingga proses penginformasian antar sarafnya
menjadi sangat lama serta tidak jelas arahnya. (Hornsby dalam
Devaraj, 2006).
Berikut adalah hasil scanning FMRI (functional Magenetic
Resonance Imaging) berupa tampilan kegiatan otak manusia saat
melakukan pemprosesan verbal antara anak normal dengan anak
disleksia. Anak disleksia sangat mudah merasakan kelelahan karena
efektifas yang dilakukan otaknya lebih rumit dalam melakukan
kegiatan verbal. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).
Gambar II.4 Perbandingan Isyarat Syaraf
7
(Sumber: Buku “Apakah Itu Disleksia?”)
Banyak ahli yang mengemukakan pengertian disleksia antara lain:
a. Disleksia sebagai gangguan kesulitan membaca pada anak yang
memiliki kecerdasan normal dan bermotivasi cukup. Latar budaya
penderita disleksia juga memadai dan berkesempatan
memperoleh pendidikan (Guszak dalam Imandala, 2009).
b. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari
komponen-komponen data dan kalimat, yang secara historis
menunjukan perkembangan bahasa yang lambat dan hampir
selalu bermasah dalam menulis dan mengeja serta kesulitan
dalam mempelajari sistem berurutan atau pengulangan seperti
waktu , arah, dan masa (Bryan dan Mercer dalam Imandala,
2009).
c. Disleksia adalah bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis
terutama belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan
pikiran secara tertulis, memanfaatkan kesempatan bersekolah
dengan normal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam
mata pelajaran lainya (Corsini dalam Imandala, 2009).
d. Disleksia merujuk pada kesulitan membaca baik itu penglihatan
atau pendengaran. Intelegensinya normal dan usia keterampilan
bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor
neurologis yang bersifat biologis. (Hornsby dalam Devaraj, 2006).
Diantara sekian banyak definisi, ada kesamaan secara umum
mengenai definisi dan penjelasannya yang disusun ke dalam empat
bagian yaitu:
a. Disleksia memiliki dasar biologis atau keturunan.
b. Masalah disleksia bertahan hingga dewasa.
c. Disleksia memiliki kepekaan panca indera, pola pikir dan bahasa.
d. Disleksia mengarah pada ganguan berbahasa yang di akibatkan
sebagian fungsi otak tidak bekerja secara baik.
8
2.1.1 Karakteristik Anak Disleksia
Karakteristik anak disleksia sangat bervariasi, tergantung dari
gangguan yang menyertainya (Shodiq dalam imandala, 2009), berikut
adalah ciri-ciri anak yang mengalami gangguan disleksia adalah
sebagai berikut:
a. Ketidak akuratan dalam membaca seperti membaca lambat kata
demi kata jika dibandingkan dengan anak seusianya, intonasi
suara turun naik tidak teratur.
b. Tidak dapat ,mengucapkan irama perkataan secara benar dan
proporsional.
c. Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara
“kuda” dengan “daku”.
d. Sering mengulangi dan menebak kata-kata atau frasa.
e. Ketidakberaturan dalam mengolah kata yang hanya memiliki
sedikit perbedaan misalnya “buah” dan “bau”.
f. Kesulitan dalam memahami isi cerita/teks yang dibacanya.
g. Kesulitan dalam mengurutkan huruf dan kata.
h. Kesulitan dalam menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan
memadukannya menjadi sebuah kata.
i. Kesulitan dalam mengeja. Kemungkinan besar anak akan
mengeja satu kata dengan bermacam-macam ucapan.
j. Membaca satu kata dengan benar di satu halaman namun salah
di halaman lainya.
k. Kesulitan dalam penulisan kata seperti terbalik dalam menuliskan
atau mengucapkan kata. Misalnya, “kucing duduk diatas kursi”
menjadi “kursi duduk di atas kucing”.
l. Kesulitan dalam menggunakan kata-kata yang singkat, misalnya
“ke”, “dari”, “dan”, “jadi”.
m. Lupa memetakan titik dan tanda baca lainya.
9
Berikut ini adalah bentuk-bentuk kesulitan membaca pada anak yang
mengalami gangguan disleksia (subini dalam Imandala, 2009):
a. Melakukan penambahan huruf dalam suku kata (addition),
misalnya “batu” menjadi “baltu”.
b. Menghilangkan huruf dalam suku kata (ommition), misalnya
“masak” menjadi “masa”.
c. Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri atau
kanan (inversion/mirroring), misalnya ‘dadu” menjadi “babu”.
d. Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik
atas atau bawah (reversal), misalnya “papa” menjadi “qaqa”.
e. Mengganti huruf atau angka (substitution), misalnya “lupa” menjadi
“luga”, dan “3” menjadi “8”.
Gambar II.5 Tulisan Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Penyandang disleksia tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang
berbeda dengan orang normal. Disleksia sebagai ketidakmampuan
belajar khusus (specific learning Disability) ini biasanya baru
terdeteksi setelah penyandang disleksia, memasuki dunia sekolah.
Masalah tersebut tampak saat anak-anak mulai menerima atau
mengirim bahasa dalam kegiatan komunikasi. Kegiatan berbahasa
dalam konsep komunikasi ini dibagi kedalam aspek, empat yakni
(bennet, 2006):
10
Encoding atau pengubahan pesan baik itu lambang, atau bahasa
kedalam bentuk lisan terjadi ketika menuturkan kembali pesan
menjadi bahasa lisan dikenal dengan istilah berbicara. Sebagai
contoh ketika menyebutkan huruf yang membentuk kata topi, yaitu
t, o, p, dan i.
Decoding atau menerima sebuah pesan baik itu lambang, atau
bahasa kedalam bentuk lisan terjadi ketika menerima bentuk
tulisan menjadi bahasa lisan dikenal dengan istilah menyimak.
Reading fluency atau kelancaran dalam membaca, terjadi ketika
mengenali kata demi kata dengan cepat, membaca kalimat atau
wacana yang lebih panjang sehingga dapat dengan mudah
menghubungkannya. Kemampuan ini mengindikasikan bahwa
anak mengerti materi yang dibacanya.
Comprehension atau pemahaman terjadi ketika memahami arti
bacaan.
2.1.2 Faktor Penyebab atau Etimologi
Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis (Hornsby dalam
Devaraj, 2006), faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a. Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh
Grigorenko menghasilkan 20-65% anak disleksia juga memiliki
orang tua yang mengalami gangguan serupa.
b. Masalah dalam pergerakan neuron (saraf), penelitian ini dilakukan
oleh Simos yang menunjukan bahwa anak disleksia memiliki pola
aktifitas yang berbeda dengan anak normal biasanya yang
menggunakan hemisfer (bagian otak) kiri sedangkan anak
disleksia hemisfer kanan.
c. Pengaruh hormon prenatal atau kromosom.
2.2 Membaca dan Pemahaman Membaca
11
Menurut Lim Imandala dalam situsnya http://pendidikankhusus.
wordpress.com yang diakses pada tanggal [23 Januari 2013]. Seorang
ahli membaca, steve Stahl (Santrock, 2006), mengemukakan ada tiga
tujuan utama dalam instruksi membaca yakni, pertama membantu
anak mengenali kata-kata secara otomatis. Kedua, memahami teks
bacaan dan yang ketiga membuat seseorang termotivasi untuk
membaca dan menghargai bacaan. Ketiga jika anak tidak mengerti
bacaan, maka anak tidak akan termotivasi untuk membacanya.
Gambar II.6 Hilangnya Motivasi Membaca Pada Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Analisis terkini dari Rich Mayer (Santrock, 2006), bahwa ada
proses kognitif yakni proses kepercayaan seseorang tentang sesuatu
yang didapatkan dari proses berpikir untuk membaca kata-kata yang
tercetak, prosesnya adalah:
a. Sadar akan unit suara dalam kata-kata, dimana terdiri dari
“mengenal, menghasilkan, dan memanupulasi fonem”.
b. Decoding word, artinya mengubah kata-kata yang tercetak dalam
suara.
c. Dapat mengakses arti kata, artinya dapat mendefinisikan arti kata
dalam memori.
Membaca adalah suatu proses yang berkembang sejak manusia
lahir, dari tidak menguasai hingga benar-benar memahami. Sebelum
12
itu ada tahapan-tahapan yang dilalui oleh seorang anak sepanjang
mereka belajar membaca (Lerner dalam Imandala, 2009), yakni
sebagai berikut:
a. Logographic reading. Pada tahapan ini, anak mulai mengenali
kosakata yang terbatas dari seluruh kata melalui isyarat yang tidak
disengaja misalnya sebuah logo, gambar, warna, atau bentuk.
Sebagai contoh, orang tua yang memiliki anak pada tahapan ini
mungkin menemukan bahwa anak dapat memutuskan untuk
memakan makanan yang diinginkanya dikarenakan sebuah iklan
yang menunjukan merek yang mereka kenal. Pada awal tahap ini,
anak tidak dapat mengasosiasikan suara dengan simbol atau
menyadari bahwa kata yang diciptakan oleh fonem atau kata yang
disuarakan.
b. Early alphabetic. Untuk dapat berkembang dalam membaca, anak
perlu memahami wawasan dari tulisan alfabet yang
merepresentasikan fonem. Pada tahap ini, anak menggunakan
tulisan alfabet untuk menulis kata-kata. Sebagai contoh anak
mungkin menulis PTZU untuk pizza.
c. Mature Alphabetic reading. Pada tahap ini, anak mengetahui
asosiasi pengejaan dengan suaranya, anak juga dapat
menggunakannya untuk menguraikan pada kata-kata yang
sederhana.
d. Orthographic stages: Recognizing syllables and morphemes. Pada
tahap ini, anak menggunakan analogi kata yang diketahui
sebelumnya untuk membaca kata yang baru, misalnya “perang”,
“serang”.
e. Gaining fluency. Pada tahapan ini anak mulai mudah untuk
membaca materi.
2.3 Fluency dalam Pemahaman Membaca Anak Disleksia
Sebelumnya dijelaskan bahwa anak disleksia memiliki kecerdasan
rata-rata bahkan ada yang diatas rata-rata. Artinya, anak disleksia
13
seharusnya tidak memiliki kesulitan ketika belajar membaca. Namun
dalam kenyataanya meskipun cerdas dan kemampuan berbicara
cukup lancar, anak disleksia tetap memiliki hambatan dalam belajar
membaca terutama dalam masalah pemahaman.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan tujuan akhir dari
membaca. Memahami materi yang dibaca dari susunan huruf yang
tercetak menjadi tujuan utama dari proses pengambilan informasi
yang dilihat oleh anak. Sebagai sebuah kemampuan yang
mengantarkan anak pada pemahaman, yakni fluency. Didalam
kegiatan membaca fluency didefinisikan sebagai kemampuan
mengenali kata dengan cepat, membaca kalimat dalam bacaan yang
lebih panjang dengan cara yang mudah sebagai indikasi pemahaman
materi bacaan atau reading comprehension (Lerner dalam Imandala,
2009).
Gambar II.7 Dukungan Orang Tua Pada Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Penangan dini yang dilakukan oleh orang-orang terdekat terhadap
penderita disleksia sebenarnya dapat membantu meminimalisir
hambatan anak dalam memahami materi bacaan. Pemberian program
linguistik yang memuaskan kepada semua anak dan terus melakukan
latihan, maka semakin banyak anak membaca akan semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi pembaca yang baik. Orang tua
menjadi sangat penting perananya dalam memposisikan anak
14
tertutama anak yang mengalami gangguan disleksia agar mau tetap
berlatih membaca dengan berbagai macam cara yang dianjurkan.
BAB III
TANDA DAN GEJALA DISLEKSIA
3.1 Tanda dan Gejala Disleksia Pada Anak
Disleksia merupakan gangguan yang berbasis neurologis. Cara
mereka membaca ”tidak sama” dengan otak individu yang tidak
mengalami disleksia. Masalah utama yang timbul hanya yang terkait
dengan membaca, mengeja dan menulis. Kesulitan lain yang
mengikuti, antara lain, kesulitan konsentrasi, daya ingat jangka
pendek kurang, tidak terorganisasir, dan kesulitan dalam menyusun
atau mengurutkan sesuatu.
Oleh karena itu, tanda dan gejala yang muncul untuk mendukung
diagnosis disleksia pada anak akan berkaitan dengan kesulitan dalam
membaca, mengeja dan menulis. Sedangkan tanda dan gejala lain
yang timbul di luar hal tersebut merupakan kesulitan lain yang
mengikuti dikarenakan anak disleksia mengalami kesulitan dalam
membaca, mengeja dan menulis. Sehingga, anak dengan disleksia
dapat dibedakan dari anak dengan gangguan pemusatan perhatian
dan hiperaktivitas, autisme atau anak dengan keterbelakangan
mental.
3.1.1 Tanda Anak Disleksia
Menurut Ronald Davis dalam situsnya http://www.dyslexia.com/ yang
diakses pada tanggal [21 Januari 2013]. Berikut ini adalah tanda-
tanda disleksia yang mungkin dapat dikenali oleh orang tua atau guru:
A. General
Tingkat intelegensi tinggi tetapi tidak dapat membaca, menulis
atau mengeja pada level dasar.
Memiliki kemampuan pada bidang drama, musik, olahraga,
mesin, bercerita, bisnis, designing, building dan engineering.
15
Lebih mudah untuk mempelajari sesuatu secara langsung
dengan tangan sendiri, demonstrasi, bereksperimen dan
observasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak disleksia cenderung aktif
dalam mengenal sesuatu dengan caranya sendiri. Disisi lain anak
yang menderita gangguan disleksia lebih paham atau menguasai
sesuatu diatas rata-rata orang normal.
B. Membaca, mengeja dan menulis
Sangat lambat kemajuannya dalam ketrampilan membaca.
Sulit menguasai / membaca kata-kata baru.
Kesulitan melafalkan kata kata yang baru dikenal.
Kesulitan membaca kata-kata singkat seperti : di, pada, ke
Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan ganda.
Kesulitan mengeja.
Membaca sangat lambat dan melelahkan.
Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya
antara “kuda” dengan “daku”.
Melakukan penambahan huruf dalam suku kata (addition),
misalnya “batu” menjadi “baltu”.
Menghilangkan huruf dalam suku kata (ommition), misalnya
“masak” menjadi “masa”.
Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri
atau kanan (inversion/mirroring), misalnya ‘dadu” menjadi
“babu”.
Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah
terbalik atas atau bawah (reversal), misalnya “papa” menjadi
“qaqa”.
Mengganti huruf atau angka (substitution), misalnya “lupa”
menjadi “luga”, dan “3” menjadi “8”.
Sulit dalam menggunakan alat tulis.
Tulisan tangan berantakan.
16
Lupa memetakan titik dan tanda baca lainya.
Dalam bidang akademis terutama yang berkaitan dengan kegiatan
tekstual seperti membaca, menulis dan mengeja, anak disleksia jauh
tertinggal dengan anak-anak normal lainya.
C. Mendengar dan berbicara
Mudah terganggu oleh suara.
Telat berbicara. Pada umur dua tahun, misalnya, anak baru
dapat mengucapkan satu atau dua patah kata.
Kesulitan mencerna serta mengikuti beberapa instruksi yang
disampaikan secara verbal, cepat, dan berurutan.
Berbicara dengan kalimat yang tidak lengkap.
Dengan kata lain anak disleksia sangat sulit berkonsentrasi saat
mendengar suara. Ketidaktahuan masyarakat akan gangguan ini akan
membuat anak disleksia mendapatkan label nakal yang terkesan
seenaknya.
D. Matematika dan manajemen waktu
Kesulitan dalam menyebutkan waktu, mengatur waktu ataupun
melakukan sesuatu dengan tepat waktu.
Kesulitan dalam melakukan penghitungan diatas kertas. Lebih
pintar jika menghitung dengan menggunakan tangan atau trik
lain yang tidak berkaitan dengan tulis menulis.
Dapat menghitung, tetapi memiliki kesulitan dalam menghitung
objek atau berurusan dengan uang.
Anak disleksia bukanlah tidak dapat melakukan perhitungan
matematika, hanya saja mereka memiliki caranya sendiri dalam
meyelesaikan persoalan tersebut. Sebagai pendidik ada baiknya
untuk tidak memaksakan anak disleksia ketika mengajarkan
perhitungan menggunakan metode konvesional. Kesabaran tenaga
pendidik pun sangat dibutuhkan dalam menangani anak disleksia
17
yang membutuhkan waktu lebih dalam proses berhitung terutama
yang bersifat soal cerita.
Gambar III.1 Metode Alternatif Pembelajaran Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
E. Ingatan dan pengetahuan
Ingatan yang buruk atau lemah terhadap informasi yang tidak
pernah dialami sebelumnya.
Pertama kali berpikir, yang diingat adalah gambar dan
perasaan, bukan suara atau kata.
Anak disleksia memiliki perasaan yang sangat sensitif, kemudian
anak disleksia sangat tertarik dengan hal-hal yang bersifat visual.
Maka tampilan visual yang baik dapat digunakan sebagai alat dalam
menyampaikan informasi terhadap anak disleksia.
F. Perilaku, kesehatan, perkembangan dan kepribadian
Terlihat pendiam, banyak berulah, malas atau tidak pernah
berusaha keras.
Biasanya memiliki perkembangan yang lamban (berbicara,
berjalan, mengikat tali sepatu)
Sensitif terhadap makanan dan produk kimiawi.
Memiliki rasa keadilan yang tinggi, sensitif secara emosional
dan selalu berusaha mencapai kesempurnaan.
18
Kesalahan akan sering muncul secara dramatis manakala anak
dalam keadaan bingung, diburu oleh waktu, stres secara
emosional atau kesehatan yang menurun.
Secara kasat mata sangatlah sulit membedakan anak normal
dengan anak yang mengalami disleksia. Namun jika orang tua mau
mengikuti proses perkembangan anak dengan baik maka mereka
akan mengerti, kesulitan apa saja yang dialami sang anak. Melakukan
konsultasi kepada para ahli terutama yang berkaitan dengan tumbuh
dan kembang pada anak sangatlah dianjurkan, agar dalam
menanganinya pun tidak akan begitu sulit karena telah mengetahui
sebab-sebab ganguan yang terdapat pada anak.
3.1.2 Gejala Anak Disleksia
Menurut Kristiani Dewi S.pA selaku dokter spesialis anak, gejala
yang timbul pada anak disleksia cenderung sulit untuk diketahui
karena biasanya hal ini tidak akan disampaikan secara langsung oleh
anak yang menderita disleksia kepada orang tua, guru ataupun
tenaga kesehatan yang mereka temui. Gejala tersebut antara lain:
Mengeluh pusing, nyeri kepala atau sakit perut saat membaca.
Mengeluh melihat atau merasakan gerakan-gerakan yang
sebenarnya tidak ada saat membaca, menulis atau menyalin.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak disleksia membutuhkan
perhatian lebih, terutama disaat mereka melakukan kegiatan
membaca. Menemani dan memberikan semangat kepada mereka
sangatlah diperlukan, kemudian memberikan banyak waktu untuk
beristirahat dan sedikit kesempatan untuk melakukan kegiatan yang
mereka senangi. Orang tua pun meski memiliki kepintaran, dalam
memilih permainan yang mereka gunakan agar tetap menunjang
faktor tumbuh dan kembang anak.
3.2 Bentuk Dukungan dan Tindakan Nyata Pada Anak Disleksia
19
Kristiani Dewi S.pA mengutarakan bahwa hal yang paling penting
pada disleksia adalah “kapan dan bagaimana orag tua harus bereaksi
ketika mereka melihat ada sesuatu yang tidak benar dalam kondisi
akademis dan perilaku anak mereka?”. Penolakan orang tua terhadap
kesulitan dalam membaca, mengeja dan menulis pada anak mereka
adalah hal yang paling sering dilakukan oleh orang tua, sekalipun
mereka mengetahui bahwa hal tersebut terjadi pada anak mereka.
Hal ini terjadi karena anak dianggap masih dalam proses belajar yang
mana hal tersebut akan berbeda bagi tiap individu.
Tidak jarang orang tua dari anak dengan disleksia akan mencari
pertolongan atau memeriksakan anaknya kepada petugas kesehatan
ketika kondisi mereka sudah parah bahkan, anak sudah mengalami
stress hingga depresi. Hal ini terjadi karena orang tua tidak mengenali
atau bahkan terlambat mengenali bahwa kesulitan belajar yang
dialami oleh anak mereka adalah disleksia. Sehingga prestasi
akademis anak akan terus menurun, anak kesulitan dalam ujian,
mendapat stigma negatif, diganggu (bullying), serta kesulitan dalam
kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan membaca dan
menulis.
Gambar III.2 Stigma Negatif Terhadap Anak Disleksia
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Mengingat demikian ”kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka
sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya
20
menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera
membawa anaknya berkonsultasi kepada tenaga medis profesional
yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini
dikenali, semakin ”mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan
sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
Peran orang tua tidak hanya berhenti hingga anak tersebut
didiagnosis oleh dokter serta psikolog menderita disleksia. Peran
orang tua juga sangat dibutuhkan untuk membantu anak melewati
proses belajar. Meskipun banyak orang tua yang menerima
sepenuhnya keadaan disleksia yang dialami anaknya, banyak pula
orang tua yang merasa stres. Pemicu stres yang paling umum adalah
mereka mulai memikirkan rencana belajar ulang anak mereka yang
akan menyita waktu para orang tua, pekerjaan rumah yang harus
mereka selesaikan setiap harinya, serta kewajiban untuk mengurus
anak-anak mereka yang lain.
Hal-hal tersebut diatas akan mempengaruhi orang tua dalam
keterlibatan serta pemberian dukungan pada anak dengan disleksia
yang justru sangat dibutuhkan. Karena bagaimana pun, keadaan
disleksia ini bukanlah penyakit yang dapat sembuh jika diobati namun
gangguan yang bersifat permanen.
Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu
keadaan yang menetap dan kronis. ”Ketidak mampuannya” di masa
anak yang nampak, seperti ”menghilang” atau ”berkurang” di masa
dewasa bukanlah karena disleksia tersebut telah sembuh namun,
karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi
kesulitan yang diakibatkan oleh keadaan disleksia tersebut.
Melihat keadaan tersebut, maka muncul beragam terapi alternatif
yang diberikan kepada orang tua anak disleksia. Padahal, semestinya
anak hanya boleh mendapatkan terapi berbasis bukti (evidence based
therapy). Tetapi, beragam alternatif tersebut sebenarnya mengacu
pada tiga model strategi pembelajaran yang terdiri dari metode
multisensori, metode fonik (bunyi), dan metode linguistik.
21
Metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual
(kemampuan penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran),
kinestetik (kesadaran pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak.
Metode Fonik atau Bunyi memanfaatkan kemampuan auditori dan
visual anak dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyinya.
Misalnya, huruf B dibunyikan eb, huruf C dibunyikan dengan ec.
Adapun Metode Linguistik adalah mengajarkan anak mengenal kata
secara utuh. Cara ini menekankan pada kata-kata yang bermiripan.
Penekanan ini diharapkan dapat membuat anak mampu
menyimpulkan sendiri pola hubungan antara huruf dan bunyinya.
Gambar III.3 Metode Fonik
(Sumber: Film Taare Zameen Par)
Menerapkan model strategi pembelajaran tersebut diatas pada
proses belajar anak disleksia diharapkan dapat membantu anak
disleksia memahami apa yang tidak mereka pahami. Namun, terdapat
beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan kepada anak disleksia
sehingga, proses “penyamaran ketidakmampuan” yang terjadi akan
lebih maksimal, hal tersebut antara lain:
Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak
disleksia antara orang tua dan guru.
Anak duduk di barisan paling depan di kelas.
22
Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan
tugas, misalnya guru meminta membuka sebuah halaman,
pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain.
Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat
menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu
untuk menyiapkan latihan. Anak disleksia yang sudah
menunjukkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus
diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu
diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak
duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan
murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’
dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis
huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh
begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan
murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama
berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o,
d, a, s, q”, bentuk zig zag:”k, v, x, z”, bentuk linear:”J, t, l, u, y, j”,
bentuk hampir serupa:”r, n, m, h”.
Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda
ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan
mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.
Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai
cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika.
Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka
merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan
mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi
jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat
”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa
anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak
percaya diri.
23
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam menangani disleksia orang tua dan guru seyogyanya adalah
orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya,
memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang
diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali sekali membandingkan
anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak
mengalami gangguan disleksia. Disadari atau tidak itu bisa terjadi
pada siapa saja. Meskipun sulit dalam mengenali anak disleksia
orang tua dapat berkonsultasi dengan para ahli terutama mereka
yang menangani kegiatan tumbuh dan kembang anak. Meninggalkan
cara-cara klasik atau konvesional adalah bagian yang terpenting
dalam mendukung kegiatan belajar anak disleksia. Selalu mencari
informasi dan berpartisipasi dalam forum-forum yang membahas
gangguan disleksia juga sangat dianjurkan agar orang tua tidak putus
asa dalam memberikan motivasi serta dukungan nyata terhadap anak
disleksia.
4.2 Solusi Yang Bisa Dilakukan
Gangguan disleksia memang bersifat permanen atau dengan kata
lain tidak dapat disembuhkan. Namun orang tua tak dapat menutup
mata akan kelebihan yang mereka miliki dalam kesehariannya. Meski
lemah dibidang akademis terutama yang berkaitan dengan kegiatan
membaca, mereka dapat diarahkan untuk tetap beraktifitas seperti
mengenalkan anak dengan metode pembelajaran yang menarik dan
tidak membosankan, terdapat unsur-unsur permainan didalamnya dan
lebih mengedepankan visual serta audio. Adapun cara umum dimana
mereka dapat dididik melalui sekolah khusus yang mengedepankan
24
bakat yang dimiliki anak dan mengenalkan metode-metode khusus
dalam menangani kegiatan belajar bagi anak disleksia.
25