studi pemikiran yusuf al-qaradhawi tentang ahl dzimmah dan...
TRANSCRIPT
STUDI PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG
AHL DZIMMAH DAN RELEVANSINYA DENGAN
KEWARGANEGARAAN INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
AHMAD SATIBI
NIM. 11150450000053
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H /2019 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ahmad Satibi. NIM. 11150450000053. STUDI PEMIKIRAN YUSUF
AL-QARADHAWI TENTANG AHL DZIMMAH DAN RELEVANSINYA
DENGAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA. Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep Ahl Dzimmah, hak-hak
dan kewajiban Ahl Dzimmah menurut pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dan
Relevansi Ahl Dzimmah menurut Yusuf al-Qaradhawi dikaitakan dengan
kewarganegaraan Indonesia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Studi Kepustakaan (library
research), sehingga dalam penyelesaiannya harus dilakukan pengumpulan data
dengan menggunakan kaidah, teori, dalil dan sebagainya supaya hasil
kesimpulan penelitian sejalan dengan persoalan-persoalan yang penulis lakukan.
Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa
buku-buku, Al-Qur‟an dan Hadits, jurnal, serta website yang berhubungan dengan
tema penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Mengingat Ahl Dzimmah
dalam Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi sebagian masih meletakkan Ahl Dzimmah
pada kelas dua, maka sangat tidak relevan bila diterapkan di Indonesia, soalnnya
di Indonesia kaum non-Muslim sudah diberi posisi setara dengan kaum Muslim,
maka dari itu warga negara baik Muslim maupun non-Muslim mereka bisa
menjadi Kepala Negara, untuk menghilangkan kesan diskriminatif sebaiknya
non-Muslim di Indonesia tidak disebut Ahl Dzimmah, melainkan sebut saja Non-
Muslim untuk menggambarkan status warga negaranya yang setara dengan kaum
Muslimin yang merupakan warga mayoritas di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kata kunci: Yusuf al-Qaradhawi, Ahl Dzimmah, Indonesia.
Pembimbing : Masyrofah, S.Ag., M.Si
Daftar Pustaka : 1965 s.d 2017
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan
kesehatan, kekuatan, serta petunjuk kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “STUDI PEMIKIRAN YUSUF AL-
QARADHAWI TENTANG AHL DZIMMAH DAN RELEVANSINYA
DENGAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA”. Sebagai pelengkap syarat
guna mencapai gelar sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, serta
para pengikutnya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak sedikit
hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan
dan kesabaran, serta do‟a dan dorongan dari berbagai pihak, keluarga, para
sahabat, bapak dan ibu dosen, dan khususnya ibu dosen pembimbing,
hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi dengan baik. Karena itu, penulis
sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik berupa
pemikiran, saran, dukungan, serta do‟a. Terutama kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Buhanuddin Umar Lubis, MA, Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan segenap civitas akademik.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.H., M.A, Dekan Fakultas
Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Maskufa, MA, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari‟ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan dukungan, do‟a, serta bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si, Dosen pembimbing skripsi, yang begitu
sabar telah meluangkan waktunya ditengah kesibukannya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
banyak penulis ucapkan atas waktu dan tenaga ibu yang telah diluangkan
selama bimbingan.
vi
5. Kepada seluruh Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum, khususnya kepada
Dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) yang telah
mengajarkan penulis selama perkuliahan berlangsung dengan sabar dan
ikhlas. Terima kasih banyak dan maaf sedalam-dalamnya atas segala
kekurangan dari penulis selama perkuliahan berlangsung.
6. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, Dosen Penasehat Akademik, yang
selama ini telah memberikan semangat, dan pemikirannya terhadap
mahasiswa/mahasiswi, khususnya di Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah), Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Bapak dan Ibu tercinta, bapak H. Sohib Mansyur dan Ibu Onah
Maskanah yang telah mencurahkan segala usaha dan do‟a untuk
kesuksesan dan kelancaran penulis dalam menyelesaikan studi ini. Serta
teteh-teteh dan adik-adikku yang telah memberi warna dan semangat dalam
proses studi ini. Terima kasih banyak, skripsi ini penulis persembahkan
untuk Bapak, Ibu, Teteh , Adik, dan semua Umat Manusia.
8. Pimpinan dan seluruh Karyawan Perpustakaan di lingkungan Fakultas
Syari‟ah dan Hukum, dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan.
9. Keluarga besar HTN (Hukum Tata Negara - Siyasah, 2015), yang selalu
memberi warna di dalam kelas saat jam perkuliahan berlangsung. Semoga
kebersamaan kita yang kurang lebih 3,5 tahun menjadi penyemangat untuk
terus melaju kedepan, menggapai cita-cita, dan semoga kesuksesan selalu
menyertai kita semua, Aamiin
10. Keluarga besar UKM HIQMA (Himpunan Qari dan Qari‟ah Mahasiswa)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
warna serta pengalamannya dalam berorganisasi, dan Divisi Tilawah HIQMA,
yang telah bersama untuk belajar untuk terus melaju kedepan, semoga ilmu
yang kita dapat bermanfaat. Aamiin
vii
11. Keluarga besar KKN KINANDARI 2018 terima kasih atas kebersamaan dan
berbagi pengalaman. Mengenal kalian dengan berbagai latar belakang yang
berbeda menjadi warna tersendiri dalam pertemanan kita.
12. Keluarga besar Masjid Al-Hidayah Legoso Selatan, yang selalu memberikan
semangat dan do‟a dalam menyelesaikan studi ini.
13. Sahabat sekamarku Afdal Zikri, Yayan, Windi Hamdani, Mula Sadra, Ahmad
Sujud Murtadho, Cecep Purnama Alam dan Abas (Abdul Aziz), yang telah
bersama dan memberikan warna dalam kehidupan ini.
14. Teman-teman Kosan Hajar, Mansyur, Wamos, Wahyu, Didi, Ilham, Husain,
Abyd, Yusup, Yusep, Samiadji dan Syauqi, yang telah memberikan
semangat, serta do‟anya.
15. Dan Teman-teman semua yang secara langsung, maupun tidak langsung ikut
andil dalam memacu, memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi
ini, khususnya Rifdah Zahara, yang telah memberikan motivasi, semangat,
dan doa‟nya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada semua pihak,
yang turut membantu penulisan, baik yang terlibat langsung maupun tidak, baik
berupa semangat atau pun pemikiran dalam penyusunan skripsi ini. Semoga
Allah Swt membalas kebaikan untuk semuanya dan semoga langkah kita semua
selalu diridha‟i dan diberkahi oleh Allah Swt. Akhir kalimat, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca pada umumnya.
Aamiin.
Jakarta, 16 Mei 2019 M
11 Ramadhan 1440 H
AHMAD SATIBI
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMPING…………………………………...i
PENGESAHAN PANITIA MUNAQASYAH………………………………….ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iii
ABSTRAK………………………………………...………………....…….…….iv
KATA PENGANTAR……………………….……………………......…….…....v
DAFTAR ISI………………………………………….…………...……...........viii
BAB I PENDAHULUAN……….………………………………………...……...1
A. Latar Belakang Masalah…………………..………………..…….…...…...1
B. Identifikasi, Batasan Dan Rumusan Masalah…...……..............................10
1. Identifikasi Masalah……………………………….……………....…10
2. Pembatasan Masalah…...…………………………….…………........10
3. Perumusan Masalah………………………………....…………….....10
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………….….…..……..….……….....….11
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu…………..………….……….....….11
E. Metode Penelitian………………...…...………………………………….12
F. Sistematika Penulisan………………………………….............................15
BAB II BIOGRAFI YUSUF AL-QARADHAWI………………......…...….....17
A. Biografi Yusuf al-Qaradhawi…………..…………..……..…...…............17
B. Karir, Aktivitas, dan karya-karya Yusuf al-Qaradhawi……………….....24
1. Karir dan aktivitas……………………………………………………24
2. Karya-karya Yusuf al-Qaradhawi……………………………………27
C. Pemikiran Tokoh-tokoh yang dikagumi Yusuf al-Qaradhawi.…..…..…..34
BAB III PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG
AHL DZIMMAH………………………………………………............40
A. Konsep Ahl Dzimmah…………………...………….…………..…….…..40
B. Hak-Hak Ahl Dzimmah……………………...……….………..………....45
C. Kewajiban Ahl Dzimmah……………………………………...…..……...64
ix
BAB IV ANALISIS PEMIKIRANYUSUF AL-QARADHAWI TENTANG
AHL DZIMMAH DAN RELEVANSINYA DENGAN
KEWARGANEGARAAN INDONESIA……………..……….……71
A. Konsep Kewarganegaraan Indonesia………..…………………………...71
B. Relevansi Hak Ahl Dzimmah Yusuf al-Qaradhawi dengan
kewarganegaraan Indonesia……………………………….…………......76
C. Relevansi Kewajiban Ahl Dzimmah Yusuf al-Qaradhawi dengan
kewarganegaraan Indonesia…………...…………………..…..……..…..91
BAB V PENUTUP…………………………………………………...…….…..101
A. Kesimpulan……………………………………..……………….……......101
B. Saran...…………………………………………………………....……....102
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….…103
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertumpu pada aqidah Islam
dan ideologi yang khas yang merupakan sumber peraturan dan hukum serta etika
dan akhlaknya. Masyarakat Islam menjadikan Islam sebagai konsep hidupnya,
konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, dan penentu arahnya dalam
semua urusan kehidupan dan hubungan-hubungannya secara individual dan
komunal, material dan spiritual, serta nasional dan internasional.1.
Hubungan antara sesama warga negara, yang Muslim dan yang non-
Muslim, sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan, dan
kasih sayang. Namun, sampai sekarang asas-asas ini masih dalam dambaan dan
harapan semua masyarakat modern untuk mewujudkannya. Di tengah hiruk pikuk
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban manusia, asas-
asas ini terus diupayakan, demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan umat
manusia. Kenyataannya, berbagai konflik masih terus terjadi di berbagai daerah
dan negara yang menggambarkan betapa toleransi dan masalah keadilan
merupakan dua hal yang banyak memunculkan problematika. Setiap Muslim
dituntut agar memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan,
walaupun mereka itu tidak mengakui agama Islam, selama mereka tidak
menghalangi penyebarannya, tidak memerangi para penyerunya, dan tidak
menindas para pemeluknya. Ketentuan ini berlaku di negara Islam (Darul Islam)
maupun di luar negara Islam. Khusus di negara Islam, para penganut agama selain
Islam (non-Muslim) biasa disebut dengan Ahl Dzimmah.
1 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, (Bandung: Mizan, 1994). h.,15.
2
Kata dzimmah berarti perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka
dinamakan demikian karena mereka memiliki jaminan perjanjian Allah dan Rasul-
Nya serta semua kaum Muslim untuk hidup dengan aman dan tenteram di bawah
perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Dengan demikian,
negara Islam memberikan kepada orang-orang non-Muslim suatu hak yang di
masa sekarang mirip dengan apa yang disebut sebagai kewarganegaraan politik
(hak politik) yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Dengan ini pula kaum
non-Muslim memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban
semua warga negara.2 Akad dzimmah berlaku untuk selamanya dan mengandung
ketentuan membiarkan orang-orang non-Muslim tetap dalam agama mereka di
samping hak menikmati perlindungan dan perhatian jama‟ah kaum Muslim,
dengan syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada hukum Islam dalam
hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah-masalah agama.
Konsepsi awal Ahl Dzimmah lahir setelah Islam berkembang dan
meneguhkan struktur politiknya yang paling pertama di Madinah pada masa Nabi
Muhammad saw. Konsep ini makin berkembang setelah Islam banyak melakukan
penaklukan wilayah secara besar-besaran di zaman Khulafaur Rasyidin, sebelum
kemudian dimapankan pada periode Dinasti Umayyah dan periode Dinasti
Abbasiyah.3 Warga yang ditaklukan diberi dua pilihan yaitu memeluk Islam atau
tetap dalam agamanya namun berkesadaran penuh untuk hidup dan diatur oleh
pemerintahan politik Islam yang menaklukannya.
Watak akomodasionis politik Islam yang menghargai non-Muslim ini
terungkap ketika Nabi Muhammad SAW bersama sejumlah masyarakat non-
Muslim Madinah dan sekitarnya menandatangani Piagam Madinah (Shohifah al-
Madinah).4 Piagam ini ditandatangani menjelang Perang Tabuk (630 M), dimana
Nabi Muhammad SAW menginisiasi kerjasama warga Madinah dan sekitarnya.
2 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, terjemahan: Minoritas
Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 19
3 Hamka Haq, Konsep Zimmi dalam Islam dalam, Lutfi Asyaukanie,. Wajah Liberal
Islam di Indonesia. (Jakarta : Jil, 2002), h., 60-61.
4 Nurcholis Madjid, et.al, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation2004), h., 148-149.
3
Dalam piagam tersebut, komunitas non-Muslim terdiri dari pemeluk Yahudi dan
Kristen yang disebut sebagai ummatun wahidah (umat yang satu). Selain diakui
eksistensi identitasnya, mereka juga berhak untuk mengekspresikan diri sebagai
warga negara sekaligus penganut agama dan diberikan perlindungan. Sesuai
dengan salah satu isi dari Piagam Madinahnya pasal 15 yaitu :
ن ن إلمؤمنني بعضهم موإل بعض دون إلناس وإ
م أدنه وإ ري علي ذمة هللا وإحدة ي
Artinya: “Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka
yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung
kepada golongan lain.”5
Dilihat dalam hal itu mereka mempunyai hak kewarganegaraan yang utuh.
Mereka dapat melaksanakan ritual keagamaan dengan bebas. Mereka juga dapat
menasehati orang-orang Muslim, mereka membela untuk mempertahankan negara
dan saling bahu-membahu. Setiap mereka dapat hidup tenang di tempat tinggal
masing-masing.”6
Sikap penghormatan terhadap warga non-muslim juga direfleksikan Nabi
Muhammad SAW melalui salah satu haditsnya yang berbunyi:
ز ا ظهى يؼبذا، أ و أل ي ج ت فس، فأب دج ش ط ئب ثغ ش أخز ي ، أ ق طبلز كهف ف مص، أ
اث داد(ا)س انمبيخ
Artinya: “Ingatlah, siapa yang sewenang-wenang terhadap orang yang terikat
perjanjian, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau
mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan darinya (merampas), maka aku
adalah lawan bertikainya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud).7
Dalam hadits lain berbunyi, dari „Abdullah bin „Amr, Rasulullah saw bersabda:
5 Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri, As-Sirah An-Nabawiyah Li Ibnu
Hisyam, (Beirut : Danjl Fikr, 1994), h., 454.
6 Nurcholis Madjid , Zainun Kamal, et.al. 2004, h., 148-149.
7 Imam as-Shayuthi, al-Jami as-shagῑr, (Hidayah, 1999), jilid 2, h., 158.
4
يسشح أسثؼ سذب نجذ ي إ خ نى جذ سخ انجخ ي م انز أ لزم لزل ي )سا انسبء( ػبيبي
Artinya: “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan
mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari
perjalanan empat puluh tahun. ” (HR. An Nasa‟i)8
Secara teologis, eksistensi Ahl Dzimmah merujuk pada QS At-Taubah 29 :
سسن و للا يب دش ي ل ذش خش و ا ل ثبن ثبلل ل ؤي لبرها انز انذك ي د ل ذ
ى صبغش ذ أرا انكزبة دزى ؼطا انجزخ ػ (٩٢ثخ :)سسح انز انز
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah) , (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
(Q.S At-Taubah 29)
Meski masih mengundang perdebatan mengenai politik Ahl Dzimmah
(kaum minoritas Non-Muslim dalam sebuah negara Muslim), namun bagi
sebagian besar Muslim, implementasi politik Islam Ahl Dzimmah merupakan
sebuah keharusan. Berdirinya sebuah negara merupakan kesempurnaan di dalam
melaksanakan ajaran agama dengan merujuk negara Madinah yang didasarkan
pada Piagam Madinah (Shahifah Madaniyah). Sebab dengan begitu, pelaksanaan
mendorong kepada kebaikan dan mencegah kemungkuran (amar ma‟ruf nahyi
munkar) dalam rangka penciptaan kehidupan umat masyarakat yang sesuai
tuntutan syari‟ah bisa terjamin.
Dalam al-Quran non-Muslim disebut sebagai kafir, hal ini dikarenakan
mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kata kafir sendiri secara
bahasa berarti menutupi sesuatu, melepaskan diri, menghapus atau
menyembunyikan kebaikan yang telah diterima, dan dari segi akidah, kafir berarti
kehilangan iman. Sedangkan secara terminologis, Said Hawa memberikan
8 Imam an-Nasa‟I, Sunan an-Nasa‟I, (Kairo: Darul Hadits, 1996).
5
pengertian bahwa kafir adalah orang yang ingkar terhadap kebenaran Islam.9
Istilah kafir dalam al-Qur‟an mengacu pada perbuatan yang berhubungan dengan
Allah, namun semua hubungan tersebut bersifat negatif, seperti mengingkari
nikmat-Nya dalam QS. al-Nahl: 55 dan al-Rum: 34, lari dari tanggung jawab
dalam QS. Ibrahim: 22, penolakan atau pembangkangan terhadap hukum Allah
dalam QS. al-Maidah: 44, dan meninggalkan amal saleh yang diperintahkan Allah
dalam QS. al-Rum: 44.
Dari 525 kali kata kafir dalam berbagai derivasinya, arti yang paling
dominan adalah pendustaan atau pengingkaran terhadap Allah dan Rasul-rasul-
Nya, khususnya kepada Nabi Muhammad dengan ajaran yang dibawanya.10
Para
ulama fikih mengklasifikasikan non-Muslim menjadi dua kelompok; Ahl al-Harb
dan Ahl al-„Ahd. Pembagian ini berdasarkan Firman Allah Surat al-Mumtahanah:
8-9.
رجش دبسكى أ نى خشجكى ي نى مبرهكى ف انذ انز ػ بكى للا ل ى إ رمسطا إن ى
)للا مسط ظبشا ػهى 8ذت ان دبسكى أخشجكى ي لبرهكى ف انذ انز ػ بكى للا ب ( إ
ى ن ز ي ى ن ر إخشاجكى أ (٢–8نزذخ: )سسح ا فأنئك ى انظبن
Artinya : “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu
dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
dzalim. (9).( Q.S Al-Mumtahanah: 8-9)
9 Said Hawa, Al-Islam, Terj. Abdul Hayyi al- Kattani, et.al. Islam (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), h., 288-289.
10
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, h., 856.
6
Dalam ayat tersebut, Ahl al-harb adalah golongan orang-orang kafir yang
memerangi atau terlibat peperangan dengan kaum Muslim.11
Istilah kafir harbi
menurut Yusuf al-Qaradhawi disematkan oleh para fukaha kepada golongan non-
Muslim yang tinggal di wilayah mereka yang disebut Dar al-Harb dan
menyatakan permusuhan terhadap kaum Muslim dan para pemimpin mereka atau
yang tidak mengakui negara Islam.12
Golongan kafir harbi ini adalah semua orang
kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslim, baik dari
kalangan musyrik (kaum pagan) maupun para ahli kitab.13
Sikap kaum Muslim
terhadap mereka adalah keras disebabkan sikap mereka yang memusuhi dan
memerangi Islam. Syaikh Muhammad ibn Shalih al-„Utsaimin menyatakan,
“Kafir Harbi (karena sikap mereka) tidak memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan dan pemeliharaan dari kaum Muslim.”14
Mereka inilah golongan
orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah SAW. Sementara Ahl al-„Ahd
merupakan orang-orang non-Muslim yang bersikap baik, menjalin hubungan yang
harmonis terhadap kaum Muslim, dan tidak terlibat dalam memusuhi mereka.15
Golongan ini adalah mereka yang berdamai dan mengadakan ikatan perjanjian
dengan kaum Muslim, baik yang memilih tinggal di dalam Dar al-Islam (wilayah
Islam) maupun yang tetap tinggal di wilayahnya.16
Para fukaha membagi kelompok Ahl al-„Ahd ini menjadi tiga golongan.
Hal tersebut disebabkan perbedaan sikap dan kedudukan mereka dalam menjalin
11
Rasyid al-Ghanusyi, Huquq al-Muwatanah: Huquq Ghair al-Muslim fi al-Mujtama‟ al-
Islami, (Virginia: Ma‟had al-„Alam li al-Fikr al-Islami, 1993), h., 59-61.
12
Yusuf al-Qaradhawi, Fikih Jihad, Terj. Irfan Maulana Hakim, Sebuah Karya
Monumental Terlengkap tentang Jihad menurut al-Qur‟an dan Sunnah, (Bandung: Mizan, 2010),
h., 75
13
Rasyid al-Ghanusyi, Huquq al-Muwtanah: Huquq Ghair al-Muslim fi al-Mujtama‟ al-
Islami, h., 60.
14
Muhammad ibn Salih al-„Utsaimin, Huquq Du‟at Ilaih al-Fitrah wa Qarraratha al-
Syari‟ah, (Riyad: T. Pnb, 1427 H), h., 43.
15
Rasyid al-Ghanusyi, Huquq al-Muwa tanah: Huquq Ghair al-Muslim fi al-Mujtama‟
al-Islami, h., 61-62.
16
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Terj. As‟ad Yasin, Jilid 2, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), h,. 967-968.
7
perjanjian dengan kaum Muslim. Mereka adalah Ahl Dzimmah, Ahl al-Hudnah,
dan Ahl al-Aman. Ahl dzimmah adalah non-Muslim yang menjadi tanggungan
kaum Muslim karena telah mengadakan perjanjian berupa tunduk dan patuh
terhadap ketentuan beserta hukum Allah dan Rasul-Nya seraya menunaikan jizyah
dan mereka berdiam di wilayah Islam.17
Golongan ini menjadi tanggungan
permanen kaum Muslim, mereka dijamin hidup dengan aman, damai, dan
mendapatkan hak dan kewajiban yang secara umum sama dengan penduduk
muslim lainnya, terutama di bidang sosial (muamalah). Golongan kedua adalah
Ahl al-Hudnah, yaitu non-Muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan
negara Islam. Perbedaan golongan ini dengan ahl dzimmah adalah keberadaan
mereka yang tidak tinggal di wilayah Islam, namun mengadakan perjanjian damai
dengan kaum Muslim. Telah terjadi kesepakatan di antara mereka dan kaum
Muslim untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati atau yang
biasa dikenal dengan istilah gencatan senjata.18
Oleh sebab itulah, golongan ini
tidak menjadi tanggungan kaum Muslim, hanya saja kaum Muslim memiliki
ikatan baik dalam berhubungan dengan mereka. Terhadap kelompok ini umat
Islam memiliki kewajiban untuk menjaga perjanjian yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. al-Taubah: 4 dan 7.
Golongan terakhir adalah Ahl al-Aman, yaitu non-Muslim yang tinggal di luar
wilayah Islam (Dar al-Harb) namun melakukan kesepakatan perjanjian untuk
mendapatkan jaminan keamanan ketika berdiam di wilayah Islam dalam jangka
waktu tertentu. Perbedaan golongan ini dengan golongan lainnya adalah
keberadaan mereka di wilayah Islam (dar al-Islam) bukan dengan maksud untuk
tinggal selamanya, namun dalam jangka waktu yang terbatas atau sementara.
Golongan ini biasanya memasuki wilayah Islam dengan maksud untuk berdagang
atau para musafir yang menetap dengan waktu yang terbatas. Karena jika mereka
17
Al-Syadzili al-Qalibi, Ahl al-Dzimmah fi al-Hadarah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-
Gharb al-Islami, 1998), h., 27.
18
Al-Syadzili al-Qalibi, Ahl al-Dzimmah fi al-Hadarah al-Islamiyah, h., 27.
8
menetap untuk selamanya, maka status mereka akan berubah menjadi ahl
dzimmah, sehingga memiliki hak dan kewajiban yang berbeda.19
Terlepas dari motivasi dan tujuan baik penegakan dalam sebuah politik
kekuasaan dan negara, namun Islam sebagai praktik politik dan negara masih
mengundang reaksi berbalik. Bila diimplementasikan dalam sebuah negara,
apakah mungkin keadilan dan persamaan hak warga negara bisa ditegakkan
sementara kondisi sosiologis masyarakat semakin majemuk dengan tingkat yang
lebih kompleks dibanding tatanan politik kenegaraan Madinah yang mana
sekarang berbeda dengan dulu? Bagaimana di era modern ini, apakah Ahl
Dzimmah diperlakukan dalam sebuah negara yang mana menganut sebuah negara
Islam atau negara yang mayoritas Islam? Apakah memiliki hak yang sama, atau
malah haknya tidak terpenuhi, sementara sebagian atau minoritas masyarakat
memiliki keyakinan teologis yang berbeda? Bila diterapkan, apakah tidak malah
menciptakan pengabaian hak asasi manusia sehingga pada saat yang sama malah
membuat kemuliaan Islam sendiri memburuk?
Pangkal kekhawatiran pada sementara kalangan yang menolak Islam
sebagai kekuatan politik atau sistem negara adalah adanya konsepsi kewargaan
yang memisahkan antara komunitas muslim dan non-muslim (Ahl Dzimmah).
Merujuk kepada teori fiqih-fiqih maupun praktik kenegaraan Islam klasik, meski
terdapat sejumlah hak pengistimewaan sebagai warga negara yang dilindungi,
terdapat garis pemisah yang cukup tegas antara komunitas Muslim dan Non-
Muslim terutama menyangkut partisipasi politik dan tata kelola pemerintahan.
Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang memiliki ribuan
kelompok etnis, agama dan budaya lokal paling beragam. Dan ini menunjukan
bahwa secara praktiknya Negara Indonesia telah mempraktikah Ahl Dzimmah itu
sendiri. Namun, kegamangan dalam mengenali dan mendefinisikan kelompok-
kelompok tersebut mengakibatkan identitas mereka di Indonesia tidak terlihat.
Meskipun secara nyata mereka ada dan hidup bersama dengan anggota
masyarakat lainnya, namun identitas dan karakter mereka secara kolektif tidak
diakui dan tidak dikenali. Akibatnya keberadaan mereka tidak dipandang dan hak-
19
Al-Syadzili al-Qalibi, Ahl al-Dzimmah fi al-Hadarah al-Islamiyah, h., 96-97.
9
hak mereka tidak secara sistematis dijamin dalam regulasi dan program-program
Pemerintah. Salah satu upaya untuk melihat asal usul keberadaan kelompok-
kelompok minoritas di Indonesia dapat ditelusuri dari perjalanan panjang
pembentukan bangsa ini (Nation Building).
Dalam prakteknya, pelaksanaan hak-hak tersebut masih banyak
mengalami tantangan dan hambatan. Menurut Abul „ala al-Maududi sebelum
membahas tentang hak-hak minoritas (non muslim) dalam negara Islam, ada satu
hal yang perlu diingat, yakni negara Islam merupakan negara yang berdiri di atas
dasar agama (teokrasi). Berbeda dengan Syekh Dr Yusuf Qaradhawi, seorang
ulama terkenal, menulis sebuah buku kecil berjudul Ghairul Muslimin fil
Mujtama‟ Al Islami dan ada juga terjemahannya yang (diterjemahkan: Minoritas
Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam). Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa
dalam sejarah Islam, kaum non-Muslim ahl dzimmah (orang-orang dalam
perlindungan, yaitu non-Muslim yang berada di negeri Muslim dan tunduk kepada
pemerintahan Muslim) memiliki hak-hak yang sama dengan kaum Muslimin,
kecuali beberapa hal tertentu. Hak-hak mereka dilindungi oleh pemerintah dan
kaum Muslimin. Perbedaan bentuk inilah yang sedikit banyak memberikan
pengaruh pada penyelesaian masalah terhadap konsep Ahl Dzimmah.20
Maka dari latar belakang diatas, terserat keinginan dari penulis untuk
mengadakan pengkajian yang lebih faktual representatif. Maka dengan ini penulis
mengambil judul skripsi STUDI PEMIKIRAN YUSUF AL- QARADHAWI
TENTANG AHL DZIMMAH DAN RELEVANSINYA DENGAN
KEWARGANEGARAAN INDONESIA Hal ini penting dikaji, mengingat
banyaknya kesimpangsiuran terhadap konsep Ahl Dzimmah serta hak dan
kewajiban Ahl Dzimmah khususnya menurut Yusuf al-Qaradhawi, dan sudah
relevan belum dengan negara yang mayoritas Islam yaitu Negara Indonesia.
20
Abul A‟la Al-Maududi, Hak-hak Minoritas dalam Negara Islam, Terj. Syatibi
Abdullah, Bandung: Sinar Baru, 1993, h., 1.
10
B. Identifikasi, Batasan Dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas terdapat, terdapat beberapa
permasalahan yang dapat di identifikasi, antara lain :
a. Minimnya masyarakat yang belum paham tentang konsep ahl
dzimmah;
b. Masih banyaknya pemahaman yang beranggapan bahwa ahl dzimmah
tidak perlu dilindungi dan diberikan kebebasan hidup dalam negara
mayoritas Islam;
c. Masih banyaknya orang yang belum mengetahui apa saja hak dan
kewajiban bagi ahl dzimmah, dan;
d. Perlu Menganalisis pemikiran tokoh Islam tentang ahl dzimmah
dengan Kewarganegaraan Indonesia.
2. Pembatasan Masalah
Dalam pernulisan ini, yang dibahas kajiannya agar tidak terlalu meluas,
maka penulis membatasi permasalahnya tentang konsep hak dan kewajiban
ahl dzimmah dengan merujuk pemikiran dari Yusuf al-Qaradhawi serta
Relevansinya dengan kewarganegaraan Indonesia. Dengan adanya pembatas
tersebut, diharapkan dalam penyusunan penelitian ini dapat sesuai dengan
tujuan penelitian.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan tersebut, maka rumusan dalam penelitian ini
adalah, antara lain :
1. Bagaimana Konsep Ahl Dzimmah dalam Pemikiran Yusuf al-
Qardhawi?
2. Bagaimana Hak dan Kewajiban Ahl Dzimmah dalam Pemikiran Yusuf
al-Qaradhawi?
3. Apa Relevansinya Ahl Dzimmah dengan Kewarganegaraan Indonesia?
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah agar
dapat mentransformasikan pengetahuan tentang Konsep Ahl Dzimmah seperti
yang penulis kemukakan, disamping untuk mengetahui serta mengkaji lebih
dalam tentang hak dan kewajiban Ahl Dzimmah dalam pemikiran Yusuf al-
Qardhawi dan relevansinya dengan Kewarganegaraan Indonesia.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperkaya dinamika wacana tentang Konsep Ahl Dzimmah
dalam dunia Islam;
2. Menambah wacana ilmu pengetahuan tentang hak dan kewajiban Ahl
Dzimmah dalam negara Islam;
3. Sebagai sumbangan dan sekaligus pengembangan khazanah keilmuan
dibidang Fiqh Siyasah dalam konteks Alh Dzimmah;
4. Diharapkan peneliti menjadi sumber primer bagi peneliti berikutnya
mengenai Konsep, Hak dan Kewajiban Ahl Dzimmah serta mengetahui
Relevansinya dengan Kewarganegaraan Indonesia;
5. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana stara
satu (S1) Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syari‟ah dan
Hukum.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini penulis telah melakukan peninjauan kajian terdahulu,
dimana dalam peninjauan ini penulis telah mendata dan membaca beberapa
skripsi yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, agar tidak terjadi
plagiasi/penjiplakan terhadap karya tulis milik orang lain, diantaranya :
Choirun Nisa dengan judul Skripsi tentang Hak-Hak Politik Warga
Negara Non- Muslim sebagai Pemimpin dalam pandangan Hukum Islam dan
Hukum Positif. Dengan karyanya menjelaskan tentang Hak asasi tiap warga
Negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan umat Muslim di dalam
hukum Islam maupun hukum positif dan dalam pelaksanaan hak asasi yang
12
berkaitan dengan hak politik non-Muslim yang menjadi warga negara Islam atau
warga Negara yang mayoritas penduduknya warga negara Islam.21
Muhammad Zauni dengan judul Tesis tentang Hak dan Kewajiban Ahl
Adz-Dzimmah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi. Dengan karyanya menjelaskan
tentang Hak dan Kewajiban Ahl Adz-Dimmah menurut Yusuf al-Qaradhawi ia
memberikan hak yang sepantasnya didapat oleh ahl adz-dzimmah, sekaligus
bemberikan kewajiban sesuai kemampuannya. Pemikiran yang ketika dikaji
dengan mendalam akan memperlihatkan keadilan yang luar biasa dari agama
Islam untuk penganut agama lain.22
Saufy Maulana dengan judul Skripsi tentang Hak Dan Kewajiban Ahl
Dzimmah Persfektif Hadits dengan karyanya menjelaskan tetang Hak dan
kewajiban ahl zimmah yang tinggal di dalam Negara Islam berhak untuk
mendapatkan perlindunagn, baik dari keamanan hidupnya maupun keamanan
hartanya. Disamping hak-hak yang di peroleh olehnya selama ia menjadi
tanggungan Islam, ahl zimmah juga memiliki kewajiban sebagai konsekuensi dari
perjanjian yang telah di sepakati bersama yaitu membayar jizyah (pajak).23
Berdasarkan kajian terdahulu di atas penulis menemukan adanya
kesamaan dalam materi penelitian pada judul yang penulis angkat, namun
dalam kajian yang penulis teliti berbeda subjek, dan konsepnya. Dalam
penelitian ini penulis memfokuskan pembahasannya pada pandangan Yusuf
al-Qaradhawi terhadap konsep Ahl dzimmah, lalu penulis hubungkan dengan
Kewarganegaraan Indonesia, apakah pemikiran Yusuf al-Qaradhawi ini relevan
atau tidak. Namun meskipun demikian, beberapa karya di atas, akan penulis
jadikan sebagai rujukan untuk menambah ketajaman analisis nantinya.
21
Choirun Nisa, Hak-Hak Politik Warga Negara Non-Muslim sebagai Pemimpin dalam
pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif, (Skripsi UIN Raden Intan, Lampung, 2017), h., 92.
22
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adz-Dimmah menurut Yusuf al-Qardhawi,
(Tesis, UIN Antasari, Banjarmasin, 2017), h., 106.
23
Saufy Maulana, hak dan kewajiban ahl zimmah persfektif hadits, (Skripsi UIN Syarif
Hidatullah, Jakarta, 2017), h., 53.
13
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan Library Reasearch, dengan metode deskriftif
kualitatif, artinya jawaban dan analisis terhadap materi pokok permasalahan
penelitian digambarkan secara deduktif kemudian dianalisis guna memperoreh
gambaran utuh tentang permasalahan yang diteliti. sehingga dengan jenis
penelitian ini, lebih memfokuskan kajian peneliti tidak mengurangi nilai atau
kualitas dalam upaya pengembangan dari suatu jawaban sekaligus pengembangan
teori pada saat mengambil kesimpulan di akhir peneliti.
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan kepustakaan (Library Research). Penelitian ini
lebih menuntut kejelasan penelitian serta sangat menekankan terhadap aspek
analisa dan kajian teks, terutama dalam mencari informasi dan data yang memiliki
hubungan dengan obyek penelitian. Sedangkan berdasarkan sifatnya, penelitian
ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan
untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gajala lainnya.24
Dalam hal ini peneliti menganalisis terhadap Pemikiran Yusuf al-
Qaradhawi tentang Ahl Dzimmah dan Relevansinya dengan Kewarganegaraan
Indonesia.
2. Pendekatan penelitian
Mengingat obyek penelitian menyangkut kajian sejarah dan pemikiran,
maka pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan objektif,
dengan mengumpulkan, mengevaluasi, menverifikasi serta mensisntesiskan bukti-
bukti untuk meneggakan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.25
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1984), h., 10.
25
Sumardi Surayabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2004), h., 73.
14
3. Sumber data
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam pengumpulan
data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder. Adapun rincian masing-
masing sumber adalah :
a) Data primer disandarkan pada literatur klasik Siyasah syariyyah Yusuf al-
Qadhawi yang secara akademis telah dipandang otoritatif.
b) Data sekunder merupakan sumber pendukung dari primer yang berasal dari
kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada relevansinya
dengan judul skripsi ini.
4. Metode pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan metode library (studi perpustakaan). Ini
dilakukan atas pertimbangan bahwa obyek penelitian ini adalah tentang pemikiran
politik Islam Yusuf al-Qaradhawi yang akan dilihat dari berbagai karyanya yang
terkait langsung dengan persoalan politik, seperti Ghairu al-Muslimin fi al-
Mujtama‟ al-Islami, dan Fatwa Kontemporer bidang politik Yusuf al-Qardhawi.
Buku tersebut adalah membicarakan secara khusus tentang Pemikiran Yusuf al-
Qaradhawi tentang Ahl Dzimmah. Adapun Fatwa Kontemporer muncul karena
menjawab beberapa pertanyaan dari masyarakat luas, baik melalui surat menyurat
dengan masyarakat Muslim, media elektronik, maupun media lainnya. Semua
karya-karyanya yang menyangkut aspek politik akan dijadikan sumber
pengumpulan data primer. Tulisan lainnya yang tidak secara langsung
membicarakan politik, baik dari tulisan Yusuf al-Qaradhawi sendiri, maupun
tulisan orang lain dijadikan data skunder untuk membantu analisa data dalam
tulisan ini.26
5. Metode Analisi data
Analisis data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah
penelitian, terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap
penetapan hasil temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis
26
Consuelo G Sevilla, dkk, Pengantar Metodologi Penelitian, cet.I. (Jakarta: UI Pres.
1993), h., 37.
15
menggunakan metode deskriftif, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang
terkumpul, lalu dirumuskan, dianalisis dengan menggunakan metode contents
analysis dengan menelusuri pemikiran Yusuf al-Qaradhawi yang terdapat dalam
buku-bukunya dan dianalisis terhadap Relevansinya dengan Kewarganegaraan
Indonesia.
6. Teknik penulisan skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkanoleh FSH
UIN Jakarta 2017.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
pembahasan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari
tata urutan penulis skripsi ini, maka penulis menyusun sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas mengenai, Latar Belakang
Masalah, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan Pustaka (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II Biografi Yusuf al-Qaradhawi. Pada bab ini dibahas mengenai,
Biografi Yusuf al-Qaradhawi, Karir, Aktivitas dan Karya-karya Yusuf al-
Qaradhawi, dan Pemikiran dan Tokoh-tokoh yang dikaguminya.
BAB III Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Ahl Dzimmah. Pada bab
ini disajikan, Konsep Ahl Dzimmah, Hak-hak Ahl Dzimmah dan Kewajiban ahl
dzimmah.
BAB VI Analisis Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Ahl Dzimmah
dan Relevansinya dengan Kewarganegaraan Indonesia. Pada bab ini dibahas
mengenai, Konsep Kewarganegaraan Indonesia, Relevansi Hak Ahl Dzimmah
Yusuf al-Qaradhawi dengan Kewarganegaraan Indonesia, dan Relevansi
Kewajiban Ahl Dzimmah Yusuf al-Qaradhawi dengan Kewarganegaraan
Indonesia.
16
BAB V Penutup. Pada bab ini akaan diuraikan kesimpulan sebagai
jawaban atas pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam bab pertama dan
diakhiri dengan saran atau masukan sebagai usulan follow up bagi penulisan
skripsi ini.
17
BAB II
BIOGRAFI YUSUF AL QARADHAWI
A. Biografi Yusuf al-Qaradhawi
Yusuf al-Qaradhawi nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah al-
Qaradhawi dilahirkan pada 9 September 1926 M di sebuah desa bernama
Shafth At-Turab.1 Desa ini terletak antara kota Thantha dan kota Al-Mahallah
Al-Kubra di Provinsi Barat Mesir, desa tempat kelahiran beliau merupakan
salah satu tempat makam sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abdullah
bin Harits ra. Yusuf al-Qaradhawi hidup di tengah-tengah keluarga agamis
yang hidup sederhana dan lingkungan yang agamis dan berperadaban.2 Mata
pencaharian penduduk pada umumnya adalah bercocok tanam. Orang tuanya
bekerja sebagai petani di desa Shifth Turab Markaz Al-Mahallah Al-Kubra,
Provinsi Al-Gharbiyyah, salah satu provinsi yang berada di tepi laut Republik
Arab Mesir.
Keluarga al-Qaradhawi adalah keluarga yang tidak terlalu besar, dan
termasuk keluarga yang bermigrasi dari daerah lain, profesi orang tuanya
diantaranya sebagai petani, pedagang dan banyak memiliki besan dari keluarga
yang terpandang, tidak sedikit pun memiliki lahan tanah. Oleh sebab itu, al-
Qaradhawi yang sehari-hari melakukan pekerjaan bertani, terpaksa harus
menyewa tanah. Tanah yang telah disewanya ditanami berbagai umbi-umbian,
sayur-sayuran, dan lain-lain. al-Qaradhawi dan keluarganya memetik hasilnya
untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk membiayai sewa tanah. Hal inilah
yang menuntut seluruh anggota keluarga al-Qaradhawi untuk bekerja keras dan
1 Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h.,
1448.
2 Sucipto Heri, Ensiklopedia Tokoh Islam, dari Abu Bakar Sampai al-Qaradhawi
(Jakarta: Hikmah, 2003), h., 336.
18
membanting tulang sampai batas maksimal, tidak mengenal istirahat dan tidak
mengenal waktu hura-hura.3
Al-Qaradhawi pernah mendengar dari pamannya yang bernama Ahmad,
mengatakan bahwa asal usul nenek moyang al-Qaradhawi adalah dari sebuah
daerah yang bernama al-Qaradhah dan al-Qaradhawi dinisbahkan kepada nama
kampung tersebut, sehingga terkenal dengan nama al-Qaradhawi.4 Keturunan al-
Qaradhawi yang paling terkenal adalah di daerah Sanhur al-Madinah, yang
terletak di kota Dasuq, dan asal-usul keluarganya di Safth At-Turab bermula dari
kakek al-Qaradhawi yang bernama Haji Ali.5
Sebelum ayah al-Qaradhawi menikah dengan ibunya, ayah al-Qaradhawi
pernah menikah dengan wanita lain tetapi kemudian mereka bercerai. Pada saat
itu ibu al-Qaradhawi adalah seorang janda yang masih sangat muda dari seorang
saudara sepupu ibu al-Qaradhawi sendiri. Laki-laki yang pertama kali menikahi
ibu al-Qaradhawi tinggal di kairo dan ia seorang pemabuk yang suka meminum
khamar dan biasa pulang ke rumah setelah larut malam dalam keadaan mabuk,
pembicaraanya ngelantur dan tidak jelas. Saat itu ibu al-Qaradhawi adalah
seorang gadis desa yang masih sangat asing dengan perilaku seperti itu.6
Situasi ini diketahui oleh kakek al-Qaradhawi saat ia mengunjungi ibu al-
Qaradhawi. Oleh sebab itu, maka kakeknya meminta agar anaknya di ceraikan
oleh suaminya. Mulai saat itulah ibu al-Qaradhawi tinggal di rumah kakeknya,
pada saat diceraikan, ibu al-Qaradhawi sedang mengandung dan beberapa
kemudian melahirkan anak perempuan yang bernama Ruhiyah, saudara seibu al-
Qaradhawi dan usianya (sekitar delapan tahun lebih tua dari al-Qaradhawi).
Ruhiyah diasuh dan dibesarkan di rumah kakek dan paman al-Qaradhawi sampai
Ruhiyah dinikahi oleh saudara sepupunya (dari pihak ayahnya) di kota Zifra.
3 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terjemahan Cecep Taufiqurrahman,
Nandang Buranuddin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h., 52.
4 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 99.
5 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 102.
6 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 103.
19
Dari pernikahannya ini, Ruhiyah dikaruniai beberapa orang anak laki-laki dan
perempuan dan Ruhiyah meninggal dunia saat anak-anaknya masih kecil.7
Sementara ayah al-Qaradhawi dikarenakan masih sendiri, kemudian
mengajukan lamaran untuk menikahi ibu al-Qaradhawi. Setelah pernikahan
berlangsung beberapa tahun kemudian, ibunya mengandung al-Qaradhawi. Ayah
dan ibunya sepakat jika bayi yang dilahirkan seorang laki-laki, maka akan
dinamai Yusuf yang diambil dari nama paman al-Qaradhawi yang meninggal
sebelum mempunyai anak. Nama Yusuf yang diberikan paman al-Qaradhawi
juga adalah nama buyut al-Qaradhawi. Oleh sebab itu, maka nama lengkap al-
Qaradhawi adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf.8
Saat al-Qaradhawi berusia 2 tahun, ayahnya terserang penyakit Bilharsia
yaitu penyakit yang menyerang saluran air kecil. Keterbatasan dokter dan orang-
orang yang dapat mengobati menjadi penghalang kesembuhan ayah al-
Qaradhawi, dan akhirnya ayahnya pun meninggal dunia.9
Sepeninggal ayahnya,
al-Qaradhawi pun diasuh oleh pamannya, ia mendapatkan perhatian dan kasih
sayang yang cukup besar layaknya anak sendiri (kandung) dari pamannya.
Paman al-Qaradhawi merupakan orang yang taat beragama, sehingga al-
Qaradhawi lebih terdidik dan dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan agama
dan syari‟at Islam.10
Ibu al-Qaradhawi berasal dari keluarga al-Hajar, keluarga
yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan sangat terkenal dengan
kecerdasannya. Ibu dan bibi al-Qaradhawi, Fatimah al-Hajar (saudara sepupu
ibunya) adalah orang yang sangat pandai dalam berhitung, meskipun tidak
menggunakan alat bantu hitung ataupun catatan dalam waktu singkat.
Di bawah asuhan ibu dan pamannya, pada usia dini al-Qaradhawi telah
mulai belajar ke Kuttab, sebuah tempat khusus untuk belajar dan menghafal al-
Qur‟an. Untuk pertama kali, beliau belajar pada Kuttab Syaikh Yamani. Di
7 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 103.
8 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 103.
9 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 104.
10
Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, h., 1448.
20
Kuttab ini beliau hanya bertahan satu hari, karena tidak setuju dengan metode
pengajian Syaikh Yamani yang sering memberikan hukuman kepada muridnya
tanpa sebab yang jelas, termasuk kepada dirinya. Terlebih apabila hukuman
yang diberikan itu di rasakan sebagai kezaliman. Sejak saat itu, al-Qaradhawi
memutuskan untuk tidak datang lagi ke Syaikh mana pun untuk belajar al-
Qur‟an.
Namun sang ibu tidak putus asa untuk membujuk anaknya, al-Qaradhawi
agar kembali belajar dan menghafal al-Qur‟an. Sampai akhirnya, sang ibu
meminta agar beliau bersedia untuk belajar di Kuttab Syaikh Hamid. Ibunya
berjanji akan menitipkannya kepada Syaikh Hamid dengan baik. Ketika berusia
tujuh tahun al-Qardhawi disekolahkan oleh pamannya di Madrasah Ilzamiyyah
Akhirnya beliau bersedia dan diantar oleh ibunya ke Kuttab Syaikh hamid. Di
bawah asuhan Syaikh Hamid, al-Qardhawi tercatat sebagai murid yang
berprestasi tinggi dan berhasil menghafal seluruh al-Qur‟an dengan fasih pada
usia 10 tahun,11
semenjak itulah masyarakat menjuluki al-Qaradhawi kecil
dengan julukan Syaikh.
Setelah selesai dari Madrasah Ilzamiyah, beliau melanjutkan sekolahnya
ke Madrasah Ibtidaiyah Thantha dan menyelesaikannya hanya dalam kurun
waktu 4 tahun. Kemudian dilanjutkan sekolah menengah pertamanya di tempat
yang sama atau disebut Ma‟had Tsanawi, yaitu sekolah agama Al-Azhar di kota
Thantha. Ketika Yusuf al-Qaradhawi menjadi siswa pada tingkat ke-5 pada
sebuah sekolah menengah agama di kota Thantha tersebut, tahun 1948 terjadi
musibah pemerintahan Mesir saat itu mengeluarkan keputusan pembubaran
Jama‟ah Ikhwanul Muslimin.12
Kekayaan Ikhwan dirampas, pengikut-
11
Karena kefasihan dan kemerduan suaranya, Yusuf al-Qaradhawi sering diminta untuk
menjadi imam dalam shalat-shalat jahriyyah (yang menjaharkan/mengeraskan bacaan, seperti
maghrib, isya‟ dan shubuh).
12
Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri
Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh
Hassan al-Banna. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada
Rapat Umum Ikhwanul Muslimin tanggal 24 September 1930. Kemudian pada tahun 1934,
Ikhwanul Muslimin membentuk divisi Persaudaraan Muslimah. Divisi ini ditujukan untuk para
wanita yang ingin bergabung ke Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin mempunyai kredo: (1)
21
pengikutnya disiksa dan sebagian besar diantaranya dijebloskan ke dalam
penjara, tak terkecuali al-Qaradhawi yang pada saat itu masih tercatat sebagai
siswa. Musibah itu berakhir dengan adanya makar dari pemerintah untuk
membunuh Mursyid Hasan al-Banna.13
Yusuf al-Qaradhawi ditahan disebuah
penjara militer kelas 1 di Thantha. Setelah itu, Kemudian al-Qaradhawi
dipindahkan ke penjara Haikastib, dekat kota Kaiora sebagai langkah awal
pembahasannya. Setelah menempuh perjalanan yang berat, melewati gurun pasir
Sinai, dalam perjalanan kelompok ini dikumpulkan dalam sebuah lori (kereta
angkutan) yang tidak beratap. Mereka dijejal di dalamnya seperti binatang ternak,
panas matahari yang menyengat tubuh di siang hari, dinginnya malam hari padang
pasir menusuk-nusuk. Setelah beberapa bulan di penjara Haikastib, lalu ke
penjara At-Thur di Sinai dengan menumpang kapal laut Ayidah dari kota Suez
dengan melintas Teluk Suez menuju At-Thur, Ia satu penjara bersama
Muhammad al-Gazali al-Kulli pengarang kitab Tadzkiratud Dua‟t dan beberapa
buku orisinil lainnya, maka dari merekalah al-Qaradhawi banyak belajar atau
berguru. Setelah itu, ia dibebaskan setelah jatuhnya kabinet Ibrahim Abdul Hadi
pada akhir Ramadhan lebih kurang tahun 1949 dan ia termasuk orang yang
pertama kali dibebaskan.14
Setelah menyelesaikan Pendidikan Tsanawiyah di Ma'had Al- Azhar
Thantha kemudian Yusuf al-Qaradhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar
pada Fakultas Ushuluddin dan lulus pada tahun 1952, lalu memperoleh ijazah
keguruan setahun berikutnya tahun 1953, dengan predikat terbaik. Setelah ia
melanjutkan pendidikanya ke jurusan khusus Bahasa Arab di Al-Azhar selama
2 tahun, dengan konsentrasi pada pendidikan dan pengajaran, dan ia menempati
peringat pertama dari 500 mahasiswa lainnya dalam memperoleh ijazah
Allah tujuan kami, (2) Rasulullah teladan kami, (3) Al-Qur‟an landasan kami, (4) Jihad jalan kami,
(5) Mati syahid dijalan Allah adalah cita-cita tertinggih kami.
13
Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 130.
14
Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 130.
22
internasional dan sertifikat pengajaran.15
Yusuf al-Qardhawi lebih
mengutamakan kecintaannya kepada Bahasa Arab, sebab Bahasa Arab
merupakan bahasa Islam dan pintu gerbang untuk memahami al-Qur‟an dan
Hadits. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Lembaga Tinggi Riset dan
Penelitian Masalah-Masalah Islam dan Perkembanganya selama 3 tahun.16
Kemudian tahun 1958, ia memperoleh ijazah diploma dari Ma‟had al-Dirasat at-
Arabiyah dalam bidang sastra dan bahasa. Selang tahun 1960 ia mendapatkan
ijazah Master di jurusan ilmu-ilmu al-Qur‟an dan Sunnah di Fakultas
Ushuluddin.17
Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi menempuh jenjang pendidikan tinggi S3
di Al-Azhar bidang al-Qur‟an dan al-Sunnah di Fakultas Ushuluddin. Dari sana
beliau menyiapkan Disertasinya dan menulis disertasi berjudul “Zakat dan
Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan” yang kemudian menjadi “Fiqh
az-Zakat” (Fiqih zakat), sebuah buku sangat komprehensif membahas persoalan
zakat dengan nuansa modern. Namun keterlambatnya meraih gelar Doktor dari
yang direncanakan semula karena sejak tahun 1968-1970 dan baru berhasil
menyelesaikannya pada tahun 1972 M, dikarenakan situasi yang dialami ia
ditahan (masuk penjara) oleh penguasa militer karena kejamnya rezim yang
berkuasa saat itu. Setelah keluar dari tahanan, ia hijrah menuju ke Daha ke Qatar
pada tahun 1961,18
dan disana ia bersama teman-teman seangkatanya mendirikan
Ma‟had Ad-Din (Institusi Agama). Madrasah inilah yang menjadi cikal bakal
lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang kemudian berkembang menjadi Universitas
Qatar dengan beberapa Fakultas. Yusuf al-Qaradawi sendiri duduk sebagai dekan
Fakultas Syariah pada Universitas tersebut.19
15
Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichitiar Baru Van Hoeve,
2006).Jilid 5, cet. Ke-7, h., 1448.
16
Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, h.,1448.
17 Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, h., 1448.
18
Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, h., 1448.
19
Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, h., 1448.
23
Di semua jenjang pendidikan Yusuf al-Qaradhawi telah membuktikan
kecerdasannya ketika ia masih berstatus mahasiswa. Hal ini dibuktika dengan
berhasilnya menempati peringkat pertama dari 500 mahasiswa dan memperoleh
prestasi teratas dengan predikat cumlaude, dengan prestasi akademis yang
membanggakan itu, telah mengantarkan Yusuf al Qaradhawi menjadi seorang
intelektual yang handal.
Pada bulan Desember 1978, Syaikh al-Qaradhawi menikah dengan
seorang muslimah yang dijodohkan oleh Ummu Muhammad, pahlawan tanpa
tanda jasa yang wafat dalam pertempuran Ma‟rakah asy-Syaikh al-Kubra.20
Dari
pernikahannya itu al-Qardhawi dikaruniai tujuh anak. Empat putri; Ilham,
Siham, Ula, Asma‟, dan tiga putra; Muhammad, Abdurrahman, dan Usmah.
Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya
untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta
kecenderungan masing-masing.
Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus
ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya. Salah seorang
putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri
keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris,
sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah
menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika. Anak laki-laki
yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang
kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah
menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, orang-orang bisa
menilai sikap dan pandangan al-Qaradhawi terhadap pendidikan modern. Dari
tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan
menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil
pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah,
karena al-Qaradhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu
20
Amru Abdul Karim Sa‟dawi, Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2009), cet. pertama, h., 8.
24
secara dikotomis. Semua ilmu bisa Islami dan tidak islami, tergantung kepada
orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara
dikotomis itu, menurut al-Qaradhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.
B. Karir, Aktivitas, dan Karya-Karya Yusuf al-Qaradhawi
1. Karir dan Aktivitasnya
Yusuf al-Qaradhawi terkenal sebagai ulama yang cukup terbuka dan
moderat. Selain beliau sebagai ahli tafsir dan hadits, beliau juga ahli di bidang
fiqh, ushul fiqh, dan qawaid fiqh. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Yusuf
al-Qaradhawi bekerja di berbagai instansi-instansi pemerintah setempat, ia
bekerja di bagian pengawas urusan agama bidang wakaf pemerintahan Mesir, dan
di sekretariat bidang Kebudayaan Islam si Al-Azhar, lalu menjabat sebagai
Direktur di lembaga-lembaga pendidikan agama miliknya. Bersamaan dengan itu,
ia dipercaya sebagai Dekan pada Fakultas Syariah dan Studi Islam, juga sebagai
Direktur Pusat Studi Sunnah dan Sirah yang ia sendiri sebagai pengawasnya
sehingga sekarang jabatannya masih diembannya.21
Ia juga seorang orator ulung,
penulis yang handal, dan seorang yang mendalam ilmunya. Bahkan tulisan-
tulisannya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ia pakar sebagai
ilmuan keislaman dan sastrawan.
Yusuf al-Qaradhawi mendapatkan beberapa penghargaan di tahun 1990-
an, diantaranya tahun 1991 mendapat penghargaan dari IDB (Islamic
Developmen Bank) atas jasa-jasanya di bidang perbankan, tahun 1992 bersama
temannya Sayyid Sabiq mendapatkan penghargaan dari King Faisal Award
karena jasa-jasanya dalam bidang ke Islaman, tahun 1996 mendapat
penghargaan dari Internasional Islamic University Malaysia atas jasa-jasanya
dalam ilmu pengetahuan, dan pada tahun 1997 mendapat penghargaan dari
Sultan Hasan al-Bolkiah Brunei Darussalam atas jasa-jasanya dalam bidang
fiqh.22
21
Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, h., 1450.
22
Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h., 131.
25
Kegiatan dakwah Syaikh al-Qaradhawi di media cetak sangat banyak.
Makalah dan artikelnya dimuat di beberapa majalah Islam, diantaranya,
majalah Al-Azhar, majalah Nurul Islam, majalah Ad-Dakwah, harian Asy-
Sya‟ab, harian Al-Ahram, harian Afaq Al-Arabiyah, koran Al-I‟thisham, dan
berbagai media lainnya di Mesir. Lalu di Kuwait artikelnya dimuat di majalah
Hadharatul Islam, majalah Al-Wa‟yul Islami, majalah Al-Mujtama‟, dan
majalah Al-Arabi. Sedangkan di Beirut, artikelnya dimuat di majalah Asy-
Syihab, dan majalah Al-Aman. Dan, di India, artikelnya dimuat di majalah Al-
Ba‟tsu Al-Islami. Di Riyadh, Arab Saudi, artikelnya dimuat di majalah Ad-
Dakwah. Di Qatar, artikelnya dimuat di majalah Ad-Dauhah, dan majalah Al-
Ummah. Di Abu Dhabi, artikelnya dimuat di majalah Manarul Islam, dan
majalah Al-Muslim Al-Mu‟ashir di Lebanon, masih banyak lagi yang lainnya.
Selain yang bersifat bulanan, artikel dan makalah Syaikh Al-Qaradhawi
juga dimuat harian dan mingguan di berbagai koran dan tabloid. Artikel dan
makalah ini adakalanya berupa tulisan beliau langsung, ceramahnya, fatwa-
fatwanya dan tanya jawab seputar Islam, akidah, syariah, peradaban, dan
masalah lain yang berhubungan dengan umat Islam. Pada tahun 1989 ia sudah
pernah ke Indonesia. Dalam berbagai kunjunganya ke negara-negara lain, ia aktif
mengikuti berbagai kegiatan ilmiah, seperti seminar tentang Islam serta hukum
Islam, misalnya seminar hukum islam di Libya, muktamar I tarikh Islam di Beirut,
muktamar Internasional I mengenai ekonomi Islam di Mekkah, dan Muktamar
hukum Islam di Riyadh.23
Adapun aktivitas keilmuannya, menurut catatan Isham Talimah,
sebagaimana dikutip oleh Dr. Tarmizi M. Jakfar, MA, dalam bukunya “Otoritas
Sunnah Non Tasyri‟iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi” bahwa ada beberapa
lembaga yang mana al-Qardhawi menjadi anggotanya, diantaranya : 24
1. Anggota pada Majelis Tinggi Pendidikan di Qatar dalam masa
beberapa tahun.
23 Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, h., 1448-1449.
24
Tarmizi M. Jakfar, MA, Otoritas Sunnah Non Tasyri‟iyyah Menurut Yusuf al-
Qaradhawi, (Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, 2012), cet. 1, h., 83-84.
26
2. Anggota Majelis Pusat Riset Kontribusi Kaum Muslimin dalam
peradaban yang berpusat di Qatar.
3. Anggota Lembaga Fiqh Islam, yang berafiliasi pada Liga Muslim
Dunia yang berpusat di Makkah.
4. Tenaga Ahli Lembaga Riset Fiqh yang berada dibawah naungan
Organisasi Konferensi Islam (OKI).
5. Anggota Lembaga Riset Maliki untuk peradaban Islam “Yayasan
Ahli Bait di Yordania.
6. Anggota Dewan Penyantun Internasional Islamic University Islam
abad Pakistan.
7. Anggota Dewan Penyantun pada Pusat Studi Keislaman di
Universitas Oxford.
8. Anggota Persatuan Sastra Islam.
9. Anggota pendiri Organisasi Ekonomi Islam di Kairo.
10. Anggota bantuan Islam Internasional yang berpusat di Kuwait.
11. Anggota Dewan Pengawas Internasional untuk masalah Zakat di
Kuwait.
12. Anggota Dewan Penyantun Organisasi Dakwah Islam di Afrika yang
berpusat di Khurthoum, Sudan.
13. Anggota Majelis Dana Islam untuk Zakat dan Sedekah di Qatar.
14. Anggota Dewan Penyantun Wakaf Islam untuk Majalah al-Muslim al-
Mu‟ashir.
15. Ketua Majelis Keilmuan pada sekolah Tinggi Eropa untuk studi Islam
di Prancis.
16. Anggota Dewan Pengawas pada Perusahaan al-Rajhi untuk investasi
yang berpusat di Arab Saudi.
17. Ketua Dewan Pengawas Bank Islam di Qatar.
18. Ketua Dewan Pengawas Bank Islam di Qatar Internasional.
19. Ketua Dewan Pengawas Bank Takwa di Swiss.
20. Anggota Yayasan Media Islam Internasional di Islamabad, Pakistan.
27
21. Ketua Majelis Organisasi Budaya al-Balagh untuk pengabdian
terhadap Islam melalui internet.
22. Ketua Majelis Fatwa dan Riset untuk Eropa.
Demikianlah karir dan aktivitas Yusuf al-Qaradhawi, seorang ulama yang
mengabdikan hidupnya untuk dakwah. Dan tidak mengherankan, Yusuf al-
Qaradhawi beberapa kali mendapat penghargaan dari berbagai negara atas jasa-
jasanya dalam dunia dakwah.
2. Karya-karya Yusuf al-Qaradhawi
Yusuf al-Qaradhawi merupakan seorang ulama, ilmuan, dan
cendikiawan yang memumpuni di dalam berbagai disiplin ilmu, berwawasan
luas dan memiliki produktivitas yang tinggi dalam menulis melalui berbagai
kitab (buku) dalam bidang berbagai keilmuan Islam. Terutama dalam bidang
sosial, dakwa dan pengajian Islam. Kitab-kitab beliau sangat diminati oleh umat
Islam seluruh dunia. Bahkan kitab-kitab tersebut diterjemahkan dalam berbagai
bahasa, termasuk bahasa Indonesia. 25
Kitab-kitab tersebut juga dicetak ulang
berpuluh-puluh kali. Disamping itu kitab-kitab tersebut dapat menjelaskan
wawasan perjuangan dan pemikiran Yusuf al-Qaradawi secara rinci. Masterpiece
karya beliau adalah Fiqh az-Zakat dan Fiqh al-Jihad.
Berbagai judul telah ia hasilkan melalui karya-karyanya dan Yusuf al-
Qaradhawi memiliki karya tulis yang jumlahnya lebih dari 150 karya. Jumlah
tersebut sangat besar jika dilihat dari waktu luang yang dimilikinya untuk
menulis. Dalam sepanjang hidupnya al-Qaradhawi, tidak pernah kenal lelah dan
tidak pula merasa jenuh untuk menuangkan buah pikirannya.
25
Sucipto Heri, Ensiklopedia Tokoh Islam, dari Abu Bakar Sampai al-Qaradhawi, h.,
338.
28
Dalam hal ini penulis akan memaparkan sebagian dari karya-karya
Yusuf al-Qaradhawi, diantara karya-karya beliau yang diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia26
, yaitu:
1. Fatawa Mu’ashirah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Drs. As‟ad Yasin yang berjudul fatwa-fatwa Kontemporer yang
diterbitkan tiga jilid. Dalam buku ini al-Qaradhawi menjawab berbagai
macam permasalahan umat dewasa ini, mulai dari masalah keimanan,
thaharah, shalat, puasa, zakat, dan sedekah, haji, pernikahan, fiqh tentang
wanita serta berbagai persoalan lainnya yang sedang berkembang dalam
masyarakat. Namun sebelum memberikan fatwa dalam berbagai persoalan,
pada muqaddimah nya beliau memuat metode beliau dalam menetapkan
fatwa. Buku ini pulalah yang menjadi rujukan primer penulis dalam
meneliti.
2. Al-Khashaish al-Ammah li al-Islam, dialih bahasakan dengan judul
“Karekteristik Islam (Kajian Analitik)”. Al-Qaradhawi dalam buku ini
memaparkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil „alamin, memiliki
karekteristik yang tersendiri. Hal ini dapat dilihat melalui ajaran-ajarannya
yang universal, abadi dan sempurna. Agama Islam memiliki keistimewaan
yang tidak dimiliki agama manapun di muka bumi ini. Karekteristik Islam
muncul dari dasar-dasar wahyu Ilahi yang secara sistematis mampu
memberi implementasi kehidupan ummat manusia sehari-hari.
3. Fii Fiqhil Auliyyaat Diraasah Jadiidah Fii Dhau’il Qur’ani was Sunnati,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Fiqh Prioritas (Urutan
Amal yang Terpenting Dari yang Penting)”. Dalam buku ini Qardhawi
menyodorkan suatu konsep dengan berusaha melihat sejumlah persoalan
prioritas dari sudut pandang hukum Islam berdasarkan berbagai argumen,
dengan harapan dapat meluruskan pemikiran, memperkokoh metodologi
dan mampu merumuskan paradigma baru dalam fiqh, yang pada akhirnya
26
Winda Alisriani, Telaah terhadap fatwa yusuf al-qardhawi tentang bank air susu ibu
dan konsekwensinya terhadap larangan perkawinan karena sepersusuan, (SKRIPSI:UIN Sultan
Syarif Kasim Riau, 2011), h., 47
29
dapat menjadi acuan bagi para praktisi dilapangan keislaman dan bagi
siapa saja yang memiliki keterkaitan dengan mereka.
4. Al-Fatawa Bainal Indhibath wat Tassyayub. Dalam buku ini al-
Qaradhawi menjelaskan bahwa fatwa sebagai jawaban tentang persoalan
hukum dan ketentuan syari‟at, diperlukan sebuah kontrol sosial
konsepsional, yang menjaga agar fatwa tetap berada pada jalur risalah
sebagai penyambung lidah Nabi dan terhindar dari permainan kotor yang
ditunggangi kepentingan politik atau pun kejahilan orang yang beratribut
ulama, cendikiawan maupun intelektual.
5. Al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islamiyyah. Dalam buku ini al-Qaradhawi
mengungkapkan bahwa ijtihad dalam Syari‟at Islam akan mampu
membimbing setiap kemajuan umat manusia kejalan yang lurus sekaligus
mampu melakukan terapi terhadap penyakit baru dengan obat yang diambil
dari apotik Islam itu sendiri, dengan syariat ijtihad yang dilakukan adalah
ijtihad yang benar dan tepat.
6. Fiqh al-Zakah (Hukum Zakat). Banyak persoalan baru yang dibahas oleh
Yusuf al-Qaradhawi dalam buku ini, yang dapat mengungkapkan zakat
sebagai sarana pendapatan umat Islam yang paling besar disamping suatu
kewajiban agama. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa buku ini
merupakan karya yang begitu lengkap dan sangat luas, membahas hukum
zakat dan segala seluk beluknya. Mulai dari zakat pribadi karyawan,
profesi, serta zakat lembaga dan perusahaan. Sehingga dapat dikatakan dari
zakat pedagang kaki lima sampai kepada zakat bermodal raksasa dirinci
cukup jelas dan diperkuat dengan dalil-dalil.
7. Ash Shahwah Al-Islamiah, Bainal Ikhtilafil Masyru’ wat Tafarruqil
Madzmum (Fiqhul Ikhtilaf). Yang juga sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Annur Rafiq Shaleh Tamhid. Dalam buku ini ia
mengupas tentang perbedaan pendapat yang ada harus di landasi kepahaman
terhadap syari‟at dan berjiwa besar.
8. Asas al-Fikr al- Hukm al-Islam (Dasar Pemikiran Hukum Islam). Yusuf
al-Qardhawi memberikan gambaran mengenai pokok-pokok yang mendasari
30
ilmu fiqh, sehingga masyarakat awam dapat mengikuti apa yang sedang
terjadi dalam setiap perkembangan hukum Islam dewasa ini. Al-halal wa al-
Haram fi al-Islam (Halal dan Haram dalam Islam). Dalam buku ini Yusuf
al-Qardhawi memadukan antara ilmu kedokteran, bioteknologi dan
permasalahan manusia modern lainnya dengan kaedah Islam dalam takaran
yang akurat dan tepat.
9. Al ‘Aqlu wal ‘Ilmu fil Qur’anil-Karim, yang diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia oleh Setiawan dengan judul Al-Qur‟an Berbicara
Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Al-Qardhawi menguraikan bahwa
al-Quran meletakkan akal sesuai dengan fungsi dan kedudukannya,
tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan Barat yang menempatkan akal
sebagai “Tuhan” dan segala-galanya bagi kehidupan mereka. Allah
menciptakan akal dalam keadaan terbatas sehingga ia memerlukan
perangkat lain untuk dapat memahami fenomena alam yang tidak mampu
dijangkaunya. Buku ini memberikan suatu pemahaman mengenai kaitan al-
Quran dengan akal dan ilmu pengetahuan, serta sejauhmana rasionalitas dan
keilmiahan al-Quran. Dengan demikian al-Quran bukan saja Kitab suci yang
bila dibaca akan mendapat pahala, tetapi sekaligus sebagai sumber ilmu
pengetahuan bagi manusia agar dapat memaknai hidupnya.
10. Al-Iman wa al-Hayah (Iman dan Kehidupan). Dalam buku ini dipaparkan
dengan jelas tentang kepicikan paham yang menganggap bahwa agama
adalah candu bagi umat atau sebagai pengekang kehidupan. Padahal tanpa
agama dan keimanan manusia tidak mempunyai pegangan hidup, ia akan
senantiasa kebingungan dan ragu-ragu. Lebih jauh dari itu tanpa agama dan
keimanan manusia akan menjadi buas. Iman tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan manusia, apalagi kalau dilihat dari segi fungsi dan kedudukan
manusia, maka iman adalah penentu nasib kehidupan manusia yang dapat
membawa kebahagiaan atau justru sebaliknya.
11. Kaifa Nata’amalu Ma’a As-sunnah An-Nabawiyyah (Bagaimana
Memahami Hadits Nabi saw). Buku ini menjelaskan bagaimana
berinteraksi dengan hadits Nabi saw. Dan tentang berbagai karekteristik
31
serta ketentuan umum yang sangat esensial guna memahami As-sunnah
secara proporsional.
12. As-sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa al-Hadharah. Dialih bahasakan
dengan judul As-sunnah sebagai sumber ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) serta peradaban (Diskursus Kontekstualisasidan Aktualisasi Sunnah
Nabi saw, dalam IPTEK dan peradaban) oleh Setiawan Budi Utomo. Syaikh
Yusuf al-Qaradhawi dalam buku ini memaparkan gagasan keterkaitan antara
as-Sunnah dengan IPTEK dan peradaban, karena menurutnya As-sunnah
selain berfungsi sebagai sumber tasyri‟ (hukum) setelah al-Quran juga
memiliki peran yang sangat penting sebagai pemandu ilmu pengetahuan dan
peradaban. Sebagai agama rahmatan lil „alamin, Islam melalui al-Sunnah
telah memberi bingkai terhadap perkembangan IPTEK dan peradaban agar
berjalan sesuai dengan fithrah dan garisnya. Sehingga idea khairul ummah
yang disematkan oleh Allah kepada pengikut Nabi Muhammad saw, bukan
sekedar doktrin saja, namun dapat dibuktikan oleh realitas sejarah.
13. Min Ajli Shahwatin Raasyidah Tujaddiduddiin wa Tanhadhu bid-
Dunya. (Membangun Masyarakat Baru). Al-Qaradhawi didalam bukunya
ini memaparkan sejumlah pembaharuan pemikiran ke arah membangun
masyarakat baru yang dilandasi al-Quran dan as-Sunnah, karena tidak dapat
dipungkiri bahwa kehidupan manusia atau masyarakat di muka bumi ini
selalu berubah dan berkembang dari suatu kondisi kekondisi yang lain. Pada
satu sisi perkembangan tersebut meluas dan pada sisi lain menyempit.
Hingga apabila dicermati perkembangan kehidupan masyarakat dunia saat
ini, maka akan terlihat bahwa telah berlangsung suatu pertarungan yang
sengit antar nilai, mental dan jiwa dengan arus kehidupan kontradiktif.
14. Syariat Islam di Tantang Zaman. Dalam buku ini Yusuf al-Qaradhawi
mencoba menelusuri liku-liku perkembangan Syariat Islam di hamparan bumi
Allah SWT di sepanjang zaman. Mampukah hukum Islam menghadapi
zaman modern? Jawabannya dicari melalui metode ilmiah yang merujuk
kepada al-Quran dan Sunnah serta hasil ijtihad peninggalan para ulama
mujtahid terdahulu. Berijtihad bukan berarti merubah nash, tetapi
32
bagaimana mampu mengapresiasikan perkembangan masyarakat dengan
fiqh yang diproduk oleh ulama tersebut.
15. Al Islam Baina Subhati Adallafin wa Akazibil al Muftarin. Buku ini
merupakan jawaban dari tuduhan yang dilancarkan oleh para musuh Islam.
Yusuf al-Qardhawi mengungkapkan secara sistematis berbagai kepalsuan
yang didakwakan oleh musuh Islam. Dalam buku ini ia mencoba
memaparkan dan menguraikan tulisan Hassan al-Banna tentang arkanul
bai‟ah (rukun-rukun bai‟ah) yang sepuluh, dengan menyatakan dalil dan
alasan prioritas yang dimilikinya.
16. Madrasah Imam Hassan al-Banna. Yusuf al-Qardhawi mengupas tentang
ketinggian dan keutamaan metode pengajaran Imam Hassan al-Banna untuk
membangkitkan dunia Islam dalam tidurnya yang panjang.
17. Islam Ekstrim. Dengan tajam Yusuf al-Qardhawi mengupas permasalahan
timbulnya ekstreminitas di berbagai daerah Islam. Ternyata sikap ekstrim
itu bersumber dari kelompok tertentu yang banyak bergelut dengan Islam
namun tidak mencerminkan prilaku yang Islami.
18. Ash-Shahwah al-Islamiyyah bain al-Amal wa al Mahadir. Dalam buku ini
Yusuf al-Qardhawi memaparkan bahwa umat Islam saat ini sedang menuju
suatu fase kebangkitan Islam. Suatu fase kesadaran umat dari tidur panjang,
kesadaran akan eksistensinya dan kesadaran akan cita-cita masa depannya.
Suatu kesadaran dan tanggung jawab yang harus diembannya dalam
menghadapi gelombang benturan peradaban yang akan dihadapinya. Buku
ini juga mengupas tentang langkah-langkah apa saja yang harus
dipersiapkan oleh umat Islam untuk mengisi fase kebangkitan ini.
19. Ainal Khalal (Di mana Kerusakan Umat Islam). Buku ini memberikan
diagnosa dan memberi obat mujarab dari penyakit Islam, yaitu
tentang terjadinya kerusakan-kerusakan dalam pergerakan umat Islam.
20. Al- Imam al-Ghazaly baina Madihihi wa Naqidihi (Pro-Kontra Pemikiran
al-Ghazali). Dalam karyanya ini Yusuf al-Qardhawi menguraikan bahwa
kajian-kajian mendalam tentang khazanah intelektual Islam. Tidak akan
pernah meninggalkan konstribusi al-Ghazali dalam pemikiran Islam berikut
33
pengaruhnya yang luar biasa terhadap praktik keagamaan di dunia Islam. Hal
ini dapat dicermati pada beberapa karya beliau yang berkenaan dengan
Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Sosiologi, Psikologi, Metafisika dan Fisika. Tetapi
di tengah-tengah kebesaran al-Ghazali dengan para pendukungnya juga tidak
sepi dari dari para pengkritiknya yang kontra atas pandangan pemikiran al-
Ghazali, baik dari ulama salaf maupun Khalaf. Kemudian ia juga
menggambarkan secara jelas posisi pemikiran al-Ghazali dengan sejumlah
karyanya di tengah- tengah gelombang kritik terhadap dirinya, sekaligus
meluruskan para kritikus yang kurang proporsional.
21. Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami (Norma dan Etika
ekonomi Islam). Di dalam buku ini Yusuf al-Qardhawi mengulas secara
jelas berdasarkan nash-nash tentang sistem ekonomi Islam yang
berprinsipkan keadilan dari segala aspek, mengutamakan norma dan etika
dalam mekanisme dan implementasi yang berkaitan dengan bidang produksi,
kosumsi, sirkulasi dan lain-lain sebagainya.
22. Ghairul Muslimin Fil Mujtama’ Al- Islam. Di dalam buku ini al-
Qardhawi menyajikan nash-nash fiqh dan fakta-fakta sejarah terpercaya
mengenai hak-hak ahl dzimmah (warga-warga non-Muslim) dan jaminan-
jaminan pelaksanaannya. Al-Qardhawi menyanggah dan memperingatkan
kaum muslimin, akan berbagai sumber keraguan yang dikarang dan dibesar-
besarkan oleh lawan-lawan Islam, berdasarkan keterangan dan penjelasan
otentik dari para penulis Muslim maupun penulis Barat dan kaum orientalis.
Ia juga membuat perbandingan antara toleransi Islam dengan berbagai agama
dan ideologi lainnya, sejak berabad-abad yang lalu sampai sekarang. Yang
mana dalam buku ini menjadi referensi dalam penelitian skripsi penulis, dan
penulis akan membahasnya secara rinci dalam konsep ahl dzimmah dan akan
menghubungkan dengan Negara Indonesia.
34
C. Pemikiran dan Tokoh-tokoh yang dikagumi Yusuf al-Qaradhawi
Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi diawali dengan sebuah argumennya yang
memberikan pemahaman bahwa agama Islam adalah agama yang sangat mudah
dan ringan. Terutama mengenai hal-hal yang biasanya dianggap oleh masyarakat
sebagai sesuatu yang susah. Yusuf al-Qaradhawi ingin membebaskan masyarakat
dari sifat fanatik dan taklid terhadap Imam atau Mazhab tertentu, karena Allah
tidak memerintahkan kita untuk mengikuti (Ittiba‟) kepada Mazhab atau Imam
tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar kita mengikuti al-Quran dan as-
Sunnah.
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan beberapa tokoh yang dikaguminya,
dipandangnya turut mewarnai pola pikir dan semangat idealisnya. Di antara
tokoh-tokoh itu ada yang dikenal langsung melalui hubungan pribadi, sebagian
yang lain melalui buku-buku yang dikarang oleh tokoh tersebut. Namun al-
Qaradhawi juga menjelaskan bahwa kekagumannya itu tidak sampai
membuatnya fanatik atau taklid. Ia bukanlah pengikut salah satu tokoh-tokoh
yang dikaguminya. Terkadang ada sisi negatif pada tokoh tersebut, tetapi itu
tidak menghalanginya untuk mengambil yang fositif darinya. Buku-buku al-
Qaradhawi mungkin dapat menjadi bukti, bahwa pemikirannya mempunyai ciri
khas tersendiri.
Di antara tokoh yang dikagumi al-Qaradhawi adalah Hasan al-Banna,
Pendiri sekaligus Pemimpin Besar Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ini
diungkapkannya dalam beberapa bukunya, “bahwa orang yang sangat besar
mempengaruhi pemikiran saya adalah Hasan al-Banna”. Al-Qaradhawi sering
mendengar ceramah Hasan al-Banna ketika ia datang ke Thantha, tempat al-
Qaradhawi bersekolah, bahkan al-Qaradhawi mengikuti Hasan al-Banna ke
beberapa daerah untuk mendengarkan ceramahnya. Ia juga membaca hampir
seluruh tulisan Hasan al-Banna, baik yang berbentuk buku maupun yang
berbentuk artikel yang sering dimuat dalam harian al-Syabab.
Menurutnya tulisan-tulisan al-Banna sederhana bahasanya,
menyenangkan, menyentuh hati, mudah dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat. Hasan al-Banna adalah seorang pemurni ajaran Islam yang tidak
35
terpengaruh oleh paham nasionalisme dan sekulerisme yang dibawa oleh
pembawa pembaharu Mesir sekuler dan penjajah ke dunia Islam. Hasan al-
Banna mendirikan “al-Ikhwan al-Muslimun” pada tahun 1928 di Provinsi
Isma‟iliyah Mesir. Gerakan ini pada mulanya merupakan gerakan dakwah,
pendidikan dan sosial kemasyarakatan yang didirikan untuk mengantisipasi
pengaruh imperialisme barat yang membawa paham sekulerisme seperti
tercermin dari pemikiran Ali „Abd al-Raziq dan Thaha Husein. Gerakan ini
semakin besar dan berubah menjadi kekuatan politik yang sangat
diperhitungkan di Mesir, sehingga Hasan al-Banna harus dihukum mati pada
tanggal 13 Februari 1949 sebagai Hadiah Ulang Tahun Raja Faruq.27
Menurut al-Qaradhawi, Hasan al-Banna merupakan tokoh kharismatik
yang menggabungkan antara pemikiran keagamaan dan politik, antara unsur
spritual dan semangat jihad, idealisme dan pergerakan. Bukan hanya al-
Qaradhawi yang berpendapat demikian, bahkan tokoh-tokoh lain seperti al-
Bahiy, al-Khuly, Sayyid Sabiq, Muhammad al-Ghazali, Musthafa Masyur
27 Yusuf al-Qaradahawi, Nahwa Wahdah Fikrah li al-„Amilina li al-Islam, Syumul al-
Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), h. 7. Pasca penghapusan status protektorat Mesir, politisi
memasuki era konstitusi 19-4-1923, dibentuk undang Mesir baru. Namun karena undang-undang
tersebut banyak disadur dari sistem perundangan barat, sebagian masyarakat Mesir tidak setuju,
karena kondisi riil obyektif Mesir yang mayoritas umat Islam. Hasan al-Banna melihat bahwa
seharusnya undang-undang lebih dekat dengan pemerintah yang berlaku di dunia Islam. Dan
pemakaian hukum Islam sebagai sumber hukum yang berlaku di Mesir. sikap pro dan kontra
terhadap system perundang undangan Mesir itu akhirnya menimbulkan konflik antara tokoh
politik dari kedua kubu partai yang berkuasa ketika itu, al-Wafd dan partai liberal
konstitusional. Kepentingan partai lebih di utamakan dari pada kemaslahatan bangsa dan negara,
keadaan ini meninggalkan kepedihan dan luka mendalam bagi kader partai yang telah
mengorbankan jiwa dan raga untuk menentang Inggris. Kelompok pemuda eks kedua partai
tersebut kemudian mengambil inisiatif untuk mempersatukan barisan mereka, membentuk partai
baru yang diberi nama partai persatuan (Hizb al-Ittihad) pada januari 1925, namun partai ini
kemudian diboncengi oleh kepentingan keluarga istana Mesir, hal ini diketahui karena para
pemimpin partai dikenal dekat dengan para pembesar istana. Tujuan utama yang ingin dicapai
oleh partai ini adalah tegaknya pemerintah sosialis yng di dukung oleh pemerintah koalisi, hal ini
mendorong mereka untuk memperbaiki hubungn dengan pihak Inggris untuk meluruskan usaha
partai. Dengan terjadinya hubungan dengan Inggris maka program dan sistem partai tersebut
menurut Hasan al-Banna, telah merusak kehidupan umat sehingga mendapat pengaruh buruk
dalam kehidupan. Oleh karena itu Hasan al-Banna mengusulkan kepada raja untuk meleburkan
partai-partai yang ada, hingga bersatu dalam pergolakan nasional yang bekerja untuk kebaikan
ummat dan akidah Islam. Hasan al-Banna, Risalah Mu‟tamar al-Khamisdalam Majmu‟ah
Rasa‟il Hasan al-Banna, (Beirut; al-mu‟assasah al-Islamiyah li al-Thiba‟ah wa shahafah wa
nasyr, tt), h. 172-181. Lihat juga, Zakaria Sulaiman Bayyumi, al-Hizbu al-Wathani wa
Dauratuha fi Siyasah al-Diniyah 1912-1953. (Kairo, „Ain syam: Kulliyat al-Adab,1973), h. 119
dan 222. Ishak Musa al-Husaini, Ikhwanul Muslimin, (Jakarta, Grafiti press,1983), h., 20.
36
sependapat dengannya.28
Kekaguman al-Qaradhawi pada Hasan al-Banna
diwujudkan dalam bentuk tulisan. Beberapa pokok pikiran Hasan al-Banna
diuraikannya secara detail dalam beberapa bukunya, seperti “Syumul al-Islam”.
Buku ini menjelaskan pemikiran Hasan al-Banna bahwa Islam merupakan
sistem yang komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan.29
“Syumul al-
Islam” (Islam sistem Konprehensif) merupakan prinsip pertama dari dua puluh
prinsip gerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Prinsip kedua dijelaskan pula oleh
al-Qaradhawi dalam bukunya ”al-Marji‟iyyah al-„Ulya fi al- Islam li al-Quran
wa al-Sunnah” (al-Quran dan Sunnah sumber utama ajaran Islam).
Yusuf al-Qaradhawi menerangkan bahwa usahanya menguraikan pokok-
pokok pikiran Hasan al-Banna itu, tidak berarti bahwa ia memandang Hasan
al-Banna sebagai sosok yang ma‟shum (terjauh dari dosa). Karena prinsip
keenam dari dua puluh prinsip yang dibuat oleh al-Banna menyebutkan bahwa
pendapat setiap tokoh boleh diikuti boleh pula ditinggalkan kecuali pendapat
Nabi SAW. Dalam ilmu akidah, fikih, tasawuf dan ushul fikih banyak karya
para ulama yang dijelaskan oleh murid atau pengikutnya, padahal ulama
itu tidak ma‟shum. Misalnya buku ushul fikih karya al-Baidhawi (w 685H)
“Minhaj al-Wushul fi „Ilm al-Ushul” disyarah oleh Asnawi dalam bukunya
“Nihayah al-Ushul” lalu disyarah oleh al-Badakhsyi dalam bukunya “Manahij
al-Uqul”, karena itu tidak salah, jika ia mensyarah pokok-pokok pikiran Hasan al-
Banna.30
Yusuf al-Qaradhawi tidak hanya sekedar menjelaskan prinsip-prinsip
dasar gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, tetapi ia juga merupakan aktivis
gerakan tersebut sejak duduk di sekolah lanjutan atas. Ia pernah menjadi
anggota Depertemen gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yang dipimpin oleh al-
Bahiy al-Khuliy. Keterlibatannya sebagai aktivis Ikhwan Muslimin
28
Yusuf al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj: H. Mu‟ammal
Hamidy, (Surabaya:PT Bina Ilmu,1976), cet 1, h., 10.
29
Yusuf al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj: H. Mu‟ammal
Hamidy, h., 15.
30
Yusuf al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj: H. Mu‟ammal
Hamidy, h., 16.
37
membuatnya aktif menggerakkan dan memimpin demonstrasi anti imperialism
Barat dan Israel. Ia pernah dijebloskan ke penjara selama 10 bulan tahun 1949 M,
masa pemerintahan Raja Faruq ketika masih duduk di SMU. Tahun 1954 masa
revolusi Mesir ia dipenjarakan selama dua bulan, dan pada tahun yang sama,
tepatnya bulan Nopember ia kembali dijebloskan kedalam penjara selama 20
bulan dan pada tahun 1962 ia dipenjarakan selama 50 hari bersama Dr. Ahmad
„Assal.
Pengalamannya keluar masuk penjara beberapa kali membuatnya
semakin tegar dan ia menetapkan risalah (misi) kehidupannya, adalah mengajak
orang kepada ajaran Islam yang konprehensif, baik dalam pemikiran akidah,
syari‟ah, akhlaq, politik, maupun dalam pemikiran peradaban. Dari gambaran
di atas mungkin dapat dikatakan bahwa al-Qaradhawi terlalu fanatik membela
gerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Namun dugaan ini dibantahnya, karena ia juga
mengkritisi beberapa kekurangan yang mesti diperbaiki dalam gerakan ini.
Beberapa catatan penting itu ditulisnya dalam buku “al-Hall al-Islami faridhah
wa Dharurah”.
Selain tokoh-tokoh Ikhwan yang dikaguminya seperti Muhammad al-
Ghazali, al-Khuli, Yusuf al-Qaradhawi juga mengagumi beberapa guru besar
al-Azhar. Misalnya Dr. Abdullah Darraz, penulis buku “Falsafat al-Akhlaq fi al-
Islam”, ia juga mensyarah buku “al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟at” karya
al-Imam as-Syatibi. Syeikh al-Azhar Dr. Mahmud Syaltut juga dikaguminya,
bahkan Yusuf al-Qaradhawi mempunyai hubungan yang sangat dekat
dengannya sejak sebelum Syaltut menjadi Syeikh al-Azhar. Begitu juga sama
halnya dengan Dr. Abdul Halim Mahmud.
Tokoh lain yang dikaguminya adalah al-Imam al-Ghazali. Ia dinilai oleh
sebagian orang adalah penyebab kemunduran Islam, karena ia menolak filsafat
dalam bukunya “Tahafut al-Falasifah” dan ia pun menjadi penyebab munculnya
aliran-aliran tarekat yang lebih cenderung memikirkan kehidupan akhirat.
Sebaliknya sebagian orang juga membelanya, dalam konteks ini Yusuf al-
Qaradhawi berusaha menjelaskan posisi al-Ghazali yang dikemas dalam bukunya
38
“Imam al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi”. Tokoh lain yang dikaguminya
adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah.
Al-Qaradhawi juga mengagumi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
tokoh pembaharu Islam yang terletak pada keluasan wawasannya dalam
memahami ajaran Islam, pemahamannya terhadap zaman, tidak fanatik, tidak
taklid dan keinginannya yang kuat untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah
seperti yang dilakukan oleh salaf al-shaleh. Dengan keterangan di atas dapat
dikatakan bahwa al-Qaradhawi telah menyerap ilmu pengetahuan dari berbagai
sumber yang kemudian mengkristal pada dirinya. Selain itu, al-Qaradhawi
juga tidak membatasi dirinya pada ilmu-ilmu keislaman saja, ia juga mengkaji
ilmu pengatahuan lainnya seperti falsafah, sejarah, ilmu pendidikan, ilmu jiwa,
sosiologi, ilmu ekonomi, perbandingan agama dan aliran-aliran kontemporer.
Hanya saja diperlukan pula sikap kehati-hatian ketika mempelajarinya, harus
ada sikap kritis, karena saat ini sedang terjadi perang pemikiran (al-Ghazwu al-
Fikri) yang kadang melekat dalam buku-buku tersebut.
Yusuf al-Qaradhawi juga mengagumi sosok Abu al-Hasan al-Nadawy
karena ia seorang modernis yang integralistik. Ia dapat diterima oleh semua
aliran serta kalangan Islam di India dan dunia Islam, yang memungkinkannya
berperan dalam menghilangkan berbagai penyebab pertikaian yang terjadi di
India. Yusuf al-Qaradhawi banyak belajar dari buku-bukunya yang ia jadikan
sebagai sumber rujukan dalam karya tulisnya. Karena menurutnya setiap buku
yang ditulis al-Nadawy memiliki ciri khas tersendiri baik dalam pembahasan
maupun dalam ide pokoknya. Menurut al-Qaradhawi, hampir tidak ada
dikalangan dai kontemporer dan pemikir Islam yang tidak mengambil manfaat
dari bukunya. Al-Qaradhawi tidak saja berguru melalui buku-bukunya, tetapi
juga dengan pertemuan langsung yang terjadi beberapa kali. Sampai al-Nadawy
mendapat julukan Imam Rabbani Islami, Qurani, Muhammadi dan `Alami.
Begitulah al-Qaradhawi menyikapi intelektual Muslim sebelumnya,
boleh mengagumi tapi tidak boleh terbawa oleh kekaguman sehingga menjadi
fanatik yang membabi buta. Meskipun Yusuf al-Qaradhawi kagum dan hormat
kepada tokoh-tokoh di atas, namun tidak sampai melenyapkan sifat kritis yang
39
dimiliki Yusuf al-Qaradhawi. Beliau mengatakan: “di antara nikmat Allah yang
diberi kepada saya ialah terbebasnya saya sejak dini dari ikatan mazhab, taqlid,
dan ta‟ashshub (fanatik) terhadaap pendapat seprang alim tertentu, meskipun
pelajaran fiqh saya yang resmi adalah mazhab Abu Hanifah.”31
31
Winda Alisriani, Telaah terhadap fatwa yusuf al-qardhawi tentang bank air susu ibu
dan konsekwensinya terhadap larangan perkawinan karena sepersusuan, h., 40-46.
40
BAB III
PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG AHL DZIMMAH
A. Konsep Ahl Dzimmah
Ahl dzimmah berasal dari dua kata terpisah, yaitu Ahl dan Dzimmah.
Secara etimologis, kata Ahl berarti kabilah, suku, sanak keluarga atau kerabat.1
Dalam Lisan al-„Arab, Ibn Manzur mendifinisikan kata al-Ahl dengan makna
yang berbeda-beda, sesuai dengan kata sambungnya. Jika digandeng dengan kata
al-Amr (Ahl al-Amr), berarti orang yang mengurusi masalah tersebut. Jika
digandengkan dengan kata al-Rajul (ahl al-Rajul), berarti orang-orang terdekat
disekitar orang tersebut. Jika digandengkan dengan nama semua Nabi, maka
maknanya adalah umatnya.2
Kemudian kata Dzimmah berasal dari kata kerja dzamma-yaadzumu
memiliki arti al-„ahd yang bermakna janji, atau al-Kafalah wa al-Daman yang
berarti tanggungan dan jaminan3 dan juga berarti al-amn yang berarti keamanan.
4
Ditambah juga oleh al-Zabidi dalam Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, bahwa
kata al-dzimmah juga berarti al-Qaum al-Mu‟ahadun yang berarti dzudzimmah,
yakni suatu kaum yang memiliki jaminan perlindungan.5 Dengan demikian,
pengertian ahl dzimmah secara bahasa adalah sekelompok golongan yang
mengadakan perjanjian untuk menjadi bagian dan memiliki ikatan dengan suatu
kelompok masyarakat yang dijaga dan dilindungi.
1 Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidi, Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, Jilid 28,
(Kuwait: Hukumah al-Kuwait, 1385 H/ 1965 M), h., 40.
2 Ibn Manzur, Lisan al-„Arab, (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), Jilid.3, h., 523.
3 Al-Tahir Ahmad al-Zawi, al-Qamus al-Muhit, Jilid.2 (Saudi: Dar Alam al-Kutub li al-
Nasyr wa al-Tawzi, 1417H/1996M), h., 268.
4 Ibn Manzur , Lisanal-„Arab, h.523. Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidi, Taj al-
Aruss min Jawahir al-Qamus, Jilid.28, h., 206.
5 Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidi, Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, Jilid 28,
(Kuwait: Hukumah al-Kuwait, 1385 H/ 1965 M), h., 206.
41
Secara terminologi, Ahl Dzimmah memiliki makna khusus yang dikenal
dalam tradisi keilmuan Islam. Mereka adalah golongan pemilik perjanjian,
pemilik tanggungan dan pemilik jaminan yang disebut dalam hukum fikih sebagai
orang-orang yang mendapat jaminan dari Allah swt dan Rasul-Nya serta kaum
Muslim untuk hidup dengan aman dan tentran dibawah perlindungan Islam di
dalam lingkungan masyarakat Islam.6
Menurut Imam al-Ghazali menuturkan bahwa ahl dzimmah adalah ahli
kitab yang telah balig, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan
membayar jizyah.7 Sedangkan menurut Ibn al-Juza‟i, ahl dzimmah ialah orang
kafir yang merdeka, balig, laki-laki, menganut agama yang bukan Islam, mampu
membayar jizyah dan tidak gila.8 Sa‟id Hawa mengatakan bahwa ahl dzimmah
merupakan sekelompok orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk
tunduk kepada hukum dan kekuasaan Allah SWT. sehingga masuk dalam
perlindungan kaum Muslim.9
Menurut Jonathan, dzimmi adalah sekelompok orang kafir yang hidup
(bertempat tinggal) di wilayah yang berada di bawah kekuasaan Muslim. Menurut
Sayyid Sabiq, dzimmi berbeda dengan kafir muahad. Kafir muahad adalah
orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan orang Islam, baik perjanjian itu
berisi memohon jaminan keamanan dari orang Islam ataupun perjanjian dengan
cara gencatan senjata yang ditetapkan oleh penguasa Islam, maupun
berdasarkan kontrak fidyah.10
6 Abdul Aziz Dahlan, Einsklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichitiar Baru Van Hoeve,
2006).Jilid 5, cet. Ke-7, h., 202.
7 Abu Hamid al-Ghazal, Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam al-Syafi, Vol. 2, (Mesir: Muhammad
Mustafa, 1318 H), h., 198.
8 Muhammad ibn Ahmad ibn al-Juza‟i al-Kalabi, Al-Qawanun al-Fiqhiyyah fi Talkhias
al-Mazhab al-Malikiyyah, (Beirut: Dar al-Qalam, t. t), h., 184.
9 Said Hawa, Al-Islam. Terj. Abdul Hayyi al-Kattani.et.al, (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), h., 294.
10
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, alih bahasa Nor Hasanuddin, cet.2 (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2007),. vol: III, h., 48.
42
Menurut Yusuf al-Qaradhawi kata Dzimmah berarti perjanjian, jaminan
dan keamanan. Mereka dinamakan demikian karena mereka memiliki jaminan
perjanjian („abd) Allah dan Rasul-Nya serta jaminan kaum Muslimin untuk hidup
dengan aman dan tentram dibawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan
masyarakat Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin
berdasarkan akad dzimmah. Dengan demikin menurut al-Qaradhawi dzimmah ini
memberikan kepada orang-orang non-Muslim suatu hak yang di masa sekarang
mirip dengan apa yang disebutsebagai kewarganegaraan politis yang diberikan
oleh negara kepada rakytnya. Dengan itu pula mereka memperoleh dan terikat
pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban semua warga negara.11
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berasumsi bahwa ahl dzimmah
merupakan orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk patuh pada
aturan hukum Islam sehingga memiliki ikatan dan menjadi bagian dari penduduk
Negara Islam yang mendapat jaminan perlindungan.
Muhammad Khair Haekal menyatakan bahwa sesungguhnya dalam
konteks Negara Islam dikenal frasa Dar al-Islam yang merupakan istilah syar‟i
yang dipakai untuk menunjukan realitas tertentu dari sebuah negara. Ada juga
frasa Dar al-Kufr yang merupakan istilah syar‟i yang digunakan untuk
menunjukan realitas tertentu dari sebuah Negara yang berlawanan dengan Dar al-
Islam. Begitu pula dengan istilat Dar al-Dufar, Dar al-Syirk dan Dar al-Harb
yang semuanya adalah istilah syar‟i yang maknanya sama untuk menunjukan
realitas tertentu dari sebuah negara.12
Istilah Dar al-Islam dan Dar al-Kufr telah dituturkan di dalam sunnah
dan atsar para Sahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi
saw. bahwa beliau pernah bersabda: “Semua hal yang ada di dalam Darul
11
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, (Bandung: Mizan, 1994). h.,18-19.
12
Muhammad Khair Haekal, al-Jihad wa al-Qital, vol.1, h . 660. Lihat pula: Imam asy-
Syafi‟i, al-Umm, vol: IV, h., 270-271.
43
Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam
Dar asy-Syirk telah dihalalkan.”13
Maksud dari riwayat di atas adalah bahwa semua orang yang hidup di
dalam Dar al-Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dar al-
Islām tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada
alasan yang syar‟i. Sebaliknya, harta dan darah penduduk Dar al-Kufr
tidaklah terpelihara, kecuali ada alasan syar‟i yang mewajibkan kaum Muslim
melindungi harta dan darahnya.14
Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf, dituturkan bahwa ada sebuah
surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk Hijrah. Dalam surat
itu tertulis:
“Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirrah yang menjalin
perjanjian dzimmah), yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang
yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus
ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari
pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal
kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul
Islam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Darul Hijrah maka
tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.”15
Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw.
adalah tempat yang boleh diperangi; disebut Dar al-Ḥarb serta tempat untuk
berjihad.”16
Di dalam Hasyiyah (catatan pinggir) Ibnu Abidin atas kitab al-Dur
al-Mukhtar Syarḥ Tanwir al-Abshar disebutkan: “Darul Islam tidak akan berubah
menjadi Darul Harbi (karena) misalnya, orang kafir berhasil menguasai negeri
kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan
atas mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah
(perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Darul Islam), atau negeri
13
Imam al-Mawardi, Ahkam as-Sulthaniyyah, Tahqiq: Dr. Ahmad Mubarok al-
Baghdadi (Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah, 1989), Cet.I, h., 60.
14
Muhammad Khair Haekal, Al-Jihad wa al-Qital, h., 660.
15
Abu Yusuf, Al-Kharaj, (Qohiroh: Maktabah Al-Salafiyah, 1971), h., 155-156.
16
Imam Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Atsar, Tahqiq: Muhammad Munir Ad- Dimasyqi
Ahmad Muhamad Syakir (Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 1427), vol.VII, h., 305.
44
mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Darul
Islam berubah menjadi Dar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat. Adapun
Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, cukup dengan satu syarat saja,
yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.”17
Di dalam kitab al-Siyasah al-Syar‟iyyah karya Syaikh Abd al-Wahhab
Khalaf dituturkan: “Darul Islam adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya
hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum
Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmi. Adapun Dar al-
Harb adalah negeri yang didalamnya tidak diberlakukan hukum-hukum Islam
dan keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim.”18
Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan didalam
kitab al-Siyasah al-Syar‟iyyah karya Syaikh Abd al-Wahhab Khalaf sebagai
berikut: “Penetapan suatu negeri termasuk Darul Islam atau darul al-kufur
harus memperhatikan dua perkara. Pertama: hukum yang diberlakukan di
negeri itu adalah hukum Islam. Kedua: keamanan di negeri itu harus dijamin
oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya. Jika suatu negeri memenuhi dua
perkara ini maka ia disebut Darul Islam dan negeri itu telah berubah dari Darul
Kufur menuju Darul Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka
negeri itu menjadi Darul Kufur. Negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-
hukum Islam adalah Darul Kufur. Begitu pula sebaliknya, jika negeri Islam
menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak dijamin oleh
kaum Muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin oleh kaum kafir, maka
negeri itu termasuk Darul Kufur. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim
sekarang ini termasuk Darul al-Kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak
menerapkan hukum Islam. Suatu negeri juga tetap disebut Darul Kufur
seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas
kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam
17
Hasyiyyah Ibnu Abidin, Ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar (Riyadh: Dar
Alam al-Kutub, 2003), Vol.3, h., 390.
18
Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, As-Siyasah asy-Syar‟iyyah, (Beirut: Dar al- Kutub As-
Syar'iyyah, 1989), h., 69.
45
keadaan semacam ini, keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir, dan
secara otomatis ia termasuk Darul Kufur.”19
Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas,
pendapat yang paling rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa dar al-
Islam adalah negeri yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan
Islam (diatur dengan hukum Islam) dan pada saat yang sama, keamanan negeri
tersebut baik keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah kendali kaum
Muslim.20
Melalui analisis para ahli tersebut dapat penulis kesimpulkan bahwa
sebenarnya tidak semua orang kafir menentang ajaran Islam dan Muslim.
Kelompok dzimmi adalah kelompok orang kafir yang justru hidup di bawah
perlindungan Muslim. Dengan perjanjian tertentu dan kewajiban membayar
jizyah, kelompok minoritas dzimmi ini berharap mendapatkan perlindungan dari
kelompok mayorits Muslim. Hubungan antara Muslim dan non-Muslim sama
sekali tidak dilarang oleh Allah swt. selama pihak-pihak lain menghormati hak-
hak Muslim. Dasar pertama dalam perlakuan terhadap Ahl Dzimmah dalam Darul
Islam ialah bahwa mereka memiliki hak-hak yang sama seperti yang dimiliki
kaum Muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu, sebagaimana mereka
dibebani kewajiban-kewajiban yang sama seperti yang dibebankan atas kaum
Muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu.
B. Hak-Hak Ahl Dzimmah
Komunitas non-Muslim yang berada dalam tanggungan kaum Muslim
(Dzimmah al-Muslimin), mendapatkan status dan perlakuan yang baik sejauh
mereka masih menetap di wilayah Islam dan tidak mengkhianati perjanjian yang
telah disepakati dengan kaum Muslim. Perjanjian yang bermuara pada jaminan
mendapatkan hak dan kewajiban sebagai bagian dari warga Negara Islam yang
dilindungi tersebut akan berlaku selama ia hidup dan bagi anak cucunya di hari
19
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-
Umah, 1996), vol: II, h., 215-216.
20
Muhammad Khair Haekal, Al-Jihad wa al-Qital, h., 669.
46
kemudian. Bahkan jika mereka lalai dalam menjalankan perjanjian yang telah
disepakati dan bukan karena berniat melakukan pengkhianatan dan
pemberontakan, negara tidak serta merta memutuskan perjanjian tersebut.21
Secara umum, ahl dzimmah mendapatkan hak-hak yang sama dengan yang
diperoleh kaum Muslim, hanya dalam masalah tertentu yang menyangkut
keamanan negara saja mereka mempunyai hak sedikit terbatasi. Sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam ajaran-ajaran Islam dan dibuktikan secara nyata oleh
fakta sejarah bahwa mereka (ahl dzimmah) dijamin mendapatkan hak-haknya,
bahkan Rasulullah SAW mengancam keras bagi siapapun yang berbuat aniaya
dan menghilangkan hak-hak kaum dzimmi, yaitu :
“ingatlah! Barangsiapa berlaku zalim terhadap mu‟ahid (non-Muslim yang
mengikat janji setia dengan pemerintahan Islam), mengurangi haknya,
membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta
mereka tanpa kerelaan mereka, maka akulah nantinya yang akan memusuhinya di
hari kiamat kelak” (HR. al-Khatib).
Sebenarnya, penyebutan ahl dzimmah tersebut memberikan isyarat bahwa
mereka (non-Muslim) mendapatkan jaminan dari Allah, Rasul-Nya, dan kaum
Muslim untuk dapat hidup dan memiliki ikatan di bawah naungan Islam dengan
aman dan damai, mereka ini yang dalam istilah sekarang berstatus warga negara
dalam suatu negara Islam.22
Selanjutnya, mereka yang telah mendapatkan jaminan
tersebut harus dilindungi dan diperlakukan sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Seorang ahli fikih, Maliki Syihabudin al-Qarafi menyinggung masalah
tanggung jawab umat dan negara terhadap ahl dzimmah ini dengan mengatakan :
“Perjanjian perlindungan adalah menentukan hak yang harus kita patuhi,
karena sesungguhnya mereka itu ada di samping kita, dalam perlindungan kita,
dalam perjanjian kita, dalam perjanjian Allah, dalam perjanjian Rasulullah SAW
dan dalam perjanjian Islam. Oleh karena itu, barang siapa yang mengganggu
mereka kendati dengan sepatah kata yang tidak baik, atau dengan mengumpat
21
Abul A‟la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Terj. Asep Hikmat
(Bandung: Mizan, cet. vI, 1998), h., 309.
22
Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah,
Cet. 22, 1418 H/1997 M), h., 292.
47
yang menodai kehormatan mereka, atau dengan gangguan apapun, maka sungguh
ia (yang menganiaya tersebut) telah mengenyampingkan perjanjian Allah,
Perjanjian Rasulullah SAW, dan perjanjian Islam.”23
Menurut pandangan Yusuf al-Qaradhawi, dasar pertama dalam perlakuan
terhadap Ahl Dzimmah dalam Darul Islam ialah bahwa mereka memiliki hak-hak
yang sama seperti dimiliki kaum Muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu,
sebagaimana mereka dibebani kewajiban-kewajiban yang sama seperti yang
dibebankan atas kaum Muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu.
Adapun terhadap hak-hak yang diperoleh oleh non-Muslim selama
berstatus ahl dzimmah adalah sebagai berikut:24
1. Hak Mendapatkan Perlindungan atau Keamanan
Hak mendapatkan perlindungan adalah hak pertama yang harus dimiliki
oleh ahl dzimmah ketika berada dibawah naungan negara Islam dan masyarakat
Islami. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap segala macam
pelanggaran (serangan) yang berasal dari luar negeri maupun terhadap segala
macam kezaliman yang berasal dari dalam negeri, sedemikian sehingga mereka
bener-bener menikmati rasa aman dan tentram.25
Tidak hanya itu, mereka harus
mendapatkan perlindungan nyawa dan badan, perlindungan terhadap harta benda,
perlindungan terhadap kehormatan dan mendapatkan jaminan hari tua dan
jaminan kemiskinan. Perlindungan ini tidak mungkin bisa terwujud tanpa adanya
jaminan yang pasti dari syariat Islam.
Yusuf al-Qaradhawi membagi hak perlindungan yang dimiliki oleh ahl
dzimmah menjadi beberapa bagian:
a. Hak Perlindungan Terhadap Pelanggaran Dari Luar Negari
23
Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, h., 293.
24
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, (Bandung: Mizan, 1994). h.,15.
25
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h.,21-22.
48
Mengenai perlindungan terhadap pelanggaran yang berasal dari luar
negeri, mereka memiliki hak yang sama seperti yang dimiliki kaum Muslimin.
Kewajiban seorang Imam atau Waliyul Amri dari kalangan Muslimin untuk
menyelenggarakan perlindungan seperti ini dengan kekuasaan yang
dilimpahkan kepadanya oleh syariat serta kekuatan militer yang berada di
bawah wewenagnya. Dalam kitab Mathalib Ulin Nuba (salah satu kitab dalam
mazhab Imam Hambali) disebutkan “seorang Imam wajib menjaga
keselamatan ahl dzimmah dan mencegah siapasaja yang mengganggu mereka,
melepaskan mereka dari tindakan penawanan dan menolak kejahatan siapa
saja yang hendak menunjukan kepada mereka. Hal ini berlaku selama mereka
berdiam di negeri Darul Islam.26
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, mengutip dalam bukunya al-Faruq Imam
Qarafi al-Maliki menukilkan ucapan Ibn Hazm dalam bukunya Maratib al-
Ijma‟, “Apabila kaum kafir dating ke negeri kita karena hendak mengganggu
orang yang berada dalam perlindungan akad dzimmah maka wajib atas kita
menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata,
bahkan kita siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada
dalam dzimmah Allah swt dan Rasul-Nya saw. Menyerahkannya kepada
mereka tanpa upaya-upaya tersebut dianggap menyia-nyiakan akad dzimmah.
Ketika ahl dzimmah mendapatkan ancaman atau berupa tekanan dari luar,
maka syariat Islam mewajibkan kepada negaranya untuk mengantisipasi serta
menetralisir ancaman tersebut.27
Diantara sikap-sikap penerapan konsep Islami ini ialah seperti yang pernah
diriwayatkan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ketika orang-orang Tar-tar
menguasai negeri Syam, Ibnu Taimiyah pergi menemui Qathlu Syah agar
melepaskan para tawanan. Panglima pasukan Tar-tar itu mengizinkan
pelepasan para tawanan dari kalangan ahl dzimmah. Segera Ibnu Taimiyah
26
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 22.
27
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 23.
49
berkata kepadanya: “Kami tidak akan merasakan puas kecuali dengan
pelepasan seluruh tawanan, termasuk kaum Yahudi dan Nasrani karena
mereka adalah orang-orang terikat kepada dzimmah kami. Oleh sebab itu,
kami tidak akan membiarkan tetap tertawannya ahl dzimmah ataupun ahl
millah (yakni kaum Muslimin). Akhirnya, karena melihat ketetapan hati Ibnu
Taimiyah, panglima tersebut melepaskan semua tawanan.28
b. Hak Perlindungan Terhadap Kezaliman di Dalam Negeri
Perlindungan terhadap kezaliman yang berasal dari dalam negeri adalah
sesuatu yang diwajibkan oleh Islam, bahkan sangat diwajibkan. Islam
memperingatkan kaum Muslimin agar jangan sekali-kali mengganggu dan
melanggar hak ahl dzimmah , baik dengan tindakan ataupun ucapan.
Sedangkan Allah swt tidak menyukai orang-orang zalim dan tidak pula
memberi mereka petunjuk. Sebaliknya, ia akan menyegerakan azab atas
mereka atau menagguhkan hukuman atas mereka di akhirat secara berlipat
ganda.29
Amat banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang secra umum mengharamkan
kezaliman dan mencelanya dengan keras serta mengingatkan akan akibatnya
yang sangat buruk diakhirat maupun di dunia. Dalam sebuah hadis qudsi Allah
berfirman:
ػ ـب ش سهى ف ى للا ػه صهـ انج ، ػ للا ػ رس انغفبسي سض أثـ ػز ػ سث
لبل : جم أ اب ػجبدي يب ؛ فل رظبنـ ـكى يذش جؼهز ث ، يذ انظهى ػهـى فس دش إـ
Artinya: “Dari Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu anhu bahwa Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam meriwayatkan Firman Allah Azza wa Jalla,
“Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-
Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian. Maka, janganlah kalian
saling menzhalimi.” 30
28 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 24.
29
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 24-25.
30
Imam Muslim, Shahih Muslim (Kairo: Maktabah Dahlan,2000), jilid 4, h., 1994.
50
Dari hadis qudsi tersebut bisa dipastikan bahwa Islam adalah agama yang
anti kezaliman. Selain hadis tersebut sangat banyak ayat-ayat Al-Quran dan
hadis Nabi yang mengharamkan kezaliman, dan memberikan ancaman yang
keras terhadap pelakunya. Sehingga ditarik kesimpulan ajaran manapun yang
mengatasnamakan agama Islam, namun masih terdapat rasa ketidak adilan dan
kezaliman, ajaran tersebut diyakini bukan bersumbar dari Islam.
Menurut al-Qaradhawi, ketika non-Muslim berada di bawah naungan
negara Muslim, mereka sudah dipastikan mendapatkan jaminan keamanan dari
ganguan manapun, bahkan dari gangguan orang Islam sendiri. Secara khusus
banyak hadis Nabi dan perkataan para sahabat yang menyatakan bahwa
keamanan mereka sudah dijamin oleh Allah dan rasulnya.31
Berikut hadis yang menjamin keamanan mereka:
ت فس، فأ أل ي ش ط ئب ثغ ش أخز ي ، أ ق طبلز كهف ف زمص، أ ا ج ظهى يؼبذا، أ ب دج
و انمبيخ
Artinya: “Ingatlah, siapa yang sewenang-wenang terhadap orang yang terikat
perjanjian, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau
mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan darinya (merampas), maka aku
adalah lawan bertikainya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud).32
Dalam hadis lain Nabi Muhammad saw juga bersabda:
لزم يؼبذا ػبيبي شح أسثؼ يس جذ ي ذب ر س إ نى شح سائذخ انجخ
Artinya: “Barang siapa yang membunuh orang yang terikat perjanjian, maka
dia tidak akan mencium bau surga, sungguh bau surga itu tercium dari jarak
perjalanan 40 tahun” (HR al-Bukhari).33
Umar ibnu al-Khattab ketika menjabat sebagai khalifah sering bertanya
kepada orang yang dating dari daerah-daerah tentang keadaan ahl dzimmah
31
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adz-Dzimmah Menurut Yusuf al-
Qaradhawi, h., 56
32
Imam as-Shayuthi, al-Jami as-shagir, (Hidayah, 1999), jilid 2, h., 158.
33
Imam Baihaki, Sunan al-Kubra, (Darul ma‟arif Usmaniyah, 1984), jilid 9, h., 205.
51
karena khawatir ada di antara kaum Muslimin yang menimbulkan suatu
gangguan terhadap mereka. Orang-orang itupun berkata, “Tidak ada sesuatu
yang kami ketahui kecuali pelaksanaan perjanjian dengan sebaik-baiknya. Ali
bin Abi Thalib R.A pernah berkata: ”ahl dzimmah membayar jizyah agar harta
mereka sama seperti harta kita dan nyawa mereka seperti nyawa kita (yakni
memperoleh jaminan penuh).34
Dari kumpulan hadis dan perhatian para sahabat terhadap ahl dzimmah,
Para fuqaha (ahli-ahli fikih) dari seluruh mazhab menegaskan bahwa kaum
Muslimin wajib mencegah kezaliman apapun yang menimpa ahl dzimmah
serta memelihara keselamatan mereka. Bahkan Ibnu Abidin dalam bukunya
Hasyiya menyatakan, bahwa berbuat zalim kepada ahl dzimmah lebih besar
dosanya dari pada berbuat zalim kepada sesama muslim.35
Hal itu mengingat
bahwa seorang dzimmi dalam Negara Islam biasanya lebih lemah
kedudukannya, sedangkan kezaliman yang dilakukan oleh orang yang lebih
kuat terhadap orang yang lebih lemah lebih besar dosanya.
c. Hak Perlindungan Nyawa dan Badan (kehidupan)
Hak perlindungan yang ditetapkan bagi Ahl Dzimmah mencakup
perlindungan keselamatan darah, nyawa dan badan mereka sebagaimana
mencakup pula seluruh kehidupannya.36
Dalam hadis Nabi saw bersabda:
ػ سجم ي أصذبة انج صهى للا ػه سهى أ سسل للا صهى للا ػه سهى لبل : ي لزم سجل
)سا انسبء ادذ( سذب نجذ ي يسشح سجؼ ػبيبي أم انزيخ نى جذ سخ انجخ، إ
Artinya:”Dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu
„alaihi wa sallam : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam
telah bersabda : “Barangsiapa yang membunuh seorang laki-laki dari
kalangan ahl dzimmah, niscaya ia tidak akan mencium bau surga.
34 Al-Mughni, jilid viii, h., 445, al-Badai‟, jilid vii, h., 111, dikutip dari buku Ahkam adz
Dzimmiyah wal Mustakmanin, h., 89.
35
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 13.
36
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 28.
52
Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh
tahun”.37
Dalam hadits lain Nabi Muhammad saw bersabda:
ث ػجذ للا ذ ػ ثب يجب دذ ثب انذس ادذ دذ ثب ػجذ ان دفص دذ س ث ثب ل صهى دذ انج ش ػ ػ
ػه يسشح أس للا سذب نجذ ي إ لزم فسب يؼبذا نى شح سائذخ انجخ سهى لبل ي ػبيب ثؼ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qais bin Hafsh telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Al
Hasan telah menceritakan kepada kami Mujahid dari Abdullah bin Amru dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membunuh orang
kafir yang telah mengikat perjanjian (mu'ahid) dengan pemerintahan
muslimin, ia tak dapat mencium harum surga, padahal harum surga dapat
dicium dari jarak empat puluh tahun.”38
Dari hadis tersebut sudah jelas adanya jaminan kehidupan khususnya
nyawa dan badan dari ahl dzimmah agar dilindungi dalam suatu negara, dan
Rasulullah saw mengancam keras bagi orang yang membunuhnya. Karena itu,
kaum fuqaha sepakat bahwa pembunuhan terhadap seorang dzimmi
merupakan dosa besar, bahkan termasuk dosa-dosa keji terbesar mengingat
ancaman keras dalam hadits tersebut. Bahkan al-Qaradhawi berpendapat,
bahwa pelaku pembunuhan tersebut boleh di hukum qishas, meskipun
pendapat ini tidak sama dengan mayoritas ulama.39
d. Hak Perlindungan Keamanan Harta Benda
Seperti halnya perlindungan terhadap jiwa dan nyawa mereka, demikian
pula perlindungan terhadap harta benda mereka. Hal ini merupakan
37
Diriwayatkan oleh An-Nasa‟i 8/25 dan Ahmad 4/237 dan 5/369 dari jalur Al-Qasim bin
Mukhaimirah, darinya. Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy berkata: “Sanadnya shahih, kemajhulan
seorang shahabat tidaklah merusak keshahihan hadits sebagaimana dijelaskan dalam ilmu
Mushthalah Hadits”.
38
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, h., 224.
39
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 12.
53
kesepakatan kaum Muslimin dari semua mazhab diseluruh negeri dan pada
seluruh masa pemerintahan yang bergantian. Sesungguhnya Islam merupakan
agama fitrah, maka tidak ada satu pun prinsip yang bertentangan dengan fitrah
atau merusak fitrah itu sendiri. Prinsip-prinsip itu sesuai dengan fitrah, bahkan
terkadang meluruskannya dan meningkat bersamanya. Di antara fitrah yang
telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik (kepemilikan).
Bahkan naluri kepemilikan ini sudah terdapat pada anak-anak, tanpa ada yang
mengajari dan menuntun.40
Diantara pesan-pesan Umar kepada Abu Ubaidillah ialah: “cegahlah kaum
Muslimin dari bertindak zalim terhadap mereka (yakni ahl dzimmah),
mengganggu ataupun memakan harta mereka kecuali dengan cara-cara yang
menghalalkannya”.
Ali r.a berkata: “Siapasaja mencuri harta milik seorang dzimmi akan
dipotong tangannya, siapa merampasnya akan dihukum dan harta itupun akan
dikembalikan kepada pemiliknya. Siapa berhutang kepada seorang dzimmi
harus melunasinya, dan jika ia dengan sengaja mengulur-ngulur waktu
pembayarannya sedangkan ia mampu, maka hakim akan memenjarakannya
sampai bersedia membayar hutang itu.”
Perhatian dan pemeliharaan Islam terhadap kesucian harta dan milik
mereka mencapai kesempurnaan, sedemikian sehingga ia menghormati
apasaja yang mereka anggap sebagai harta sesuai dengan agama mereka,
meskipun hal itu tidak dianggap sesuatu yang berharga dalam pandangan
kaum Muslimin.41
Karena Islam sangat melindungi harta benda setiap orang, maka
disyariatkan hukum pemotongan tangan bagi sipelaku pencurian, jika sudah
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Firman Allah swt dalam Q,S al-
Maidah/5:38
40
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 34-35.
41
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 36
54
ب ذ بسلخ فبلطؼا أ انس بسق انس ػزز دكى للا للا ب كسجب كبل ي جزاء ث
Artinya: ”Dan pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan mereka
sebagai balasan atas perbuatan mereka”. (Q.S. Al-Maidah/5 : 38)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syaidah Aisyah ”bahwa Nabi
Muhammad saw memotong tangan pencuri, ketika nilai curiannya seperempat
dinar atau lebih”.42
Seorang Muslim tidak diperkenankan merampas harta ahl
dzimmah, karena tindakan itu jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam yang telah di berlakukan dalam konteks interaksi (pergaulan) dengan
orang-orang non-Muslim yang hidup di bawah naungan orang Islam. Dalam
kitab al-Furuq Li al-Imam al-Qaurafi, diceritakan bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Ibnu Abbas ra,” Kami berpapasan dengan ahl dzimmah.
Kemudian kami mengambil sesuatu dari mereka”. Ibnu Abbas lalu
berkata,”Kalian tidak boleh mengambil sesuatupun dari ahl dzimmah kecuali
hal itu didasari kesepakatan antara kalian dengan mereka”.43
Abu Yusuf dalam kitabnya al-kharraj menyatakan bahwa Abu Bakar
ketika menjabat sebagai khalifah menulis surat kepada penduduk Najran, salah
satu isi dari surat tersebut yaitu: ”Bagi penduduk Najran dan sekitarnya ada
jaminan Allah dan Rasulnya untuk agama mereka, harta dan perdagangan
serta seluruh yang mereka miliki.”44
Menurut al-Qaradhawi mengenai hak perlindungan harta benda ahl
dzimmah. Tidak jauh berbeda dari pembahasan sebelumnya, yaitu diharamkan
segala bentuk kezaliman terhadap ahl dzimmah. Namun, al-Qaradhawi
membahas ini karena mengingat ada perbedaan jenis harta diantara orang
Muslim dengan orang non-Muslim. Minuman keras dan binatang babi tidak
boleh dimiliki oleh orang Islam, baik untuk dirinya atau diperjual belikan,
karena keduanya tidak dikatagurikan harta bagi orang muslim, dan bagi siapa
42
Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 3, h. 1312. Dan Imam An-nawawi, Shahih, h., 196.
43
Muhammad as-Sayyid Yusuf dan Ahmad Durrah, Pustaka Pengetahuan al- Quran,
terjemah Abu Bakar Ahmad. (Bandung: Ankasa, 2008), Jilid 3, h., 111.
55
yang merusak kedua benda tersebut dari orang Islam, maka tidak ada sanksi
yang akan dijatuhkan, bahkan orang tersebut mendapatkan pahala, karena
melaksanakan amar ma‟ruf dan nahi munkar. Akan tetapi, bila khamr dan
babi itu dimiliki oleh seorang non-Muslim, keduanya dianggap harta berharga
olehnya. Bahkan mungkin termasuk harta yang paling berharga. Maka seperti
yang dinyatakan oleh ahli-ahli fiqh mazhab Hanafi, barang siapa merusak
sesuatu dari kedua-duanya milik seorang dzimmi, maka ia harus membayar
ganti harganya.45
e. Hak Perlindungan Terhadap Kehormatan Ahl Dzimmah
Islam memberikan perlindungan terhadap kehormatan dan harga diri
seorang dzimmi seperti halnya terhadap kaum Muslimin. Siapa saja tidaklah
dibolehkan mencaci seorang dzimmi ataupun menunjukan tuduhan palsu
terhadapnya, menjelekkannya dengan suatu ucapan yang tidak disukainya,
baik yang bersangkutan dengan dirinya sendiri, nasabnya, perilakunya, bentk
tubuhnya atau apasaja selain itu yang berhubungan dengannya.
Yusuf al-Qaradhawi mengutip perkataan Syihabuddin al-Qarafi,
”Sesungguhnya akad dzimmah mewajibkan berbagai hak untuk mereka, sebab
mereka itu berada dalam lingkungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita
dzimmah Allah, Rasul-Nya dan agama Islam. maka barang siapa membuat
pelanggaran atas mereka walaupun dengan satu kata busuk atau gunjingan, ia
sudah menyia-nyiakan dzimmah Allah, dzimmah Rasul-Nya serta dzimmah
agama Islam.”46
Dapat dapat diambil kesimpulan, bahwa Islam tidak akan membiarkan ada
kezaliman, atau nama baik seorang tercoreng meskipun ia beragama selain
44
Abu Yusuf Ya‟qub ibnu Ibrahim, Al-kharraj, (Libanon: Darul ma‟rifah, 1979), h., 73. 45
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 36.
46
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 37.
56
Islam. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri mendapat teguran, ketika beliau
mengira bahwa yang bersalah adalah orang non-Muslim.
f. Hak Mendapatkan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kemiskinan
Islam memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi orang-orang non-
Muslim yang berdiam di daerah kekuasaan Muslimin serta keluarga yang
menjadi tanggungan mereka. Sebab mereka adalah rakyat negeri Islam dan
menjadi tanggungannnya khususnya hak mendapatkan jaminan hari tua dan
jaminan kemiskinan.47
Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan, bahwa setiap orang yang berlindung di
bawah nauangan pemerintahan Islam, akan mendapatkan jaminan kehidupan
yang layak bagi dirinya dan keluarganya. Karena mereka mereka merupakan
rai‟ah (rakyat) bagi pemerintahan Islam, dan yang menjalankan roda
pemerintahan tersebut akan mempertanggung jawabkan seluruh urusan
kepemerintahannya.48
Sabda Nabi Muhammad saw :
سػز كهكى يسئل ػ كهكى ساع
Artinya:”Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan
mempertanggung jawabkan dengan kepemimpinannya”49
Menurut al-Qaradhawi, salah satu yang menjadi sandaran hukum, atas
diberlakukannya jaminan hari tua dan jaminan kemiskinan bagi ahl dzimmah
adalah surat yang ditulis oleh Khalid Bin Walid atas perintah Abu Bakar
kepada penduduk Hirah di Irak, isi surat tersebut ”orang tua manapun yang
sudah tidak bisa bekerja, atau menderita sebuah penyakit (menyebabkan tidak
bisa bekerja), atau orang kaya yang mengalami kemiskinan sehingga
menerima sedekah, maka aku akan menghentikan kewajiban jizyah. Dia
47
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 38.
48
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 17.
49
Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 3, h., 1459.
57
beserta keluarganya berhak untuk mendapatkan santunan dari baitul mal.50
Al-
Qaradhawi juga menambahkan, apa yang ditulis oleh Khalid Bin Walid adalah
merupakan ijma‟ dari para sahabat, karena penulisan tersebut dihadiri oleh
sebagian besar para sahabat nabi.51
2. Hak Mendapatkan Kebebasan
Diantar hak-hak ahl dzimmah yang dijaga dan dilindungi oleh Islam ialah
hak kebebasan. Yang terpenting diantaranya ialah kebebasan beragama dan
beribadah.52
Setiap orang berhak memeluk agama dan kepercayaannya masing-
masing. Tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan ataupun dilakukan penekatan
dengan cara apapun aagar berpindah ke agama Islam. Piagam Madinah sudah
membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sangat toleran dengan agama lain.
Yusuf al-Qaradhawi membagi hak kebebasan yang dimiliki oleh ahl
dzimmah sebagai berikut:
a. Hak Kebebasan Beragama
Diantara hak-hak Ahl Dzimmah yang dijaga dan dilindungi oleh Islam
ialah hak kebebasan. Yang terpenting diantaranya ialah kebebasan beragama
dan beribadah. Setiap orang berhak memeluk agama dan keyakinannya
masing-masing. Tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan ataupun dilakukan
dengan cara apapun agar berpindah ke agama Islam. Landasan hak ini ialah
Firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah/2:256:
ش انش لذ رج ح ل إكشا ف انذ سك ثبنؼش فمذ اسز ثبلل ؤي كفش ثبنطبغد ف انغ ذ ي
غ ػهى س للا فصبو نب ثمى ل ا ان
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang
siapa yang ingkar terhadap Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat, yang tidak
50 Abu Yusuf Ya‟qub Ibnu Ibrahim, Al-Kharraj, h., 144.
51
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 17.
52
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 42.
58
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-
Baqarah/2 : 256)
Yusuf al-Qaradhawi mengutip pendapat ulama tafsir, Ibnu Katsir berkata:
“ Jangan memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam. Sebab sudah cukup
jelas petunjuk-petunjuk dan bukti-buktinya, sehingga tidak perlu ada
pemaksaan terhadap seseorang untuk memasukinya.”
Ahmad Syalabi dalam bukunya yang berjudul muqaranat al-adyan,
mengutip salah satu ucapan sejarawan Barat yang mengatakan,”Sebenarnya
banyak bangsa yang tidak mengenal adanya penakluk yang penuh cinta kasih
dan sangat bertenggang rasa seperti bangsa Arab. Begitu pula tidak ada agama
yang sangat toleran seperti agama mereka.53
Sejarawan Barat lainnya yang
dikutip dalam buku yang sama mengatakan dalam bukunya, Sejarah Bangsa
Islam (Tharik asy-Syu‟ubb al-Islamiyyah), sebagai berikut,”Suatu kekeliruan
bila kita menganggap Islam tidak menganut prinsip toleransi politik.
Sejarahnya lebih baik dibanding sejarah agama Masehi (maksudnya, Kristen
atau Katolik).
Muhammad al-Ghazali juga menyebutkan, ketika terjadi peperangan
antara umat Islam dengan umat Kristen, Islam tidak memandangnya sebagai
perang dua agama, tetapi menyebutnya sebagai perang antara dua Negara.
Ketika Islam memenangkan peperanagan tersebut, tidak ada larangan bagi
umat Kristen untuk masuk dan beribadat di dalam gereja mereka. Islam tidak
membuat peraturan seperti peraturan yang dibuat oleh gereja yang
menghukum mati setiap orang yang berbeda keyakinan dengan gereja.54
Salah satu bentuk toleransi Islam terhadap agama lain adalah larangan
Islam terhadap pengikutnya untuk mencela agama lain, sebagaimana Firman
Allah swt dalam Q.S. al-An‟am/6:108 :
ش ػهى ا ثغ ػذ ا للا فسج للا د ي ذػ ا انز ل رسج
53 Muhammad as-Sayyid Yusuf dan Ahmad Durrah, Pustaka Pengetahuan al-Quran, h.,
109.
54
Muhammad al-Ghazali, At-tasamuh baina al-Islam wa al-Masihiyah, (Mesir: Nahdatu
Misr, 1980), h., 96.
59
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Q.S al-An‟am/6 : 108)
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa sebab turun ayat ini adalah,orang-
orang muslim mencela patung sembahan orang musyrik, maka orang musyrik
membalas dengan mencela Allah karena memusuhi orang Islam.55
Ayat di atas
menimbulkan pertanyaan penting, kenapa umat Islam dilarang mencela patung
sembahan orang kafir? Sebagian ulama memberikan alasan atas larangan ini,
diantaranya : 1) patung tersebut adalah benda mati dan tidak ada dosa. 2)
Mencela tuhan orang kafir akan menyebabkan kemaksiatan (adanya
penghinaan terhadap Allah), sedangkan yang wajib bagi umat Islam adalah
menjelaskan kesalahan mereka dengan bijaksana, bukan dengan hinaan. 3)
Mencela sembahan orang kafir akan menyebabkan kemudharatan yang lebih
besar, karena hal ini hanya akan menimbulkan kemarahan mereka yang
menyebabkan mereka semakin menjauh dari ajaran Islam.56
Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat ini tetap berlaku dan tidak ada
yang menasyakhnya (merubah hukumnya). Maka setiap orang Muslim tidak
dibolehkan mencela agama mereka, tempat ibadah mereka, salib-salib mereka,
dan perbuatan lain yang menyebabkan mereka mencela agama Islam, karena
yang demikian itu akan menimbulkan kemaksiatan.57
Di masa pemerintahan Umar Ibnu Khattab, ia menulis surat tentang
kebebasan beragama bagi penduduk iliya (palestina), “Inilah yang diberikan
Umar, pemimpin orang-orang muslim kepada penduduk iliya, aku
memberikan jaminan keamanan terhadap diri mereka, harta benda, gereja,
salib dan semua yang berhubungan dngan agama mereka, gereja mereka tidak
boleh diambil alih, tidak boleh dihancurkan atau pun diperkecil. Dan mereka
55
Muhammad Sayyid Thantawi, Tafsir al-Washit, jilid 5, h., 152.
56
Muhammad Sayyid Thantawi, Tafsir al-Washit, jilid 5, h., 153.
57
Imam al-Qurthubi Muhammad Ibnu Ahmad, al-Jami‟ li ahkami al-Quran, (Mesir;
Maktabah as-Shafa, 2005), jilid 7, h., 45.
60
tidak akan dipaksa dengan agama mereka, dan tidak akan ada yang disakiti
seorangpun dari mereka”.58
Bahkan Abu Yusuf, dalam kitabnya meriwayatkan bahwa Khalid Ibnu
Walid memberikan izin kepada penduduk A‟nat untuk membunyikan lonceng
di waktu apapun, kecuali waktu shalat, dan mereka juga dipersilahkan
mengeluarkan salib dan lambang keagamaan di hari raya mereka.59
Meskipun Islam memberikan kebebasan yang sangat luas bagi ahl
dzimmah, Islam meminta kepada mereka untuk tetap menghormati perasaan
umat Islam dan kemuliaan agama mereka. Oleh karena itu, mereka dilarang
untuk menampakkan salib serta syia‟r agama mereka (selain hari raya mereka)
didaerah yang mayoritasnya umat Islam. Mereka juga dilarang membangun
gereja di tempat tersebut.
Menurut al-Qaradhawi, pembangunan gereja tersebut akan menyakitkan
perasaan umat Islam, dan akan membawa kepada fitnah serta kekacawan.
Namun, al-Qaradhawi juga menyebutkan, bahwa sebagian ulama juga ada
yang memiliki pendapat yang berbeda dengan dirinya. Mereka berpendapat,
bahwa pembangunan gereja atau tempat-tempat ibadah agama selain Islam
tetap diperbolehkan apabila Imam mengizinkan pembangunan tersebut, karena
kemaslahatan yang diperhatikan Islam.60
Yusuf al-Qaradhawi tetap memberikan hak yang sesuai dengan kebutuhan
ahl dzimmah. Apabila sebuah tempat banyak non-Muslim yang tinggal disana,
dan kebutuhan mereka terhadap tempat ibadah sangat besar, maka mereka
dipersilahkan untuk membangun tempat ibadah, dengan tetap memperhatikan
perasaan umat Islam di sana, seperti besar bangunannya hanya sesuai dengan
kebutuhan, tidak lebih besar dari masjid, dan harus mendapat izin dari
58 Imam at-Thabri Muhammad Ibnu Jarir, Tarikh at-Thabari, (Mesir: Darul Ma‟arif,
1995), jilid 3, h., 609.
59
Abu Yusuf Ya‟qub Ibnu Ibrahim, Al-kharraj, h., 146.
60 Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 20-21.
61
penguasa Muslim. Namun, jika non-Muslim yang tinggal di sana hanya
sedikit, maka tidak dibenarkan membangun tempat ibadah tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa toleransi terhadap para penganut agama lain,
seperti dipraktekkan oleh kaum Muslimin yang hidup mereka sepenuhnya
berlandaskan agama, dan disaat mereka telah meraih kemenangan dan
kekuasaan sempurna, adalah sesuatu yang belum pernah dikenal dalam sejarah
agama-agama lain.
b. Hak Kebebasan Untuk Bekerja
Orang-orang non-Muslim memiliki kebebasan untuk bekerja dan
melakukan usaha, baik bersangkutan dengan orang-orang selain mereka
ataupun bekerja sendiri, memilih pekerjaan-pekerjaan bebas yang mereka
inginkan serta mengelola berbagai macam kegiatan ekonomi, sama seperti
kebebasan yang dimiliki kaum Muslimin, namun ada batasan-batasannya sama
seperti kaum Muslimin.61
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, sesungguhnya ahl dzimmah dalam jual
beli, perdagangan dan segala macam transaksi keuangan, sama seperti kaum
Muslimin.
Namun mereka juga diharamkan melakukan transaksi riba,
sebagaimana diharamkan kepada orang Muslim.
Mengenai hal ini, telah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah
menulis surat kepada kaum Majusi dari Hajar ”Hendaknya kalian
meninggalkan riba atau, jika tidak, bersiaplah untuk menerima pernyataan
perang dari Allah dan Rasul-Nya”.62
Demikian pula mereka ahl dzimmah tidak boleh menjual khamr dan babi
di daerah-daerah kediaman kaum Muslimin atau membuka kedai-kedai
minuman yang menyediakan khamr dan memudahkan peredaran serta
pemasukannya kedalam daerah-daerah kediaman kaum Muslimin secara
terbuka dan terang-terangan, walaupun hal itu untuk konsumsi mereka sendiri.
61
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 50.
62
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 51.
62
Larangan seperti ini dimaksudkan untuk mencegah kerusakan akhlak dan
menutup pintu dekadendi moral.
Selain hal tersebut, ahl dzimmah dapat menikmati kebebasan penuh dalam
perdagangan, industri dan keterampilan. Demikian itu telah berlangsung
dalam praktek dan disaksikkan oleh sejarah kaum Muslimin sepanjang masa.
Bahkan beberapa macam pekerjaan dan keterampilan hampir-hampir
dimonopoli oleh mereka seperti kegiatan perbankan (penukaran mata uang),
farmasi dan lain-lain. Hal tersebut berlangsung terus sampai waktu-waktu
belakangan dibanyak Negara Muslim. Dari hasil kegiatan-kegiatan itu mereka
berhasil mengumpulkan kekayaan yang luar biasa besarnya, bebas dari zakat
dan pajak apapun selain jizyah, yaitu pajak yang jumlahnya sangat sedikit atas
pribadi-pribadi yang mampu mengangkat senjata.63
3. Hak mendapatkan Jabatan dalam Pemerintahan (Politik)
Ahl dzimmah memiliki hak untuk menduduki jabatan-jabatan dalam
pemerintahan seperti halnya kaum Muslimin, kecuali jabatan-jabatan yang
memiliki warna keagamaan seperti jabatan sebagai Imam, pemimpin tertinggi
negara, panglima tentara, hakim untuk kaum Muslimin, penanggung jawab urusan
zakat dan sedekah (termasuk wakaf dan sebagainnya).64
Sebab ahl dzimmah tidak diperbolehkan memegang jabatan ini karena
jabatan tersebut sangat berkaitan dengan akidah Islam. Jabatan keimaman
menurut al-Qaradhawi, adalah sebuah jabatan kepemimpinan umum dibidang
agama dan dunia sekaligus, yakni menggantikan posisi Nabi Muhammad saw,
sehingga sangat tidak mungkin jabatan tersebut dipegang oleh non-Muslim, dan
tidaklah masuk akal bahwa seseorang akan melaksanakan hukum-hukum Islam
dan memeliharanya dengan baik kecuali ia seorang Muslim.
63
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 51-52.
64 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 53
63
Adapun jabatan kepemimpinan atas Angkatan Bersenjata bukanlah urusan
yang semata-mata bersifat secular, tapi itu adalah kegiatan ibadah dalam Islam,
karena perang membela agama dan negara dalam pandangan Islam adalah jihad,
sehingga jabatan ini sangat tidak layak dipegang oleh non-Muslim, sebab jihad
merupakan puncak ibadah dalam Islam.
Peradilan adalah penerapan hukum Syariat Islam, sedangkan seorang non-
Muslim tidak mungkin dituntut agar menerapkan suatu hokum yang ia sendiri
tidak percaya kepadanya. Demikian juga urusan zakat, sangat jelas bahwa ini
harus dipegang oleh orang Islam, karena masalah ini adalah masalah keagamaan
di dalam agama Islam.65
Tugas-tugas pemerintahan di luar bidang-bidang tersebut boleh diserahkan
kepada ahl dzimmah apabila terpenuhi persyaratan-persyaratanya pada diri
mereka seperti kecakapan, kejujuran dan kesetiaan kepada Negara. Tentunya
mereka itu harus tidak termasuk orang-orang yang memendam rasa dengki dan
benci terhadap kaum Muslimin.66
Demikian tingginya toleransi kaum Muslimin sehingga beberapa dari para
fuqaha terpandang seperti al-Mawardi menyatakan dalam bunya, Al-Ahkam As-
Sulthaniyah tentang diperbolehkannya orang dzimmi menduduki jabatan
Kementrian pelaksanaan (Wizarah Tanfidz), yang dimaksud dengan menteri
pelaksanaan ialah seorang yang meneruskan perintah-perintah dan keputusan-
keputusan Imam serta pelaksanaannya.
Bahkan, dalam realitanya jabatan-jabatan strategis di masa itu banyak
dipegang oleh ahl dzimmah, sehingga banyak orang Islam yang mengeluhkan hal
itu, seakan-akan mereka dikuasai oleh non-Muslim. Dan yang dicatat oleh sejarah
Islam, ketika Daulah Usmaniah berkuasa, mereka lebih banyak mempercayakan
jabatan-jabatan penting kepada orang non-Muslim, bahkan sebagian besar duta-
65
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 53.
66 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 54.
64
duta berasal dari orang Nasrani, sementara mereka itu sama sekali tidak peduli
akan keruntuhan pemerintahan yang mereka wakili.
C. Kewajiban Ahl Dzimmah
Demikian hak-hak warga Negara non-Muslim dalam Masyarakat Islam
dan demikian pula jaminan-jaminan pelaksanaan hak-hak tersebut. Kiniapasaja
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan atas mereka oleh Islam sebagai imbangan
dari hak-hak ahl dzimmah. Menurut Yusuf al-Qaradhawi Kewajiban mereka ada
tiga macam: Pertama, Kewajiban membayar sejumlah harta yang telah ditetapkan,
seperti jizyah, kharaj serta pajak perdagangan. Kedua, Kewajiban mentaati
hokum-hukum konstitusi Islam (dalam Muamalah, transaksi-transaksi disekitar
sipil dan sebagainya). Ketiga, Kewajiban Menghormati syiar-syiar Islam (ciri-ciri
khas dalam upacara-upacara keagamaan dan sebagainya) serta menjaga perasaan-
perasaan kaum Muslimin. Sebagai berikut:
1. Kewajiban Membayar Sejumlah Harta Yang Telah ditetapkan.
Ahl dzimmah yang hidup di Negara Muslim, berkewajiban membayar
sejumlah harta sebagai bentuk keikut sertaannya dalam pembangunan negara.
Sebagaimana orang Islam dituntut untuk membayar zakat, ahl dzimmah juga
dituntut untuk membayar jizyah, kharraj, dan pajak perdagangan, yaitu :
a. Jizyah
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, Jizyah adalah pajak tahunan atas tiap kepala
berupa sejumlah kecil uang yang dikenakan atas kaum pria yang balig dan
memiliki kemampuan, sesuai dengan besarnya kekayaan masing-masing,
sedangkan fakir miskin dibebaskan sama sekali dari padanya. Besar atau
kecilnya jizyah tersebut menurut al-Qaradhawi adalah kebijakan pemimpin,
dan harus ada perbedaan antara yang kaya raya, menengah dari segi kekayaan,
dan paling rendah dari segi kekayaan. Khalifah Umar menerapakan ukuran
jizyah menurut tiga tingkatan, ahl dzimmah yang kaya raya harus membayar
65
48 dirham67
, orang yang menengah dari segi kekayaan harus membayar 24
dirham pertahun, sedangkan orang yang paling rendah dari kaum yang
berkecukupan diwajibkan membayar sebanyak 12 dirham pertahun.68
Dengan
demikian, ia telah mendahului konsep perpajakan modern dalam menetapkan
besarnya pajak sesuai kemampuan membayar.
Tidak ada pertentangan antara tindakan Umar, sesuai dengan sabda Nabi
saw. Kepada Muaz ketika mengutus ke negeri Yaman: “Pungutlah satu dinar
dari setiap orang baligh” sebab kemiskinan lebih merata diantara penduduk
Yaman waktu itu, dan Rasulullah saw mempertimbangkan keadaan mereka
itu. Dasar membayar jizyah yaitu Firman Allah surat At-Taubah ayat 29,
yaitu:
ل ث ثبلل ل ؤي لبرها انز انذك ي د ل ذ سسن و للا يب دش ي ل ذش خش و ا بن
ى صبغش ذ أرا انكزبة دزى ؼطا انجزخ ػ (٩٢)سسح انزثخ : انز
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah) , (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.” (Q.S At-Taubah 29)
Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini bahwa jizyah itu hanya
dipungut dari kaum Ahli Kitab atau orang-orang yang serupa dengan mereka,
misalnya orang-orang Majusi. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa
Rasulullah saw memungut jizyah dari orang-orang Majusi penduduk Hajar.
Hal inilah yang dikatakan oleh mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad
menurut riwayat yang masyhur darinya, Lain halnya dengan Imam Abu
Hanifah, ia berpendapat bahwa jizyah dipungut pula dari semua orang „Ajam,
baik yang dari kalangan Ahli Kitab ataupun kalangan orang-orang musyrik,
67 Dirham adalah mata uang perak, setiap satu dirham sekitar 2,97 gram perak.
68 Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 13.
66
tetapi tidak dipungut dari orang-orang Arab selain dari kalangan Ahli
Kitabnya saja. Imam Malik mengatakan.”Bahkan diperbolehkan memungut
Jizyah dari semua orang kafir, baik yang Kitabi. yang Majusi, dan yang
Wasani, ataupun yang lainnya.” Pendapat mazhab-mazhab tersebut dan
keterangan mengenai dalil-dalilnya disebutkan di dalam kitab yang lain.
Meskipun jizyah adalah kewajiban yang harus dibayar ahl dzimmah, namun
tidak semua ahl dzimmah yang dibebani dengan jizyah ini. Para ulama sudah
memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga jizyah tersebut wajib
bagi seorang ahl dzimmah. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Berakal, maka ahl dzimmah yang mempunyai gangguan jiwa, tidak
ada kewajiban membayar jizyah.
2. Balig, maka jizyah tidak wajib bagi anak kecil, karena ia tidak ada
beban taklif.
3. Merdeka, maka ahl dzimmah yang berstatus budak tidak wajib
membayar jizyah.
4. Laki-laki, maka tidak wajib bagi perempuan untuk membayar jizyah.69
Jizyah hanya diwajibkan kepada laki-laki, karena jizyah merupakan
kewajiban untuk ahl dzimmah, sebagai pengganti khidmah a‟skariyah (wajib
militer) yang diwajibkan kepada orang Islam. Perempuan dalam pandangan
Islam bukan orang yang dibebani untuk mengangkat senjata. Sedangkan ahl
dzimmah yang mampu mengangkat senjata, mereka tetap tidak diwajibkan
untuk berjihad, mereka cuma diwajibkan membayar sejumlah uang, yang
dalam istilah fiqih bernama jizyah.70
Menurut ahli fiqih, apabila seorang perempuan ahl dzimmah yang ingin
hidup di negara Muslim, namun diwajibkan membayar jizyah, maka uang
tersebut wajib dikembalikan kepadanya, karena hal tersebut dianggap sebagai
perampasan. Namun, apabila perempuan tersebut ingin memberikannya dan
69 Amir Abdul Aziz, Iftiraat, h., 31.
70 Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 36.
67
mengetahui bahwa ini bukan kewajibannya, maka uang tersebut dianggap
pemberian yang boleh diterima.71
Selain perempuan, juga ada beberapa golongan ahl dzimmah yang tidak
diwajibkan membayar jizyah, yaitu: Az-ziman, yaitu orang yang berpenyakit
dan tidak bisa disembuhkan, sehingga tidak mampu berperang, Orang buta, ia
tidak wajib membayar jizyah karena bukan orang yang layak untuk berperang,
Orang yang tua renta, Orang miskin yang tidak memilik pekerjaan, Para
pendeta yang menghususkan untuk beribadat.72
b. Kharraj
Kewajiban berikutnya yang harus dilaksanakan oleh ahl dzimmah adalah
membayar kharraj kepada negara Muslim tempat mereka tinggal. Kharraj
menurut Yusuf al-Qaradhawi ialah pajak uang yang dikenakan atas tanah yang
masih tetap dalam kekuasaan ahl dzimmah. Besarnya juga ditentukan oleh
Imam. Ia dapat berbagi dengan mereka menurut persentase tertentu dari hasil
tanah, seperti seperempat atau sepertiga dan sebagainya, dan ia dapat pula
menetapkan suatu jumlah tertentu dengan takaran ataupun timbangan sesuai
dengan kemampuan tanah di setiap daerah,seperti yang dilakukan Umar
terhadap tanah pertanian Irak, dan adakalanya hal itu ditaksir dengan uang.73
Menurut bahasa, kharaj adalah sesuatu yang keluar dari hasil bumi.
Menurut istilah ahli fiqih kharraj adalah kewajiban yang harus dibayar oleh
pemilik tanah, atau dalam istilah lain pajak atas kepemilikan tanah. Kharraj
merupakan pengganti zakat yang dibebankan kepada orang Islam dari hasil
tanah mereka.
Al-Qaradhawi mengutip pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan
bahwa kharraj tetap dibebankan kepada ahl dzimmah, meskipun telah masuk
Islam. Berbeda dengan jizyah, ketika seorang ahl dzimmah menyatakan diri
71
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 37.
72
Amir Abdul Aziz, Iftiraat, h., 31-32.
73 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 73.
68
memeluk agama Islam, maka kewajiban tersebut sudah tidak ada lagi.
Kebanyakan ulama juga berpendapat bahwa ahl dzimmah yang tidak mau
memeluk agama Islam, selain dibebani membayar kharraj tersebut, mereka
juga wajib membayar sepersepuluh dari hasil bumi tersebut.74
c. Ad-dharbiyah at-tijariyah (pajak perdagangan)
Kewajiban selanjutnya yaitu membayar pajak perdagangan, pajak
perdagangan diwajibkan oleh Umar atas ahl dzimmah berlaku ketika Umar
menjabat sebagai khalifah. Meskipun tidak ada teks al-Quran dan hadis Nabi
tentang ini, namun tetap saja ulama memandangnya sebagai sebuah hukum
yang harus dilaksanakan, karena keputusan Umar tersebut disetujui oleh para
sahabat.75
Peraturan yang ditetapkan oleh Umar tersebut bisa dikategorikan sebagai
ijma‟ dari para sahabat, karena tidak ada satu orangpun dari sahabat yang tidak
setuju dengan pendapat Umar. Dan sudah diketahui bahwa sumber hukum
agama Islam menurut pendapat kebanyakan ulama ada empat macam; Al-
Quran, hadis Nabi, ijma‟ dan qias. Kekuatan ijma‟ sebagai sumber hukum
sudah mendapat jaminan dari nabi Muhammad saw bahwa umat beliau tidak
mungkin sepakat dalam kesesatan.
Pajak perdagangan tersebut, diwajibkan oleh Umar kepada ahl dzimmah
sebanyak 5% dari harta yang diperdagangkan, dan pengambilannya setiap
tahun sekali. Demikian itulah yang dirawikan oleh Anas bin Malik dan Ziyad
bin Hudair bahwa ia memungut 2½% dari pedagang Muslim, 5% dari
pedagang ahl dzimmah dan 10% dari pedagang ahl harb (yakni orang-orang
kafir yang tidak ada ikatan dzimmah (perdamaian) dengan mereka pertahun.
Pajak perdagangan yang diwajibkan oleh Khalifah Umar adalah pengganti
dari zakat perdagangan yang diwajibkan kepada umat Islam, sebagai bentuk
keikutsertaan para pedagang dalam berbagi terhadap sesama, karena agama
74 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 35.
75 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 81.
69
Islam adalah agama yang tidak menyukai bahwa harta kekayaan hanya
berputar di kalangan orang kaya saja. Oleh karena itu harus ada aturan yang
mengatur perputaran harta tersebut, hingga bisa dinikmati oleh orang lain.
Salah satu aturan tersebut adalah kewajiban membayar zakat perdagangan
bagi umat Islam, dan membayar pajak perdagangan bagi ahl dzimmah.76
2. Kewajiban Mentaati Hukum-hukum Konstitusi Islam
Kewajiban kedua ahl dzimmah ialah mentaati hukum-hukum Islam yang
berlaku di negara tersebut seperti yang diterapkan atas kaum Muslimin.
Sebagaimana hukum tersebut berlaku terhadap umat Islam, ia juga mengikat
terhadap ahl dzimmah, karena ketika ahl dzimmah menyatakan dirinya ikut
Negara Islam secara otomatis ia adalah warga negara tersebut, dan wajib
tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang berlaku.
Mereka tidak dibebani apapundiantar kewajiban-kewajiban ibadah kaum
Muslimin ataupun yang harus memiliki warna ibadah seperti zakat yang
sekaligus merupakan pajak dan ibadah, dan juga seperti jihad yang sekaligus
merupakan patriotism dan ibadah. Oleh karena itulah, seperti yang telah
diketahui, Islam menetapkan jizyah sebagai pengganti jihad dan zakat, demi
menjaga agar perasaan keagamaan ahl dzimmah tidak tersinggung karena
diharuskan mengerjakan kewajiban-kewajiban yang erupakan ibadah dalam
Islam.
Menurut al-Qaradhawi, Islam juga memberikan kebebasan kepada mereka
dalam urusan pribadi atau bermasyarakat, untuk melakukan sesuatu yang
dibolehkan oleh agama mereka, meskipun Islam mengharamkannya, seperti
urusan perkawinan, perceraian, makan daging babi, meminum khamar dan
sebagainya. Islam tidak ikut campur dengan orang Majusi yang kawin dengan
salah satu muhrimnya, orang Yahudi yang menikah dengan putri saudaranya,
atau Nasrani yang memakan daging babi atau meminum khamr.77
76
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 81-92.
77
Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 43.
70
Maka dari itu menurut Yusuf al-Qaradhawi semua cara jual beli atau
transaksi-transaksi lainnya yang dibenarkan bagi kaum Muslimin juga di
benarkan bagi ahl dzimmah. Sebaliknya, segala cara yang tidak dibenarkan
bagi kaum Muslimin juga tidak dibenarkan bagi ahl dzimmah.
3. Menjaga Perasaan /Syiar-syiar Kaum Muslimin
Kewajiban ahl dzimmah yang ketiga ialah menghormati perasaan kaum
Muslimin, menghormati syiar-syiar Islam, serta tempat-tempat suci orang
Islam, yakni masyarakat tempat mereka hidup bersama anggota-anggotanya
yang lain, disamping itu ikut menjaga kewibawaan Daulah Islamiyah yang
menaungi mereka dengan perlindungan dan penjagaannya. Sebagaimana Islam
telah menjaga hak dan perasaan mereka ketika berada di bawah naungan
Negara Islam, mereka juga dituntut menghormati perasaan orang-orang
Islam.78
Yusuf al-Qaradhawi memberikan beberapa contoh untuk kewajiban yang
ketiga ini. Menurut al-Qaradhawi mereka dilarang mencela Islam, rasul umat
Islam dan kitab al-Quran secara terang-terangan. Mereka juga dilarang
memasukkan akidah atau pemikiran yang bertentangan dengan umat Islam,
kecuali akidah yang telah lama ada di dalam agama mereka.
Ahl dzimmah tidak boleh menampakkan kemaksiatan di depan umat Islam,
seperti minum khamar, memakan babi atau menjualnya kepada umat Islam.
Mereka juga dilarang menampakkan makan dan minum di siang hari
ramadhan, karena semuanya itu memelihara perasaan umat Islam. Secara
keseluruhan, setiap apa yang di larang dalam ajaran Islam namun
diperbolehkan dalam ajaran mereka, jika mereka ingin melakukannya, maka
mereka dilarang menampakkannya terhadap umat Islam. Tujuannya adalah
untuk saling menghormati antara sesama agama sehingga tercipta keamanan
sebuah negara.79
78
Yusuf al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter, Muhammad Baqir,
Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, h., 92-93.
79
Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 44-45.
71
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG AHL
DZIMMAH DAN RELEVANSINYA DENGAN KEWARGANEGARAAN
INDONESIA
A. Konsep Kewarganegaraan Indonesia
Warganegara merupakan istilah yang lazim kita dengar dalam kehidupan
keseharian di masyarakat. Arti istilah inipun mudah dipahami, karena kita masing-
masing juga warganegara. Secara umum, warganegara dapat diartikan sebagai
anggota negara. Anda adalah warganegara Indonesia, itu artinya kita adalah
anggota dari Negara Republik Indonesia. Sebagai anggota negara, warganegara
memiliki kedudukan istimewa terhadap negaranya. Kedudukan istimewa
warganegara ini dapat kita lihat dari kenyataan tiada satu pun negara yang tidak
memiliki warganegara. Dengan kata lain setiap negara pasti memiliki
warganegara.1
Warganegara adalah anggota negara, yaitu anggota dari suatu organisasi
kekuasaan yang dinamai negara. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk
menyebut warganegara adalah citizen, national, subject, onderdaan atau kaula.
Istilah warganegara yang dipakai di Indonesia merupakan terjemahan dari istilah
Belanda staatsburger. Dalam istilah bahasa Inggris disebut citizen, dan dalam
istilah Perancis disebut citoyen. Istilah citizen dan citoyen tersebut secara harfiah
artinya adalah warga kota. Itu berarti istilah tersebut dipengaruhi oleh konsep
polis (negara kota) yang berkembang pada jaman Yunani Purba.2
Disamping istilah warganegara, juga dikenal istilah kewarganegaraan.
Kewarganegaraan memiliki pengertian lebih luas dari warganegara.
Kewarganegaraan memiliki pengertian tidak sebatas keanggotaan seseorang dari
1 Paulus, B.P, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945. (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1976), h., 23.
2 Paulus, B.P, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945, h., 24.
72
organisasi negara, tetapi meluas kepada hal-hal yang terkait dengan warganegara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengertian kewarganegaraan dapat
ditilik dari dua perspektif (sudut pandang), yaitu perspektif ide kewarganegaraan
dan perspektif warganegara sebagai subjek politik. Pertama, ditilik dari perspektif
ide kewarganegaraan, maka dapat dipilah pengertian kewarganegaraan menjadi
enam, yaitu: (a) kewarganegaraan sebagai konstruksi legal (hukum); (b)
kewarganegaraan diartikan sebagai posisi netralitas; (c) kewarganegaraan sebagai
keterlibatan dalam kehidupan komunal (bersama, bermasyarakat); (d)
kewarganegaraan dikaitkan dengan upaya pencegahan (amilioration) terhadap
konflik-konflik berdasarkan perbedaan kelas; (e) kewarganegaraan sebagai upaya
pemenuhan diri (self-sufficiency); dan (f) kewarganegaraan sebagai proses
“hermeneutik” yang berupa dialog dengan tradisi, hukum, dan institusi.
Konsep kewarganegaraan menurut sistem politik liberal, pada umumnya
dimengerti dalam konteks (kaitan dengan) legal formal (hukum yang berlaku).
Warganegara memahami dirinya sebagai pribadi-pribadi hukum dan pihak-pihak
otonom dalam suatu ikatan yang berdaulat. Identitas sebagai warganegara muncul
ketika berhadapan dengan pemerintah. Hubungan antarwarganegara sifatnya
pribadi, bukan publik, sehingga nilai kebersamaan rendah.
Dalam konsep kewarganegaraan menurut sistem politik otoriter, wacana
(pembicaraan, pemahaman tentang) kewarganegaraan dimonopoli oleh negara,
bahkan seringkali dipersempit mengikuti kemauan sang pemimpin. Dengan
demikian, peran kontrol warganegara menjadi hilang. Begitu pula, masyarakat
kehilangan keutamaan publik, karena hal itu telah dimonopoli oleh negara. Hak-
hak individu menjadi hal yang asing.
Konsep kewarganegaraan yang menekankan pada pentingnya hak-hak
dasar, dimaksudkan bahwa hak-hak asasi manusia sebagai landasannya dan
partisipasi aktif warganegara sebagai strategi artikulasinya. Menurut konsep ini
partisipasi aktif warganegara sangat diperlukan untuk membentuk demokrasi yang
kuar dan negara kesejahteraan. Hak-hak dasar yang diperjuangkan mencakupi hak
sipil, hak politik, dan hak-hak kultural.
73
Konsep kewarganegaraan dialektik yang non-legalistik, menekankan
bahwa kewarganegaraan merupakan kesatuan ikatan dari anggota yang berbeda-
beda dari suatu komunitas politik. Hubungan warganegara dengan pemerintah
maupun sesama warganegara bersifat dialektif dan aktif berlandaskan kesadaran
akan aktivitas yang sama. Dalam konsepsi yang demikian warganegara selalu
berada di tengah-tengah peristiwa politik, bukan sebagai penonton atau “pemadam
kebakaran.”
Berdasarkan uaraian di atas, pengertian kewarganegaraan sangat
bervariasi. Hal itu disebab oleh banyaknya perspektif yang dapat digunakan untuk
memahaminya. Pengertian yang mana yang akan dipakai, akan sangat tergantung
atau dipengaruhi oleh kesesuaian konsep itu dengan nilai-nilai kebaikan bersama
(common good) dan sistem politik yang dianut oleh masyarakat atau negara yang
bersangkutan.
Adapun kewarganegaraan dalam pandangan Konstitusi Indonesia,
pembentukan UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia di latar belakangi pertama-tama adalah karena perubahan UUD 1945
yang memeberi tempat perlindungan yang luas terhadap HAM yang juga
berakibat terhadap perubahan pasal pasal mengenai hal hal yang terkait dengan
kewarganegaraan dan hak-haknya. Undang-undang No.62 tahun 1958 secara
filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara filosofis, Undang-
undang tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan
dengan falsafah Pancasila antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang
menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar warga negara , serta kurang
memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis,
landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah undang-
undang dasar sementara tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit
74
Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945.3
Dalam perkembangan nya Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara
sosiologis, Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional
dalam pergaulan global, yang menghendaki persamaan perlakuan dan kedudukan
warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender,
Subtansi mendasar daripada UU No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan
yang sekaligus menjadi prinsip adalah, bahwa dalam UU kewarganegaraan ini
tidak dikenal lagi permasalahan kewarganegaraan.4
Undang-undang No.Tahun 2006 berlaku sejak diundangkan tanggal 1
Agustus 2006. Dengan demikian semua peraturan perundang-undangan
sebelumnya yang mengatur mengenai kewarganegaraan, dengan sendirinya tidak
berlaku karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD
1945 setelah amademen. Oleh sebab itu, sesuai dengan asas peraturan perundang-
undangan yaitu asas lex posteriori derogat lex priori..5
Berdasarkan rumusan hak dan kewajiban warganegara Indonesia
sebagaimana tercantum dalam UUD Negara RI 1945, kita dapat melihat
warganegara Indonesia memiliki hak dan kewajiban di berbagai aspek kehidupan,
baik politik, ekonomi, sosial budaya, agama, dan pertahanan keamanan. Hak dan
kewajiban semacam ini tidak dimiliki oleh orang-orang yang berstatus bukan
warganegara atau orang asing. Misalnya, warganegara Indonesia memiliki
kewajiban untuk membela negara Indonesia, tetapi orang asing tidak memiliki
kewajiban membela negara Indonesia. Di sisi lain, setiap warganegara Indonesia
3 http://blog.unnes.ac.id/tutikwijayanti/ diunduh pada tanggal, 15 Maret 2019, pukul
16.32. 4 Paulus, B.P, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945, h. 26.
5 http://blog.unnes.ac.id/tutikwijayanti/ diunduh pada tanggal, 15 Maret 2019, pukul
16.32.
75
memiliki hak untuk dilindungi oleh negara Indonesia dimanapun ia berada
(termasuk di luar negeri), tetapi negara Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk
melindungi orang asing sebagaimana perlindungan yang diberikan kepada
warganegaranya.
Berdasarkan uraian di atas, kita sekarang tahu bahwa ditinjau dari status
kewarganegaraannya, keberadaan orang-orang dalam wilayah suatu negara dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu warganegara dan orang asing.
Setiap orang yang bukan warganegara diperlakukan sebagai orang asing. Oleh
karena itu, warganegara suatu negara ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Mengingat setiap negara memiliki kedaulatan, maka dalam
menentukan siapa-siapa yang menjadi warga dari negaranya, setiap negara
memiliki hak penuh dalam menentukan warganegaranya, sepanjang tidak
melanggar prinsip-prinsip umum hukum internasional. Prinsip-prinsip yang
dimaksud itu antara lain negara tidak boleh menetapkan warganegaranya atas
dasar kesamaan agama, bahasa, atau warna kulit.
Ketentuan-ketentuan dasar terkait dengan warganegara Indonesia telah
diatur di dalam UUD Negara RI 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UUD
Negara RI 1945 dapat diketahui: (1) penduduk negara Indonesia terdiri dari
warganegara Indonesia dan orang asing yang bertempat kedudukan di Indonesia,
(2) warganegara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara,
dan (3) pengaturan lebih lanjut tentang kewarganegaraan itu diatur dengan
undang-undang.6
Tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain, UUD Negara RI 1945 tidak memberikan keterangan
lebih lanjut. Sebagian keterangan tentang hal ini, yakni siapa yang dimaksud
dengan orang-orang bangsa lain, dapat kita lacak dalam Penjelasan UUD 1945
(sebelum diamandemen). Dalam sejarah Indonesia pernah ada penafsiran yang
6 CST, Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1996, h.,
11.
76
dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang pribumi, bukan
keturunan orang asing, bukan orang yang lahir karena perkawinan campuran
(salah satu orang tua berkewarganegaraan asing). Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia,
keterangan tentang siapa yang dimaksud dengan orang bangsa Indonesia asli telah
kita ketahui. Yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli adalah
orang Indonesia yang menjadi warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Dari sejumlah cara memperoleh kewarganegaraan RI, cara
pewarganegaraan merupakan cara yang diatur lebih rinci dibandingkan dengan
cara-cara lainnya. Pasal yang mengaturnya jumlahnya paling banyak
dibandingkan dengan pasal yang mengatur cara-cara lainnya. Hal ini dikarenakan
cara pewarganegaraan dapat dipergunakan oleh orang asing secara umum.
Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh
kewarganegaraan RI melalui permohonan. Pasal 9 Undang-Undang 12/2006
menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon yang mengajukan
permohonan pewarganegaraan. Proses pewarganegaraan ini cukup panjang, sejak
saat seseorang mengajukan permohonan sampai dengan pengambilan sumpah
kesetiaan di Pengadilan Negeri.
B. Relevansi Hak Ahl Dzimmah Yusuf al-Qaradhawi dengan
Kewarganegaraan Indonesia
Pada hakikatnya umat manusia semuanya sama, yakni sama-sama
keturunan Adam, selain itu umat manusia seluruhnya, tanpa memandang latar
belakang etnis, ras, bahasa, gender, jenis kelamin, dan lain lain, termasuk agama
dan keyakinannya, adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi. Fungsi
kekhalifahan di bumi selain sebagai penghuni, ia juga sebagai pengelola atau
pengaturan kehidupan di muka bumi. Hal-hal yang di atur itu, antara lain meliputi
aspek social, politik, hubungan internasional dal lain lain.
77
Fungsi pengaturan bumi tersebut, tampaknya tidak dibatasi. Setiap
manusia, siapapun orangnya, dibelahan bumi manapun ia berada, apapun agama
yang dipeluknya, tak peduli Islam atau selainnya, asalkan memiliki prestasi dan
kemampuan mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam, tentu punya hak untuk
menjadi penguasa di muka bumi ini. Dengan kata lain, mengatur bumi bukan hak
monopoli insan-insan Muslim. Akan tetapi, setiap manusia termasuk orang-orang
musyrik dan non-Muslim, juga mempunyai hak yang sama atas hal itu. Bila kita
mengakui prinsip atau konsepsi dasar bahwa mengatur bumi itu dimiliki oleh
setiap manusia, orang-orang non-Muslim sekalipun, mempunyai hak
warganegaranya. Karena setiap manusia, tanpa memandang latar belakang agama,
atau lainnya, hemat penulis hendaknya diperlakukan atas dasar persamaan.
Konsep ahl dzimmah merupakan cikal bakal munculnya konsep
penomorduaan terhadap non-Muslim. Ahl dzimmah adalah komunitas non-Muslim
yang melakukan kesepakatan untuk hidup dibawah tanggungjawab dan jaminan
kaum Muslimin. Mereka mendapatkan perlindungan dan keamanan serta
mendapatkan hak hidup dan bertempat tinggal di tengan mayoritas Muslim.
Dalam kitab fikih klasik ahl dzimmah dituntut melaksanakan kewajiban, tetapi
tidak mendapatkan hak sejajar dan setara sebagaimana komunitas Muslim lainnya.
Atas pendapat inilah, kaum dzimmi disebut sebagai kaum nomor dua.
Berangkat dari logika semacam ini, menurut penulis Pemikiran Yusuf al-
Qaradhawi tentang Ahl Dzimmah ini tidak relevan diterapkan di Negara Indonesia,
karena di Indonesia ini kaum non-Muslim sudah diberi posisi setara dengan kaum
Muslim sedangkan Yusuf al-Qaradhawi meletakkan Ahl Dzimmah ini pada posisi
kedua ketelah kaum Muslimin.
Walaupun Yusuf al-Qaradhawi berusaha memberikan hak yang sesuai
untuk ahl dzimmah yang berada di kekuasaan umat Islam, ia selalu berusaha
menyetarakan hak mereka dengan hak-hak yang dimiliki umat Islam, tetapi ada
beberapa hak ahl dzimmah yang tidak disetarakannya dalam artian masih
menomorduakan hak ahl dzimmah. Menurutnya, ketika syariat Islam dipahami
dengan baik, maka akan terlihat betapa Allah dan Rasul-Nya telah memberikan
78
panduan yang rinci bagaimana menangani urusan non-Muslim, yang hidup di
bawah naungan Negara Islam, tidak ada cara yang lebih baik bagi non-Muslim
untuk melihat kebenaran dan keindahan Islam kecuali dengan mereka hidup di
dalam sistem Islam dan merasakan sendiri kedamaian dan keadilan hukum Allah
swt atas mereka. Islam menganggap semua orang yang tinggal di negaranya
sebagai warga negara, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang
sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi.
Usaha Yusuf al-Qaradhawi untuk memberikan ahl dzimmah hak yang
semestinya mereka dapatkan, memang sangat sesuai dengan piagam madinah
yang menyatakan bahwa mereka mendapatkan hak perlindungan. Perlindungan ini
sangat jelas tertulis dalam Piagam Madinah. Dalam pasal 15 disebutkan “Jaminan
Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat”.7 Dalam
piagam ini, dinyatakan bahwa setiap orang yang berada di Madinah mempunyai
hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan, meskipun berbeda latar belakang
agama dan suku. Tetapi dalam beberapa hal tertentu masih belum bisa
menyetarakannya, seperti dalam jabatan pemerintahan, ahl dzimmah tidak boleh
menjabat sebagai kepala negara.
Dalam pandangan penulis, apa yang dinyatakan oleh al-Qaradhawi tentang
hak dan kewajiban ahl dzimmah memang ada yang sudah sesuai dan relevan
dengan Negara Indonesia ini, terutama dalam hal hak perlindungan dan kebebasan
mereka, sudah sangat sesuai dengan sejarah umat Islam di masa kehidupan
Rasulullah. Sehingga, apabila ada pendapat yang berbeda dengan apa yang
dibawakan oleh al-Qaradhawi tentunya akan berbeda juga dengan apa yang telah
diperaktikkan oleh nabi Muhammad Saw. Ketika apa yang yang telah dinyatakan
oleh al-Qaradhawi dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata, kemungkinan
besar tuduhan bahwa agama Islam agama yang tidak perhatian dengan orang yang
berbeda keyakinan akan hilang, seiring semakin membaiknya pemahaman umat
7 Muhammad Syafi‟i Antonio dan Tim Tazkia, “Enseklopedi Leadership &
Manajemen Muhammad S.A.W” The Super Leader Super Menager”. Kepemimpinan sosial
dan politik, Social & political Leadership.(Jakarta: Tazkia Publishing), h., 97.
79
Muslim dengan agama Islam itu sendiri, Tetapi ada juga yang tidak relevan,
masih menomor duakan posisi Ahl Dzimmah.
Penulis berasumsi, secara teoritis, nampak sekali bahwa semangat syariat
Islam pada awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan hak-hak non-
Muslim. Namun dalam prakteknya di beberapa negara Muslim dewasa ini, yang
sering terjadi justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna serta
semangat yang dikandung syariah itu sendiri, ada sebagian oknum yang merasa
apabila syariat Islam ditegakkan Islam sangat kejam, tidak manusiawi, dan
diskriminatif. Sebenarnya pandangan tersebut menurut penulis hanya orang-orang
yang belum memahami Islam yang sebenarnya yang Rahmatal lil‟alamin, dan
pernyataan seperti itu sebenarnya hanya berangkat dari asumsi-asumsi dan
pemikiran dangkal, karena argumennya hanya bersifat dugaan-dugaan dan belum
jelas kebenaran argumennya. Orang yang menyatakan seperti itu, biasanya juga
disebabkan karena salah memahami syariat Islam, atau mendapatkan informasi
dangkal tentang syariat Islam. misalnya, syariat Islam itu hanya digambarkan
dengan hukum bunuh, potong tangan, rajam dan sebagainya. Padahal sejatinya
aturan Islam tersebut hanya berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir
(penebus) kelak di hari kiamat ia tidak akan dimintai pertanggung jawabannya
atas kejahatan yang telah dilakukannya semasa hidupnya didunia. Dan
beranggapan pula, dalam kapasitasnya sebagai non-Muslim, ahl dzimmah sering
kali mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan komunitas Muslim.
Salah satu contoh yang dikemukakan al-Qaradhawi, sebagai bentuk
persamaan hak warga negara antara orang Muslim dan non-Muslim, adalah
persamaan hak dalam hukum. Al-Qaradhawi lebih memilih berbeda pendapat
dengan kebanyakan ulama, demi menyamakan hak ahl dzimmah dengan orang
Muslim.
Dalam sebuah Negara Indonesia, Indonesia bukan negara Islam, tetapi
negara kesepakatan dari orang-orang yang majemuk, Indonesia merupakan negara
multikultural. Terdapat berbagai agama, suku, budaya dan adat istiadat.
Keberagaman ini merupakan sebuah keniscayaan yang harus dijalani sebagai
80
kekuatan dalam membangun negara, dalam demokrasi persamaan hak antar warga
negara diakui dalam Konstitusi, adapun tentang Hak Indonesia telah di atur dala
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dari pasal 28 A sampai pasal 298 dan
dilanjutkan dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Adapun tentang persamaan hak warga negar diatur dalam UUD Tahun
1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan: Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Inilah prinsip kesetaraan dan
persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, tidak pandang
agama, etnis, status sosial dan ekonomi, jabatan dan lain-lainnya.
Demikian pula dalam Pasal 28D UUD Tahun 19459, yang mengakui hak-
hak warga negara: pengakuan, perlindungan, kepastian hukum, perlakuan yang
sama, dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dalam Pasal
28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ayat
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Artinya, persamaan hak warga negara Indonesia ini tidak pandang agama,
suku, etnis, status sosial, dan lainnya. Siapa pun berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan, yang berjalan dengan mekanisme, prosedur, dan
aturan. Tidak boleh ada seseorang yang dipangkas hak dalam memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan hanya karena masalah agama atau
etnisnya.
Inilah konstitusi Negara Indonesia, yang jelas-jelas menegaskan
persamaan dan kesetaraan warga di hadapan hukum dan memperoleh pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
8 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, tahun 1945 amandemen ke 4.
9 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, tahun 1945 amandemen ke 4.
81
Dalam masalah hak perlindungan dan keamanan diluar Negeri sudah di
atur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia, yang mana Negara menjamin hak, kesempatan dan
memberikan perlindungan bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan.
Dalam hak perlindungan nyawa dan Badan di Indonesia telah di atur
dalam, UUD 1947 Pasal 28I, yang berbunyi:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
Untuk masalah kebebasan ahl dzimmah dalam hak kepemilikan harta
benda, al-Qaradhawi terlihat berani memberikan hak yang lebih untuk mereka. al-
Qaradhawi menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh memiliki minuman keras
serta binatang babi, namun untuk ahl dzimmah hal ini dibolehkan. Al-Qaradhawi
membahas ini karena mengingat ada perbedaan jenis harta diantara orang Muslim
dengan orang non-Muslim. Minuman keras dan binatang babi tidak boleh dimiliki
oleh orang Islam, baik untuk dirinya atau diperjual belikan, karena keduanya tidak
dikatagurikan harta bagi orang muslim, dan bagi siapa yang merusak kedua benda
tersebut dari orang Islam, maka tidak ada sanksi yang akan dijatuhkan, bahkan
orang tersebut mendapatkan pahala, karena melaksanakan amar ma‟ruf dan nahi
munkar. Namun, hal tersebut tidak berlaku jika minuman keras dan binatang babi
tersebut dimiliki oleh non-Muslim, kedua benda tersebut merupakan harta milik
mereka dan barang siapa merusaknya maka wajib menganti rugi atas kerusakan
tersebut).10
10
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 15.
82
Meskipun pendapat yang ditawarkan oleh al-Qaradhawi, tentang harta ahl
dzimmah ini bukan pendapat mayoritas ulama, akan tetapi pendapat inilah yang
paling sesuai untuk masa sekarang, sebagai penetralisir atas tuduhan-tuduhan
yang menyatakan bahwa ketika hukum Islam diterapkan di sebuah negara, maka
orang-orang non-Muslim akan dikesampingkan dan dizalimi. Pendapat ini
sekaligus menjelaskan bahwa agama Islam, selain memberikan kebebasan
terhadap akidah mereka yang berbeda agama, juga memberikan kebebasan kepada
mereka untuk memiliki atau melakukan sesuatu yang berbeda dengan agama
Islam dengan syarat tidak menyinggung dan menyakiti perasaan umat Islam.
Dalam sebuah Negara Indonesia tidak membedakan terkait kepemilikan
harta benda, dan memberikan persamaan terhadap warga negaranya, baik itu dari
mayoritas Islam maupun minoritasnya, hal ini sudah diatur dalam UUD Tahun
1945 Pasal 28 H11
yaitu:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Jaminan hari tua bagi ahl dzimmah yang ditawarkan al-Qaradhawi juga
merupakan bentuk pengamalan sejarah yang terjadi di masa kepemimpinan Umar
Ibn Khattab. Pemerintahan yang menerapkan nilai-nilai ke Islaman adalah
pemerintahan yang memperhatikan kesejahtraan, menjamin kecukupan pangan,
tempat tinggal serta kesehatan bagi seluruh rakyatnya, tidak ada perbedaan antara
11
Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Amandemen ke 4.
83
yang Muslim dengan non-Muslim, karena agama Islam adalah rahmat bagi
semesta alam.
Pemberlakuan jaminan hari tua atau jaminan kemiskinan bagi seluruh
rakyat,memang memiliki dampak yang kurang baik bagi sebagian orang, karena
akan menyebabkan orang tersebut malas bekerja dan cuma mengharap jaminan
tersebut. Namun, semua bisa diantisipasi dengan menetapkan beberapa aturan,
misalkan dia harus bekerja sekian tahun, atau telah melaksanakan tugas-tugasnya,
sebagaimana diisyaratkan oleh perkataan Khalifah Umar ”kita menarik jizyah
ketia ia muda”, menunjukkan bahwa ketika muda dan tidak miskin, ia sudah
melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai pembayar jizyah. Dana pensiun
untuk pegawai negeri sipil serta karyawan perusahan, merupakan sesuatu yang
menarik untuk ditelaah lebih mendalam, mengingat esinsinya sangat mirip dengan
ajaran Islam, dengan harapan yang mendapatkan dana tersebut lebih menyeluruh
dan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.12
Menurut al-Qaradhawi, meskipun ahl dzimmah sudah mendapatkan hak
yang begitu banyak, mereka harus tau batasan-batasan mereka, terutama masalah
perasaan umat Islam, ia mengharapkan agar ahl dzimmah selalu memperhatikan
perasaan umat Islam. Oleh karena itu, mereka dilarang untuk menampakkan salib
serta syia‟r agama mereka (selain hari raya mereka) di daerah yang mayoritasnya
umat Islam. Mereka juga dilarang membangun gereja di tempat tersebut. Menurut
al-Qaradhawi, pembangunan gereja tersebut akan menyakitkan perasaan umat
Islam, dan akan membawa kepada fitnah serta kekacawan. Namun, al-Qaradhawi
juga menyebutkan, bahwa sebagian ulama juga ada yang memiliki pendapat yang
berbeda dengan dirinya. Mereka berpendapat, bahwa pembangunan gereja atau
tempat-tempat ibadah agama selain Islam tetap diperbolehkan apabila Imam
mengizinkan pembangunan tersebut, karena kemaslahatan yang diperhatikan
Islam.13
12
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 19.
13
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 20-21.
84
Yusuf al-Qaradhawi tetap memberikan hak yang sesuai dengan kebutuhan
ahl dzimmah. Apabila sebuah tempat banyak non-Muslim yang tinggal disana,
dan kebutuhan mereka terhadap tempat ibadah sangat besar, maka mereka
dipersilahkan untuk membangun tempat ibadah, dengan tetap memperhatikan
perasaan umat Islam di sana, seperti besar bangunannya hanya sesuai dengan
kebutuhan, tidak lebih besar dari masjid, dan harus mendapat izin dari penguasa
muslim. Namun, jika non-Muslim yang tinggal di sana hanya sedikit, maka tidak
dibenarkan membangun tempat ibadah tersebut.
Apabila sebuah kota mayoritasnya non-Muslim, maka tidak ada larangan
untuk mendirikan atau memperbesar tempat ibadah mereka. Al-Qaradhawi
menyebutkan, bahwa kebanyakan gereja yang berdiri di Mesir dibangun pada
masa pemerintahan Islam, dan khalifah pada waktu itu mengizinkan
pembangunan tersebut. Ketika sebuah daerah mayoritasnya non-Muslim, mereka
juga dipersilahkan untuk menampakkan syia‟r agama mereka. Karena yang
demikian itu, tidak akan berbenturan dengan perasaan umat Islam.
Pendapat yang dibawakan oleh al-Qaradhawi ini juga mendapat penolakan
dari sebagian ulama, terlebih lagi ulama yang punya pemikiran keras. Ismail Ibnu
Muhammad dalam kitabnya yang berjudul “Hukum membangun gereja dan
tempat-tempat kesyirikan di negara Muslim”, menyatakan, bahwa Para ulama
telah sepakat haramnya membangun gereja-gereja di negeri-negeri Islam dan
wajib menghancurkannya apabila telah dibangun. Dan sesungguhnya
membangunnya di semenanjung Arab, seperti Najed, Hijaz, negera-negara teluk,
dan Yaman, lebih berat dosa dan lebih besar kesalahan, karena Rasulullah
menyuruh mengeluarkan kaum Yahudi dan Kristen, serta kaum musyrik dari
semenanjung Arab, dan melarang dua agama ada padanya, dan dalam hal ini para
sahabat mengikutinya.Tatkala Umar diangkat menjadi khalifah, dia mengusir
kaum Yahudi dari Khaibar, karena mengamalkan sunnah ini. Semenanjung Arab
adalah tempat kelahiran Islam, daerah tujuan para dai, dan tempat kiblat kaum
muslimin, karena itu tidak boleh dibangun padanya tempat ibadah, selain tempat
85
ibadah kepada Allah Sebagaimana juga tidak boleh menetap di sana orang yang
menyembah selain kepada-Nya.14
Pengharaman untuk membangun tempat ibadah agama lain dengan dalil
pengusiran nabi Muhammad terhadap kaum Yahudi, harus ditelaah lebih
mendalam. Hal ini disebabkan penghianatan orang Yahudi terhadap umat Islam
yang menjadikan mereka berstatus kafir harbi. Sebuah kezaliman ketika
menyamakan orang yang memusuhi Islam dengan orang yang tidak
memusuhinya. Pendapat ini juga harus dibandingkan dengan perintah nabi
Muhammad saw, ketika mengutus pasukan perang agar jangan menghancurkan
tempat ibadah non-Muslim. Dan sesuatu yang tidak masuk akal, ketika kita
mengatakan bahwa Islam memberikan kebebasan kepada agama lain untuk
melaksanakan ibadahnya, namun di sisi lain Islam melarang pembangunan tempat
ibadah mereka. Dari penjelasan di atas, terlihat pendapat al-Qaradhawi lebih
sesuai dan lebih bijaksana dalam menyikapi permasalahan ini, sehingga pendapat
inilah yang lebih sesuai untuk zaman modern ini. Dimana kaum mayoritas harus
menjaga dan memberikan hak yang layak bagi kaum minoritas, sedangkan kaum
minoritas harus tetap menghormati perasaan kaum mayoritas.
Ketika ada wacana untuk pembangunan sebuah tempat ibadah agama lain,
umat Islam harus bersikap dewasa dalam menanggapi masalah ini. Mereka tidak
dibenarkan langsung menolak tanpa mengamati situasi dan kondisi yang
menyebabkan adanya wacana tersebut. Apabila tempat tersebut memang banyak
non-Muslim serta sangat memerlukan dengan tempat ibadah, maka sebaiknya
umat Islam di daerah tersebut memberikan izin untuk pembangunannya. Namun,
jika tempat tersebut hanya sedikit nonmuslim yang tinggal, maka pembangunan
tersebut tidak boleh diizinkan. Hal ini akan membawa fitnah, karena
pembangunan tersebut hanya menarik orang nonmuslim untuk berdatangan
kedaerah tersebut, dan akan menyakitkan perasaan umat Islam.
14
Ismail Ibnu Muhammad, Hukum Membangun Gereja dan Tempat-tempat Kesyirikan di
Negara Muslim,terjemah;Muhammad Iqbal Ghazali ( Islam Hous,1988 ), h., 4.
86
Mengingat apa yang dibawakan oleh al-Qaradhawi ini, semuanya untuk
menjaga perasaan umat Islam, maka akan berbeda satu daerah dengan daerah lain
sesuai dengan tingkat sensitifitas umat Islam di daerah tersebut, dan bagi ahl
dzimmah yang hidup di lingkungan tersebut harus arif dan bijak untuk
menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar, sehingga tidak ada gesekan
yang merugikan serta menghancurkan keharmonisan hubungan mereka.
Ketika aturan sebuah negara seperti Indonesia yang berasaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa, dan ditambahkan dengan asas Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang sangat
menghormati dan menghargai agama tanpa mengadakan diskriminasi atau
pembedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Setiap agama
menerima hak dan fasilitas, perlindungan serta kesempatan yang sama. Negara
Indonesia juga tidak menghalang-halangi hubungan keagamaan antara warga
negaranya dengan bangsa-bangsa lain atau pusat-pusat keagamaan demi kemajuan
agama yang bersangkutan. Pelaksanaan kehidupan keagamaan tersebut
diharapkan dapat membawa persatuan dan kesatuan bangsa, mewujudkan nilai-
nilai kemanusiaan, yang adil dan beradab, menumbuh kembangkan kehidupan
demokrasi yang sehat, serta membawa seluruh bangsa Indonesia menuju
terwujudnya kehidupan yang berkeadilan sosial.15
Untuk permasalahan kebebasan mendapatkan pekerjaan bagi ahl dzimmah,
pendapat yang dibawakan al-Qaradhawi merupakan pendapat yang paling toleran
dibandingkan dengan pendapat-pendapat yang lain. Kebebasan untuk
mendapatkan pekerjan bagi ahl dzimmaah merupakan hal yang diperdebatkan
oleh ulama di masa lalu, mereka terbagi menjadi tiga pendapat:
1. Tidak memperbolehkan kepada ahl dzimmah untuk memegang satu
jabatan apapun dalam pemerintahan, meskipun jabatan tersebut terbilang
kecil, dan meskipun umat Islam berhajat untuk mengangkat mereka.
Pendapat ini menurut Ibnu Qayyim adalah pendapat jumhur ulama, yang
15
Armaidy A‟rmawi, Pemikiran Filosofis Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
(Desertasi tidak diterbitkan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,2009) h., 12.
87
sependapat dengan ini Ibnu Muflih, Al-Jasshas dari mazhab Hanafi, Al-
Qurthubi dari mazhab Maliki, Abu Umamah Ibnu An-naqqash dari
mazhab Syafi‟i dan Ibnu Hazam dari Az-zhahiri.
2. Pendapat kedua menyatakan bahwa ahl dzimmah pada mulanya tidak
diperbolehkan untuk memegang satu jabatanpun, namun apabila umat
Islam memerlukan untuk mengangkat mereka menjabat sebuah jabatan,
maka hal ini diperbolehkan. Ulama yang sependapat dengan ini adalah
Ibnu Hammam dala kitab Fathu al-Qadir.
3. Pendapat ketiga, menyatakan bahwa ahl dzimmah pempunyai hak untuk
menjabat jabatan apapun dalam pemerintahan, asalkan jangan ada
hubungan dengan masalah keagamaan. Pendapat ini banyak dipegang oleh
para pemikir dan ulama kontemporer, seperti Abu A‟la al-Maududi dan
Abul Karim Zaidan.16
Pendapat ketiga inilah yang dipegang oleh al-Qaradhawi, meskipun
berbeda dengan kebanyakan ulama, namun ia berpendapat inilah yang paling
relevan untuk masa sekarang karena dalil yang tidak membolehkan tersebut
seperti dilarang menjadikan orang kafir auliaya atau teman setia, masih ada
kemunkinan hal tersebut adalah kasuistik, karena orang kafir pada masa itu sangat
memusuhi orang Islam.
Menurut Abdul Karim Zidan, di zaman sekarang Negara Arab sudah tidak
memeberikan batasan kepada ahl dzimmah dalam mencari pekerjaan, perbedaan
agama sudah tidak menjadi syarat dalam mencari pekerjaan, dengan catatan
pekerjaan tersebut bukan hal-hal berkaitan dengan ibadah umat Islam.17
Namun di
Negara Indonesia, umat non-Muslim diberikan kebebasan dalam bekerja seperti
16 Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Majid Ibnu Shalih, Dauru Ahlu ad-Dzimmah fῑ Iqshai as-Syari‟ah, (Mesir; Darul Huda
an-Nabawi, 2007), h., 33-34.
17
Abdul Karim Zidan, Ahkam, h., 83.
88
halnya kaum Muslim dan tidak ada diskriminasi, walaupun negara yang mayoritas
Islam
Menurut penulis, toleransi yang diajarkan oleh al-Qaradhawi memang
sangat sesuai untuk persatuan ummat manusia, namun menurut sebagian ulama
pemahaman seperti mempunyai sisi negatif bagi umat Islam sendiri. Majid Ibnu
Shaleh menyebutkan, salah satu yang menyebabkan runtuhnya kekhalifan Islam,
serta tidak berlakunya lagi hukum-hukum Islam di sebuah Negara yang
mayoritasnya muslim, karena diberikannya toleransi yang berlebihan terhadap ahl
dzimmah, mereka diperbolehkan menjabat jabatan yang strategis, sehingga
mereka dapat menentukan kebijakan-kebijakan sebuah Negara Muslim.18
Yusuf al-Qaradhawi, ketika memberikan toleransi terhadap ahl dzimmah,
dipastikan tidak menginginkan hal ini terjadi, ia cuma berusaha untuk
memberikan hak dan kewajiban kepada ahl dzimmah sesuai dengan porsinya.
Adapun menempatinya ahl dzimmah posisi-posisi yang strategis di dalam
pemerintahan Islam, menurutnya disebabkan lemahnya ummat Islam dari segi
ilmu pengetahuan, sehingga menyebabkan mereka kalah bersaing dengan ahl
dzimmah.
Pendapat al-Qaradhawi terlihat kuat, karena kita dituntut untuk berbuat
adil meskipun kepada orang yang berbeda keyakinan dengan kita, ketika mereka
mempunyai hak yang boleh mereka ambil, kita diperintahkan untuk
memberikannya. Dan ketika kita dituntut untuk bersaing dengan mereka, maka
kita harus menjalani persaingan tersebut dengan sehat dan tidak boleh mengurangi
hak-hak mereka.
Meskipun al-Qaradhawi memberikan kebebasan yang luas bagi ahl
dzimmah untuk pendapatkan pekerjaan, ia tetap memberikan pengecualian
terhadap transaksi riba. Transaksi riba mendapatkan perhatian khusus, karena
bahaya yang ditimbulkan oleh transaksi ini akan merusak masyarakat, bangsa
bahkan dunia. Transaksi ini dipastikan akan membuat kesejahteraan manusia tidak
akan merata, yang kaya akan bertambah kaya dengan menikmati jerih payah yang
18 Majid Ibnu Shalih, Dauru Ahlu ad-Dzimmah fῑ Iqshai as-Syari‟ah, h., 18.
89
miskin, dan yang miskin akan sangat susah untuk bisa hidup sejahtera. Karena
begitu berbahaya transaksi ini, Islam memberikan ancaman yang sangat keras bagi
pelaku riba, dengan menyatakan bahwa orang yang melakukan transaksi ini
adalah orang yang berperang melawan Allah dan rasul-Nya, ditambah lagi Allah
akan menghancurkan harta yang dihasilkan dari riba tersebut, dan akan bangkit
dari kubur seperti orang yang kerasukan.
Yusuf al-Qaradhawi memberikan bab khusus ketika membahas peran ahl
dzimmah dalam pemerintahan. Ia menyebutkan hak ahl dzimmah dalam menjabat
sebuah jabatan di negara Muslim sama haknya dengan orang Islam, ada beberapa
jabatan yang memang tidak diperbolehkan untuk ahl dzimmah, karena jabatan
tersebut sangat erat hubungannya dengan agama Islam. Jabatan tersebut seperti
menjadi khalifah, presiden, pemimpin pasukan perang, hakim dalam urusan
agama Islam, amil dalam pemungutan zakat dan sebagainya,19
Alasan ahl dzimmah tidak diperbolehkan memegang jabatan ini karena
jabatan tersebut sangat berkaitan dengan akidah Islam. Jabatan khalifah menurut
al-Qaradhawi, adalah sebuah jabatan yang menggantikan posisi nabi Muhammad
saw, sehingga sangat tidak mungkin jabatan tersebut dipegang oleh non-Muslim,
ditambah lagi secara kebiasaan kelompok mayoritaslah yang memimpin
kelompok minoritas. Adapun jabatan pemimpin perang, dalam pandangan Islam
adalah ibadah, karena perang membela agama dan negara dalam pandangan Islam
adalah jihad, sehingga jabatan ini sangat tidak layak dipegang oleh nonmuslim.
Sedangkan jabatan hakim dalam urusan agama Islam atau petugas zakat, sangat
jelas bahwa ini harus dipegang oleh orang Islam, karena masalah ini cuma ada di
dalam agama Islam.20
Yusuf al-Qaradhawi, sudah memberikan alasan yang rasional dalam
membatasi jabatan yang dipegang oleh ahl dzimmah, sehingga diharapkan orang
19 Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 23.
20
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 24.
90
Muslim dan non-Muslim yang mengetahui permasalahan ini, tidak lagi
menganggap bahwa ini adalah suatu kesalahan yang harus diperbaiki. Kecuali
orang yang hanya menginginkan persamaan, tanpa memandang aspek-aspek yang
lain. Orang tersebut akan cenderung menyalahkan batasan-batasan yang diberikan
oleh al-Qaradhawi ini.
Menurut Abdul Karim Zidan, batasan jabatan yang diberikan Islam
terhadap ahl dzimmah, bukan hal yang aneh, karena jabatan dalam Islam adalah
taklif bukan hak. Dan sebuah Negara mempunyai wewenang untuk memberikan
syarat-syarat tertentu bagi orang yang akan memegang jabatan tersebut.
Mengingat jabatan ini sangat erat hubungannya dengan akidah Islam, maka
selayaknya jabatan tersebut dipegang oleh umat Islam.21
berbeda dengan al-
Qaradhawi, menurut Abdul Karim Zidan mengemukakan enam macam hak politik
yang bisa dinikmati oleh rakyat /warga negara sebuah komunitas Islam seperti
Negara Indonesia. keenam hak politik yang dimaksud adalah sebgai berikut:
1. Hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala Negara, baik langsung
maupun tidak langsung (melalui perwakilan);
2. Hak musyawarah /hak untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan
ide, terpilih, utamanya kepala negara, agar tidak melakukan hal-hal
yang membahayakan umat /rakyat;
3. Hak pengawasan /hak untuk mengontrol dan meluruskan
penyimpangan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara;
4. Hak memecat atau mencopot kepala Negara dari jabatannya bila tidak
dapat menjalankan dengan baik tugas yang diamanatkan rakyat;
5. Hak untuk mencalonkan diri untuk jabatan kepala Negara /presiden;
6. Hak untuk menduduki jabatan umum dalam pemerintahan.22
Dari fakta sejarah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa agama Islam
adalah agama yang memberikan kebebasan untuk pemeluk agama lain dalam
21 Abdul Karim Zidan, Ahkam, h., 78-79.
22 Mujar Ibnu syarif, Hak-hak Politik Minoritas non-Muslim dalam Komunitas Islam,
(Bandung: Angkasa, 2003), h., 54.
91
menjabat sebuah jabatan. Mereka boleh barsaing dengan orang Islam, bahkan
mereka boleh lebih banyak mendapatkan jabatan tersebut dari pada orang Islam.
Meskipun hal ini menunjukkan lemahnya kualitas kebanyakan umat Islam waktu
itu, sehingga mereka kalah bersaing dengan non-Muslim. Hal ini tidak perlu lagi
terjadi, karena Islam menuntut umatnya untuk selalu maju, baik untuk perkara
dunia maupun akhirat.
Dari uraian di atas, juga di ambil kesimpulan, bahwa tidak ada masalah
ketika sebuah Negara Indonesia yang mayoritasnya Muslim, namun yang
menjabat jabatan gubernur, wali kota, bupati dan camat sebagiannya adalah non-
Muslim, selama mereka tidak menaruh kebencian dengan Islam serta memiliki
kemampuan dan amanah untuk jabatan tersebut. Meskipun sebagai orang Islam,
kita perlu prihatin, karena kemunduran yang dimiliki orang Islam sekarang ini
tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Suatu yang menyedihkan, apabila seorang
gubernur yang beragama Islam namun tersandung kasus korupsi, sedangkan di
sisi lain, non-Muslim yang menjabat jabatan gubernur sangat jauh dari perbuatan
haram tersebut.
C. Relevansi Kewajiban Ahl Dzimmah Yusuf al-Qaradhawi dengan
kewarganegaraan Indonesia
Sebagaimana ahl dzimmah memiliki hak yang harus dipenuhi oleh negara
Muslim, mereka juga punya kewajiban yang harus mereka lakukan. Apakah
kewajiban-kewajiban ini relevan dengan Negara Indonesia, atau bahkan pemikiran
Yusuf al-Qaradhawi ini tidak sesuai dengan masa sekarang ini, dalam artian jauh
lebih mundur. Kewajiban-kewajiban menurut al-Qaradhawi untuk ahl dzimmah
ada tiga macam;
1. Kewajiban membayar sejumlah harta yang telah ditetapkan;
2. Kewajiban mentaati hukum-hukum konstitusi Islam;
3. Menjaga perasaan /syiar-syiar kaum Muslimin Islam.
Salah satu kewajiban ahl dzimmah adalah membayar jizyah kepada Negara
Muslim yang melindungi mereka. Menurut al-Qaradhawi, jizyah adalah pajak
92
tahunan yang diambil dari setiap laki-laki yang sudah balig dan mampu dari ahl
dzimmah. Sedangkan orang fakir dari kalangan ahl dzimmah tidak dibebani
sediktpun dari jizyah ini. Besar atau kecilnya jizyah tersebut menurut al-
Qaradhawi adalah kebijakan pemimpin, dan harus ada perbedaan antara yang kaya
raya, menengah dari segi kekayaan, dan paling rendah dari segi kekayaan.
Mengacu pada Negara Indonesia, membebankan kepada rakyatnya untuk
membayar pajak, yaitu iuran yang dibebani kepada rakyat untuk rakyat yang
digunakan untuk membiayai keperluan-keperluan umum yang berkaitan dengan
tugas negara dan pengeluaran yang bermanfaat untuk masyarakat luas.
Berdasarkan dari resolusi di atas, penulis sederhanakan secara definitive antara
jizyah dan pajak itu senada, yaitu sebagai urunan atau iuran yang dikeluarkan oleh
warga Negara terhadap Negara demi menjamin keamanan diri, harta,
kesejahteraan hidup, serta sebagai pembendaharaan Negara dalam menjalankan
tugas-tugas Negara dibidang pemerintahan. Bagaimana dalam keuangan Indonesia
ini, pajak dibuat sebagai sumber peneimaan utama negara. Dengan demikian,
sistem perpajakan yang berkembang saat ini merupakan pengejawantahan dari
ajaran Islam dan praktik Rasulullah serta sahabatnya. Hanya istilah saja yang
digunakan saat ini berbeda.
Khalifah Umar menerapakan ukuran jizyah menurut tiga tingkatan, ahl
dzimmah yang kaya raya harus membayar 48 dirham setiap tahun, orang yang
menengah dari segi kekayaan harus membayar 24 dirham pertahun, dan orang
yang paling rendah dari kekayaan cuma diwajibkan membayar 12 dirham
pertahun.23
Perbedaan jumlah penarikan jizyah tersebut karena perbedaan kebijakan
yang diambil oleh pemimpin waktu itu, sekiranya negara waktu itu memerlukan
pemasukan yang banyak, sehingga jumlah penarikannya juga berbeda-beda.
Namun, pembagian yang menyebutkan bahwa orang miskin wajib membayar
jizyah, terlihat tidak kuat dibandingkan pendapat yang mengatakan bahwa mereka
23
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 34.
93
tidak wajib membayar jizyah. Dalam sebuah riwayat Khalifah Umar Ibnu al-
Khattab melihat beberapa orang ahl dzimmah diberi sanksi dengan cara di jemur
di terik matahari, Umar bertanya kepada para penjaga; apa yang telah mereka
lakukan?, para penjaga menjawab bahwa mereka tidak membayar jizyah, Umar
bertanya lagi; apa alasan mereka tidak membayarnya? para penjaga menjawab;
mereka beralasan tidak memiliki harta, Umar berkata biarkan mereka bebas, kita
tidak membebani kepada mereka sesuatu yang mereka tidak mampu.24
Jizyah yang dibayar oleh ahl dzimmah sebagai pengganti keikutsertaan
mereka dalam membela negara, menurut para ulama boleh diganti dengan nama
lain, sesuai apa yang diinginkan oleh ahl dzimmah, seperti shadakah, hibah dan
lain sebagainya.25
Maka dari itu penulis berpendapat, jizyah bukanlah sanksian
melainkan kompensasi yang diberikan Negara Islam terhadap ahl dzimmah, tetapi
sebagai pengganti atas ketidak ikut sertaan mereka dalam membela negara.
Adapun kewajiban membayar jizyah untuk masa sekarang, menurut Abdul
Karim Zidan sudah tidak berlaku lagi, mengingat kebanyakan ahl dzimmah sudah
ikut serta dengan orang Islam membela negaranya,26
dan hal ini merupakan salah
satu yang menyebabkan kewajiban tersebut tidak berlaku lagi. Meskipun hal ini
sudah tidak diberlakukan lagi, namun tetap penting untuk dibahas, mengingat
kebanyakan ulama menganggap, bahwa penarikan jizyah tersebut merupakan
bentuk sanksi yang diberikan oleh Negara Islam kepada ahl dzimmah, karena ia
hidup didalam negara tersebut.27
Dapat penulis simpulkan, bahwa pandangan yusuf al-Qaradhawi tentang
jizyah ini sangat tidak relevan dengan Negara Indonesia ini, karena di Indonesia
siapapun harus ikut serta membela negaranya, dan pendapat Yusuf al-Qaradhawi
ini menurut penulis terlalu terbelakang di banding pendapat ulama NU pada
24
Muhammad al-Ghazali, At-tasamuh, h., 40.
25
Amir Abdul Aziz, Iftiraat, h., 32.
26
Abdul Karim Zidan, Ahkam, h., 157.
27
Abdul Karim Zidan, Ahkam, h., 146.
94
Sidang Komisi Bahstul Masail ad-Diniyah al-Maudhuiyyah pada Musyawarah
Nasional Alim Ulama Nu 2019, membahas status non-Muslim di Indonesia dalam
konteks berbangsa dan bernegara, bahwa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara status non-Muslim seperti di Indonesia adalah muwathin atau warga
negara yang mempunyai kewajiban dan hak yang sma dan setara sebagaimana
warga Negara lainnya, maka dari itu, dalam hal ini pendapat al-Qaradhawi bila
diterapkan di Indonesia sangat tidak relevan.
Kewajiban berikutnya adalah membayar kharraj. Kharraj merupakan
pengganti zakat yang dibebankan kepada orang Islam dari hasil tanah mereka
(Zakatu az-Zia‟h). Pendapat yang kuat juga mengatakan bahwa penarikan kharraj
ini tergantung dengan kebijakan imam, banyak atau sedikitnya penarikan tersebut
harus dilihat dari hasil bumi tersebut.28
Al-Qaradhawi mengutip pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan
bahwa kharraj tetap dibebankan kepada ahl dzimmah, meskipun telah masuk
Islam. Berbeda dengan jizyah, ketika seorang ahl dzimmah menyatakan diri
memeluk agama Islam, maka kewajiban tersebut sudah tidak ada lagi.
Kebanyakan ulama juga berpendapat bahwa ahl dzimmah yang tidak mau
memeluk agama Islam, selain dibebani membayar kharraj tersebut, mereka juga
wajib membayar sepersepuluh dari hasil bumi tersebut.29
Namun, pendapat ini
diakui al-Qaradhawi berbeda dengan pendapat Abu Hanifah, yang menyatakan
bahwa ahl dzimmah cuma berkewajiban membayar kharraj, sedangkan kewajiban
membayar sepersepuluh dari hasil bumi hanya diwajibkan kepada orang Islam
sebagai zakat dari hasil tanaman mereka.30
Menurut penulis, pendapat yang dinyatakan oleh Abu Hanifah lebih sesuai
untuk masa sekarang ini khususnya dalam kewarganegaraan Indonesia, keadilan
28 Abdul Karim Zidan, Ahkam, h., 160-162.
29
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 35.
30
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 36.
95
yang merupakan pilar agama Islam lebih terlihat jelas. Orang Islam diwajibkan
membayar zakat dari hasil tanaman mereka, sebagai bentuk ketaatan mereka
terhadap agama, serta peran mereka dalam membangun Negara. Adapun ahl
dzimmah, tidak ada kewajiban membayar zakat, karena itu ibadah orang Islam,
namun mereka tetap dituntut untuk ikut serta dalam membangun negara tersebut
dalam bentuk membayar kharraj (Pajak Bumi dan Bangunan).
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban membayar
kharraj bagi ahl dzimmah, dan membayar zakat bagi orang Islam adalah
merupakan aturan Islam yang harus dilakukan setiap manusia yang hidup
disebuah negara. Karena dengan aturan ini manusia bisa saling berbagi, serta ikut
berperan dalam membangun serta memajukan negaranya. Bahkan kemungkinan
besar aturan inilah yang mengilhami setiap negara yang ada di dunia untuk
menarik pajak dari setiap orang yang hidup di negara tersebut.
Maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa, konsep kharaj menurut
Yusuf al-Qaradhawi secara esensial di Indonesia sudah diterapkan, yaitu dengan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Selanjutnya, salah satu kewajiban yang harus dibayar oleh ahl dzimmah
yang memiliki perdagangan adalah pajak perdangan. Kewajiban ini mulai berlaku
ketika Syaidina Umar menjabat sebagai khalifah.31
Pajak perdagangan yang
diwajibkan oleh Khalifah Umar adalah pengganti dari zakat perdagangan yang
diwajibkan kepada umat Islam, sebagai bentuk keikut sertaan para pedagang
dalam berbagi terhadap sesama, karena agama Islam adalah agama yang tidak
menyukai bahwa harta kekayaan hanya berputar dikalangan orang kaya saja. Oleh
karena itu harus ada aturan yang mengatur perputaran harta tersebut, sehingga
bisa dinikmati oleh orang lain. Salah satu aturan tersebut adalah kewajiban
membayar zakat perdagangan bagi umat Islam, dan membayar pajak perdagangan
bagi ahl dzimmah.
31
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 40.
96
Namun, ketika mengamati jumlah penarikan pajak perdagangan ahl
dzimmah, terlihat ada perbedaan jumlah penarikan terhadap orang Islam, ahl
dzimmah berkewajiban membayar 5% dari jumlah harta perdagangannya,
sedangkan umat Islam hanya membayar 2,5%. Hal seperti ini dipastikan akan
mendapatkan respon negatif dari para pemikir yang mencari kesalahan agama
Islam. Dan umat Islam yang membahas masalah ini juga harus berhati-hati, agar
tidak menyebabkan kesalah pahaman yang menjauhkan nilai-nilai keadilan yang
dibawa agama Islam.
Yusuf al-Qaradhawi berusaha menjelaskan kepada kita latar belakang
terjadinya berbedaan penarikan harta tersebut dengan mengutip beberapa
pendapat ulama. Pendapat pertama, ia mengutip pendapat Abu Ubaid, yang
menyatakan bahwa penarikan 5% tersebut adalah kesepakatan Umar dan ahl
dzimmah pada waktu itu, berarti penarikan 5% tersebut bukan sesuatu yang pasti,
namun bisa berubah-ubah. Pendapat kedua, menurut Ibnu Syihab, bahwa hal ini
sudah terjadi di zaman jahiliyah, dan Umar memberlakukan itu lagi. Pendapat
ketiga, dikutip ulama Hanafi, bahwa penarikan harta dari para pedagang ahl
dzimmah lebih banyak dari pedagang muslim, disebabkan biaya yang dikeluarkan
Negara untuk melindungi harta perdagangan ahl dzimmah lebih besar dari biaya
perlindungan harta orang Islam, karena para pencuri lebih sering mengintai harta
ahl dzimmah. Pendapat keempat, adalah pendapat Abu A‟la al- Maududi, yang
menyatakan bahwa orang Islam waktu itu disibukkan untuk membela agama
Islam, sehingga hampir semua perdagangan dipegang oleh non-Muslim. Hal ini
menyebabkan para ulama fiqih waktu itu menambahkan jumlah harta yang
diambil dari ahl dzimmah, untuk menjaga keseimbangan perdagangan waktu itu.32
Yusuf al-Qaradhawi meskipun telah menyebutkan beberapa pendapat
ulama tentang alasan perbedaan penarikan jumlah harta tersebut, terlihat tidak
puas dengan alasan-alasan tersebut, bahkan ia memberikan kritikan terhadap
pendapat kedua dan keempat, menurutnya Umar tidak patut mengamalkan sesuatu
yang berlaku di zaman jahiliyah. Adapun pendapat keempat, menurutnya
32
Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 40-41.
97
ketetapan 5% adalah ketetapan Umar, bukan ahli fiqih. Al-Qardhawi lebih suka
dengan alasan yang dibawakan oleh Abdul Karim Zaidan, yang menyatakan
bahwa adanya perbedaan penarikan sejumlah harta antara orang Islam dan ahl
dzimmah disebabkan kerena harta yang diambil dari ahl dzimmah hanya dari harta
perdagangan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Adapun harta
perdagangan mereka yang ada negaranya tidak akan dihitung pajaknya, begitu
juga harta simpanan mereka, seperti emas, perak dan lainnya. Sedangkan
pedagang muslim, meskipun hanya wajib membayar zakat sebesar 2,5%, tetapi
semua perdagannya dihitung, baik didalam negeri atau yang diluar negeri, begitu
juga harta simpanan mereka, semuanya dihitung untuk dizakati.33
Dari urain di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan pajak perdagangan
terhadap ahl dzimmah yang dilakukan oleh Khalifah Umar, dan kemudian diikuti
oleh para ulama sangat jauh dari kezaliman, dan ini sudah diterapkan di Indonesia
seperti halnya bea cukai, namun di Indonesia tidak membedakan antara Muslin
dengan non-Muslim dalam artian menyetarakannya. Meskipun persentasi
penarikannya lebih banyak dari pada zakat orang Islam, namun pada
kenyataannya sangat memelihara keadilan antara sesama orang yang hidup di
bawah naungan Negara Islam. Ini adalah salah satu contoh keadilan agama Islam
terhadap pemeluk agama lain, serta pembuktian Islam bahwa tidak ada paksaan
bagi agama lain untuk melakukan ibadah.
Kewajiban kedua, yang harus dipatuhi oleh ahl dzimmah adalah mentaati
hukum yang berlaku di negara Muslim. Meskipun ahl dzimmah diwajibkan
mentaati peraturan yang ada di Negara Muslim, namun syariat Islam telah
memberikan pengecualian terhadap mereka. Menurut al-Qaradhawi, Islam juga
memberikan kebebasan kepada mereka dalam urusan pribadi atau bermasyarakat,
untuk melakukan sesuatu yang dibolehkan oleh agama mereka, meskipun Islam
mengharamkannya, seperti urusan perkawinan, perceraian, makan daging babi,
meminum khamar dan sebagainya. Islam tidak ikut campur dengan orang Majusi
yang kawin dengan salah satu muhrimnya, orang Yahudi yang kawin dengan putri
33
Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 42.
98
saudaranya, atau Nasrani yang memakan daging babi atau meminum khamar.34
Sangat terlihat jelas, bahwa pemikiran yang dibawakan oleh al-Qaradhawi tentang
aturan Islam terhadap ahl dzimmah sangat toleransi, ketika Islam mengharamkan
sesuatu, namun agama yang dianut oleh ahl dzimmah tersebut membolehkannya
dan tidak bermudharat bagi orang lain maka Negara yang menganut syariat Islam
tersebut akan memperbolehkannya.
Dapat penulis simpulkan, di Indonesia anatar orang non-Muslim dengan
orang Muslim menyetarakan dalam mentaati hokum konstitusi, sesuai UUD
Tahun 1945, Pasal 1 ayat 3 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”
maka dari itu kurang relevan antara pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dengan
kewarganegaraan Indonesia, karena al-Qaradhawi menomorduakan ahl dzimmah
sedangankan di Negara Indonesia antara non-Muslim dan Muslim disetarakan,
walaupun dinegara ini, lebih banyak mayoritas Islam.
Kewajiban berikutnya yang harus dilakukan oleh ahl dzimmah setelah
mendapatkan hak mereka adalah menghormati syiar-syiar Islam (ciri-ciri khas
dalam upacara-upacara keagamaan dan sebagainya), tempat-tempat suci orang
Islam serta memelihara perasaan orang Islam. Yusuf al-Qaradhawi memberikan
beberapa contoh untuk kewajiban yang ketiga ini. Menurut al-Qaradhawi mereka
dilarang mencela Islam, rasul umat Islam dan kitab al-Quran secara terang-
terangan. Mereka juga dilarang memasukkan akidah atau pemikiran yang
bertentangan dengan umat Islam, kecuali akidah yang telah lama ada di dalam
agama mereka.35
Apa yang dinyatakan oleh al-Qaradhawi, bahwa setiap penganut agama
yang berlindung di bawah naungan Negara Muslim tidak boleh memasukkan
akidah baru, sangat sesuai dengan apa yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 29
34 Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h 43.
35
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 45.
99
ayat 1 UUD 1945 dinyatakan, bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Maka dari itu penulis setuju dengan pendapatnya Hazairin dalam bukunya
Demokrasi Pancasila, menyatakan bahwa;
1. Dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani atau
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu bagi orang-orang
Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan Budha bagi orang-
orang Budha.
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari‟at Islam bagi orang
Islam, syari‟at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari‟at Hindu Bali bagi
orang Bali, sekedar menjalankan syari‟at tersebut memerlukan perantaraan
kekuasan Negara.
3. Syari‟at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk
menjalankannya, dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap
Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya
masing-masing.36
Maka dapat penulis simpulkan bahwa, persoalan menjaga perasaan kaum
Muslimin di Negara Indonesia ini sudah diterapkan, dan tidak boleh saling
mengganggu satu sama lain, dan sudah di atur dalam Undang-Undang.
Kewajiban selanjutnya yang harus mereka lakukan adalah tidak boleh
menampakkan kemaksiatan di depan umat Islam, seperti minum khamar,
memakan babi atau menjualnya kepada umat Islam. Mereka juga dilarang
menampakkan makan dan minum di siang hari ramadhan, karena semuanya itu
memelihara perasaan umat Islam. Secara keseluruhan, setiap apa yang di larang
dalam ajaran Islam namun diperbolehkan dalam ajaran mereka, jika mereka ingin
melakukannya, maka mereka dilarang menampakkannya terhadap umat Islam.
36 Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ibalam, 2004), Cet 1, h., 7.
100
Tujuannya adalah untuk saling menghormati antara sesama agama sehingga
tercipta keamanan sebuah negara.37
Maka dapat disimpulkan, sebagian aturan yang gariskan oleh al-
Qaradhawi, sudah terlaksana di beberapa daerah di Indonesia, mereka dituntut
untuk menghormati perasaan dari agama-agama dan kepercayaan masing-masing.
Tetapi pemikiran Yusuf al-Qaradhawi secara keseluruhan sangat tidak Relevan
dengan Negara Indonesia yang mayoritas Islam ini, karena tidak ada pembedaan
antara non-Muslim di Indonesia dengan Muslim, dalam artian setara didepan
hukum.
37 Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
lihat juga, Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, h., 45-46.
101
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konsep Ahl Dzimmah dalam pemikiran Yusuf al-Qaradhawi yaitu
Menurut Yusuf al-Qaradhawi kata Dzimmah berarti perjanjian, jaminan dan
keamanan. Mereka dinamakan demikian karena mereka memiliki jaminan
perjanjian („abd) Allah dan Rasul-Nya serta jaminan kaum Muslimin untuk hidup
dengan aman dan tentram dibawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan
masyarakat Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin
berdasarkan akad dzimmah. Dengan demikin menurutnya ahl dzimmah ini
memberikan kepada orang-orang non-Muslim suatu hak yang di masa sekarang
mirip dengan apa yang disebut sebagai kewarganegaraan politis yang diberikan
oleh negara kepada rakytnya, dengan itu pula mereka memperoleh dan terikat
pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban semua warga negara.
Hak dan kewajiban Ahl Dzimmah dalam Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi
yaitu sebagai berikut:
A. Hak Ahl Dzimmah menurut Yusuf al-Qaradhawi terbagi menjadi:
1. Hak mendapatkan perlindungan atau Keamanan. Terbagi menjadi;
a. Hak Perlindungan terhadap Pelanggaran Dari Luar Negeri;
b. Hak Perlindungan terhadap Kezaliman di Dalam Negeri;
c. Hak Perlindungan Nayawa dan Badan (Kehidupan);
d. Hak Jaminan Keamanan Harta Benda;
e. Hak Perlindungan Kehormatan Ahl Dzimmah;
f. Hak mendapatkan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kemiskinan.
102
2. Hak Mendapatkan Kebebasan, terbagi menjadi;
a. Hak Kebebasan Beragama;
b. Hak Kebebasan untuk Bekerja.
3. Hak mendapatkan Jabatan dalam Pemerintahan (Politik)
B. Kewajiban Ahl Dzimmah menurut Yusuf al-Qaradhawi, terbagi menjadi;
1. Kewajiban Membayar Sejumlah Harta, terbagi menjadi;
a. Jizyah;
b. Kharraj
c. Ad Dharbiyah at Tijariyah (Pajak Perdagangan).
2. Kewajiban Menaati Hukum Islam dalam Urusan Perdata Lainnya (Di
Luar Urusan Memeluk Agama dan Hal-hal yang Bersifat Pribadi);
3. Menghormati Syiar-syiar Islam dan Tempat-tempat suci orang Islam.
Mengingat Ahl Dzimmah dalam Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi masih
meletakkan Ahl Dzimmah pada kelas dua, maka sangat tidak relevan bila
diterapkan di Indonesia, soalnnya di Indonesia kaum non-Muslim sudah diberi
posisi setara dengan kaum Muslim, maka dari itu warga negara baik Muslim
maupun non-Muslim mereka bisa menjadi Kepala Negara, untuk menghilangkan
kesan diskriminatif sebaiknya non-Muslim di Indonesia tidak disebut Ahl
Dzimmah, melainkan sebut saja Non-Muslim untuk menggambarkan status warga
negaranya yang setara dengan kaum Muslimin yang merupakan warga mayoritas
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu penulis mengharapkan dan menantikan adanya saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi perbaikan di lain waktu agar penelitian
dalam skripsi ini bisa menjadi lebih bermanfaat.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Sa‟dawi, Amru, Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi, Cet. 1 Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2009.
Ahmad al-Zawi, Al-Tahir, al-Qamus al-Muhit, Jilid.2, Saudi: Dar Alam al-
Kutub li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1417 H/1996 M.
A‟la Al-Maududi, Abul, Hak-hak Minoritas dalam Negara Islam, Terj. Syatibi
Abdullah, Bandung: Sinar Baru, 1993.
Nabhani, An, Taqiyyuddin, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol: II , Kairo:
Dar al-Umah, 1996.
A‟rmawi, Armaidy, Pemikiran Filosofis Hubungan Agama dan Negara Indonesia
Disertasi tidak diterbitkan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2009.
Aziz Dahlan, Abdul. et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1999.
______________,Abdul, Einsklopedi Hukum Islam, Jilid 5, cet. Ke-7, Jakarta:
PT.Ichitiar Baru Van Hoeve, 2006.
Baihaki, Imam, Sunan al-Kubra, Jilid 9, Darul maầrif Usmaniyah, 1984.
Bin Abi Bakr Ayyub al-Zar‟iy Abu Abdillah, Muhammad, Tahqiq Yusuf Ahmad
al-Bakriy dan Syakir Tawfiq al-`Aruriy, Ahkam Ahl al-Dzimmah, Beirut:
Dar Ibn Hazm, 1997/1418.
C.S.T. 1996. Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Ghanusyi, Al, Rasyid, Huquq al-Muwa tanah: Huquq Ghair al-Muslim fi al-
Mujtama‟ al-Islami, Virginia: Ma‟had al-„Alam li al-Fikr al-Islami, 1993.
Ghazali, Al, Muhammad, At-tasamuh baina al-Islam wa al-Masihiyah, Mesir:
Nahdatu Misr, 1980.
G Sevilla, Consuelo, dkk, Pengantar Metodologi Penelitian, cet.I., Jakarta: UI
Pres. 1993.
Hamid al-Ghazali, Abu, Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam al-Syafi, Vol. 2, Mesir:
Muhammad Mustafa, 1318 H.
104
Haq, Hamka, Konsep Zimmi dalam Islam dalam, Lutfi Asyaukanie, Wajah Liberal
Islam di Indonesia. Jakarta : Jil, 2002.
Hawa, Said, Al-Islam, Terj. Abdul Hayyi al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani
Press, 2004.
Heri, Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam, dari Abu Bakar Sampai al-Qaradhawi
Jakarta: Hikmah, 2003.
Hisyam, Ibn, al-Sirah al-Nabawiyyah, Tahqiq: Mustafa al-Saqa‟, cet. II, Mesir:
Mustafa al-Babi al-Hilyi, 1375/1955.
Huwaydi, Fahmi, Muwathinun la Dzimmiyyun, Cet III, Kairo: Dār el-Shorouq,
1999.
Ibnu Abidin, Hasyiyyah, Ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Vol.3,
Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003.
Ibn Ahmad ibn al-Juza‟i al-Kalabi, Muhammad, Al-Qawanun al-Fiqhiyyah fi
Talkhias al-Mazhab al-Malikiyyah, Beirut: Dār al-Qalam,t.t.
Ibnu Hazm, Imam, al-Muhalla bi al-Atsar, Tahqiq: Muhammad Munir Ad-
Dimasyqi Ahmad Muhamad Syakir, Vol. VII, Beirut: Dar Kutub Ilmiah,
1427.
Ibnu Muhammad, Ismail, Hukum Membangun Gereja dan Tempat-tempat
Kesyirikan di Negara Muslim, terjemah; Muhammad Iqbal Ghazali, Islam
Hous,1988.
Ibnu Shalih, Majid, Dauru Ahl Dzimmah fῑ Iqshai as-Syari‟ah, Mesir:
Darul Huda an-Nabawi, 2007.
Ibn Salih al-„Utsaimin, Muhammad, Huquq Du‟at Ilaih al-Fitrah wa Qarraratha
al-Syari‟ah, Riyad: T. Pnb, 1427.
Madjid, Nurcholis, Zainun Kamal, dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan
The Asia Foundation, 2004.
Manzur, Ibn, Lisan al-„Arab, Jilid 3, Kairo: Dar al-Hadīs, 2003.
Maulana, Saufy, hak dan kewajiban ahl zimmah persfektif hadits, Skripsi UIN
Syarif Hidatullah, Jakarta, 2017.
105
Mawardi, Al, Imam, Ahkam as-Sulthaniyyah, Tahqiq: Dr. Ahmad Mubarok al-
Baghdadi, Cet.1, Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah, 1989.
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Cet 1, Jakarta: IBLAM, 2004.
M. Jakfar, Tarmizi, Otoritas Sunnah Non Tasyri‟iyyah Menurut Yusuf al-
Qaradhawi, cet.1, Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, 2012.
Mujar Ibnu syarif, Hak-hak Politik Minoritas non-Muslim dalam Komunitas
Islam, Bandung: Angkasa, 2003. Murtada al-Husaini al-Zabidi, Muhammad, Taj al-Arus min Jawāhir al-Qāmūs,
Jilid 28, Kuwait: Hukumah al-Kuwait, 1385/1965.
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Vol. III, Beirut: Dar Ihya‟ al-Turats al-Arabiy,
1409.
______________, Shahih Muslim, Jilid 4, Kairo: Maktabah Dahlan, 2000.
Nisa, Choirun, Hak-Hak Politik Warga Negara Non- Muslim sebagai Pemimpin
dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif, Skripsi UIN Raden
Intan, Lampung, 2017.
______________, Abul, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Terj. Asep
Hikmat, Bandung: Mizan, cet. vI, 1998.
Paulus, B.P, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1976.
Qalibi, Al, Al-Syadzili, Ahl al-Dzimmah fi al-H adarah al-Islamiyah, Beirut: Dar
al-Gharb al-Islami, 1998.
Qaradhawi, Al, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Terj. As‟ad Yasin, Jilid 2,
Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
______________,Yusuf, Fikih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap
tentang Jihad menurut al-Qur‟an dan Sunnah, Terj. Irfan Maulana Hakim,
Bandung: Mizan, 2010.
______________,Yusuf, Ghairul Muslimin fil Mujtama‟ Al Islami, ter,
Muhammad Baqir, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam,
Bandung: Mizan, 1994.
______________,Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, terj: H.
Mu‟ammal Hamidy, Surabaya:PT Bina Ilmu,1976.
106
______________, Yusuf, Perjalanan Hidupku, Terjemahan Cecep
Taufiqurrahman, Nandang Buranuddin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Qurthubi, Al, Muhammad Ibnu Ahmad, al-Jami‟ li ahkami al-Quran, jilid 7,
Mesir: Maktabah as-Shafa, 2005.
Rahman, Abdur, Non-Muslim Under Syari'ah, London: Taha Publisher,1983.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, alih bahasa Nor Hasanuddin, cet.2, Vol. III,
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
Sayyid, As, Yusuf, Muhammad, Ahmad Durrah, Pustaka pengetahuan al- Quran,
Penerjemah Abu Bakar Ahmad, Jilid 3, Bandung: Ankasa, 2008.
Sayyid Thanthawi, Muhammad, Tasfir al-Wasit, Jilid 1, Mesir; Dar as-Saadah,
2007.
Salam Arief, Abd., Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan
Realita; Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut, Yogyakarta: LESFI,
2003.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,
1984.
Surayabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, cet.XVI, Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2004.
Shuyuthi, As, Imam, al-Jami as-shagir, t.tp., jilid 2, Hidayah, 1999.
Syafi‟i Antonio, Muhammad, Tim Tazkia, Enseklopedi Leadership & Manajemen
Muhammad S.A.W “The Super Leader Super Menager”. Kepemimpinan
sosial dan politik, Social & political Leadership, Jakarta: Tazkia
Publishing, 2010.
Thabari, At, Muhammad Ibnu Jarir, Tarikh at-Thabari, jilid 3, Mesir: Darul
Ma‟arif, 1995.
Thohir, Ajid, Sirah Nabawiyah, Nabi Muhammad saw Dalam Kajian Ilmu Sosial -
Humaniora, Bandung: Marja, 2004.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wahhab Khalaf, Abdul, As-Siyasah asy-Syar‟iyyah, Beirut: Dar al- Kutub As-
Syar'iyyah, 1989.
107
Yusuf, Abu, Al-Kharâj, Qohiroh: Maktabah Al-Salafiyah, 1971.
Yusuf Ya‟qub ibnu Ibrahim, Abu, Al-kharraj, Libanon: Darul ma‟rifah, 1979.
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Adzimmah Menurut Yusuf al-
Qaradhawi, Tesis, UIN Antasari, 2017.