kewajiban suami.pdf

Upload: bababkk

Post on 31-Oct-2015

191 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA KELUARGA SAKINAH

    Skripsi Ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi

    syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd.I)

    Oleh:

    Asral Puadi NIM. 104011000046

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008/1429 H

    id11862562 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Bismillahirrahmanirrahim Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Asral Puadi Nim : 104011000046 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Dengan ini saya menyatakan

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, 15 Juli 2008

    Asral Puadi

    id11876375 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

    PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA KELUARGA SAKINAH

    Skripsi Ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai

    Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S. Pd.I)

    Oleh:

    Asral Puadi NIM. 104011000046

    Di bawah bimbingan

    Prof. Dr. H. Salman Harun, M. A NIP. 150 062 568

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    2008 M/1429 H

    id11951578 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • Lembar Pengesahan Panitia Ujian

    LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul: Peranan Suami dalam Membina Keluarga Sakinah diajukan

    kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada 22 Juli 2008 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S. Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

    Jakarta, 22 Juli 2008

    Panitia Ujian Munaqasyah

    Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Tanggal Tanda tangan Dr. H. Abd. Fatah Wibisono, M. A .. . NIP. : 150 236 009

    Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi) Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag .. . NIP. : 150 299 477

    Penguji I Dr. H. Abd. Fatah Wibisono, M. A .. . NIP. : 150 236 009

    Penguji II Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag . NIP. : 150 299 477

    Mengetahui: Dekan,

    Prof. Dr. Dede Rosyada, M. A. NIP. 150 231 356

    id11967390 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • i

    ABSTRAK

    Asral Puadi Peranan Suami dalam Membina Keluarga Sakinah

    Islam telah menetapkan bahwa suami merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap apa yang ia pimpin. Namun, tidak semua suami mengerti dan memahami tentang peranannya dalam rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya, terkadang suami cenderung ingin lepas dari peranannya itu, bahkan tidak mau peduli sama sekali. Selain itu dampak dari ketidak mengertian dan pemahaman suami tentang peranannya sebagai kepala rumah tangga, terutama dalam membina keluarga yang sakinah juga akan terlihat pada masyarakat.

    Oleh sebab itu dirasa sangat perlu adanya pemahaman tentang peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. Peranan suami dalam hal ini memegang kedudukan yang sangat penting dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, sesuai dengan kedudukan suami dalam rumah tangga. Peranan suami, yang akhirnya menjadi tanggung jawabnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab agar suami tidak merasa sebagai kepala rumah tangga yang berhak melakukan apa saja terhadap keluarganya sesuai dengan yang ia inginkan, apalagi melakukan kekerasan dalam rumah tangga, yang umumnya dilakukan oleh kaum pria, yaitu suami. Justru sebaliknya suami harus bisa menjaga dan mengayomi seluruh anggota keluarganya, serta mendidiknya, sehingga angota keluarga itu merasa tentram berada di dalam keluarganya.

    Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. Dengan menggunakan metode Tafsir Maudhui (Tematik), maka diperoleh data-data bahwa Islam telah menetapkan peranan-peranan yang dimiliki oleh suami, dimana peranan itu akan menjadi tangung jawab suami dan akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah di akhirat kelak.

    Menghadapi kenyataan tersebut suami terlebih dahulu harus mengetahui kedudukan dan fungsinya dalam keluarga, baru kemudian suami itu akan mengetahui peranan yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga suami akan lebih mudah dalam melaksanakan peranannya dalam membina rumah tangga yang sakinah.

    id11981734 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik Allah Tuhan Semesta Alam, berkat Rahmat, Taufik dan Inayah-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada kekasih Allah pejuang agama Islam dan teladan teladan yang terbaik Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, sahabat-sahabatnya dan kepada seluruh umat Islam di seluruh alam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, walaupun waktu, tenaga dan pikiran

    telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, demi selesainya skripsi ini dan agar bermanfaat bagi penulis dan pembaca

    sekalian.

    Sebelumnya penulis mengucapkan jazakumullah khairan katsiran kepada kedua orang tua tercinta, dengan curahan cinta dan kasih sayangnya, kerja kerasnya, serta doa yang selalu dipanjatkan, telah mengantar penulis menyelesaikan pendidikan S1 di UIN Jakarta, semoga Allah selalu menjaga serta memberikan rahmat, nikmat beserta karunia-Nya kepada mereka.

    Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam, penulis banyak mendapatkan bantuan, motivasi serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena

    itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

    1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

    3. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis selama menjalankan kuliah.

  • iii

    4. Bapak Prof. Dr. H. Salman Harun, MA., sebagai dosen pembimbing materi dan teknik penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu, mencurahkan tenaga, perhatian, pengertian, dan kemudahan dalam memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga bagi penulis

    dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

    5. Bapak Drs. Elman Sadri, sebagai penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa.

    6. Seluruh keluarga di rumah khususnya orang tua tercinta My Endless Love Apak (Muris) dan Amak (Nurisna) yang telah mencurahkan segala kasih sayang dan tenaganya, serta yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    7. Kepada segenap teman-teman seperjuangan PAI kelas B-04 dan teman-teman kosan di Bait An-Najwa, serta special for Vera Fauziah yang selama ini selalu saling melengkapi, memberikan pengalaman dan motivasi serta doa kepada penulis. Kepada semuanya yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak

    bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang

    sebesar-besarnya, semoga Allah swt. membalas kebaikan dan bantuan yang telah mereka berikan selama penulisan. Apabila terdapat kekurangan dan kekhilafan

    dalam penulisan skripsi ini mohon dimaafkan. Semoga skripsi ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin

    Jakarta, 15 Juli 2008

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Abstrak ......................................................................................................... i Kata Pengantar .............................................................................................. ii

    Daftar Isi ....................................................................................................... iv

    BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1

    B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 11 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................ 12 D. Metode Pembahasan .............................................................. 12

    E. Tinjauan Pustaka .................................................................... 13

    BAB II SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA . ................ 15 A. Fungsi Suami ......................................................................... 15 B. Kedudukan Suami .................................................................. 23

    C. Kewajiban Suami ................................................................... 29

    BAB III PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA RUMAH TANGGA YANG SAKINAH ...................................................................... 45

    A. Memberikan Teladan ............................................................. 45 B. Bertanggung Jawab ................................................................ 58 C. Menciptakan Rumah Tangga Sakinah .................................... 67

    BAB IV PENUTUP .................................................................................. 73 A. Kesimpulan ............................................................................ 73 B. Saran-saran ............................................................................ 74

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 75

    LAMPIRAN

    id11998812 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan risalah terakhir dari langit ke bumi yang universal. Dan

    Islam pulalah yang telah membawa dunia menuju revolusi besar dalam berbagai aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan sebagainya.1

    Aturan itu diramu dengan sangat sempurna, sehingga umat yang patuh pada aturan yang dibuat akan menemukan suatu kebahagiaan dan kedamaian. Islam

    menata hidup perkawinan dengan sempurna, karena masalah ini adalah masalah pokok yang sangat vital. Melalui perkawinan manusia dapat saling mengasihi, menjalin hubungan kekeluargaan dan meneruskan keturunan. Kehidupan perkawinan merupakan industri pertama bagi umat sesudahnya untuk meningkatkan industri selanjutnya. Bayangkan, dengan perantaraan seorang suami dan istri, dengan perantaraan hubungan material dan individual, maka lahirlah

    putera-puteri yang mungil, dengan izin Allah.2

    1 Nasyat Al-Masri, Nabi Suami Teladan, Terj. Salim Basyarahil. (Jakarta: Gema Insani Press,

    1993), Cet. Ke-8, h. 11.

    2 Nasyat, Nabi Suami Teladan, h. 11

    id12014875 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • 2

    Hikmah diciptakan oleh Allah manusia berpasang-pasangan yang berlainan bentuk dan sifat, adalah agar masing-masing saling membutuhkan, saling memerlukan, sehingga dapat hidup berkembang selanjutnya.3

    Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan

    yang sulit dibendung. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, mengarahkan pertemuan itu sehingga

    terlaksananya perkawinan dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketentraman dan sakinah.4

    Menurut pasal 1 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

    Perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim untuk menjadikan seorang muslimah sebagai istri, merupakan perjanjian yang dibuat atas nama Allah. Karena itu hidup sebagai suami istri bukanlah semata-mata sebuah ikatan yang dibuat berdasarkan perjanjian dengan manusia, yaitu dengan wali dari pihak perempuan dan dengan keluarga perempuan itu secara keseluruhan, serta dengan perempuan itu sendiri, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah membuat

    perjanjian dengan Allah. Karena itu, pernikahan adalah salah satu di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.6

    Allah Swt. berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21:

    3 Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam: Tuntunan Keluarga Bahagia

    (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. Ke-3, h. 1.

    4 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. Ke-11, h. 192.

    5 Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. Ke-1, h. 14.

    6 Rusli Amin, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami, (Jakarta: Al-Mawardi

    Prima, 2003), Cet. Ke-11, h. 24.

  • 3

    Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q. S. Ar-Rum: 21).

    Ayat tersebut menggambarkan jalinan ketentraman, rasa kasih dan rasa sayang sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan oleh masing-masing individu laki-

    laki dan perempuan - ketika jauh dari pasangannya. Setiap suami istri yang menikah, tentu sangat menginginkan kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka, ada ketenangan, ketentraman, kenyamanan dan kasih sayang. Rumah tangga yang menjadi surga dunia! tidaklah identik dengan limpahan materi, kebahagiaan bukanlah sebuah kemustahilan untuk dicapai, sebab kebahagiaan merupakan pilihan dan buah dari cara berfikir dan bersikap. Maka

    dari itu, hanya dengan pasangannyalah ia dapat menikmati manisnya cinta dan indahnya kasih sayang dan kerinduan.7

    Islam menjadikan keluarga sebagai tempat untuk menjaga diri, yaitu menciptakan ketentraman dan keselamatan dari segala bentuk kejahatan yang ditimbulkan oleh orang lain, sehingga keluarga harus dijadikan tempat tinggal yang penuh dengan kebahagiaan agar seluruh anggota keluarga betah di rumah

    dan selalu merindui. Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 80:

    Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal ... (Q. S. An-Nahl: 80).

    Untuk mewujudkan keluarga seperti yang di atas, haruslah bersama-sama antara suami dan istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari Allah, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri

    dalam rumah tangga sangat mempengaruhi keluarga menjadi sakinah mawaddah wa rahmah.8

    7 Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A. Chumaidi Umar,

    (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-1, h. 82.

    8 Sholeh Gisymar, Kado Cinta untuk Istri, (Yogyakarta: Arina, 2005), Cet. Ke-1, h. 91.

  • 4

    Kehidupan suami istri itu adalah rumus dari kebahagiaan dunia. Maka ciptakanlah keluarga yang bahagia agar hidup di dunia juga bahagia.9

    Oleh sebab itu, suami istri harus sama-sama menjaga dan menghormati ikatan perkawinan yang telah dibuat sebagai sebuah ikatan yang suci. Agar perkawinan

    itu menjadi kuat, diperlukan pengikat yang kuat pula. Adapun pengikat perkawinan yaitu:

    1. Mawaddah Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari

    kehendak buruk. Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: Mawaddah adalah cinta plus. Orang yang di dalam hatinya ada mawaddah tidak akan memutuskan hubungan, seperti apa yang terjadi pada orang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari

    keburukan, sehingga pintu-pintunya pun tertutup untuk dimasuki keburukan.10

    2. Rahmah

    Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: Rahmah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak

    cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi pemarah apalagi pendendam.11

    Kualitas mawaddah wa rahmah di dalam rumah tangga, yang dipupuk oleh suami dan istri sangat menentukan bagaimana kondisi rumah tangga tersebut, apakah bahagia atau tidak. Lebih tegas Dr. Yusuf Al-Qardlawy mengatakan bahwa tidak ada artinya hubungan suami istri yang tidak didasarkan pada cinta

    dan kasih sayang, badan berdekatan namun ruh berjauhan. Jadi, tidak bisa kita

    9 Abu Mohammad Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki Shalih, (Yogyakarta: Wihdah

    Press, 2000), Cet. Ke-3, h. 21.

    10 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 195.

    11 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 196.

  • 5

    sangkal bahwa istri tidak hanya membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhan material belaka, namun istri juga sangat mengharapkan dari suami perhatian yang tulus, perkataan yang halus, wajah yang cerah, senyum yang ceria, senda gurau yang menyenangkan, sentuhan yang

    lembut, ciuman yang mesra serta berbagai perilaku mulia yang menyejukkan hati dan mendinginkan gundahnya, bahkan itu semua melebihi daripada kebutuhan

    material12.

    Pernikahan dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran, sehingga laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama dalam cinta, kasih sayang, kepahitan dalam hidup, harmonis, kerjasama, saling menasehati dan toleran meletakkan pondasi mengangkat keluarga Islam dalam suatu lingkungan yang lestari dan sehat.13

    Untuk mewujudkan itu, tidak hanya perempuan yang harus dipilih oleh laki-laki, tetapi perempuan pun diberi hak untuk memilih laki-laki yang akan

    dijadikannya suami. Dan yang terbaik itu adalah yang bagus agamanya. Sebagaimana Rasulullah. saw. bersabda:

    Jika datang seorang pelamar yang bagus agamanya kepadamu, maka kawinkanlah dia. Karena jika tidak, akan terjadi fitnah di atas bumi dan banyak kerusakan (H. R. Ibnu Hibban).14

    Selama ini, orang yang selalu di sorot dalam kehidupan rumah tangga adalah seorang istri, karena dia memang dianggap sebagai yang paling bertanggung jawab tentang kehidupan di dalam rumah, mulai dari melayani suami, merawat

    12 Adil Fathi Abdulloh, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi, (Pasuruan: Hilal

    Pustaka, 2007). Cet. Ke-1, h. xiii.

    13 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi, (Jakarta: PT

    Mitra Pustaka, 1999), Cet. Ke-1, h. 93.

    14 Jalaluddin Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, (Beirut: Daar Al-Fikr), Juz. 1. h. 144.

  • 6

    dan mendidik anak, ini berakibat ketika ada sesuatu kesalahan di rumah tangga itu, istri lah yang sering disalahkan.

    Sejujurnya tidaklah pantas untuk selalu menyalahkan istri, karena suami pun ikut bertanggung jawab. Tidak becusnya seorang istri dalam melayani suami, tidak berhasil dalam mendidik anak dan lain sebagainya, juga menggambarkan bahwa suami tidak bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga tersebut, sehingga ia tidak bisa membimbing istrinya.

    Dalam kehidupan rumah tangga adakalanya laki-laki menjadi pemimpin bagi keluarganya, menjadi bapak bagi anak-anaknya, menjadi teman hidup serta sebagai saudara bagi istrinya. Dengan demikian, istri bukanlah menjadi saingan bagi suami, apalagi sebagai musuh. Tetapi suami dan istri itu akan jalan bersama, saling melengkapi untuk tercapainya cita-cita menjadi keluarga yang sakinah15.

    Suami istri adalah pondasi dasar bagi sebuah bangunan rumah tangga, karena itulah Islam menetapkan kriteria khusus baginya, hingga menimbulkan rasa cinta,

    kasih sayang, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran serta saling keterikatan.16

    Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud suami yaitu Laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan17. Sedangkan Peranan adalah dari kata dasar peran yang ditambahkan akhiran an, peran memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan

    di masyarakat. Sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.18 Dan sakinah disini adalah kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan.19 Jadi, peranan suami dalam membina keluarga sakinah adalah

    15 Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 1.

    16 Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj. Ida Nursida,

    (Bandung: Al-Bayan, 1996), Cet. Ke-3, h. 21.

    17 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

    Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 860.

    18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

    Pustaka, 1996). Edisi ke-2, h. 751.

    19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 769.

  • 7

    bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh suami (laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan) untuk mewujudkan keluarga yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.

    Pada diri manusia mempunyai kelebihan dan juga kekurangan, kelebihan. Dan kekurangan itu membuktikan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan sifat yang sempurna itu hanyalah ada pada Allah swt. untuk itulah manusia hidup di

    dunia ini harus saling tolong menolong dan lengkap melengkapi. Allah swt. juga telah menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,

    dalam susunan badannya, bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulang dan darahnya, kepala dan rambutnya, akal dan pikirannya, kekuatan tubuh dan anggotanya, jenis kelamin dan seterusnya.20

    Perbedaan-perbedaan itu tentu mempunyai hikmah yang banyak dan laki-laki

    maupun perempuan tidak akan dapat membantah dan menyangkalnya, sehingga dengan perbedaan itu, mereka dapat saling mengerti, cinta mencintai, sayang

    menyayangi dan selanjutnya mereka juga dapat saling kuasa menguasai. Maka dari itu pendamping istri yang baik adalah suami yang bertanggung jawab.21

    Menurut Al-Quran, suami yang bertanggung jawab adalah suami yang bergaul dengan istrinya secara baik dan sabar atas apa yang tidak disukai darinya.22 Sesuai

    dengan firman Allah swt. dalam surat An-Nisa ayat 19:

    Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak

    20 Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 12.

    21 Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 12.

    22 Majdi Fathi Al-Sayyid, Bingkai Cinta Sepasang Merpati: Bahagia Menjadi Suami Ideal dan

    Istri Ideal, Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), Cet. Ke-1, h. 185.

  • 8

    menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. An-Nisa: 19).

    Pandangan Al-Quran di atas tentang suami yang bertanggung jawab, sama dengan pandangan hadis dari Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu

    Hurairah ra.:

    Sesungguhnya mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah kalian yang baik terhadap istri-istri kalian (H. R. Timidzi).23

    Sejalan dengan Al-Quran dan hadis di atas, Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi mengatakan bahwa suami akan menjaga istrinya, dan memperlakukannya dengan patut seperti yang diperintahkan oleh Allah.24

    Ahmad Kusyairi, yang menyebut suami dengan istilah Suami yang Shalih mengatakan: Yang selalu menunaikan kewajiban-kewajiban Allah, keluarga dan semua orang yang ada dalam tanggungannya, dengan ikhlas penuh semangat dan lapang dada, yang selalu berusaha membahagiakan istrinya.25

    Penuturan Ahmad Kusyairi tersebut, hampir sama dengan pendapat Kasmuri Selamat: yang melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya dengan penuh tanggung jawab, bersemangat, penuh perhatian serta berlapang dada.26

    Di lain pihak Sholeh Gisymar menyebut suami sebagai suami yang dapat

    mendidik dan mengarahkan istri pada kebaikan yang dapat menuntunnya menggapai ridha Ilahi.27

    23 Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis , Juz. 2. h. 63.

    24 Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi, Kado Pernikahan, Terj. Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta:

    Pustaka Al-Kautsar, 2007), Cet. Ke-8, h. 83.

    25 Ahmad Kusyairi Suhail, Menghadirkan Surga di Rumah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka,

    2007), Cet. Ke-1, h. 109.

    26 Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian: Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kalam

    Mulia, 2007), Cet. Ke-6, h. 1.

    27 Sholeh Gisymar, Kado Cinta untuk Istri..., h. 9.

  • 9

    Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat penulis simpulkan bahwa ada peranan yang harus dilakukan oleh suami. Ketika peranan itu dilakukan, maka hadirlah di tengah-tengah keluarga kebaikan dan keberkahan.

    Berbicara tentang keluarga, tentu kita tidak bisa melupakan sosok anak.

    Dalam Islam, anak dipandang sebagai amanat dari Allah swt. Amanat yang wajib dipertanggung jawabkan. Jelas sekali tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil, secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga.28 Dengan demikian, pertanggung jawaban amanat tersebut, langsung berhubungan dengan Allah swt. sebagai pemberi amanat.

    Dalam dunia pendidikan, keluarga merupakan salah satu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan anak selain sekolah dan masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara, dikenal adanya Tri Logy Pendidikan atau Tri Pusat Pendidikan, yaitu 3 (tiga) lingkungan (lembaga) pendidikan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian anak didik. Tiga lembaga pendidikan tersebut adalah: pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat. Di antara 3 (tiga) lingkungan tersebut, lingkungan keluarga yang paling penting pengaruhnya dalam pendidikan agama. Karena dalam proses

    pendidikan, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dulu memperoleh bimbingan dari

    keluarganya. Dari kedua orang tua, terutama dari ibunya, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan watak (kepribadian) dan mendapatkan pengarahan moral. Walaupun demikian peran dari seorang ayah tidak bisa dilupakan, karena ayah lah yang membimbing Istri tersebut dan dia menjadi figur sebagai seorang pemimpin sekaligus pembimbing bagi anak-anak, dimana segala tingkah lakunya akan ditiru. Apalagi dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan pertama dan yang utama serta merupakan

    28 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya,

    1994), Cet. Ke-2, h. 160.

  • 10

    peletak pondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. Demikianlah keluarga mempunyai peranan penting dalam proses pendidikan anak. Karena itu, orang tua yang berperan dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarga harus memberikan dasar dan pengarahan yang benar terhadap anak, yakni dengan menanamkan

    ajaran agama dan akhlak karimah.29 Ketika kita membicarakan pendidikan keluarga merupakan pendidikan awal

    yang sangat penting, ini sangat sesuai dengan hadis Rasulullah saw.:

    Tidak ada seorang anak pun kecuali dilahirkan sesuai dengan fitrah, lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya beragama Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi (H. R. Al-Bukhari dan Muslim).30

    Atas pemikiran di atas, penulis mencoba menuangkan permasalahan tersebut

    pada skripsi ini dengan judul PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA KELUARGA SAKINAH.

    Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini sebagai berikut: 1. Suami merupakan pemimpin dalam kehidupan rumah tangga yang

    memiliki peranan yang sangat besar dalam membimbing istri dan mempersiapkan pendidikan untuk anak-anaknya.

    2. Inti dari sebuah keluarga itu adanya suami, istri dan anak, maka suami yang bertanggung jawab sangat mutlak diperlukan untuk mencapai cita-cita dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, penuh dengan mawaddah wa rahmah.

    3. Melihat realita yang ada, banyaknya suami yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

    29 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta:

    Gema Insani Press, 1997), Cet. Ke-1, h. 21.

    30 Muslim. Shahih Imam Muslim. Terj. Rais Lathief, dkk. (Jakarta: Keluarga Lathief, 2003).

    Cet. Khusus. h. 869.

  • 11

    4. Untuk memperkaya khazanah keilmuan tentang konsep-konsep Islam,

    diharapkan menjadi sumbangan pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang membutuhkan.

    B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

    Dari permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi di atas, kiranya harus dicarikan jawaban dari masalah-masalah tersebut dan menyelesaikannya. Untuk dapat menjadikan sebuah karya tulis yang baik pembatasan terhadap masalah yang akan dikaji merupakan salah satu bagian penting demi terciptanya fokus pembahasan, untuk itu objek kajian yang akan dituangkan ke dalam skripsi ini diidentifikasikan pada hal-hal

    berikut: 1. Suami yang dimaksud adalah yang berstatus sebagai individu dan

    anggota masyarakat yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan yang diikat dengan tali pernikahan.

    2. Peranan yang dimaksud adalah bagian dari tugas utama (kepala keluarga) yang harus dilakukan oleh suami.

    2. Pembatasan Masalah Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis merasa perlu untuk

    memberikan suatu pembatasan masalah agar tidak melebar, yaitu: 1. Suami sebagai kepala rumah tangga. 2. Peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. 3. Karakteristik Suami yang bertanggung jawab

    3. Perumusan Masalah Dari pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah menjadi: 1. Bagaimana peranan suami sebagai kepala rumah tangga dalam

    membina keluarga sakinah? 2. Bagaimana peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah? 3. Bagaimana karakteristik suami yang bertanggung jawab?

  • 12

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

    Setiap karya tulis yang bernilai ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penulisan skripsi ini. Berdasarkan seluruh permasalahan yang dirumuskan dalam perumusan masalah, maka secara spesifik tujuan yang akan dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi suami sebagai kepala rumah

    tangga.

    b. Untuk mengetahui peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah.

    c. Untuk mengetahui kriteria suami yang bertanggung jawab. Sedangkan tujuan akademis dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperluas paradigma berpikir dan wacana keilmuan dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan keluarga.

    2. Manfaat penulisan

    Adapun hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Dari tulisan ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan para orang

    tua dalam upaya membentuk keluarga yang sakinah. b. Memberi acuan bagi para pelajar laki-laki untuk menjadi laki-laki yang

    shaleh/bertanggung jawab dan mampu mengatasi berbagai masalah dalam rumah tangga.

    D. Metode Pembahasan Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode

    maudhui (tematik). Yaitu cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara tertentu31. Untuk itu harus dilakukan komparasi dan

    31 Ahmad Syadali, Ahmad Rofii., Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-

    1, h. 115.

  • 13

    penghimpunan ayat yang saling berkaitan, kemudian dibahas atau ditafsirkan sesuai dengan kaedah yang berlaku.

    Dr. M. Quraish Shihab, di dalam karyanya Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan), memberikan defenisi tafsir maudhui secara lebih rinci: menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir

    membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh32.

    Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah al-Jalil Ahmad

    As-Said al-Kumi, ketua jurusan tafsir di Universitas al-Azhar33. Adapun pedoman yang di jadikan sandaran penulis dalam penulisan skripsi ini

    adalah pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    E. Tinjauan Pustaka Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan

    studi tingkat sarjana program strata 1 (S1). Maka tidak menutup kemungkinan ketika skripsi yang disusun oleh penulis ini memiliki kemiripan dengan skripsi penulis lainnya.

    Dalam beberapa buku dan skripsi yang saya baca, banyak hal khususnya teori dan pendapat yang menjadi perhatian penulis untuk dijadikan penunjang penulisan dan menjadi perbandingan bagi penulis selanjutnya. Dan sebagai tinjauan pustaka penulis dalam menyusun teori-teorinya mengambil dari buku-buku dan skripsi

    yang bersangkutan dengan kewajiban suami dalam pandangan Islam. Husain Syahatah merupakan penulis sebuah buku dengan judul Tanggung

    Jawab Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas yang menjadi referensi penulis dalam rangka mengetahui berbagai teori tentang peranan

    32 http://www.qalam.or.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=341, Pengenalan Singkat Tentang

    Metode Tafsir Tematik Sebagai Salah Satu Metode Tafsir Terbaru. oleh Hamid. Selasa, 20 Nopember 2007.

    33 Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1, h. 161.

  • 14

    suami dalam membina keluarga yang sakinah. Dalam buku ini dijelaskan bahwa peranan suami itu tidak jauh berbeda dengan peranan istri dalam Islam, perbedaannya adalah suami merupakan pemimpin di dalam keluarga dan besar larangannya jika suami tidak memperhatikan urusan keluarga (istri dan anak), apalagi tidak memberi nafkah kepada mereka.

    Dari skripsi yang penulis susun ini terdapat perbedaan dengan tinjauan pustaka yang penulis tunjukan yaitu karya Husain Syahatah Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas perbedaan tersebut terletak pada penjabaran teori yang lebih melihat dengan jelas kepada kewajiban suami sebagai kepala, pendidik dan pendamping istri dalam rumah tangga.

  • 15

    BAB II

    SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA

    A. Fungsi Suami Sudah jamak dipahami bahwa suami adalah kepala rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga. Logika ini tidak bisa diganti dengan sebaliknya. Problemya adalah apa yang dimaksud dengan kepala rumah tangga dan apa yang dimaksud dengan ibu rumah tangga.

    Disini, yang berlaku umum dalam masyarakat kita adalah bahwa kepala rumah

    tangga mengurusi urusan-urusan besar dalam rumah tangga, yakni yang menyangkut pencarian nafkah, penjagaan hubungan rumah tangga dengan masyarakat, dan urusan-urusan lain yang melibatkan rumah tangga dengan kehidupan sosial. Sementara, defenisi ibu rumah tangga adalah bahwa seorang ibu mempunyai tugas-tugas pengaturan rumah tangga berskala kecil, seperti pengaturan rumah dan perabotan, pengaturan urusan dapur, pengaturan urusan keuangan rumah tangga, pengaturan kesejahteraan anggota-anggota rumah tangga dan pengaturan anak.1

    Tampaknya, tugas ibu rumah tangga tersebut ringan dan kecil, tetapi pada kenyataannya, seorang ibu rumah tangga dihabiskan waktunya untuk disibukkan

    dalam rumah tangga tersebut. Di sinilah kadang seorang kepala rumah tangga kurang menyadari tugas-tugas ibu rumah tangga.

    1 Majid Sulaiman Daudin, Hanya untuk Suami, (Jakarta: Gema Insani, 1996), Cet. Ke-1, h.

    276.

    id12031828 pdfMachine by Broadgun Software - a great PDF writer! - a great PDF creator! - http://www.pdfmachine.com http://www.broadgun.com

  • 16

    Jadi, kalau para suami mau jujur terhadap dirinya sendiri, maka suami akan menyadari bahwa tugas-tugas konkrit seorang istri lebih berat daripada tugas-tugas seorang suami. Maka, kerelaan seorang istri untuk menjadi ibu rumah tangga dan keikhlasannya menganggap suami menjadi kepala rumah tangga, adalah penghormatan yang setinggi-tingginya yang dapat diberikan oleh seorang istri kepada suaminya. Dan hal ini memang telah dimekanismekan oleh alam,

    bahwa pembagian yang seperti itu adalah pembagian yang alamiah2. Keluarga bisa dianggap sebagai miniatur dari sebuah sistem pemerintahan,

    yang memerlukan seseorang pemimpin, bertujuan untuk menciptakan negara yang maju, aman dan sejahtera. Begitu juga dengan keluarga, yang memerlukan seorang pemimpin yang biasa disebut dengan kepala rumah tangga untuk menciptakan keluarga yang diimpikan yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

    Agama Islam menganggap bahwa pemimpin atau kepala dalam rumah tangga

    itu adalah seorang suami, ini tergambar jelas dalam firman Allah:

    ( Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah

    telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (Q. S. An-Nisa: 34).

    , Para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita.

    Ibnu Abbas pakar tafsir yang terkenal di kalangan sahabat menafsirkan

    bahwa laki-laki (suami) adalah pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk mendidik perempuan (istri). Kemudian Az-Zamaksyari menjelaskan bahwa laki-laki berkewajiban melaksanakan amar makruf nahi mungkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa terhadap raknyatnya. Al-Alusi menyatakan hal yang senada bahwa tugas laki-laki adalah memimpin perempuan, sebagaimana

    2 Majid Sulaiman, Hanya untuk Suami.., h. 277.

  • 17

    pemimpin memimpin raknyatnya dalam bentuk perintah, larangan dan semacamnya. Jalaluddin as-Suyuthi memaknainya dengan laki-laki sebagai penguasa (musallithun) atas perempuan, sedangkan Ibnu Katsir memaknainya dengan laki-laki adalah pemimpin yang dituakan dan pengambil kebijakan bagi perempuan.3

    Kata () ar-rijal adalah bentuk jamak dari kata ( yang diterjemahkan lelaki, walaupun Al-Quran tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Dalam buku wawasan Al-Quran, dikemukakan bahwa ar-rijalu qawwamuna ala an-nisa, bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian dari harta mereka yakni untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata lelaki adalah kaum pria secara umum, maka tentu konsiderannya tidak demikian4.

    Tetapi kemudian M. Quraish Shihab menemukan bahwa Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa Al-Quran dalam arti suami. Berbeda dengan kata ( an-nisa atau imraah yang digunakan untuk makna istri5. Namun, kata ar-rijal yang dimaksud oleh Quraish Shihab dalam bukunya wawasan al-Quran adalah lelaki secara khusus, yaitu suami, karena konsideran dengan lanjutan ayat yaitu karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian dari harta mereka yakni istri-istri mereka.

    Kata ( qawwamun adalah bentuk jamak dari kata ( qawwam, yang terambil dari kata ( qama. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat misalnya juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti

    3 Sri Mulyati, Relasi Suami dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), UIN Syarif

    Hidayatullah, 2004), h. 42.

    4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:

    Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-X, Jil. 2, h. 424.

    5 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 424

  • 18

    perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunah-sunahnya. Seorang yang melaksanakan tugas dan

    atau apa yang diharapkan darinya dinamai ( qaim. Kalau dia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamai qawwam. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak, yakni qawwamun sejalan dengan makna ( ar-rijal yang berarti banyak lelaki. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi seperti terbaca dari maknanya di atas agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan marupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian kepemimpinan

    tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan6.

    Seiring dengan pendapat di atas, Ahmad Mustafa Al-Maragi juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Qiyam ialah kepemimpinan, yakni orang yang dipimpin bertindak sesuai dengan kehendak dan pilihan pemimpin. Sebab makna Al-Qiyam tidak lain adalah bimbingan dan pengawasan di dalam melaksanakan apa-apa yang ditunjukkan oleh suami dan memperhatikan segala perbuatannya7.

    Lebih tegas lagi, Sayyid Quthub menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan ayat yang mengatur organisasi dalam keluarga, kemudian menjelaskan keistimewaan-keistimewaan peraturannya agar tidak terjadi keberantakan antar anggotanya, yaitu dengan mengembalikan mereka semua kepada hukum Allah, bukan hukum hawa nafsu, perasaan dan keinginan pribadi, memberikan batasan bahwa kepemimpinan dalam organisasi rumah tangga ini berada di tangan laki-laki8. Dengan ditunjuknya suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga, maka suami harus mampu membimbing keluarga tersebut dan menjaganya dari keberantakan yang akan menyebabkan kehancuran rumah tangga.

    6 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,h. 424

    7 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terj. Hery Noer Aly, dkk, (Semarang: CV.

    Toha Putra, 1993), Jil. 5, Cet. Ke-2, h. 42.

    8 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al-Quran. Terj: Asad Yasin,

    dkk, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000) Jil. 2, Cet. Ke-2, h. 353 354.

  • 19

    Allah telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami

    telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut, karena suami merupakan pemimpinnya.

    Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu

    perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan. Allah swt. menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu9:

    Pertama, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki, lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Disisi lain keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

    Murthadha Muthahhari seorang ulama terkemuka Iran dalam bukunya yang

    diterjemahkan oleh Abu Az-Zahra An-Najafi ke dalam bahasa Arab dengan judul Nizham Huquq al-Marah menulis bahwa keistimewaan antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut10:

    9 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 425.

    10 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,h. 426.

  • 20

    1. Dari segi fisik

    Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan; suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangan perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi

    perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki, dan lebih cepat berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk

    kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/banyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki. Sangat adil pula jika Allah melengkapi laki-laki dan wanita dengan perangkat reproduksi yang berbeda, termasuk tanda-tanda seksual

    keduanya11.

    2. Dari segi psikis

    Secara umum lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan

    cenderung kepada perdamaian dan keramahan; lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tentram.

    Perempuan menghindari penggunaan kekerasan terhadap dirinya atau orang lain, karena itu jumlah wanita yang bunuh diri lebih sedikit dari jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang keras pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian sementara

    wanita menggunakan obat tidur, racun, dan semacamnya. Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa

    takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki, yang biasanya lebih berkepala dingin. Perempuan biasanya lebih cenderung kepada upaya menghiasi diri, kecantikan, dan mode yang beraneka ragam serta berbeda bentuk. Di sisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten

    11 Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 197.

  • 21

    dibanding dengan lelaki. Perempuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama, cerewet, takut, dan lebih banyak berbasa-basi. Perasaan perempuan lebih keibuan, ini jelas nampak sejak kanak-kanak. Cintanya kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga

    lebih besar dari lelaki.

    Perbedaan antara laki-laki dan wanita secara fisik dan psikis serta fenomena kodrati di atas sesungguhnya diatur sedemikian rupa oleh Allah untuk menunjang tugas masing-masing.

    Perlu dicatat bahwa walaupun secara umum pendapat di atas sejalan dengan petunjuk ayat yang sedang ditafsirkan ini, namun adalah sewajarnya untuk tidak menilai perasaan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Justru itulah

    salah satu keistimewaan yang tidak dan kurang dimiliki oleh pria. Keistimewaan itu amat dibutuhkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan

    membimbing anak-anak12.

    Kedua, , disebabkan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian harta mereka.

    Bentuk kata kerja past tense/masa lampau yang digunakan ayat ini telah menafkahkan menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini13.

    Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, bahkan kekasihnya, di sisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang tuntunan-

    12 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 427-428.

    13 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 428.

  • 22

    tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia, mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya14.

    Dari kedua faktor yang disebut di atas keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan dan anak-anak lahir hak-hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri.

    Perlu digarisbawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami, tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan.

    Paradigma pemimpin kaum adalah pelayan mereka, harus dipraktekkan oleh laki-laki dalam memimpin kaum perempuan atau keluarga, agar ia tidak mengembangkan kepemimpinan yang diktator, otoriter dan zalim. Sebab,

    sebagaimana dijelaskan Taqiyyuddin an-Nabhani dalam buku an-Nizham al-Ijtimai, bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga bukanlah akad syirkah (perusahaan), akad perdata yang berkonsentrasi pada kawin kontrak atau akad ijarah (sewa menyewa) sehingga istri ibarat budak bagi suami untuk dipekerjakan. Bukan pula seperti hubungan polisi dan pencuri, sehingga istri selalu terancam dan diteror, dan suami selalu merasa superior.

    Tetapi hubungan keduanya adalah hubungan sakinah, mawaddah dan rahmah. Yaitu hubungan untuk saling mengondisikan munculnya sakinah (ketentraman dan ketenangan) jiwa, mawaddah (cinta kasih), dan rahmah (rasa sayang) 15. Dengan demikian, suami akan menjadi pengayomi yang baik, serta akan mendapatkan pelayanan baik dari istri dan anggota keluarga, bahkan akan mendapatkan lebih baik dari apa yang telah diberikan oleh suami terhadap istri

    dan anggota keluarganya. Disinilah barangkali hikmah mengapa redaksi atas tidak berbunyi ar-rijalu

    aimmat an-nisa, melainkan berbunyi ar-rijalu qawwamuna ala an-nisa padahal kedua redaksi mempunyai pengertian yang hampir sama. Hal ini tidak

    14 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 428

    15 Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 199.

  • 23

    lain karena makna yang terdapat dalam kata qawwamah jauh lebih mendalam dan integral daripada kata imamah. Termasuk dalam makna qawwamah adalah memimpin, meluruskan jika ia (perempuan) itu bengkok (salah), mengayomi, menjaga, melindungi, membina dan mendidik16. Maka jelaslah bahwa suami menjadi pemimpin, bukan berarti ia harus menjadi otoriter dalam memimpin, tanpa memikirkan apa yang diinginkan oleh istri dan anggota

    keluarganya.

    B. Kedudukan Suami Walaupun suami merupakan pemimpin dalam keluarga, kepemimpinan suami

    di sini tidak sampai memutlakkan seorang istri tunduk sepenuhnya. Istri tetap mempunyai hak untuk bermusyawarah dan melakukan tawar menawar keinginan

    dengan suami berdasarkan argumen-argumen rasional-kondisional. Kepemimpinan suami atas keluarganya tidak menghilangkan hak-hak mereka

    dalam berbagai hal. Hal ini selain selaras dengan realitas, juga lebih sesuai dengan firman Allah:

    Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q. S. Al-Baqarah: 228).

    Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Sebagaimana pria mempunyai hak untuk rujuk kepada istri yang diceraikannya, sang istri pun mempunyai hak untuk diperlakukan secara maruf, yakni sesuai dengan tuntunan agama, sejalan dengan akal sehat, serta sesuai dengan sikap orang yang berbudi17.

    16Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah, h. 199.

    17 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 490.

  • 24

    Mendahulukan penyebutan hak wanita atas kewajiban wanita dinilai sebagai penegasan tentang hal tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu diperhatikan, apalagi selama ini, pada beberapa suku masyarakat Jahiliyah, wanita hampir dapat dikatakan tidak mempunyai hak sama sekali. Ayat ini secara tegas

    menyatakan adanya hak tersebut18. Adapun hak dan kewajiban istri kepada suami adalah19:

    1. Hak istri

    Mendapatkan mahar

    Hak istri yang pertama kali yang harus dipenuhi oleh seorang suami adalah diberi mahar dengan penuh kerelaan. Ketika istri menghendaki mahar tertentu suami harus memenuhinya tanpa

    menguranginya sedikit pun. Bahkan istri berhak menolak ketika suaminya ingin menyentuhnya apabila mahar belum diberikan. Namun, jika ingin menjadi perempuan yang shalehah, sebaiknya mempermudah lamaran dan tidak memberatkan mahar.

    Mendapatkan pergaulan dengan sebaik-baiknya

    Secara naluri perempuan memang memiliki perasaan yang halus, tetapi ia mudah marah. Oleh karena itu, perempuan berhak mendapatkan perlakuan yang lembut dari suaminya saat menghadapinya. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

    terhadap istri-istrinya.

    Mendapatkan nafkah Istri sangat berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya,

    meskipun misalnya istri tersebut adalah orang yang kaya. Secara umum termasuk nafkahnya ialah memberi makan dan pakaian.

    18 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 490.

    19 Syaikh Hafiz Ali. Kado Pernikahan..., h. 117-137.

  • 25

    Mendapatkan pendidikan Pendidikan juga menjadi hak istri, apalagi seorang istri nantinya akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan apabila ibunya tidak berpendidikan, bagaimana nanti nasib dari anak-anaknya.

    2. Kewajiban istri Seorang istri harus mengatur urusan rumah tangga dan

    mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari. Sudah menjadi rahasia umum bahwa istri mempunyai kewajiban mengatur urusan rumah tangga dan mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti mengatur keuangan rumah tangga, menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya, serta yang lainya.

    Berkewajiban menjaga kehormatan dan ridha suami Suami merupakan surga dan sekaligus juga neraka bagi istri, untuk itulah istri harus menjaga kehormatan dan ridha suami. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

    Pikirkanlah sikapmu kepadanya, karena sesungguhnya ia adalah surgamu dan juga nerakamu (H. R. Ahmad).20

    Wajib taat dan patuh kepada suami Secara mutlak seorang istri wajib taat kepada suaminya terhadap segala yang diperintahkannya, asalkan tidak termasuk perbuatan durhaka kepada Allah. Sebab memang tidak ada alasan sama sekali bagi makhluk untuk taat kepada sesama makhluk dalam berbuat

    durhaka kepada Allah. Setiap istri yang taat kepada suaminya yang mukmin, ia akan masuk ke surga Tuhannya. Sebagaimana

    Rasulullah saw. bersabda:

    20 Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr), Jilid. 4. h.

    341.

  • 26

    Apabila seorang wanita sudah menjalankan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia inginkan (H. R. Ahmad).21

    Membantu suami bertakwa dan taat kepada Allah

    Seorang istri wajib membantu suaminya untuk taat kepada Allah, dan memberinya nasehat demi mencari keridhaan Allah. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

    Allah merahmati seorang suami yang bangun tengah malam untuk melakukan shalat, lalu ia membangunkan istrinya agar ikut shalat, dan jika istrinya tidak mau bangun, ia memercikkan air pada wajahnya. Dan Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun tengah malam untuk shalat, lalu ia membangunkan suaminya agar ikut shalat, dan jika suaminya tidak mau bangun, maka ia memercikkan air pada wajahnya (H. R. Ahmad).22

    Setia dan ikhlas kepada suami

    Setia adalah bukti keikhlasan dan cinta sejati. Seorang istri yang sholehah akan selalu ikhlas kepada suaminya dan menjaga perasaannya. Ia tidak mau membebani suaminya dengan tuntutan-tuntutannya. Ia rela menghadapi kesulitan dengan sabar dan ridha. Jika ia kaya, ia mau membantu suaminya yang miskin.

    21 Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal , Jilid. 1. h. 191.

    22 Abdurahman Suyuti, Jami Al-Hadis, Juz. 4. h. 416.

  • 27

    Tidak menyakiti suami Seorang istri tidak boleh menyakiti suaminya, misalnya dengan cara membangga-banggakan kecantikannya, atau membangga-banggakan harta kekayaannya di hadapannya sampai menyinggung perasaannya.

    Agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita pada suatu tingkatan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain dan syariat-syariat lain sebelumnya. Bahkan belum pernah dicapai oleh satu umat pun yang menganggap diri mereka telah mencapai puncak peradaban dan kebudayaan. Meskipun mereka telah menghormati dan memuliakan kedudukan wanita serta memberikan

    pendidikan kepada mereka dalam bidang sains dan ilmu kemasyarakatan.

    Para suami mempunyai satu derajat (tingkatan) atas mereka para istri. Derajat yang dimaksud adalah derajat kepemimpinan. Tetapi kepemimpinan yang berlandaskan kelapangan dada suami untuk meringankan

    sebagian kewajiban istri, karena itu Ath-Thabari menulis, walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah perintah bagi para suami

    untuk memperlakukan istri mereka dengan sikap terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu23.

    Jadi, ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa suami itulah yang memimpin istri, bukan istri yang memimpin suami. Dan terlihat juga bahwa dibebankannya kepemimpinan kepada suami, bukan diberikan kepada wanita, sifatnya fitrah.24 Adapun hak dan kewajiban atas kedua belah pihak harus seimbang, maksudnya, jika suami meminta sesuatu dari istrinya, ia pun harus mengingat bahwa ia mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap istrinya. Jika tidak, ingatlah Allah itu Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

    Dengan dibebankannya kepemimpinan kepada suami itulah, maka Kasmuri Kasim, dalam bukunya Suami Idaman Istri Impian mengemukakan empat sifat

    23 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 1, h. 491-492.

    24 Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih, h. 302.

  • 28

    yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya layak menjadi pemimpin di dalam rumah tangga:

    a. Berpengetahuan agama dan mengamalkannya secara sempurna Yang akan dipercayai sebagai kepala rumah tangga ialah suami, oleh

    karena itu ia harus mempersiapkan dirinya dengan memperbanyak pengetahuan agama. Disamping mengerjakan perintah agama yang mendasar seperti, shalat, puasa, zakat dan lain-lain, kemudian harus memahami pula bidang yang lain, karena Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan sesuai untuk seluruh zaman.

    b. Sempurna akal dan pemikiran Jika seorang itu ingin menjadi suami maka hendaklah ia berpikiran positif. Karena apabila telah berumah tangga, seorang suami harus memikirkan cara yang terbaik dalam memenuhi segala keperluan

    rumah tangganya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

    c. Sehat lahir dan batin Bagi seorang laki-laki yang ingin berumah tangga, haruslah terlebih

    dahulu memperhatikan kemampuan fisiknya, karena lemahnya kemampuan tenaga batin akan membawa rumah tangga menjadi tidak bahagia. Begitu juga jika sekiranya tidak mampu untuk bekerja karena penyakit dan sebagainya akan menjadikan laki-laki tersebut tidak dapat memberikan nafkah dan tanggung jawab lainnya kepada keluarganya.

    d. Memberikan nafkah sesuai dengan kesanggupan Dalam kehidupan berumah tangga, Islam tidak membebankan kaum

    wanita supaya mencari nafkah, akan tetapi kewajiban ini harus dilaksanakan oleh kaum laki-laki untuk menyediakan sesuai kesanggupannya.

  • 29

    Pada hakikatnya, kehidupan rumah tangga adalah sebuah kerajaan iman. Dalam artian, suami adalah rajanya, istri adalah ratunya dan anak-anak adalah raknyatnya. Suami adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan semua urusannya, karena dialah yang menerima beban tanggung jawab serta amanat25.

    C. Kewajiban Suami Suami adalah kepala rumah tangga. Pada dirinya terletak responsibilitas yang

    besar, kewajiban yang bermacam-macam terhadap keluarganya, dirinya dan agamanya yang harus ia letakkan secara seimbang, sehingga satu kewajiban tidak mengurangi kewajiban yang lain.

    Sesungguhnya Allah swt. Telah berkehendak memberikan amanah kepada

    perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui tugas yang amat besar. Karenanya sangat adil, jika kemudian Allah membebankan tugas kepada laki-laki untuk mencari nafkah, untuk memenuhi kebutuhan utama keluarganya dan memberikan perlindungan kepada perempuan sehingga dapat berkonsentrasi menjalankan tugas mulianya.

    1. Memberi nafkah lahir dan batin/pergaulan suami istri Ajaran Islam menetapkan bahwa suami bertanggung jawab untuk menafkahi istrinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.

    a. Nafkah lahir Allah swt. telah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233 yaitu:

    Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan

    25 Majid Sulaiman, Hanya untuk Suami, h. 9.

  • 30

    cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.... (Q. S. Al-Baqarah: 233).

    Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dengan menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat kukuh kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya.

    Kata ( ) al-walidat dalam penggunaan Al-Quran berbeda

    dengan kata () ummahat yang merupakan bentu jamak dari kata

    () umm. Kata ummahat digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ayat ini menggunakan kata al-walidat, karena dalam hal ini adalah seorang ibu yang telah diceraikan oleh suaminya itu masih mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu. Itu suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan tidak dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan kasih sayangnya mengalami

    kerusakan oleh pertengkaran urusan rumah tangganya, sehingga

    merugikan si kecil ini26. Ini berarti bahwa Al-Quran sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik dari selainnya. Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tentram; sebab menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut27. Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk

    26 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jil. I, Cet. II, h. 301

    27 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 503-504.

  • 31

    menyusui anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang telah mengakibatan

    anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya28.

    Dan merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukannya itu telah diceraikannya secara bain, bukan rajiy. Adapun jika ibu anak itu masih berstatus istri walau telah ditalak secara rajiy, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami istri, sehingga bila mereka menuntut imbalan

    penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar29. Maka diwajibkanlah kepada seorang ayah menanggung kebutuhan hidup istrinya berupa makanan dan pakaian, dengan tujuan sang ibu bisa melakukan kewajibannya terhadap bayinya dengan sebaik-baiknya dan menjaganya dari serangan penyakit30. Jatuhnya kewajiban memberikan kebutuhan hidup sehari-hari bagi istri, dikarenakan anak itu membawa nama ayah, seakan-akan anak itu lahir untuk ayahnya, nama ayah pun akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya.

    Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan cara yang maruf. Dalam ayat lain yang berhubungan dengan ayat di atas yaitu dalam

    28 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 504.

    29 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 504.

    30 Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 2, h. 321.

  • 32

    Q. S. Al-Ahqaf ayat 15, menjelaskan: ...

    Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (Q. S. Al-Ahqaf: 15).

    , ayat ini mengisyaratkan bahwa masa kandungan minimal adalah enam bulan, karena pada Q. S. Al-Baqarah ayat 2, telah dinyatakan bahwa masa penyusuan yang sempurna adalah dua tahun, yakni 24 bulan. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa penyusuan minimal adalah sembilan bulan, karena masa kandungan

    yang normal adalah sembilan bulan. Betapapun ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ibu menyusukan anak dengan ASI (Air Susu Ibu). Ayat di atas juga menunjukkan betapa pentingnya ibu kandung memberikan perhatian yang cukup terhadap anak-anaknya, khususnya pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Sikap kejiwaan seorang dewasa banyak sekali ditentukan oleh perlakuan yang dialaminya pada saat kanak-kanak, karena itu tidaklah tepat

    membiarkan mereka hidup terlepas dari ibu bapak kandungnya. Betapapun banyak kasih sayang yang dapat diberikan oleh orang lain, tetap saja kasih sayang ibu bapak masing sangat mereka butuhkan.

  • 33

    , Banyak ulama yang menyatakan bahwa itu terpenuhi pada usia 33 tahun. Betapapun maknanya, yang jelas ayat di atas menuntut peningkatan pengabdian dan bakti kepada orang tua dari saat ke saat, dan bahwa walaupun seseorang telah mencapai usia kedewasaan dan memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, namun bakti tersebut harus terus berlanjut dan terus meningkat.

    Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia31.

    Untuk masalah pemberian nafkah ini, Allah lebih menjelaskannya lagi pada surat At-Talaq ayat 7:

    )( Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q. S. At-Talaq: 7).

    Hendaklah yang lapang, yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya dari yang sebatas kadar kemampuannya dan dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula

    kelapangan dan keluasan berbelanja32.

    31 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 505.

    32 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

  • 34

    Dan siapa yang disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Jangan sampai ia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rezeki dari sumber yang tidak direstui Allah33.

    Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang sesuai apa yang Allah berikan kepadanya. Karena itu janganlah wahai istri menuntut terlalu banyak dan pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suami kamu. Di sisi lain hendaklah semua pihak selalu optimis dan mengharap kiranya Allah

    memberinya kelapangan34. Tidak ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah bagi keluarga. Ini kembali kepada kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat35. Suami yang tidak dapat menutupi biaya hidup keluarganya, mestinya memperoleh sumbangan dari Bait al-Mal atau kini dikenal dengan Departement Sosial. Tetapi kalau seandainya suami tidak mendapatkannya, maka istri yang rela hidup bersama suami yang

    tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar dapat menuntut cerai36.

    Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan, ada ulama yang memahaminya sebagai janji yang pasti terlaksana. Al-Biqai mengomentari penggalan ayat ini bahwa:

    33 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

    34 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

    35 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

    36 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

  • 35

    karena itu tidak ada seseorang yang terus menerus sepanjang usia hidupnya dalam keadaan kesempitan37. Kemudian Rasulullah saw. juga bersabda:

    Apabila seorang suami memberi nafkah kepada keluarganya dengan mengharap pahala, maka nafkah tersebut termasuk sedekah. (H. R. Bukhari).38

    Sungguh, tidak ada nafkah yang kamu berikan dengan maksud mendapatkan ridha Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahalaNya, termasuk juga makanan yang kamu berikan ke mulut istrimu. (H. R. Bukhari dan Muslim).39

    Seorang ibu mengandung demi seorang ayah (suami) dan menyusui juga demi sang suami. Oleh karena itu wajib bagi suami memberi nafkah secukupnya kepada istriya berupa sandang dan papan, agar ia

    dapat melaksanakan kewajibannya dalam menjaga dan memelihara bayinya.

    Walaupun memberi nafkah itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang merupakan kepala rumah tangga, tetapi sesuai dengan dalil yang di atas, memberi nafkah itu tidak boleh berlebih-lebihan, dalam artian melewati batas kemampuan suami itu, yang nantinya akan membuat suami itu sengsara. Dan tidak boleh juga kurang, yang nantinya akan berakibat memberatkan sang istri.

    Sesungguhnya Islam melarang seorang suami menikmati hasil usaha istrinya. Akan tetapi, aturan ini tidaklah kemudian menjadikan seorang

    37 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 303.

    38 Ahmad bin Ali bin Hajr Asqalani, Fathu Bari: Sarah Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Kutab

    Alamiya), Juz. 2. h. 1135.

    39 Abi Husain Muslim, Shahih Muslim. (Beirut: Daar ibn Hazm), Juz. 3. h. 1013.

  • 36

    istri tidak bekerja mencari nafkah, sekiranya memang nafkah yang diberikan oleh suaminya tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Dan pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri itu terwujud karena dua hal40: Pertama, ia wajib mencari nafkah bersama-sama suaminya demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Jadi, prinsip yang harus dipegang di sini adalah bahwa

    walaupun nafkah itu diberikan oleh seorang suami kepada istrinya sebagai hak bagi istrinya, tetapi kegunaan nafkah itu tidak semata-mata untuk kebutuhan istrinya saja (misal, untuk membeli perhiasan atau pakaian), melainkan juga untuk kegunaan suaminya (misal, makan dan minum). Dengan demikian, harta yang diberikan oleh seorang suami pada intinya merupakan harta yang digunakan untuk kepentingan

    bersama. Oleh karena itu, pemenuhan akan kebutuhan bersama ini tidak mencukupi, maka seorang istri tidak boleh harus memaksakan

    diri untuk tidak mau tahu terhadap kekurangan tersebut dengan hanya mengharapkan pemberian nafkah suaminya saja. Dan sang suami pun harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan istri agar dalam memenuhi kebutuhan itu cukup untuk istri, karena kalau tidak itu akan

    memberatkan istri. Kedua, pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri hanya bersifat membantu suaminya, dan bukan merupakan kewajiban. Bantuan dalam pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya di sini tidak penting untuk dilakukan (yakni tidak sebagaimana dalam kasus yang pertama), karena nafkah yang diberikan oleh suaminya telah mencukupi kebutuhan istri dan kebutuhan rumah tangga mereka.

    40 Muhammad Muhyidin, Meraih Mahkota Pengantin: Kiat-kiat Praktis Mendidik Istri &

    Mengajar Suami, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2003), Cet. Ke-I. h. 260-261.

  • 37

    b. Nafkah batin / Pergaulan Suami Istri Tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki nafsu syahwat, dengan adanya nafsu syahwat itu maka setiap orang ingin memiliki keturunan, yang akhirnya disyariatkanlah

    perkawinan.

    Ada ulama berpendapat bahwa hukum memberikan nafkah batin

    (hubungan suami istri) bagi seorang suami apabila tidak ada halangan adalah wajib. Ada juga yang mengatakan bahwa melakukan hubungan suami istri itu wajib dilakukan setiap empat hari sekali, tetapi ada juga yang berpendapat enam hari sekali41. Sebenarnya berbagai macam pendapat ulama di atas itu sejalan dengan anjuran Rasulullah saw. yang melarang setiap suami meninggalkan istrinya dalam waktu yang terlalu lama, walaupun untuk tujuan berzikir, beribadah dan jihad. Karena perbuatan yang demikian itu pada hakikatnya akan menyiksa perasaan istri42. Selain hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu syahwat, memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan dari ikatan perkawinan. Oleh karena itu, salah satu dari suami atau istri tidak boleh menghalangi

    yang lainnya untuk memenuhi hak berhubungan suami istri. Hak berhubungan suami istri ini ditetapkan oleh syara. Allah swt.

    berfirman:

    Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q. S. Al-Baqarah: 223).

    41 Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian, h. 79.

    42 Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian, h. 80

  • 38

    tidak ada dosa bagi kalian untuk mendatangi istri-istri kalian dengan cara apapun yang kalian sukai, jika hal ini kalian lakukan untuk mendapatkan keturunan dan kalian melakukannya pada tempat yang sebenarnya. Sebab, syariat

    agama tidak bermaksud memberati kalian dan melarang kalian untuk menikmati kelezatan ini. Sebaliknya syariat justru ingin mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi kalian43. Ayat di atas, yang menegaskan bahwa istri adalah tempat bercocok tanam, bukan saja mengisyaratkan bahwa anak yang lahir adalah buah dari benih yang ditanam ayah. Istri hanya berfungsi sebagai ladang

    yang menerima benih44. Karena istri adalah ladang tempat bercocok tanam, maka datangilah, garaplah tanah tempat bercocok tanam kamu. Datangi ia kapan dan dari mana saja, asal sasarannya ke arah sana, bukan arah yang lain. Arah yang lain berfungsi mengeluarkan najis dan kotoran, bukan untuk menerima yang suci dan bersih. Sperma adalah sesuatu yang suci dan

    menumpahkannya pun harus suci, karena itu lakukanlah ia dengan tujuan memelihara diri dari terjerumus kepada dosa. Berdoalah ketika melakukannya. Ciptakanlah suasana kerohanian agar benih yang diharapkan berbuah itu, lahir, tumbuh dan berkembang, disertai oleh nilai-nilai suci45.

    Dan kedepankanlah hubungan seks dengan tujuan kemaslahatan untuk diri kamu di dunia dan akhirat, bukan semata-mata untuk melampiaskan nafsu46.

    43 Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 2, h. 274.

    44 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 480.

    45 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481.

    46 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481.

  • 39

    Serta bertakwalah kepada Allah dalam hubungan suami istri, bahkan dalam segala hal. Jangan menduga Allah tidak mengetahui keadaan kamu tentang segala sesuatu yang kamu rahasiakan47.

    Ketahuilah, bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Jika demikian, jangan sembunyikan sesuatu terhadap pasangan yang seharusnya ia ketahui, jangan membohonginya. Di sisi lain, jangan membongkar rahasia rumah tangga yang seharusnya dirahasiakan. Kalaupun ada cekcok selesaikan ke dalam, dan jangan selesaikan melalui orang lain, kecuali kalau terpaksa. Allah kelak akan

    menyelesaikannya, karena kelak kamu akan menemui-Nya. Demikian

    kesan Al-Harrali, seorang ulama dan pengamal tashawuf (w. 637 H.) yang banyak dikutip pendapatnya oleh Al-Biqai. Berilah kabar gembira orang-orang yang beriman yang imannya mengantarkan mereka mematuhi tuntutan-tuntutan ini48.

    Ayat ini menjelaskan bahwa hikmah menggauli wanita adalah untuk menjaga kelestarian jenis manusia melalui kelahiran, bukan sekedar untuk memperoleh kelezatan semata-mata. Karena itulah dilarang

    untuk menggauli wanita yang sedang haid dan pada tempat yang lain, sebab keadaan keduanya itu tidak akan pernah menghasilkan

    keturunan49.

    Penyebutan istri sebagai ladang secara tidak langsung juga mengatakan bahwa suami itu adalah petani untuk itulah petani bebas mendatangi ladangnya kapan pun dan darimana pun, yang penting

    tujuan dari petani tercapai. Dan petani harus bisa menggarap ladangnya dan menjaganya dari segala hama, serta ciptakanlah suasana

    47 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481.

    48 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1. h. 481-482.

    49 Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil. 2, h. 274.

  • 40

    kerohanian yang agar benih yang diharapkan berbuah itu lahir, tumbuh dan berkembang, disertai dengan nilai-nilai suci50. Untuk menciptakan itu, maka kedepankanlah hubungan seks dengan tujuan kemasalahatan untuk dunia dan akhirat, bukan hanya untuk memuaskan nafsu yang tidak pernah kenyang, serta bertakwalah kepada Allah dalam hubungan suami-istri, bahkan dalam segala hal.

    Dengan melihat kedua ayat di atas, maka seks merupakan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Karena itu suami dan istri saling membutuhkan, dan memberikan yang terbaik, sebagaimana petani membutuhkan ladang dan ladang membutuhkan petani. Ketika nafkah bathin ini tidak dilaksanakan oleh seorang suami dan jiwa terlalu lama menantikan belaian cinta dari suami, air mata bisa mengalir karena tidak kuat menahan rasa sepi yang mencekam. Sementara tidak ada kekasih yang menguak hasratnya. Bahkan pada

    tingkat tertentu bisa menyebabkan munculnya ketegangan rumah tangga. Oleh karena itu, nafkah batin harus diberikan oleh suami dengan baik.51 Adapun tentang berapa lama boleh suami meninggalkan istri, Saib bin

    Jubair berkata52: Pada suatu malam, khalifah Umar bin Khattab berjalan-jalan keliling kota Madinah dan hal yang demikian itu sering ia lakukan. Secara kebetulan di dekat rumah salah seorang wanita yang pintunya terkunci, dari luar ia mendengar wanita tersebut mendendangkan syairnya, yang isinya tentang keluhan kesedihan karena sudah terlalu lama ditinggalkan oleh suaminya. Kemudian Umar pun bertanya tentang kemana suaminya. Perempuan itu menjawab bahwa suaminya sedang berjihad fi sabilillah. Besoknya Umar mengirim surat kepada suaminya dan menyuruhnya pulang. Kemudian kepada anaknya Hafsah, Umar bin Khattab bertanya: Wahai anakku, berapa lamakah kaum wanita boleh bersabar apabila ditinggal oleh suaminya? Hafsah Menjawab: Subhanullah, orang seperti ayah bertanya kepadaku

    50 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, h. 481.

    51 Mohammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan yang Barakah, (Yogyakarta: Mitra

    Pustaka, 2005), Cet. Ke-XXI. h. 193.

    52 Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian, h. 81-82.

  • 41

    tentang perkara ini? Umar menjawab: Kalau bukan karena saya ingin memperhatikan permasalahan kaum muslimin, tentu saya tidak akan bertanya tentang masalah ini kepadamu. Hafsah menjawab: Lima bulan atau enam bulan. Mendengar jawaban dari anaknya itu, maka mulai saat itu khalifah Umar bin Khattab menetapkan untuk mujahidin berperang waktunya paling lama enam bulan, waktu berangkat sebulan, tinggal di medan perang selama empat bulan dan kembali pulang selama sebulan.

    2. Mempergauli istri dengan baik Islam memandang rumah tangga dengan mengidentifikasinya sebagai tempat ketenangan, keamanan dan kesejahteraan. Islam juga memandang hubungan dan jalinan suami-istri dengan menyifatinya sebagai hubungan cinta, kasih dan sayang, dan menegakkan unsur ini di atas pilihan dan

    kemauan mutlak agar semuanya dapat berjalan dengan sambut menyambut, sayang menyayangi dan cinta mencintai.

    Kewajiban yang harus selalu diperhatikan oleh suami sebagai kepala rumah tangga adalah menjaga kemuliaan istrinya dari hal-hal yang menyebabkan kehormatannya dihina atau hal-hal yang merendahkan martabatnya sebagai manusia. Sang suami harus menjauhi hal-hal yang bisa melukai perasaannya dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengingkari janji yang telah dibuat bersama53. Tentang hal ini Allah swt. Berfirman:

    ...Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. An-Nisaa: 19).

    Dan bergaullah dengan mereka secara makruf, ada ulama yang memahaminya dalam arti perintah untuk berbuat baik

    53 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jil 2, h. 306.

  • 42

    kepada istri yang dicintai maupun tidak. Kata maruf mereka pahami mencakup tidak menganggu, tidak memaksa, dan juga lebih dari itu, yakni berbuat ihsan dan berbaik-baik kepadanya. Asy-Syarawi memiliki pandangan lain. Dia menjadikan perintah di atas tertuju kepada suami yang tidak mencintai lagi istrinya. Ulama Mesir yang meninggal

    tahun 1999, membedakan antara mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri dengan maruf yang diperintahkan di sini. Al-mawaddah menurutnya adalah berbuat baik kepadanya, merasa senang bersamanya serta bergembira dengan kehadirannya, sedang maruf tidak harus demikian. Mawaddah pastilah disertai dengan cinta, sedang makruf tidak mengharuskan adanya cinta54.

    Asy-Syarawi merujuk kepada firman Allah yang menafikan adanya mawaddah atau cinta kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak, anak atau saudara-saudara. Padahal katanya; dalam ayat yang lain, Dia memerintahkan anak untuk bergaul dengan makruf kepada ibu bapak yang memaksa anak untuk tidak percaya keesaan Allah. Ini berarti berbeda antara makruf dengan cinta55. Apa yang dikemukakan Asy-Syarawi di atas, sungguh tepat. Bahkan mawaddah yang diharapkan terjalin antara suami istri, bukan saja dalam arti cinta, tetapi ia adalah cinta plus56. Penggalan ayat di atas melarang menyusahkan atau menyakiti istri oleh sebab apapun, kecuali istri tersebut melakukan perbuatan yang keji yang nyata, seperti berzina atau nusyuz. Asy-Syarawi mengatakan, agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan hanya karena cinta suami istri telah pupus. Walau cinta pupus, tetapi

    berbuat baik masih harus diperintahkan. Sebagaimana ketika seseorang yang ingin menceraikan istrinya karena tidak mencintainya lagi, Umar bin

    54 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 382.

    55 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 383.

    56 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 383.

  • 43

    Khatab mengecamnya sambil berkata: Apakah rumah tangga hanya dibina atas dasar cinta? Kalau demikian mana nilai-nilai luhur? Mana pemeliharaan, mana amanah yang engkau terima?57

    Suami harus memperbaiki pergaulannya dengan istri, untuk itu harus

    menggauli mereka dengan cara yang mereka senangi. Jangan memperketat nafkah mereka, jangan menyakiti mereka melalui perkataan maupun perbuatan. Atau menyambut mereka dengan wajah yang muram dan menyambut mereka dengan mengerutkan dahi58. Dan apabila suami tidak menyenangi istrinya karena keaiban akhlak atau fisik mereka yang tidak menyenangkan, bersabarlah, karena Allah menjadikan kebaikan itu menyeluruh, menyangkut segala sesuatu, termasuk pada mereka yang tidak disukai itu59.

    Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang, Apa hak istri yang wajib kita penuhi? Rasulullah saw. menjawab,

    Kamu memberi makan kepadanya apabila kamu makan. Kamu memberi pakaian kepadanya apabila kamu berpakaian. Jangan kamu pukul wajahnya! Jangan kamu cela! Dan, jangan kamu pisah ranjang (hajr) kecuali di dalam rumah. (H. R. Ahmad Daud dan Nasaai).60

    Orang-orang saleh pernah berkata, Seorang istri itu laksana botol, maka penuhilah botol itu dengan minuman yang engkau sukai. Orang saleh yang lain pernah berkata, Dalam menghadapi seorang wanita, kita memerlukan sedikit humor, tutur kata yang lembut, melipur lara, dan perhatian yang cukup. Juga diingat, tutur kata yang baik termasuk

    sedekah.

    57 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, h. 383.

    58 Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil 4, h. 384.

    59 Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Jil 4, h. 384.

    60 Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal , Jilid. 4. h. 447.

  • 44

    Dengan melihat hadis di atas, secara tidak langsung Islam melarang suami melukai perasaan istri dengan perkataan. Karena hal itu yang akan membuka terjadinya pemukulan dan kekerasan lain oleh suami kepada istri, akibatnya istri akan tersakiti secara fisik juga mentalnya, walaupun dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syariat karena istri tidak taat kepada suaminya boleh memukulnya. Karena memukul merupakan

    perubahan hukum dari kesulitan kepada kemudahan karena suatu alasan disebabkan latar belakang hukum asli. Sebab larangan itu merupakan rasa kasihan dan sayang kepada mereka. Menegakkan keadaan yang membolehkan karena suatu alasan, yaitu demi kelanggengan suami istri dan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta menunaikan hak-haknya ketika hak-hak mereka ditinggalkan.

    Jadi, seorang kepala rumah tangga mempunyai kewajiban; selain harus memberikan nafkah kepada istrinya, baik lahir maupun batin, juga harus menjaga kehormatan dan perasaan istrinya itu.

  • 45

    BAB III PERANAN SUAMI DALAM MEMBINA

    RUMAH TANGGA YANG SAKINAH

    Peranan adalah dari kata dasar peran yang ditambahkan akhiran an, peran memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan1. Dan suami memiliki arti pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita2. Sehingga yang dimaksud dengan peranan

    suami adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh suami. Adapun peranan suami dalam r