taman budaya raden saleh bakal digusur untuk bangun trans studio

9
Taman Budaya Raden Saleh Bakal Digusur untuk Bangun Trans Studio? (Tinjauan Hukum dan Sosiologi) Semarang, Obsessionnews Pembangunan Trans Studio yang dilakukan dengan menggusur lokasi Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang menuai kecaman dari para seniman lokal. Ketua Dewan Kesenian (Dekase) Semarang Mulyo Hadi Purnomo menyayangkan bila TBRS, tempat berkumpul komunitas seni di Semarang dialihfungsikan tanpa adanya solusi lain. “Semarang tidak memiliki ruang berkesenian untuk umum selain TBRS. Selain itu TBRS menjadi penopang kreativitas pecinta seni atau budaya Semarang. Ini sangat diperlukan bagi kota seperti Semarang yang masih berjuang untuk menunjukkan dirinya sebagai kota yang memiliki potensi seni dan budaya besar,” tutur Mulyo kepada obsessionnews.com di Semarang, Sabtu (7/3). Ia menegaskan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang belum menepati janjinya terkait sosialisasi pembangunan Trans Studio, mengingat di TBRS seringkali diadakan pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandawa dan kesenian lainnya. Mulyo mengaku pernah dijanjikan untuk diajak berbincang-bincang tentang rencana pembangunan Trans

Upload: fauzan-hamsyah

Post on 03-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Fungsi Hukum

TRANSCRIPT

Taman Budaya Raden Saleh Bakal Digusur untuk Bangun Trans Studio? (Tinjauan Hukum dan Sosiologi)

Semarang, Obsessionnews Pembangunan Trans Studio yang dilakukan dengan menggusur lokasi Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang menuai kecaman dari para seniman lokal. Ketua Dewan Kesenian (Dekase) Semarang Mulyo Hadi Purnomo menyayangkan bila TBRS, tempat berkumpul komunitas seni di Semarang dialihfungsikan tanpa adanya solusi lain.Semarang tidak memiliki ruang berkesenian untuk umum selain TBRS. Selain itu TBRS menjadi penopang kreativitas pecinta seni atau budaya Semarang. Ini sangat diperlukan bagi kota seperti Semarang yang masih berjuang untuk menunjukkan dirinya sebagai kota yang memiliki potensi seni dan budaya besar, tutur Mulyo kepada obsessionnews.com di Semarang, Sabtu (7/3).Ia menegaskan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang belum menepati janjinya terkait sosialisasi pembangunan Trans Studio, mengingat di TBRS seringkali diadakan pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandawa dan kesenian lainnya.Mulyo mengaku pernah dijanjikan untuk diajak berbincang-bincang tentang rencana pembangunan Trans Studio sebelum penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman. Namun sampai hari ini belum terealisir, ujar Mulyo yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.Seperti diketahui Wayang Orang Ngesti Pandawa salah satu ikon Kota Semarang. Bahkan ada anggapan belum ke Semarang kalau belum melihat Ngesti. Berdiri sejak tahun 1937, Ngesti Pandawa masih tetap eksis hingga sekarang ini.Sejatinya pembangunan Trans Studio hanya dilakukan di lahan Taman Bermain Wonderia yang berbatasan langsung dengan TBRS. Namun Walikota Semarang Hendrar Prihadi menyatakan siap menyediakan lahan bagi Trans Studio bila dirasa kurang. Hal itu memicu kontroversi karena dugaan kuat lahan yang dimaksud adalah TBRS.

Taman Bermain WonderiaKita punya lahan 9 hektar. Kalau semisal kurang, beli di sekitar lokasi atau gimana, makanya ini dikaji dulu, tegas Hendy saat penandatanganan MoU antara Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang dan Trans Corp, pemilik Trans Studio, Jumat (6/3).Selain itu, tempat pendirian Trans Studio dirasa tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Jalan Sriwijaya tiap pagi dan sore selalu dipenuhi kendaraan hingga menimbulkan kemacetan. Dari arah timur terdapat kompleks pertokoan yang baru setahun dibangun dan sering macet. Sedangkan dari sisi barat langsung menuju ke pusat kota, yakni Simpang Lima.Pemilihan lokasi di TBRS tidak tepat. Tempat yang lebih tepat mestinya di Ngaliyan, Mijen atau Penggaron. Karena Jalan Sriwijaya terlalu sempit untuk keriuhan yang ditimbulkan Trans Studio, ujar Mulyo.Sementara itu di tempat terpisah, pendapat berbeda diutarakan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Masdiana Safitri. Ia menyambut gembira pendirian Trans Studio di Semarang. Dengan adanya MoU antara Pemkot Semarang dan Trans corp, diharapkan pendapatan sektor pariwisata bisa terdongkrak hingga 50%.Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi meminta dukungan masyarakat dan komunitas seni di TBRS agar turut mendukung rencana proyek wahana modern ini. Pendapatan daerah sebaiknya tidak hanya lewat APBD, tetapi juga dariinvestor, terang Supriyadi.Masyarakat berharap agar Trans Studio nantinya tidak semakin membuat kemacetan di wilayah Jalan Sriwijaya. Yanti, salah seorang warga, menyetujui pembangunan Trans Studio di bekas Wonderia. Saya mendukung pembangunan Trans Studio. Tempat itu untuk show dangdut di malam hari, dan kurang mendidik buat warga Semarang. Lebih baik dibangun Trans Studio, ujarnya.Taman Bermain Wonderia diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2007. Sayangnya, taman bermain ini kurang diminati pengunjung. Bahkan di tempat ini seringkali diadakan ajang musik dangdut hingga larut malam.

Walikota Semarang Hendrar Prihadi berdiskusi dengan warga dan para seniman di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Minggu (9/3) malamSebagai respon dari kalangan seniman yang semakin memanas, Minggu (9/3) malam diadakan diskusi dengan tema #saveTBRS di area pendopo kawasan TBRS. Hadir pula Walikota Semarang Hendy usai kunjungan dari Yogyakarta.Yang utama dibangun itu Wonderia, tapi masih butuh lahan 10 hektar dan jelas Wonderia saja tidak cukup, kata Hendy di depan para seniman dan warga Semarang.Dia memohon kepada masyarakat agar tidak mudah terpancing isu-isu yang belum jelas. Saya minta tolong agar tidak ada lagi provokasi-provokasi di sosial media (sosmed) terkait penggusuran TBRS, katanya.Tinjauan Hukum Dilihat dari tinjauan diatas dapat kita ambil garis besar yaitu tidak ada sosialisasi antara pemerintah kota (Pemkot) Semarang dengan warga terkait dibangunnya Trans Studio di Wonderia. Penandatanganan MoU antara Pemkot dengan Trans Corp menurut saya terlalu terburu buru, seolah olah pemerintah mengesampingkan aspirasi masyarakat sekitar. Padahal jika alasan pemerintah membangun Trans Studio antara lain menyegarkan taman wisata wonderia sehingga dapat meningkatkan arus pariwisata di Semarang, bagaimana dengan ruang ruang publik di sekitar wonderia yang dianggap memiliki nilai nilai luhur dan sejarah? Misalkan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Menurut saya tidak cocok ketika pusat hiburan dibangun disekitar ruang publik yang aktivitas nya memerlukan ketenangan dan refleksi diri.Jika dilihat dalam perspektif Hukum tentang Cagar Budaya yang di atur dalam UU No. 11 Tahun 2010 diatur jelas bahwasannya Cagar Budaya harus dilestarikan, pun diatur tujuan pelestariannya berdasarkan pasal 3:a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusiab. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budayac. memperkuat kepribadian bangsad. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dane. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Taman Budaya Raden Saleh berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 termasuk kedalam kriteria Cagar Budaya yang diatur dalam pasal 5 sampai dengan pasal 10. Pemerintah punya wewenang untuk mengembangankan Cagar Budaya sebagai sarana pendidikan dimasa yang akan datang, bukan malah budaya orang lain yang menjadi populer disini dan menggeser nilai luhur bangsa dengan alasan orientasi ekonomis.Tinjauan SosiologiMenanggapi hal tersebut lalu kita bertanya bagaimana eksistensi hukum Negara (state law) ditengah kemajemukan budaya? Seperti bahasan diatas, hadirnya hukum melalui sebuah kewenangan sepertinya menggeser heterogenitas bangsa yang selama ini kita junjung tinggi sebagai fondasi yang secara empirik keragaman ini lah yang justru membentuk Indonesia sebagai negara kesatuan yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.Seharusnya hukum dapat mengakomodir kemajemukan dalam system hukum yang terintegrasi antara Hukum Adat dengan Hukum Negara. Menurut Lawrence Friedman mengenai system hukum ada 3 komponen yang tidak bisa dihilangkan, yaitu:1. Legal substance, yaitu norma-norma dan aturan-aturan yang digunakan secara institusional, beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum; 2. Legal structure,yaitu lembaga-lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum, seperti kepolisian, dan peradilan (hakim, jaksa, dan pengacara); 3. Legal culture atau budaya hukum, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berpikir dalam masyarakat umum yang dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan sosial menurut arah perkembangan tertentu.

Dalam tulisannya The Existance Of State Law In The Middle Of Multicultural According To A Legal Anthropology 's Perspective, Achmad Sauqi menuturkan Beberapa kelemahan hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang harus dipatuhi, satu per satu mulai dipersoalkan. Pertama, meski State law lebih mudah diterapkan karena disusun secara terintegrasi dan hubungan antar produk hukumnya teratur, pada kenyataannya penerapan state law seringkali inkonsisten, dan terkadang mengalami konflik norma atau konflik asas norma akibat keinginan untuk mampu mengatur semua justru menjadikan kabur cakupan materi di dalamnya, serta wewenangnya pun saling tumpang-tindih.

Kedua state law hanya tegak bila tidak bertentangan dengan keinginan tertentu. Tetapi menjadi tumpul dan mati bila yang terlibat pelanggaran di dalamnya adalah pihak-pihak pemilik kekuasaan dan pemodal kuat.

Ketiga, tujuan keadilan yang ingin dicapai dalam state law pada kenyataannya justru bertolak belakang. Sebagian masyarakat menganggap penegakan norma-norma state law malah semakin memunculkan ketidakadilan. Kekuatan sosio-politik dan agama seringkali mewarnai tarik-menarik perebutan peran dalam usaha pencapaian keadilan tersebut.

Keempat, dalam teorinya state law disusun secara supel dan luwes sehingga lebih bisa mengikuti perkembangan waktu (up to date). Namun, kenyataannya beberapa produk hukum negara menjadi cepat kedaluwarsa atau lamban dalam pelaksanaannya, seperti Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang baru bisa diterapkan pada Januari 2001.

Kelima, pengaturan dalam state law terkadang tidak netral dan memihak terutama kepentingan kekuasaan status quo dan pemodal. Sehingga sering mengalami protes dan inkonsistensi antara pengaturan dan penegakannya.

Keenam, keputusan state law kadang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak konstekstual dengan ruang dan waktu pelaksanannya, sehingga menjadi sulit bahkan tidak dapat dieksekusi sesuai pengaturan dalam keputusan tersebut.

Ketujuh, pola pertahanan state law oleh kekuasaan sentral yang dilakukan secara represif, seragam termobilisasi, dan membutuhkan biaya mahal sehingga menampilkan wajah state law yang lebih garang dibanding the other laws, ternyata ketika eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya, dukungan terhadap kekuasaan itu mulai menyusut maka pertahanan state law pun menjadi rapuh.

Aturan hukum yang bertentangan atau bahkan mengesampingkan hukum hukum lain yang hidup di masyarakat menurut saya bisa kita asumsi kan sebagai politik centralism hukum (sentralitas hukum) yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai hukum tertinggi satu-satunya yang berlaku bagi masyarakat. Saya pikir dari dimensi ini terjadi dekontruksi subtansi hukum yang seharusnya hukum bisa melindungi, mengayomi, menghargai dan mengatur masyarakat menuju kemashalatan bersama malah berbalik arah bahwa hukum tidak ubahnya seperti rezim yang mengatur kehidupan masyarakat tanpa mem pertimbangkan nilai nilai yang hidup dan menjadi panutan diluar hukum tertulis.