studi tentang prasangka sosial terhadap...
TRANSCRIPT
STUDI TENTANG PRASANGKA SOSIAL TERHADAP
NONMUSLIM DIKAJI DARI FUNDAMENTALISME,
IDENTITAS SOSIAL, DAN RELIGIUSITAS
PADA MAHASISWA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh :
Trisiawani Agustin
NIM : 1112070000137
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H /2017 M
v
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(B) September 2017
(C) Trisiawani Agustin
(D) Studi tentang Prasangka Sosial terhadap Nonmuslim Dikaji dari
Fundamentalisme, Identitas Sosial, dan Religiusitas pada Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
(E) xii + 90 halaman + lampiran
(F) Prasangka merupakan salah satu hal paling destruktif dalam kehidupan
manusia. Aksi kekerasan, permusuhan, dan ketidakadilan yang pernah atau
bahkan yang sedang terjadi di masyarakat antara lain muncul dari prasangka.
Dalam hal ini, agama sebagai pegangan hidup dikatakan selain mampu
menghilangkan prasangka, juga mampu memunculkan prasangka (Allport
dalam Altemeyer & Hunsberger, 1992). Maka dengan mengambil sampel
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian ini mencoba mengkaji
lebih lanjut pengaruh aspek keagamaan seperti fundamentalisme dan
religiusitas (kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan kepemilikan), ditambah
aspek identitas sosial (kategorisasi, sikap positif, dan rasa kepemilikan) pada
timbulnya prasangka sosial terhadap Nonmuslim.
Sampel penelitian berjumlah 244 orang (laki-laki = 75, perempuan = 169)
yang diambil dengan metode accidental sampling. Analisis data penelitian
menggunakan metode regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan fundamentalisme, sikap positif, dan perilaku
keberagamaan pada timbulnya prasangka sosial terhadap Nonmuslim (R-
square = 0,154, sig = 0,000). Kepada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai agen perubahan yang ditempa di kampus berlandaskan ke-
Islam-an dan ke-Indonesia-an diharapkan mampu menjadi subjek yang
menciptakan toleransi di lingkungan masyarakat yang beragam. Hal ini
mengingat toleransi dan prasangka berada dalam satu kontinum yang saling
berlawanan. Ketiadaan yang satu akan menyuburkan yang lainnya.
(G) Bahan bacaan : 76; buku: 21 + jurnal: 46 + tesis: 1 + skripsi: 2 + artikel: 5 +
internet: 1
Kata kunci : prasangka, fundamentalisme, identitas sosial, religiusitas
vi
ABSTRACT
(A) Faculty of Psychology, Islamic State University of Syarif Hidayatullah
Jakarta.
(B) September, 2017
(C) Trisiawani Agustin
(D) Study of Social Prejudice toward Nonmuslim in Student of Islamic State
University of Syarif Hidayatullah Jakarta Studied from Fundamentalism,
Social Identity, and Religiosity.
(E) xii + 90 pages + attachments
(F) Prejudice is one of the most destructive things in human life. Violence,
hostility, and injustice that have been or have been happening in society have,
among others things, arisen from prejudice. In this case, religion as the way
of life not only said be able to eliminate prejudice, but also able to bring
prejudice (Allport in Altemeyer & Hunsberger, 1992). So, by taking students
of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta as sample, this research tries to further
examine the influence of religious aspects such as fundamentalism and
religiosity (believing, bonding, behaving, and belonging), plus aspects of
social identity (categorization, positive attitude, and sense of belonging) to
the emergence of social prejudice against Nonmuslims.
The sample of the study was 244 people (male = 75, female = 169) taken by
accidental sampling method. Analysis of research data using multiple
regression method. The result of the research shows that there are significant
influence of fundamentalism, positive attitude, and behaving on the
emergence of social prejudice against Nonmuslims (R-square = 0,154, sig =
0,000). To the students of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta as agent of change
that forged on campus based on Islamic and Indonesian values expected to be
a subject that creates tolerance in diverse community environment. This is
because tolerance and prejudice are in one continuous continuum. The
absence of one will nourish the others.
(G) Reading materials: 76; books: 21 + journals: 46 + thesis (master): 1 + thesis
(bachelor): 2 + articles: 5 + internet: 1
Keywords: prejudice, fundamentalism, social identity, religiosity
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Studi tentang Prasangka Sosial terhadap Nonmuslim dikaji dari
Fundamentalisme, Identitas Sosial, dan Religiusitas pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri
tauladan terbaik sepanjang masa, Rasululllah Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, serta pengikutnya hingga yaumil akhir. Terwujudnya skripsi ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si., selaku Dekan Fakultas Pikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran yang
telah memberi penulis kesempatan untuk menimba ilmu.
2. Ima Sri Rahmani, M.A., Psi., selaku dosen pembimbing seminar proposal dan
skripsi. Terima kasih atas arahan dan bimbingan ibu Ima sehingga penulis
dapat menyusun proposal skripsi hingga selesai menjadi skripsi.
3. Ilmi Amalia, M.Psi., Psi., selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima
kasih atas segala perhatian dan motivasi yang diberikan ibu Ilmi selama
penulis menjalani perkuliahan.
4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis.
5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak membantu penulis dalam menjalani perkuliahan.
6. Kedua orang tua penulis, Bapak Mugito dan Ibu Sutiyati yang telah
memberikan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ini.
7. Mba Tera, mba Efi, Igam, dan Nisa; kaka dan adik yang selalu memberikan
kecerian dan semangat pada penulis.
8. Delius Trokalev: Desita, Lilih, Uswah, Oka, Alia, dan Eva. GGS: Lilih, Nusa,
dan Hana. Sahabat-sahabat yang memberikan kenangan tak terlupakan.
9. Teman-teman angkatan 2012 Fakultas Psikologi, khususnya kelas D.
Terimakasih atas semangat yang diberikan, mari kita lanjutkan perjuangan.
10. Keluarga Besar Forkat Asy-Syams, LDK 19, KomDa Psikologi, KAMMI
MedSos, dan KAMMDA Tangsel, yang memberi ruh pergerakan.
11. Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berpartisipasi sebagai
responden dalam penelitian ini.
Semoga seluruh bantuan yang telah diberi dibalas dengan balasan terbaik
oleh Allah SWT. Penulis memohon maaf atas segala kurang dan khilaf dalam
penelitian ini. Semoga pembaca dapat mengambil manfaat sekecil apapun dari
tulisan sederhana ini. Aamiin.
Ciputat, September 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan masalah ...............................................................10
1.2.2 Perumusan masalah ................................................................12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian ....................................................................12
1.3.2 Manfaat penelitian ..................................................................13
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Prasangka Sosial
2.1.1 Definisi prasangka sosial .....................................................14
2.1.2 Dimensi Prasangka Sosial ..................................................16
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka sosial ..........17
2.1.4 Pengukuran prasangka sosial ............................................ 21
2.2 Fundamentalisme
2.2.1 Definisi fundamentalisme .................................................. 25
2.2.2 Indikator fundamentalisme ................................................. 29
2.2.3 Pengukuran fundamentalisme ............................................ 30
2.3 Identitas Sosial
2.3.1 Definisi identitas sosial .......................................................31
2.3.2 Dimensi identitas sosial ......................................................32
2.3.3 Pengukuran identitas sosial ................................................ 33
2.4 Religiusitas
2.4.1 Definisi religiusitas .............................................................34
2.4.2 Dimensi religiusitas ............................................................36
2.4.3 Pengukuran religiusitas ...................................................... 39
2.5 Kerangka Berpikir .........................................................................40
2.6 Hipotesis Penelitian .......................................................................45
ix
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .....................47
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ................47
3.3 Instrumen Penelitian
3.3.1 Instrumen pengumpulan data ............................................. 49
3.3.2 Alat ukur penelitian ............................................................49
3.4 Uji Validitas Konstruk
3.4.1 Uji validitas konstruk prasangka sosial ...............................54
3.4.2 Uji validitas konstruk fundamentalisme ..............................54
3.4.3 Uji validitas konstruk identitas sosial .................................55
3.4.4 Uji validitas konstruk religiusitas ........................................57
3.5 Teknik Analisis Data .....................................................................60
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Subjek Penelitian .........................................................63
4.2 Hasil Analisis Deskriptif ...............................................................64
4.3 Kategorisasi Skor
4.3.1 Kategorisasi prasangka sosial..............................................65
4.3.2 Kategorisasi fundamentalisme ............................................65
4.3.3 Kategorisasi identitas sosial ................................................66
4.3.4 Kategorisasi religiusitas ......................................................66
4.4 Uji Hipotesis ..................................................................................67
4.4 Analisis Proporsi Varians pada Masing-masing
Independent Variable ....................................................................71
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ....................................................................................74
5.2 Diskusi ...........................................................................................74
5.3 Saran
5.3.1 Saran teoritis ........................................................................83
5.3.2 Saran praktis ........................................................................83
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 85-90
LAMPIRAN ........................................................................................... 91-108
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Nilai Skor Jawaban Model Likert .............................................................. 49
Tabel 3.2 Blueprint Skala Prasangka Sosial .............................................................. 50
Tabel 3.3 Blueprint Skala Fundamentalisme ............................................................. 51
Tabel 3.4 Blueprint Skala Identitas Sosial ................................................................. 51
Tabel 3.5 Blueprint Skala Religiusitas ....................................................................... 52
Tabel 3.6 Uji Validitas Konstruk Prasangka Sosial ................................................... 54
Tabel 3.7 Uji Validitas Konstruk Fundamentalisme .................................................. 55
Tabel 3.8 – 3.10 Uji Validitas Konstruk Identitas Sosial ........................................... 55
Tabel 3.11 – 3.14 Uji Validitas Konstruk Religiusitas .............................................. 57
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Data Demografis .................... 63
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif ............................................................................ 64
Tabel 4.3 Rumus Kategorisasi ................................................................................... 65
Tabel 4.4 Kategorisasi Prasangka Sosial ................................................................... 65
Tabel 4.5 Kategorisasi Fundamentalisme .................................................................. 65
Tabel 4.6 Kategorisasi Identitas Sosial ...................................................................... 66
Tabel 4.7 Kategorisasi Religiusitas ............................................................................ 66
Tabel 4.8 Model Summary ......................................................................................... 67
Tabel 4.9 ANOVA ..................................................................................................... 68
Tabel 4.10 Koefisien .................................................................................................. 69
Tabel 4.11 Proporsi Varians Sumbangan Masing-masing Independent Variable ..... 72
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir .......................................................................44
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala ....................................................................................................... 91
Lampiran Syntax Uji Validitas Data ...................................................................... 97
Lampiran Path Diagram ...................................................................................... 101
Lampiran Hasil Uji Hipotesis .............................................................................. 106
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan beragam suku dan agama. Moeis
(dalam Tukiran, 2014) menyatakan bahwa dengan jumlah pulau 17.670, Indonesia
memiliki 300 suku bangsa dan 665 bahasa daerah. Di samping itu, dalam pasal 1
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Indonesia mengakui
enam agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Budha, Hindu, dan
Kong Hu Chu. Terkait dengan hal ini, Anderson (dalam Kusumawardani &
Faturochman, 2004) mengatakan bahwa kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai
sebuah bangsa yang majemuk sangat penting bagi kelanjutan bangsa ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kemajemukan tersebut, Indonesia
menjadi negara yang rentan terhadap munculnya prasangka, diskriminasi, dan
konflik antarkelompok. Serangkaian konflik antarkelompok yang pernah terjadi di
Indonesia tidak terlepas dari dimensi suku dan agama, meski terdapat faktor lain
seperti kesenjangan struktural dan ketidakadilan sistem (Rahman, 2002) Sedikit
mundur ke belakang, pada Mei 1998 terjadi kerusuhan yang menelan ribuan
korban jiwa dari etnis Tionghoa. Dibandingkan dengan sekian etnis yang ada di
Indonesia, etnis Tionghoa paling sering menjadi sasaran amuk massa warga
pribumi. Namun tidak berarti konflik terbatas kepada etnis Tionghoa, etnis lain
2
seperti Madura dan Dayak juga pernah mengalami konflik antarkelompok
(Juditha, 2015).
Misalnya antara tahun 1999 sampai 2004 di Kalimantan, Ambon, dan
Poso. Di Kalimatan, konflik terjadi antara suku Madura dan suku Dayak.
Sedangkan di Ambon dan Poso, konflik terjadi antara kelompok Muslim dengan
kelompok Kristen (Putra & Pitaloka, 2012) Kemudian tidak hanya antara
kelompok Muslim dan Kristen, pada Februari 2016 terjadi pengusiran jemaah
Ahmadiyah di Bangka. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil
Siroj, tidak setuju dengan upaya pengusiran yang dilakukan Pemerintah
Kabupaten Bangka ini dan beranggapan bahwa bukan pengusiran yang mesti
dilakukan, melainkan ajakan agar pengikut Ahmadiyah kembali ke jalan yang
benar (Teresia, 2016).
Pada tahun 2017, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau yang kerap disapa
Ahok divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Utara dalam sidang putusan pada 9 Mei 2017 karena terbukti melakukan
penodaan agama Islam terkait pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung
surat Al-Maidah ayat 51 (Sari, 2017). Terkait dengan hal ini, perwakilan Aliansi
Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK), Sulistyowati Irianto, mengatakan
kasus BTP telah dipolitisasi dengan pandangan dan prasangka kebencian terhadap
kelompok etnis atau agama tertentu (Sohuturon, 2016). Senada, Ketua Umum
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) M. Ramdan Effendi yang akrab disapa
Anton Medan, juga berpendapat bahwa ada dua hal yang melatarbelakangi hingga
3
kasus tersebut meledak begitu besar, yaitu prasangka buruk dan kebencian
(Darmansyah, 2016).
Keberagaman merupakan hal yang tak dapat dihindari, bahkan ia adalah
rahmat Tuhan agar hamba-Nya dapat saling mengenal. Ketika terjadi sesuatu yang
buruk karenanya, yang perlu dibenahi bukan keberagaman itu sendiri, melainkan
sikap yang muncul karena keberagaman. Maka penelitian ini mencoba mendalami
prasangka sebagai salah satu sikap (yang biasanya negatif) yang muncul karena
adanya keberagaman. Prasangka merupakan salah satu kajian yang banyak diteliti
dalam psikologi sosial, terutama setelah perang dunia pertama dan kedua. Ini
dikarenakan konflik sosial, perang, dan penindasan yang terjadi di dunia ini antara
lain ditimbulkan oleh prasangka (Putra & Wongkaren, 2010).
Sebagai salah satu komponen masyarakat yang dipersiapkan untuk ikut
serta dalam pembangunan negeri, mahasiswa menjadi titik yang menarik untuk
diteliti. Dengan membawa misi sebagai agen perubahan, mahasiswa perlu
memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang agamanya bersamaan
dengan memiliki sikap toleransi terhadap pemeluk agama yang berbeda. Dalam
peran serta membangun Indonesia nantinya, mahasiswa akan berinteraksi dengan
masyarakat yang beragam latar belakang. Toleransi menjadi penting karena
merupakan ujung lain yang berseberangan dari kontinum prasangka terhadap
kelompok lain. Ketika toleransi dihidupkan, maka tidak akan tumbuh prasangka.
Sebaliknya, bila toleransi tidak dihidupkan, maka akan tumbuh prasangka
(Muttaqin, dalam Nashori & Nurjannah, 2015).
4
Putra dan Wongkaren (2010) merangkum berbagai sebab prasangka,
antara lain dari penelitian Allport pada tahun 1954 disebabkan karena agama dan
dari penelitian Tajfel & Turner pada tahun 1979 disebabkan karena identitas.
Penelitian ini mencoba mengkaji ulang peran faktor agama (fundamentalisme dan
religiusitas) dan identitas (identitas sosial) terhadap prasangka sosial pada
Nonmuslim. Dalam Islam sendiri, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk
menghindari prasangka. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya pada QS. Al-
Hujurat ayat 12, yang artinya,“Hai orang-orang beriman, jauhilah dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.”
Nabi Muhammad SAW turut menegaskan dengan bersabda, “Hindarilah
prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohong ucapan. Jangan pula
mencari kesalahan. Jangan saling iri. Jangan saling membenci. Jangan
membelakangi. Jadilah hamba Allah yang bersaudara (HR Bukhori dan Muslim)”
(Nawawi, 2012).
Secara teoritis, hubungan antara agama dengan prasangka berawal dari
observasi Allport (dalam Altemeyer & Hunsberger, 1992) bahwa peran agama
bersifat paradoksial sehingga dapat memunculkan prasangka maupun
menghilangkan prasangka. Dalam konteks masyarakat Barat yang mayoritas
5
Nonmuslim, Wulff (dalam Altemeyer & Hunsberger 1992) menjelaskan bahwa
dengan menggunakan berbagai pengukuran afiliasi kesalehan dengan keagamaan,
kehadiran di gereja, ortodoksi doktrinal, penilaian akan pentingnya agama, dan
lain-lain, para peneliti secara konsisten menemukan adanya korelasi positif
kesemua hal tersebut dengan etnosentrisme, otoritarianisme, dogmatisme, jarak
sosial, kekakuan, intoleransi pada ambiguitas, dan bentuk prasangka yang
spesifik, terutama terhadap orang Yahudi dan orang kulit hitam.
Terkait dengan variabel fundamentalisme, Altemeyer dan Hunsberger
(1992) menemukan bahwa individu fundamentalis cenderung lebih berprasangka.
Brandt dan Reyna (2010) menjelaskan alasan fundamentalime dapat berkaitan
dengan prasangka sebagian disebabkan karena ideologi fundamentalis
memberikan rasa kepastian (sense of certainty) dan ketertutupan (closure).
Outgroup yang menantang kepastian epistemik (epistemic certainty) yang
dihasilkan dari fundamentalisme, akan ditolak dalam upaya melindungi kepastian
ini.
Menurut Brandt dan Reyna (2010) dengan menolak outgroup, kaum
fundamentalis dapat mengabaikan dan menolak pertanyaan dan serangan terhadap
pandangan hidup mereka juga merendahkan kesahihan pandangan hidup yang
berlawanan. Alasan ini konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa
prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada anggota kelompok yang
melanggar norma dan tradisi dapat digunakan untuk mendukung pandangan hidup
seorang individu (Brandt & Reyna, 2010). Dengan cara yang sama, rasa kepastian
yang diberikan oleh pandangan hidup para fundamentalis dapat dilindungi melalui
6
prasangka. Altemeyer dan Hunsberger (1992) juga menjelaskan bahwa
fundamentalisme agama berfokus pada pikiran tertutup (closed-mindedness),
dimana individu merasakan kepastian bahwa keyakinan agamanya benar, dan
bahwa individu memiliki jalan menuju kebenaran mutlak.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, Putra dan
Wongkaren (2010) mengkonstruksi Skala Fundamentalisme Islam (ISFS/Islamic
Fundamentalism Scale) dan menguji pengaruhnya terhadap prasangka terhadap
pemeluk Kristen. Ditemukan juga bahwa ada hubungan yang positif antara
fundamentalisme Islam dengan prasangka terhadap pemeluk Kristen. Meski
demikian besar sumbangan pengaruh fundamentalisme terhadap prasangka hanya
sebesar 6,4%.
Di sisi lain, Kusumowardhani, Fathurrohman, dan Ahmad (2013) juga
meneliti prediktor prasangka terhadap pemeluk agama yang berbeda dengan
menggunakan variabel fundamentalisme. Hasil menunjukkan bahwa tidak dapat
dibuktikan hubungan antara fundamentalisme dengan prasangka terhadap
pemeluk agama yang berbeda. Hal ini berarti tidak selamanya variabel
fundamentalisme mampu menjelaskan prasangka. Ini sejalan dengan penelitian
Wylie dan Forest (1992) pada 75 warga Manitoba yang menunjukkan bahwa
fundamentalisme tidak terbukti signifikan dalam memprediksi homofobia,
prasangka rasial dan etnis, dan sikap menghukum (punitiveness). Dari penelitian
yang dipaparkan, penulis ingin meneliti lebih lanjut peran variabel
fundamentalisme pada prasangka sosial terhadap Nonmuslim dalam konteks
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7
Variabel selanjutnya adalah identitas sosial. Penelitian terdahulu mengenai
pengaruh identitas sosial terhadap prasangka salah satunya muncul dari penelitian
Sarifah (2016). Sarifah (2016) meneliti apakah terdapat hubungan positif antara
identitas sosial dengan prasangka pada prajurit TNI AD di Pusdikbekang. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan positif antara identitas sosial dan
prasangka. Semakin tinggi tingkat identitas sosial maka kecenderungan prasangka
prajurit TNI AD Pusdikbekang terhadap anggota Kepolisian semakin tinggi.
Identitas sosial yang tinggi terhadap masing-masing kesatuan membuat
kecenderungan untuk memandang negatif kelompok lain semakin besar.
Hasil yang sama ditemukan pada penelitian Anggraini (2014) yang
bertujuan menguji hubungan antara identitas sosial sebagai etnis Jawa dengan
prasangka terhadap etnis Cina pada mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada
hubungan positif antara identitas sosial dengan prasangka terhadap etnis Cina
dengan sumbangan sebesar 28,7%. Ini berarti semakin tinggi identitas sosial maka
semakin tinggi atau negatif prasangka terhadap etnis Cina, demikian pula
sebaliknya.
Namun demikian, hasil kedua penelitian tersebut tidak sejalan dengan
penelitian (Syarifin, 2015) yang berusaha melihat hubungan antara identitas sosial
dengan prasangka masyarakat perumahan Genuk Indah terhadap kelompok LDII
(Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Hasil penelitian pada 100 masyarakat
perumahan Genuk Indah menunjukan adanya hubungan negatif yang signifikan
antara identitas sosial dengan prasangka masyarakat perumahan Genuk Indah
8
terhadap kelompok LDII. Artinya, semakin tinggi identitas sosial pada masyarakat
perumahan Genuk Indah, semakin rendah prasangka terhadap LDII.
Pun halnya dalam penelitian Kusumowardhani et al (2013) selain variabel
fundamentalisme, digunakan juga variabel identitas sosial untuk dilihat
pengaruhnya terhadap prasangka terhadap agama yang berbeda pada mahasiswa
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitian terhadap 330 mahasiswa UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
identitas sosial dengan prasangka terhadap pemeluk agama yang berbeda. Ini
senada dengan penelitian Lewenussa dan Mashoedi (dalam Kusumowardhani,
2013) yang berusaha melihat hubungan antara identitas sosial dan prasangka
remaja yang pada masa kanak-kanaknya mengalami konflik di Ambon. Identitas
sosial dalam penelitian ini merujuk pada identitas sosial remaja sebagai bagian
dari kelompok agama yang mereka anut, dan prasangka merujuk pada prasangka
mereka terhadap kelompok atau individu yang berbeda agama dengan mereka
(dalam hal ini agama Islam dan Kristen). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan pada identitas sosial dan prasangka
remaja yang mengalami konflik di Ambon. Hasil penelitian yang berbeda tersebut
mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut peran faktor identitas sosial pada
prasangka sosial terhadap Nonmuslim dalam konteks mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Variabel terakhir yang ingin dilihat pengaruhnya terhadap prasangka sosial
adalah religiusitas. Berbeda dengan fundamentalisme yang berfokus pada
militansi religius, religiusitas berfokus pada sistem keyakinan. Penelitian
9
mengenai pengaruh religiusitas terhadap prasangka salah satunya hadir dalam
penelitian Bachri, Lutfi, dan Saloom (2013) yang menemukan bahwa terdapat
pengaruh signifikan antara religiusitas terhadap prasangka sosial masyarakat
terhadap Jama’ah Tabligh. Selain itu, Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam
Raiya, Pargament, Mahoney, & Trevino, 2008) juga menemukan bahwa tingkat
religiusitas yang lebih tinggi terkait dengan prasangka yang lebih tinggi dalam 37
dari 47 penelitian, dimana hanya dua penelitian yang menunjukkan adanya
hubungan yang terbalik.
Penelitian Zick, Küpper, dan Hövermann (2011) di Perancis, Jerman,
Inggris Raya, Hungaria, Italia, Belanda, Polandia, dan Portugal menemukan
bahwa responden yang religius cenderung lebih mengekspresikan prasangka
dibandingkan dengan responden non-religius, bahkan setelah mengkontrol usia,
jenis kelamin, pendidikan dan konsep nilai yang disurvei lainnya. Efek mencolok
ini ditemukan di semua negara yang diuji, kecuali Hungaria.
Penelitian juga menunjukkan bahwa identifikasi dan partisipasi religius
dapat dikaitkan dengan meningkatnya prasangka terhadap berbagai outgroup
(Altemeyer, 2003). Misalnya, sebuah meta analisis yang meneliti hasil dari 55
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan hubungan yang
signifikan antara tingkat identifikasi dan partisipasi religius dengan tingkat
prasangka rasial yang terbuka (overt) dan tersembunyi (covert) (Hall, Matz, &
Wood, 2010).
Di sisi lain, studi yang berfokus pada agama-agama Asia Timur dan
prasangka menunjukkan pola perilaku antar kelompok yang berbeda, dimana
10
religiusitas dikaitkan dengan toleransi antar kelompok yang lebih besar (Clobert,
Saroglou, Hwang, & Soong, 2014). Religiusitas Asia Timur di antara individu di
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan ditemukan memprediksi penurunan tingkat
prasangka terhadap berbagai kelompok, dibandingkan dengan individu non-
religius, termasuk prasangka etnis yang berkurang (misalnya terhadap orang
Afrika), mengurangi antigay dan prasangka anti-Zionis, dan mengurangi
prasangka terhadap anggota agama lain (misalnya, prasangka antaragama terhadap
umat Islam; Clobert, Saroglou, Hwang, & Soong, 2014). Penemuan yang berbeda
tersebut mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut peran faktor religiusitas
pada prasangka sosial terhadap Nonmuslim dalam konteks mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dari latar belakang yang sudah dipaparkan, judul dari penelitian ini adalah
”Studi tentang Prasangka Sosial terhadap Nonmuslim Dikaji dari
Fundamentalisme, Identitas Sosial, dan Religiusitas pada Mahasiswa”.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis membatasi penelitian
ini pada pengaruh antara Independent Variable berupa fundamentalisme, identitas
sosial, dan religiusitas terhadap Dependent Variable berupa prasangka sosial
terhadap Nonmuslim. Adapun pengertian mengenai masing-masing variabel
adalah sebagai berikut:
1. Prasangka sosial adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota
kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok
11
tersebut (Baron dan Byrne, 2004). Dalam penelitian ini, prasangka sosial
yang dimaksud adalah prasangka sosial terhadap Nonmuslim.
2. Fundamentalisme adalah tiga sikap yang saling terkait, yaitu ketika individu
yang memeluk kepercayaan tertentu memutuskan untuk kembali kepada
peraturan abadi dan tidak berubah yang ditetapkan di masa lalu; ketika
individu yang memeluk kepercayaan tertentu merasa bahwa peraturan abadi
tersebut hanya mengizinkan satu interpretasi yang mengikat semua orang
yang memeluk kepercayaan tersebut; dan ketika individu yang memeluk
kepercayaan tertentu merasa peraturan agama harus lebih diprioritaskan
dibanding hukum sekuler (Koopmans, 2015). Dalam penelitian ini,
fundamentalisme yang dimaksud adalah fundamentalisme pada individu yang
memeluk agama Islam.
3. Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari
pengetahuannya tentang keanggotaan dalam suatu atau beberapa kelompok
sosial bersamaan dengan makna emosional yang melekat pada keanggotaan
tersebut (Tajfel dalam Feitosa, Salas, & Salazar, 2012). Dalam penelitian ini,
identitas sosial yang dimaksud adalah identitas sosial sebagai anggota dari
suatu organisasi.
4. Religiusitas adalah seberapa kuat individu penganut agama memiliki aspek
kepercayaan (believing), keterikatan (bonding), perilaku (behaving), dan
kepemilikan (belonging) terhadap agama yang dianutnya (Saroglou, 2011).
Dalam penelitian ini, religiusitas yang dimaksud adalah religiusitas pada
individu yang memeluk agama Islam
12
1.2.2 Perumusan masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dipaparkan, maka perumusan masalah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara fundamentalisme, identitas
sosial, dan religiusitas terhadap prasangka sosial terhadap Nonmuslim pada
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?
2. Seberapa besar sumbangan masing-masing variabel fundamentalisme,
identitas sosial (kategorisasi, sikap positif, dan rasa kepemilikan) dan
religiusitas (kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan kepemilikan) terhadap
prasangka sosial terhadap Nonmuslim pada mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta?
3. Seberapa besar proporsi varians dari variabel prasangka sosial yang dapat
secara bersama-sama diprediksi oleh variabel fundamentalisme, identitas
sosial, dan religiusitas?
4. Apa prediktor yang memiliki pengaruh paling dominan terhadap prasangka
sosial terhadap Nonmuslim pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya pengaruh fundamentalisme,
identitas sosial (kategorisasi, sikap positif, dan rasa kepemilikan), dan religiusitas
(kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan kepemilikan) terhadap prasangka sosial
terhadap Nonmuslim pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13
1.3.2 Manfaat penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat berupa:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menemukan besaran
kontribusi variabel fundamentalisme, identitas sosial (kategorisasi, sikap positif,
dan rasa kepemilikan), dan religiusitas (kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan
kepemilikan) terhadap variabel prasangka sosial terhadap Nonmuslim pada
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Bagi kampus, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran mengenai
kondisi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga pihak kampus dapat
memberikan program atau agenda rutinan untuk mengurangi kemungkinan
munculnya prasangka sosial terhadap Nonmuslim pada mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan bahan wawasan untuk mengurangi sikap prasangka sosial terhadap
Nonmuslim.
14
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Prasangka Sosial
2.1.1 Definisi prasangka sosial
Prasangka merupakan salah satu aspek paling destruktif dari perilaku manusia dan
sering menimbulkan tindakan yang mengerikan (Taylor, et al, 2009). Di
Indonesia, beberapa contoh prasangka misalnya adalah anggapan masyarakat asli
Papua bahwa pendatang Jawa merupakan penjajah; anggapan bahwa orang Sunda
adalah orang yang pemalas; anggapan orang Madura bahwa orang Dayak adalah
orang kafir yang pemalas, sebaliknya anggapan orang Dayak bahwa orang
Madura adalah kelompok pendatang yang ingin menguasai Kalimantan; dan
anggapan bahwa keturunan Cina adalah orang asing meski mereka sudah hidup
turun temurun di Indonesia selama ratusan tahun. Beberapa bentuk prasangka
tersebut ada yang kemudian timbul menjadi konflik (Putra & Pitaloka, 2012).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prasangka diartikan sebagai suatu
pendapat (anggapan) yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui
(menyaksikan, menyelidiki) sendiri (KBBI, 2017). Sementara itu, prasangka yang
dalam bahasa Inggris adalah prejudice merupakan kata yang berasal dari bahasa
latin, yaitu praejudicium yang berarti sebagai sebuah preseden atau penilaian yang
berdasarkan pengalaman sebelumnya yang telah terekam (Allport dalam Putra &
Pitaloka, 2012). Namun Allport menjelaskan arti kata praejudicium awal dengan
arti kata prasangka telah mengalami beberapa kali perubahan. Pertama, ketika
beralih dari kata latin praejudicium ke kata Inggris prejudice, prasangka berarti
15
penilaian yang diperoleh tanpa melalui fakta yang teruji valid dan tepat, tetapi
lebih bersifat prematur dan menilai terlalu terburu-buru. Pada perubahan definisi
yang kedua, prasangka tidak hanya diartikan sebagai suatu penilaian yang tidak
mendasar, tetapi juga melibatkan unsur emosional yang disukai atau tidak disukai
yang memperkuat penilaian (Putra & Pitaloka, 2012). Menurut Augostinos dan
Reynolds (2001) kemudian yang mendasari prasangka adalah upaya atau
keinginan untuk merendahkan individu atau kelompok lain.
Myers (2011) menjelaskan bahwa prasangka, stereotip, diskriminasi,
rasisme, seksisme merupakan istilah sering tumpang tindih. Setiap istilah tersebut
melibatkan evaluasi negatif pada kelompok. Itulah intisari prasangka: penilaian
negatif yang terbentuk dari sebuah kelompok dan masing-masing anggotanya.
Sejalan, menurut Taylor, et al (2009) prasangka adalah evaluasi negatif atas suatu
kelompok atau anggota dari suatu kelompok berdasarkan pada keanggotaan
individu tersebut dalam suatu kelompok.
Sementara itu, menurut Nashori dan Nurjannah (2015) prasangka sosial
adalah respon yang berisi keyakinan, perasaan, dan kecenderungan perilaku
individu terhadap individu atau suatu kelompok. Sedangkan Baron dan Byrne
(2004) menjelaskan bahwa prasangka adalah sebuah sikap (biasanya negatif)
terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka
dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka
terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan
cara yang sama (biasanya negatif) semata karena mereka anggota kelompok
tersebut. Informasi yang konsisten dengan pandangan individu yang berprasangka
16
seringkali menerima perhatian lebih banyak dan diingat lebih akurat daripada
informasi yang tidak konsisten dengan pandangan individu tersebut (Judd, Ryan,
& Park, 1991).
Menurut Newcomb (1978) prasangka adalah sikap yang tidak baik dan
dapat dianggap sebagai suatu predisposisi untuk mempersepsi, berpikir, merasa
dan bertindak dengan cara yang “menentang” atau “menjauhi” dan bukan
“menyokong” atau “mendekati” orang lain, terutama sebagai anggota kelompok.
Sementara Brown (2010) menjelaskan bahwa prasangka adalah sikap, emosi atau
perilaku terhadap anggota kelompok, yang secara langsung atau tidak langsung
menyiratkan beberapa hal negatif atau antipati terhadap kelompok tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
prasangka sosial merupakan sikap seorang individu atau kelompok terhadap
individu atau kelompok lain berupa evaluasi negatif yang didasarkan pada
keanggotaan dalam suatu kelompok. Dalam penelitian ini, penulis mengambil
pengertian prasangka menurut Baron dan Byrne (2004), yaitu sebuah sikap
(biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan
keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dalam penelitian ini, prasangka
sosial yang dimaksud adalah prasangka sosial terhadap Nonmuslim.
2.1.2 Dimensi prasangka sosial
Prasangka dapat didefinisikan sebagai sikap ekstrem. Seperti semua sikap,
prasangka terdiri dari tiga dimensi atau unsur, yaitu kognitif, emosional (afektif)
dan tingkah laku (konatif). Unsur kognitif dari suatu sikap terdiri dari keyakinan
tentang kelompok sasaran. Unsur afektif terdiri dari perasaan terhadap kelompok
17
sasaran. Unsur konatif melibatkan tindakan terhadap kelompok sasaran. Misalnya,
jika seorang individu memiliki prasangka terhadap penggemar sepak bola, ia
kemungkinan percaya bahwa penggemar sepak bola suka melakukan kekerasan,
merasa takut terhadap mereka dan menghindari pergi keluar lapangan sepak bola
setelah ada pertandingan (Jarvis, 2005).
Sejalan dengan Jarvis (2005), Soelaeman (1995), menjelaskan bahwa
prasangka juga merupakan suatu sikap dengan tiga dimensi, yaitu kognitif, afektif,
dan konatif. Kognitif artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya,
terlepas pengetahuan itu benar atau salah. Afektif artinya dalam bersikap akan
selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju-tidak setuju) mengenai objek
sikapnya. Konatif artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan
objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada
yang sangat aktif (tindakan agresif). Dalam penelitian ini penulis berfokus pada
dua dimensi dari prasangka, yaitu afektif dan konatif.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka sosial
Menurut Putra dan Pitaloka (2012) prasangka dapat muncul karena beberapa hal
berikut:
1. Frustrasi
Frustrasi biasanya muncul karena adanya masalah sulit. Dalam kondisi frustrasi,
jika individu menganggap dirinya gagal dan memahami bahwa kegagalan itu
bukan dari faktor pribadi, hal yang paling mungkin terjadi adalah mencari
kesalahan individu atau kelompok lain yang dianggap bertanggung jawab.
Biasanya kelompok yang dianggap lemah lebih mudah dijadikan target sasaran
18
kesalahan. Dalam hal ini, Dollard, et al (dalam Putra & Pitaloka, 2012)
menyatakan bahwa orang yang memiliki prasangka juga dipahami sebagai orang
yang memiliki perasaan frustrasi. Allport (dalam Putra & Pitaloka, 2012)
menjelaskan ada empat hal yang menyebabkan orang menjadi frustrasi, yaitu (1)
kekurangan pada kondisi fisik dan pemenuhan kebutuhan dasar, (2) masalah di
keluarga, (3) hidup lebih dekat pada komunitas, dan (4) kondisi sosial dan
kebijakan sosial.
2. Proyeksi
Dalam psikologi, ada dua istilah proyeksi yang digunakan, yaitu proyeksi
psikologis dan proyeksi sosial. Proyeksi psikologis adalah kecenderungan
penyangkalan kepemilikan atribut sifat dan motif pada individu, atribut dan motif
tersebut kemudian dinilai dimiliki oleh orang lain. Sementara proyeksi sosial
adalah suatu proses dimana orang meyakini bahwa orang lain memiliki kesamaan
atau keserupaan dengannya. Kesaamaan ini dapat berupa kekuasaan, pengetahuan,
kerajinan, dan hal lain yag biasa dipandang positif.
3. Kepribadian
Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson, dan Sanford (dalam Putra & Pitaloka,
2012) percaya akan adanya struktur kepribadian tertentu yang tertanam pada
orang-orang yang memiliki prasangka. Kepribadian itulah yang membentuk
karakter, pola pikir, dan pola pandang. Ada dua tipe kepribadian yang
berkembang dan dirujuk berkenaan dengan prasangka, yaitu tipe kepribadian
otoriter (Right Wing Authoritarianism/RWA) dan tipe kepribadian dominatif
(Social Dominance Orientation/SDO). Tipe kepribadian RWA tergambar pada
19
orang yang konservatif, sempit dalam berpikir, dan tidak menyukai ide atau
pandangan yang berbeda. Sementara tipe kepribadian SDO tergambar pada orang
yang percaya bahwa kehidupan sosial tidak setara tetapi hirarkis, kehidupan ini
keras, dan selalu ingin menjadi yang dominan.
Altemeyer (dalam Putra & Pitaloka, 2012) berpendapat bahwa prasangka
yang dimunculkan melalui RWA adalah prasangka yang berangkat dari ketakutan
dan keterancaman. Sementara prasangka yang dimunculkan melalui SDO adalah
prasangka yang berangkat dari pandangan orang yang sombong dan egois serta
bersifat merendahkan orang lain. RWA memandang kelompok lain sebagai
sesuatu yang mengancam, sedangkan SDO memandang kelompok luar sebagai
yang rendah atau inferior.
Selain faktor yang telah disebutkan di atas, faktor lain yang mempengaruhi
prasangka adalah konflik. Dalam hal ini, Bar-Tal dan Teichman (2005)
mengeksplorasi bagaimana stereotip dan prasangka terhadap Arab berkembang
dan dipertahankan oleh masyarakat Yahudi di negara Israel, dan bagaimana
stereotip dan prasangka diturunkan kepada generasi baru Yahudi Israel. Yahudi
Israel telah terlibat dalam konflik yang tidak terkendali dengan Arab selama 100
tahun terakhir. Kategori sosial Arab telah menjadi istilah paling penting dan
paling sering digunakan dalam konflik Arab-Israel selama bertahun-tahun, terkait
dengan kelompok umum (orang Arab) dan juga yang lebih khusus (misalnya
orang Palestina).
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap prasangka adalah identitas
sosial. Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang
20
diturunkan berdasarkan pengetahuan individu tentang keanggotaannya dalam
suatu kelompok sosial, bersama dengan nilai-nilai dan signifikansi emosional dari
keanggotaan tersebut (Tajfel, dalam Kusumowardhani, Fathurrohman, & Ahmad,
2013). Keinginan untuk mengevaluasi kelompok sendiri secara positif diperlukan
individu untuk membangun harga diri positif (Turner, dalam Kusumowardhani,
Fathurrohman, & Ahmad, 2013). Namun, sulit untuk mengevaluasi identitas
sosial positif bila tidak ada kategori kelompok sosial yang lain sebagai
pembanding. Sejalan dengan keadaan tersebut, prasangka dipegang dan dipelihara
oleh individu dalam kerangka bangunan identitas sosialnya (Kusumowardhani,
Fathurrohman, & Ahmad, 2013).
Kemudian, faktor lain yang diketahui mempengaruhi prasangka adalah
keberagamaan (fundamentalisme dan religiusitas). Menurut Allport (dalam
Altemeyer & Hunsberger, 1992) agama bersifat paradoksial selain menghilangkan
juga dapat memunculkan prasangka. Penemuan ini diawali oleh penelitian Allport
dan Kramer (1946) yang menunjukkan bahwa orang yang sering datang ke gereja
lebih tidak toleran terhadap etnis minoritas daripada yang tidak. Ditemukan bahwa
siswa yang mengaku tidak memiliki afiliasi agama cenderung tidak anti-Negro
daripada mereka yang menyatakan diri mereka sebagai Protestan atau Katolik.
Selanjutnya, siswa yang melaporkan pengaruh agama yang kuat di rumah lebih
tinggi dalam prasangka etnik daripada siswa yang hanya melaporkan sedikit atau
tidak memiliki pengaruh agama. Rosenblith (1949) menemukan kecenderungan
yang sama di kalangan siswa di South Dakota. Lebih lanjut menurut Altemeyer
(2003) kefanatikan merupakan penyebab sesungguhnya dalam mengukur
21
hubungan antara agama dan prasangka. Kefanatikan muncul dalam
fundamentalisme agama. Dari beberapa faktor yang telah dikemukakan, penelitian
ini berfokus untuk membahas faktor identitas sosial dan faktor keberagamaan
(fundamentalisme dan religiusitas).
2.1.4 Pengukuran prasangka sosial
Putra dan Pitaloka (2012) menjelaskan bahwa ada banyak alat ukur prasangka,
namun pengembangannya di Indonesia masih tergolong sedikit. Di sisi lain,
sebagian besar alat ukur prasangka berasal dari Amerika, sehingga isu prasangka
yang berkembang menjadi kental dengan nuansa Amerika. Hal yang juga perlu
diperhatikan adalah penelitian mengenai prasangka sudah berlangsung cukup
lama, sehingga memungkinkan adanya perubahan pandangan mengenai bentuk
dan isi alat ukur. Pengukuran prasangka dibagi menjadi pengukuran langsung dan
tidak langsung. Pengukuran langsung adalah bentuk pengukuran yang ditujukan
kepada bentuk prasangka yang secara nyata diakui dan disadari ada, sementara
pengukuran tidak langsung ditujukan untuk menggali bentuk prasangka yang
terselubung atau tidak diakui keberadaannya.
1. Pengukuran langsung
Pertanyaan kuesioner yang berisi pertanyaan dan pernyataan partisipan mengenai
sesuatu yang disukai atau tidak disukai dari kelompok merupakan tipikal
pengukuran langsung (Oslon, dalam Putra & Pitaloka, 2012). Berikut adalah
beberapa alat ukur yang dianggap penting dan paling sering digunakan
berdasarkan hasil penjabaran Biernat dan Crandall (dalam Putra & Pitaloka,
2012).
22
a. Inventori Sikap Rasial Multifaktor
Inventori Sikap Rasial Multifaktor/Multifactor Attitudes Inventory (MRAI)
dirancang oleh J.J. Woodmanse dan S.W. Cook dengan lebih dari 100 pertanyaan.
Di dalamnya ada 10 subskala dan 3 subskala perluasan. Alat ukur MRAI yang
berisi sepuluh subskala dipublikasikan pada tahun 1967. Sementara tiga perluasan
subskala dipublikasikan pada tahun 1970. Sepuluh subskala tersebut adalah: (1)
kebijakan integrasi-segregasi, (2) penerimaan hubungan personal yang dekat, (3)
inferioritas kulit hitam, (4) superioritas kulit hitam, (5) mudah dalam kontak
interrasial, (6) keyakinan yang merendahkan/menghina, (7) otonomi lokal, (8) hak
privat, (9) penerimaan dalam hubungan superior-status, dan (10) gradualisme.
Tiga perluasan subskala tersebut adalah: (1) pernikahan interrasial, (2)
penghampiran pada kesamaan ras, (3) militansi kulit hitam.
Hasil penelitian dengan menggunakan alat ukur ini menunjukkan adanya
konsistensi internal yang adequate, yaitu dengan alpha 0,80. Pada tahun 1977, Art
dan Cook mempublikasikan versi singkat MRAI yang memiliki reliabilitas
croncach alpha 0,80. Pada tahun 1985 dan 1963, reliabilitasnya diuji kembali dan
didapatkan hasil alpha 0,82 di tahun 1985 serta 0,66 di tahun 1993. Korelasi
antara versi singkat dengan versi penuh MRAI rata-rata 0,91. Versi singkat MRAI
terbukti lebih efektif dan memperjelas partisipan dalam mengisi.
b. Skala Sikap Rasial
Skala Sikap Rasial/Racial Attitude Scale (RAS) dirancang oleh Sidanius, Pratto,
Martin, Stallworth pada tahun 1991. Alat ukur RAS berisi sikap positif dan
negatif terhadap kulit hitam, isu-isu kebijakan publik, dan kelompok lain di luar
23
kulit hitam, seperti Meksiko dan orang asing. Sebanyak 5655 sampel mahasiswa
S1 Univesity of Texas dipilih secara acak untuk mengembangkan alat ukur ini.
Reliabilitas cronbach alpha berdasarkan respons dari 14 item adalah 0,89.
c. Sikap terhadap Kulit Hitam dan Sikap terhadap Kulit Putih
Skala sikap terhadap kulit hitam/ Attitude Toward Black (ATB) dan sikap
terhadap kulit putih/ Attitude Toward White (ATW) dirancang oleh Brigham pada
1993. ATB terdiri dari empat subskala, yaitu (1) jarak sosial, (2) reaksi afeksi, (3)
kebijakan pemerintah, dan (4) kekhawatiran mengenai diskriminasi. Sementara
itu, ATW terdiri atas enam subskala, yaitu: (1) interaksi sosial antara kulit putih
dan kulit hitam, (2) kebijakan integrasi, (3) reaksi terhadap pasangan antar ras, (4
dan 5) dua faktor-faktor jarak sosial, dan (6) satu faktor yang tidak terlabel.
Pengujian ATB yang dilakukan pada jumlah sampel 405 partisipan mahasiswa S1
kulit putih Southern University, menghasilkan nilai realibilitas cronbach alpha
sebesar 0,88. Sementara pengujian ATW yang dilakukan pada jumlah sampel 81
partisipan mahasiswa kulit hitam Southern University menghasilkan nilai
reliabilitas cronbach alpha sebesar 0,75.
d. Skala Rasisme Modern
Skala Rasisme Modern/Modern Racism Scale (MRS) dirancang oleh McConahay,
Hardee, dan Batts pada tahun 1981. Skala ini muncul untuk menjelaskan tipe
prasangka saat ini yang berbeda dengan tipe prasangka masa lalu dimana
prasangka tidak lagi diekspresikan secara terbuka dan terang-terangan tetapi lebih
bersifat halus dan tersembunyi. Dari beberapa pengujian yang telah dilakukan,
reliabilitas MRS berkisar antara .86. Hasil pengujian reliabilitas alpha cronbach
24
adapatasi MRS di Indonesia menunjukkan nilai 0,82 (Assa, dalam Putra &
Pitaloka, 2012).
e. Skala Prasangka Tersirat dan Terang-terangan
Skala Prasangka Tersirat dan Terang-terangan (subtle and blatant) dirancang oleh
Pettigrew dan Meertens pada tahun 1995 di Inggris. Prasangka terang-terangan
terdiri atas (1) penolakan-ancaman (threat-rejection) dan (2) oposisi terhadap
keintiman (opposition to intimacy). Sementara prasangka tersirat terdiri atas (1)
nilai-nilai tradisional, (2) perbedaan budaya, dan (3) emosi positif. Reliabilitas
alpha cronbach yang dihasilkan dari pengujiannya di Jerman, Prancis, Belanda,
dan Inggris Raya berkisar antara 0,87 sampai 0,90 untuk prasangka terang-
terangan dan 0,73 sampai 0,82 untuk prasangka tersirat.
f. Skala Prasangka Inggris
Skala Prasangka Inggris/British Prejudice Scale (BPS) dirancang oleh Leopore
dan Brown pada tahun 1997. Secara umum, kelompok yang dijadikan target
prasangka adalah kulit hitam, dengan beberapa item menerangkan mengenai
sentimen terhadap kelompok minoritas dan imigran karena kedua sentimen ini
terkait dengan anti kulit hitam di Inggris. Sebanyak 162 partisipan mahasiswa
British College berpartisipasi dalam pengujian BPS. Dari pengujian tersebut
diperoleh reliabilitas cronbach alpha adalah 0,85.
2. Pengukuran Tidak Langsung
Melalui pengukuran tidak langsung, proses kognitif yang aktif tanpa disadari atau
tanpa kendali dapat diperoleh. Kecenderungan social desirability yang tinggi di
Indonesia juga dapat dihindari. Ada dua model pengukuran yang popular, yaitu
25
Pengukuran Priming (Priming Measure) dan Tes Asosiasi Implisit (Implisit
Association Tets/IAT). Pada Pengukuran Priming, para partisipan akan diberi
prime, kemudian dilanjutkan pada pemilihan kata sifat. Prime yang diberikan
dapat berupa kata atau gambar (foto atau sketsa). Sementara dalam penelitian
eksperimen IAT, partisipan akan diminta untuk menilai secepat mungkin dua
bentuk objek. Objek dapat berupa gambar atau foto kulit hitam yang dilekatkan
bersamaan dengan kategorisasi negatif dan gambar atau foto kulit putih yang
dilekatkan dengan kategorisasi positif. Penempatan kategorisasi ini kemudian
dibalik.
Di Indonesia pengembangan alat ukur prasangka salah satunya dilakukan
oleh Nashori (2016) dalam penelitiannya. Prasangka yang diteliti tertuju pada
prasangka terhadap Nonmuslim. Penyusunan skala dilakukan berdasarkan pada
konstruk teori Vaughan dan Hogg yang menjelaskan dan membagi prasangka
sosial terdiri atas tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Nashori,
2016). Uji validitas dilakukan Nashori (dalam Nashori & Nurjannah, 2015)
dengan melibatkan 70 mahasiswa Islam di Yogyakarta. Reliabilitas skala ini
ditunjukkan oleh koefisien alpha 0,884. Penelitian ini menggunakan alat ukur
Nashori (2016) ini dikarenakan fokus pembahasan prasangka memiliki kesamaan
subjek, yaitu Nonmuslim.
2.2 Fundamentalisme
2.2.1 Definisi fundamentalisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fundamentalisme berarti paham yang
cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal (KBBI, 2017).
26
Ngadhimah (2010) menjelaskan bahwa ada kalangan Muslim yang berkeberatan
dengan penggunaan istilah fundamentalisme, karena konteks historis istilah ini
berawal dari fundamentalisme Kristen. Sebagai gantinya, mereka menggunakan
istilah ushuliyun untuk menyebut orang-orang fundamentalis, yakni mereka yang
berpegang kepada fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Hadits.
Istilah lain yang digunakan adalah al-Ushuliyah al-Islamiyah
(fundamentalis Islam) yang mengandung pengertian: kembali kepada fundamen-
fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan
dasar-dasar otoritas yang absah (syar’iyah al-hukm). Formulasi ini, terlihat lebih
menekankan dimensi politik gerakan Islam dari pada aspek keagamaannya (Azra,
1996). Namun dalam perkembangannya kemudian, istilah fundamentalis
digunakan untuk menyebut gerakan keagamaan yang berusaha untuk kembali
pada nash kitab suci dengan pemahaman yang literal, dan eksklusif, tanpa
membedakan agama apapun. (Idrus, 2016)
Senada, Khoir (2014) menjelaskan bahwa definisi fundamentalisme
merujuk pada skripturalisme, pemahaman ketat terhadap perintah-perintah yang
tertulis dalam teks-teks agama, dan tendensi kuat untuk kembali kepada dasar-
dasar (fundamentals) agama. Al-Ashmawi (dalam Khoir, 2014) berpendapat
bahwa fundamentalisme sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif, sejauh
gerakan itu bersifat rasional dan spiritual, dalam arti memahami ajaran agama
berdasarkan semangat dan konteksnya, sebagaimana ditunjukkan oleh
fundamentalisme spiritualis rasionalis yang dibedakan dengan fundamentalisme
27
aktivis politis yang memperjuangkan Islam sebagai entitas politik dan tidak
menekankan pembaharuan pemikiran agama yang autentik.
Koopmans (2015) mendefinisikan fundamentalisme sebagai tiga sikap
yang saling terkait, yaitu ketika individu yang memeluk kepercayaan tertentu
memutuskan untuk kembali kepada peraturan abadi dan tidak berubah yang
ditetapkan di masa lalu; ketika individu yang memeluk kepercayaan tertentu
merasa bahwa peraturan abadi tersebut hanya mengizinkan satu interpretasi yang
mengikat semua orang yang memeluk kepercayaan tersebut; dan ketika individu
yang memeluk kepercayaan tertentu merasa peraturan agama harus lebih
diprioritaskan dibanding hukum sekuler.
Hood, Hill, dan Williamson (2005) menyatakan bahwa hal mendasar dari
fundamentalisme agama tidak sekedar keyakinan yang kuat, namun bagaimana
keyakinan tersebut dimaknai dan dipahami. Pemaknaan dan pemahaman ini
terkait erat dengan bagaimana seseorang menempatkan, menggali, dan
mempelajari kitab sucinya. Fundamentalis agama cenderung memahami kitab suci
secara literal dan tertutup untuk didiskusikan, yang oleh Hood et al (2005) disebut
sebagai model intratekstual.
Taylor dan Horgan (2001) mengartikan fundamentalisme agama sebagai
suatu ideologi yang berangkat dari latar belakang keyakinan agama yang kuat dan
kehidupan agama yang dijalankan dengan sangat serius. Sedangkan Altemeyer
dan Hunsberger (1992) mendefinisikan fundamentalisme sebagai keyakinan
bahwa ada satu set ajaran agama yang secara jelas mengandung kebenaran yang
fundamental, mendasar, intrinsik, esensial, batiniah, tentang kemanusiaan dan
28
Tuhan; bahwa kebenaran esensial ini pada dasarnya ditentang oleh kekuatan
kejahatan yang harus dilawan dengan gigih; bahwa kebenaran ini harus diikuti
hari ini sesuai dengan praktik dasar masa lalu yang tidak dapat diubah; dan bahwa
mereka yang percaya dan mengikuti ajaran dasar atau fundamental ini memiliki
hubungan khusus dengan Tuhan.
Fundamentalisme pada umumnya dilihat sebagai reaksi terhadap
sekularisasi dan modernisasi. Bruce (dalam Koopmans, 2015) menegaskan bahwa
fundamentalisme adalah respons rasional masyarakat tradisional terhadap
perubahan sosial, politik dan ekonomi yang menurunkan dan membatasi peran
agama di dunia publik. Studi tentang fundamentalisme Kristen menemukan bahwa
fundamentalisme didukung oleh ke-tidakproporsional-an di antara mereka yang
kehilangan proses modernisasi, misalnya di antara mereka yang memiliki
pendapatan, pendidikan dan prestise pekerjaan yang lebih rendah (Coreno, 2002).
Fukuyama (dalam Idrus, 2016) mengungkap bahwa munculnya fundamentalisme
Islam karena masyarakat muslim merasa terancam dengan nilai Barat yang
diimpor ke dunia muslim, dan ada perasaan betapa martabat muslim terluka begitu
dalam oleh kegagalannya untuk mempertahankan koherensi masyarakat
tradisional santri dan keberhasilan teknik dan nilai barat yang merasuk ke dunia
Islam, yang membuat umat Islam mengalami alienasi, anomie, minder dan kecil
hati.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, fundamentalisme berarti kembali
kepada fundamen keimanan yang mendasar, intrinsik, esensial, dengan merujuk
pada skripturalisme dan pemahaman ketat terhadap perintah yang tertulis dalam
29
teks agama. Dalam penelitian ini penulis mengambil pengertian fundamentalisme
menurut Koopmans (2015) yaitu sebagai tiga sikap yang saling terkait, yaitu
ketika individu yang memeluk kepercayaan tertentu memutuskan untuk kembali
kepada peraturan abadi dan tidak berubah yang ditetapkan di masa lalu; ketika
individu yang memeluk kepercayaan tertentu merasa bahwa peraturan abadi
tersebut hanya mengizinkan satu interpretasi yang mengikat semua orang yang
memeluk kepercayaan tersebut; dan ketika individu yang memeluk kepercayaan
tertentu merasa peraturan agama harus lebih diprioritaskan dibanding hukum
sekuler.
2.2.2 Indikator fundamentalisme
Koopmans (2015) mendefinisikan fundamentalisme melalui tiga sikap yang saling
terkait, yaitu:
1. Bahwa orang yang memeluk suatu agama harus kembali ke peraturan abadi
dan tidak berubah yang ditetapkan di masa lalu;
2. Bahwa peraturan ini hanya mengizinkan satu interpretasi yang mengikat
semua orang yang memeluk agama tersebut;
3. Bahwa peraturan agama harus lebih diprioritaskan dibanding hukum sekuler.
Fundamentalisme harus dibedakan dengan bentuk religiusitas yang kuat
lainnya. Fundamentalis menganjurkan untuk kembali kepada asal-usul agama,
namun bukan berarti mereka adalah kaum tradisionalis. Mereka sering secara
selektif menekankan aspek tertentu dari tradisi keagamaan dan
menggabungkannya dengan aspek modernitas yang selektif (Koopmans, 2015).
30
2.2.3 Pengukuran fundamentalisme
Ada beberapa alat ukur fundamentalisme, antara lain Religious Fundamentalism
Scale dari Altemeyer dan Hunsberger (1992). Pengujian skala fundamentalisme
tersebut diberikan kepada tiga sampel pada musim gugur tahun 1990: 325
mahasiswa psikologi pengantar di Wilfred Laurier University, 138 siswa lainnya
dari sumber yang sama, dan 235 orang tua siswa psikologi pengantar di
Universitas Manitoba. Hampir semua peserta ini dibesarkan dalam agama Kristen.
Korelasi interitem rata-rata dari ketiganya bervariasi dari 0,41 sampai 0,48,
dengan cronbach alpha yang dihasilkan sebesar 0,93 sampai 0,95. RFS
menunjukkan hubungan yang kuat dengan prasangka ras maupun etnis (Smith,
Stones, Peck, & Naidoo, 2007) dan prasangka terhadap agama yang berbeda
(Altemeyer, 2003)
Kemudian Putra dan Wongkaren (2008) berupaya untuk mengadaptasi dan
memodifikasi alat ukur fundamentalisme agama Altemeyer dan Hunsberger
(1992), serta Hood, Hill, dan Williamson (2005), dan mengembangkannya
menjadi sebuah alat ukur fundamentalisme Islam berdasarkan penjelasan Lewis
(1993) serta Taylor dan Horgan (2001). Partisipan penelitian ini adalah orang
yang beragama Islam dengan rentang usia 14 sampai dengan 32 tahun. Hasil
perhitungan validitas dan reliabilitas pada Skala Fundamentalisme Islam
menunjukkan nilai reliabilitas α = 0,86 dengan koefisien validitas yang diperoleh
r = 0,37 sampai dengan r = 0,64.
Wibisono (2016) mengembangkan instrumen fundamentalisme agama
untuk respoden Muslim dengan memakai model Rasch. Sub dimensi dari
31
fundamentalisme menurut Wibisono (2016) didasari oleh: (a) sikap terhadap
keyakinan bahwa agama mencakup semua hal dan tidak pernah keliru; (b) sikap
terhadap keyakinan bahwa terdapat hal yang berlawanan dan harus ditolak; and
(c) sikap terhadap keyakinan bahwa kebenaran agama bersifat absolut dan tidak
perlu untuk dijadikan kontekstual. Data diperoleh dari 113 siswa Muslim di
Yogyakarta. Hasil dari analisis menunjukkan indeks reliabilitas instrumen (α =
0,85), reliabilitas responden (α=0,82), dan realibitas item (α=0,97).
Penelitian lain terkait alat ukur fundamentalisme datang dari Koopmans
(2015). Skala ini terdiri atas 3 butir pernyataan yang termasuk dalam aspek-aspek:
(1) kembali pada kitab suci, (2) hanya berpegang pada satu interpretasi, dan (3)
memprioritaskan hukum agama dibanding hukum negara. Cronbach alpha yang
dihasilkan adalah sebesar 0,76. Penelitian ini menggunakan alat ukur
fundamentalisme menurut Koopmans (2015) karena alat ukur ini tergolong
sederhana dan tidak menimbulkan ambiguitas.
2.3 Identitas Sosial
2.3.1 Definisi identitas sosial
Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari
pengetahuannya tentang keanggotaan dalam suatu atau beberapa kelompok sosial
bersamaan dengan makna emosional yang melekat pada keanggotaan tersebut
(Tajfel dalam Feitosa, Salas, & Salazar, 2012). Definisi Tajfel ini memberikan
beberapa kata kunci penting bagi kita dalam upaya memahami identitas sosial
yatu pengetahuan individu, memiliki kelompok sosial tertentu, makna emosional
dan nilai penting sebagai anggota. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
32
keanggotaan individu dalam suatu kelompok memberikan kelekatan emosi dan
nilai penting bagi dirinya dan hal itu sungguh-sungguh ia sadari sebagai suatu
fakta yang terjadi dan melekat pada dirinya (Gazi, 2013).
Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa identitas sosial
adalah bagian dari konsep diri yang berasal dari kenggotaan dalam satu atau lebih
kelompok sosial, dan dari evaluasi yang diasosiasikan dengannya. Hogg dan
Abrams (1990) menjelaskan identitas sosial sebagai rasa keterkaitan, peduli,
bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori
keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki
hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat.
Berdasarkan beberapa definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
identitas sosial adalah konsep diri seseorang yang tentang keanggotaan dalam
suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional berupa
rasa keterkaitan, kepedulian, kebanggaan dari keanggotaan tersebut. Dalam
penelitian ini penulis mengambil pengertian identitas sosial menurut Tajfel (dalam
Feitosa, Salas, & Salazar, 2012) yaitu bagian dari konsep diri individu yang
berasal dari pengetahuannya tentang keanggotaan dalam suatu atau beberapa
kelompok sosial bersamaan dengan makna emosional yang melekat pada
keanggotaan tersebut. Dalam penelitian ini, identitas sosial mengacu pada
identitas sosial sebagai anggota suatu organisasi.
2.3.2 Dimensi identitas sosial
Feitosa, Salas, dan Salazar (2012) membagi identitas sosial ke dalam tiga dimensi,
antara lain sebagai berikut:
33
1. Kategorisasi (Categorization)
Ini adalah komponen kognitif dari konstruksi identitas sosial. Kategorisasi
mengacu pada pengetahuan tentang keanggotaan seseorang. Konteksnya menjadi
sangat penting dalam menentukan bagaimana individu secara kognitif melihat
ingroup mereka. Pertanyaannya apakah kelompok dilihat sebagai bagian yang
menyatu atau terpisah.
2. Rasa Kepemilikan (Sense of Belonging)
Dimensi ini terkait dengan komponen afektif. Rasa kepemilikan terkait dengan
sejauh mana anggota berkomitmen terhadap kelompok tersebut dan merasa
menjadi bagian darinya. Dengan kata lain, rasa kepemilikan mengacu pada tingkat
hubungan antara individu dan organisasi.
3. Sikap Positif (Positive Attitude or Attitudes towards the Ingroup )
Sikap anggota lebih berkaitan dengan perasaan pribadi tentang menjadi anggota
kelompok tersebut. Sikap terhadap ingroup mengacu pada nilai keanggotaan
kelompok tertentu terhadap kehidupan individu.
2.3.3 Pengukuran identitas sosial
Pengukuran identitas sosial salah satunya datang dari Cameron (2004) yang
mengkonstruksi alat ukur identitas sosial dengan tiga faktor, yaitu sentralitas
(centrality); pengaruh ingroup (ingroup affect); dan ikatan ingroup (ingroup ties).
Alat ukur diuji pada lima penelitian yang melibatkan total 1078 responden, satu
sampel non pelajar, dan tiga anggota kelompok (universitas, gender, dan
kewarganegaraan). Konsistensi internal dari total skala dan subskala dapat
diterima, dengan koefisien alfa berkisar antara 0,76 sampai 0,84 untuk ikatan
34
ingroup, dari 0,67 sampai 0,78 untuk sentralitas, dan dari 0,77 sampai 0,82 untuk
pengaruh ingroup.
Selain itu, Feitosa, Salas, dan Salazar (2012) juga mengkonstruksi alat
ukur identitas sosial dengan tiga faktor yang berbeda, yaitu kategorisasi
(categorization), rasa kepemilikan (sense of belonging), dan sikap positif (positive
attitudes). Meski alat ukur ini belum diuji validitas dan reliabilitasnya, namun
penelitian ini menggunakan alat ukur Feitosa, Salas, dan Salazar (2012) karena
alat ukur ini mengintegrasikan teori identitas sosial dari yang unidimensional
(misalnya group identification scale, dalam Kelly, 1988), dua faktor (misalnya,
cognitive dan affective, dalam Stets & Burke, 2000), tiga faktor (misalnya,
centrality, ingroup affect, dan ingroup ties, dalam Cameron, 2004), empat faktor
(misalnya, perception of the intergroup context, attraction to the in-group,
interdependency beliefs dan depersonalization, dalam Jackson & Smith, 1999)
dan tujuh faktor (misalnya, self-categorization, evaluation, importance,
attachment and sense of interdependence, social embeddedness, behavioral
involvement, dan content and meaning, dalam Ashmore, Deaux, & McLaughlin-
Volpe, 2004).
2.4 Religiusitas
2.4.1 Definisi religiusitas
Menurut Argyle dan Beit-Hallahmi (dalam Zinnbauer & Pargament, 2005)
religiusitas adalah sebuah sistem keyakinan terhadap kekuatan ilahiah, dan
praktek-praktik persembahan ataupun ritual lainnya yang ditujukan kepada
kekuatan tersebut. Sedangkan menurut O’Collins dan Farrugia (dalam Zinnbauer
35
& Pargament, 2005) religiusitas adalah sistem keyakinan dan respon terhadap
Yang Maha Kuasa, termasuk kitab suci, ritual-ritual kultus, dan praktik-praktik
etis yang dijalankan oleh para penganutnya.
Kendler, Liu, Gardner, McCullough, Larson, & Prescott (2003)
menjelaskan religiusitas adalah perwujudan individu penganut agama yang
menggambarkan bagaimana hubungan individu dengan Tuhannya (general
religiosity); bagaimana individu tersebut membina hubungannya dengan individu
sesama penganut agamanya (social religiosity); segala sesuatu yang menurut
manusia melambangkan Tuhan dalam urusan manusia (involved God); bagaimana
menggambarkan pendekatan kepedulian rasa kasih sayang dan saling memaafkan
pada dunia (forgiveness); menggambarkan kekuasaan yang dimiliki Tuhan (God
as judge); menggambarkan perilaku individu yang tidak mendendam
(unvengefulness); dan bagaimana individu menggambarkan rasa syukurnya
(thankfulness).
Di sisi lain, religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukan
oleh Fetzer (2003) adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan
pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experience), mengalami
kebermaknaan hidup (religion meaning), mengekspresikan keagamaan sebagai
sebuah nilai (value), meyakini ajaran agamanya (belief), memaafkan
(forgiveness), melakukan praktik beragama/ibadah secara menyendiri (private
religious practice), menggunakan agama sebagai coping (religious/spiritual
coping), mendapat dukungan penganut sesama agama (religious support),
mengalami sejarah keberagamaan (religious/spiritual history), komitmen
36
beragama (commitment), mengikuti organisasi/kegiatan keagamaan
(organizational religiousness), dan meyakini pilihan agamanya (religious
preference).
Saroglou (2014) mendefinisikan keberagamaan (religiousness) atau
sebagai perbedaan individu berdasarkan ketertarikan dan/atau keterlibatan dengan
agama. Ini mencakup perbedaan individu dalam sikap, kognisi, emosi, dan/atau
perilaku yang mengacu pada apa yang dianggap sebagai entitas transenden atau
Tuhan. Lebih lanjut Saroglou (2011) menjelaskan bahwa religiusitas (religiosity)
adalah seberapa kuat individu penganut agama memiliki aspek kepercayaan
(believing), keterikatan (bonding), perilaku (behaving), dan kepemilikan
(belonging) terhadap agama yang dianutnya.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
religiusitas adalah internalisasi nilai agama dalam diri seseorang yang berkaitan
dengan kepercayaan terhadap ajaran agama baik di dalam hati, lisan maupun
perbuatan. Penelitian ini menggunakan definisi religiusitas menurut Saroglou
(2011), yaitu seberapa kuat individu penganut agama memiliki aspek kepercayaan
(believing), keterikatan (bonding), perilaku (behaving), dan kepemilikan
(belonging) terhadap agama yang dianutnya.
2.4.2 Dimensi religiusitas
Saroglou (2011) menjelaskan bahwa ada empat dimensi religiusitas yang berbeda
walaupun saling terkait, yaitu kepercayaan (believing), keterikatan (bonding),
perilaku (behavior), dan kepemilikan (belonging). Dimensi ini diasumsikan hadir
37
secara universal di berbagai agama dan konteks budaya juga membatasi agama
dari konstruk serupa lainnya.
1. Kepercayaan (believing)
Kepercayaan berkaitan dengan sesuatu yang dianggap sebagai transendensi
eksternal dan hubungan Tuhan dengan manusia dan dunia. Ini merupakan
komponen universal dasar agama. Ada keragaman mengenai cara individu lintas
budaya dan agama memahami dan merealisasikan sesuatu yang dianggap
melampaui manusia dan dunia. Dimensi religiusitas yang universal adalah
kepercayaan pada transendensi eksternal, yaitu menganggap bahwa Zat yang lebih
besar dan lebih substansial daripada diri manusia harus ada. “Yang Ada Di Atas”
merupakan perbedaan utama antara menjadi seorang (a) ateis, nonreligius, atau
nonspiritual dan (b) religius dan/atau spiritual.
2. Keterikatan (bonding)
Dimensi ini merupakan dimensi emosional yang berkaitan dengan sejauh mana
individu memiliki keterikatan secara emosional melalui ritual pribadi dan/atau
kolektif dengan entitas transenden (Tuhan) dan kemudian dengan orang lain.
Agama bukan hanya tentang kepercayaan tetapi juga mencakup pengalaman
transenden yang mengikat individu dengan apa yang dianggapnya sebagai
"realitas" transenden, dengan orang lain, dan/atau dengan batinnya. Ini ada dalam
kerangka ritual, baik pribadi (sholat) maupun publik (upacara keagamaan atau
ziarah). Bahkan dalam praktik spiritual yang berorientasi pada diri pribadi seperti
meditasi, tujuannya adalah untuk terhubung dengan realitas lebih dalam yang
melampaui realitas keseharian dan diri.
38
3. Perilaku (behavior)
Dimensi ini berkaitan dengan bagaimana individu berperilaku dengan
menyesuaikan diri dengan norma, praktik, dan nilai yang dianggap ditetapkan
oleh entitas transenden (Tuhan). Agama tidak hanya secara khusus
memperhatikan moralitas sebagai korelasi eksternal, tetapi juga mencakup
moralitas sebagai salah satu dimensi dasarnya. Agama memberikan norma
spesifik dan penjelasan moral yang mendefinisikan benar dan salahnya suatu hal
dari perspektif agama.
4. Kepemilikan (belonging)
Dimensi keempat religiusitas berkaitan dengan sejauh mana individu merasakan
kepemilikan terhadap kelompok yang dianggap sebagai keabadian dan terisi
dengan kehadiran entitas transenden (Tuhan). Identifikasi religius dengan
kelompok tertentu atau identifikasi diri sebagai "orang beriman" atau "orang
berspiritual", juga merupakan dimensi dasar religiusitas individu. Komunitas
religius (organisasi keagamaan) menyajikan karakteristik tambahan, termasuk
otoritas (orang, simbol, proses, atau institusi) yang merupakan titik acuan hal
normatif dan memberikan validasi untuk hal baru. Komunitas religius juga
mencakup narasi dan/atau simbol yang dimaksudkan untuk menyatukan masa lalu
yang mulia dengan masa kini dan masa depan yang gemilang dan abadi. Dinamika
semacam itu dapat membantu mempertahankan kekompakan dan meningkatkan
identitas sosial dan harga diri kolektif yang positif.
39
2.4.3 Pengukuran religiusitas
Ada beberapa pengukuran religiusitas, antara lain Stark dan Glock (1974),
Kendler, Liu, Gardner, McCullough, Larson, & Prescott (2003), dan Fetzer
(2003). Stark dan Glock (1974) mengembangkan skala religiusitas dengan
berdasarkan pada lima aspek, yaitu seberapa dalam keyakinan (belief), praktik
agama (religious practice), pengalaman (experience), pengetahuan (knowledge),
dan konsekuensi (consequence) dari agama yang dianut.
Di sisi lain, Kendler, et al (2003) mengembangkan skala religiusitas
dengan berdasarkan pada tujuh aspek, antara lain bagaimana hubungan individu
dengan Tuhan (general religiosity), bagaimana individu membina hubungan
dengan individu lain maupun dengan sesama penganut agamanya (social
religiosity), bagaimana individu melambangkan Tuhannya yang mencerminkan
kepercayaan dan keyakinannya akan keterlibatan Tuhan dalam hidupnya (involved
God), bagaimana individu menggambarkan pendekatan rasa kasih sayang dan
saling memaafkan terhadap sekitarnya (forgiveness), bagaimana individu
menggambarkan kekuasaaan yang dimiliki Tuhan dan mempersepsi bahwa Tuhan
sebagai Penetap Takdir (God as judge), bagaimana individu menggambarkan
perilaku yang tidak menyimpan rasa dendam ( unvengefulness), dan bagaimana
individu bersyukur (thankfulness).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan skala religiusitas yang
dimodifikasi berdasarkan skala yang dirancang oleh Fetzer (2003) berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Saroglou (2011) dimana religiusitas mengandung
40
empat dimensi, yaitu kepercayaan (believing), keterikatan (bonding), perilaku
(behaving), dan kepemilikan (belonging).
2.5 Kerangka Berpikir
Prasangka merupakan salah satu aspek paling destruktif dalam kehidupan
manusia. Aksi kekerasan, permusuhan, dan ketidakadilan yang pernah atau
bahkan yang sedang terjadi di masyarakat antara lain muncul dari sikap prasangka
sosial. Penelitian ini berfokus pada prasangka sosial terhadap Nonmuslim. Dalam
hal ini mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai agen perubahan di
kampus yang berlandaskan nilai ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an diharapkan
mampu menjadi subjek yang menghindari prasangka dan menciptakan toleransi di
lingkungan masyarakat yang beragam. Hal ini mengingat toleransi dan prasangka
berada dalam satu kontinum yang saling berlawanan. Ketiadaan yang satu akan
menyuburkan yang lainnya (Muttaqin, dalam Nashori & Nurjannah, 2015). Dalam
penelitian ini, penulis mengkaji pengaruh fundamentalisme, identitas sosial, dan
religiusitas bagi kesuburan prasangka sosial.
Fundamentalisme menurut Koopmans (2015) adalah tiga sikap yang saling
terkait, yaitu ketika individu yang memeluk kepercayaan tertentu memutuskan
untuk kembali kepada peraturan abadi dan tidak berubah yang ditetapkan di masa
lalu; ketika individu yang memeluk kepercayaan tertentu merasa bahwa peraturan
abadi tersebut hanya mengizinkan satu interpretasi yang mengikat semua orang
yang memeluk kepercayaan tersebut; dan ketika individu yang memeluk
kepercayaan tertentu merasa peraturan agama harus lebih diprioritaskan dibanding
hukum sekuler. Fundamentalisme diasumsikan mempengaruhi prasangka dengan
41
penilaian bahwa agama yang dianut adalah yang benar diikuti dengan pembedaan
yang signifikan antara “kita dan mereka (us-them judgement)” atau antara “orang
satu kepercayaan dan orang beda kepercayaan”. Tingkat etnosentrisme religius
yang tinggi biasanya sudah dipelajari sejak awal kehidupan, yang kemudian
memunculkan kecenderungan untuk berpihak kepada ingroup, lalu membeda-
bedakan outgroup. Selain itu, fundamentalisme bersifat closed-mindedness,
dimana individu merasakan bahwa keyakinan agamanya benar dan ia memiliki
jalan menuju kebenaran mutlak (Altemeyer & Hunsberger, 1992). Hal ini yang
kemudian ditengarai sebagai sebab lain pengaruh fundamentalisme terhadap
prasangka sosial.
Identitas sosial menurut Tajfel (dalam Feitosa, Salas, & Salazar, 2012)
adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya tentang
keanggotaan dalam suatu atau beberapa kelompok sosial bersamaan dengan
makna emosional yang melekat pada keanggotaan tersebut. Dalam penelitian ini,
identitas sosial mengacu pada identitas sosial sebagai anggota suatu organisasi.
Identitas sosial menurut Feitosa, Salas, dan Salazar (2012) terdiri dari tiga
dimensi, yaitu kategorisasi, rasa kepemilikan, dan sikap positif. Kategorisasi
adalah pengetahuan tentang keanggotaan seseorang. Rasa kepemilikan adalah
sejauh mana anggota berkomitmen terhadap kelompok tersebut dan merasa
menjadi bagian darinya. Sedangkan sikap positif mengacu pada nilai keanggotaan
kelompok tertentu terhadap kehidupan individu.
Kategorisasi membuat individu mengelompokkan individu menjadi kita
atau ingroup dan mereka atau outgroup. Rasa kepemilikan timbul karena individu
42
cenderung mengidentifikasikan diri sebagai ingroup, yang dimunculkan sebagai
komitmen dan rasa menjadi bagian dari ingroup. Kemudian, sikap positif ada
dengan bentuk favoritisme kelompok atau ingroup favoritism. Favoritisme
kelompok ini membangun kecenderungan individu untuk mengevaluasi ingroup
secara lebih positif, memberi atribut yang lebih positif pada perilaku ingroup,
lebih menghargai ingroup, memperlakukan ingroup secara lebih baik dan
menganggap ingroup lebih menarik ketimbang out-group (Taylor, Peplau, &
Sears, 2009).
Kemudian, faktor lain yang dapat mempengaruhi prasangka adalah
religiusitas. Religiusitas menurut Saroglou (2011) adalah seberapa kuat individu
penganut agama memiliki aspek kepercayaan (believing), keterikatan (bonding),
perilaku (behaving), dan kepemilikan (belonging) terhadap agama yang
dianutnya. Kepercayaan berkaitan dengan sesuatu yang dianggap sebagai
transendensi eksternal dan hubungan Tuhan dengan manusia dan dunia.
Keterikatan berkaitan dengan pengalaman transenden yang mengikat individu
dengan apa yang dianggapnya sebagai "realitas" transenden, dengan orang lain,
dan/atau dengan batinnya. Perilaku berkaitan dengan norma spesifik dan
penjelasan moral yang mendefinisikan benar dan salahnya suatu hal dari
perspektif agama. Kepemilikan bekaitan dengan identifikasi religius dengan
kelompok tertentu atau identifikasi diri sebagai orang yang memiliki kepercayaan
tertentu (Saroglou. 2011).
Menurut Allport (dalam Altemeyer & Hunsberger, 1992) peran agama
bersifat paradoksial sehingga dapat memunculkan prasangka maupun
43
menghilangkan prasangka. Batson, Schoenrade, dan Ventis (dalam Raiya,
Pargament, Mahoney, & Trevino, 2008) menemukan bahwa tingkat religiusitas
yang lebih tinggi terkait dengan prasangka yang lebih tinggi dalam 37 dari 47
penelitian, dimana hanya dua penelitian yang menunjukkan adanya hubungan
yang terbalik. Di sisi lain, dalam konteks penelitian religiusitas di Asia, tepatnya
di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan ditemukan bahwa religiusitas memprediksi
penurunan tingkat prasangka terhadap berbagai kelompok, dibandingkan dengan
individu nonreligius, termasuk prasangka etnis yang berkurang (misalnya terhadap
orang Afrika), mengurangi antigay dan prasangka anti-Zionis, dan mengurangi
prasangka terhadap anggota agama lain (misalnya, prasangka antaragama terhadap
umat Islam; Clobert, Saroglou, Hwang, & Soong, 2014).
Brown dan Baker (2016) Dalam hal kemunculan prasangka, identifikasi
agama atau religiusitas dapat terkait dengan prasangka outgroup melalui konflik
realistik atau simbolis. Dalam ancaman identitas keagamaan, tantangan pada
agama atau komunitas religius dapat dialami sebagai ancaman terhadap nilai, cara
pandang dunia (worldview), budaya, keluarga, kelompok masyarakat, dan
kelompok sosial (Ysseldyk, Matheson, & Anisman, 2010). Misalnya, keragaman
sosial dan agama dapat dialami sebagai ancaman simbolis jika dianggap
mengubah atau mengikis nilai, tradisi, dan budaya agama, atau melemahkan
kesatuan agama.
Bagi individu yang memeluk suatu agama, interaksi dengan orang yang
tidak memiliki kepercayaan (nonbelievers) atau dalam penelitian ini Nonmuslim
dapat dianggap mengancam, jika diperkirakan hal itu dapat menyebabkan
44
melemahnya kepercayaan dan pada gilirannya juga dapat melemahkan ikatan
sosial dan moral. Ajaran yang memisahkan dan mencegah kontak antar kelompok
sosial sangat dapat meningkatkan in-group favouritism dan out-group derogation.
Hal ini menunjukkan bahwa penekanan yang kuat pada kepercayaan yang benar,
dikombinasikan dengan perkiraan bahwa keyakinan dapat dilemahkan oleh
paparan terhadap pandangan yang berbeda, dapat membuat kontak dengan
anggota kelompok keagamaan yang berbeda terlihat sebagai ancaman (Burch-
Brown & Baker, 2016). Secara singkat, kerangka berpikir dari penelitian ini dapat
direpresentasikan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
45
2.6 Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis ingin melihat pengaruh Independent Variable yang
telah ditentukan terhadap Dependent Variable. Independent Variable dalam
penelitian ini adalah fundamentalisme, identitas sosial, dan religiusitas.
Sedangkan Dependent Variable dalam penelitian ini adalah prasangka sosial
terhadap Nonmuslim. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Hipotesis Mayor
Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara fundamentalisme, identitas sosial
(kategorisasi, rasa kepemilikan, dan sikap positif), dan religiusitas
(kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan kepemilikan) terhadap prasangka
sosial terhadap Nonmuslim pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hipotesis Minor
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan fundamentalisme terhadap prasangka
sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
H2: Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi kategorisasi pada variabel
identitas sosial terhadap prasangka sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
H3: Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi rasa kepemilikan pada variabel
identitas sosial terhadap prasangka sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
46
H4: Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi sikap positif pada variabel
identitas sosial terhadap prasangka sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
H5: Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi kepercayaan pada variabel
religiusitas terhadap prasangka sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
H6: Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi keterikatan pada variabel
religiusitas terhadap prasangka sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
H7: Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi perilaku pada variabel religiusitas
terhadap prasangka sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
H8: Terdapat pengaruh yang signifikan dimensi kepemilikan pada variabel
religiusitas terhadap prasangka sosial Nonmuslim pada mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
47
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis memilih populasi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta karena
lulusan kampus ini diharapkan mampu menyeimbangkan antara ke-Islam-an dan
ke-Indonesia-an. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif dan
bersedia menjadi subjek penelitian. Pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan teknik non-probability sampling dengan metode accidental
sampling, yaitu metode siapa saja yang secara aksidental atau kebetulan bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Sampel dalam penelitian ini
adalah 244 mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Dependent Variable (DV/variabel terikat) dari penelitian ini adalah prasangka
sosial terhadap Nonmuslim. Sedangkan Independent Variable (IV/variabel bebas)
dari penelitian ini adalah fundamentalisme, identitas sosial (kategorisasi, rasa
kepemilikan, dan sikap positif), dan religiusitas (kepercayaan, keterikatan,
perilaku, dan kepemilikan).
Adapun definisi operasional dari prasangka sosial terhadap Nonmuslim
adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok Nonmuslim,
semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Hal ini diukur
48
dengan dua dimensi. Pertama, afektif, yaitu perasaan emosional negatif yang
muncul karena perbedaaan keyakinan antara Muslim dan Nonmuslim dalam
hubungan sosial sehari-hari. Kedua, konatif, yaitu keinginan untuk bertindak
negatif terhadap Nonmuslim
Sedangkan definisi operasional dari fundamentalisme adalah sikap saling
terkait yang dapat diukur dengan tiga indikator. Pertama, ketika individu yang
beragama Islam memutuskan untuk kembali kepada peraturan abadi dan tidak
berubah yang ditetapkan di masa lalu, yaitu kitab suci Al-Qur’an. Kedua, ketika
individu tersebut merasa bahwa Al-Qur’an hanya mengizinkan satu tafsir yang
mengikat semua orang Islam. Ketiga, ketika individu tersebut merasa peraturan
agama harus lebih diprioritaskan dibanding hukum negara.
Kemudian, definisi operasional dari identitas sosial adalah bagian dari
konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya tentang keanggotaan dalam
organisasi tertentu bersamaan dengan makna emosional yang melekat pada
keanggotaan tersebut. Hal ini diukur dengan tiga dimensi. Pertama, kategorisasi,
yaitu sejauh mana individu mengelompokan diri sebagai anggota sutu kelompok
social. Kedua, rasa kepemilikan, yaitu sejauh mana individu berkomitmen untuk
kelompok dan merasa menjadi bagian dari kelompok. Ketiga, sikap positif, yaitu
perasaan individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok.
Terakhir, definisi operasional dari religiusitas adalah seberapa kuat
individu penganut agama memiliki empat dimensi keagamaan. Pertama,
kepercayaan, yaitu dimana individu meyakini bahwa Tuhan harus ada. Kedua,
keterikatan, yaitu dimana individu merasa memiliki ikatan dengan Tuhan. Ketiga,
49
perilaku, yaitu dimana individu berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Keempat,
kepemilikan, yaitu dimana individu mempunyai rasa memiliki terhadap agama
dan saudara seagama.
3.3. Instrumen Penelitian
3.3.1 Instrumen pengumpulan data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
kuesioner. Kuesioner berbentuk skala model likert dengan empat pilihan jawaban,
yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S) dan. Sangat Setuju
(SS). Subjek diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang masing-
masing jawaban menunjukkan kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan
keadaan yang dirasakan oleh subjek. Kuesioner terdiri atas lima bagian, yaitu (1)
biodata demografis responden, (2) alat ukur prasangka, (3) alat ukur
fundamentalisme, (4) alat ukur identitas sosial, dan (5) alat ukur religiusitas.
Kuesioner berbentuk skala model likert ini terdiri dari pernyataan positif
(favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). Untuk perhitungan skor pada
tiap-tiap pilihan jawaban adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Nilai Skor Jawaban Skala Model Likert
Kode Favorable Unfavorable
STS (sangat tidak sesuai) 1 4
TS (tidak sesuai) 2 3
S (sesuai) 3 2
SS (sangat sesuai) 4 1
3.3.2 Alat ukur penelitian
1. Prasangka sosial
Alat ukur prasangka sosial disusun dengan mengadaptasi alat ukur prasangka
sosial dari Nashori (2016) dengan dua dimensi, yaitu afektif dan konatif.
50
Tabel 3.2
Blueprint Alat Ukur Prasangka Sosial
No. Dimensi Indikator No. Item
Total F UF
1. Afektif 1. Merasa tidak nyaman
berdekatan dengan Nonmuslim
2. Merasa senang bila
Nonmuslim dinyatakan
bersalah
3. Merasa sakit hati terhadap
Nonmuslim
4. Merasa tidak senang bekerja
dengan Nonmuslim
5. Merasa senang bila
Nonmuslim diperlakukan
semena-mena
3, 4, 5, 9
8, 11 6
2. Konatif 1. Selalu menyalahkan
Nonmuslim
2. Enggan bergaul dengan
Nonmuslim
3. Enggan menolong
Nonmuslim
4. Enggan membela
Nonmuslim
5. Enggan memakan makanan
yang diberikan Nonmuslim
6. Enggan memaafkan
kesalahan Nonmuslim
1, 2, 6, 7,
10
12
6
Total 12
2. Fundamentalisme
Alat ukur fundamentalisme disusun dengan mengadaptasi alat ukur
fundamentalisme Koopman (2015) yang memiliki tiga indikator, yaitu ketika
individu yang memeluk kepercayaan tertentu memutuskan untuk kembali kepada
peraturan abadi dan tidak berubah yang ditetapkan di masa lalu; ketika individu
yang memeluk kepercayaan tertentu merasa bahwa peraturan abadi tersebut hanya
mengizinkan satu interpretasi yang mengikat semua orang yang memeluk
kepercayaan tersebut; dan ketika individu yang memeluk kepercayaan tertentu
merasa peraturan agama harus lebih diprioritaskan dibanding hukum sekuler.
51
Tabel 3.3
Blueprint Alat Ukur Fundamentalisme
No. Indikator No. Item
Total F UF
1. Memutuskan untuk kembali kepada
peraturan abadi dan tidak berubah yang
ditetapkan di masa lalu
1, 5, 6, 4 3 4
2. Merasa bahwa peraturan abadi hanya
mengizinkan satu interpretasi yang mengikat
semua orang yang memeluk kepercayaan
tersebut
6 1
3. Merasa peraturan agama harus lebih
diprioritaskan dibanding hukum sekuler
2 1
Total 6
3. Identitas sosial
Alat ukur identitas sosial disusun dengan mengadaptasi alat ukur identitas sosial
Feitosa, Salas, dan Salazar (2012), yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu
kategorisasi, rasa kepemilikan, dan sikap positif.
Tabel 3.4
Blueprint Alat Ukur Identitas Sosial
No. Dimensi Indikator No. Item
Total F UF
1. Kategorisasi 1. Menganggap diri sebagai
bagian dalam kelompok
sosial
2. Memandang kesuksesan
kelompok sebagai kesuksesan
pribadi
1, 7, 9,
11, 15
4, 9 6
2. Rasa Kepemilikan 1. Merasa terlibat dengan
yang terjadi pada kelompok
2. Kritikan terhadap
kelompok dipandang sebagai
kritikan terhadap pribadi
2, 12 5, 14 4
3. Sikap Positif 1. Merasa senang menjadi
bagian dari kelompok
2. Merasakan kebanggaan
terhadap kelompok
3, 8, 13,
16
6, 10 6
Total 16
4. Religiusitas
Alat ukur religiusitas disusun dengan mengadaptasi alat ukur religiusitas Fetzer
(2003) dengan berlandaskan pada teori Saroglou (2011) dimana religiusitas terdiri
atas empat dimensi, yaitu kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan kepemilikan.
Berbeda dengan dimensi rasa kepemilikan pada alat ukur identitas sosial, yang
52
mengacu pada rasa kepemilikan terhadap organisasi yang diikuti, dimensi
kepemilikan pada alat ukur prasangka mengacu pada kepemilikan terhadap agama
dan saudara seagama.
Tabel 3.5
Blueprint Alat Ukur Religiusitas
No. Dimensi Indikator No. item
Total F UF
1. Kepercayaan Percaya bahwa Zat yang
lebih besar dan lebih
substansial daripada diri
manusia harus ada;
Mengimani eksistensi Allah
1, 5, 9,
12, 18,
21
14 7
2. Keterikatan Mempunyai pengalaman
transenden yang mengikat
individu dengan apa yang
dianggapnya sebagai
"realitas" transenden, dengan
orang lain, dan/atau dengan
batinnya; Keterikatan dengan
Allah
2, 6, 10,
13, 15,
19, 22,
24, 27
28 10
3. Perilaku Berperilaku sesuai dengan
ajaran agama
3, 7, 11,
16, 20,
23, 25,
26
8
4. Kepemilikan Mempunyai rasa memiliki
terhadap agama dan saudara
seagama
4, 8, 17 3
Total 28
3.4 Uji Validitas Konstruk
Sebelum dilakukan penelitian yang sebenarnya, peneliti terlebih dulu melakukan
pengujian terhadap validitas konstruk keempat instrumen yang dipakai, yaitu
instrumen prasangka sosial, fundamentalisme, identitas sosial, dan religiusitas.
Peneliti melakukan uji validitas konstruk instrumen tersebut dengan menggunakan
CFA (Confirmatory Factor Analysis). Adapun logika dari CFA (Umar, 2011)
yaitu:
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk
53
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran
terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-
itemnya.
2. Teori setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes
hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat
unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional.
Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan
matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar
(unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ -
matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan ∑ - S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi
square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis nihil
tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat
diterima bahwa item ataupun subtes instrumen hanya mengukur satu faktor
saja.
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau
tidak mengukur apa yang hendak diukur, dengan menggunakan t-test. Jika
hasil t-test tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam
mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di-drop
dan sebaliknya.
54
6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan
faktornya negatif, maka item tersebut harus di-drop. Sebab hal ini tidak sesuai
dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable). Adapun pengujian analisis
CFA seperti ini dilakukan dengan bantuan software LISREL 8.70.
3.4.1 Uji validitas konstruk prasangka sosial
Dalam subbab ini penulis menguji apakah dua belas item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.6
Uji Validitas Konstruk Prasangka Sosial
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,62 0,06 10,79 √
2 0,92 0,05 17,96 √
3 0,83 0,05 17,96 √
4 0,79 0,05 14,69 √
5 0,74 0,06 13,20 √
6 0,59 0,06 9,94 √
7 0,34 0,06 5,32 √
8
9
10
11
12
0,65
0,72
0,76
0,62
0,24
0,06
0,06
0,06
0,06
0,07
10,76
12,81
12,89
9,87
4,60
√
√
√
√
√ Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.6 dapat dilihat bahwa dua belas item tersebut memiliki nilai t
di atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-drop.
3.4.2 Uji validitas konstruk fundamentalisme
Dalam subbab ini penulis menguji apakah enam item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
55
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.7
Uji Validitas Konstruk Fundamentalisme
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,51 0,06 8,07 √
2 0,72 0,06 12,64 √
3 0,55 0,06 8,97 √
4 0,89 0,05 17,22 √
5 0,92 0,05 18,10 √
6 0,26 0,07 3,89 √ Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.7 dapat dilihat bahwa enam item tersebut memiliki nilai t di
atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-drop.
3.4.3 Uji validitas konstruk identitas sosial
1. Kategorisasi
Penulis menguji apakah enam item yang ada dalam skala ini bersifat
unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item tersebut
mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut signifikan
dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini :
Tabel 3.8
Uji Validitas Konstruk Kategorisasi
No Koefesien Standar eror Nilai t Signifikan
1 0,56 0,07 8,08 √
2 0,52 0,09 6,15 √
3 0,62 0,07 9,32 √
4 -0,08 0,08 -1,00 ×
5 0,23 0,07 3,06 √
6 0,76 0,08 9,98 √
Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
56
Berdasarkan tabel 3.8 dapat dilihat bahwa dari enam item ada lima item yang nilai
t nya di atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-
drop. Sedangkan satu item memiliki nilai t kurang dari 1,96. Artinya ada lima
item yang tidak perlu di-drop untuk analisis uji hipotesis.
2. Rasa kepemilikan
Dalam subbab ini penulis menguji apakah enam item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.9
Uji Validitas Konstruk Rasa Kepemilikan
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,56 0,07 8,41 √
2 0,65 0,07 9,56 √
3 0,53 0,07 7,94 √
4 0,95 0,07 13,34 √ Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.9 dapat dilihat bahwa empat item tersebut memiliki nilai t di
atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-drop.
3. Sikap positif
Dalam subbab ini penulis menguji apakah enam item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
57
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.10
Uji Validitas Konstruk Sikap Positif
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,85 0,05 15,55 √
2 0,34 0,07 5,12 √
3 0,53 0,06 8,63 √
4 0,53 0,06 8,64 √
5 0,54 0,06 8,92 √
6 0,95 0,05 18,26 √ Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.10 dapat dilihat bahwa enam item tersebut memiliki nilai t di
atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-drop.
3.4.4 Uji validitas konstruk religiusitas
1. Kepercayaan
Dalam subbab ini penulis menguji apakah enam item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.11
Uji Validitas Konstruk Kepercayaan
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,62 0,06 10,13 √
2 0,90 0,06 16,32 √
3 0,62 0,06 10,19 √
4 0,59 0,06 9,49 √
5 0,19 0,07 2,61 √
6 0,77 0,06 13,28 √
7 0,61 0,06 9,75 √ Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
58
Berdasarkan tabel 3.11 dapat dilihat bahwa tujuh item tersebut memiliki nilai t di
atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-drop.
2. Keterikatan
Dalam subbab ini penulis menguji apakah sepuluh item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.12
Uji Validitas Konstruk Keterikatan
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,88 0,05 17,05 √
2 0,76 0,05 13,99 √
3 0,60 0,06 10,17 √
4 0,85 0,05 16,51 √
5 0,91 0,05 18,29 √
6 0,91 0,05 18,33 √
7 0,55 0,06 9,15 √
8 0,56 0.06 9,31 √
9 0,85 0.05 16,44 √
10 -0.36 0,06 -5,82 × Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.12 ini dapat dilihat bahwa dari sepuluh item ada sembilan
item yang nilai t nya di atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan
tidak perlu di-drop. Sedangkan satu item memiliki nilai t kurang dari 1,96.
Artinya ada sembilan item yang tidak perlu di-drop untuk analisis uji hipotesis.
3. Perilaku
Dalam subbab ini penulis menguji apakah delapan item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
59
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.13
Uji Validitas Konstruk Perilaku
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,42 0,06 6,65 √
2 0,56 0,06 8,99 √
3 0,55 0,06 9,01 √
4 0,82 0,05 15,30 √
5 0,74 0,06 12,50 √
6 0,80 0,05 14,90 √
7 0,55 0,06 8,81 √
8 0,90 0,05 17,38 √ Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.13 dapat dilihat bahwa delapan item tersebut memiliki nilai t
di atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-drop.
4. Kepemilikan
Dalam subbab ini penulis menguji apakah tiga item yang ada dalam skala ini
bersifat unidimensional atau tidak. Untuk melihat signifikan tidaknya item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur diujikan hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari tiap item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor. Jika nilai t>1.96 artinya item tersebut
signifikan dan sebaliknya, hasilnya terdapat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.14
Uji Validitas Konstruk Kepemilikan
No Koefesien Standard Eror Nilai t Signifikan
1 0,72 0,07 10,96 √
2 0,93 0,07 13,90 √
3 0,57 0,07 8,66 √ Keterangan: √ = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.14 dapat dilihat bahwa tiga item tersebut memiliki nilai t di
atas 1,96 dan tidak minus sehingga item signifikan dan tidak perlu di-drop.
60
3.5 Teknik Analisis Data
Untuk menguji hipotesis penelitian, penulis menggunakan metode analisis regresi
berganda (multiple reggression analysis) yaitu suatu metode untuk menguji
signifikan tidaknya pengaruh dari sekumpulan variabel bebas (Independent
Variable) yaitu fundamentalisme, identitas sosial (kategorisasi, rasa kepemilikan,
dan sikap positif), dan religiusitas (kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan
kepemilikan) terhadap variabel terikat (Dependent Variable) yaitu prasangka
sosial. Analisis regresi berganda digunakan agar dapat menjawab hipotesis nihil
yang ada pada bab 2. Dalam penelitian ini Dependent Variable sebanyak satu
variabel dan Independent Variable sebanyak delapan variabel. Sehingga susunan
persamaan garis regresi penelitian ini adalah:
Y=a+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+b8X8 +e
Keterangan :
Y = Prasangka sosial
a = Intersep atau konstan
b = Koefisien regresi
X1 = Fundamentalisme
X2 = Kategorisasi
X3 = Rasa Kepemilikan
X4 = Sikap Positif
X5 = Kepercayaan
X6 = Keterikatan
X7 = Perilaku
X8 = Kepemilikan
e = Error
Selanjutnya, untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan
merupakan model yang paling sesuai (memiliki error terkecil), dibutuhkan
beberapa pengujian dan analisis sebagai berikut:
61
1. R2
(koefisien determinasi berganda)
Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yaitu melalui regresi berganda
antara fundamentalisme, identitas sosial dan religiusitas terhadap prasangka
sosial. Besarnya prasangka sosial yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah
disebutkan sebelumnya, ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R2.
R2
menunjukkan variasi oleh perubahan DV (Y) yang disebabkan variabel IV (X)
atau digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh IV (X) terhadap DV (Y)
atau merupakan proporsi varians dari fundamentalisme, identitas sosial dan
religiusitas. Untuk mendapat nilai R2 digunakan rumus sebagai berikut:
R2
=
2. Uji F
Selanjutnya R2 diuji untuk membuktikan apakah regresi Y pada X signifikan atau
tidak. Untuk mengujinya digunakan uji F dengan rumus sebagai berikut:
F= ⁄
( ) ( )
K adalah jumlah IV dan N adalah jumlah sampel. Dari uji F yang dilakukan, dapat
dilihat apakah IV yang diuji memiliki pengaruh terhadap DV.
3. Uji t
Kemudian dilanjutkan dengan uji t dimana ini digunakan untuk melihat apakah
pengaruh yang diberikan IV (X) signifikan terhadap DV (Y). Oleh karena itu,
sebelum didapat nilai t dari setiap IV harus didapat dahulu nilai standard error
estimate dari b (koefisien regresi) yang didapatkan melalui akar mean square
dibagi SS. Setelah didapat nilai Sb barulah bisa dilakukan uji t, yaitu hasil bagi
62
dari b (koefisien regresi) dengan Sb itu sendiri. Uji t dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
R2
=
Dimana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standar eror dari b. Hasil uji t ini
akan diperoleh dan hasil regresi yang akan dilakukan oleh penulis nantinya.
63
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Subjek Penelitian
Gambaran subjek penelitian ini didasarkan pada data demografis, yang terdiri dari
(1) usia; (2) jenis kelamin; (3) fakultas; (4) semester; (5) organisasi yang diikuti.
Tabel 4.1
Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Data Demografis
Jumlah Persentase Total
Usia
17-20 (remaja akhir) 127 52,05% 244 (100%)
≥ 21 (dewasa awal) 117 47,95%
Jenis Kelamin
Laki-laki 75 30,74% 244 (100%)
Perempuan 169 69,26%
Fakultas
FITK 59 24,18%
244 (100%)
FDI 7 2,87%
FU 12 4,92%
FDIK 24 9,84%
FAH 18 7,38%
FSH 21 8,61%
FST 24 9,84%
FEB 21 8,61%
FPSI 29 11,89%
FISIP 22 9,02%
FKIK 7 2,87%
Semester
2 67 27,46%
244 (100%)
4 53 21,72%
6 47 19,26%
8 50 20,49%
10 24 9,84%
12 1 0,41%
14 2 0,82%
Organisasi yang Diikuti
Keagamaan 145 59,43% 244 (100%)
Non Keagamaan 99 40,57%
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa responden berjumlah 244 orang.
Responden berdasarkan usia remaja akhir (17-20 tahun) berjumlah 127 orang
(52,05%) sementara usia dewasa awal (≥21 tahun) berjumlah 117 orang (47,95%).
64
Kemudian berdasarkan jenis kelamin, responden perempuan mengungguli dengan
169 orang (69,26%) sedangkan responden laki-laki berjumlah 75 orang (30,74%).
Dari 11 fakultas yang tercatat dalam penelitian ini, FITK mendominasi
dengan 59 orang (24,98%), sedangkan responden FDI dan FKIK memiliki jumlah
responden terendah dengan masing-masing 7 orang (2,87%). Berdasarkan
semester, terlihat bahwa responden paling banyak berasal dari semester 2 dengan
67 orang (27,46%), dan responden paling sedikit berasal dari semester 12 dengan
1 orang (0,41%). Terakhir, terkait bentuk organisasi yang diikuti, sebanyak 145
orang (59,43%) responden mengikuti organisasi dengan nuansa keagamaan,
sementara 99 orang (40,57%) lainnya tidak.
4.2 Hasil Analisis Deskriptif
Pada penelitian ini, penulis melakukan uji statistika deskriptif dari sampel
yang berjumlah 244 orang. Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui nilai minimum
dan maksimum dari tiap variabel yang diteliti. Tabel 4.2 juga menunjukan nilai
mean dan standar deviasi dari masing-masing variabel. Berdasarkan tabel 4.2,
dapat dilihat bahwa nilai maksimum tertinggi ada pada variabel prasangka sosial
(83,27) dan nilai minimum terendah berada pada variabel kepemilikan, (8,42).
Tabel 4.2
Hasil Analisis Deskriptif
Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Prasangka Sosial 31,66 83,27 50.0000 9.46435
Fundamentalisme 9,15 63,14 50.0000 9.30884
Kategorisasi 22,49 69,26 50.0000 7.91959
Rasa Kepemilikan 25,05 67,76 50.0000 8.80028
Sikap Positif 15,45 68,11 50.0000 8.98969
Kepercayaan 16,81 63,28 50.0000 8.89273
Keterikatan 9,51 61,25 50.0000 9.42072
Perilaku 13,99 68,61 50.0000 9.27691
Kepemilikan 8,42 65,56 50.0000 8.67755
65
4.3 Kategorisasi Skor
Penulis membagi klasifikasi prasangka sosial, fiundamentalisme, kategorisasi,
rasa kepemilikan, sikap positif, kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan
kepemilikan menjadi dua skor, yaitu skor rendah dan skor tinggi. Kategorisasi
didapat berdasarkan rumus pada tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3
Rumus Kategorisasi
Kategorisasi Rumus
Rendah X<M
Tinggi X>M
Adapun kategorisasi skor masing-masing variabel adalah sebagai berikut :
4.3.1 Kategorisasi prasangka sosial
Kategorisasi skor prasangka sosial dijelaskan pada tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4
Kategorisasi Prasangka Sosial
Rendah Tinggi Total
Frekuensi 100 144 244
Persentase 40,98% 59,02% 100%
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa dari 244 subjek penelitian,
subjek penelitian dengan skor prasangka sosial rendah berjumlah 100 orang
(40,98%), sedangkan subjek penelitian dengan skor prasangka sosial tinggi
sebanyak 144 orang (59,02%).
4.3.2 Kategorisasi fundamentalisme
Kategorisasi skor fundamentalisme dijelaskan pada tabel 4.5 sebagai berikut:
Tabel 4.5
Kategorisasi Fundamentalisme
Rendah Tinggi Total
Frekuensi 143 101 244
Persentase 58,61% 41,39% 100%
66
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 244 subjek penelitian,
subjek penelitian dengan skor fundamentalisme rendah berjumlah 143 orang
(58,61%), sedangkan subjek penelitian dengan skor fundamentalisme tinggi
berjumlah 101 orang (41,39%).
4.3.3 Kategorisasi identitas sosial
Kategorisasi skor identitas sosial dijelaskan pada tabel 4.6 sebagai berikut:
Tabel 4.6
Kategorisasi Identitas Sosial
Dimensi Rendah (Persentase) Tinggi (Persentase) Total (Persentase)
Kategorisasi 110 (45,08%) 134 (54,92%) 244 (100%)
Rasa Kepemilikan 154 (63,11%) 90 (36,89%) 244 (100%)
Sikap Positif 151 (61,89%) 93 (38,11%) 244 (100%)
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 244 subjek penelitian,
subjek penelitian dengan skor identitas sosial rendah terbanyak terdapat pada
dimensi rasa kepemilikan dengan 154 orang (63,11%). Sementara skor identitas
sosial rendah terkecil terdapat pada dimensi kategorisasi dengan 110 orang
(45,08%).
Berdasarkan tabel 4.6 juga dapat dilihat bahwa dari 244 subjek penelitian,
subjek penelitian dengan skor identitas sosial tinggi terbanyak terdapat pada
dimensi kategorisasi dengan 134 orang (54,92%). Sementara skor identitas sosial
tinggi terkecil terdapat pada dimensi rasa kepemilikan dengan 90 orang (36,89%).
4.3.4 Kategorisasi religiusitas
Kategorisasi skor religiusitas dijelaskan pada tabel 4.7 sebagai berikut:
Tabel 4.7
Kategorisasi Religiusitas
Dimensi Rendah (Persentase) Tinggi (Persentase) Total (Persentase)
Kepercayaan 114 (46,72%) 130 (53,28%) 244 (100%)
Keterikatan 103 (42,21%) 141 (57,79%) 244 (100%)
Perilaku 137 (56,15%) 107 (43,85%) 244 (100%)
Kepemilikan 166 (68,03%) 78 (31,97%) 244 (100%)
67
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa dari 244 subjek penelitian,
subjek penelitian dengan skor religiusitas rendah terbanyak terdapat pada dimensi
kepemilikan dengan 166 orang (68,03%). Sementara skor religiusitas rendah
terkecil terdapat pada dimensi keterikatan dengan 103 orang (42,21%).
Berdasarkan tabel 4.7 juga dapat dilihat bahwa dari 244 subjek penelitian,
subjek penelitian dengan skor religiusitas tinggi terbanyak terdapat pada dimensi
keterikatan dengan 141 orang (57,79%). Sementara skor religiusitas tinggi terkecil
terdapat pada dimensi kepemilikan dengan 78 orang (31,97%).
4.4 Uji Hipotesis
Pada tahapan ini penulis menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi
berganda dengan menggunakan software SPSS. Seperti yang sudah disebutkan
pada bab 3, dalam regresi ada tiga hal yang dilihat, yaitu (1) besaran R square
untuk mengetahui berapa persen (%) varians Dependent Variable yang dijelaskan
Independent Variable, (2) apakah secara keseluruhan Independent Variable
berpengaruh signifikan terhadap Dependent Variable dan (3) signifikan atau
tidaknya koefisien regresi dari masing-masing Independent Variable. Langkah
pertama penulis melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%)
varians Dependent Variable yang dijelaskan oleh Independent Variable.
Selanjutnya untuk tabel R square dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut :
Tabel 4.8
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,393a ,154 ,126 8,85011
a. Predictors: (Constant), Kepemilikan, Fundamentalisme, Kategorisasi, Keterikatan, Perilaku,
Sikap_Positif, Rasa_Kepemilikan, Kepercayaan.
b. Dependent Variable: Prasangka
68
Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa perolehan R square sebesar
0.154 atau 15.4%. Artinya proporsi varians dari prasangka sosial yang dijelaskan
oleh fundamentalisme, identitas sosial (kategorisasi, rasa kepemilikan, dan sikap
positif), dan religiusitas (kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan kepemilikan)
dalam penelitian ini adalah sebesar 15,4% sedangkan 84,6% sisanya dipengaruhi
oleh variabel lain di luar penelitian. Langkah selanjutnya penulis menganalisis
dampak dari seluruh Independent Variable terhadap Dependent Variable. Adapun
hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut:
Tabel 4.9
ANOVAa
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Regression 3360.204 8 420.026 5.363 .000b
Residual 18406.250 235 78.324
Total 21766.454 243
a. Dependent Variable: Prasangka
b. Predictors: (Constant), Kepemilikan, Fundamentalisme, Kategorisasi, Keterikatan, Perilaku,
Sikap_Positif, Rasa_Kepemilikan, Kepercayaan
Dilihat dari kolom pertama dari kanan (.Sig) pada tabel 4.9 dapat diketahui
bahwa nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nihil yang
menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh Independent Variable
terhadap Dependent Variable ditolak. Artinya ada pengaruh yang signifikan
antara fundamentalisme, identitas sosial (kategorisasi, rasa kepemilikan, dan sikap
positif), dan religiusitas (kepercayaan, keterikatan, perilaku, dan kepemilikan)
terhadap prasangka sosial.
69
Tabel 4.10
Koefisien
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficient Sig.
B Beta
(Constant) 44.841 .000
Fundamentalisme .208 .205 .003
Kategorisasi .166 .139 .104
Rasa_Kepemilikan .008 .007 .947
Sikap_Positif -.400 -.380 .000
Kepercayaan -.136 -.128 .310
Keterikatan -.105 -.105 .382
Perilaku .277 .272 .002
Kepemilikan .085 .078 .332
a. Dependent Variable: Prasangka
Berdasarkan pada tabel 4.10 dapat disimpulkan persamaan regresinya
sebagai berikut: Prasangka sosial = 44.841 + 0,208 fundamentalisme* + 0,166
kategorisasi + 0,008 rasa kepemilikan + (-0,400) sikap positif* + (-0,136)
kepercayaan + (-0,105) keterikatan + 0,277 perilaku* + 0,085 kepemilikan .
Keterangan :
Tanda (*) = Variabel Signifikan
Begitu juga dengan hasil uji hipotesis minor dapat dilihat berdasarkan
tabel 4.10, rinciannya sebagai berikut :
1. Variabel fundamentalisme memiliki nilai signifikansi sebesar 0,003 (<0.05)
dengan arah koefisien yang positif dan nilai Beta 0,208. Karena nilai sig<0.05
maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) ditolak, sehingga dapat
dikatakan bahwa fundamentalisme secara positif memiliki pengaruh signifikan
terhadap prasangka sosial. Artinya, semakin tinggi fundamentalisme, semakin
tinggi pula prasangka sosial terhadap Nonmuslim.
2. Variabel kategorisasi memiliki nilai signifikansi sebesar 0,104 (>0.05) dengan
arah koefisien yang positif dan nilai Beta 0,166. Karena nilai sig>0.05 maka
70
dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) diterima, sehingga dapat
dikatakan bahwa kategorisasi secara positif tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap prasangka sosial.
3. Variabel rasa kepemilikan memiliki signifikansi sebesar 0,947 (>0.05) dengan
arah koefisien yang positif dan nilai Beta 0,008. Karena nilai sig>0.05 maka
dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) diterima, sehingga dapat
dikatakan bahwa rasa kepemilikan secara positif tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap prasangka sosial.
4. Variabel sikap positif memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (<0.05) dengan
arah koefisien yang negatif dan nilai Beta -0,400. Karena nilai sig<0.05 maka
dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) ditolak, sehingga dapat
dikatakan bahwa sikap positif secara negatif memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap prasangka sosial. Artinya,semakin tinggi sikap positif,
semakin rendah prasangka sosial terhadap Nonmuslim.
5. Variabel kepercayaan memiliki signifikansi sebesar 0,310 (>0.05) dengan arah
koefisien yang negatif dan nilai Beta -0,136. Karena nilai sig>0.05 maka dapat
disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) diterima, sehingga dapat dikatakan
bahwa kepercayaan secara negatif tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap prasangka sosial.
6. Variabel keterikatan memiliki signifikansi sebesar 0,382 (>0.05) dengan arah
koefisien yang negatif dan nilai Beta -0,105. Karena nilai sig>0.05 maka dapat
disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) diterima, sehingga dapat dikatakan
71
bahwa keterikatan secara negatif tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap prasangka sosial.
7. Variabel perilaku memiliki nilai signifikansi sebesar 0,002 (<0.05) dengan
arah koefisien yang positif dan nilai Beta 0,277. Karena nilai sig<0.05 maka
dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) ditolak, sehingga dapat
dikatakan bahwa perilaku secara positif memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap prasangka sosial. Artinya semakin tinggi perilaku keberagamaan,
semakin tinggi pula prasangka sosial terhadap Nonmuslim.
8. Variabel kepemilikan memiliki nilai signifikansi sebesar 0,332 (>0.05) dengan
arah koefisien yang positif dan nilai Beta 0,085. Karena nilai sig>0.05 maka
dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil (H0) diterima, sehingga dapat
dikatakan bahwa kepemilikan secara positif tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap prasangka sosial.
4.5 Analisis Proporsi Varians pada Masing-masing Independent Variable
Pengujian pada tahap ini bertujuan untuk melihat signifikan tidaknya penambahan
(incremented) proporsi varian dari tiap Independent Variable. Independent
Variable dianalisis satu per satu. Pada tabel 4.11 dipaparkan besarnya proporsi
varians pada prasangka sosial, juga seberapa banyak sumbangan pengaruh setiap
Independent Variable terhadap Dependent Variable.
72
Tabel 4.11
Proporsi Varians Sumbangan Masing-masing Independent Variable
No. Independent Variabel R2
R2Change Sig
1 Fundamentalisme .027 .027 .009
2 Kategorisasi .029 .002 .522
3 Rasa_Kepemilikan .057 .028 .008
4 Sikap_Positif .104 .047 .000
5 Kepercayaan .105 .001 .625
6 Keterikatan .105 .000 .863
7 Perilaku .151 .046 .000
8 Kepemilikan .154 .003 .332
Total 15.4%
Berdasarkan tabel 4.11 didapatkan informasi sebagai berikut :
1. Variabel fundamentalisme memiliki nilai R2 change sebesar 0,027 atau
memberikan kontribusi sebesar 2,7% terhadap prasangka sosial. Kontribusi
tersebut signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,009 (sig<0,05).
2. Variabel kategorisasi memiliki nilai R2 change sebesar 0,002 atau memberikan
kontribusi sebesar 0,2% terhadap prasangka sosial. Kontribusi tersebut tidak
signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,522 (sig>0,05).
3. Variabel rasa kepemilikan memiliki nilai R2
change sebesar 0,028 atau
memberikan kontribusi sebesar 2,8% terhadap prasangka sosial. Kontribusi
tersebut signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,008 (sig<0,05).
4. Variabel sikap positif memiliki nilai R2 change sebesar 0,047 atau
memberikan kontribusi sebesar 4,7% terhadap prasangka sosial. Kontribusi
tersebut signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,000 (sig<0,05).
5. Variabel kepercayaan memiliki nilai R2 change sebesar 0,001 atau
memberikan kontribusi sebesar 0,1% terhadap prasangka sosial. Kontribusi
tersebut tidak signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,625
(sig>0,05).
73
6. Variabel keterikatan memiliki nilai R2 change sebesar 0,000 atau memberikan
kontribusi sebesar 0% terhadap prasangka sosial. Kontribusi tersebut tidak
signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,863 (sig>0,05).
7. Variabel perilaku memiliki nilai R2 change sebesar 0,046 atau memberikan
kontribusi sebesar 4,6% terhadap prasangka sosial. Kontribusi tersebut
signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,000 (sig<0,05).
8. Variabel kepemilikan memiliki nilai R2 change sebesar 0,003 atau
memberikan kontribusi sebesar 0,3% terhadap prasangka sosial. Kontribusi
tersebut tidak signifikan secara statistik dengan Sig. F Change = 0,332
(sig>0,05).
74
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan uji multiple
regression, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari
fundamentalisme, identitas sosial, dan religiusitas terhadap prasangka sosial
sebesar 15,4%. Dengan demikian hipotesis nihil (H0) ditolak. Artinya, terdapat
pengaruh fundamentalisme, identitas sosial, dan religiusitas terhadap prasangka
sosial pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dilihat melalui koefisien regresi, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
tiga dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap prasangka sosial yaitu
fundamentalisme, sikap positif pada variabel identitas sosial, dan perilaku pada
variabel religiusitas. Sedangkan dimensi kategorisasi dan dimensi rasa
kepemilikan pada variabel identitas sosial serta dimensi kepercayaan, dimensi
keterikatan, dan dimensi kepemilikan pada variabel religiusitas tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap prasangka sosial.
5.2 Diskusi
Hasil penelitian menjelaskan bahwa 59% mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dalam penelitian ini memiliki prasangka sosial terhadap Nonmuslim. Ini
merupakan angka yang cukup tinggi. Namun demikian 41% sisanya tentu masih
memberi harapan bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mampu menghalau
kecenderungan munculnya sikap prasangka sosial. Selanjutnya, berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa dari delapan variabel yang diteliti ada tiga variabel
75
yang mempengaruhi prasangka sosial secara signifikan, yaitu fundamentalisme,
sikap positif, dan perilaku.
Variabel pertama yang memberikan pengaruh signifikan adalah
fundamentalisme. Dari arah hubungan yang positif, dapat diartikan bahwa
semakin tinggi tingkat fundamentalisme seorang individu maka semakin tinggi
pula tingkat prasangka sosial yang dimiliki. Namun demikian, hanya 41,39%
responden yang memiliki skor fundamentalisme tinggi, 58,61% lainnya termasuk
kategori rendah.
Temuan ini sejalan dengan penelitian prasangka terhadap Kristen yang
dilakukan pada sampel Muslim dengan rentang usia 14 sampai dengan 32 tahun
oleh Putra dan Wongkaren (2010) bahwa fundamentalisme merupakan salah satu
prediktor atau faktor penyebab munculnya prasangka. Selain itu, Altemeyer
(2003) juga menemukan bahwa fundamentalisme berkorelasi dengan prasangka.
Dalam penelitian lain dengan sampel Kristen pun berlaku demikian.
Penelitian Raiya, Pargament, Mahoney, dan Trevino (2008) menemukan bahwa
salah satu penyebab munculnya persepsi Muslim merupakan penoda agama
Kristen hingga timbul prasangka, salah satunya adalah fundamentalisme. Sejalan,
Rowatt, Franklin, dan Cotton (2005) yang meneliti sikap implisit dan eksplisit
pada Muslim dan Kristen dengan sampel yang didominasi Kristen di Amerika
Serikat juga menemukan adanya hubungan yang positif antara fundamentalisme
dengan prasangka. Rowatt, et al (2005) melaporkan bahwa ketika
fundamentalisme meningkat, sikap terhadap Muslim pada umat Kristen menjadi
lebih negatif.
76
Demikian juga halnya ketika dilakukan penelitian lintas budaya dalam
konteks prasangka terhadap homoseksual dan wanita. Penelitian Hunsberger,
Owusu, dan Duck (1999) mencoba meneliti efek fundamentalisme terhadap
prasangka secara lintas budaya melalui sampel Ghana dan Kanada. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa fundamentalisme behubungan dengan sikap
negatif atau prasangka terhadap homoseksual dan wanita.
Salah satu sebab berpengaruhnya fundamentalisme terhadap prasagka
menurut Altemeyer (2003) adalah penekanan aspek identitas religius sejak masa
kanak-kanak, sehingga penggolongan “kita” dan “mereka” menjadi lebih kuat
ketika beranjak dewasa. Dalam kasus prasangka rasial pun berlaku demikian, akan
lebih kuat jika identitas rasial sudah ditekankan sejak masa kanak-kanak.
Lebih lanjut, Brandt dan Reyna (2010) menjelaskan bahwa
fundamentalisme dapat berpengaruh terhadap prasangka karena prasangka dapat
melindungi sistem kepercayaan fundamentalis melalui rasa kepastian (sense of
certainty) yang dihasilkan dari sudut pandang fundamentalis. Selain itu,
fundamentalisme agama juga berfokus pada pikiran tertutup (closed-mindedness),
dimana individu merasakan kepastian bahwa keyakinan agamanya benar, dan
bahwa individu memiliki jalan menuju kebenaran mutlak (Altemeyer &
Hunsberger, 1992).
Variabel kedua yang memberikan pengaruh signifikan adalah sikap positif.
Dari arah hubungan yang negatif, dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat
sikap positif seorang individu maka semakin rendah tingkat prasangka sosial yang
77
dimiliki, begitupun sebaliknya. Ada 61,89% responden yang memiliki skor sikap
positif rendah, 38,11% lainnya termasuk kategori tinggi.
Mengenai temuan kedua ini, Tajfel dan Turner (1979) menerangkan
bahwa melalui suatu identitas seseorang dapat memahami dan membangun nilai
positif. Identitas adalah sesuatu yang sifatnya di luar personalitas atau sangat
bersifat sosial. Di dalam identitas sosial, individu-individu yang mencirikan
dirinya sebagai satu identitas kelompok akan membentuk solidaritas sebagai
perwujudan ikatan kebersamaan. Efek dari pembentukan identitas ini adalah
pengagungan yang berlebih terhadap ingroup dan menghina atau merendahkan
individu yang berasal dari outgroup. Namun penjelasan Tajfel dan Turner (1979)
tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian ini karena sikap positif terhadap
identitas sosial dalam penelitian ini memiliki arah hubungan negatif dengan sikap
prasangka.
Allport (dalam Brewer, 1999) menyatakan bahwa ingroup merupakan hal
yang utama secara psikologis. dalam arti bahwa keakraban, keterikatan, dan
preferensi kepada ingroup seorang individu sudah ada lebih dulu sebelum muncul
pengembangan sikap terhadap outgroup. Lebih jauh, Allport (dalam Brewer,
1999) menyadari bahwa preferensial positif terhadap ingroup tidak selalu berarti
negativitas atau permusuhan terhadap kelompok luar. Brewer (1979) juga
menegaskan bahwa peningkatan bias dalam kelompok lebih terkait dengan
meningkatnya ingroup favoritism dibanding meningkatnya permusuhan terhadap
outgroup.
78
Dalam sebuah studi tentang sikap timbal balik di antara 30 kelompok etnis
di Afrika Timur, Brewer dan Campbell (dalam Brewer, 1999) menemukan bahwa
hampir semua kelompok menunjukkan evaluasi positif diferensial sistematis dari
ingroup terhadap semua outgroup pada dimensi seperti kepercayaan, kepatuhan,
keramahan, dan kejujuran. Namun, korelasi antara tingkat positif ingroup dan
jarak sosial terhadap outgroup pada dasarnya adalah 0,00 pada 30 kelompok
tersebut (Brewer & Campbell dalam Brewer, 1999). Ini menjelaskan bahwa
tingkat penilaian positif terhadap outgroup, yang berarti menjauhi prasangka,
sejalan dengan sikap positif terhadap ingroup.
Lebih lanjut, Brewer (1979) menjelaskan bahwa ingroup love bukanlah
pelopor outgroup hate. Faktor kelekatan dan kesetiaan pada ingroup, yang pada
akhirnya dapat memunculkan antagonisme dan ketidakpercayaan terhadap
outgroup. Kebutuhan untuk membenarkan nilai (value) ingroup dalam bentuk
superioritas moral kepada orang lain; kepekaan terhadap ancaman; antisipasi
saling ketergantungan dalam kondisi ketidakpercayaan; proses perbandingan
sosial; dan politik kekuasaan adalah faktor yang dapat mengantarkan identifikasi
dan kesetiaan pada ingroup kepada sikap meremehkan dan membuat permusuhan
terbuka terhadap outgroup. Dalam konteks penelitian ini, ketika mahasiswa
memiliki sikap positif yang lebih tinggi terhadap organisasi yang diikutinya, ia
cenderung akan memiliki prasangka sosial terhadap Nonmuslim yang lebih
rendah.
Variabel ketiga yang memberikan pengaruh signifikan adalah perilaku
religiusitas. Dilihat dari arah hubungan yang positif, berarti semakin tinggi tingkat
79
perilaku religiusitas seseorang maka semakin tinggi pula tingkat prasangka sosial
yang dimiliki. Ada 56,15% responden yang memiliki skor perilaku religiusitas
rendah, dan 43,85% lainnya termasuk kategori tinggi.
Dalam sebuah kajian ekstensif (kebanyakan orang Amerika) asosiasi
antara prasangka dan indikator dari perilaku religiusitas, seperti frekuensi
kehadiran di gereja, yang dilakukan antara tahun 1940 dan 1990, Batson et al
(dalam Strabac & Listhaug, 2008) dapat disimpulkan bahwa semakin religius
seseorang, semakin berprasangka ia. Allport dan Ross (1967) juga menjelaskan
bahwa terkait hubungan antara sikap prasangka dan praktik keagamaan pribadi,
atau perilaku keberagamaan dalam konteks penelitian ini, ditemukan fakta dari
penelitian sebelumnya bahwa rata-rata individu yang sering datang ke gereja lebih
berprasangka dibanding individu yang tidak.
Seperti banyak sistem kepercayaan, beberapa ajaran agama mengandung,
atau dianggap mengandung, pembenaran untuk sikap negatif tertentu. Misalnya,
agama kadang berpendapat bahwa hasil penelitian sikap negatif terhadap gay dan
lesbian di antara individu yang religius dianggap tidak mencerminkan prasangka,
melainkan posisi moral yang mencela seksualitas jenis kelamin yang sama
(Fulton, Gorsuch, & Maynard, 1999). Memang, sekali ditandai sebagai ancaman
terhadap posisi moral berbasis agama, suatu kelompok dapat mengalami
permusuhan yang ekstrem dan perlakuan tidak manusiawi –perlakuan yang akan
dianggap tidak bermoral dalam kebanyakan sistem makna lainnya. Fenomena ini
telah diamati sepanjang sejarah ketika posisi moral yang berakar pada agama
80
digunakan untuk membenarkan tindakan terorisme, perang, dan genosida
(Hunsberger & Jackson, 2005).
Dalam penelitian ini dimensi dari variabel identitas sosial yang tidak
terbukti mempunyai pengaruh signifikan terhadap prasangka sosial adalah
kategorisasi dan rasa kepemilikan. Pada beberapa kasus, penghargaan terhadap
ikatan sosial dan identifikasi sosial dapat mendukung berkurangnya prasangka. Di
sisi lain, karena pentingnya identitas sosial dan komunitas moral, identifikasi
agama terkadang juga terkait dengan prasangka outgroup. Dalam ancaman
identitas keagamaan, tantangan yang dirasakan pada agama atau komunitas
religius dapat dialami sebagai ancaman terhadap nilai dan worldview keluarga,
kelompok masyarakat, dan kelompok individu (Ysseldyk, Matheson, & Anisman,
2011). Misalnya, keragaman sosial dan agama dapat dialami sebagai ancaman
simbolis jika dianggap mengubah atau mengikis nilai, tradisi, dan budaya agama,
atau melemahkan kesatuan agama. Namun dalam penelitian ini, kategorisasi dan
rasa kepemilikan dari identitas sosial mahasiswa terhadap organisasinya tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap prasangka sosial terhadap Nonmuslim. Ini
bisa jadi disebabkan karena keragaman sosial dan agama tidak dianggap sebagai
ancaman simbolis yang dapat mengubah atau mengikis nilai, tradisi, dan budaya
agama, atau melemahkan kesatuan agama
Selain dua dimensi di atas, tiga dimensi dari variabel religiusitas, yaitu
kepercayaan, keterikatan, dan kepemilikan, juga tidak memberi pengaruh
signifikan terhadap prasangka sosial. Ini sejalan dengan studi yang berfokus pada
agama-agama Asia Timur dan prasangka yang menunjukkan pola perilaku antar
81
kelompok yang berbeda, dimana religiusitas dikaitkan dengan toleransi antar
kelompok yang lebih besar (Clobert, Saroglou, Hwang, & Soong, 2014).
Religiusitas Asia Timur di antara individu di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan
ditemukan memprediksi penurunan tingkat prasangka terhadap berbagai
kelompok, dibandingkan dengan individu non-religius, termasuk prasangka etnis
yang berkurang (misalnya terhadap orang Afrika), mengurangi antigay dan
prasangka anti-Zionis, dan mengurangi prasangka terhadap anggota agama lain
(misalnya, prasangka antaragama terhadap umat Islam; (Clobert, Saroglou,
Hwang, & Soong, 2014).
Dalam Islam sendiri, kepercayaan kepada rukun iman yang lima;
keterikatan yang terbangun dengan shalat dan ibadah lainnya; serta kepemilikan
terhadap Islam sebagai agama yang sempurna dan menyempurnakan sebagai
bagian dari bentuk religiusitas tidak berhubungan dengan prasangka sosial pada
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah terhadap agama di luar Islam. Hal ini senada
dengan penelitian Village (2011) bahwa rendahnya religiusitas pada 2.756 remaja
kulit putih dari Inggris Utara (Blackburn, Kirklees, dan York) berkorelasi dengan
tingginya prasangka sosial. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi religiusitas
semakin rendah prasangka sosial. Dan sebaliknya, semakin rendah religiusitas
semakin tinggi prasangka sosial.
Berdasarkan hasil penemuan di atas, penelitian ini memiliki keterbatasan
yang mempengaruhi hasil penelitian. Pertama, pemilihan subjek penelitian.
Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sistem sampling yang digunakan, yaitu accidental sampling, dapat memengaruhi
82
kurang tepatnya sampel yang diambil sebagai subjek penelitian. Dari data
demografis diketahui bahwa mayoritas sampel (49,18%) berasal dari mahasiswa
tahun kedua (semester dua dan semester empat). Tema yang diusung dalam
penelitian ini berlandaskan pada merebaknya isu prasangka terhadap Nonmuslim
pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Di sisi lain, mahasiswa tahun kedua
cenderung kurang memantau perkembangan isu ini dibandingkan mahasiswa
tahun ketiga ke atas (semester lima ke atas). Bahkan ada subjek yang menyatakan
bahwa ia tidak tahu menahu mengenai isu pembubaran HTI yang saat penelitian
ini disusun sedang hangat dibicarakan.
Kedua, alat ukur yang digunakan. Pada alat ukur prasangka sosial, dimensi
kognitif tidak diikutsertakan. Hal ini menjadi kekurangan dalam pengukuran
prasangka sosial, karena dimensi kognitif mau tidak mau memainkan peranan
penting. Seorang individu melakukan proses merasa (afektif) dan bertindak
(konatif) terlebih dahulu atau bersamaan dengan melakukan proses pemikiran
(kognitif). Sehingga prasangka dapat diukur hanya dengan dua dimensi, afektif
dan konatif, namun alangkah lebih sempurna bila dimensi kognitif diikutsertakan.
5.3 Saran
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat berbagai keterbatasan pada penelitian ini.
maka untuk pengembangan penelitian selanjutnya penulis memberikan saran
sebagai pertimbangan dan penyempurnaan penelitian selanjutnya berupa saran
teoritis dan saran praktis.
83
5.3.1 Saran teoritis
Bagi peneliti yang tertarik dan berminat pada permasalahan yang sama disarankan
untuk:
1. Mencari variabel lain agar gambaran penelitian lebih luas, karena penelitian
ini hanya mampu menemukan 15,4% sumbangan variabel yang dapat
mempengaruhi prasangka sosial.
2. Mengembangkan dengan baik alat ukur yang digunakan.
3. Memperluas sampel penelitian dari mahasiswa yang beragama Islam kepada
mahasiswa di luar Islam atau kalangan di luar mahasiswa.
4. Melakukan penelitian di luar lingkungan kampus Islam agar sampel memiliki
latar belakang yang lebih bervariasi.
5. Melibatkan sampel yang lebih representatif.
5.3.2 Saran praktis
1. Berdasarkan penelitian ini terbukti bahwa prasangka sosial terhadap
nomuslim pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dipengaruhi
secara signifikan oleh fundamentalisme, sikap positif, dan religiusitas.
Namun demikian bukan berarti penulis menyarankan untuk tidak hidup
dengan kembali kepada kitab suci atau kembali pada perilaku keberagamaan
yang sesuai. Yang ditekankan dalam penelitian ini adalah potensi timbulnya
prasangka ketika seorang individu memiliki kecenderungan yang berkaitan
dengan faktor yang disebutkan dalam penelitian ini. Ketika seorang individu
memiliki faktor yang berpengaruh signifikan dalam penelitian ini, penulis
berharap individu tersebut agar mengembangkan sikap lain yang terbukti
84
memiliki pengaruh negatif terhadap timbulnya prasangka, seperti kematangan
beragama, pengetahuan agama tentang relasi antara Muslim dan Nonmuslim,
dan kebaikan hati (Nashori & Nurjanah, 2015).
2. Tingkat fundamentalisme yang tinggi membuat seseorang cenderung lebih
berpikiran tertutup (closed-mindedness). Meyakini bahwa agama yang dianut
adalah agama yang benar merupakan suatu keharusan. Hal ini juga harus
diiringi dengan berpikiran terbuka terhadap agama lain dengan tetap menjaga
kerukunan dan menghindari penilaian tanpa dasar yang mampu memicu
konflik antarumat beragama.
3. Dalam penelitian ini, sikap positif terhadap kelompok yang diikuti
berpengaruh negatif terhadap prasangka. Hal ini menunjukkan bahwa
berorganisasi di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mampu
membawa mahasiswa untuk memahami kemajemukan Indonesia. Maka
berorganisasi, selama tetap dalam koridor organisasi yang tidak mengandung
ajaran buruk, sebaiknya dijalankan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Perilaku keagamaan sepatutnya menjadi sarana untuk lebih mendekat pada
Sang Pencipta juga pada sesama manusia. Dalam hal ini, prasangka terhadap
kelompok tertentu dapat dkembangkan melalui proses belajar dari lingkungan
saat agenda keagamaan. Maka sebagai rahmat bagi semesta, seorang Muslim
sebaiknya tidak berfokus pada menghujat, tapi mengajak.
85
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. W., & Kramer, B. M. (1946). Some roots of prejudice. The Journal of
Psychology: Interdisciplinary and Applied , 9-39.
Allport, G. W., & Ross, J. M. (1967). Personal religious orientation and prejudice.
Journal of Personality and Social Psychology , 432-443.
Altemeyer, B. (2003). Why do religious fundamentalists tend to be prejudiced?
The International Journal for the Psychology of Religion , 17-28.
Altemeyer, B., & Hunsberger, B. (1992). Authoritarianism, religious
fundamentalism, quest, and prejudice. The International Journal for the
Psychology of Religion , 113-133.
Anggraini, D. P. (2014). Hubungan antara Identitas Sosial dengan Prasangka
terhadap Etnis Cina pada Mahasiswa Etnis Jawa Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro.
Ashmore, R. D., Deaux, K., & McLaughlin-Volpe, T. (2004). An organizing
framework for collective identity: articulation and significance of
multidimensionality. Psychological Bulletin , 80–114.
Augoustinos, M., & Reynolds, K. J. (2001). Understanding Prejudice,
Racism,and Social Conflict. London: SAGE Publications.
Azra, A. (1996). Pergolakan Politik Islam (dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Postmodernisme). Jakarta: Paramadina.
Bachri, S., Lutfi, I., & Saloom, G. (2013). Pengaruh religiusitas dan kepribadian
lima faktor terhadap prasangka sosial kepadaa Jama'ah Tabligh. Tazkiya
(Journal of Psychology) , 227-242.
Bar-Tal, D., & Teichman, Y. (2005). Stereotypes and Prejudice in Conflict
(Representations of Arabs in Israeli Jewish Society). New York: Cambridge
University Press .
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial. (W. C. Kristiaji, R. Medya,
Penyunt., R. Djuwita, M. M. Parman, D. Yasmina, & L. P. Lunanta, Penerj.)
Jakarta: Erlangga.
Brandt, M. J., & Reyna, C. (2010). The role of prejudice and the need for closure
in religious fundamentalism. Personality and Social Psychology Bulletin ,
715-725.
86
Brewer, M. B. (1979). In-group bias in the minimal intergroup situation: a
cognitive-motivational analysis. Psychological Bulletin , 307-324.
Brewer, M. B. (1999). The psychology of prejudice: ingroup love or outgroup
hate? Journal of Social Issues , 429–444.
Brown, R. (2010). Prejudice: Its Social Psychology . United Kingdom: Wiley-
Blackwell.
Burch-Brown, J., & Baker, W. (2016). Religion and reducing prejudice. Group
Processes & Intergroup Relations , 784-807.
Cameron, J. E. (2004). A three-factor model of social identity. Self and Identity ,
239–262.
Clobert, M., Saroglou, V., Hwang, K.-K., & Soong, W.-L. (2014). East Asian
religious tolerance—a myth or a reality? empirical investigations of
religious prejudice in East Asian societies. Journal of Cross-Cultural
Psychology , 1515-1533.
Coreno, T. (2002). Fundamentalism as a class culture. Sociology of Religion, 335-
360.
Darmansyah. (2016, November 12). Anton Medan Sebut Kasus Ahok Jadi Ramai
Karena Didasari Prasangka dan Kebencian. Dipetik April 10, 2017, dari
RMOL Jakarta: http://www.rmoljakarta.com/read/2016/11/12/36237/Anton-
Medan-Sebut-Kasus-Ahok-Jadi-Ramai-Karena-Didasari-Prasangka-dan-
Kebencian
Feitosa, J., Salas, E., & Salazar, M. R. (2012). Social identity: clarifying its
dimensions accross cultures. Psychological Topics , 527-548.
Fetzer, I. (2003). National Institute on Aging Working Group: Multidimensional
Measurement of Religiousness, Spirituality for Use in Health Research. A
Report of a National Working Group. Kalamazoo, MI: Fetzer Institute.
Fulton, A. S., Gorsuch, R. L., & Maynard, E. A. (1999). Religious orientation,
antihomosexual sentiment, and fundamentalism among Christians. Journal
for the Scientific Study of Religion , 14-22.
Gazi. (2013). Psikologi Sosial Mayoritas-Minoritas: Menguji Pengaruh Identitas
Sosial, Orientasi Dominasi Sosial, Persepsi Keterancaman terhadap
Dukungan atas Kekerasan. Ciputat: Pusat Penelitian dan Penerbitan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
87
Hall, D. L., Matz, D. C., & Wood, W. (2010). Why don’t we practice what we
preach? a meta-analytic review of religious racism. Personality and Social
Psychology Review , 126–139.
Hogg, M., & Abrams, D. (2006). Social Identifications (a Social Psychology of
Intergroup Relations and Group Processes). London: Taylor & Francis e-
Library.
Hood, R. W., Hill, P. C., & Wiliamson, W. P. (2005). The Psychology of
Religious Fundamentalism. New York: The Guilford Press.
Hunsberger, B., & Jackson, L. M. (2005). Religion, meaning, and prejudice.
Journal of Social Issues , 807-826.
Hunsberger, B., Owusu, V., & Duck, R. (1999). Religon and prejudice in ghana
and canada: religious fundamentalism, right-wing authoritarianism, and
attitudes toward homosexuals and women. The International Journal for the
Psychology of Religion , 181-194.
Idrus, M. (2016). Fundamentalisme sebagai ideologi transisi. Jurnal Ilmu-ilmu
Sosial , 1-13.
Jackson, J. W., & Smith, E. R. (1999). Conceptualizing Social Identity: A New
Framework and Evidence for the Impact of Different Dimensions.
Personality and Social Psychology Bulletin , 120-135.
Jarvis, M. (2005). Theoretical Approaches in Psychology. London: Taylor &
Francis e-Library.
Judd, C. M., Ryan, C. S., & Park, B. (1991). Accuracy in the judgment of in-
group and out-group variability. journal of personality and social
psychology , 366-379.
Juditha, C. (2015). Stereotip dan prasangka dalam konflik etnis Tionghoa dan
Bugis Makassar. Jurnal Ilmu Komunikasi, 87-104.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2017, Juli 8). KBBI. Diambil kembali dari
kbbi.web.id: http://kbbi.web.id/prasangka dan
http://kbbi.web.id/fundamentalisme.
Kelly, C. (1988). Intergroup differentiation in a political context. British Journal
of Social Psychology , 319-332.
Kendler, K. S., Liu, X.-Q., Gardner, C. O., McCullough, M. E., Larson, D., &
Prescott, C. A. (2003). Dimensions of religiosity and their relationship to
lifetime psychiatric and substance use disorders. Am J Psychiatry , 496–503.
Khoir, T. (2014). Tujuh karakter fundamentalisme islam. Al-Tahrir , 47-71.
88
Koopmans, R. (2015). Religious fundamentalism and hostility against out-groups:
a comparison of muslims and christians in western europe. Journal of
Ethnic and Migration Studies , 33–57.
Kusumawardani, A., & Faturochman. (2004). Nasionalisme. Buletin Psikologi,
61-72.
Kusumowardhani, R. P., Fathurrohman, O., & Ahmad, A. (2013). identitas sosial,
fundamentalisme, dan prasangka terhadap pemeluk agama yang berbeda:
perspektif psikologis. Harmoni , 18-29.
Lewis, B. (1993). Islam and the West. New York: Oxford University Press.
Myers, D. G. (2011). Exploring Social Psychology. New York: McGraw-Hill.
Nashori, F. (2016). Prasangka Sosial Mahasiswa Islam terhadap Umat Kristiani
Ditinjau dari Kematangan Beragama, Pengetahuan Agama Islam tentang
Relasi Muslim dan Nonmuslim, dan Sifat Kebaikan Hati. Tesis. Yogyakarta:
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Nashori, F., & Nurjannah. (2015). Prasangka sosial terhadap umat kristiani pada
muslim minoritas yang tinggal di indonesia. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan , 383-400.
Nawawi, I. (2012). Riyadhus Shalihin. Jakarta: Penerbit Jabal.
Newcomb, T. M., Turner, R. H., & Converse, P. E. (1978). Psikologi Sosial. (J.
Noesjirwan, S. M, & F. Z. Abdullah, Penerj.) Bandung: CV Diponegoro.
Ngadhimah, M. (2010). Potret keberagamaan Islam Indonesia (studi pemetaan
pemikiran dan gerakan Islam). Inovatio , 1-13.
Putra, I. E., & Pitaloka, A. (2012). Psikologi Prasangka (Sebab, Dampak, dan
Solusi). Bogor: Ghalia Indonesia.
Putra, I. E., & Wongkaren, Z. A. (2010). Konstruksi skala fundamentalisme Islam
di Indonesia. Psikobuana , 151-161.
Rahman, F. (2002, November 8). Mengelola prasangka sosial dan stereotip etnik-
keagamaan melalui psychological and global education. Dipetik Oktober
3, 2017, dari uny.ac.id: sumber:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132300169/penelitian/MEREDAM+PRA
SANGKA+SOSIAL+DAN+STEREOTIPE+ETNIK.pdf
Raiya, H. A., Pargament, K. I., Mahoney, A., & Trevino, K. (2008). When
muslims are perceived as a religious examining the connection between
desecration, religious coping, and anti-muslim attitudes. Basic and Applied
Social Psychology , 311–325.
89
Rosenblith, J. F. (1949). A replication of "some roots of prejudice". Radcliffe
College , 470-489.
Rowatt, W. C., Franklin, L. M., & Cotton, M. (2005). Patterns and personality
correlates of implicit and explicit attitudes toward christians and muslims.
Journal for the Scientific Study of Religion , 29–43.
Sari, N. (2017, Juni 9). Akhir Perjalanan Kasus Ahok... Dipetik Juli 5, 2017, dari
kompas.com:
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/06/09/07100031/akhir.perjalanan
.kasus.ahok.
Sarifah, R. (2016). Identitas sosial dengan prasangka pada prajurit TNI AD
terhadap anggota Kepolisian. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan , 75-88.
Saroglou, V. (2011). Believing, bonding, behaving, and belonging : the big four
religious dimensions and cultural variation. Journal of Cross-Cultural
Psychology , 1320-1340.
Saroglou, V. (2014). Introduction: studying religion in personality and social
psychology. Dalam V. Saroglou, Religion, personality, and social behavior.
New York: Psychology Press.
Smith, T. B., Stones, C. R., Peck, C. E., & Naidoo, A. V. (2007). The association
of racial attitudes and spiritual beliefs in post-apartheid South Africa.
Mental Health, Religion & Culture, 263–274.
Soelaeman, M. (1995). Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Eresco.
Sohuturon, M. (2016, Desember 10). Kasus Ahok Disebut Berikan Pembelajaran
Burrruk bagi Demokrasi. Dipetik April 10, 2017, dari CNN Indonesia:
http://www.cnnindonesia.com/nainal/20161210131912-20-178701/kasus-
ahok-disebut-berikan-pembelajaran-buruk-bagi-demokrasi
Stark, R., & Glock, C. Y. (1974). American Piety: The Nature of Religious
Commitment. California: University of California Press.
Strabac, Z., & Listhaug, O. (2008). Anti-Muslim prejudice in Europe: a multilevel
analysis of survey data from 30 countries. Social Science Research , 268–
286.
Stets, J. E., & Burke, P. J. (2000). Identity theory and social identity theory.
Social Psychology Quarterly , 224-237.
Syarifin, A. N. (2015). Hubungan Antara Identitas Sosial dan Atribusi dengan
Prasangka terhadap Kelompok LDII pada Masyarakat Perumahan Genuk
Indah Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Islam
Sultan Agung.
90
Tajfel, H., & Turner, J. (1979). An Integrative Theory of Intergroup Conflict.
Taylor, M., & Horgan, J. (2001). The psychological and behavioural bases of
Islamic fundamentalism. Terrorism and Political Violence , 37–71.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Teresia, A. (2016, Februari 5). Usir Jemaah Ahmadiyah, Bupati Bangka Dikecam
PBNU. Dipetik Oktober 3, 2017, dari Tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/742557/usir-jemaah-ahmadiyah-bupati-
bangka-dikecam-pbnu
Tukiran. (2014). Pendidikan multikultural dan nasionalisme Indonesia. Sosio
Didaktika, 29-36.
Village, A. (2011). Outgroup prejudice, personality, and religiosity: disentangling
a complex web of relationships among adolescents in the UK. Psychology of
Religion and Spirituality , 269–284.
Wibisono, S. (2016). Aplikasi model rasch untuk validasi instrumen pengukuran
fundamentalisme agama bagi responden Muslim. JP3I (Jurnal Pengukuran
Psikologi dan Pendidikan Indonesia) , 1-29.
Wylie, L., & Forest, J. (1992). Religious fundamentalism, right wing
authoritarianism and prejudice. Psychological Reports , 1291-1298.
Ysseldyk, R., Matheson, K., & Anisman, H. (2011). Coping with identity threat:
the role of religious orientation and Implications for emotions and action
intentions. Psychology of Religion and Spirituality , 132-148.
Zick, A., Küpper, B., & Hövermann, A. (2011). Intolerance, Prejudice and
Discrimination (a European Report). Berlin: Friedrich-Ebert-Stiftung.
Zinnbauer, B. J., & Pargament, K. I. (2005). Religousness and Spirituality. Dalam
R. F. Paloutzian, & C. L. Park, Handbook of the Psychology of Religion and
Spirituality. New York: The Guilford Press.
91
LAMPIRAN
LAMPIRAN SKALA
Kepada Yth. responden penelitian
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
sedang mengadakan penelitian untuk memenuhi tugas akhir. Saya mengharapkan
kesediaan saudara untuk menjadi responden dalam penelitian ini dengan mengisi
kuesioner sesuai dengan keadaan saudara. Dalam kuesioner ini tidak ada jawaban
benar atau salah. Adapun informasi dan data saudara akan sangat bermanfaat bagi
penelitian saya dan akan dijamin kerahasiaannya serta hanya digunakan untuk
kepentingan pengumpulan data.
Atas perhatian dan bantuan saudara, saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Hormat saya,
Trisiawani Agustin
IDENTITAS
Nama/Inisial :
Usia :
Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
Fakultas/Jurusan :
Semester :
92
PETUNJUK PENGISIAN SKALA
1. Baca dan pahami setiap pernyataan yang ada dengan teliti.
2. Beri tanda centang (√) pada kolom di sebelah kanan saudara pada setiap
pernyataan yang paling sesuai dengan keadaan saudara.
3. Dalam hal ini tidak ada jawaban benar atau salah. Semua jawaban adalah
baik. Adapun pilihan jawaban tersebut adalah:
STS = Sangat Tidak Setuju, jika saudara sangat tidak setuju dengan
kalimat pernyataan.
TS = Tidak Setuju, jika saudara tidak setuju dengan kalimat pernyataan.
S = Setuju, jika saudara setuju dengan kalimat pernyataan.
SS = Sangat Setuju, jika saudara sangat setuju dengan kalimat
pernyataan.
Contoh:
Jika jawaban saudara setuju:
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Saya menyukai olahraga √
SKALA 1
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Bila ada konflik antara orang Islam dan orang non-
Islam, maka pasti yang bersalah adalah orang non-
Islam
2. Saya malas bergaul dengan orang non-Islam
3. Saya merasa tidak nyaman bertetangga dengan
orang non-Islam
4. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati bila saya
harus satu tim kerja dengan orang non-Islam
5. Saya merasa senang kalau ada orang non-Islam
dinyatakan bersalah oleh pengadilan
6. Kalau ada orang non-Islam membutuhkan
pertolongan, maka saya akan menolongnya paling
belakangan setelah menolong yang lain
7. Apabila ada konflik antara non-Islam dan Atheis,
pasti saya akan membela yang Atheis
8. Saya senang bisa bekerjasama dengan agama lain
dalam suatu proyek kemanusiaan
9. Saya masih merasa sakit hati atas pengalaman
buruk bergaul dengan orang non-Islam
93
10. Apapun makanan yang dikirim teman yang non-
Islam, maka saya tidak akan memakannya
11. Saya tidak senang orang non-Islam diperlakukan
semena-mena
12. Saya akan memaafkan kesalahan orang non-Islam
yang menyakiti keluarga saya
SKALA 2
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Orang Islam harus kembali kepada akar agama Islam
2. Aturan dalam Al-Qur’an lebih penting bagi saya
dibanding hukum Indonesia
3. Kembali kepada akar agama Islam bukan solusi
untuk mencapai kesejahteraan umat
4. Dengan kembali pada akar agama Islam,
kesejahteraan akan tercipta
5. Salah satu hal yang penting sebagai orang Islam
adalah kembali kepada akar agama Islam itu sendiri
6. Setiap orang Islam wajib berpegang hanya pada satu
penafsiran Al-Qur’an
SKALA 3
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup berorganisasi. Mohon sebutkan dan
jelaskan secara singkat organisasi yangsaudara ikuti: (boleh lebih dari satu)
a……………………….. :_______________________ ___________________
b. ……………………… :____________________________________ ______
c. ……………………… :____________________________ ______________
Pada skala 1 sampai 4, seberapa besar kedekatan saudara dengan organisasi
tersebut? Beri tanda ceklis (1 = sangat tidak dekat, 4 = sangat dekat)
1 2 3 4
Organisasi 1
Organisasi 2
Organisasi 3
94
Di bawah ini saudara diminta untuk mengisi skala dimana kata “kelompok”
mengacu pada “organisasi yang saudara sebutkan sebelumnya”
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Saya memandang diri saya sebagai bagian dari
kelompok ini
2. Saya merasa terlibat dengan apa yang terjadi dalam
kelompok saya
3. Saya merasa senang menjadi anggota dari kelompok
ini
4. Seringkali saya merasa tidak menjadi bagian dari
kelompok ini
5. Saya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada
kelompok saya
6. Saya pikir kelompok saya hanya memiliki sedikit hal
yang bisa dibanggakan
7. Kelompok ini adalah cerminan siapa diri saya
8. Ada banyak orang dalam kelompok ini yang saya
suka secara individu
9. Bagi saya, kesuksesan kelompok bukan berarti
kesuksesan pribadi
10. Saya merasa tidak nyaman dengan keanggotaan saya
dalam kelompok ini
11. Saya cenderung melihat orang dari kelompok lain
sebagai pihak yang berbeda dengan kelompok saya
12. Saya merasakan kedekatan yang intens dengan
kelompok saya
13. Ada banyak orang dalam kelompok ini yang saya
kagumi kepribadiannya
14. Keterlibatan saya dalam kelompok ini dapat
dikatakan tidak ada
15. Kesuksesan kelompok adalah kesuksesan saya
16. Saya merasa nyaman menjadi bagian dari kelompok
ini
95
SKALA 4
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Peristiwa-peristiwa dalam hidup saya terungkap
menurut rencana Ilahi
2. Saya merasakan kehadiran Allah
3. Saya merasakan tanggung jawab yang dalam untuk
mengurangi rasa sakit dan penderitaan di dunia
4. Ketika jatuh sakit, saudara seagama saya datang
menjenguk
5. Saya percaya Allah mengawasi saya
6. Saya menemukan kekuatan dan kenyamanan dalam
agama yang saya anut
7. Saya telah memaafkan diri saya atas kesalahan-
kesalahan yang telah saya lakukan
8. Jika saya memiliki masalah atau dihadapkan dengan
situasi yang sulit, saudara seagama saya membantu
saya mengatasinya
9. Saya yakin bahwa Allah memaafkan saya
10. Saya merasakan kedamaian batin yang mendalam
11. Saya telah memaafkan orang-orang yang menyakiti
saya
12. Saya berpikir tentang betapa kehidupan saya adalah
bagian dari kekuatan spiritual yang lebih besar
13. Saya ingin lebih dekat dengan Allah
14. Saya mencoba untuk memahami situasi dan
memutuskan apa yang harus dilakukan tanpa
bergantung pada Allah
15. Saya merasakan kasih sayang Allah kepada saya,
baik secara langsung maupun melalui perantara
16. Saya sering membaca Al-Quran atau buku-buku
keagamaan
17. Saya senang mengikuti organisasi keagamaan
18. Agama membantu saya memahami stress dalam
hidup
19. Rohani saya tersentuh oleh keindahan ciptaan Allah
20. Saya berdoa sebelum makan
21. Agama saya saat ini saya pilih atas kesadaran
pribadi
22. Saya sering pergi ke masjid untuk beribadah (shalat,
96
kajian, atau kegiatan keagamaan lainnya)
23. Saya berusaha membawa agama ke dalam semua
urusan kehidupan
24. Saya sering bermuhasabah diri
25. Saya sering bersedekah untuk kepentingan agama
26. Saya sering mengikuti kegiatan keagamaan
27. Saya berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan,
dukungan, dan bimbingan
28. Saya merasa Allah menghukum saya karena dosa-
dosa atau kurangnya spiritualitas saya
Mohon diperiksa sekali lagi untuk memastikan semua pernyataan sudah
ditanggapi
**Terimakasih atas kerja sama dan partisipasi saudara**
Semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan berlimpah lagi balasan
terbaik
97
LAMPIRAN SYNTAX UJI VALIDITAS DATA
PRASANGKA SOSIAL
Syntax Uji Validitas Skala Prasangka
UJI VALIDITAS KONSTRUK PRASANGKA
DA NI=12 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7 ITEM8 ITEM9 ITEM10
ITEM11 ITEM12
PM SY FI=PRASANGKA.COR
MO NX=12 NK=1 LX=FR TD=SY AD=OFF
LK
PRASANGKA
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1 LX 7 1 LX 8 1 LX 9 1 LX 10 1
FR LX 11 1 LX 12 1
FR TD 3 2 TD 4 3 TD 5 4 TD 5 1 TD 6 5 TD 12 3 TD 7 2 TD 7 6 TD 11 3 TD 12
11
FR TD 8 5 TD 9 7 TD 10 6 TD 9 8 TD 8 2 TD 12 1 TD 11 10 TD 10 2 TD 9 3 TD
11 2
FR TD 10 8 TD 11 4 TD 12 4 TD 4 1 TD 12 10 TD 6 1 TD 7 1
PD
OU TV SS MI
FUNDAMENTALISME
Syntax Uji Validitas Konstruk Fundamentalisme
UJI VALIDITAS KONSTRUK FUNDAMENTALISME
DA NI=6 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6
PM SY FI=FUNDAMENTALISME.COR
MO NX=6 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
FUNDAMENTALISME
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1
FR TD 3 1 TD 6 3 TD 4 1
PD
OU TV SS MI
98
IDENTITAS SOSIAL
Syntax Uji Validitas Konstruk Kategorisasi
UJI VALIDITAS KONSTRUK KATEGORISASI
DA NI=6 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6
PM SY FI=KATEGORISASI.COR
MO NX=6 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
KATEGORISASI
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1
FR TD 6 4 TD 5 2 TD 5 1 TD 6 2
PD
OU TV SS MI
Syntax Uji Validitas Konstruk Rasa Kepemilikan
UJI VALIDITAS KONSTRUK RASA KEPEMILIKAN
DA NI=4 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
PM SY FI=RASAKEPEMILIKAN.COR
MO NX=4 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
RASA KEPEMILIKAN
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1
FR TD 3 1
PD
OU TV SS MI
Syntax Uji Validitas Konstruk Sikap Positif
UJI VALIDITAS KONSTRUK SIKAP POSITIF
DA NI=6 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6
PM SY FI=SIKAPPOSITIF.COR
MO NX=6 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
SIKAP POSITIF
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1
FR TD 4 2 TD 5 3 TD 5 2
PD
OU TV SS MI
99
RELIGIUSITAS
Syntax Uji Validitas Konstruk Kepercayaan
UJI VALIDITAS KONSTRUK KEPERCAYAAN
DA NI=7 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7
PM SY FI=KEPERCAYAAN.COR
MO NX=7 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
KEPERCAYAAN
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1 LX 7 1
FR TD 4 3 TD 4 1 TD 7 6 TD 5 2
PD
OU TV SS MI
Syntax Uji Validitas Konstruk Keterikatan
UJI VALIDITAS KONSTRUK KETERIKATAN
DA NI=10 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7 ITEM8 ITEM9 ITEM10
PM SY FI=KETERIKATAN.COR
MO NX=10 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
KETERIKATAN
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1 LX 7 1 LX 8 1 LX 9 1 LX 10 1
FR TD 8 4 TD 7 5 TD 8 2 TD 7 4 TD 8 7 TD 6 1 TD 6 4 TD 4 3 TD 7 3
FR TD 8 1 TD 10 9 TD 9 1 TD 10 2 TD 7 1
PD
OU TV SS MI
Syntax Uji Validitas Konstruk Perilaku
UJI VALIDITAS KONSTRUK PERILAKU
DA NI=8 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7 ITEM8
PM SY FI=PERILAKU.COR
MO NX=8 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
PERILAKU
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1 LX 7 1 LX 8 1
FR TD 8 7 TD 8 5 TD 5 3 TD 8 2 TD 5 1 TD 3 1
PD
OU TV SS MI
100
Syntax Uji Validitas Konstruk Kepemilikan
UJI VALIDITAS KONSTRUK KEPEMILIKAN
DA NI=3 NO=244 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3
PM SY FI=KEPEMILIKAN.COR
MO NX=3 NK=1 LX=FR
LK
KEPEMILIKAN
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1
PD
OU TV SS MI
101
LAMPIRAN PATH DIAGRAM
PRASANGKA SOSIAL
Model Fit Prasangka Sosial
102
FUNDAMENTALISME
Model Fit Fundamentalisme
IDENTITAS SOSIAL
Model Fit Kategorisasi
103
Model Fit Rasa Kepemilikan
Model Fit Sikap Positif
104
RELIGIUSITAS
Model Fit Kepercayaan
Model Fit Keterikatan
105
Model Fit Perilaku
Model Fit Kepemilikan
106
LAMPIRAN HASIL UJI HIPOTESIS
Output Spss 20 Analisis Regresi Berganda
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
PRASANGKA 50,0000 9,46435 244
FUNDAMENTALIS
ME 50,0000 9,30884 244
KATEGORISASI 50,0000 7,91959 244
RASA_KEPEMILIKA
N 50,0000 8,80028 244
SIKAP_POSITIF 50,0000 8,98969 244
KEPERCAYAAN 50,0000 8,89273 244
KETERIKATAN 50,0000 9,42072 244
PERILAKU 50,0000 9,27691 244
KEPEMILIKAN 50,0000 8,67755 244
Model Summaryb
Model R R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 ,393a ,154 ,126 8,85011 ,154 5,363 8 235 ,000
a. Predictors: (Constant), KEPEMILIKAN, FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI,
KETERIKATAN, PERILAKU, SIKAP_POSITIF, RASA_KEPEMILIKAN, KEPERCAYAAN
b. Dependent Variable: PRASANGKA
107
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 3360,204 8 420,026 5,363 ,000b
Residual 18406,250 235 78,324
Total 21766,454 243
a. Dependent Variable: PRASANGKA
b. Predictors: (Constant), KEPEMILIKAN, FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI,
KETERIKATAN, PERILAKU, SIKAP_POSITIF, RASA_KEPEMILIKAN, KEPERCAYAAN
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
95.0% Confidence
Interval for B
B Std. Error Beta Lower
Bound
Upper
Bound
1
(Constant) 44,841 4,683
9,575 ,000 35,615 54,068
FUNDAMENTALISM
E ,208 ,069 ,205 3,032 ,003 ,073 ,344
KATEGORISASI ,166 ,102 ,139 1,633 ,104 -,034 ,366
RASA_KEPEMILIKA
N ,008 ,115 ,007 ,066 ,947 -,219 ,235
SIKAP_POSITIF -,400 ,112 -,380 -3,565 ,000 -,621 -,179
KEPERCAYAAN -,136 ,134 -,128 -1,018 ,310 -,399 ,127
KETERIKATAN -,105 ,120 -,105 -,877 ,382 -,342 ,131
PERILAKU ,277 ,087 ,272 3,173 ,002 ,105 ,449
KEPEMILIKAN ,085 ,088 ,078 ,972 ,332 -,088 ,258
a. Dependent Variable: PRASANGKA
108
Model Summary
Model R R Square
Adjuste
d R
Square
Std. Error of
the Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .166a .027 .023 9.35269 .027 6.837 1 242 .009
2 .171b .029 .021 9.36407 .002 .412 1 241 .522
3 .239c .057 .045 9.24836 .028 7.068 1 240 .008
4 .323d .104 .089 9.03300 .047 12.581 1 239 .000
5 .324e .105 .086 9.04740 .001 .240 1 238 .625
6 .324f .105 .082 9.06590 .000 .030 1 237 .863
7 .389g .151 .126 8.84909 .046 12.756 1 236 .000
8 .393h .154 .126 8.85011 .003 .945 1 235 .332
a. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME
b. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI
c. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI, RASA_KEPEMILIKAN
d. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI, RASA_KEPEMILIKAN,
SIKAP_POSITIF
e. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI, RASA_KEPEMILIKAN,
SIKAP_POSITIF, KEPERCAYAAN
f. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI, RASA_KEPEMILIKAN,
SIKAP_POSITIF, KEPERCAYAAN, KETERIKATAN
g. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI, RASA_KEPEMILIKAN,
SIKAP_POSITIF, KEPERCAYAAN, KETERIKATAN, PERILAKU
h. Predictors: (Constant), FUNDAMENTALISME, KATEGORISASI, RASA_KEPEMILIKAN,
SIKAP_POSITIF, KEPERCAYAAN, KETERIKATAN, PERILAKU, KEPEMILIKAN