pertumbuhan tunas purwaceng (pimpinella alpina k/pertumbuhan...dan gunung lawu di jawa tengah,...
TRANSCRIPT
PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K. D. S.)
PADA PERLAKUAN PRAKONDISI DENGAN VARIASI
KONSENTRASI THIDIAZURON
Naskah Publikasi
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh :
Beny Nur Fitriani
M0403013
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN
Naskah Publikasi
SKRIPSI
PERTUMBUHAN TUNAS PURWACENG (Pimpinella alpina K. D. S.)
PADA PERLAKUAN PRAKONDISI DENGAN VARIASI
KONSENTRASI THIDIAZURON
Oleh:
Beny Nur Fitriani M0403013
Telah disetujui untuk dipublikasikan
Surakarta, Agustus 2008
Pembimbing I
Solichatun, M.Si. NIP. 132 162 554
Pembimbing II
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 130 676 864
Mengetahui,
Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 130 676 864
SHOOT GROWTH IN PRECONDITIONED TISSUE CULTURES OF PURWACENG (Pimpinella alpina K. D. S.) WITH VARIOUS CONSENTRATION
OF THIDIAZURON
Beny Nur Fitriani, Solichatun and Endang Anggarwulan Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Science
Sebelas Maret University
ABSTRACT
Purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.) is one of endangered species which is
potential to be developed as aphrodisiac source. To support conservation and cultivation of purwaceng, it is needed to prepare the plant material. Tissue culture technique is one elternative methode for both cultivation and regeneration. Constraint in micropropagation of purwaceng are the limited explant source, high level of senescence and low level of shoot multiplication The aims of this research were to increase shoot growth by in vitro preconditioning on Driver and Kuniyuki Walnut (DKW) medium with various consentration of Thidiazuron (TDZ) (0 mg/l; 0.5 mg/l; 1 mg/l; 1.5 mg/l; 2 mg/l). The cultures were incubated in preconditioning medium for 2 weeks, then they were subcultured on DKW basal medium for 8 weeks. Wet and dry weight, lenght and also visual performance of shoot were observed.
During incubation in preconditioning medium, there was no senescence on shoot. Observation after 10 weeks incubation, showed that the treatment has no significant effect on shoot growth, but succes to delayed senescence. Wet weight, dry weight and length of shoot at preconditioning medium were generally lower than control.
Precondition with TDZ at consentration 0 mg/l to 1.5 mg/l increased biomass production of purwaceng culture wich indicated by increasing wet and dry weight, and decreasing at consentration 2 mg/l of TDZ. The length of shoot increased at consentration 0 mg/l to 1 mg/l, but it decreased at consentration 1.5 mg/l and increased again at consentration 2 mg/l of TDZ. The highest wet and dry weight was showed by treatmen at 1.5 mg/l TDZ, but lowest on lenght of shoot. Keywords: Pimpinella alpina K. D. S., in vitro, preconditioning, thidiazuron, shoot
growth. .
PENDAHULUAN
Purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.) merupakan tanaman obat asli Indonesia.
Tanaman ini hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng
dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa
Barat, serta di Pegunungan Tengger dan Iyang di Jawa Timur (Heyne, 1987). Sidik et al.
(1985) mengatakan bahwa akar purwaceng mengandung turunan senyawa kumarin yang
digunakan dalam industri obat modern, untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker.
Selain itu, purwaceng juga dapat dimanfaatkan sebagai obat diuretik, dan tonik (Roostika,
2006).
Dewasa ini, populasi purwaceng sudah langka karena mengalami erosi genetik
besar-besaran. Berdasarkan status erosi genetik, tanaman purwaceng dikategorikan
genting (endangered) atau hampir punah (Rivai et al., 1992). Menurut Convention on
International Trading in Endangered Species (CITES), tanaman tersebut dimasukkan
dalam Apendiks I sehingga tanaman ini sangat dilindungi. Oleh sebab itu upaya untuk
konservasi dan perbanyakan jenis tanaman ini perlu dilakukan untuk pengembangan di
masa mendatang (Roostika et al., 2006; Ermayanti et al., 2006).
Teknik kultur jaringan merupakan teknologi alternatif yang dapat diterapkan
untuk konservasi dan perbanyakan tanaman purwaceng. Kendala dalam mikropropagasi
tanaman purwaceng adalah terbatasnya sumber eksplan, masih rendahnya pembentukan
tunas dan daun cepat mengalami senesensi (Roostika et al., 2006; Mariska et al., 1995).
Upaya untuk meningkatkan pertumbuhan tunas dalam kultur in vitro dapat
dilakukan dengan memberikan perlakuan awal terhadap eksplan sebelum ditanam dalam
media proliferasi (prakondisi). Cao dan Hamerschlag (2002) menyatakan bahwa
pemberian perlakuan awal pada eksplan (prakondisi) penting dilakukan untuk
mendukung keberhasilan transformasi tanaman in vitro.
Menurut Pierik (1987), salah satu faktor yang mempengaruhi proliferasi tunas
aksilar adalah penggunaan TDZ [Phenyl-3-(1,2,3-thiadiazol-5-yl) urea/ Thidiazuron] dan
beberapa senyawa pyridil-phenilurea yang tersubstitusi. Thidiazuron memiliki aktivitas
menyerupai sitokinin. Lu (1993) menyatakan bahwa TDZ dapat menstimulasi
pembelahan sel dan proliferasi tunas aksilar.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini diarahkan dalam usaha
untuk meningkatkan pertumbuhan tunas stok kultur purwaceng melalui perlakuan
prakondisi pada media DKW dengan penambahan TDZ. Tunas yang tumbuh optimal
diharapkan dapat digunakan dan memberikan hasil yang baik dalam tahap
mikropropagasi tanaman purwaceng selanjutnya.
BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2007 sampai dengan April 2008.
Lokasi penelitian di Sub Laboratorium Biologi Laboratorium Pusat Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Sumber eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas aksilar dari
tanaman purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.) usia 3 bulan yang diperoleh dari
Dataran Tinggi Dieng, Propinsi Jawa Tengah. Bahan-bahan untuk sterilisasi adalah
deterjen cair, alkohol 70 %, Clorox 5.25%, dan aquades steril. Bahan untuk membuat
media meliputi bahan-bahan kimia untuk membuat media dasar DKW (Tabel 1) dan zat
pengatur tumbuh thidiazuron (TDZ).
Tabel 1. Komposisi media DKW
Komponen (mg/liter)
Ammonium nitrat (NH4NO3) 1416
Calcium chloride (CaCl2.2H2O) 149
Calcium nitrate 1968 Magnesium sulfate (MgSO4.7H2O) 740
Potassium sulfate 1559 Boric acid (H3BO3) 4.8
Nickel sulfate 0.005 Cupric sulfate (CuSO4.5H2O) 0.25
Manganese sulfate (MnSO4.H2O) 33.5
Potassium iodide (KI) 0.39 Sodium molybdate (Na2MoO4.2H2O) 0.39
Zinc nitrate 17 Na2EDTA 45.4 Ferrous sulfate (FeSO4.7H2O) 33.8
inositol 100 Thiamine HCl 2 Nicotinic acid 1 Sucrose 30000 Glycine 2 Agar 2400
(Geltrite) (Driver, 1986)
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat untuk sterilisasi,
pembuatan media dan alat untuk penanaman eksplan.
a. Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan terhadap alat-alat dan bahan yang digunakan dengan
menggunakan autoclave pada suhu 121o C dan tekanan 1,5 atm.
b. Pembuatan media
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan media meliputi timbangan analitik,
autoclave, hot plate dengan magnetic stirrer, pH meter, pipet tetes, spatula, gelas ukur,
gelas piala, botol kultur, botol stok, pipet volumetric, dan aluminium foil.
c. Penanaman eksplan
Alat-alat yang digunakan untuk penanaman eksplan meliputi botol-botol kultur,
cawan petri, alat-alat diseksi seperti gunting, pinset dan scalpel, lampu bunsen, dan hand
sprayer. Penanaman eksplan dilakukan dalam laminar air flow cabinet yang telah
disterilisasi.
C. Cara Kerja
1. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan tanpa
prakondisi sebagai kontrol dan perlakuan dengan prakondisi, masing-masing dengan lima
ulangan. Untuk perlakuan tanpa prakondisi, eksplan ditanam langsung pada media
proliferasi selama 10 minggu. Untuk perlakuan prakondisi, eksplan diinkubasi pada
media DKW dengan 5 variasi konsentrasi TDZ (0 mg/l; 0.5 mg/l; 1 mg/l; 1.5 mg/l dan 2
mg/l) selama 2 minggu kemudian disubkultur ke media proliferasi (media dasar DKW)
selama 8 minggu.
2. Persiapan Penelitian
a. Sterilisasi alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitisn disterilisasi terlebih dahulu untuk
,emjaga kondisi aseptik. Sebelum disterilisasi, alat-alat seperti erlenmeyer, gelas ukur,
gelas beker, botol kultur, skalpel, spatula, pinset, pipet dan cawan petri dicuci dengan
deterjen, dibilas dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Skalpel, spatula, pinset,
pipet dan cawan petri yang sudah kering dibungkus dengan kertas; erlenmeyer, gelas
ukur, gelas beker dan botol kultur ditutup dengan aluminium foil. Semua alat tersebut
disterilisasi dengan autoclave pada suhu 1210C dan tekanan 1.5 atm selama 1 jam.
Setelah selesai disterilisasi, semua peralatan dikeluarkan dari autoclave dan disimpan
sampai saatnya digunakan.
b. Pembuatan media dasar DKW dan media prakondisi
Langkah-langkah untuk membuat media dasar DKW dengan volume 1 liter
adalah : aquades dimasukkan ke dalam gelas piala volum 1 liter sebayak 1/3 bagian,
larutan nutrien dimasukkan ke dalam gelas piala satu per satu sesuai jumlah yang
diperlukan sambil diaduk, sukrosa dimasukkan sebanyak 30 g/l, diaduk hingga larut
sempurna, kemudian aquades ditambahkan hingga ¾ volum gelas piala. Langkah
selanjutnya, keasaman media diukur dan ditetapkan pada pH 5,6-5,8 dengan cara
menambahkan KOH 1N untuk menaikkan pH dan menambahkan HCL 1 N untuk
menurunkan pH. Setelah pH stabil, agar ditambahkan sebanyak 8 gram dan aquades
ditambahkan sampai total volum media terpenuhi (1 liter). Larutan tersebut dipanaskan
sampai larut sempurna kemudian dituang ke dalam botol-botol kultur steril sebanyak
20 ml. Botol-botol kultur yang telah berisi media ditutup rapat dengan aluminium foil,
kemudian disterilisasi menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu 1210C dan
tekanan 1,5 atm. Untuk prakondisi, digunakan media dasar DKW dengan penambahan
thidiazuron sesuai dengan konsentrasi perlakuan.
±
3. Pelaksanaan Penelitian
a. Tahap Penananaman
1) Sterilisasi eksplan
Tunas aksiler purwaceng dari tanaman induk dicuci dengan deterjen di bawah
aliran air selama 30 menit. Eksplan direndam dalam larutan Clorox 5.25% selama
30 detik, aquades steril 3 kali masing-masing selama 3 menit.
2) Penananaman eksplan
Eksplan yang sudah disterilisasi ditanam dalam media prakondisi dan diinkubasi
selama 2 minggu, kemudian disubkultur ke media proliferasi (media dasar DKW)
dan diinkubasi selama 8 minggu. Untuk kontrol, eksplan langsung ditanam dalam
media dasar DKW dan diinkubasi selama 10 minggu. Penanaman dilakukan
secara aseptik dalam laminar air flow cabinet.
b. Tahap pemeliharaan
Botol-botol yang telah berisi eksplan diletakkan dalam rak kultur dan disemprot
dengan alkohol 70% tiap 3 hari sekali.
c. Tahap Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada akhir minggu ke-10. parameter yang diamati meliputi
berat basah, berat kering, panjang tunas dan kondisi visual tunas.
D. Analisis Data
Data pengamatan berupa data kuantitatif dan kualitatif. Untuk mengetahui
pengaruh antara perlakuan prakondisi dan tanpa prakondisi, dilakukan Uji T (T Test)
pada tingkat kepercayaan 95%. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan
prakondisi, dilakukan analisis varian (ANOVA). Bila ada perbedaan nyata dilanjutkan uji
DMRT pada taraf 5 %. Data kualitatif berupa pengamatan visual hasil kultur disajikan
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Tunas Pada Media Prakondisi
Dalam media prakondisi, tunas mengalami pertumbuhan berupa pemanjangan
tunas dan mekarnya kuncup daun pada tunas. Menurut Dwidjoseputro (1986) tanaman
yang diberi fitohormon mendorong ukuran tanaman menjadi lebih tinggi karena terjadi
pembelahan sel yang lebih banyak dan pengembangan jaringan meristem pada ujung
batang dan pada interkalar yang lebih baik.
Menurut Wigayati (2003), masalah utama di dalam kultur jaringan purwaceng
adalah senescens dini, yaitu pelayuan daun yang relatif cepat dan banyak. Selama
inkubasi dalam media prakondisi, tunas tidak mengalami pelayuan (Gambar 4), yang
diduga karena adanya sitokinin endogen dalam eksplan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Wattimena (1991) bahwa sitokinin paling banyak terdapat pada organ muda.
Penambahan sitokinin eksogen ke dalam media prakondisi juga mendukung penundaan
pelayuan sehingga kondisi tunas tetap segar ketika disubkultur ke dalam media proliferasi
(media dasar DKW).
T1 T0 T2 T3 T4
Gambar 4. Keadaan tunas purwaceng (P. alpina K. D. S..) dalam media prakondisi
pada usia 2 minggu Keterangan : T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l
T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l
B. Pertumbuhan Tunas Pada Media Dasar DKW
Dalam penelitian ini, tunas baru tidak terbentuk hingga akhir pengamatan.
Eksplan tunas aksiler yang telah ditanam dalam media dasar DKW, baik yang tanpa
prakondisi maupun dengan prakondisi, mengalami pertumbuhan dalam arti bertambah
ukurannya, namun tidak mengalami diferensiasi maupun dediferensiasi untuk
membentuk tunas baru. Hal ini dapat disebabkan karena sitokinin eksogen, yang dalam
hal ini adalah thidiazuron, tidak bisa menekan pengaruh hormon-hormon endogen seperti
IAA (Shilpa, 2003).
IAA merupakan auksin alami yang disintesis pada meristem apikal dan diangkut
secara basipetal (Wattimena, 1991). IAA menyebabkan terjadinya dominasi apikal, yang
salah satu menifestasinya adalah penghambatan pertumbuhan suatu pucuk karena
terdapatnya tunas dominan lainnya (Phillips, 1969).
C. Berat Basah
Data hasil pengamatan berat basah tunas P. alpina K. D. S. usia 10 minggu
disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 5. Hasil uji T (T Test) menunjukkan bahwa perlakuan
prakondisi tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan kontrol (tanpa
prakondisi). Pemindahan tunas ke media baru diduga menyebabkan penurunan aktivitas
metabolisme tanaman karena jaringan tanaman harus beradaptasi kembali terhadap
lingkungan baru. Hal ini mengakibatkan produksi biomassa tanaman hasil subkultur
cenderung lebih rendah dari pada tanaman yang tidak disubkultur dalam rentang waktu
tertentu.
Tabel 1. Rata-rata berat basah tanaman purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu
Perlakuan Berat basah (mg) P 432.48
T0 318,44 T1 353,26 T2 368,14 T3 449,80 T4 337,42
0
100
200
300
400
500
P T0 T1 T2 T3 T4
Berat Basah (mg)
Perlakuan
Gambar 5 . Grafik rata-rata berat basah tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Keterangan : P : Tanpa prakondisi
T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa rata-rata berat basah antar perlakuan
prakondisi tidak berbeda secara signifikan. Dari Gambar 5 dapat dilihat adanya
peningkatan berat basah seiring dengan bertambahnya konsentrasi TDZ pada media
prakondisi sampai konsentrasi 1.5 mg/l, kemudian berat basah mengalami penurunan
pada konsentrasi TDZ 2 mg/l. Berat basah tertinggi diperoleh dari eksplan yang diberi
perlakuan prakondisi pada konsentrasi TDZ 1.5 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa TDZ
efektif pada konsentrasi yang cukup rendah, yaitu pada kisaran 1.5 mg/l.
Peningkatan berat basah tunas purwaceng pada perlakuan prakondisi pada
konsentrasi TDZ 0 mg/l hingga 1.5 mg/l disebabkan oleh aktivitas TDZ. Thidiazuron
(TDZ) merupakan zat pengatur tumbuh sintetis yang mempunyai aktivitas menyerupai
sitokinin. Fosket dan Fosket dalam Salisburry dan Ross (1995) menyatakan bahwa
sitokinin mendorong pembelahan sel dengan cara meningkatkan peralihan dari G2 ke
mitosis dalam siklus sel dan bahwa hal itu terjadi karena sitokinin menaikkan laju sintesis
protein, baik protein struktural maupun protein fungsional. Tingginya laju sintesis kedua
jenis protein tersebut akan meningkatkan proses metabolisme sel. Metabolisme yang
tinggi mendorong terjadinya penyerapan hara dan air dari media sehingga meningkatkan
laju fotosintesis yang berpengaruh terhadap produksi biomassa tanaman, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan berat basah tanaman.
Pemberian TDZ pada konsentrasi yang lebih tinggi, yaitu pada konsentrasi 2 mg/l,
menyebabkan penurunan berat basah purwaceng. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arif
dan Kathamlan (1992) dalam Youmbi et al. (2006) bahwa thidiazuron aktif pada
konsentrasi rendah. Pada konsentrasi yang tinggi, TDZ dapat bersifat toksik dan
menurunkan aktivitas metabolisme (Gubbuk dan Pekmezci, 2004). Telah disebutkan
sebelumnya bahwa berat basah tanaman menunjukkan aktivitas metabolisme (Sitompul
dan Guritno, 1995) dengan demikian penurunan berat basah menunjukkan penurunan
aktivitas metabolisme tanaman.
Berat Kering
Data hasil pengamatan berat kering tunas P. alpina K. D. S. usia 10 minggu
disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 7. Hasil analisis statistik menggunakan T Test
menunjukkan bahwa perlakuan prakondisi tidak memberikan hasil yang signifikan
dibandingkan kontrol (tanpa prakondisi). Rata-rata berat kering kontrol lebih tinggi dari
pada rata-rata berat kering prakondisi. Telah disebutkan di muka bahwa pemindahan
tunas ke media baru diduga dapat menyebabkan penurunan aktivitas metabolisme.
Turunnya aktivitas metabolisme tanaman menyebabkan rendahnya berat kering tanaman,
karena bahan kering merupakan manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi
dalam pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Pemindahan tunas tersebut
berpengaruh pada berat kering tanaman hasil subkultur yang cenderung lebih rendah dari
pada tanaman yang tidak disubkultur dalam rentang waktu tertentu.
Tabel 2. Rata-rata berat kering tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Perlakuan Berat kering (mg)
P 54,78 T0 39,90 T1 36,66 T2 44,62 T3 50,26 T4 35,54
Keterangan : P : Kontrol T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l
0
10
20
30
40
50
60
P T0 T1 T2 T3 T4
Berat Kering (mg)
Perlakuan
Gambar 7. Grafik rata-rata berat kering tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Keterangan : P : Tanpa prakondisi
T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa rata-rata berat kering antar perlakuan
prakondisi tidak berbeda secara signifikan. Dari Tabel 2 dan Gambar 7 dapat dilihat
bahwa perlakuan prakondisi memberikan hasil yang bervariasi terhadap berat kering.
Berat kering pada perlakuan T0 lebih tinggi dari pada perlakuan T1, kemudian terjadi
peningkatan berat kering dari perlakuan T1 hingga T3 dan kembali menurun pada
perlakuan T4.
Berat kering tertinggi diperoleh dari eksplan yang diberi perlakuan prakondisi
pada konsentrasi TDZ 1.5 mg/l (T3). Seperti halnya pada berat basah, berat kering juga
mengalami penurunan pada perlakuan prakondisi dengan konsentrasi TDZ 2 mg/l (T4).
Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi TDZ yang tinggi menghambat pembelahan sel.
Menurut Onamu et al.( 2003 ), penggunaan TDZ dalam konsentrasi tinggi dapat bersifat
toksik bagi tanaman, sementara Thomas dan Katterman (1986) menyatakan bahwa TDZ
dalam konsentrasi tinggi akan menghambat pengangkutan sitokinin sehingga
menghambat pertumbuhan, termasuk pembelahan sel. Keadaan ini menunjukkan bahwa
penggunaan TDZ dengan konsentrasi yang rendah lebih baik dalam memacu
pertumbuhan jaringan tanaman.
D. Panjang Tunas
Data hasil pengamatan panjang tunas P. alpina K. D. S. usia 10 minggu disajikan
pada Tabel 3 dan Gambar 8. Hasil uji T (T Test) menunjukkan bahwa perlakuan
prakondisi tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan kontrol (tanpa
prakondisi). Tunas pada perlakuan tanpa prakondisi memiliki rata-rata panjang yang
lebih besar dari pada tunas yang mendapat perlakuan prakondisi.
Salisbury dan Ross (1995) menjelaskan jika suatu irisan batang atau akar
ditumbuhkan secara in vitro dengan pemberian sitokinin, maka irisan jaringan batang
biasanya menjadi lebih tebal karena terjadi pembentangan sel ke arah samping. Pada
penelitian ini, sitokinin eksogen tidak ditambahkan pada kontrol sehingga hasilnya tunas
lebih tinggi dari pada yang mendapat perlakuan prakondisi dengan penambahan sitokinin
eksogen (TDZ). Wattimena (1991) juga menyatakan bahwa sitokinin berpengaruh pada
proses pembelahan sel. Setelah terjadi pembelahan sel, dengan adanya nutrien yang
diperlukan akan terjadi proses pertumbuhan lainnya yaitu pembentangan sel dan
penambahan plasma.
Tabel 3. Rata-rata panjang tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Perlakuan Panjang tunas (cm)
P 3.18 T0 2.00 T1 2.50
T2 2.52 T3 1.70
T4 2.86
Keterangan : P : Kontrol T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa rata-rata panjang tunas antar perlakuan
prakondisi tidak berbeda secara signifikan. Dari Tabel 3 dan Gambar 8 dapat dilihat
bahwa perlakuan prakondisi memberikan hasil yang bervariasi terhadap panjang tunas.
Panjang tunas terus meningkat dari perlakuan T0 hingga T2, kemudian mengalami
penurunan pada perlakuan T3 dan meningkat lagi pada perlakuan T4.
Rata-rata panjang tunas yang diperoleh dari perlakuan prakondisi bervariasi. Rata-
rata tertinggi diperoleh pada perlakuan T4 (TDZ 2 mg/l) dan rata-rata terendah diperoleh
pada perlakuan T3 (TDZ 1.5 mg/l). Hal ini berbeda dari hasil yang diperoleh terhadap
berat basah dan berat kering, yang mana hasil tertinggi didapatkan pada perlakuan T3.
Preece dan Imel dalam Lu (1993) menyatakan bahwa dalam media yang mengandung
TDZ sebagian besar tunas yang diperoleh pendek-pendek. Pada perlakuan T3 sel-sel
tunas diduga mengalami pembentangan sel yang lebih besar dari pada perlakuan
prakondisi lainnya sehingga tunas tumbuh lebih tebal dan pendek (Gambar 7).
0
1
2
3
4
P T0 T1 T2 T3 T4
Panjang tunas (cm)
Perlakuan
Gambar 8. Grafik rata-rata panjang tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu
Keterangan : P : Tanpa prakondisi T0 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0 mg/l T1 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 0.5 mg/l T2 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1 mg/l T3 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 1.5 mg/l T4 : Prakondisi pada media DKW + TDZ 2 mg/l
E. Penghambatan Senesensi
Masalah utama di dalam kultur jaringan purwaceng adalah senesensi dini, yaitu
pelayuan daun yang relatif cepat dan banyak (Miftakhurohmah et al., 2005). Dari semua
perlakuan yang diuji, pada perlakuan kontrol (P), TDZ 0 mg/l (T0) dan TDZ 1.5 mg/l
(T3) tidak ditemukan pelayuan daun sampai usia 10 minggu, sedangkan pada perlakuan
lain ditemukan adanya pelayuan pada tepi daun.
Kondisi visual kultur terlihat bervariasi pada semua perlakuan yang diuji (Tabel
4). Kondisi visual terbaik didapatkan pada perlakuan TDZ 1 mg/l, yaitu sebagian besar
tunasnya tegak dan daunnya tidak melengkung, warna daunnya hijau (tidak layu).
Sedangkan pada perlakuan lain batangnya pendek, jika panjang maka batang tersebut
melengkung; daunnya melengkung, ukurannya terlalu kecil atau terlalu lebar, berwarna
hijau pucat atau layu. Pada kontrol, meskipun daunnya berwarna hijau segar dan melebar
(normal) namun batangnya pendek, atau panjang tetapi tidak tegak, dan ada yang pangkal
batangnya mengalami pencoklatan.
Tabel 4. Hasil pengamatan visual tunas purwaceng (P. alpina K. D. S.) usia 10 minggu Perlakuan Ulangan Kondisi visual tunas P 1 daun hijau, melebar; batang pendek lurus 2 daun hijau melebar, batang agak panjang dan melengkung 3 daun hijau melebar, batang panjang dan ujungnya melengkung 4 daun hijau melebar, batang agak panjang dan lurus, pangkal batang coklat 5 daun hijau melebar, batang agak panjang dan lurus TO 1 Daun hijau melengkung ujung bawah agak coklat, batang pendek dan lurus
2 Daun hijau melengkung bagian bawah coklat, batang pendek dan pangkalnya coklat
3 Daun hijau besar dan melengkung, batang pendek 4 Daun hijau kecil dan melengkung, batang panjang dan melengkung 5 Daun hijau pucat agak putih, batang agak panjang dan melengkung T1 1 Daun coklat melengkung, batang pendek 2 Daun coklat melebar, batang agak panjang dan lurus
3 Daun hijau kecil, batang panjang lurus
4 Daun hijau muda melebar, batang agak panjang dan lurus
5 Daun hijau pucat melengkung, batang pendek T2 1 Daun hijau melebar, batang panjang lurus
2 Daun hijau pucat melebar, batang pendek tegak
3 Daun coklat, batang pendek
4 Daun hijau melebar, batang panjang tegak
5 Daun hijau melebar, batang panjang tegak
T3 1 Daun hijau melengkung, batang agak panjang dan tegak
2 Daun hijau melengkung, batang pendek
3 Daun hijau melengkung, batang pendek
4 Daun hijau melengkung, batang pendek
5 Daun hijau melengkung, batang pendek
T4 1 Daun coklat, batang pendek coklat
2 Daun hijau melebar, batang panjang tegak
3 Daun coklat melebar, batang coklat panjang
4 Daun hijau kecil dan melengkung, batang pendek
5 Daun hijau melebar, batang pendek melengkung
Hasil pengamatan visual terhadap tunas purwaceng usia 10 minggu pada Table 4
menunjukkan bahwa tingkat pelayuan pada perlakuan prakondisi tergolong rendah.
Sebagian besar tunas masih segar hingga minggu ke-10. Hal ini berbeda dari hasil yang
diperoleh Syahid et al. (2004), kultur purwaceng mengalami pelayuan sejak minggu ke-3
dan pelayuan terus meningkat seiring bertambahnya usia kultur.
Dalam penelitian ini, pelakuan prakondisi dengan TDZ terbukti efektif dalam
menghambat senesensi. TDZ yang diberikan pada saat prakondisi diduga mampu
menghambat senesensi karena dapat melindungi membran dari kerusakan (Leshem dalam
Salisbury dan Ross, 1995), mendorong sintesis protein (Fosket dan Fosket dalam
Salisbury dan Ross, 1995), mendorong sintesis sitokinin alami jenis purin atau
menghambat degradasi senyawa tersebut (Thomas dan Katherman, 1986) dan
menghambat perombakan butir-butir klorofil (Wattimena, 1991).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1. Pemberian perlakuan prakondisi tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan tunas purwaceng (Pimpinella alpina K. D. S.)
dibandingkan kontrol; berat basah, berat kering dan panjang tunas pada kontrol
lebih tinggi dari pada tunas yang mendapat perlakuan prakondisi.
2. Prakondisi dengan variasi konsentrasi TDZ tidak memberikan hasil yang
signifikan antar perlakuan terhadap berat basah, berat kering dan panjang tunas
(P. alpina K. D. S.).
3. Pemberian thidiazuron pada konsentrasi 1.5 mg/l memberikan hasil terbaik
terhadap berat basah dan berat kering tunas P. alpina K. D. S. dan memberikan
hasil terendah terhadap panjang tunas P. alpina K. D. S.
DAFTAR PUSTAKA
Azuma, R., Y. Takahashi, H. Kurata, T. Kawano, K. Shimokawa and M. Adachi. 1999. Does Peroxidase Act As A ‘Mg-Dechelatase’ ?. Plant Peroxidase Newsletter . 13: 145-151. www.unige.ch/ [ 11 Agustus 2008].
Cao, X., F. A. Hammerschlag and L. Douglass. 2002. A Two-step Pretreatment Significantly Enhances Shoot Organogenesis From Leaf Explants of Highbush Blueberry cv. Bluecorp. HortScience. 37 (5): 819-821.
Dwidjoseputro, D. (1986), Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia, Jakarta.
Driver, J. A. 1986. Methode for Acclimatizing and Propagating Plant Tissue Culture Shoots.http://www.freepatentsonline.com/4612725.html. [13 April 2007]
Ermayanti, T. M., D. R. Wulandari, A. F. E. Martin, D. Al Hafiizh, E. Rantau dan B. Hapsari. 2006. Pengembangan Kultur Tunas dan Kultur Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina (Zoll). Koord.) untuk Perbanyakan.[Abstrak]. http://www.biotek.lipi.go.id/biotek/ [ 22 Mei 2007]
Gubbuk, H and M. Pekmezci. 2004. In Vitro Propagation of Some New Banana Types (Musa sp.). Turk J Agric. 28:355-361. http://journals.tubitak.gov.tr/ [ 27 Februari 2007]
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan). Jilid III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Lu, C. Y. 1993. The Use of Thidiazuron in Tissue Culture . In vitro Cell. Dev. Biol. 29: 92-96.
Mariska, I., R. Purnamaningsih and M. Kosmiatin. 1995. The Growth of Culture Pruatjan on Several Basal Media. KIPNAS VI. Jakarta. hlm. 250-256.
Miftakhurohmah, O. Rostiana dan S. F. Syahid. 2005. Multiplikasi Tunas Purwaceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Asal Perkecambahan Biji In vitro. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan obat Indonesia XXVIII. Bogor. hlm. 75-82.
Onamu, R., S.D. Obukosia, N. Musembi and M.J. Hutchinson. 2003. Efficacy Of Thidiazuron In In Vitro Propagation Of Carnation Shoot Tips: Influence Of Dose And Duration Of Exposure. African Crop Science Journal. 11(2):125-132. http://www.bioline.org.br/. [ 18 Juni 2008].
Phillips, I. D. J. 1969. Dominasi Apikal. Dalam Wilkins, M. B. Fisiologi Tanaman. (Diterjemahkan oleh M. Sutedjo dan A. G. Kartasapoetra). Bina Aksara, Jakarta. hlm 187-234
Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher, London.
Rivai, M.A., Rugayah and E.A. Widjaja. 1992. Thirty Years of The Eroded Species Medicinal Crops. Floribunda, Bogor.28 pp.
Roostika, I. 2006. Prospek Penerapan Teknologi Kultur In Vitro Untuk Produksi Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng. Warta Biogen. 2 (1):11-13.2006 http://www. indobiogen.or.id/ [13 April 2007]
Roostika, I., I. Darwati and I. Mariska. 2006. Regeneration of Pruatjan (Pimpinella pruatjan Molk): Axillary Bud Proliferation and Encapsulation. Jurnal AgroBiogen. 2(2): 68-73.
Salisbury, F. B dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan.(Diterjemahkan oleh Diah R. L. Dan Sumaryono). Penerbit ITB, Bandung.
Santoso, U dan Nursandi, F. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Penerbit UMM Press, Malang.
Shilpa, G. 2003. Studies On In Vitro Morphogenetic Response Of Horticultural Crop Cashew. Thesis. University Of Pune. India. http://dspace.ncl.res.in/ [13 Maret 2007]
Sidik, E. Sasongko, Kurnia dan Ursula. 1985. Usaha Isolasi Turunan Kumarin Dari Akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) Asal Dataran Tinggi Dieng. Prosiding Penelitian Tanaman Obat I , Bogor.
Sitompul, S. M. dan B. Guritno.1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM Press, Yogyakarta.
Syahid, S.F., O. Rostiana dan M. Rohmah. 2004. Pengaruh NAA dan IBA Terhadap Perakaran Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) In Vitro. Indonesian Biopharmaca Excibition and Conference. Yogyakarta.
Thomas, J. C. and F. R. Katterman. 1986. Short Communication : Cytokinin Activity Induced by Thidiazuron. Plant Physiol. 81: 681-183. http://www.plantphysiol.org/cgi/reprint/81/2/681.pdf [21 Februari 2007].
Wattimena, G.A. 1991. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU Bioteknologi Tanaman. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Bogor
Wigayati, A.2003. Pengaruh Thidiazuron dan Benzil Amino Purin Terhadap Inisiasi dan Proliferasi Tunas Anis (Pimpinella anisum L.) in vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Youmbi, E., B. Ella and K. Tomekpe. 2006. Effect of Thidiazuron on In vitro Proliferation Capacities of Some Banana (Musa spp.) Cultivars with Weak Multiplication Potential. AUFD. 19(2): 255-259