suhendri+-+jurnal+pkmp+tempe

8
APLIKASI PROSES TERMAL SEBAGAI SOLUSI UMUR SIMPAN PENDEK PADA TEMPE Suhendri 1 , Teresia Tandean 1 , Catherine Haryasyah 1 , Margaret Octavia 1 , dan Kevin A Saputra 1 Di bawah bimbingan Dase Hunaefi 2 1) Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB 2) Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB ABSTRAK Tempe merupakan produk pangan indigenous Indonesia dengan konsumsi rata-rata 5,2 kg per kapita pertahun (Subagio et al., 2002). Tempe tergolong bahan pangan yang mudah rusak (Koswara, 1992) dan mempunyai keterbatasan umur simpan, yaitu sekitar 2 hari (Nuraini, 1995Hackler et al. (1964) menyatakan nilai nutrisi tempe relatif tidak berubah oleh proses panas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan aplikasi proses termal (pasteurisasi dan sterilisasi) yang optimum dalam memperpanjang umur simpan tempe pada suhu ruang dengan perubahan nilai gizi dan karakteristik sensori yang minimal. Tempe yang dipanasakan memiliki perbedaan organoleptik yang signifikan terhadap tempe biasa, namun masih memiliki tingkat kesukaan pada taraf yang netral. Beberapa mutu tempe gizi tempe seperti kadar lemak dan karbohidrat mengalami peningkatan. Kadar air dan kadar protein relatif menurun oleh proses pemanasan. Nilai pH meningkat seiring dengan peningkatan proses pemanasan, sebaliknya kekerasan dan derajat putih tempe semakin berkurang. Proses sterilisasi menghasilkan produk dengan perbedaan organoleptik yang lebih nyata dibandingkan produk proses pasteurisasi. Mutu tempe secara fisik, kimia, maupun organoleptik dipengaruhi oleh pemanasan. Tempe yang dipanasakan memiliki perbedaan organoleptik terhadap tempe biasa, namun masih memiliki tingkat kesukaan pada taraf netral. Proses termal yang paling optimal dilakukan adalah pasteurisasi pada suhu 80°C karena memiliki umur simpan, mutu organoleptik, dan nilai gizi yang paling optimal. Keywords : tempe, umur simpan, proses termal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tempe merupakan makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Rhizopus (Anonim, 2005). Tempe adalah salah satu produk pangan indigenous Indonesia yang sudah dikenal luas. Produk ini merupakan

Upload: laksmi-puspitasari

Post on 08-Apr-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Suhendri+-+Jurnal+PKMP+Tempe

APLIKASI PROSES TERMAL SEBAGAI SOLUSI UMUR SIMPAN PENDEK PADA TEMPE

Suhendri1, Teresia Tandean1, Catherine Haryasyah1, Margaret Octavia1, dan Kevin A Saputra1

Di bawah bimbingan Dase Hunaefi2

1) Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB2) Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB

ABSTRAK

Tempe merupakan produk pangan indigenous Indonesia dengan konsumsi rata-rata 5,2 kg per kapita pertahun (Subagio et al., 2002). Tempe tergolong bahan pangan yang mudah rusak (Koswara, 1992) dan mempunyai keterbatasan umur simpan, yaitu sekitar 2 hari (Nuraini, 1995Hackler et al. (1964) menyatakan nilai nutrisi tempe relatif tidak berubah oleh proses panas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan aplikasi proses termal (pasteurisasi dan sterilisasi) yang optimum dalam memperpanjang umur simpan tempe pada suhu ruang dengan perubahan nilai gizi dan karakteristik sensori yang minimal.

Tempe yang dipanasakan memiliki perbedaan organoleptik yang signifikan terhadap tempe biasa, namun masih memiliki tingkat kesukaan pada taraf yang netral. Beberapa mutu tempe gizi tempe seperti kadar lemak dan karbohidrat mengalami peningkatan. Kadar air dan kadar protein relatif menurun oleh proses pemanasan. Nilai pH meningkat seiring dengan peningkatan proses pemanasan, sebaliknya kekerasan dan derajat putih tempe semakin berkurang. Proses sterilisasi menghasilkan produk dengan perbedaan organoleptik yang lebih nyata dibandingkan produk proses pasteurisasi.

Mutu tempe secara fisik, kimia, maupun organoleptik dipengaruhi oleh pemanasan. Tempe yang dipanasakan memiliki perbedaan organoleptik terhadap tempe biasa, namun masih memiliki tingkat kesukaan pada taraf netral. Proses termal yang paling optimal dilakukan adalah pasteurisasi pada suhu 80°C karena memiliki umur simpan, mutu organoleptik, dan nilai gizi yang paling optimal.

Keywords : tempe, umur simpan, proses termal

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Tempe merupakan makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Rhizopus (Anonim, 2005). Tempe adalah salah satu produk pangan indigenous Indonesia yang sudah dikenal luas. Produk ini merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi oleh hampir semua lapisan masyarakat, dengan konsumsi rata – rata pertahun 5,2 kg per kapita (Subagio et al., 2002).

Selain kaya akan protein, tempe merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks dan serat (Prihatna, 1991). Tempe kedelai mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, yaitu protein sekitar 19.5%, lemak sekitar 4%, karbohidrat 9.4%, vitamin B12 3-5 mg/100 g tempe,

mineral kalsium 3%, dan fosfor 6% (Sarwono, 2002).

Tempe merupakan produk pangan indigenous Indonesia dengan konsumsi rata-rata 5,2 kg per kapita pertahun (Subagio et al., 2002). Tempe tergolong bahan pangan yang mudah rusak (Koswara, 1992) dan mempunyai keterbatasan umur simpan, yaitu sekitar 2 hari (Nuraini, 1995). Setelah dua hari, tempe mengalami penyimpangan aroma, tekstur, rasa, dan penampakan. Hal ini menyebabkan ketersediaan tempe tidak merata dan terbatas (Subagio et al., 2002).

Upaya memperpanjang umur simpan tempe umumnya masih terbatas dan mengubah mutu organoleptik. Proses thermal dapat diterapkan pada tempe untuk menghentikan proses fermentasi berkelanjutan yang merupakan sumber utama kerusakan pada tempe. Diharapkan perlakuan panas tidak menyebabkan perubahan

Page 2: Suhendri+-+Jurnal+PKMP+Tempe

nilai gizi maupun sensori tempe. Hackler et al. (1964) menyatakan nilai nutrisi tempe relatif tidak berubah oleh proses panas. Umur simpan panjang menjadi value added tempe dan membuka peluang untuk memperkenalkan pangan indigenous ini ke pasar internasional.

B. TujuanTujuan umum penelitian ini

adalah untuk menentukan aplikasi proses termal (pasteurisasi, dan sterilisasi) yang optimum dalam memperpanjang umur simpan tempe pada suhu ruang dengan perubahan nilai gizi dan karakteristik sensori yang minimal. Tujuan khusus penelitian ini adalah (a) menentukan suhu dan waktu optimum aplikasi proses termal dan (b) menentukan umur simpan optimum dari tempe untuk setiap proses termal yang diaplikasikan.

II. METODEA. Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, laru tempe, plastik, retort pouch, dan air. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah K2SO4, HgO, larutan H2SO4 pekat, larutan H3BO3,

HCl pekat, indikator metil merah 0.2%, metilen blue 0.2%, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, dan heksana.

Alat-alat yang digunakan antara lain baskom, sealer, retort, pasteurizer, thermocouple, loyang, rekorder, heater, vacuum sealer, neraca analitik, cawan alumunium, oven, inkubator 250C, 350C dan 450C, desikator, labu Kjedahl, batu didih, gelas erlenmeyer, cawan porselein, tanur, kertas saring, labu soxhlet, gelas ukur, penetrometer, Minolta Chroma Meters CR310, Shibura WA-360, pH-meter dan alat-alat gelas lainnya.

B. Metode1. Persiapan Bahan Baku dan

Pembuatan Tempe Kacang Kedelai (Shurtleff dan Aoyagi, 1979)

Kacang kedelai bersih direbus (30 menit) dan direndam (16 jam), kemudian dikukus (60 menit). Setelah dingin kemudian diinokulasi

dengan ragi tempe sebanyak 0.2 % berat kacang dan dibungkus dalam plastik berlubang. Kedelai diinkubasi pada suhu kamar (25-30oC) selama 45 jam. Tempe dengan ketebalan 2.5 cm dipotong-potong dengan ukuran 7 cm x 5 cm dan dikemas secara vakum dengan retort pouch.

2. Penetuan Suhu dan Waktu Pateurisasi serta Sterilisasi

Potongan tempe yang sudah dikemas, dipasteurisasi pada suhu 700C, 800C, 900C, dan disterilisasi pada suhu 1210C . Termokopel dipasang di titik terdingin pada bagian pusat. Termokopel dihubungkan dengan rekorder dan dilakukan pengukuran setelah tercapai suhu pasteurisasi. Kecukupan proses pasteurisasi ditentukan berdasarkan nilai 5D dari bakteri Clostridium sporogenes, yaitu 7.5 menit dan sterilisasi berdasarkan 12D yaitu 18 menit.

3. Uji OrganoleptikUji segitiga dilakukan dengan

jumlah panelis 30 orang. Uji ini dilakukan dengan tujuan mengetahui ada tidaknya perbedaan secara nyata antara tempe kontrol dan tempe hasil proses dalam keadaan ready to eat. Penilaian mutu organoleptik tempe dilakukan dengan metode penerimaan hedonik oleh 30 panelis. Kriteria mutu organoleptik yang dianalisis adalah penerimaan umum terhadap tempe yang telah diproses.

4. Analisis Sifat Fisik dan KimiaTekstur tempe dianalisis

dengan menggunakan alat penetrometer. Pengujian sifat fisik warna dilakukan dengan Minolta Chroma Meters CR310. Data hasil pengukuran warna berupa Y, X, dan y. Data ini dapat digunakan untuk menentukan nilai L, a, dan b. Analisis kimia berupa nilai pH (Apriyantono et al., 1989), kadar air, abu, protein, lemak (AOAC, 1995), dan kadar karbohidrat ( metode by difference).

5. Penentuan Umur Simpan

Page 3: Suhendri+-+Jurnal+PKMP+Tempe

Uji dilakukan berdasarkan penurunan pH. Sampel disimpan pada suhu ruang dan diukur pH pada hari ke-3, ke-5, ke-7, ke-10, dan ke-12. Perubahan pH selanjutnya diplot dalam kurva dan dibandingkan dengan kontrol. Dari kedua metode dipilih metode yang paling efektif berdasarkan pertimbangan umur simpan, mutu organoleptik, dan kandungan gizi.

III. HASIL DAN PEMBAHASANTempe yang dihasilkan dikemas

dalam plastik dengan ukuran 20 cm x 14 cm x 2.5 cm. Tempe yang dihasilkan memiliki tekstur yang kompak dan bewarna putih. Warna putih yang ada pada tempe disebabkan oleh miselium kapang tempe yang membentuk matriks bahan pangan yang cukup kuat. Keberadaan miselium ini juga menjadi faktor yang kuat dalam mempertahankan tekstur pada tempe.

Perhitungan dilakukan dengan metode Formula untuk perancangan proses. Ball menyatakan waktu dengan efek pemanasan adalah 0.42 bagian dari come up time (sejak awal pemanasan hingga tercapai suhu proses) dan total operator time (sejak tercapai suhu proses hingga akhir pemanasan) (Toledo, 1991). Hasil perhitungan kecukupan panas menunjukkan bahwa sampel 70°C memerlukan 124.96 menit, sampel 80°C memerlukan 81.53 menit, sampel 90°C memerlukan 189.19 menit untuk memenuhi 5D. Sedangkan sampel 121°C memerlukan waktu 24.92 menit untuk mencapai 12D. Waktu ditentukan dari waktu terlama dalam proses.

Gambar 1. Hubungan antar Waktu terhadap Perbedaan Suhu dalam Penentuan

Waktu Proses dengan Metode Formula

Tabel 1. Hasil Perhitungan Nilai tb (menit)U 70°C 80°C 90°C 121°C1 116.18 63.41 165.73 1.392 124.96 81.53 189.19 24.92

Hasil uji hedonik menunjukkan kontrol mendapatkan nilai skor 5.2, sampel 70°C mendapat skor 2.86, sampel 80°C mendapat skor 4.3, sampel 90°C mendapat skor 4.5, dan sampel 121°C mendapat skor 3.83. Hasil uji segitiga menunjukkan bahwa ketiga sampel pasteurisasi berbeda nyata dengan kontrol. Jumlah panelis yang harus menjawab benar menurut tabel binomial adalah 15 orang pada taraf signifikan 5 % telah terlampaui (20 orang untuk sampel 70°C, 18 orang untuk sampel 80°C, dan 16 orang untuk sampel 90°C).

Tingkat kekerasan tempe hasil pasteurisasi dan sterilisasi semakin menurun seiring dengan peningkatan suhu proses pengolahan. Perlakuan pemanasan tempe menyebabkan pelunakan jaringan karena protein dan karbohidrat yang banyak terdapat pada tempe dan menyusun jaringan pada tempe terdegradasi akibat proses panas yang berlangsung secara konstan. Tempe merupakan bahan pangan yang kaya akan protein. Proses pelunakan pada bahan pangan yang kaya protein dapat disebabkan adanya koagulasi dan kehilangan daya ikat air atau Water Holding Capacity (Fellow, 2000).

Menurut Clague dan Fellers (1933), pemanasan pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan warna yang semakin gelap. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya reaksi Maillard. Proses pemanasan relatif menurunkan derajat putih dari tempe. Penurunan derajat putih tidak berbeda nyata antara tempe hasil proses pasteurisasi pada suhu 70°C, 80°C, dan 90°C dan berbeda nyata pada tempe sterilisasi. Jika dibandingkan dengan kontrol, tempe hasil pasteurisasi pada suhu 700C, 800C, dan 90°C berwarna lebih gelap.

Menurut Steinkraus et al. (1959), maksimum nilai pH tempe yang berkualitas baik adalah 6.5. Nilai pH produk hasil pasteurisasi dan sterilisasi tempe masih di bawah nilai pH 6.5. Proses pemanasan menghambat fermentasi tempe sehingga peningkatan nilai pH dapat berkurang.

Page 4: Suhendri+-+Jurnal+PKMP+Tempe

(a)

(b)

Gambar 2. (a) Kedalaman Penetrasi dan (b) Derajat Putih Tempe berbagai Sampel

Gambar 3. Nilai pH berbagai Sampel setelah Pemanasan selama Waktu Tb

Secara umum, proses pemanasan akan menurunkan kadar air, meningkatkan daya cerna protein dan menurunkan kadar protein bila terjadi reaksi Maillard, menurunkan kadar abu, meningkatkan kadar lemak, dan menurunkan kadar karbohidrat. Proses pemanasan relatif menurunkan kadar air, relatif tidak mempengaruhi kadar abu, relatif menurunkan kadar protein, relatif menaikkan kadar lemak dan karbohidrat dari tempe.

Selama proses pemanasan air dalam bahan akan menguap sehingga kadar air yang ada dalam sampel mengalami penurunan.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 4. Kadar Proksimat Tempe Hasil Pemanasan (a) Air, (b) Lemak, (c) Protein,

(d) Abu, dan (e) Karbohidrat

Page 5: Suhendri+-+Jurnal+PKMP+Tempe

Kadar lemak relatif meningkat akibat pemecahan matriks bahan pangan selama proses pemanasan menyebabkan lemak yang terikat menjadi lebih bebas. Kadar protein turun akibat denaturasi.

Hasil uji umur simpan menunjukkan bahwa tempe yang dipasteurisasi memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol hingga hari ke-13 pengujian. Warna dan tekstur sampel terlihat lebih baik dibandingkan dengan kontrol yang rusak pada hari ke-3.

Gambar 5. Perubahan Nilai pH Selama 13 Hari Pengamatan pada Sampel

IV. KESIMPULANMutu tempe secara fisik, kimia,

maupun organoleptik dipengaruhi oleh pemanasan. Tempe yang dipanasakan memiliki perbedaan organoleptik terhadap tempe biasa, namun masih memiliki tingkat kesukaan pada taraf netral. Proses termal yang paling optimal dilakukan adalah pasteurisasi pada suhu 80°C karena memiliki umur simpan, mutu organoleptik, dan nilai gizi yang paling optimal.

Proses termal terbaik untuk memperpanjang umur simpan adalah pemanasan pada suhu 80oC selama 81.53 menit jika dibandingkan dengan pemanasan suhu 70oC dan 121oC dengan dasar nilai D=1.5 menit dan Z 10oC. Sampel hasil pemanasan pada kondisi terbaik memiliki kelebihan dari segi umur simpan (lebih dari 13 hari) berdasarkan parameter pH dan memiliki nilai gizi dan nilai kesukaan mendekati tempe segar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Tempe.http://id.wikipedia.org/ wiki/tempe [22 September 2008].

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis on The Association of Official Agricultural Chemist. Association of Agric. Chem., Washington, D. C.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Clague, J. A and C. R. Fellers. 1933. Time, Temperature, and Humidity Relationship in The Pasteurization of Dates. Massachusettsn State College and Agricultural Experiment, Amherst.

Fellows, P. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice. 2nd Edition. Ellis Horwood Ltd, England.

Hackler, L. R., K. H. Steinkraus, J. P. Van Buren, and D. B. Hand. 1964. Studies on the utilization of tempeh protein by weanling rats. J. Nutrition 82, 452.

Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Nuraini, M. 1995. Kajian Pengaruh Pemberian Bumbu dan Kemasan terhadap Daya Simpan dan Daya Tarik Produk Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor.

Prihatna, A. 1991. Studi Pembuatan Tempe Instan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Sarwono, B. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta.

Shurtleff. W. dan A. Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh. Harper and Row Publisher, New York.

Steinkraus, K. H., Yap Bee Hwa, J. P. Van Buren, M. I. Provvidenti, D. B. Hand. 1959. Studies of Tempeh – An Indonesian Fermented Soybean Food. Journal Wper No. 1176, New York State Agricultural Experiment Station, Cornell University, Geneva, New York, September 15, 1959.

Subagio, A., S. Hartanti, W. S. Windarti, Unus, M. fauzi, dan B. Herry. 2002. Kajian sifat fisikokimia dan organoleptik hidrolisat tempe hasil hidrolisis protease. Jurnal Teknol. dan Ind. Pangan XIII (3) : 204-210.

Toledo, R. T. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering, 2nd ed. Van Nostrand Reinhold, New York.