tamanplaza hal 7

1
7 Inspirasi SEKOLAH pensiunannya cukup untuk mempertahankan sekolah. Bukan tanpa upaya, pengelola MI Cokroaminoto pun telah berusaha keras merangkul peran Pemerintah Daerah. Namun mereka hanya mendapatkan jawaban formal. "Kata petugas Depag, sekolah kami belum memenuhi persyaratan untuk diakui pemerintah, karena itu tidak ada alokasi anggaran. Kami pun hanya bisa pasrah dan terus melakukan kegiatan belajar mengajar," tuturnya. Selain itu, ke empat guru MI Cokroaminoto yakni Indriyani (23), Ambarwati (36), Wiwin Widyaningrum (26) dan Sudimah (46), yang membantu Aswari, tidak pernah mengeluh dengan gaji yang mereka terima sebesar Rp 60.000 setiap bulan. Hal itu sangat kontras dengan maraknya guru yang menuntut gaji tambahan maupun sertifikasi. Karena belum diakui pemerintah, siswa-siswa itu hanya menempuh pendidikan di sekolah itu hanya sampai kelas V saja. Mereka terpaksa dipindahkan ke sekolah MI Kejiwan untuk melanjutkan ke kelas VI agar bisa mengikuti ujian akhir sekolah. "Siswa dari MI Cokro Aminoto pun tidak mengalami kesulitan menjalani kegiatan belajar di sana. Selama ini siswa bisa mengikuti ujian akhir dan bisa lulus. Bahkan, beberapa diantaranya mendapatkan prestasi yang membanggakan," ujar Aswari. Begitu pun saat tes semesteran, pengelola Sekolah MI Cokroaminoto terpaksa pinjam beberapa soal ke MI Kejiwan kemudian di foto copy. Soal foto copy itulah yang dijadikan soal tes semesteran siswa. "Sekolah kami tidak pernah mendapatkan soal tes dari pemerintah. Dan itu menjadi satu-satunya jalan agar siswa kami bisa ikut tes semesteran," ungkapnya. Meskipun mengalami banyak kendala, namun para guru dan murid MI Cokroaminoto menjalaninya dengan tabah dan penuh semangat. "Saya ingin menjadi dokter," teriak Sulis Setyaningsih, salah satu siswa kelas II MI Cokroaminoto, saat ditanya oleh gurunya. "Kalau saya ingin jadi tentara," teriak siswa yang lain seolah tak mau kalah. Keluguan dan semangat belajar mereka ternyata mampu mengalahkan keterbatasan yang melilitnya. ( Rinto Hariyadi) edung sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Cokroaminoto berdiri tidak begitu kokoh, namun Gcukup untuk menampung 30 siswa miskin dari pinggiran kota Wonosobo. Dindingnya terbuat dari belahan kayu yang mulai lapuk sehingga angin dari luar ruangan leluasa masuk menerpa siswa yang sedang belajar di dalamnya. Para siswa itu menjalani kegiatan belajar mengajar di ruang kelas yang hanya berukuran 3x4 meter dan kurang begitu terawat. Di atas bangku reyot mereka duduk mendengarkan setiap pelajaran yang diberikan oleh sang guru. Ya, di sekolah MI Cokroaminoto itulah puluhan kaum miskin pinggiran kota Wonosobo menambatkan harapan untuk dapat mencerdaskan anak-anaknya. Sekolah yang terletak di atas perbukitan Desa Sitiung, Kelurahan Kejiwan, Wonosobo menjadi pilihan alternatif. Pasalnya, para wali murid tidak lagi dirisaukan oleh besarnya biaya SPP, karena sekolah itu memang tidak menarik biaya apapun alias gratis. Namun Aswari (68), selaku pendiri sekaligus Kepala Sekolah, sangat menyadari keterbatasan dana yang dimiliki para wali murid yang rata-rata berprofesi sebagai buruh kasar. "Wali murid rata-rata berprofesi sebagai pemulung, kuli panggul dan petani. Anak-anak mereka mau sekolah saja sudah untung mas," tuturnya saat dikunjungi Suara Merdeka, kemarin. Selama hampir 17 tahun berdiri, sekolah yang berdiri di atas tanah pribadi milik Aswari itu belum pernah menikmati uluran tangan pemerintah. Alih-alih mendapat bantuan, Aswari membangun sekolah itu dengan uang dan keringatnya sendiri. Untuk menyukupi kebutuhan biaya belajar mengajar, Aswari pun merelakan gaji pensiunannya. Meskipun tidak begitu besar, gaji Inspirasi BUAH HATI Berlian Hilwa Mandiri Mayoret Kecil Berbakat angkah pasti dan gerakan lincah dengan senyum yang terus mengembang, itulah sosok Berlian Hilwa Mandiri (6) saat menjalani tugas sebagai mayoret L dalam group Drumband TK Aisyiyah II Kauman Wonosobo. Ketika Hilwa - demikian sapaan akrabanya - memberi aba-aba, seluruh teman-temannya mengikuti perintahnya. Memainkan musik drumband laslu jalan ditempat serta melangkah seiring derap musik. Semua seirama dengan perintah Hilwa. Gadis cilik kelahiran Wonosobo, 11 Maret 2005 ini, wajar didapuk menjadi mayoret. Pasalnya, selain cantik Hilwa juga lincah, supel, riang, berani dan punya rasa percaya diri yang tinggi. "Penonton selalu berdecak kagum ketika Hilwa tengah main drumband dan menjadi mayoret", tegas Dwi Agustinawati SIP, ketika ditemui TP di kampusnya. Hilwa dikagumi karena kelincahannya menjadi mayoret. Meski hanya latihan sebentar, putri pasangan Sumpeno dan Soimah Bakdiyah ini, ternyata cepat menguasai beberapa gerakan yang harus dimainkan oleh seorang mayoret ketika harus menjadi dirigen bagi teman- temannya. Hilwa sangat apik dan luwes ketika memainkan stok mayoret. Gerak tubuh dan penampilan fotogenik yang dimiliki juga mendukung untuk manjadi mayoret yang menarik dan dikagumi penonton. Setiap mau tampil, dia dilatih secara telaten oleh Dwi Agustinawati SIP dan Umi Maufuroh S Ag, yang menjadi pelatih drumband sekaligus gurunya di sekolah. "Tak butuh waktu lama Hilwa sudah bisa menguasai beberapa gerakan", imbuh Dwi Agustinawati. Dengan mengenakan sepatu boot berhak tinggi, pakaian mayoret, dan topi berlancir, bocah berwajah cantik ini begitu memikat. Dia akan ke sana kemari, ke depan dan ke belakang untuk mengatur irama dan ritme teman-temannya untuk memainkan musik drumbandnya. Hilwa, kata Herni Retno Utari, Kepala TK Aisyiyah II Kauman Wonosobo, terakhir menjadi mayoret ketika group drumband ciliknya main di Alun-alun dan keliling ke jalan-jalan protokol. Saat itu, dia tampil dalam gebyar peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tingkat Kabupaten Wonosobo tahun 2011. Dalam perhelatan tersebut semua anak-anak menampilkan kreasi seni masing- masing, termasuk Hilwa yang jadi mayoret bagi group drumbandnya. O ya, selain aktif menjadi mayoret, Hilwa senang pula pada dunia modelling. Bahkan beberapa kali bocah yang bersama orang tuanya tinggal di Kampung Wonobungkah RT 3 RW 7 Jlamprang Wonosobo ini, beberapa kali meraih juara peragaan busana muslim anak-anak. Catat saja, Hilwa diajang Gebyar Ramadan 2011 yang digeber Resto Ongklok Bugangan, sempat nangkring di posisi juara 1 lomba peragaan busana muslim, juara I fotogenik lomba balita sehat. Selain itu, juara II kategori yang sama saat gelaran putra- putri nusantara dan batik wisata Arumsari Modelling (2010). Di kejuaraan yang sama dalam even Wonosobo Expo 2011, yang digelar di kompleks Busana Muslim Berlian Bersama kedua orang tuanya Gedung Sasana A d i p u r a Kencana, belum lama ini, Hilwa juga sempat menjadi juara harapan 1 lomba busana muslim, Hilwa tampak tampil anggun dan cantik mengenakan busana muslim warna pink. Hilwa mengaku memang senang dengan kesenian drumband dan busana muslim. Sejak sebelum masuk TK, dirinya paling senang kalau diajak nonton penampilan drumband anak-anak dan peragaan busana muslim. "Di rumah dia punya koleksi beberapa baju muslim", kata Soimah Bakdiyah, Ibunya Hilwa. Tidak itu saja. Bocah yang punya cita-cita jadi dokter jika kelak dewasa ini, mahir pula di dunia seni lukis. Paling tidak, itu dibuktikan dengan meraih juara I lomba mewarnai dan menggambar untuk anak PAUD dan TK se-Wonosobo (2011). Soal yang satu ini, dia di rumah memang demen dengan aksi corat-coret di kertas. Selain itu, di TK Aisyiyah II Kauman Wonosobo, Hilwa menambah pelajaran khusus lukis dari Aji Dharma, guru lukis anak-anak, yang juga pegiat Komunitas Seni Air Gunung Wonosobo. Guna bisa menggapai cita-citanya untuk bisa menjadi dokter, Hilwa berniat akan belajar secara giat dan rajin, baik di sekolah maupun di rumah. "Selepas TK nanti, saya akan tetap menekuni kegiatan drumband, modelling dan seni lukis", cetus Hilwa. (Muharno Zarka) MI COKROAMINOTO

Upload: taman-plaza

Post on 21-Mar-2016

226 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

pensiunannya cukup untuk mempertahankan sekolah. Bukan tanpa upaya, pengelola MI Cokroaminoto pun telah berusaha keras merangkul peran Pemerintah Daerah. Namun mereka hanya mendapatkan jawaban formal. "Kata petugas Depag, sekolah kami belum memenuhi persyaratan untuk diakui pemerintah, karena itu tidak ada alokasi anggaran. Kami pun hanya bisa pasrah dan terus melakukan kegiatan belajar mengajar," tuturnya. edung sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Cokroaminoto berdiri tidak begitu kokoh, namun 7

TRANSCRIPT

7

Inspirasi SEKOLAH

pensiunannya cukup untuk mempertahankan sekolah. Bukan tanpa upaya, pengelola MI Cokroaminoto pun telah berusaha k e r a s m e r a n g k u l p e r a n Pemerintah Daerah. Namun mereka hanya mendapatkan jawaban formal. "Kata petugas Depag, sekolah kami belum memenuhi persyaratan untuk diakui pemerintah, karena itu tidak ada alokasi anggaran. Kami pun hanya bisa pasrah dan terus melakukan kegiatan belajar mengajar," tuturnya. Selain itu, ke empat guru MI Cokroaminoto yakni Indriyani (23), Ambarwati (36), Wiwin Widyaningrum (26) dan Sudimah (46), yang membantu Aswari, tidak pernah mengeluh dengan gaji yang mereka terima sebesar Rp 60.000 setiap bulan. Hal itu sangat kontras dengan maraknya guru yang menuntut gaji tambahan maupun sertifikasi. Karena belum diakui pemerintah, siswa-siswa itu hanya menempuh pendidikan di sekolah itu hanya sampai kelas V saja. Mereka terpaksa dipindahkan ke sekolah MI Kejiwan untuk melanjutkan ke kelas VI agar bisa mengikuti ujian akhir sekolah. "Siswa dari MI Cokro Aminoto pun tidak mengalami kesulitan menjalani kegiatan belajar di sana. Selama ini siswa bisa mengikuti ujian akhir dan bisa lulus. Bahkan, beberapa diantaranya mendapatkan prestasi yang membanggakan," ujar Aswari. Begitu pun saat tes semesteran, pengelola Sekolah MI Cokroaminoto terpaksa pinjam beberapa soal ke MI Kejiwan kemudian di foto copy. Soal foto copy itulah yang dijadikan soal tes semesteran siswa. "Sekolah kami tidak pernah mendapatkan soal tes dari pemerintah. Dan itu menjadi satu-satunya jalan agar siswa kami bisa ikut tes semesteran," ungkapnya. Meskipun mengalami banyak kendala, namun para guru dan murid MI Cokroaminoto menjalaninya dengan tabah dan penuh semangat. "Saya ingin menjadi dokter," teriak Sulis Setyaningsih, salah satu siswa kelas II MI Cokroaminoto, saat ditanya oleh gurunya. "Kalau saya ingin jadi tentara," teriak siswa yang lain seolah tak mau kalah. Keluguan dan semangat belajar mereka ternyata mampu mengalahkan keterbatasan yang melilitnya. ( Rinto Hariyadi)

edung sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Cokroaminoto berdiri tidak begitu kokoh, namun Gcukup untuk menampung 30 siswa miskin dari

pinggiran kota Wonosobo. Dindingnya terbuat dari belahan kayu yang mulai lapuk sehingga angin dari luar ruangan leluasa masuk menerpa siswa yang sedang belajar di dalamnya. Para siswa itu menjalani kegiatan belajar mengajar di ruang kelas yang hanya berukuran 3x4 meter dan kurang begitu terawat. Di atas bangku reyot mereka duduk mendengarkan setiap pelajaran yang diberikan oleh sang guru. Ya, di sekolah MI Cokroaminoto itulah puluhan kaum miskin pinggiran kota Wonosobo menambatkan harapan untuk dapat mencerdaskan anak-anaknya. Sekolah yang terletak di atas perbukitan Desa Sitiung, Kelurahan Kejiwan, Wonosobo menjadi pilihan alternatif. Pasalnya, para wali murid tidak lagi dirisaukan oleh besarnya biaya SPP, karena sekolah itu memang tidak menarik biaya apapun alias gratis. Namun Aswari (68), selaku pendiri sekaligus Kepala Sekolah, sangat menyadari keterbatasan dana yang dimiliki para wali murid yang rata-rata berprofesi sebagai buruh kasar. "Wali murid rata-rata berprofesi sebagai pemulung, kuli panggul dan petani. Anak-anak mereka mau sekolah saja sudah untung mas," tuturnya saat dikunjungi Suara Merdeka, kemarin. Selama hampir 17 tahun berdiri, sekolah yang berdiri di atas tanah pribadi milik Aswari itu belum pernah menikmati uluran tangan pemerintah. Alih-alih mendapat bantuan, Aswari membangun sekolah itu dengan uang dan keringatnya sendiri. Untuk menyukupi kebutuhan biaya belajar mengajar, Aswari pun merelakan gaji pensiunannya. Meskipun tidak begitu besar, gaji

Inspirasi BUAH HATI

Berlian Hilwa MandiriMayoret Kecil Berbakat

angkah pasti dan gerakan lincah dengan senyum yang terus mengembang, itulah sosok Berlian Hilwa Mandiri (6) saat menjalani tugas sebagai mayoret Ldalam group Drumband TK Aisyiyah II Kauman

Wonosobo. Ketika Hilwa - demikian sapaan akrabanya - memberi aba-aba, seluruh teman-temannya mengikuti perintahnya. Memainkan musik drumband laslu jalan ditempat serta melangkah seiring derap musik. Semua seirama dengan perintah Hilwa.

Gadis cilik kelahiran Wonosobo, 11 Maret 2005 ini, wajar didapuk menjadi mayoret. Pasalnya, selain cantik Hilwa juga lincah, supel, riang, berani dan punya rasa percaya diri yang tinggi. "Penonton selalu berdecak kagum ketika Hilwa tengah main drumband dan menjadi mayoret", tegas Dwi Agustinawati SIP, ketika ditemui TP di kampusnya. Hilwa dikagumi karena kelincahannya menjadi mayoret.

Meski hanya latihan sebentar, putri pasangan Sumpeno dan Soimah Bakdiyah ini, ternyata cepat menguasai beberapa gerakan yang harus dimainkan oleh seorang mayoret ketika harus menjadi dirigen bagi teman-temannya. Hilwa sangat apik dan luwes ketika memainkan stok mayoret. Gerak tubuh dan penampilan fotogenik yang dimiliki juga mendukung untuk manjadi mayoret yang menarik dan dikagumi penonton.

Setiap mau tampil, dia dilatih secara telaten oleh Dwi Agustinawati SIP dan Umi Maufuroh S Ag, yang menjadi pelatih drumband sekaligus gurunya di sekolah. "Tak butuh waktu lama Hilwa sudah bisa menguasai beberapa gerakan", imbuh Dwi Agustinawati.

Dengan mengenakan sepatu boot berhak tinggi, pakaian mayoret, dan topi berlancir, bocah berwajah cantik ini begitu memikat. Dia akan ke sana kemari, ke depan dan ke belakang untuk mengatur irama dan ritme teman-temannya untuk memainkan musik drumbandnya.

Hilwa, kata Herni Retno Utari, Kepala TK Aisyiyah II Kauman Wonosobo, terakhir menjadi mayoret ketika group drumband ciliknya main di Alun-alun dan keliling ke jalan-jalan protokol. Saat itu, dia tampil dalam gebyar peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tingkat Kabupaten Wonosobo tahun 2011. Dalam perhelatan tersebut semua anak-anak menampilkan kreasi seni masing-masing, termasuk Hilwa yang jadi mayoret bagi group drumbandnya.

O ya, selain aktif menjadi mayoret, Hilwa senang pula pada dunia modelling. Bahkan beberapa kali bocah yang bersama orang tuanya tinggal di Kampung Wonobungkah RT 3 RW 7 Jlamprang Wonosobo ini, beberapa kali meraih juara peragaan busana muslim anak-anak. Catat saja, Hilwa diajang Gebyar Ramadan 2011 yang digeber Resto Ongklok Bugangan, sempat nangkring di posisi juara 1 lomba peragaan busana muslim, juara I fotogenik lomba balita sehat. Selain itu, juara II kategori yang sama saat gelaran putra-putri nusantara dan batik wisata Arumsari Modelling (2010).

Di kejuaraan yang sama dalam even Wonosobo Expo 2011, yang digelar di kompleks

Busana Muslim

Berlian Bersama kedua orang tuanya

Gedung Sasana A d i p u r a Kencana, belum lama ini, Hilwa j u g a s e m p a t menjad i juara harapan 1 lomba busana muslim, H i lwa tampak tampil anggun d a n c a n t i k m e n g e n a k a n busana muslim warna pink.

H i l w a mengaku memang senang dengan kesenian drumband dan busana muslim. Sejak sebelum masuk TK, dirinya paling senang kalau diajak nonton penampilan drumband anak-anak dan peragaan busana muslim. "Di rumah dia punya koleksi beberapa baju muslim", kata Soimah Bakdiyah, Ibunya Hilwa.

Tidak itu saja. Bocah yang punya cita-cita jadi dokter jika kelak dewasa ini, mahir pula di dunia seni lukis. Paling tidak, itu dibuktikan dengan meraih juara I lomba mewarnai dan menggambar untuk anak PAUD dan TK se-Wonosobo (2011). Soal yang satu ini, dia di rumah memang demen dengan aksi corat-coret di kertas. Selain itu, di TK Aisyiyah II Kauman Wonosobo, Hilwa menambah pelajaran khusus lukis dari Aji Dharma, guru lukis anak-anak, yang juga pegiat Komunitas Seni Air Gunung Wonosobo.

Guna bisa menggapai cita-citanya untuk bisa menjadi dokter, Hilwa berniat akan belajar secara giat dan rajin, baik di sekolah maupun di rumah. "Selepas TK nanti, saya akan tetap menekuni kegiatan drumband, modelling dan seni lukis", cetus Hilwa. (Muharno Zarka)

MI COKROAMINOTO