studi literatur hepatitis

22

Click here to load reader

Upload: 6281326189433

Post on 07-Aug-2015

46 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Literatur Hepatitis

Studi literatur: mengenal istilah Ikterus

duniaveteriner 08.06.09 Kesehatan hewan , Dokter hewan, fakultas kedokteran hewan, fakultas kedokteran

hewan UGM, fakultas kedokteran hewan UNTB, ikterus, kadar ureum, kasus patologi, laporan nekropsi patologi, paper ikterus, paper uremia, patologi veteriner, pengertian uremia, penyakit hewan, uremia

Comments Off

Ikterus adalah suatu sindroma yang dikarakteristikan oleh adanya hiperbilirubunemia dan deposit pigmen empedu pada jaringan termasuk kulit dan memberan mukosa (Kisaran normal pada anjing dewasa 0.1 – 0.6 mg/dl; kucing 0.12 – 0.3 mg/dl). Ikterus biasanya dapat dideteksi pada sclera, kulit, atau urin yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2 – 3 mg/dl. Bilirubin serum normal adalah 0.3 – 1.0 mg/dl. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sclera dan permukaan baeah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali.

Pada individu normal, pembentukan dan eksresi bilirubin berlangsung melalui langkah-langkah seperti yang terlihat dalam gambar 2. Sekitar 80 – 85 % bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam system monosit-makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari dihancurakan sekitar 50 ml darah, dan menghasilkan 250 sampai 350 mg bilirubin. Kini diketahui bahwa sekitar 15 – 20 % pigmen empedu total tidak bergantung pada mekanisme ini, tetapi berasal dari dekstruksi sel eritrosit matur dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati.

Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globin mula-mula dipisahkan dari heme, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Bilirubin unconjugated (disebut dengan bilirubin bebas, bilirubun pre hepatic atau bilirubin reaksi tidak langsung) kemudian dibentuk dari biliverdin. Biliverdin adalah pigmen kehijauan yang dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin unconjugated larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat dieksresikan dalam empedu atau urine. Bilirubin unconjugated berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin didalam hati berlangsung dalam tiga langkah : ambilan, konjugasi, dan eksresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu yang di beri symbol sebagai Y dan

Page 2: Studi Literatur Hepatitis

Z (lihat Gambar, 2 ) konjugasi bilirubin dengan asam glukoronat dikatalisasi oleh enzim glukoronil transferase dalam reticulum endoplasma. Bilirubin conjugated tidak larut dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat dieksresikan dalam empedu dan urine.

Langkah terakhir dalam metabolisme bolirubin hati adalah traspor bilirubin unconjugated melalui memberan sel kedalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin unconjugated tidak dieksresikan kedalam empedu, kecuali setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerasi (lihat pembahasan berikut).

Bakteri usus mereduksi bilirubin conjugated menjadi serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10 – 20 % urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil dieksresikan dalam urine.

Adanya peningkatan level bilirubin dalam plasma (hiperbilirubinemia) dapat terjadi akibat 6 gangguan utama :1. Produksi bilirubin unconjugated yang berlebihan karena haemoglobin.2. Gangguan up-take bilirubin unconjugated oleh sel hati yang tidak sempurna.3. Konjugasi dari bilirubin unconjugated yang tidak sempurna oleh sel hati.4. Eksresi bilirubin conjugated oleh sel hati yang tidak sempurna5. Obstruksi aliran empedu dalam hati sering karena peradangan yang menyebabkan pembengkakan sel.6. Obstruksi aliran empedu diluar hati karena adanya sumbatan atau tekanan pada duktus empeduIkterus/jaundice dapat terjadi akibat tidak sempurnanya level metabolisme bilirubin, produksi berlebihan, terganggunya penghantaran pada sel hati , tidak sempurna up take, gangguan konjugasi, tidak sempurnanya eksresi kedalam canalikuli atau obstruksi drainase pada duodenum.

Ikterus/jaundice pada dasarnya diklasifikasikan sebagai hemolitik, hepatoseluler atau obstruksi (cholestasis), walaupun kadang terjadi tumpang tindih terutama antara tipe hepatoseluler dan obstuksi. Test yang sering digunakan untuk mengukur level bilirubin adalah reaksi Van Den Berg yang menggunakan suatu larutan beralkohol pada test bilirubin total (conjugated, unconjugated) dan yang menggunakan larutan berair hanya untuk mengukur bilirubin conjugated. Selisih antara keduanya merupakan level bilirubin unconjugated.

Penyebab peningkatan level bilirubin plasma (hiperbilirubinemia) :1. Bilirubin unconjugated dapat terjadi pada :a. Haemolysis akut parahb. Penyerapan haematom besar atau haemoragi internal sangat besarc. Transfusi RBC yang disimpan

Haemolysis akut parah dapat terjadi karena pelepasan sejumlah besar Hb yang cepat kedalam plasma yang merupakan gambaran dari haemolysis intravaskular. Sejumlah besar bilirubin (unconjugated) dibentuk secara besar-besaran melebihi kapasitas hati untuk konjugasinya. Peningkatan bilirubin unconjugated plasma dapat sebagai akibat peningkatan produksi pigment (haemolisin atau erytropoiesis tidak efektif) atau gangguan up take hati atau konjugasi dari bilirubin. Pada ikterus haemolitik hiperbilirubinemia awlnya secara

Page 3: Studi Literatur Hepatitis

karakteristik ditandai oleh jumlah besar bilirubin unconjugated. 3 – 4 hari setelah kerisis haemolitik, konsentrasi bilirubin conjugated pada plasma dapat sama atau lebih tinggi dari pada bilirubin unconjugated ( total bilirubin dapat tetap tinggi walaupun kurang dibandingkan selama krisis haemolitik). Hal ini dapat terjadi karena konjugasi telah berlangsung tetapi kapasitas sel hati untuk eksresi bilirubin conjugated melebihi dan/ atau sel hati rusak disebabkan karena kekurangan RBC. Oleh karena itu pada stadium tertentu dari ikterus haemolitik, konsentrasi relatif dari bilirubin unconjugated dan conjugated dapat tumpang tindih dengan yang diamati pada penyakit hepatoseluler dan obstruksi empedu.

Diduga peningkatan bilirubin conjugated pada ikterus haemolitik lanjut disebabkan oleh karena sistem eksresi hati yang sebelumnya normal, oleh adanya anemic anoksia sehingga up take dan eksresi bilirubin hepatoseluler secara relatif tetap normal, kurangnya eksresi dapat menyebabkan regurgitasi dari hepatisit kedalam darah. Kemungkinan produksi bilirubin conjugated yang berlebih dalam hepatoseluler karena adanya penebalan empedu sehingga mengakibatkan destruksi empedu intrahepatik dan regurgitasi dari bilirubin conjugated kedalam darah.

Jika hemolisis terjadi secaraa intavaskular dan cukup cepat, plasma dapat merah karena adanya peningkatan jumlah Hb bebas. Secara normal protein plasma mengikat 3 Hb sirkulasi yang bebas dan mencegah masuk ke urine dengan cepat, haemolisis besar-besaran dan semua plasma protein dapat jenuh dengan Hb. Haemoglobin yang tidak diikat akan difiltrasi oleh glomerulus dan muncul dalam urine sehingga urine tampak merah. Anemic anoxia dapat menyebabkan jerusakan memberan hepatoseluler dan meningkatkan akktivitas ALT dalam serum. Diduga obstuksi empedu disebabkan adanya penebalan empedu yang menyebabkanpeningkatan alkalin pospatase (AP) dalam serum.

Beberapa kejadian dari hemolisis intravaskuler yang terjadi secara primer:• Kasus tertentu dari anemia haemolitik autoimun.• DIC dan torsio splenik.• Tipe tertentu dari keracunan, mis: obat oksidan atau venom ular.• Lisis fisik – penyuntikan iv larutan hipotonis (tertama air), panas mis: kebakaran paarah dan radiasi.• Transfusi darah yang tidak cocok.• Haemobartonelosis.• Babesiosis (Menyebabkan ikterus praehepatik, karena dapat menyebabkan hemolisis sehingga dapat terjadi hiperbilirubinemia)

`Penyerapan haematom besar atau menyertai haemoragi internal sangat hebat. Penyebab perdarahan usus seperti ini kemungkinan keracunan oleh rodenticida anti coagulan. Makrofag jaringan memfagosit RBC dan menurunkan Hb menjadi bilirubin unconjugated yang kemudian dirubah dalam hati. Ikterus terutama terjadi pada hewan yang sangat muda. Baik haemolosis parah maupun haemoragi besar-besaran dapat mengakibatkan anemia regeneratif, mis: PCV rendah dan reticulositosis.

Transfusi RBC yang disimpan , hiperbilirubinemia terjadi jika darah dikoleksi lebih dari 3 minggu sebelun ditangani, RBC tua ini secara cepat dipisahkan dan dibentuk sejuimlah besar bilirubin unconjugated.

2. Bilirubin unconjugated dan bilirubin conjugated hampir sama dapat terjadi pada :a. Hilangnya fungsi hepatoseluler setelah hati rusak, pada umumnya ini dapat terjadi karena

Page 4: Studi Literatur Hepatitis

kelainan hati kronis atau kerusakan ringan (mis, hepatitis active chronis) antara 20% dan 60% dari bilirubin conjugated.b. Obstruksi saluran empedu, biasanya intrahepatik (hiperbilirubinemia regurgitasi) dengan obstruksi dari bilirubin. Pada umumnya bilirubin conjugated lebih dominan.c. Setelah hemolisis akut parah (hematom besar atau hemoragi internal sangat besar). Jika level bilirubin conjugated tinggi, penyebab dari hemolisis tersebut seperti pada hemolisis akut parah biasanya bilirubin conjugated kurang dari 50% total.

Penykit hepatoseluler dan obstruksi saluran empedu (intrahepatik dan post hepatik) dapat mengakibatkan peningkatan bilirubin conjugated dan unconjugated dalam plasma dengan level bilirubin conjugated yang lebih menonjol sebelumnya. Pada ikterus hepatik dimana kerusakan terjadi dalam hati itu sendiri, peradangan mengakibatkan fungsi sel terganggu sehingga hati tidak dapat mengambil bilirubin bebes secepat biasanya. Selain itu kerusakan sel hati yang membengkak akan menekan termasuk canaliculi kecil yang membewa empedu dari sel hati ke ductus empedu. Bilirubin conjugated yang tidak dapat meninggalkan sel hati melalui rute normal akan masuk sinusoid darah dan berakhir pada sirkulasi umum. Sehingga baik bilirubin conjugated maupun unconjugated muncul dalam sirkulasi, level urobilinogen dan bilirubin muncul dalam urine.

3. Sebagian besar bilirubin conjugated.a. Hilangnya fungsi hepatoseluler (umum), biasanya dapat terjadi karena toxic pada keracunan atau obat ( fosfor, senyawa fenolik, alfatoksin, parakuat, thalium, paracetakol/acetaminopen terutama pada kucing, dan larutan organik, mis chloroform dan CCl4).Banyak dari obat lain yang dapat menyebabkan kerusakan hati dengan kebocoran enzim dan /atau fungsi hati tetapi tanpa hiperbilirubinemia yang nyata.b. Penyakit infeksius: infeksi primer penting adalah Canin adenovirus-1, Leptospira dan hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan peradangan akut.• Infeksius canine hepatitis (infeksi adenovirus-1 sistemik pada anjing), hiperbilirubinemia, ikterus dan bilirubinuria kurang umum dari yang diharapkan akibat nekrosa centrolobuler kurang mencampuri dengan pengaliran empedu dari pada nekrosis perifer, namun 35% kasus parah memperlihatkan ikterus.• Leptosrirosis menyebabkan ikterus prehepatik dan hepatik karena leptospira dapat menyebabkan hemolisis yang ekstraseluler dan intraseluler selain itu leptospira menyerang hepatosit yang mengakibatkan fungsi hati terganggu sehingga terjadi hiperbilirubinemia dan juga menyebabkan pengaktifitas enzim pada hati.c. Parasit. Cacing hati dapat menyebabkan obstruksi empedu dan hepatitis pada kucing.Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus:

1. Pembentukan bilirubin yang berlebihanPenyakit hemolitik atau peningkatan laju dekstrusi eritrosit merupakan penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubintak terkonjugasi dalam darah. Bilirubin tek terkonjugasi tidak larut dalam air, sehinggatidak dapat dieksresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namum demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen, yang selanjutnya meningkatkan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan feses bewarna gelap.2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hatiAmbilan bilirubin tak terkonjugasi terikat albumin oleh sel hati dilakukan dengan

Page 5: Studi Literatur Hepatitis

memisahkan dan mengikatkan bilirubin tehadap protein penerima.3. Gangguan konjugasi bilirubinHiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9 mg/100 ml) yang timbul antara hari kedua dan kelina setelah lahir disebut sebagai ikterus fisiologis neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil tranferase. Aktifitas enzim glukonil trasferase biasanya meningkat beberapa hari hingga minggu kedua setelah lahir, dan setelah itu ikterus akan menghilang.4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi terutama dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau yang disebabkan oleh obstruksi mekanis.

Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat dieksresikan dalam urine dan menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urine sering menurun sehingga feses trlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan fungsi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fospatase alkali, AST, kolesterol dan garam empedudalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi bisanya lebih kuning dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah melebihi 1mg/dl. Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan menyebabkan gejala ikterus atau jaundice. Ikterus atau jaundice adalah keadaan dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata menjadi kuning akibat deposisi bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi didalam darah. Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang berlebih dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah karena adanya obstruksi bilier. Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari.

Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah. Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga disebut juga dengan ikterus acholuria. Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus . Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl. Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I, karena kerusakan pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin monoglukoronida terdapat dalam getah empedu. Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan uptake bilirubin oleh hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan secara autosomal

Page 6: Studi Literatur Hepatitis

dominan. Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya obstruksi pada saluran empedu, misalnya karena tumor, batu, proses peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan disebut sebagai ikterus choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Bilirubin terkonjugasi dapat terikat secara kovalen pada albumin dan membentuk ? bilirubin yang memiliki waktu paruh

Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi adalah Syndroma Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi karena adanya defek pada sekresi bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu yang penyebab pastinya belum diketahui. Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an organik termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab pastinya juga belum dapat diketahui. Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti chloroform, arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga akibat cirhosis. Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi. Gangguan konjugasi muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan menyebabkan peningkatan kedua jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak larut. Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi bilirubin dan menjadi preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi tidak pada sindroma Crigler najjar. Phototerapi dengan cahaya dapat merubah bilirubin menjadi lebih polar dan merubahnya menjadi beberapa isomer yang larut dalam air meskipun tampa konjugasi dengan asam glukoronida sehingga dapat diekskresikan keempedu. Kasus obstruksi umumnya ditangani dengan tindakan bedah. mikroskopik akan nampak adanya cairan bening berupa gelatin yang menggantikan posisi depo lemak tubuh.

Fatal error: Call to undefined function wp_related_posts() in /home/duniavet/public_html/wp-content/themes/web-minimalist-200901/single.php on line 17Uji coba klinis tahap awal dari vaksin hepatitis C memperlihatkan hasil menjanjikan. Demikian menurut peneliti Oxford University yang dipublikasikan dalam Science Translational Medicine. Merancang vaksin semacam itu mengandung kesulitan karena virus hepatitis cenderung mengubah penampilannya, mempersulit untuk menemukan sesuatu sebagai sasaran. Namun, dalam riset terbaru, hal itu memungkinkan untuk dilakukan. Keberadaan virus hepatitis dapat tidak ketahuan selama bertahun-tahun, tetapi saat itu virus dapat menyebabkan kerusakan liver yang berarti. Peneliti mengembangkan vaksin yang membidik bagian dalam virus yang fungsional daripada mendeteksi penanda permukaan virus yang dapat berubah-ubah. Dalam uji coba terhadap 41 partisipan sehat diketahui vaksin menghasilkan respon kekebalan yang sangat kuat, bertahan selama sedikitnya satu tahun serta tidak mengandung efek samping serius. Tahap berikutnya, vaksin akan diberikan kepada kalangan yang beresiko tertular hepatitis C, untuk mengetahui apakah vaksin tersebut benar-benar dapat melawan virus hepatitis C.

Page 7: Studi Literatur Hepatitis

Koma Hepatikum undefined undefined

Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa ; sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum (Akil., 1998).

Koma hepatikum dalam khasanah ilmu kedokteran disebut ensefalopita atau hepatic encephalopathy. Ada 2 jenis enselafalopati hepatik berdasarkan ada tidaknya edema otak, yaitu Portal Systemic Encephalopathy (PSE) dan Acute Liver Failure (Hardjosastro., 2002).Ensefalopati Hepatik (EH) merupakan salah satu penyulit sirosis hepatis akibat pintasan partosismatik yang terjadi karena hipertensi portal. Ensefalopati portal sistemik kronik ini ditandai oleh kelainan psikiatrik dan neurologik yang dapat berkembang dari gangguan mental ringan sampai koma hepatic (Akil., 1998).Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi (Blei., 1999).Enselafalopati Hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkn bahwa spektrum klinis (EH) sangat luas, karena di dalamnya juga termauk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik Subklinis (EHS) (Budihusodo., 2001).Pasien sirosis hati yang telah dapat diatasi keadaan EH akutnya, berada dalam keadaan EH kronik, yang setiap saat dapat kembali mengalami episode akut apabila terdapat faktor seperti infeksi, pendarahan gastrointestinal dan asupan protein diet berlebihan (Budihusodo., 2001).Pengobatan dini EH meliputi setiap upaya terapeutik yang dilakukan pada RHS ataupun pada EH kronik, untuk mencegah terjadinya serangan EH akut. Karena terjadinya episode EH akut biasanya didahului oleh keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan “keadaan kompensasi selama mungkin”. Dengan tercapainya kompensasi, berarti secara subjektif pasien memperoleh kualitas hidup yang lebih baik (sympton-free) (Budihusodo., 2001).Beberapa sarjana menyebutkan ensefalopati hepatic dengan istilah koma hepatikum. Karena manifestasinya tidak selalu dalam bentuk koma, melainkan terdiri atas beberapa tingkat perubahan kesadaran maka untuk selanjutnya dipakai istilah ensefalopati hepatic.Istilah lain adalah “Porto-System Enchephalopathy” (PSE), tidak banyak dipakai lagi oleh karena ternyata EH dapat terjadi tanpa kolateral porto-sistemik (Gitlin., 1996).Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya EH belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia, merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan Asam Amino Aromatik (AAA) dan Asam Amino Rantai Cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan intra kranial, serta perubahan-perubahan pada

Page 8: Studi Literatur Hepatitis

Astrosit terutama terjadi pada EH akut (Fulminant Hepatic Failure). Hal – hal tersebut perlu dicermati agar pengelolaan penderita-penderita EH lebih terarah dengan hasil optimal (Blei., 1999).A. Definisi Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001).Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein 2001).Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).

B. Klasifikasi Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah : 1. Menurut cara terjadinya a. EH tipe akut : Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati.b. EH tipe kronik :Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat.2. Menurut faktor etiologinya a. EH primer / Endogen Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat. b. EH Sekunder / Eksogen Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah:1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah : o Dehidrasi / hipovolemia o Parasintesis abdomen o Diuresis berlebihan 2. Pendarahan gastrointestinal 3. Operasi besar 4. Infeksi berat 5. Intake protein berlebihan 6. Konstipasi lama yang berlarut-larut 7. Obat – obat narkotik/ hipnotik 8. Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan 9. Azotemia

Page 9: Studi Literatur Hepatitis

C. Patogenesis Belum ada patagonesis yang diterima untuk menjelaskan proses terjadinya EH. Beberapa hipotesis yang paling sering dijadikan acuan penatalaksanaan EH adalah (1) Hipotesis ammonia, (2) Hipotesis neurotoksi sinergis, (3) Hipotesis neurotransmitter palsu, (4) Hipotesis GABA / benzodiazepine (Budihusodo., 2002).Sedangkan faktor-faktor yang sangat mungkin terlibat dalam terjadinya EH adalah :1. Pengaruh neurotoksin endogen yang tidak cukup didetoksifisikasikan oleh hati sirotik. 2. Fungsi astroglia yang abnormal disertai gangguan sekunder fungsi neuron. 3. Kelainan permeablitas sawar darah-otak. 4. Perubahan neurotransmiter intraserebral beserta reseptornya. Dalam arti yang sederhana, EH dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bilda terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (pataologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati (Price et al., 1995).Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya EH tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati atau karena pirau (Price et al., 1995).EH pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti : perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia (Abou-assi., 2001).Hingga kini belum seluruhnya dapat dipahami patogenesis EH, namun pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penelitian terhadap penderita maupun dari binatang percobaan, telah mengungkapkan beberapa masalah penting tentang patogenesisnya. EH tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama (Blei., 1999).Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa E terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan tosik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier) pada penderita EH yang memudahkan masuknya bahan-bahan tosik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.Ketika pasien sirosis hati telah mengalami hipertensi portal, terbuka kemungkinan untuk terjadinya pintasan portosistemik, yang dapat berakibat masuknya neurotoksin yang berasal dari saluran cerna (merkaptan, amonia, mangan, dll) ke dalam sirkulasi sistemik. Pintasan portosistemik dapat juga terjadi akibat tindakan bedah anastomosis portokaval atau TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt) yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi portal. Neurotoksin yang dapat menembus sawar darah otak akan berakumulasi di otak dan menimbulkan gangguan pada metabolisme otak. Permeabilitas sawar darah - otak memang mengalami perubahan pada pasien sirosis hati dekompensasi, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin (Budihusodo., 2001).Terdapat 5 proses yang terjadi di otak yang dianggap sebagai mekanisme terjadinya EH/koma hepatik, yaitu : 1. Peningkatan permeabilitas sawar otak (BBB). 2. Gangguan keseimbangan neurotransmitter 3. Perubahan (energi) metabolisme otak. 4. Gangguan fungsi membran neuron. 5. Peningkatan “endogenous Benzodiazepin“

Page 10: Studi Literatur Hepatitis

Diduga toksin serebral berperan melalui satu atau lebih daripada mekanisme ini. Patogenesis di atas merupakan konsep yang uniform, namun antara koma pada PSE dan FHF terdapat beberapa perbedaan-perbedaan. Misalnya pada PSE, toksin serebral tertimbun secara perlahan-lahan, apabila disertai faktor pencetus terjadinya koma. Sebaliknya pada EH/koma akibat FHF, karena proses begitu akut, maka faktor yang berperan adalah masuknya bahan toksis ke dalam otak secara tiba-tiba, menghilangnya bahan pelindung, perubahan permeablitas dan integrasi selular pembuluh darah otak serta edema serebral. Beberapa bahan toksik yang diduga berperan : 1. Ammonia Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui. Penaruh langsung terhadap membran neuron Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel. Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar ammonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran ammonia pada EH tidak berdiri sendiri. Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga kenaikan kadar ammonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme otak yang terganggu (Blake A., 2003).2. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus mengalami metaolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma (Blake A., 2003).3. Gangguan keseimbangan asam amino Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada EH karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik (Blake A., 2003)AAA ini bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada EH. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah valin, leusin, dan isoleusin (Blake A., 2003)4. Asam lemak rantai pendek Pada EH terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab EH. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak, menghemat detoksifikasi ammonia (Gitlin., 1996).5. Neurotramsmitter palsuNeurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan inhibitor kompepetif dari true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf, yang kadarnya menurun pada penderita PSE maupun FHF (Gitlin., 1996).Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan

Page 11: Studi Literatur Hepatitis

untuk penelitian lebih lanjut untuk keperluan (Gitlin., 1996).6. Glukagon Peningkatan AAA pada EH/ koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas Asam Amino Aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral (Blake A., 2003).7. Perubahan sawar darah otak Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permiabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli. Pada koma hepatikum khususnya FHF ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak akan masuk dengan mudah seperi fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam amino lainnnya meningkat di dalam otak (Gitlin., 1996).

D. Manifestasi klinik Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif. Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium (Tabel.1). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test). Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada EH klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal (Budihusodo., 2001).

Page 12: Studi Literatur Hepatitis

E. Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik dan laboratorium (Gitlin., 1996).1. Anamnesis → Riwayat penyakit hati → Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus. → Adakah kelainan neuropsikiatri : perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya. 2. Pemeriksaan fisik → Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati. → Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal). → Adanya kelainan neuroogik : inkoordinasi tremor, refleks patologi, kekakuan. → Kejang, disatria.→ Gejala infeksi berat / septicemia. → Tanda-tanda dehidrasi. → Ada pendarahan gastrointestinal.3. Pemeriksaan laboratorium a. Hematologi • Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit. • Jika diperlukan : faal pembekuan darah.b. Biokimia darah • Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali. • Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum. • Kadar amonia darah. • Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah. c. Urin dan tinja rutin 4. Pemeriksaan lain (tidak rutin) (Stein., 2001).a. EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis.b. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol).c. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.

F. Pengelolaan1. EH tipe akut Pengelolaan baik tipe/endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada prinsipnya sama yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan faktor pencetusnya (Gitlin., 1996).a. Tindakan umum1. Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif nyang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley. 2. Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa.

Page 13: Studi Literatur Hepatitis

3. Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental).b. Tindakan khusus 1. Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996) Diet tanpa protein untuk stadium III-IV Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari). 2. Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism). Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan. Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari. Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4) Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin (derifat Rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.3. Obat-obatan lain Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini. L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam. Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal. Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik. Obat-obatan dalam taraf eksperimental : o Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15 mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG. o Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil memuaskan, terutama untuk stadium I-II.4. Pengobatan radikal Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi hati (Gitlin., 1996).c. Pengobatan radikal 1. Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa. 2. Penggulangan perdarahan saluran cerna 3. Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat. 4. Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang menimbulkan konstipasi. 2. EH tipe Kronik Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik (Blei., 1999).a. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati. b. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10

Page 14: Studi Literatur Hepatitis

cc/hari). c. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari. d. Bila timbul aksaserbasiakut, sama seperti EH tipe akut. e. Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya. f. Pembedahan elektif : colony by pasis, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik stadium III-IV.

G. Prognosis Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat dan tepat. Prognosis penderita EH tergantung dari : a. Penyakit hati yang mendasarinya. b. Faktor-faktor pencetus c. Usia, keadaan gizi. d. Derajat kerusakan parenkim hati. e. Kemampuan regenerasi hati.

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Assi S, MD., 2001., Hepatic Encephalopathy., www.postgraduatemedicine.com.Aklil H.A.M., 1998., Ilmu Penyakit Dalam ; Koma Hepatik., Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta.Budihusodo U., 2001., Pengobatan Dini Ensefalopati Hepatikum., www.interna.or.idBlake A jones, MD., 2003., Portal-Systemic Encephalopathy., www.e-medicine.comBlei A.T., 1999., Oxford Textbook of Clinical Hepatology ; In Hepatic Encephalopathy., Oxford University Press., New York.Corwin J.E., 2001., Buku Saku Patofisologi., EGC.Gitlin N., 1996., Hepatology A Textbook of Liver Disease. In Hepatic Encephalopathy., B. Saunders Company. Philadelphia.Hardjosastro D, Syam A.F., 2002., Nutrisi Pada Koma Hepatikum., www.interna.or.idHaggerty M., 2002., Liver Encephalopathy., www.principalhealthnews.com.Price A.S, Wilson M.L., 1995., Patofisiologi ; Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ; Hati Saluran Empedu, dan Pancreas., ECG. Stein H.J., 2001., Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam., Ed lll., EGC.

Under: Artikel Kedokteran, Penyakit Dalam