tanaman beracun bagi kehidupan -ternak 2
DESCRIPTION
File ini menjelaskan berbagai tanaman beracun yang perlu diwarpadai para peternakTRANSCRIPT
TANAMAN BERACUN DALAM KEHIDUPAN TERNAK
DR. IR. WAHYU WIDODO
190
BAB 6 SENYAWA RACUN KARBOHIDRAT, LEMAK, PENGIKAT LOGAM
(METAL BINDING) DAN AN ORGANIK
6.1. Siklopropinoid
Siklopropinoid adalah jaringan asam lemak tak jenuh yang terdiri atas
asam sterculat dan asam malvalat yang terbentuk dalam minyak biji kapuk pada
tingkat 1 - 2% dari minyak mentah pada proses pembuatan yang kurang
sempurna. Dilihat dari ciri fisik yang dimiliki, asam siklopropinoid adalah sejenis
obat bius yang mengikat organel dalam sel yang menghasilkan energi. Asam
siklopropinoid ini berasal dari gugus amida dengan rumus kimia C3H6. Adapun
rumus bangun dari siklopropinoid dapat dilihat pada Gambar 6.1.
CH2 CH2
CH2 - (CH2 = (CH2)6 - COOH CH3 - (CH2)7 - C = C - (CH2)6 - COOH Asam Sterculat Asam Malvalat
Gambar 6.1. Komposisi kimia siklopropinoid Kapuk sebagai komponen pembawa siklopropinoid merupakan tanaman
pekarangan, pinggir-pinggir jalan atau di galengan sawah. Bagian yang penting
dipandang dari segi ilmu makanan ternak adalah bijinya (produk dari biji). Biji
tersebut mempunyai daging yang dapat mencapai 50% yang mengandung protein
yang lebih tinggi (dibanding dengan biji kapuk yang lengkap dengan kulit) yakni
52 - 56%. Minyak yang dikandungnya berkisar antara 22 – 25% dari bahan
kering. Setelah lemak dikeluarkan, tinggal bungkilnya yang dapat dipergunakan
sebagai pupuk organik ataupun sebagai pakan ternak. Seperti halnya bungkil-
bungkIlan lain, bungkil biji kapuk mempunyai protein kasar yang cukup tinggi (+
28%). Dari hasil analisis proximat di laboratorium IPB didapatkan hasil
komposisi bungkil biji kapuk sebagai berikut, yaitu kandungan air sebesar 9,98 -
11,29%, protein sebesar 26,99 - 28,66%, lemak sebesar 5,25 - 9,48%, serat kasar
sebesar 23,75 - 28,76%; bahan ekstrak tanpa N sebesar 21,10 - 22,51%, abu
sebesar 5,98 - 6,35%, kalsium sebesar 0,36 - 0,42% dan fosfor : 0,58 - 0,78%.
191
Bungkil biji kapuk selain mengandung zat-zat pakan yang tinggi juga
menghasilkan beberapa faktor pembatas diantaranya zat anti nutrisi berupa asam
siklopropinoid sebesar 10 - 13% dan adanya selulosa yang dapat menurunkan
daya cerna ternak. Adanya selulosa menyebabkan palatabilitas rendah sehingga
penggunaannya sebagai bahan pakan ternak perlu dibatasi. Tanaman kapuk dan
bagannya dapat dilhat pada Gambar 6.2.
Gambar 6.2. Tanaman Ceiba pentandra (www.nybg.org dan www.nybg.org)
Bungkil biji kapuk yang mengandung siklopropinoid dapat mengganggu
sistem metabolisme tubuh unggas. Mekanisme kerja yang terjadi adalah asam
siklopropinoid karena sifatnya berefek penenang (obat bius) dapat mengubah
metabolisme lemak dimana komposisi lemak berubah yaitu lebih banyak asam
lemak yang mengandung stearat daripada oleat, dan akhirnya asam lemak stearat
ini sulit terdegradasi dan diserap oleh usus sehingga terjadi penimbunan lemak
yang tinggi. Selain itu adanya gangguan pada metabolisme pakan sehingga
penyerapan zat-zat makanan menjadi lambat.
Gejala-gejala keracunan yang terlihat pada ternak unggas yang
mengkonsumsi bungkil biji kapuk yang mengandung siklopropinoid antara lain
adalah penurunan produksi telur, penurunan efisiensi penggunaan pakan,
192
penurunan selera makan, penurunan bobot badan, penurunan fertilitas, penurunan
daya tetas, penurunan pertumbuhan, penurunan tekanan darah, perubahan warna
putih telur, muntah-muntah, dilatasi dinding pembuluh darah, dan terjadi
kematian.
Dengan adanya gejala keracunan diatas sangat jelas sekali menimbulkan
efek negatif yang mempengaruhi ternak tersebut. Oleh karena itu, cara
pencegahan yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah keracunan diatas
adalah apabila sebelum digunakan, dinetralkan terlebih dahulu dengan berbagai
cara misalnya dengan proses sulfitasi yaitu dengan cara mengalirkan sulfur
dioksida terhadap minyak stercula faebida (pada minyak biji kapuk) yang
mengandung asam sterculat yang dapat merusak cincin siklopropena dan merusak
reaktifitas halpen atau memberikan reaksi negatif terhadap uji Halpen dari minyak
secara total. Jadi apabila bungkil biji kapuk tersebut digunakan sebagai pakan
ternak maka siklopropinoid sudah bersifat netral dan sudah tidak berbahaya bagi
ternak.
Dinyatakan oleh Jahi (1974) bahwa penambahan bungkil biji kapuk
sebanyak 2% dalam ransum basal yang terdiri dari jagung kuning 37%, dedak
halus 25%, kacang hijau 5%, kacang kedele 6%, kacang merah 5%, bungkil
kacang tanah 8%, ikan teri 10%, campuran mineral 4% dapat memperbaiki
pertumbuhan anak-anak ayam. Sedangkan untuk fase grower dan finisher karena
kondisi tubuh dan alat pencernaan sudah berkembang dengan baik maka ayam
dapat menerima ransum yang mengandung 10 - 15% bungkil biji kapuk. Ayam
broiler menurut hasil yang diteliti oleh Gunawan (1981) menyatakan bahwa
pemberian bungkil biji kapuk 5% dalam ransum pada ayam umur satu minggu
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan dan banyaknya
ransum pada anak-anak ayam dapat diberikan antara 2 - 5% bungkil biji kapuk.
6.2. Lignin
Penyusun persenyawaan utama dalam dinding sel adalah karrbohidrat dan
lipid, antara keduanya akan menghasilkan ikatan matrik sebagai penyusun utama
dinding sel tumbuhan. Lignin merupakan bahan penguat yang terdapat dalam
193
dinding selulosa. Pada umumnya lignin terdapat dalam selulosa sebanyak 60%
dan 24% dari total berat kering kayu. lignin dan selulosa adalah penyusun
dinding sel tumbuhan sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh bagian dalam
tumbuhan akan mengandung lignin dan selulosa. Hanya saja kandungannya
berbeda-beda, seperti janggel, kulit keras, biji, bagian serabut kasar, akar dan
batang akan lebih tinggi kandungan ligninnya dibanding pada daun dan buah.
Lignin yang diperoleh melalui beberapa cara isolasi merupakan zat padat amorf
berwarna coklat yang tidak larut dalam air dan sebagian besar pelarut organik.
Lignin hasil isolasi menunjukkan bobot molekul mulai dari 2800 hingga 6700,
mungkin saja terdapat ikatan antara satuan ulang lignin.
Lignin merupakan gabungan suatu senyawa yang terdiri dari karbon,
hidrogen dan oksigen yang hampir serupa dengan senyawa karbohidrat lainnya.
Namun proporsi karbonnya lebih tinggi dibandingkan hidrogen dan oksigen.
Nitrogen juga terdapat didalam struktur senyawa lignin yang kadarnya mencapai
1 sampai 5%. Inti dari senyawa ini adalah suatu unit senyawa aromatik dan
berstruktur rantai mengandung unit dasar fenilpropana, dengan gugus metoksi
terdapat dalam kadar 5 sampai 15%. Senyawa aromatiknya merupakan asam
amino aromatik yang disintesa dengan cara konvensional yang prosesnya sama
dengan tumbuhan tingkat tinggi seperti dalam E.coli (lignin ditemukan hanya
pada tumbuhan tingkat tinggi dan tidak pada alga atau jamur).
Senyawa-senyawa pendukung dan katalisator pada lignin adalah
parahidroksinamil, sinapyl dan coniferyl alkohol. Lignin yang memiliki struktur
kimia seperti diatas cenderung memiliki sifat kimia yang berbeda dengan senyawa
karbohidrat yang lain. Pemecahan senyawa-senyawa yang tidak bersifat siklis
aromatik akan lebih mudah dilakukan oleh enzim-enzim makhluk hidup. Oleh
karena itu lignin sebetulnya tidak dapat digolongkan sebagai zat nutrisi karena
kemanfaatannya terhadap tubuh mahkluk hidup sangat sedikit.
Lignin yang merupakan senyawa polimer poli aromatik yang sangat tahan
terhadap degradasi kimia. Dalam perusahaan kertas, lignin diambil dari lembaran
kayu melalui proses perebusan menggunakan alkalin bisulfit untuk memecahkan
jaringan polimer lignin. Lignin pada umumnya sangat resisten terhadap degradasi
194
enzimatik dan juga terhadap unsur- unsur alkali tanah. Salah satu teknologi yang
dapat merombak lignin dengan aman adalah melalui jamur pelapuk putih (white
roote fungi). Jamur pelapuk putih dalam memdegradasi kayu membutuhkan
gula-gula dari polisakarida kayu yang tidak hanya untuk energi tetapi juga untuk
produksi hidrogen peroksida yang berperan pada degradasi lignin. Hidrogen
peroksida digunakan oleh lignisase sebagai tipe peroksidase.
Mekanisme pembentukan lignin secara lengkap belum diketahui secara
tepat. Menurut Freudenberg, pada tahap pertama dalam pembuatan lignin adalah
penghilangan atom hirogren fenol dari koniferil alkohol secara enzimatik yang
menghasilkan radikal bebas yang dapat mengalami tata ulang non enzimatik dan
bereaksi dengan molekul lain, mula-mula membentuk senyawa primer yang
kemudian alkoholnya membentuk lignin. Lebih lanjut Freudenberg menemukan
bahwa inkubasi dari senyawa alkohol aromatik ini dengan menggunakan laccase
atau peroxidase memberikan formasi polimer seperti lignin. Pencampuran 14
mol% caumaril alkohol, 80 mol% coniferil alkohol dan 6 mol% sinapyl alkohol
dengan laccase menghasilkan persenyawaan lignin. Melalui polimerisasi pada
pH yang rendah sangatlah mungkin untuk mengisolasi senyawa dimerik pada
lignin yang tidak mungkin ditemukan pada tanaman melalui reaksi alkali.
Sebagian besar penelitian kimia lignin dilakukan dengan menggunakan lignin
pada Picea sp. dan sebagian besar pernyataan mengenai lignin dapat ditaksirkan
hanya berlaku lignin jenis ini saja yang hampir seluruhnya terdiri atas satuan
coniferil alkohol.
Pada tanaman tua, kandungan lignin sangat tinggi karena lignin akan
melapisi matriks dari selulosa dan hemiselulosa, dengan kata lain semakin
bertambah umur suatu tanaman maka kandungan lignin juga akan semakin
bertambah tinggi. Lignin tidak diklasifiksasikan sebagai suatu karbohidrat akan
tetapi pembahasannya disatukan dalam golongan zat tersebut karena lignin
terdapat dalam ikatan yang erat dengan selulosa. Dalam suatu analisis bahan
makanan lignin biasanya dimasukkan dalam golongan serat kasar, oleh karena itu
lignin akan dibicarakan bersama-sama karbohidrat.
195
Seiring dengan pertambahan umur tanaman, proses ligninifikasi akan
bertambah besar sebagai akibat pertautan antara lignin dengan selulosa. Lignin
terdapat pada sebagian besar tumbuhan dikotil yang diantaranya tanaman biji-
bijian seperti kedelai, jagung, gandum, dan kacang-kacangan, yang merupakan
sebagian besar bahan makanan pokok dari ternak monogastrik. Lignin dan serat
kasar yang lain tidak dapat dicerna oleh unggas karena tidak adanya enzim
selulose seperti pada ternak luminansia. Kehadiran lignin yang berlebihan pada
sistem pencernaan unggas akan menyebabkan adanya sifat bulky yang kemudian
akan menyebabkan persistensi bahan makanan dalam saluran pencernaan. Sifat
bulky akan menurunkan kecernaan bahan pakan yang lain sehingga unggas akan
mengalami kenyang semu. Gangguan metabolisme yang diakibatkan lignin adalah
penurunan daya kecernaan dan penurunan bobot badan yang sangat nyata.
Kebutuhan serat kasar pada unggas hanya 5% dari total kandungan nutrisi zat
pakan. Berbeda dengan ruminansia dimana terdapat proses pencernaan secara
mikrobial dengan fermentasi yang menghasilkan enzim selulose sehingga lignin
dan selulosa dapat dicerna sebagian atau dapat dipisahkan dari selulose.
6.3. Korinetoksin
Keracunan ryegrass (annual ryegrass toxicity/ARGT) adalah penyakit
pada ternak yang disebabkan oleh kelompok glikolipid sangat beracun yang
dinamakan korinetoksin. Korinetoksin diidenfikasikan sebagai glikolipid yang
mengandung gula-gula amino dengan residu asam lemak 3-hidroksi C-17.
Senyawa tersebut dihasilkan dalam kepala biji ryegrass yang diinfeksi dengan
kombinasi nematoda dan bakteri. Komposisi kimia korinetoksin dapat dilihat
pada Gambar 6.3.
Korinetoksin mempengaruhi sistem syaraf dan efek tersebut menjadi jelas
ketika ternak stress ataupun bergairah. Tanda-tanada terlihat sesegera setelah dua
hari atau paling lambat 12 minggu setelah ternak mengkonsumsi pastura yang
terdapat ryegrass beracun. Tanaman ryegrass dan bagannya dapat dilihat pada
Gambar 6.4.
196
RCHN
OOH OH
O O
NHAcO
HOH2C OHOH
C C
H OH
H H
O
HO OH
NO
HN
O
R = β-hidroksi asam lemak
Gambar 6.3. Komposisi kimia korinetoksin
Gambar 6.4. Tanaman Ryegrass (www.viarural.com.ar dan www.extension.umn.edu)
Aktivitas biologis korinetoksin sebenarnya identik dan berhubungan dekat
dengan antibiotik tumikanisin. Kedua senyawa tersebut sangat menghambat
UDP-N-asetilglukosamin (dilikolfosfat N-asetilglukosamin fosfat transferase)
197
sebuah enzim esensial untuk N-glikosilasi yang terikat lemak pada glikoprotein.
Oleh karena itu, keracunan ryegrass menyebabkan menihilkan atau mengurangi
aktivitas N-glikosilat glikoprotein.
Beberapa aspek keracunan korinetoksin mirip gangguan pada sistem
retikuloendotelial. Fungsi ini ditentukan sebagian besar oleh level darah pada N-
hlikosilat glikoprotein yaitu fibronektin, sebuah protein opsonik yang
menyumbang secara mudah bakteri pada fagositosis. Keracunan dengan
korinetoksin atau tunikamisin lainnya mengurangi level serum fibronektin dan
fungsi retikuloendotelial dalam cara dosis yang berhubungan.
Serangan ryegrass yang mengakibatkan produksi racun meliputi hubungan
unik antara rumput, nematoda dan bakteri. Nematoda Anguina agrostis
menyerang ryegrass sewaktu masih pendek setelah perkecambahan. Larva
nematoda merayap ke tanaman dan berkembang di ujung. Larva tersebut tetap
pasif sampai ketika rumput mulai berbunga, larva bersembunyi ke dalam bunga
yang sedang berkembang dimana larva berkembang menjadi cacing nematoda.
Bunga tidak dapat membentuk biji karena biji diganti dengan “gall” atau semacam
kantong empedu dimana nematoda dewasa bertelur dan telur tersebut diletakkan
di tempat tersebut sampai menjadi larva. Nematoda tersebut tidak aktif sampai
musim berikutnya ketika telur tetas jatuh di tanah dan mulai untuk mengalami
siklus seperti sebelumnya. Nematoda bukan binatang beracun, tetapi jika
nematoda membawa bakteri Corynebacterium rathayi, biji “gall” akan
menghasilkan racun. Bakteri tersebut menghasilkan kotoran berwarna kuning
pada kepala biji. Kotoran tersebut dapat terlihat sebagai sesuatu yang kekuningan
pada padang ryegrass. Pada pemeriksaan yang dekat, kotoran tersebut terlihat
sebagai massa lumpur kekuningan berkilauan yang lengket pada kepala biji.
Jika ternak tidak diperiksa secara teratur, tanda pertama terkena serangan
yang terlihat kemungkinan adalah banyaknya mortalitas. Tanda-tanda yang
nampak apabila diperiksa secara dekat adalah gaya berjalan dengan langkah
mengarah ke ketinggian, dengan kepala mendongak ke atas, kehilangan
koordinasi kaki belakang, kolaps, sawan dan kejang. Ternak tersebut kemudian
pulih setelah beberapa waktu, kaki tegak kembali dan kembali lagi kepadang
198
penggembalaan. Dalam lebih dari beberapa kasus, kaki tegak kembali tetapi
tetap berdiri hanya dengan menyangga pada semua kakinya. Pada tahap akhir,
ternak akan berbaring di tanah dengan kejang dan sawan dan dengan kaki
bergerak mengayuh. Kematian biasanya terjadi dalam waktu sekitar 24 jam.
Perubahan patologis meliputi deposit lemak tersebar dalam hati, hemoragi di
berbagai organ, dan kerusakan vaskuler di otak khususnya di serebelum.
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan setiap
hari pada keberadaan ryegrass di pastura dimana ARGT terjadi dan memindahkan
ternak ketika tanda-tanda pertama dari problem neurologis terjadi. Pembenahan
manajemen untuk mengeliminasi problem seperti memutuskan siklus ryegrass,
nematoda dan bakteri pada mata rantai terlemah yaitu nematoda. Metode untuk
mengeliminasi nematoda meliputi rotasi pemotongan rumput, dengan kontrol
kimia ryegrass dalam pertumbuhan padi-padian yang dipanen di rotasi.
Pembakaran efektif dalam menghancurkan biji “gall” di jerami. Pemangkasan
untuk menghancurkan biji “gall” juga efektif. Pengosongan lahan juga dapat
digunakan untuk mengeliminasi nematoda.
6.4. Fitat
Biji-bijian tumbuhan banyak mengandung asam fitat, yaitu suatu senyawa
organik yang terdiri enam senyawa fosfat. Fosfat ini tidak tersedia secara luas
pada ternak non ruminansia. Pada ternak ruminansia, bakteri fitase membebaskan
ikatan fosfat. Asam fitat dapat membentuk chelate dengan bermacam-macam
mineral dan memproduksi fitat. Komposisi kimia asam fitat dapat dilihat pada
Gambar 6.5.
Elemen-elemen yang terdapat dalam bahan pakan seperti tembaga,
mangan, besi, kalsium dan magnesium dapat diikat dalam bentuk fitat dan dapat
membuat nutrisi tidak tersedia. Pada suatu percobaan dengan menggunakan fitat
menyebabkan saluran pencernaan tidak memiliki efek yang cukup besar pada
penyerapan kalsium dan asam besi. Fitat memiliki peranan yang cukup penting
dalam penekanan proses oksidatif besi dalam kapasitas sedang.
199
H203PO OPO3H2 HO OHH2O3PO
OPO3H2OH
H2O3POOPO3H2
HO
OH
OH
Asam fitat Inositol
HO OH
CaO P P OO O
O OMg2+ O-
O- P O P O O-O
OO
Zn2+O-
O- P O O
O-Fe2+ O- P O
OH
Chelat asam fitat
Gambar 6.5. Komposisi kimia asam fitat Total fosfor pada padi masak sekitar 60 – 80% diikat sebagai asam fitat,
sedangkan 50 – 60% fosfor dalam tepung kedelai adalah sebagai asam fitat.
Asam fitat ini tidak dapat dirusak dengan cepat melalui pemanasan atau dengan
cara merendamnya, akan tetapi cara fermentasi dapat membebaskan fosfat dari
asam fitat. Kandungan asam fitat pada beberapa bahan makanan dapat dilihat
pada Tabel 6.1.
200
Tabel 6.1. Kandungan asam fitat pada beberapa bahan makanan
No. Bahan makanan Kandungan asam fitat (%) 1.
Barley
0.97-1.08
2. Bungkil biji kapas 2.86-4.29 3. Oat 0.84-1.01 4. Bungkil rapeseed 3.00-5.00 5. Bungkil wijen 1.44-5.18 6. Bungkil kedelai 1.00-1.47 7. Terigu 0.62-1.35
Asam fitat merupakan salah satu unsur mineral. Dimana asam fitat ini
dapat mengganggu dalam proses absorpsi kalsium oleh pembentukan senyawa
kalsium yang tidak larut. Jika dilihat dari segi nutrisi dapat diketahui bahwa
kalsium dan besi adalah unsur mineral yang paling penting. Jika dalam tubuh,
kurang kurang lebih 4% dari berat badan adalah unsur-unsur dari mineral. Kurang
dari setengah kalsium yang di konsumsi terabsorpsi di usus, sedangkan sisanya
hanya sekedar melewati saluran pencernaan yang kemudian keluar dari tubuh
bersama tinja. Ada beberapa faktor yang menentukan jumlah sesungguhnya dari
kalsium yang diabsorpsi. Faktor yang paling penting adalah vitamin D, karena
vitamin D tersebut membantu dalam proses absorpsi.
Asam fitat terkandung dalam bekatul, gandum dan terutama terkandung
dalam tepung gandum pecah kulit. Dalam usus, asam fitat bereaksi dengan
kalsium dan membentuk senyawa kalsium yang tidak dapat dimanfaatkan oleh
tubuh. Akan tetapi, asam fitat ini dapat dibongkar oleh enzim fitase. Enzim ini
ditemukan dalam khamir dan aktif selama fermentasi adonan roti. Oleh karena itu
tepung gandum pecah kulit yang telah menjadi tawar akan kurang mengganggu
terhadap absorpsi kalsium dibanding dengan makan tepung yang berasal dari
tepung gandum pecah kulit tanpa fermentasi.
Ransum yang berasal dari biji-bijian dan sumber-sumber protein pada
umumnya akan dapat defisien terhadap fosfor untuk kepentingan seluruh kondisi
fisiologis dalam hidupnya, kecuali bila ditambah dengan bahan makanan yang
mengandung fosfor. Sehubungan dengan hal tersebut, kira-kira kurang lebih 50%
201
fosfor dalam serealia atau protein dari beberapa sayuran adalah dalam bentuk
garam-garam fitat atau asam fitat. Ternak hanya dapat menggunakan sebagian
dari bentuk fosfor ini. Fosfor banyak dibutuhkan dalam proses metabolisme.
Fosfor turut mengambil bagian pada hampir semua proses yang ada sangkut
pautnya dengan energi dalam sel yang hidup. Daya guna fosfor dari tanaman di
perkirakan 20% sampai dengan mendekati 100%. Tanaman yang mengandung
fitat cukup tinggi, daya guna fosfor tersebut diperkirakan sekitar 46% atau
kurang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya fosfor untuk ternak adalah
dalam bentuk ransum yang diberikan, struktur kimia dari fosfor, perbandingan Ca
dan P, umur, jenis kelamin, lemak dan tingkat energi, tingkat perbandingan
makanan, lingkungan, hormon-hormon, penyakit, tingkat mikro elemen, interaksi
antara mineral atau dengan zat makan lainnya, bentuk fisik dari pada sumber
fosfor, prosesing dan lain-lain.
6.5. Oksalat
Oksalat banyak terdapat pada hijauan pastura. Hanya sedikit tanaman
yang jumlah kandungan sodium dan potassium oksalat cukup untuk menjadi
toksik. Lagipula ruminan yang mengkonsumsi tanaman tersebut berkembang
jumlah tingkat toleransinya terhadap oksalat. Oksalat hasil degradasi
mikroorganisme anaerob sudah diisolasi dari kultur murni pada bakteri rumen.
Organisme ini yang bernama Oxalobacter formigens yang menggunakan oksalat
sebagai sumber energi satu-satunya dan memproduksi karbon dioksida dan format
sebagai hasil akhir. Kemampuan ini sangat jarang diantara bakteri anaerobik dan
lagipula organisme ini menempati tempat unik dalam mikroflora rumen.
Kemampuan ruminan untuk beradaptasi dan menoleransi pakan dengan oksalat
tinggi berhubungan langsung pada seleksi oksalat yang didegradasi oleh
mikroorganisme. Komposisi kimia oksalat dapat dilihat pada Gambar 6.6.
202
C
COH
OHO
O
O CCO OH
O-K+
C
C
O
O O
O
CaO
C
CO
O-Na+
O-Na+
Asam oksalat Asam potasium oksalat
Kalsium oksalat Sodium oksalat
Gambar 6.6. Komposisi kimia oksalat
Di Amerika Serikat, problem peternakan domba yang berhubungan dengan
oksalat adalah pada tanaman halogeton (Halogeton glomeratus) yang meracuni
sebagian besar domba. Sejumlah besar domba mati akibat keracunan halogeton.
Di Australia, soursob (Oxalis pes-caprae) yaitu tanaman yang diintroduksi dari
Afrika Selatan menyebabkan problem yang meluas. Di Australia dan bagian
daerah tropik lainnya, rumput-rumputan tropis tertentu seperti setaria (Setaria
sphacelata) dan Panicum spp. (rumput gajah, rumput guinea) mungkin
mengandung racun oksalat. Tanaman Halogeton glomeratus dan bagannya dapat
dilihat pada Gambar 6.7.
Oksalat dijumpai di tanaman dalam dua bentuk besar. Beberapa tanaman,
seperti soursob mempunyai getah sel dengan pH sekitar 2 dan keberadaan oksalat
adalah sebagai garam asam oksalat (H2CO4-) seperti potassium oksalat. Tanaman
lainnya seperti halogeton mempunyai getah sel dengan pH sekitar 6 dan
keberadaan oksalat sebagai sodium mudah larut, kalsium tidak larut dan
magnesium oksalat. Dalam bentuk garam asam oksalat, keracunan akut dan
kronik dapat terjadi, sedangkan pada tanaman halogeton saja, hanya keracunan
akut yang terlihat.
203
Gambar 6.7. Tanaman Halogeton glomeratus (www.usgs.nau.edu dan www.uapress.arizona.edu)
Halogeton adalah tanaman herba tahunan yang berasal dari dari tanah
alkalin arid di Rusia. Tanaman tersebut secara tidak teratur diintrodusir di
Amerika Serikat sebagai bagian pencemaran produk pertanian dan pertama
dikoleksi dan diidentifikasi pada tahun 1934 di Nevada. Sejak saat itu, tanaman
tersebut menyebar luas lebih dari 10 juta hektar di tanah bagian barat khususnya
di Nevada, Utah dan Idaho. Kematian domba akibat konsumsi halogeton
diperkirakan mulai tahun 1930-an, dan pada tahun 1942 beberapa kematian
domba di Nevada berdasarkan penelitian diakibatkan oleh keracunan halogeton.
Sejumlah kasus didokumentasikan dimana 500 - 1500 domba mati dalam satu
waktu ketika digembalakan melewati area yang terinfeksi halogeton. Sejak saat
itu, kematian tinggal sedikit, karena meningkatnya perhatian pada keracunan
tanaman pada domba dan karena penurunan industri peternakan dengan
menggunakan sistem gembala domba di bagian barat yang mengakibatkan resiko
terkena menjadi lebih sedikit.
204
Halogeton tidak dapat bersaing dengan tanaman tahunan yang mapan dan
oleh karena itu terutama dijumpai sebagai gangguan di tanah tandus atau daerah
dingin. Konsentrasi oksalat sangat tinggi pada musim gugur dan dingin dan
tanaman sangat suka dikonsumsi pada saat itu setelah hujan musim gugur dan
tanaman kering sudah dilunakkan.
Ciri keracunan oksalat adalah ternak sulit bernafas, terjadi depresi, sakit,
koma dan kemudian mati. Pada ternak yang terkena atau mati karena oksalat,
gejala yang menyolok adalah terjadi kekejangan pada tubuh ternak yang
kemudian diiringi oleh kematian. Untuk menanggulangi agar ternak tidak
mengalami gangguan yang ditimbulkan oleh ternak yang terkena oksalat yaitu
ternak harus cepat-cepat dipisah.
6.6. Nitrat dan Nitrit
Biasanya pada hasil panen pakan ternak banyak terdapat rumput liar yang
mempunyai timbunan nitrat yang tinggi. Akumulasi nitrat dalam jaringan
tumbuhan, khususnya dalam batang lebih rendah dibandingkan dalam daun. Biji-
bijian secara umum tidak mengandung level nitrat yang toksik. Beberapa
tumbuhan lebih suka mengakumulasi level nitrat dibandingkan tumbuhan lainnya.
Diantara rumput-rumputan, rumput babi (Amaranthus spp.), nightshades dan
rumput Johnson diketahui sebagai akumulator nitrat. Rumput Sudan, gandum,
lobak, lucerne, sorghum, kikuyu, rep dan jagung mengakumulasi nitrat. Tanaman
Amaranthus spp dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 6.8.
205
Gambar 6.8. Tanaman Amaranthus spp. (http://anthro.fortlewis.edu
dan www.nativeseeds.org)
Biasanya racun nitrat-nitrit terdapat dalam air dan tanaman biji-bijian yang
dikonsumsi oleh ternak. Kandungan nitrat yang abnormal pada tanaman biji-
bijian yang dikonsumsi oleh ternak terjadi karena banyaknya fertilisasi nitrogen
pada tanaman tersebut, tanaman yang hidup pada saat musim kering menyebabkan
tanaman kekurangan air dan nitrat tidak dapat terkurangi konsentrasinya. Nitrat
yang abnormal atau bersifat racun juga merupakan akibat dari pemberian
herbisida seperti 2,4-D.
Fertilisasi berat pada padang rumput khususnya dengan lingkungan dingin,
cuaca mendung, mungkin menyebabkan level nitrat menjadi toksik. Sumber air
mungkin terkontaminasi dari gudang dan tempat pakan, tempat pembuatan silase
atau dari fertilizer nitrogen. Pakan ternak dengan tingkat nitrat sebesar 0,5%
atau lebih sangat potensial berbahaya, dengan keracunan akut terjadi jika level
nitrat mencapai 1%. Level nitrat sebesar 200 ppm dalam air potensial berbahaya,
sedangkan pada level 1.500 ppm akan menyebabkan keracunan akut.
Keracunan gas silo mungkin diproduksi ketika silase dibuat dari pakan
ternak yang mempunyai kandungan nitrat tinggi. Fermentasi silase anaerobik
206
menyebabkan pengurangan nitrat pada oksida nitrogen seperti NO2 dan N2O4.
Gas tersebut berwarna coklat kekuningan dan mungkin terkumpul dalam gudang
pakan yang konsentrasinya cukup untuk membunuh ternak. Keracunan nitrat
kronis menyebabkan perlambatan pertumbuhan, defisiensi vitamin A, aborsi,
infertilitas, gondok, dan problem non spesifik lainnya.
Keracunan nitrat sangat umum pada ternak ruminan, sapi lebih mudah
keracunan dibanding ternak lainnya. Babi sangat mudah keracunan tetapi hanya
jika nitrit dikonsumsi seperti nitrit yang terkandung dalam gandum.
Penggembalaan ternak memberi akses pada potensi tanaman beracun yang
diakibatkan karena sejumlah masukan makanan dan pengurangan mikroba
tumbuhan yang mengurangi nitrat. Keracunan juga terjadi pada saat ternak stress
dan pada saat kurang dapat beradaptasi.
Pada ternak ruminan, nitrat dapat mengurangi kandungan nitrit yang
diabsorpsi yang menyebabkan toksik. Ion nitrit mengoksidasi zat besi ferro
hemoglobin untuk memproduksi metemoglobin (zat besi ferri). Metemoglobin
yang terdapat dalam darah tidak dapat bereaksi atau mengikat oksigen yang
seharusnya terjadi pada proses respirasi sehingga terjadi anoxia. Tanda-tanda
klinis keracunan terjadi mungkin terlihat ketika level metemoglobin berada pada
30 – 40% dari total hemoglobin. Kematian terjadi ketika metemoglobin mencapai
konsentrasi 80 – 90%. Hal ini terjadi karena oksigen tidak dapat diikat oleh
hemoglobin dan konsentrasi karbondioksida terus meningkat sehingga terjadi
penimbunan asam laktat pada sel tubuh yang bersifat racun secara terus-menerus
sehingga tubuh ternak tidak dapat menetralisir lagi dan ternak mengalami
kematian. Tanda-tanda klinis keracunan meliputi kesulitan bernafas, sianotik
pada membran mucus, dan terjadinya sakit perut. Pada ternak yang terkena racun
nitrat-nitrit, darahnya berwarna coklat yang mengandung metemoglobin.
Semakin coklat warna darah ternak berarti semakin tinggi kandungan
metemoglobin dalam sel darah merah.
207
6.7. Selenium
Beberapa tanaman mengakumulasi selenium dalam jumlah toksik dan
dapat menyebabkan problem bagi ternak yang mengkonsumsinya. Spesies yang
sangat umum mengandung selenium adalah dari genus Astragalus dengan contoh
spesies seperti locoweed dan milk vetches, zylorhiza, woody aster, oonopsis dan
goldenweed. Tanaman locoweed dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 6.9.
Gambar 6.9. Tanaman locoweed (www.dereila.ca dan www.npwrc.usgs.gov)
Tanaman yang mengandung selenium tinggi tidak siap dikonsumsi ternak
karena rasanya pahit dan berbau menyengat tetapi akan dikonsumsi oleh ternak
apabila pakan lainnya kurang tersedia. Tanaman yang mengandung selenium
dapat dilihat pada Tabel 6.2.
208
Tabel 6.2. Tanaman yang mengandung selenium
No. Tanaman Kandungan Se (mg/kg) 1. Alfalfa 0,32 – 0,37 2. Biji Brewer’s 0,70 3. Jagung (gluten meal) 1,11 4. Biji kapas 10,0 5. Biji Flax 0,90 6. Oat (hay) 0,17 7. Biji barley 0,11 – 0,22 8. Jagung (distiller’s grain) 0,48 9. Biji jagung 0,08 10. Tepung ikan 1,4 – 2,4 11. Oat (grain) 0,26 12. Oat (silase) 0,01 13. Biji rep 1,05 14. Biji kedelai 0,11 15. Wheat (soft, winter grain) 0,05 16. Whey (dehidr.) 0,06 17. Sorghum silase 0,21 18. Bungkil biji bunga matahari 2,13 19. Wheat (hard, winter grain) 0,45 20. Yeast 0,98 – 1,08
Selenium ditemukan sebagai nutrisi esensial pada tahun 1957. Penemuan
Se dalam glutathione peroxidase merupakan kunci pengertian tentang pentingnya
selenium dalam nutrisi dan kesehatan. Glutathione peroxidase atau GSH-Px
esensial untuk melindungi membran seluler dari kehancuran. Senyawa radikal
bebas merupakan molekul reaktif dan jika kekeliruan ini tidak dicegah akan
menghancurkan membran seluler.
Vitamin E dan GSH-Px adalah dua molekul yang menolong mencegah
kehancuran. Vitamin E mencegah molekul berbahaya (peroksida) dari
pembentukan, tetapi meskipun dengan vitamin E yang cukup memadai, beberapa
peroksida dapat menghindari kehancuran. GSH-Px menghancurkan peroksida
sebelum peroksida mempunyai kesempatan untuk menyebabkan kerusakan
membran. Konsentrasi dan aktivitas GSH-Px langsung berhubungan dengan
status selenium pada ternak. Selenium dan vitamin E merupakan antioksidan
209
karena melindungi membran dari kerusakan oksidatif. Oleh karena adanya
pembagian tugas tersebut, maka terjadi hubungan diantara kedua senyawa yang
berarti satu senyawa dapat mengganti senyawa lainnya. Sebagai contoh lebih
banyak Se dibutuhkan ketika konsentrasi vitamin E pada ternak rendah.
Selenium dapat menghemat penggunaan vitamin E dengan cara:
1. Mempertahankan integritas pankreas untuk pencernaan lemak yang normal,
sehingga absorpsi vitamin E juga normal.
2. Mengurangi jumlah vitamin E yang dibutuhkan untuk memelihara membran
lipid melalui GSH-Px.
3. Membantu retensi vitamin E dalam darah
Vitamin E menghemat penggunaan selenium dengan cara:
1. Memelihara selenium dalam bentuk aktif dan mencegah kehilangan selenium.
2. Mencegah kerusakan membran lipid dari dalam membran yang menghalangi
produksi hidroperoksida dan menurunkan jumlah GSH-Px yang dibutuhkan.
Selenium juga ditemukan dalam enzim 5’-deiodinase yang mengkatalis
reaksi hormon tiroksin dari bentuk inaktif menjadi aktif. Tiroksin sangat penting
untuk membantu pengaturan suhu tubuh, metabolisme, reproduksi, sirkulasi dan
fungsi otot. Selenium melindungi tubuh dari metal berat seperti kadmium,
merkuri, dan perak dengan membentuk kompleks yang tidak reaktif. Selenium
mungkin terlibat pada banyak fungsi lainnya dalam tubuh seperti komponen
selenoprotein pada sperma, dalam RNA, mengatur sintesis prostaglandin,
mengatur metabolisme asam lemak esensial dan dibutuhkan untuk respon imun
normal.
Selenium terdapat dalam beberapa bentuk dengan beberapa jalan seperti
dikurangi menjadi Se(-2) yang disebut selenida, atau dapat dioksidasi menjadi
Se(+4) yang dikenal dengan nama selenit atau (+6) yang disebut selenat.
Selenium memiliki sifat kimia yang mirip sulfur. Oleh sebab itu tidaklah
mengejutkan jika bentuk organik Se utama dalam tubuh adalah sebagai
selenometionin dan selenosistin. Metionin dan sistin adalah asam amino yang
mengandung sulfur. Se dapat mengganti sulfur karena kemiripan sifat kimia.
210
Sampai saat ini tidak banyak informasi tentang absorpsi dan jalan Se dari
sistem gastrointestinal . Selenium diabsorpsi di usus halus bagian atas. Tidak ada
absorpsi di daerah lambung, rumen maupun abomasum. Jumlah yang diabsorpsi
tergantung pada bentuk kimia yang masuk tubuh. Penyerapan Se melalui plasma
pada protein menuju jaringan yang dimaksud. Konsentrasi selenium dalam
jaringan bervariasi, ginjal menguasai sejumlah besar Se, sepanjang kardia dan otot
skeletal serta dalam hati. Selenium lebih siap disimpan dalam bentuk anorganik.
Selenium siap ditransfer melalui plasenta, kelenjar susu, dan dari ayam petelur ke
telur. Sehingga status ternak akan mempengaruhi keturunan dan konsentrasi
susu. Rute utama ekskresi adalah melalui urin dan feses, sedangkan penyerapan
Se melalui pernafasan hanya terjadi dalam kasus keracunan. Ditemukan juga
bahwa mikroorganisme dalam rumen mengubah Se menjadi senyawa yang tidak
larut yang menyebabkan ternak ruminan kurang dapat mengabsorpsi dibanding
ternak monogastrik.
Keracunan selenium mempunyai dua tipe yaitu akut dan kronis.
Keracunan akut disebabkan oleh konsumsi, umumnya dalam pakan tunggal
tanaman yang mengandung selenium tinggi dalam jumlah yang cukup yang
menghasilkan beberapa gejala. Biasanya kematian terjadi dalam beberapa jam.
Sapi dan domba merupakan ternak yang sangat mudah terkena, disamping itu juga
kuda, kambing dan babi. Penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan sedikitnya
3 mg/kg bobot badan adalah dosis letal minimal pada sapi. Sedangkan pada kuda
sebanyak 3,3 mg/kg bobot badan, babi sebanyak 1,2 mg/kg bobot badan dan akan
menyebabkan kematian dalam jangka waktu lima hari. Gejala yang terjadi
meliputi pergerakan abnormal, diare air dengan warna gelap, temperatur naik,
lemas dan nadi cepat, pernafasan sulit, kembung dan sakit perut, selaput membran
pucat dan biru, dan pupil membesar. Sampai saat ini belum diketahui perlakuan
untuk mengobati efek keracunan dan seringkali ternak mati sebelum dilakukan
diagnosis.
Terdapat dua tipe keracunan kronis yang berbeda, tergantung pada bentuk
kimia dari masukan selenium. Tipe pertama adalah “blind staggers” yang terjadi
ketika ternak mengkonsumsi senyawa selenium yang mudah larut dalam air yang
211
secara alami terdapat dalam tanaman akumulator selenium. Tipe kedua adalah
“alkali disease” yang terjadi keracunan ketika ternak mengkonsumsi tanaman atau
butiran dengan selenium tidak larut yang diikat protein.
Blind staggers umumnya terjadi pada sapi dan domba yang mengkonsumsi
tanaman yang mengandung selenium. Gejala yang terjadi terdapat dalam tiga
tahap, yaitu:
1. Berputar-putar, tersandung objek yang menonjol, anoreksia, kelemahan
penglihatan.
2. Peningkatan tajam terhadap gejala tahap pertama, kaki depan nampak tidak
dapat mendukung ternak.
3. Kebutaan, paralisis lidah dan mekanisme penelanan, pernafasan sulit dan
cepat, salivasi dan suhu tubuh turun.
Ternak akan mati dalam beberapa jam setelah serangan pada tahap ketiga.
Aksi keracunan pada tahap pertama dan kedua mungkin tidak nyata, kemudian
beberapa minggu kemudian ternak menunjukkan tanda pada tahap ketiga dan
mati. Hal tersebut menjadi lebih sulit untuk mendiagnosa karena tahap-tahap
tersebut tidak jelas pada sapi. Keracunan sejumlah Se juga menyebabkan cacat
pada keturunan yang lahir.
Alkali disease lebih kronis dibandingkan blind staggers. Serangan tersebut
sering mengambil bertahun-tahun terdapat pada ternak. Hal tersebut disebabkan
oleh konsumsi pakan tanaman yang mengandung selenium tidak larut yang terikat
protein. Penyakit tersebut berpengaruh terhadap semua ternak tetapi kebanyakan
dideteksi pada sapi dan kuda. Gejala umum adalah kekurangan vitalitas, anemia,
kurus, kekakuan tulang sendi, kepincangan, kulit kasar, kehilangan bulu,
menderita sewaktu berjalan dan cacat. Cacat kuku merupakan gejala klasik
selenium dan dapat menyebabkan kepincangan dan beberapa kesakitan pada
ternak.
Defisiensi selenium lebih banyak umum di daerah barat AS dimana
kandungan selenium tanah rendah. Disana banyak penyakit berbeda yang
berpengaruh terhadap spesies yang berbeda. Disana terdapat penyakit yang
konsisten pada semua spesies peternakan yaitu nutritional muscular dystrophy
212
atau white muscle disease (WMD) yang disebabkan oleh defisiensi selenium dan
atau vitamin E dan asam amino yang mengandung sulfur. Penyakit tersebut
ditandai dengan degenerasi otot skeletal sehingga gaya berjalan kaku.
Kebutuhan nutrisi selenium untuk sapi perah adalah 0,3 mg/kg bobot
badan. Sedangkan pada sapi pedaging adalah 0,2 mg/kg. Kebutuhan tersebut
lebih tinggi ketika pakan yang dikonsumsi adalah kacang-kacangan ketika
konsumsi sulfur tinggi, konsumsi vitamin E rendah dan ketika pakan
mengandung logam berat. Pakan dengan jumlah asam lemak tidak jenuh akan
meningkatkan kebutuhan selenium. Efek defisiensi selenium pada sapi meliputi
penyakit otot putih, plesenta menguat, penurunan performan, penyakit sistik
ovarium dan anemia.
Kebutuhan nutrisi selenium untuk domba adalah 0,10 – 0,20 mg/kg bobot
badan. Penyakit akibat defisiensi selenium pada domba sama seperti pada sapi.
Anak domba mempunyai kemungkinan insiden yang tinggi terkena penyakit otot
putih, dan terdapat dua tipe penyakit tersebut. Pertama adalah penyakit otot putih
bawaan (congenital), dimana anak domba lahir dengan kondisi kurus dan mati
atau mati dalam beberapa hari setelah memeras tenaga. Tipe kedua adalah
penyakit otot putih yang tertunda dan dapat terjadi dari 1 – 4 bulan setelah lahir.
Anak domba tersebut berjalan dengan gaya berjalan goyah dan melengkung ke
belakang. Domba betina juga menderita infertilitas dan kehilangan embrio ketika
defisiensi selenium. Juga terjadi penurunan performan yang meliputi penurunan
pertumbuhan, penurunan konsumsi pakan dan penurunan produksi wool.
Kebutuhan nutrisi selenium untuk babi adalah 0,10 – 0,30 mg/kg. Babi
menunjukkan penyakit yang bervariasi akibat defisiensi selenium. Penyakit hati
yang berhubungan dengan pakan adalah degenerasi hati, yang dapat secara akut
menyebabkan kerusakan hati pada babi yang sedang tumbuh, atau lebih sub akut
dengan gejala penyakit kuning, edema dan atau cardiomiopati. Penyakit hati yang
membesar terjadi pada babi yang sedang bertumbuh yang menyebabkan
cardiomiopati, sering berpasangan dengan hemoragi jaringan kardia. Sama juga
dengan spesies lain, babi juga dapat terkena nutritional muscular dystrophi
(NMD). Babi juga lebih mudah terkena disentri ketika terjadi defisiensi selenium.
213
Kebutuhan nutrisi selenium untuk kuda adalah 0,10 mg/kg. Nutritional
muscular dystrophy diketahui sebagai penyakit yang menyerang kuda ketika
terjadi defisiensi selenium. Sama dengan domba, kuda juga mempunyai tiga pola
penyakit NMD yang berbeda. Pola pertama adalah akut, dengan kematian akan
terjadi dalam waktu 24 jam. Lidah anak kuda akan lumpuh, menyebabkan tidak
dapat menyusu pada induknya. Pola kedua lebih umum dan disebabkan oleh
gerak badan. Anak kuda yang lebih tua lebih mudah terkena pola ini dengan
gejala gaya berjalan goyah dan kelemahan seluruh otot, denyut jantung cepat
dengan aritmia dan kesulitan bernafas. Setelah beberapa hari, anak kuda akan
kesulitan berdiri dan salivasi berlebihan. Mortalitas akibat pola ini mencapai
sekitar 30 – 45%. Pola ketiga menyerang kuda yang lebih tua dan ini akibat
defisiensi selenium yang kronis. Kuda yang terkena menunjukkan gejala
anoreksia, kurus, kelemahan seluruh otot, denyut jantung cepat dan diare.
Kebutuhan nutrisi selenium untuk unggas bervariasi tergantung pada status
unggas tersebut. Pada ayam muda yang kurang dari 6 minggu kebutuhannya
adalah 0,15 mg/kg, sedangkan kebutuhan selenium untuk unggas lainnya adalah
0,10 mg/kg. Beberapa kondisi akan terjadi pada unggas yang terkena defisiensi
selenium. Pertama adalah eksudatif diatesis, yang merupakan akumulasi cairan
melalui tubuh khususnya perut dan kaki. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh kapiler dan kebocoran cairan dari pembuluh kapiler.
Ayam dengan kondisi ini juga terkan anemia dan defisiensi protein. Hal tersebut
terjadi sekitar 2 – 4 minggu setelah penetasan dan mudah didiagnosa dengan
gejala edema dan warna kulit hijau kebiruan setelah itu berlanjut pada tahap
hemoragi. Unggas juga terserang NMD sehingga mengalami atropi pankreas
yang disebabkan oleh hanya defisiensi selenium. Atropi pankreas menyebabkan
pengurangan jumlah lipase, tripsinogen, dan kimotripsin, kesemuanya merupakan
enzim yang membantu pencernaan zat makanan. Akibat semua itu adalah
penurunan pertumbuhan bobot badan dan bulu secara drastis serta penurunan
produksi telur.
Jalan paling efektif untuk mencegah selenosis adalah memindahkan ternak
dari area yang mengandung selenium. Perlakuan pada tanah dengan menambah
214
sulfat akan merubah rasio sulfat dengan selenium kadang-kadang dapat
mengurangi ketersediaan Se pada tanaman akumulator. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pakan dengan protein tinggi akan mengurangi keracunan Se.
Pakan ternak dengan jumlah racun selenium yang sama tetapi dengan protein
lebih tinggi akan menunda kematian ternak dalam beberapa hari dibandingkan
dengan pakan yang rendah protein. Pengurangan pakan yang mengandung Se
tinggi dengan pakan dengan Se rendah akan membantu mencegah keracunan.
Pengenalan tanaman yang mengandung selenium, menyiapkan manajemen tanah,
dan mengontrol grazing merupakan pencegahan sempurna terhadap selenosis.
Jalan paling efektif untuk mencegah defisiensi selenium adalah memberi
pakan konsentrat pada ternak dengan suplemen komersial dengan ketersediaan
selenium sekitar 0,1 – 0,3 mg/kg. Sodium selenit adalah suplemen komersial
yang sangat umum, kalsium selenit juga dapat digunakan dan lebih rendah tingkat
berbahayanya dibandingkan dengan sodium selenit. Pada ternak yang
mengkonsumsi hijauan, hal tersebut juga mungkin untuk mensuplementasi pakan
rendah selenium dengan biji-bijian dan tanaman tinggi selenium. Pemberian
garam selenium juga dapat memecahkan problem tersebut. Pupuk yang
mengandung selenium tidak signifikan menunjukkan peningkatan kandungan
selenium dalam tanaman. Dalam area yang diketahui terdapat defisiensi
selenium, sering dipraktekkan dengan memberi injeksi selenium dan vitamin E
pada anak sapi dan induk sapi yang bunting pada trisemester kedua untuk
mencegah penyakit.
215
BAB 7 SENYAWA RACUN POLIFENOL
7.1. Gosipol
Gosipol merupakan salah satu dari sekian banyak zat anti nutrisi yang
banyak terdapat pada pakan ternak. Gosipol diisolasi dan dinamakan sejak tahun
1899. Nama gosipol diturunkan dari Gossypium fenol. Gosipol merupakan
senyawa golongan polifenol dengan nama kimia 1,1'-6,6'7,7' - heksahidroksi -
5,5'- diispropil -3,3' - dimetil (2,2' - binaftalena) - 8,8'-dikarboksaldehida, dengan
rumus kimia C30H30O7. Gosipol berbentuk padatan dengan hablur kuning dan
berbobot molekul 518,7. Gosipol memiliki gugus fungsional yang reaktif
terhadap senyawa di dalam tubuh terutama yang memiliki gugus amina dan ion
besi sehingga mengganggu reaksi biokimia tubuh, disamping itu juga
menunjukkan keasaman kuat yang dapat bertindak sebagai fenol ataupun aldehid.
Dalam bentuk kristal akan mudah larut dalam larutan organik dan sangat peka
terhadap cahaya. Reaksi antara gosipol dengan asam akan membentuk garam
netral apabila dilarutkan dalam alkali. Gosipol pada titik leleh 184oC
terkristalisasi dalam ether, pada suhu 199oC pada khloroform dan pada suhu
214oC pada ligroin. Rumus bangun kimia gosipol dapat dilihat pada Gambar
7.1. berikut ini.
CHO OH OH CHO HO OH HO CH3 H3C OH
CH CH H3C CH3 H3C CH3 Gambar 7.1. Komposisi kimia gosipol
216
Gosipol umumnya terdapat dalam biji-bijian seperti biji kapas (Gossypium
spp.), biji kapuk, ataupun biji okra, selain itu terdapat pula pada bagian lain dari
tanaman seperti batang, daun benang sari dan kulit kapas. Tanaman Gossypium
spp dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.2.
Gambar 7.2. Tanaman Gossypium spp (http://yucca.standardoutcom dan http://www.inra.fr)
Umumnya gosipol terdapat dalam kelenjar pigmen biji-bijian. Bungkil biji
kapas yang kaya akan gosipol mengandung sebanyak lebih kurang 0,517 persen.
Gosipol yang bebas maupun terikat dapat meracuni ternak, tetapi gosipol bebas
yang paling berbahaya, sedangkan gosipol yang terikat misalnya dengan FeSO4
tidak berbahaya. Pada tanaman kapas sebagai salah satu penghasil bungkil yang
merupakan penghasil protein dan energi yang tinggi bagi makanan ternak. Tetapi
sangat disayangkan protein tersebut tidak dapat digunakan secara bebas oleh
ternak (terutama ternak monogastrik) karena mengandung polifenol.
Karena adanya zat racun gosipol dalam pakan maka akan dapat
menghambat dan menurunkan kualitas telur (kuning telur menjadi berwarna hijau
kebiru-biruan dan putih telurnya menjadi agak berwarna merah jambu).
Penurunan nafsu makan, bobot badan dan kadar Hb dalam darah atau
berkurangnya sel darah merah dalam tubuh.
217
Dalam praktek 400 mg gosipol bebas/kg makanan dapat menimbulkan
gejala keracunan dalam 6 - 8 minggu, Gejala-gejala keracunan tersebut erat
hubungannya dengan konsentrasi dan waktu gosipol tersebut dimakan oleh ternak
yang bersangkutan. Sedikit banyaknya jumlah gosipol menyebabkan keras dan
warna hijau kebiruan pada kuning telur. Efek gosipol terlihat nyata pada telur
beberapa hari seteleh ayam tersebut mengkonsumsi gosipol. Bungkil biji kapas
mengandung dua substansi yang menyebabkan kualitas telur jelek. Asam lemak
siklopropena, malvalat dan asam sterculat menyebabkan warna merah jambu pada
putih telur jika ayam memakan minyak biji kapas. Albumen telur yang normal
berwarna jernih dengan kuning tipis dimana hal tersebut berasal dari riboflavin,
kadang riboflavin yang berlebihan dari kebutuhan menyebabkan putih telur yang
dihasilkan berwarna agak lain, hal ini dapat diihindari dengan mengurangi
pemberian riboflavin.
Pemberian bungkil biji kapas pada ayam petelur memberikan pengaruh
terhadap kualitas telur, sedikitnya 0,001% gosipol bebas pada pakan ayam akan
menyebabkan pelunturan pada warna kuning. Minyak biji kapas mengandung
asan lemak dengan rantai siklopropena yang menyebabkan warna merah jambu
pada putih telur, juga menyebabkan deposisi yang besar dari asam stearat dan
asam palmitat didalam depot lemak. Jadi telur dan lemak badan dari ayam yang
mengkonsumsi minyak biji kapas memiliki asam stearat lebih besar dibandingkan
dengan ayam yang memakan lemak yang lain dari makanannya.
Diketahui bahwa gosipol tersebut terlebih dulu berakumulasi dalam
berbagai jaringan tubuh sebelum menimbulkan gejala keracunan. Penimbunannya
terutama dalam hati. Proses akumulasi dapat berlangsung selama 28 hari
kemudian cenderung menurun (kuadratik). Sifat akumulasi tersebut termanifestasi
pula dalam nafsu makan dari ternak yang bersangkutan. Akumulasi tersebut akan
menghilang setelah 3 minggu diberhentikan dari pemberian sumber gosipol
(proses deplesi). Sifat deplesi tersebut sangat menguntungkan pihak konsumen
apabila tiga minggu sebelum dipotong ternak tidak diberi ransum yang
mengandung gosipol. Gosipol dikeluarkan dari hati melalui empedu. Sebenarnya
meskipun gosipol tersebut belum hilang dalam jaringan tubuh ternak yang
218
dipotong, bahaya pada konsumen/manusia tetap kurang oleh karena jumlah hati
yang termakan relatif sedikit dan banyak gosipol yang menjadi non aktif bila
dipanasi atau daging dimasak.
Penelitian tentang bungkil biji kapas pada pakan broiler terutama yang
tanpa kulit, 50% protein bungkil biji kapas dapat diserap dengn baik bila gosipol
dan asam lemak beracun diminimalkan. Bukti yang dapat dilihat dan
memungkinkan mengurangi porsi racun dari gostpol didalam bungkil biji kapas
adalah dengan penambahan sedikit garam besi dalam pakan.
Hidrolisis dari fitin didalam bungkil biji kapas tidak hanya membebaskan
fosfor untuk digunakan ayam tetapi juga membuat bebasnya beberapa protein dari
protein fitat kompleks, keberadaan keduanya yaitu asam amino dan energi
metabolisme menambah nilai bungkil. Hidrolisis fitat dari fitin juga
menghasilkan reduksi seng yang dibutuhkan oleh ayam. Lima puluh persen
protein bungkil biji kapas memiliki nilai energi yang sama dengan 50% protein
bungkil kedelai dan defisiensi asam amino dapat diperbaiki dengan penambahan
metionin dan lisin yang membuka jalan untuk lebih banyak lagi penggunaan
bungkil biji kapas dalam peningkatan efisiensi pakan khususnya didalam negara
dimana produksi kapas melimpah dan sumber protein yang lain sangat mahal.
Pengelolaan biji kapas yang baik dapat menghilangkan gosipol sehingga
aman digunakan dalam jumlah tertentu untuk pakan ayam. Bungkil yang memiliki
kandungan minyak yang sedikit sangat baik untuk menccegah terjadinya warna
merah jambu pada putih telur. Gosipol dapat lepas dari kelenjar pigmen dengan
mengekstrak bungkil dengan campuran azeoptropic hexena, aseton dan air (44 :
53 :5) tetapi proses ini tidak digunakan secara komersial.
Besi mempunyai sifat detoksinasi bila ditambahkan dalam makanan yang
mengandung gosipol ataupun diberikan dalam air minum, karena preparat Fe
dapat menyebabkan gosipol tersebut menjadi tidak larut. Dosis penambahan
preparat besi Fe : Gosipol = 1 : 1 dan dosis yang lebih rendah tersebut dapat
mengurangi penurunan berat badan tetapi tidak dapat mencegah keracunan.
Sebaliknya dosis Fe yang terlalu tinggi sampai 3200 mg Fe/kg makanan juga
dapat merugikan, menurunkan bobot badan walaupun gejala keracunan dapat
219
diobati. Preparat Fe harus yang larut, bentuk ferro preparat yang tidak larut tidak
akan ada gunanya untuk mencegah keracunan gosipol. Kalsium hidroksida dapat
pula mencegah terjadinya keracunan seperti halnya preparat Fe bila ditambahkan
dalam biji kapas dalam bentuk larutan.
Cara pencegahan yang lain adalah dengan berbagai perlakuan dalam
proses ektraksi lemaknya. Dalam pengeluaran lemak secara mekanis proses
tersebut akan lebih mudah atau baik jika biji kapas terlebih dahulu dipanasi
(dengan uap panas) sambil diperas atau pres. Panas tersebut akan memecah
kelenjar resin dimana gosipol tersebut tersimpan. Dengan pecahnya kelenjar
tersebut gosipol keluar bersama lemak atau minyak dan menyebar bercampur
dengan protein biji. Protein dan gosipol membentuk ikatan kompleks terutama
karena gosipol berkaitan dengan asam amino bebas lisin dari protein yang
bersangkutan. Protein kompleks tersebut kurang dapat dicerna oleh enzim-enzim
protease sehingga gosipol tersebut tidak dapat diserap, dengan demikian nilai gizi
dari protein yang diharapkan dari biji kapas tersebut pun menjadi turun.
Prosesing tersebut tidak hanya menurunkan daya guna lisin tapi juga valin,
treonin, leusin dan methionin. Ekstrak solven adalah cara yang menghasilkan
bungkil yang rendah akan gosipol bebas dan kualitas protein yang relatif baik.
Sedangkan ekstraksi langsung dengan pelarut (biasanya dengan hexana)
menghasilkan bungkil yang banyak mengandung gosipol bebas tetapi kualitas
proteinnya tinggi. Penggantian makanan yang mengandung gosipol adalah jalan
yang lebih baik menghilangkan gosipol dalam tubuh dibandingkan penambahan
preparat Fe, lagi pula penambahan preparat Fe saja tidak dapat menghilangkan
secara tuntas gosipol yang telah di deposit ke dalam hati.
7.2. Tannin
Tannin merupakan senyawa polifenolik dengan bobot molekul yang tinggi
dan mempunyai kemampuan mengikat protein. Tannin terdiri dari katekin,
leukoantosiannin dan asam hidroksi yang masing-masing dapat menimbulkan
warna bila bereaksi dengan ion logam. Senyawa-senyawa yang dapat bereaksi
220
dengan protein dalam proses penyamakan kulit kemungkinan besar terdiri dari
katekin dengan berat molekul yang sedang, sedangkan katekin dengan berat
molekul yang rendah ditemukan pada buah-buahan dan sayuran. Katekin dan
epikatekin merupakan isomer, yaitu pada katekin, hidroksil-hidroksil pada cincin
benzena berbentuk trans, sedangkan pada epikatekin berbentuk cis. Tannin tidak
dapat mengkristal dan berbentuk senyawa koloid. Tannin disebut juga asam tanat
dan asam galotanat. Tannin mulai tidak berwarna sampai berwarna kuning atau
coklat. Asam tanat yang dibeli di pasaran mempunyai bobot molekul 1.701 dan
kemungkinan besar terdiri dari pengambilan molekul asam galat dan sebuah
molekul glukosa. Komposisi kimia katekin dan epikatekin dapat dilihat pada
Gambar 7.3.
OH OH O HO OH OH Gambar 7.3. Komposisi kimia katekin dan epikatekin
Tannin terdiri dari dua kelompok, yaitu condensed tannin dan hydrolizable
tannin. Kelompok condensed tannin merupakan tipe tannin yang terkondensasi,
tahan terhadap degradasi enzim, tahan terhadap hidrolisa asam, dimetilasi dengan
penambahan metionin, sering kompleks susunannya dan banyak dijumpai dalam
biji-bijian sorghum. Condensed tannin diperoleh dari kondensasi flavanol-
flavanol seperti katekin dan epikatekin, tidak mengandung gula dan mengikat
protein sangat kuat sehingga menjadi rusak. Komposisi kimianya dapat dilihat
pada Gambar 7.4.
221
OH HO OH OH OH OH HO OH OH OH OH HO OH OH HO Gambar 7.4. Komposisi kimia condensed tannin
Aksi tannin pada hewan mungkin tergantung pada solusibilitas tannin
dalam saluran pencernaan. Solubilitas hydrolizable tannin lebih tinggi dari pada
condensed tannin, sehingga hydrolizable tannin lebih mudah terhidrolisis dari
pada condensed tannin yang menyebabkan penurunan konsumsi pakan karena
rasa sepat bagi ternak.
Hydrolizable tannin mudah terhidrolisis oleh asam-asam alkali serta
enzim, menghasilkan glukosa dan asam aromatik yaitu asam galat dan asam
ellagat, terdiri dari residu gula-gula. Hydrolizable tannin sering juga disebut
sebagai asam galat karena merupakan senyawa karbohidrat yang terdiri dari
molekul glukosa dan 10 asam galat. Hydrolizable tannin terdiri dari dua macam,
yaitu gallotannin dan ellagitannin. Gallotannin merupakan senyawa ester dari
glukosa dengan asam galat. Ellagitannin merupakan ester dari glukosa dengan
asam ellagat (asam heksahidroksifelat). Contoh hydrolizable tannin adalah asam
klorogenik yang termasuk dalam kelompok asam galat. Komposisi kimia
hydrolizable tannin dapat dilihat pada Gambar 7.5.
222
HO COOH O HO -CH=CH-C-O OH HO OH Gambar 7.5. Komposisi kimia hydrolizable tannin Istilah tannin diperoleh dari penggunaan mengekstrak (menyadap)
tumbuhan (pohon hidup) pada bagian kulitnya, terutama warna kulit. Letak tannin
dalam bijian tumbuhan biasanya terdapat pada bagian pericarp, testa, dan juga
pada germnya. Bahan pakan yang mengandung tannin antara lain adalah biji
sorghum, biji bunga matahari, biji kapas, kacang tanah, biji lobak, kecipir, alfalfa,
delima, lamtoro dan masih banyak lagi tumbuhan yang mengandung tannin.
Hampir semua keluarga tanaman mempunyai spesies yang mengandung
tannin, diantaranya berada pada daun, buah, kulit, pohon, batang maupu akar.
Salah satu tanaman yang mengandung tannin adalah tanaman sorghum. Sorghum
termasuk tanaman golongan padi-padian. Sistematika dari tanaman sorghum
adalah sebagai berikut :
Kelas : Monocotyledanae
Famili : Gramineae
Spesias : Sorghum
Sub spesies : Sorghum bicolor
Sorghum terutama ditanam di daerah tropis atau sub tropis, tetapi dapat
juga diusahakan tumbuhnya di daerah beriklim sedang. Di Indonesia banyak
dikenal berbagai varietas sorghum antara lain Proteria no. 183, Birtprof no. 65,
Malang no. 28, Cempaka, Katengu no. 183. Tanaman sorghum, bagan, dan
bijinya dapat dilihat pada Gambar 7.6. dan 7.7.
223
Gambar 7.6. Tanaman sorghum (www.mpiz-koeln.mpg.de dan www.fuerstenhaus.li)
Gambar 7.7. Biji sorghum (www.victoryseeds.com)
224
Sorghum memiliki zat gizi hampir sama dengan jagung, akan tetapi
sorghum mengandung zat anti nutrisi yang berupa tannin. Butiran sorghum yang
digiling dapat digunakan dalam ransum unggas, sama halnya dengan jagung
giling, meskipun kadang-kadang rasa sorghum sedikit kurang enak dibandingkan
dengan jagung tetapi ternak sangat menyukainya. Semakin tinggi level
penggunaan sorghum dalam ransum akan semakin menurun pertambahan bobot
badan harian pada ayam pedaging.
Pada umumnya kandungan mineral terutama mineral makro pada sorghum
dan jagung sama-sama rendah, sedangkan kadar seng dan besi pada sorghum jauh
lebih rendah dibandingkan jagung. Sebaliknya kadar mangan dan tembaga
sorghum jauh lebih tinggi dibanding jagung. Meskipun dapat digunakan sebagai
alternatif pakan dalam ransum ayam pedaging, penggunaan sorghum harus
dibatasi karena sorghum mengandung zat anti nutrisi tannin.
Sistem metabolisme dalam tumbuhan penghasil tannin adalah adanya
ikatan hidrogen yang terbentuk antara hidroksi fenol dan kelompok peptida yang
terjadi pada selaput kolagen menjadi bentuk ikatan silang antara rantai protein
yang saling berdekatan. Oksidasi fenol dalam tannin menjadi quinon memberikan
kenaikan ikatan kovalen dengan epsilon asam-asam amino yaitu lisin dan arginin
yang selanjutnya dapat meningkatkan daya tahan kulit, tahan terhadap aksi
bakteri, panas dan abrasi. Hal tersebut menyebabkan pakan yang mengandung
tannin memiliki daya cerna dan palatabilitas yang rendah. Sistem metabolisme
tannin dalam tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 7.8.
Kandungan tannin dalam sorghum diduga berkaitan dengan warna kulit
biji sorghum, yaitu semakin gelap warna biji sorghum, maka makin tinggi
kandungan tannin. Biasanya biji sorghum yang berwarna coklat tua mengandung
tannin cukup tinggi. Dengan pemberian sorghum yang mengandung tannin tinggi
dapat menyebabkan pertumbuhan ayam-ayam muda terhambat. Gejala ini sama
dengan gejala yang ditimbulkan oleh pemberian asam tannin murni dalam ransum.
Dengan pemberian sorghum yang mengandung tannin lebih dari 0,5 persen dalam
ransum akan menyebabkan penekanan pertumbuhan ayam, tetapi dapat diperbaiki
dengan penambahan metionin atau kholin.
225
HO -CH=CH-COOH
HO Caffeic acid Oksidasi polifenol O CH=CH-COOH HO Caffaqumone Gambar 7.8. Sistem metabolisme tannin Tannin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tannin
mengandung sejumlah kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan molekul
protein dan menghasilkan ikatan silang yang besar dan kompleks yaitu protein-
tannin. Terdapat tiga mekanisme reaksi antara tannin dengan protein sehingga
terjadi ikatan yang cukup kuat antara keduanya, yaitu :
1. Ikatan hidrogen dengan gugus OH pada tannin dan gugus reseptornya.
Misalnya antara NH dengan OH pada protein.
2. Ikatan ion antara gugus anion pada tannin dengan gugus kation pada protein.
3. Ikatan cabang kovalen antara quinon dan bermacam-macam gugus reaktif
pada protein
Ikatan diatas menyebabkan tannin akan segera mengikat protein pakan
dalam saluran pencernaan dan menyebabkan pakan menjadi sulit dicerna oleh
enzim-enzim pencernaan. Interaksi tannin dengan protein dalam ludah (saliva)
dan glikoprotein dalam mulut menyebabkan rasa mengkerut (menyempit) pada
mulut.
226
Tannin juga merupakan senyawa polifenol yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan hewan dengan menggunakan dua cara yaitu :
1. Rasa sepat pada tannin dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan pada
ternak.
2. Kemampuan tannin untuk mengikat protein di intestinum yang menyebabkan
penurunan daya cerna dan absorbsi protein.
Dalam tubuh unggas khususnya ayam, pemberian pakan yang
mengandung tannin sebesar 0,33 persen tidak membahayakan. Akan tetapi
apabila kadar tannin dalam pakan mencapai 0,5 persen atau lebih akan mulai
memberikan pengaruhnya yaitu dapat menekan pertumbuhan ayam, karena tannin
menekan retensi nitrogen dan mengakibatkan menurunnya daya cerna asam-asam
amino yang seharusnya dapat diserap oleh villi-villi usus dan dimanfaatkan untuk
pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang terlihat
akibat adanya tannin adalah pertumbuhan yang lambat, nafsu makan berkurang
karena rasa pahit pada tannin kaki yang tidak normal (pengkor) dan kemampuan
memproduksi telur menurun.
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan pengaruh tannin
adalah dengan perendaman dalam air, perendaman dalam larutan alkali, cara
mekanis dan suplementasi donor metil. Perendaman dengan air dapat dilakukan
dengan air suling dengan suhu 30oC selama 24 jam, yang dapat menurunkan kadar
tannin sebanyak 31 persen. Perendaman dengan larutan alkali dapat dilakukan
dengan larutan NaOH dan KOH 0,05M pada suhu 30oC selama 24 jam, yang
dapat menurunkan kadar tannin sebanyak 75 sampai dengan 85 persen. Larutan
alkali yang paling efektif untuk menetralisasi tannin adalah larutan kapur (CaO) 1
persen selama 10 menit. Larutan CaO akan membentuk Ca(OH)2 dalam air,
sehingga senyawa polifenol diduga akan diikat oleh ion Ca2++ dengan ikatan
ionik, pertukaran ion atau mengalami penguraian. Larutan alkali lain yang dapat
digunakan antara lain adalah K2CO3, NH4OH dan NaHCO4. Pengurangan tannin
dengan cara mekanis dapat dilakukan dengan penyosohan dengan mengupas
pericarp pada sorghum. Apabila pakan yang mengandung tannin terlanjur
dikonsumsi oleh ternak dapat diberikan tambahan donor metil, seperti metionin,
227
kolin, arginin dalam bentuk murni. Donor metil berfungsi sebagai detoksifikasi
tannin karena mengandung gugus metil labil yang dapat ditransfer dalam tubuh
serta menyebabkan metilasi asam galat hasil hidrolisis tannin.
7.3. Hiperisin
Masukan tanaman St. John’s-wort (Hypericum perforatum) dengan
grazing ternak menyebabkan perkembangan reaksi fotosensitisasi. Agen
fotodinamik tersebut adalah turunan naftodiantron yang disebut hiperisin yang
termasuk senyawa polifenol. Hiperisin adalah agen fotosensitizing utama. Hal
ini berarti zat tersebut adalah pigmen fotodinamik yang bereaksi dengan cahaya
pada permukaan kulit. Fotosensitizer sekunder adalah senyawa yang
menimbulkan kerusakan hati ringan dan mencegah eksresi normal filoeritrin yaitu
produk degradasi klorofil. Filoeritrin adalah agen fotodinamik. Agen fotodinamik
bereaksi dengan cahaya ultraviolet pada permukaan kulit dan berpijar ketika
membentur cahaya foton, dengan demikian menimbulkan ketidakstabilan molekul
energi. Transfer energi terjadi ketika molekul energi tinggi yang tidak stabil
bertabrakan dengan unsur pokok sel lainnya dan membuat radikal bebas. Hal
tersebut menyebabkan kerusakan pada membran sel dan menyebabkan kerusakan
struktur seluler. Komposisi kimia hiperisin dapat dilihat pada Gambar 7.9.
OH O OH
HOHO
CH3CH3
OH O OH
Gambar 7.9. Komposisi kimia hiperisin
228
Tanaman St. John’s-wort (Hypericum perforatum) yang mengandung
hiperisin merupakan tanaman tahunan yang tegak lurus dengan tinggi 1 – 3 feet,
dan berbunga warna kuning. Daun tanaman tersebut mengandung banyak titik
kecil, nampak dengan mata biasa, yang merupakan butir pigmen tembus cahaya.
Hypericum perforatum adalah salah satu rumput yang banyak terdapat di
Kalifornia, Oregon, dan Washington, tetapi kumbang Chrysolina quadrigemina
diintroduksi untuk mengontrol hal tersebut. Kumbang menggunakan hiperisin
sebagai stimulan pakan dan mengakumulasi zat tersebut yang nyata membuat
serangga tersebut tidak disukai predator. Tanaman Hypericum perforatum dan
bagannya dapat dilihat pada gambar 7.10.
Gambar 7.10. Tanaman Hypericum perforatum (www.funet.fi dan
www.lysator.liu.se)
Keracunan Hypericum sudah terjadi pada semua tipe peternakan.
Masukan sekitar 3 g hypericum kering per kilogram bobot badan akan
menghasilkan tanda-tanda fotosensitisasi. Ternak menunjukkan fotofobia dengan
keengganan terhadap sinar matahari. Eritema (kulit kemerahan) terjadi pada
229
pigmen kulit putih atau terang, pengeluaran serous dan nekrosis kulit. Ternak
akan mati kelaparan atau karena infeksi pada daerah yang terpengaruh. Ternak
dengan kulit hitam atau gelap jarang terpengaruh serangan tersebut. Gatal-gatal
hebat mungkin terjadi dan mempengaruhi individu domba yang baru dicukur
secara khusus mudah terserang.
7.4. Resorsinol
Resorsinol adalah m-dihidroksibenzen. Turunan resorsinol yaitu 5-alkil
resorsinol terjadi dalam triticale dan berharga untuk beberapa pengaruh penekanan
pertumbuhan butir-butiran. Komposisi kimia 5-alkil resorsinol dapat dilihat
pada Gambar 7.11.
OH
OHCH3(CH2)n
Gambar 7.11. Komposisi kimia 5-alkil resorsinol
Resorsinol pada tanaman triticale memberikan pengaruh merugikan pada
penampilan unggas dan babi seperti menyebabkan inhibitor tripsin.
Bagaimanapun perbedaan penampilan pertumbuhan babi dan efisiensi
penggunaan nutrisi tidak dihubungkan dengan inhibitor tripsin pada triticale.
Tanaman triticale dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.12.
230
Gambar 7.12. Tanaman Triticale (www.mda.state.mn.us dan www.gsdenzlingen.em.bw.schule.de)
7.5. Keracunan Black walnut (Juglon)
Tanaman black walnut (Juglans nigra) dan anggota famili walnut lainnya
(Persian atau English walnut, butternut, hickories, dan pecan) mengandung
turunan fenol naftoquinon yaitu juglon (5-hidroksi-1,4-naftoquinon). Senyawa
tersebut adalah substansi allelopati yang menghalangi pertumbuhan tanaman
lainnya. Tomat, kentang dan sayuran lainnya, demikian juga tanaman dan belukar
lainnya dihalangi pertumbuhannya oleh juglon yang dibebaskan menuju tanah dari
akar black walnut. Akibatnya kompetisi antara walnut dengan tanaman lainnya
terkurangi. Komposisi kimia juglon dapat dilihat pada Gambar 7.13.
O
OOH Gambar 7.13. Komposisi kimia juglon
231
Keracunan black walnut pada peternakan khususnya kuda yang
menggunakannya sisa atau serbuk black walnut sebagai bedding menyebabkan
berkembangnya laminitis. Insiden di Colorado menunjukkan bahwa
pembeddingan pada kandang kuda serpihan cemara yang mengandung 20%
serpihan black walnut sebagai pencemar mengakibatkan dalam 12 jam kuda yang
terserang menunjukkan tanda-tanda keracunan meliputi keengganan untuk
bergerak, laminitis akut, edema ringan pada anggota badan, dan depresi.
Disarankan untuk tidak menanam black walnut pada padang penggembalaan kuda
dan tidak menggunakan serpihan atau sisa black walnut sebagai bedding.
Tanaman Juglans nigra dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.14.
Gambar 7.14. Tanaman Juglans nigra (http://drclarkia.com dan www.amicidelverde.it)
232
7.6. Racun Pohon Ek (Oak)
Keracunan pohon ek pada sapi yang mengkonsumsi bagian pucuk, daun,
ranting dan buah terjadi di banyak daerah AS dan Eropa. Keracunan pohon ek
umumnya musiman yang disebabkan oleh masukan pucuk dan daun di musim
semi dan buah di musim gugur. Anggota senyawa tannin, seperti asam tannik dan
unsur pokok asam fenolat yaitu asam gallat adalah agen penyebab. Kandungan
tannin pada daun dan ranting cenderung paling tinggi pada tahap belum matang.
Tanda pertama dari keracunan pohon ek adalah anoreksia, depresi, keluar
air jernih dari rongga hidung, rumen stasis, haus berlebihan, dan urinasi
berlebihan. Kemudian sembelit yang diikuti oleh ekskresi feses yang gelap,
sedikit, berlendir, dan sering berdarah. Luka utama adalah gastritis dan nefritis.
Abomasum dan usus halus sering meradang dan hemoragi. Luka terbesar pada
keracunan pohon ek adalah nekrosis tubuli renal. Ginjal yang terinfeksi pucat dan
bengkak sehingga fungsi ginjal terganggu dengan peningkatan nitrogen urea
darah. Suplementasi pakan dengan campuran yang mengandung kalsium
hidroksida disarankan sebagai tindakan pencegahan.
Kambing dapat menggunakan pohon ek sebagai pakan dengan produktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas total perumputan pohon ek gambel
(Quercus gambelii) pada padang penggembalaan hampir dua kali lipat dilakukan
oleh kambing yang dicampur dan dibandingkan dengan sapi. Pakan dengan level
pohon ek gambel tinggi pada kambing tidak menghasilkan reaksi toksikologi.
Pohon ek yang matang dapat menyumbang secara efektif nutrisi pertumbuhan dan
laktasi kambing. Daun pohon ek yang belum matang ketika racunnya tidak jelas
mempunyai kandungan energi metabolisme rendah dan palatabilitas rendah.
Tanaman Quercus gambelii dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 7.15.
233
Gambar 7.15. Tanaman Quercus gambelii (http://studentwebs. coloradocollege.edu dan www.desert-tropicals.com)
234
BAB 8
MIKOTOKSIN
8.1. Sterigmatosistin
Sterigmatosistin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh fungi
Aspergillus sp terutama jenis Aspergillus versicolor. Sterigmatosistin diketahui
bersifat karsinogenik meskipun tidak sekuat aflatoksin yaitu sepersepuluh hingga
seperseratus daya karsinogenik dari aflatoksin. Juga bersifat teratogenik (embrio
ayam tidak normal). Sterigmatosistin merupakan senyawa warna pucat, dengan
jarum-jarum berwarna kuning. Sterigmatosistin dalam pengamatan visual
berwarna pucat atau kuning, tetapi pada penyinaran ultra violet akan berwarna
merah bata. Jamur Aspergillus versicolor dapat dilihat pada Gambar 8.1.
Gambar 8.1. Jamur Aspergillus versicolor (http://schimmel-schimmelpilze.de)
235
Struktur kimia dari sterigmatosistin serupa dengan aflatoksin.
Sterigmatosistin mempunyai inti ksanfon yang berfusi pada dihidrodipuran atau
pemecahan tetrahidrodifurano. Sterigmatosistin juga disebut sebagai mikotoksin
bisfuranoidi, yang berciri mengandung salah satu dari 7,8–dihidrofurano 2,3b
furan tak jenuh atau 2,3,7,8–tetrat hidrofuro (2,3b) furan tereduksi.
Sterigmatosistin terdiri dari beberapa anggota, antara lain asperotoksin (3-
hidroksi-6,7-dimetok disifuroksanton), O-metil sterigmatosistin dan 5-metoksi
sterigmatosistin. Struktur kimia sterigmatosistin dengan beberapa anggotanya
dapat dilihat pada Gambar 8.2.
Sumber sterigmatosistin berbagai bahan pangan antara lain kacang tanah,
kedelai jagung, beras, dan serealia lain mudah ditumbuhi jenis fungi Aspergillus
sp. antara lain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Aspergillus versicolor,
Aspergillus nidulans, Aspergillus roggulosus, Aspergillus chevalieri, Aspergillus
ruber, Aspergillus amstelodami, Aspergillus ustus, Aspergillus quadrilniatus, dan
Aspergillus aurantio-bronneus. Sterigmatosistin dapat dihasilkan dari Aspergillus
nidulans, Aspergillus versicolor dan fungi genus bipolaris sp. dapat juga
dihasilkan dari Aspergillus versicolor, Aspergillus nidulans, Aspergillus
rugulosus, Aspergillus Flavus, dan dari drechelerea sp. (bentuk tak sempurna dari
cochliobolus). Dari genus bipolaris sp. yang telah diketahui sebagai penghasil
sterigmatosistin adalah bipolaris sorokiniana.
Dari sekian jenis Aspergillus sp, Aspergillus versicolor ternyata paling
tinggi menghasilkan sterigmatosistin. Meskipun jenis ini dapat tumbuh baik
sampai suhu 37oC, tetapi suhu optimum Aspergillus versicolor sekitar 29oC.
Makin lama inkubasi makin banyak dihasilkan sterigmatosistin. Dengan subtrat
yang cocok, hasil sterigmatosistin terbaik antara suhu 20oC sampai lebih 32oC,
dalam waktu inkubasi antara 20 - 30 hari. Tabel 8.1. memperlihatkan sumber
sterigmatosistin.
236
H OH O H O OCH3 O O
Sterigmatosistin
H OH O OH O OCH3 O O
Aspertoksin
H OCH3
O H O OCH3 O O
O-metil Sterigmatosistin
CH3O OH O OH O OCH3 O O
5-metoksi Sterigmatosistin Gambar 8.2. Senyawa kimia sterigmatosistin
237
Tabel 8.1. Sumber sterigmatosistin
Sterigmatosistin (Mg/botol) Aspergillus sp.
Minimum Maksimum A. Flafus A.parasitikus A. Versicolor A. Nidulans A. Rugulasus A chevalieri A. Ruber A. Amstelodami A. Ustus A. Quadrilineatus A. aurantio-branaeos
Sedikit Sedikit 2500 600 30 -a -a - - - -
381 12
16000 4100 7900
- -
1375b 15 b 98 b 66 b
a = hasil kecil, tak terhitung b = berdasarkan mg/kg subtrat
Sterigmatosistin diturunkan secara biogenetis dari prekursor yang sama
yang masuk dalam biosintesa aflatoksin. Biosintesa sterigmatosistin pada
dasarnya sama seperti biosintesis aflaktoksin yang tidak berlanjut, yaitu melalui
jalur asetat-malonat. Urutannya berasal dari perpanjangan rantai asetat-malonat,
melalui asam norsolorat, averufin kemudian versikolarin yang selanjutnya
menjadi versi kolorin A, baru kemudian sterigmatosistin. Biosintesis
sterigmatosistin dapat dilihat pada Gambar 8.3.
Sterigmatosistin dapat menyebabkan kanker hati (hepatama versi colorin
A) atau kelainan hati (siroris) dan juga gangguan ginjal. Percobaan pada embrio
ayam menunjukkan sterigmatosistin bersifat teratogenik (menyebabkan embrio
menjadi tidak normal) umumnya dihubungkan dengan suatu dosis rendah yaitu
antara 1 - 2 mg/ berat telur. Pada dosis 5 - 7 mg, 50 % embrio umur 5 hari akan
mati sedangkan dosis 10 mg, akan mematikan hampir semua embrio (90 - 100%).
Sterigmatosistin mempunyai penyerapan yang rendah. Dalam determinasi secara
fluorometri menunjukkan lebih dari 70% dosis injeksi per oral dikeluarkan lagi
melalui ekskreta dan hanya 0,1% terdeteksi dalam hati. O-acetilasi pada
sterigmatosistin menaikkan toksisitas akut. Tindakan pencegahan
sterigmatosistin antara lain:
238
O O O O O O CH3 COOH O O O Asetat-malonat O O CH3 HO OH O Asam norsolonat O OH HO O O Averufin OH O OH HO O O O Versikolarin H HO O O CH3O O O Sterigmatosistin Gambar 8.3. Biosintesis sterigmatosistin
239
1. Suhu paling baik bagi Aspergillus versicolor antara 20 - 32oC dengan
optimum 29oC pada masa inkubasi 20 - 30 hari, maka bahan pangan pada
kondisi tersebut harus dihindarkan diberikan pada unggas. Penyimpanan
bahan pangan pada suhu 20oC sangat dianjurkan.
2. Menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan dengan menekan
kelembaban yang rendah dibawah 80%.
3. Membuat pH pada bahan pangan dibawah 4,0 karena pada pH ini Aspergillus
sp. tidak akan tumbuh baik.
4. Menurunkan O2 atau menambahkan CO2 dan atau N2 akan menurunkan
kemampuan jamur membentuk sterigmatosistin.
5. Pemanasan pada bahan pangan.
8.1. Asam penisilat
Asam penisilat tergolong mikotoksin yang dihasilkan oleh jenis fungi
Penicillium dan Aspergillus. Sering dimasukkan dalam antibiotika, namun
mikotoksin tersebut ternyata dapat menyebabkan penyakit (toksin) maupun
kelainan pertumbuhan. Mikotoksin asam penisilat diisolasi oleh Alsberg dan
Black dari Penicillium puberlum pada tahun 1913. Pada tahun tersebut hasil
isolasinya sangat sedikit, baru kemudian pada tahun 1936 oleh Birkonshan
diisolasi dalam jumlah agak banyak dengan fungi Penicillium cycllopium.
Menurut rumus strukturnya, asam penisilat adalah γ-keto-β-metoksi-γ-
metilen-α-asam neksenoat. Reaksi asam dari mikotoksin asam penisilat mudah
dideteksi menggunakan kongo-merah. Asam penisilat mudah larut dalam air;
mempunyai titik didih rendah antara 83 - 84o C. Rumus bangun sebagaimana
Gambar 8.4.
CH3
CH2 O O
Gambar 8.4. Komposisi kimia asam penisilat
240
Pada tahun 1972 jenis asam penisilat dapat dideteksi pada jagung yang
ditumbuhi jenis fungi ini di Amerika Serikat. Dalam random sampel ditemukan
sekitar 5 – 231 mikrogram/kg dengan rata-rata 59 mikrogram/kg. Pada sampel
lain, pada penyakit “mata biru” (blue eye) yang terkontaminasi ternyata didapat
rata-rata lebih tinggi, sekitar 82 mikrogram/kg. Selain terdapat pada biji-bijian
hasil pertanian, ditemukan pula dalam jumlah kecil pada keju, tembakau dan
sejenisnya.
Golongan Penicillium penghasil asam penisilat antara lain: Penicillium
martensii, Penicillium puberulum, Penicillium cyclopium, Penicillium roqueforti,
Penicillium viricatum, Penicillium janthinelum, Penicillium barnense, Penicillium
fennelli, Penicillium stplpniferum, Penicillium madriti. Golongan Aspergillus
antara lain Aspergillus ochraceus, Aspergillus melleus, Aspergillus sclerotiorum,
dan Aspergillus alliaceus. Penghasil terbesar asam penisilat didapat dari
Penicillium cyclopium NRRL 1988, diikuti Penicillium puberulum NRRL 3672
dan kemudian Penicillium martensii NRRL 3612. Jamur Penicillium cyclopium
dapat dilihat pada Gambar 8.5.
Gambar 8.5. Jamur Penicillium spp (www.biltek.tubitak.gov.tr)
241
Jagung merupakan bahan hasil pertanian utama yang banyak dicemari
mikotoksin asam penisilat, selain itu juga jenis serealia lain, yaitu cantel
(sorghum), gandum dan beras (meskipun serangannya tidak sehebat pada jagung).
Selain jenis serealia, asam penisilat sering ditemukan pada biji kacang, kedelai,
biji kapas. Genera dan spesies fungi dengan beberapa tingkat kejadian dapat
dilihat pada Tabel 8.2.
Tabel 8.2. Genera dan spesies fungi dengan beberapa tingkat frekuensi
1. Genera dan spesies fungi dengan frekuansi kejadian tinggi. Spesies
Macam pangan
P. cyclopium Produk ikan kering, tepung, miso P. viridicatum Kacang, tepung
2. Genera dan spesies fungi dengan frekeunsi kejadian sedang
A. Ochraseus A. Ostianus P. Puberulum
3. Genera dan spesies fungi dengan frekuensi dengan kejadian rendah
A. Sclerotiorum A. Sulphureus
Beras, kacang, gandum, tepung Miso kacang, produk ikan kering Beras, gandum Tepung beras, miso
Toksisitas asam penisilat akan menurun, bila dalam bahan mengandung
gugus sulfhidril (-SH) sebagaimana terdapat pada sistein atau glutation. Gugus
tersebut mudah bereaksi dengan gugus sulfhidrilnya. Reaksi asam penisilat
dengan gugus-SH dapat dilihat pada Gambar 8.6. Sedangkan biosintesis asam
penisilat dapat dilihat pada Gambar 8.7.
CH3
CH2 O O
CH3O CH3O
OOCH2
CH3+G-SH
G-SHG S
atauC
Gambar 8.6. Reaksi asam penisilat dengan gugus-SH
242
CH3 CH3
COOH HO COOH HO OH HO OH C1 CH3 CH3O O CH2 COOH CH3O COOH CH3 O CH2 CH3O CH3 O O CH2 HO CH3 CH3OH CH3 CH3O
CH3 COOH O O
OH OCH3 CH2 O C1
Gambar 8.7. Biosintesis asam penisilat
243
Dengan hewan percobaan dapat dibuktikan bahwa asam penisilat dapat
menyebabkan kanker (bersifat karsinogenik). Sifat karsinogenik khususnya
menyerang bagian tulang, maka disebut sarkomagenik. Pada embrio ayam, dapat
menyebabkan pertumbuhan yang tidak normal sehingga asam penisilat bersifat
teratogenik. Pada embrio, melalui injeksi lewat kantung udara, didapat dosis 0,85
mg/kg berat telur dapat mematikan (letal). Penyakit tersebut dapat dicegah
dengan :
1. Asam penisilat dihasilkan oleh jenis fungi golongan penicilia dan aspergilia
pada bahan pangan terutama jagung, maka perlakuan bahan tersebut di
lapangan dan penyimpanan sebaiknya dalam keadaan cukup kering untuk
menghindari pertumbuhan fungi.
2. Dapat dilakukan dengan pemanasan atau pemasukan suhu sekitar titik didih,
yang paling banyak dianjurkan sekitar 90 sampai 1000C.
3. Senyawa bergugus –SH (sistein, glutation dan lainnya) dapat menginaktifkan
gugus cabang metil tak jenuh, sehingga sangat memungkinkan bahan sejenis
mengurangi toksisitas asam penisilat.
8.3. Trikotesena
Trikotesena merupakan golongan mikotoksin kelompok tetra siklik yang
dihasilkan oleh beberapa jenis fungi antara lain Fusarium, Myrothecium,
Trichoderma, Cephalosporium, Vertisimonosporium, Cylindrocarpon, dan
Stachybotrys. Terdapat lebih dari 40 trikotesena alam yang telah dapat diamati,
terutama yang berhubungan dengan hewan pertanian yaitu T-2 toxin,
diacetoxycirpenol (DAS), dan vomitoxin (deoxynivalenol atau DON).
Nama trikotesena diturunkan dari jamur Trichothecium roseum, jamur
pertama yang diisolasi untuk mendapatkan trikotesena. Semua anggota turunan
sistem lingkaran trichothecane mengandung sebuah ikatan olefinat diantara C-9
dan C-10, dan kelompok epoksi pada C-12 dan C-13. Ikatan yang terakhir ini
yaitu antara C-12 dan C-13 dijadikan dasar untuk nama 12,13-epoksitrikotesena
yang sering kali digunakan untuk racun ini. Jamur Trichothecium roseum dapat
dilihat pada Gambar 8.8.
244
Gambar 8.8. Jamur Trichothecium roseum (http://nazv.vscht.cz)
Beberapa anggota trikotesena banyak dihasilkan fungi fusarium sp. antara
lain T-2 toksin, Nilavenol, Fusarenon-x dan lainnya. Fusarium sp yang
menghasilkan Fusarenon-x antara lain F. nivale, F. episharia dan Gibberellazeae;
T-2 toksin dihasilkan oleh F. Tricinctum; diasektoksiskirpenol oleh F. equeseti;
roridin C oleh Myrothecium rorium. Diantara berbagai macam anggota
trikotesena maka T-2 toksin mempunyai toksisitas paling tinggi.. Trikotesena
kebanyakan didapat pada bahan pangan serelia berfungi terutama jagung dan
gandum yang umumnya berkualitas jelek. Trikotesena dapat digolongkan
menjadi 5 kelompok menurut komposisi kimia, yaitu kelompok A, B, C dan D.
Toksin formula I adalah kelompok yang terbesar, yang dibedakan oleh
bermacam kombinasi penggantian hidroksil dan acyloxil (OHC) pada trikotesena
R1–R5. Anggota yang paling sederhana pada kelompok ini adalah trikodermol
yang mempunyai satu kelompok hidroksil pada R-2. Anggota yang penting pada
kelompok ini adalah T-2 toxin, DAS, dan monoasetoksissirpenol. Trikotesena
kelompok A mempunyai komposisi kimia seperti terlihat pada Gambar 8.9.
245
H CH3 H O R1 H O R2 R5 R4 CH2 CH3 H
R3
Gambar 8.9. Komposisi kimia trikotesena kelompok A Dari trikotesena kelompok A didapat sebanyak 20 macam mikotoksin
seperti pada Tabel 8.3. Trikotesena keompok B dibedakan oleh pemilikan
kelompok karbonil pada R5 (C-8) Seperti halnya pada toksin kelompok A,
trikotesena anggota kelompok ini memiliki perbedaan kombinasi penggantian
hidroksil dan acyloksil pada R1 – R4. Nivalenol yang merupakan analog
deoksinivalenol (DON atau vomitoxin) adalah anggota yang penting pada
kelompok ini. Trikotesena kelompok B mempunyai komposisi kimia
sebagaimana terlihat pada Gambar 8.3.
Tabel 8.3. Macam-macam mikotoksin dari trikotesena kelompok A
No.
Mikotoksin Gugus substitusi Sumber fungi
R1 R2 R3 R4 R5 1. Trikodermol
(roridin C) H OH H H H Myrothecium roridum
2. Trikodermin H OAc H H H Tricoderma viride 3. Diasetoksiskirpenol
(anguidin) OH OAc OAc H H Fusarium roseum
Fusarium tricinetum Fusarium solani Fusarium lateritium Fusarium rigidiusculum Fusarium oxysporum
4. Diasetilverukarol H OAc OAc H H Myrothecium sp. 5. T-2 toksin OH OAc OAc H
OOCCH2CH(CH3)2 Fusarium tricinetum Fusarium solani Fusarium roseum Fusrium lateritium Fusarium rigidiusculum Fusarium oxysporum Trichoderma viride
6. HT-2 toksin OH OAc OAc H OOCCH2CH(CH3)2
Fusarium tricinetum Fusarium solani
246
Fusarium roseum 7. Triasetoksiskirpendi
ol (C21H25O40triasetat trikotesena)
OH OAc OAc OH OAc Fusarium roseum
8. Neosolaniol (solaniol)
OH OAc OAc H OH Fusarium solani Fusarium roseum Fusarium tricinetum Fusarium rigidiusculum
9. Kalonektrin OAc H OAc H H Fusarium culmorum 10. Diasetilkalonektrin OAc H OH H H Fusarium culmorum 11. Trikotese (skirpena) H H H H H Trichothecium roseum 12. 4.8Dihidroksitrikotes
ena (skirpen-4.8-diol)
H OH H H OH Trichoterium roseum
13. Asetil T-2 toksin OAc OAc OAc H OOCCH2CH(CH3)2
Fusarium tricinetum
14. 7-Hidroksiasetoksiskir-penol
OH OAc OAc OH H Fusarium sp.
15. 7.8-Dihidroksidiasetok-siskirpenol
OH OAc OAc OH OH Fusarium sp.
16. T-2 Tetraol OH OH OH H OH Fusarium tricinetum 17. Asetoksiskrpendiol
(monoasetoksiskirpenol)
OH OH OAc H H Fusarium roseum
18. Skirpentiol OH OH OH H H Fusarium roseum 19. C19H26O8trikotese
na OH OAc OH H OAc Fusarium tricinetum
20. Neosolaniol monoasetat
OH OAc OAc H OAc Fusarium tricinetum
H CH3 H O R1 O R2 O R4 CH2 CH3 H
R3
Gambar 8.10. Komposisi kimia trikotesena kelompok B
247
Trikotesena kelompok B mempunyai 9 macam mikotoksin seperti pada
Tabel 8.4. Trikotesena kelompok C tersusun atas trikotesena makro siklik
dengan jumlah anggota lebih kecil yang memperlihatkan sebagian pada kurang
dari jumlah pada tempat substitusi. Jenis yang menghasilkan trikotesena
makrosiklik adalah myrothecium sp. dan stachybotrys sp. tetapi bukan fusarium
sp. Anggota yang dikenal baik dari kelompok ini adalah satratoksin yang
diproduksi oleh Stachybotrys atra dan dipercaya menyebabkan penyakit pada kda
yang disebut stacibotriotoksikosis. Komposisi kimia trikotesena makrosiklik
sebagaimana terlihat pada Gambar 8.11.
Tabel 8.3. Sumber mikotoksin dari trikotesena kelompok B
No.
Mikotoksin Gugus substitusi Sumber fungi
R1 R2 R3 R4 1. Trikotekolon H OH H H Trichothecium roseum 2. Trikotesin H OOCCH=CHCH3) H H Trichothecium roseum 3. Diasetilnivalenol OH OAc OAc OH Fusarium roseum 4. Nivanol OH Fusarium nivale
Fusarium oxysperum 5. Nivalenol OH OH OH OH Fusarium nivale
Fusarium episphaeria 6. Fusarenon-X
(Fusarenon) OH OAc OH OH Fusarium nivale
Fusarium episphaeria Fusarium roseum
7. Deoksinivalenol (Vomitoksin)
OH H OH OH Fusarium roseum
8. Asetildeoksini (valenol deoksinilvalenol monoasetat)
OAc H OH OH Fusarium roseum Fusarium culmorum
9. 3.15-Deasetildeoksi-nivalenol
OAc H Oac OH Fusarium roseum
248
H CH3 H O H O R1 CH2 CH3 H H
O R O
Gambar 8.11. Komposisi kimia trikotesena kelompok C
Trikotesena kelompok D terdiri dari hanya satu anggota yaitu krotosin,
yang dibedakan dari trikotesena lain dapat menyebabkan keberadaan pemisahan
epoksid kedua pada C–7 dan C–8. Komposisi kimia krotosin sebagaimana terlihat
pada Gambar 8.12. Dari trikotesena kelompok D ini didapat sebanyak 11 macam
mikotoksin, sebagaimana tercantum dalam Tabel 8.5.
CH3 H O H O OCOCH-CHCH3 O R4 H CH3 H
Gambar 8.12. Komposisi kimia trikotesena kelompok D
Golongan trikotesena dibentuk melalui biosintesis isoprenoid yang lebih
dikenal dengan jalur mevalonat. Asam mevalonat diturunkan dari kondensasi tiga
molekul asetil-KoA kehilangan satu molekul air dan karbondioksida serta terjadi
”unit isopren”. Dua unit isopren mengalami kondensasi menghasilkan
geranilfosfat. Pengembangan lebih lanjut unit geranilfosfat dengan unit lainnya
akan timbul senyawa C15 sesquiterpen, dan kondensasi lebih lanjut didapat
diterpen dan triterpen. Dari golongan terpen inilah senyawa-senyawa trikotesena
dibentuk. Selain melalui geranilfosfat, dapat pula golongan trikotesena lain (misal
trikotekolon) melalui farnesilfosfat. Biosintesis yang dimaksudkan diatas adalah
seperti Gambar 8.13.
249
Tabel 8.4. Macam-macam mikotoksin dari trikotesena formula IV
No.
Mikotoksin Struktur jembatan ® Sumber fungi
1. Verukarin A (mukonomisin A)
O O O -CCH(OH)CH(CH3)CH2CH2OCCH=CHCH=CHC-
Myrothecium verrucaria Myrothecium roridum
2. Verukarin B O O O -CCH(OH)CH(CH3)-CH-OCCH=CHCH=CHC-
Myrothecium verrucaria Myrothecium roridum
3. Varuarin J (mukonomisin B)
O O O -CCH=CCH((CH3)-CH-OCCH=CHCH=CHC-
Myrothecium verrucaria
4. 2’-Dehidroveru-karin A
O O O -CCH(CH3)CCH(CH3)-CH-OCCH=CHCH=CHC-
Myrothecium roridum
5. Roridin A O CH3CHOH O -CCH(OH)CH(CH3)CH2CH2O-CHCH=CHCH=CHC-
Myrothecium verrucaria Myrothecium roridum
6. Roridin D O CH3CHOH O -CC(OH)C(CH3)CH2CH2OCHCH=CHCH=CHC-
Myrothecium roridum
7. Roridin E O CH3CHOH O -CCH=C(CH3)CH2CH2OCHCH=CHCH=CHC-
Myrothecium verrucaria Stachybotrys atra
8. Isororidin E (stero-isomer roridin E)
O CH3CHOH O -CCH=C(CH3)CH2CH2OCHCH=CHCH=CHC-
Cylondrocarpon sp
9. Roridin H O CH3CHOH O -CCH=C(CH3)CHCHOCHCH=CHCH=CHC-
Myrothecium verrucaria Cylondrocarpon sp.
10. Vertisporin O O -CCH= O H CH2CH2CH=CHC- H O OH H OH
Verticimonosporium diffractum
11. Satratoksin H -CCH O CH=CHCH=CHC- HO CH(CH3)OH
Stachybotrys atra
250
H3C OH CH3 CH3
A. CoA CH2 CH3
HOCH2 COOH CH2OPP CH2OPP
Asam mevalonat “isopren unit” Dimetilalil pirofosfat CH3 CH2OPP CH3 CH2OPP
CH2 CH2 CH2-OPP CH2 CH3 CH3
CH3 CH3
Gambar 8.1. Pembentukan geranilfosfat dari dua unit isopren
Dari sesquiterpen didapat antara lain nivalenol, fusarenon-X dan toksin T-
2. Diasetilkirpenol dihasilkan dari fusarium scirpi yang ditemukan pada tahun
1960, kemudian ditemukan berbagai mikotoksin sejenis dari fungi Trichoderma,
trichothecim, Myrothecium, dan Ceplalosphorium yaitu mikotoksin trikodermol,
trikotesin, diasetilverukarol, verukarin dan roridin serta lainnya yang diketahui
beroksigenasi tinggi dan mengandung gugus epoksi. Salah satu mikotoksin yaitu
trikotekolon dihasilkan dari jalur mevalonat dengan melalui fernesil pirofosfat
biosintesisnya dapat dilihat pada Gambar 8.14.
251
CH3 CH3 CH3 CH3 PPO CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH2 CH3 OH CH3 O O O O CH3 CH3 CH3 O CH3 CH3 Trikodiena Trikodiol Trikotekolon
Gambar 8.2. Biosintesis trokotekolon Fusarium spp. yang memproduksi racun kelompok A umumnya tidak
memproduksi racun kelompok B dan sebaliknya. Meskipun terdapat
perkecualian, jamur yang memproduksi kedua racun tersebut cenderung
menyumbang sedikit pada total produksi trokotesena. F. roseum yang produk
utamanya adalah zearalenon juga diketahui mensintesis trikotesena kelompok A
dan B.
Dulu trikotesena terdapat pada jamur jagung (Nivalenol, Vomitoxin dan
Fusarenox). Di Jepang, trikotesena pada umumnya ditemukan di daerah yang
memiliki suhu dingin. Sehingga dapat ditafsirkan bahwasanya sebelum
Zearalenon, Fusarium Sp, umumnya membentuk spora yang berkembang biak
pada gandum pada suhu dingin (0 – 150C) . Faktor lingkungan lain adalah
kelembaban pada udara sekitar. Trikotesena dapat diamati pada saat musim gugur.
Trikotesena sangat stabil dan resisten pada bahan pakan yang telah disimpan
dalam waktu yang cukup lama sehingga spora jamur dapat tumbuh dam
berkembang biak.
252
Faktor lingkungan sangat menumbuhkan penyebaran trikotesena. Di
Jepang, Fusarium sp dalam suatu penelitian dilaboratorium menunjukkan
perkembangan trikotesena dipengaruhi oleh suhu. Sebagai contoh fusarium
tricinitum yang bisa menghasilkan T-2 toksin, DAS pada suhu 80C dan toksin HT-
2 pada suhu 250C. Sehingga suhu yang cocok dapat membantu memperbanyak
produksi trikotesena.
Trikotesena dianggap menghambat sintesa protein dalam eukariotik
khususnya pada polisom dan reticulum endoplasma. Ada beberapa macam
trikotesena yang menghambat terbentuknya ikatan peptida dan menurunkan
poliribosan pada proses sintesis protein, sebagai contoh dampak yang tidak dapat
ditemukan secara langsung yaitu degradasi aktivitas sel, tulang rawan, usus halus,
testis dan ovary. Dampak dari pengaruh toksin dapat disebut juga radiomi metic.
Trikotesena atau toksin T-2 pada tubuh ternak sedikit mengalami proses
metabolisme.
Proses metabolisme T-2 toksin tidak terjadi secara sempurna karena tidak
semua sistem metabolisme yang ada dapat diamati dan diindentifikasi. Hanya
sebagian saja proses metabolisme yang dapat diidentifikasi yaitu toksin HT–2,
struktur bangun dari deacetylation pada C-4, dari kelompok hidroksil, reaksi
katalisator enzim di sel dengan carboxy esterase. Beberapa jaringan atau organ
mampu menampung toksin HT–2 selama terjadi proses absorpsi. Metabolisme
toksin T–2 dalam peredaran darah mengalami penyebaran ke kelenjar dan organ.
Misalnya pada babi persentase penggunaan toksin ditemukan dalam dosis 0,7% di
otot dan 0,29 –0,43 % di liver, sebab toksin yang memiliki dosis tinggi bisa
menyebabkan kematian pada hewan ternak.
Sebagian trikotesena ternyata menunjukkan sitotoksik, baik pada sel
manusia maupun tikus percobaan. Fusarenon-x menunjukkan pertumbuhan sel
Hela S3 pada konsentrasi dibawah 0,05 µg/ml, inkubasi selama 2 hari. Verukarin
dan roridin menunjukkan sitotoksik tinggi pada sel tumor tikus. Sedangkan
krotosin, trikodermin dan trikotesin mempunyai sitotoksik rendah. Pada kulit
keras, trikotesena dapat menyebabkan nekrosis. Diasetoksiskirpenol, fusarenon-X
dan nivalenol akan menunjukan keaktifannya dibawah dosis 0,2 µg. Trikotesena
253
dapat menyebabkan iritasi dan peradangan lokal, pengelupasan kulit yang diikuti
dengan terbentuknya nanah dan perluasan epidermal serta nekrosis dermal.
Pada banyak kejadian suatu campuran seri toksik yang tinggi didapat
angka LD50 lebih kecil dari 10 mg/kg. Verukarin dan roridin di ketahui
mempunyai angka LD50 lebih kecil dari 10mg/kg. Verukarin dan roridin diketahui
mempunyai toksisitas dalam LD50 adalah 0,5-1 mg/kg. Krotosin trikodermal dan
trikotesin relatif tidak toksik pada angka LD50 lebih dari 500 mg/kg.
Diaksetoksiskirpenol mempunyai angka LD50 sebesar 7,3 mg/kg peroral,
sedangkan LD50 intra peritonila (ip) sebesar 0,75 mg/kg, jadi hampir lipat sepuluh
kali.
Muntah dan mual, umumnya akan terjadi bila dosis melebihi toksisitas
trikotesena. Neosolaniol toksin HT-2 menyebabkan muntah pada anak itik dengan
dosis 0,1 mg/kg. Diasetilnivelenol dan fusarenon-X diperkirakan efektif pada
dosis 0,5 mg/kg. Beberapa trikotesena menimbulkan karsinogen, T-2 Toksin dapat
menimbulkan kanker pada percobaan tikus yang diberi makanan dengan
kandungan mikotoksin tersebut. Toksin T-2 juga dapat menimbulkan teratogenik.
Fusarenon-X dan toksin T-2 ternyata tidak menimbulkan kerusakan DNA,
terbukti adanya penghambatan pertumbuhan pada mutan rekombinan defisien dari
Bacillus subtilis, Nivalenol dan fusarenon-X juga memungkinkan penurunan
respirasi mutan dari khamir. Tabel 8.6. adalah toksisitas akut trikotesena di alam.
Tabel 8.5. Toksisitas akut trikotesena di alam
Macam Senyawa Spesies Seks Umur/ berat
Jalur LD50 (mg/kg)
Verukarin A Mencit Mencit Tikus Kelinci
ip iv iv iv
0,5 –0,75 1,5 0,87 0,54
Verukarin J Mencit ip 0,5 –0,75 Monoasetoksiskirpenol
Tikus F 20 hr sc 0,75
Neosolaniolmonoasetat
Anak ayam (Dekalb)
M 1 hr po 0,789
Skirpentriol Tikus (Albino) F ip 0,81 Roridin A Mencit iv 1 Triasetoksiskirpendi Tikus (albino) F ip 1,2
254
ol Fusarenon -x Mencit(DDD)
Mecit (DDD)Mencit(DDD) Mencit 9DDYS) Mencit (DDD) Tikus (Wistar) Tikus (Wistar) Marmut Marmut Kucing Anak itik
F M F M F M F
8 mg 8 mg 8 mg 6 mg 6 mg 9 mg 9 mg Dewasa Baru lahir Dewasa 10 hari
iv sc sc ip po po po ip sc sc sc
3,4 4,6 4,2 3,4 4,5 4,4 4 0,5 0,1 5 2
Nivalenol T–2 toksin Mencit (dds) Mencit (ddys) Mencit ((Webster) Mencit Tikus (Holtzman) Tikus Merpati Merpati
M M F
6 mg 24-26 mg 21 hr 300-400 g 300-400 g
ip ip ip po po po po iv
4,1 5,2 3 10,5 4 5,2 2,75 0,15
Trout rainbow Anak ayam Anak ayam (Dekalb)
Sehari
po po
6,1 3,6 1,84
Vekurin B Mencit iv 7 HT–2 toksin Diasetinivalinol
Mencit (ddys) Mencit (ddys)
M M
6 mg 6 mg
ip ip
9 9,6
Diasetoksiskirpenol Tikus 9albino) Tikus (Albino) Mencit Mencit Mencit (ddys) Kelinci (DDY) Anjing
F F
M
6 mg
ip po iv iv iv ip iv
Neosolaniol 3-Asetildeoksinovalinol
Mencit (ddys) Mencit (DDY) Mencit Mencit (DD) Anak itik (Pekin)
M M M F
6 mg dewasa 10 hr
ip ip po ip sc
Deoksinivalenol Mencit (DDY) Mencit
M M
Dewasa
ip po
70 46
Marmut Kucing Anak itik
Dewasa Baru lahir Dewasa
ip sc sc
0,5 0,1 5
255
10 hari sc 2 Deoksinivalenol Mencit 9ddy0
Mencit Mencit (DDY) Anak itik (pekin)
M M F
Dewasa 10 hr
ip po ip sc
70 46 76,7 27
Diasetildioksinivalenol Trikotesin
Mencit Mencit Mencit
M
Dewasa 18-22 g 100 g
ip iv sc
145 250-500 250
Krotosin Mencit Mencit Mencit Tikus
ip sc po sc
810 500 1000 100
Trikodermol Trikodermin
Mencit Mencit Mencit
sv sc po
500-1000 500-1000 1000
Terdapat empat tipe penyebaran jamur yang dapat menyerang anak ayam
dan hewan-hewan lain. Tipe-tipe ini adalah : (1) jamur yang menginfeksi bahan–
bahan makanan dilapangan sebelum dipanen, (2) jamur-jamur yang menginfeksi
bahan-bahan makanan dalam penyimpanan sesudah dipanen, (3) jamur-jamur
yang menginfeksi ransum didalam bak makanan atau alat memberi makanan
ternak dan (4) jamur yang menginfeksi saluran pencernaan atau saluran
pernafasan pada anak ayam.
Besarnya pengaruh dari trikotesena pada ternak secara klinis dipengruhi
oleh daya tahan tubuh ternak itu sendiri. Bila ketahanan tubuh lemah bisa terjadi
gejala-gejala muntah-muntah, peradangan, diare, aborsi, haemorage, penurunan
nafsu makan, produksi menurun dan lain-lain. Ternak yang umurnya masih muda
biasanya lebih sensitif dari pada ternak dewasa tanpa membedakan ternak jantan
maupun betina. Jika kadar toksin tinggi maka bisa menyebabkan kondisi yang
akut dan kronis serta bisa menimbulkan kematian pada hewan ternak.
Dampak dari toksin trikotesena pada unggas lebih sensitf bila dibandingkan
dengan hewan ternak lainnya. Bila dalam makanan ternak unggas terdapat 4 ppm
T–2 toksin maka dapat menurunkan nafsu makan, gelisah diare, darah dalam
faces, penurunan bobot badan pada ayam pedaging dan penurunan produsi telur
pada ayam fase layer. Pada ayam starter maupun grower dapat menyebabkan
256
bentuk bulu yang tidak sempurna. Bila toksin T–2 pada dosis 20 ppm, dalam
tubuh ayam petelur maka dapat menyebabkan penurunan produksi telur,
mengurangi kekebalan kulit atau kerabang telur, sehingga telur mudah pecah.
Jamur yang berkembang dalam makanan ternak dapat menimbulkan efek samping
yang meliputi, produksi metabolit yang beracun, perubahan (modifikasi)
komposisi zat-zat makanan oleh hewan, serta dapat menghasilkan penyakit yang
benar-benar pathologis dan berbahaya.
Pencegahan trikotesena adalah dengan mengurangi dan menghambat
pertumbuhan fungi. Fungi dapat tumbuh pada suhu 350C, dengan suhu optimum
sekkitar 20 - 300C. Menempatkan bahan dibawah suhu optimum bila mungkin
sangat dianjurkan. Namun perlu diketahui suhu optimum fungi fusaria malahan
sekitar 8 - 150C. Dalam hal ini sebaiknya kelembaban hendaknya cukup rendah
sehingga didapatkan aktivitas air (aw) kurang dari 0,70 agar pertumbuhan fungi
terhambat. Bahan hendaknya disimpan dalam keadaan kering. Beberapa jenis
trikotesena, antara lain verukarin A, roridin dapat menyebablan dermatitis bila
terkena kulit, maka penanganan bahan hendaknya hati-hati atau dihindarkan
kontak langsung (misalnya sarung tangan dan lainnya). Penggunaan bahan
khemikaliase sebagai fungisida atau lainnya dapat dimungkinkan, namun belum
banyak pengamatan tentang hal ini. Misalnya pertumbuhan Myrothecium sp.
dihambat dengan pemberian 0,1 ppm benomyil, sering dilapangan digunakan
sebanyak 560 g/ha.
8.4. Griseofulvin
Griseofulvin merupakan senyawa yang sering disebut curling factor,
karena dapat menyebabkan menggulungnya hifa fungi lain atau bersifat
fungistatik. Senyawa tersebut diisolasi dari P. janezewski (P. nigricans) oleh
Brian dkk.,(1946) juga oleh Mc Gowan (1946). Griseofulvin mempunyai rumus
empiris C17H17O6. Griseovulvin merupakan senyawa dalam benzen berbentuk
kristal oktahedon dengan titik lebur 2200C. Tidak larut di dalam air, akan tetapi
agak terlarut dalam alkohol, aseton, kloroform, dan etilsetat, sehingga akan sulit
257
untuk mengalami reduksi oleh tubuh. Komposisi kimia griseofulvin dapat dilihat
pada Gambar 8.15.
OCH3O O OCH3 O CH3O O Cl CH3
Gambar 8.3. Komposisi kimia griseofulvin
Tidak jelas bahan pangan pokok yang diserangnya namun diperkirakan
golongan bijian berkarbohidrat merupakan jenis bahan yang disukai.
Griseovulvin dapat dihasilkan pula Penicillia jenis yang lain seperti P. Patulum,
P. albidum, P. raciborskii, P. melinii, P. urticea, P. raistrickii, P. brefeldianum,
P. viridicyclopium dan P. bruner stoloniferum dan P. Griseofulvum, yang didalam
kehidupannya, fungi akan mengadakan metabolisme dan dihasilkan bermacam-
macam metabolit sebagai hasil akhirnya. Hasil metabolit fungi ada yang
berbahaya dan dikenal dengan nama mikotoksin ini. Pada mulanya griseofulvin
digunakan sebagai obat kulit, tetapi karena pengaruh sampingan yang dihasilkan
yaitu sebagai penyebab kanker, penggunaan bahan ini kemudian dilarang. Jamur
P. griseofulvum dapat dilihat pada Gambar 8.16.
Bila tubuh terdapat banyak senyawa ini terutama akan diendapkan di
dalam hati dalam bentuk residu racun. Oleh karena ketidakmampuan dari hati
untuk menetralisir zat-zat racun ini menyebabkan secara tidak langsung akan
dapat mempengaruhi metabolisme tubuh oleh karena tidak lancarnya aliran darah
yang akan didistribusikan terutama yang berasal dari jantung yang banyak
mengandung CO2.
Biosintesis glisofulvin malalui jalur asetat-malonat. Jalur yang dilalui
diantaranya adalah griseofulvin, A, B dan C serta dehidrogriseofulvin yang
kesemuanya di dapat dari isolasi Penicillium patulum. Biosintesis griseofulvin
dapat dilihat pada Gambar 8.17.
258
Gambar 8.16. Jamur Penicillium griseofulfum (www.dehs.umn.edu)
Meskipun diketahui sebagai fungistatik tetapi tidak bisa digunakan sebagai
anti mikroba. Pada permulaan dipakai sebagai terapi infeksi kulit, tetapi kemudian
dibatasi karena menimbulkan kanker. Hal ini pada hewan dalam dosis yang besar
dapat ditoleransi selama beberapa minggu, tetapi karena sifat toksiknya maka
penggunaannya dibatasi. Dosis LD50 pada tikus dengan penyuntikan adalah
400mg/kg intravenous. Manifes toksik griseofulvin yang dapat diamati antara lain
adalah :
259
O O OH O OH C1 O O COOH OH O HO CH3 OH
CH3 C1 OH O OCH3 RO O OCH3 OH OH CH3O CH3 OH CH3OH CH3 OH
Cl Cl Griseofenon C Griseofenon B (R-H)
Griseofenon A (R-CH3) CH3OH O OCH3 CH3O O OCH3
O O CH3O O CH3O O
Cl CH3 Cl CH3
Gambar 8.4. Biosintesis griseofulvin 1. Pembengkakan (edema) angio-neuritik kulit, erytherma, erupsi vasikuler, peka
cahaya (fotosensivitas) dan erupsi lichen-planus.
2. Gangguan pengaturan keseimbangan darah, leukopenia, granuloccytopenia,
monocytosis.
3. Gejala neurologis dengan penglihatan yang kabur, pusing, disorientasi dan
vertigo.
4. Gangguan pencernaan dengan nafsu makan kurang (anoreksia), nausea,
muntah dan diare.
260
5. Perubahan oral dengan mulut yang kering, lidah kehitam-hitaman, glaodynia
dan angular stomatis.
6. Gejala yang lainnnya adalah merasa haus, keletihan, malaise, pingsan seperti
pengaruh keracunan alkohol.
Griseofulvin dapat dicegah dengan :
1. Menghambat pertumbuhan fungi baik dilapangan, pengolahan maupun tempat
penyimpanan. Pengendalian keadaan lingkungan sebagaimana pada mikroba
lainnya.
2. Menghindari makanan yang berfungi, mengingat sifat dari mikotoksin ini
yang mempunyai sifat karsinogenetik. Sebaiknya hindari pemakaian bahan
yang fungistatik atau bahan antimikroba dari senyawa yang mengandung
griseofulvin.
3. Untuk binatang ternak yang terkena racun sebaiknya segera diobati/dibawa ke
dokter hewan untuk dapat segera mendapatkan pengobatan mengingat begitu
kompleksnya macam gejala yang dapat ditimbulkannya.
8.5. Luteoskirin
Luteoskirin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh fungi jenis
Peniciilium sp terutama jenis Penicillium islandicum. Dikenal pertama kali
sebagai anti bakteria dengan rumus empiris C30H22O12 dengan berat molekul 574.
Luteoskirin merupakan pigmen yang dapat larut dalam lipida. Beberapa sifat fisik
antara lain mempunyai titik cair 273 - 2740C, memberikan pendaran (fluorosensi)
dengan sinar ultra violet. Komposisi kimia luteoskirin dapat dilihat pada Gambar
8.18.
Struktur luteoskirin pertama kali diajukan oleh Shibata dkk (1973) atas
reduksi parsial bisantrakuinon, berupa emodin melalui jalur asetat mevalonat.
Kemudian diperbaiki strukturnya sebagai struktur kurungan yang tidak biasa dari
pemecahan dua monomer yang tergabung pada ikatan tiga C-C sebagaimana
tampak pada Gambar 8.19.
261
OH O OH H OH H CH3
O OH OH O CH3
H HO H OH O OH Gambar 8.5. Komposisi kimia luteoskirin Bila diketahui emodin dihasilkan melalui biosintesis asetat malonat,
emodin merupakan zat intermediat pembentukan luteoskirin, oleh karena itu pada
dasarnya luteoskirin akan terbentuk melalui asetat. Pembentukan emodin melalui
asetat dijelaskan pada Gambar 8.20.
Penicillium islandicum mampu tumbuh pada bahan hasil pertanian
terutama beras, jagung, gandum, kacang-kacangan dan sejenisnya. Terutama hasil
pertanian dengan kondisi penyimpanan yang kurang sempurna mudah diiinfeksi
oleh jenis fungi ini. Temperatur inkubasi optimum sekitar 300C dalam waktu
inkubasi selama 2 minggu. Jamur Penicillium islandicum dapat dilihat pada
Gambar 8.21.
Dalam penelitian diketahui bahwa beberapa strain Pinicillium islandicum
yang menghasilkan luteoskirin antara lain P. islandicum strain NRLRL 1036, P.
islandicum strain MRRL 1175, P. islandicum strain M 1175, P. islandicum strain
M 1282, P. islandicum strain ER 3033, P. islandicum strain JC-R 3035 dan
P.islandicum strain WF 38-12 R 3039. Sebagaimana jenis fungi Penicillium sp.
lain, P.islandicum mempunyai ciri-ciri antara lain hifa beserta sekat dan cabang-
jabangnya tidak bewarna, konidia yang tumbuh sebagai rantai pada sterigma
dengan berwarna hijau ketika masih muda dan kemudian berangsur-angsur
menjadi coklat/kecoklat-coklatan. Pada hasil pertanian yang ditumbuhi jenis fungi
262
ini, maka bahan menjadi berwarna coklat kotor, tidak menarik, dan umumnya
berbau apek.
OH O OH HO O CH3 Emodin O O OH H H H H CH3
O OH O CH3 OH H H OH H O O
OH O OH H OH H CH3
O OH OH O CH3
H HO H OH O OH Gambar 8.6. Biosintesis luteoskirin
263
CH3COOH OH O OH CH2-COOH COOH HO O CH3 Emodin Luteoskirin Gambar 8.20. Biosintesis luteoskirin melalui intermediat emodin dari
asetat-malonat
Gambar 8.21. Jamur Penicillium islandicum (www.apsnet.org)
264
Luteoskirin pada mulanya dikenal sebagai pengobatan anti bakteri.
Kemudian dibuktikan bahwa ternyata menyebabkan penyakit pula pada hewan
ataupun manusia. Pada hewan diketahui sebagai anti bakteria baik yang
bakteriostatik (penghambat pertumbuhan bakteri) ataupun bakterisidal (pembunuh
bakteri). Pengunaan yang terus-menerus pada pengobatan ternyata dapat
menimbulkan penyakit pada hati, sehingga letuoskirin dikenal dalam toksikologi
sebagai hepatotoksik.
Pada percobaan terhadap tikus dengan letuoskirin yang dilarutkan dalam
dimetil sulfoksida ternyata dengan cara injeksi menyebabkan pertumbuhan
terhambat, timbulnya penyakit kuning dan akhirnya kematian. Penyebab
kematian ternyata karena terbentuknya selaput warna kuning, lunak dan terdapat
bintik merah. Secara histologis perubahan tersebut membuktikan terjadinya
nekrosa sentrolubuler dan terjadinya degenerasi lemak pada sel-sel hati. Dosis
yang digunakan dalam percobaan sebesar 0,20 mg/g berat badan tikus.
Mikotoksin luteoskirin dapat dicegah dengan beberapa cara yang hampir
sama dengan mikotoksin lainnya, yaitu :
1. Fungi ini banyak menyerang bahan pakan golongan serealia, maka
penanganan di lapangan, pengolahan dan penyimpanannya perlu tindakan
yang baik dan sempurna. Khususnya pada penyimpanan harus dihindari
keadaan lembab, sebaiknya bahan pakan dikeringkan segera setelah lepas
panen.
2. Diketahui bahwa inkubasi optimum fungi penicilium inlandicum adalah 30oC
dalam waktu dua minggu. Dalam pencegahan perlu dihindari suhu dan waktu
sebagaiman diatas, penyimpanan dingin di bawah 30oC sangat dianjurkan.
Sangat dianjurkan untuk selalu memeriksa ruang penyimpanan agar suhu
ruang tidak mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhan fungi. Pengaturan,
pembersihan, dan pemeriksaan secara periodik pada ruang penyimpanan
sangat diperlukan.
3. Tidak menggunakan bahan pakan, khususnya komoditas serealia yang telah
berubah warna (kecoklat-coklatan) dan berbau apek, keduanya sangat
mencirikan telah terjadi perubahan bahan pakan, kemungkinan kontaminasi
265
mikrobia. Seperti diketahui fungi penicilium islandicum pada waktu muda
tidak berwarna, baik hifa maupun konidia kemudian berwarna hijau dan
selanjutnya berwarna coklat.
8.6. Aflatoksin
Aflatoksin merupakan kelompok yang terkait dengan keluarga struktur
bisfuranocoumarin yang diproduksi terutama oleh strain beracun dari aspergilus
flavus dan Aspergilus parasiticus. Hanya separuh dari strain tersebut yang
diketahui memproduksi racun. Meskipun jamur-jamur lain seperti Penicillium
spp., Rhizopus spp., Mucor spp. dan streptomyces spp. dapat memproduksi
aflatoksin namun relevansinya terhadap produksi ternak belum dapat diketahui.
Nama aflatoksin berasal dari Aspergillus (a), flavus (fla) dan toxin. Senyawa
racun yang dihasilkan oleh Aspergilus flavus dan Aspergillus parasiticus adalah
bentuk Aflatoksin B1, B2 dan G1, G2 sebagaimana terlihat pada Gambar 9.22.
O O O O O O OCH3 OCH3 O O O O Aflatoksin B1 Aflatoksin B2 O O O O O O OCH3 OCH3 O O O O Aflatoksin G1 Aflatoksin G2 Gambar 8.22. Komposisi kimia beberapa aflatoksin
266
Nama tersebut didasarkan pada tingkat warna yang dihasilkan dengan
metode kromatografi dimana aflatoksin B1 dan B2 menghasilkan warna biru
sedangkan untuk aflatoksin G1 dan G2 menghasilkan warna hijau. Sebenarnya
lebih dari 40 jenis aflatoksin telah ditemukan, namun kebanyakan dimetabolis
dalam tubuh ternak secara endogenus, sebagai hasil pembentukan jenis baru dari
keempat bentuk aslinya. Signifikasi dari hasil metabolis secara toksikologis
meliputi aflatoksin B1 2,3-oksida (AFB1 2,3-oksida), aflatoksin M1 (AFM1),
aflatoksicol dan aflatoksin B2a (AFB2a) aflatoksin M2 (AFM2), Alatoksin H1
(AFH1), aflatoksin P1 (AFP1) dan aflatoksin Q1 (AFQ1). Struktur kimia yang
terbentuk dari Aflatoksin (B1, B2, G1, G2) AFM1, (B) AFM2, (C) AFB2a, (D)
AFB12,3-oksida (E) Aflaticol, (F) AFH1, (G) AFP1, (H) AFQ1 dapat dilihat pada
Gambar 8.23.
Aflatoksin diketahui sebagai penyebab kematian masal dari ternak kalkun
yang terjadi di Great Britain pada tahun 1960-an, dimana dalam kasus tersebut
lebih dari 100.000 ekor kalkun mati, dan sebelumnya telah disebut dengan
"penyakit X kalkun". Dari hasil penelitian intensif diketahui bahwa
penyebab wabah tersebut adalah mikotoksin yang terdapat dalam bungkil
kacang tanah berjamur yang diberikan sebagai pakan sumber protein yang berasal
dari Brasil. Aflatoksin dihasilkan oleh strain aspergillus yang tersebar luas dalam
air dan tanah. Pada saat kondisi lingkungan mendukung, tersedia substrat (berupa
pakan atau benih) sumber nutrisi, maka jamur akan dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Jamur aspergillus flavus dapat dilihat pada Gambar
8.24.
Bentuk akhir dari aflatoksin akan sangat tergantung pada kondisi
lingkungan (suhu, kelembaban dan aerasi), substrat serta tipe jamur. Sebagai
contohnya aspergillus flavus yang tumbuh pada jagung, spasies ini akan
memproduksi aflatoksin jenis B1 dan B2, sementara aspergillus parasiticus yang
tumbuh pada jenis jagung yang sama akan mampu menghasilkan keempat jenis
racun tersebut. Sedangkan pada kedelai, hanya sedikit aflatoksin B1 yang dapat
dihasilkan oleh kedua jenis aspergillus tersebut. Aspergillus flavus merupakan
koloni jamur yang dapat menyerang benih..
267
O O O O O O OH OH OCH3 OCH3 O O O O
(A) (B)
O O O O O O O
HO OCH3 OCH3 O O O O (C) (D) O O O OH O O OH OCH3 OCH3 O O O O (E) (F) O O O O O O OH OH OCH3 O O O O (G) (H)
Gambar 8.23. Struktur Kimia yang terbentuk dari Aflatoksin (B1, B2, G1, G2) AFM1, (B) AFM2, (C) AFB2a, (D) AFB12,3-oksida (E) Aflaticol, (F) AFH1, (G) AFP1, (H) AFQ1
268
Gambar 8.24. Jamur Aspergillus flavus (www.iums.org) Aspergillus flavus dapat membentuk koloni pada berbagai biji-bijian
sumber pakan ternak yang penting, termasuk dalam hal ini adalah jagung, padi-
padian, kacang-kacangan, biji kapuk, gaplek, kopra dan berbagai jenis biji-bijian
yang lain. Secara umum faktor lingkungan yang dibutuhkan untuk tumbuhnya
jamur penghasil aflatoksin tersebut adalah kelembaban lebih kurang 14 persen dan
suhu lebih kurang 25 persen serta aerasi (O2) tertentu. Apabila persyaratan
tersebut dipenuhi maka investasi jamur akan terjadi dengan cepat.
Periode kritis yang berpotensi tinggi untuk investasi jamur tersebut adalah
periode pertumbuhan, periode panen, saat transportasi dan dalam periode
penyimpanan sangat rentan bagi tiga macam bahan, yaitu jagung, biji kapuk dan
kacang-kacangan. Kelompok padi dan kedelai biasanya terserang pada saat
periode penyimpanan. Faktor kondisi penyimpanan yang memacu munculnya
269
jamur disamping kelembaban dan suhu optimal juga pengaturan tingkat aerasi,
karena perbedaan suhu dapat menyebabkan migrasi kelembaban udara, rusaknya
kernel dan spora yang disebabkan oleh serangga serta harus terbebas dari debu,
biji benih rumput, dan pecahan kernel juga sanitasi didalam gudang harus
diperhatikan secara benar.
Pada jagung yang ditanam sepanjang musim kering dapat mengalami
kerusakan akibat serangga seperti ulat atau kumbang yang memakan bagian dalam
kernel. Kernel yang telah rusak akan lebih mudah terserang spora jamur yang
mungkin terbawa pada tubuh serangga. Kemudian spora tumbuh dan berkembang
biak dengan menggunakan nutrisi yang dihasilkan oleh kernel. Faktor pemacu
meningkatnya kontaminasi aflatoksin pada jagung adalah tertinggalnya jagung
diladang setelah tua, penanaman tertutup, kompetisi dengan semak dan tumput,
kelembaban jagung tinggi, mampu meningkatkan produksi aflatoksin.
Penyimpanan dalam silo hampa udara, atau penggunaan beberapa zat pengawet
dapat memperlambat pertumbuhan jamur secara efektif. Penyimpanan jagung
kering secara non aerobik akan dapat menyebabkan invasi berbagai jamur.
Sedangkan untuk sisa pakan yang ingin digunakan lebih dari sehari atau dua hari
dapat disimpan dalam kotak pakan maupun di dalam tempat pakan.
Pada biji kapuk, aflatoksin merupakan masalah utama yang disebabkan
oleh serangan serangga. Aspergillus flavus menembus dinding karpel biji kapuk
sehingga timbul kerusakan yang akan dipergunakan sebagai lubang keluar ulat
kapuk yang berwarna pink. Kontaminasi kronis di lapangan terkait dengan
kondisi suhu lingkungan sekitar 34oC atau lebih sepanjang musim semi (Juli
sampai dengan Agustus di USA) yang disertai hujan deras yang tiba-tiba. Apabila
pemanenan biji kapuk dilakukan sebelum uap air/kelembaban menguap, biasanya
aflatoksin akan segera timbul dalam penyimpanan. Saat biji kapuk yang berisi
aflatoksin diambil minyaknya, maka sebagian besar racunnya terkumpul di dalam
bungkilnya. Bungkil biji kapuk merupakan sumber protein untuk pakan ternak
dan unggas. Pada tahun 1960 terjadi kasus serius dalam penetasan ikan Trout
yang diberi bungkil biji kapuk karena timbul kanker hati akibat aflatoksin yang
terkandung dalam bungkil biji kapuk tersebut. Sedangkan pemberian bungkil biji
270
kapuk yang terkontaminasi aflatoksin untuk ternak perah menimbulkan masalah
akibat adanya kemungkinan terjadi translokasi metabolis aflatoksin M1 ke dalam
air susu. Proses pembentukan aflatoksin dalam tumbuhan secara umum dapat
digambarkan pada Gambar 8.25.
Gen
Regulasi transkripsional
MRNA
Regulasi translasional
Protein belum sempurna (proenzime)
Regulasi translasional akhir
Protein sempurna (Enzim
Ketersediaan substrat
Produk enzim (aflatoksin)
Gambar 8.25. Tahap regulasi molekuler biosintesis enzim dari aflatoksin
Sedangkan pada kacang tanah, jamur Aspergillus spp. dapat muncul ketika
kacang masih berada di dalam tanah dan belum digali, saat dikeringkan atau
diangin-anginkan serta dalam periode penyimpanan. Sebelum penggalian, invasi
telah timbul akibat dipacu oleh tekanan musim kering, kerusakan biji kacang
ataupun ketuaan. Setelah penggalian, invasi dan pembentukan jamur didukung
dengan kelembaban 14 sampai dengan 30 persen namun dapat dicegah dengan
kelembaban yang lebih tinggi. Bungkil kacang tanah yang digunakan sebagai
pakan biasanya membawa sejumlah besar spora aspergillus, akibatnya apabila
kondisi kelembaban dan suhu lingkungan mendukung maka penyebaran spora
akan terjadi dengan cepat dan mudah berkembang biak.
Sedangkan mekanisme perubahan dalam proses pembentukan aflatoksin
dalam tubuh ternak sehingga menimbulkan efek racun bagi ternak meliputi empat
reaksi toksikologis metabolis yang terjadi pada ternak. Pertama, terjadi
271
ketidakstabilan pada AFB1 yang merupakan akibat dari bentuk reaktif intermediat
oleh enzim MFO (Mixed Function Oxide). Oksida tersebut sangat kuat karena
bersifat elektrofilik, akibatnya ikatan kovalen berbagai nukleofilik sel seperti
asam amino (RNA dan DNA) maupun protein (metionin, sistein dan histidin)
berubah saluran. Sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi komponen
selular tersebut. Sebagai contohnya telah ditemukan bukti bahwa AFB1 2,3 -
oksida dan dihidriol mengakibatkan terjadi pembentukan molekuler spontan
akibat perubahan kondisi pH sehingga membentuk ikatan ionik kovalen dengan
protein dan membentuk Schiff base. Sebuah jalur alternatif dapat terbentuk secara
langsung pada cincin katalisasi hidroksilasi dengan 2 posisi, yaitu pembentukan
AFB2a, yang juga dapat membentuk Schiff base secara molekuler dengan
kelompok asam amino utama protein. Interaksi nonspesifik yang lebih lanjut
dengan protein termasuk kunci enzim dapat berakibat fatal bagi sel-sel jantung.
Reaksi metabolik yang ketiga tidak melibatkan MFO tetapi lebih banyak
terjadi dengan melibatkan sitosol dan dikatalisasi oleh sebuah enzim reduktase
(NADPH) terpisah, dan membentuk aflatoksicol (AFL). Hal ini membuktikan
bahwa reaksi setiap ternak terhadap AFB1 berhubungan secara langsung dengan
laju produksi AFL. Reaksi metabolik selanjutnya adalah hidroksilasi AFB1
membentuk AFM1. Meskipun hasil reaksi metabolik tidak seganas atau
sekarsinogenik AFB1 namun tetap sama saja pengaruhnya karena AFM1
merupakan zat racun penyebab utama rusaknya produksi pada ternak seperti
produksi susu. Sebab dalam kasus karsinogisitas ternak dapat mengakibatkan
kontaminasi pada sebuah rantai makanan di lingkungan.
Keracunan akibat aflatoksin yang terjadi pada ternak dapat dikatagorikan
dalam dua tingkat, yaitu tingkat keracunan akut dan kronis. Keracunan akut pada
unggas akibat aflatoksin jarang terjadi dibandingkan dengan kasus aflatoksikasi
kronis. Namun perlu diketahui bahwa keracunan masif yang terjadi pada kalkun
di Great Britain pada tahun 1960-an merupakan sebuah petunjuk awal adanya
aflatoksin sebagai penyebab keracunan akut. Pada dasarnya organ target racun
aflatoksin pada semua ternak adalah organ hati. Efek kumulatif yang fatal pada
ternak adalah rusaknya fungsi hati. Setelah sejumlah toksin AFB1 terbentuk maka
272
hepatosit akan segera mengalami perubahan cepat melibatkan lipid, yang
mengakibatkan nekrosis (kematian sel). Hal ini diyakini terjadi akibat interaksi
nonspesifik AFB1 maupun aktifnya kerja berbagai sel protein. Terjadinya
interaksi dengan kunci enzim dapat mengganggu proses metabolis dasar dalam
sel-sel seperti metabolisme karbohidrat dan lipid serta sintesis protein. Terjadinya
modifikasi sifat permeabilitas hepatosit atau sub selular organel-organel terutama
mitokondria akan menyebabkan nekrosis.
Dengan rusaknya fungsi hati maka akan diikuti dengan munculnya efek
lain seperti rusaknya mekanisme penggumpalan darah, ikterus dan penurunan
produksi serum protein esensial yang disentesa dalam hati. Melemahnya sistem
penggumpalan darah dan meningkatnya kerapuhan kapiler memepngaruhi luas
hemoraging, termasuk akumulasi darah dalam saluran gastrointestinal. Selain
kerusakan hati, dengan dosis yang lebih tinggi pada beberapa spesies akan dapat
menyebabkan nekrosis pada tubulus ginjal. Meskipun kelenjar timus merupakan
organ target pada kasus aflatoksin akut, namun menurut daya tahan tubuh lebih
terkait dengan aflatoksikosis kronis.
Alfatoksikosis kronis dapat terjadi apabila terdapat jenjang waktu yang
lebih lama dalam proses penyerapan racun tingkat rendah. Efek yang timbul tidak
jelas ataupun dapat dibuktikan secara klinis seperti pada kasus aflatoksikosis akut.
Secara umum pengaruhnya pada ternak adalah menyebabkan penurunan
pertumbuhan, penurunan produksi (susu dan telur) dan penurunan daya tahan
tubuh. Meski kasus karsinogenisitas telah diobservasi dan dipelajari secara
intensif dalam beberapa spesies non ternak, keduanya tetap dibicarakan secara
terpisah walau kedua hal itu merupakan akibat keracunan kronis.
Kerusakan hati juga dapat terjadi dalam kasus aflatoksikosis kronis pada
semua spesies. Pada kasus nekropsi, warna hati menjadi pucat atau kuning dan
gizzard bengkak Terjadinya ikterus dan hemoraging tidak dapat diprediksi secara
tepat karena setiap spesies ternak memiliki kerentanan berbeda terhadap jenis
jamur serta dosis aflatoksin yang terkandung. Perubahan histologis melibatkan
akumulasi sub selular pada lemak, fibrosa dan perkembangan sel empedu bagian
luar.
273
Pada unggas khususnya kelompok burung memiliki tingkat kepekaan
tinggi terhadap aflatoksikosis kronis. Kalkun dan itik muda sudah menunjukkan
gejala aflatoksikosis dengan dosis 0,25 ppm dalam bahan pakan, karena sudah
dapat merusak pertumbuhan, sementara untuk broiler dosis 1,5 ppm dan 4 ppm
pada puyuh Jepang baru bersifat racun sehingga terjadi penurunan pertumbuhan.
Beberapa dosis beracun aflatoksin pada ternak dapat dilihat pada Tabel 8.7.
berikut ini.
Tabel 8.6. Beberapa dosis beracun aflatoksin
Host/inang Agen penginfeksi Dosis aflatoksin (ppm) Efek
Ayam
Eimeria tenella
0,2 - 2,5
+ Salamonella typhimurium 0,625 – 10 + Candida albicans 0,625 – 10 + S. gallinarum 5 - S. worthington
S. derby S. thompson
10 +
Kalkun Aspergillus fumigatus 5 - Tupai Mycobacterium
paratuberculosis 1,88 mg B1/kg -
Sapi Fasciola hepatica 0,5 - 1,0 B1/kg +
Selain itu umur dalam hal ini juga termasuk faktor pemicu yang
menentukan tingkat keracunan. Itik dan ayam muda lebih sensitif dibandingkan
yang telah dewasa, mengingat tidak ada efek nyata pada ayam. Secara umum
manifestasi efek racun aflatoksin pada unggas hampir sama dengan yang
ditemukan pada mamalia, termasuk menurunnya pertambahan bobot badan,
rusaknya sistem koagulasi darah, hemoraging, nekrosis hati, dan penurunan daya
tahan tubuh terhadap infeksi hingga terjadi kematian. Kandungan aflatoksin
melebihi 2 ppm dalam bahan pakan secara signifikan akan menurunkan produksi
telur hingga 50 persen, dan menurunkan produksi telur hingga 0 persen pada dosis
20 persen.
Pengaruh langsung pada unggas terlihat dengan adanya penurunan sintesis
vitamin A pada hati yang telah terinfeksi aflatoksin. Efek lainnya adalah
274
rendahnya kalsium darah sebagai akibat rusaknya asimilasi vitamin D yang
kemungkinan diakibatkan oleh rendahnya absorpsi kalsium dari saluran
pencernaan. Penyakit rachitis pada DOC ayam broiler selain diketahui sebagai
akibat defisiensi vitamin D ternyata juga disebabkan oleh aflatoksin. Rapuhnya
kondisi tulang pada ayam broiler yang diberi pakan yang mengandung aflatoksin
adalah akibat buruknya penyerapan mineral pada tulang.
Secara umum lebih dari 90 persen kadar aflatoksin yang ada serta
kemungkinan diserap oleh jaringan tubuh tidak dapat diketahui secara cepat
apakah racun tersebut ditahan untuk periode waktu yang cukup lama atau
dikeluarkan. Konsentrasi residu tertinggi terletak pada organ hati, dengan kadar
terendah dalam ginjal dan kemungkinan juga dalam otot.
Ada beberapa metode konvensional yang dapat diterapkan untuk
menangani kontaminasi aflatoksin pasca panen, yaitu : (1) mengatur irigasi
ladang, (2) mempergunakan pestisida guna menghalangi pertumbuhan jamur
aflatoksigenik tumbuhan inang yang memudahkan invasi jamur penghasil
aflatoksin dan (3) mencoba beberapa jenis/varietas tanaman untuk mengacak
resistensi jamur tersebut. Penerapan cara konvensional tersebut cukup efektif
guna menurunkan tingkat kontaminasi aflatoksin pada hasil panen hingga tingkat
yang paling rendah. Tingkat kontaminasi yang masih diperbolehkan adalah 20
ppm pada bahan makanan dan sumber pakan ternak.
8.7. Patulin
Patulin adalah sebuah hemiasetal lakton yang dihasilkan oleh beberapa
spesies dalam genus aspergillus, penicillum, dan bhyssoclamys. Jamur-jamur
tersebut umumnya terdapat pada buah-buahan, seperti apel, jeruk , anggur dan
serealia (beras, jagung, gandum dan shorgum). Racun tersebut selain beracun
bagi tanaman inang, juga beracun bagi hewan dan memiliki aktivitas yang
berpotensi antibiotik. Hampir semua jenis jamur penghasil patulin dapat
diketahui pada tahun 1940–an pada saat penelitian antibiotik sedang intens
dilakukan. Patulin sebelumnya disebut dengan claviformin, sebutan untuk
penicillium claviforme yang diisolasi pertama kali. Nama patulin diberikan
275
karena karakterisasi struktur bangunnya dibuat dalam penicillium patulum.
Jamur Penicillium claviforme dapat dilihat pada Gambar 8.26
Gambar 8.26. Jamur penicillium claviforme (http://sorrel.humboldt. edu)
Patulin pada jamur dibentuk melalui jalur biosintesis polietida. Prokusor
pembetukan patulin adalah tetra ketida A yang mengalami deoksigenasi menjadi
6-asam metil salisilat. Patulin murni berbentuk kreistal rectanguler, tidak
berwarna sampai berwarna putih., titik didihnya 110,50C, tidak stabil dalam basa
dan akan kehilangan aktivitas biologisnya, stabil dalam asam, larut dalam etanol,
eter, kloroform, etil esetat dan berflourosensi pada penyinaran dengan sinar ultra
violet. Patulin relatif tidak stabil dibawah kondisi alkalin dan asam berat, namun
cukup stabil dalam lingkungan asam. Hal tersebut dihitung berdasarkan
kestabilannya pada suhu tinggi masing-masing bahan. Sepanjang waktu
pemecahannya, patulin bereaksi dengan sulfidril yang mengandung asam-asam
amino atau protein pembentuk ikatan patulin sistein. Meskipun kurang reaktif
dibanding patulin, namun ikatan yang terjadi mampu menghambat beberapa racun
yang berpotensi dari bentuk racun semula. Struktur kimia patulin dapat dilihat
pada Gambar 8.27.
276
OO
O OH
12
3
456
7
Gambar 8.7. Komposisi kimia patulin
Kemunculan patulin didalam bahan pangan dan pakan tidak dapat
diketahui secara pasti hingga terbukti bahwa kontaminasi alami dalam produk–
produk pertanian menyebabkan terjadinya pembusukan buah pada berbagai jenis
apel.. Pada komoditi ini ditemukan kandungan patulin sekitar 1000 ppm. Racun
ini juga diimplikasikan dalam kasus keracunan beberapa ternak dan kambing.
Secara prinsip, jamur yang berpotensi mengkotaminasi pangan dan pakan,
diurutkan mulai dari P, U, Pe, Pm, Pc, A clavatus, A.t, dan B nivea. Meskipun
jamur penghasil patulin tersebut ditemukan secara berkala di dalam bahan pangan
seperti sereal dan legum, namun racun itu tidak dan belum dapat dideteksi secara
tepat.
Belum ada studi toksikologis yang terkait dengan pengaruh patulin pada
ternak domestik, namun ada beberapa bukti tidak langsung yang menunjukkan
gejala toksikosi patulin. Pemberian pakan malt (biji jelai) yang terinfestasi jamur,
dipercaya menjadi penyebab kematian lebih dari 100 ekor ternak perah di Jepang.
Dari pakan tersebut diidentifikasikan adanya jamur P. urticae penghasil patulin
dan uji coba pemberian pakan malt yang telah terinokulasi jamur ini kepada
ternak jantan ternyata dapat mengakibatkan terjadinya gangguan syaraf,
hemorhagi otak. Kematian dengan gejala yang sama ditunjukkan oleh kelompok
rodensia yang diinjeksi patulin di Perancis, ternak-ternak yang diberi pakan
gandum yang telah terkontaminasi A. clavatus (penghasil patulin) mengalami
pembesaran penghambatan pulmonari edema serta ada beberapa ternak yang mati.
Kambing yang diberi ektrak B. nivea (juga salah satu penghasil patulin)
menunjukkan gajala anemia, penurunan konsentrasi protein serum, pelepasan
277
nasal, terhentinya ruminasi, sakit di daerah sternal, anoreksia dan kehilangan
bobot badan. Dari pemeriksaan post mortem ditemukan terjadinya hemorhaging
abomasal dan luka pada hati dan ginjal.
Patulin merupakan mikotoksin yang relatif berbahaya. Penemuan di
lapangan pada spesies laboratorium mengindikasikan bawa nilai LD50 dari bobot
badan berkisar dari 10 – 35 mg/kg tergantung pada spesies ternak dan rute
pemberian dan penyebarannya gejala keracunan lebih lambat melalui alur oral
dibanding alur injeksi. Pada unggas kandungan LD50 adalah 170 mg/kg. Efek
racun yang utama adalah ascites, hydro thorax, pulmonary edema dan juga
mengakibatkan iritasi kulit serta perkembangan luka pada daerah injeksi subkutan.
Pada tingkat molekuler, patulin menghambat respirasi aerobik, permeabilitas
membran, dan aktivitas ATPase. Ketika berinteraksi dengan sulfhidryl yang
mengandung asam–asam amino seperti sistein ketika pemecahan, ikatan yang
terbentuk bersifat racun.
Patulin juga bersifat racun pada bakteri, protozoa dan jamur. Pada
kenyataannya meskipun telah diuji kemungkinan penggunaan antibiotik pada
manusia secara ekstensif tapi terbukti menjadi terlalu beracun. Meskipun terbukti
menghambat pertumbuhan bakteri dan protozoa, namun toksisitasnya dalam
rumen atau mikroflora usus belum dapat dipastikan. Beberapa peneliti
berspekulasi bahwa ingesti patulin akan dapat merusak gastrointesnital
mikroflora. Belum ada studi metabolisme ternak terkait dengan hal tersebut. Studi
pada tikus menngindikasikan metabolisme yang cepat dan pemusnahan. Oleh
karena itu dapat diperkirakan bahwa patulin memiliki potensi yang rendah untuk
meninggalkan residu dalam bahan pakan alami ternak.
Pada pengujian dengan menggunakan tikus jantan yang diberi makanan
yang mengandung patulin dapat diketahui bahwa LD50 patulin adalah sebesar 29
mg/kg dan setelah dua hari sejak pemberian patulin semua tikus mati dan
didapatkan adanya pembengkakan perut karena terisi penuh cairan. Pada
penelitian lain dengan cara injeksi patulin ke otot tikus didapat bahwa patulin
mempunyai LD50 sebesar 0,3 sampai 0,7 mg/20 gram berat tikus. Upaya
pencegahan terhadap timbulnya racun tersebut dapat dilakukan dengan cara
278
mencegah infeksi atau tumbuhnya jamur dapat dilakukan dengan mengatur
kondisi penyimpanan bahan sehingga jamur tidak dapat tumbuh.
Patulin dapat menghambat kerja enzim tertentu pada kadar 1,155 mg
patulin, 3 mg protein ternyata 90% enzim dehidrogenase dan suksinat oksidasi
akan terhambat. Biosintesis patulin, melalui jalur asetat malonat yang kemudian
zat antara tetra ketida, yang dengan gugus reaktif metilen mengambil aldol dan
menghasilkan komponen aromatis.
Pencegahan patulin dapat dilakukan dengan cara :
1. Mengurangi kontaminan dari lapangan dengan menjaga kebersihan bahan
yang diterima dan pemanenan. Khususnya berupa buah-buahan sebaiknya
diadakan pembersihan lebih dahulu sebelum disimpan.
2. Iradiasi sinar gamma sebanyak 200 krad dapat menghambat pertumbuhan
penicillium expansum dan penicillium patulum.
3. Bahan disimpan dalam keadan dibawah atmosfer (sub atmosfer) yaitu sekitar
160 mm Hg akan menghambat pertumbuhan fungsi dan penghasilan patulin.
8.8. Zearalenon
Nama kimia dari zearalenon seringkali disebut dengan racun F-2, adalah
resorcyclic acid lactone 6β (10-Hydroxy-6-oxo-trans-1-undecenyl). Nama zat zea-
ral-en-one berasal dari kelompok utama, jagung (zea mays) atau zea-, dari
resorcyclic acid lactone, yang disingkat -ral- dari ikatan ganda pada C-1' dan C-2',
atau -en dan dari pemecahan keton pada C-6' atau -one. Struktur kimia dari
zearelenon dan zearanal adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 8.28.
OH O O HO R
Gambar 8.8. Komposisi kimia zearalenon
279
Zearalenon merupakan racun jamur yang diproduksi oleh beberapa spesies
fusarium yang dapat menyebabkan pengaruh estrogenik dan ketidak suburan pada
ternak. Penghasil yang paling umum dikenal adalah fusarium graminearum dan
fusarium culmarum. Senyawa ini merupakan salah satu dari katagori utama dari
racun fusarium. Senyawa lain adalah trichothocenes. Jamur fusarium
graminearum dapat dilihat pada Gambar 8.29.
Gambar 8.29. Jamur Fusarium graminearum (http://web.umr.edu) Fusarium spp. tersebar luas dan mencemari bebarapa hasil panen penting
dan makanan. Fusarium spp. berkembang selama masa pertumbuhan dan
penyimpanan biji-bijian pada kelembaban tinggi. Tanaman yang sering kali
terkontaminasi zearalenon adalah jagung, gandum, shorgum, grest (semacam
gandum yang digunakan untuk membuat bir), oats, biji wijen, jerami, jagung,
untuk ternak dan makanan komersial. Jagung merupakan hasil panen yang
seringkali jelas terkontaminasi.
280
Beberapa species dari fusarium yang menghasilkan zearalenon sebagian
besar khususnya berasal dari F. roseum, (nama dari masa seksual adalah giberella
zeae). Lainnya termasuk F. avenaceum, F. nivale, dan F. maniliforme. Produksi
zearalenon dari fusarium spp biasanya terjadi pada pakan ketika kondisi
kelembaban dan suhu udara optimal. Namun di ladang, tongkol jagung yang
terjangkit mungkin tumbuh busuk pada pucuk atau tongkol, sesuai dengan nama
gibberella yang busuk.
Tongkol paling rentan terhadap gibberella busuk selama silking. Kondisi
ideal yang dipercaya bagi perkembangan gibberella busuk adalah hujan deras
yang diikuti suhu rata-rata > 700F selama silking. Karena kondisi iklim ini tidak
sering kali tejadi selama masa silking. Gibberella pembusuk bukan masalah
tahunan. Namun demikian, selama kurun waktu 25 tahun terakhir ada 3 penularan
utama dibagian tengah Amerika Serikat sekitar kurun waktu 7 tahun.
Equivalen dari gibberella pembusuk pada gandum, grit, dan oats pada
ladang disebut "keropeng" yang dicirikan dengan perubahan warna gelap pada
biji. Keropeng ini lebih umum pada pertumbuhan gandum dalam daerah basah
dan semi basah atau ketika kelembaban cukup terjadi selama masa berbunga dan
permulaan pembuangan akhir.
Jumlah zearalenon yang diproduksi oleh gibberella pembusuk atau
keropeng biasanya lebih sedikit dibandingkan pada makanan yang disimpan.
Selain itu, pengaruh hiperestrogenik biasanya tidak tampak pada babi yang
diberikan makanan terjangkit karena kepekaannya terhadap racun yang ditolak
yang akan membatasi jumlah makanan.
Pada makanan yang disimpan, jumlah yang berlebihan dari zearalenon
kemungkinan diproduksi oleh jamur beracun ketika kondisinya optimal. Apakah
kolonisasi oleh fusarium terjadi diladang atau penyimpanan, pertumbuhannnya
optimal pada suhu 200 - 250C dan tingkat kelembaban yang tinggi (lebih besar dari
23%, sedangkan kelembaban 45% adalah optimal). Hasil zearalenon meningkat
ketika suhu menurun sampai hampir 150C, sementara tingkat kelembaban tetap
tinggi. Kondisi ini mungkin dialami pada daerah seperti Amerika Tengah dimana
tongkol jagung seringkali disimpan dalam tempat yeng terbuka. Selama musim
281
gugur yang basah atau lembab, jika suhunya hangat selama satu hari sehingga
fusarium tidak dapat dihindari, malam yang dingin kemungkinan meningkatkan
produksi zearalenon.
Zearalenon diserap secara mudah dalam sistem gastrointestinal, seperti
yang diperkirakan dari daya larut zat tersebut dalam lipid yang tinggi.
Suplementasi dengan zat yang terikat seperti anion resin kadangkala digunakan
untuk mengurangi pembongkaran oleh penurunan absorpsi dan peningkatan
ekskresi zearalenon pada feses.
Pengurangan metabolis pada hati meningkatkan dua stereoisomer dari
metabolisme tunggal yang disebut zearalenol α dan β; kelompok keto pada posisi
keenam diturunkan ke group hydroxyl. Pengurangan ini disebabkan oleh enzim
yang disebut dehidrogenase hydroxysteroid 3α yang terdapat pada beberapa
bentuk berbeda dan tempat-tempat sub seluler. Enzim ini tidak hanya
mengeluarkan zearalenon tapi juga dihambat olehnya. Terbukti bahwa pemberian
makanan alfalfa menetralkan pengaruh penghambatan.
Tingkat metabolisme zearalenon ke zearalenol dan proporsi dari α dan β
sangat bervariasi diantara spesies. Dibandingkan dengan tikus, babi mengeluarkan
zearalenon lebih lambat karena mereka memiliki jumlah yang lebih sedikit enzim
dehidrogenase hydroxysteroid 3 α. Jadi, babi mengeluarkan zearalenon untuk
mengkonjugasi senyawa induk dalam feses.
Pada semua spesies yang diuji, lebih banyak zearalenon yang dikeluarkan
yang tidak berubah (seperti kombinasi dari bentuk bebas dan konjugasi) dibanding
zearelenol. Zearalenon α biasanya sebagai keluaran utama kecuali pada ternak
biasa dimana zearelenol β mendominasi. Keuntungan psikologis dari zearalenol
α dan β masih belum jelas, tetapi dalam hubungan dengan potensi esterogen
dibandingkan dengan zearalenon, zearalenol β tiga kali lebih kuat dan zearalenol
α dianggap kurang kuat. Kedua glucuronide dan sulfate pada zearelenol dideteksi
dalam urine dan feses.
Karena zearalenon dikeluarkan dan dikonjungsi, hal ini dikeluarkan secara
relatif cepat (dalam beberapa hari) dari tubuh. Dengan dosis tinggi, sisa dari
282
zearalenon ke zearalenol dapat diukur pada hati tetapi tidak tepat. Pada sapi
kurang dari 1% dosis dialirkan ke susu sebagai bentuk bebas atau terkonjungsi
dari zearalenon ke zearalenol. Secara umum zearalenon atau hasil
metabolismenya dianggap sebagai pencemar yang signifikan dari rantai makanan.
Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa pengaruh pada uterus dan
susu disebabkan oleh interaksi zearalenon dengan receptor estrogenic cytosolic
pada organ-organ ini. Tambahan lagi, pengaruh zearalenon pada hipotalamus dan
kelenjar di bawah otak tampak sama seperti etrogen. Pada babi jantan muda,
zearalenon dapat menyebabkan feminisasi yang mencakup astropia testicelular,
pembengkakan pada kulit khatan, dan pembesaran pada kelenjar susu. Pada babi
betina, masalah reproduksi mungkin terjadi, tapi tingkat zearalenon yang lebih
tinggi (50-100 ppm) pada makanan tercukupi. Penyakit-penyakit ini termasuk
ketidak suburan yang dicirikan dengan asterus tetap (nymhomania) kehamilan
semu, ukuran super indukan yang menurun, keturunan yang lebih kecil dan
seringkali cacat dan hiperesterogenisme pada anak. Akibat lain pada induk babi
mencakup ketidaknormalan ovarium, kematian sel telur, proliferasi dari kelenjar
mucosa uterus, dan perkembangan saluran pada kelenjar susu. Pada babi, tidak
terbukti adanya pengaruh pada reproduksi. Bagaimanapun, penurunan
spermatogenesis telah terlihat pada spesies lain seperti pada angsa.
Kepekaan dari gilts dibandingkan dengan tikus digambarkan dengan fakta
yang menunjukkan bahwa diperlukan dosis yang lebih besar 25 kali untuk
menyebabkan pembesaran utera pada tikus muda. Hal ini telah dipertimbangkan
bahwa semakin rendah kapasitas untuk metabolisme dari zearelenon ke zearelenol
kemungkinan menyebabkan semakin tinggi kepekaan babi muda. Meskipun
metabolisme hydroxilated zearalenon mengalami kegiatan estrogenik, ini
dikeluarkan lebih cepat daripada zearalenon.
Zearalenon memiliki pengaruh racun yang rendah terhadap ayam. Tingkat
zearalenon yang tinggi (> 300 ppm) pada makanan yang diberikan ke anak ayam
broiler betina menyebabkan peningkatan berat pada jengger, ovarium, dan bursa.
Jengger pada anak ayam jantan menurun ketika diberikan kandungan racun yang
tinggi pada makanannya.
283
Zearalenon pada ayam petelur menunjukkan pengaruh yang minimal,
bahkan ketika diberikan makanan dengan konsentrasi tinggi. Produksi telur jarang
mengalami penurunan, dengan pengecualian beberapa kasus dimana penurunan
pada produksi telur diberitakan ketika zearalenon atau DON diketemukan pada
makanan, sebaliknya kasus kematian yang tinggi dari keturunan broiler
disebabkan salpingitis, dengan kemungkinan penyebabnya zearalenon. Pengujian
hispatologi penyakit hama pada jaringan tubuh menunjukkan salpingitis dan
peritonitis (radang selaput perut) yang kronis. Pengujian terhadap bahan makanan
dengan uji kadar radio penerimaan menunjukkan aktifitas estrogenik pada tingkat
yang tinggi. Pengujian dengan kromatografi cairan lapisan tipis dan tekanan tinggi
menunjukkan bahwa zearalenon terdapat pada konsentrasi sampai 5199-1 dalam
makanan. Racun selain zearalenon misalnya deoxy nivalenol, yang menyebabkan
penolakan makanan dan muntah pada babi, jarang dihasilkan secara serempak,
akan tetapi dalam jumlah yang lebih besar.
8.9. Citrinin
Citrinin adalah nephotoksin (racun ginjal) yang dihasilkan oleh beberapa
spesies dari jenis penicillium dan tiga spesies dari jenis aspergillus. Citrinin
dalam bentuk kristal, tampak seperti lemon kuning dan tidak larut dalam air.
Citrinin adalah sebuah quinone methide yang dikenal pertama kali sebagai
metabolisme kedua dari penicillium citrinum, yang kemudian dijadikan namanya.
Komposisi kimia dari citrinin dapat dilihat pada Gambar 8.30.
OH HOOC O O CH3 CH3 CH3
Gambar 8.30. Komposisi kimia citrinin
284
Jamur yang memproduksi citrinin ditemukan di daerah bermusim sedang
di dunia. Bahan pakan yang diketahui tercampur dengan bibit beracun termasuk
sebagian besar padi-padian, seperti gandum, oats, gerst, gandum hitam dan
jagung. Konsentrasi pada tingkat 80 ppm ditemukan pada padi Kanada, tetapi
frekuensi kontaminasi pada tingkat cukup tinggi untuk bersifat racun jarang.
Kontaminasi padi di Denmark dan Kanada sebagai bahan pakan ternak bisa
menjadi penyebab penyakit di daerah ini. Penilaian keracunan dari kontaminasi
alami pada makanan dan citrinin menjadi membingungkan disebabkan adanya
racun jamur lain termasuk okratoksin A, patulin, asam penisilat dan aflatoksin.
Jamur beracun utama dari makanan ternak adalah penicillium viridicatum Jamur
penicillium citrinum dapat dilihat pada Gambar 8.31.
Gambar 8.31. Jamur Penicillium citrinum (www.univ-brest.fr)
Gangguan jamur dan hasil lanjut dari citrinin pada bahan pakan
dipengaruhi oleh suhu, substrat dan kelembaban. Pada butir padi yang basah,
285
produksi citrinin menjadi maksimal pada suhu 25oC, tetapi dapat juga terjadi pada
suhu yang lebih rendah (5 – 12oC). Pada kulit kacang di pembiakan, kadar
kelembaban kernel dan kerusakan kulit menjadi faktor utama pertumbuhan jamur
sehingga produksi citrinin dapat mencapai 1200 ppm. Racun ini tidak stabil dan
menurun karena kondisi tertentu, misalnya pada panas yang meningkat (60 –
70oC) atau tingkat kelembaban ditingkatkan sampai batas diatas suhu optimal
untuk pertumbuhan. Faktor-faktor ini dan lainnya mempengaruhi keberadaan
alami dari citrinin.
Model cara kerja citrinin pada tingkat biokimia sangat tidak pasti, tetapi
hasil eksperimen pada laboratorium telah menunjukkan sejumlah kemungkinan.
Akibat sampingan dari gangguan ini terutama pada ginjal dan hati. Selama
beberapa jam setelah citrinin masuk, kadar DNA, protein dan glutation (GSH)
pada jaringan ini menurun. Selain itu kapasitas pernafasan (menghirup udara) dan
enzim metabolik, suksinat dehidrogenase terganggu. Perubahan pada hati
mencakup menurunnya kadar glikogen, kenaikan kadar lemak (pembesaran hati)
dan penurunan sintesa kolesterol.
Penurunan konsentrasi GSH pada jaringan ginjal dan hati terjadi antara 2 –
4 jam setelah masuknya citrinin ke dalam tubuh tikus. Meskipun penipisan GSH
berhubungan dengan keracunan hati karena beberapa zat kimia (misalnya
asetominophen, bromobenzene), hubungan tersebut belum pasti antara citrinin dan
keracunan pada ginjal. Lebih menarik, konsentrasi ginjal atas GSH kembali
normal selama 2 – 3 hari setelah masa terjangkit, dan kemudian menjadi naik
sampai 30 – 40%. Signifikasi biologis dari respon ini juga tidak jelas.
Perbandingannya, okratoksin A tampak memiliki sedikit berpengaruh lebih besar
pada kadar GSH jaringan.
Racun yang disebabkan citrinin pada ternak lokal belum dikriteriakan.
Bukti penelitian dengan jelas menunjukkan pengaruh racun yang mendasar pada
semua spesies yang telah diuji yaitu pada ginjal (keracunan ginjal). Pada babi,
penelitian pengaruh citrinin pada kerusakan ginjal sama dengan nepropati.
Terhadap babi selalu diikuti oleh okratoksin A (OA). Tambahan kenyataan
bahwa citrinin dan OA sering kali hidup bersama-sama pada makanan berjamur
286
menimbulkan bahaya serius pada penjelasan apakah citrinin memberikan
pengaruh nyata terhadap kesehatan binatang. Pandangan yang muncul bahwa
citrinin cenderung sebagai penyalur dibandingkan penyebab utama pada babi dan
burung karena kejadian yang jarang dan konsentrasinya yang kecil pada bahan
pakan. Terbukti secara eksperimen bahwa citrinin dan AO bekerja secara
sinergistik, tetapi fenomena ini tidak diteliti pada ternak lokal.
Pengaruh keracunan ginjal sebagai akibat dari citrinin hampir sama pada
semua spesies. Secara umum, kematian akibat luka saluran ginjal akut
kemungkinan diikuti oleh penurunan fungsi ginjal. Singkatnya, ginjal menjadi
besar dan tampak pucat dan berwarna coklat. Hal ini menyebabkan kematian
dan bahkan menguras perut pada beberapa spesies. Perubahan morfologis ini
diikuti oleh peningkatan pada indikator secara fungional, termasuk naiknya blood
ureum nitrogen (BUN), penurunan GFR, proteinura, glikosuria, dan kreatinuria.
Selain itu, volume urine tiap harinya mengalami peningkatan secara substansial
(poliuria) dan tetap naik selama dua sampai tiga hari setelah satu dosis citrinin
osmolaritas yang turun dari urin bersamaan dengan poliuria. Pengeluaran cairan
juga terjadi pada ayam. Berdasarkan dosis, luka pada tabung ginjal berlawanan.
Sebaliknya pada tikus, banyaknya kerusakan saluran ginjal yang ditunjukkan
dengan glikosuria dalam jumlah besar diikuti kerusakan ginjal dan kematian.
Hati mendapat pengaruh sedang dari citrinin khususnya pada babi dan
ayam. Pada keadaan tersebut, hati membesar, bercoreng-coreng dan friabel.
Perubahan pada sistem gastrointestinal mencakup peradangan lambung dan
pemborokan cecal pada babi dan perdarahan usus pada ayam. Kematian anjing
akibat keracunan citrinin disebabkan intussusception usus (jika terjadi pada usus
besar menyebabkan gangguan), dan menunjukkan pengaruh terhadap syaraf.
Citrinin tidak tampak sebagai penyebab kanker tetapi mempercepat
penyakit kanker ginjal yaitu kanker keras, misalnya dimetilnitrosamin dan
mungkin OA. Hal ini mutagenik pada beberapa sistem mikrosila, tetapi tidak
pada pengujian salmonela typhirium Ames assay. Citrinin tidak teratogenik pada
tikus, tetapi aktifitas embrio yang kuat pada embrio ayam dimana LD50 adalah
80,5 µg/butir.
287
Meskipun citrinin dan OA memiliki pengaruh yang sama pada ginjal
(secara patogen dan fungsional), ada perbedaan khusus yang membedakan kedua
racun ini. Pertama, efek dari citrinin tidak meracuni ginjal, tetapi OA yang masuk
akan menyebabkan keracunan pada ginjal. Kedua, citrinin biasanya tidak
berpengaruh total, seperti OA. Muncul perubahan sistem gastrointestinal seperti
pada babi, tetapi sistem ini biasanya tidak berpengaruh pada sebagian besar
spesies.
Citrinin hampir bukan sebagai racun bagi ternak seperti aflatoksin dan
okratoksin A. Pada unggas, tingkat makanan lebih dari 130 ppm memungkinkan
munculnya perubahan klinis termasuk depresi pertumbuhan, peningkatan
konsumsi air, pengaruh diare dan pengaruh keracunan hati serta ginjal. Pada
unggas, toleransi citrinin mencapai tingkat 250 ppm tanpa penurunan berat badan,
produksi telur dan kualitas telur. Pada babi, tingkat lebih dari 20 mg/kg berat
badan dapat mempengaruhi penurunan tingkat pertumbuhan dan keracunan ginjal.
Pada tikus LD50 terjadi pada level 60 – 80 mg/kg berat badan. Pengaruh utama
pada kelinci yang diberi dosis akut adalah diare dan luka pada ginjal.
Karena citrinin memiliki antibiotik melawan staphylococci dan bakteri
positif lain, maka citrinin dapat berpengaruh pada fungsi konsumsi. Hal ini
diketahui secara eksperimen karena tidak ada bukti lapangan yang menyatakan
bahwa keracunan oleh citrinin terjadi pada binatang memamah biak.
Meskipun kematian metabolik pada hewan belum diteliti secara jelas, ada
bukti jelas bahwa citrinin diserap dari sistem gastrointestinal, metabolisme dan
pengeluaran secara cepat. Pada tikus, sebagian besar dari dosis masuk pada urine
selama 24 jam sebagai hasil metabolisme. Hal ini dikonjugasikan dengan GSH
yang berhubungan dengan penipisan GSH dari jaringan hati dan ginjal. Urine
biasanya sebagai rutinitas pembuangan yang utama, namun pada ginjal yang
mengalami kerusakan oleh citrinin, racun sulit dikeluarkan karena penurunan
GFR. Sehingga pengeluaran dalam jumlah besar menjadi kebiasaan utama.
Pelepasan yang cepat dari citrinin dan sisa mencegah akumulasi pada jaringan,
akibatnya terjadi penurunan ancaman racun terhadap ternak. Selain itu,
kemungkinan sisa yang tertahan pada jaringan berkurang.
288
8.10. Okratoksin
Okratoksin adalah jenis mikotoksin yang pertama kali ditemukan pada
bahan pakan seperti jagung di Afrika Selatan yang ditumbuhi fungi spesies
aspergillus ochraceus pada tahun 1965. Okratoksin merupakan keluarga dari
isocoumarin yang berasal dari asam amino fenilalanin. Okratoksin juga
dihasilkan oleh fungi jenis aspergillus lain dan juga jenis penicillium.
Ada tiga macam okratoksin yaitu okratoksin A, okratoksin B dan
okratoksin C. Okratoksin A dianggap yang paling toksik dan dihasilkan dalam
jumlah banyak. Struktur kimia okratoksin mengandung gugus lakton. Struktur
kimia okratoksin dapat dilihat pada Gambar 8.32.
COOR OH O CH2 CH NH C O CH3 R
Gambar 8.32. Komposisi kimia okratoksin Gugus radikal (R dan R’) yang membedakan okratoksin A, B dan C.
Gugus radikal okratoksin A adalah R = H dan R’ = Cl. Gugus radikal okratoksin
B adalah R = H dan R’ = H, sedangkan gugus radikal okratoksin C adalah R =
CH2CH3 dan R’ = Cl. Komposisi kimia masing-masing okratoksin dapat dilihat
pada Gambar 8.33.
Okratoksin A merupakan gabungan L-fenilalanin dan klor turunan
isocoumarin pada ikatan amida. Okratoksin A akan memberikan warna hijau
pada penyinaran ultraviolet. Okratoksin A relatif stabil dalam pemanasan
termasuk pemanasan autoklaf dalam waktu lama. Okratoksin B hampir sama
strukturnya seperti okratoksin A kecuali tidak ada gugus Cl dan akan memberi
warna biru pada penyinaran ultra violet. Okratoksin B dan C tidak begitu toksik
dan belum begitu jelas diketahui kebaradaannya. Pada okratoksin A dan B, gugus
H karboksilnya dan gugus metil pada inti siklis yang mengandung lakton mudah
mengalami metilasi ataupun etilasi yang menghasilkan turunan-turunannya, yaitu
metilester dan etilester. Okratoksin mudah mengalami hidrolisa menjadi
fenilalanin dan asamnya.
289
COOH OH O CH2 CH NH C O CH3 Cl Okratoksin A COOH OH O CH2 CH NH C O CH3 H Okratoksin B COOCH2CH3 OH O CH2 CH NH C O CH3 Cl Okratoksin C
Gambar 8.33. Komposisi kimia okratoksin A, B dan C
Okratoksin dibentuk melalui jalur asetat-malonat dalam membentuk
rangka isocoumarin berupa senyawa dihidrocoumarin karboksilat. Gugus
karboksilat bergabung pada amino nitrogen fenilalanin, membentuk okratoksin
terutama pada kerja metabolisme fungi Aspergillus ochraceus. Sejauh ini yang
tidak diketahui adalah masuknya Cl (pada okratoksin A dan C) pada mikotoksin
tersebut. Penggabungan Na36Cl tertinggi pada kultur Aspergillus ochraceus
290
terjadi pada penambahan garam pada hari kedua dan ketiga inkubasi. Okratoksin
A dan aflatoksin B1 merupakan dua mikotoksin yang paling banyak menimbulkan
residu pada rantai makanan. Jamur aspergillus ochraceus dapat dilihat pada
Gambar 8.34.
Gambar 8.34. Jamur Aspergillus ochraceus (www.iums.org)
Penghasil utama okratoksin adalah golongan aspergillus dan penicillium,
antara lain Aspergillus ochraceus, Aspergillus ostianus, Aspergillus petrakil,
Aspergillus melleus, Aspergillus scletorium dan Aspergillus sulphureus.
Aspergillus ochraceus banyak terdapat dalam gandum tersimpan, biji sorghum
dan jagung. Disamping juga tiga dari lima strain aspergillus terdapat pada legum
dan serealia. Okratoksin ini dapat diperoleh pada berbagai hasil pertanian, antara
lain kacang tanah, kacang kapri, kacang babi, kacang panjang, dan juga beberapa
pada padi-padian antara lain adalah padi, jagung, gandum, sorghum sampai
tepung jagung dan roti. Penghasil okratoksin dari jenis penicillium yaitu
Penicillium veridicatum tumbuh pada roti, gandum putih dan barley.
291
Spesies dari genus aspergillus diketahui terdapat dimana-mana dan hampir
dapat tumbuh pada semua substrat. Fungi ini akan tumbuh pada buah yang busuk,
sayuran, biji-bijian, roti dan bahan pakan lainnya. Pertumbuhannya akan
terhambat bila bahan dalam keadaan kering. Beberapa spesies termasuk fungi
patogen, misalnya yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan penyakit
lainnya yang disebabkan oleh aspergillus diantaranya aspergillosis. Beberapa
diantaranya saprofit sebagaimana banyak ditemukan pada bahan pakan.
Di Amerika Serikat pada tahun 1967 ditemukan okratoksin sebanyak 130
mg/kg dalam salah satu contoh sampel mutu berbagai macam jagung yang
diperdagangkan. Penemuan juga didapat pada jagung yang akan diekspor pada
239 sampel didapat beberapa mengandung okratoksin sebanyak 83 mg/kg, 119
mg/kg dan 166 mg/kg. Suatu survey di Denmark pada barley dan oat didapatkan
okratoksin sebanyak 58% dari 33 sampel, terutama pada barley untuk pakan babi
yang rata-rata sebanyak 3 mg/kg. Pada barley bermutu tinggi juga ditemukan
okratoksin dengan kadar 9 mg/kg, 44 mg/kg dan 189 mg/kg. Suatu survey yang
dilakukan di Kanada pada berbagai bahan pakan yang bercendawan, didapat
okratoksin pad 18 dari 29 sampel bijian yang dipanaskan, antara lain gandum, oat
dan rye sebanyak 0,03 – 27 mg/kg dan tiga dari empat sampel kedelai putih kering
didapat 0,02, 0,03 dan 1,19 mg/kg. Dalam penyelidikan di Denmark, Penicillium
viridicatum selalu ditemukan dalam bahan penghasil okratoksin. Okratoksin juga
ditemukan pada biji kopi, dalam empat dari lima sampel biji yang bercendawan
ternyata didapat sebanyak 20 – 400 mg/kg.
Unggas yang diberi pakan yang mengandung okratoksin akan dicerna
dalam proventrikulus dan kemudian di bawa ke gizzard. Dalam gizzard, pakan
yang mengandung okratoksin tadi akan dihancurkan. Setelah itu di usus halus
akan ada penyerapan, sedangkan sisa penyerapan yang tidak digunakan akan
masuk ke usus besar yang nantinya keluar bersama ekskreta. Sedangkan yang
diserap akan mengalir bersama darah menuju hati, darah yang mengalir tersebut
sudah terkena okratoksin yang ada pada pakan, sampai di hati akan terdeposit dan
menyebabkan penyakit hati.
292
Toksisitas okratoksin A diperkirakan kurang lebih sepersepuluh aflatoksin.
Pada penelitian lain yang dilakukan pada tikus sapihan ternyata toksisitas
okratoksin A sebanyak sepertiga aflatoksin B1. Okratoksin mempunyai
toksisistas seperenambelas kali lebih kecil daripada okratoksin A. Okratoksin C
mempunyai toksisitas sama dengan okratoksin A. Potensi karsinogeniknya belum
jelas, sedangkan okratoksin B dan C dianggap non toksik.
Okratoksin yang diberikan pada tikus menyebabkan kerusakan pada ginjal
dan kerusakan hati pada tikus, anak ayam dan ikan. Dosis relatif patologis pada
pengamatan ginjal tikus sapihan jantan maupun betina sebanyak 0,2 ppm
okratoksin A. LD50 tikus jantan diperkirakan sebanyak 22 mg/kg terutama
serangan parah pada bagian ginjal. Kematian akan terjadi dalam waktu 10 hari.
Gejala yang ditimbulkan adalah kerusakan pada bagian hati, ginjal, jantung, otak,
kelumpuhan sistem syaraf dan penampakan pucat secara mendadak.
Pada ayam broiler, okratoksin dengan dosis sebesar 0,5 ppm menyebabkan
suatu pertumbuhan yang terhambat, sedangkan dosis sebesar 4 ppm dapat
mematikan. Toksisitas kronis pada ayam petelur umur sekitar 14 – 25 minggu
apabila diberi dosis okratoksin sebesar 4 ppm yang menyebabkan kematian
meningkat, pertumbuhan terhambat, terhentinya kematangan kelamin, produksi
telur berkurang dan kulit telur cenderung kerkualitas jelek. Nilai LD50 pada itik
didapat sebesar 25 g. Pada pengamatan lebih lanjut didapatkan hasil yang lebih
rendah yaitu sebesar 150µg per ekor itik.
8.11. Lupinosis
Lupinosis disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh jamur Phomopsis
leptostromiformis, yang tumbuh pada lupine (tanaman kebun yang bertangkai
tinggi menutupi bunga). Lupinosis dicirikan dengan kerusakan hati yang sangat
parah. Hal ini telah diketahui selama satu abad dan telah diteliti di Jerman,
Polandia, Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru. Hal ini sangat penting di
Australia, dimana tanaman lupine tumbuh luas seperti tanaman padi di Indonesia
dan domba-domba di gembalakan pada hamparan tanaman lupine tersebut.
293
Pertumbuhan dari jamur phomopsis di tanaman lupine dapat dihubungkan
dengan cuaca, misalnya hangat, basah dan kondisi lembab yang disukai untuk
pertumbuhannya. Dahulu, di Australia dipercaya bahwa lupinosis berhubungan
atau disebabkan oleh musim panas, tetapi sebenarnya karena variasi pertumbuhan
lupine yang kasar sehingga hanya bisa dikonsumsi ketika tanaman lupine tersebut
dibasahi atau dibuat lembut oleh air hujan. Semua jerami lupine merupakan racun
yang potensial. Tingginya angka pertumbuhan domba tampaknya akan
menambah tingginya peristiwa lupinosis. Domba yang mengidap lupinosis,
berkembang cepat ke tingkat hati yang berwarna kuning. Ini merupakan refleksi
dari hati yang telah mengalami kerusakan.
Penyebab keracunan telah diisolasi dan dinamakan phomopsin A dan
phomopsin B. Phomopsin-phomopsin tersebut berbentuk lingkaran heksapeptida
yang membawa serta didehidro dan asam hidroxyamino serta sebuah chlorine
yang mengandung turunan sub unit fenilalanin. Phomopsin tersebut mempunyai
aksi seperti colchicine dalam penangkapan mitosis dalam sel hati dan
menghalang-halangi polimerisasi mikrotubulus. Cincin aromatik dari phomopsin
merupakan tempat aktif bagi pengaruh racun. Phomopsin merupakan anti nutrisi
yang berbahaya bagi domba karena dengan dosis minimal 10 µg/kg bobot badan
akan menimbulkan kematian.
Tanda pertama perkembangan lupinosis adalah kehilangan nafsu makan
dan menurunnya kondisi serta bobot badan. Apabila lupinosis masuk ke dalam
tubuh secara terus menerus akan menyebabkan berat hati bertambah karena
kumpulan lemak yang besar dalam sel hati. Hati yang membesar dengan cepat
berwarna kuning terang atau oranye terang, dan sangat berminyak ketika
dipotong. Hati bertambah ukurannya melebihi normal beberapa kali lipat,
jaringan bawah kulit dan lemak berwarna kuning atau oranye. Tanda fisik dari
hewan yang terkena lupinosis (mata kuning, tubuh kecil, conjungtiva membran,
fotosensitisasi, dan induk sapi mati dapat dilihat pada Gambar 8.35 dan tanda
dalam tubuh (hati berwarna coklat, kardia myophaty, myophaty otot kerangka,
hati kaku dan kecil, hati berubah warna, dan nekrosis hati) dapat dilihat pada
Gambar 8.36.
294
Gambar 8.35. Tanda fisik dari hewan yang terkena lupinosis (mata kuning, tubuh kecil, conjungtiva membran, fotosensitisasi, dan induk sapi mati) (http://vein.library.usyd.edu.au)
Gambar 8.36. Tanda dalam tubuh (hati berwarna coklat, kardia myophaty, myophaty otot kerangka, hati kaku dan kecil, hati berubah warna, dan nekrosis hati) (http://vein.library.usyd.edu.au)
Lupinosis kronis dicirikan dengan nekrosis hati dan tanda kemunculannya
seperti penyakit kuning. Membran dari mata dan mulut menjadi sangat kuning.
Hewan yang terkena keracunan terlihat putus asa dan depresi serta tertinggal dari
kelompoknya. Pada kasus lupinosis kronis, hati berwarna kuning tembaga atau
kecoklat-coklatan dan ukurannya lebih kecil dari ukuran normal. Hati akan terasa
berat dan berserabut serta berbentuk butiran-butiran kecil.
295
Di Australia, domba yang terjangkit racun lupinosis penampakannya sama
dengan domba yang mengkonsumsi pyrrolizidine alkaloids seperti tanaman
Heliotropium europaeum. Hal ini terjadi karena keduanya mempunyai pengaruh
hepatoksik dan dimungkinkan ternak-ternak tersebut mengalami kecanduan.
Apabila lupinosis bertambah pada tubuh domba maka kandungan tembaga hati
juga akan bertambah dan hal tersebut merefleksikan kerusakan hati. Hal yang
sama pada kandungan tembaga hati terdapat pula pada peristiwa keracunan
pyrrilizidine alkaloids. Pada ternak yang keracunan lupinosis didapatkan bahwa
kandungan tembaga dan selenium meningkat dan kandungan seng menurun.
Lupine yang berasosiasi dengan myophati dalam tubuh domba adalah
identik dengan kemunculannya pada penyakit otot putih (selenium-vitamin E-
responsive myophaty). Akan tetapi hal ini tidak dapat direspon dan dicegah
dengan penggunaan selenium dan vitamin E. Hal ini tidak akan diketahui jika
myophaty yang dihubungkan dengan lupine disebabkan oleh aksi langsung dari
keracunan lupinosis pada otot atau dari racun-racun yang tercampur dengan
selenium yang tersedia di otot.
Penelitian lain menunjukkan adanya luka pada penyakit jantung akibat
aksi langsung keracunan lupinosis. Lupinosis juga menyerang anak sapi yang
menyebabkan sindrom lemak hati yang mempangaruhi hanya pada ternak sapi
dalam kehamilan lamban atau pada sapi yang baru melahirkan. Sindrom lainnya
adalah pada kondisi cirrhotic yang terlihat pada domba dengan keracunan
lupinosis kronis. Pada domba, lupinosis pada umumnya terlihat ketika ternak
sedang merumput pada jerami lupine dan proses fotosintesis jarang terlihat. Pada
sapi, ambing juga ikut terpengaruh, dan sapi menolak melepaskan anaknya untuk
dirawat. Beberapa jenis lupine, seperti tanaman Ultra tahan dari infeksi
phomopsin. Teknik manajeman ternak disayaratkan untuk mencegah terjadinya
lupinosis. Ternak yang lambat bunting dan atau baru melahirkan anaknya
seharusnya tidak digembalakan pada jerami lupine.
296
8.12. Asam Helvolat
Asam helvolat didapatkan dari isolasi aspergilus fumigatus. Asam ini
dikenal sebagai antibiotika yang toksik. Senyawa asam helvolat sering juga
dinamakan fumigasin. Asam helvolat mempunyai rumus kimia C32H44O8 dengan
berat molekul 556,67 yang terdiri dari atom C = 69,04% dan H = 7,97%.
Senyawa ini berbentuk jarum-jarum dalam etanol mempunyai titik didih 215 –
220oC, tidak larut dalam air kecuali dalam garam natrium, larut dalam air
kloroform, benzena dan agak larut dalam alkohol. Komposisi kimia asam helvolat
dapat dilihat pada Gambar 8.37.
HOOC O O H O H O OCOCH3
Gambar 8.37. Komposisi kimia asam helvolat Secara kimiawi dikenal ada tiga bentuk komposisi kimiawi metabolit fungi
yang hampir sama yang ketiganya merupakan bentuk politerpen yang dapat
terbentuk melalui jalur mevalonat. Ketiga macam metabolit tersebut adalah asam
fusidat, sefalosporin P1 dan asam helvolat sendiri. Adapun bentuk struktur kimia
ketiganya dapat dilihat pada Gambar 8.38 – 8.40.
HOOC H HO OCOCH3 H HO H
Gambar 8.38. Asam fusidat (isolasi Fisidum coccineum)
297
HOOC H OCOCH3 H HO H OCOCH3
Gambar 8.39. Sefalosporin P1 (isolasi Cephalosporium sp.) HOOC H OH H O H O OCOCH3
Gambar 8.40. Asam helvolat (isolasi Aspergillus fumigatus mut.
Helvola, Chepalosporium, Emericellopsis dan A. oryzae
Jalur pembentukan asam helvolat kurang lebih sama seperti senyawa
sejenisnya, yaitu asam fusidat dan sefalosporin P1 yaitu melalui jalur mevalonat.
Asam mevalonat merupakan suatu senyawa C6 yang diturunkan dari kondensasi
tiga molekul asetil CoA serta kehilangan satu molekul air dan CO2 “isopren unit”.
Dua isopren unit yang mengadakan kondensasi akan menghasilkan geranilfosfat.
Unit geranil dengan unit lain akan menghasilkan senyawa C15 sesquiterpen dan
mengalami kondensasi lebih lanjut, sehingga didapat diterpen dan triterpen.
Asam helvolat merupakan sejenis triterpen. Tahapan biosintesisnya sebagaimana
Gambar 8.41 dan 8.42.
298
H3C OH CH3 CH3
A. CoA CH2 CH3
HOCH2 COOH CH2OPP CH2OPP
Asam mevalonat “isopren unit” Dimetilalil pirofosfat CH3 CH2OPP CH3 CH2OPP H
CH2 CH2 CH2-OPP CH2 CH3 CH3 Geranilpirofosfat
CH3 CH3 Triterpen
Gambar 8.41. Triterpen melalui jalur mevalonat
Geranilfosfat
Bentuk terpen (Triterpen) HOOC H OH H O H O OCOCH3
Gambar 8.42. Biosintesis asam helvolat dari bentukan terpen (triterpen)
299
Sampai sejauh ini masih belum jelas dan masih menjadi tanda tanya
tentang bahan makanan yang mana yang ditumbuhi mikotoksin ini. Namun untuk
jawaban sementara, para ahli menemukan jenis fungi fumigatus pada tumbuhan
jenis serealia antara lain padi dan gandum. Asam helvolat pertama kali diisolasi
oleh Walksman dkk, pada tahun 1943 dan pada tahun yang sama juga dilakukan
oleh Chain dkk. Jamur aspergillus fumigatus dapat dilihat pada gambar 8.43.
Gambar 8.43. Jamur Aspergillus fumigatus (www.diariomedico.com)
Asam helvolat akan diabsorpsi melalui jaringan subkutan dan saluran
pencernaan kemudian diekskresikan ke dalam urine dan empedu. Pada urine yang
keracunan mikotoksin akan terdapat senyawa toksik ini, tapi yang jelas toksik ini
menyerang melalui peredaran darah dan kemudian mempengaruhi organ-organ
tubuh yang punya sifat sebagai filtrasi darah. Sebagai contoh suatu ternak
mengkonsumsi toksik ini maka akan terjadi kelumpuhan di dalam hati
(superfacial). Efek yang paling ringan adalah terjadinya kerusakan pada ginjal.
Dalam isolasi yang telah dilakukan oleh para ahli, dengan perlakuan pengenceran
dalam perbandingan 1 : 2500 yang diinjeksikan selama 48 jam ternyata tidak ada
perubahan yang irreversibel, terutama bagian darah (leukosit tidak rusak).
Dengan pengenceran 1 : 1500 akan menekan jaringan kultur pada dua jam
300
kemudian, juga menekan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang akibatnya
terjadi degenerasi vakuola.
Pencegahan merupakan usaha antisipasi sebelum terjadinya suatu kejadian
yang tidak diinginkan. Pencegahan dapat dilakukan antara lain :
a. Bahan pangan selalu diperiksa, terutama adanya pertumbuhan fungi. Seperti
diketahui asam helvolat kemungkinan tidak hanya dihasilkan oleh satu
macam fungi. Upaya umum untuk menghambat pertumbuhan fungi adalah
suatu hal yang perlu dilakukan.
b. Belum banyak penelitian tentang mikotoksin ini. Namun karena sifatnya
yang tidak mudah larut dalam air kemungkinannya sebagai kontaminan
toksin dapat terjadi. Sortasi bahan pangan terutama dari bahan yang diduga
ditumbuhi fungi dan tidak bercampur bahan dalam berbagai macam hasil
komoditi dalam suatu tempat sangat dianjurkan.
8.13. Rubratoksin
Rubratoksin adalah metabolit bisanhidrida yang diproduksi oleh
Penicillium rubrum dan P. purpurogenum. Senyawa tersebut terdiri dari dua
toksin yaitu rubratoksin A (RA) dan B (RB). Perbandingan RB adalah dua kali
lipat lebih beracun daripada RA. Komposisi kimia dari rubratoksin dapat dilihat
pada Gambar 8.44 sedangkan jamur Penicillium rubrum pada Gambar 8.45.
Toksin tersebut diturunkan namanya dari P. rubrum karena pertama kali
diisolasi dari jamur tersebut. Racun jamur tersebut asalnya dijumpai pada jamur
jagung dan menyebabkan penyakit yang dicirikan oleh hepatitis, nefrosis dan
hemoragi ketika pakan dikonsumsi oleh sapi dan babi. Isolat P. rubrum yang
tumbuh pada jagung dan pakan pada ternak lebih beracun dibandingkan
Aspergillus flavus. Jamur yang memproduksi RA dan RB umum dijumpai dalam
pakan tetapi toksin tersebut tidak pernah dijumpai dalam kondisi alami.
Penicillium rubrum sudah diisolasi dari kacang, jagung, padi, dan biji bunga
matahari. Jamur tersebut dapat siap tumbuh dalam laboratorium pada sejumlah
media sintetis tetapi produksi RA dan RB terbatas pada beberapa tipe tertentu.
301
CH3(CH2)5OH
O
O
R
O
OOH
O
O
OOH
Keterangan : R pada rubratoksin A adalah OH dan H R pada rubratoksin B adalah O
Gambar 8.44. Komposisi kimia rubratoksin
Gambar 8.45. Jamur Penicillium purpurogenum (www.dehs.umn.edu)
302
Meskipun mekanisme aksi belum jelas, terdapat perubahan biokimia pada
level subseluler meliputi penghambatan respirasi mitokondria, aktivitas ATPase,
dan protein sintesis, pengikatan pada DNA, penurunan aktivitas RNA polimerase,
penurunan level RNA dan disagregasi polisom. Perubahan kelompok fungsional
seperti hidrogenasi pemecahan α,β-lakton tidak jenuh menurunkan keracunan
secara tajam.
Hati adalah target organ utama meskipun kongesti dan hemoragi terjadi
dalam beberapa target organ lainnya seperti ginjal, limpa, paru-paru dan saluran
pencernaan. Sel hati menunjukkan perubahan menjadi nekrosis. Perubahan
fungsi hati diindikasikan oleh peningkatan waktu protrombin (koagulapati) dan
bilirubinemia (ikterus). Perubahan degeneratif ringan dalam renal tubuli
epitelium nampak pada beberapa spesies. Tanda-tanda klinis meliputi depresi,
anoreksia, penurunan bobot badan, koagulapati, hemoragi, feses berdarah dan
kematian.
Penelitian tentang racun rubratoksin sudah dilakukan dan menunjukkan
pada anak sapi dosis RB harian sebesar 8 mg/kg bobot badan menurunkan fungsi
hati. Dosis 12 mg/kg menyebabkan depresi dan anoreksia dan 16 mg/kg
menyebabkan kerusakan hati akut dan kematian. Keracunan akut kurang terdapat
pada ternak monogastrik. Pada tikus, LD50 terjadi pada pemberian 400 mg/kg dan
83 mg/kg pada ayam. Toksisitas yang berkurang tersebut dihubungkan dengan
absorpsi yang kurang dari saluran pencernaan dan kemungkinan disebabkan juga
degradasi yang tinggi dalam pencernaan. Penelitain lain menunjukkan bahwa
rubratoksin kurang beracun pada ayam, 500 ppm rubratoksin dalam pakan untuk
tiga minggu dibutuhkan untuk penurunan bobot badan. Rubratonsin bukan
karsinogenik tetapi mutagenik, teratogenik dan embriotoksik pada embrio tikus
dan telur. Lingkaran α,β-lakton tidak jenuh penting untuk aktivitas ini. Juga
terdapat potensi immunosupresi yang menyebabkan kerusakan formasi
keseimbangan dalam hati.
303
8.14. Tremorgen Jamur
Ryegrass stagger adalah penyakit neuromuskuler yang menyerang
domba dan sapi yang merumput di pastura permanen dimana tanaman ryegrass
tahunan (Lolium perenne) merupakan spesies dominan. Agen toksik yang
berperan adalah racun jamur yang dinamakan tremorgen. Bermacam-macam
tremorgen sudah diisolasi dengan dua senyawa merupakan yang terbesar yaitu,
verruculogen dan paksilin dengan komposisi kimia seperti terlihat pada Gambar
8.46. Senyawa tremorgen dihasilkan oleh Penicillium spp seperti P. paxilli
sebagaimana terlihat pada Gambar 8.47.
H3CON
O
O
OHOH
O
N
HH
ON
Verruculogen
N
H
H
OH
HO
O
OH
Paksilin
Gambar 8.46. Komposisi kimia tremorgen
304
Gambar 8.47. Jamur Penicillium paxilli (www.massey.ac.nz)
Ryegrass stagger umumnya terjadi ketika tanaman pastura masih pendek.
Setelah mengkonsumsi pastura toksik, ternak mengalami sindrom gemetar.
Penyakit tersebut juga dicirikan oleh tidak terkoordinasinya lokomotor, hal
tersebut tidak terlihat sampai ternak terserang gangguan untuk berlari. Gejala
yang terjadi kemudian adalah gaya berjalan gemetar abnormal, kepala gemetar,
mudah tersandung dan kolaps, kadang-kadang diikuti oleh beberapa kekejangan
muskuler. Setelah satu jam, ternak akan dapat kembali berjalan. Morbiditas
sangat tinggi sampai mencapai 80% dari domba dalam flok terserang, tetapi
mortalitas rendah. Mortalitas umumnya disebabkan oleh kecelakaan selama
serangan stagger seperti tenggelam di sungai atau kolam atau jatuh di tambak.
Ternak yang terserng ryegrass stagger dapat dilihat pada Gambar 8.48.
305
Gambar 8.48. Ternak yang terkena ryegrass stagger (www.massey. ac.nz)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis tremorgen 0,005 mg/kg
bobot badan yang diberikan melalui intravena cukup untuk menyebabkan gemetar
ringan dan ataksia. Keberadaan ryegrass penting untuk pertumbuhan Penicillium
spp dalam tanah dimana toksin dihasilkan. Intensitas perumputan berat
meningkatkan kemungkinan suplai rumput dihabiskan yang menyebabkan
perumputan yang semakin mendekati tanah dan oleh karena itu tremorgen
terkonsumsi. Tremorgen dapat diabsorpsi oleh tanaman ryegrass dari tanah dan
dipindahkan menuju daun.
Jamur penghasil biji yang endofitik berhubungan dengan terjadinya
ryegrass stagger. Endofit dikonsentrasikan dalam pelepah daun tanaman yang
dapat menerangkan mengapa ryegrass stagger umumnya dihubungkan dengan
perumputan basis pastura ryegrass. Dua neurotoksin dari hijauan uang
menyebabkan ryegrass stagger sudah dapat diisolasi dengan nama lolitrem A dan
306
lolitrem B. Efek neurotoksik lolitrem pada tikus khusus dihasilkan oleh
tremorgen Penicillium. Gejala tremor dan inkoordinasi menyerang lebih pelan
dan lebih berlarut-larut. Kelompok tremorgen lainnya adalah jantitrem yang
diisolasi dari Penicillium janthinellem yaitu jamur yang dihubungkan dengan
ryegrass pastura beracun. Ryegrass stagger umumnya dihubungkan dengan
perumputan ryegrass tetapi dapat juga disebabkan dari konsumsi hijauan yang
diawetkan.
Kuda poni yang diperlakukan dengan pemberian pakan pellet yang
mengandung 60% jerami ryegrass menunjukkan tanda-tanda klasik dari ryegrass
stagger yang meliputi bergairah, gaya berjalan abnormal, aksi anggota badan yang
berlebihan, menyelip-nyelip sewaktu masih berdiri, dan tetanus dalam kasus
ekstrem. Penicillium cyclopium ternyata dijumpai baik di jeraminya ataupun di
sample feses dari ternak yang diperlakukan.
Kondisi yang dikenal sebagai paspalum stagger terjadi pada sapi dan
kadang-kadang pada domba dan kuda. Kejadian ini terjadi di bagian dunia
dimana Paspalum spp. ditumbuhkan sebagai rumput pastura seperti yang terdapat
di Selandia Baru, Australia, Afrika Selatan, AS, Portugal dan Italia. Rumput
tersebut sering diserang oleh ergot (Claviceps paspali) dan dalam banyak tahun
dipercaya sebagai agen penyebab paspalum stagger. Gejala mengkonsumsi
Claviceps paspali scletoria adalah kepala gemetar, inkoordinasi, dan kolaps ketika
terganggu. Skletoria menghasilkan isolat fraksi tremorgenik. Jadi terlihat bahwa
paspalum stagger disebabkan oleh produksi tremorgen Claviceps paspali yang
menyerang kepala biji Paspalum.
8.15. Sporidesmin
Facial eczema adalah kondisi dermatitis pada domba dan sapi yang terjadi
secara luas di bagian utara North Island, Selandia Baru, Australia dan Afrika
Selatan. Facial eczama disebabkan oleh spora jamur Pithomyces chartarum yang
tumbuh di litter (alas) mati pada pastura ryegrass. Spora tersebut mengandung
toksin yang dinamakan sporidesmin.. Terdapat beberapa macam sporidesmin
307
lainnya yaitu sporidesmin B, C, D, E, F, G dan H tetapi mempunyai aktivitas
biologis rendah. Komposisi kimia sporidesmin dapat dilihat pada Gambar 8.49.
Cl OH OH
H3CO H3CO H3C
N
OCH3
CH3N
SS
ON
Gambar 8.49. Komposisi kimia sporidesmin
Sporidesmin menyebabkan kerusakan hati dan akhirnya mengakibatkan
fotosensitisasi sekunder. Kondisi tersebut menyebabkan pengurangan produksi
dan mortalitas pada ternak sapi perah dan domba. Spora jamur Pithomyces
chartarum dapat dilihat pada Gambar 8.50.
Gambar 8.50. Spora jamur Pithomyces chartarum (http://vein.library. usyd.edu.au)
308
Periode berbahaya untuk facial eczema mengikuti cuaca hangat basah
yang mendukung pertumbuhan jamur. Jumlah spora di litter pastura meningkat
sangat cepat dibawah kondisi perkembangan jamur yang mendukung dan dapat
terlihat sebagai mendung debu hitam ketika pastura terganggu. Toksin terbesar
yang dihasilkan adalah sporidesmin.
Tanda pertama pada domba yang terkena sporidesmin adalah luka
fotodinamik pada telinga dan muka. Ternak menjadi kurang istirahat, mengeleng-
gelengkan kepala, dan menggosok mata dan telinga melawan objek solid dan
tanah. Telinga menjadi bengkak, merah dan kerkulai, serta bibir dan kelopak
mata bengkak. Borok akan terbentuk disekitar area tersebut. Domba akan
menghentikan merumput, khususnya jika bibir teriritasi hebat. Ternak
menunjukkan fotofobia dan nampak keluar dari naungan yang tersedia. Domba
yang baru dicukur secara khusus lebih mudah terkena serangan tersebut. Ternak
yang terkena sporidesmin dapat dilihat pada Gambar 8.51.
Gambar 8.51. Sporidesmin pada domba (http://vein.library.usyd.
edu.au)
309
Serangan pada sapi perah menunjukkan luka yang sangat sering pada
ambing dan puting serta turun ke sisi dalam kaki belakang, khususnya pada sapi
Jersey dan pada bagian putih dari kulit sapi Holstein. Kadang-kadang kulit muka
mengelupas pada sebagian besar muka. Hal tersebut akan berpengaruh pada
produksi susu yang anjlok drastis.
Banyak ternak yang terserang sembuh kembali, khususnya jika program
pencegahan dimulai. Naungan yang cukup banyak sebaiknya disediakan. Bahkan
dalam beberapa menit, cahaya matahari yang terik dapat menyebabkan kerusakan
kulit. Sapi perah terinfeksi sebaiknya dikeringkan hasil susunya (menghentikan
laktasi) segera. Hal tersebut akan mengurangi nafsu makan, dan oleh karena itu
masukan toksinpun berkurang serta diperbolehkan untuk memaksimalkan
berbagai nutrisi untuk perbaikan nutrisi. Hal tersebut juga memperkecil masukan
klorofil, sehingga mengurangi filoeritrin masuk ke hati. Ternak yang terinfeksi
sebaiknya dihindarkan dari serangan lalat.
Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi seng melindungi efek dari
facial eczema. Penggunaan garam seng pada waktu ternak terkena pasrtura yang
toksik akan mengurangi jumlah ternak yang terkena facial eczema dan banyaknya
kerusakan hati. Dosis seng yang baik untuk mencapai perlindungan adalah setara
dengan 20 –25 mg/kg bobot badan per hari. Seng oksida atau chelat (seperti
EDTA) seng direkomendasi untuk digunakan. Seng sulfat mempunyai efek
merusak saluran pencernaan dan sebaiknya tidak digunakan. Pada ruminan,
fibrosis pankreas terjadi pada masukan seng tinggi. Lagi pula penggunaan seng
tidak dianjurkan sebagai perlakuan rutin tetapi dapat untuk perlindungan jangka
pendek pada peternakan dengan problem facial eczema yang muncul kadang kala.
Penampilan produksi domba yang menurun dihubungkan dengan
mikotoksin yang mirip sporidesmin yang dihasilkan oleh jamur Chaetomium spp.
pada padang rumput yang memproduksi sebuah antibiotik yaitu cetomin.
Cetomin diabsorpsi dari rumen dan kemudian terakumulasi, dimana kemudian
menimbulkan efek antibiotik yang menghalangi fermentasi rumen.
310
8.16. Stacibotriotoksin
Stacibotritoksikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh trikotesena
pada ternak khusunya kuda setelah mengkonsumsi jerami jamur atau hay. Jamur
penyebab adalah Stachybotrys atra (atau S. alternans) dan kemungkinan
Myrothecium spp. serta Dendrodochium spp. Oleh karena Stachybotrys
menggunakan selulosa, jamur tersebut ditemukan pada banyak bahan organik
yang kaya selulosa seperi kertas, kapas, reruntuhan tanaman, akar sugar cane,
butir padi-padian, jerami dan hay. Jamur Stachybotrys atra dapat dilihat pada
Gambar 8.52.
Gambar 8.52. Jamur Stachybotrys atra (http://stachybotrys-chartarum.de)
Kumpulan beberapa toksin yang dihasilkan dinamakan stacibotriotoksin,
tetapi tidak semua teridentifikasikan. Bagaimanapun penyakit tersebut mirip
sekali dengan penyakit yang disebabkan oleh satu atau lebih kelompok C.
macrocyclic trichothecenes yang meliputi roridin E, verukarin J serta satratoksin
E, G dan H.
311
Meskipun penyakit tersebut sebagian besar dicirikan pada kuda, tetapi
ternak lainnya juga dapat terserang seperti pada sapi, domba, babi, unggas dan
juga manusia. Tahap perkembangan stacibotriotoksikosis pada kuda terjadi
setelah mengkonsumsi jerami atau hay yang terinfeksi jamur diatas beberapa
minggu. Mula-mula bibir, lidah, dan mukosa buccal teriritasi yang menyebabkan
pengaruh epitelionekrotik toksin. Daerah iritasi tersebut dapat menjadi nekrotik
dan mengalami edema. Tahpa kedua dicirikan oleh koagolopati, leukopenia,
trombositopenia yang menyebabkan pengaruh toksik pada proses hematopoietik.
Selain itu nekrosis pada daerah mulut menjadi memburuk, diare biasanya
berkembang yang menyebabkan iritasi saluran pencernaan dan ternak sangat
lemah. Kematian akibat hemoragi dan septicemia dapat terjadi pada fase ini.
Bentuk yang berbeda dari stacibotriotoksikosis terjadi pada kuda yang terserang
sejumlah besar racun fodder. Pada kasus tersebut, tanda-tanda klinis berkembang
cepat dan meliputi penyakit syaraf, kehilangan respon refleks, kehilangan
penglihatan, tanda kolaps sirkulatori dan akhirnya mati.
Pada anak sapi yang terserang penyakit tersebut menunjukkan tanda
hemoragi yang tersebar ke seluruh tubuh. Efek racun pada babi meliputi muntah,
gemetar, anemia dan aborsi. Dermatitis timbul disekeliling area putting, demikian
juga di daerah mulut. Pada skala laboratorium, mengindikasikan
stacibotriotoksin adalah juga imunosupresif. Keduanya memproduksi antibodi
dan menunda hipersensitivitas pada syaraf kulit yang terganggu.
8.17. Racun Kikuyu
Rumput kikuyu (Pennisetum clandestinum) adalah spesies hijauan tropis
yang digunakan secara luas di pastura. Keracunan kikuyu terjadi pada sapi,
domba dan kuda. Rumput kikuyu dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 8.1.
dan 8.53.
312
Gambar 8.53. Rumput kikuyu (www.une.edu.au dan www.tropicalgrasslands.asn.au)
Tanda-tanda klinis meliputi anoreksia, depresi, pilo-ereksi, pengeluaran air
liur, kolik, gigi menggeretak, penghentian pergerakan ruminal dan intestinal,
kekurangan ekskresi feses, otot gugup, gaya berjalan mengarah ke ketinggian, dan
kadang-kadang sawan. Ciri khusus adalah “sham drinking atau pura-pura minum”
dimana sapi akan berkumpul di air dan bahkan meletakkan mulut pada atau dalam
air tetapi tidak minum. Luka yang sangat menyerang adalah nekrosis intensif
pada mukosa rumen dan omasum. Mortalitas pada ternak yang terserang sekitar
80%. Keterlibatan selektif pada lapisan epithelial luar memberi kesan aksi
langsung racun dari dalam lumen saluran pencernaan. Pada banyak kasus tetapi
tidak semuanya, keracunan kikuyu dihubungkan dengan cacing tentara (army
worm) yang menguasai pastura. Perubahan komposisi rumput oleh cacing tentara,
kemungkinan disebabkan oleh jamur. Titik kejadian tidak langsung pada
mikotoksin trikotesena yang diproduksi oleh Myrothecium verrucaria sebagai
agen penyebab. Belum ada perlakuan pengobatan yang dikembangkan untuk
ternak yang terserang.
313
BAB 9
RACUN TANAMAN LAIN
9.1. Racun Rumput sleepy (diaseton alkohol)
Senyawa yang terdapat dalam tanaman rumput sleepy adalah diaseton
alkohol yang bersifat seperti narkotik. Efek mengantuk disebabkan oleh senyawa
aseton yang dikenal sebagai depresant yang dibebaskan di saluran pencernaan.
Sapi yang mengkonsumsi rumput sleepy hanya berbaring yang sama kejadiannya
dengan ketosis atau asetonemia. Secara umum peternakan tidak akan memberi
konsumsi tanaman ini lagi setelah mempunyai pengalaman tentang keracunan
rumput sleepy.
Rumput sleepy (Stipa robusta) adalah rumput jarum tahunan yang tinggi,
dan membentuk rumpun tegak. Rumput ini tumbuh di area Colorado, Arizona,
New Mexico dan Texas. Rumput sleepy mempunyai efek yang sangat menarik
pada ternak. Masukan moderat non letal sejumlah rumput menyebabkan kondisi
sangat “kelenger” yang berlangsung beberapa hari. Rumput sleepy dan bagannya
dapat dilihat pada Gambar 9.1.
Ketika kuda sedang dalam perjalanan, kadang-kadang bahaya terjadi
ketika kuda tersebut mengkonsumsi tanaman ini. Ternak yang terkena keracunan
ringan akan mengalami gejala kesal, tidak aktif dan diam. Pada dosis besar,
ternak akan mengantuk dengan kepala tertunduk, mata tertutup dan gaya berjalan
tidak teratur jika bergerak, saliva berlebihan dan sering keluar urin bahkan ketika
sedang berbaring. Beberapa ternak yang keracunan tetap berbaring disatu sisi
dengan kepala di tanah. Ternak tersebut tidur nyenyak dan dapat bangun hanya
sesaat. Pada masa lalu, kuda merupakan ternak yang terutama terserang,
sekarang sapi merupakan ternak yang paling terserang. Domba tidak terserang
sesering kuda dan sapi.
314
Gambar 9.1. Rumput sleepy (www.shaman-australis.com dan www.catbull.com)
9.2. Racun Cicuta (Cicutoksin)
Berbagai macam Cicuta spp tumbuh di Amerika Utara. Tanaman tersebut
merupakan tanaman beracun yang sangat berbahaya di daerah Zona Temperatur
Utara. Hemlock air biasanya merupakan nama aplikasi dari Cicuta. Tanaman
tersebut mirip penampilannya dengan sejumlah Umbelliferae, yang meliputi
hemlock beracun (Conium maculatum) dan wortel liar (Daucus carota). Hemlock
air hanya dijumpai pada habitat rawa atau basah seperti sepanjang aliran air,
daerah rawa dan daerah paya. Tanaman tersebut tumbuh bersama sampai
ketinggian 5 – 10 feet dengan batang berlubang. Ciri yang sangat khas pada
hemlock air adalah mempunyai organ penyimpan bahan pengental pada dasar
315
batang yang dibagi menjadi ruang-ruang. Tanaman hemlock air dan bagannya
dapat dilihat pada Gambar 9.2.
Gambar 9.2. Tanaman Hemlock air (www.science.siu.edu dan www.botanical.com)
Ruang tersebut mengandung cairan minyak kekuning-kuningan dengan
ciri rasa pedas pada kulit. Cairan tersebut adalah racun utama yang juga dijumpai
di bagian bawah batang. Racun tersebut dinamakan cicutoksin, sebuah senyawa
tidak jenuh tinggi yang lebih tinggi dibandingkan alkohol. Komposisi kimia
cicutoksin terdapat pada Gambar 9.3.
OH HO-CH2CH2CH2C=C-C-=C-CH=CH-CH=CH-CH=CHCHC3H7 Gambar 9.3. Komposisi kimia cicutoksin
316
Manusia banyak yang mati karena mengkonsumsi hemlock air. Kasus-
kasus sporadis dilaporkan ketika nelayan, pejalan kaki, dan orang-orang yang
berada di daerah hutan salah mengkonsumsi tanaman seperti wortel liar.
Cicutoksin beraksi langsung pada sistem syaraf pusat dengan gejala nampak
dalam 15 menit atau lebih sampai satu jam, tetapi biasanya setengah jam setelah
mengkonsumsi dosis letal. Salivasi berlebihan merupakan tanda pertama. Hal ini
diikuti dengan cepat oleh gemetar dan kemudian konvulsi spasmodik diselingi
sebentar-sebentar dengan periode istirahat. Sawan merupakan serangan yang
hebat, disertai kepala dan leher melilit kaku ke belakang, kaki tegang meskipun
berlari, mengapit atau memamah rahang dan menggeretakkan gigi.
Kehilangan ternak banyak terjadi pada musim mendekati semi ketika
tanaman ini baru tumbuh sebelum hijauan lain tersedia. Tanaman tersebut
biasanya tumbuh dalam bentuk kecil yang dapat dieliminasi manual atau
semprotan kimia. Wortel kebun dan seledri mengandung senyawa yang mirip
asetilinik alkohol yang kurang toksik dibanding cicutoksin yang dinamakan
carotatoksin dengan komposisi kimia seperti terlihat pada Gambar 9.4.
OH (C9H17)-C=C-C=CH2-CH=CH2
Gambar 9.4. Komposisi kimia carotatoksin.
9.3. Racun Blue-green algae (siklopeptida)
Blue-green algae adalah sejumlah spesies alga yang sudah menyebabkan
mortalitas pada peternakan di banyak negara ketika ternak mengkonsumsi air
yang terinfeksi alga. Perkembangan alga terjadi di musim panas dan gugur ketika
persediaan air kolam rendah. Bakteri anaerobik di bawah lumpur meningkatkan
fosfor yang larut air, nitrogen dan ketersediaan CO2. Faktor ini dikombinasikan
dengan lama waktu, sinar matahari dan air hangat yang mendukung
perkembangbiakan alga. Sel alga mengembangkan gelembung gas, menyebabkan
317
koloni alga naik ke permukaan, setelah itu ditiup oleh angin menjadi alga yang
berkembang padat. Diantaranya adalah blue-green algae yang beracun yaitu
Microcystis aeruginosa, Anabaena circinalis dan Nodularia spumingena. Alga
Microcystis aeruginosa dapat dilihat pada Gambar 9.5.
Gambar 9.5. Jamur Microcystis aeruginosa (www.inra.fr)
Alga yang sedang berkembang cenderung sangat toksik ketika sel dalam
tahap perkembangbiakan cepat. Polusi sumber air atau pupuk yang tererosi dan
terseret air meningkatkan kemungkinan perkembangan alga. Alga dalam kolam
dapat dikontrol oleh penggunaan tembaga sulfat sekitar 1 kg/4.000.000 liter.
Pencegahan terbaik dicapai dengan pembatasan polusi sumber air.
Racun utama blue-green algae adalah siklopeptida. Siklopeptida dalam
jumlah sedikit dapat menyebabkan kematian yang cepat. Target utama keracunan
adalah hati, yang menunjukkan nekrosis centrilobular. Selain itu keracunan
disebabkan oleh bakteri yang berhubungan dengan alga. Tanda keracunan
meliputi kematian mendadak, sakit perut, mual, muntah, mencret, dan kejang.
Bila kesakitan berlangsung lama akan menyebabkan icterus dan fotosensitisasi.
318
Enzim serum mengindikasikan peningkatan kerusakan hati. LD50 untuk
toksin murni pada tikus adalah 0,056 mg/kg. Percobaan pada domba
menunjukkan bahwa dosis 730 – 950 mg berat kering M. aeruginosa per kg bobot
badan tidak menyebabkan luka, pada level 990 –1040 mg/kg menyebabkan luka
ringan dan perubahan sub letal, dan pada level di atas 1040 mg/kg menyebabkan
kematian.
9.4. Racun Tetradimia-Artesimia (tetradimol)
Tetradymia canescens (tanaman horsebrush tidak bertulang) dan T.
glabrata (horsebrush dengan daun kecil, rabbit brush musim semi, coal oil brush)
adalah semak-semak kayu bercabang padat di daerah padang pasir panas dan areal
semak-semak di barat AS. Tanaman tetradymia canescens dapat dilihat pada
Gambar 9.6.
Gambar 9.6. Tanaman Tetradymia canescens (http://ww1.clunet.edu)
319
Agen racun pada Tetradymia spp. sudah diisolasi dan ternyata adalah
keluarga furanosesquiterpen (furan-oeremofilan) dengan senyawa utamanya
adalah tetradimol. Komposisi senyawa tetradimol dapat dilihata pada Gambar
9.7.
OHO
H3C CH3 CH3
Gambar 9.7. Komposisi kimia tetradimol
T. glabrata adalah salah satu tanaman yang menjadi hijau pada waktu
musim semi dan salah satu pakan utama yang tersedia ketika domba bergerak dari
daerah musim dingin ke musim panas. Ribuan domba mati sebagai akibat
mengkonsumsi horsebrush. Domba mati karena disfungsi hati akut atau sebagai
akibat fotosensitisasi. Tetradimia mengandung racun yang menyebabkan
kerusakan hati, dengan nekrosis sentrolobuler dan degenerasi lemak. Jika
keracunan akut terjadi, gejala yang terlihat adalah anoreksia, depresi, gugup,
inkoordinasi, urat nadi melemah secara cepat, dispnea, kelesuan, koma dan mati.
Fotosensitisasi disebabkan oleh reaksi filoeritrin dengan cahaya pada permukaan
kulit yang tidak berpigmen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Filoeritrin
adalah produk kerusakan normal klorofil pada ternak. Hal tersebut secara normal
diabsorpsi dan diekskresikan melalui empedu. Jika kerusakan hati sudah terjadi,
akan mengurangi ekskresi cairan empedu, beberapa filoeretrin memasuki sirkulasi
umum dan menyebabkan fotosensitisasi. Hal ini dinamakan fotosensitisasi
sekunder karena terjadi secara sekunder pada kerusakan hati, sedangkan
fotosensitisasi primer (contohnya adalah hipericum) racun tanaman adalah agen
fotodinamik.
Kondisi fotosensitisasi pada domba yang mengkonsumsi Tetradymia spp.
biasa disebut “bighead” atau kepala besar. Sehari atau lebih setelah
mengkonsumsi tanaman tersebut, kulit sekitar kepala berwarna kemerahan disertai
320
dengan perkembangan gatal-gatal. Jaringan membengkak sebagai akibat edema.
Ketika sedang terjadi edema, kepala menjadi membesar disusul kemudian oleh
infeksi sekunder dan kebutaan.
Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa target organ pada ternak
yang terinfeksi oleh tetradimol adalah hati. Penelitian dengan campuran
mikrosomal yang berfungsi sebagai pendorong dan penghalang oksidase
mengindikasikan bahwa tetradimol dibioaktifkan dalam hati pada sedikitnya dua
metabolit yang berbeda. Metabolit tersebut terlihat mengganggu metabolisme
energi dengan tidak memasangkan oksidatif fosforilasi dari transport elektron
sehingga menghasilkan defisiensi ATP seluler.
Cara beraksi sagebrush hitam dalam potensi racun Tetradymia belum
dimengerti. Artemisia spp. dikenal sebagai penghasil racun racun yang potensial.
Racun tersebut adalah sesquiterpen lakton yang hampir merupakan unsur pokok
universal pada Artesimia. Oleh sebab itu kemungkinan terjadi interaksi antara
Artesimia dengan Tetradymia. Sagebrush juga mengandung monoterpen atau
minyak esensial. Spesies sagebrush bervariasi secara luas dalam palatabitas pada
perumputan ternak.
9.5. Sesquiterpen lakton
Sesquiterpen lakton (SQL) merupakan keluarga besar dan bermacam-
macam dari zat kimia tanaman yang mempunyai aktivitas biologis yang sudah
diidentifikasi dalam beberapa famili tanaman. Jumlah terbesar dari sesquiterpen
lakton ini dijumpai pada famili Compositae dengan lebih dari 3000 struktur yang
berbeda.
Sesquiterpen lakton adalah dari kelas terpenoid yang terjadi secara alami
dalam tanaman yang dibentuk dari kondensasi total bagian atas pada tiga unit
isopren dan setelah itu mengalami siklisasi dan transformasi oksidatif untuk
menghasilkan cis atau trans-fuced lactone. Senyawa sekunder tersebut terutama
diklasifikasikan berdasarkan pada karbosiklik skeleton, yang terdiri dari
germanokranolida, guaianalida, eudedesmalida, pseudogual inolida dan
321
xantonolida. Akhiran “olida” menunjukkan pada fungsi lakton dan didasarkan
pada kostunolida yaitu sebuah germanakranorida yang berhubungan pada 10
anggota karbosiklik sesquiterpen yaitu germakron.
Bermacam-macam sesquiterpen lakton sudah diidentifikasi pada beberapa
tanaman. Contoh yang khas adalah himenokson yang dijumpai dalam Hymenoxys
odorata. Contoh lainnya adalah helenalin yang merupakan racun utama dalam
Helenium autumnale. Tanaman Hymenoxys odorata dan bagannya dapat dilihat
pada Gambar 9.8.
Gambar 9.8. Tanaman Hymenoxys odorata (www.pprl.usu.edu dan www.uapress.arizona.edu)
Spesies tanaman umumnya memproduksi satu tipe skeletal SQL yang
terutama terdapat pada daun dan kepala bunga. Persentase SQL per berat bahan
kering bervariasi antara 0,01 – 8%. Kehilangan ternak akibat terkontaminasi
tanaman yang mengandung SQL sudah secara umum diketahui. Kemungkinan
hubungan biogenetik pada perbedaan tipe skeletal sesquiterpen dapat dilihat pada
Gambar 9.9.
Senyawa-senyawa tersebut mengandung lingkaran yang mempunyai tujuh
anggota, struktur lakton dan kelompok eksosiklik metilen. Komposisi kimia
himenokson dan helenalin dapat dilihata pada Gambar 9.10.
322
Gambar 9.9. Hubungan biogenetik pada perbedaan tipe skeletal
sesquiterpen
323
HO
O
OH
CH2O
O O HOCH2 O
O
Himenokson Helenalin
Gambar 9.10. Komposisi kimia himenokson dan helenalin SQL sangat melukai ternak pada hidung, mata dan saluran pencernaan.
Domba dan kambing adalah spesies ternak utama yang terserang, terutama karena
tanaman yang mengandung SQL tidak palatabel dan jarang dikonsumsi dalam
jumlah toksik oleh sapi dan kuda. Keracunan rumput Sneeze sering diarahkan
pada “penyakit muntah (spewing sickness)” karena berciri muntah. Serangan pada
domba menyebabkan adanya noda hijau disekeliling mulut dan berdiri dengan
kepala menengadah untuk berusaha menahan regurgitasi pakan. Material
muntahan sering dihirup ke dalam paru-paru. Hal ini menyebabkan kematian
akibat pneumonia atau kerusakan paru-paru permanen bergabung dengan batuk
kronis. Luka terutama mengiritasi saluran pencernaan, penyumbatan pada hati
dan ginjal dan kerusakan pulmonari.
Sesquiterpen lakton adalah turunan dari inti germacranolida. Senyawa ini
merupakan racun pada tanaman sneezeweed (helenium spp.) dan bitterweed,
Colorado rubberweed (hymenoxys richardsonii). Sesquiterpen lakton
menyebabkan iritasi pada nasal dan membran intestinal. Keracunan sesquiterpen
lakton menyebabkan pengikatan kelompok eksosiklik metilen dengan unsur
pokok jaringan seperti kelompok sulfhidril dan komponen nukleofilik lainnya.
Anti nutrisi yang lain meliputi tanaman karsinogen, anti nutrisi white snakeroot,
fluoroasetat (senyawa organofluorin), N-propyl disulfida dan trimethylamine
324
oxyde dan formaldehida. Senyawa SQL pada beberapa tanaman dapat dilihat pada
Tabel 9.1.
Tabel 9.1. Senyawa sesquiterpen lakton pada beberapa tanaman
Suku tanaman
Jumlah genus yang mengandung SQL Tipe SQL
Eupatorieae (50) 4
Germakranolida Elemanolida Guaianolida Ambrosanolida Seco-Ambrosanolida
Vernonieae (50) 4
Germakranolida Elemanolida Guaianolida
Astereae (100) 1
Germakranolida Guaianolida Elemanolida
Inuleae (100) 5
Guaianolida Xantanolida Ambrosanolida Helenanolida Seco-Eudesmanolida Seco-Ambrosanolida Germakranolida
Heliantheae (250) 24
Elemanolida Guaianolida Eudesmanolida Xantanolida Ambrosanolida Helenanolida Seco-Eudesmanolida Seco-Ambrosanolida Seco-Helenanolida
Senecioneae (50) 4
Germakranolida Xantanolida Eremophilanolida Helenanolida Bakkenolida
325
Anthemideae (50) 10
Germakranolida Elemanolida Guaianolida Helenanolida Cadinanolida Chrimoranolida
Arcototeae-Calenduleae (50)
1 Guaianolida
Cynareae (50) 8
Germakranolida Elemanolida Guaianolida Eudesmanolida
Mutisieae (55) 1 Eudesmanolida
Lactuceae (75) 7
Germanokranolida Eudesmanolida Guaianolida
SQL banyak juga dijadikan sebagai agen antimikrobial. Hal tersebut
dimungkinkan karena SQL juga menggunakan aksinya dengan merubah
komposisi mikroba rumen dan juga menyerang fungsi metabolis vital mikroba.
Oleh sebab itu disfungsi rumen berkontribusi pada keracunan yang disebabkan
oleh SQL. SQL juga bersifat neurotoksik. Sebagai contoh adalah repin yang
menyebabkan sindrom yang sama dengan penyakit Parkinson pada kuda. Anti
nutrisi SQL pada beberapa tanaman yang dapat meracuni ternak dapat dilihat pada
Tabel 9.2.
Hasil penelitian menunjukkan masukan sistein dengan preparasi lakton
dari H. odorata memberi perlindungan lebih dari 80% terhadap LD90 pada racun
lakton yang diberikan pada anjing. Domba yang diinjeksi dengan himenokson
tetapi diberi masukan sistein menunjukkan peningkatan daya survival.
Himenokson dan metabolitnya nampak diekskreasikan sebagai glukuronida dan
asam merkaptat.
326
Tabel 9.2. Sesquiterpen lakton dan ternak yang terinfeksi
Spesies tanaman Jenis sesquiterpen lakton Ternak yang terinfeksi
Baccharis cardifolia Tanacetum vulgare Baccharis oil Domba, sapi
Eupatorium urticifolium Eupatorin Domba, sapi, kambing
Geigeria sp. Geigerin, Vermeerin Domba
Asteracae yang tumbuh di hutan Herbivora, binatang di
hutan
Hymenoxys odorata
Himenolid Himenoksin Odoratin Paucin Vermeerin Himenovin
Domba, sapi
Hymenoxys richardsoni Vermeerin Psilotropin Domba, sapi
Helenium autumnale
Helenalin Mexicanin-E Bigelovin Tenulin Isotenulin
Domba, sapi
Centaurea solstitialis Cinaropicrin Kuda
Lactuca virosa Lactucin Sapi
9.6. Racun amarantus
Amaranthus retroflexus (rumput babi akar merah) rumput yang terdapat
dimana-mana di Amerika Utara. Tanaman tersebut umumnya ditemukan dalam
kebun sayuran, tanaman yang dikultivasi, seperti jagung, pekarangan, deretan
pagar, dan tersebar di pinggir ladang gandum. Sapi dan babi merupakan ternak
yang mudah terkena racun dari mengkonsumsi rumput ini. Tanda-tanda utama
327
adalah perirenal edema, yang terjadi beberapa hari setelah stok tersedia pada area
yang terinfeksi rumput babi. Tanda-tanda khas adalah lemah, gemetar, dan
inkoordinasi diikuti dengan bentuk buku jari bergabung, dan paralisis tungkai
belakang. Pada babi yang terserang penyakit ini maka terjadi ciri spesifik yaitu
berbaring sternal. Kematian terjadi dalam dua hari pada penampilan tanda-tanda
klinis., tetapi dalam kasus dimana babi dapat hidup seminggu atau lebih, tanda-
tanda nefrosis akut berkembang menjadi fibrosing nephritis kronis. Sebagai
akibat kerusakan ginjal, nitrogen ure darah, serum kreatinin dan potasium
meningkat. Kematian terjadi karena kerusakan hati hiperalkemik. Sindrom
perirenal edema pada sapi sangat mirip dengan keracunan oak yang disebabkan
oleh senyawa fenol. Amaranthus spp. mengandung fenol tetapi tidak diketahui
jika hal tersebut termasuk dalam keracunan rumput babi akar merah. Racun lain
yang diketahui berada dalam Amaranthus spp meliputi saponin, nitrat, dan
oksalat. Racun secara prinsip beraksi spesifik pada tubula renal. Tanaman
Amaranthus retroflexus dan bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.11.
Gambar 9.11. Tanaman Amaranthus retroflexus (http://nwr.mcnary.
wa.us dan http://caliban.mpiz-koeln.mpg.de)
328
Biji amarant pada satu waktu sebelum penaklukan Spanyol merupakan
pangan utama di Amerika Latin. Bijinya merupakan sumber protein yang tinggi
kualitasnya dan khusunya tinggi akan lisin. Amaranthus memberi akibat yang
kurang baik apabila dicampurkan dalam pakan antara lain adalah depresi
pertumbuhan pada tikus yang mendapat bungkil daun amarant, sedangkan pada
kecilci yang diberi hijauan amarant mengakibatkan penurunan pertumbuhan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi racun yang terdapat pada
tanaman amarant dan juga dengan melakukan pembibitan dan seleksi.
9.7. Racun Bracken
Tanaman paku-pakuan bracken (Pteridium aquilinum) mengandung enzim
tiaminase yang menyebabkan defisiensi tiamin pada non ruminan. Tanaman
bracken juga menyebabkan sindrom hemoragi fatal pada sapi, kanker pada sapi,
dan kemungkinan kanker pada manusia. Keracunan bracken pada sapi terjadi
setelah ternak mengkonsumsi tanaman pakis dalam jumlah yang signifikan.
Kejadian tersebut umumnya dialami pada waktu pakan lain langka, yaitu pada
waktu mendekati musim semi ketika tanaman bracken muncul sebagai tahaman
yang dominan. Sebaliknya, ketika makanan hijauan berlimpah ruah, sapi
mengkonsumsi bracken sebagai sumber makanan berserat. Daun pakis muda
yang palatabel lima kali lebih toksik dibandingkan dengan daun pakis yang tua,
termasuk rizoma pakis mempunyai racun yang tinggi. Keracunan bracken
menimbulkan beberapa kerusakan sumsum tulang, kerusakan mirip terkena radiasi
dengan akibat kehilangan komponen seluler darah, yang menyebabkan beberapa
leukopenia dan trombositopenia. Gejala lainnya adalah hemoragi dengan feses
berdarah, perdarahan dari hidung, vagina, membran mata dan mulut. Pada tahap
akhir gejala yang nampak adalah timbul demam tinggi (107 – 109oF). Pada
postmortem banyak hemoragi di lambung, usus, paru-paru dan jantung. Sapi
merupakan ternak yang paling mudah terkena, sedangkan non ruminan terutama
kuda lebih tahan teradap keracunan bracken. Tanaman Pteridium aquilinum dan
bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.12.
329
Gambar 9.12. Tanaman Pteridium aquilinum (www.pwrc.usgs.gov dan www.lysator.liu.se)
Tanaman bracken juga menyebabkan kanker pada sapi. Penyakit tersebut
dikenal sebagai chronic bovine enzootic hematuria atau penyakit air merah. Hal
tersebut diyakini akibat mengkonsumsi bracken dalam level rendah tetapi dalam
periode yang panjang dan sering menyerang pada sapi umur 7 tahun keatas.
Tumor yang bersifat kanker tersebut dalam bentuk polip kecil atau nodul yang
berkembang di mukosa kandung kemih. Hematuria disebabkan oleh pendarahan
dari polip yang terkena. Kematian terjadi dari anemia lainnya dan kehilangan
darah atau dari penyebaran kanker pada jaringan lainnya. Diduga pula bahwa
keacunan bracken dan enzootic hematuria disebabkan oleh faktor yang sama yang
belum teridentifikasi pada bracken. Konsumsi bracken dalam skala laboratorium
menyebabkan adenokarsinomas intestinal yang berbahaya pada tikus dan puyuh
Jepang.
330
9.8. Buckwheat toksisitas (Fagopirin)
Fagopirin merupakan anti nutrisi yang terdapat pada biji soba atau dikenal
pula dengan nama nephthodiantrhone. Tanaman soba (Fagophyrum esculentum)
merupakan tanaman legume dengan buah berbentuk biji-bijian yang mempunyai
kandungan energi yang tinggi. Komposisi kimia fagopirin dapat dilihat pada
Gambar 9.13.
OH O OH
HO
HO
OH O OH
CH2[C5H8(CH3)NO]
CH2[C5H8(CH3)NO]
Gambar 9.13. Komposisi kimia fagopirin Tanaman soba atau buckwheat (Fagopyrum esculentum) umumnya
ditanam dalam keadaan musim panas sehingga akan tumbuh baik dengan
kurangnya drainase. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tekstur tanah yang
jelek. Tanaman soba dapat dipanen jika tanaman ini sudah mengalami
pemasakan. Panen dapat dilakukan pada umur tanam sekitar 10 – 12 minggu.
Biji tanaman soga berbentuk piramid, kecil, keras dan berwarna hitam kecoklatan.
Biji tanaman ini dapat dimanfaatkan oleh manusia yaitu digunakan untuk
pembuatan kue. Selain itu juga dapat digunakan dalam pakan ternak. Sebelum
digunakan, biji soba harus dijadikan dalam bentuk tepung. Tanaman Fagophyrum
esculentum, bagan dan bijinya dapat dilihat pada Gambar 9.14. dan 9.15.
331
Gambar 9.14. Tanaman Fagophyrum esculentum (www.stratsplace. com, , dan http://waynesword.palomar.edu)
Gambar 9.15. Biji tanaman Fagophylum esculentum
(www.botanical.com)
332
Penggunaan biji soba secara berlebihan pada pakan ternak dapat
menyebabkan fotosensitisasi atau fagopirisme ketika cahaya matahari mengenai
kulit ternak tersebut. Pada kasus yang ringan, ternak dapat mengalami eritema
pada area kulit yang tidak berpigmen. Pada kasus yang akut, terjadi gejala pada
syaraf seperti kegembiraan, berlari-lari, memekik, melenguh, sawan, dan kematian
mungkin akan terjadi.
Di Australia dilaporkan terjadinya fagipirisme pada domba yang
merumput jerami tanaman soba. Sekitar sepertiga ternak telah terinfeksi. Efek
yang timbul adalah pertumbuhan bobot badan dan wool kurang dibandingkan
dengan domba yang merumput jerami tanaman sorghum. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jerami tanaman soba mempunyai palatabilitas yang rendah,
mempunyai nilai nutrisi yang rendah dan menyediakan resiko tinggi terjadinya
reaksi fotosensitisasi. Tanaman soba mempunyai konsentrasi asam amino
esensial yang lebih tinggi dibandingkan bijian lain, dengan kandungan lisin dan
metionin sebesar 0,58% dan 0,32%. Biji-bijian soba memberi penampilan ternak
yang lebih baik dibandingkan dengan gandum ketika tidak ada ketersediaan
suplemen protein.
9.9. Racun Tremeton
Tanaman akar ular putih (white snakeroot atau Eupatorium rugosum)
merupakan tanaman herba tahunan yang banyak tumbuh di daerah timur Amerika.
Tanaman tersebut umumnya tumbuh rendah, di daerah basah, dekat aliran air, dan
hutan terbuka. Tanaman ini membentuk kedudukan padat setelah area dikuasai.
Tanaman ini tumbuh pada akhir musim panas dan mendekati musim gugur,
dengan ketinggian poon sekitar 3 – 4 feet, tipe bunga adalah bersusun putih.
Selama cuaca kering ketika hijauan lainnya menjadi langka, ternak menyukai
untuk bergerak menuju area hutan dan merumput tanaman ini. Tanaman tersebut
sering masih hijau dan banyak air pada akhir musim gugur karena dilindungi dari
salju di habitat daerah hutan. Tanaman Eupatorium rugosum dan bagannya dapat
dilihat pada Gambar 9.16.
333
Gambar 9.16. Tanaman Eupatorium rugosum (http://tomclothier. hort.net dan www.ouellette001.com)
Tanaman akar ular putih merupakan contoh klasik racun yang dipindahkan
melalui air susu. Racun tanaman tersebut dinamakan tremetol (bentuk alkohol)
atau tremeton (bentuk keton). Komposisi kimia tremeton dapat dilihat pada
Gambar 9.17.
O
OCH2
Gambar 9.17. Komposisi kimia tremeton
Racun tersebut dapat dipindahkan dari susu sapi ke manusia, yang
menghasilkan kondisi yang disebut dengan penyakit susu. Gejala yang terjadi
adalah kelelahan, mual, lesu, ketosis, mengigau, koma dan mati. Dalam jangka
waktu yang lama, keracunan tremeton ini tidak diketahui sampai akhirnya
334
mendekati tahun 1900 ditemukan bahwa penyebab keracunan tersebut adalah
tanaman akr ular putih.
Penyakit tersebut dihubungkan dengan kondisi kehidupan pionir, ketika
banyak keluarga mempunyai sapi yang merumput pada tanah yang baru
dibersihkan sepanjang saluran air dan lainnya, dimana Eupatorium sering
ditemukan. Manusia yang mengkonsumsi susu dan mentega dari sapi tersebut
akan mengalami perpindahan racun dari susu sapi ke manusia. Penyakit susu
sudah menghilang secara bertahap dari sejarah Amerika setelah semakin
intensifnya peternakan sapi perah. Bagaimanapun dengan timbulnya peternakan
skala kecil yang sering dihubungkan dengan kekurangan penyemprotan untuk
kontrol rumput, dapat menyebabkan timbulnya kembali keracunan tanaman akar
ular putih. Eupatorium adenophorum atau rumput Crofton diketahui sebagai
penyebab penyakit pernafasan pada kuda yang dicirikan oleh batuk, pernafasan
berat dan cepat dan luka pada paru-paru. Kondisi ini sudah terjadi di Australia
dan Hawaii dan agen racun belum dapat diidentifikasi.
Setelah mengkonsumsi tanaman akar ular putih selama beberapa hari,
ternak menjadi depresi dan timbul kondisi yang mengarah ke gejala gemetar, yang
terlihat terjadi di otot leher, pundak dan kaki. Ternak yang terinfeksi berdiri
dalam posisi membungkuk. Sering terdapat bau aseton pada pernafasan, kesulitan
bernafas, urin bersebaran, dan sembelit. Pada kuda yang terserang penyakit ini
terjadi paralysis tenggorokan parsial. Ternak yang terinfeksi kembali sembuh
meskipun dalam waktu yang panjang mengalami kelemahan muscular. Kongesti
dan degenerasi lemak pada hati dan ginjal terjadi juga pada ternak yang terkena
penyakit ini. Disamping itu juga pada kuda terkena problem miokardial, yang
meliputi ascites kantung pericardial dan degenerasi massif pada miokardium,
nekrosis centrilobular pada hati dan peningkatan enzim serum seperti SGOT,
CPK, dan LDH.
Tanaman Rayless goldenrod atau rumput jimmy (Haplopappus
heterophyllus) adalah tanaman tahunan yang tumbuh tinggi, tegak lurus yang
biasanya terdapat di daerah kering di selatan Colorado, Texas, New Mexico, dan
Arizona. Tanaman tersebut ditemukan sepanjang kanal irigasi, parit, dan lembah
335
sungai. Kehilangan ternak secara signifikan yang terjadi di selatan barat AS
disebabkan oleh konsumsi tanaman ini. Racun utama adalah tremeton yang
menyebabkan tanda keracunan yang sama dengan keracunan tanaman akar ular
putih dengan gejala yang dominan adalah gemetar. Masukan tanaman ini
sebanyak 1 – 5% dari bobot badan setelah lebih dari 1 – 3 minggu akan
menyebabkan keracunan pada kuda, sapi dan domba.
9.10. Aborsi Cemara Jarum (Pine needle)
Racun pada cemara jarum sudah diisolasi dengan mencatat beberapa
macam hasil yaitu aseton yang menyebabkan mortalitas embrio tinggi, kloroform
yang menyebabkan sifat anti estrogenik yang dideteksi oleh penurunan bobot
uterin belum matang pada tikus. Senyawa lain adalah heksan yang menyebabkan
gangguan reproduksi selama kebuntingan. Anggota senyawa heksan yang sudah
diisolasi meliputi pimarat, isopimarat, sandarakopimarat, palustrat (levopimarat,
abietat, dehidroabiatat dan asam neoabietat. Tanaman Pinus panderosa dan
bagannya dapat dilihat pada Gambar 9.18.
Gambar 9.18. Tanaman Pinus panderosa (http://personal.cfw.com dan
www.ibiblio.org)
336
Konsumsi cemara jarum panderosa (Pinus panderosa) dapat menyebabkan
aborsi pada sapi. Aborsi karena mengkonsumsi cemara merupakan problem
umum di daerah barat AS dan Kanada. Tanaman ini menyebabkan kehilangan
akibat aborsi, peningkatan insiden plasenta tertahan, dan gangguan penampilan
bibit. Sapi pada trisemester terakhir kebuntingan mudah terkena dan problem
umum hanya terjadi di musim dingin dan semi ketika hijauan lain langka. Daun
cemara hijau, daun cemara dari penebangan, atau cemara kering yang sudah jatuh
dari pohon semuanya merupakan racun potensial. Daun cemara tidak akan
dikonsumsi secara normal, ketika problem terjadi, terdapat beberapa faktor
lingkungan yang menyebabkan ternak mengkonsumsinya. Faktor lingkungan
tersebut adalah angin topan musim dingin yang memaksa sapi untuk bernaung
dibawah pohon cemara ketika rumput dan tanaman lainnya dalam kondisi miskin
suplai yang menyebabkan daun cemara merupakan hijauan yang menarik. Aborsi
terjadi dalam waktu 48 jam setelah mengkonsumsi dan selama dua minggu
setelah ternak makan daun cemara. Sapi yang terinfeksi menjadi depresi dan
tampak bodoh, edema genitalia dan ambing terjadi sebelum aborsi, pengeluaran
darah dari vulva. Sapi mempunyai toksemia sebelum dan setelah aborsi. Fetus
yang mengalami aborsi menunjukkan autolisis, yang diindikasikan dari kematian
fetus dalam uterus dan nekrosis tubuli ginjal serta kongesti pulmonari.
Sebuah teori menyebutkan bahwa aborsi yang disebabkan oleh daun
cemara dihubungkan dengan mikroorganisme penginfeksi yaitu Listeria
monocytogenes. Aborsi yang disebabkan oleh daun cemara mempunyai banyak
kemiripan dengan aborsi yang disebabkan oleh Listeria yang meliputi kesamaan
tahap periode kebuntingan, depresi, plasenta tertahan, dan eksudat genital.
9.11. Fluoroasetat (1080)
Sodium monofluoroasetat adalah persenyawaan 1080, yang secara luas
digunakan sebagai racun untuk membunuh anjing hutan di AS dan binatang
pengganggu lainnya dimanapun. Tanaman tertentu, khususnya di Austalia dan
Afrika Selatan mengandung 1080. Tanaman tersebut sangat potensial beracun
337
dengan menghambat akonitat hidratase yaitu salah satu enzim siklus trikarboksilat
(TCA). Respirasi seluler yang dihasilkan berhenti dan kematian terjadi dari
kekurangan ATP.
Fluoroasetat terdapat di berbagai tanaman Australia dari famili
Leguminosa antara lain adalah Acacia, Gastrolobium dan Oxylobium. Kacang-
kacangan tersebut merupakan tanaman semak belukar yang umum dikonsumsi
oleh ternak dan dalam banyak hal cukup palatabel. Disebabkan tingkat keracunan
yang tinggi dari 1080, hanya dengan sedikit mengkonsumsi daun (sekitar 30 g
berat kering) dapat membunuh ternak. Tanaman Acacia spp. dapat dilihat pada
Gambar 9.19.
Gambar 9.19. Tanaman Acacia spp. (http://members.iinet.net.au dan www.payer.de)
338
Dosis letal melalui oral pada ternak sekitar 0,3 – 1,75 mg 1080 per
kilogram bobot badan. Penemuan menarik di Australia adalah herbivora asli
tertentu di Australia dimana sangat banyak tanaman yang mengandung 1080
ditemukan, sudah mengembangkan ketahanan terhadap fluoroasetat dan dapat
mengkonsumsi secara aman daun tanaman yang mengandung fluoroasetat.
Sebagai contoh, LD50 untuk 1080 pada opossum berekor sikat dari Australia barat
adalah 100 mg/kg, sedangkan LD50 untuk spasies yang sama dari Australia timur
adalah 0,68 mg/kg, atau perbedaannya sekitar 150 kali lipat.
Fluoroasetat dapat digunakan sebagai asetat, tetapi fluorositrat sangat tidak
dapat dibentuk dan dikonversi menjadi isositrat (Gambar 9.20.). Prinsip aksi
fluoroasetat adalah menghalangi transport sitrat melalui membran mitokondria,
lebih dibanding menghalangi akonitat hidratase. Bentuk fluoroasetat adalah
ikatan tiol-ester dengan grup sulfidril pada dua enzim di membran mitokondria.
Fungsi enzim tersebut di transfer sitrat menuju membran.
O F CH2 C OH Fluoroasetat ATP Mg2+ Asetil KoA sintetase KoA
Fluoroasetil KoA Oksaloasetat
Fluorositrat Fluoroisositrat sitrat Akonit hidratase
Gambar 9.20. Metabolisme fluoroasetat
339
Mamalia yang tahan terhadap fluoroasetat di Australia Barat ternyata
disebabkan oleh tingginya fluorida dalam darah yang berimplikasi pada reaksi
glutatione-dependent (Gambar 9.21.). Hal yang menarik adalah ketika
fluoroasetat sangat beracun, fluoropropionat tidak tosik. Asam lemak fluoro yang
lebih tinggi adalah beracun jika mempunyai jumlah karbon ganjil dan tidak toksik
jika mempunyai jumlah genap. Hal tersebut dapat diterangkan pada dasar produk
β oksidasi sebagaimana terlihat pada Gambar 9.22.
F CH2 COOH
SH NH2 CH2 HOOC CH CH2CH2 CONH CH CONH CH2 COOH Glutation transferase NH2 F- H2C S CH2 COOH HOOC CH CH2CH2 CONH CH CONH CH2 COOH S-karboksimetilglutation NH2 HOOC CH CH2CH2 CONH H2N CH2 COOH Asam glutamat glisin NH2 HOOC CH CH2 S CH2 COOH S-karboksimetilsistin
Gambar 9.21. Mekanisme detoksifikasi oleh opossum berekor sikat Disebabkan flioroasetat menghalangi siklus TCA, metabolisme glukosa
terganggu dan hiperglisemia terjadi. Pada ruminan, kerusakan kardia timbul
dengan kejadian kerusakan pada miokardium yang nyata pada nekropsi. Gejala
yang lain termasuk sianosis umum pada membran mucus dan jaringan lain, serta
hati dan ginjal gelap dan tersumbat.
340
F CH2 (CH2)n COOH Jika n genap jika n ganjil CH3COOH F CH2 COOH F CH2 CH2 COOH Toksik tidak toksik
Gambar 9.22. β-oksidasi dari asam lemak fluoro yang lebih tinggi
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan manajemen spesies
yang berbeda kehidupan di hutan dalam toleransi terhadap fluoroasetat. Mamalia
asli tertentu di Australia barat termasuk kanguru dan walabi semakin punah
karena masuknya predator seperti kucing dan serigala. Predator dapat dikontrol
dengan menggunakan fluoroasetat yang binatang asli tahan terhadapnya.
9.12. Racun Alsike clover
Alsike clover (Trifolium hybridum) adalah tanaman perennial dengan masa
hidup pendek yang tumbuh dan tersebar luas di timur dan utara daerah barat
tengah AS serta di utara Kanada. Tanaman tersebut, khususnya secara baik
beradaptasi terhadap iklim dingin dan berat, drainase yang jelek pada tanah liat.
Tanaman Trifolium hybridum dapat dilihat pada Gambar 9.23.
Pada waktu mendekati abad ini, alsike clover bertanggung jawab terhadap
penyebarluasan problem keracunan di peternakan, khsususnya peternakan kuda.
Dalam banyak kasus, problem terbesar adalah fotosensitisasi. Kondisi tersebut
dinamakan penyakit clover atau trifoliosis. Penurunan luas areal alsike clover dan
penggunaan draft keterangan tentang kuda menyebabkan sekarang menjadi
problem yang tidak umum di AS.
341
Gambar 9.23. Tanaman Trifolium hybridum (http://www.funet.fi dan http://runeberg.org)
Bagaimanapun keracunan ini masih terlihat di Kanada dan problem yang
signifikan di utara British Columbia. Beberapa kontradiksi yang tidak biasa sudah
tercatat. Dalam beberapa kasus, hati ternak yang terserang menjadi membesar
secara ekstrem, sehingga mencapai berat 50 – 60 lb pada kuda. Pada kasus lain,
hati menjadi kecil dan fibrotik. Tanda-tanda kerusakan hati adalah nyata, yang
meliputi ikterus, depresi, pingsan, dan kepala tertekan pada kuda yang
mengindikasikan keterlibatan neurologik pada peningkatan ammonia darah.
Fotosensitisasi tanpa kerusakan hati yang jelas tampak pada beberapa contoh,
ketika kasus lainnya terkena kerusakan hati tanpa fotosensitisasi. Agen penyebab
alsike clover sampai saat ini belum teridentifikasi.
342
DAFTAR PUSTAKA
Acker, 1971. Animal Science and Industry. Prentice Hall Eng Leawood Cliffs.
New Jersey. Alber, J.I., and D.M. Alber, 1993. Baby-Safe Houseplants and Cut Flowers: A
Guide to Keeping Children and Plants Safely Under the Same Roof. Story Communications Inc., Pownal, Vermont.
Aminuddin, 1984. Ilmu Nutrisi dan Bahan Makanan Ternak. Sumber Swadaya.
Jakarta. Anggorodi, R., 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak
Unggas. UI Press. Jakarta. ASPCA National Animal Poison Control Center, 1998. Household Plant
Reference. New York, NY: ASPCA. Banea-Mayambu, J-P., 1997. Dietary Exposure to Cyanogens from Cassava. A
Challenge for Prevention in Zeire. Acta Universitatis Upsaliensis. Comprehensive Summmaries of Uppsala Dissertations from Faculty of Medicine.
Barbezat, G. O., C. E. Casey, P. G. Reasbeck, M. F. Robinson, and C. D.
Thomson, 1984. Selenium IN:Current Topics in Nutrition, vol. 12. Alan R. Liss, Inc., New York.
Barondes, S. H., 1981. Lectins: Their multiple endogenous cellular functions.
Annual Review of Biochemistry, Vol 50:207-231. Basu, N. and Rostugi R.P., 1967. Triterpenoid Saponin and Sapogenins
Phytochemistry 6 : 1249 -1270. Beckett, Kenneth A., 1987. The RHS Encyclopedia of House Plants, Including
Greenhouse Plants. London: Swallow Editions Ltd. Bondi, A.A., 1987. Animal Nutrition. John Wiley & Sons. Leichester, New
York, Brisbane, Toronto, Singapore. Boon, W. and H. Groe, 1990. Nature's Heartland: Native Plant Communities of
the Great Plains Illustrated in Seasonal Color. Ames, IA: Iowa State University Press.
Brownlee, M., and Cerami, A., 1981. The biochemistry of the complications of
diabetes mellitus. Annual Review of Biochemistry. Vol. 50: 385-432.
343
Bruneton, J., 1999. Toxic Plants Dangerous to Humans and Animals. Lavoisier
Publishing, Inc., Secaucus, NJ (ISBN 1-898298-62-9). Burger, Sandra M., 1996. Horse Owner's Field Guide to Toxic Plants. Ossining,
NY: Breakthrough Publications Inc. ISBN: 0-914-32762-3 Chang, S.I., and Fuller H.L., 1964. Effect of Tannin Content of Grain Sorghum on
Their feeding Value for growing Chick. Poultry Sci. 43:31-37. Chekee, P.R., 1985. Natural Toxicants In Feeds and Poisoning Plants. Avi
Publishing Company, Inc. Connecticut. Cheeke, P.R., 1995. Endogenous Toxins and Mycotoxinz in Forage Grasses and
Their Effects on Livestock. J. Anim. Sci. 73:909-918. Chu, S.F., 1992. Recent Progress on Analytical Techniques for Mycotoxins in
Feedstuffs. J. Anim. Sci. 70:3950-3963. Chittenden, R.H., O. Folin, W. J. Gies, W. Koch, T. B. Osborne, P. A. Levene, J.
A. Mandel, A. P. Mathews & L. B. Mendel, 1908. Joint Recommendations of the Physiological and Biochemical Committees on Protein Nomenclature, J. Biol. Chem. 4, XLVIII-LI.
Cliff, J., P. Lundquist, J. Martensson, H. Rosling, and B. Sorbo, 1985.
Association of high cyanide and low sulphur intake in cassava-induced spastic paraparesis. Lancet 2 : 1211-1214.
Colegate, S. M. and P. R. Dorling, 1994. Plant-Associated Toxins: Agricultural,
Phytochemical & Ecological Aspects. Wallingford, U.K.: CAB International.
Combs, G. F. and S. B. Combs, 1986.. The Role of Selenium in Nutrition.
Academic Press, New York. Conn, E.E., 1974. Cyanogenic glucosides their accurance, byosynthesis and
function. In : Chronic Cassava Toxicity. Procedings of an interdisciplinary workshop, London, England 29 - 30 January 1974. Editor Barry Nestel and Reginald MacIntyre. IDRC 010e. p. 139 - 145.
Cooper-Driver, Gillian A., 1983. Chemical substances in plants toxic to animals.
In Miloslav Rechcigl, Handbook of Naturally Occurring Food Toxicants, (pp. 213-240). CRC Press, Florida.
344
Cooper, M.R., and A.W. Johnson, 1994. Poisonous Plants and Fungi: An Illustrated Guide. CAB International Bureau of Animal Health, Weybridge; London.
Cowell, J.L., Bernheimer, A.W., 1978. Role of Cholesterol in the Action of
Coreolysin on membranes. Archives Biochemis and Biophisic 190: 603-610.
Czapla, T.H., and I.A. Johnston, 1990. Effect of plant lectins on the larval
development of European corn borer (Lepidoptera:pyralidae) and southern corn rootworm (Coleoptera:chrysomelidae). J.Econ. Entomol, Lanham,Md.: Entomological Society of America, 83(6):2480-2485.
Davis, Brian. 1987. The Gardener's Illustrated Encyclopedia of Trees & Shrubs.
Emmaus, PA: Rodale Press. Diekman, M.A. and Green, M.L., 1992. Mycotoxins and Reproduction in
Domestic Livestock. J. Anim. Sci. 70:1615-1627. Douglas, J.H. and Sullivan T.W., 1994. Differential age response of turkeys to
protein and sorghum tannin levels. Poscal. Illinois. Etzler, Marilynn, 1983. Introduction . In Irwin Goldstein, and Marilynn Etzler
(Eds.), Chemical taxonomy, molecular biology, and function of plant lectins, (pp. 1-5). Progress in Clinical and Biological Research, Vol. 138. Alan R. Liss, Inc., NY.
Evers, Robert A. and Roger P. Link, 1972. Poisonous Plants of the Midwest and
Their Effects on Livestock. Urbana, IL: University of Illinois at Urbana-Champaign, College of Agriculture. (Special Publication 24).
Ferguson, M.A.J., and A. F. Williams, 1988. Annu. Rev. Biochem. 57, 285-320. Finco, D.R., 1989. Clinical Biochemistry of Domestic Animals. 4ed Ed. Academic
Press. Inc. New York. Fischer, P.B., M. Collin, G.B. Karlsson, W. James, T.D. Butters, S.J. Davis, S.
Gordon, R.A. Dwek and F.M. Platt, 1995. The a-Glucosidase Inhibitor N-Butyldeoxynojirimycin Inhibits Human Immunodeficiency Virus Entry at the Post-CD4 Binding Level. J. Virology, 69, 5791-5797.
Flannigan, Brian, 1991. Mycotoxins (Chap. 10). In: Toxic Substances in Crop
Plants. The Royal Society of Chemists.pp226-257.
345
Foster, Steven, and Roger A. Caras, 1994. A Field Guide to Venomous Animals and Poisonous Plants: North America North of Mexico. Boston: Houghton Mifflin.
Fowler, Murray E, 1981. Plant Poisoning in Small Companion Animals. St. Louis,
MO: Ralston Purina. Frankel, A.E., 1993. Immunotoxin Therapy of Cancer. Oncology (Huntington),
7(5):69-78; discussion79-80, 83-6. Gfeller, Roger W. and Shawn P. Messonnier, 1998. Handbook of Small Animal
Toxicology and Poisonings. St. Louis, MO: Mosby. Girindra, 1971. Anti Trpsin dalam Kedelai. IPB. Bogor. Girindra, A., 1990. Biokimia I. PT. Gramedia. Jakarta. Gohl, B., 1981. Tropical Feeds. Feed Information Summaries and Nutritive
Value. FAO-UN. Bangkok. Guyton, A.C., 1984. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ketujuh. Penerbit
Buku Kedokteran. Universitas Indonesia E.G.C. Jakarta. Hails, Michael R. Comp, 1994. Plant Poisoning in Animals: A Bibliography from
the World Literature: no.3 1983-1992. Wallingford, U.K.: CAB International.
Hakomori, S., 1983. Handbook of Lipid Research Vol. 3, (J. N. Kanfer and S.
Hakomori, eds.), Vol. 3, pp 1-165. Plenum Press, New York and London pp 1-165.
Hall, Jeffery O., William B. Buck, and Loise-M. Côté, 1995. Natural Poisons in
Horses. Second edition. Urbana, IL: National Poison Control Center; University of Illinois.
Harborne, J.B., and B. Baxter, 1996.,Dictionary of Plant Toxins. eds. Chichester
U.K.: Wiley Harper, H.A., V.M. Rodwell and P.A. Mayer., 1974. Review of Physiology
Chemistry. 17ed. Large Medical Publication. Los Altos. California. Havler, J.E., 1969. Aflatoxicosis and Trout Hepatoma in Aflatoxin. L.A.
Goldbatt (editor), pp. 265-304. Academic Press. New York. Huff, W.E., 1980. Discrepancies Between Bone Ash and Toe Ash During
Aflatoxicosis. Poultry Science. 59.2213-2215.
346
International Union of Biochemistry, 1978. Biochemical nomenclature and
related documents, The Biochemical Society, London. IUPAC-IUB Commission on Biochemical Nomenclature (CBN). The
nomenclature of lipids (Recommendations 1976). Eur. J. Biochem. 79, 11-21 (1977); Hoppe-Seylers Z. Physiol. Chem. 358, 617-631 (1977); Lipids 12, 455-468 (1977); Mol. Cell. Biochem. 17, 157-171 (1977); Chem. Phys. Lipids 21, 159-173 (1978); J. Lipid Res. 19, 114-128 (1978); Biochem. J. 171, 21-35 (1978).
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN).
Conformational nomenclature for five- and six-membered ring forms of monosaccharides and their derivatives (Recommendations 1980). Eur. J. Biochem. 111, 295-298 (1980); Arch. Biochem. Biophys. 207, 469-472 (1981); Pure Appl. Chem. 53, 1901-1905 (1981).
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN). Symbols
for specifying the conformation of polysaccharide chains (Recommendations 1981). Eur. J. Biochem. 131, 5-7 (1983); Pure Appl. Chem. 55, 1269-1272 (1983).
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN).
Abbreviated terminology of oligosaccharide chains (Recommendations 1980). Eur. J. Biochem. 126, 433-437 (1982); J. Biol. Chem. 257, 3347-3351 (1982); Pure Appl. Chem. 54, 1517-1522 (1982); Arch. Biochem. Biophys. 220, 325-329 (1983).
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN).
Nomenclature of glycoproteins, glycopeptides and peptidoglycans (Recommendations 1985). Eur. J. Biochem. 159, 1-6 (1986); Glycoconjugate J. 3,, 123-134 (1986); J Biol Chem. 262, 13-18 (1987); Pure Appl. Chem. 60, 1389-1394 (1988); Royal Society of Chemistry Specialist Periodical Report, "Amino Acids and Peptides", vol. 21, p. 329 (1990).
IUPAC-IUBMB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN).
Nomenclature of carbohydrates (Recommendations 1996). Pure Appl. Chem. 68, 1919-2008 (1996); Carbohydr. Res. 297, 1-90 (1997); J. Carbohydr. Chem. 16, 1191-1280 (1997); Adv. Carbohydr. Chem. Biochem. 52, 43-177 (1997).
IUPAC-IUB Commission on Biochemical Nomenclature (CBN). The
nomenclature of lipids. Recommendations 1974. Biochem. J. 171, 21-35 (1978); Eur. J. Biochem. 79, 11-21 (1977); Hoppe-Seyler's Z. Physiol.
347
Chem. 358, 617-631 (1977); Lipids 12, 455-468 (1977); ref. 3. pp. 122-132 (1978).
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN),
Conformational nomenclature for five and six-membered ring forms of monosaccharides and their derivatives. Recommendations 1980, Arch. Biochem. Biophys. 207, 469-472 (1981); Eur. J. Biochem. 111, 295-298 (1980); Pure Appl. Chem. 53, 1901-1905 (1981) [see also 1996 recommendations].
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN),
Nomenclature of unsaturated monosaccharides, Recommendations 1980, Eur. J. Biochem. 119, 1-3 (1981) and 125, 1 (1982); Pure Appl. Chem. 54, 207-210 (1982) [see also 1996 recommendations].
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN).
Abbreviated terminology of oligosacchande chains. Recommendations 1980. Arch. Biochem. Biophys. 220, 325-329 (1983); Eur. J. Biochem. 126, 433-437 (1982); J. Biol. Chem. 257, 3347-3351 (1982); Pure Appl. Chem. 54, 1517-1522 (1982) [see also 1996 recommendations].
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN), Symbols
for specifying the conformation of polysaccharide chains. Recommendations 1981, Eur. J. Biochem. 131, 5-7 (1983); Pure Appl. Chem. 55, 1269-1272 (1983).
IUPAC-IUB Joint Commission on Biochemical Nomenclature (JCBN),
Nomenclature and symbolism for amino acids and peptides, Recommendations 1983, Biochem. J. 219, 345-373 (1984); Eur. J. Biochem. 138, 9-37 (1984); Pure Appl. Chem. 56, 595-624 (1984).
Jaffe, Werner G., 1969. Hemagglutinins. In Irvin Liener (Ed.), Toxic Constituents
of Plant Foodstuffs, (pp. 69-101). Academic Press, NY. Jaffe, Werner, 1983. Handbook of Naturally Occurring Food Toxicology. In
Miloslav Rechcigl, Handbook of Naturally Occurring Food Toxicants, (pp. 31-38). CRC Press, Inc., Florida.
James, L. F., K. E. Panter, H. F. Mayland, M. R. Miller, and D. C. Baker, 1989.
Selenium Poisoning in Livestock: A Review and Progress. IN:Selenium in Agriculture and the Environment. American Society of Agronomy, Inc., Madison, Wisconsin.
Kingsbury, John M., 1964 Poisonous Plants of the United States and Canada.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
348
Knight, Anthony P. and Richard G. Walter, 2001. A Guide to Plant Poisoning of Animals in North America. Jackson, WY: Teton NewMedia.
Knight, B., 1979. Ricin-a potent homicidal poison. Br. Med. J. 278:350-351. Lampe, Kenneth F. and Mary Ann McCann, 1985. AMA Handbook of Poisonous
and Injurious Plants. Chicago, IL: American Medical Association. Lehninger, A.L., 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Penerbit Erlangga.
Jakarta. Lloyd, L.E., B.E. Mc Donnald and E.W. Crampton, 1978. Fundamentals of
Nutritions. 2nd Ed. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Lord, J.M., Roberts, L.M., and J.D. Robertus, 1994. FASEB J. Feb; 8(2):201-8. Lotan, R., 1983. Differentiation-associated modulation of lactoside binding
lectins in cancer cells. In H. Gabius and S. Gabius (Eds.), Lectins and Cancer, (pp.153-169). Springer-Verlag, Berlin.
Low, M.G., and A. R. Saltiel, Science 239, 268-275 (1988). Lu, X., A. Mehta, R.A. Dwek, T.D. Butters and T.M. Block, 1995. Evidence that
N-linked glycosylation is necessary for hepatitis B virus secretion. Virology, 213, 660-665
Lundquist, P., Rosling H., and B. Sorbo, 1985. Determination of cyanide in
whole blood, erythrocytes, and plasma. Clin. Chem. 31 : 591-595. Macher, B.A., 1978 and C. C. Sweeley, Methods Enzymol. 50, 236. Makkar, H.P.S., 1991. Anti Nutritional Factors in Animal Feed Stuffs Mode of
Action. International Journal of Science 6:88-94. Makkar, H.P.S., 1994. Anti Nutritional Factors in Food Livestock. In Occasional
Publication. British Society of Animal Production. Marita, 1988. Penentuan Daya Ikat Fero Sulfat terhadap Sianida secara Biologis.
Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Matthews, R.W., and J.R. Matthews, 1978. Insect Behavior, pub. Wiley and Sons,
Inc. New York, pp.507. Mayer, J., 1954. Glucostatic Mechanism of Regulation of Food Intake. New
England.
349
Mayes, P.A., Daryl K.G., Victor W.R. and David W.M., 1987. Biokimia Harper. Edisi 20. Alih Bahasa Darmawan, I. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
McDowell, L. R., 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic
Press, New York. Montgomery, R.D., 1980. Cyanogens. In : Toxic Constituens of Plant
Foodstuffs. Editor Irvin E. Liener. 2nd Ed. Academic Press. New York, London, Toronto, Sydney dan San Fransisco. p. 143 - 160.
Munasik, 1995. Asam Sianida. Makalah Seminar. Universitas Airlangga.
Surabaya. Murphy, Michael J., 1996. A Field Guide to Common Animal Poisons. Ames, IA:
Iowa State University Press. Nachbar, M., and Oppenheim, J., 1980. Lectins in the United States diet: a survey
of lectins in commonly consumed foods and a review of the literature. The American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 33, No. 11, 2338-2345.
Nartey, F., 1974. Biosynthesis of cyanogenic glucosides in cassava (Manihot
spp). In : Chronic Cassava Toxicity. Procedings of an interdisciplinary workshop, London, England 29 - 30 January 1974. Editor Barry Nestel and Reginald MacIntyre. IDRC 010e. p. 97 - 104.
National Academy of Sciences, 1984. Nutrient Requirements of Poultry. 8th
Ed. National Academy of Sciences. Washington DC. Nielson, DB, Rimbey, NR, and James, LF, 1988. Economic Considerations of
Poisonous Plants on Livestock. In: (James, LF, Ralphs MH, and Nielson, eds.), The Ecology and Economic Impact of Poisonous Plants on Livestock Production, Westview Press, Boulder, CO, pp. 5-16.
Nomenclature Committee of IUB (NC-IUB). Numbering of atoms in myo-inositol
(Recommendations 1988). Biochem. J. 258, 1-2 (1989); Eur. J. Biochem. 180, 485-486 (1989).
North, M.O., 1984. Commercial Chicken Production Manual. An avi Book.
Published by Van Nostrand Reinhold. New York. Ogawara, M., Utsugi, M., Yamazaki, M., and Sone S., 1985. Induction of human
monocyte-mediated tumor cell killing by a plant lectin, wheat germ agglutinin. Japanese Journal of Cancer Research (Gann), Vol. 76, No. 11, 1107-1114.
350
Ogawara, M., Sone, S., and Ogura, T., 1987. Human alveolar macrophages: Wheat germ agglutinin-dependent tumor cell killing. Japanese Journal of Cancer Research (Gann), Vol. 78, No. 3, 288- 295.
Okoye, JOA, Enunwaonye, CA. Okorie, A.U. and F.O.I. Anugwa, 1987.
Pathological effects of feeding roasted castor bean meal Ricinus communis to chicks. Avian Pathol. 16(2):283-290.
Olaifa, J.I., Matsumura,F., Zeevaart, J.A.D., Mullin, C.A,, and P. Charalambous,
(1991. Lethal amounts of ricinine in green peach aphids myzus-persicae suzler fed on castor bean plants. Plant Sci. (Limerick), 73(2):253-256.
Padmanaban, G., 1980. Lathyrogens In toxic constituentsof Plant Food stiffs. I.
E.Liener (Editor), 2nd Edition, pp.239-263.Academic Press, NY. Panciera, R,J., Johnson, Land Osbourn, B.I., 1966. A disease of catle grazing
hairy vech pasture. J.Am.Vet.Med.Assoc.148,804-808. Parakkasi, A., 1984. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa.
Bandung. Peni, H.S., 1988. Kimia Organik. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Petrescu, S.M., A.J. Petrescu, H.N. Titu, R.A. Dwek and F.M. Platt, 1997.
Inhibition of N-glycan processing in B16 Melanoma cells results in inactivation of tyrosinase but does not prevent its transport to the melanosome. J. Biol. Chem., 272, 15796-15803.
Peumans, W., Nsimba-Lubaki, M., Broekaert, W., and Van Damme, E., 1986. Are
bark lectins of Elderberry (Sambucus nigra) and Black Locust (Robinia pseudoacacia) storage proteins?. In Leland Shannon and Maarten Chrispeels (Eds.), Molecular biology of seed storage proteins and lectins, (pp. 53-63). The American Society of Plant Physiologists.
Pfister, JA, 1988. Nitrate intoxication of ruminant livestock. In: (James, LF,
Ralphs MH, and Nielson, eds.), The Ecology and Economic Impact of Poisonous Plants on Livestock Production, Westview Press, Boulder, CO, pp. 233-260.
Platt, F.M., and T.D. Butters, 1995. Inhibitors of Glycosphingolipid Biosynthesis.
Trends in Glycoscience and Glycotechnology, 7, 495-511. Platt, F.M., G.R. Neises, G. Reinkensmeier, M.J. Townsend, V.H. Perry, R.L.
Proia, B. Winchester, R.A. Dwek and T.D. Butters, 1997. Prevention of Lysosomal Storage in Tay-Sachs Mice Treated with N-butyldeoxynojirmycin. Science, 276, 428-431.
351
Poppenga, R.H., 2002. Poisonous Plants of Veterinary Importance. University
of Pennsylvania School of Veterinary Medicine New Bolton Center http://cal.nbc.upenn.edu.
Prawirokusumo, S., 1994. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. Price, W.D., Lovell, R.A. and McChesney, D.G., 1993. Naturally Occurring
Toxins in Feedstuffs: Center for veterinary Medicine Perspective. J. Anim. Sci. 71:2556-2562.
Purushotham, N.P., Rao, M.S., and G.V. Raghavan, 1986. Utilization of castor-
meal in the concentrate mixture of sheep. Indian J. Anim. Sci. 56(10):1090-1093.
Pusztai, A., 1991. Plant lectins. Cambridge University Press, Cambridge. Rechcigl, M. Jr., 1978. CRC Handbook Series in Nutrition and Food--Section E:
Nutritional Disorders, vol. 1. CRC Press, West Palm Beach, FL. Ressang, A.A., 1984. Patology Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Team Kadar
IFAD Project. Bali Cattle in Vestigation Unit. Denpasar. Reuter, G., and, R. Schauer, 1988. Glycoconjugate J. 5, 133-135. Richard, J.L., Bennett, G.A., Ross, P.F. and Nelson, P.E., 1993. Analysis of
Naturally Occurring Mycotoxins in Feedstuffs an Food. J. Anim. Sci. 71:2563-2574.
Robertus, J.D., 1988. Toxin Structure. Cancer Treat. Res. 37:11-24. Robertus, J. D., 1991. The structure and action of ricin, a cytotoxic N-glycosidase.
Sem. in Cell Biol. 2:23-30. Rook, J.A.F and P.C. Thomas., 1984. Nutritional Physiology of Farm Animals.
Longman. London & New York. Rosenfeld, I. and O. A. Beath, 1964. Selenium: Geobotany, Biochemistry,
Toxicity, and Nutrition. Academic Press, New York. Roy, D,N., 1981. Toxic amino acids and proteins from lathyrus plants and other
leguminous species: A Lterature reviw. Nutr.Abstr Rev,Ser.A:Hum.Exp. 51,691-707.
352
Scott, M.L., Malden, C,N. dan Robert J.Y., 1982. Nutrition of the Chicken. M.L. Scott & Associates. Ithaca. New York.
Spainhour, C.B. and Posey, D., 1992. Mycotoxins: A Silent Enemy. Large Animal
Veterinarian. Nov./Dec. Page 20-25. Spoerke, David G. and Susan C. Smolinske, 1990. Toxicity of Houseplants. Boca
Raton, FL: CRC Press. Stephens, H.A., 1980 Poisonous Plants of the Central United States. Lawrence:
The Regents Press of Kansas. Stults, C.L.M., C. C. Sweeley and B. A. Macher, 1989. Methods Enzymol. 179,
167-214. Sturkie, P.D., 1976. Avian Physiology. Springer-Vetlag. Berlin. Suhardjo dan Kusharto, 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Penerbit Kanisius.
Kerjasama PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Surisdiarto dan Koentjoko, 1990. Ilmu Makanan Ternak Khusus Non
Ruminanasia. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. Sutardi, T., 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Suddath, F., Parks, E., Suguna, K, Subramanian, E., and Einspahr, H., 1986. The
crystal structure of Pea lectin at 3.0 A resolution. In Leland Shannon and Maarten Chrispeels (Eds.), Molecular biology of seed storage proteins and lectins, (pp. 29- 43). The American Society of Plant Physiologists.
Sweeley, C.C., and B. Siddiqui, in The Glycoconjugates, Vol. 1, (M. I. Horowitz
and W. Pigman, eds.), pp. 459-540. Academic Press, New York, pp. 459-540 (1977).
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S.
Lebdosukojo, 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tisserand, R and Balacs, T, 1995. Essential Oil Safety: A Guide for Health Care
Professionals, Churchill and Livingstone, Edinburgh, UK, pp. 159-160. Turner, Nancy J. and Adam F. Szczawinski, 1991. Common Poisonous Plants and
Mushrooms of North America. Portland, OR: Timber Press.
353
Underwood, E. J., 1981. The Mineral Nutrition of Livestock. Commonwealth Agricultural Bureaux, England.
Vitetta, E.S. and P.E. Thorpe, 1991. Immunotoxins containing ricin or its A chain,
Sem. in Cell Biol. 2:47-58. Wahju, J., 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM-Press. Yogyakarta. West, Erdman and M.W. Emmel, 1987. Plants That Poison Farm Animals.
Gainesville, FL: University of Florida. West, Erdman, 1984. Poisonous Plants Around the Home. Gainesville, FL:
University of Florida. (Bulletin 175D of Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences.)
Wiegandt, H., 1985. in Glycolipids, (A. Neuberger and L. L. M.A., van Deenen
L. L. M., eds.), New Comprehensive Biochemistry, Vol 10, p. 28, Elsevier, New York
Wiley, R. G., and T. N. Oeltmann, 1991. Ricin and Related Plant Toxins:
Mechanisms of Action and Neurobiological Applications; In, Handbook of Natural Toxins, Vol.6, ed. R.F.Keeler and A.T.Tu, Marcel Dekker, Inc., New York.
Winter, A.R. and E.M. Funk, 1960. Poultry Science and Practice. 5th Ed. J.B.
Lippincott Co. Chicago, Philadelphia dan New York. Wood, G.E., 1992. Mycotoxins in Foods and Feeds in the United States. J. Anim.
Sci. 70:3941-3949. Wren, G.., 1994. Blaming Mycotoxins Can Be A Risky Venture. Bovine
Veterinarian. Nov. Page 4 -10. Zuheid, N., 1990. Biokimia Nutrisi. PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
354
INDEKS Aborsi Cemara Jarum, viii, 335 Abrus precatorius, xii, 11, 149, 150 Acacia spp, xvi, 337 Aflatoksin, vii, xiv, 265, 266, 267 Alkaloid, vi, 3, 4, 6, 7, 17, 18, 19, 44,
47, 48, 54, 57, 64, 67, 68, 73, 76, 81
Alsike clover, viii, 8, 9, 10, 14, 340 Amanita virosa, xiii, 168 Amaranthus retroflexus, xvi, 326,
327 Amaranthus spp, xiii, 11, 204, 205,
327 amarantus, viii, 326 Amilase inhibitor, vii, 183, 184 Amina Biogenik, vii, 187 Ammi majus, xii, 125, 126 Anti Nutrisi, vi, 41 Anti Tripsin, vii, 140 Asam amino, vi, 2, 3, 4, 18, 23, 24,
25, 88, 145 Asam Helvolat, vii, 296 Asam penisilat, vii, 239, 243 Asam sianida, 92, 94, 96 Aspergillus flavus, xiv, 235, 266,
268, 269, 300 Aspergillus fumigatus, xv, 273, 297,
299 Aspergillus ochraceus, xv, 240, 289,
290 Aspergillus versicolor, xiv, 234, 235,
239 Astragalus adsurgens, x, 56 Azoksiglikosida, vi, 133 Black walnut, vii, 8, 9, 10, 230 Bligia sapida, xiii, 185 Bloat Producing Protein, vii, 171 Blue-green algae, viii, 316 Bracken, viii, 13, 178, 328 Brassica campestris, xi, 111 Buckwheat, viii, 330 Canavalia ensiformis, xiii, 148, 165,
166 Canavanin, vii, 161, 165
Ceiba pentandra, xiii, 191 Cestrum diumum, xi, 114, 115 cicasin, vi, xii, 133, 134, 135 Cicutoksin, viii, 314, 316 Citrinin, vii, 283, 286, 287 Claviceps purpurea, x, 50 coumestan, vi, xi, 15, 100, 101 Cycas communis, xii, 134 Datura stramonium, x, 71, 72 Delphinium andersonii, xi, 77 diaseton alkohol, viii, 313 Eupatorium rugosum, xvi, 12, 332,
333 Fagophyrum esculentum, xvi, 330,
331 Fagopirin, viii, 330 Favisme, vi, 104 fenol, vi, x, 2, 15, 19, 35, 36, 37, 38,
39, 99, 103, 194, 215, 224, 230, 327
Fitat, vii, 198 Fitoestrogen, vi, 100 Fluoroasetat, viii, 336, 337, 338 Fusarium graminearum, xv, 279 gambelii, xiv, 232, 233 Glikolipid, vi, 28, 33, 34 Glikoprotein, vi, 22, 31, 32, 33 Glikosida, vi, ix, 19, 57, 79, 86, 94,
99 Glukosinolat, vi, 7, 108, 109, 110,
111, 113 Gosipol, vii, 6, 7, 215, 216, 217, 218 Gossypium spp, xiii, 216 Griseofulvin, vii, 256, 260 Halogeton glomeratus, xiii, 12, 202,
203 heliotropium indicum, x, 62 Helleborus niger, xii, 120, 121 Hemaglutinin, vii, 147 hemlock, iii, x, 42, 43, 44, 46, 47,
314, 316 Hemlock air, xv, 12, 314, 315 Hibiscus rosa, xii, 129 Hiperisin, vii, 7, 227
355
Hipoglisin, vii, 185, 186 Hymenoxys odorata, xvi, 321, 326 Hypericum perforatum, xiv, 227, 228 Indigofera spicata, xiii, 164, 165 Indol, vi, 12, 17, 18, 47 Indolizidin, vi, 7, 54 Indospecin, vii, 161, 166 Inhibitor Polipeptida, vii, 167 Isoflavon, vi, 4, 100, 101, 103 Jojoba, vi, 135 Juglans nigra, xiv, 230, 231 Juglon, vii, 230 Kalsinogenik, vi, 114 Karbohidrat, vi, 26 Karboksiatraktilosida, vi, 116, 117,
118 Kardia, vi, 119 Kikuyu, viii, 311 Korinetoksin, vii, 195 Koumarin, vi, 35, 121, 122 Lathyrus sativus, xiii, 157, 158 Latirogen, vii, 156, 158 Lectin, vii, 147, 148, 149, 151 Lemak, vi, 15, 28, 29, 30, 175 Lignin, vii, 192, 193, 194, 195 Linamarin, 86, 87, 89, 91 Linatin, vii, 161, 162 linum usitatissimum, xiii, 163 locoweed, xiii, 207 Lotaustralin, 86, 87, 91, 92 Lotus japonicus, xi, 92 Lupinosis, vii, 292, 294, 295 Lupinus albus, x, 74 Luteoskirin, vii, 260, 263, 264 Macrozamia communis, xii, 134 Manihot utilissima, xi, 93 Marsilea drummondii, xiii, 179, 180 Medicago sativa, xiii, 13, 101, 129,
172 Melilotus spp, xii, 122, 123 Microcystis aeruginosa, xv, 317 Mikotoksin, vi, 7, 39, 40, 239, 245,
247, 249, 264 Mimosin, vii, 6, 152, 154, 155, 156 Musa Paradisiaca, xiii, 187 Nicotiana spp, x, 68, 69
Nitrat, vii, 7, 11, 12, 14, 204, 206 Nitrit, vii, 204 Oak, vii, 8, 9, 10, 13, 232 Okratoksin, vii, 288, 289, 290, 291,
292 Oksalat, vii, 6, 7, 201, 202 Papain, vii, 144, 145 Patulin, vii, 274, 275, 277, 278 Penicillium citrinum, xv, 284 penicillium claviforme, xv, 274, 275 Penicillium griseofulfum, xiv, 258 Penicillium islandicum, xiv, 260,
261, 263 Penicillium paxilli, xv, 304 Penicillium purpurogenum, xv, 301 Penicillium spp, xiv, 240, 265, 303,
305 Phalaris arundinacea, x, 64, 65 Phaseolus lunatus, xi, 89, 90, 92,
149 Phaseolus vulgaris, xiii, 149, 184 Pine needle, viii, 335 Pinus panderosa, xvi, 335, 336 Piperidin, vi, 17, 42, 46 Piridin, vi, 18, 68 Pirrolizidin, vi, 59, 61, 63 Pithomyces chartarum, xv, 306, 307 Polisiklik Diterpen, vi, 76 Pressor, vii, 187 Protein, vi, vii, 4, 15, 21, 22, 24, 32,
145, 164, 171, 173, 182, 219, 270, 343
Pteridium aquilinum, xvi, 328, 329 Quinolizidin, vi, 73, 75 Racun, iii, iv, vi, vii, viii, 1, 15, 41,
42, 57, 59, 66, 136, 151, 165, 167, 169, 182, 232, 274, 276, 283, 285, 300, 311, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 320, 326, 327, 328, 332, 333, 335, 340
Ranunculin, vi, 137 Ranunculus ficaria, xii, 138 Resorsinol, vii, 229
356
Ricin, vii, 151, 180, 182, 183, 348, 353
Ricinus communis, xiii, 14, 151, 180, 181, 350
Rubratoksin, vii, 300 Rumput sleepy, viii, xv, 313, 314 Ryegrass, xiii, 196, 303, 304, 306 Saponin, vi, 6, 7, 20, 127, 128, 129,
130, 131, 132, 133, 342
Selenium, vii, 7, 207, 208, 209, 210, 342, 343, 347, 351
Sesquiterpen lakton, viii, ix, 320, 323, 326
sianogenik, vi, ix, xi, 13, 19, 84, 86, 87, 88, 89, 91, 94
siklopeptida, viii, 316, 317 Siklopropinoid, vii, 190 Simmondsia ssp, xii, 136 Solanin, vi, 79, 97 Solanum dulcamara, xi, 97, 98 Sporidesmin, vii, xv, 306, 307, 308 Stachybotrys atra, xv, 247, 249, 310 Stacibotriotoksin, viii, 310 Sterigmatosistin, vii, 234, 235, 236,
237, 238
Steroid, vi, 4, 79 Tannin, vii, 6, 108, 219, 220, 225,
226, 343 Tetradimia-Artesimia, viii, 318 tetradimol, viii, xv, 318, 319, 320 Tiaminase, vii, 176, 177, 179 Tremeton, viii, 12, 332 Tremorgen, vii, 303, 305 Trichothecium roseum, xiv, 243,
244, 246, 247 Trifolium hybridum, xvi, 340, 341 trifolium pratense, xi, 102 Trikotesena, vii, 243, 244, 245, 247,
248, 251, 252 Triptamin, vi, 64, 66, 67 Triticale, xiv, 230 Tropan, vi, 70 Veratrum viride, xi, 81 Vicia faba, xi, 104, 105, 149 Vicin, vi, 104, 106 Xanthium strumarium, xii, 14, 117,
118 Zearalenon, vii, 251, 278, 279, 281,
282, 283
357
BIODATA
Nama : Dr. Ir. Wahyu Widodo, MS. Tempat/tanggal lahir : Trenggalek, 9 Januari 1963 Alamat : Bumi Asri Sengkaling B-6 Malang Telp. (0341) 463447 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Istri : Dra. Trisakti Handayani, MM Anak : 1. Titan Parasita Siradj
2. Yuan Ekananda Muhammad Adikara 3. Yuanara Augusta Rahmat Adikara
Pendidikan : SD Pucang Windu I Surabaya, lulus tahun
1976 SMP Negeri 12 Surabaya, lulus tahun 1979 SMA Negeri 4 Surabaya, lulus tahun 1982 S-1 Fak. Peternakan IPB, lulus tahun 1987 S-2 Pasca Sarjan UGM, lulus tahun 1993 S-3 MIPA Pasca Sarjana UNAIR, lulus tahun
2000 Pekerjaan : 1989 - sekarang staff dosen Fak. Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang
1993 – 1995 menjabat Pembantu Dekan III Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang 2000 – 2003 menjabat Kepala Pusat Pengembangan Bioteknologi UMM 2003 – sekarang menjabat Kepala Lembaga Penelitian UMM
Buku yang sudah diterbitkan: 1. Nutrisi dan pakan Kontekstual