pertumbuhan tunas purwaceng (pimpinella alpina k/pertumbuhan...dan gunung lawu di jawa tengah,...

22
PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K. D. S.) PADA PERLAKUAN PRAKONDISI DENGAN VARIASI KONSENTRASI THIDIAZURON Naskah Publikasi Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh : Beny Nur Fitriani M0403013 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

Upload: hoangtruc

Post on 31-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K. D. S.)

PADA PERLAKUAN PRAKONDISI DENGAN VARIASI

KONSENTRASI THIDIAZURON

Naskah Publikasi

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh :

Beny Nur Fitriani

M0403013

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2008

Page 2: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

PERSETUJUAN

Naskah Publikasi

SKRIPSI

PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K. D. S.)

PADA PERLAKUAN PRAKONDISI DENGAN VARIASI

KONSENTRASI THIDIAZURON

Oleh:

Beny Nur Fitriani M0403013

Telah disetujui untuk dipublikasikan

Surakarta, Agustus 2008

Pembimbing I

Solichatun, M.Si. NIP. 132 162 554

Pembimbing II

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 130 676 864

Mengetahui,

Ketua Jurusan Biologi

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 130 676 864

Page 3: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

SHOOT GROWTH IN PRECONDITIONED TISSUE CULTURES OF PURWACENG (Pimpinella alpina K. D. S.) WITH VARIOUS CONSENTRATION

OF THIDIAZURON

Beny Nur Fitriani, Solichatun and Endang Anggarwulan Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Science

Sebelas Maret University

ABSTRACT

Purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.) is one of endangered species which is

potential to be developed as aphrodisiac source. To support conservation and cultivation of purwaceng, it is needed to prepare the plant material. Tissue culture technique is one elternative methode for both cultivation and regeneration. Constraint in micropropagation of purwaceng are the limited explant source, high level of senescence and low level of shoot multiplication The aims of this research were to increase shoot growth by in vitro preconditioning on Driver and Kuniyuki Walnut (DKW) medium with various consentration of Thidiazuron (TDZ) (0 mg/l; 0.5 mg/l; 1 mg/l; 1.5 mg/l; 2 mg/l). The cultures were incubated in preconditioning medium for 2 weeks, then they were subcultured on DKW basal medium for 8 weeks. Wet and dry weight, lenght and also visual performance of shoot were observed.

During incubation in preconditioning medium, there was no senescence on shoot. Observation after 10 weeks incubation, showed that the treatment has no significant effect on shoot growth, but succes to delayed senescence. Wet weight, dry weight and length of shoot at preconditioning medium were generally lower than control.

Precondition with TDZ at consentration 0 mg/l to 1.5 mg/l increased biomass production of purwaceng culture wich indicated by increasing wet and dry weight, and decreasing at consentration 2 mg/l of TDZ. The length of shoot increased at consentration 0 mg/l to 1 mg/l, but it decreased at consentration 1.5 mg/l and increased again at consentration 2 mg/l of TDZ. The highest wet and dry weight was showed by treatmen at 1.5 mg/l TDZ, but lowest on lenght of shoot. Keywords: Pimpinella alpina K. D. S., in vitro, preconditioning, thidiazuron, shoot

growth. .

Page 4: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

PENDAHULUAN

Purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.) merupakan tanaman obat asli Indonesia.

Tanaman ini hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng

dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa

Barat, serta di Pegunungan Tengger dan Iyang di Jawa Timur (Heyne, 1987). Sidik et al.

(1985) mengatakan bahwa akar purwaceng mengandung turunan senyawa kumarin yang

digunakan dalam industri obat modern, untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker.

Selain itu, purwaceng juga dapat dimanfaatkan sebagai obat diuretik, dan tonik (Roostika,

2006).

Dewasa ini, populasi purwaceng sudah langka karena mengalami erosi genetik

besar-besaran. Berdasarkan status erosi genetik, tanaman purwaceng dikategorikan

genting (endangered) atau hampir punah (Rivai et al., 1992). Menurut Convention on

International Trading in Endangered Species (CITES), tanaman tersebut dimasukkan

dalam Apendiks I sehingga tanaman ini sangat dilindungi. Oleh sebab itu upaya untuk

konservasi dan perbanyakan jenis tanaman ini perlu dilakukan untuk pengembangan di

masa mendatang (Roostika et al., 2006; Ermayanti et al., 2006).

Teknik kultur jaringan merupakan teknologi alternatif yang dapat diterapkan

untuk konservasi dan perbanyakan tanaman purwaceng. Kendala dalam mikropropagasi

tanaman purwaceng adalah terbatasnya sumber eksplan, masih rendahnya pembentukan

tunas dan daun cepat mengalami senesensi (Roostika et al., 2006; Mariska et al., 1995).

Upaya untuk meningkatkan pertumbuhan tunas dalam kultur in vitro dapat

dilakukan dengan memberikan perlakuan awal terhadap eksplan sebelum ditanam dalam

media proliferasi (prakondisi). Cao dan Hamerschlag (2002) menyatakan bahwa

Page 5: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

pemberian perlakuan awal pada eksplan (prakondisi) penting dilakukan untuk

mendukung keberhasilan transformasi tanaman in vitro.

Menurut Pierik (1987), salah satu faktor yang mempengaruhi proliferasi tunas

aksilar adalah penggunaan TDZ [Phenyl-3-(1,2,3-thiadiazol-5-yl) urea/ Thidiazuron] dan

beberapa senyawa pyridil-phenilurea yang tersubstitusi. Thidiazuron memiliki aktivitas

menyerupai sitokinin. Lu (1993) menyatakan bahwa TDZ dapat menstimulasi

pembelahan sel dan proliferasi tunas aksilar.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini diarahkan dalam usaha

untuk meningkatkan pertumbuhan tunas stok kultur purwaceng melalui perlakuan

prakondisi pada media DKW dengan penambahan TDZ. Tunas yang tumbuh optimal

diharapkan dapat digunakan dan memberikan hasil yang baik dalam tahap

mikropropagasi tanaman purwaceng selanjutnya.

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2007 sampai dengan April 2008.

Lokasi penelitian di Sub Laboratorium Biologi Laboratorium Pusat Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Sumber eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas aksilar dari

tanaman purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.) usia 3 bulan yang diperoleh dari

Dataran Tinggi Dieng, Propinsi Jawa Tengah. Bahan-bahan untuk sterilisasi adalah

deterjen cair, alkohol 70 %, Clorox 5.25%, dan aquades steril. Bahan untuk membuat

Page 6: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

media meliputi bahan-bahan kimia untuk membuat media dasar DKW (Tabel 1) dan zat

pengatur tumbuh thidiazuron (TDZ).

Tabel 1. Komposisi media DKW

Komponen (mg/liter)

Ammonium nitrat (NH4NO3) 1416

Calcium chloride (CaCl2.2H2O) 149

Calcium nitrate 1968 Magnesium sulfate (MgSO4.7H2O) 740

Potassium sulfate 1559 Boric acid (H3BO3) 4.8

Nickel sulfate 0.005 Cupric sulfate (CuSO4.5H2O) 0.25

Manganese sulfate (MnSO4.H2O) 33.5

Potassium iodide (KI) 0.39 Sodium molybdate (Na2MoO4.2H2O) 0.39

Zinc nitrate 17 Na2EDTA 45.4 Ferrous sulfate (FeSO4.7H2O) 33.8

inositol 100 Thiamine HCl 2 Nicotinic acid 1 Sucrose 30000 Glycine 2 Agar 2400

(Geltrite) (Driver, 1986)

2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat untuk sterilisasi,

pembuatan media dan alat untuk penanaman eksplan.

a. Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan terhadap alat-alat dan bahan yang digunakan dengan

menggunakan autoclave pada suhu 121o C dan tekanan 1,5 atm.

b. Pembuatan media

Page 7: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan media meliputi timbangan analitik,

autoclave, hot plate dengan magnetic stirrer, pH meter, pipet tetes, spatula, gelas ukur,

gelas piala, botol kultur, botol stok, pipet volumetric, dan aluminium foil.

c. Penanaman eksplan

Alat-alat yang digunakan untuk penanaman eksplan meliputi botol-botol kultur,

cawan petri, alat-alat diseksi seperti gunting, pinset dan scalpel, lampu bunsen, dan hand

sprayer. Penanaman eksplan dilakukan dalam laminar air flow cabinet yang telah

disterilisasi.

C. Cara Kerja

1. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan tanpa

prakondisi sebagai kontrol dan perlakuan dengan prakondisi, masing-masing dengan lima

ulangan. Untuk perlakuan tanpa prakondisi, eksplan ditanam langsung pada media

proliferasi selama 10 minggu. Untuk perlakuan prakondisi, eksplan diinkubasi pada

media DKW dengan 5 variasi konsentrasi TDZ (0 mg/l; 0.5 mg/l; 1 mg/l; 1.5 mg/l dan 2

mg/l) selama 2 minggu kemudian disubkultur ke media proliferasi (media dasar DKW)

selama 8 minggu.

2. Persiapan Penelitian

a. Sterilisasi alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitisn disterilisasi terlebih dahulu untuk

,emjaga kondisi aseptik. Sebelum disterilisasi, alat-alat seperti erlenmeyer, gelas ukur,

gelas beker, botol kultur, skalpel, spatula, pinset, pipet dan cawan petri dicuci dengan

deterjen, dibilas dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Skalpel, spatula, pinset,

Page 8: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

pipet dan cawan petri yang sudah kering dibungkus dengan kertas; erlenmeyer, gelas

ukur, gelas beker dan botol kultur ditutup dengan aluminium foil. Semua alat tersebut

disterilisasi dengan autoclave pada suhu 1210C dan tekanan 1.5 atm selama 1 jam.

Setelah selesai disterilisasi, semua peralatan dikeluarkan dari autoclave dan disimpan

sampai saatnya digunakan.

b. Pembuatan media dasar DKW dan media prakondisi

Langkah-langkah untuk membuat media dasar DKW dengan volume 1 liter

adalah : aquades dimasukkan ke dalam gelas piala volum 1 liter sebayak 1/3 bagian,

larutan nutrien dimasukkan ke dalam gelas piala satu per satu sesuai jumlah yang

diperlukan sambil diaduk, sukrosa dimasukkan sebanyak 30 g/l, diaduk hingga larut

sempurna, kemudian aquades ditambahkan hingga ¾ volum gelas piala. Langkah

selanjutnya, keasaman media diukur dan ditetapkan pada pH 5,6-5,8 dengan cara

menambahkan KOH 1N untuk menaikkan pH dan menambahkan HCL 1 N untuk

menurunkan pH. Setelah pH stabil, agar ditambahkan sebanyak 8 gram dan aquades

ditambahkan sampai total volum media terpenuhi (1 liter). Larutan tersebut dipanaskan

sampai larut sempurna kemudian dituang ke dalam botol-botol kultur steril sebanyak

20 ml. Botol-botol kultur yang telah berisi media ditutup rapat dengan aluminium foil,

kemudian disterilisasi menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu 1210C dan

tekanan 1,5 atm. Untuk prakondisi, digunakan media dasar DKW dengan penambahan

thidiazuron sesuai dengan konsentrasi perlakuan.

±

3. Pelaksanaan Penelitian

a. Tahap Penananaman

1) Sterilisasi eksplan

Page 9: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Tunas aksiler purwaceng dari tanaman induk dicuci dengan deterjen di bawah

aliran air selama 30 menit. Eksplan direndam dalam larutan Clorox 5.25% selama

30 detik, aquades steril 3 kali masing-masing selama 3 menit.

2) Penananaman eksplan

Eksplan yang sudah disterilisasi ditanam dalam media prakondisi dan diinkubasi

selama 2 minggu, kemudian disubkultur ke media proliferasi (media dasar DKW)

dan diinkubasi selama 8 minggu. Untuk kontrol, eksplan langsung ditanam dalam

media dasar DKW dan diinkubasi selama 10 minggu. Penanaman dilakukan

secara aseptik dalam laminar air flow cabinet.

b. Tahap pemeliharaan

Botol-botol yang telah berisi eksplan diletakkan dalam rak kultur dan disemprot

dengan alkohol 70% tiap 3 hari sekali.

c. Tahap Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada akhir minggu ke-10. parameter yang diamati meliputi

berat basah, berat kering, panjang tunas dan kondisi visual tunas.

D. Analisis Data

Data pengamatan berupa data kuantitatif dan kualitatif. Untuk mengetahui

pengaruh antara perlakuan prakondisi dan tanpa prakondisi, dilakukan Uji T (T Test)

pada tingkat kepercayaan 95%. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan

prakondisi, dilakukan analisis varian (ANOVA). Bila ada perbedaan nyata dilanjutkan uji

DMRT pada taraf 5 %. Data kualitatif berupa pengamatan visual hasil kultur disajikan

secara deskriptif.

Page 10: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Tunas Pada Media Prakondisi

Dalam media prakondisi, tunas mengalami pertumbuhan berupa pemanjangan

tunas dan mekarnya kuncup daun pada tunas. Menurut Dwidjoseputro (1986) tanaman

yang diberi fitohormon mendorong ukuran tanaman menjadi lebih tinggi karena terjadi

pembelahan sel yang lebih banyak dan pengembangan jaringan meristem pada ujung

batang dan pada interkalar yang lebih baik.

Menurut Wigayati (2003), masalah utama di dalam kultur jaringan purwaceng

adalah senescens dini, yaitu pelayuan daun yang relatif cepat dan banyak. Selama

inkubasi dalam media prakondisi, tunas tidak mengalami pelayuan (Gambar 4), yang

diduga karena adanya sitokinin endogen dalam eksplan. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Wattimena (1991) bahwa sitokinin paling banyak terdapat pada organ muda.

Penambahan sitokinin eksogen ke dalam media prakondisi juga mendukung penundaan

pelayuan sehingga kondisi tunas tetap segar ketika disubkultur ke dalam media proliferasi

(media dasar DKW).

T1 T0 T2 T3 T4

Gambar 4. Keadaan tunas purwaceng (P. alpina K. D. S..) dalam media prakondisi

pada usia 2 minggu Keterangan : T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l

T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l

Page 11: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

B. Pertumbuhan Tunas Pada Media Dasar DKW

Dalam penelitian ini, tunas baru tidak terbentuk hingga akhir pengamatan.

Eksplan tunas aksiler yang telah ditanam dalam media dasar DKW, baik yang tanpa

prakondisi maupun dengan prakondisi, mengalami pertumbuhan dalam arti bertambah

ukurannya, namun tidak mengalami diferensiasi maupun dediferensiasi untuk

membentuk tunas baru. Hal ini dapat disebabkan karena sitokinin eksogen, yang dalam

hal ini adalah thidiazuron, tidak bisa menekan pengaruh hormon-hormon endogen seperti

IAA (Shilpa, 2003).

IAA merupakan auksin alami yang disintesis pada meristem apikal dan diangkut

secara basipetal (Wattimena, 1991). IAA menyebabkan terjadinya dominasi apikal, yang

salah satu menifestasinya adalah penghambatan pertumbuhan suatu pucuk karena

terdapatnya tunas dominan lainnya (Phillips, 1969).

C. Berat Basah

Data hasil pengamatan berat basah tunas P. alpina K. D. S. usia 10 minggu

disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 5. Hasil uji T (T Test) menunjukkan bahwa perlakuan

prakondisi tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan kontrol (tanpa

prakondisi). Pemindahan tunas ke media baru diduga menyebabkan penurunan aktivitas

metabolisme tanaman karena jaringan tanaman harus beradaptasi kembali terhadap

lingkungan baru. Hal ini mengakibatkan produksi biomassa tanaman hasil subkultur

cenderung lebih rendah dari pada tanaman yang tidak disubkultur dalam rentang waktu

tertentu.

Page 12: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Tabel 1. Rata-rata berat basah tanaman purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu

Perlakuan Berat basah (mg) P 432.48

T0 318,44 T1 353,26 T2 368,14 T3 449,80 T4 337,42

0

100

200

300

400

500

P T0 T1 T2 T3 T4

Berat Basah (mg)

Perlakuan

Gambar 5 . Grafik rata-rata berat basah tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Keterangan : P : Tanpa prakondisi

T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa rata-rata berat basah antar perlakuan

prakondisi tidak berbeda secara signifikan. Dari Gambar 5 dapat dilihat adanya

peningkatan berat basah seiring dengan bertambahnya konsentrasi TDZ pada media

prakondisi sampai konsentrasi 1.5 mg/l, kemudian berat basah mengalami penurunan

pada konsentrasi TDZ 2 mg/l. Berat basah tertinggi diperoleh dari eksplan yang diberi

perlakuan prakondisi pada konsentrasi TDZ 1.5 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa TDZ

efektif pada konsentrasi yang cukup rendah, yaitu pada kisaran 1.5 mg/l.

Peningkatan berat basah tunas purwaceng pada perlakuan prakondisi pada

konsentrasi TDZ 0 mg/l hingga 1.5 mg/l disebabkan oleh aktivitas TDZ. Thidiazuron

Page 13: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

(TDZ) merupakan zat pengatur tumbuh sintetis yang mempunyai aktivitas menyerupai

sitokinin. Fosket dan Fosket dalam Salisburry dan Ross (1995) menyatakan bahwa

sitokinin mendorong pembelahan sel dengan cara meningkatkan peralihan dari G2 ke

mitosis dalam siklus sel dan bahwa hal itu terjadi karena sitokinin menaikkan laju sintesis

protein, baik protein struktural maupun protein fungsional. Tingginya laju sintesis kedua

jenis protein tersebut akan meningkatkan proses metabolisme sel. Metabolisme yang

tinggi mendorong terjadinya penyerapan hara dan air dari media sehingga meningkatkan

laju fotosintesis yang berpengaruh terhadap produksi biomassa tanaman, yang pada

akhirnya dapat meningkatkan berat basah tanaman.

Pemberian TDZ pada konsentrasi yang lebih tinggi, yaitu pada konsentrasi 2 mg/l,

menyebabkan penurunan berat basah purwaceng. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arif

dan Kathamlan (1992) dalam Youmbi et al. (2006) bahwa thidiazuron aktif pada

konsentrasi rendah. Pada konsentrasi yang tinggi, TDZ dapat bersifat toksik dan

menurunkan aktivitas metabolisme (Gubbuk dan Pekmezci, 2004). Telah disebutkan

sebelumnya bahwa berat basah tanaman menunjukkan aktivitas metabolisme (Sitompul

dan Guritno, 1995) dengan demikian penurunan berat basah menunjukkan penurunan

aktivitas metabolisme tanaman.

Berat Kering

Data hasil pengamatan berat kering tunas P. alpina K. D. S. usia 10 minggu

disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 7. Hasil analisis statistik menggunakan T Test

menunjukkan bahwa perlakuan prakondisi tidak memberikan hasil yang signifikan

dibandingkan kontrol (tanpa prakondisi). Rata-rata berat kering kontrol lebih tinggi dari

pada rata-rata berat kering prakondisi. Telah disebutkan di muka bahwa pemindahan

Page 14: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

tunas ke media baru diduga dapat menyebabkan penurunan aktivitas metabolisme.

Turunnya aktivitas metabolisme tanaman menyebabkan rendahnya berat kering tanaman,

karena bahan kering merupakan manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi

dalam pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Pemindahan tunas tersebut

berpengaruh pada berat kering tanaman hasil subkultur yang cenderung lebih rendah dari

pada tanaman yang tidak disubkultur dalam rentang waktu tertentu.

Tabel 2. Rata-rata berat kering tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Perlakuan Berat kering (mg)

P 54,78 T0 39,90 T1 36,66 T2 44,62 T3 50,26 T4 35,54

Keterangan : P : Kontrol T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l

0

10

20

30

40

50

60

P T0 T1 T2 T3 T4

Berat Kering (mg)

Perlakuan

Gambar 7. Grafik rata-rata berat kering tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Keterangan : P : Tanpa prakondisi

T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l

Page 15: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa rata-rata berat kering antar perlakuan

prakondisi tidak berbeda secara signifikan. Dari Tabel 2 dan Gambar 7 dapat dilihat

bahwa perlakuan prakondisi memberikan hasil yang bervariasi terhadap berat kering.

Berat kering pada perlakuan T0 lebih tinggi dari pada perlakuan T1, kemudian terjadi

peningkatan berat kering dari perlakuan T1 hingga T3 dan kembali menurun pada

perlakuan T4.

Berat kering tertinggi diperoleh dari eksplan yang diberi perlakuan prakondisi

pada konsentrasi TDZ 1.5 mg/l (T3). Seperti halnya pada berat basah, berat kering juga

mengalami penurunan pada perlakuan prakondisi dengan konsentrasi TDZ 2 mg/l (T4).

Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi TDZ yang tinggi menghambat pembelahan sel.

Menurut Onamu et al.( 2003 ), penggunaan TDZ dalam konsentrasi tinggi dapat bersifat

toksik bagi tanaman, sementara Thomas dan Katterman (1986) menyatakan bahwa TDZ

dalam konsentrasi tinggi akan menghambat pengangkutan sitokinin sehingga

menghambat pertumbuhan, termasuk pembelahan sel. Keadaan ini menunjukkan bahwa

penggunaan TDZ dengan konsentrasi yang rendah lebih baik dalam memacu

pertumbuhan jaringan tanaman.

D. Panjang Tunas

Data hasil pengamatan panjang tunas P. alpina K. D. S. usia 10 minggu disajikan

pada Tabel 3 dan Gambar 8. Hasil uji T (T Test) menunjukkan bahwa perlakuan

prakondisi tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan kontrol (tanpa

prakondisi). Tunas pada perlakuan tanpa prakondisi memiliki rata-rata panjang yang

lebih besar dari pada tunas yang mendapat perlakuan prakondisi.

Page 16: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Salisbury dan Ross (1995) menjelaskan jika suatu irisan batang atau akar

ditumbuhkan secara in vitro dengan pemberian sitokinin, maka irisan jaringan batang

biasanya menjadi lebih tebal karena terjadi pembentangan sel ke arah samping. Pada

penelitian ini, sitokinin eksogen tidak ditambahkan pada kontrol sehingga hasilnya tunas

lebih tinggi dari pada yang mendapat perlakuan prakondisi dengan penambahan sitokinin

eksogen (TDZ). Wattimena (1991) juga menyatakan bahwa sitokinin berpengaruh pada

proses pembelahan sel. Setelah terjadi pembelahan sel, dengan adanya nutrien yang

diperlukan akan terjadi proses pertumbuhan lainnya yaitu pembentangan sel dan

penambahan plasma.

Tabel 3. Rata-rata panjang tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Perlakuan Panjang tunas (cm)

P 3.18 T0 2.00 T1 2.50

T2 2.52 T3 1.70

T4 2.86

Keterangan : P : Kontrol T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa rata-rata panjang tunas antar perlakuan

prakondisi tidak berbeda secara signifikan. Dari Tabel 3 dan Gambar 8 dapat dilihat

bahwa perlakuan prakondisi memberikan hasil yang bervariasi terhadap panjang tunas.

Panjang tunas terus meningkat dari perlakuan T0 hingga T2, kemudian mengalami

penurunan pada perlakuan T3 dan meningkat lagi pada perlakuan T4.

Page 17: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Rata-rata panjang tunas yang diperoleh dari perlakuan prakondisi bervariasi. Rata-

rata tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 (TDZ 2 mg/l) dan rata-rata terendah diperoleh

pada perlakuan T3 (TDZ 1.5 mg/l). Hal ini berbeda dari hasil yang diperoleh terhadap

berat basah dan berat kering, yang mana hasil tertinggi didapatkan pada perlakuan T3.

Preece dan Imel dalam Lu (1993) menyatakan bahwa dalam media yang mengandung

TDZ sebagian besar tunas yang diperoleh pendek-pendek. Pada perlakuan T3 sel-sel

tunas diduga mengalami pembentangan sel yang lebih besar dari pada perlakuan

prakondisi lainnya sehingga tunas tumbuh lebih tebal dan pendek (Gambar 7).

0

1

2

3

4

P T0 T1 T2 T3 T4

Panjang tunas (cm)

Perlakuan

Gambar 8. Grafik rata-rata panjang tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu

Keterangan : P : Tanpa prakondisi T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l

E. Penghambatan Senesensi

Masalah utama di dalam kultur jaringan purwaceng adalah senesensi dini, yaitu

pelayuan daun yang relatif cepat dan banyak (Miftakhurohmah et al., 2005). Dari semua

perlakuan yang diuji, pada perlakuan kontrol (P), TDZ 0 mg/l (T0) dan TDZ 1.5 mg/l

Page 18: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

(T3) tidak ditemukan pelayuan daun sampai usia 10 minggu, sedangkan pada perlakuan

lain ditemukan adanya pelayuan pada tepi daun.

Kondisi visual kultur terlihat bervariasi pada semua perlakuan yang diuji (Tabel

4). Kondisi visual terbaik didapatkan pada perlakuan TDZ 1 mg/l, yaitu sebagian besar

tunasnya tegak dan daunnya tidak melengkung, warna daunnya hijau (tidak layu).

Sedangkan pada perlakuan lain batangnya pendek, jika panjang maka batang tersebut

melengkung; daunnya melengkung, ukurannya terlalu kecil atau terlalu lebar, berwarna

hijau pucat atau layu. Pada kontrol, meskipun daunnya berwarna hijau segar dan melebar

(normal) namun batangnya pendek, atau panjang tetapi tidak tegak, dan ada yang pangkal

batangnya mengalami pencoklatan.

Tabel 4. Hasil pengamatan visual tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Perlakuan Ulangan Kondisi visual tunas P 1 daun hijau, melebar; batang pendek lurus 2 daun hijau melebar, batang agak panjang dan melengkung 3 daun hijau melebar, batang panjang dan ujungnya melengkung 4 daun hijau melebar, batang agak panjang dan lurus, pangkal batang coklat 5 daun hijau melebar, batang agak panjang dan lurus TO 1 Daun hijau melengkung ujung bawah agak coklat, batang pendek dan lurus

2 Daun hijau melengkung bagian bawah coklat, batang pendek dan pangkalnya coklat

3 Daun hijau besar dan melengkung, batang pendek 4 Daun hijau kecil dan melengkung, batang panjang dan melengkung 5 Daun hijau pucat agak putih, batang agak panjang dan melengkung T1 1 Daun coklat melengkung, batang pendek 2 Daun coklat melebar, batang agak panjang dan lurus

3 Daun hijau kecil, batang panjang lurus

4 Daun hijau muda melebar, batang agak panjang dan lurus

5 Daun hijau pucat melengkung, batang pendek T2 1 Daun hijau melebar, batang panjang lurus

2 Daun hijau pucat melebar, batang pendek tegak

3 Daun coklat, batang pendek

4 Daun hijau melebar, batang panjang tegak

5 Daun hijau melebar, batang panjang tegak

T3 1 Daun hijau melengkung, batang agak panjang dan tegak

2 Daun hijau melengkung, batang pendek

3 Daun hijau melengkung, batang pendek

Page 19: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

4 Daun hijau melengkung, batang pendek

5 Daun hijau melengkung, batang pendek

T4 1 Daun coklat, batang pendek coklat

2 Daun hijau melebar, batang panjang tegak

3 Daun coklat melebar, batang coklat panjang

4 Daun hijau kecil dan melengkung, batang pendek

5 Daun hijau melebar, batang pendek melengkung

Hasil pengamatan visual terhadap tunas purwaceng usia 10 minggu pada Table 4

menunjukkan bahwa tingkat pelayuan pada perlakuan prakondisi tergolong rendah.

Sebagian besar tunas masih segar hingga minggu ke-10. Hal ini berbeda dari hasil yang

diperoleh Syahid et al. (2004), kultur purwaceng mengalami pelayuan sejak minggu ke-3

dan pelayuan terus meningkat seiring bertambahnya usia kultur.

Dalam penelitian ini, pelakuan prakondisi dengan TDZ terbukti efektif dalam

menghambat senesensi. TDZ yang diberikan pada saat prakondisi diduga mampu

menghambat senesensi karena dapat melindungi membran dari kerusakan (Leshem dalam

Salisbury dan Ross, 1995), mendorong sintesis protein (Fosket dan Fosket dalam

Salisbury dan Ross, 1995), mendorong sintesis sitokinin alami jenis purin atau

menghambat degradasi senyawa tersebut (Thomas dan Katherman, 1986) dan

menghambat perombakan butir-butir klorofil (Wattimena, 1991).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut.

1. Pemberian perlakuan prakondisi tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap pertumbuhan tunas purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.)

Page 20: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

dibandingkan kontrol; berat basah, berat kering dan panjang tunas pada kontrol

lebih tinggi dari pada tunas yang mendapat perlakuan prakondisi.

2. Prakondisi dengan variasi konsentrasi TDZ tidak memberikan hasil yang

signifikan antar perlakuan terhadap berat basah, berat kering dan panjang tunas

(P. alpina K. D. S.).

3. Pemberian thidiazuron pada konsentrasi 1.5 mg/l memberikan hasil terbaik

terhadap berat basah dan berat kering tunas P. alpina K. D. S. dan memberikan

hasil terendah terhadap panjang tunas P. alpina K. D. S.

DAFTAR PUSTAKA

Azuma, R., Y. Takahashi, H. Kurata, T. Kawano, K. Shimokawa and M. Adachi. 1999. Does Peroxidase Act As A ‘Mg-Dechelatase’ ?. Plant Peroxidase Newsletter . 13: 145-151. www.unige.ch/ [ 11 Agustus 2008].

Cao, X., F. A. Hammerschlag and L. Douglass. 2002. A Two-step Pretreatment Significantly Enhances Shoot Organogenesis From Leaf Explants of Highbush Blueberry cv. Bluecorp. HortScience. 37 (5): 819-821.

Dwidjoseputro, D. (1986), Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia, Jakarta.

Driver, J. A. 1986. Methode for Acclimatizing and Propagating Plant Tissue Culture Shoots.http://www.freepatentsonline.com/4612725.html. [13 April 2007]

Ermayanti, T. M., D. R. Wulandari, A. F. E. Martin, D. Al Hafiizh, E. Rantau dan B. Hapsari. 2006. Pengembangan Kultur Tunas dan Kultur Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina (Zoll). Koord.) untuk Perbanyakan.[Abstrak]. http://www.biotek.lipi.go.id/biotek/ [ 22 Mei 2007]

Gubbuk, H and M. Pekmezci. 2004. In Vitro Propagation of Some New Banana Types (Musa sp.). Turk J Agric. 28:355-361. http://journals.tubitak.gov.tr/ [ 27 Februari 2007]

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan). Jilid III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.

Page 21: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Lu, C. Y. 1993. The Use of Thidiazuron in Tissue Culture . In vitro Cell. Dev. Biol. 29: 92-96.

Mariska, I., R. Purnamaningsih and M. Kosmiatin. 1995. The Growth of Culture Pruatjan on Several Basal Media. KIPNAS VI. Jakarta. hlm. 250-256.

Miftakhurohmah, O. Rostiana dan S. F. Syahid. 2005. Multiplikasi Tunas Purwaceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Asal Perkecambahan Biji In vitro. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan obat Indonesia XXVIII. Bogor. hlm. 75-82.

Onamu, R., S.D. Obukosia, N. Musembi and M.J. Hutchinson. 2003. Efficacy Of Thidiazuron In In Vitro Propagation Of Carnation Shoot Tips: Influence Of Dose And Duration Of Exposure. African Crop Science Journal. 11(2):125-132. http://www.bioline.org.br/. [ 18 Juni 2008].

Phillips, I. D. J. 1969. Dominasi Apikal. Dalam Wilkins, M. B. Fisiologi Tanaman. (Diterjemahkan oleh M. Sutedjo dan A. G. Kartasapoetra). Bina Aksara, Jakarta. hlm 187-234

Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher, London.

Rivai, M.A., Rugayah and E.A. Widjaja. 1992. Thirty Years of The Eroded Species Medicinal Crops. Floribunda, Bogor.28 pp.

Roostika, I. 2006. Prospek Penerapan Teknologi Kultur In Vitro Untuk Produksi Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng. Warta Biogen. 2 (1):11-13.2006 http://www. indobiogen.or.id/ [13 April 2007]

Roostika, I., I. Darwati and I. Mariska. 2006. Regeneration of Pruatjan (Pimpinella pruatjan Molk): Axillary Bud Proliferation and Encapsulation. Jurnal AgroBiogen. 2(2): 68-73.

Salisbury, F. B dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan.(Diterjemahkan oleh Diah R. L. Dan Sumaryono). Penerbit ITB, Bandung.

Santoso, U dan Nursandi, F. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Penerbit UMM Press, Malang.

Shilpa, G. 2003. Studies On In Vitro Morphogenetic Response Of Horticultural Crop Cashew. Thesis. University Of Pune. India. http://dspace.ncl.res.in/ [13 Maret 2007]

Sidik, E. Sasongko, Kurnia dan Ursula. 1985. Usaha Isolasi Turunan Kumarin Dari Akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) Asal Dataran Tinggi Dieng. Prosiding Penelitian Tanaman Obat I , Bogor.

Page 22: PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K/PERTUMBUHAN...dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan

Sitompul, S. M. dan B. Guritno.1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM Press, Yogyakarta.

Syahid, S.F., O. Rostiana dan M. Rohmah. 2004. Pengaruh NAA dan IBA Terhadap Perakaran Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) In Vitro. Indonesian Biopharmaca Excibition and Conference. Yogyakarta.

Thomas, J. C. and F. R. Katterman. 1986. Short Communication : Cytokinin Activity Induced by Thidiazuron. Plant Physiol. 81: 681-183. http://www.plantphysiol.org/cgi/reprint/81/2/681.pdf [21 Februari 2007].

Wattimena, G.A. 1991. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU Bioteknologi Tanaman. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Bogor

Wigayati, A.2003. Pengaruh Thidiazuron dan Benzil Amino Purin Terhadap Inisiasi dan Proliferasi Tunas Anis (Pimpinella anisum L.) in vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Youmbi, E., B. Ella and K. Tomekpe. 2006. Effect of Thidiazuron on In vitro Proliferation Capacities of Some Banana (Musa spp.) Cultivars with Weak Multiplication Potential. AUFD. 19(2): 255-259