taman budaya gunung lawu

62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU Karanganyar, 16-17 Nopember 2005

Upload: ratnapudji6933

Post on 01-Jul-2015

581 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Taman Budaya Gunung Lawu

PROSIDING SEMINAR NASIONAL TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU Karanganyar, 16-17 Nopember 2005

Page 2: Taman Budaya Gunung Lawu

ii

PROSIDING SEMINAR NASIONAL TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU Karanganyar, 16-17 Nopember 2005

Hak cipta (copyright) & Penerbit: 2005 Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat Universitas Sebelas Maret (PPBB LPPM UNS) Surakarta

Kerjasama dengan:

Pemerintah Kabupaten Karangannyar

Editor: Ahmad Dwi Setyawan, S.Si., M.Si. dr. Paramasari Dirgahayu, Ph.D.

Penulis:

Ahmad Dwi Setyawan, S.Si., M.Si. Mulyadi Widjaja, Ir. Ali Mufiz, H., Drs. MPA Paramasari Dirgahayu, dr., Ph.D.

Darmanto Jatman, Drs., M.A. Rina Iriani Sri Ratnaningsih, Hj., S.Pd., M.Hum. Diah Bekti Ernawati, Dr. Risman Musa, M.A., Dr.

Emil Salim, Dr., Prof. Rossana Dewi Rachmawati, Ir. Hari Untoro Dradjat, M.A., Dr. Soegeng Toekiyo, Drs., Mag. S.R.

Laretna T. Adishakti, Dr. Suhadi Hadiwinoto, Ir. Much. Syamsulhadi, H., dr., Sp.K.J., Dr., Prof. Sutarno, Drs., M.Sc., Ph.D., Prof.

Muhammad Adnan, KH., Drs., M.A. Triono, Ir., M.P.

Tim Teknis: Ari Pitoyo, S.Si Marsusi, Drs., M.S.

Estu Retnaningtyas, S.Tp., S.Si. Pawito, Drs., M.Sc., Ph.D. I.A. Joko Suyanto, Drs., MM. Sugiyarto, M.Si, Dr.

Kismiadi, Drs., M.M. Suprapto Suryodarmo Siti Lusi Arum Sari, S.Si, M.Si. Suranto, Drs., M.Sc., Ph.D., Prof.

Ana Nur Chasanah Nur Aini Destamadi Suhandi Slamet Mardiyanto

Ferra Seira Supatmi Leny Rahayuningsih Wahyu Denny Kusuma

Wahyu Hardiningsih

Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau menyebarluaskan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Untuk tujuan pendidikan dan tidak komersial para pihak diperkenankan memperbanyak isi buku ini.

Cetakan pertama: Nopember 2005 Cetakan kedua: April 2006

Sitasi:

Setyawan, A.D. dan P. Dirgahayu. 2006. Prosiding Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu, Karanganyar, 16-17 Nopember

2005. Surakarta: Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM UNS

atau (contoh):

Syamsulhadi, H.M. 2006. Pidato kebudayaan Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam menyambut pencanangan Taman Budaya Gunung Lawu. Dalam: Setyawan, A.D. dan P. Dirgahayu. Prosiding Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu,

Karanganyar, 16-17 Nopember 2005. Surakarta: Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM UNS

Page 3: Taman Budaya Gunung Lawu

iii

DAFTAR ISI

Prakata iv

Sambutan Bupati Karanganyar 1

Pidato Kebudayaan Rektor UNS 3

Dokumen Perjanjian Kesepahaman (MOU) tentang “Taman Budaya Gunung Lawu” 5

BAGIAN I: Politik Kebudayaan dalam Mengangkat Harkat Hidup Rakyat

1. Sambutan Wakil Gubernur Jawa Tengah dalam Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu: Penguatan Ekonomi Pedesaan dalam Mengangkat Harkat Hidup Rakyat Kebanyakan

9

2. Sambutan Menko Kesra dalam Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu: Konsep Warisan Dunia 12

BAGIAN II: Kajian Sosial Budaya

3. Penguatan Budaya sebagai Basis Pembangunan Komprehensif 14 4. Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community-Based Tourism - CBT) Pedesaan dan Lingkungan

di Indonesia 17

5. Kearifan Lokal Jawa: Budaya Jawa sebagai Sumber Nilai Budi Pekerti Luhur dalam Menghadapi Kompetisi Kehidupan Global

21

BAGIAN III: Kajian Sosial Ekonomi

6. Potensi Situs Arkeologi dalam Bingkai Sosial Ekonomi Masyarakat Desa 23 7. Revitalisasi Budaya Asli dalam Penguatan Ekonomi Pedesaan 26

BAGIAN IV: Kajian Lingkungan Hidup

8. Membangun Taman Budaya Gunung Lawu 30 9. Taman Nasional sebagai Bentuk Pelestarian Lingkungan berbasis Kesejahteraan Masyarakat 31 10. Peran Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah dalam Rangka Perlindungan Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya 32

11. Keanekaragaman Hayati Gunung Lawu: Potensi Sumber Daya Ekonomi yang Menuntut Pelestarian 35

BAGIAN V: Kajian Pembanding

12. Pengembangan Budaya Jawa dalam Pandangan Santri 37 13. Pelestarian Pusaka Saujana Budaya dan Penguatan Ekonomi Masyarakat: Sebuah Sumbangan Model

Pelestarian Pusaka 38

14. Kegagalan Manajemen Ekonomi Nasional: Upaya Pelestarian Alam dan Budaya yang Sia-sia 44

PENUTUP

15. Penutup: Taman Nasional sebagai Bentuk Manajemen Integratif Konservasi Ekosistem Gunung Lawu melalui Pendekatan Budaya, Ekonomi, dan Pelestarian Lingkungan

47

Page 4: Taman Budaya Gunung Lawu

iv

PRAKATA

Taman Budaya Gunung Lawu (TGBL) merupakan istilah

yang baru diperkenalkan dan masih asing bagi kebanyakan pakar, peneliti, praktisi, terlebih masyarakat awam, sehingga sering kali memunculkan salah pengertian dan menimbulkan tanda tanya besar. Taman Budaya Gunung Lawu adalah upaya untuk mengangkat jatidiri masyarakat lokal di seputaran Gunung Lawu guna meningkatkan kualitas sosial ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup (pelestarian lingkungan) secara terintegrasi. Pendekatan yang holistik perlu dilakukan mengingat pendekatan parsial untuk melindungi lingkungan sekaligus menyejahterakan masyarakat lokal sering kali berbenturan, sehingga harus mengalahkan salah satu atau bahkan kedua-duanya. Konsep ini dicetuskan untuk mendorong kemajuan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, melalui pendekatan jati diri budaya masyarakat lokal. Konsep ini sama sekali berbeda dengan taman budaya yang selama ini banyak dikenal, yang merupakan arena pertunjukan seni.

Pelestarian lingkungan di kawasan lindung secara an sich untuk perlindungan itu sendiri sering kali mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal, serta menimbulkan anggapan bahwa perlindungan sumberdaya hayati dan ekosistemnya lebih penting daripada kesejahteraan masyarakat. Kelompok humanis secara ekstrim sering kali menyindir bahwa “Nyawa seekor harimau lebih penting daripada seorang anak manusia”, sebaliknya para konservasionis secara sembarangan menjawab “Ada 6 milyar manusia dan setiap malam terus dibuat, sebaliknya hanya ada sekitar 600 ekor harimau sumatera dan setiap hari rumahnya terus dibabat dan menyusut”. Penguatan sosial ekonomi secara an sich sering menyebabkan kerusakan lingkungan; dimana dampak negatifnya jauh lebih banyak daripada keuntungan ekonominya. Kegagalan pelestarian lingkungan sering kali berdampak sangat masif, luas, dan ditanggung kalayak banyak, seperti banjir dan kekeringan akibat kerusakan hutan, asap tebal akibat pembersihan lahan perkebunan dengan pembakaran, penyakit ganas dan mematikan akibat pencemaran lingkungan dan-lain-lain. Pendekatan budaya tampaknya perlu dilakukan. Budaya adalah napas kehidupan sehari-hari sebagai bentuk pergaulan manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan al-khalik. Hal ini memunculkan perilaku yang khas dan sering kali dipuncaki dengan simbol-

simbol dan upacara-upacara tertentu. Pergaulan yang panjang sering kali membentuk keseimbangan yang berpola.

Taman Budaya Gunung Lawu merupakan ide orisinil dan baru sehingga masih memungkinkan diskusi panjang untuk tumbuh dan berkembang hingga menemukan bentuk yang mantap dalam konsep dan prakteknya, termasuk pembentukan landasan hukumnya. Konsep ini diterapkan pada delapan kabupaten dari puncak Gunung Lawu hingga kaki terjauh berupa sungai-sungai yang menjadi pembatas alamnya. Terdapat rumusan-rumusan awal dalam ruang lingkup taman budaya ini. (i) Aspek sosial ekonomi difokuskan untuk meningkatkan ekonomi pedesaan; (ii) Aspek sosial budaya dimaksudkan untuk mengembangkan warisan budaya nenek moyang yang maju dan menyerap budaya baru yang bernilai positif, dengan menghilangkan unsur-unsur takhayul dan gugon tuhon yang tidak masuk akal; (iii) Aspek pelestarian lingkungan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup dalam menunjang keberlanjutan generasi umat manusia, antara lain dengan mengkonversi hutan lindung Gunung Lawu menjadi Taman Nasional Gunung Lawu (TNGLa).

Konsep ini pertama kali ditawarkan pada Sarasehan Taman Budaya Gunung Lawu, 24 Oktober 2005 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas (PPBB), LPPM UNS Surakarta. Sarasehan ini diikuti para birokrat di dua propinsi (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan delapan kabupaten (Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Sukoharjo, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Madiun), serta perguruan tinggi di seputaran Gunung Lawu dan para jurnalis. Sebagai gagasan baru, TBGL masih memerlukan diskusi panjang. Seminar nasional merupakan kegiatan besar pertama yang memberkenalkan konsep tersebut.

Akhir kata mudah-mudahan buku sederhana ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Surakarta, 17 Nopember 2005 Editor Ahmad Dwi Setyawan, S.Si., M.SI. dr. Paramasari Dirgahayu, Ph.D.

Page 5: Taman Budaya Gunung Lawu

1

PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR

SAMBUTAN BUPATI KARANGANYAR PADA ACARA SEMINAR NASIONAL TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU

Pendopo Rumah Dinas Bupati Karanganyar

Rabu-Kamis, 16-17 Nopember 2005

• Yth. Gubernur Propinsi Jawa Tengah - Bapak Mardiyanto

(yang mewakili); • Yth. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta - Bapak Sri

Sultan Hamangkubuwono X (yang mewakili); • Yth. Gubernur Jawa Timur - Bapak Imam Utomo (yang

mewakili); • Yth. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta - Bapak

Prof. Dr. dr. Moch. Syamsulhadi, Sp.Kj; • Yth. Bupati Wonogiri, Sragen, Sukoharjo, Magetan, Ngawi,

Ponorogo, Madiun, beserta para pejabat yang hadir pada pertemuan ini;

• Yth. para Kepala Dinas/Badan/Unit Kerja/Camat se Kabupaten Karanganyar;

• Para tokoh masyarakat, tokoh budaya, LSM, wartawan & hadirin tamu undangan serta peserta Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu yang saya hormati.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,

Salam Sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga pada pagi hari ini kita dapat bertemu di Pendopo Rumah Dinas Bupati Karanganyar dalam keadaan sehat wal afiat, untuk melaksanakan kegiatan Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu yang diselenggarakan untuk memeriahkan Hari Jadi Kabupaten Karanganyar yang ke-88.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah kami menyampaikan Selamat Datang kepada Bapak/Ibu sekalian di Bumi Karanganyar TEMTERAM ini (Tenang, Teduh, Rapi, dan Aman). Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada

Bapak/ibu yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk menghadiri undangan seminar ini. Pada kesempatan yang baik ini pula, bersamaan dengan penyelenggaraan seminar pada bulan syawal ini, maka atas nama pribadi dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar saya mengucapkan ”Selamat Hari Raya Idul Fitri 1426 H” dan dengan tulus ikhlas kami mohom maaf lahir dan batin, semoga Allah SWT senantiasa menerima amal ibadah kita dan selalu melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahNya kepada kita sekalian. Amin.

Bapak/Ibu hadirin yang berbahagia. Seminar Taman Budaya Gunung Lawu dilaksanakan karena

kesadaran dan rasa handarbeni terhadap nilai-nilai luhur budaya masyarakat sekitar Gunung Lawu yang patut untuk digali dan ditumbuhkembangkan kelestariannya sehingga dapat diambil intisarinya untuk dimanfaatkan bagi peningkatan peradaban manusia di masa kini dan masa mendatang. Pengkajian terhadap berbagai konsep kebudayaan secara komprehensif yang dikaitkan dengan berbagai bidang yaitu politik, sosial, ekonomi maupun lingkungan hidup mengindikasikan kepada kita bahwa kajian budaya Gunung Lawu tidak semata-mata mengkaji persoalan budaya kuno, yang banyak dikaitkan dengan takhayul atau hal-hal yang diluar akal sehat, tetapi justru untuk mendudukkan bahwa kajian terhadap budaya Gunung Lawu dimaksudkan untuk menemukan jatidirinya sehingga dapat eksis dalam era globalisasi ini.

Bapak/Ibu/Hadirin yang kami hormati, Pada kesempatan kali ini pula, kami menyambut baik adanya

upaya untuk melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara pemerintah Propinsi dan pemerintah Kabupaten di sekitar Gunung Lawu, untuk secara bersama-sama mengupayakan pelestarian Gunung Lawu secara berkesinambungan. Dengan seminar maupu MOU yang nanti akan ditandatangani bersama, mudah-mudahan konsep Taman Budaya Gunung Lawu tidak hanya akan berhenti sebatas wacana, tetapi akan diikuti oleh langkah-langhak konkrit untuk mewujudkan Taman Budaya Gunung Lawu dalam arti seluas-luasnya, yang terwujud pada kecintaan terhadap kelestarian budaya masyarakat di sekitar

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Hj. Rina Iriani Sri Ratnaningsih, S.Pd, M.Hum.; Bupati Karanganyar

Page 6: Taman Budaya Gunung Lawu

2

Gunung Lawu. Dalam jangka panjang terwujudnya Taman Budaya Gunung Lawu kita harapkan juga dapat memberikan kontribusi terhadap tumbuhnya ekonomi masyarakat yang selanjutnya akan berdampak bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah di sekitar Gunung Lawu, melalui berbagai sektor yang terkait.

Bapak/Ibu/Hadirin yang saya hormati Seminar Nasional yang penyelenggaraanya didukung oleh

berbagai elemen masyarakat baik dari kalangan pemerintah, akademisi, LSM, tokoh masyarakat dan lain-lain ini akan dapat berhasil dengan baik apabila kita memiliki kepedulian yang tinggi bagi upaya pelestarian dan pengembangan budaya bagi peningkatan peradaban manusia. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua, sehingga seminar ini dapat berhasil dengan baik. Oleh karena itu, dengan

memohon ridho Allah SWT maka dengan mengucap ”Bismillaahirrohmanirrokhim” dengan ini secara resmi Seminar Nasiona Taman Budaya Gunung Lawu saya nyatakan dibuka secara resmi.

Kepada para peserta selamat mengikuti seminar. Sekian terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

BUPATI KARANGANYAR

Hj. Rina Iriani Sri Ratnaningsih, S.Pd, M.Hum.

Page 7: Taman Budaya Gunung Lawu

3

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PIDATO KEBUDAYAAN REKTOR UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA DALAM MENYAMBUT PENCANANGAN TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU

Karanganyar, 16 Nopember 2005

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh, 1. Saudara Wakil Gubernur Jawa Tengah, 2. Saudara Bupati Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri,

Ngawi, Magetan, Madiun dan Ponorogo atau yang mewakili 3. Saudara Pimpinan Perguruan Tinggi di seputaran Gunung

Lawu 4. Para pakar di bidang sosial ekonomi, sosial budaya dan

konservasi lingkungan 5. Para pejabat pemerintah, baik pusat maupun daerah 6. Hadirin yang saya hormati.

Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul di sini dalam keadaan sehat wal’afiat.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada “Panitia Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” yang terdiri dari unsur Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta atas undangan yang disampaikan kepada saya. Kesempatan ini saya anggap penting karena merupakan sarana untuk memasyarakatkan visi dan misi Universitas Sebelas Maret dalam upaya pelestarian ekosistem Gunung Lawu dan sekitarnya dengan meningkatkan ekonomi masyarakat di pedesaan melalui pendekatan budaya. Dengan demikian ekosistem Gunung Lawu diharapkan dapat menjadi ikon UNS dan para pihak (stakeholder) dalam upaya pelestarian dan pemberdayaan Gunung Lawu secara integratif dengan memasukkan pula aspek sosial ekonomi dan sosial budaya. Dalam jangka panjang pola yang dikembangkan diharapkan dapat menguatkan atau bahkan menemukan kembali jatidiri

masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi kompetisi global.

Hadirin yang saya hormati, Kerusakan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

(lingkungan hidup) hampir selalu terkait dengan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat; sering kali berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, pertambahan penduduk dan budaya baru yang berkembang pada masyarakat; dapat pula akibat tekanan modal dari pihal luar. Secara tradisional masyarakat di sekitar kawasan konservasi umumnya telah dibekali oleh para leluhurnya dengan rambu-rambu kearifan tradisional untuk mencegah kerusakan lingkungan dan menjaga tercukupinya kebutuhan hidup secara berkesinambungan, akan tetapi perubahan kultur dan tekanan ekonomi sering kali mengubah pandangan hidup tersebut sehingga eksploitasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melebihi daya dukung alam untuk memulihkan diri, akibatnya terjadi kerusakan permanen yang tidak terbaharui. Oleh karena itu konservasi lingkungan di suatu kawasan tidak dapat meninggalkan upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di sekitarnya. Paradigma baru telah dikembangkan bahwasanya konservasi lingkungan adalah pemanfaatan secara berkelanjutan, bukan lagi memuseumkan sesuatu dalam artian memensiunkan sesuatu hingga kehilangan fungsinya dalam menyejahterakan umat manusia. Juga tidak berarti mengeluarkan masyarakat asli dari lingkungannya akibat dikonversi menjadi kawasan konservasi.

Hadirin yang saya hormati, Pendekatan budaya terhadap pemanfaatan sumberdaya alam

hayati dan non hayati secara berkelanjutan (sustainable) hampir selalu dimiliki setiap etnis tradisional di muka bumi ini. Sejak dulu, masyarakat asli (indigenous people) telah menjaga kelangsungan hidup di lingkungan lokal dan mengelola identitas budaya dengan menggunakan indigenous ecological knowledge. Pengetahuan ini memiliki beberapa padanan kata, namun dalam bahasa Indonesia lebih sering diterjemahkan sebagai kearifan tradisional. Selama ribuan tahun masyarakat asli telah menyusun berbagai

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Prof. Dr. dr. H. Much. Syamsulhadi, Sp.K.J.; Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126.

Page 8: Taman Budaya Gunung Lawu

4

praktek manajemen sumberdaya alam hayati dan non hayati secara lestari hingga pemanfaatannya dapat terus berlanjut hingga kini. Beberapa aspek manajemen sering kali membentuk sistem tradisional yang terintegrasi.

Pengetahuan tradisional merupakan bagian integral dalam pembangunan masyarakat asli. Pengetahuan merupakan kunci pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan yang berhasil sering kali harus memadukan pengetahuan tradisional dengan pengetahuan modern, tanpa hal ini pembangunan dapat melewati rel yang tidak seharusnya dan menimbulkan kemarahan. Oleh karena itu, aktivitas pembangunan, khususnya yang berpengaruh langsung kepada masyarakat perlu memperhatikan pengetahuan tradisional dalam desain dan tahap-tahap penerapannya.

Hadirin yang saya hormati, Budaya adalah kehidupan sehari-hari yang lahir dan hidup

dalam suatu masyarakat, dari hasil cipta rasa, karya, dan karsa. Hal ini mencakup semua aspek kehidupan, seperti sosial budaya, sosial ekonomi, dan konservasi lingkungan. Kepercayaan spiritual dan sains-teknologi merupakan nafas budaya sehari-hari. Salah satu puncak pencapaian kebudayaan adalah seni, dalam segala bentuknya, baik seni musik, seni tari, seni rupa/lukis, seni pahat, dan lain-lain. Seni sering kali merangkum simbol-simbol budaya yang hadir dalam suatu masyarakat, sehingga menggambarkan nafas keseharian suatu masyarakat, di suatu tempat, pada suatu masa. Layaknya manusia jawa purba (Homo erectus) yang meninggalkan lukisan di dinding gua, perhiasan, alat buru, alat masak dan artefak budaya lainnya yang menggambarkan keseharian mereka di gua-gua karst Pegunungan Sewu, pesisir selatan Pulau Jawa.

Hadirin yang saya hormati, Taman Budaya Gunung Lawu adalah suatu konsep/idea yang

dikembangkan untuk menggali dan mengedepankan budaya asli masyarakat di sekitar Gunung Lawu untuk mengambil “hidup” dari Gunung Lawu sekaligus menghidupi gunung itu, sehingga tumbuh budaya luhur, dimana manusia dan lingkungan tumbuh bersama secara lestari. Konsep ini tidak bermaksud untuk mengembalikan hidup kepada bentuk masa lalu, karena setiap masa memiliki permasalahannya sendiri-sendiri. Sebaliknya konsep ini dimaksudkan untuk mengambil intisari kebaikan kehidupan masa lalu untuk memperkaya bahkan melandasi kehidupan saat ini, dengan tetap memandang ke depan kepada hidup-hidup yang akan tumbuh di kemudian hari, bahkan setelah yang sekarang ini mati.

Secara topografis, konsep Taman Budaya Gunung Lawu ditujukan untuk kawasan yang terletak dari puncak Gunung Lawu hingga batas alam di kaki terjauh, sehingga di bagian barat dan utara berbatasan dengan sungai Bengawan Solo, di sebelah timur berbatasan dengan Kali Madiun (anak sungai Bengawan Solo), dan di selatan berbatasan dengan pegunungan Sewu dan

Laut Selatan. Secara kewilayahan, kawasan ini mencakup dua propinsi, yakni Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta delapan kabupaten, yaitu Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Madiun. Secara budaya, kawasan ini mencakup mataraman Solo, Madiun, dan Jogja.

Saudara-saudara yang saya hormati Karya besar bukanlah monopoli orang-orang besar dengan

talenta luar biasa dan intuisi yang jauh mendahului jamannya. Orang-orang biasa mampu pula menghasilkan karya-karya besar dan monumental sepanjang dilakukan secara tertata dalam sistem yang terkelola dengan baik. Oleh karena itu perlu adanya kesepahaman dan kerjasama akan konsep dan praktek yang akan dikerjakan dalam suatu kerjasama. Dalam rangka pengembangan Taman Budaya Gunung Lawu, Universitas Sebelas Maret mengulurkan tangan dengan terbuka kepada para pihak manapun yang bermaksud untuk berpartisipasi. Universitas Sebelas Maret juga membuka diri sepenuhnya apabila diperlukan sebagai fasilitator dalam kegiatan terkait dengan taman budaya tersebut.

Pada hari ini akan dilaksanakan penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding) antara Universitas Sebelas Maret dengan para bupati yang wilayahnya terletak dalam konsep Taman Budaya Gunung Lawu, yakni delapan kabupaten.

Hadirin yang saya hormati Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam

seminar nasional ini. Harapan saya semoga seminar ini dapat merumuskan konsep “Taman Budaya Gunung Lawu” dan dapat membantu menyusun langkah-langkah strategis dalam pembangunan sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan pelestarian lingkungan hidup di sekitar Gunung Lawu, sehingga dapat menjadi acuan bersama bagi pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten), industrialis, lembaga swadaya masyarakat, universitas, lembaga donor, dan para pihak lainnya yang melibatkan diri di dalamnya. UNS juga berharap, bermula dari seminar nasional ini dapat tercetus/terbentuk infrastruktur pendukung atau semacam Lawu Foundation, karena dengan bentuk kesepakatan kerja semacam itu akan lebih menjamin keberlangsungan usaha pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar Gunung Lawu.

Akhir kata saya ucapkan selamat berseminar, semoga itikad baik ini mendapat ridlo Allah SWT.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,

REKTOR UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Prof. Dr. dr. H. Much. Syamsulhadi, Sp.K.J.

Page 9: Taman Budaya Gunung Lawu

5

Page 10: Taman Budaya Gunung Lawu

6

Page 11: Taman Budaya Gunung Lawu

7

Page 12: Taman Budaya Gunung Lawu

8

Page 13: Taman Budaya Gunung Lawu

9

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TENGAH

SAMBUTAN WAKIL GUBERNUR JAWA TENGAH PADA SEMINAR NASIONAL TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU

Dengan Tema:

PENGUATAN EKONOMI PEDESAAN DALAM MENINGKATKAN HARKAT HIDUP RAKYAT KEBANYAKAN

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh, Salam Sejahtera untuk kita semua. Yth. Gubernur DIY dan Gubernur Jawa Timur, atau yang mewakili; Yth. Rektor UNS; Yth. Para pakar, cendekiawan dan budayawan; tamu undangan peserta seminar

PENDAHULUAN

Seraya memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, saya menyambut hangat diselenggarakannya Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian dan menyerap aspirasi berbagai pihak yang terkait dalam topografi Gunung Lawu, guna mewujudkan konsep Taman Budaya Gunung Lawu.

Seperti dimaklumi yang dimaksud Taman Budaya Gunung Lawu ialah suatu konsep maupun gagasan yang dikembangkan untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada kawasan Gunung Lawu, baik sebagai ekosistem, maupun sebagai tempat tujuan aktivitas spiritual (meditasi) bagi masyarakat di tiga propinsi (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta), khususnya yang masih memiliki kedekaatan emosional dengan kebudayaan Mataram.

Potensi tersebut perlu dilestarikan, bahkan dikembangkan, sehingga masyarakan di sekitar Gunung Lawu dapat hidup sekaligus menghidupi lingkungan gunung tersebut. Artinya terkondisi dan berkembang dinamis suatu budaya luhur di tengah-tengah kehidupan masyarakat terkait dalam topografi Gunung Lawu, yang antara manusia dan lingkungan tumbuh

bersama secara harmonis dan lestari, serta memberikan dayaguna bagi peningkatan kesejahteraan.

Konsep tersebut selain bermuatan nilai luhur, juga strategis artinya bagi pengembangan ekonomi kerakyatan yang berwawasan lingkungan, budaya, dan kesejarahan. Hal tersebut selaras dengan karakteristik jatidiri bangsa, khususnya masyarakat Jawa yang mengutamakan hidup dalam keseimbangan dengan alam. Ini seperti tercermin pada pandangan falsafah budaya, bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya merupakan jagad cilik yang menjadi bagian kehidupan alam raya yang merupakan jagad gedhe. Karena itu di antara keduanya senantiasa berlaku hubungan yang harmonis dalam keseimbangan. Artinya tetap terjaga, lestari dan sempurnanya kesejahteraan jagad cilik, tidalk lepas dari dukungan kesempurnaan dan keseimbangan fungsi jagad gedhe, sebagai habitat yang pada dasarnya menyediakan segala unsur yang dibutuhkan oleh jagad cilik.

Konsep nilai luhur tersebut termakna oleh ungkapan Mamayu Hayuning Bawana. Dengan demikian, manusia selaku jagad cilik berkewajiban untuk memelihara kelestarian dan keseimbangan ekologi lingkungan alam atau jagad gedhe bagi kesejahteraan masyarakat dan dirinya sendiri, baik yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, kultural, dan dapat terimplementasikan.

Sesuai dengan topik Penguat Ekonomi Pedesaan dalam Meningkatkan Harkat Hidup Rakyat Kebanyakan, saya berharap gagasan Taman Nasional/Budaya Gunung Lawu nantinya dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar Gunung Lawu, karena itu keterlibatan masyarakat perlu diikutsertakan. Hal ini merupakan manifetasi dari partisipasi bottom up yang berdayaguna untuk mengantisipasi kerusakan potensi baik dikarenakan oleh ketidaktahuan maupun yang disebabkan oleh faktor kemiskinan.

UPAYA DAN PERMASALAHAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Untuk disadari bersama, bahwa pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat, khususnya di pedesaan

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Drs. H. Ali Mufiz, MPA.; Wakil Gubernur Jawa Tengah

Page 14: Taman Budaya Gunung Lawu

10

melalui community development, merupakan suatu alternatif pembangunan yang diharapkan memunculkan masyarakat yang aktif dan pada gilirannya memunculkan masyarakat madani, sangat tergantung pada partisipasi seluruh anggota masayarakat.

Memberdayakan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkat kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan perkataan lain, memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Secara garis besar dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang timbul dalam situasi ketidakberdayaan, sebagai berikut: • Kelompok miskin sering tidak sengaja tersisih dari

proses pembangunan. Tiadanya informasi strategis, pengetahuan, pengelolaan dan fasilitas-fasilitas yang memberdayakan (informasi perencanaan, pengelolaan dan pelayanan hak dan perizinan) mengakibatkan mereka terjebak dalam kemelaratan. Prasarana pembangunan fisik tidak memberikan jaminan pembangunan yang merata dan berkesinambungan, ini harus dipadukan dengan transformasi mental, struktur dan perbaikan penghasilan.

• Tidak ada kesempatan bagi sektor swasta, situasi buntu. Praktek-praktek pembangunan sering kali tergantung pada sektor swasta, yang diharapkan membantu program-program pembangunan (termasuk pembangunan skala besar). Namun kemampuan pemodalan dan SDM sering kali terbatas, kecuali disiapkan terlebih dahulu dengan bantuan langsung dari pemerintah. Tanpa bantuan ini sektor swasta akan berusaha memanfaatkan sumberdaya lokal secara anarkis, opportunis yang tidak terpadu, yang merugikan masyarakat berpenghasilan rendah. Masalah utama adalah ”kemampuan” dan ”kapasitas” yang rendah sering meng-akibatkan kelompok miskin sering dipandang sebagai beban bagi masyuarakat sekitar daripada potensi pembangunan.

• Lingkungan unsur yang paling terlupakan. Permasalahan lingkungan (sosial, ekonomi dan fisik) secara konvensional cenderung telah mendapatkan prioritas rendah dalam pembangunan, baik oleh swasta maupun pemerintah. Lingkungan sering secara terpisah dipandang sebagai biaya ekonomis atau permasalahan dan sering tidak dianggap penting dalam pencapaian kesinambungan jangka panjang.

Kemiskinan di pedesaan dapat dilihat dari beberapa sudut, relatif maupun absolut. Dalam situasi saat ini kemiskinan absolut tampak lebih menjadi perhatian, dimana penguatan ekonomi pedesaan tidak lepas dari kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki, khususnya pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.

Di samping itu masyarakat miskin di pedesaan juga ditandai dengan ketidakberdayaan akibat penguasaan aset ekonomi yang minim dan aksesbilitas yang rendah terhadap sumber-sumber informasi, politik, teknologi dan dana. Kondisi ini terkesan potensi yang tersisa hanyalah semangat untuk memperoleh kehidupan dan tenaga kerja yang melekat pada dirinya. Dengan demikian kemiskinan itu disebabkan oleh struktuk masyarakat ekonomi yang tidak beres.

Lebih dari sekedar keterbelakangan dan kemiskinan, permasalahan utamanya adalah ketidakmampuan menghadapi perubahan lingkungan yang mengancam kesejahteraan, peningkatan resiko, ketidakjelasan dan penurunan harga diri. Keberadaan ini sering disebut sebagai vulnerability yang beresiko ancaman eksploitasi perubahan lingkungan terhadap aset-aset yang dikuasai untuk melakukan perlawanan. Dengan demikian vulnerability sangat erat hubungannya dengan penguasaan aset. Semakin rendah penguasaan aset akan semakin rendah beradaptasi terhadap pengaruh lingkungan, sehingga semakin tidak terjamin kehidupannya.

PENGUATAN EKONOMI PEDESAAN

Penguatan ekonomi pedesaan tidak cukup hanya dengan mengharapkan tetesan dari kebijaksanaan ekonomi makro dan program pembangunan yang hanya mampu bertumpu pada pembangunan saja. Trickle down effect sudah tidak lagi diyakini karena ketika terjadi suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terbukti tingkat kemiskinan tetap tinggi dan dianggap sebagai beban bagi sitem ekonomi secara keseluruhan dan pada saat krisis jumlah kelompok miskin melonjak sangat tajam.

Proses pembangunan masyarakat pedesaan harus mampu mengubah pola pikir dasar yang melihat keterbelakangan dan kemiskinan sebagai produk akhir dan sumber permasalahan. Mengubah patronasi yang menganggap bahwa hanya pemerintah yang mampu melakukan penanganan terbaik, serta menggeser ketergantungan kepada pemerintah dan menjadi aktor yang percaya diri yang terdukung oleh kemampuan. Untuk itu diisyaratkan adanya kepercayaan kepada kelompok masyarakat pedesaan dan penyerahan tanggung jawab untuk mengatasi permasalahan sendiri. Pola interaksi yang demokratis menjadi prasayarat lingkungan yang partisipatif.

Partisipasi komunitas sangat penting sebagai suatu prinsip dalam penguatan masyarakat karena terdapat beberapa keuntungan antara lain: • Rasa memiliki dari masyarakat terhadap rencana kerja dan

program yang disusun. • Membuka peluang ide-ide dari partisipan. • Memudahkan penyaluran bantuan sumberdaya. • Rasa memiliki akan menimbulkan kebersamaan, merasa

menjadi bagian dari proses pemecahan masalah. • Menumbuhkan rasa percaya diri karena menjadi bagian

penting dalam proses dan aktivitas suatu kegiatan. Sesuai dengan konsep penguatan yang merupakan suatu

gaya kerja dengan tujuan untuk membantu masyarakat mencapai apa yang diinginkan melalui peningkatan kapasitas dan kepercayaan diri, maka konsep partisipsi secara positif memadai untuk merealisasikan konsep pemberdayaan berarti sekaligus membantu masyarakat memperoleh tujuan mereka pada tingkat partisipasi yang disepakati, yang meliputi kegiatan-kegiatan membantu masyarakat untuk memahami, mengerti, melakukan proses pangambilan keputusan bersama, atau berpartisipasi secara aktif dalam berbagai inisiatif.

PARADIGMA PEMBANGUNAN KOMUNITAS EKONOMI PEDESAAN

Kerangka pemikiran ekonomi pedesaan terpijak pada paradigma pembangunan komunitas dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pembangunan.

Pendekatan perencanaan yang digunakan adalah advicacy & equity planning, dengan menekankan proses dialog dan transaksional di antara faktor. Sebelumnya telah disinggung bahwa pemberdayaan masyarakat pada dasarnya ialah memampukan dan memandirikan masyarakat. Upaya pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui langkah-langkah: • Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat berkembang (enabling). • Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat

(empowering) melalui langkah-langkah positif yang nyata, seperti penyediaan berbagai masukan dan pembukaan akses kepada berbagai peluang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya.

Page 15: Taman Budaya Gunung Lawu

11

• Melindungi dan pemihakan, sehingga dalam proses penguatan dan pemberdayaan harus dicegah yang lemah menghadapi yang kuat, karena kekurangberdayaannya.

Suatu lingkungan masyarakat yang enable mampu menumbuhkan suasana dialogis dan demokratis dimana setiap aktor (stakeholder) dapat melakukan transaksi dan saling belajar, sehingga tercipta suatu bangunan konsensus sosial (social guidance) dalam suatu masyarakat belajar (societal learning), sehingga tidak terjadi dikotomi antara top down dan bottom up. Selanjutnya penguatan (empowerment) potensi atau yang dimiliki masyarakat menjadi penting untuk membekali masyarakat pedesaan dengan kekuatan tawar (bargaining) dalam proses interaksi dengan stakeholder yang lain. Memperkuat masyarakat pedesaan dilakukan dengan mengorganisasi masyarakat dalam kelompok-kelompok swadaya masyarakat sekaligus sebagai wadah kegiatan aksi yang partisipatif. Bersamaan dengan pemberdayaan tetap diperlukan suatu proses perlindungan, advokasi dan pendampingan agar proses pemberdayaan dan penguatan ekonomi tetap pada jalur yang diharapkan.

Keterbatasan akses yang melekat pada kelompok masyarakat pedesaan perlu dicairkan. Menfasilitasi tidak hanya sekedar memberi stimulus berupa hibah ataupun bantuan keuangan, menciptakan akses kelompok masyarakat pedesaan terhadap sumberdaya adalah juga merupakan bagian penting dari proses penguatan dan pemberdayaan. Mereka akan mengampu swadaya apabila mempunyai akses yang cukup.

Pembangunan yang bertumpu pada kelompok atau community based development yang diwujudkan dengan pembentukan kelompok swadaya masyarakat mempunyai tujuan: • Mengembangkan dan meguji metode untuk mengendalikan

proses pengembangan masyarakat yang agak anarkis dan tidak terencana dimana masukan (misalnya prasarana fisik atau pelatihan keterampilan) dapat mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkan partisipasi komunitas dan sektor swasta.

• Mendorong tumbuhnya inisiatif komunitas dan sumber daya lokal untuk revitalisasi proses pengembangan masyarakat yang optimal dan terarah.

• Memberi kemudahan bagi transformasi sosial ekonomi masyarakat pedesaan ke arah proses pemberdayaan dengan konsep “Tribina” yang terpadu secara sosial, fisik dan ekonomi.

• Melalui pembangunan “Tribina”, pembangunan fisik dapat dikaitkan dengan upaya untuk mendorong pembangunan ekonomi di tingkat pedesaan, khususnya yang berupa upaya peningkatan pendapatan dan pembentukan mekanisme local institusional support.

• Mengembangkan lembaga-lembaga setempat dan mekanisme-mekanisme yang menempatakan kelompok masyarakat secara demokratis, serta memberikan kepercayaan dan tanggung jawab dalam pengelolaan aktifitas pembangunan masyarakat.

Pembangunan yang bertumpu pada kelompok merupakan suatu usaha bebas, sistematis dan terpadu dengan maksud ”mengembangkan” kapasitas kelompok masyarakat pedesaan

yang menurun akibat krisis. Sasarannya adalah menempatkan kelompok masyarakat sebagai aktor-aktor prioritas utama dalam proses pembangunan ekonomi, sosial dan fisik secara demokratis. Setiap usaha pembangunan fisik maupun perbaikan prasarana hendaknya diarahkan sebagai usaha terpadu dalam rangka mendukung usaha peningkatan ekonomi kelompok masyarakat pedesaan, tidak hanya pengalihan dana agar dapat bertahan hidup dalam situasi krisis. Demikian halnya dengan pelatihan ketrampilan hendaknya mendukung peningkatan kemampuan/ kegiatan ekonomi yang ada.

HARAPAN DAN WACANA KUNCI

Melalui seminar ini diharapkan berbagai uraian yang saya ketengahkan tersebut dapat dikaji dalam pembahasan yang lebih mendalam, obyektif dan komprehensif, serta dicarikan formula dengan kondisi aktual yang ada di lapangan. Hendaknya dari forum ini dapat dirumuskan berbagai formulasi langkah-langkah praktis yang mudah dipahami dan tepat guna untuk dilaksanakan masyarakat, sehingga partisipasinya mampu terakselerasi secara produktif dan berhasil guna optimal.

Saya mengapresiasi dan mendukung ditandatanganinya nota kesepahaman mengenai Taman Budaya Gunung Lawu antara institusi pendidikan UNS dan delapan Pemerintah Kabupaten yang terletak di kawasan Gunung Lawu. Nota kesepahaman tersebut akan menjadi alngkah awal sangat baik dalam mewujudkan terbangunnya Taman Budaya Gunung Lawu sesuai yang diharapkan bersama.

Berkaitan dengan tujuan tersebut, satu kunci yang saya minta dapat diterjemahkan sebaik-baiknya, yakni bahwa apapun langkah dan usaha yang ditempuh dalam menciptakan jejaring memberdayakan lokal genius yang ada, perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak merusak lingkungan.

Hadirin yang berbahagia Demikian sambutan kunci yang dapat saya sampaikan

menyertai forum ini. Selanjutnya dengan mengucap “Bismillaahirrohmanirrokhim” secara resmi Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu saya “Buka”.

Selamat beraktifitas, semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi dan memberikan petunjuk, kemudahan serta kekuatan lahir batin terhadap uasaha kita.

Sekian terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,

WAKIL GUBERNUR JAWA TENGAH

Drs. H. Ali Mufiz, MPA.

Page 16: Taman Budaya Gunung Lawu

12

MENTERI KOORDINATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT

SAMBUTAN MENKO KESRA DALAM SEMINAR NASIONAL TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU TANGGAL 16 DAN 17 NOPEMBER 2005 DI KARANGANYAR SOLO

Tentang:

KONSEP WARISAN DUNIA

Yth. Gubernur Jawa Tengah Yth. Gubernur Jawa Timur Yth. Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Jogyakarta Yth Para Bupati di sekitar Gunung Lawu Bapak Prof. Dr. Emil Salim, dan Para hadirin peserta seminar yang berbahagia.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh, Saya menyambut baik prakarsa LPPM UNS (Lembaga

Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret) dalam upaya pelestarian Gunung Lawu karena kerusakan keanekaragaman hayati pada ekosistem alami berkorelasi dengan budaya masyarakat sekitar, sehingga konservasi biodiversitas di suatu kawasan harus merupakan pemanfaatan secara berkelanjutan dan tidak dipisahkan dengan budaya. Karena secara tradisional masyarakat di sekitar kawasan konservasi pada umumnya telah dibekali oleh para leluhur dan nenek moyang mereka dengan rambu-rambu kearifan tradisional untuk mencegah kerusakan lingkungan dan menjaga tercukupinya kebutuhan hidup secara berkesinambungan.

Perkembangan teknologi dan pengetahuan telah mengakibatkan perubahan kultur dan tekanan ekonomi pada kehidupan mereka, sering mengubah pandangan hidup mereka, sehingga ekploitasi sumber daya alam dan lingkungannya dilakukan melebihi daya dukung dan kewajaran, akibatnya sebagaimana kita lihat di beberapa daerah telah terjadi kerusakan yang sulit untuk diperbaharui. Oleh sebab itu pelestarian lingkungan alam dan budaya merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari, apabila kita menginginkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan tersebut.

Harapan kami dengan seminar ini mudah-mudahan dapat

ditingkatkan kesadaran bersama akan pentingnya upaya perlindungan, pelestarian, penelitian dan pemanfaatan alam dan budaya masyarakat sekitar Gunung Lawu secara aman dan lestari, dan diharapkan pula dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, dan dampaknya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, sehingga pembangunan dalam dilaksanakan secara berkesinambungan.

Hadirin, Sesuai dengan permintaan panitia saya diminta untuk

menyampaikan materi tentang konsep warisan dunia (world heritage). Secara garis besar waris dan dunia dibagi menjadi tiga yaitu warisan budaya, warisan alam dan campuran antara budaya dan alam. Oleh karena warisan budaya dan alam dunia merupakan warisan seluruh umat manusia, maka upaya untuk menjaga dan melestarikannya diperlukan keterlibatan semua pihak, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, organisasi non pemerintah, masyarakat setempat serta para pemerhati bahkan masyarakat dunia.

Tujuan dari pengusulan suatu kawasan menjadi warisan dunia adalah agar kelestarian situs atau kawasan tersebut mendapat perhatian yang lebih memadai baik secara nasional, maupun internasional, sehingga terjamin kelestariannya. Perhatian masyarakat internasional terhadap warisan dunia mulai terakumulasi sejak tahun 1972 yaitu dengan diadopsinya Konvensi mengenai Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia oleh seluruh negara anggota UNESCO. Sejak saat itu hingga tahun 2005 telah terdaftar sebanyak 754 warisan dunia yang tersebar di 129 negara. Dari jumlah tersebut 582 di antaranya merupakan warisan budaya dunia, 149 warisan alam dunia dan 23 warisan campuran budaya dan alam.

PBB juga mengungkapkan pertumbuhan kawasan lindung di seluruh dunia sejak pertengahan abad ke-20. Kawasan lindung pertama kali adalah Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat, yang mulai ditetapkan sejak tahun 1872. Selanjutnya pada awal tahun 1960-an ditetapkan sekitar 10 ribu kawasan lindung di seluruh dunia yang tumbuh terus hingga lebih dari 100 ribu kawasan sampai saat ini, termasuk Greenland seluas 97 juta ha. Sekarang ini hutan lindung dunia telah lebih dari 18 juta

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Dr. Risman Musa, MA; Deputi Bidang Agama, Budaya & Pariwisata, Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat

Page 17: Taman Budaya Gunung Lawu

13

hektar dari 2 juta hektar tahun 1962. Kawasan lindung bukan sekedar konsep yang unik, namun juga sebuah jaminan keberlangsungan warisan dunia paling berharga. Komitmen pemerintah dari berbagai negara sangat besar yang ditandai dengan bertambahnya kawasan lindung sebesar 49% dalam satu dasawarsa.

Di Indonesia saat ini tercatat lebih dari 20 juta ha kawasan lindung. Sebanyak 60% terdiri dari Taman Nasional berjumlah 41 konservasi. Meskipun demikian masih terdapat banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan antara lain pencurian kayu baik dalam skala apapun. Sampai tahun 2005, Indonesia telah memliki delapan warisan dunia berupa empat warisan budaya dunia yaitu Candi Borobudur, Komplek Candi Prambanan dan Situs Manusia Purba Sangiran; serta empat warisan alam dunia, yaitu TN. Ujung Kulon, TN. Komodo, TN. Pegunungan Lorentz, serta klaster TN. Gunung Leuser, TN. Kerinci Seblat dan TN. Bukit Barisan Selatan. Apabila dibandingkan dengan negara-negara besar di Asia lainnya yang dimiliki oleh Indonesia relatif masih sedikit, misalnya tahun 2004 Cina memiliki 29 situs warisan dunia, India memiliki 24 situs dan Jepang memiliki 11 situs. Sementara itu Indonesia memiliki cukup banyak situs dan kawasan yang potensial untuk diusulkan sebagai warisan dunia, sehingga di masa-masa yang akan datang perlu adanya penangangan yang baik untuk mengusulkannya sebagai warisan dunia.

Saat ini usulan telah dilakukan di beberapa daerah misalnya usulan Pegunungan Muller sebagai warisan alam dunia. Proses pengusulan sudah hampir 3 tahun, tetapi belum berhasil, mengingat keberadaan Pegunungan Muller mencakup tiga propinsi dan beberapa kabupaten yaitu Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Timur, sehingga memerlukan waktu yang panjang karena untuk dapat diproses terlebih dahulu harus ada persetujuan dari DPRD masing-masing propinsi.

Di samping itu Pemerintah Republik Indonesia juga telah mengusulkan Marine World Heritage yang meliputi Kepulauan Banda Neira, Kepulauan Derawan, TNL Bunaken, TN. Takabonerate, Kepulauan Raja Ampat, dan Kepulauan Wakatobe. Di samping itu Indonesia bersama Malaysia telah mengusulkan kawasan Trans Border Word Heritage Site di wilayah perbatasan berupa kawasan konservasi yaitu: TN Betung Kerihun di Kalimantan Barat. Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila Gunung Lawu akan diusulkan sebagai warisan dunia yang merupakan campuran antara kultural dan natural maka perlu persiapan yang matang, di samping perlunya sosialisasi kepada stakeholder dan masyarakat, mengingat kawasan Gunung Lawu meliputi dua propinsi, yaitu: Jawa Tengah dan Jawa Timur juga meliputi delapan kabupaten.

Oleh sebab itu kegiatan saat ini yang diprakarsai oleh LPPM UNS bersama Pemerintah Kabupaten Karanganyar dengan dukungan Propinsi Jawa Tengah dan kerjasama dengan penduduk di lingkungan Gunung Lawu merupakan langkah yang tepat untuk memperoleh kesatuan pendapat dan kesepakatan bersama, tidak hanya kalangan eksekutif tetapi harus pula melibatkan unsur-unsur legislatif, berupa persetujuan dari DPRD baik tingkat propinsi masing-masing maupun DPRD kedelapan kabupaten yang terletak di sekitar Gunung Lawu.

Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh UNESCO suatu kawasan dapat diusulkan sebagai warisan dunia sekurang-kurangnya harus memenuhi 4 kriteria yaitu: (i) kawasan harus menunjukkan bukti sejarah alam, proses evolusi bumi yang telah berlangsung amat lama; (ii) memiliki formasi biologi yang amat

berharga karena keindahan dan nilainya bagi ilmu pengetahuan; (iii) merupakan habitat flora dan fauna, yang memiliki nilai yang amat berharga bagi konservasi dan ilmu pengetahuan; (iv) memiliki nilai konservasi, keindahan dan berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan kriteria kawasan warisan budaya dunia adalah adanya peninggalan masa lalu, yang berdasarkan sifatnya berupa sekelompok situs cagar budaya yang menggambarkan kontinuitas kebudayaan atau merupakan tempat tinggal beberapa generasi yang berbeda dalam kurun waktu yang lama. Dapat pula berupa bangunan hasil karya arsitektur, karya monumental, atau bagian dari suatu struktur benda purbakala.

Dalam proses sosialisasi untuk pengusulan sebagai warisan dunia beberapa pertanyaan selalu akan diajukan oleh masyarakat antara lain apa keuntungan yang diperoleh apabila suatu kawasan menjadi warisan dunia? Warisan dunia sebenarnya merupakan penghargaan dunia internasional bagi pemerintah dan masyarakat yang telah berhasil mempertahankan nilai keindahan, keragaman hayati dan keunikan lokasi tersebut. Tentunya kita akan bangga apabila lokasi di wilayah kita akan menjadi warisan dunia karena dapat merupakan promosi bagi lokasi/daerah untuk meningkatkan investor/PAD serta meningkatkan status perlindungan lokasi tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah dengan status warisan dunia akan menghilangkan kedaulatan atau hak kita di lokasi warisan dunia? Apakah dengan status sebagai warisan dunia akan meningkatkan bantuan Luar Negeri bagi kawasan tersebut? Masih banyak pertanyaan lain yang akan muncul yang pada prinsipnya dengan peningkatan status sebagai World Heritage akan memperkenalkan kawasan tersebut ke seluruh dunia. Di samping itu tanggung jawab kita juga akan bertambah karena kalau sampai pengelolaannya tidak benar maka mata dunia internasional akan menilai kita tidak mampu dalam pengelolaan oleh sebab itu harus ada lembaga pengelola yang bertanggung jawab terhadap manajemen kawasan tersebut.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada umumnya keberadaan kawasan/situs warisan dunia berada di dekat atau bahkan berada di tengah-tengah pemukiman penduduk, sehingga tidak akan terlepas dari berbagai konflik kepentingan yang terkait dengan masyarakat yang ada di sekitarnya, sehingga diperlukan kejelasan status kepemilikan yang ditetapkan secara yuridis. Adanya perbedaan kepentingan tersebut dapat dimaklumi, karena masyarakat juga ingin memanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka, namun demikian harus diantisipasi sedini mungkin agar dampaknya tidak meluas dan dapat mengancam kondis kelestariannya, yang pada gilirannya akan merugikan nama bangsa dan negara di forum internasional.

Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan selamat berseminar mudah-mudahan hasil seminar ini bermanfaat dalam upaya kita untuk melaksanakan konservasi sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat khususnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,

A.N. MENKO KESRA DEPUTI BIDANG AGAMA, BUDAYA DAN PARIWISATA

Dr. Risman Musa, MA.

Page 18: Taman Budaya Gunung Lawu

14

PENGUATAN BUDAYA SEBAGAI BASIS PEMBANGUNAN KOMPREHENSIF

PENDAHULUAN

Kita menghadapi banyak tugas dan tantangan berat seperti: • Peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan • Pengembangan ekonomi dan industri • Pembangunan prasarana jalan, pelabuhan, tenaga listrik,

dan lain-lain • Pengembangan sarana kesehatan, pendidikan, pemukiman,

dan lain-lain • Penerusan gerakan reformasi, demokratisasi, desentralisasi

dan lain-lain Keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan menghadapi

tantangan di atas tidak hanya tergantung pada tersediannya anggaran, tetapi terutama ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu: • Berpendidikan • Berpengalaman • Bermotivasi tinggi • Peka pada sistem nilai

Kepekaan pada sistem nilai kurang banyak dikembangkan. Sejak dahulu telah dicanangkan pembangunan manusia seutuhnya, tetapi sampai sekarang pengembangan SDM belum utuh. Sekolah lebih banyak memberi ilmu, tetapi kurang mengembangkan kepekaan pada nilai dan pembentukan sikap/perilaku yang positif. Pemerintah sangat mengutamakan pembangunan ekonomi dan prasarana, tetapi kurang menggarap pembangunan sosial budaya. Masyarakat terbawa, lebih banyak memperhatikan ukuran fisik dan uang daripada keluhuran budi dan nilai-nilai. Banyak cendekiawan/budayawan menyadari ketimpangan ini, tetapi belum sempat mengembangkan gerakan budaya.

Pada saat ini ekonomi kita sedang terpuruk, inflasi tinggi, pengangguran terus meningkat, hutang negara masih bertumpuk. Sumberdaya alam menipis, minyak hampir habis, hutan menyusut, ikan terkuras oleh penjarah. Salah satu yang menolong kita tetap survive dan bertahan tidak runtuh adalah modal sosial dan modal budaya yang kita miliki. Modal inipun sudah mulai melemah, seperti terlihat pada maraknya tawuran, anarki, korupsi, mandegnya kreativitas dan lain-lain. Modal sosial dan modal budaya perlu diperkuat sebagai landasan membangun ke masa depan.

PUSAKA ALAM DAN BUDAYA

Alam yang indah, subur, dan kaya tradisi, kearifan, keterampilan, peninggalan sejarah dan nilai yang terkandung, karya seni, ilmu dan teknologi merupakan pusaka yang menjadi modal bagi kehidupan yang lebih baik. Manusia adalah modal dasar pembangunan nasional. Sebagai fondasi ia harus kuat memikul beban dan tugasnya. Penanggulangan kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan penyediaan dana saja. Pembangunan prasarana dan sarana tidak cukup hanya dengan rekayasa teknis saja. Reformasi tidak akan berhasil hanya dengan membentuk dan merubah lembaga-lembaga. Meskipun ada dana, mekanisme dan institusi kalau tidak didukung sumberdaya manusia yang berkualitas, hasilnya akan menyedihkan.

Dalam suasana serba terpuruk, dimana banyak orang merasa tidak berdaya dan tidak punya harapan, yang paling diperlukan adalah membangun semangat dan percaya diri. Tunjukkan bahwa kita mampu berbuat. Berbagai ketimpangan yang berangkat dari pola pikir kebendaan banyak mendominasi masyarakat, terutama di perkotaan. Perlu segera digali dan direvitalisasi budaya masyarakat yang bertumpu pada keluhuran budi dan keselarasan alam; budaya masyarakat yang peka pada sistem nilai secara utuh, dan bukan hanya mengutamakan ukuran fisik dan uang saja. Ada dua sisi ekstrim pada masyarakat, yaitu: Ekstrim 1, tidak percaya diri dan tidak punya jatidiri. Ekstrim 2, over confident: budaya adiluhung tanpa cela.

Budaya adalah totalitas hasil olah rasa, pemikiran, perencanaan, dan pebuatan manusia yang mencakup tata kehidupan bermasyarakat, tata pemerintahan, ilmu dan teknologi, kesenian dan lain-lain. Dalam skema ini sebagai awal ingin disentuh sisi kesenian yang merupakan bentuk-bentuk ekspresi perasaan yang bergejolak dalam kalbu manusia/masyarakat. Sebagai awal ingin disentuh kesenian masyarakat di pedesaan, karena ia merupakan bentuk dasar yang masih dekat pada alam, dan kehidupan masyarakatnya relatif masih guyub. Meskipun diawali dengan menyentuh kesenian masyarakat di pedesaan, gerakan budaya ini berangsur-angsur diharapkan akan meluas dan menjangkau pembangunan yang komprehensif.

Upaya revitalisasi seni-budaya masyarakat di pedesaan dapat dirintis dengan mengajak masyarakat menyadari, menghayati, menikmati dan menghargai aset budaya yang dimiliki. Warga diajak untuk menggairahkan kembali kesenian lokal yang mereka miliki. Berbagai kelompok seni didorong untuk aktif. Fasilitator membantu meningkatkan kualitas karya mereka. Pemuda dan anak-anak didorong untuk membentuk kelompok-kelompok hobi berkesenian di sekolah atau di lingkungan tempat tinggalnya. Sanggar-sanggar diaktifkan sebagai sarana pen-didikan dan latihan memupuk potensi baru. Kegiatan-kegiatan yang

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Ir. Suhadi; Direktur Eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia Jakarta

Page 19: Taman Budaya Gunung Lawu

15

mengairahkan kehidupan berkesenian dikembangkan. Rintisan dapat dimulai dengan kegiatan sederhana misalnya

menggairahkan dolanan anak tradisional, muda mudi dengan gending dan tarinya, ibu-ibu dengan kotekan lesungnya, bapak-bapak dengan selawatan, dan lain-lain. Di sini belum akan dihasilkan karya seni yang canggih, tetapi yang penting adalah terbangunnya suasana gairah berkesenian di masyarakat sebagai wahana olah rasa, terjalinnya komunitas yang guyub, serta sarana mengasah kepekaan pada sistem nilai. Bagi sementara pihak, upaya ini terlihat terlalu rumit dan tidak sejelas membangun proyek fisik. Tetapi melihat pengalaman pendampingan unsur kampus, LSM, dan sanggar di masa lalu, peluang suksesnya upaya ini cukup besar. Skema ini bertumpu pada gerakan masyarakat, inisiatif dan kekuatan masyarakat, dimana pemerintah daerah berperan memfasilitasi dan membantu terselenggaranya proses tersebut. Perlu digunakan berbagai sarana yang tersedia.

Diusahakan membangun suasana kehidupan seni-budaya pedesaan yang vibrant, semarak, bergairah, dan produktif. Diusahakan mengasah kepekaan warga pada nilai-nilai dalam kehidupan nyata melalui apresiasi dan ekspresi seni. Rintisan ini dimulai dengan sesuatu yang ringan, menyenangkan, menggairahkan, dan dirasakan manfaatnya. Masyarakat diajak enjoy menikmati apa yang sudah lama dimiliki tetapi kurang disadari dan diperhatikan. Tidak perlu terlalu banyak pidato dan petuah-petuah, lebih baik digulirkan kegiatan murah-meriah yang membangun semangat.

LEARNING BY DOING

“Mengalami” jauh lebih efektif daripada “mendengar” atau “melihat”. Kegiatan kesenian menyentuh hati/rasa. Berkembang-nya kegiatan kesenian yang meluas di masyarakat dapat membantu: • Membangun keguyuban dan kerukunan warga. • Membangun percaya diri dan jatidiri. • Memahami dan menghargai seni budaya sendiri. • Ingin tahu dan memahami budaya orang lain. • Memahami pluralitas dan menghargai budaya masyarakat

lain. Jika kepekaan hati/rasa sudah berkembang, akan mudah

menangkap: • Nilai kehidupan sosial yang harmonis dan berkualitas. • Perkembangan ekonomi yang adil dan dinamis. • Kelestarian alam/lingkungan yang berkelanjutan. • Penguatan budaya secara utuh/komprehensif.

Kegiatan seni tidak hanya membangun keguyuban, tetapi juga dapat membawa dampak ekonomi secara lokal. Di sini yang paling dekat dan cepat terkait adalah seni kerajinan/handicrafts. Produk kerajinan dapat ditingkatkan mutunya, diperkuat kandungan budaya lokalnya, dan dikembangkan pemasarannya sehingga dapat mengangkat ekonomi lokal. Seni pentas, musik, sastra, seni rupa dan pengembangan pariwisata budaya juga dapat sangat membantu pengembangan ekonomi lokal dan perluasan kesempatan kerja. Pencari kerja di sektor informal tidak perlu semua menyerbu kaki lima. Industru kreatif dapat membawa kesempatan kerja, jika kita cukup kreatif mengolah potensi.

Kepekaan menghayati keselarasan alam, terutama pada budaya berbasis alam, mendorong masyarakat untuk sadar dan peduli pada kelestarian alam. Kearifan lokal untuk pemanfaatan alam secara berkelanjutan (pelestarian alam) dapat digali dan terus diperkuat sebagai kekuatan masyarakat yang efektif, di samping hukum formal. Gerakan pelestarian ini menyatu dengan acara dan tradisi masyarakat bersih desa, ruwatan, pengendalian

eksploitasi sumber daya alam dan lain-lain. Gerakan pelestarian dengan penanaman pohon produktif, budidaya ternak, pengolahan limbah dan lain-lain juga dapat menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan. Gerakan budaya dapat mendorong membentuk sikap/perilaku kerja keras, produktif, efisien, teliti, tepat waktu, dan menjamin kualitas. Etika bisnis perlu lebih serius digarap, jangan cuma mau jalan pintas, cepat untung, tetapi saling mematikan. Ini sangat penting jika kita ingin mengembangkan bisnis yang dapat bersaing di lingkup nasional dan internasional. Pada saat ini, kualitas ini kurang dikembangkan sehingga kemajuan kita relatif lambat jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Pengembangan budaya yang sehat merupakan landasan utama dalam membangun ekonomi lokal, nasional, dan global.

Banyak potensi ekonomi lokal yang belum sempat diolah. Banyak peluang sinergi yang belum dirangkai. Banyak potensi budaya yang dapat mendukung ekonomi. Banyak peluang kesempatan kerja yang belum digarap. Berbagai peluang dan potensi perlu lebih dicermati agar dapat direalisasikan sebagai aset yang positif. Budaya yang sehat juga merupakan landasan utama dalam membangun tata pemerintahan yang baik (good governance). Kita sibuk menyiapkan struktur, prosedur, dan analisis teknis, tetapi sering lupa kualifikasi personil (terutama watak dan perilakunya). Di berbagai lembaga banyak personil yang berpendidikan tinggi, berpengalaman luas, tetapi kurang peka pada sistem nilai. Partai politik lebih banyak bertarung memperjuangkan kepentingan kelompoknya daripada membangun sinergi untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu, perlu dikembangkan budaya politik dan pemerintahan yang peka dan responsif.

Budaya merupakan totalitas hasil rasa, karsa, cipta, dan karya manusia, yang membedakannya dari kelompok lain. Penguatan nilai budaya juga merupakan landasan dan pra kondisi bagi pembangunan yang menyeluruh, namun penguatan budaya kurang mendapat prioritas dan sumberdaya, dibandingkan dengan pembangunan fisik dan ekonomi. Apakah para cendekiawan, budayawan, dan masyarakat luas tidak tergugah untuk melancarkan gerakan budaya? Apakah kita tidak ingin mendorong pembangunan ekonomi, fisik/prasarana, dan sosial yang bertumpu pada budaya kita? Gerakan budaya dan pembangunan berwawasan budaya bukanlah suatu impian dan kemustahilan. Pengembangan Taman Budaya Gunung Lawu adalah suatu rintisan konkrit, yang dimulai dari skala kecil secara bottom-up. Rintisan ini dapat dimulai secara sederhana dari kesenian masyarakat pedesaan, dan meluas ke arah pembangunan komprehensif.

Skema ini tidak menyajikan suatu cetak biru (blueprint) yang lengkap dan ketat dengan rencana pelaksanaannya. Skema ini menyajikan suatu road-map, dimana masing-masing daerah dapat memilih menu yang sesuai situasi dan kondisinya; yang penting adalah memperkuat budaya sebagai landasan, membangun kesadaran, semangat, dan sinergi dalam proses bertahap dan mengembangkannya secara incremental menembus batas sektor, dan kewilayahan.

MENGAPA DIMULAI DARI DESA?

• Masyarakat desa relatif lebih murni dan dekat ke alam. • Masyarakat desa lebih mudah guyub dan berkelompok. • Luas daerah dan jumlah penduduk kecil, tidak terlalu

komplek. • Desa dapat menyumbang proses yang positif, dan memberi

kota contoh budaya yang sehat dan pembangunan yang bijak dan serasi.

Page 20: Taman Budaya Gunung Lawu

16

• Desa dapat mengembalikan jiwa alam dan budi luhur kedalam kehidupan yang sudah didominasi kebendaan dan keserakahan.

BAGAIMANA MELAKSANAKAN SKEMA INI?

Pengembangan Taman Budaya Gunung Lawu merupakan gerakan masyarakat, kerjasama warga delapan kabupaten di Gunung Lawu, yang difasilitasi oleh 8 pemerintah kabupaten dan dikawal oleh perguruan tinggi dan LSM. Dalam rancangannya diusulkan organisasi pelaksanaan tidak merupakan struktur birokrasi pemerintahan, tetapi diayomi oleh bupati dan difasilitasi oleh berbagai instansi. Gerakan Taman Budaya Gunung Lawu mempunyai Dewan Pembina yang terdiri dari 8 bupati di Gunung Lawu, serta Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh/pakar di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten. Sekretariat Bersama dikoordinasikan oleh Sekretaris I yang dijabat oleh UNS dan Sekretaris II yang dijabat oleh Budayawan. Pengelolaan keuangan ditangani oleh Bendahara. Sekretariat Bersama mempunyai 4 bidang yaitu, Bidang Perencanaan, Bidang Sosial-Budaya, Bidang Lingkungan Hidup, dan Bidang Ekonomi. Di kabupaten terdapat Kelompok Kerja Kabupaten yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Kemungkinan anggota bidang-bidang tersebut: • Bappeda/Dinas terkait dari delapan kabupaten. • Perguruan Tinggi. • LSM. • Tokoh masyarakat.

Di tingkat kabupaten dapat dibentuk Kelompok Kerja Kabupaten sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.

Pembangunan Nasional yang Menyeluruh

Pengembangan Komprehensif Skala Propinsi

Pembangunan Komprehensif yang Seimbang dan Selaras di Kabupaten

Pembangunan Komprehensif yang Seimbang dan Selaras di Kecamatan

Penguatan Pemahaman dan Kerjasama Lintas Sektor di Pedesaan

Penguatan Kesadaran, Kepekaan, Keguyuban Kegairahan Komunitas

BEBERAPA KALIMAT KUNCI:

• Learning by doing, belajar sambil mengerjakan. • Mulai dengan yang menyenangkan dan dirasakan manfaatnya • Mulai dengan yang mudah, sederhana, dan terjangkau

masyarakat. • Membangun semangat dan keguyuban warga. • Mengasah kepekaan pada sistem nilai. • Bertumpu pada kekuatan dan kondisi riil. • Bertumpu pada gerakan masyarakat. • Harus memberi manfaat nyata pada warga.

Page 21: Taman Budaya Gunung Lawu

17

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT (COMMUNITY-BASED TOURISM - CBT) PEDESAAN DAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

PENGANTAR

Akhir-akhir ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia mulai berpaling untuk lebih memberdayakan pengembangan wisata alternatif atau biasa disebut special interest tourism (SIT) sebagai upaya untuk mengantisipasi menurunnya kepopuleran pariwisata masal, karena sejak tahun 1990-an pariwisata masal sebagai mainstream tourism telah mencapai puncak perkembangannya dan mulai menurun. Di samping itu masyarakat juga mulai menyadari bahwa pariwisata masal memberikan pengaruh negatif baik secara sosial, budaya maupun lingkungan di samping pengaruh positif. Salah satu dampak pariwisata masal yang telah teridentifikasi adalah adanya kerusakan ekosistem karena carrying capacity (kemampuan suatu tempat untuk menerima kunjungan pada suatu saat) tidak diperhatikan, seperti misalnya lereng Gunung Lawu yang dulunya merupakan hamparan padang bunga edelweiss saat ini mengalami kerusakan serius, sehingga ekosistem di sekitarnya ikut terganggu.

Ekowisata sebagai salah satu bentuk wisata alternatif dianggap sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan karena dapat memberikan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengembangan kemampuan berusaha (Scheyvens, 2000), serta memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mengontrol penggunaan sumber daya alam di daerah tertentu sebagai salah satu aset kegiatan ekowisata (Ashley dan Roe, 1997). Ekowisata memanfatkan sumber-sumber daya alam atau daerah-daerah yang relatif belum berkembang (dengan budaya aslinya) dengan bercirikan: mempromosikan konservasi alam, memberikan dampak sesedikit mungkin terhadap lingkungan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat (Ceballos-Lascurain, 1996).

Berkembangnya SIT juga didukung oleh munculnya kesadaran masyarakat terhadap sustainable development, sehingga tuntutan untuk berwisata sekaligus pelestarian alam menjadi bagian dari pariwisata internasional. SIT ini ditandai dengan beberapa ciri khusus di antaranya adalah berskala kecil, mengutamakan pemanfaatan daya tarik wisata (tourist attractions) secara maksimal dengan efek minimal serta memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Ciri-ciri inilah yang

membuat aliran baru pariwisata ini berkembang pesat, karena semakin hari semakin banyak wisatawan yang memperhatikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Di Indonesia sendiri pariwisata minat khusus ini mulai dikembangkan secara serius sejak tahun 1990-an dengan dibangunnya beberapa atraksi wisata yang berkaitan erat dengan ekowisata, misalnya beberapa desa wisata di Bali dan community-based ecotourism enterprises (ekowisata berbasis masyarakat) di Taman Nasional Gunung Halimun sebagai salah satu percontohan pengembangan ekowisata yang memanfaatkan taman nasional sebagai daerah tujuan utama (Ernawati, 2004; 2005). Makalah ini bertujuan untuk mendiskusikan wisata alternatif yaitu community-based tourism (CBT) dalam kaitannya dengan masyarakat pedesaan dan lingkungan dengan mengangkat ekowisata sebagai salah satu wisata alternatif sebagai pokok pembahasan.

EKOWISATA

Weaver (2001) menyatakan bahwa ekowisata merupakan kegiatan pariwisata berskala kecil yang memanfaatkan alam sebagai atraksi utamanya, yang dilakukan secara berkelanjutan dengan mencakup pelestarian alam, budaya dan ekonomi serta pada saat yang bersamaan memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk mengapresiasi serta mempelajari alam dan komponen-komponennya. Senada dengan hal itu Zeppel (1999) secara lebih luas mendefinisikan ekowisata sebagai suatu kegiatan wisata yang berdasar pada sumber daya alam yang berkelanjutan dengan memasukkan juga unsur-unsur dinamika sosial dan budaya, dimana wisatawan berinteraksi dengan masyarakat lokal di taman-taman nasional atau daerah tujuan wisata (DTW). Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa ekowisata merupakan pilihan yang cukup ideal untuk pengembangan pariwisata Indonesia di masa depan karena adanya prasyarat yang harus dipenuhi oleh penyelenggara ekowisata tersebut. Untuk konteks Australia, Queensland sudah membuat peraturan daerah (PERDA) tentang penyelenggaraan ekowisata yang di dalamnya menyangkut peraturan yang rinci mengenai pelaksanaannya. Dengan begitu maka usaha konservasi alam serta sosial dan budaya akan tetap terjaga. Sebagai contoh, meski berskala kecil mereka diharuskan melibatkan masyarakat setempat misalnya sebagai guide lokal baik untuk pertunjukan budaya ataupun untuk kegiatan yang berbasis alam dan lingkungan.

Linberg (1999) menyatakan bahwa ekowisata mempunyai peran yang sangat besar dalam hal ‘generating economic benefits’ karena ekowisata ikut membantu penciptaan lapangan kerja di daerah terpencil yang secara ekonomis belum

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Dr. Diah Bekti Ernawati.; Kepala Pusat Penelitian Pariwisata (Puspari) LPPM UNS Surakarta; Pengajar pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Page 22: Taman Budaya Gunung Lawu

18

mendatangkan keuntungan baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Meskipun kadang-kadang skalanya sangat kecil, tetap saja akan memberikan pengaruh yang cukup besar baik bagi individu maupun masyarakat. Lebih lanjut Linberg (1999) menyatakan bahwa studi tentang ekowisata di Australia telah membuktikan adanya pengaruh positif dari sudut ekonomi, meskipun tingkat keuntungannya sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Jika membicarakan masalah pemberdayaan ekonomi dari sudut pandang ekowisata, perlu kiranya dibicarakan sektor formal dan informal serta kesempatan berusaha yang tersedia, karena kegiatan wisata yang sifatnya musiman memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi masyarakat lokal. Terlebih lagi, sering terjadi ketidaksamaan pendapatan bagi orang-perorang yang dapat menimbulkan permasalahan. Meskipun tampaknya ideal, ekowisata juga masih menyisakan permasalahan seperti yang dikatakan Scheyvens (2000) bahwa dalam hal pekerjaan formal, biasanya perempuan lokal tidak sering diikutsertakan dalam pembangunan fasilitas akomodasi ataupun daerah tujuan wisata. Sebagai contoh, di Zimbabwe, pembangunan taman nasional memberikan pengaruh terhadap dibangunnya fasilitas yang semakin baik, misalnya hotel dan jalan-jalan beraspal, namun dalam hal pekerjaan formal di bidang ekowisata, pekerja laki-laki masih mendominasi secara keseluruhan.

Dari definisi di atas juga dapat disimpulkan bahwa ada tiga komponen penting dalam pelaksanaan ekowisata yaitu: Pertama yang dijadikan obyek adalah alam dan lingkungannya termasuk hutan tropis, binatang dan tanaman serta budaya lokalnya. Kedua, ekowisata lebih menekankan pada kegiatan pembelajaran sebagai hasil akhir bukan semata kepuasan seperti pariwisata masal pada umumnya yaitu 3 S (Sea, Sand, Sun). Ketiga ekowisata harus mengutamakan pelestarian (sustainability) yang mencakup alam, sosial budaya dan ekonomi. Di samping itu definisi lain juga menekankan perlunya ‘melibatkan’ masyarakat setempat (Joy, 1999) dan sebaiknya diusahakan oleh masyarakat setempat (Cater, 1994) seperti misalnya guesthouse/home stay, penjualan sovenir dan lain-lain. Rocharungsat (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari sudut pandang stakeholder keterlibatan masyarakat lokal menjadi syarat utama pengembangan CBT yaitu dalam bentuk share management (managemen bersama antara masyarakat lokal dan profesional) serta menekankan keuntungan masyarakat setempat.

HUBUNGAN ANTARA EKOWISATA DAN KONSERVASI ALAM SERTA KETERLIBATAN MASYARAKAT LOKAL

Budowski dalam Cater (1994) menyatakan bahwa ekowisata atau pariwisata berbasis alam dan konservasi mempunyai hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Meskipun begitu jika persyaratan untuk pelestarian dan keselamatan lingkungan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka ekowisata menjadi suatu kegiatan wisata yang menghancurkan sumber daya alam itu sendiri. Oleh sebab itu, pelaksanaan ekowisata menerapkan aturan-aturan yang ketat dan memenuhi persyaratan umum. Sebagai contoh negara bagian Queensland di Australia mempunyai guidelines yang harus dipenuhi oleh para pemilik atau penyelenggara ekowisata. Jika tidak memenuhi aturan-aturan tersebut maka kegiatan ekowisata dapat dihentikan dan tidak diperbolehkan beroperasi. Di antara peraturan tersebut adalah guesthouse harus memakai perlengkapan mandi (sabun, sampo) yang environmentally friendly dan tidak dibuat dari bahan kimia, sehingga tidak akan merusak lingkungan sekitarnya.

Akhir-akhir ini masyarakat (baca wisatawan) mulai lebih menyadari pengaruh sosial budaya negatif yang ditimbulkan oleh

pariwisata masal. Oleh sebab itu, ekowisata sebagai salah satu wisata alternatif yang mengutamakan pelestarian lingkungan serta berskala kecil menjadi daya tarik yang luar biasa. Menurut WTO jumlah ecotourists mengalami peningkatan yang luar biasa, karena faktor pelestarian alam dan pembelajaran melalui interpretasi yang baik.

Penggunaan kata ‘eco’ dari judulnya saja sudah kelihatan bahwa bentuk pariwisata minat khusus ini haruslah merupakan bentuk wisata yang ecologically responsible (bertanggung jawab pada alam). Jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, akibatnya atraksi utamanya yaitu alam akan mengalami degradasi atau bahkan kerusakan yang sangat serius, sehingga tidak dapat dipertontonkan lagi. Oleh sebab itu, di samping memenuhi persyaratan utama, ekowisata juga harus bertanggung jawab terhadap konservasi dengan mengalokasikan sebagian dana yang didapat untuk program-program pelestarian. Sebagai contoh di TN. Gunung Halimun (TNGH) Banten, semua eterprise (penyelenggara) ekowisata seperti guesthouse, tour guiding, agro tourism dan lain-lain akan memberikan kontribusi dalam bidang konservasi alam yang dipakai sebagai sumber atraksi (Joy, 1999). Ekowisata berpijak pada sistem biologi yang berfungsi secara sempurna meliputi flora dan fauna yang secara nyata dan mudah menjadi daya tarik bagi wisatawan. Oleh sebab itu, pelestarian harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan ekowisata.

Dalam koteks konservasi alam sebagai basis ekowisata terdapat dua hal utama yang perlu dilakukan selain usaha yang dilakukan oleh para pengelola yaitu melibatkan masyarakat dalam proses konservasi. Pertama, perlu dikembangkan kemampuan masyarakat dalam memantau perubahan yang terjadi dengan spesies sebagai indikator kunci serta dikembangkan sikap positif masyarakat terhadap daerah tujuan wisata. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam memonitor indikator kunci perlu dilakukan pelatihan serta diskusi dengan masyarakat setempat. Kedua, kunci yang kedua agak sedikit komplek karena mencakup pemahaman psikologis untuk menandai perubahan tingkah laku yang postitif terhadap pelestarian lingkungan.

Ekowisata berbasis masyarakat artinya suatu pengembangan kegiatan pariwisata yang memanfaatkan sumber daya alam maupun budaya setempat, sehingga sudah seharusnya melibatkan masyarakat setempat dalam arti yang sesungguhnya. Karena dari contoh kasus di negara berkembang seperti Zimbabwe, keterlibatan masyarakat hanya pada saat pembangunan infrastrukturnya saja, namun begitu pembangunan selesai semua pekerja yang terlibat dalam kegiatan tersebut dilakukan oleh pendatang baik dari luar daerah maupun luar negeri. Hasil penelitian Rocharungsat (2004) di Thailand dan Indonesia menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat harus dimulai dari proses awal termasuk memperhatikan nilai-nilai moral masyarakat setempat sehingga dalam perjalannya kegiatan pariwisata tidak terhambat karena perbedaan nilai moral antara masyarakat setempat dengan para pengusaha yang akan bergerak di bidang ekowisata di daerah tersebut. Dalam konteks Gunung Lawu perlu diidentifikasi potensi kekayaan alam dan budaya masyarakat setempat untuk dikembangkan dengan melibatkan masyarakat setempat. Contoh yang baik (best practice) atraksi wisata ‘Tjapukai’ (North Queensland) dimana suku Aborigin hidup dalam lingkungannya sendiri kemudian mendapatkan bimbingan dari pemerintah dan LSM untuk kegiatan ekowisata. Semua kegiatan dilakukan oleh masyarakat setempat termasuk pemandu wisata, atraksi boomerang dan bush tucker dan lain-lain. Hanya dalam proses pengembangannya diberikan bimbingan secara intensif.

Hasil penelitian Rocharungsat (2004) tentang CBT di Indonesia menunjukkan bahwa pariwisata yang berskala kecil

Page 23: Taman Budaya Gunung Lawu

19

dengan peraturan yang ketat lebih disukai daripada yang besar, di samping perlu diperhatikan carrying capacity dari suatu atraksi wisata. Responden (dari kelompok wisatawan) juga mengatakan bahwa perlu adanya pertukaran budaya (cultural exchange) antara tamu (visitors) dan tuan rumah (host) sehingga sikap saling pengertian antar mereka dapat terbentuk dengan baik. Pengembangan CBT atau ekowisata muncul karena alasan ekonomi dan nilai-nilai moral. Agar pengalaman para wisatawan benar-benar dapat maksimal, bukan hanya tuan rumah yang memerlukan pendidikan dan pelatihan, para ekowisatawan pun perlu juga mendapatkan pendidikan atau informasi dalam bentuk interpretasi yang tepat agar benar-benar memahami konsep ekowisata. Kalau tidak maka mereka hanya akan memiliki label sebagai ekowisatawan tetapi sikap serta tindakannya belum mencerminkan konsep pemaham ekowisata.

PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT PEDESAAN

Secara konseptual memang tampaknya sulit mengembangkan jenis wisata minat khusus ini, namun dengan berbekal beberapa indikator kunci pengembangan ekowisata dan penerapannya serta law enforcement dalam tataran khusus pariwisata, maka sangatlah mungkin Indonesia yang sangat potensial di bidang ekowisata dapat menjadi tujuan utama para wisatawan minat khusus seperti ekowisata berbasis alam. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam (natural resources) yang menjadi basis pengembangan wisata minat khusus ini.

Beberapa isu utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan adalah (i) memberikan pengalaman dan kepuasan yang tinggi kepada wisatawan; (ii) mempromosikan konservasi ekologi; (iii) menjaga biodiversitas; (iv) meningkatkan pendidikan dan interpretasi terhadap sumber daya alam dan budaya serta meningkatkan partisipasi masyarakat lokal. Beberapa indikator tersebut dapat diukur dengan berbagai cara seperti isu mengenai pelestarian biodiversitas dapat ditindak lanjuti dengan memanfaatkan masyarakat sekitar untuk mengukur indikator di lapangan. Dengan cara tersebut maka isu tersebut dapat segera ditindaklanjuti dengan cara konservasi jika ternyata keadaan tidak seperti yang diharapkan.

Beberapa alasan di belakang pengembangan pariwisata (ekowisata) berbasis masyarakat di antaranya adalah pertama: ekowisata biasanya membutuhkan infrastuktur yang lebih sederhana dan lebih murah secara ekonomi dibandingkan dengan pariwisata masal; misalnya sebuah obyek ekowisata tidak membutuhkan hotel-hotel berbintang sebagai akomodasi, tetapi cukup homestay ataupun guesthouse yang memenuhi persyaratan ekologi seperti ecolodge yang dibangun di TNGH. Dari sinilah maka ekowisata lebih rasional untuk dikembangkan dibandingkan dengan wisata masal dan lebih cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia; kedua, ciri khas ekowisata adalah berskala kecil dan dioperasikan oleh masyarakat sehingga tidak perlu memenuhi standar ‘barat’ yang biasanya harus dipenuhi oleh hotel berbintang dimana leakeage atau kebocoran secara ekonomi sangatlah tinggi. Semua kebutuhan pembangunan ekowisata dapat dipenuhi dari daerah sekitarnya, seperti bahan bangunan (bambu) dan tenaga kerja; ketiga, keuntungan yang didapatkan tidak mengalir ke negara asal dimana perusahan induk penyelenggara berada. Keuntungan dapat langsung dinikmati oleh penduduk lokal.

Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat seharusnya dikembangkan berdasarkan pada tujuan-tujuan berikut ini:

• Mempromosikan ekowisata yang dimiliki oleh masyarakat dengan pengembangan SDM setempat dan infrastruktur pariwisata seperti gueshouse, tour guide dan penjualan suvenir.

• Mengembangkan kemampuan manajerial pada masyarakat sekitar untuk mengoperasikan kegiatan-kegiatan tersebut.

• Meningkatkan kemampuan local access groups untuk memantauperubahan-perubahan sosial, budaya, serta perubahan lingkungan biologi.

KEIKUTSERTAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PROSES PENGEMBANGAN PRODUK

Seperti yang disebut dalam definisi ekowisata di atas bahwa keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan tersebut merupakan suatu prasyarat, maka pada proses pengembangan produk ekowisata anggota masyarakat sebagai salah satu pemangku kebijakan (stakeholder) harus sudah mulai dilibatkan secara aktif sejak awal. Meskipun dalam praktek beberapa kendala sering dihadapi seperti misalnya kecurigaan masyarakat setempat jika dikembangkan suatu daerah tujuan wisata kemudian mereka cenderung dimarginalkan. Hal ini harus dilakukan sampai pada tahapan pelaksanaan, manajemen serta kontrol. Pengikutsertaan anggota masyarakat sejak awal dengan focus group discussion (FGD), workshop, serta pelatihan-pelatihan sangat berpotensi mengurangi kecurigaan masyarakat terhadap penyelenggaraan ekowisata berbasis masyarakat. Hal ini dapat difasilitasi oleh seorang fasilitator baik dari LSM maupun dari orang kunci di kelompok masyarakat tersebut. Hal ini juga dimanfaatkan untuk menjemput aspirasi dari masyarakat untuk implementasi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat serta menajamkan pengertian mereka tentang konsep ekowisata karena merekalah yang nantinya bertindak sebagai pemilik, operator ataupun pelaksana kegiatan.

KESIMPULAN

Dengan mengembangkan salah satu jenis wisata minat khusus yang sebagian besar memanfaatkan keberadaan alam, diharapkan kerusakan alam yang salah satunya merupakan pengaruh negatif pariwisata masal dapat dikurangi. Demikian juga dengan kelestarian alam (sustainable environment) dan konservasi alam yang saat ini menjadi isu sentral di dunia akan menjadi bagian dari pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Di samping pelestarian alam, ekowisata juga menjanjikan pelestarian aspek sosial dan budaya dimana keduanya menjadi aspek penting dalam pengembangan ekowisata di samping keikutsertaan masyarakat lokal. Ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat setempat dapat menjadi salah satu aset yang dapat dikembangkan sebagai kegiatan ekowisata seperti yang dirintis TN. Gunung Halimun dengan proyek ekowisata berbasi masyarakatnya. Dengan model pengembangan ini diharapkan, konservasi alam, sosial dan budaya dapat ditingkatkan. Namun patut dicermati pula bahwa ekowisata yang semula ditargetkan berskala kecil ada kemungkinan karena kepopulerannya berkembang menjadi pariwisata masal. Kedepan ada optimisme bahwa ekowisata berbasis masyarakat ini dapat menjadi salah satu alternatif pengembangan pariwisata di Indonesia yang akhir-akhir ini mengalami banyak kendala seperti ketidakamanan dalam negeri yang menyebabkan beberapa pemerintah negara sahabat menerbitkan travel warning; suatu hal yang sangat merugikan perkembangan pariwisata masal di Indonesia. Namun dengan mempromosikan ekowisata atau wisata alternatif lainnya seperti wisata religi atau wisata berbasis alam (nature-based tourism)

Page 24: Taman Budaya Gunung Lawu

20

dengan skala kecil, diharapkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tetap stabil atau meningkat.

BAHAN BACAAN Ashley, C. and D. Roe. 1997. Community Involvement in Wildlife Tourism:

Strengths, Weaknesses and Challenges. London: Evaluating Eden Project, International Institute for Environment and Development.

Ceballos-Lascurain, H. 1996. Tourism, Ecotourism and Protected Areas. Gland, Switzerland: IUCN (World Conservation Union)

Cater, E. 1994. Ecotourism in the thirld world-problems and prospects for sustainability. In: Cater, E and G. Lowman. (Eds). Ecotourism: A Sustainable Option? New York: John Wiley and Sons Ltd.

Ernawati, D.B. 2004) Community-based tourism enterprises in ecotourism: an effort towards environment sustainability. Seminar Nasional Pariwisata dan Lingkungan Hidup. Pusat Pengembangan Pariwisata UNS, Surakarta, Nopember 2004.

Ernawati, D.B. 2005. Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Indonesia sebagai suatu usaha menuju pembangunan berwawasan lingkungan. Seminar Nasional Pariwisata dan Lingkungan Hidup.

MEPA Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 16 Juni 2005.

Joy, R. 1999. Development of Ecotourism Enterprises in Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Available on line. [10 December 1999].

Linberg, K. 2002. The Economic Impacts of Ecotourism. Available On-line: http://ecotour.csu.edu.auecotour/mar1.htm. [25 March 2002].

Rocharungsat R. 2004. Community-based tourism: the perspectives of three stakeholder groups. In: Smith, K.A. and C. Schott. 2004. (eds.). Proceedings of the New Zealand Tourism and Hospitality Research Conference 2004. Wellington, NZ. 8-10 December 2004.

Scheyvens, R. 2000. Promoting women’s empowerment through involvement in ecotourism: experiences from the third world. Journal of Sustainable Tourism 8 (3): 232-249.

Weaver, D.B. 2001. Ecotourism as mass tourism: contradiction or reality? Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly (April 2001): 104-112.

Zeppel. H. 2000. Ecotourism and Indigenous Peoples. http://lorenz.mur. csu.edu. au.ecotour/

Page 25: Taman Budaya Gunung Lawu

21

KEARIFAN LOKAL JAWA: BUDAYA JAWA SEBAGAI SUMBER NILAI BUDI PEKERTI LUHUR DALAM MENGHADAPI KOMPETISI KEHIDUPAN GLOBAL

BILUNG BILANG: “LOKAL SAJAGAD LOH!”

Singkat sekali yang dapat saya katakan ketika saya secara dadakan diminta untuk memberikan ular-ular manten sewaktu anak murid saya mantu cucu murid. Dengan sungkan saya maju juga: ”Kepada suami, camkanlah: Isteri mesti digemateni, ia sumber berkah dan rejaki. Sebagai suami harus dapat sembada dan eman! Sementara kepada isteri: Perhatikan dan bektilah kepada suami. Suami itu bathara ngejawantah!”. Sudah! Yang hadir bertepuk tangan; bahkan sepasang kakek nenek selebritis menyalami sambil pesan: ”Besok kalau saya mantu, kami minta panjenengan yang kasih motto untuk anak-anak kami!”.

Padahal saya tidak pernah kasih motto apa-apa setiap kali sesorah dihadapan khalayak. Alasannya? ”Pertama, karena Jawa sudah kebanyakan kata-kata mutiara; kedua, karena banyak yang jarkono; ketiga, karena kalau terlalu banyak motto, otak dapat mengalami disfungsi! Tenan ini!”. Coba, siapa parantakon Jawa yang belum pernah baca ”Butir-butir Budaya Jawa” Pak Harto?!

Saya masih ingat betul kritik terhadap mentalitas Indonesia (baca: Jawa) seperti yang ditulis oleh Mohtar Lubis: Takhyul dan munafik! Siapa tahu, di antara khalayak ada yang diam-diam maido: ”mbelgedhes!” waktu mendengar saya memberi ular-ular. Apalagi mereka yang sudah baca penilaian Kuntjaraningrat tentang mentalitas bangsa kita sebagai ”Berorientasi ke masa lampau. Tidak hemat. Tidak menghargai mutu. Suka nrabas”. Wah wis jan!

Karenanya kalau saya sungkan mengisi formulir motto dengan Sugih tanpa bandha atau Lagi seneng yen bisa nyenengake liyan atau Rame ing gawe, sepi ing pamrih soalnya, justru itu yang dikritik oleh Tuti Herati. Tidak cuma normatif, tapi juga tinggal pocapan belaka. Moralisme! Nah, kon!

LAIR IKU UTUSAN BATIN

”Bukan karena terlalu banyak pedagang, kabinet SBY-JK kurang dipercaya; juga bukan karena kakehan janji kurang bukti; tetapi karena keputusan dan tindakannya jauh dari harapan masyarakat!”, begitu ujar Bilung setelah kesabet kenaikan harga BBM sampai 100%, padahal, menurut Bagong sih, itu karena logika rasional modern yang dipakai untuk menganalisis masalah,

tetapi bolehnya ambil kesimpulan, lantas ambil keputusan serta tindakannya justru pralogis, prarasional. ”misalnya”, ujar Bagong menjelaskan: ”Kenapa Indonesia terus menerus terkena bencana. Ada busung lapar, ada demam berdarah, ada flu burung. Setelah dianalisis, bingung, lantas ambil keputusan: ”Karena salah kedaden. Jadi mangsa Bathara Kala!”. Jadi putusannya? ”Ruwatan!”. Priye?!

”Jeneh waktu anak-anak suka nyanyi” E... dhayohe teka/E... gelarna klasa/E... klasane bedhah”; ya lanjutannya ”E... tambalen jadah/E... jadahe mambu/E... pakakna asu!..”:, ujar Bilung. Tentu saja dibantah sama Bagong: ” Bukan! Karena kita sejak kecil disuruh mencari galihing kangkung, tapaking kuntul miber!”.

Tentu saja itu bikin jengkel para true belivers Kejawen. Merekan bilang: ”Rasanya ada yang nggak bener deh!”; bukan karena ”rasa” di sini itu nalar, rasional (mempergunakan ”intuisi” kalau menurut Psikologi Analitis C.G. Jung), tetapi juga kesadaran atas kesadaran diri sendiri maupun orang lain (empati, simpati) bahkan juga ”angan-angan”, pangerten. Jawa memang membedakan ”rasa” ini dengan ”akal”, ”cipta”, ”nalar”. Demikianlah Ki Sastrapustaka memilah-milah antara osik-gumregah; wisik-ngumandhang; cipta-winedhar; karsa-adreng; rasa-tumana.

Agaknya, konsep “rasa” di sini lebih mengacu pada kesadaran menyeluruh, seperti ”kesadaran yang berlapis-lapis” dari Fritjoff Capra, sekalipun orang Jawa juga memilah-milah antara: rasa pangrasa, rasa rumangsa, sejatining rasa, rasa sejati. Padahal kita mengenal berbagai kearifan sehubungan dengan ”rasa” ini. Ambillah misalnya dari Ki Ageng Soerjomentaram: Ananing seneng iku amarga nyenengake liyan atau Rasa iku mungkur-mungkret atau Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa. Bila ”sembah” itu menyangkut ”rasa”, kita akan mengenal ”sembah raga”, ”sembah jiwa”, “sembah sukma”, “sembah rasa” seperti tutur Raden Ngabehi Ronggowarsito. Di sinilah kita termangu-mangu: ”Terus gimana sih makna rasa, sukma, jiwa, batin, ati, kalbu, ruh, sir yang ternyata dalam kehidupan kita sehari-hari sering kita campur adukkan. Bukankah kalau kita menyebut ”spirit”, ”ruh” itu kita tidak hanya memasukkan ”roh suci” yang misterius dan membuat Rudolf Otto mengalami tremendum et fascinosum, tetapi kita juga enak saja bilang: ”Permainan bal-balan itu sudah kehilangan ruhnya!” atau seperti ucap Rendra: ”Sajak itu sudah kehilangan ruhnya!” Masya Allah!

Bisakah kita berbisik: ”Gunung Lawu sudah kehilangan ruhnya?!, hanya karena di gunung itu sudah tidak terdengar lagi ada kesenian yang otentik, unik, rasional, apalagi yang sensasional, sexy, sensual, spektakular. Jauh!

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Drs. Darmanto Jatman, M.A.; Budayawan Jawa, Dosen FISIP Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang

Page 26: Taman Budaya Gunung Lawu

22

SRI GUNUNG

Sejak kecil kita belajar menggambar gunung. Asri. Hijau kebiruan. Dari sana mengalir sungai. Di pinggirnya sawah-tegalan. Mooy Indie. Mempesona. Sungai yang gagah, kukuh, menggapai awan sudah lama jadi simbol kepemimpinan Jawa lewat Asta Brat. Menjadi pemimpin bukan hanya mesti berkarakter seperti gunung, tetapi juga awan, juga samudera. Sabar menerima segala aliran sungai yang tiba. Membersihkannya menjadi biru bening. Gunung tidak hanya hadir sebagai realitas material, tetapi ia juga simbol, tanda. Di puncak gunung itulah keraton para dewa. Dalam pewayangan pasti, puncak gunung Mahameru. Tetapi gunung tidak cuma mempesona, ia juga mendirikan bulu roma. Di hutan-hutan gunung seperti itulah raksasa-raksasa bersembunyi. Bima sewaktu mencari air prawitasari di-jlomprong-kan Resi Drona untuk mencari di gunung begituan, akhirnya Bima mesti berperang lawan Rukmuka, Rukmakala. Tokh anak-anak di GKJ tetap menyanyi, Neng gunung wah neh ngare/Gusti Allah ana/Nyangga ngendi menthi ana uga. Karena itulah para dalang (!) wayang kulit selalu mempertunjukkannya dengan khusyuk mencium Gunungan, serta pada akhir pertunjukannya menancapkan kayon. Tamat. Sekalipun sering didahului atau diikuti dengan ”golekan”, yang memberi sugesti golekana maknane.

Jangan lupa, para brahmana tidak tinggal di kraton, tetapi memilih tinggal di kawasan pegunungan yang digambarkan dekat dengan daerah sucining asuci. Demikianlah kita masih menyaksikan berbagai candi dibangun di sana, termasuk tentu saja Dieng, Borobudur, Sukuh lan liya-liyane. Bukan cuma di Jawa, di gunung Sinai, Nabi Musa menemukan grumbul hijau yang menyala, beliau diperintahkan untuk mencopot kasutnya, berlutut. Ketika Musa bertanya: “Siapakah Tu(h)an?!”. Terdengar suara; ”Aku adalah aku!”... Gunung itu misteri, sucining asuci. Ialah capaian upaya spiritual manusia!

SEGARA GUNUNG

Suprapto Suryodarmo pernah menyelenggarakan pertemuan seni yang mendialogkan Pesisir (an) dan Pegunungan. Percaya bahwa kedua kawasan itu adalah sumber kearifan lokal yang pertemuannya diharapkan akan memancarkan kreasi-krteasi baru. Tanto Mendut juga percaya bahwa gunung “menyembunyikan” kearifan lokal yang bakal membuahi kota-kota yang menjadi pusat kegiatan manusia masa kini.

Dunia sedang mengalami perubahan kultural yang cepat lagi dahsyat. Jawa berubah dari masyarakat rural-agraris menjadi urban-industrial dan sekarang menuju ke masyarakat komunikasi-global sebelum kelak menjadi masyarakat humanistik-spiritual. Bagi Jawa yang tetap menggeluti kehidupan spiritual-humanistik seperti wingi-uni, jangan dikira dapat dengan enak nyemplo begitu saja perubahan zaman ini. Diperlukan pembukaan selubung kesadaran yang berlapis-lapis seperti yang terjadi ketika wayang wong adiluhung kraton tempo dulu menjadi wayang wong hiburan orang kota seperti Ngesti Pandhowo, serta kemudian wayang “elektronik” (maksudnya sih, pada awalnya cuma wayang kulit yang ditayangkan di televisi) yang kemudian diakui sebagai World Heritage. Kesegaran dan keserentakan adalah indikator utama peradaban “komunikasi-global” ini. Dan sekarang, kita saksikan terbitnya buku-buku “spiritual-humanistik”, seperti Jesus CEO atau God is My CEO, atau seperti yang ditulis Kate Ludeman dan Gay Hendricks: Cosporate Mystics: Lebih mudah menemukan seorang sufi di puncak manajemen perusahaan besar ketimbang di vihara, masjid atau gereja! Kate Ludeman dan Gay Hendricks bilang: Yang pertama dan utama untuk menjadi manajer adalah “kejujuran total”. Amboi! Mungkinkah tanpa melalui tahap “transparansi” kita melompat dari mistik (Jawa) ke mistik (dunia) seperti yang dikemukakan Kate Ludeman dan Gay Hendricks ini?!

”Lihatlah Indonesia sekarang sudah serba transparan. Para saudagar pemegang kendali negara sudah jelas-jelas mengajukan bidak dagangnya: Kenaikan harga BBM 100%, tidakkah itu batu loncatan manuju ke era “spiritual-humanistik”, seperti yang pernah dikemukakan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Trust?! Bukankah sudah sejak lama Ki Ageng Soenarto mengemukakan Eling, Percaya, Mituhu sebagai landasan spiritual tidak cuma bagi Pangestu, tapi untuk ini?! Jawabannya dapat “ya”, dapat “tidak”. Iya dalam pengertian pembebasan dari “sangkar” agama satu-satu; tetapi “tidak” dalam pengertian kita sendiri belum lagi melewati era post global communication. Di sinilah kita ketemu dengan pesan dari Ibu Theresa: Love Them Any Way. People are often unreasonable, irrational and self centered. Forgive them any way. Akhirnya “If you are honest and sincere, people may deceive you. Be honest & sincere any way...” Mestikah orang itu jadi Katolik? Kristen? Muslim? Budha? Hindu? Kong Hu Tzu? Atau biarlah ia punya SQ tinggi seperti yang dimaksud Dannah Zohar?! Bukankah “mawas diri” adalah adegan pertama dari pemahaman dan penerimaan manusia atas realitas dunia ini seutuhnya, dan itu adalah bagian dari ke Jawaan kita?!

Page 27: Taman Budaya Gunung Lawu

23

POTENSI SITUS ARKEOLOGI DALAM BINGKAI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA

KEBUDAYAAN

KETERKAITAN ALAM DAN BUDAYA

SITUS ARKEOLOGI

• Tangible Moveable, Unmoveable Cultural Property. • Pusaka berwujud adalah hasil aktifitas masa lalu yang dapat

berupa artefak, features, struktur, yang meliputi bangunan, situs, kawasan cultural eco-region.

• Sifat dari sumberdaya ini (non-renewable resources, finite, non- moveable, fragile)

• Sumber gabungan alam dan budaya: cultural and nature, series/multi component site, border/budaya serumpun, single monument.

KAWASAN BUDAYA

CHRONOLOGICAL ARCHAEOLOGY AND HISTORY

Setting = tata letak

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Dr. Hari Untoro Dradjat; Dirjen Nilai Sejarah dan Purbakala, Kantor Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya RI.

Page 28: Taman Budaya Gunung Lawu

24

PERMASALAHAN

• Konsep pengembangan kawasan warisan dunia belum komprehensif dan integral (tangible dan intangible).

• Orientasi peningkatan pelestarian perlu diarahkan pada prinsip perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan.

• Pandangan yang berorientasi pada ekonomi perlu diarahkan pada sosial budaya khususnya budaya masyarakat setempat

• Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan.

ASPEK CAGAR BUDAYA

ASPEK AKADEMIK WARISAN BUDAYA

• Rekonstruksi sejarah kebudayaan. • Menyusun kembali cara-cara hidup. • Memahami proses perubahan budaya.

POTENSI BENDA CAGAR BUDAYA

Dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk: • Scientific research : penelitian untuk berbagai ilmu

pengetahuan • Creative arts : sumber inspirasi seniman • Education : wahana pendidikan • Recreation of tourism : obyek wisata budaya • Symbolic representation : gambaran simbolis kehidupan manusia• Legitimation of action : dapat melegitimasikan suatu tujuan • Social solidarity &

integration : dapat mewujudkan solidaritas sosial

dan integritas masyarakat • Monetary & economic gain : dapat mendatangkan keuntungan

bagi masyarakat setempat (pariwisata) • Brand image : penenda daerah, image/citra

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BUDAYA

TUJUAN PELESTARIAN • Pelestarian nilai-nilai budaya (tangible dan intangible). • Pengembangan potensi budaya dan potensi masyarakat

setempat. • Pemanfaatan aset budaya atas dasar community-based

development.

INGATAN/MEMORI KOLEKTIF

• Kesadaran secara kumulatif yang ada dalam masyarakat secara kolektif.

• Bentuk pengalaman bersama suatu komunitas/masyarakat sebagai ungkapan reaksi mereka kepada situasi, peristiwa yang bersifat budaya, politik, ekonomi, dari suatu masa ke masa yang lain.

PENGEMBANGAN

• Pendidikan see the light and take the wisdom. • Pelestarian dalam bentuk dinamis. • Amenity kesenangan dalam bentuk sajian dan informasi. • Sword pengembangan dengan keseimbangan equilibrium

atas dasar community-based development potensi budaya dan potensi masyarakat.

IMPLIKASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

• Membuka peluang/kesempatan kerja yang berdampak pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat setempat

• Meningkatkan status sosial masyarakat • Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan

pelestarian nilai luhur warisan budaya • Pengembangan dengan memanfaatkan potensi budaya dan

masyarakat setempat. • Implikasi di atas saling terkait dan menimbulkan dampak

yang lebih komplek seperti perubahan tingkah laku masyarakat dari tertutup menjadi terbuka.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA

• Diversifikasi/keragaman produk budaya. • Perencanaan komprehensif dan integral (masterplan). • Penggalian dan pengembangan nilai-nilai kelokalan. • Peningkatan kualitas SDM (aparat dan masyarakat) dan

lingkungannya. • Pengaturan tentang pelestarian dan pemanfaatan.

PROGRAM /KEGIATAN PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN

JANGKA PENDEK

JANGKA MENENGAH

JANGKA PANJANG

• Pemetaan potensi budaya kawasan Lawu

• Review program dan regulasi

• Kajian-kajian nilai-nilai budaya lokal

• Kajian aspek-aspek sosial ekonomi

• Penataan kawasan Lawu • Penyusunan rambu-

rambu pelestarian dan pemanfaatan

• Public awarness • Pengembangan

(diversifikasi) produk dan event budaya lokal

• Konservasi dan restorasi alam dan budaya berkelanjutan

• Memantaudan evaluasi warisan dunia secara berkala setiap 6 tahun.

• Evaluasi penataan kawasan

Page 29: Taman Budaya Gunung Lawu

25

TUJUAN PEMBERDAYAAN

• Pelestarian nilai-nilai budaya (tangible dan intangible) • Pengembangan potensi budaya dan potensi masyarakat

setempat • Pemanfaatan aset budaya atas dasar community-based

development

KONSEPSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SECARA BERKELANJUTAN SUISTAINABLE DEVELOPMENT

TUJUAN PEMBERDAYAAN

• Pelestarian nilai-nilai budaya (tangible dan intangible) • Pengembangan potensi budaya dan potensi masyarakat

setempat • Pemanfaatan aset budaya atas dasar community-based

development

IMPLIKASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

• Membuka peluang/kesempatan kerja yang berdampak pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat setempat

• Meningkatkan status sosial masyarakat • Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan

pelestarian nilai luhur warisan budaya • Pengembangan dengan memanfaatkan potensi budaya dan

masyarakat setempat • Implikasi di atas saling terkait dan menimbulkan dampak

yang lebih komplek seperti perubahan tingkah laku masyarakat dari tertutup menjadi terbuka

Lestarikan warisan budaya untuk memperkokoh jatidiri

bangsa, kembangkan pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraan.

Page 30: Taman Budaya Gunung Lawu

26

REVITALISASI BUDAYA ASLI DALAM PENGUATAN EKONOMI PEDESAAN

PRAWACANA

Tulisan ini saya sampaikan sebagai sumbangan pemikiran ikhwal seni dan kontribusinya bagi kemaslahatan hidup masyarakat. Tidak sedikit upaya dilakukan untuk mendapatkan peningkatan atau perubahan bersifat korelatif terhadap kebutuhan dari masyarakat sebagai pelaku sekaligus pengguna. Apa yang ada masih dipertahankan pada dasarnya amat lekat dengan peradatan, kebiasaan, atau matra budaya. Keragaman seni sebagai kekayaan budaya bangsa kita pahami sehingga aset yang memiliki nilai tinggi dan berprospek. Namun banyak di antaranya yang belum diberdayakan secara optimal.

Ketika yale-yale budaya global dengan kuat menggema di bumi nusantara, ketika pesta demokrasi seakan membangunkan keterlenaan kita, tata kehidupan seakan berpoles suasana serba kebebasan. Ketika nuansa perubahan sedang berjalan, gejolak lain pun muncul melanda kita tanpa basa basi dengan hadirnya krisis yang sangat meresahkan. Hangatnya perubahan sosial dan iklim politik membias pada keinginan adanya suatu perubahan tatanan yang ingin terwujud sarwa cepat. Suasana ini membawa keadaan paradoksal; penuh tanda tanya, ada kesangsian dan terus berjalan.

Berbicara tentang budaya dengan segala aspeknya, tentu tidak akan cukup hanya menyimak aspek terindera saja. Ada proses perenungan yang mesti kita lakukan agar pemaduan dari alam pikir dan rasa dapat benar-benar membuahkan sesuatu yang bermakna. Pada saat orang berbincang tentang budaya, mau tidak mau akan memaparkan ikhwal nilai dan kosa karya seni. Kenyataan ini dapat berlaku umum, bahkan telah menjadi kebiasaan yang sulit dielakan, disepelekan, kecenderungan skeptis, bahkan ada niat untuk ditiadakan.

Seperti halnya air sungai yang mengalir: kadang tenang, kadang beriak atau bergelombang; dinamika budaya berikut masyarakat pemiliknya pun menunjukan kesepadanan seperti itu. Apa yang saya kemukakan ini, merupakan contoh aktual yang perlu kita sikapi; tidak sebatas perenungan saja, namun akan lebih bermakna bila kita pun dapat meletakannya pada bentuk nyata yang berguna. Lewat tulisan ini saya coba paparkan satu ulas yang condong untuk menepis adanya dikhotomi, bivalensi atau kesenjangan sepihak dari budaya milik kita. Saya berharap, bahwa ulasan ini dapat lebih dilengkapi lewat kajian lanjut, curah

pikir, atau kiat yang dapat membuahkan kebaruan tanpa meninggalkan citra budaya kita itu.

PENDAHULUAN

Semenjak suasana sosial-politik memuncak menjadi sebuah keadaan yang membawa pembaruan di berbagai aspek kehidupan, keberadaan seni tampak agak tertunda gaungnya. Dua dekade menjelang millenium tiga, keberadaan seni sempat melantunkan gebrakan yang cukup menggugah banyak pihak. Negeri kepulauan yang sarat budaya lokal ini, sempat bergegas untuk menemukan kembali citranya di tengah gejolak budaya yang mendunia. Ini tidak berarti bahwa apa yang selama ini tumbuh dan berkembang adalah penyimpangan dari akar budaya yang ada. Banyak pengamat seni justru melirik perilaku budaya yang cenderung kompromis terhadap aspirasi masyarakat yang demikian heterogen.

Menjelang akhir abad 20, gejala pembaruan dari citra era millenium sudah diramalkan, namun krisis yang berkepanjangan tiba-tiba datang melanda berbagai sisi kehidupan, termasuk kehidupan berkesenian. Pembaruan ini kemudian disahkan sebagi bentuk dari budaya global. Bersepakat atau tidak, kenyataan itu muncul tanpa musyawarah kaum yang tidak suka atau mereka yang sangat bersandar kepada tatanan masa lalu. Dunia seakan lahir dengan watak yang inkonvensional dan tidak lagi kukuh terhadap batasan-batasan norma lama. Budaya global berikut segala eksesnya dengan cepat melanda berbagai kawasan, berbagai kebiasaan dan menerobos batasan budaya yang selama ini dipertahankan oleh komunitasnya. Kini paradigma baru secara kuat mampu membuka kemungkinan, di antaranya adalah kesenirupaan Indonesia yang kian mengarah pada pembaruan. Apa yang tampak saat ini adalah semakin meruahnya karyarupa dengan watak pembaruan. Semua itu pada dasarnya beranjak dari kekriyaan sebagai cikal bakalnya. Masuknya seni rupa modern dengan segala perilakunya, teradaptasi dengan baik karena adanya bekal awal itu (entry behavior). Karena kesenjangan di dalam mengemas informasi; baik yang bersifat konseptual maupun kontekstual, banyak dugaan dan prasangka yang demikian beragam alasannya. Wacana tentang kekriyaan rupanya masih kurang mendapat porsi dibandingkan dengan seni pendatang yang demikian kuat dan dilengkapi deskripsi maupun analisis kritiknya.

Masuknya budayalseni luaran; termasuk produk industri dengan segala watak tampilannya, sering kali menimbulkan cerapan yang condong menggiurkan. Pesona yang ditawarkan kadang menumbuhkan keberpihakan, karena adanya kebaruan, kekinian, kecanggihan dan juga gebyar. Kenyataan ini seakan memupus kejenuhan terhadap suatu keajegan yang ada pada watak seni teradat kita. Di balik semua itu, pada dasarnya adalah

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Drs. Soegeng Toekio, M.A.; Budayawan Jawa, Pengajar pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo

Page 31: Taman Budaya Gunung Lawu

27

karena para pelaku seni kita kurang gencar mengekplorasi dan mengetengahkan kebaruan atas seni yang menjadi miliknya sendiri. Ada kelalaian dan kealpaan yang menghantar watak kosa karya itu kemudian sekedar berwatak rutinitas saja.

Agaknya warisan budaya oral (bertutur) masih kuat mewarnai kebiasaan, sehingga di saat dibutuhkan fungsi literasi sebagai alat komunikasi dan informasi kurang tertata apik. Hal ini sangat terkait dengan sumber budaya yang semestinya dapat menjadi bahan kajian lebih mendalam bagi generasi berikutnya. Walau demikian masih ada peluang untuk melacak dan menata ulang potensi budaya yang ada. Melihat pada kenyataan seperti itu, kepedulian pun muncul dari kalangan cendikia, pembijak, kaum terpelajar, dan pengamat budaya. Kelanjutan darinya adalah munculnya suatu pendidikan formal seni; terutama di Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Surakarta dan Padangpanjang. Selain kota-kota yang disebut itu, masih ada lagi beberapa kota lain yang memberi peluang, seperti Surabaya, Malang, Medan dan tempat lainnya. Sejauh mana peran out put pendidikan ini memberikan kontribusi terhadap keberadaan kekriyaan? Jawabnya akan sangat terkait dengan pemberlakuan sebuah sistem; ada tidaknya keterpaduan antar institusi, kuat tidaknya jalinan kordinasi, atau bahkan ada tidaknya perlindungan terhadap kekriyaan itu?

Telaah tentang seni/kriya sering dipaparkan bersinggungan dengan berbagai aspek; baik yang bersifat ontologis maupun praksis. Paling tidak, telaah akan mengarah pada adanya kesepahaman atas dasar pendekatan yang dilakukan serta kajian lanjut tentangnya. Pada kesempatan ini, saya mencoba untuk menapak tiga sisi darinya, khususnya menyangkut kekriyaan sebagai bagian dari budaya bendawi. Pertama, terkait dengan citra yang disiratkan. Kedua, berhubungan dengan ekplorasi ide/gagasan yang berangkat dari kemampuan yang telah ada (local genius). Ketiga, lebih terkait dengan sosialisasi atau penyebaran apresiasi.

CITRA BUDAYA BANGSA

Mengawali millenium tiga; suasana kehidupan seakan dihentakan oleh berbagai gejolak, pembaruan cara pandang, pembaruan untuk bermitra dengan unggulnya jasa teknologi, gejolak mencari sisi kebenaran, keadilan, termasuk perkara moral atas dasar hak azasi. Benturan dan kecengkahan pun kemudian menjalar tanpa kendali. Lahirnya bentuk komunitas baru dengan membawa atribut reformasi seakan sudah menjadi hak setiap orang. Bila ada kemapanan yang lamban dan tidak berakselerasi terhadap gelombang pembaruan, dia dinobatkan menjadi oposisi. Keresahan, kekhawatiran, was-was, dan segala bentuk watak pesimis seakan menjadi sikap latent yang terpendam. Guna mengantisipasi munculnya wabah urbanisasi kesadaran 1 yang dapat saja menimbulkan suatu keadaan incondusive dan merugikan. Kecendrungan itu condong muncul di kota besar dan dapat saja mengimbas ke kawasan lain, termasuk dusun dan pedesaan yang mestinya diproteksi agar tidak menimbulkan terjadinya erosi nilai-nilai. Berpijak dari pembangunan bangsa Indonesia ketika mulai melaksanakan pembangunan nasional yang memberikan prioritas utama pada pembangunan ekonomi,

1 Oleh Peter L. Berger; pakar sosiolog humanis; saya sepakat dengan pikirannya, bahwa gejala urbanisasi kesadaran itu (Idi Subandi I; 1997). sangat menekankan dan menyoroti dengan tajam atas pengaruh eksternal yang membangkitkan perilaku individu; baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif dalam kehidupan hariannya. Urbanisasi kesadaran yang kini kian merebak di Indonesia agaknya menjalar pula di kawasan lain sebagai suatu mode atau semacam wabah era cyber.

maka wajah pariwisata di Indonesia berubah secara mendasar. Pariwisata diangkat menjadi suatu industri jasa yang diharapkan menghasilkan devisa. Pariwisata terprogramkan dalam bidang pembangunan ekonomi yang mengikuti wacana kaidah-kaidah pembangunan ekonomi secara terencana.

Dari sudut ekonomi, penggalakan industri pariwisata yang kelak menghadirkan wisatawan dari negara lain (wisatawan asing) berarti mendudukkan Indonesia menjadi penjual jasa wisata, sedangkan daerah-daerah yang menjadi sumber/menjadi obyek kian dihadapkan dengan persaingan mendunia. Persaingan dalam skala mendunia ini tentu perlu dibarengi dengan peningkatan niaga/bisnis, diperlukan adanya bangunan kinerja baru, termasuk penyiapan jasa wisata yang bermutu tinggi dan berharga murah. Di samping itu, berikut kiat untuk meningkatkan atau menunjukkan daerah wisata yang beranekaragam seni dan budaya sebagai identitas atau ciri-ciri kedaerahannya.

Program kepariwisataan tampaknya sangat lekat dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan asumsi bahwa kepariwisataan merupakan obyek yang menjadi sasaran utama dalam pencapaian komoditas. Selain itu tentu saja menjadi titik tolak untuk suatu perencanaan terpadu, antara pelaku seni, pekriya, penjaja, pemodal, maupun pembuat kebijakan. Akan diperlukan strategi pengembangan yang mengarah kepada perekrutan para wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Pembangunan kepariwisataan pada dasarnya lebih memanfaatkan obyek wisata dan daya tariknya, baik berwujud kebendaan atau dalam bentuk pengayaan batin. Keindahan alam, keragaman flora dan fauna, kemajemukan seni tradisional dan budaya, serta peninggalan sejarah purbakala adalah modal yang sangat meruah. Usaha-usaha untuk memberdayakan obyek-obyek pariwisata tampaknya harus digalakkan dan yang jelas harus mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang profesional, sesuai dengan bidangnya. Mengingat obyek wisata merupakan sarana yang betul-betul dapat menarik wisatawan baik lokal atau domestik maupun internasional, perlu ditangani SDM yang canggih atau ahli dalam bidangnya sesuai dengan kebutuhan dalam kepariwisataan. Ada berbagai macam penanganan misalnya dalam pengelolaan, managemen, promosi, kesiapan masyarakat sekitarnya, kesiapan menu yang disajikan, transportasi menuju ke obyek wisata, serta kesiapan atraksi seni dan budaya.

Banyak kawasan merupakan daerah potensial, kaya berbagai bentuk kesenian daerah yang belum tersentuh untuk diangkat dan dikembangkan. Berbagai bentuk karya yang sangat unik dan menarik masih terpendam di dalam lingkungan masing-masing dan tentu saja mengalami kemandegan. Bahkan ada beberapa bentuk kesenian yang punah dimakan jaman; tampaknya upaya peremajaan (regenerasi) yang dilakukan oleh para pendukungnya banyak menghadapi kendala.

EKSPLORASI IDE

Ada semacam paradoks semenjak pendidikan formal berdiri di tengah kehidupan yang sangat kuat berakar pada peradatan. Di satu sisi muncul pikiran-pikiran konstruktif dan bernafaskan pembaruan, di sisi lain masih kuatnya norma peradatan sebagai perujukan yang sahih. Celakanya ada kesalahan fatal yang menjadikan kita rancu untuk menetapkan konsep maupun etimologi tentang kriya sebagai wajah seni Indonesia. Bila kita coba telusuri lebih dalam kekriyaan yang ada di Nusantara ini pada dasarnya sangat beragam tampilannya. Dengan menyimak bahan asalannya (raw material) saja; dapat kita catat beberapa kekhususan darinya.

Page 32: Taman Budaya Gunung Lawu

28

Umumnya bahan asalan yang dipergunakan pekriya itu lebih banyak menggunakan bahan alami, seperti: kayu, bamhu, rotan, rerumputan, akar pepohonan, gading, dedaunan, tempurung, tulang, bebatuan, serta lempung. Semua bahan itu didapat dari sumber daya alam lingkungan, sumber yang sangat mudah didapat dan meruah di sekitar mereka. Agaknya, pemanfaatan sumber daya alam yang telah dilakukan sejak dulu ini, hingga kini masih berlaku, dipertahankan serta dilestarikan. Semua itu berjalan dalam suasana peduli lingkungan; artinya bahwa mereka sangat tergantung pada kondisi alam yang menghidupinya. Bahan alami yang mereka gunakan, tampaknya mampu membuahkan kosa karya bercitra khusus, akan lebih kaya lagi apabila ada motivator yang membimbing untuk membuahkan kebaruan pula. Saat ini sudah mulai tumbuh beberapa kegiatan produksi yang bersifat sophisticated; seperti kosa karya pekriya dari desa Jambu Wetan yang megolah akar bambu, atau pekriya dari Selo yang mengolah pelepah pisang dan kelopak bambu untuk kap lampu. Masih ada beberapa kegiatan produk lain yang tersebar di beberapa kawasan di Jawa Tengah ini. Jadi selain ada keragaman dari jenis perupaannya, kosa karya kriya yang bersumber pada peradatan ini pun rupanya amat kukuh terhadap bakuan yang berpijak pada norma adat; pada bakuan yang berlaku.

Sangat memungkinkan, bahwa sumber alami lainnya masih banyak dan belum tergarap dengan optimal. Ragam bebatuan, cangkang, bebijian, dedaunan, pelepah, bahkan berbagai ranting dan kulit kayu; pada dasarnya dapat menjadi sumber kekaryaan. Untuk membuka kemungkinan tersebut, maka peran dari voluntir atau insan akademisi akan sangat besar sumbangsihnya, selain mereka yang memiliki modal dan peduli terhadap perkembangan kekriyaan. Eksplorasi yang terkait dengan pembaruan ini tentu saja akan melibatkan pula kehandalan desain/perancangan yang dipadukan dengan adanya satu kemudahan berikut mata-rantai pra dan pasca produksinya.

Kekriyaan dengan segala kiprahnya akan lebih banyak memberi arti bila para pemrakarsa dengan bijak dapat menangkap kendala dan tantangan yang dihadapi saat ini. Apa yang kini sering menjadi bahan pergunjingan adalah semakin ketatnya persaingan pasar dan perlu adanya solusi di dalam mengadopsi teknologi. Saat ini lingkup kekriyaan di Indonesia masih berada pada tingkat perlu dikembangkan lebih lanjut. Salah satu bentuk nyata dapat dilihat adalah munculnya suatu pendidikan formal, suatu wahana untuk melangsungkan keberadaan kekriyaan yang telah memiliki reputasi menakjubkan. Hadirnya pendidikan formal itu tentu saja tidak sekedar mempersiapkan SDM handal, namun diharapkan pula memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan berkaitan dengan lingkup kekriyaan. Pekriya sebagai sosok pelaku, tidak semata-mata mengandalkan rutinitas dalam mengolah sumber daya alam sebagai sasaran menghasilkan karya, ada faktor lain mesti menjadi pertimbangan pula.

Kekriyaan sebagai jenis seni yang berwatak ke-Indonesia-an ini sebenarnya akan banyak memberi arti di tengah kancah budaya mendunia, pabila secara serius dapat dikemas dengan kebaruan. Apa yang selama ini berpeluang serta diangkat ke tengah percaturan dunia, hanyalah sebagian kecil saja. Masih banyak jenis lain dan sisi lain yang sebenarnya dapat diketengahkan sebagai kosa karya andalan. Melalui berbagai peluang bersifat internasional, kadang pemrakarsa hanya mampu menampilkan yang dikenali saja. Ada beberapa kendala dihadapi oleh pekriya untuk mampu menghasilkan kosa karya; antara lain: • Keterbatasan modal kerja serta kehandalan manajemen. • Kurang gigihnya tindak lanjut kegiatan penyuluhan-

penyuluhan. • Kurang kuatnya jalinan perguruan tinggi dengan institusi lain. • Belum terbentuknya jaringan interrelasi dan kordinasi.

• Belum adanya pemetaan terhadap loka kriya potensial. • Belum adanya perlindungan, reward dan kemudahan.

PELUANG PASAR

Kini saat era informasi global menyeruak dan menerpa ke segala penjuru, peta seni (khususnya seni ethnik) seakan menjadi menyempit geraknya. Ini tidak berarti bahwa kemudian kekriyaan itu sesuatu yang usang, tidak layak tampil ke tengah pembaruan yang berciri mendunia. Pandangan seperti ini hendaknya tidak dianut, paling tidak mesti arif meletakan apa yang menjadi kekuatan di dalamnya dapat kita letakan pada tataran yang lebih baik lagi. Bagaimana pun budaya lokal dalam posisi yang sangat berarti akan berperan banyak di tengah kancah budaya-global, jenis budaya baru yang mendunia.

Budaya Indonesia lebih dikenal sebagai budaya Nusantara dengan keragaman dan keunikannya telah lama dikenal di mancanegara. Berbagai bentuk tampilan di berbagai negara menunjukan sebuah reputasi yang patut menjadi bahan kepedulian. Di antara jenis produk budaya bangsa ini, kini telah menjadi milik dunia sebagai contoh dari kosa karya itu adalah; batik, wayang, gamelan, keris, dan perhiasan. Kosa karya yang dihasilkan mencakup pemenuhan kebutuhan untuk keseharian, keperluan ritual atau upacara adat, serta bebarang yang bersifat lengkapan (baik untuk bangunan, benda hias, asesoris dan lain-lain). Hingga kini, tidak sedikit produk unggulan dari kekriyaan ini mampu menembus pasar mancanegara, namun beberapa sisi kelemahan pun masihi saja dihadapi. Sisi lain, belum tampak adanya kiat/upaya untuk mendukung munculnya produk baru yang diorientasikan menjadi unggulan pula, seperti: benda pakai atau benda hias dengan memanfaatkan bahan baku alami yang masih banyak memerlukan uji coba atau eksperimen yang didukung tenaga ahli atau institusi yang kompeten/terkait.

Sangat memungkinkan bahwa implementasi hasil eksperimen akademis yang dilakukan melalui penelitian dilimpahkan kepada pekriya untuk kemudian menjadikannya satu aktifitas produktif dan membuka alternatif pasar. Bentuk pemaduan produk yang dikelola dengan baik (product pooling), diharapkan mampu membentuk suasana baru dalam kegiatan kekriyaan. Hal ini tentu saja akan membuka pula lapangan kerja dan peningkatan taraf hidup masyarakat secara umum. Gambar di bawah ini merupakan prediksi terhadap kemungkinan pemaduan kinerja konvensional dan pembaruan untuk bersama-sama memasuki pangsa pasar.

Adanya kesenjangan grahita atau bahkan kurangnya pengenalan serta pemahaman, bahwa kosa karya dengan pembaruan pun merupakan aset berharga, karena itu akan diperlukan pertimbangan berkaitan dengan: • Dalam rangka mengekplorasi potensi kesenian sebagai aset

wisata yang diharapkan dapat mendatangkan devisa, maka perlu diberdayakan secara optimal dengan mengadakan penggarapan, pengembangan, atau alternatif lain; baik pemanfaatan bahan maupun dalam bentuk kemasan yang tidak mengubah citra dan makna yang terkandung di dalamnya.

• Memperkaya dan memunculkan bentuk/kreasi baru, serta memberikan apresiasi seni-budaya kepada para pekriya atau masyarakat sekelilingnya

• Menanamkan rasa handarbeni terhadap budaya kesenian sendiri; serta upaya untuk meningkatkan kesejahteraan berikut menambah devisa negara. Memperkokoh identitas daerah khususnya, dan Jawa Tengah umumnya.

Page 33: Taman Budaya Gunung Lawu

29

KESIMPULAN

Sebagai pentup ulas ini disampaikan beberapa pokok masalah berkaitan dengan seni serta pelakunya. Semua itu diharapkan menjadi bahan perenungan untuk kemudian dapat dicarikan solusinya sebagai bentuk kecintaan terhadap makna seni bagi kehidupan kita. Melalui amatan selama ini dapat saya rangkum beberapa catatan berkaitan dengan: • Sudah saatnya dilakukan kaji ulang terhadap beberapa

produk hukum; termasuk kebijakan yang secara langsung atau tidak sangat berpengaruh terhadap upaya pengembangan seni di Indonesia.

• Sudah saatnya untuk melakukan penggalian lebih dalam (eksplorasi ilmu) dari nara sumber budaya yang demikian berona namun kurang mendapat kepedulian.

• Sudah saatnya untuk belajar dari pengalaman serta tanggap terhadap perkembangan yang makin menuntut keunggulan dalam menghadapi persaingan dan mengembangkan pembaruan dengan alternatif sistem berproduksi.

Demikian ulasan singkat ini saya sampaikan, semoga dapat memberi manfaat serta menggugah kepedulian mereka yang kompeten sebagai pengamat, penulis, pewarta, peneliti atau pembijak. Dengan ulasan ini pula diharapkan terbentuk suatu pemikiran baru berkenaan dengan era-global yang jelas menuntut ketangguhan dan kehandalan. Hanya dengan keterlibatan banyak pihak, kemungkinan untuk mencapai angan dapat diwujudkan dengan baik dan memberi kontribusi positif terhadap kehidupan.

Semoga. Ars longa vita brevis. Terimakasih.

BAHAN BACAAN Dharmawan, A. 1986. Aspek-aspek dalam Sosiologi Industri. Bandung:

Penerbit Binacipta. Craib, I. 1986. Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: Penerbit CV Rajawali. Craib, I. 1989. Proceeding Pengembangan Industri Kecil. Bandung:

Perkumpulan untuk Peningngkatan Usaha Kecil (PUPUK). Hamonic, G. 1983. Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar

Harapan. Yoeti, H.OA. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: PT Angkasa, Ibrahim, I.S. 1997. Hegemoni Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang

Budaya. Lauer, R.H. 1982. Perspective on Social Change. Boston: Allyn and

Bacon Inc. Poloma, M.M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Yayasan Solidaritas

Gadjah Mada & PT Raja Grafindo Persada. Muller, R.E. 1967. The Science of Art. New York: The John Day Co. Suparlan, P. 1984. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta:

Penerbit CV Rajawali. Sasmojo, S. (ed). 1989. Menerazvang Masa Depan Ilmu Pengetahuan,

Teknologi & Seni, dalam Perkembangan Budaya Masyarakat Bangsa Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.

Soedjatmoko. 2000. Masalah Sosial Budaya. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Soegeng, T.M. 1996. Kekriyaan Indonesia. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Soegeng, T.M. 2001. Ghorakriya. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Page 34: Taman Budaya Gunung Lawu

30

MEMBANGUN TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU

TANTANGAN BANGSA

1. Berantas kemiskinan: a. Nasional: 62 juta penduduk dari 212 juta di bawah garis

kemiskinan, dengan penghasilan US $ 2 sehari; b. Jawa Tengah (2003): 6,98 juta (21,7% jumlah penduduk di

bawah garis-miskin; 2. Bangun bangsa:

a. Bersatu dalam keragaman; b. Kerukunan sosial-budaya-agama-politik.

KINERJA DAERAH 1996-1999

1. Pertumbuhan pendapatan tinggi dengan pertambahan penduduk miskin rendah: Kabupaten Wonogiri, Magetan, Ponorogo;

2. Pertumbuhan pendapatan rendah dengan pertambahan penduduk miskin rendah: Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Ngawi;

3. Pertumbuhan pendapatan rendah dengan pertambahan penduduk miskin tinggi: kota Madiun.

PEMBANGUNAN DAERAH 1999-2003

1. Karanganyar: Rp. 1,3 trilliun pendapatan dan tumbuh 3,2% setahun ditarik industri yang 1,5 kali pertanian;

2. Sukoharjo: Rp. 1,2 trilliun pendapatan dan tumbuh 3,9% setahun ditarik industri yang 2 kali pertanian;

3. Wonogiri: Rp. 0,9 trilliun pendapatan dan tumbuh 3,5% setahun ditarik pertanian yang 9 kali industri;

4. Sragen: Rp. 0,7 trilliun pendapatan dan tumbuh 2,9% ditarik industri yang 1,4 kali pertanian;

PERANAN GUNUNG LAWU

1. Sumber mata air permukaan dan air tanah terutama untuk Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, dan Sragen (Jateng), serta Magetan, Ponorogo, Magetan dan Madiun (Jatim);

2. Ekosistem tempat tumbuh fauna-flora khas kawasan Gunung Lawu;

3. Sentra perziarahan budaya tradisional Kejawen;

TANTANGAN PEMBANGUNAN KAWASAN GUNUNG LAWU

1. Ekonomi: pertanian cenderung mengecil. Hutan menciut. Ketimpangan pendapatan naik. Urbanisasi meningkat;

2. Sosial-budaya: perziarahan budaya tradisional meningkat. Komposisi lanjut usia penduduk desa naik, muda usia kota naik. Rasio penduduk/tanah membesar;

3. Lingkungan: hutan menciut, sungai mengering, erosi keanekaragaman hayati;

PERMASALAHAN PEMBANGUNAN

1. Pembangunan berlangsung pada satu jalur ekonomi bersifat padat uang dan materi;

2. Sikap hidup berkiblat individual ke-aku-an; 3. Pola manajemen dari atas ke bawah, penduduk adalah

obyek pembangunan; 4. Sumber daya alam harus dieksploitasi; 5. Dunia luar (pihak sana) dicurigai dan dimusuhi (pihak sini);

PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

1. Pembangunan berkelanjutan melalui jalur-ganda: a. Ekonomi, berantas kemiskinan; b. Sosial, bangun keragaman dalam kohesi sosial; c. Lestarikan ekosistem penunjang hidup;

2. Bina sikap hidup ke-kita-an melalui pendidikan dan kebijakan pembangunan;

3. Bangun pola manajemen dari bawah dan berdayakan rakyat sebagai subyek pembangunan;

4. Sumber daya alam diperkaya dengan teknologi; 5. Bangun ruang publik untuk berbeda dan beragam;

BANGUN TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU (TBGL)

1. Bangun Taman Budaya Gunung Lawu dengan paradigma ini memberantas kemiskinan dan membangun budaya bangsa;

2. Ciptakan jaringan Bayan untuk Grebek Lawu sebagai dinamisator pemberdayaan masyarakat membangun kawasan masyarakat dan ekosistem kawasan Gunung Lawu;

3. Kembangkan gotong-royong pembiayaan dari “perziarah” dan masyarakat perantau untuk melestarikan Gunung Lawu;

4. Terapkan hukum dalam penyelamatan hutan dan sungai asal Gunung Lawu;

5. Ciptakan jaringan kemitraan 8 pemerintah kabupaten dan departemen terkait, pengusaha terkait dengan jasa Gunung Lawu dan masyarakat madani untuk membimbing jaringan Bayan pengelola Grebek Lawu.

Mulailah bekerja!

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Prof. Dr. Emil Salim; Mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup; Guru besar emeritus pada FE UI Jakarta. [email protected]

Page 35: Taman Budaya Gunung Lawu

31

TAMAN NASIONAL SEBAGAI BENTUK PELESTARIAN LINGKUNGAN BERBASIS KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

KPA DAN KSA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan: 1. Kawasan suaka alam terdiri dari:

a. Suaka margasatwa b. Cagar alam

2. Kawasan pelestarian alam, terdiri dari: a. Taman Nasional b. Taman Hutan Raya c. Taman Wisata Alam

3. Taman Buru (UU 41/1999 tentang Kehutanan)

LATAR BELAKANG

1. Kondisi hutan di Indonesia saat ini telah mengalami kerusakan pada tingkat mengkhawatirkan.

2. Mewujudkan pola pembangunan berkelanjutan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

3. Pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai penyangga kehidupan.

4. Adanya keterkaitan antara hutan, kawasan hutan dan hasil hutan dengan kehidupan masyarakat.

5. Adanya keterlibatan sekaligus manfaat bagi masyarakat 6. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, taman nasional adalah

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, pengembangan budidaya, rekreasi dan pariwisata.

7. Sasaran pengelolaan taman nasional adalah perlindungan terhadap ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan pelestarian pemanfaatan.

KAWASAN HUTAN GUNUNG LAWU

1. Bagian Kawasan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Utara dan Lawu Selatan.

2. Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) Surakarta. 3. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

4. Status hutan negara dengan fungsi: hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi,

5. Hutan konservasi berupa Taman Hutan Raya (Tahura) Ngargoyoso.

KRITERIA DAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

1. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;

3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk

dikembangkan sebagai pariwisata alam; 5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti,

zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain; didasarkan pada pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebai zona tersendiri;.

6. Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan; 7. Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa; 8. Sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA KOLABORATIF UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Kolaborasi pengelolaan untuk kesejahteraan masyarakat baik di dalam maupun di sekitar kawasan taman nasional dapat dilakukan melalui: 1. Peningkatan persepsi dan kesadaran masyarakat terhadap

konservasi dan kelestarian lingkungan; 2. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan

keputusan dalam setiap tahap pengelolaan taman nasional; 3. Pengembangan sistem zonasi kawasan taman nasional yang

dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat; 4. Pelatihan, penguatan dan pendayagunaan kelembagaan

masyarakat; 5. Menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan

kepentingan konservasi dan kelestarian lingkungan (perambahan kawasan, penebangan hutan, dan lain-lain) sekaligus mengembangkan kesempatan berusaha dan peluang kerja dalam pengelolaan taman nasional;

6. Pengembangan daerah penyangga.

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Ir. Triono, M.P.; Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah, Semarang.

Page 36: Taman Budaya Gunung Lawu

32

PERAN BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM JAWA TENGAH DALAM RANGKA PERLINDUNGAN SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENDAHULUAN

Jawa Tengah dengan luas daratan ± 3.254.412,00 ha memiliki hutan negara seluas 640.520,00 ha atau ±19,68% luas daratan dan di antaranya hutan/kawasan konservasi seluas ± 3.014,12 ha (± 0,10% luas daratan), luas kawasan ini masih jauh dari target Pemerintah yang telah mempunyai komitmen untuk melindungi 10% luas daratan sebagai kawasan konservasi. Adanya over eksploitasi hutan alam karena praktek-praktek penebangan liar mengakibatkan laju pengurangan hasil hutan tropis di Pulau Jawa mencapai ± 0,94% per tahun, sehingga mengakibatkan cepatnya pengurangan populasi flora dan fauna (Propenas Perlindungan dan Konservasi Alam Tahun 2000-2004).

Untuk mencapai tujuan pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yaitu terwujudnya pengelolaan hutan berasaskan lestari, terwujudnya fungsi kawasan konservasi yang optimal dan terkendalinya populasi flora dan fauna. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan Visi dan Misi sebagai berikut: Visi : terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berdasar-

kan pelestarian ekosistem yang adil, demokratis, berazaskan kerakyatan dan berakhlak mulia.

Misi : Visi konservasi alam yang abstrak itu dijabarkan lebih kongkrit menjadi misi:

a. Mewujudkan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang memperhatikan:

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. 2. Pengawetan keanekaragaman jenis flora dan fauna

beserta ekosistemnya. 3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati

dan ekosistemnya. b. Mewujudkan pengelolaan konservasi sumber daya alam

yang berwawasan sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi.

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

Balai KSDA Jawa Tengah sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bertangung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6187/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai KSDA mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam, dan taman buru serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan. Dalam melaksanakan tugas tersebut di atas BKSDA menyelenggarakan fungsi: 1. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan

kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru, konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan.

2. Pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru, konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan.

3. Perlindungan, pengamanan dan karantina sumber daya alam hayati di dalam dan di luar kawasan.

4. Pengawasan, perlindungan dan penanggulangan kebakaran kawasan.

5. Promosi dan informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru.

6. Pelaksanaan bina wisata alam dan cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

7. Kerjasama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

8. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

PROGRAM KERJA BALAI KSDA JAWA TENGAH

Dalam melaksanakan program kerja Balai KSDA Jawa Tengah mencanangkan selogan ”ABIMANYU” sejak tahun 2001. • Pengaman

Amankan dan lindungi kawasan konservasi dengan mengefektifkan kegiatan konservasi. • Perlindungan kawasan konservasi (KK) • Patroli pengamanan KK • Operasi pengamanan gabungan/fungsional • Penegakan hukum

• Pembinaan Ekosistem kawasan konservasi dan populasi tumbuhan dan satwa liar (TSL) perlu dibina agar dapat berfungsi secara optimal. • Pengkayaan KK • Pembinaan habitat KK • Inventarisasi/identifikasi TSL • Pembinaan daerah penyangga

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Ir. Mulyadi Widjaja; Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah

Page 37: Taman Budaya Gunung Lawu

33

• Penyegaran personil • Pelatihan dan penjenjangan personil • Pembangunan sarana dan prasarana

• Pemantapan Pemantapan status kawasan konservasi dan kelembagaannya • Pengusulan pengukuhan kawasan • Tata batas dan rekonstruksi batas KK • Pemeliharaan jalur batas • Pembuatan dan pemasangan papan larangan

• Penyuluhan Penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian serta berperan aktif terhadap pelestarian kawasan konservasi • Sosialisasi KK dan TSL • Kampanye TSL • Pameran konservasi • Promosi • Bina cinta alam

KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI BALAI KSDA JAWA TENGAH

Saat ini Balai KSDA Jawa Tengah mengelola kawasan konservasi sebanyak 35 lokasi seluas 3.088,8 ha yang terdiri dari 29 lokasi cagar alam seluas 2.731,2 ha, 5 lokasi taman wisata alam seluas 253,70 ha, dan 1 lokasi suaka margasatwa seluas 103,90 ha. Adapun pengertian dari masing-masing kawasan konservasi yang ada pada Balai KSDA Jawa Tengah sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah sebagai berikut: • Kawasan Cagar Alam. adalah kawasan suaka alam yang

karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami

• Kawasan Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya

• Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata alam dan rekreasi alam.

Wilayah kerja Balai KSDA Jawa Tengah terbagi dalam 4 Seksi Konservasi Wilayah (SKW). SKW I PATI No. Nama Kawasan Luas (ha) 1 CA Kembang 1,8 2 CA Keling I abc 6,8 3 CA Keling II/III 53,2 4 CA Gunung Celering 1328,4 5 CA Gunung Butak 45,1 6 TWA Sumber Semen 17,1 7 CA Cabak I/II 30 8 CA Bekutuk 25,4 SKW II SURAKARTA No. Nama Kawasan Luas (ha) 1 SM Gunung Tunggangan 103,9 2 TWA Grojogan Sewu 64,3 3 CA Donoloyo 8,3 4 TWA Tuk Songo 6,5 5 CA Sepakung 10 6 CA Gebugan 1,8

SKW III CILACAP No. Nama Kawasan Luas (ha) 1 CA Pantodomas 7,1 2 TWA Telogo Warno/Pengilon 39,6 3 CA Telogo Sumurup 20,1 4 CA Telogo Dringo 26,1 5 CA Pringombo I/II 58 6 TWA Gunung Selok 126,2 7 CA Nusakambangan Timur 277 8 CA Karangbolong 0,5 9 CA Wijayakusuma 1 10 Nusakambangan Barat 675 SKW IV PEMALANG No. Nama Kawasan Luas (ha) 1 CA Telaga Ranjeng 48,5 2 CA Jatinegara 18 C dan 19 B 6,6 3 CA Guci 2 4 CA Moga 3,5 5 CA Curug Bengkawah 1,5 6 CA Vak 53 Comal 29,1 7 CA Bantarbolang 24,5 8 CA Peson Subah I 10 9 CA Peson Subah II 10 10 CA Ulolanang Kecubung 70,8 11 CA Pagerwunung Darupono 33,2

Di samping perlindungan in situ tersebut di atas, Balai KSDA

Jawa Tengah juga melakukan perlindungan eks situ. Kegiatan eks situ yang dilaksanakan antara lain: • Penertiban peredaran/perdagangan tumbuhan dan satwa liar

(TSL). • Penertiban dokumen/regulasi peredaran TSL. • Operasi pengaman (Berhasil mengamankan tersangka

pelaku dan barang bukti dan diproses sesuai aturan yang berlaku, misalnya: penangkapan tiga orang pelaku penebangan liar di CA Nusakambangan Barat).

• Pembinaan penangkaran TSL. • Administrasi/regulasi penangkaran TSL. • Teknis penangkaran (Penangkaran yang berhasil,

misalnya: UD Star Jaya di Solo (jalak bali); UD Solo Bird Farm di Solo (jalak putih, suren); Kelompok tani penangkar rusa di Banyumas (rusa timor); Pondok Pesantren Miftahul Huda di Majenang (Kijang).

• Pembinaan lembaga konservasi • Administrasi lembaga konservasi. • Teknis pengelolaan (Balai KSDA Jateng membina 10

lembaga konservasi). • Inventarisasi potensi jenis TSL di luar kawasan konservasi.

Page 38: Taman Budaya Gunung Lawu

34

• Inventarisasi potensi jenis TSL sebagai dasar penentuan quota (Inventarisasi ular kobra)

• Bina cinta alam • Pembentukan dan pembinaan kader konservasi • Penilaian pecinta alam dan kader konservasi (Balai

KSDA Jateng telah membentuk kader konservasi 260 orang dan telah dilakukan pembinaan sebanyak 240 orang)

PENUTUP

Keberadaan kawasan konservasi mutlak dipertahankan karena merupakan benteng terakhir bagi keberadaan hutan yang

pernah ada khususnya di Jawa Tengah, karena dalam kawasan konservasi tersimpan flora dan fauna serta plasma nutfah yang berguna bagi sumber budidaya pada masa mendatang. Di samping manfaat lain sebagai pelindung tata air, pemanfaatan jasa lingkungan serta pariwisata yang dapat menunjang kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, pengawasan dan pengamanan serta tindakan untuk tetap menjaga kelestarian tetap diutamakan dengan keterlibatan peran setiap unsur dan stakeholder. Demikian marilah kita jaga kawasan konservasi demi masa depan yang lebih baik.

Salam Konservasi.

Page 39: Taman Budaya Gunung Lawu

35

KEANEKARAGAMAN HAYATI GUNUNG LAWU; POTENSI SUMBER DAYA EKONOMI YANG MENUNTUT PELESTARIAN

PENDAHULUAN

"Salah satu proses yang terus berlanjut pada tahun 1990-an yang nantinya akan memerlukan waktu untuk pemulihan selama jutaan tahun adalah hilangnya keanekaragaman genetik dan spesies karena rusaknya habitat alam. Inilah kebodohan kita yang sulit dimaafkan oleh anak cucu kita" (E.O. Wilson, Harvard University, Amerika Serikat, 1990).

Gunung Lawu merupakan salah satu gunung tidak aktif yang sebagian besar tertutupi oleh hutan lindung dengan luas mencapai 20.400 ha. Kawasan ini, lereng baratnya termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri, sedang lereng timur termasuk Propinsi Jawa Timur, meliputi Kabupaten Magetan dan Ngawi. Gunung ini memiliki keunikan fisiografi dan fisiognomi, flora dan fauna (sebagian bersifat endemik), dan memiliki nilai sejarah maupun spiritual. Terbentuknya kekhasan biodiversitas di hutan pegunungan Gunung Lawu disebabkan faktor ketinggian dan kemiringan yang menyebabkan terjadinya variasi suhu, curah hujan, intensitas sinar matahari, ketebalan awan, kelembaban dan kecepatan angin. Bertambahnya ketinggian lokasi menyebabkan terjadinya kekhususan tumbuhan di dalamnya, yaitu pohon menjadi lebih pendek, tidak masif, dan umum ditemukan tumbuhan epifit, misalnya anggrek. Kelembaban yang tinggi di hutan pegunungan merupakan tempat yang subur untuk pertumbuhan lumut dan lumut kerak. Keanekaragaman hayati hutan pegunungan ini sangat tinggi berupa tumbuhan tinggi, tumbuhan rendah, hewan-hewan vertebrata dan invertebrata. Hutan ini sangat penting perannya sebagai catchment area (daerah tangkapan) air bagi daerah-daerah di bawahnya, serta berperan penting sebagai penahan erosi tanah. Dengan demikian, maka keberadaan kawasan ini sangat penting dan perlu dijaga kelestarian dan keberlanjutannya.

FLORA FAUNA GUNUNG LAWU Laporan terakhir tentang keanekaragaman flora dan fauna

terestrial gunung Lawu menunjukkan kekayaan jenis tumbuhan yang berlimpah, yaitu memiliki 150 spesies Spermatophyte (angiospermae dan gymnospermae), 77 spesies Cryptogamae (pteridophyte/paku/fern dan bryophyte/lumut/mosses) (Sutarno dkk, 2001; Setyawan dan Sugiyarto, 2001), dimana 67 spesies di antaranya berpotensi sebagai bahan obat, yang terdiri dari 53

spesies Spermatophyta, 13 spesies Pterydophyta, dan 1 spesies Lichenes. Selain itu juga sebagai habitat berbagai jenis hewan vertebrata seperti jenis-jenis mamalia, burung, reptilia, juga telah dilaporkan adanya sekitar 20 spesies plankton (Susilowati, 2001), 12 familia larva insekta akuatik (Mahajoeno, 2001), dan 6 kelompok mesofauna tanah (Sugiyarto dkk., 2001).

NILAI KEANEKARAGAMAN HAYATI Minimal terdapat dua nilai penting yang dapat ambil dari suatu

keanekaragaman hayati, yaitu nilai instrumental (utilitarian) dan nilai intrincsic. Nilai instrumental berarti suatu nilai yang diperoleh karena fungsinya sebagai suatu barang, sehingga dapat pula diartikan bahwa biodiversitas itu tidak ada nilainya sama sekali jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sedangkan nilai intrinsik berarti bahwa biodiversitas itu sendiri keberadaannya memiliki kandungan nilai penting, tanpa memperhatikan apakah keanekaragaman ini digunakan atau tidak digunakan.

Nilai kemanfaatan (instrumental) biodiversitas ini antara lain dapat dilihat dari berbagai kegunaan seperti: 1. Bahan (goods). Biodiversitas adalah sumber dari berbagai

macam bahan yang memiliki nilai sosial-ekonomi langsung seperti: sumber makanan, bahan bangunan, bahan bakar, obat-obatan dan lain-lain.

2. Layanan (services). Biodiversitas adalah sumber dari berbagai bentuk jasa yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki nilai sosial-ekonomi, seperti: polinasi (penyerbukan), siklus nutrien, dan lain-lain.

3. Informasi genetik. Biodiversitas merupakan sumber informasi genetik yang secara langsung memiliki nilai ilmiah maupun nilai sosial-ekonomi, misalnya: program-program penyilangan tanaman pertanian, penyilangan hewan-hewan ternak, organisme transgenik, dan lain-lain.

4. Nilai estetis dan rekreasi. Biodiversitas memiliki nilai keindahan dan rekreasi yang sangat tinggi yang dapat membantu terwujudnya suatu kepuasan personal.

5. Nilai budaya. Bagi berbagai kelompok masyarakat adat, biodiversitas merupakan bagian intrinsic dari kebudayaan mereka, sehingga hilangnya biodiversitas berarti hilangnya tradisi maupun nilai kebudayaan mereka.

Nilai intrinsik biodiversitas berarti bahwa keberadaan biodiversitas itu sendiri memiliki kandungan nilai penting, tanpa memperhatikan apakah keanekaragaman ini digunakan atau tidak. Untuk itu maka suatu tindakan adalah benar adanya jika ada kecenderungan untuk melindungi kelestarian dan keutuhan ekosistem, karena di dalam ekosistem itu terdapat komponen hayati.

Keanekaragaman hayati dapat dipandang sebagai sumber daya alam terbaharukan yang dapat diandalkan sebagai tulang

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Prof. Drs. Sutarno, MSc., PhD.; Guru Besar pada Fakultas MIPA UNS Surakarta

Page 40: Taman Budaya Gunung Lawu

36

punggung pengembangan industri seperti biopestisida, bio-pupuk, farmasi, kosmetika, senyawa aromatik, dan ekoturisme. Di samping itu keanekaragaman hayati sangat bermanfaat bagi masyarakat tradisional yang multi-etnik dengan aneka budaya dan aneka kebutuhan produk hayati. Hutan pegunungan juga merupakan titik sentral dalam daur hidrologi, dimana topografi gunung menyebabkan titik-titik air yang menguap di udara dapat terkondensasi menjadi hujan. Di samping itu hutan pegunungan dengan tumbuhannya yang lebat, membentuk masa humus yang cukup besar, sehingga dapat menahan air hujan dan mendistribusikannya secara berkelanjutan dalam bentuk mata air, anak sungai dan lain-lain. Hutan pegunungan juga berfungsi menahan laju erosi sehingga pendangkalan waduk, sungai, saluran air dapat dikurangi dengan keberadaan hutan di daerah tangkapan air. Hutan pegunungan di Pulau Jawa, termasuk Lawu, merupakan habitat yang sangat tinggi keanekaragaman hayatinya.

Dengan demikian maka hutan pegunungan memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, berupa hasil hutan dan pariwisata. Hasil hutan meliputi kayu, tanin (damar), madu lebah, tanaman obat, bahan makanan dan lain-lain. Potensi pariwisata di Gunung Lawu juga sangat besar yang didukung oleh topografi serta keberadaan flora fauna dan tinggalan sejarah yang melengkapi keindahan alam Gunung Lawu. Potensi ini dapat dikembangkan sejalan dengan kecenderungan back to nature (Setyawan, 2000). Nilai ekonomi yang tidak sedikit dan tidak mudah diukur adalah dalam kaitannya sebagai sentral daur hidrologi yang salah satunya berfungsi sebagai sumber mata air bagi daerah-daerah di bawahnya yang meliputi delapan kabupaten.

Meskipun memiliki fungsi yang begitu besar, hutan gunung Lawu akhir-akhir ini mengalami degradasi yang disebabkan oleh manusia maupun akibat dari proses alam. Pertambahan penduduk yang tinggi serta kondisi perekonomian Indonesia delapan tahun terakhir telah menyebabkan tingkat eksploitasi alam dan perusakan habitat yang tinggi. Baik kerusakan yang disebabkan oleh manusia maupun alam telah berakibat serius terhadap biodiversitas pada hutan Gunung Lawu. Kerusakan hutan gunung ini terutama disebabkan terjadinya penebangan liar (illegal logging), tanah longsor (landslide), kebakaran hutan (bush fire) dan perambahan hutan untuk pertanian (agricultural encroachment). Penebangan liar terjadi pada hutan di daerah Nglerak (124.5 ha), Banjarsari (363.4 ha), Blumbang (100.6 ha), dan Tlogo Dlingo (72.4 ha), sedangkan titik kritis lain yang disebabkan karena tanah longsor terjadi di petak Banjarsari yang mencapai 154.8 ha, dan kerusakan yang disebabkan karena kebakaran hutan terjadi di daerah Banjarsari, Tlogo Dlingo dan Tambak mencapai 63 ha (Sutarno dan Respati, 2001).

Kerusakan hutan ini telah menyebabkan terjadinya penurunan debit air di telaga Sarangan; menurun hingga menjadi setengah dari debit air pada 15 tahun yang lalu, dan secara signifikan menyebabkan penurunan populasi tumbuhan eidelwais dan sendukan serta secara drastis menyebabkan penurunan populasi burung jalak lawu (Soenarto, 2000). Penurunan ketersediaan air di hutan Gunung Lawu yang merupakan daerah tangkapan air utama bagi daerah-daerah di sekitarnya termasuk di Kabupaten Karanganyar, Ngawi, Magetan dan Wonogiri jelas akan berdampak pada kerawanan ketersediaan air bersih di daerah-daerah itu terutama pada musim kemarau.

Untuk itu perlu adanya usaha secara serius dan berkesinambungan yang melibatkan semua pihak baik pemerintah terkait, masyarakat sekitar, LSM dan perguruan tinggi untuk secara bersama-sama mendukung konservasi Gunung Lawu agar manfaat langsung maupun tidak langsung dari keberadaan gunung ini dapat berkelanjutan (sustainable). Potensi

Gunung Lawu yang memiliki luasan, kekhasan dan kemapanan vegetasi, kekhasan dan keragaman bentang geomorfologi, situs purbakala dan kemungkinan pengembangan industri pariwisata memungkinkan diwujudkannya konservasi dalam bentuk taman nasional. Tentu saja dalam realisasinya, apapun bentuk konservasi yang dipilih, harus dipikirkan dan diwujudkan adanya keterlibatan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar diusahakan untuk dapat memahami dan memperoleh benefit langsung maupun tidak langsung dari keberadaan model konservasi tersebut dalam rangka peningkatan kesejahteraan mereka.

KRITERIA UMUM TAMAN NASIONAL Taman Nasional yaitu kawasan luas yang relatif tidak

terganggu yang mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan terdapat manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Zonasi dalam taman nasional meliputi: zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan intensif. • Zona inti adalah zona yang paling peka dimana diperlukan

perlindungan secara ketat. Pada dasarnya semua kegiatan dilarang dilakukan di dalam zona inti, kecuali penelitian, upaya penangkaran atau suatu bentuk program pendidikan konservasi yang telah diijinkan.

• Zona rimba mempunyai tujuan utama sebagai tempat untuk pelestarian, tetapi tidak seketat pada zona inti. Kegiatan ringan seperti mendaki, wisata alam terbatas, rehabilitasi dan pembangunan sarana (jalan setapak, papan petunjuk, shelter, dan lain-lain) secara terbatas dapat dimungkinkan.

• Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang diperuntukkan bagi kepentingan terutama wisata alam, pendidikan lingkungan, penelitian, dan lain-lain. Di dalam zona ini dimungkinkan pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan dengan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku.

BAHAN BACAAN Mahajoeno, E., M. Efendi dan Ardiansyah. 2001. Keane-karagaman larva

insekta pada sungai-sungai kecil di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 133-139.

Setyawan, A.D. 2000. Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prospek dan Strategi Pembentukan Taman Nasional di Daratan Propinsi Jawa Tengah (dan Jawa Timur). Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Setyawan, A.D. dan Sugiyarto. 2001. Keanekaragaman flora hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 1. Cryptogamae. Biodiversitas 2 (1): 115-122.

Soenarto. 2000. Penyelamatan Biodiversitas dalam pandangan masyarakat setempat. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gu-nung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Sugiyarto, M. Pujo dan N.S. Miati. 2001. Hubungan keragaman mesofauna tanah dan vegetasi bawah pada berbagai jenis tegakan di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 140-141.

Sutarno, 2004, Conservation and sustainable use of Globally Important Biodiversity of Mountain Ecosystem at Mount Lawu, Central Java, Indonesia: 1) species identification. TWAS research report, Italia.

Susilowati, A., Wiryanto dan A. Rohimah. 2001. Kekayaan fitoplankton dan zooplankton pada sungai-sungai kecil di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 129-132.

Sutarno, A.D. Setyawan, S. Irianto, dan A. Kusumaningrum. 2001. Keanekaragaman flora hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 2. Spermatophyta. Biodiversitas 2 (2): 156-162.

Sutarno and A. Respati. 2001. Observasi tentang Kondisi Ekosisitem di Lawu Utara. [Laporan Penelitian]. (un-published), Surakarta: PPS UNS.

Page 41: Taman Budaya Gunung Lawu

37

PENGEMBANGAN BUDAYA JAWA DALAM PANDANGAN SANTRI

PENDAHULUAN

Pertautan antara budaya/tradisi Jawa dengan Islam terjadi karena didukung oleh dua faktor utama: • Faktor eksternal: melemahnya kekuatan Islam di pusatnya

(Irak dan Spanyol), sehingga menyebabkan menguatnya aliran sufisme.

• Faktor internal: orang Jawa sudah mengenal Tuhan bahkan sebelum masuknya agama Budha, Hindu, dan Kristen.

ISLAMISASI BUDAYA JAWA DAN JAWANISASI ISLAM

Hubungan keduanya saling mengisi dan memperkua, sehingga terjadi alkulturasi, toleransi, dan harmonisasi (sinkretisasi?). Dalam menggambarkan Islamisasi Jawa, Munawir Sadzali mengatakan, ”Membuang minuman keras dari botol dan menggantinya dengan air tawar” (Catatan: minuman keras adalah kepercayaan lama, air tawar adalah Islam, botol adalah budaya Jawa/Kejawen). Sifat Islam sufistik yang berkembang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat. Jasa Wali Songo dan pengakuan terhadap kemampuan orang Jawa untuk mencapai posisi imam, misalnya Sunan Kalijogo (berbeda dengan Syiah yang imamnya ditentukan secara turun temurun), serta pengakuan posisi orang Jawa sebagai saudara dari Ibu (akhwat).

Alkulturasi Islam ke dalam budaya Jawa tampak antara lain pada syahadat saat nikah, khitan, shalat idul fitri, puasa ramadhan di hari pertama, tahlilan, yasinan, dan lain-lain. Tetapi juga masih dilakukannya budaya membuat sesaji dan bunga setaman di tempat-tempat khusus, ruwatan, kungkum satu suro, mencuci keris, tirakat, nyepi, dan ziarah leluhur atau orang-orang tertentu yang dianggap punya daya, dan lain-lain. Proses Islamisasi lultural ini mendapat dukungan dari pendidikan sistem pesantren.

Hal-hal yang negatif dari keberagaman orang Jawa terutama adalah: pada umumnya minimalis; tidak sungguh-sungguh melaksanakan ajaran agama, atau merasa ewuh dengan lingkungannya sesuai keinginannya. Tidak peduli dengan mereka yang santri dan yang tidak (sikap keragaman akomodatif).

Hal-hal positif dari orang Jawa atau budaya Jawa: 1. Sikapnya yang toleran, akomodatif, dan moderat terhadap

nilai-nilai yang berasal dari luar/asing. 2. Ketekunan dan keinginannya untuk mempertahankan nilai-

nilai lama dan memadukannya dengan nilai-nilai baru (tidak ingin kehilangan jati diri).

Beberapa contoh dari praktek kegiatan (siklus perubahan/ kehidupan) yang terselaraskan dengan nilai-nilai Islam: 1. Upacara mitoni atau tingkepan (usia kandungan janin 7

bulan atau 4 bulan). 2. Upacara kelahiran, tasmiyah, cukur rambut, puputan,

kekahan, dan lain-lain. 3. Upacara sunatan: usia anak 12-14 tahun. 4. Upacara perkawinan, ijab qobul. 5. Upacara kematian: tahlilan, mitung ndino, matangpuluh,

mendak, mendak pindo, dan nyewu. Pendek kata sejak jabang bayi sampai menjadi mayit penuh

dengan upacara ritual yang sebenarnya merupakan perpaduan antara tradisi dan Islam. Bahkan tahlilan tidak hanya dibaca pada saat kematian, tetapi pada hampir semua upacara selamatan, seperti naik pangkat, pindah rumah, pulang haji, dan lain-lain.

Upacara yang berhubungan dengan hari-hari besar Islam seperti: 1. Bakda besar (bulan haji), grebeg besar. 2. Suronan (dengan bubur suro, dan upacara ritual lain). 3. Rebo wekasan (memotong rambut untuk tolak bala). 4. Muludan (bulan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW),

sekaten, grebeg mulut. 5. Rajaban 6. Ruwahan (menyambut ramadhan dengan nyekar, nyadran,

dugderan, dandangan). 7. Syawalan, kupatan, dan lain-lain.

Islamisasi budaya Jawa dan Jawanisasi Islam mendapatkan tempat dalam proses pendidikan keagamaan di pondok-pondok pesantren salaf (tradisional/konservatif). Harmonisasi keduanya mendapatkan tempat secara formal ketika para pimpinan pondok pesantren mendirikan organisasi para kyai yang dikenal sebagai ”Jam’iyah Nahdlatul Ulama”. Namun demikian alkulturasi antara nilai-nilai budaya Jawa dengan Islam bukannya tidak menghadapi tantangan dan persoalan, bahkan sejak Islam masuk ke tanah Jawa.

PENUTUP

Tantangan dan persoalan Islamisasi budaya Jawa dan Jawanisasi Islam akhir-akhir ini (sejak reformasi politik) semakin menguat sejalan dengan muncul dan menguatnya kelompok-kelompok Islam garis keras (anti akomodasi, apalagi alkulturasi). Dalam hal ini terjadi persaingan segitiga antara Islam moderat dengan Islam non kompromistik terhadap budaya Jawa; Islam non moderat dengan masyarakat Islam Jawa. Islam moderat bersama masyarakat Islam Jawa dengan masyarakat Islam non moderat. Di sisi lain, Islam moderat juga berusaha membangun kritisisme terhadap praktek ritual dan lain-lain agar tidak menodai prinsip-prinsip akidah Islam.

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ K.H. Muhammad Adnan, M.A.; Ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Propinsi Jawa Tengah

Page 42: Taman Budaya Gunung Lawu

38

PELESTARIAN PUSAKA SAUJANA BUDAYA DAN PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT: SEBUAH SUMBANGAN MODEL PELESTARIAN PUSAKA

PENGANTAR

Memadukan upaya pelestarian dan pengembangan ekonomi di kawasan pusaka sering diragukan kesesuaiannya, karena keduanya dianggap memiliki langkah yang saling bertolak belakang. Pemahaman seperti itu perlu dikaji, meskipun berbagai penyesuaian memang perlu dilakukan untuk memperoleh keseimbangan antar mereka. Penyesuaian banyak dipengaruhi oleh kondisi setempat dengan karakter kekuatan dan permasalahan masing-masing.

PEMAHAMAN PELESTARIAN PUSAKA

Pemahaman pelestarian dan pusaka kini telah berkembang. Meskipun keduanya memiliki kandungan akan “sesuatu yang tetap” yang perlu dipertahankan, bukan berarti tidak dapat menerima perubahan, walau memang ada yang tidak boleh dirubah sama sekali. Dalam beberapa tahun terakhir ini, tumbuh gerakan untuk menggunakan terminologi “pusaka” sebagai terjemahan kata heritage. Penggunaan kata “pusaka” memang diperdebatkan, demikian pula pengertian “pelestarian”. Untuk itulah, guna memantapkan langkah ke masa depan, dalam Tahun Pusaka Indonesia 2003, para pemerhati dan pelestari pusaka menyepakati penggunaan dan pemahaman pusaka dan pelestarian yang dituangkan dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003, sebagai berikut: • Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya,

dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu; (Catatan: Saujana arti harfiahnya adalah “sejauh mata memandang”).

• Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka tidak berwujud;

• Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa datang;

• Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.

UNESCO menyatakan bahwa pusaka budaya adalah situs pusaka budaya, kota bersejarah, saujana budaya, situs alam sakral, pusaka budaya bawah laut, museum, pusaka budaya bergerak, kerajinan, dokumentasi pusaka secara digital, pusaka sinematografi, tradisi oral, bahasa, festival, religi dan kepercayaan, musik dan lagu, seni pertunjukkan, obat tradisional, literatur, kuliner tradisional, dan olahraga tradisional. Sebagian besar dari pusaka budaya tersebut merupakan pusaka budaya intangible, yaitu tradisi oral bahasa, proses kreasi kemampuan dan pengetahuan, seni pertunjukkan, festival, religi dan kepercayaan, kosmologi, sistem pembelajaran dan kepercayaan serta praktek-praktek kepercayaan yang terkait dengan alam. Pada tahun 2003, wayang ditetapkan sebagai Pusaka Budaya Intangible Dunia oleh UNESCO.

Ruang lingkup pusaka memang sangat luas. Bahkan secara fisik, pusaka saujana budaya dapat menjangkau wilayah yang sangat luas pula. Jangkauannya dapat melebihi batas administrasi suatu perwilayahan apakah lintas kabupaten, propinsi atau negara; hingga pusaka budaya intangible yang maya, tidak kasat mata. Dengan kata lain, pusaka tidak hanya berbentuk artefak saja. Pusaka terkait erat dengan komponen peninggalan lingkungan hidup yaitu abiotik (alam dan buatan), biotik (flora dan fauna), serta sosial-budaya. Dan komponen pusaka dapat berbentuk tunggal ataupun kelompok, berskala kecil tingkat lokal seperti rukun tetangga hingga desa, kota pusaka atau pulau, juga dari yang sangat bersahaja hingga budaya tingkat tinggi, serta dari makanan tradisional hingga candi Borobudur-candi Budha terbesar di dunia.

Apabila dicermati kondisi alam dan budaya di Nusantara ini, sebenarnya persoalan pelestarian budaya tidak dapat terpisahkan dari persoalan pelestarian pusaka alam, demikian juga sebaliknya. Pusaka Indonesia mengandung keduanya. Manifestasi kesatuan ini merupakan pusaka saujana budaya.

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Laretna T. Adishakti, Ph.D.; Pengajar dan Peneliti, Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Ketua Jogja Heritage Society (JHS); Ketua Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI);. Dewan Pimpinan, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI); anggora ICOMOS Indonesia. Email: [email protected]

Page 43: Taman Budaya Gunung Lawu

39

Indonesia diyakini merupakan salah satu mosaik pusaka saujana budaya terbesar di dunia.

Perlu ditegaskan bahwa pelestarian (konservasi) pusaka bukanlah romantisme masa lalu. Bukan pula hanya mengawetkan (preservasi). Pelestarian pusaka bertujuan membangun masa depan secara berkelanjutan yang menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan dinamika jaman secara terseleksi. Sekaligus menjadi alat dan modal untuk pengembangan budaya dan ekonomi. Apresiasi dan rasa memiliki insan di bumi terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan utama mencapai tujuan tersebut.

NILAI EKONOMI PUSAKA

Navrud dan Ready (2002) menyatakan bahwa pusaka budaya merupakan barang publik. Untuk itu nilai yang diperoleh orang yang dapat menikmati barang pusaka budaya tersebut dinyatakan sebesar uang yang akan, dengan rela, dibayarkan oleh yang menerima kesempatan itu. Sementara itu, dalam terminologi ekonomi, sumber daya yang tersedia, termasuk pusaka-pusaka, perlu digunakan secara efisien untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal. Persoalannya adalah sumber daya yang mana dan bagaimana penggunaannya yang di satu sisi perlu dilestarikan dan sisi lain perlu memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya?

Thorsby (1997) dalam tulisannya Seven Questions in the Economics of Cultural Heritage mengulas pertanyaan tentang: 1. Pusaka itu apa? 2. Sejauh apa pusaka itu berharga? 3. Mengapa pemerintah perlu menangani? 4. Instrumen apa yang tersedia? 5. Siapa yang memperoleh keuntungan? 6. Siapa membayar? 7. Siapa peduli?

Thorsby menyimpulkan bahwa: 1. Definisi pusaka budaya memiliki dimensi ekonomi, di

antaranya ekspresi nilai budaya yang muncul dari fungsi penggunaan secara individual dan dapat diukur, terutama banyak kemauan berbagai pihak untuk membayar.

2. Pengertian nilai pusaka dapat diinterpretasikan sebagai modal budaya pembuka jalan yang penting untuk mendekati penentu kebijakan sosial pada area ini.

3. Terdapat teori mendasar untuk identifikasi ketertarikan publik pada isu pusaka budaya.

4. Persoalan instrumen merupakan hal yang harus dipecahkan, dan strateginya perlu menggunakan instrumen campuran daripada menggunakan satu instrumen saja.

5. Identifikasi penerima keuntungan pelestarian dan peningkatan pusaka memperlihatkan dua aspek: (i) distribusi pendanaan yang tepat, (ii) lokus pengambilan keputusan yang tepat.

Sementara Serageldin (1999) menegaskan bahwa situs pusaka berbeda dengan non pusaka karena estetika, sejarah, budaya, dan arti sosialnya, yang tepatnya membuat mereka menjadi suatu tempat yang sangat spesial. Dalam menilai sesuatu yang spesial tersebut perlu: 1. Menggunakan konsep total economic value dalam menilai

dengan cara membagi menjadi beberapa kategori nilai, sebagaimana skema Gambar 1.

2. Mengenali yang menerima keuntungan dari upaya pelestarian. Termasuk di dalamnya penduduk (masyarakat lokal), investor, turis, dan non-visitor.

3. Mengukur keuntungan di antaranya dengan: • Market-price methods • Travel cost

• Hedonic methods • Contingent valuation • Choice experiment • Benefit transfer

Siapa yang akan melakukan valuasi? Menurut Lichfield (1988) valuasi dapat dilakukan oleh: 1. Perseorangan:

• Bukan pemilik/pengguna • Pemilik • Pengguna

2. Kelompok pelestari 3. Kelompok masyarakat 4. Pemerintah

BEBERAPA PEDOMAN DAN PRINSIP PELESTARIAN PUSAKA

Upaya pelestarian pusaka saujana Secara ringkas upaya pelestarian dapat dibagi dalam dua

tahap yaitu:

Perencanaan Dalam perencanaan perlu dilakukan upaya penelitian,

termasuk identifikasi dan dokumentasi, dan berbagai penyusunan rencana untuk melindungi, memelihara, memanfaatkan serta upaya mengembangkannya secara selektif. Dalam perencanaan ini hal-hal yang terkait dengan perencanaan kegiatan hingga bisnis, program partisipasi masyarakat, pendanaan dan perencanaan ekonomi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian kegiatan di atas.

Pengelolaan Kegiatan keseharian dalam melindungi, memelihara,

pelaksanaan pemanfaatan serta pengembangan, dan pengawasan serta melakukan evaluasi. Dalam pengelolaan ini juga perlu terus dilakukan pembaharuan berbagai dokumentasi yang ada. Karena kegiatan pengelolaan pelestarian ini merupakan kegiatan yang menerus, komprehensif, dan melibatkan banyak pihak, sektor, dan aspek, sudah seharusnya upaya ini berada di dalam struktur kelembagaan pemerintah pula.

Aktor-aktor yang terlibat beserta perangkat pengelolaan pelestarian pusaka

Kepedulian masyarakat memang sangat penting, namun kepedulian saja tidak cukup, perlu dilengkapi dengan berbagai perangkat pengelolaan di tingkat pemerintah kota maupun kabupaten. Artinya kepedulian masyarakat perlu didukung dengan aspek tersebut ini (Adishakti, 2003): 1. Masyarakat sebagai pusat pengelolaan (people-centered

management), 2. Penting kerjasama/kolaborasi antar disiplin ilmu maupun

sektor, 3. Tercipta mekanisme kelembagaan yang mampu

mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakat, 4. Perlu dukungan dan penegakan aspek legal, 5. Perlu diwujudkan pasar pelestarian untuk menunjang

kesinambungan pengelolaan.

Model program pelestarian kawasan pusaka Program pelestarian “kawasan pusaka” memiliki enam

pendekatan persoalan yang dilaksanakan secara paralel maupun bergantian dalam rentang waktu yang relatif panjang untuk menyelesaikan keseluruhan persoalan secara berkesinambungan dan tuntas (Adishakti, 2003; Gambar 2), yaitu: 1. Organisasi & Pengelolaan

Page 44: Taman Budaya Gunung Lawu

40

2. Dokumentasi & Presentasi 3. Promosi 4. Perencanaan Kegiatan 5. Disain 6. Restrukturisasi Ekonomi

Garvin (2002) dalam bukunya American City mengatakan bahwa strategi keberhasilan untuk secara sukses menangani kawasan pusaka perlu menggunakan enam pendekatan eksternal yaitu: 1. Pemasaran. Kemampuan untuk

memasarkan hasil pengolahan suatu kawasan.

2. Lokasi. Lokasi kawasan tersebut relatif mudah dijangkau untuk dikunjungi dan berjejaring dengan kawasan-kawasan bersejarah lainnya.

3. Kualitas desain. Memiliki kualitas desain yang baik dan mampu bertahan dalam menghadapi dinamika jaman

4. Sistem keuangan. Sejak perencanaan sistem keuangan sudah dipersiapkan baik untuk internal proyek maupun hubungan dengan pendanaan tingkat kota dan daerah, hingga akhirnya pengelolaan kawasan pusaka dapat mandiri bahkan menghasilkan pendapatan daerah yang tinggi.

5. Kewirausahaan. Pengelola kawasan pusaka harus memiliki jiwa kewirausahaan dalam mengembangkan dan mengelola kawasan pusaka.

6. Waktu panjang. Untuk mencapai keberhasilan revitalisasi dan pengembangan kawasan pusaka membutuhkan waktu yang panjang.

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU SEBAGAI SEBUAH PUSAKA SAUJANA BUDAYA

Dari gambaran yang ada serta perbandingan dengan berbagai pusaka saujana yang ada di daerah lain, terlihat bahwa keragaman pusaka di Gunung Lawu mulai dari pusaka budaya, baik tangible maupun intangible, pusaka alam hingga pusaka saujana sangatlah bernilai tinggi. Penanganan perencanaan dan pengelolaan pelestarian pusaka yang sejalan dengan perkembangan ekonomi yang tepat sangat diperlukan. Bahkan penting sekali untuk kawasan gunung ini melakukan banyak inovasi dalam menangani pusaka dan menguatkan ekonominya, yang mungkin inovasi seperti ini belum banyak dilakukan oleh daerah-daerah lain di Indonesia.

Berikut gagasan langkah dan tahapan yang perlu dilakukan dalam perencanaan

Economic Activity Tourism Recreation Leisure Entertainment

Decreasing “tangibility” of value to individuals

Historic legacyCommunity Image Environment QualityValorization of Existing Assets Social Interaction

Identity Uniqueness Significance

Income/ Revenue Residential Space Commercial Space Industrial Space Circulation Space (vehicle and pedestrian)

Preserving Option for Future Use Value (direct and/or indirect); Future Direct & Indirect Benefits

Indirect Benefits

Direct Benefits Intrinsic Value

Bequest Value

Direct Use Value

Indirect Use Option Value Existence Value Other Non-Use Value

Total Economic Value

Non-Use ValueUse Value

Gambar 1. Katagorisasi nilai ekonomi pada aset pusaka (Serageldin, 1999).

Gambar 2. Model program pelestarian ”kawasan pusaka”

Page 45: Taman Budaya Gunung Lawu

41

dan pengelolaan pelestarian pusaka saujana budaya Gunung Lawu.

Perencanaan dan pengelolaan lintas kabupaten dan propinsi

Kelembagaan pelestarian Pihak-pihak yang terkait dengan pelestarian sangatlah luas,

akan tetapi ada beberapa kelompok/lembaga yang sangat menentukan keberlangsungan pelestarian pusaka secara berkelanjutan, di antaranya: 1. Lembaga pengelola dalam struktur pemerintah masing-

masing kabupaten. 2. Pembentukan komisi pelestarian Taman Budaya Gunung Lawu. 3. Lembaga swadaya masyarakat bidang pelestarian pusaka. 4. Lembaga profesional bidang pelestarian pusaka.

Tindakan pelestarian Tindakan pelestarian juga sangat beragam, tergantung

kondisi pusaka, lingkungan dan masyarakatnya. Di antara berbagai tindakan pelestarian, beberapa di bawah ini perlu diprioritaskan untuk dilaksanakan bagi kelestarian pusaka di Taman Budaya Gunung Lawu 1. Dokumentasi dan penetapan kawasan pusaka.

Penetapan kawasan pusaka sangat perlu untuk dasar pengembangan selanjutnya. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi dan dokumentasi berbagai pusaka yang ada secara sistematik dan benar. Hasil dari dokumentasi ini di antaranya digunakan untuk menetapkan kawasan pusaka yang berada di lingkungan Gunung Lawu serta penyusunan daftar pusaka budaya dan alam yang harus dilestarikan yang kemudian perlu ditetapkan melalui PERDA. Di sisi lain, dokumentasi ini harus di perbaharui dari waktu ke waktu. Lembaga pengelola pelestarian dalam struktur pemerintah didukung oleh Komisi Pelestarian berperan dalam mempersiapkan dan melaksanakan ini semua.

2. Mekanisme proyek pelestarian. Bahwa proyek pelestarian umumnya membutuhkan waktu panjang dan proses yang berbeda dengan proyek pembangunan fisik baru. Oleh karena itu lembaga pengelola pelestarian dalam struktur pemerintah perlu mempersiapkan mekanisme khusus untuk proyek pelestarian yang lain dengan mekanisme proyek fisik baru.

3. Peraturan daerah dan penegakkan peraturan. Undang-undang RI, No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sebenarnya tidak menjangkau persoalan pelestarian pusaka saujana. Bahkan tidak dapat digunakan untuk melandasi penanganan pelestarian kawasan pusaka yang penuh dinamika kehidupan masyarakatnya. Karena orientasi dari undang-undang tersebut lebih kepada pengawetan benda-benda budaya atau alam. Oleh karena itu dalam mengelola pusaka saujana pemerintah perlu menerbitkan peraturan daerah yang sesuai serta pelaksanaan penegakkan peraturannya.

4. Penetapan pedoman disain kawasan/jalan pusaka. Salah satu alat untuk mengelola kawasan atau jalan pusaka adalah dengan menyusun dan menetapkan pedoman disainnya. Penyusunan dapat dilakukan oleh profesional dan/atau bersama-sama masyarakat. Pedoman disain yang merupakan pegangan dalam mengatur transformasi fisik lingkungan maupun bangunan terkait di antaranya dengan suasana pedesaan, ketinggian bangunan, bentuk dan material fasad, bentuk atap, bentang halaman depan, tata tanaman, warna, dan lain-lain.

5. Sistem keuangan pelestarian. Pada prinsipnya sistem keuangan pengelolaan pelestarian pusaka saujana adalah

mandiri. Artinya pelaksanaan pelestarian tidak semata-mata dilaksanakan karena adanya bantuan dana/hibah. Sudah saatnya upaya pelestarian memperhitungkan aspek keuangan sejalan pula dengan pembangunan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempersiapkan mekanisme insentif dan disinsentif bagi perseorangan yang melaksanakan pelestarian sesuai PERDA dan yang menyalahinya. Keterkaitan dengan mekanisme pajak, misalnya PBB, perlu pula diperhitungkan dan dipersiapkan.

6. Rencana investasi pusaka (heritage investment plan). Perlu dipersiapkan dan ditetapkan Rencana Investasi Pusaka (Heritage Investment Plan). Hal ini penting sekali agar pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sejalan dengan upaya pelestarian pusaka saujana.

Jaringan pelestarian Upaya pelestarian sering kali membutuhkan dukungan dari

banyak pihak baik secara regional, nasional, maupun internasional. Seperti misalnya rasa kesekawanan antara kawasan pusaka sangat diperlukan untuk pengembangan pelestarian di masing-masing kawasan. Demikian pula lintas daerah maupun negara. Sementara itu cukup banyak pula organisasi-organisasi dunia yang membantu pelestarian pusaka di berbagai belahan bumi. Beberapa contoh organisasi lokal, regional, nasional, maupun internasional: 1. World Heritage Center (WHC), UNESCO berkedudukan di

Paris. Selain mengelola berbagai persoalan pelestarian dunia juga menetapkan aset menjadi pusaka dunia (Misalnya Borobudur, Prambanan, Sangiran, Pulau Komodo, dan lain-lain.).

2. World Monument Fund (WMF), berkedudukan di New York. Selain menetapkan 100 Daftar Situs Dunia Terancam Bahaya juga memberikan hibah, misalnya Tamansari, Kraton Yogyakarta masuk menjadi 100 Daftar Situs Dunia Terancam Bahaya tahun 2003, dan tahun 2004 menerima hibah dari WMF sebesar US $ 250.000 untuk rehabilitasi pusaka tersebut.

3. International Council for Monuments and Sites (ICOMOS), berkedudukan di Paris, bertugas memberikan nasehat kepada WHC, UNESCO. ICOMOS memiliki perwakilan di banyak Negara termasuk Indonesia (ICOMOS Indonesia) yang berkedudukan di Bandung.

4. American Express Foundation, berkedudukan di New York. Beberapa waktu lalu AMEX telah memberikan hibah untuk Bandung dan Yogyakarta dalam pembuatan Heritage Trail Map. Untuk Yogyakarta diberikan ke Jogja Heritage Society untuk pembuatan nJeron Beteng Heritage Trail sebesari US $ 30.000 pada tahun 2002.

5. Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (Indonesia Heritage Trust) berkedudukan tetap di ibukota Indonesia, Jakarta, dibentuk tahun 2004 untuk mengembangkan upaya pelestarian di Indonesia dan Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, sekretariat berkedudukan secara berpindah, dan saat ini di Yogyakarta.

Perencanaan dan pengelolaan tingkat kawasan (Kawasan Pusaka)

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, upaya pelestarian pusaka agar berhasil dengan baik perlu dilakukan secara menerus dan memerlukan waktu panjang. Model program pelestarian kawasan pusaka yang disarankan dijelaskan dalam diskripsi berikut:

Page 46: Taman Budaya Gunung Lawu

42

Organisasi dan pengelolaan Organisasi apa yang akan memimpin pengelolaan di kawasan

pusaka ini? Apakah pemerintah, ataukah kelompok masyarakat setempat, atau bersama keduanya. Atau apakah organisasi lokal yang sudah ada sekarang ini berperan pula untuk melaksanakan pengelolaan kawasan? Prinsip organisasi pengelola kawasasan pusaka adalah: (i) Independen dan didukung masyarakat, (ii) Disusun dan dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan, (iii) Memiliki tujuan jelas, (iv) Berdedikasi dan komitmen tinggi, (v) Berorientasi pada aksi kerja, (vi) Pengelolaan full-time, (vii) Organisasi merupakan muara dari enam pendekatan, 8) Merupakan kemitraan yang kuat antara publik dan privat, 9) Didukung tim yang inovatif-kreatif (in house architects-planners-archaeologists)

Beberapa langkah ringkas yang perlu dilakukan: a. Pembentukan organisasi kawasan pusaka. Organisasi

dapat terdiri atas: (i) Pimpinan, (ii) Anggota (relawan), (iii) Anggota (profesional), (iv) Penasehat, (v) Koordinator (manajer program), (vi) Divisi/komite (dokumentasi, promosi, kegiatan, disain, ekonomi). Keanggotaan dapat melibatkan: (i) Pengusaha, (ii) Organisasi-organisasi kemasyarakatan, (iii) Organisasi seni-budaya, (iv) Pensiunan, (v) LKMD, (vi) Karang Taruna, dan lain-lain.

b. Pengembangan rencana kerja meliputi: (i) Penyusunan visi dan misi, (ii) Tujuan masing-masing divisi, (iii) Rencana dan Tahapan kegiatan, (iv) Rencana kerjasama, (v) Rencana anggaran.

c. Penggalangan dana, baik dari pemerintah (melalui dinas-dinas), dana masyarakat (swadaya), dana bergulir (pinjaman bank), dana-dana hibah, dan lain-lain. Untuk itu perlu dipersiapkan proposal penggalangan dana, dan kampanye penggalangan dana.

d. Bekerja dengan relawan. Perlu dipersiapkan program kerja, pengumpulan relawan, cara kerja, pelatihan, pengawasan, penghargaan bagi relawan.

e. Bekerja dengan konsultan. Perlu dipersiapkan sistem kerja organisasi kawasan pusaka sebagai pemilik, sistem kerja dengan Pimpro (pemerintah)-swasta-pemilik, mempelajari peraturan pemerintah-INKINDO dan GAPENSI, sistem keuangan, dan profesionalisme.

Dokumentasi dan presentasi Upaya dokumentasi ini perlu ditumbuhkembangkan

mengingat pertimbangan eksplorasi pusaka kawasan yang ada dilaksanakan secara bertahap dan perlu terus diperbaharui serta berkelanjutan. Teknik survai dapat dilaksanakan dengan bentuk (i) Intersave, (ii) From monolog to local wisdom, (iii) Cultural mapping, (iv) Urban/rural morphological setting analysis, (v) Pembuatan peta hijau, peta pusaka, atau peta panduan jelajah, dan lain-lain. Semua pihak dapat melakukan dokumentasi, misalnya: (i) Organisasi “Kawasan Pusaka”, (ii) Profesional/konsultan, (iii) Perguruan Tinggi, (iv) LSM, dan lain-lain. Yang penting adalah semua hasil inventarisasi ini dapat terdokumentasi dengan baik, ada yang mengelola dan selalu diperbaharui.

Promosi Promosi diperlukan untuk memberikan/membangun citra

baru, sekaligus untuk menggalang kepedulian, dukungan kebijakan publik, kelembagaan, aspek legal, pendanaan secara lokal, regional, maupun internasional. Sementara citra baru ditentukan oleh karakteristik fisik yang dipromosikan, perilaku/sikap, produk pusaka dan jasa yang ada di dalamnya, pemanfaatan, serta kegiatan promosi itu sendiri/program-program khusus. Promosi dilaksanakan dengan berbagai bentuk tampilan

mulai dari bahan cetakan, diseminasi audio-visual, penyelenggaraan kegiatan seminar hingga festival maupun pendekatan-pendekatan terhadap berbagai pihak yang relevan. Langkah-langkah promosi diawali bagi masyarakat setempat agar diperoleh pemahaman yang mengakar dalam kehidupan masyarakat terhadap pelestarian pusaka di kawasannya dan mereka akan aktif berpartisipasi dalam program “Kawasan Pusaka”. Sedangkan sasaran/target selain masyarakat setempat adalah para penentu kebijakan, media massa, profesional, investor dan developer, publik/wisatawan. Dalam menciptakan citra baru, perlu diupayakan langkah-langkah yang strategis agar tercapai yang dituju, melalui: 1. Identifikasi aset 2. Mengumpulkan informasi pasar/konsumen 3. Analisa data untuk menyusun progr. promosi 4. Identifikasi persepsi kosumen 5. Mengembangkan sebuah pernyataan posisi 6. Mengembangkan strategi pemasaran 7. Merancang logo kawasan

Perencanaan kegiatan Perencanaan kegiatan perlu dilaksanakan sebelum disain

fisik kawasan. Mau digunakan untuk apa kawasan pusaka ini? Adakah kegiatan-kegiatan baru yang dapat dicangkokkan dalam lingkungan bersejarah ini yang mampu memberi kehidupan baru? Namun, perencanaan kegiatan harus mampu menjaga citra dan jiwa kawasan, bahkan meningkatkan kualitasnya. Dan kegiatan berorientasi pada aksi-aksi nyata, mengundang partisipasi masyarakat luas, promosi dan kolaborasi banyak pihak. Penyelenggaraan festival merupakan salah satu langkah yang jitu.

Strategi pengembangan perencanaan kegiatan yang membangun citra kawasan pusaka adalah: • Berdasarkan hasil dokumentasi (fisik dan non fisik) • Memelihara dan meningkatkan roh/jiwa (soul) setempat, • Pencangkokan kegiatan baru • Melakukan analisis perubahan fungsi dari tradisi-formasi dan

transformasinya • Mempersiapkan perspektif kegiatan masa mendatang

Desain fisik Merupakan desain fisik lingkungan dan bangunan yang

mampu menyelesaikan permasalahan kawasan yaitu desain saujana, tata ruang, tata guna lahan, tata hijau dan lingkungan hidup serta perencanaannya dan mengakomodasi rencana kegiatan dan restrukturisasi ekonomi, serta dilakukan secara bertahap. Desain dilakukan tidak sekedar keindahan saja namun berkualitas dan memenuhi kebutuhan yang menyatu dengan sistem pengelolaan yang telah matang dipersiapkan, sekaligus menegakkan pedoman desain yang telah ditetapkan, aturan pelestarian, serta tata ruang yang baku berdasar konvensi internasional, nasional maupun peraturan daerah dan adat.

Salah satu upaya penting dalam desain adalah mempersiapkan pedoman/acuan desain yang dapat berbentuk: • Acuan disain untuk penggunaan kembali • Acuan disain untuk pengembangan lahan • Acuan disain untuk pengembangan tambahan bangungan • Acuan disain untuk pengembangan infill design • Acuan disain untuk penyelesaian arsitektural fasad • Acuan disain untuk remodeling bangunan tua • Dan lain-lain.

Metoda penyusunan dan pengembangan acuan desain: • Dikerjakan profesional • Dikerjakan masyarakat • Dikerjakan masyarakat dan penduduk

Page 47: Taman Budaya Gunung Lawu

43

Restrukturisasi ekonomi Sejak awal upaya pelestarian kawasan pusaka perlu

dipersiapkan bisnis utama dari kawasan ini apa. Persiapannya meliputi (i) Identifikasi pasar/segmentasi (anak-anak, dewasa, wisatawan, peneliti, dan lain-lain?), (ii) Target pasar, (iii) Positioning/pernyataan posisi.

Dalam pengelolaan dapat digunakan metoda marketing mix yaitu 4 P (product, price, place, promotion), sebagai berikut: 1. Product, misal lingkungan dan kawasan pusaka serta

berbagai benda dan jasa yang dihasilkan. 2. Price, misal sewa tempat dan fasilitas, harga barang, dan

lain-lain. 3. Place, kemudahan akses, mendekatkan produk kepada

konsumen (point of purchase/outlet). Kawasan harus dapat diakses dengan mudah dan murah.

4. Promotion, bagaimana teknik-teknik promosinya.

CATATAN AKHIR

Tidak dapat dipungkiri, pusaka di saujana Gunung Lawu ini sangat luar biasa. Aset sudah berlimpah. Langkah awal pelestarian melalui kegiatan dokumentasi, seminar dan lokakarya telah pula dilaksanakan. Persoalannya kini adalah bagaimana

melanjutkan upaya pelestarian secara berkelanjutan. Semoga Model Program Pelestarian Kawasan Pusaka dapat dimanfaatkan adanya, secara bertahap, luapkan kreativitas dan inovasi, mulai dari kecil, namun menerus, dialog tiada henti, komitmen banyak pihak menjadi kekuatan yang abadi.

BAHAN BACAAN Adishakti, L.T. 2003. Pelestarian pusaka budaya: masyarakat sebagai

pusat pengelolaan perubahan. Pra Kongres Kebudayaan, Denpasar, Bali

Anonim. 2003. Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003 Anonymus. 1998. Economics and Heritage Conservation. The Getty

Conservation Institute. Garvin, A. 2002. The American City: What Works, What Doesn’t. New

York: McGraw-Hill. Lichfield, N. 1988. Economics in Urban Conservation. Cambridge:

Cambridge University Press. Navrud, S. and R.C. Ready. 2002. Valuing cultural heritage: Applying

Environmental Valuation Techniques to Historic Buildings, Monuments and Artifacts. Bodmin, Cornwall: MPG Books Ltd.

Serageldin, I. 1999. Very Special Places: The Architecture and Economic of Intervening in Historic Cities. Washington, D.C.: The World Bank.

Thorsby, D. 1995. Cultural, economics and sustainability. Journal of Cultural Economics 19: 199-206.

Page 48: Taman Budaya Gunung Lawu

44

KEGAGALAN MANAJEMEN EKONOMI NASIONAL: UPAYA PELESTARIAN ALAM DAN BUDAYA YANG SIA-SIA

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai salah satu negara megadiversity, kondisi sebagian besar masyarakatnya saat ini sangat jauh dari kemakmuran. Pengelolaan sumber daya alam belum dilakukan secara baik untuk kesejahteraan masyarakat. Selama ini pembangunan yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam yang melimpah, salah sasaran karena kualitas sumberdaya manusia terbatas. Pembangunan diharapkan merupakan suatu proses pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya alam dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi serta kearifan masyarakat dalam mengelolanya. Kegiatan ini secara strategis harus dilandasi dengan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan dengan cara bertahap dan sistematis melalui perencanaan jangka panjang, menengah dan jangka pendek. Pola pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan keterkaitan antara manusia sebagai makhluk sosial dengan alam sebagai tatanan lingkungan yang berkelanjutan; dengan demikian strategi pembangunan di setiap sektor perlu memperhitungkan manfaat serta dampaknya terhadap pembangunan sektor yang lain.

Arah pembangunan yang berkelanjutan idealnya berangkat dari prinsip dasar pada pencapaian tujuan yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, pemerataan dan keadilan sosial. Dengan prinsip dasar ini pembangunan diharapkan akan menjamin tercapainya: • Keberlanjutan ekologis, sebagai sistem penunjang

kehidupan semua mahkluk di bumi ini. • Keberlanjutan ekonomi, dapat dicapai melalui kebijakan

ekonomi yang tepat guna yang mencakup reformasi kelembagaan ekonomi, peningkatkan efisiensi sektor publik, peningkatan kekuatan pasar, peningkatan distribusi pendapatan dan aset.

• Keberlanjutan sosial budaya, terkait dengan peningkatan kualitas hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, mempertahankan keragaman budaya, mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

• Keberlanjutan politik, dengan bepijak pada human right, transparansi informasi serta demokrasi yang bertanggung jawab.

• Keberlanjutan pertahanan dan keamanan, yaitu kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, gangguan dari dalam juga dari luar yang dapat membahayakan integritas kesatuan dan persatuan bangsa.

Di era globalisasi sekarang ini, pembangunan sebagai fenomena universal, kenyataannya diwarnai oleh kepentingan sepihak dan lebih banyak menguntungkan pada pihak-pihak yang mempunyai kekuatan modal, pengetahuan dan teknologi yang besar. Hal ini kemudian didukung sistem kebijakan negara yang lebih pro pada pertumbuhan ekonomi. Demi mempercepat pertumbuhan ekonomi, agenda pembangunan suatu negara membuka peluang adanya intervensi dari pihak luar yaitu lembaga lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Melalui mekanisme hutang dan bantuan pembangunan/pinjaman luar negeri, negara-negara maju (sebagai pemegang saham) dengan leluasa menyusupkan agenda dan kepentingannya dalam kebijakan-kebijakan pemerintah negara berkembang (sebagai penerima pinjaman). Atau bahkan secara global dibuat sebuah sistem, dimana sebuah negara tidak mampu tumbuh, tanpa adanya ketergantungan hutang.

PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL DAN PERMASALAHANNYA

Adanya perubahan politik global sekarang ini menyebabkan kebijakan banyak mengalami perubahan, hal ini juga berpengaruh pada tata pemerintahan di Indonesia. Sistem tata pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel menjadi sesuatu kebutuhan yang dituntut tidak sekedar oleh masyarakat lokal, namun juga dunia internasional. Kondisi ini selain untuk menunjang sistem pelayanan pada masyarakat, juga memudahkan intervensi masuknya perekonomian global. Kenyataan yang ada, negara-negara maju telah mengembangkan modus ekspansi kapital ke negara berkembang seperti halnya Indonesia melalui berbagai usaha industri, pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain. Perekonomian di Indonesia yang sangat minim karena uang negara lebih banyak terkuras untuk melunasi hutang, membuka kran besar-besaran masuknya investasi asing, sebagai modal utama pembangunan. Terbukanya peluang investasi bagi pihak swasta di Indonesia pada berbagai sektor di atas, telah menjadi pintu masuk bagi perusahaan-perusahaan multinasional asing untuk memperluas penguasaannya terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia serta memperluas jaringan pemasaran industri bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kelangsungan mahluk hidup dan lingkungan. Selain itu juga

♥ Disampaikan pada “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Ir. Rossana Dewi Rachmawati & Ir. Nunik Sulistiyani; Gita Pertiwi. Jl. Griyan Lama no. 20 Baturan Solo 57171. Telp/Fax. 0271 710465/718956. Email: [email protected]

Page 49: Taman Budaya Gunung Lawu

45

memperlemah akses kelompok-kelompok masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya.

Kependudukan dan sumber daya manusia Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi dengan target produksi yang berlimpah senantiasa sering mengabaikan dampak negatifnya terhadap keseimbangan tatanan lingkungan. Masalah ini banyak dialami oleh negara yang sedang membangun. Indonesia juga menghadapi permasalahan lingkungan hidup manusia mencakup kepadatan penduduk dan kemiskinan. Di samping itu juga terjadi perusakan dan pengotoran lingkungan yang diakibatkan proses pembangunan dan industrialisasi. Pembangunan pertanian dan industri yang telah dilakukan lebih dari 40 tahun menjadi contoh nyata dampak pembangunan pada kerusakan ekosistem.

Dilihat dari masalah kependudukan, jika tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia mencapai 179,2 juta jiwa maka diproyeksikan pada tahun 2020 nanti jumlah penduduk akan mencapai 278 juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk akan menimbulkan berbagai masalah dengan sumber daya manusia yang terbatas sehingga banyak mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan serta tekanan pada lingkungan, seperti: berkembangnya pemukiman kumuh, arus urbanisasi yang kuat, kelangkaan lahan pertanian, kelangkaan sumber air, perusakan dan pencemaran lingkungan, tekanan sosial ekonomi dan lain-lain. Kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kesehatan mental manusia dan kesehatan alam lingkungannya. Bagaimana cara mengatasi sesuatu yang sudah terbentuk ini? Perlu diupayakan adanya kesadaran bersama mengatasi hal ini agar keseimbangan dan keselarasan antara manusia dengan alam terjaga. Pengalaman dengan program keluarga berencana, perlu direfleksikan sebagai pengalaman untuk menekan laju jumlah penduduk, dengan memperhatikan hak asasi manusia serta hak reproduksi pada perempuan, agar tidak mengulang berbagai kasus eksploitasi pada perempuan.

Sektor pertanian Keragaman hayati dan pengetahuan lokal menjadi pondasi

utama penyediaan pangan sejak dikenalinya budidaya pertanian. Petani secara berkesinambungan memanfaatkan dan mengelola keragaman hayati, juga menghargai jasa-jasa alam guna mencukupi kebutuhan hidup. Petani telah mengenal dengan baik kekayaan hayati yang ada di sekitarnya dan membudidayakan tanaman dan hewan berdasarkan segenap pengetahuan mereka tanpa melanggar rambu-rambu ekologi dan budaya. Pengetahuan lokal petani merupakan pengetahuan yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh suatu komunitas dalam rentang waktu panjang sebagai alat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ekologi-pertanian dan sosial-ekonomi yang dihadapi.

Pembangunan pertanian yang telah dimulai sejak tahun 1960-an, diorientasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan utama yakni beras (walaupun Indonesia kaya dengan sumber pangan karbohidrat lainnya). Landasan kebijakan pertanian nasional khususnya tanaman pangan, didorong ke arah bagaimana dapat memproduksi dan mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan beras. Politik pangan pada masa orde baru ditekankan pada swasembada beras kemudian dipacu program “revolusi hijau” (green revolution) dengan mengandalkan teknologi berupa bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida, sarana mesin pengolah tanah dan panen, pembangunan sarana irigasi, serta dukungan kredit bagi petani. Hal ini semata-mata untuk menciptakan kondisi swasembada beras (Indonesia menerima penghargaan FAO tahun 1987 atas upaya ini). Keberhasilan swasembada beras pada masa itu tidak berlangsung lama, karena upaya tersebut

menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem dan berakibat pada kerusakan lingkungan. Lingkungan sebagai modal utama pembangunan ini diabaikan semata-mata karena mengutamakan tercapainya produksi yang melimpah.

Pertanian modern dengan revolusi hijau telah mengakibatkan: (i) pergeseran keanekaragam hayati benih lokal, karena benih lokal telah diganti dengan benih-benih hibrida yang cenderung dibudidayakan secara monokultur, (ii) pemberian pupuk kimia yang berlebihan sebagai zat penyubur tanaman telah menyebabkan tanah menjadi kering dan padat, (iii) pestisida kimia untuk pengendalian hama telah menyebabkan hama menjadi kebal dan terjadi ledakan hama baru, (iv) pengelolaan irigasi sepanjang musim, dapat menyebabkan tanah menjadi lelah dan tidak produktif lagi. Selain itu, banyak tatanan sosial masyarakat sebagai bagian kearifan lokal, menjadi hilang karena perubahan ini. Kelompok perempuan terabaikan hak sosial dan ekonominya karena termarginalkan oleh sistem yang berubah mengikuti model pertanian ini.

Hal ini masih diperparah, ketika Indonesia menjadi anggota WTO yang menerima konsekuensi dari menerima pinjaman hutang dari IMF ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Kebijakan pencabutan subsidi pupuk, penurunan tarif impor, ketentuan harga gabah yang tidak sepadan harga saprotan (satuan produksi tanaman) sangat memukul petani yang selama ini menjadi penyangga pangan nasional. Bulog sebagai badan yang diyakini dapat mengendalikan harga beras tidak dapat berjalan efektif, karena adanya kebijakan untuk membuka secara bebas keran impor beras bagi pihak-pihak swasta. Sejak saat inilah banyak produk pertanian impor membanjiri pasar nasional, bahkan sampai dapat menekan harga produk pangan lokal. Kebutuhan pangan Indonesia betul-betul sangat tergantung pada kondisi impor. Dengan demikian kedudukan petani sebagai produsen pangan akan semakin terpinggirkan dan tidak punya posisi tawar dalam pengambilan keputusan.

Sektor industri Sektor industri selama ini menjadi andalan dalam

pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor pertanian yang notabene dikerjakan oleh lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia, hanya menjadi pendukung saja. Percepatan kegiatan industri selain memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi juga berdampak negatif dan berpotensi menimbulkan sengketa lingkungan. Kegiatan industri yang menggunakan sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestarian juga berpotensi menimbulkan kerugian pada sekelompok masyarakat lain baik bersifat material dan non material yang berupa pencemaran yang ditimbulkan. Limbah B3 yang berupa cairan, padatan maupun gas/bau, tidak saja merusak tatanan ekosistem tetapi juga membahayakan kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya. Kadar pencemaran yang semakin besar akibat dilepaskannya zat karbon di udara oleh buangan limbah industri, asap transportasi, pembakaran hutan dan lain-lain, telah menyebabkan meningkatnya suhu bumi yang disebut dengan pemanasan global.

Budaya konsumsi yang berlebihan Kebutuhan utama manusia akan barang dan jasa saat ini

dipenuhi dari hasil industri. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berupa infomasi, komunikasi dan transportasi, menjadikan kebutuhan manusia lebih mudah dipenuhi. Tanpa disadari manusia didorong untuk mengeluarkan uang sebanyak mungkin untuk mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak-banyaknya. Sikap konsumtif ini secara ekonomi dan ekologi sangat merugikan. Tingkat konsumsi yang tinggi dapat meningkatkan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan

Page 50: Taman Budaya Gunung Lawu

46

meningkatkan produksi sampah. Semakin besar tingkat konsumsi, semakin banyak sampah yang dibuang baik berupa plastik, kertas, kardus, botol kaca, sisa-sisa makanan, kotoran manusia, dan lain-lain. Semuanya itu bila berlebihan akan mengganggu lingkungan. Pola budaya inilah yang sering diabaikan demi menjaga image untuk mengikuti trend terhadap gaya hidup. Gaya hidup yang in sengaja dihembuskan oleh industri dalam rangka memperluas pemasaran produknya. Apalagi sekarang ini ditunjang dengan mudahnya informasi televisi, banyak orang bingung mengantisapi perubahan ini. Yang akibatnya banyak muncul kerusuhan dan kejahatan karena orang merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupannya secara wajar.

LANDASAN GERAKAN

Lingkungan memberi sumber kehidupan bagi semua mahluk di bumi terutama dari tersedianya bahan makanan dan habitat untuk hidup. Kenyataan yang ada saat ini lingkungan sangat rentan terhadap perubahan, perubahan ini dapat disebabkan karena: (i) kekuasaan Allah, (ii) perubahan secara alamiah, dan (iii) perubahan karena tindakan eksploitasi manusia. Dengan banyaknya aktivitas manusia dalam merombak lingkungan, maka keseimbangan kehidupan di alam jadi terganggu, sehingga dapat menimbulkan permasalah lingkungan.

Jika kita simak bersama, isu lingkungan semakin lama semakin menyita banyak perhatian manusia. Pembangunan dan dampaknya terhadap lingkungan menjadi agenda penting dalam diskusi-diskusi pakar dunia mulai dari Club of Rome tahun 1970, pertemuan PBB di Stockholm tahun 1972, KTT Bumi di Rio De Janeiro Brazil tahun 1992, disambung dengan forum-forum internasional lainnya. KTT Bumi di Brazil dihadiri 179 kepala negara termasuk presiden Suharto waktu itu, pertemuan ini menjadi sangat strategis karena dapat menghasilkan rekomendasi bersama berupa Agenda 21.

Agenda 21 ini merupakan out put strategis karena banyak mewakili suara dan kepentingan dunia ketiga yang selama ini menjadi korban kemajuan industrialisasi di negara maju. Agenda

21 memuat berbagai pemikiran tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mencakup beberapa pokok bahasan, antara lain: • Mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan masalah

lingkungan. • Mengembangkan konsep pembangunan berwawasan lingkungan. • Pengelolaan sumber daya alam berdimensi pada kelestarian

dan pendistribusian secara adil dan merata. • Memperkuat kelompok masyarakat (civil society) dengan

meningkatkan potensi LSM, kaum perempuan, anak-anak, petani, buruh, swasta, akademisi, cendikiawan, pers, dan stakeholder lain.

Keberlanjutan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama. Dari KTT Bumi telah dideklarasikan keputusan-keputusan penting dalam Agenda 21 dan dikampanyekan pada masyarakat dunia. Namun demikian belum banyak putusan-putusan Agenda 21 dimasukkan dan diaplikasikan dalam kebijakan nasional. Hal ini disebabkan masih lemahnya political will serta law enforcement di pihak pemerintah selaku pengambil keputusan dalam program pembangunan dan kalangan pengusaha sebagai pelaku industri.

Bagaimana upaya untuk membantu memecahkan permasalahan ini? Semua pihak harus duduk untuk melakukan refleksi bersama, kemudian berdiskusi merancang program yang strategis dengan mempertimbangkan semua aspek demi keberlanjutan hidup berbangsa dan bernegara serta berwawasan lingkungan. Selain itu hal yang paling mudah dilakukan adalah dimulai dari niatan dan tindakan dari diri sendiri untuk ke arah yang lebih baik.

Salam lestari.

BAHAN BACAAN Ward, B. and R. Dudos. 1980. Hanya Satu Bumi. Bandung: Lembaga

Ekologi Universitas Pajajaran dan Yayasan Obor Soedjatmoko. 1988. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta:

Penerbit LP3ES. WCED. 1987. Hari Depan Kita Bersama. Jakarta: PT Gramedia.

Page 51: Taman Budaya Gunung Lawu

47

PENUTUP: TAMAN NASIONAL SEBAGAI BENTUK MANAJEMEN INTEGRATIF KONSERVASI EKOSISTEM GUNUNG LAWU MELALUI PENDEKATAN BUDAYA, EKONOMI, DAN

PELESTARIAN LINGKUNGAN

INTISARI

Gunung Lawu merupakan salah satu gunung yang cukup tinggi di Pulau Jawa (3265 m dpl.). Kaki gunung ini sangat luas, mencakup delapan kabupaten, dengan jumlah penduduk sekitar 6 juta jiwa. Gunung ini memiliki nilai sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. Secara sosial-ekonomi, Gunung Lawu merupakan lumbung air dan keanekaragaman hayati (biodiversitas). Secara sosial budaya, gunung ini memiliki nilai spiritual bagi sebagian masyarakat. Secara ekologi, Gunung Lawu merupakan ekosistem khas Pulau Jawa, yang menjadi batas ekologi (ekoton) antara pulau Jawa bagian barat yang cenderung berbukit-bukit dan basah dengan bagian timur yang lebih landai dan kering. Dengan kondisinya yang relatif masih alami, kawasan ini berpotensi untuk dijadikan taman nasional. Taman nasional adalah kawasan konservasi alami yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, pemuliaan spesies, dan pariwisata. Konsep ini tampaknya masih merupakan cara yang paling sesuai untuk melindungi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Gunung Lawu dan kawasan di sekitarnya sangat ideal untuk taman nasional, karena memenuhi semua persyaratan yang diperlukan, yaitu (i) luasnya mencukupi, (ii) masih memiliki ekosistem alami dan spesies endemik, (iii) memiliki stus purbakala, memiliki nilai spiritual dan estetis; (iv) memiliki fisiografi dan fisiognomi yang khas; serta (v) memungkinkan dikembangkannya pariwisata. Kawasan ini juga mendukung dibangunnya pusat-pusat konservasi keanekaragaman seperti kebun raya, taman safari, taman hutan raya, taman agrowisata, dan lain-lain sehingga dapat dibentuk kawasan konservasi biodiversitas yang terintegrasi. Konservasi ekosistem Gunung Lawu perlu menjadi perhatian semua pihak (stakeholder).

Kata kunci: Gunung Lawu, keanekaragaman hayati, konservasi, ekosistem alami, taman nasional, sosial ekonomi, sosial budaya.

PENDAHULUAN

Keanekaragaman hayati (kehati) atau biodiversitas adalah keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber/ekosistem, termasuk dari daratan, lautan, ekosistem akuatik lain, serta komplek-komplek ekologi dimana keanekaragaman menjadi bagiannya, sehingga mencakup keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem (Groombridge, 1990). Konsep ini juga mencakup varietas, variabilitas, serta keunikan gen, spesies dan ekosistem (Savage, 1995).

Keanekaragaman hayati Indonesia sejak lama telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan, bahan obat-obatan, dan bahan baku industri. Namun sumbangan yang besar ini hampir tanpa diimbangi imbalan untuk kegiatan konservasi. Tumbuhan dan hewan umumnya dipanen langsung dari hutan, tanpa kegiatan yang cukup berarti untuk menjaga kelestarian hutan. Ribuan meter kubik air yang disimpan hutan-hutan setiap hari menjadi air irigasi atau diubah menjadi air minum oleh PDAM/PAM yang harganya setiap kali terus naik, namun dari keuntungan penjualan air tersebut sangat terbatas yang dikembalikan ke hutan untuk pemeliharaannya.

Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Dalam era globalisasi ini, batas ekonomi negara satu dengan lainnya hampir tidak ada lagi, sehingga terbuka peluang untuk memasarkan produk ke negara-negara lain. Namun di sisi lain terdapat tuntutan kuat untuk menghasilkan produk bermutu tinggi, murah, dan massal, sehingga pekerjaan harus dilakukan secara efektif dan efisien. Produk negara-negara industri maju umumnya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menyimpang dari standar mutu yang telah ditetapkan, sedangkan di Indonesia kelemahan sumberdaya manusia menyebabkan efisiensi dan efektivitas proses produksi juga lemah. Kegagalan dalam kompetisi global dapat menyebabkan Indonesia menjadi konsumen permanen produk-produk negara lain. Dalam persaingan ini, selain kualitas produk, faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber daya genetik dan akses terhadap pangkalan data standar mutu berbagai komoditas pasar dunia. Dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, Indonesia memiliki kelebihan komparatif terhadap negara-negara lain (Moeljopawiro, 2000).

Keanekaragaman hayati sebagai sumber daya alam terbaharukan, dapat diandalkan sebagai tulang punggung pengembangan bioindustri, seperti biopestisida, biopupuk, pengelolaan limbah, dan lain-lain. Dengan keanekaragaman hayati sebagai dasar, serta didukung kebutuhan pasar dunia, dapat dikembangkan industri farmasi, kosmetika, senyawa atsiri, dan ekowisata. Di samping itu keanekaragaman hayati sangat bermanfaat bagi masyarakat tradisional yang multi-etnik dengan

♥ Rangkuman panitia “Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu” Karanganyar, 16 – 17 Nopember 2005.

♥♥ Ahmad Dwi Setyawan, S.Si., M.Si. & dr. Paramasari Dirgahayu, Ph.D.; Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

Page 52: Taman Budaya Gunung Lawu

48

aneka budaya dan kebutuhan produk hayati. Keanekaragaman hayati juga perlu bagi terciptanya lingkungan hidup yang memenuhi kebutuhan manusia, seperti kebutuhan fisik/badan, estetika, dan spiritual (Hardjasoemantri, 2000).

KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA

Indonesia merupakan pusat biodiversitas utama di dunia, meskipun luasnya hanya 1,3% permukaan bumi. Kawasan ini merupakan habitat bagi 10% tumbuhan berbunga di dunia, 12% mamalia, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, dan 25% ikan (Anonim, 1993; Groombridge, 1990). Ekosistem hutan di Indonesia sangat khas dan beragam, didominasi flora tropis dengan proporsi spesies endemik tinggi. Hutan Indonesia kaya berbagai spesies tumbuhan, antara lain koleksi palemnya terbesar di dunia, jumlah Dipterocarpaceae yang bernilai ekonomi tinggi lebih dari 400 spesies, dan menyimpan sekitar 25.000 tumbuhan berbunga (Anonim, 1993). Namun tingkat keterancaman spesies di Indonesia sangat tinggi. Indonesia menduduki lima besar untuk lima kelas vertebrata dalam hal kemungkinan kepunahannya, baik mamalia, burung, reptilia, amfibia maupun ikan (Groombridge, 1990). Upaya konservasi dan rehabilitasi kerusakan keanekaragaman hayati belum seimbang dengan percepatan penyusutan sumber daya dan erosi genetik. Oleh karena itu diperlukan konsep dan strategi pelestarian dan pemanfaatan kekayaan biodiversitas untuk pembangunan nasional yang berkelanjutan, yakni pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhan hidupnya (Hardjasoemantri, 2000).

KEANEKARAGAMAN HAYATI PULAU JAWA

Jawa merupakan hotspot biodiversitas dunia, dan hutan pegunungan merupakan hotspot biodiversitas di pulau ini. Pulau Jawa boleh jadi merupakan daerah tropis paling kaya dan penting (Werner, 1999). Kawasan ini memiliki iklim yang sangat beragam, di bagian timur cenderung kering dan di bagian barat cenderung basah, sehingga memungkinkan berbagai hewan, tumbuhan dan mikrobia hidup dan berkembang. Pulau ini sangat subur karena kaya gunung berapi, sehingga sejak lama menjadi pulau favorit untuk bermukim, akibatnya kepadatan penduduk sangat tinggi. Pada saat ini, Jawa yang luasnya hanya 126,566 km2 dihuni lebih dari 114 juta manusia (Soeriaatmadja, 1999), melebihi separuh penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 206 juta jiwa. Pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan tingkat eksploitasi alam dan perusakan habitat sangat tinggi. Kerusakan ini diperparah krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, dimana tekanan masyarakat terhadap hutan meningkat sangat tajam. Sehingga dalam jangka panjang kekayaan biota Jawa yang terkenal sangat beragam dikuatirkan akan musnah (Kompas 14/6/1999).

Perlindungan alam di Pulau Jawa telah dimulai sejak jaman Belanda dengan munculnya staatblat yang mengatur cagar alam dan suaka margasatwa. Kesadaran global akan pentingnya konservasi biodiversitas mulai menjadi tuntutan masyarakat modern sejak tahun 1960-an. Terutama dengan terbitnya buku Red Data Book mengenai keterancaman dan kepunahan beberapa spesies eksotis dunia (Groombridge, 1990), serta The Silence Spring mengenai bahaya kerusakan lingkungan akibat pestisida (Carlson, 1961). Pada saat ini negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa menerapkan standar yang ketat untuk menjaga kelestarian biodiversitas. Namun negara-negara berkembang di garis katulistiwa yang memiliki biodiversitas paling

tinggi belum memberi pehatian penuh atas kelestarian biodiversitas (Setyawan, 2000).

KEANEKARAGAMAN HAYATI KAWASAN PEGUNUNGAN

Kawasan pegunungan relatif lebih terasing, terpencil, dan terisolasi daripada dataran rendah, sehingga kurang dipengaruhi kegiatan manusia dan ekosistemnya lebih terjaga (Godde, 1998). Bentuk kehidupan di gunung khas karena ketinggian dan kemiringannya menyebabkan terbentuknya kondisi iklim yang berbeda dengan dataran rendah, meliputi: suhu, curah hujan, intensitas sinar matahari, ketebalan awan, kelembaban, dan kecepatan angin (Steenis, 1972). Hutan pegunungan tropis ditemukan pada ketinggian 1200-3500 m dpl. Hutan yang menempati 11% hutan tropis dunia ini merupakan ekosistem paling kaya, sehingga sering disebut bagian terpanas (hotspot) biodiversitas dunia (FAO, 1993; Myers dkk., 2000). Jumlah spesies per area di hutan pegunungan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Hutan pegunungan lebih jarang dan sering sangat terisolasi (Bussmann, 2001). Puncak-puncak gunung menempati sebagian kecil pulau Jawa. Sekitar 92% permukaan Jawa terletak di bawah ketinggian 1000 m dpl., sekitar 7% berada di ketinggian 1000-2000 m.dpl. dan hanya 0,7% di atas ketinggian 2000 m dpl. (Steenis, 1972).

Hutan pegunungan menjadi titik sentral dalam daur hidrologi dan penahan erosi (Bussmann, 2001). Topografi gunung menyebabkan titik-titik air yang menguap di udara dapat terkondensasi menjadi hujan. Vegetasinya yang lebat, membentuk masa humus yang tebal dan berongga, untuk menahan air hujan dan mendistribusikannya secara berkelanjutan dalam bentuk mata air, anak sungai dan lain-lain. Hutan pegunungan berfungsi menahan laju erosi sehingga memperpanjang umur waduk, sungai, saluran air, dan mencegah kehancuran hutan mangrove di muara sungai. Hutan pegunungan memiliki potensi ekonomi cukup tinggi, berupa hasil hutan dan pariwisata. Hasil hutan meliputi kayu, tanin, madu, tanaman obat dan lain-lain, sedang pariwisata dapat dikembangkan sejalan dengan kecenderungan back to nature (Steenis, 1972).

Di Jawa, gunung merupakan salah satu habitat yang masih agak bebas dari eksploitasi manusia, di samping taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung, dan lain-lain. Di tempat ini terdapat bentuk kehidupan yang khas karena ketinggian dan kemiringan gunung menyebabkan terjadinya variasi suhu, curah hujan, intensitas sinar matahari, ketebalan awan, kelembaban dan kecepatan angin, sehingga cenderung memiliki spesies-spesies yang berbeda dengan dataran rendah. Hutan pegunungan mulai terbentuk di ketinggian sekitar 2000 m, dimana suhu merupakan faktor dominan yang menentukan formasi hutan dan distribusi hewan. Konsep ini dapat diperluas hingga ketinggian sekitar 1000 m, sepanjang faktor suhu menyebabkan komposisi biota cenderung berbeda dengan daratan rendah (Steenis, 1972).

Whitmore (1985) membagi hutan Asia Tenggara berdasarkan elevasi sebagai berikut: 0-1200 m sebagai hutan dataran rendah (lowland forest), 1200-1800 m sebagai hutan gunung dataran rendah (lower montane forest), 1800-3000 m sebagai hutan gunung (upper montane forest), dan di atas 3000m sebagai subalpine forest (hutan subalpin. Hal ini sedikit berbeda dengan pembagian menurut Steenis (1972) yang mengelompokkan zonasi iklim di Jawa sebagai berikut: 0–1000 m sebagai zona tropis, dimana 500–1000 m subzona colline; 1000–2400 m sebagai zona montane, dimana 1000–1500m sebagai subzona submontane; di atas 2400 m sebagai zona subalpine.

Page 53: Taman Budaya Gunung Lawu

49

Ekosistem hutan di bawah ketinggian 1200 m hampir sama dengan hutan dataran rendah. Kondisi hutan pegunungan lebih bervariasi, dengan bertambahnya ketinggian, habitus pohon menjadi lebih pendek, jarang, serta ditumbuhi epifit. Kelembaban tinggi merupakan tempat yang subur untuk pertumbuhan tumbuhan lumut dan lumut kerak. Ekosistem hutan subalpin dicirikan oleh tumbuhan yang ukuran daunnya kecil, cabang diselimuti epifit dan tidak ada anggrek. Bentuk morfologi beberapa pohon pegunungan menyesuaikan diri dengan ketinggian dan arah angin, misalnya Vaccinium varingiaefolium. Pada puncak gunung yang berangin kuat dan kering tumbuhan ini berhabitus semak, sedangkan pada ketinggian yang lebih rendah, basah, dan lebih terlindung dari angin umumnya berhabitus pohon. Hutan subalpin hanya mempunyai satu strata dan miskin spesies. Ciri khas komunitas ini adalah ditemukannya tumbuhan edelweiss (Anaphalis spp.). Pertumbuhan spesies ini sangat lambat, hanya dapat tumbuh sepanjang 20 cm dalam waktu 13 tahun, sehingga spesimen dengan diameter 15 cm, kemungkinan telah berumur lebih dari 100 tahun (Whitten dkk. 1996; Steenis, 1972).

PERAN HUTAN PEGUNUNGAN

Hidrologi. Hutan pegunungan menempati titik sentral dalam daur hidrologi. Topografi gunung menyebabkan titik-titik air yang menguap di udara dapat terkondensasi menjadi hujan. Di samping itu hutan pegunungan dengan tumbuhannya yang lebat, membentuk masa humus yang cukup besar dan berongga, sehingga dapat menahan air hujan dan mendistribusikannya secara berkelanjutan dalam bentuk mata air, anak sungai dan lain-lain. Hutan pegunungan juga berfungsi menahan laju erosi sehingga waduk, sungai, saluran air dan mencegah kehancuran hutan mangrove di muara sungai akibat tingkat sedimentasi yang berlebih (Setyawan, 2000). Nilai ekonomi yang tidak sedikit dan sulit diukur adalah dalam kaitannya sebagai sentral daur hidrologi yang berfungsi salah satunya sebagai sumber mata air bagi daerah-daerah di bawahnya yang meliputi delapan kabupaten.

Keanekaragaman hayati. Hutan merupakan menampung keanekaragaman hayati terbesar di dunia, sekitar separuh spesies tumbuhan dan hewan terdapat di hutan. Hutan pegunungan tropis ditemukan pada ketinggian 1200-3500 m dpl. Hutan ini merupakan ekosistem paling kaya di dunia, sehingga sering disebut bagian terpanas (hotspot) biodiversitas dunia (FAO, 1993; Myers dkk., 2000). Keanekaragaman hayati kawasan tropis merupakan yang paling kaya sekaligus paling terancam di dunia (Giller dkk., 1997). Hilangnya biodiversitas dapat mengganggu fungsi ekosistem secara keseluruhan (Asner dkk., 1997).

Gundulnya hutan, akibat aktivitas manusia maupun bencana alam, diyakini sebagai faktor utama yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati di hutan pegunungan. Deforestasi juga menyebabkan terganggunya fungsi ekologi hutan pegunungan dalam daur hidrologi dan sebagai penahan erosi (Bussmann, 2001). Ketiadaan vegetasi dan tersingkapnya tanah menyebabkan hilangnya habitat fauna tanah yang sangat penting untuk menjaga kesuburan tanah dan keseimbangan ekosistem, mengingat fauna tanah berperan dalam dekomposisi, mineralisasi dan siklus nutrien bahan organik, pembentuk lingkungan mikro bagi kehidupan berbagai organisme, dan mencegah peledakan salah satu atau sekelompok spesies tanah yang menjadi hama atau penyakit (Swift dan Bignell, 2001).

Spesies kayu komersial yang dominan dihasilkan hutan produksi Gunung Lawu adalah pinus, diikuti mahoni. Dalam jumlah yang lebih sedikit dihasilkan pula albizia (Paraserianthes spp.) dan sonokeling (Dalbergia latifolia). Hutan Gunung Lawu

juga menghasilkan turpentine dan gondorukem yang merupakan resin dari pinus. Dengan demikian maka hutan pegunungan memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, berupa hasil hutan dan pariwisata. Hasil hutan meliputi kayu, tanin (damar), madu lebah, tanaman obat, bahan makanan dan lain-lain.

Ekowisata. Potensi pariwisata di Gunung Lawu juga sangat besar; yang didukung oleh keanekaan topografi, keanekaragaman flora fauna dan tinggalan sejarah yang melengkapi keindahan alam tersebut. Potensi ini dapat dikembangkan untuk pariwisata sejalan dengan kecenderungan back to nature (Setyawan, 2000). Pada tahun 2010 World Tourism Organization memperkirakan terdapat 1 milyar turis internasional dengan belanja lebih dari US$ 1,5 milyar. Meningkatnya turisme di kawasan pegunungan diharapkan dapat mendorong upaya konservasi (Godde, 1998).

Lain-lain. Pegunungan merupakan area yang kaya akan berbagai sumberdaya alam, seperti air, kayu, mineral, dan biodiversitas, serta kaya akan warisan budaya masyarakat pegunungan. Selama berabad-abad kawasan ini relatif terasing, terpencil, terisolasi, dan kurang dipengaruhi kegiatan manusia, sehingga ekosistemnya jauh lebih terjaga daripada dataran rendah. Namun sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh manusia terhadap kawasan pegunungan meningkat secara signifikan. Kawasan ini, kini terbuka untuk industri dan pendatang yang dapat dengan cepat menurunkan atau mengubah kekayaan sumberdayanya. Pengambilan sumberdaya alam hampir tidak pernah diikuti investasi kembali kepada lingkungan dan masyarakat lokal yang secara tradisional menjaga ekosistem tersebut (Godde, 1998).

DEGRADASI KEANEKARAGAMAN HAYATI PULAU JAWA

Jawa merupakan pulau dengan kepadatan populasi sangat tinggi. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan lahan, baik untuk pertanian, industri, pemukinan, jalan dan lain-lain sangat tinggi pula, hasilnya semua tempat menanggung tekanan lingkungan. Dataran tinggi telah menjadi kawasan wisata sejak jaman Belanda, karena relatif alami dan jauh dari kebisingan, sehingga sering dibangun tempat-tempat peristirahaan. Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan lahan pertanian sangat besar, akibatnya usaha pertanian merambah pula lereng-lereng pegunungan yang terjal. Berdirinya pemukiman dan aktivitas pertanian di kawasan pegunungan dapat mengganggu fungsi hidrologi dan menaikkan tingkat sedimentasi (Setyawan, 2000).

Di antara tujuh unit biogeografi kepulauan Nusantara, yakni: (i) Jawa dan Bali, (ii) Sumatera, (iii) Kalimantan, (iv) Sulawesi, (v) Nusa Tenggara, (vi) Maluku, serta (vii) Papua dan pulau-pulau sekitarnya, tampak Pulau Jawa dan Bali paling tinggi yang proses pemerosotan keanekaragaman hayatinya, karena banyaknya hutan yang diubah menjadi sawah dan permukiman. Jawa Tengah, merupakan propinsi yang paling sedikit tutupan hutannya, dengan kepadatan penduduk mencapai > 850 jiwa/km2, serta merupakan daerah penghasil beras terbesar di Jawa. Hutan di propinsi ini hanya berupa kantung-kantung kecil yang tersebar tidak merata (Soeriaatmadja, 2000).

Ketiadaan pusat-pusat konservasi keanekaragaman hayati di pulau Jawa bagian tengah dapat menimbulkan masalah serius dalam upaya pemuliaan spesies baru, serta pengendalian hama dan penyakit. Selama ini hal tersebut belum tampak, karena Jawa Tengah sudah amat menggantungkan keperluan keanekaragaman hayati dari berbagai wilayah lain di Nusantara. Dalam dunia pertanian, makin banyak suatu wilayah menggunakan pestisida, seperti di Jawa Tengah, maka makin meningkatkan keanekaragaman hayati populasi hama dan

Page 54: Taman Budaya Gunung Lawu

50

penyakit, serta makin beranekaragam pula predator dan parasitoid yang mampu mengendalikan hama dan penyakit tersebut. Apabila Jawa Tengah ingin mengembangkan suatu “sistem pertanian berkelanjutan” berarti petani harus mampu mengubah sistem pertaniannya menjadi ekosistem pertanian yang lebih beranekaragam (Soeriaatmadja, 2000).

Biodiversitas di Jawa, mengalami pengikisan berat hingga kondisinya sangat memprihatinkan. Umbi-umbian, buah-buahan, burung, ikan yang di tahun 1950-an masih mudah dijumpai di sekitar pemukiman, sekarang sudah sulit ditemukan, bahkan di lingkungan hutan sekalipun, misalnya umbi gembolo (Dioscorea alata L); buah nangka celeng (Artocarpus heterophyllus Lmk); burung elang (Haliaster indus) dan ikan gabus (Ophiocephalus striatus). Beberapa tumbuhan dan hewan bahkan sudah dinyatakan punah, misalnya harimau jawa (Panthera tigris sondaicus) dan jeruk jepara (Limnocitrus littoralis). Terkikisnya berbagai flora dan fauna ini disebabkan oleh meledaknya populasi manusia. Pengikisan dan perusakan biodiversitas ini sudah dimulai sejak jaman Belanda, ketika terjadi pembukaan hutan untuk kebun dan pemukiman. Perusakan pada waktu itu dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan swasta asing secara besar-besaran (Rahadi, 2000).

Dewasa ini pengikisan dan perusakan biodiversitas di Jawa masih terus berlanjut dan paling banyak tetap dilakukan oleh pemerintah melalui Perhutani. Kawasan hutan di Jawa, lebih banyak berupa pegunungan dengan tingkat kemiringan di atas 30 derajat. Mestinya hutan-hutan yang merupakan kawasan konservasi ini tetap dibiarkan dalam bentuk aslinya berupa hutan hujan tropika basah. Tetapi sebagian dari kawasan tersebut dijadikan areal tanaman pinus/tusam (Pinus merkusii). Perubahan dari tegakan heterogen menjadi tegakan homogen akan merusak biodiversitas di dalamnya. Hal ini berbeda dengan perubahan hutan hujan tropika basah menjadi hutan jati (Tectona grandis L.), yang terjadi sejak jaman Hindu, dimana masih tersisa tempat bagi keanekaragaman hayati. Di bawah tegakan jati masih dapat tumbuh aneka jenis semak, rerumputan, terna maupun liana. Satwa seperti rusa, merak, babi hutan dan ular masih dapat bertahan hidup di hutan jati (Rahadi, 2000).

Tegakan pinus nyaris tidak memberikan tempat bagi biodiversitas hutan tropika basah. Tegakan pinus juga tidak tepat untuk konservasi air. Bentuk tajuknya yang meruncing dan daunnya yang menjarum tidak akan mampu menahan guyuran air hujan. Habitat di bawah tegakan pinus juga tidak menyisakan ruang bagi tumbuhan lain. Sebab serasah pinus sulit sekali hancur menjadi humus hingga rumput dan belukar sulit untuk tumbuh. Selain itu pinus juga memiliki sifat alelopati, sama halnya dengan alang-alang, hingga tumbuhan lain sulit untuk hidup berdampingan dengannya (Rahadi, 2000). Perhutani memiliki alasan yang berbeda, di KPH Lawu DS pohon pinus dipilih karena kemampuannya untuk menjaga tanah dari laju erosi, mengingat pada era 1960-an landskap kawasan yang berbukit-bukit dan curam ini, daerah tutupan hutannya terbatas dan tanahnya terus-menerus mengalami erosi. Pinus sangat cocok untuk ditanam di kawasan ini karena mampu tumbuh dengan cepat, dapat mengolonisasi lahan yang terdegradasi, serta dapat tumbuh pada berbagai tipe iklim dan tanah. Di sisi lain, penanaman pinus semula juga tidak dilakukan secara monokultur namun ditanam secara tumpangsari dengan pohon lain seperti rasamala dan puspa, sehingga dapat mengurangi keasaman tanah akibat penanaman pinus. Namun harus diakui pula bahwa sejak permulaan tahun 1958, KPH Lawu DS dirancang untuk menghasilkan kayu lunak (softwood), pulp, fiber, dan turpentine, sehingga penanaman pinus merupakan keniscayaan bagi perusahaan tersebut (SmartWood Program, 2000).

Dalam menjaga pengakuan dunia internasional bahwasanya Perhutani telah melakukan kegiatan penebangan hutan dengan

berwawasan lingkungan (ecolabelling), Perhutani mencadangkan sebagian area hutan negara sebagai hutan lindung, namun ekosistem kawasan konservasi ini sering kali tidak serupa dengan ekosistem kawasan hutan produksi. Dalam kasus KPH Lawu DS yang mengelola area seluas sekitar 51.348,9 ha. Perhutani mencagarkan lebih dari separuh areanya untuk hutan lindung, dengan perincian hutan produksi 24.320,7 ha dan hutan lindung 26.426,4 ha, sisanya untuk kegunaan lain seluas 603,8 ha (SmartWood Program, 2000); namun sebagian besar hutan lindung terletak di lereng terjal Gunung Lawu yang tidak ekonomis untuk dijadikan hutan produksi dan secara ekologi berbeda dengan hutan produksi di bawahnya, sehingga kondisi ekosistem hutan lindung ini tidak dapat mewakili kondisi ekosistem hutan produksi.

Perusakan hutan di Jawa oleh masyarakat, sebenarnya tidak sehebat yang dilakukan Perhutani yang mengubah hutan tropika basah menjadi tegakan pinus. Ada tiga faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan pengikisan biodiversitas di Jawa. Pertama untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kedua untuk memperoleh keuntungan finansial/ekonomi. Ketiga untuk memenuhi kebutuhan energi berupa kayu bakar dan hijauan sebagai pakan ternak. Dengan membaiknya ekonomi Indonesia di masa Orde Baru, maka perusakan biodiversitas oleh masyarakat untuk tujuan pemenuhan pangan sudah tidak dilakukan. Tetapi akhir-akhir ini perusakan untuk tujuan ekonomi kembali berlangsung dan makin hebat. Sementara perusakan untuk keperluan pakan ternak dan energi juga tidak pernah tuntas penyelesaiannya (Rahadi, 2000).

KEANEKARAGAMAN HAYATI GUNUNG LAWU

Gunung Lawu, gunung ketiga tertinggi di Pulau Jawa, merupakan pegunungan vulkanik bertipe B yang tidak aktif lagi, berbentuk maar, membentuk sebuah tanggul di sekeliling bekas lubang kawah kepundan (Berita Berkala Vulkanologi, 1992). Secara geografi, Gunung Lawu terletak di sekitar 111o11,5’ BT dan 7o37,5’LS. Hutan lindung lereng barat termasuk Propinsi Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri, sedang lereng timur termasuk Propinsi Jawa Timur, meliputi Kabupaten Magetan dan Ngawi. Gunung ini memanjang dari utara ke selatan, dipisahkan jalan raya penghubung propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan Cemoro Sewu (± 1800 m) sebagai dusun teratas. Topografi bagian utara berbentuk kumpulan kerucut dengan puncak Argo Dumilah (3.265 m), sedang bagian selatan sangat komplek terdiri dari bukit dan jurang dengan puncak Jobolarangan (2.298 m) (US Army Map Services, 1963). Hutan di lereng barat gunung ini dikelola Perum Perhutani KPH Surakarta (Unit I Jawa Tengah), sedang lereng timur dikelola KPH Lawu dan sekitarnya (Unit II Jawa Timur) (SmartWood Program, 2000; Setyawan, 2001). Di kawasan puncak Gunung Lawu, terdapat hutan seluas 20.400 ha sebagai hutan lindung. Di lereng yang lebih rendah terdapat hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Di lereng barat terdapat hutan konservasi berupa Taman Hutan Raya Ngargoyoso.

Gunung Lawu merupakan habitat yang sangat eksotis, karena menjadi batas antara lingkungan Jawa Timur yang cenderung datar, kering, dan gersang dengan Jawa Tengah yang mulai basah, sebelum mencapai Jawa Barat dan Banten yang bergunung-gunung, basah dan dingin. Sebagai kawasan peralihan ekologi (ekoton), tempat ini ditumbuhi spesies-spesies khas Jawa Timur yang tidak tumbuh di Jawa Barat dan sebaliknya. Cemara gunung (Casuarina junghuhniana Miq.) yang banyak tumbuh di Gunung Lawu dan gunung-gunung Jawa Timur, tidak tumbuh di gunung-gunung sebelah barat Gunung Lawu, atau sebaliknya pohon rasamala (Altingia exselsa) yang

Page 55: Taman Budaya Gunung Lawu

51

melimpah di Jawa Barat dan Banten, secara alami tidak tumbuh di Jawa Timur (Steenis, 1972). Di Gunung Lawu rasamala (serta puspa dan pinus) merupakan tumbuhan introduksi untuk hutan tanaman industri (SmartWood Program, 2000).

Hutan Gunung Lawu memiliki berbagai fungsi ekologi seperti menjaga daerah aliran sungai, sekuestrasi karbon, dan mencegah erosi tanah. Kawasan di sekitar lereng Gunung Lawu merupakan area pertanian yang sangat subur, karena merupakan daerah tangkapan hujan, dimana angin tenggara yang melewati Laut Selatan, berawan dan mengandung uap air menabrak gunung dan terangkat ke atas, sehingga terjadi kondensasi membentuk titik-titik air yang turun sebagai hujan (Steenis, 1972). Sepanjang tahun, lereng selatan gunung ini mendapatkan curahan hujan cukup tinggi, sehingga menjadi sumber air bagi pertanian dan pemikiman di sekitarnya. Kesuburan Gunung Lawu juga diakibatkan oleh tanahnya yang vulkanis. Jenis tanah ini menjadi area budidaya yang sangat intensif di Indonesia, karena kandungan mineralnya yang melimpah bagi pertumbuhan tanaman, meskipun kemampuannya dalam menahan kation tanah terbatas (Utami dan van Ranst, 1998). Hutan gunung ini terletak pada area berbukit-bukit, sedang bagian lembah di antara bukit yang lebih datar umumnya merupakan lahan pertanian dengan penduduk yang padat. Secara tradisional, hutan ini dimanfaatkan penduduk setempat untuk menyediakan kayu bakar, pakan ternak, dan produk-produk non-kayu seperti tumbuhan obat dan satwa liar, di samping sebagai sumber kayu bangunan sebagaimana yang juga telah dilakukan pemerintah kolonial selama ratusan tahun (SmartWood Program, 2000).

Jobolarangan (atau dilafalkan masyarakat setempat sebagai Jogolarangan) merupakan salah satu contoh lokasi di Gunung Lawu yang masih memiliki ekosistem alami dan keanekaragaman hayati cukup tinggi. Bagian dalam hutan ini berupa hutan primer, berisi pohon-pohon tua dan besar, dengan tinggi dapat mencapai 40-60 meter dan garis tengah sekitar 1½ meter. Intensitas sinar matahari di lantai hutan sangat rendah dan hanya memungkinkan pertumbuhan herba dan semak-semak tertentu. Namun beberapa puncak bukit sempat mengalami kebakaran hebat pada tahun 1997, sehingga hanya didominasi rerumputan ilalang dan semak-semak, menunjukkan proses suksesi yang masih berlangsung. Bagian luar hutan berupa hutan tanaman industri yang didominasi pohon pinus, puspa, kipres, dan Acacia decurrens, yang membatasai lahan budidaya masyarakat dengan hutan alam (Setyawan, 2001).

Keanekaragaman hayati Jobolarangan sangat tinggi. Dalam penelitian pendahuluan dilaporkan adanya lebih dari 150 spesies tumbuhan Spermatophyta (Sutarno dkk., 2001), termasuk 12 spesies anggrek epifit (Marsusi dkk., 2001). Hal ini melengkapi penelitian sebelumnya yang menemukan 77 spesies Cryptogamae (Setyawan dan Sugiyarto, 2001). Juga dilaporkan adanya sekitar 20 spesies plankton (Susilowati, 2001), 12 familia larva insekta akuatik (Mahajoeno, 2001), 6 kelompok mesofauna tanah (Sugiyarto dkk., 2001) dan 5 tipe spora endogone (Listyawati dkk., 2001). Penelitian lebih detail diyakini akan menambah jumlah spesies yang ditemukan.

Pengamatan secara acak di lapangan menunjukkan bahwa nilai penutupan setiap spesies tumbuhan berkisar 10-60%, sehingga seluruh permukaan tanah tertutup kanopi tumbuhan, termasuk lantai hutan yang terbuka karena runtuhnya pohon tua atau bekas kebakaran. Tumbuhan tidak hanya dijumpai di permukaan tanah, tetapi juga merambat atau epifit pada pohon dan tebing batu. Di hutan ini ditemukan pula berbagai spesies serangga dan laba-laba, burung, ular, kadal dan katak. Menurut penduduk setempat di lokasi ini dapat pula dijumpai beberapa mamalia besar, seperti anjing hutan, macan, kucing hutan, rusa, celeng, lutung dan kera (Setyawan, 2001). Tingginya keanekaragaman hayati di Joborlarangan disebabkan letaknya di

lereng selatan Gunung Lawu yang curah hujannya tinggi; tidak pernah terbakar, kecuali beberapa puncak bukit; topografinya berupa bukit-bukit yang sulit dijangkau; merupakan area latihan rutin pasukan elit yang pada masa lalu sangat disegani; serta adanya kesadaran penduduk setempat untuk menjaga kelestarian hutan yang merupakan sumber air bagi kehidupan sehari-hari (Setyawan dan Sugiyarto, 2001).

Salah satu jejak manusia yang paling menyolok di hutan Jobolarangan adalah jalan-jalan setapak yang dibuat untuk memasang pipa air dan menghubungkan desa-desa yang berseberangan bukit. Jalan setapak ini penuh dengan serasah dan pada tempat terbuka tertutup oleh semak-semak, menunjukkan jarang dilalui manusia. Meskipun demikian Jobolarangan bukan kawasan yang steril dari gangguan manusia dan alam. Kebakaran hutan merupakan momok yang terus mengancam walaupun diakui sebagai bagian siklus alamiah ekosistem hutan pegunungan di Jawa. Pengambilan pohon secara ilegal untuk bahan bangunan, kayu bakar dan bahan baku pembuatan arang masih dilakukan masyarakat setempat, sedangkan masyarakat luar kadang-kadang datang untuk menembak rusa, celeng dan ayam hutan. Kealamiahan hutan ini juga mendorong berbagai kelompok pecinta alam melakukan jungle survival selama berhari-hari dengan mengkonsumsi hewan dan tumbuhan liar, sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian ekosistem, mengingat semakin hari kelompok yang datang semakin banyak (Setyawan, 2001).

ANCAMAN KERUSAKAN EKOSISTEM GUNUNG LAWU

Kerusakan hutan Gunung Lawu terutama disebabkan penebangan liar (illegal logging), tanah longsor (landslide), kebakaran hutan (bush fire) dan perambahan hutan untuk pertanian (agricultural encroachment). Kerusakan hutan banyak disebabkan penebangan liar oleh masyarakat maupun penebangan berijin oleh Perhutani (Kompas, 25/08/2001; 9/02/2003; 11/02/2003), namun yang tidak kalah dahsyatnya adalah kerusakan hutan akibat bencana kebakaran yang umumnya juga dipicu oleh aktivitas manusia. Penebangan liar antara lain terjadi pada hutan di daerah Nglerak (124.5 ha), Banjarsari (363.4 ha), Blumbang (100.6 ha), dan Tlogo Dlingo (72.4 ha), sedangkan titik kritis lain yang disebabkan karena tanah longsor terjadi di petak Banjarsari yang mencapai 154.8 ha, dan kerusakan yang disebabkan karena kebakaran hutan terjadi di daerah Banjarsari, Tlogo Dlingo dan Tambak mencapai 63 ha. (Sutarno dan Respati, 2001). Kebakaran hutan merupakan kejadian rutin yang sering menimpa di musim kemarau. Kebakaran besar pernah terjadi pada tahun 1997 yang menghanguskan sekitar 400 ha hutan lindung dan hutan produksi (Kompas, 27/09/1997; Pikiran Rakyat, 8/02/2003). Kebakaran kembali terjadi pada tahun 2002 yang menghanguskan lebih dari 22 ha hutan lindung (Suara Merdeka, 15/08/2002, 16/08/2002; Kompas, 16/08/2002; Media Indonesia, 16/08/2002; Jawa Pos, 13/10/2002, 14/10/2002). Kebakaran yang terjadi pada musim kemarau tersebut, biasanya diikuti bencana tanah longsor pada musim penghujan berikutnya (Jawa Pos, 20/11/2002; Kompas, 17/12/2002, 25/01/2003; Koran Tempo, 25/01/2003; Suara Merdeka, 25/01/2003; 03/02/2003). Hal ini berdampak menurunnya turis yang mengunjungi gunung ini (Kompas, 20/08/2002; Suara Merdeka, 27/03/2003). Padahal pariwisata merupakan industri yang paling cepat pertumbuhannya dan diharapkan dapat mendorong upaya konservasi sumberdaya alam ini (Godde, 1998).

Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti gerakan reformasi, dan ketidakstabilan politik pada tahun 1998-1999, juga berdampak terhadap manajemen tanah negara yang berupa

Page 56: Taman Budaya Gunung Lawu

52

hutan, dimana terdapat atmosfer sosial-ekonomi yang kuat untuk menentang hagemoni Perhutani sebagai penguasa hutan negara (SmartWood Program, 2000), sehingga terjadi penebangan liar dan aneksasi lahan negara secara luas (Peluso 1992). Hal ini menumbuhkan kesadaran pentingnya peran serta masyarakat/institusi setempat dalam pengelolaan hutan negara, atau dikenal dengan “pendekatan hutan kemasyarakatan”, namun belum menghentikan perusakan hutan. Menurut Simon (1993), hal ini disebabkan semua pendekatan yang dilakukan baik pendekatan keamanan maupun kemakmuran ditujukan pada pemecahan masalah konversi ke lahan pertanian, perumputan oleh ternak, dan pembalakan liar, yang lebih merupakan akibat daripada akar permasalahan itu sendiri. Banyaknya pekerja tidak terampil, konsumsi kayu bakar, dan kebutuhan kayu bangunan merupakan masalah dasar yang tidak terkelola dalam manajemen. Pada saat ini telah diperkenalkan pengelolaan kolaboratif yang menyertakan masyarakat dalam hutan produksi.

Kerusakan hutan ini telah menyebabkan terjadinya penurunan debit air di telaga Sarangan menurun hingga menjadi setengah dari debit air Sarangan pada 15 tahun yang lalu, dan secara signifikan menyebabkan penurunan populasi tumbuhan edelweiss dan sendukan serta secara drastis menyebabkan penurunan populasi burung jalak lawu (Soenarto, 2000). Penurunan ketersediaan air di hutan gunung Lawu yang merupakan daerah tangkapan air (catchment area) utama bagi daerah-daerah di sekitarnya termasuk di Kabupaten Karanganyar, Ngawi, Magetan dan Wonogiri jelas akan berdampak pada kerawanan ketersediaan air bersih di daerah-daerah itu terutama pada musim kemarau.

Untuk itu perlu adanya usaha secara serius dan berkesinambungan yang melibatkan semua pihak baik pemerintah terkait, masyarakat sekitar, LSM dan perguruan tinggi untuk secara bersama-sama mendukung konservasi Gunung Lawu agar manfaat langsung maupun tidak langsung dari keberadaan gunung ini dapat berkelanjutan (sustainable). Potensi Gunung Lawu yang memiliki luasan, kekhasan dan kemapanan vegetasi, kekhasan dan keragaman bentang geomorfologi, situs purbakala dan kemungkinan pengembangan industri pariwisata memungkinkan diujudkannya konservasi dalam bentuk taman nasional. Tentu saja dalam realisasinya, apapun bentuk konservasinya, harus dipikirkan dan diujudkan keterlibatan masyarakat sekitar, serta masyarakat sekitar diusahakan untuk dapat memahami dan memperoleh keuntungan langsung maupun tidak langsung dari keberadaan model konservasi tersebut dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA

Konsep taman nasional diyakini merupakan model konservasi ekosistem alami yang paling tepat. Dalam Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang “Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya”, disebutkan bahwa: taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, pengembangan budidaya dan rekreasi/pariwisata.

Anggapan bahwa taman nasional harus steril dari aktivitas manusia adalah tidak benar. Masyarakat lokal beserta kearifan budayanya sering kali menjadi bagian tidak terpisahkan dari ekosistem alam. Sehingga kerap kali pemindahan mereka dari tempat asalnya, bukan hanya gagal memindahkan orang setelah puluhan tahun, tetapi juga mempermiskin masyarakat secara struktural dan turun-temurun. Meskipun harus diakui pula budaya konsumerisme telah mulai menggerogoti kearifan tradisional sebagian masyarakat, sehingga sikap terhadap kelestarian

lingkungan mulai dikhawatirkan para pemerhati biodiversitas (Setyawan, 2001).

Kawasan konservasi di Indonesia meliputi areal seluas hampir 20 juta ha (Yusuf, 1987), bahkan menurut Isma’il (2000) luasnya mencapai 22,4 juta ha, terdiri dari taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata dan taman buru. Indonesia memiliki sekurang-kurangnya 30 taman nasional di darat dan enam di laut dengan total luas sekitar 15 juta ha. Di Jawa terdapat sembilan taman nasional, yakni tujuh di darat dan dua di laut. Di Propinsi Jawa Barat dan Banten terdapat tiga taman nasional yaitu: TN Ujung Kulon (122.956 ha), TN Gunung Gede Pangrango (15.000 ha) dan TN Gunung Halimun (40.000 ha). Di Propinsi Jawa Timur terdapat empat taman nasional yaitu: TN Bromo, Tengger, Semeru (50.276,2 ha), TN Meru Betiri (58.000 ha), TN Baluran (25.000 ha) dan TN Alas Purwo (43.420 ha). Di samping itu terdapat pula dua taman nasional laut, yaitu TNL Kepulauan Seribu di DKI Jakarta (108.000 ha) dan TNL Kepulauan Karimunjawa di Jawa Tengah (111.625 ha) (Anonim, 1993). Salah satu lokasi yang sangat potensial untuk pendirian taman nasional, dimana dukungan masyarakat cukup kuat adalah Gunung Lawu, yang terletak di perbatasan propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Anonim, 2001). Hal ini melengkapi Taman Nasional Merapi-Merbabu yang diputuskan pada tahun 2001 (Djuwantoko, 2005).

Klasifikasi Kawasan Konservasi Indonesia Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengklasifikasikan berbagai kawasan konservasi, sebagai berikut: • Kawasan suaka alam (KSA) terdiri dari:

- Suaka margasatwa - Cagar alam

• Kawasan pelestarian alam (KPA), terdiri dari: - Taman Nasional - Taman Hutan Raya - Taman Wisata Alam

• Taman Buru (UU 41/1999 tentang Kehutanan)

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas

tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari: kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru (Ps 1 UU No. 41/1999)

Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukakan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Ps 1 UU No. 5/1990)

Page 57: Taman Budaya Gunung Lawu

53

Peran dan Fungsi Kawasan Konservasi • Perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk mengatur

tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah interusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah,

• Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan

• Pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari.

Permasalahan Tekanan dan Ancaman • Berbagai tekanan dan ancaman yang menyebabkan

kerusakan kawasan konservasi, terutama disebabkan oleh kurangnya:

° pengetahuan (information), ° kesadaran (awareness), ° pengakuan (recognition), ° persepsi (perception), ° penghargaan (appreciation), ° peranserta (participation) dan ° keterlibatan (involvement)

dari masyarakat setempat, pengusaha, pemerintah dan berbagai pihak terkait terhadap upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

• Solusi dari permasalahan pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi:

° integrasi kepentingan konservasi dengan berbagai kepentingan pembangunan wilayah

° menumbuhkan pemahaman, pengertian dan kesadaran mengenai kepentingan pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi

Strategi dan Pendekatan Pengelolaan Kawasan Konservasi • Re-orientasi pengelolaan kawasan konservasi diarahkan

untuk kelestarian lingkungan, meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Upaya ini akan berhasil apabila mampu membuktikan besarnya manfaat dan fungsi yang dapat diperoleh dari keberadaan kawasan konservasi dan sumberdaya alamnya,

• Re-fungsionalisasi pengelolaan kawasan konservasi yang dilaksanakan dengan memfasilitasi pemanfaatan kawasan konservasi guna memberi akses bagi masyarakat dalam berperan/berpartisipasi dan terlibat secara interaktif dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan,

• Re-vitalisasi pengelolaan kawasan konservasi yang dilaksanakan dengan menyempurnakan metode dan teknik pelaksanaan kegiatan teknis pengelolaan kawasan konservasi di lapangan, sehingga meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia pengelola kawasan konservasi secara professional,

• Re-inventarisasi dan Re-identifikasi kawasan konservasi dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang disesuaikan dengan perkembangan terakhir.

Melalui strategi dan pendekatan tersebut secara umum dapat dikemukakan ada dua driving forces untuk menghadapi perubahan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan konservasi di masa depan, yaitu: • Menekan/meminimalisasi konflik yang terjadi di dalam

pemanfaatan sumberdaya alam. • Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam secara

bijaksana, berkelanjutan dengan memperhatikan kepentingan dan kesimbangan antara aspek ekonomi,

ekologi dan lingkungan, dan sosial budaya masyarakat sebagai ultimate beneficiaries pembangunan.

Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi terhadap Pembangunan Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat • Mengupayakan terwujudnya tujuan dan misi konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistem. • Kebijaksanaan penunjukkan, penetapan dan pengelolaan

kawasan konservasi ditujukan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya agar dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan tersebut sesuai fungsi kawasan konservasi harus selalu dikaitkan dengan misi utama konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

• Meningkatkan pendayagunaan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem dari kawasan konservasi untuk kegiatan yang menunjang budidaya. Pendayagunaan ini mencakup jenis kegiatan pemanfaatan yang dimungkinkan dilaksanakan di dalam kawasan konservasi dengan memperhatikan misi konservasi sebagai arahan pelaksanaannya, serta memperhatikan segi positif dan negatifnya. Pemanfaatan tersebut dapat berupa:

° Pemanfaatan kawasan adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan sebagai sumber plasma nutfah dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, untuk plasma nutfah tersebut dibudidayakan dan dikembangkan di luar kawasan, antara lain untuk kepentingan budidaya jamur, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman hias, dan lain-lain

° Pemanfaatan wisata alam dan jasa lingkungan adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi wisata alam dan jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, antara lain untuk pemanfaatan wisata alam, pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan dan kenyamanan, penelitian, pendidikan dan kesadaran konservasi, dan lain-lain

° Pemungutan hasil hutan bukan kayu adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti untuk mengambil madu, mengambil getah, mengambil buah, dan lain-lain.

Usaha pemanfaatan dan pemungutan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan fungsi kawasan konservasi. • Memberdayakan peranserta masyarakat di sekitar

kawasan konservasi. Dalam pengelolaan dan pembangunan kawasan konservasi, keberadaan dan kepentingan masyarakat di sekitar dan/atau di dalam kawasan konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan kawasan konservasi, serta harus diupayakan pembinaan masyarakat agar mereka dapat berperan aktif dalam setiap upaya konservasi di samping berupaya untuk meningkatkan kesejahteraannya.

• Keterpaduan dan koordinasi. Pengelolaan dan pembangunan kawasan konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan wilayah maupun nasional, sehingga setiap kegiatan di dalam kawasan konservasi maupun kegiatan pembangunan sektor lain di luarnya harus dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan sedemikian rupa agar kegiatan pembangunan tersebut terselenggara secara selaras, serasi dan seimbang.

Page 58: Taman Budaya Gunung Lawu

54

• Pemantauan dan evaluasi. Merupakan upaya untuk memantau dan mengevaluasi setiap perkembangan keadaan dan pemanfaatan kawasan konservasi, apakah terjadi kerusakan dan penyimpangan atas fungsi utama kawasan. Apabila pemantauan dan evaluasi menunjukkan terjadi kerusakan dan penyimpangan atas fungsi kawasan baik sebagian atau seluruhnya serta tidak dapat dipulihkan kembali, maka fungsi kawasan tersebut dapat diubah ke fungsi lain yang lebih sesuai.

Manfaat Kawasan Konservasi • Nilai guna langsung (direct use values), yang dapat

dihasilkan langsung dari kawasan konservasi serta mudah untuk dikuantifikasi sebagai manfaat kawasan konservasi, antara lain berupa produk hasil hutan, bahan makanan, bahan baku obat-obatan, bahan kimia aktif untuk industri, dan manfaat rekreasi.

• Nilai guna tidak langsung (indirect use values), yang mencakup manfaat fungsional dari proses ekologis yang secara terus menerus memberikan perananannya kepada masyarakat dan ekosistem serta tidak mudah untuk dikuantifikasi, antara lain pengendalian banjir, penyediaan sumber air, perlindungan badai, siklus nutrisi, pendukung kehidupan global berupa penyerapan karbon/polutan, dan pengendalian perubahan iklim, menjaga kesehatan manusia, dan lain-lain. Nilai guna tidak langsung tersebut memperlihatkan secara nyata mengenai adanya keterkaitan yang jelas antara kawasan konservasi dengan pembangunan daerah/ekonomi;

• Nilai guna pilihan (option value), yang meliputi manfaat sumberdaya alam yang dapat disimpan, disisihkan atau dipertahankan untuk kepentingan pemanenan yang akan datang, antara lain berupa keanekaragaman hayati, sumberdaya genetik, perlindungan jenis/spesies, keragaman ekosistem, proses evolusi, dan produk-produk tersebut umumnya belum diketahui dan tidak memiliki nilai pasar pada saat ini

• Nilai guna non-konsumtif meliputi nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values):

° Nilai keberadaan adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan konservasi karena adanya nilai keberlanjutan akan keberadaan sumberdaya tertentu seperti konservasi habitat dan spesies tertentu, integritas nilai-nilai spiritual, estetika, dan kultural.

° Nilai warisan merupakan nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap suatu daerah tertentu agar tetap utuh untuk dapat diberikan kepada generasi mendatang seperti konservasi habitat, upaya preventif terhadap perubahan yang tidak dapat diperbarui. Nilai guna non-konsumtif tersebut umumnya tidak dapat terefleksikan dalam harga pasar.

GUNUNG LAWU SEBAGAI KANDIDAT TAMAN NASIONAL

Kriteria Umum Taman Nasional (UU No. 5 Tahun 1990) Taman Nasional adalah: kawasan luas yang relatif tidak

terganggu yang mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan terdapat manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Zonasi dalam taman nasional meliputi: • zona inti, • zona rimba dan

• zona pemanfaatan intensif. Zona inti adalah zona yang paling peka dimana diperlukan

perlindungan secara ketat. Pada dasarnya semua kegiatan dilarang dilakukan di dalam zona inti, kecuali penelitian, upaya penangkaran atau suatu bentuk program pendidikan konservasi yang telah diijinkan.

Zona rimba mempunyai tujuan utama sebagai tempat untuk pelestarian, tetapi tidak seketat pada zona inti. Kegiatan ringan seperti mendaki, wisata alam terbatas, rehabilitasi dan pembangunan sarana (jalan setapak, papan petunjuk, shelter, dan lain-lain) secara terbatas dapat dimungkinkan.

Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang diperuntukkan bagi kepentingan terutama wisata alam, pendidikan lingkungan, penelitian, dan lain-lain. Di dalam zona ini dimungkinkan pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan dengan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku.

Kriteria Penetapan Taman Nasional (PP No. 68 Tahun 1998) • Pertama: Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang

cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; Secara keseluruhan hutan lindung di Gunung Lawu meliputi areal seluas lebih dari 20.400 ha. Luas ini dapat bertambah apabila diikutsertakan hutan produksi dan produksi terbatas pada ketinggian yang lebih rendah.

• Kedua: Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; situs purbakala, dan situs budaya Gunung Lawu memiliki banyak situs lama karena merupakan tempat pengasingan penguasa Majapahit terakhir, Raja Brawijaya V yang tidak bersedia mengikuti putranya, Raden Fatah ke Demak. Situs-situs ini tersebar mulai dari kaki gunung, misalnya Candi Sukuh dan Candi Cetho, hingga puncak gunung, seperti “makam” Argo Dalem. Dalam kepercayaan tradisional Jawa mataraman, gunung ini dipercaya memiliki makna spiritual tertentu, sehingga sejak ditetapkannya penanggalan hijriyah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada abad ke-16, setiap tahun baru hijriyah (1 Suro) masyarakat Jawa menziarahi gunung ini. Pada dekade terakhir, setiap tahun baru hijriyah didatangi ribuan peziarah, begitu pula pada tahun baru masehi dan hari ulang tahun kemerdekaan RI.

• Ketiga: Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; Vegetasi hutan Gunung Lawu relatif mapan karena tidak adanya aktifitas vulkanik dalam jangka panjang; serta masih dijumpai banyak lokasi yang memiliki ekosistem alami tanpa campur tangan manusia atau gangguan alam seperti kebakaran. Salah satu bentuk ekosistem asli yang relatif masih alami dapat ditemukan di lereng selatan Gunung Lawu pada hutan Jobolarangan. Kawasan ini memiliki ekosistem alami dengan keanekaragaman hayati cukup tinggi. Bagian dalam hutan ini berupa hutan primer, berisi pohon-pohon tua dan besar, dengan tinggi dapat mencapai 40-60 meter dan garis tengah sekitar 1½ meter. Intensitas sinar matahari di lantai hutan sangat rendah dan hanya memungkinkan pertumbuhan herba dan semak-semak tertentu. Di Gunung Lawu juga terdapat spesies-spesies biota yang khas, misalnya jalak lawu (Turdus sp.) yang belum masuk dalam buku-buku panduan lapangan dan cemara gunung (Casuarina junghuhniana) yang secara alami tidak pernah dijumpai pada gunung-gunung di sebelah barat gunung ini.

• Keempat: Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; Sifat ekologis,

Page 59: Taman Budaya Gunung Lawu

55

geomorphologis, nilai-nilai aestetika secara alami masih terjaga keutuhan dan keasliannya Bentangan topografi Gunung Lawu sangat khas, sehingga mampu mengkondensasi angin tenggara yang basah menjadi hujan. Hal ini menyebabkan lereng selatan relatif subur dengan vegetasi yang rapat, sekalipun musim kemarau. Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar di lereng barat daya memperoleh cukup air untuk pertanian, sedang Kecamatan Plaosan, Magetan di lereng tenggara yang tanahnya porous terbentuk telaga Sarangan yang luas. Selain topografi yang khas, taman nasional memerlukan bentang geomorfologi yang beraneka. Kekayaan geomorfologi Gunung Lawu antara lain berupa mata air/air terjun, gua, sumber air panas dan lubang-lubang kawah solfatara.

• Kelima: Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebai zona tersendiri. Memiliki potensi untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kesadaran konservasi alam, pariwisata alam dan rekreasi, budaya, sumber plasma nutfah untuk mendukung kepentingan budidaya Gunung lawu dapat dikelola berdasarkan sistem zonasi, mengingat cukup luas dan bentuk bentang alamnya dapat menjadi batas alami bagi zonasi tersebut. Batas-batas alami ini, seperti lereng yang terjal, jurang yang dalam, dan hutan yang lebat secara alamian menjadi pembatas aktivitas manusia di dalamnya. Keanekaragaman hayati, kondisi fisik topografi, serta kondisi sosial budaya pada saat ini maupun masa lalu memungkinkan dilakukannya berbagai tema penelitian, serta menjadi sarana pendidikan dan pengenalan konservasi alam. Keanekaragaman genetiknya juga berpotensi sebagai plasma nutfah bagi pemuliaan spesies atau domestikasi. Ekosistem Gunung Lawu sangat memungkinkan tumbuhnya industri pariwisata, yang merupakan persyaratan terakhir berdirinya taman nasional. Bahkan pengembangan pariwisata di kawasan ini telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan, khususnya di Tawangmangu. Pada masa kini pengembangan pariwisata alami terpadu di sekitar Gunung Lawu, sebagaimana di Puncak, Jawa Barat sangat mungkin dilakukan. Di samping taman nasional, kawasan ini berpotensi pula mendukung berdirinya pusat-pusat konservasi biodiversitas seperti: kebun raya, taman hutan raya, taman safari, taman bunga, taman buah dan lain-lain, termasuk agrowisata kebun teh, karet, pinus, sayuran, buah dan lain-lain.

Fungsi Taman Nasional (PP No. 68 Tahun 1998) • Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga

kehidupan. • Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa. • Sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Tujuan Pengelolaan Taman Nasional (PP No. 68 Tahun 1998) • Terjaminnya keutuhan kawasan taman nasional; • Terjaminnya potensi, keragaman tumbuhan, satwa dan

ekosistemnya;

• Optimalnya manfaat taman nasional untuk penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya, dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat.

Prinsip Dasar Pengelolaan Taman Nasional (PP No. 68 Tahun 1998) • Kegiatan taman nasional harus mengoptimalkan tiga misi

yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

• Dikelola dengan sistem zonasi. • Dalam beberapa bagian kawasan dengan kondisi ekosistem

telah terganggu akibat aktifitas manusia perlu dilakukan rehabilitasi kawasan.

• Pemanfaatan taman nasional terutama ditujukan untuk hal-hal berikut: penelitian, pendidikan konservasi, pariwisata alam dan sumber plasma nutfah untuk penangkaran dan menunjang budidaya.

• Daerah di luar kawasan taman nasional dapat dipertimbangkan sebagai daerah penyangga.

Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif (Keputusan Menhut No. P.19/Menhut-II/2004)

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam memberi arahan agar KPA dan KSA dapat dikelola secara kolaborasi sehingga memungkinkan berbagai pihak termasuk masyarakat setempat turut serta dalam pengelolaannya.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pelaksanaan kolaborasi, antara lain: 1. Kolaborasi pengelolaan kawasan pelestarian alam (KPA)

adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu, meningkatkan efektivitas pengelolaan KPA secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang-berlaku.

2. Kelembagaan kolaborasi dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan KPA adalah pengaturan yang meliputi wadah (organisasi), sarana pendukung, pembiayaan termasuk mekanisme kerja dalam rangka melaksanakan pengelolaan kolaborasi yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

3. Para pihak adalah semua pihak yang memiliki minat kepedulian atau kepentingan dengan upaya konservasi KPA antara lain pemerintah pusat, pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUMD, swasta nasional, perorangan, masyarakat internasional, perguruan tinggi/universitas/lembaga pendidikan/lembaga ilmiah.

4. Tujuan kolaborasi pengelolaan KPA adalah terwujudnya persamaan visi, misi dan langkah-langkah strategis dalam mendukung, memperkuat dan meningkatkan pengelolaan KPA sesuai dengan kondisi fisik, sosial, budaya dan aspirasi setempat.

5. Dukungan para pihak dalam melakukan kolaborasi dapat berupa: sumber daya manusia, sarana dan prasarana, data dan informasi, dana, dukungan lain sesuai kesepakatan bersama.

6. Pelaksanaan kolaborasi oleh para pihak dituangkan secara tertulis dalam bentuk Kesepakatan Bersama.

Kegiatan-kegiatan pengelolaan suatu KPA yang dikolaborasikan:

• Dukungan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Page 60: Taman Budaya Gunung Lawu

56

• Jangka waktu kolaborasi. • Pengaturan sarana dan prasarana yang timbul akibat

adanya kolaborasi setelah jangka waktu berakhir.

Proses Usulan Kawasan Konservasi Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut No. 70/Kpts-

II/2001 15 Maret 2001 jo No. SK.48/Kpts-II/2004 23 Januari 2004.

Persyaratan perubahan fungsi untuk menjadi kawasan konservasi • Studi/kajian teknis usulan perubahan fungsi hutan oleh Dinas

Kehutanan yang difasilitasi Balai KSDA. • Penyusunan rancangan strategi dan tindak lanjut usulan

kawasan konservasi. • Komunikasi, konsultasi dan sosialisasi usulan kawasan

konservasi. • Persetujuan dan dukungan Perum Perhutani. • Kelengkapan usulan dan rekomendasi dari Bupati dan

Gubernur. • Kajian tim terpadu (pusat, daerah, LIPI, LSM, PT/Universitas,

dan lain-lain). • Peta usulan kawasan konservasi sekala 1: 100.000. • Keputusan Menteri Kehutanan tentang perubahan fungsi dan

penunjukan kawasan konservasi.

Pemberdayaan Ekonomi/Kesejahteraan Masyarakat Kerusakan kawasan konservasi keanekaragaman hayati

sering kali berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, pertambahan penduduk dan budaya baru yang berkembang pada masyarakat di sekitarnya. Secara tradisional masyarakat di sekitar kawasan konservasi umumnya telah dibekali oleh para leluhurnya dengan rambu-rambu kearifan tradisional untuk mencegah kerusakan lingkungan dan menjaga tercukupinya kebutuhan hidup secara berkesinambungan, akan tetapi perubahan kultur dan tekanan ekonomi sering kali mengubah pandangan hidup tersebut sehingga eksploitasi sumber daya alam dan ekosistemnya dilakukan melebihi daya dukung lingkungan, akibatnya terjadi kerusakan permanen. Oleh karena itu konservasi biodiversitas di suatu kawasan tidak dapat meninggalkan upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di sekitarnya.

Salah satu bidang usaha yang sangat erat kaitannya dengan upaya konservasi adalah pengembangan pariwisata berbasiskan

kelestarian ekosistem. Hal ini sejalan dengan kecenderungan pariwisata dunia yang menghendaki kembali ke alam. Pembentukan taman nasional memungkinkan pengembangan kawasan wisata terpadu yang meliputi kebun raya, taman safari, taman hutan raya, taman agrowisata dan bahkan kawasan wisata modern seperti Disneyland, Dufan, TIJA, TMII dan lain-lain. Tentu dengan tetap mempertahankan ekosistem alamiah sebagai daya tarik utamanya. Selama ini upaya pengembangan pariwisata di Gunung Lawu seolah-olah mandeg di lereng barat dengan maskotnya Tawangmangu, Karanganyar dan di lereng timur dengan maskotnya Telaga Sarangan, Magetan. Namun pada masa mendatang tidak tertutup kemungkinan pengembangan pariwisata ke lereng selatan, Wonogiri dan lereng utara, Sragen dan Ngawi. Terlebih pengembangan pariwisata di Telaga Sarangan akhir-akhir ini mengalami kendala karena surutnya debit air telaga akibat perubahan ekosistem pegunungan (Soenarto, 2000), sedang pengembangan pariwisata di Tawangmangu beberapa kali menanggung berita tidak sedap akibat adanya sengketa tanah. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, tampaknya setiap pimpinan wilayah, tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersikap proaktif memfasilitasi pengembangan wilayah ini, sehingga penataan konsep tata ruang di Gunung Lawu, termasuk penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP).

Tujuan pengelolaan taman nasional antara lain: optimalnya manfaat taman nasional untuk penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya, dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini maka masyarakat di sekitar taman nasional akan memperoleh manfaat dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. Dengan adanya kolaborasi pengelolaan, kesejahteraan masyarakat baik di dalam maupun di sekitar kawasan taman nasional dapat dilakukan melalui: • Peningkatan persepsi dan kesadaran masyarakat terhadap

konservasi dan kelestarian lingkungan. • Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan

keputusan dalam setiap tahap pengelolaan taman nasional. • Pengembangan sistem zonasi kawasan taman nasional yang

dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat. • Pelatihan, penguatan dan pendayagunaan kelembagaan

masyarakat. • Menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan

kepentingan konservasid dan kelestariang lingkungan (perambahan kawasan, penebangan hutan dan lain-lain) sekaligus mengembangkan kesempatan berusaha dan peluang kerja dalam pengelolaan taman nasional.

• Pengembangan daerah penyangga.

KONSEP TAMAN NASIONAL GUNUNG LAWU DALAM PERSPEKTIF TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU

Konsep Taman Budaya Gunung Lawu dilandasi tiga aspek kehidupan yang sangat mendasar dan menyatu menjadi ikatan kuat. Ketiga aspek itu adalah sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan pelestarian lingkungan. Dalam perspektif Taman Budaya Gunung Lawu, Taman Nasional Gunung Lawu merupakan salah satu tindakan praktis dalam aspek pelestarian lingkungan hidup.

Kerusakan sumber daya alam hayati dan

Page 61: Taman Budaya Gunung Lawu

57

ekosistemnya (lingkungan hidup) hampir selalu terkait dengan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu konservasi lingkungan di suatu kawasan tidak dapat meninggalkan upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di sekitarnya. Paradigma baru telah dikembangkan bahwasanya konservasi lingkungan adalah pemanfaatan secara berkelanjutan, bukan lagi memuseumkan sesuatu dalam artian memensiunkan sesuatu hingga kehilangan fungsinya dalam menyejahterakan umat manusia. Juga tidak berarti mengeluarkan masyarakat asli lingkungannya akibat dikonvesi menjadi kawasan konservasi.

Taman Budaya Gunung Lawu adalah suatu konsep/idea yang dikembangkan untuk menggali dan mengedepankan budaya asli masyarakat di sekitar Gunung Lawu dalam menjaga dan meningkatkan kualitas sosial ekonomi, sosial budaya, dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Taman Budaya Gunung Lawu memerlukan kerjasama yang tertata dalam sistem yang terkelola dengan baik, sehingga perlu adanya kesepahaman dan kerjasama akan konsep dan praktek yang akan dikerjakan. Pengembangan Taman Budaya Gunung Lawu menjadi tanggungjawab semua pihak yang berkepentingan, sehingga dapat disusun langkah-langkah strategis dalam pembangunan sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan pelestarian lingkungan hidup di seputaran Gunung Lawu, sehingga dapat menjadi acuan bersama bagi para pihak lainnya yang melibatkan diri di dalamnya. Bentuk kesepakatan kerja semacam itu akan lebih menjamin keberlangsungan usaha pelestarian ekosistem dan pemberdayaan kemampuan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar Gunung Lawu.

PENUTUP

Akhir kata, kelestarian umat manusia sangat tergantung pada kondisi sosial ekonomi, sosial budaya, dan pelestarian lingkungan hidup. Ketiganya saling berkaitan dan saling mendukung, sehingga kelemahan dalam salah satu aspek dapat merusak keseluruhan kenyamanan hidup umat manusia. Taman Nasional Gunung Lawu sebagai penjelmaan diktum pelestarian lingkungan dalam konsep Taman Budaya Gunung Lawu. Taman nasional merupakan salah satu bentuk pelestarian lingkungan yang diharapkan dapat menjadi jangkar (core) bagi pelestarian alam secara keseluruhan, serta peningkatan kualitas ekonomi dan budaya, sehingga secara bersama-sama dapat menyumbang pada kesejahteraan masyarakat luas.

BAHAN BACAAN Anonim. 1992. Konvensi Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Komisi

Plasma Nutfah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Anonim. 1993. Biodiversity Action Plant for Indonesia. Jakarta: National

Development Agency Ministry of National Development Planning. Anonim. 2001. Rekomendasi Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas

untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa, Surakarta 17-20 Juli 2000. Sisipan Biodiversitas 2 (2): I-XI.

Asner, G.P., T.R. Seastedt, and A.R. Townsen. 1997. The decoupling of terrestrial carbon and nitrogen cycles: human influences on land cover and nitrogen supply are altering natural biogeochemical links in the biosphere. Bioscience 47: 226-234.

Berita Berkala Vulkanologi. 1992, Berita Berkala Vulkanologi Edisi Khusus Tahun 1992. Bandung: Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan dan Energi.

Bussmann, R.W. 2001. Vegetation Ecology and Regeneration of Tropical Mountain Forests. Bayreuth: departmen of Plant Physiology, University of Bayreuth.

Carlson, R. 1961. The Silence Spring. Djuwantoko. 2005. Taman Nasional Gunung Merapi Peluang dan

Tantangan Realisasi Taman Nasional di Jawa Bagian Tengah.

Prosiding Seminar Nasional Menuju Taman Nasional Gunung Lawu II. Surakarta, 16 Maret 2005: Universitas Sebelas Maret.

FAO. 1993. Summary of the Final Report of Forest Resource Assessment 1990 for the Tropical World. Rome: FAO.

Giller, K.E., M.H. Beare, P. Lavelle, A.M.N. Izac, and M.J. Swift. 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function. Applied Soil Ecology 6: 3-16.

Goode, P. (ed.). 1998. Community-Based Mountain Tourism: Practices for Linking Conservation with Enterprise; Synthesis of an Electronic Conference of the Mountain Forum, April 13-May 18, 1998.

Groombridge, B., 1990. Global Biodiversity: Status of the Earth Living Resources. London: Chapman and Hall.

Hardjasoemantri, K. 2000. Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Kekayaan Biodiversitas untuk Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Jawa Pos, 13/10/2002. Hutan Lindung Terbakar. Jawa Pos, 14/10/2002. Cemoro Sewu dan Sarangan Terbakar. Jawa Pos, 20/11/2002. Lawu Longsor, Ngawi Banjir Batu. Kompas, 09/02/2003. Hutan Jawa, Kebun Kayu. Kompas, 11/02/2003. Candi Sukuh Retak-retak, Kini Terancam

Longsoran Puncak Lawu. Kompas, 14/06/1999 Kompas, 16/08/2002. Kebakaran di Hutan Lindung Tawangmangu

Mereda, Kebakaran Kembali Muncul di Wilayah Jawa Timur Kompas, 17/12/2002. Warga Magetan Juga Khawatirkan Bencana Banjir

Susulan. Kompas, 20/08/2002. Akibat Kebakaran Hutan, Pendaki Gunung Lawu

Turun. Kompas, 25/01/2003.Tawangmangu-Sarangan Putus Disapu Banjir. Kompas, 25/08/2001. Sertifikasi Empat KPH Perhutani Dibekukan. Kompas, 27/09/1997. Gunung Lawu Terbakar. Koran Tempo, 25/01/2003. Tanah Longsor Putuskan Jalur

Tawangmangu-Sarangan. Listyawati, S., D. Handadari, B. Saryanto, B. Irawan, dan D.D. Handayani.

2001. Tipe-tipe spora Endogone pada tanah di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 146-149.

Mahajoeno, E., M. Efendi dan Ardiansyah. 2001. Keane-karagaman larva insekta pada sungai-sungai kecil di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 133-139.

Marsusi, C. Mukti, Y. Setiawan, S. Kholodah, dan A. Vivianti. 2001. Studi keanekaragaman anggrek epifit di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 153-158.

Media Indonesia, 16/08/2002. Kawasan Hutan Gunung Lawu Terbakar. Moeljopawiro, S. 2000. Bioteknologi untuk pengelolaan dan pemanfaatan

plasma nutfah. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gu-nung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Pikiran Rakyat, 8/02/2003. Longsor Landa Jawa Tengah, Lereng Gunung Lawu Sangat Rawan Jika Curah Hujan Tinggi.

Rahardi, F. 2000. Biodiversitas dan Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan Konservasi. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gu-nung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Savage, J.M., 1995. Sistematics and the Biodiversity Crisis. BioScience 45 (10): 673-678.

Setiono, D. dan E. Sensudi. 2000. Taman nasional Gunung Gede Pangrango, Tinjauan konservasi kawasan gunung di Pulau Jawa. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gu-nung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Setyawan, A.D. 2000. Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prospek dan Strategi Pembentukan Taman Nasional di Daratan Propinsi Jawa Tengah (dan Jawa Timur). Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Setyawan, A.D. 2001. REVIEW: Potensi Gunung Lawu sebagai taman nasional. Biodiversitas 2 (2): 166-171.

Setyawan, A.D. dan Sugiyarto. 2001. Keanekaragaman flora hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 1. Cryptogamae. Biodiversitas 2 (1): 115-122.

SmartWood. 2000. Forest Management Public Summary for PT Perhutani - KPH Lawu Certification Code: SW-FM/COC-162. New York: SmartWood Program

Page 62: Taman Budaya Gunung Lawu

58

Soenarto. 2000. Penyelamatan Biodiversitas dalam pandangan masyarakat setempat. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gu-nung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Soeriaatmadja, R.E. 1999. Jawa Island: Ecological Chalenges. Dipresentasikan dalam Workshop Ekologi dan Biogeografi Pulau Jawa. Jurusan Biologi FMIPA ITB, 10-11 Maret 1999.

Soeriaatmadja, R.E. 2000. Pelestarian keanekaragaman hayati Pulau Jawa dan Bali. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

Sriyanto, A. 2005. Konservasi Ekosistem Gunung Lawu; Kebutuhan, Strategi, dan Kemanfaatannya di Masa Mendatang. Jakarta: Pusat Informasi Konservasi Alam, Direktorat Konservasi Kawasan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.

Sriyanto, A. 2005. Usulan Perubahan Fungsi Hutan Lindung Gunung lawu dan Taman Wisata Alam Grojogan Sewu sebagai Taman Nasional Gunung Lawu Propinsi Jawa Rengah dan Propinsi Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Menuju Taman Nasional Gunung Lawu II. Surakarta, 16 Maret 2005: Universitas Sebelas Maret.

Steenis, C.G.G.J. van. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden: E.J. Brill.

Suara Merdeka, 15/08/2002. Hutan Wisata Tawangmangu Terbakar, 22 Hektare Lahan Hangus.

Suara Merdeka, 16/08/2002. Kebakaran Meluas ke Wilayah Jawa Timur, Api di Tawangmangu Sudah dapat Diatasi.

Suara Merdeka, 25/01/2003. Banjir Lumpur Terjang Tawangmangu, Jalur Karanganyar- Magetan Lumpuh

Suara Merdeka, 27/03/2003. Pengunjung Acara Sura Gunung Lawu Menurun.

Suara Merdeka, 3/02/2003. Lereng Gunung Lawu Kembali Longsor, Lima Rumah Roboh.

Sugiyarto, M. Pujo dan N.S. Miati. 2001. Hubungan keragaman mesofauna tanah dan vegetasi bawah pada berbagai jenis tegakan di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 140-141.

Susilowati, A., Wiryanto dan A. Rohimah. 2001. Kekayaan fitoplankton dan zooplankton pada sungai-sungai kecil di hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2 (2): 129-132.

Sutarno and Agung Respati. 2001. Observasi tentang kondisi ekosisitem di Lawu utara. Laporan penelitian. (un-published), Surakarta.

Sutarno, A.D. Setyawan, S. Irianto, dan A. Kusumaningrum. 2001. Keanekaragaman flora hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 2. Spermatophyta. Biodiversitas 2 (2): 156-162

Syamsulhadi, M., 2005. Pidato Kebudayaan Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam Menyambut Pencanangan “TAMAN BUDAYA GUNUNG LAWU”. Dalam: Setyawan, A.D., dan P. Dirgahayu. Prosiding Seminar Nasional Taman Budaya Gunung Lawu. Karanganyar, 16-17 Nopember 2005: Universitas Sebelas Maret & Pemkab Karanganyar.

Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Departemen Kehutanan RI.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

US Army Map Services. 1963. Sheet 5220 III (Karangpandan) & Sheet 5219 IV (Djumapolo). Series T 725. Edition 1-AMS (FE/Far East).

Utami, S.R. and E. van Ranst. 1998. Surface charge characteristics of volcanic ash soils in Java, Indonesia. http//:natres.psu.ac.th./Link/SoilConggres/bdd/symp9/320-1.pdf

Werner, W., 1999. Conservation Strategies and Project Planning. Workshop Ekologi dan Biogeografi Pulau Jawa, Bandung 10-11 Maret 1999.

Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon Press.

Whitten, T., R.E.Soeriaatmadja & S.A. Affif. 1996. The Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus.

Yusuf, A.T. 1987. Perhutanan sosial, bumper untuk taman nasional. Suara Alam 52: 20-23.