sumber rasa malu pada anak

24
Esti Diah Purwitasari Anakku Tak Lagi Pemalu Memahami dan mengatasi sejak dini masalah fobia sosial pada anak

Upload: rumahbianglala

Post on 19-Jun-2015

452 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sumber Rasa Malu Pada Anak

Esti Diah Purwitasari

AnakkuTak LagiPemaluMemahami dan mengatasi sejak dinimasalah fobia sosial pada anak

Page 2: Sumber Rasa Malu Pada Anak

Bab 3Sumber Rasa Malu

Bapak/Ibu yang budiman, di benak Anda mungkin berkelebatan pertanyaan berikut; Apa yang menyebabkan kita bisa punya rasa malu? Seperti tentang definisi 'malu' yang sulit ditentukan, jawaban bagi pertanyaan ini juga tidak gampang. Itu karena gejala malu pada masing-masing anak juga sangat unik. Satu kasus harus diuraikan dengan satu cara tertentu. Namun, demi generalisasi, saya akan beberkan beberapa pandangan tentang asal-usul rasa malu.

Bagaimana anak bisa menjadi malu? Ada beberapa hal penyebabnya. Pertama, sebagian anak mungkin dilahirkan dengan mewarisi benih-benih pemalu. Kedua, beberapa anak punya orangtua yang pemalu atau pendiam, sehingga mereka menirunya. Ketiga, beberapa anak pernah mengalami sesuatu yang buruk dan itu membuat mereka menjadi malu.

Apakah hanya anak-anak yang bisa malu? Tentu saja tidak. Saya juga pernah malu. Bapak/Ibu tentu juga pernah malu. Boleh dikata, semua manusia pernah malu. Namun, tidak semua manusia pemalu (tidak semua orang terjebak dalam keadaan begitu sering merasa malu). Tidak semua anak pemalu (tidak semua anak terjebak dalam keadaan begitu sering merasa malu). Cuma, mohon maaf, saya belum bisa mendapatkan angka pasti orang atau anak yang merasa dirinya pemalu di Indonesia.

Sekadar perbandingan, kembali saya mengutip Encyclopedia of Mental Health, di Amerika Serikat tercatat semakin meningkat orang dewasa yang mengaku pemalu kronis sehingga bisa mengganggu kualitas hidup mereka. Pada awal 1970-an, 40% plus-minus 3% penduduk dewasa mengakui mereka pemalu kronis. Survei satu dasa warsa kemudian mengungkapkan, jumlah pemalu kronis naik menjadi 48,7% plus-minus 2%. Bahkan, National Co-morbidity Survey pada 1994 mengungkapkan prevelansi fobia sosial (merasa malu atau cemas secara sangat esktrim) seumur hidup mencapai 13% --atau masuk peringkat tiga masalah gangguan psikiatris terbesar di Amerika Serikat. Angka-angka ini didapatkan dari jumlah orang yang masuk ke klinik rehabilitasi. Artinya, jumlahnya bisa lebih besar lagi jika melibatkan orang-orang yang tidak mau masuk klinik rehabilitasi. Cukup mengkhawatirkan, bukan?

Kita tidak pernah tahu apakah anak kita nanti akan menjadi pemalu atau percaya diri. Gejala malu yang tampak pada usia sangat muda mungkin berangsur-angsur hilang ketika si anak sudah bernajak dewasa. Namun, bisa juga terjadi sebaliknya. Semua itu membutuhkan bimbingan orangtua sehingga anak berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Rasa malu boleh ada, tapi jangan sampai terlalu berlebihan. Pak/Bu, tentu kita kurang sreg menjalani hidup kalau anak kita malu-maluin.

Sistem Syaraf OtonomAkar dari malu adalah perasaan self-consciousness (kesadaran-diri berlebihan). Ini bisa

menyebabkan anak menjadi pipinya memerah, otot-ototnya menegang, peluhnya bercucuran, menghindari kontak mata, menundukkan wajah, atau menjadi sangat pendiam. Semua itu tadi adalah beberapa reaksi saat otak melemparkan sinyal-sinyal ada bahaya. Mengapa otak berreaksi demikian? Karena di lingkungan luar ada rangsangan-rangsangan tertentu yang dianggap mengancam kesadaran diri. Jadi, ada faktor internal dan ada faktor eksternal yang membuat anak menjadi malu.

Mari kita telaah lebih jauh sumber perasaan malu itu.

Page 3: Sumber Rasa Malu Pada Anak

Dalam diri manusia ada dua jenis sistem syaraf. Sistem syaraf voluntir mengontrol tindakan-tindakan yang membutuhkan pemikiran, misalnya bagaimana menendang bola, dengan tangan mana kita menggunting, jari mana enaknya untuk mengupil. Sistem syaraf otonom mengontrol tindakan-tindakan yang refleks dan tidak memerlukan pemikiran, misalnya; denyut jantung, menarik otot tangan saat jari tersulut api, membuat sisa-sisa pencernaan bergerak di dalam usus menuju anus. Saat muncul pemicu rasa malu, sistem syaraf otonom ini lah yang memerintahkan peningkatan ketegangan otot tertentu, peningkatan denyut jantung, percepatan pernafasan, penyempitan serabut pembuluh darah –sehingga telapak tangan jadi dingin, mengecilnya pupil mata, penghentian proses pencernaan, mulut kering, dan lain-lain.

Salah satu fungsi sistem syaraf otonom adalah meningkatkan aktivitas fisiologis yang dibutuhkan untuk menghadapi situasi ancaman eksternal —apakah 'tempur' atau 'kabur' saja. Saat ada anjing kecil menggonggong, anak pemberani bereaksi 'tempur' dan anak penakut akan bereaksi 'kabur.' Saat diminta menyanyi di depan publik, anak percaya diri akan 'oke saja' tapi anak pemalu akan bereaksi 'ngacir saja'. Padahal, menyanyi di depan umum kan tidak membuat fisik terancam atau sakit seperti halnya kalau berhadapan dengan gigitan anjing.

Itu tadi di bagian syaraf, Pak/Bu. Sekarang, mari kita masuk lebih dalam ke pangkal dari semua syaraf. Di dalam otak, landasan biologis bagi reaksi sifat malu ini bisa ditemukan di bagian yang disebut amygdala dan hippocampus. Bagian-bagian ini, diyakini para pakar, terkait dengan pengasosiasian rangsangan khusus berupa takut. Bagi anak pemalu, bagian-bagian ini bertugas menilai kondisi kontekstual yang dipandang sebagai sesuatu yang membuat takut, misalnya; ruang kelas baru, pesta dengan orang-orang tak dikenal, dan sebagainya. Sinyal-sinyal ini lalu dikirim cepat ke hypothalamus dan batang otak (brain stem). Dari sini, sinyal-sinyal kecemasan dikirim ke seluruh tubuh melalui sel-sel syaraf. Lalu muncul gejala-gejala fisiologis malu, antara lain; tubuh gemetar, jantung berdegub, dan otot menegang.

Temperamen Seorang bayi yang baru belajar berjalan, jika bertemu orang asing yang ia tidak kenal, mungkin

lari mencari perlindungan dan memeluk atau bergelayut pada orangtuanya. Seorang balita merengek-rengek menolak masuk sekolah karena takut pada situasi baru di ruang kelas atau malu bertemu teman-teman baru atau gurunya. Seorang anak pipis di celana saat diminta memperkenalkan diri di hadapan murid-murid dalam kelas baru. Perilaku-perilaku semacam ini diatur, baik sengaja maupun refleks, di dalam otak dan sistem syaraf mereka.

Saat bayi pertama kita lahir, kebanyakan kita tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Kita mendapatkan begitu banyak nasihat dari orangtua, dari teman, dari tetangga, dari buku dan majalah, dari siapa saja tentang bagaimana bayi makan, bagaimana bayi tidur, dan bagaimana-bagaimana yang lainnya. Banyak juga nasihat tentang bagaimana orangtua bisa mempengaruhi pola-pola perilaku anak. Setelah bayi kedua dan seterusnya lahir, kita juga masih tetap sering mendapat nasihat dari mana saja tentang ini atau itu. Namun, bedanya, sekarang kita sudah punya pengalaman langsung tentang bagaimana perilaku kita sendiri bisa berpengaruh pada pola-pola perilaku anak. Bahkan, kita bisa berbagi nasihat pada teman atau adik kita yang baru mendapatkan bayi.

Namun, adakah yang memberi kita nasihat sangat khusus tentang temperamen bayi?

Pak/Bu, para orangtua biasanya memahami bahwa semua anak-anak mereka dilahirkan dengan reaksi masing-masing terhadap sinar, suara, sentuhan, dan gerak. Para psikolog anak menyebut perbedaan reaktivitas ini sebagai temperamen anak. Temperamen ini sudah muncul pada masa-masa awal kehidupan anak dan terpengaruh oleh lingkungan keluarga. Temperamen ini nanti akan

Page 4: Sumber Rasa Malu Pada Anak

mempengaruhi kepribadian, antara lain apakah ia menjadi pemalu atau bukan. Kita bisa mengontrol temperamen itu dengan rangsangan visual, auditori, atau sentuhan yang baik dan hangat.

Bagaimana temperamen bayi bisa punya pengaruh kuat bagi perkembangan sosial anak? Ini penjelasannya; Orangtua boleh mengambil strategi apa saja untuk merawat bayi, namun temperamen bayi itu lah yang menentukan keberhasilan strategi yang diambil orangtua. Jika si anak punya temperamen sangat negatif, berapa pun kerasnya orangtua mendorongnya untuk bersosialisasi di suasana yang ia tidak suka, maka reaksi si bayi tetap akan negatif. Jika dipaksakan, itu justru akan memberikan trauma psikis pada anak yang akan terbawa hingga ke usia tertentu. Jika orangtua merespons dengan suasana stress atas kondisi itu, si bayi bakal tambah stress. Ini membuat interaksi yang baik jadi sulit didapatkan.

Saat bayi tumbuh menjadi batita, lalu menjadi anak usia pra-sekolah, lalu menjadi anak usia sekolah, dan seterusnya, temperamen itu akan tumbuh menyertai ia. Bayi yang punya temperamen pemalu akan lebih mungkin tumbuh menjadi anak yang malu dan membatasi diri. Bayi yang punya temperamen bahagia dan terbuka seringkali tumbuh menjadi anak yang bahagia dan suka bergaul dengan orang lain. Bayi yang sangat aktif dan impulsif, bisa saja terus membawa temperamen itu sampai usianya tua. Tentu saja, derajad temperamen saat masih bayi berbeda dengan derajad saat si anak sudah dewasa. Ini tergantung pada berbagai kondisi.

Dr Nathan Fox, profesor perkembangan manusia di University of Maryland, memberikan tiga hal penting untuk diingat orangtua tentang temperamen:

Pertama, ada banyak temperamen berbeda. Sejumlah studi ilmiah mengisyaratkan, masing-masing temperamen adalah produk dari genetika dan kimia otak. Ada begitu banyak kombinasi berbeda dari gen dan kimia itu sehingga temperamen juga banyak jenisnya. Kita sering melihat bayi yang sangat reaktif, sangat takut, atau sangat pemalu. Namun, sebenarnya masih ada banyak tipe temperamen yang belum bisa digambarkan secara ditail oleh para pakar. Bisa jadi, temperamen belum dikenal ini bakal lebih mempengaruhi kehidupan anak.

Kedua, banyak temuan tentang pengaruh ekstrim temperamen itu pada anak-anak. Misalnya, bayi yang sangat reaktif menolak hal-hal baru punya kecenderungan untuk tidak suka bersosialisasi saat usianya bertambah. Namun, temuan ini hanya muncul dalam kasus-kasus reaksi ekstrim. Padahal, kebanyakan bayi bisa menunjukkan variasi reaksi temperamen yang justru bisa berlangsung lebih jauh dan lebih lama dalam perkembangannya. Temperamen yang bervariasi ini sering kali luput dari penelitian para pakar.

Ketiga, pengaruh temperamen ini tidak selalu menentukan biologi anak di masa mendatang. Para ilmuwan dulu sering kali berdebat apakah perkembangan anak itu hasil dari nature (alami) atau nurture (asuhan). Itu saja. Padahal, dengan kecanggihan ilmu genetika molekuler dan pengkodean susunan gen manusia, semakin jelas bahwa gen saja tidak bisa menentukan hasil perilaku kompleks dalam kepribadian manusia.

Pembuktian dari itu bisa dilihat dari kajian ilmiah Marco Battaglia MD, dari Istituto Scientifico San Raffaele, Milan, Italia. Battaglia bersama koleganya menganalisis respons dari 49 anak berkarakter malu yang belajar di sekolah dasar kelas tiga dan kelas empat. Mereka ingin tahu reaksi anak-anak pemalu itu terhadap ekspresi wajah emosional yang berbeda-beda. Anak-anak itu diberi gambar wajah anak-anak lain yang mengekspresikan keriangan luar biasa, biasa-biasa saja, dan kemarahan besar. Respons anak-anak pemalu itu ditelusuri dengan sejumlah kuisener dan direkam dengan menggunakan elektroda pengukur aktivitas gelombang di otak. Hasil riset Battaglia yang dipublikasikan ScienceDaily edisi 5 Januari 2005 itu mengungkapkan, anak-anak yang sangat pemalu memproses secara berbeda atas respons berupa ekspresi wajah.

Page 5: Sumber Rasa Malu Pada Anak

Para peneliti menemukan adanya bentuk-bentuk tertentu yang mengisyaratkan gen pemicu transportasi serotonin (serotonin transporter promoter gene) memprediksi respons lebih kecil atas ekspresi wajah netral dan bermusuhan di beberapa bagian tertentu dalam otak. Temuan ini mengindikasikan perbedaan respons otak dan kegagalan membaca beberapa bentuk ekspresi wajah. “Anak-anak memberi respon psikologis agak berbeda dalam konteks keberagaman tertentu. Data ini mengisyaratkan, pola bias dalam pemrosesan informasi emosional atas relevansi sosial tertentu sebenarnya sudah bisa dikenali dan dikarakterisasi sejak awal kehidupan,” begitu yang mereka tulis di ScienceDaily.

Biangnya di Pucuk GenBagi kebanyakan orang dewasa, malu adalah hasil dari apa yang terjadi di masa lalu. Saat masih

anak-anak, mereka mungkin sudah memiliki perasaan malu. Mereka malu karena pernah diolok-olok teman sebaya, pernah dikritik keluarga, pernah dinasihati orangtua untuk tidak agresif tapi mereka tetap agresif, dan lain-lain. Perasaan malu dari masa anak-anak ini kemudian terbawa ke masa dewasa sehingga berobah menjadi perasaan tidak aman atau tidak nyaman jika akan dinilai oleh orang lain.

Bagi anak-anak, boleh jadi perasaan malu ini didapatkan dari warisan. Ada anak-anak tertentu yang dilahirkan dengan membawa “stranger anxiety (cemas terhadap orang tak dikenal)” yang sebagian disebabkan oleh ketidak-berimbangan kimiawi di dalam otak. Para peneliti juga menemukan apa yang mereka sebut sebagai “switching center” di dalam otak yang mempengaruhi rangsang berupa reaksi takut, malu, dan menarik diri. Apa itu switching center? Para pakar menyebutnya sebagai 'gen.'

Pak/Bu, berikut ini saya sajikan beberapa suntingan berita yang mengaitkan perasaan malu dengan faktor genetik. Saya akan awali dengan beberapa studi yang dilakukan pada abad ke 20. Kala itu, para peneliti sudah mencurigai adanya sesuatu di dalam otak yang menyebabkan perasaan malu. Sesuatu itu lalu diwariskan dari orangtua ke anak. Setelah diketahui bahwa sesuatu itu adalah gen, maka studi terhadap materi gen dilakukan. Studi paling mutakhir yang saya sampaikan dalam buku ini adalah dari 2007, meski studi tentang ini sedang berlangsung dan akan terus berlangsung hingga beberapa saat jauh di depan.

Pada abad 20, para peneliti sudah mencurigai pengaruh genetik terhadap rasa malu. Kala itu, studi tentang gen masih dalam tahap awal. Jika belakangan ini gen menjadi pusat kajian, para peneliti pada abad 20 mencari penyebab sifat pemalu berdasarkan prinsip-prinsip heriditas. Mereka mempelajari silsilah keluarga untuk mencari akar dari munculnya perasaan malu. Bahan studi yang paling menarik, tentu saja, adalah anak-anak yang kembar identik dan anak-anak adopsi. Ini biasa disebut sebagai genetika kuantitatif.

Dalam studi semacam ini, peneliti berusaha mencari pengaruh unsur heriditas dan unsur lingkungan dengan cara membandingkan perilaku para kembar identik dan kembar fraternal. Anak-anak kembar umumnya mendapatkan lingkungan yang sama —diasuh oleh orangtua yang sama, masuk sekolah yang sama, diberi pakaian yang warnanya sama, dan lain-lain. Kembar identik memiliki gen yang sama; sementara kembar fraternal rata-rata hanya memilki separo yang sama. Jika rasa malu itu diturunkan dari orangtua, maka perasaan itu bakal lebih gampang ditemukan pada kedua kembar identik daripada kedua kembar fraternal.

Para peneliti dari University of Colorado dan Pennsylvania State University mengamati para kembar fraternal dan kembar identik di rumah-rumah mereka masing-masing dan dalam laboratorium saat mereka berusia 14 hingga 20 bulan. Data menunjukkan, faktor genetik memberi pengaruh cukup besar pada kecenderungan bayi untuk bergelayut pada ibu mereka, merajuk, menangis, atau menunjukkan perilaku malu lainnya saat berhadapan dengan orang yang belum dikenal, mainan baru,

Page 6: Sumber Rasa Malu Pada Anak

atau sesuatu lain yang baru. Hasil riset ini, dan beberapa riset sebelumnya, semakin memperkuat indikasi bahwa faktor genetik setidaknya memberi separo landasan bagi tumbuhnya rasa malu.

Pertanyaan berikutnya muncul; gen apa yang menyebabkann itu? Bukti-bukti mengarah ke serotonin, yang punya berbagai fungsi dalam sistem syaraf –antara lain; mempengaruhi suasana hati, memori dan pembelajaran. Ketidak-teraturan dalam ekspresi atau kontrol serotonin dikait-kaitkan dengan rasa depresi, cemas, dan berbagai gangguan psikologis lainnya.

Pada 1996, pakar genetika Dean Hamer dari National Institutes of Health berserta koleganya menemukan keterkaitan antara gen pemicu serotonin dengan neuroticism –suatu perilaku rumit yang meliputi depresi, kurang percaya diri, dan malu, jika berada di antara orang-orang tak dikenal. Itu setelah Hamer meneliti sejumlah relawan dewasa. Temuan Hamer menunjukkan, mereka yang punya skala neuroticism tinggi umumnya punya gen pemicu serotonin yang berbentuk pendek. Mereka yang tidak banyak kena neuroticism cenderung memiliki gen berbentuk panjang untuk memicu serotonin. Hamer lalu menyebut pemicu trasnportasi serotonin yang pendek ini sebagai "gen kecemasan."

Sejumlah studi lain juga mengisyaratkan, ada gen yang disebut DRD4 berperan dalam sifat gampang malu dan gampang cemas. Gen DRD4 mengkodekan protein yang mengikat dopamine –pengirim pesan kimiawi lainnya yang punya dampak kuat dalam otak. Sekali lagi, gen DRD4 punya dua bentuk: yang panjang dan yang pendek. Studi yang dilakukan Judith Auerbach dari Ben-Gurion University, Beer Sheva, Israel, mengindikasikan, bayi-bayi yang memiliki gen DRD4 pendek dan pemicu trasnportasi serotonin pendek tidak terlalu responsif terhadap rangsangan dan lebih sering menunjukkan stress dalam rutinitas sehari-hari. Ini jika dibandingkan dengan bayi-bayi yang memiliki gen jenis panjang.

Kemudian, Yerkes National Primate Research Center milik Emory University dan Center for Behavioral Neuroscience (CBN) di Atlanta melakukan studi bersama terhadap hewan sehingga menemukan gen tertentu yang diyakini mempengaruhi rasa malu. Studi pada 2005 itu mengungkapkan, variasi dari DNA mikrosatelit bisa punya pengaruh nyata dalam kepribadian manusia. Ujung kecil yang semula dianggap tidak berguna sehingga disebut 'junk DNA' ini ternyata menentukan apakah seseorang menjadi pemalu atau pemberani. Sama seperti temuan pada abad 20, gen ini juga ada yang panjang dan yang pendek. Temuan ini konon membuka jalan bagi para ilmuwan untuk lebih memahami perilaku sosial anak, termasuk autisme.

Seperti termuat dalam jurnal ilmiah Science edisi Juni 2005, para peneliti dari dua lembaga itu membiakkan dua kelompok binatang pengerat jenis prairie vole. Satu kelompok memiliki junk DNA pendek dan satu kelompok lain memiliki junk DNA panjang. Semua vole ini dibiarkan hingga dewasa dan tiba masanya untuk birahi dan berkembang biak. Para peneliti kemudian membuka otak hewan-hewan jantan. Mereka menemukan, panjang junk DNA berpengaruh pada pola-pola ekspresi gen dalam otak mereka. Vole jantan dengan dengan junk DNA panjang punya level reseptor vasopressin lebih tinggi di dalam wilayah-wilayah otak mereka yang terkait dengan perilaku sosial dan perilaku ke-orangtua-an. Vole jantan dengan junk DNA panjang lebih gampang dan cepat mendekati betina yang baru dikenal, lebih banyak meluangkan waktu untuk menginvestigasi bau-bauan birahi, dan lebih mungkin membentuk ikatan dengan betina. Mereka juga cenderung memberikan lebih banyak waktu merawat anak, jika dibandingkan dengan pejantan yang memiliki junk DNA pendek. “Ini studi pertama yang menunjukkan keterkaitan antara panjangnya mikrosatelit DNA dengan pola-pola ekspresi gen dalam otak dan perilaku sosial di antara beberapa spesies,” kata Larry J. Young, peneliti dari CBN. “Ini juga bisa untuk membantu menjelaskan mengapa beberapa orang bisa secara natural lebih ramah dan gampang diterima dalam interaksi sosial, dan mengapa ada beberapa orang yang malu.”

Studi lain, yang melibatkan alat canggih pendeteksi gen, memberikan temuan lebih jauh. Seperti termuat dalam jurnal Science edisi 20 Juni 2003, pemidaian menggunakan Functional Magnetic

Page 7: Sumber Rasa Malu Pada Anak

Resonance (fMRI) terhadap otak orang dewasa menunjukkan pola-pola yang sama dari bagian otak terkait rasa malu. Para peneliti dari Massachusetts General Hospital (MGH) mengungkapkan, pola-pola itu juga sama dengan otak anak-anak dan bayi. “Temuan kami mendukung teori bahwa perbedaan temperamen terkait dengan perbedaan dalam fungsi amygdala yang belum bisa dibuktikan dengan teknologi lama. Temuan kami menunjukkan, cetak biru perbedaan temperamen itu terlihat sama saat orang itu masih bayi hingga orang itu sudah dewasa,” kata Carl Schwartz MD, direktur laboratorium psikopatologi perkembangan di Psychiatric Neuroscience Program dalam MGH.

Studi itu melibatkan 22 orang dewasa yang pada masa kecilnya pernah menjadi relawan studi serupa. Dari 22 orang itu, 13 sudah ditentukan sebagai pemalu saat masih bayi dan sembilan lainnya dikatagorikan tidak pemalu saat masih bayi. Tahap pertama, masing-masing peserta diberi enam wajah yang mereka kenal dan dimunculkan beberapa kali. Beberapa saat kemudian, masing-masing peserta diberi wajah yang asing atau sama sekali belum mereka kenali. Bahkan, sebagian wajah itu sangat aneh. Pada saat pengenalan wajah dilakukan, fMRI bekerja memidai bagian-bagian otak para relawan. Umumnya relawan yang tidak pemalu tidak mengalami peningkatan respons amygdala terhadap wajah-wajah asing. Namun, umumnya relawan yang pemalu menunjukkan respons lebih besar amygdala saat ditunjukkan wajah-wajah yang asing. “Ada teori, perobahan perilaku yang menentukan karakter anak yang pemalu dan anak yang tidak pemalu mungkin terkait dengan respon amygdala mereka terhadap sesuatu yang baru. Studi kami mendukung teori itu,” kata Schwartz, asisten profesor psikiatri di Harvard Medical School.

Jadi, bungkus sangat berbeda dengan isi. Wajah si pemalu mungkin tampak diam senyap saat berhadapan dengan sesuatu yang membuat ia malu. Namun, di balik wajah yang senyap, terdapat sel-sel otak yang sangat aktif memberikan reaksi. Ketika mendapati suasana memalukan, bagian otak yang bertanggung jawab pada emosi negatif bekerja semakin cepat. Demikian pula bila mereka menemui suasana yang jarang terjadi, dan ketika berjumpa dengan orang baru.

Penemuan itu, yang dikemukakan dalam Journal of Neuroscience edisi Mei 2006, berdasarkan penelitian atas sampel scan otak 13 remaja sangat pemalu dan 19 remaja supel. Pemimpin riset, Amanda Guyer, mengatakan penelitian dilakukan dengan menempatkan MRI saat mereka bermain game. Para relawan diinstruksikan memencet tombol secepat mungkin tepat setelah aba-aba sinyal diperlihatkan. Bila tombol dipencet pada waktunya, mereka memenangi uang, atau paling tidak menghindarkan mereka dari kehilangan uang. Saat kedua kelompok dites, mereka umumnya tak menunjukkan perbedaan aktivitas pada amygdala. Tapi, remaja pemalu memiliki aktivitas striatum dua atau tiga kali lebih tinggi daripada remaja supel. Striatum adalah bagian otak yang berkaitan dengan penghargaan. “Banyak orang mengira sifat pemalu berkaitan dengan sikap menghindar dari lingkungan sosial,” ujar Monique Ernst, peneliti sekaligus ahli psikiatri anak. “Ternyata anak pemalu memiliki aktivitas lebih tinggi pada bagian otak mereka yang berkaitan dengan penghargaan.”

Amanda Guyer, psikolog pada Institut Kesehatan Nasional di Bethesda Maryland, Amerika Serikat, berpendapat bahwa seorang anak yang sangat pemalu mengalami sensitivitas lebih pada berbagai tipe stimulasi, misalnya rasa takut ataupun penghargaan. Mauricio Delgado, psikolog pada universitas Rutger di Newark, New Jersey, menyatakan peningkatan aktivitas pada striatum mungkin bisa menolong anak pemalu mengatasi situasi cemas ketika menghadapi suasana penuh tekanan, walaupun hal itu tak cukup untuk mengatasi rasa malu mereka sendiri.

Studi lain tentang hubungan gen dengan perasaan malu juga dilakukan oleh Bernardo Carducci, direktur Shyness Research Institute di Indiana University Southeast. Menurut Carducci, gen memegang peranan penting dalam membuat anak merasa malu. Ia mengungkapkan, sekitar 15 persen bayi dilahirkan dengan membawa 'inhibited temperament' (temperamen malu) —yang berarti mereka bereaksi stress pada pengalaman-pengalaman baru. Misalnya, takut pada balon meletus. Saat bayi berusia sekitar 18 bulan, gen-gen tertentu sudah mematangkan temperamen si anak, misalnya perasaan

Page 8: Sumber Rasa Malu Pada Anak

tentang kesadaran diri yang berlebihan, evaluasi-diri yang negatif, perlakuan diri yang negatif, dan sejenisnya. Gen yang mempengaruhi temperamen demikian bisa menghasilkan perasaan malu pada anak. “Anak-anak yang pemalu sebenarnya ingin bisa berteman banyak, tapi tak tahu caranya. Mereka juga lambat panas dalam sosialisasi, karena tidak nyaman pada diri sendiri. Anak-anak pemalu hanya memiliki 'limited comfort zone' berupa lingkaran kecil orang-orang dekat,” kata Carducci, yang diterbitkan LiveScience edisi 8 Agustus 2007.

Dalam jurnal ilmiah Current Directions in Psychological Science edisi Februari, ada kabar lebih kuat bahwa bukan gen saja yang mempengaruhi rasa malu. Kondisi lingkungan juga berpengaruh. Berita itu dikutip oleh Child Health News dan diterbitkan Senin, 5 Maret 2007, dengan judul Shyness, genetics and parents itu didasarkan pada hasil riset Child Development Laboratory di University of Maryland. Riset itu dipimpin oleh Dr Nathan Fox, profesor sekaligus direktur Child Development Laboratory.

Riset yang dilakukan Dr Fox bersama timnya mengungkapkan, perasaan malu pada anak-anak bisa diruntut dari interaksi antara gen dan kondisi sosial. Anak-anak yang terus-menerus malu saat tumbuh diyakini sudah memiliki varian gen yang terasosiasi dengan kepekaan terhadap stress. Pada saat yang sama, anak-anak yang demikian ini diasuh oleh orangtua yang juga stress. Interaksi antara gen stress anak dengan kondisi lingkungan yang penuh stress membuat si anak tumbuh menjadi pemalu. Ini berarti, rasa malu itu tidak disebabkan oleh gen saja atau lingkungan saja –tapi, oleh interaksi antara keduanya.

“Ibu-ibu yang mengaku sedang stress punya kecenderungan berperilaku berbeda terhadap anak jika dibandingkan dengan ibu-ibu yang mengaku tidak stress. Seorang ibu yang dilanda stress cenderung mengalihkan stressnya pada anak. Meski demikian, masing-masing anak bereaksi agak berbeda atas rangsangan stress yang diberikan ibunya itu,” begitu yang dilaporkan Fox. “Studi kami menemukan, gen memainkan peran beragam. Anak yang punya gen terkait-serotonin, yakni varian yang peka-stress, dan diasuh oleh orangtua yang juga stress, bakal tumbuh menjadi anak pemalu. Kami belum tahu pasti bagaimana lingkungan berpengaruh langsung pada gen-gen itu. Namun, kami tahu ada gen yang menunjukkan hubungan kuat terhadap perilaku dalam lingkungan tertentu.”

Seperti semua gen pada umumnya, gen terkait-serotonin ini punya dua allele –yang bisa panjang atau pendek. Protein yang dihasilkan oleh allele pendek dari gen itu diketahui cenderung peka terhadap stress. Namun, riset yang dilakukan Fox menemukan, hanya anak-anak dengan gen allele pendek lah yang terus-menerus menunjukkan gejala malu saat diasuh oleh orangtua yang juga stress. “Jika ada anak punya dua allele pendek dalam gen serotonin, namun ibunya tidak stress, maka si anak tidak akan lebih pemalu dibanding rekan-rekan sebayanya. Namun, jika si ibu tiba-tiba stress, maka rangsangan stress dari luar itu membuat gen si anak bereaksi. Reaksi ini menimbulkan gejala malu berkelanjutan pada diri si anak. Maka, jika Anda diasuh dalam lingkungan penuh stress, dan Anda kebetulan mewarisi gen allele pendek yang terasosiasi dengan stress, besar kemungkinan Anda akan tumbuh menjadi manusia yang malu, cemas, takut, atau depresi, atau kombinasi beberapa perasaan itu.”

Namun, upaya para peneliti untuk mencari hubungan antara suatu gen dengan suatu perilaku itu ternyata punya banyak keterbatasan. Setiap ada penelitian baru, tentu memberi masukan yang pro atau kontra bagi hasil penelitian sebelumnya. Temuan semacam demikian tidak terlalu mengherankan bagi para peneliti. Justru, itu bisa bisa memberi tantangan baru untuk mencari hubungan antara gen tertentu dengan perilaku tertentu. “Ini bukan seperti kita punya gen untuk warna mata,” kata Louis Schmidt, asisten profesor psikologi di McMaster University, Ontario, Kanada, “Bisa jadi ada banyak gen dan banyak interaksi gen yang bisa berpengaruh pada rasa malu seseorang. Satu gen tertentu mungkin mengandung sejumlah kecil perasaan malu. Masing-masing gen itu mungkin saling berkorespondensi untuk membentuk predisposisi terhadap perasaan malu, namun itu tidak menjamin perasaan malu benar-benar terjadi. Hasil akhirnya bisa jadi adalah interaksi antara gen-gen itu dengan kondisi

Page 9: Sumber Rasa Malu Pada Anak

lingkungan lah yang membentuk perasaan pemalu.”

Riset terhadap bayi yang dilakukan Jerome Kagan, Nancy Snidman, dan para kolega di Harvard University menunjukkan perbedaan-perbedaan fisiologis antara bayi pemalu dan bayi gaul sudah muncul saat mereka masih berusia dua bulan. Sekitar 15% hingga 20% bayi lahir mungkin pendiam, waspada, dan menjaga diri terhadap suasana baru. Rangsangan dari lingkungan, misalnya benda bergerak dan rekaman suara manusia, bisa memicu sistem syaraf simpatetik yang kemudian termanifestasi dalam peningkatan denyut jantung, gerak lengan dan tungkai yang kasar, tangisan yang berlebihan, serta tanda-tanda lain adanya distress. Sebelumnya, detakan jantung meninggi sudah bisa dideteksi dalam rahin bagi bayi yang pemalu. Sentuhan terhadap telinga juga bisa untuk menguji apakah bayi pemalu atau tidak.

Kekacauan Kimiawi OtakSelain penyebab genetik, ada juga bukti bahwa rasa malu itu disebabkan oleh kekacauan

kimiawi di dalam otak. Adrienne Wardy, pada 2002, menerbitkan kertas kerja berjudul The Science of Shyness: The Biological Causes of Social Anxiety Disorder. Kertas kerja biologi yang dimuat Serendip itu memasukkan rasa malu sebagai bagian dari perwujudan gangguan kecemasan sosial (SAD). Ia menggambarkan, SAD sering dianggap muncul dalam sekadar rasa malu. Namun, kondisi nyatanya bisa lebih ekstrim. Dalam kondisi lebih parah, SAD punya akar lebih dalam daripada sekadar dari penyebab lingkungan sosial.

Menurut Wardy, ada sejumlah bukti bahwa SAD disebabkan gangguan kimiawi di dalam otak. Otak manusia terdiri atas empat bagian yang sama-sama bisa terlibat dalam sistem respons terhadap kecemasan. Brain stem (batang otak) mengontrol fungsi kardiovaskuler dan pernafasan; limbic system (sistem limbik atau bagian tengah otak) mengontrol suasana hati dan kecemasan; prefrontal cortex (bagian depan otak), memberikan penilaian atas risiko dan bahaya; serta motor cortex mengontrol otot-otot. Bagian-bagian otak ini disuplai oleh tiga neuro-transmitters utama: norepinephrine, serotonin, dan gamma aminobutyric acid. Ketiganya ini memainkan peran utama dalam pengaturan kecemasan.

Sejumlah riset menunjukkan, ketidak-teraturan fungsi-fungsi neuro-transmitter dalam otak diduga memainkan peran penting dalam SAD. Ketidak-teraturan dopamine, serotonin, dan GABA diduga muncul dalam banyak kasus SAD tingkat menengah sampai tinggi. Kini, para peneliti juga mencari tahu apakah neurocircuits (jaringan syaraf) juga memainkan peran dalam gangguan itu. Jika hipotesis ini terbukti benar, ini akan memperkuat adanya penyebab generik dalam SAD. Meski demikian, informasi neurobiologis saja sudah bisa mengklarifikasi adanya penyebab biologis terhadap SAD.

Bayi Terlalu RinganAda satu lagi temuan ilmiah terkait rasa malu. Seperti yang terpublikasikan dalam jurnal

Pediatrics Vol. 122 edisi Juli 2008, studi di Kanada menunjukkan ada korelasi antara berat ekstrim ringan saat kelahiran dengan sifat pemalu saat dewasa. Studi itu dilakukan Louis A. Schmidt Ph.D, dari McMaster University di Hamilton, Ontario, bersama koleganya; Vladimir Miskovic BA, Michael H. Boyle Ph.D and Saroj Saigal MD. Mereka menyimpulkan, anak-anak muda yang saat lahirnya ekstrim ringan biasanya lebih mudah malu, lebih mudah curiga, introvert, dan cenderung menghindari risiko, daripada mereka yang dulunya dilahirkan dengan berat badan normal. Kondisi fisik ini bisa meningkatkan risiko masalah psikiatris dan dan emosional di masa mendatang.

Schmidt bersama kolega menggunakan empat ukuran kepribadian sangat valid, yakni;

Page 10: Sumber Rasa Malu Pada Anak

temperamen, motivasi, kognitif-afektif, serta sosialisasi. Ukuran itu digunakan untuk membandingkan 71 pemuda yang dulu dilahirkan sangat ringan (501-1.000 gram) tapi tanpa cacat dengan 83 remaja yang dulunya dilahirkan dengan berat badan normal. Mereka menemukan, mereka yang dilahirkan sangat ringan ternyata punya level malu lebih tinggi, punya kecenderungan berperilaku tidak alami, dan lebih mungkin cenderung menghindari risiko. Mereka juga menemukan, pemuda yang dulunya dilahirkan sangat ringan ternyata juga kurang gaul dan kurang sejahtera secara emosional. Meski demikian, temuan itu tidak selalu berbentuk hubungan sebab-akibat. Itu karena para pemuda yang dilahirkan sangat ringan ternyata juga punya pola-pola hubungan yang tak berbeda dengan orang-orang sekitarnya; teman, keluarga, sebaya; jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang dulunya dilahirkan normal.

“Studi kami menunjukkan perlunya mempertimbangkan multi-komponen kepribadian dan bagaimana stress dini bisa berdampak pada perkembangan berkelanjutan bagi proses sosioemosional dan kepribadian,” begitu yang mereka simpulkan. “Maka, riset di masa mendatang harus mengkaji perbedaan-perbedaan potensial antara kelompok kelahiran sangat ringan dan kelahiran dengan berat normal atas perilaku-perilaku yang secara teoritis sudah diturunkan secara obyektif (misalnya, ukuran-ukuran tentang observasi perilaku langsung dalam situasi stress) dan psiko-fisiologis (misalnya, ukuran-ukuran tentang respons elektrokortikal dan kardiovaskular dalam situasi stress maupun tenang).”

Cacat TubuhCacat tubuh tertentu membuat anak merasa berbeda dari anak-anak lainnya. Cacat tubuh

tertentu juga bisa membuat anak kehilangan sebagian sarana sosialisasi dan komunikasi dengan dunia luar sehingga membuatnya terkucil. Namun, jika si anak tidak punya pembawaan mudah merasa malu dan tidak mendapat pengalaman memalukan tentang cacat itu, ia akan tumbuh menjadi orang yang percaya diri dan tetap merasa nyaman meski cacat tubuh. Sebaliknya, jika si anak memang punya bawaan gampang malu atau pernah dipermalu akibat kecacatannya itu, ada kemungkinan ia tumbuh menjadi orang yang minder.

Banyak contoh anak cacat yang sangat percaya diri dan tidak memandang kecacatannya sebagai penghalang. Mereka juga bisa bergaul baik dengan teman-teman sebayanya sehingga jarang sekali ada teman yang mengolok-olok kecacatannya. Kalau toh ada satu atau dua orang yang mengata-ngatai kecacatan itu, orangtuanya di rumah selalu bisa membesarkan hatinya.

Jika digali lebih dalam, kecacatan itu sebenarnya punya lebih banyak manfaat. Di Jakarta, ada penulis terkenal yang tangannya invalid. Di Jakarta, ada penyiar radio yang sangat dikenal justru karena lidahnya cadel. Di Malang, ada penulis yang ke mana-mana harus pakai kursi roda. Ada sejumlah pelukis sukses yang bekerja dengan menggunakan kaki atau mulut. Di Hollywood, aktris tuli-bisu Marlee Matlin bisa meraih Oscar. Dan banyak lagi contoh lainnya.

Faktor Orangtua“Bersikaplah bijak saat mengasuh anak.”

Pak/Bu, nasihat demikian tentu sangat sering kita dengar –bahkan, sampai-sampai kita bosan. Meski demikian, nasihat itu benar –bahkan, sangat benar. Interaksi sosial pertama dan utama anak adalah dengan orangtua. Saat masih kecil, anak berusaha banyak belajar dari lingkungan sekitarnya dengan cara meniru. Nah, lingkungan eksternal terdekat anak tentu saja orangtua dan siapa saja yang tinggal serumah. Karena itu, saat mengasuh anak, kita harus benar-benar bijak, arif, hati-hati, agar si

Page 11: Sumber Rasa Malu Pada Anak

anak tidak meniru hal-hal yang tidak baik dari kita.

Hal-hal kurang baik yang bisa menumbuhkan anak pemalu antara lain sikap over-protective orangtua. Memang, sudah menjadi kewajiban orangtua untuk melindungi anak. Itu karena anak memang titipan Tuhan pada kita, yang harus kita jaga dengan baik dan kita bimbing untuk bisa menjadi manusia yang baik di masa mendatang. Orangtua bisa melindungi anak dari potensi kebakaran dengan cara melarangnya main korek api atau knalpot. Orangtua melindungi anak dari potensi tertabrak motor atau mobil dengan cara melarang anak bermain di jalanan. Orangtua melindungi anak dari potensi jatuh, dengan cara melarang anak bermain di loteng dan anak tangga. Semua tindakan demikian memang baik, dan ada manfaatnya. Yang tidak baik adalah perlindungan terlalu berlebihan. Sikap over-protective orangtua bisa memberi pengaruh negatif pada anak. Saat anak dilarang ini, dilarang itu, diperintahkan harus begini, harus begitu, maka si anak akan bisa kehilangan inisiatifnya sendiri. Ia bisa malu mengerjakan sesuatu atau menjadi sesuatu karena takut dikritik orangtuanya.

Orangtua yang terlalu banyak memberikan petunjuk benar-salah/baik-buruk juga bisa menyebabkan anak menjadi pemalu. Memang, sudah menjadi kewajiban orangtua untuk memberikan bimbingan moral dengan menunjukkan hal-hal yang baik dan benar serta melarang anak mendekati tindakan yang buruk dan salah. Cuma, pertanyaannya, apakah yang baik/benar-buruk/salah versi kita itu pada hakikatnya benar-benar baik/benar atau benar-benar buruk/salah? Apakah yang baik/benar-buruk/salah versi kita itu benar-benar baik/benar atau benar-benar buruk/salah versi anak-anak? Kadang, apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi anak dalam usianya saat itu. Jadi, itu relatif. Orangtua kan bisa keliru. Nah, kalau orangtua terlalu memaksakan petunjuk benar-salah/baik-buruk tanpa memberi kesempatan pada si anak menemukan sendiri nilai benar-salah/baik-buruk itu, maka ada kemungkinan si anak tumbuh menjadi pemalu. Kalau si anak sudah didoktrin begitu kuat oleh orangtua tentang benar-salah/baik-buruk, maka ia akan kehilangan naluri untuk mencari sendiri yang benar-salah/baik-buruk itu. Kalau sudah kehilangan naluri, maka ia akan tidak berbuat apa-apa karena takut dinilai keliru oleh orangtuanya.

Anak juga bisa belajar jadi pemalu karena orangtua yang juga pemalu. Ini bukan karena faktor genetika atau heriditas, tapi karena proses belajar. Sebenarnya si anak tidak memiliki gen yang membuatnya gampang malu. Namun, karena orangtua sangat pemalu, maka si anak mau tak mau ikut mempelajari sifat malu itu. Kenyataan ini membuat bagaimana karakter orangtua dilihat, diindera, dirasakan, dan dinalar oleh anak. Kalau orangtua bersifat sangat pemalu, maka anak akan mempelajari sifat malu itu. Setelah tahu bagaimana malu, si anak menerapkan sifat malu itu ke dalam karakternya sendiri. Akibatnya, si anak yang tidak memiliki gen malu itu akhirnya perlahan-lahan berobah jadi pemalu.

Broken home juga menjadi salah satu pemicu anak menjadi pemalu/minder. Anak normal mana sih yang ingin melihat orangtuanya berpisah? Tidak ada. Kalau toh ada, tentu prosentasenya sangat kecil. Kalau toh ada, itu biasanya anak yang keluarganya sangat tidak harmonis dan sering terjadi kekerasan. Pada dasarnya, anak tidak ingin orangtuanya bercerai. Kalau sekadar terpisah jauh dan lama karena pekerjaan, itu tidak masalah karena masih ada harapan untuk bertemu kembali. Kalau sampai terpisah karena bercerai, si anak bisa-bisa kehilangan rasa kepercayaan pada rumahtangga.

Ketika orangtua berpisah, si anak mungkin ikut salah satu orangtua. Saat diasuh orangtua tunggal, si anak pasti mengalami guncangan batin. Rasa aman dari pengasuhan yang ia dapatkan sejak lahir, kini terkoyak. Ia tidak bisa lagi bergaul dengan orangtuanya sendiri seperti dulu. Untuk bisa bertemu orangtua satunya, ia harus mengikuti pola-pola peraturan tertentu –atau bahkan tidak pernah bertemu sama sekali. Guncangan batin akibat kondisi seperti ini kadang berada dalam kepekaan tinggi atau rendah. Saat si anak dalam kondisi guncangan batin dalam kepekaan tinggi, kondisi lingkungan yang sederhana pun bisa membuatnya jadi minder. Seorang teman sekolahnya yang datang ke rumah pun bisa menjadi masalah. Ia bisa merasa sangat terpukul saat si teman bertanya, “Papamu mana?” atau

Page 12: Sumber Rasa Malu Pada Anak

“Ibumu kok tidak ada?” Saat mendaftar sekolah juga bisa menjadi masalah. Bila dia dalam kondisi guncangan batin berkepekaan tinggi, maka ia akan kesulitan mengisi kolom nama orangtua dalam formulir pendaftaran.

Bisa jadi, orangtua yang mengasuhnya berniat menikah lagi. Jika si anak sangat tidak menginginkan orangtuanya pisah, kedatangan 'orangtua baru' akan memberi tekanan batin tambahan. Ia merasa ada sesuatu yang terrampas, dan diganti oleh sesuatu yang ia sulit menerima. Meski sudah ada pendekatan baik dari calon 'orangtua baru', si anak tidak akan pernah membuang kenangan 'orangtua kandung.' Jangan heran jika si anak nantinya sulit mengucapkan kata “Pa'/ 'Ma' atau 'Ayah'/'Ibu' pada si orangtua baru. Mungkin ia bisa mengucapkan kata itu dengan terpaksa.

Jika si anak bisa menerima perpisahan orangtua biologisnya, belum tentu juga ia langsung bisa menerima orangtua baru. Saat ia merasa nyaman dan aman karena diasuh oleh orangtua yang ia suka, tiba-tiba ia merasa mendapat ancaman karena 'orangtua baru' akan merebut rasa aman dan nyaman itu. Bisa jadi, ia tidak rela orangtua aslinya membagi kasih pada dirinya dan pada orangtua barunya.

Bagaimana pun bentuk hubungannya, perceraian orangtua selalu memberi potensi perasaan minder pada anak. Perasaan minder itu bisa sangat laten. Di permukaan, mungkin si anak bisa tampil tegar dan penuh percaya diri saat bersama banyak orang. Jauh di dalam lubuk hati, guncangan batin itu akan sangat lama bisa hilang. Baru, ketika si anak sudah dewasa dan matang, guncangan batin seperti itu punya peluang untuk dihilangkan. Itu jika si anak punya cukup banyak pengalaman tentang kehidupan sehingga wawasannya terbuka lebar. Namun, itu akan tetap sulit hilang jika si anak terus terkungkung perasaan minder. Ia tidak bisa membebaskan dirinya dari cengkeraman rasa minder akibat perceraian orangtua.

Masalah juga muncul jika orangtua yang mengasuhnya dalam kondisi tidak stabil. Misalnya, tidak punya tempat tinggal tetap sehingga mereka sering berpindah-pindah rumah. Si anak akan menghadapi masalah karena setiap kali pindah ia harus menggalang pergaulan baru. Belum lama berteman dengan anak-anak di suatu lingkungan, ia terpaksa harus bekerja keras lagi untuk membina pertemanan di lingkungan baru. Jika guncangan batinnya sedang dalam kepekaan tinggi, bisa jadi ia tiba-tiba mengurung diri tidak mau mencari teman di tempat tinggal baru.

Masih banyak lagi peran orangtua untuk membuat anak tumbuh menjadi pemalu –tapi, lebih banyak lagi peran orangtua untuk menumbuhkan anak jadi tidak pemalu. Saya tidak bisa memberi contoh satu persatu karena jumlahnya sangat banyak dan masing-masing bersifat kasuistis. Tindakan tertentu yang dilakukan orangtua A terhadap anaknya menghasilkan rasa malu. Tindakan yang sama dilakukan orangtua B, tapi anaknya tetap percaya diri.

Bunuh Diri karena DiejekDi Jepang, banyak kasus anak bunuh diri karena diejek teman-teman di sekolahnya. Ya, bunuh

diri! Yomiuri Shimbun edisi 29 Maret 2008 mengabarkan, pada 2007 aparat hukum Jepang menangani 2.152 kasus pelanggaran HAM berupa bullying –ejekan hingga gangguan fisik pada anak yang dianggap beda. Jumlah kasus ini meningkat dua kali lipat dibanding setahun sebelumnya. Kasus bullying ini semakin mengkhawatirkan karena korbannya bisa-bisa punya fikiran untuk bunuh diri. Dan, kasus anak-anak bunuh diri karena diolok-olok temannya memang banyak. Antara September 2006 hingga Maret 2007, ada lima kasus demikian. Salah seorang, masih berusia 12 tahun, tewas karena loncat dari gedung tinggi setelah diejek teman-temannya karena bertubuh pendek. Kasus semacam ini terus meningkat di Jepang, sampai-sampai pemerintah prihatin dan merasa perlu mengambil kebijakan khusus.

Di Amerika Serikat, bahkan ada korban bullying balas dendam dengan cara melepaskan

Page 13: Sumber Rasa Malu Pada Anak

tembakan di sekolah. Mereka beranggapan, sekolah tidak bisa memberikan perlindungan pada mereka yang minor.

Olok-olok atau ejekan dari teman sekitar memang sangat sulit dihindarkan dari kehidupan sehari-hari anak kita. Di rumah kita bisa membesarkan hati anak dengan cara memujinya. “Ibu bangga punya anak seperti kamu. Di dalam kepalamu ini ada otak yang brilian. Otakmu ini membuat kau selalu jagoan dalam matematika. Ibu bangga padamu, Nak.” Di luar, anak-anak lain justru mengecilkan hati dengan cara mengolok-olok. “Hei, Peyang! Kenapa sih kepalamu koq penceng? Keseringan dielus-elus mamimu, ya? Dasar, Anak Mami!” Anak, yang harusnya bangga punya kepala berisi otak brilian, bisa menjadi malu atas bentuk kepalanya sendiri karena sering menjadi obyek ejekan teman-temannya.

Teknologi yang MengucilkanSelain itu, kemajuan teknologi juga memberi kontribusi terhadap berkembangnya rasa malu

anak. Teknologi punya dampak akulturisasi negatif. Teknologi, yang umumnya bertujuan mempermudah pekerjaan manusia, ternyata juga meningkatkan berkurangnya interaksi sosial. Dulu, orang membangun rumah dengan cara gotong-royong. Para tetangga dengan tanpa pamrih turut membantu orang yang akan membangun rumah. Sambil bekerja, orang-orang bisa bersosialisasi dengan cara bercanda, makan bersama, tanya kabar ini atau itu, dan lain-lain. Sekarang, pembangunan rumah nyaris tidak memerlukan bantuan dari tetangga. Dengan mesin-mesin moderan yang dioperasikan beberapa tukang bayaran, rumah bisa berdiri.

Teknologi mainan anak-anak juga begitu. Generasi baru Cyberspace pada zaman sekarang membuat anak makin menghabiskan banyak waktunya di depan layar kaca. Mereka duduk pasif di depan pesawat televisi atau komputer untuk nonton video, main playstation, atau menjelajahi jagad maya. Penggunaan video games, CD-rom games, CD-rom stories, web surfing, email, dan perangkat teknologis lain bisa mengurangi waktu anak untuk menjalin hubungan nyata dengan orang-orang nyata di sekitarnya. Waktu-waktu sosialisasi anak tergantikan oleh aktivitas tukar informasi efisien dengan kecepatan nanosecond menggunakan format yang sangat terstruktur dari pihak perancangnya. Permainan dengan teknologi tinggi ini membuat anak jadi semakin jarang keluar rumah untuk berinteraksi dengan sebayanya. Karena lebih terbiasa dekat dengan layar kaca, ia jadi malu bertemu manusia dewasa yang tinggal di sebelah rumah. Karena belajar dari bahasa yang muncul di layar kaca, ia jadi malu bergaul dengan tetangga karena tidak terlalu kenal bahasa setempat.

Teknologi, meski punya banyak manfaat, juga bisa membuat anak semakin terisolasi dengan dunianya sendiri. Teknologi bisa mengurangi peluang anak mempelajari skill bicara dan bergaul yang dibutuhkan untuk bersosialisasi. Teknologi bisa mengurangi waktu nyata anak untuk berinterkasi tatap-muka langsung dengan orang-orang di sekitarnya. Ini membuat anak menjadi lebih suka menarik diri dari pergaulan sosial dan berinteraksi satu sama lain.

Teknologi otomatisasi juga mengurangi jatah anak belajar bergaul. Itu karena otomatisasi sudah menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin. Anak diajari berkomunikasi dengan bank lewat ATM, dan tidak dengan teller. Anak bisa bersama temannya mengerjakan PR dengan berdiskusi melalui telepon seluler, tapi tidak bertatap muka langsung.

Budaya

Budaya juga berperan dalam membentuk karakter pemalu pada diri seseorang. Meski rasa malu ada secara universal, namun ada budaya tertentu yang lebih besar mempengaruhi pembentukan

Page 14: Sumber Rasa Malu Pada Anak

karakter malu. Survei oleh psikolog Dr Philip Zimbardo dari Stanford University menunjukkan mahasiswa asal Jepang dan Taiwan di Amerika Serikat menunjukkan rasa malu tinggi, mahasiswa Yahudi menunjukkan rasa malu paling rendah. Dengan petunjuk ini, Zimbardo pun terbang ke Jepang, Israel, dan Taiwan untuk mempelajari para mahasiswa di negeri asal. Hasilnya, di Israel hanya ada 30 % mahasiswa mengaku pemalu, atau lebih rendah dibandingkan 60 % di Jepang dan Taiwan.

Bagaimana budaya membentuk perilaku malu? Menurut Zimbardo, kuncinya adalah bagaimana orangtua memberikan pujian atau hukuman atas apa yang dilakukan anak-anak. Di Jepang, jika anak berusaha keras dan berhasil, orangtua lah yang mendapatkan pujian. Yang juga ikut mendapatkan pujian adalah kakek/nenek, guru, pelatih dan bahkan Buddha. Jika masih ada pujian yang tersisa, itu baru diberikan pada si anak. Tapi, jika si anak sudah berusaha tapi akhirnya gagal, dia lah yang memikul beban dan tidak boleh mempersalahkan orang lain. Nah, jika sudah tumbuh keyakinan "saya tidak bisa" di dalam benak si anak, maka ia tidak ingin melakukan sesuatu yang membuat ia menjadi pusat perhatian. Di Israel, budayanya berlawanan dengan di Jepang. Di Israel, anak yang mau mencoba saja sudah langsung mendapatkan pujian atau hadiah –tak peduli apakah ia berhasil atau gagal. Jika ada anak membuat layang-layang, orang-orang memuji betapa hebatnya layang-layang itu. Andai akhirnya layang-layang itu tidak bisa terbang, orang-orang menyalahkan anginnya. Jika ada anak yang ikut lomba namun gagal, orangtua mengecam pelatihnya.

Malu itu relatif jika dinilai berdasarkan budaya. Apa yang dianggap malu di Jepang belum pasti dianggap malu di Israel. Nancy Snidman Ph.D, psikolog riset di Judge Baker Children's Center dan menjadi direktur riset untuk Infant Study di Harvard, mempelajari bayi usia empat bulan di Irlandia dan di Amerika Serikat. Kala itu, ia tidak menemukan perbedaan dalam derajad reaktivitas sistem syaraf para bayi. Namun, saat bayi-bayi itu berusia lima tahun, anak-anak di Irlandia tidak bicara sebanyak dan selantang bocah-bicah di Amerika Serikat. Perbedaan ini terletak dalam pengharapan kultural yang tercermin dalam pengasuhan anak. Dengan menggunakan norma-norma Amerika tentang perilaku sosial sebagai standar perbandingan, anak-anak normal di Irlandia sudah dicap pemalu. Namun, dalam budayanya sendiri dengan norma-norma perilakunya sendiri, anak-anak Irlandia tidak dicap pemalu.

Di Indonesia, ada berbagai budaya yang bisa mendorong anak menjadi lebih pemalu atau lebih pemberani. Faktor budaya itu juga dikaitkan dengan gender dan usia. Artinya, anak dalam jenis kelamin tertentu atau usia tertentu mendapat aturan budaya tertentu dalam pergaulan sehingga ia bisa berkembang menjadi lebih pemalu atau tidak. Sayangnya, Pak/Bu, saya belum mendapatkan penelitian khusus tentang faktor budaya-budaya di Indonesia pemicu rasa malu. Mohon maaf, ya...Pak/Bu....

******

Kristen Zolten MA dan Nicholas Long Ph.D dari Department of Pediatrics di University of Arkansas for Medical Sciences, saat menulis untuk Center for Effective Parenting www.parenting-ed.org, membuat rangkuman tentang mengapa seorang anak menjadi pemalu. Mereka mengakui, ada banyak hal berbeda yang bisa menyebabkan rasa malu pada anak. Namun, ada beberapa hal yang sangat umum;

Heriditas/keturunan. Beberapa riset menunjukkan rasa malu diturunkan dari urutan keluarga. Beberapa pakar menyelidiki apakah faktor keturunan ini terkait genetik atau pembelajaran.

Temperamen pemalu. Beberapa anak sudah tampak pemalu bahkan sesaat setelah dilahirkan. Anak-anak semacam ini berpeluang untuk tumbuh besar menjadi pemalu.

Perilaku belajar atau modeling. Anak, pada tahap awal, belajar dengan cara mengamati dan menirukan apa yang dilakukan orangtua. Maka, jika orangtua berpembawaan pemalu, ada kemungkinan si anak belajar jadi pemalu juga.

Page 15: Sumber Rasa Malu Pada Anak

Kesulitan menghadapi situasi baru. Anak-anak, tentu, belum memiliki pengalaman hidup sekaya orang dewasa. Karena itu, anak-anak sering dihadapkan pada situasi baru. Ada anak yang gampang beradaptasi dengan situasi baru, ada pula yang sulit. Seringnya kesulitan beradaptasi membuat anak menarik diri dari lingkungan.

Pengasuhan orangtua yang tidak konsisten. Beberapa sifat pemalu bisa jadi disebabkan oleh orangtua yang tidak konsisten dalam mengasuh anak. Misalnya, orangtua memberikan hukuman untuk suatu perilaku tertentu pada suatu hari namun pada saat lainnya malah membiarkannya atau bahkan memujinya. Ketidak-konsistensian ini membuat anak menjadi bingung lalu merasa tidak aman. Jika keadaan ini dibiarkan, anak bisa berkembang menjadi takut dan malu melakukan sesuatu.

Kurangnya keterlibatan orangtua. Ada lho sejumlah orangtua yang tampak tidak tertarik dengan kehidupan anak mereka. Sikap demikian ini didasari berbagai alasan. Misalnya, orangtua secara keliru memahami bahwa mereka akan meningkatkan kemerdekaan dalam diri anak-anak mereka jika mereka membiarkan anak-anak mengurus dirinya sendiri. Misalnya, ada orangtua yang begitu sibuk sehingga tidak punya waktu atau minat untuk turut terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Apa pun alasan itu, berkurangnya keterlibatan orangtua bisa membuat anak merasa yakin mereka tidak layak mendapat perhatian dari orang lain. Pada akhirnya, ini akan berpengaruh pada hubungan sosial si anak. Anak-anak yang merasa orang lain tidak tertarik pada mereka maka mereka bisa jadi tidak akan pernah merasa nyaman dalam situasi sosial atau berada di tengah orang banyak.

Orangtua terlalu protektif. Anak-anak yang terlalu dilindungi oleh orangtua seringkali tidak punya cukup banyak kesempatan untuk independen secara sosial. Ada masalah sedikit, orangtua mengambil tindakan berlebihan. Ini membuat anak jadi kurang percaya diri untuk membuat keputusan bagi dirinya. Anak demikian bisa tumbuh dengan perasaan tidak pernah aman. Ini menyebabkan rasa malu. Jika tidak, ini bisa menyebabkan anak menjadi pemberontak.

Terlalu banyak ancaman, gangguan, kritikan. Anak-anak yang sering diancam, diganggu, atau dikritik, entah oleh anggota keluarganya atau oleh orang lain, akan mendapatkan proses pembelajaran berupa negative feedback dari orang lain. Ini akan membuat anak menghindari situasi sosial dan kontak dengan orang lain.

Kurangnya pengalaman dalam situasi sosial. Anak-anak menjadi pemalu karena belum belajar bagaimana secara efektif berperan serta di dalam situasi sosial. Akibatnya, saat terekspos di dalam situasi sosial, anak-anak seperti ini cenderung menarik diri.

Self-esteem rendah atau punya opini negatif tentang diri sendiri. Anak yang minder menilai orang-orang lain juga punya perasaan serupa tentang dirinya. Ia menganggap orang-orang lain menilai dirinya rendah. Ini bisa membuat ia berperilaku malu.

Bapak/Ibu, sekarang kita semakin tahu bahwa begitu banyak hal yang bisa mempengaruhi berkembangnya rasa malu pada anak-anak kita. Jauh di dalam tubuh anak, sebenarnya sudah ada pembawa sifat malu. Di lingkungan sosial anak, juga ada berbagai rangsangan yang bisa membuat anak jadi pemalu. Interaksi antara faktor internal dan faktor eksternal ini lah yang menentukan apakah si anak jadi pemalu atau tidak. Kalau toh jadi pemalu, interaksi ini juga akan menentukan sejauh mana kondisi rasa malu anak; apakah normal-normal saja atau sudah sangat ekstrim.