taksonom

11
Universitas Bina Nusantara 1/11 Taxonomi Tujuan Instruksional Untuk dapat menentukan tujuan pembelajaran yang diharapkan, pemahaman taxonomi tujuan atau hasil belajar menjadi sangat penting bagi dosen. Dengan pemahaman ini dosen akan dapat menentukan dengan lebih jelas dan tegas apakah tujuan instruksional matakuliah yang diasuhnya lebih bersifat kognitif, dan mengacu kepada tingkat intelektual tertentu, atau lebih bersifat afektif atau psikomotorik. Perumusan tujuan instruksional yang jelas, terukur dan dapat diamati menjadi semakin penting untuk dapat menentukan apakah suatu proses belajar mengajar mencapai tujuan atau tidak. Perumusan tujuan yang terkesan kabur,seperti “menghayati kehidupan beragama,” atau “memahami struktur konstruksi pondasi cakar ayam” tidak lagi dianggap cukup, sebab rumusan seperti ini tidak tegas menyatakan perilaku atau ”performance” apa yang diharapkan sebagai hasil belajar. Cara merumuskan tujuan instruksional secara tepat dapat dilihat dari buku Desain Instruksional, Bab III (Atwi Suparman, 1993). Tujuan instruksional dirumuskan menggunakan cara sebagai berikut: 1. menyebutkan “pelaku” (audience), dalam ruang lingkup pendidikan tinggi adalah mahasiswa. 2. Menyebutkan kompetensi atau perilaku akhir yang diharapkan dapat dilakukan mahasiswa, dengan menggunakan kata kerja yang operasional. Contoh: 1. Pada akhir mata kuliah mahasiswa akan dapat menjelaskan peranan hukum lingkungan dalam pembangunan. 2. Pada akhir mata kuliah mahasiswa akan dapat membuat proposal penelitian. Dalam menentukan dan merumuskan tujuan instruksional, dosen seringkali membatasi diri hanya menggunakan keterampilan atau kemampuan berpikir yang rendah, seperti kemampuan mengingat (recall). Contoh tujuan instruksional yang berorientasi pada ingatan ini misalnya “menyebutkan definisi X” dan semacamnya. Sedangkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi, seperti “menjelaskan hubungan dan pengaruh inflasi pada suku bunga bank” jarang digunakan. Di samping itu, dosen juga lebih banyak menggunakan tujuan yang bersifat kognitif, atau psikomotor, dibandingkan yang bersifat afektif. Pada kenyataannya, mahasiswa yang telah menyelesaikan suatu proses pendidikan akan mengalami perubahan prilaku bukan saja dalam hal kognitif tetapi juga pada afektifnya. Salah satu sebab orientasi yang kuat kepada kognitif ini mungkin karena lebih mudah mengukur pencapaian kognitif daripada afektif. Mengukur tujuan afektif yang melibatkan pemilikan dan pengamalan system nilai (value system) tidaklah mudah. Seperti contoh, kemampuan menjelaskan kaidah hubungan industrial Pancasila, yang merupakan kemampuan kognitif, belum menjamin bahwa orang yang bersangkutan menganggap konsep tersebut sebagai nilai yang secara konsisten akan diperaktekkan. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, dosen perlu memahami berbagai taksonomi tujuan untuk memperoleh wawasan yang lebih luas tentang tujuan instruksional. Dengan demikian dosen dapat memilih mana yang sesuai dengan matakuliah yang diasuhnya dan kegiatan instruksional yang dirancangnya. Taksonomi pada dasarnya merupakan usaha pengelompokan yang disusun dan diurut berdasarkan ciri-ciri tertentu. Sebagai contoh, taksonomi dalam bidang ilmu fisika menghasilkan pengelompokan benda ke dalam benda cair, benda padat dan gas. Taksonomi dalam bidang ilmu botani mengelompokan tumbuhan berdasarkan karakteristik tertentu, misalnya kelompok tumbuhan bersel satu dan tumbuhan bersel banyak.

Upload: vhianz-vickerz-mathz

Post on 12-Jul-2015

1.450 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

1/11

Taxonomi Tujuan Instruksional

Untuk dapat menentukan tujuan pembelajaran yang diharapkan, pemahaman taxonomi tujuan atau hasil belajar menjadi sangat penting bagi dosen. Dengan pemahaman ini dosen akan dapat menentukan dengan lebih jelas dan tegas apakah tujuan instruksional matakuliah yang diasuhnya lebih bersifat kognitif, dan mengacu kepada tingkat intelektual tertentu, atau lebih bersifat afektif atau psikomotorik. Perumusan tujuan instruksional yang jelas, terukur dan dapat diamati menjadi semakin penting untuk dapat menentukan apakah suatu proses belajar mengajar mencapai tujuan atau tidak. Perumusan tujuan yang terkesan kabur,seperti “menghayati kehidupan beragama,” atau “memahami struktur konstruksi pondasi cakar ayam” tidak lagi dianggap cukup, sebab rumusan seperti ini tidak tegas menyatakan perilaku atau ”performance” apa yang diharapkan sebagai hasil belajar. Cara merumuskan tujuan instruksional secara tepat dapat dilihat dari buku Desain Instruksional, Bab III (Atwi Suparman, 1993). Tujuan instruksional dirumuskan menggunakan cara sebagai berikut:

1. menyebutkan “pelaku” (audience), dalam ruang lingkup pendidikan tinggi adalah mahasiswa.

2. Menyebutkan kompetensi atau perilaku akhir yang diharapkan dapat dilakukan mahasiswa, dengan menggunakan kata kerja yang operasional.

Contoh:

1. Pada akhir mata kuliah mahasiswa akan dapat menjelaskan peranan hukum lingkungan dalam pembangunan.

2. Pada akhir mata kuliah mahasiswa akan dapat membuat proposal penelitian. Dalam menentukan dan merumuskan tujuan instruksional, dosen seringkali membatasi diri hanya menggunakan keterampilan atau kemampuan berpikir yang rendah, seperti kemampuan mengingat (recall). Contoh tujuan instruksional yang berorientasi pada ingatan ini misalnya “menyebutkan definisi X” dan semacamnya. Sedangkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi, seperti “menjelaskan hubungan dan pengaruh inflasi pada suku bunga bank” jarang digunakan. Di samping itu, dosen juga lebih banyak menggunakan tujuan yang bersifat kognitif, atau psikomotor, dibandingkan yang bersifat afektif. Pada kenyataannya, mahasiswa yang telah menyelesaikan suatu proses pendidikan akan mengalami perubahan prilaku bukan saja dalam hal kognitif tetapi juga pada afektifnya. Salah satu sebab orientasi yang kuat kepada kognitif ini mungkin karena lebih mudah mengukur pencapaian kognitif daripada afektif. Mengukur tujuan afektif yang melibatkan pemilikan dan pengamalan system nilai (value system) tidaklah mudah. Seperti contoh, kemampuan menjelaskan kaidah hubungan industrial Pancasila, yang merupakan kemampuan kognitif, belum menjamin bahwa orang yang bersangkutan menganggap konsep tersebut sebagai nilai yang secara konsisten akan diperaktekkan. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, dosen perlu memahami berbagai taksonomi tujuan untuk memperoleh wawasan yang lebih luas tentang tujuan instruksional. Dengan demikian dosen dapat memilih mana yang sesuai dengan matakuliah yang diasuhnya dan kegiatan instruksional yang dirancangnya. Taksonomi pada dasarnya merupakan usaha pengelompokan yang disusun dan diurut berdasarkan ciri-ciri tertentu. Sebagai contoh, taksonomi dalam bidang ilmu fisika menghasilkan pengelompokan benda ke dalam benda cair, benda padat dan gas. Taksonomi dalam bidang ilmu botani mengelompokan tumbuhan berdasarkan karakteristik tertentu, misalnya kelompok tumbuhan bersel satu dan tumbuhan bersel banyak.

Page 2: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

2/11

Taksonomi tujuan instruksional diperlukan dengan pertimbangan sebagai berikut: • Perlu adanya kejelasan terminology yang digunakan dalam tujuan instruksional sebab

tujuan instruksional berfungsi untuk memberikan arah kepada proses belajar dan menentukan prilaku yang dianggap sebagai bukti hasil belajar.

• Sebagi alat yang akan membantu dosen dalam mendeskripsikan dan menyusun tes, teknik penilaian dan evaluasi.

Kawasan Tujuan instruksional

Taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional ke dalam tiga kelompok, yaitu tujuan yang bersifat: • Kognitif

Tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan “berfikir”, mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu “mengingat”, sampai dengan kemampuan untuk memecahakan suatu masalah (problem solving) yang menuntut mahasiswa untuk memecahkan masalah tersebut. Sebagaimana disebutkan sebelumnya tujuan kognitif ini paling sering digunakan dalam proses insruksional.

• Afektif

Tujuan afektif yang berhubungan dengan “perasaan”, “emosi”, “system nilai” dan “sikap hati” (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu “memperhatikan suatu fenomena” sampai dengan yang kompleks yang merupakan factor internal seseorang, seperi kepribadian dan hati nurani. Dalam literature tujuan afektif ini disebutkan sebagai : minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem nilai, serta kecenderungan emosi.

• Psikomotor

Tujuan psikomotor berorientasi kepada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tinadakan (action) yang memerlukan koordinasi antaraayaraf dan otot. Dalam literature tujuan ini tidak banyak ditemukan penjelasannya, dan biasanya dihubungkan dengan “latihan menulis”, berbicara, berolahraga, serta matakuliah yang berhubungan dengan keterampilan teknis.

Taksonomi Tujuan Kognitif

Taksonomi Tujuan Kognitif Menurut Bloom Taksonomi Bloom sangat dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya yang paling terkenal dibandingkan dengan Taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom mengelompokkan tujuan kognitif ke dalam enam kategori. Ke enam kategori ini mencakup kompetensi keterampilan intelektual dari yang sederhana (tingkat pengetahuan) sampai dengan yang paling kompleks (tingkat evaluasi). Ke enam kategori ini diasumsikan bersifat hierarkis, yang berarti tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai. 1. Pengetahuan/pengenalan Tujuan instruksional pada level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengingat (recall) informasi yang telah diterima sebelumnya, seperti misalnya: fakta, terminology, rumus, strategi pemecahan masalah, dan sebagainya. 2. pemahaman Tujuan pada kategori ini berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan/informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menerjemahkan, atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.

Page 3: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

3/11

Kata kerja yang diperoleh harus operasional, dengan pengertian bahwa kompetensi dan perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya. Hal ini penting untuk menunjukkan apakah tujuan instruksional yang ditetapkan dapat tercapai atau tidak pada akhir perkuliahan. 3. Penerapan Penerapan merupakan kemapuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai contoh, menyusun kuesioner penelitian untuk penulisan skripsi merupakan penerapan prinsip-prinsip penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya telah dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah metode penelitian. 4. Analisis Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagsan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh, pembuatan kritik suatu karya literature atau seni merupakan analisis. Tugas seperti ini memerlukan kemampuan analisis sebab menuntut mahasiswa untuk membuat tanggapan terhadap berbagai aspek, seperti tema, plot, derajat realisme, dan sebagainya, serta melihat hubungan di antara aspek-aspek tersebut. 5. Sintesis tujuan instruksional level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan bagian atau elemen ke dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis esay tentang “Perwujudan Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia” merupakan contoh sintesis. Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek sosial, budaya dan ekonomi dalam kelompok etnik, misalnya sistem kekerabatan, sistem keagamaan, dan sebagainya, dan kemudian membandingkan perwujudan berbagai aspek tersebut dan membuat kesimpulan. 6. Evaluasi Tujuan ini merupakan tujuan yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan menggunakan kriteria tertentu. Sebagai contoh, kemampuan mengevaluasi suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program instruksional yang baik atau tidak, merupakan tujuan tingkat evaluasi. Dalam hal ini mahasiswa harus mempertimbangkan dari segi isi, strategi presentasi, budaya, karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu kriteia program yang baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.

Taksonomi Tujuan Psikomotor

Tujuan instruksional kawasan psikomotor dikembangkan oleh Harrow (1972). Taxonomy Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkhis dalam lima tingkat, mencakup tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks. 1. Meniru (Immitation) Tujuan instruksional pada tingkat ini mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru suatu prilaku yang dilihatnya.

Page 4: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

4/11

2. Manipulasi (Manipulation) Pada tingkat ini mahasiwa diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Mahasiswa diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan (perilaku) yang diminta. Contoh kata kerja yang digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru. 3. Ketetapan Gerakan (Precision) Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan mekukannya dengan lancar, tepat, seimbang dan akurat. 4. Artikulasi (Artikulation) Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat. 5. Naturalisasi (Naturalization) Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis. Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya dan urutannya.

Taxonomi Tujuan Afektif

Bagian berikut ini akan membahas tentang taxonomi tujuan afektif. Taxonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan oleh Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taxonomi ini ke dalam lima tingkat perilaku. Taxonomi Tujuan Afektif Menurut Krathwohl, dkk. Krathwohl, Bloom dan Masia (1964) mengembangkan taxonomi tujuan yang berorientsikan kepada perasaan atau afektif. Taxonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam 5 kelompok. • Pengenalan (Receiving) • Pemberian Respon (Responding) • Penghargaan terhadap nilai (Valuing) • Pengorganisasian (Organization) • Pengamalan (Characterization) Pengelompokan ini juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah (sederhana)dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan tersebut. 1. Pengenalan/Penerimaan (Receiving) Tujuan instruksional kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal, bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Contoh kata kerja operasional: • Mendengarkan • Menghadiri, Melihat, Memperhatikan 2. Pemberian Respon (Responding) keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau sistem nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk

Page 5: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

5/11

menunjukkan prilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta. 3. Penghargaan Terhadap Nilai (Valuing) Penghargaan terhadap suatu nilai merupakan persaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan, benda atau cara berpikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini mahasiswa secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lian yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini dapat saja dipelajari dari orang lain,misalnya dosen, teman atau keluarga. 4. Pengorganisasian (Organization) Pengorgaisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatu sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi committed terhadap suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam satu sistem nilai, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai tersebut. 5. Pengamalan (Characterization) pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten dengan sistem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tetapi telah mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan menyakinkan, dan prilakunya akan selalu konsisten dangan filsafat hisup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter. Dari contoh-contoh tujuan afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang tinggi (valuing, organization dan characterization) perilaku yang merupakan indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut terlihat overlapping dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisahkan dan nampaknya mempunyai hubungan hierarkhis, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas dibedakan. Hal ini pulalah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak.

Integrasi Tujuan Kognitif dan Afektif Dalam Pembelajaran

Sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara unsur kognitif dan afektif dalam diri mahasiswa. Sikap yang apriori terhadapsuatu konsep atau prosedur kerja dapat menjadi hambatan bagi tercapainya tujuan kognitif. Sebaliknya, untuk mengubah suatu sikap atau megadopsi suatu nilai, mahasiswa juga memerlukan pemahaman yang sifatnya kognitif. Dalam proses pembelajaran tertentu aspek kognitif dan afektif merupakan dua sisi mata uang yang perlu ada. Dengan demikian, dalam proses pembelajaran dosen perlu memperhatikan tujuan afektif ini dan secara terencana berusaha untuk mencapainya. Berbeda dengan tujuan kognitif, tujuan afektif lebih sulit dievaluasi. Salah satu sebabnya adalah bahwa mencapai tujuan afektif memerlukan waktu lama. Sebagai contoh, “menjadi ahli dalam hukum atau politikus yang mempunyai kredibilitas tinggi” jelas tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat.

Page 6: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

6/11

Untuk tingkat-tingkat yang lebih sederhana, seperti mengenal atau memberi respon, pencapaiannya mungkin tidak memerlukan waktu lama, dan dengan cepat dapat diketahui tercapai atau tidak. Di antara kawasan tujuan pendidikan yang paling banyak mendapatkan perhatian pada jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan kognitif. Di dalam kawasan kognitif yang paling penting adalah jenjang analisis, sintesis, dan evaluasi karena sangat dibutuhkan dalm pemecahan masalah. Kemampuan memecahkan masalah ini dikuasai bila peserta didik mempunyai strategi kognitif yang baik. Oleh sebab itu dalam bab yang akan datang akan dibahas konsep strategi kognitif dan bagaimana cara mengajaran yang dapat menumbuhkannya.

Rangkuman 1. Tujuan Instruksional dikelompokkan dalam tiga kawasan, yaitu kawasan kognitif,

psikomotor dan afektif. 2. terdapat salah konsep (misconception) tujuan instruksional yang mengatakan bahwa

dalam perumusan tujuan, kompetensi yang sederhana kurang penting dibandingkan dengan kompetensi yang lebih kompleks. Di samping itu terdapat salah konsep bahwa setiap kawasan (domain) dapat secara tegas dipisahkan dari yang lain. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran ketiga domain tersebut berinteraksi dalam usaha mencapai tujuan belajar.

3. Tujuan kognitif dapat disusun berdasarkan Taxonomy Bloom, Gagne, Merill atau Gerlach, dan Sullivan.

4. Tujuan psikomotor dapat disusun menurut Harrow yang membagi kompetensi psikomotor ke dalam 5 tingkatan yang bersifat hierarkhis.

5. Tujuan afektif dapat disusun berdasarkan taxonomy menurut Krathwohl, Martin, dan Briggs.

6. Mengingat bahwa pada kenyataanya terjadi interaksi antara faktor kognitif, afektif, dan psikomotor dalam pembelajaran, jika relevan, dalam penyusunan tujuan instruksional pengintegrasian jenis-jenis tujuan tersebut perlu dilakukan.

References : Krathwohl, D.R, Bloom & Marsia. (1964).Taxonomy of Educational Objectives. New York:Longman. Marlin, B.L & Brigg, L.J (1986). The Affective and Cognitive Domains. New Jersey : Educational Technology Publication. Suparman, A.(1994). Desain Instruksional. Jakarta : Pusat Antar Universitas-PPAI Harrow, A.J.(1972). A taxonomy of the Psychomotor Domain. New York :David McKay Company Suciati (2001). Taksonomy Tujuan Instruksional. Jakarta : Pusat Antar Universitas-PPAI

Page 7: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

7/11

Lampiran-1

RANAH-RANAH ( Taxonomy Bloom)

Petunjuk : Pada saat merumuskan Tujuan Instruksional Umum Umum (TIU)dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) kata kerja yang digunakan adalah “ Kata-kata Kerja Operasional” yang terdapat pada kolom ke –3 ( paling kanandari tabel dibawah ini). Ranah Kogntif

Kategori Jenis Perilaku

Kemampuan Internal Kata-kata Kerja Operasiaonal

Pengetahuan Mengetahui ….. Misalnya: istilah fakta aturan urutan metode

Mengidentifikasikan Menyebutkan Menunjukkan Memberi nama pada Menyusun daftar Menggarisbawahi Menjodohkan Memilih Memberikan definisi Menyatakan

Pemahaman Menterjemahkan Menafsirkan Memperkirakan Menentukan….. misalnya: metode prosedur Memahami….. misalnya: konsep kaidah prinsip kaitan antara fakta isi pokok Mengartikan/menginterpretasikan….. misalnya: tabel grafik bagan

Menjelaskan Menguraikan Merumuskan Merangkum Mengubah Memberikan contoh tentang Menyadur Meramalkan Menyimpulkan Memperkirakan Menerangkan Menggantikan Menarik kesimpulan Meringkas Mengembangkan Membuktikan

Penerapan

Memecahkan masalah Membuat bagan dan grafik Menggunakan….. misalnya: metode/prosedur konsep kaidah prinsip

Mendemonstrasikan Menghitung Menghubungkan Memperhitungkan Membuktikan Menghasilkan Menunjukkan Melengkapi Menyediakan

Page 8: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

8/11

Menyesuaikan Menemukan

Analisa Mengenali kesalahan Membedakan….. misalnya: fakta dari interpretasi data dari kesimpulan Menganalisa….. misalnya: struktur dasar bagian-bagian hubungan antara

Memisahkan Menerima Menyisihkan Menghubungkan Memilih Membandingkan Mempertentangkan Membagi Membuat diagram/skema Menunjukkan hubungan antara Membagi

Sintesa Menghasilkan….. misalnya: klarifikasi karangan kerangka teoritis Menyusun….. misalnya: rencana skema program kerja

Mengkategorikan Mengkombinasikan Mengarang Menciptakan Mendesain Mengatur Menyusun kembali Merangkaikan Menghubungkan Menyimpulkan Merancangkan Membuat pola

Evaluasi Menilai berdasarkan norma internal….. misalnya: hasil karya seni mutu karangan mutu ceramah program penataran Menilai berdasarkan norma eksternal….. misalnya: hasil karya seni mutu karangan mutu pekerjaan mutu ceramah program penataran Mempertimbangkan misalnya: baik-buruknya pro-kontranya untung-ruginya

Memperbandingkan Menyimpulkan Mengkritik Mengevaluir Memberikan argumentasi Menafsirkan Membahas Menyimpulkan Memilih antara Menguraikan Membedakan Melukiskan Mendukung Menyokong Menolak

Ranah Afektif Kategori Jenis

Perilaku Kemampuan Internal Kata-kata Kerja Operasional

Penerimaan Menunjukkan….. misalnya: kesadaran kemauan perhatian Mengakui….. Misalnya: kepentingan perbedaan

Menanyakan Memilih Mengikuti Menjawab Melanjutkan Memberi Menyatakan Menempatkan

Partisipasi Mematuhi….. misalnya: peraturan tuntutan

Melaksanakan Membantu Menawarkan diri

Page 9: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

9/11

perintah Ikut serta secara aktif….. misalnya: di laboratorium dalam diskusi dalam kelompok belajar dalam kelompok tentir

Menyambut Menolong Mendatangi Melaporkan Menyumbangkan Menyesuaikan diri Berlatih Menampilkan Membawakan Mendiskusikan Menyelesaikan Menyatakan persetujuan Mempraktekkan

Penilaian/Penentuan sikap

Menerima suatu nilai Menyukai Menyepakati Menghargai….. misalnya: karya seni sumbangan ilmu pendapat Bersikap (positif atau negatif) Mengakui

Menunjukkan Melaksanakan Menyatakan pendapat Mengikuti Mengambil prakarsa Memilih Ikut serta Menggabungkan diri Mengundang Mengusulkan Membela Menuntun Membenarkan Menolak Mengajak

Organisasi Membentuk sistem nilai Menangkap relasi antara nilai Bertanggungjawab Mengistegrir nilai

Merumuskan Berpegang pada Mengintegrasikan Menghubungkan Mengaitkan Menyusun Mengubah Melengkapi Menyempurnakan Menyesuaikan Menyamakan Mengatur Memperbandingkan Mempertahankan Memodifikasikan

Pembentukan pola Menunjukkan….. misalnya : kepercayaan diri disiplin pribadi kesadaran Mempertimbangkan Melibatkan diri

Bertindak Menyatakan Memperlihatkan Mempraktekkan Melayani Mengundurkan diri Membuktikan Menunjukkan Bertahan Mempertimbangkan

Page 10: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

10/11

Mempersoalkan

Ranah Psikomotorik ( Buku Pedoman Penatar Program Ketrampilan Teknik Instruksional PAU-Universitas Terbuka)

Kategori Jenis Prilaku

Kemampuan Internal Kata-kata Kerja Operasional

Imitation Meniru contoh Mempraktekkan, Memainkan Mengikuti, mengerjakan Membuat Mencoba Memperlihatkan Memasang Membongkar

Manipulation Berketerampilan Berpegang pada pola

Mengoperasikan Membangun Memasang, Membongkar Memperbaiki, Melaksanakan Mengerjakan Menyusun Menggunakan Mengatur Mendemonstrasikan Memainkan Menangani

Precision Berketerampilan secara….. misalnya: lancar luwes supel, gesit, lincah

s.d.a. -

Articulation Menyesuaikan diri bervariasi

Mengubah Mengadaptasikan Mengatur kembali Membuat variasi

Naturalization Menciptakan yang baru berinisiatif

Merancang Menyusun Menciptakan Mendesain Mengkombinasikan Mengatur Merencanakan

Reference : Taksonomi Tujuan Instruksional-Program PEKERTI “Mengajar di Perguruan Tinggi”

Page 11: Taksonom

Universitas Bina Nusantara

11/11

Lampiran-2

Activities and Corresponding Bloom’s Level Knowledge

Comprehension Application Analysis Synthesis Evaluation

Question and Answer Sessions

Debate Simulation Activities Generating criteria for evaluation (brainstorming)

Procuring an original plan

Making evaluations of peer projects and presentations

Workbook or Worksheets

Dramatization Role Playing and Role Reversal

Morphological Analysis/Checker board

Defining the problem, identifying goals and objectives

Evaluating data, given criteria to apply

Programmed Instruction Games and Puzzles

Just Suppose Producing newspaper stories, ads, etc

Attribute listing Organizing and conducting an original product

Evaluating one’s own products and ideas

Information Search Peer Teaching

Model building Problem Identification

Showing how some idea or product might be changed

Reading Assignment

Morning Talk (Show/Tell)

Interviewing Outlining Written Material Finding new combinations

Finding Definitions

Small Group Class or group presentation

Making Deductions

Memory games or Quizzes

Projects Conducting Experiments Comparing and

contrasting

Making Predictions or Estimates

Making up classifications

Giving Examples

Paraphrasing

Source : www.learning.cqu.edu.au/curric_design.php