studi komparatif konflik bersenjata non- …

32
STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- INTERNASIONAL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ( Comparative Study on Non-International Armed Conflict in International Humanitarian Law ) Kushartoyo Budisantosa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Gunung Jati [email protected] Abstrak Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977 tidak memberikan definisi mengenai konflik bersenjata non-internasional (KBNI). Protokol Tambahan II hanya menentukan ambang batas atas dan bawah yang termasuk ke dalam jenis konflik ini, termasuk persyaratan yang diperlukan agar Protokol berlaku. Penentuan jenis konflik berguna untuk menentukan apakah Hukum Humaniter Internasional (HHI) berlaku. Sehubungan dengan itu, jurisprudensi pada Tribunal Internasional untuk bekas Negara Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR), Pengadilan Khusus untuk Siera-Leone (SCSL), dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) menggunakan pendekatan berbeda. Tulisan ini membandingkan pengaturan KBNI menurut sumber hukum tertulis dengan pelaksanaannya dalam putusan Peradilan Internasional. Walaupun perkembangan menunjukkan terdapat berbagai konflik bersenjata lainnya, namun hasil perbandingan menunjukkan bahwa tetap hanya terdapat dua jenis KBNI: pertama, KBNI yang dicakup dalam Common Article 3 dari Konvensi Jenewa 1949; dan kedua, KBNI yang dicakup dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Putusan Pengadilan Internasional bersifat melengkapi dan memperjelas KBNI. Kata kunci : Konflik Bersenjata Non-Internasional, ICTY, ICTR, SCSL, ICC Abstract The Geneva Conventions of 1949 and Additional Protocol II of 1977 do not provide a definition of non-international armed conflict (NIAC). Additional Protokol II specifies only the upper and lower thresholds that fall into this type of conflict, including requirements necessary to take effect. Determining the type of armed conflict is useful for determining whether International Humanitarian Law (IHL) applies. In this connection, the jurisprudence at the International Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) and Rwanda (ICTR), the Special Court for Syria (SCSL) and the International Criminal Court (ICC) took a different approach. This paper compares NIAC between conventional legal sources and international judicial judgments. Although state practices indicate various other armed conflicts, the result shows that there are only two types of NIAC: first, NIAC which is covered in common article 3 of the Geneva Convention 1949; and second, NIAC which is coverend in Article 1 of Additional Protocol II 1977. Judgments of international tribunals complements and clarifies NIAC in Geneva Convention and its Additional Protocol II.

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

( Comparative Study on Non-International Armed Conflict

in International Humanitarian Law )

Kushartoyo Budisantosa

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Gunung Jati [email protected]

Abstrak

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977 tidak memberikan

definisi mengenai konflik bersenjata non-internasional (KBNI). Protokol Tambahan II hanya menentukan ambang batas atas dan bawah yang termasuk ke dalam jenis konflik

ini, termasuk persyaratan yang diperlukan agar Protokol berlaku. Penentuan jenis konflik berguna untuk menentukan apakah Hukum Humaniter Internasional (HHI)

berlaku. Sehubungan dengan itu, jurisprudensi pada Tribunal Internasional untuk bekas Negara Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR), Pengadilan Khusus untuk Siera-Leone

(SCSL), dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) menggunakan pendekatan

berbeda. Tulisan ini membandingkan pengaturan KBNI menurut sumber hukum tertulis dengan pelaksanaannya dalam putusan Peradilan Internasional. Walaupun

perkembangan menunjukkan terdapat berbagai konflik bersenjata lainnya, namun hasil perbandingan menunjukkan bahwa tetap hanya terdapat dua jenis KBNI: pertama,

KBNI yang dicakup dalam Common Article 3 dari Konvensi Jenewa 1949; dan kedua,

KBNI yang dicakup dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Putusan Pengadilan Internasional bersifat melengkapi dan memperjelas KBNI.

Kata kunci : Konflik Bersenjata Non-Internasional, ICTY, ICTR, SCSL, ICC

Abstract

The Geneva Conventions of 1949 and Additional Protocol II of 1977 do not provide a definition of non-international armed conflict (NIAC). Additional Protokol II specifies only the upper and lower thresholds that fall into this type of conflict, including requirements necessary to take effect. Determining the type of armed conflict is useful for determining whether International Humanitarian Law (IHL) applies. In this connection, the jurisprudence at the International Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) and Rwanda (ICTR), the Special Court for Syria (SCSL) and the International Criminal Court (ICC) took a different approach. This paper compares NIAC between conventional legal sources and international judicial judgments. Although state practices indicate various other armed conflicts, the result shows that there are only two types of NIAC: first, NIAC which is covered in common article 3 of the Geneva Convention 1949; and second, NIAC which is coverend in Article 1 of Additional Protocol II 1977. Judgments of international tribunals complements and clarifies NIAC in Geneva Convention and its Additional Protocol II.

Page 2: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

2

Keywords: Non-International Armed Conflict (NIAC), ICTY, ICTR, SCSL, ICC

Pendahuluan

Hukum Humaniter Internasional (HHI)

mendalilkan bahwa konflik bersenjata dapat

dikategorikan sebagai konflik bersenjata

internasional (KBI) berdasarkan Common

Article 2 dari Konvensi Jenewa atau Pasal 1 (4)

dari Protokol Tambahan I 1977 atau sebagai

konflik bersenjata non-internasional (KBNI)

berdasarkan Common Article 3 dari Konvensi

Jenewa dan / atau Pasal 1 Protokol Tambahan

II 1977. Terdapat dua mekanisme penegakan

hukum yang berbeda atas dua jenis konflik

tersebut yang berlaku hingga pertengahan

1990-an. Dalam KBI, tanggung jawab negara

dan tanggung jawab individu dapat digunakan

untuk memastikan penerapan HHI secara

tepat, sementara pada saat KBNI hanya

tanggung jawab negara yang dapat ditampilkan

pada pelanggaran HHI, sebuah sistem yang

gagal karena tidak ada forum hukum untuk

menangani masalah tersebut dan, dengan

demikian, pada umumnya dalam KBNI

1 Sivakumaran, “Re-envisaging the international law of internal armed conflict”, Eur J Int Law 22 (2011), 220. 2 ICTY Tadic 1995, Prosecutor v. Tadic, Kasus No IT-94-1-AR72, Mosi Pembelaan untuk Putusan Sela dari Yurisdiksi ICTY, 2 Oktober 1995, paras 127 dan 130..

pelanggaran dibiarkan begitu saja. Oleh karena

itu, perbedaan itu sangat penting.

Statuta dan yurisprudensi dari berbagai

pengadilan pidana internasional mengubah

posisi ini karena mereka menyatakan bahwa

tindakan yang bertentangan dengan HHI yang

dilakukan selama konflik bersenjata non-

internasional juga dapat dipandang sebagai

tindakan kriminal dan dituntut seperti itu. Tidak

diragukan lagi, kriminalisasi ketentuan HHI

muncul sebagai solusi yang tepat untuk

menangani pelanggaran hukum dalam konflik

bersenjata. Selanjutnya, 'hukum konflik

bersenjata non-internasional pada saat ini telah

mengacu pada hukum pidana internasional

untuk mengisi konten substansinya.1

Khusus dalam KBNI, saat ini

persoalannya menjadi semakin rumit karena

norma-norma yang terkadung dalam konflik ini

telah dikriminalisasi melalui yurisprudensi2 dan

Statuta pengadilan pidana internasional untuk

Rwanda (ICTR).3 Oleh karena itu, menjadi

sangat relevan untuk mengkualifikasikan

3 Van den Herik, The contribution of the Rwanda tribunal to the development of international law, (Leiden: Martinus Nijhoff, 2005), 273.

Page 3: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

3

dengan tepat KBNI sebagai satu yang termasuk

dalam lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949

atau Protokol Tambahan II 1977. Meskipun

secara luas telah diterima bahwa pelanggaran

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 memerlukan

pertanggungjawaban pidana karena sifat

kebiasaannya, hal ini tampaknya berbeda

dengan semua pelanggaran yang terdapat

dalam Protokol Tambahan II 1977.

Untuk menambah kerumitan dari jenis

konflik bersenjata ini, pengadilan internasional

justru mengadopsi definisi konflik bersenjata

yang berbeda dari salah satu ketentuan yang

disebutkan di atas. Selain itu, Statuta

Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang

dianggap mewakili status sebagai Lembaga

hukum saat ini, juga menawarkan definisi

konflik bersenjata yang tampak prima facie

berbeda dari yang diuraikan dalam hukum

perjanjian tentang HHI dan dalam

yurisprudensi.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk

berfokus pada ambang penerapan hukum

humaniter internasional, melainkan membahas

4 Bassiouni, International Criminal Law, (Ardsley:

Transnational Publishers, 1999), 101.

dengan memberikan komparasi apakah aturan

hukum internasional yang tercantum dalam

perjanjian, hukum kebiasaan internasional dan

yurisprudensi, mengatur satu, dua atau

kemungkinan terdapat tiga jenis konflik

bersenjata non-internasional. Secara khusus,

tulisan ini menyelidiki apakah definisi yang

digunakan oleh pengadilan-pengadilan pidana

internasional dalam penerapan ketentuan

kejahatan perang4 sesuai dengan definisi yang

diuraikan dalam perjanjian dan hukum

kebiasaan.

Uji Penerapan dalam Hukum Perjanjian : Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan

Protokol Tambahan II 1977

Dalam hukum perjanjian kita

menemukan dua aturan untuk KBNI, yang

pertama kita temukan dalam Konvensi 1949

dan kedua kita temukan dalam Protokol

Tambahan II 1977. Konvensi Jenewa

menawarkan aturan pertama sedangkan

Protokol Tambahan II untuk konvensi yang

sama memberikan aturan yang kedua.

Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1949

(Common Article 3)

Page 4: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

4

Common Article 3 menetapkan

seperangkat aturan kemanusiaan internasional

yang berlaku dalam 'kasus konflik bersenjata

yang tidak bersifat internasional yang terjadi di

wilayah salah satu Pihak Peserta Agung'.

Sayangnya, apa yang disebutkan pada paragraf

awal dari konvensi ini, tidak menjawab keadaan

ketika konflik itu berlaku karena tidak

diberikannya definisi apa yang dimaksud

dengan ‘konflik bersenjata yang tidak bersifat

internasional’. Satu-satunya informasi yang

mungkin bisa diambil adalah yang terkait

dengan isu teritorial, yaitu bahwa Common

Article 3 berlaku di wilayah salah satu negara

(Pihak Peserta Agung), sementara tidak

dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘konflik

yang tidak bersifat internasional’. Formulasi

yang tidak jelas ini menyisakan ruang untuk

interpretasi karena baik 'konflik bersenjata'

maupun 'karakter non-internasional' tidak

didefinisikan. Demikian juga kriteria objektif

maupun subjektif tidak dimasukkan dalam

kalimat pertama dari Common Article 3 ini, hal

ini bisa dimengerti karena memang artikel

5 Jean Pictet, Commentary on the Geneva Conventions. (Geneve: International Committee of the Red Cross,1960), 49. 6 Jinks, “The temporal scope of application of international humanitarian law in contemporary conflicts”, HPCR Policy Brief, January 2003, 2.

tersebut merupakan kompromi politik pada saat

penyusunannya. Kurangnya definisi ini

selanjutnya ditanggapi secara positif oleh Pictet

dalam Commentary on the Geneva

Conventions, 5 dan menurut beberapa penulis

memang hal itu adalah tujuan dari para

perancang perjanjian tersebut pada waktu itu.6

Memang, telah diajukan proposal untuk

memperjelas bidang material penerapan Pasal

3 Konvensi Jenewa 1949 yang diajukan pada

Konferensi Internasional Palang Merah dan

Bulan Sabit Merah ke-XXI di Istanbul pada

bulan September 1969 namun proposal itu

ditolak.7 Oleh karenanya, definisi tersebut

harus dicari di luar perjanjian itu sendiri dan

terutama dengan membaca dengan teliti

travaux préparatoires dan Commentary to the

convention. Pertanyaan yang penting bagi

negara adalah untuk menentukan ambang

penerapan dari Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949,

karena selama penyusunan ketentuan tersebut,

banyak delegasi mengungkapkan ketakutan

mereka bahwa segala jenis masalah internal

akan memicunya. Seperti yang dijelaskan Jinks,

7 Pietro Verri, “Considérations sur l’application dans les conflits modernes des Articles 3 et 4 des Conventions de Genève de 1949”, Revue de droit militaire et de droit de la guerre 1972, 99.

Page 5: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

5

'koherensi dari konsep' 'konflik bersenjata'

'menghidupkan kemungkinan perbedaan

antara gangguan atau pemberontakan internal

dan konflik bersenjata internal.'8

Namun, ICRC mendorong untuk

mengenali situasi dengan ambang batas

kekerasan yang rendah.9 Kriteria yang berbeda

disebutkan selama diskusi dan mungkin dapat

membantu dalam menentukan ambang

penerapan, meskipun kriteria tersebut harus

dianggap tidak lengkap, atau condong ke arah

tidak mengikat secara hukum. Faktanya, batas

sebenarnya ditentukan berdasarkan kasus per

kasus.

Dalam hal ini, Pictet memberikan

sejumlah kemungkinan kriteria untuk

mengukur apakah Pasal 3 Konvensi Jenewa

1949 dapat diterapkan. Pertama, permusuhan

harus dilakukan oleh kelompok-kelompok

bersenjata yang terorganisir dan menunjukkan

intensitas sedemikian rupa sehingga

pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan

sarana kepolisian biasa. Kedua, permusuhan

yang dilakukan para pemberontak harus

8 Jinks, op.cit., 2. 9 Kretzmer, “Rethinking the application of international humanitarian law in non - international armed conflicts”, Israel Law Review 42:8 2009, 40.

bersifat kolektif. Ketiga, pemberontak harus

menunjukkan tingkat organisasi tertentu

(komando yang bertanggung jawab dan

kapasitas untuk memenuhi persyaratan

kemanusiaan minimal)10. Hal ini mengingatkan

seperti yang tercantum dalam Protokol

Tambahan II 1977.

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 berlaku

dalam kasus perang saudara klasik ketika

angkatan bersenjata negara dihadapkan

dengan kelompok oposisi bersenjata di dalam

wilayah negara. Selain itu, ketentuan ini berlaku

ketika dua kelompok pembangkang berperang

satu sama lain di dalam wilayah satu negara

yang mungkin, atau juga mungkin tidak,

menjadi pihak dalam konflik bersenjata.

Protokol Tambahan II 1977

Karena kekurangan yang disebutkan

dalam mekanisme hukum internasional,

sebagaimana disebutkan di atas, negara-

negara setuju untuk meningkatkan rezim Pasal

3 Konvensi Jenewa 1949. Protokol Tambahan II

adalah perjanjian internasional pertama dan

10 Elder, “The historical background of common Article 3 of the Geneva Convention of 1949”, Case W Reserve J Int Law, 11:37 1979, 52–53.

Page 6: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

6

satu-satunya yang secara eksklusif mengatur

perilaku para pihak dalam konflik non-

internasional.11 Sayangnya, Protokol Tambahan

II mengadopsi pendekatan yang lebih ketat dan

mengecualikan beberapa situasi, yang dapat

ditafsirkan masuk dalam ruang lingkup

penerapan Pasal 3.12

Menurut Pasal 1, Protokol Tambahan II

1977 hanya berlaku ketika konflik antara

pemerintah yang berkuasa dan kekuatan

internal yang berperang muncul, bukan ketika

negara diguncang oleh konflik di antara

kelompok-kelompok pembangkang yang

berbeda, di mana hanya Pasal 3 Konvensi

Jenewa 1949 yang relevan.13 Pergeseran

konservatif ke kriteria yang lebih menuntut

adalah kompromi untuk memungkinkan

beberapa negara mendapatkan perjanjian yang

berisi aturan yang lebih spesifik terkait dengan

konflik bersenjata non-internasional dan negara

lain untuk menolak penerapannya karena

ambang batas yang tinggi.

11 Green, The contemporary law of armed conflict, (Manchester: University Press and Juris Publishing, 2002), 61. 12 Abi-Saab, op.cit. 216; Vité, “Typology of armed conflicts in international humanitarian law: legal concepts and actual situations”, International Review of the Red Cross, 873:69 2009, 79. 13 Yves Sandoz et al., Commentary on the Additional Protocols to the Geneva Conventions, (Geneva: Martinus Nijhoff/International committee of the Red Cross, 1987), 4461.

Protokol Tambahan II 1977 akan

diterapkan secara otomatis ketika persyaratan

ketat Pasal 1 dipenuhi. Ketentuan ini

menetapkan bahwa pasukan pembangkang

harus memenuhi persyaratan ada di bawah

komando yang bertanggung jawab dan dapat

melakukan pengawasan semacam itu atas

sebagian wilayahnya sehingga memungkinkan

mereka melakukan operasi militer yang

berkelanjutan, terpadu dan dapat

melaksanakan Protokol.

Ambang batas yang sangat tinggi yang

ditetapkan oleh Protokol Tambahan II14 berarti

bahwa pada kenyataannya protokol tersebut

berlaku 'untuk situasi di atau dekat tingkat

perang saudara berskala penuh'15 atau perang,

kasus yang sangat tidak mungkin ketika

seseorang memeriksa persenjataan konflik

kontemporer di mana kontrol teritorial tidak lagi

menjadi salah satu prioritas kelompok oposisi

bersenjata. Selain itu, masalah tetap berada

pada waktu yang tepat ketika situasi

14 Spieker, “Twenty-five years after the adoption of Additional Protocol II: breakthrough or failure of humanitarian legal protection?”, Yearbook of International Humanitarian Law, 4:129, 2001, 142–143. 15 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa 1998, Standar Kemanusiaan Minimum: Laporan Analisis Sekretaris Jenderal yang Diserahkan sesuai dengan Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1997/21, UN Doc E / CN.4/ 1998/87, 12 Januari 1998, paragraf 74.

Page 7: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

7

berkembang menjadi konflik bersenjata dalam

ketentuan Protokol Tambahan II.

Lebih jauh pada pandangan pertama,

Pasal 2 Protokol Tambahan II menurunkan

batasan penerapan perjanjian karena tidak

termasuk 'gangguan dan ketegangan internal,

seperti kerusuhan, tindakan kekerasan yang

terisolasi dan sporadis dan tindakan lain yang

serupa'. Namun, praktik menunjukkan bahwa

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 juga tidak

diterapkan dalam keadaan ini.16

Hubungan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949

dan Protokol Tambahan II 1977

Sebagaimana diilustrasikan di atas,

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol

Tambahan II 1977 menerapkan standar

penerapan yang berbeda. Hubungan antara

dua instrumen konvensional ini, dengan

demikian sangat penting ketika

mempertimbangkan instrumen mana yang

berlaku. Sesuai dengan aturan umum hukum

internasional dan terutama lex posterior

derogat legi priori dan lex specialis derogat legi

16 Vité, op.cit., 76; Tahzib-Lie dan Swaak-Goldman, Determining the threshold for the application of international humanitarian law, 2004, 249. 17 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komisi Hukum Internasional) 2006, Fragmentasi Hukum Internasional: Kesulitan yang Timbul dari Diversifikasi dan Perluasan Hukum Internasional, UN Doc A / CN.4 / L.702, 18 Juli 2006, para. 14.2 (5) [selanjutnya UNGA (ILC) 2006].

generali,17 Protokol Tambahan II harus berisi

aturan universal yang berlaku untuk konflik

bersenjata non-internasional.

Lex Posterior

Menurut Pasal 30 ayat (2) Konvensi

Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian

Internasional (VCLT) jika perjanjian

menetapkan bahwa perjanjian tunduk pada

atau bahwa perjanjian dianggap tidak sesuai

dengan perjanjian sebelumnya atau yang lebih

baru, maka ketentuan dari perjanjian lain yang

berlaku.18 Dalam kasus yang dihadapi, Protokol

Tambahan II tidak dianggap tidak sesuai

dengan Konvensi Jenewa. Pertama, seperti

yang disebutkan namanya, tujuan dari Protokol

Tambahan adalah untuk mengembangkan

cakupan hukum menurut para perancang

konvensi awal belum berkembang.19 Kedua,

Protokol Tambahan II dengan jelas

menunjukkan bahwa ia mengembangkan dan

melengkapi Pasal 3 Common Article. Protokol

Tambahan II dan Pasal 3 Konvensi Jenewa

18 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969, 1155 UNTS 331, 23 Mai 1969. 19 Turns D, “War crimes without war? The applicability of international humanitarian law to atrocities in non-international armed conflicts”, African Journal of International Comparative Law, 7:804, 1995, 817.

Page 8: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

8

harus memiliki cakupan penerapan yang sama

dengan maksud asli ICRC.20 Oleh karena itu,

pada pandangan pertama Protokol Tambahan

II harus 'mengesampingkan' ketentuan yang

terkandung dalam Konvensi Jenewa, karena

Protokol adalah aturan yang baru dibandingkan

dengan Konvensi Jenewa.

Sampai taraf tertentu, jika Protokol

Tambahan II dapat diterapkan maka Pasal 3

Konvensi Jenewa juga berlaku karena

pemahaman yang terakhir lebih rendah

daripada yang diuraikan dalam Pasal 1 AP II.

Oleh karena itu Protokol Tambahan II memiliki

bidang aplikasi yang jauh lebih sempit. Namun

dalam kalimat yang sama, Pasal 1 ayat (1) AP

II juga menggarisbawahi otonomi Pasal 3

terkait dengan Protokol Tambahan II karena

diuraikan maksudnya bukan untuk mengubah

kondisi yang ada atau penerapan Pasal 3

Common Article. Kata-kata Pasal 1 (1) AP II

diterima, karena mendukung keberadaan Pasal

1 (2) AP II yang dimaksudkan untuk

memaksakan penafsiran terbatas dari ruang

20 Majelis Umum PBB (ILC) 2006, para 14.2(5). Abi-Saab 1991, 215. 21 Abi-Saab, Droit humanitaire et conflits internes. Origines et évolution de la réglementation internationale, (Geneve: Institut Henry Dunant/Pedone, 1986), 145–148. 22 Marco Sassoli dan Antoine Bouvier, How does law protect in war? Cases, documents and teaching materials on

lingkup penerapan Pasal 3 Konvensi Jenewa.21

Sebagai akibat dari otonomi ini, hukum

perjanjian mengidentifikasi ada dua jenis

konflik yang berbeda.22

Selain itu, harus diingat bahwa sesuai

dengan Pasal 30 ayat (4) VCLT maka jika

terdapat para pihak dalam perjanjian namun

tidak melibatkan para pihak sebelumnya, maka

ditentukan bahwa:

(a) diantara Negara Pihak pada kedua perjanjian, aturan yang sama berlaku

seperti dalam ayat 3; (b) diantara Negara Pihak pada kedua

perjanjian dan Negara Pihak hanya pada salah satu perjanjian, perjanjian di mana

kedua Negara menjadi pihak mengatur

hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.

Dalam kasus di mana negara-negara

menjadi pihak pada kedua perjanjian dan

kecuali ditentukan lain dalam perjanjian,

instrumen sebelumnya hanya berlaku sejauh

ketentuannya sesuai dengan perjanjian

selanjutnya (sesuai dengan pepatah latin lex

posterior derogat legi priori).23 Sejak Protokol

Tambahan II, seperti yang dijelaskan

sebelumnya, mengatur ruang lingkup

contemporary practice in international humanitarian law, (Geneva: International Committee of the Red Cross, 1999), 90. 23 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, 1155 UNTS 331, 23 Mai 1969, Pasal 30 ayat (3).

Page 9: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

9

penerapan kedua instrumen, kedua perjanjian

dapat diterapkan secara bersamaan dan, oleh

karena itu, terdapat dua ambang penerapan

norma yang berkaitan dengan konflik

bersenjata non-internasional. Dalam contoh di

mana suatu negara hanya meratifikasi Konvensi

Jenewa, Protokol Tambahan II tidak berlaku

dan hanya satu jenis konflik bersenjata non-

internasional yang dimungkinkan. Hal ini

terlepas apakah Protokol Tambahan II 1977

telah menjadi hukum kebiasaan atau belum.

Lex Specialis

Dalam kasus di mana dua perjanjian

mencakup subjek yang sama, aturan lex

specialis dapat digunakan untuk tujuan

interpretasi, karena hukum yang lebih khusus

bersifat lebih konkrit, memperhitungkan fitur-

fitur khusus yang akan diterapkan pada hukum

yang bersifat umum.24 Tidak diragukan lagi

aturan yang dijabarkan dalam Pasal 3 Konvensi

Jenewa 1949 berlaku secara universal dan

bersifat umum. Pertama, sesuai travaux

préparatoires, Pasal 3 Konvensi Jenewa

menegaskan kembali norma-norma dasar yang

24 McCarthy, “Legal conclusion or interpretative process? Lex specialis and the applicability of international human rights standards”, in Arnold R, Quénivet N (eds) International humanitarian law and human rights law:

tertanam dalam legislasi domestik yang pada

dasarnya berkaitan dengan perlindungan hak

asasi manusia dan integritas fisik orang-orang

yang tidak mengambil bagian dalam

permusuhan, atau yang telah meletakkan

senjata, atau siapa yang termasuk dalam hors

de combat. Komentar menegaskan bahwa

Pasal 3 Konvensi Jenewa mencakup aturan

yang sudah dianggap penting di semua negara

beradab dan tercermin dalam undang-undang

nasional negara yang bersangkutan bahkan

jauh sebelum konvensi ditandatangani.25

Kedua, seluruh aspek filosofi Pasal 3

baik secara eksplisit maupun tidak, terdapat di

dalam AP II sehingga memberikan kesan

bahwa Protokol Tambahan II adalah lex

spesialis Pasal 3. Memang, Mahkamah

Internasional dengan tegas menjelaskan dalam

kasus Nikaragua bahwa norma-norma yang

dirangkum dalam Common Article 3 paling tidak

telah mewakili nilai-nilai universal serta

mencerminkan pertimbangan dasar

kemanusiaan. Protokol Tambahan II

menawarkan perlindungan yang lebih besar

towards a new merger in international law, (The Hague: Martinus Nijhoff, 2008), 101, 109–126. 25 Jean Pictet, op.cit., 36.

Page 10: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

10

bagi warga sipil dan objek sipil26 serta orang-

orang yang ditahan.27

Sekilas Protokol Tambahan II adalah

lex specialis dari Common Article 3. Namun,

harus digarisbawahi bahwa praduga lex

specialis tidak berlaku ketika suatu penerapan

dari hukum yang bersifat khusus dapat

menggagalkan tujuan hukum28 atau di mana

para pihak ternyata bermaksud sebaliknya.29

Sebagaimana disebutkan di atas, para

penyusun Protokol Tambahan II secara jelas

menganugerahi norma umum, yaitu Pasal 3

Konvensi Jenewa, dengan penerapan otonom

dan, oleh karena itu lex specialis tidak dapat

diterapkan dalam konteks ini.

Dengan demikian, hukum perjanjian

seperti yang digambarkan dalam Konvensi

Jenewa dan Protokol Tambahan II memberikan

jenis perlindungan yang berbeda terhadap

individu dari efek yang mengerikan akibat

konflik bersenjata.

Uji Penerapan dalam Hukum Kebiasaan

26 Lihat umumnya Bagian IV dari Protokol Tambahan II. 27 Pasal 5 dan 6 Protokol Tambahan II. 28 Majelis Umum PBB (ILC) 2006, paragraf 14.2(10). 29 Majelis Umum PBB (ILC) 2006, paragraf 14.5(27). 30 Mahkamah Internasional, Kegiatan Militer dan Paramiliter di dan melawan Nikaragua (Nicaragua v. USA), Putusan, [1986] ICJ Rep 14, 27 Juni 1986, paragraf 179 [selanjutnya ICJ Nicaragua 1986].

Sesuai dengan yurisprudensi kasus

Nikaragua, hukum kebiasaan internasional

tetap berlaku di samping norma-norma yang

diatur dalam hukum perjanjian.30 Ini berarti

bahwa sepanjang terdapat ketentuan

perjanjian tentang kualifikasi konflik

bersenjata, ketentuan-ketentuan hukum

kebiasan harus lebih digarisbawahi karena telah

mempercepat perkembangan hukum konflik

bersenjata terutama terkait dengan kejahatan

yang dilakukan dalam konflik internal.31 Namun

demikian, perlu diingat bahwa sangat kecil

kemungkinannya bahwa terdapat hukum

kebiasaan internasional yang berlaku untuk

konflik bersenjata internal yang tidak

menemukan akarnya dalam suatu perjanjian

internasional.32

Membangun Hukum Humaniter Internasional

Kebiasaan

Sesuai Pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional, norma kebiasaan dibentuk dari

dua unsur yaitu state practice33 dan opinio

31 Greppi, “The evolution of individual criminal responsibility under international law”, International Review of the Red Cross, 835:531, 1999, 531–553; Schindler, “International humanitarian law: its remarkable development and its persistent violation”, Journal History of International Law, 5:165, 2003, 178. 32 UN Doc S / 1994/674, 27 Mei 1994, paragraf 52. 33 Keputusan pengadilan internasional merupakan sumber tambahan dari hukum internasional namun keputusan

Page 11: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

11

juris.34 Elemen terakhir dari norma kebiasaan

ini bersifat lebih dominan proses pembentukan

hukum humaniter dan hukum hak asasi

manusia.35

Praktik negara harus bersifat konstan

dan seragam36 serta terjadi dalam beberapa

durasi.37 Untuk menetapkan praktik yang nyata

seseorang tidak hanya berpegang pada

tindakan tetapi juga pada antara lain

perjanjian, korespondensi diplomatik, dan

deklarasi sepihak.38 Praktik, meskipun jarang,

mengungkapkan bahwa negara, setelah

meratifikasi Protokol tambahan II,

mempertimbangkan bahwa dua perangkat

norma dapat diterapkan pada saat konflik

bersenjata non-internasional, bergantung pada

apakah ambang Protokol Tambahan II tercapai.

Negara-negara dalam beberapa

kesempatan membedakan konflik antara

Protokol Tambahan II dan Pasal 3 Konvensi

Jenewa. Misalnya, selama konflik di Chechnya,

Mahkamah Konstitusi Rusia dengan jelas

tersebut bukan merupakan praktik negara, Henckaerts, op.cit.,5. 34 Statuta Mahkamah Internasional, 26 Juni 1945, Pasal 38. 35 Meron, op.cit., 9. 36 Kasus Suaka (Columbia v. Peru), [1950] ICJ Rep 266, 27 November 1950, 277. 37 Kasus Landas Kontinen Laut Utara (Republik Federal Jerman / Denmark dan Republik Federal Jerman / Belanda), [1969] ICJ Rep 3, 20 Februari 1969, paragraf 73–74.

menegaskan bahwa aturan yang berkaitan

dengan Protokol Tambahan II dapat

diterapkan. Hal itu bisa diartikan mengakui

penerapan Pasal 3 Konvensi Jenewa, karena

ketentuannya mencerminkan prinsip-prinsip

dasar yang berlaku di semua jenis konflik

bersenjata dan, terlebih lagi Federasi Rusia

belum memasukkan aturan Protokol Tambahan

II ke dalam sistem hukum domestik. Direktorat

Hukum Internasional Publik Swiss

mengkualifikasikan bahwa konflik di El Salvador

pada tahun 1986 sebagai konflik yang termasuk

dalam lingkup Protokol Tambahan II setelah

pemeriksaan yang cermat terhadap situasi

faktual dan implikasi hukumnya.39

Lebih lanjut, Dewan Keamanan

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengacu pada

kedua perangkat norma tersebut, misalnya,

ketika membentuk Pengadilan Kriminal

Internasional untuk Rwanda (ICTY).40 Namun,

belakangan ini, semakin banyak resolusi yang

tidak membedakan antara dua macam konflik

38 Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (Belgium v. Spain), Fase kedua, [1970] ICJ Rep 3, 5 Februari 1970. 39 Catatan Direktorat Hukum Internasional Publik Departemen Luar Negeri Federal, 20 Januari 1986, dikutip dalam Annuaire Suisse de Droit International 1987, hal. 185–187. 40 Dewan Keamanan PBB 1994, Resolusi 955 (1994), UN Doc S/RES/955 (1994), 8 November 1994.

Page 12: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

12

ini, apalagi antara konflik bersenjata

internasional dan non-internasional.41

Adapun ketentuan hukum yang

diuraikan dalam manual militer, beberapa

manual militer seperti yang digunakan untuk

pasukan Kanada42 atau Pasukan Inggris43

membedakan konflik bersenjata non-

internasional antara Pasal 3 Konvensi Jenewa

dan Protokol Tambahan II.

Di sisi faktual, negara juga

membedakan dua rangkaian konflik bersenjata

non-internasional. Misalnya, penerapan Pasal 3

Konvensi Jenewa bergantung pada fakta dan

bukan pada kemauan negara untuk mengakui

fakta.44 Namun, dalam praktiknya, banyak

negara tidak mau mengakui berlakunya Pasal 3

Konvensi Jenewa, karena kekhawatiran bahwa

mereka dengan demikian akan mengakui

kendali mereka yang berkurang atas wilayah

mereka45 dan terutama karena ketakutan

41 Dewan Keamanan PBB 2013, Resolusi 2106 (2013), UN Doc S/RES/2106 (2013), 24 Juni 2013, preambul paragraf 13; Dewan Keamanan PBB 2012, Resolusi 2068 (2012), UN Doc S/RES/2068 (2012), 19 September 2012, preambul paragraf 3. 42 Pertahanan Nasional Kanada, Manual doktrin gabungan: hukum konflik bersenjata pada tingkat operasional dan taktis, (Kantor Hakim Advokat Jenderal, B-GJ-005-104 / FP-021, 13 Agustus 2001), Bab. 17. 43United Kingdom Ministry of Defence, The manual of the law of armed conflict, 2005, paragraf 3.5 dan 3.9. 44 ICTR Akayesu 1998, Jaksa v. Akayesu, No. Kasus ICTR-96-4-T, 2 September 1998, paragraf 603; Vote on Protocol II 1978, Brazil, VII, Catatan resmi konferensi diplomatik tentang penegasan kembali dan pengembangan hukum

bahwa mereka dengan demikian akan

memberikan status sebagai pejuang non-

negara. Walaupun demikian, suatu negara

dapat saja tidak bersedia mengakui penerapan

Pasal 3 Konvensi Jenewa, namun sering kali

pada kenyataannya ketentuan tersebut

diterapkan.46 Sebaliknya, mereka tidak

menerapkan aturan de facto Protokol

Tambahan II. Praktik karenanya menunjukkan

bahwa negara membedakan konflik antara

Protokol Tambahan II dan Pasal 3 Konvensi

Jenewa.

Untuk menunjukkan opinio juris harus

ditunjukkan bahwa negara pada umumnya

mengakui bahwa ada kewajiban hukum dan

bukan hanya moral dan politik dalam sikap

mereka. Mereka juga harus percaya bahwa

praktik ini wajib dan diselesaikan.47 Mahkamah

Konstitusi Rusia48 juga menunjukkan bahwa

negara-negara tertentu yakin mereka harus

humaniter internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata, Jenewa, 1974–1977, Departemen Politik Federal, Bern, 1978, Annex, 76. 45 Tskhovrebov, “An unfolding case of genocide: Chechnya, world order and the ‘right to be left alone”, Nordic Journal of International Law, 64:501, 1995. 46 United Kingdom Ministry of Defence, op.cit., paragraf 3.6.1. 47 Kasus Landas Kontinen Laut Utara (Republik Federal Jerman / Denmark dan Republik Federal Jerman / Belanda), [1969] ICJ Rep 3, 20 Februari 1969. 48 Henckaerts, “Study on customary international humanitarian law: a contribution to the understanding and respect for the rule of law in armed conflict”, International Review of the Red Cross, 857:175, 2005, 8.

Page 13: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

13

memutuskan penerapan Pasal 3 Konvensi

Jenewa atau Additional Protocol II dan tidak

bisa begitu saja menentukan suatu konflik

sebagai konflik bersenjata non-internasional;

mereka harus menentukan karakterisasi yang

tepat dari konflik bersenjata. Sikap pemerintah

Kolombia untuk menerapkan Protokol

Tambahan II dalam konfliknya dengan FARC

juga menggambarkan hal tersebut.49 Dengan

kata lain, dalam konflik di mana Protokol

Tambahan II secara nyata dapat diterapkan,

negara-negara mengakui penerapannya dan

tidak menghindari mencirikan konflik demikian

dan menerapkan standar yang lebih tinggi yang

ditentukan dalam Protokol Tambahan II.

Meskipun demikian, aturan itu

ditujukan dalam rangka mencapai perdamaian

dan keamanan internasional atau untuk

perlindungan pribadi manusia, asalkan tidak

ada opinio juris penting yang bertentangan.50

Meskipun penafsiran hukum kebiasaan

internasional ini mungkin menarik bagi para ahli

hukum yang berpikir dalam kerangka

bagaimana hukum seharusnya dan mereka

49 Wilmhurst E (ed), International law and the classification of conflicts, (Oxford: Oxford University Press, 2012), 240. 50 Henckaerts and Doswald-Beck (eds), Customary international humanitarian law, vol 1, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), xlii.

yang percaya bahwa urgensi kontemporer umat

manusia memerlukan penggunaan hukum yang

disengaja sebagai instrumen kebijakan,51 itu

tidak memenuhi kriteria hukum internasional

klasik, bahkan yang berkaitan dengan hak asasi

manusia dan norma-norma kemanusiaan.

Sebaliknya, dalam situasi di mana praktik

bersifat ambigu maka opinio juris berperan

penting dalam menentukan apakah praktik

tersebut diperhitungkan dalam pembentukan

suatu kebiasaan.52 Akibatnya, ada dua

perangkat aturan yang mengatur konflik

bersenjata non-internasional, baik berdasarkan

atau terkait dengan aturan perjanjian.

Walaupun terdapat ambang batas

minimum, namun perlu diperhatikan bahwa

praktik negara sejak 1949 menunjukkan bahwa

kekerasan yang disesbut dengan akivitas

premanisme, tindakan kriminal dan kerusuhan,

atau atau tindakan-tindakan sejenis lainnya

yang bersifat sporadis serta tindakan terorisme

tidaklah sama dengan konflik bersenjata.53

Meskipun Pasal 3 Konvensi Jenewa tidak secara

khusus mengacu pada ambang batas minimum

51 Lasswell and McDougal, Jurisprudence for a free society, (New Haven: New Haven Press, 1992), xxii. 52 Henckaerts, op.cit., 8. 53 United Kingdom Ministry of Defence, op.cit., paragraf 3.5.1.

Page 14: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

14

penerapan dan meskipun common Article 3

bersifat otonom dalam kaitannya dengan

Protokol Tambahan II, ambang batas minimum

yang diuraikan dalam Protokol Tambahan II

juga berlaku untuk common Articles 3. Dalam

beberapa kasus, negara telah mengakui bahwa

expressis verbis dapat diterapkannya common

Articles 3 tetapi tampaknya hanya terjadi ketika

konflik berlarut-larut lebih dari beberapa

minggu dan bulan.54

Jurisprudensi Pengadilan Kriminal Internasional

Meskipun yurisprudensi pengadilan

pidana internasional hanya dihitung sebagai

sumber tambahan dari hukum internasional, hal

ini penting karena mungkin menunjuk pada

bukti persuasif yang ada tentang hukum

kebiasaan. Disamping itu sifat preseden suatu

keputusan pengadilan internasional juga dapat

berkontribusi terhadap munculnya aturan

kebiasaan internasional dengan mempengaruhi

praktik negara dan organisasi internasional.55

Oleh karena itu, dengan memeriksa tidak hanya

yurisprudensi pengadilan ad hoc tetapi juga

54 Bond JE, The rules of riot: internal conflict and the law of war, (Princeton: Princeton University Press, 1974), 60; Forsythe, “Legal management of internal war: the 1977 protocol on non-international armed conflicts”, American Journal of International Law, 1978, 277.

pengadilan pidana internasional permanen,

harus diteliti apakah putusan-putusan tersebut

hanya menyatakan kembali hukum,

menambahkan bukti kebiasaan dari suatu

aturan tertentu atau melampaui aturan itu

sehingga mendorong terciptanya norma baru.

Pengadilan Kriminal Internasional untuk

bekas Yugoslavia (ICTY)

Terlepas dari kenyataan bahwa Statuta

Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas

Yugoslavia (ICTY) tidak secara tegas merujuk

pada konflik bersenjata non-internasional,

Pasal 3 Statuta ICTY menetapkan yurisdiksi

atas kejahatan yang dilakukan dalam konflik

semacam itu.56 Dalam hal ini, tampaknya ICTY

hanya mengetahui satu ambang konflik

bersenjata non-internasional. Memang,

sementara keputusan Kasus Tadic yang

terkenal mengacu pada kejahatan common

Articles 3, ICTY dalam banyak kesempatan

telah menerapkan kejahatan yang berasal dari

Protokol Tambahan II57 namun gagal

membahas ambang penerapan Protokol

Tambahan II. Secara teknis, sesuai dengan

55 Henckaerts, op.cit., 5. 56 Kasus Tadic, 1995, paragraf 93. 57 Jaksa Penuntut v. Nikolic, Kasus No IT-95-2-R61.

Page 15: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

15

hukum perjanjian, mahkamah ICTY seharusnya

memverifikasi bahwa konflik tersebut berada

dalam kewenangan Protokol Tambahan II.

Kasus Tadic menciptakan batu uji yang

sangat penting dalam menentukan keberadaan

konflik bersenjata, terlepas dari jenis

internasional atau non-internasionalnya.

Berdasarkan putusan Tadic disebutkan bahwa

konflik bersenjata terjadi antara angkatan

bersenjata antar negara atau kekerasan

bersenjata yang berlarut-larut antara otoritas

pemerintah dan kelompok bersenjata yang

terorganisir atau antara kelompok-kelompok

semacam itu dalam suatu negara.58 Tes objektif

dalam kasus ini adalah terdapatnya dua

persyaratan, yakni derajat intensitas konflik dan

organisasi dari para pihak.59 Namun ICTY dalam

Kasus Boskoski mencatat bahwa elemen

temporal dari sifat konflik yang 'berlarut-larut'

pada kenyataannya kurang mendapat banyak

perhatian dalam yurisprudensi Pengadilan.60

58ICTY, Kasus Tadic, paragraf 70. 59 ICTY Limaj, Prosecutor v. Limaj et al. Kasus No IT-03-66-T, 30 November 2005, paragraf 84; Prosecutor v. Haradinaj et al., Kasus No IT-04-84-T, 3 April 2008, paragraf 39–60. 60 ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008, Prosecutor v. Boskoski dan Tarculovski, Kasus No IT04-82-T, 10 Juli 2008, paragraf 186. 61 Komite Internasional Palang Merah, Kertas Kerja, 29 Juni 1999.

Seperti yang dicatat oleh Sidang

Pengadilan ICTY pada Kasus Limaj, komentar

Komite Internasional Palang Merah tentang

Elemen Kejahatan ICC, dinyatakan bahwa: 61

“Penentuan apakah ada tidaknya konflik bersenjata non-internasional bergantung

pada penilaian subjektif dari para pihak yang bertikai; itu harus ditentukan

berdasarkan kriteria obyektif; istilah 'konflik

bersenjata' membutuhkan adanya permusuhan antara angkatan bersenjata

yang terorganisir pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil; harus ada angkatan

bersenjata yang bermusuhan dan dalam

intensitas pertempuran tertentu”.

Putusan mahkamah internasional telah

berhasil menentukan serangkaian faktor

indikatif untuk memastikan intensitas konflik

dan organisasi para pihak.62 Meskipun

demikian, Mahkamah ICTY selalu menekankan

bahwa tidak ada dari faktor-faktor ini yang lebih

penting dalam memutuskan adanya konflik

bersenjata. Menurut Akande, hal tersebut

bukanlah faktor minimum yang harus ada

melainkan lebih menekankan pada indikator

organisasi.63

62 Berkenaan dengan intensitas konflik, lihat ICTY Haradinaj 2008, paragraf 49 dan ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008, paragraf 177; dan organisasi para pihak, lihat ICTY Haradinaj 2008, paragraf 60 dan ICTY Boskoski dan Tarculovski, 2008, paragraf 199–203. 63 Akande, “Classification of armed conflicts: relevant legal concepts” in Wilmhurst E (ed), International law and the classification of conflicts, (Oxford: Oxford University Press, 2012), 52.

Page 16: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

16

Menariknya, Mahkamah ICTY

menyoroti bahwa berdasarkan Kasus Tadic

yang mengatur penerapan Pasal 3 Statuta,64

maka hanya perlu membuktikan bahwa ada

konflik bersenjata berbeda dari tindak

kekerasan pada umumnya di luar HHI.65

Sementara dalam Kasus Limaj:

“Dua syarat penentu dari konflik

bersenjata, yakni intensitas konflik dan

tingkat organisasi para pihak, digunakan

semata-mata hanya untuk tujuan atau

setidaknya agar dapat membedakan konflik

bersenjata dari tindakan premanisme;

pemberontakan yang tidak terorganisir dan

berlangsung singkat; atau kegiatan teroris,

yang tidak tunduk pada HHI".66

Dalam Kasus Haradinaj, Pengadilan

menyatakan kembali bahwa persyaratan

tersebut berfungsi untuk membedakan konflik

bersenjata non-internasional dari tindakan

premanisne, kerusuhan, tindakan terorisme

yang terisolasi, atau situasi kekerasan lainnya

yang sejenis.67

Dalam kasus Limaj, pembela

menentang pendekatan Pengadilan, dengan

64 Boelaert-Suominen, “Grave breaches, universal jurisdiction and internal armed conflict: is customary law moving towards a uniform enforcement mechanism for all armed conflicts?”, Journal of Conflict Security Law, 5:63, 2000, 75. 65 Bartels, “Timelines, borderlines and conflicts. The historical evolution of the legal divide between international and non-international armed conflicts”, International Review of the Red Cross, 873:35, 2009, 38. 66 ICTY Limaj, paragraf 89; ICTY Delalic et al. 1998, Prosecutor v. Delalic et al., Kasus No IT-96-21-T, 16 November 1998, paragraf 184; ICTY Kordic dan Cerkez 2004, Jaksa v. Kordic dan Cerkez, Kasus No IT-95-14 / 2-

alasan bahwa Sidang Pengadilan harus

menerapkan pengujian yang lebih ketat dari

Pasal 1 Protokol Tambahan II.68 Sayangnya,

argumen Sidang Pengadilan tidak meyakinkan

karena hanya menegaskan kembali posisi yang

perlu dibuktikan bahwa ambang batas

minimum telah dicapai dan bahwa sifat konflik

bersenjata tidak relevan dengan penerapan

Pasal 3 Statuta.69 Mahkamah juga menegaskan

berdasarkan kasus-hukum sebelumnya70

bahwa pelanggaran common Articles 3

termasuk dalam ruang lingkup Pasal 3

Statuta.71 Namun demikian, perlu dicatat

bahwa Kasus Limaj hanya menangani

kejahatan common Articles 3 dan bukan

kejahatan Protokol Tambahan II sehingga tidak

ada alasan kuat untuk menjamin pemeriksaan

ambang penerapan Protokol Tambahan II.

Faktanya dalam banyak kasus di mana ICTY

membahas uji penerapan, ia dihadapkan

dengan dakwaan yang berasal langsung dari

A, Sidang Banding, 17 Desember 2004, paragraf 341; ICTY Milosevic 2004, paragraf 26. 67 ICTY Haradinaj, paragraf 38. 68 ICTY Limaj, paragraf 88. 69 ICTY Limaj, paragraf 92. 70 ICTY Delalic et al. 2001, Jaksa v. Delalic et al., Kasus IT-96-21-A, Putusan Banding, 20 Februari 2001, paragraf 136 dan ICTY Kunarac et al. 2002, Jaksa v. Kunarac, Kovac dan Vukovic, Kasus IT-96-23 & IT-96-23 / 1-A, Putusan Banding, 12 Juni 2002, paragraf 68. 71 ICTY Limaj, paragraf 176; ICTY Kunarac et.al. 2002, paragraf 68.

Page 17: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

17

common Articles 3 dan bukan dari Protokol

Tambahan II misalnya hukuman kolektif,

tindakan terorisme, penjarahan atau ancaman

untuk melakukan tindakan selanjutnya.

Sayangnya ICTY tidak membahas hal

tersebut dalam kasus-kasus di mana secara

langsung diterapkan kejahatan Protokol

Tambahan II. Misalnya, dalam kasus di mana

Pengadilan harus menangani dakwaan yang

berasal dari Pasal 4 AP II, pengadilan

menemukan siasat hukum untuk menghindari

pembahasan tentang penerapan Protokol

Tambahan II dan menyatakan bahwa satu-

satunya dakwaan yang tidak termasuk dalam

common Articles 3 Konvensi Jenewa berkenaan

dengan larangan perampasan hak milik pribadi

tetapi hal itu secara khusus disebutkan dalam

Pasal 3 (e) Statuta.72 Dalam Kasus

Hadzihasanovic, Pengadilan berpendapat

bahwa Pasal 3 Statuta ICTY cukup luas untuk

memberikan yurisdiksi atas kejahatan lain.73

Sebagai hasilnya, hal itu menunjukkan bahwa

perusakan sewenang-wenang serta penjarahan

dapat dituntut berdasarkan Pasal 3 ayat (b) dan

72 ICTY Nikolic 1995, paragraf 31. 73 ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005, Prosecutor v. Hadzihasanovic dan Kubura, Kasus No IT-01-47-AR3.3, Putusan Banding Sela Pembelaan Bersama Putusan Sidang Pengadilan tentang Aturan 98bis Mosi untuk Acquittal,

3 ayat (e), dari Statuta ICTY meskipun

ketentuan itu tidak disebutkan dalam common

Articles 3 meskipun dilarang menurut Protokol

Tambahan II dan hukum kebiasaan

internasional.74

Dalam kasus Milosevic, Pengadilan

Chamber dengan berani menyatakan bahwa

'tes Tadic konsisten dengan Protokol Tambahan

II untuk Empat Konvensi Jenewa', namun hal

itu mengisyaratkan bahwa ambang penerapan

Protokol Tambahan II lebih tinggi karena

menolak pengawasan wilayah tersebut

(sebagai) persyaratan untuk adanya konflik

bersenjata.75 Kemudian, dalam Kasus Boskoski,

ICTY membedakan antara ambang penerapan

Protokol Tambahan II dan common Articles 3,

dengan menekankan bahwa ini berkaitan

dengan tingkat organisasi kelompok

bersenjata:

“Protokol Tambahan II membutuhkan

standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan common Articles 3 dalam hal

keberadaan suatu konflik bersenjata. Oleh

karena itu, tingkat organisasi yang diperlukan untuk terlibat dalam ''kekerasan

yang berkepanjangan'' lebih rendah daripada tingkat organisasi yang diperlukan

untuk melakukan ''operasi militer yang

berkelanjutan dan terpadu “.76

Sidang Banding, 11 Maret 2005, para 14 (selanjutnya ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005). 74 ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005, paragraf 29 and 37. 75 ICTY Milosevic 2004, paragraf 36. 76 ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008, paragraf 197.

Page 18: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

18

Dengan demikian ICTY tidak diragukan lagi

menyadari bahwa ambang batas penerapan

Protokol Tambahan II lebih tinggi dibandingkan

dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa.

Kesimpulannya, ICTY tampaknya mendukung

satu definisi dalam hal uji penerapan konflik

bersenjata non-internasional, yang ditentukan

oleh Statuta. Meski begitu, tes yang ditetapkan

dalam Kasus Tadic tampaknya lebih rendah

daripada yang diuraikan dalam Komentar ICRC.

Akibatnya, Boelaert-Suominen

menjelaskan bahwa ambang batas yang

disarankan dalam Komentar ICRC telah gagal

mengkristal menjadi hukum kebiasaan

internasional. Secara khusus, tidak ada

persyaratan dalam penilaian Mahkamah ICTY

bahwa entitas non-negara harus melakukan

kontrol atas sebagian wilayah, atau angkatan

bersenjata tersebut memiliki komando yang

bertanggung jawab77 atau bersedia untuk

menghormati hukum dan kebiasaan perang.78

Tidak diragukan lagi yurisprudensi ICTY telah

menurunkan ambang batas penerapan

common Article 3.

77 Boelaert-Suominen, “The Yugoslav tribunal and the common core of humanitarian law applicable to all armed conflicts”, Leiden Journal of International Law, 13:619, 633–634. 78 Tahzib-Lie and Swaak-Goldman, Op.Cit., 250–251.

Pengadilan Kriminal Internasional untuk

Rwanda (ICTR).

Inovasi terbesar dalam hal hukum

pidana internasional yang berkaitan dengan

konflik bersenjata non-internasional adalah

dimasukkannya dalam Pasal 4 Statuta

Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda

(ICTR) tentang kejahatan yang berasal dari

common Article 3 Konvensi Jenewa dan Pasal 4

Protokol Tambahan II. Khususnya tiga

rangkaian kejahatan yang berasal dari Protokol

Tambahan II dan tidak ditemukan dalam

common Article 3.79 Karena kejahatan yang

ditentukan tidak semua kejahatan yang berasal

dari common Article 3, maka penerapan dan

ambang batas dari dua perjanjian khusus, jadi

tampaknya, menjadi yang paling penting.

Sejauh menyangkut masalah ambang

batas, ICTR telah menerapkan 'uji evaluasi'

untuk menentukan apakah ada konflik

bersenjata non-internasional, yang

bertentangan dengan konflik bersenjata

internasional,80 dan apakah ada konflik

bersenjata yang bertentangan dengan

79 Ini adalah kasus hukuman kolektif, tindakan terorisme, penjarahan dan ancaman untuk melakukan tindakan yang akan dilakukan. Pasal 4 (b) (d) (h) dan (g) AP II. 80 ICTR Musema 2000, Prosecutor v. Musema, Kasus No ICTR-96-13-T, Putusan, 27 Januari 2000, paragraf 247.

Page 19: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

19

gangguan internal (internal disturbances).81

Berdasarkan pengujian ini, Pengadilan harus

menilai intensitas dan organisasi pihak-pihak

yang berkonflik.82 Sama halnya dengan ICTY,

ICTR menggunakan pengujian ini untuk

mengesampingkan kekerasan yang hanya

merupakan tindakan premanisme, gangguan

dan ketegangan internal, atau pemberontakan

yang tidak terorganisir dari penerapan

Statuta.83

Berkenaan dengan hubungan antara

Protokol Tambahan II dan common Article 3

Konvensi Jenewa, Pengadilan mengadopsi

pandangan bahwa Protokol Tambahan II

mengembangkan dan melengkapi ketentuan

yang diatur dalam common Article 3 Konvensi

Jenewa.84 Sidang Pengadilan dalam Kasus

Akayesu mencatat perbedaan ambang batas

antara Protokol Tambahan II dan common

Article 3 dan mempertimbangkan secara

terpisah konvensi mana yang diterapkan.85

81 ICTR Akayesu 1998, paragraf 601; ICTR Musema 2000, paragraf 248. 82 ICTR Akayesu 1998, paragraf 620; ICTR Musema 2000, paragraf 250; ICTR Rutaganda 1999, Prosecutor v. Rutaganda, Kasus No ICTR-96-3-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 6 Desember 1999, paragraf 93 (selanjutnya ICTR Rutaganda 1999); ICTR Baglishema 2001, Prosecutor v. Baglishema, Kasus No ICTR-95-1A-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 7 Juni 2001, paragraph 101 [selanjutnya ICTR Baglishema 2001]. 83 ICTR Akayesu 1998, paragraf 620.

Pengadilan dengan jelas menetapkan bahwa

jika suatu pelanggaran didakwa berdasarkan

common Article 3 dan Protokol Tambahan II,

maka tidak akan cukup hanya dengan

menerapkan Pasal 3 dan mengambil untuk

diberikan pada Pasal 4 Statuta, oleh karena itu

Protokol Tambahan II, secara otomatis

berlaku.86 Dinyatakan bahwa kedua standar

tersebut diterapkan pada konflik yang

bersangkutan.

Pendekatan berbeda dalam kasus

Akayesu yang diadopsi dalam Kasus Kayishema

dan Ruzindana, karena dengan menyatakan

bahwa “konflik bersenjata yang terjadi di

wilayah Pihak Peserta Agung antara angkatan

bersenjatanya dan angkatan bersenjata

pembangkang atau kelompok bersenjata

terorganisir lainnya sesuai dengan Protokol II,

harus dianggap sebagai konflik bersenjata non-

internasional”.87 Mahkamah ICTR tampaknya

mencantumkan sebagian besar elemen dari

84 ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, Prosecutor v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No ICTR-95-1-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 21 Mei 1999, paragraf 170 (selanjutnya ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999]; ICTR Musema 2000, paragraf 252. 85 ICTR Akayesu 1998, paragraf 607. Seperti yang dicatat Cullen, 'Sidang Pengadilan ICTR merasa perlu untuk menetapkan penerapan Common Article 3 dan Protokol Tambahan II secara individual'. Cullen 2010, hal. 133. 86 ICTR Akayesu 1998, paragraf 607 dan 618. LIhata juga ICTR Musema 2000, paragraf 252. 87 ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, paragraf 170.

Page 20: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

20

definisi dalam Kasus Tadic tentang konflik

bersenjata yang mengacu pada Protokol

Tambahan II. Hal ini sebenarnya berarti bahwa

Makamah menganggap common Article 3 dan

Protokol Tambahan II harus dipenuhi secara

bersama-sama. Memang, dalam Kasus

Rutaganda, Jaksa Penuntut harus membuktikan

bahwa telah terjadi konflik bersenjata internal

di wilayah Rwanda yang setidak-tidaknya

memenuhi persyaratan materiil Protokol

Tambahan II, karena persyaratan ini termasuk

dalam common Article 3.88 Temuan ini

dikonfirmasi dalam Kasus Baglishema yang

menyatakan bahwa jika ambang penerapan

yang lebih tinggi dari Protokol Tambahan II

dipenuhi, maka persyaratan material untuk

penerapan ipso facto memenuhi persyaratan

common Article 3.89 Hal ini tidak diragukan lagi

mendukung penerapan kedua standar tersebut

secara simultan ketika persyaratan yang lebih

ketat yang ditetapkan dalam Protokol

Tambahan II terpenuhi. Namun, ini tampaknya

tidak mencakup situasi yang kurang dari

ambang batas Protokol Tambahan II tetapi

mungkin dicakup oleh common Article 3.

88 ICTR Rutaganda 1999, paragraf 435. 89 ICTR Baglishema 2001, paragraf 100. Lihat juga ICTR Rutaganda 1999, paragraf 94.

Tampak sepintas lalu bahwa

Mahkamah ICTR hanya menerapkan satu

standar yang dapat diterapkan, yaitu standar

Protokol Tambahan II, tetapi ini disebabkan

oleh fakta bahwa konflik di Rwanda adalah

konflik Protokol Tambahan II dan oleh karena

itu tidak perlu menilai situasi yang semata-mata

berada dalam kewenangan penerapan common

Article 3. Selanjutnya, Pasal 4 ICTR secara

khusus mengacu pada pelanggaran common

Article 3 pada Konvensi Jenewa dan Protokol

Tambahan II yang membuat Pengadilan

meyakini bahwa kedua ambang batas harus

dipenuhi.90 Dalam hal ini, ICTR telah

mengidentifikasi empat persyaratan yang harus

dipenuhi: (i) konflik bersenjata antara angkatan

bersenjata Pihak Peserta Agung dan angkatan

bersenjata pembangkang atau kelompok

bersenjata terorganisir lainnya; (ii) pasukan

pembangkang berada di bawah komando yang

bertanggung jawab; (iii) pasukan

pembangkang dapat melakukan kontrol atas

sebagian wilayah untuk melakukan operasi

militer yang berkelanjutan dan terpadu dan (iv)

90 ICTR Musema 2000, paragraf 245.

Page 21: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

21

pasukan pembangkang mampu melaksanakan

Protokol Tambahan II.91

Persyaratan pertama dipenuhi dengan

kehadiran angkatan bersenjata negara yang

dipahami dalam arti luas, sehingga mencakup

semua angkatan bersenjata seperti yang

dijelaskan dalam legislasi nasional92 dan

kehadiran kelompok oposisi bersenjata. Adapun

persyaratan kedua, yaitu perintah yang

bertanggung jawab, terkait erat dengan (i)

seberapa terorganisir kelompok bersenjata itu,

(ii) kemampuan untuk melaksanakan operasi

militer yang berkelanjutan dan terpadu dan (iii)

kemampuan untuk memastikan pelaksanaan

hukum humaniter internasional.

Memang, Mahkamah ICTR

menjelaskan dalam Kasus Musema bahwa

angkatan bersenjata pembangkang atau

kelompok bersenjata lainnya tidak perlu benar-

benar terlihat secara hierarki sebagai struktur

militer yang formal,93 namun harus ada suatu

tingkat organisasi yang mampu untuk

merencanakan dan melaksanakan operasi

militer secara berkesinambungan dan terpadu;

91 ICTR Akayesu 1998, paragraf 619, 623; ICTR Rutaganda 1999, paragraf 95; ICTR Baglishema 2001, paragraf 100; ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, paragraf 171. 92 ICTR Akayesu 1998, paragraf 625; ICTR Musema 2000, paragraf 256.

operasi yang berlanjut secara terus menerus

dan dilakukan sesuai dengan yang

direncanakan, serta mampu memaksakan

disiplin atas nama otoritas de facto.94

Namun, Mahkamah tidak berhenti

hanya sampai persyaratan tersebut karena

juga menekankan angkatan bersenjata

tersebut harus mampu mendominasi sebagian

wilayah yang cukup untuk mempertahankan

operasi militer yang berkelanjutan dan terpadu

dan untuk menerapkan Protokol Tambahan II.

Intinya, operasi harus berkesinambungan dan

terencana. Wilayah yang mereka kendalikan

biasanya yang menjadi wilayah yang terlepas

dari kendali pasukan pemerintah.

Seperti disebutkan oleh Vité, kriteria

pembeda konflik bersenjata antara Protokol

Tambahan II dan common Article 3 adalah

suatu fakta bahwa kelompok oposisi bersenjata

telah menguasai wilayah.95 Kriteria yang

membantu memastikan kemampuan kelompok

bersenjata melaksanakan operasi militer yang

berkelanjutan dan terpadu dalam Protokol

Tambahan II ini yang berbeda dengan common

93 ICTR Musema, paragraf 257-258. 94 Ibid., paragraf 257; ICTR Akayesu, paragraf 626. 95 Vité, 2009op.cit., hal. 79.

Page 22: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

22

Article 3, ditegaskan dan digarisbawahi kembali

dalam yurisprudensi Mahkamah ICTR.

Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone

(SCSL)

Ketentuan kejahatan perang dalam

Statuta Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone

(SCSL),96 berasal dari common Article 3 dan

Pasal 4 Protokol Tambahan II. Seperti yang

telah disebutkan dalam bagian sebelumnya,

maka hukuman kolektif, tindakan terorisme,

penjarahan dan ancaman untuk melakukan

tindakan tersebut terdapat dalam Pasal 4

Protokol Tambahan II. Tiga pelanggaran

pertama telah diimplementasikan dalam semua

kasus di hadapan SCSL. Sebaliknya, Mahkamah

ICTR dan ICTY lebih enggan menuntut

kejahatan yang berasal langsung dan semata-

mata dari Protokol Tambahan II. Oleh karena

itu, kasus-kasus yang diadili dalam Mahkamah

SCSL berpotensi menambah klarifikasi pada

standar penerapan yang digunakan.

Sayangnya, SCSL menambahkan

yurisprudensi yang lebih meragukan

96 Statuta Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone. (Statute of the Special Court for Sierra Leone). 97 SCSL Fofana 2004, Prosecutor v. Fofana, Kasus No SCSL-04-14-PT-101, Keputusan tentang Mosi Awal tentang Kurangnya Yurisdiksi Materiae: Sifat dari Konflik Bersenjata, Sidang Banding, 25 Mei 2004, paragraf 25.

sebagaimana terlihat dalam Sidang Banding

SCSL dalam Kasus Fofana yang menerapkan uji

penerapan yang lebih luas, dimana dinyatakan

bahwa sehubungan dengan Pasal 3 Statuta

SCSL maka Mahkamah hanya perlu diyakinkan

bahwa ada konflik bersenjata serta dugaan

pelanggaran terkait dengan konflik

bersenjata.97 SCSL juga memberikan

penjelasan tentang interpretasinya, sebagai

berikut:

“Telah diamati bahwa meskipun aturan

yang berlaku dalam konflik bersenjata

internal masih tertinggal dari hukum yang

berlaku dalam konflik internasional,

pembentukan dan hasil Pengadilan Ad hoc

telah memberikan kontribusi yang

signifikan untuk mengurangi perbedaan

antara dua jenis konflik. Perbedaan

tersebut tidak lagi memiliki relevansi yang

besar dalam kaitannya dengan kejahatan

yang dimaksud dalam Pasal 3 Statuta

karena kejahatan tersebut dilarang di

dalam semua jenis konflik bersenjata”.98

Namun demikian, Mahkamah ICTY

tetap memegang prinsip bahwa harus terdapat

standar minimum yang harus ada agar suatu

situasi dapat digambarkan sebagai konflik

bersenjata.99 Dalam hal ini, SCSL menegaskan

kembali definisi dari Kasus Tadic tentang konflik

98 Ibid., paragraf 25; Prosecutor v. Brima et al. Kasus No SCSL-04-16-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 20 Juni 2007, paragraf 243; Prosecutor v. Taylor, Kasus No SCSL-03-01-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 18 Mei 2012, paragraf 563. 99 Ibid., paragraf 23; Kasus No SCSL-04-14-T, Sidang Pengadilan, 2 Augustus 2007, paragraf 123); SCSL Brima et al., paragraf 243–244.

Page 23: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

23

bersenjata dan menggunakan kriteria yang

sama, yaitu tingkat intensitas konflik dan

pengorganisasian para pihak.100 Kriteria

tersebut penting untuk membedakan konflik

bersenjata dari tindakan lain yang tidak

termasuk dalam lingkup hukum humaniter

internasional.101

Namun, pernyataan seperti itu

tampaknya merupakan terobosan baru.

Memang konflik di Sierra Leone terjadi hanya

dua tahun setelah konflik di Rwanda, namun

sementara ICTR menilai penerapan Protokol

Tambahan II, SCSL tampaknya tidak merasa

berkewajiban untuk melakukannya. Ini lebih

mengejutkan karena baik Pasal 3 Statuta ICTR

dan Pasal 3 Statuta SCSL mengacu pada

pelanggaran common Article 3 dan Protokol

Tambahan II. SCSL juga menganalisis posisi

ICTR, dengan mengakui bahwa ICTR

memahami yurisdiksinya dalam kaitannya

dengan konflik bersenjata non-internasional

yang harus dipastikan ketika persyaratan yang

ditetapkan dalam Protokol Tambahan II

dipenuhi. Namun, setelah meninjau

yurisprudensi ICTY dan ICTR, Sidang Banding

100 SCSL Fofana dan Kondewa, paragraf 124; SCSL Brima et al., paragraf 243–244; SCSL Taylor, paragraf 563–564. 101 Ibid., paragraf 124; SCSL Taylor, paragraf 564.

SCSL menjelaskan bahwa kejahatan yang

dijabarkan dalam Pasal 3 Statuta bersifat

kebiasaan dan karena perbedaan antara konflik

bersenjata internasional dan non-internasional

menjadi tidak lagi relevan dengan kejahatan

yang disebutkan dalam Pasal 3 Statuta.102

Pengadilan hanya perlu yakin bahwa ada suatu

konflik bersenjata.103 Akibatnya, SCSL

menganggap bahwa perbedaan antara konflik

bersenjata internasional dan non-internasional

tidak relevan dengan kejahatan yang tercantum

dalam Pasal 3 Statuta, perbedaan antara kedua

jenis konflik bersenjata non-internasional juga

tidak relevan.

Meskipun demikian, SCSL telah

memeriksa apakah konflik termasuk dalam

lingkup Protokol Tambahan II. Dalam kasus

Fofana, Pengadilan menjabarkan kriteria klasik

untuk penerapan Protokol Tambahan II,

menekankan bahwa konflik Protokol Tambahan

II secara otomatis memenuhi kriteria untuk

penerapan Common Article 3. Namun, dalam

penerapan hukum, Pengadilan tidak mengacu

102 SCSL Fofana, paragraf 20 dan 25. 103 SCSL Brima et al., paragraf 251.

Page 24: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

24

pada Protokol Tambahan II.104 Dalam Kasus

Sesay, Sidang Pengadilan merasa perlu untuk

menyelidiki penerapan Protokol Tambahan II

karena tiga dakwaan yang dibebankan oleh

Jaksa Penuntut, yakni hukuman kolektif,

tindakan terorisme dan penjarahan, hanya

ditemukan dalam Protokol Tambahan II.

Meskipun menjelaskan tiga kriteria komando

yang bertanggung jawab, penguasaan atas

wilayah (dikombinasikan dengan kemampuan

untuk melakukan operasi militer yang

berkelanjutan dan terpadu) serta implementasi

dari Protokol Tambahan II hanya berfokus pada

dua kriteria pertama dan mengabaikan yang

terakhir.105 Dengan perkataan lain, meskipun

ketentuan Statuta SCSL terkait kejahatan yang

dilakukan dalam konflik bersenjata non-

internasional serupa dengan kejahatan yang

terdapat dalam Statua Mahkamah ICTR, namun

SCSL telah mengadopsi pendekatan ICTY, yaitu

hanya perlu dipastikan bahwa ada konflik

bersenjata.

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)

104 SCSL Fofana dan Kondewa, paragraf 126-127 dan 695–700.

Statuta Roma tentang Pengadilan

Kriminal Internasional dan putusan-putusan

yang telah dihasilkan dalam ICC perlu dicermati

untuk menjawab pertanyaan apakah ada dua

atau hanya satu jenis konflik bersenjata non-

internasional. Dua norma dalam Statuta ICC

yang terkait dengan konflik bersenjata non-

internasional, yaitu: Pertama, Pasal 8 ayat

(2)(c) yang menyebutkan adanya suatu

kejahatan perang dari terjadinya pelanggaran

serius terhadap common Article 3 jika

pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang

yang tidak aktif dalam suatu pertempuran. Ini

berlaku untuk konflik bersenjata yang tidak

bersifat internasional dan dengan demikian

tidak berlaku untuk situasi gangguan dan

ketegangan internal, seperti kerusuhan,

tindakan kekerasan yang terisolasi dan sporadis

atau tindakan lain yang serupa.106 Kedua, Pasal

8 ayat (2)(e) Statuta Roma, yang menyebutkan

terjadinya kejahatan perang untuk pelanggaran

serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan

yang berlaku dalam konflik bersenjata non-

internasional (yang mirip dengan Pasal 4

105 SCSL Sesay et al., Prosecutor v. Sesay et al., Kasus No SCSL-04-15-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 2 Maret 2009, paragraf 966, 978–981. 106 Pasal 8(2)(d) Statuta Roma.

Page 25: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

25

Statuta SCSL) menambahkan persyaratan

tambahan (ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (2)(f)

Statuta Roma) sedemikian rupa sehingga ini

hanya berlaku dalam konflik bersenjata yang

terjadi di wilayah suatu negara ketika ada

konflik bersenjata yang berlarut-larut antara

otoritas pemerintah dan kelompok bersenjata

yang terorganisir atau antara kelompok-

kelompok semacam itu.107

Dengan demikian perlu diketahui

apakah kedua norma tersebut masing-masing

mencerminkan common Article 3 dan Protokol

Tambahan II, atau standar lain yang diadopsi

oleh pengadilan pidana internasional

sebelumnya. Tentunya baik Pasal 8 ayat (2)(c)

dan 8 ayat (2)(e) dapat mencakup situasi yang

termasuk dalam lingkup common Article 3,

karena ICTY secara konsisten menekankan

perbedaan antara konflik bersenjata dan situasi

lain seperti gangguan dan ketegangan internal.

Common Article 3 sekarang dianggap telah

merangkum ambang terendah dari konflik

bersenjata non-internasional.

Namun, ada keraguan apakah Pasal 8

ayat (2)(f) telah mencerminkan standar

107 Pasal 8(2)(f) Statuta Roma. 108 ICTY Limaj, paragraf 87.

Protokol Tambahan II. Bahasa yang digunakan

mirip dengan ambang batas dalam Kasus Tadic

karena mendefinisikan konflik bersenjata non-

internasional dengan mengacu pada konflik

bersenjata yang berkepanjangan dan kelompok

bersenjata yang terorganisir.108 Acuan pada

konflik bersenjata yang berlarut-larut

merupakan standar yang lebih rendah daripada

acuan pada operasi militer yang berkelanjutan

dan terpadu sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat (1) Protokol Tambahan II.109

Selain itu, Statuta Roma juga secara resmi

mengemukakan situasi di mana otoritas

pemerintah tidak terlibat langsung dalam

konflik bersenjata. Faktanya, selama

penyusunan pasal tersebut delegasi menolak

usulan untuk memperkenalkan ambang batas

Protokol Tambahan II dan menyetujui yang

dikemukakan dalam Kasus Tadic.110 Para

perancang Statuta Roma menganggap bahwa

definisi yang lebih luas dari cakupan penerapan

hukum yang berkaitan dengan konflik ersenjata

109 Zimmermann, op.cit., 285. 110 ICTY Boskoski and Tarculovski, paragraf 197.

Page 26: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

26

non-internasional saat ini merupakan hukum

kebiasaan.111

Pertanyaannya adalah apakah ini

menciptakan ambang batas lain. Dengan kata

lain, dapatkah Pasal 8 ayat (2)(e) dianggap

sebagai ambang batas gabungan antara

Protokol Tambahan II dan common Article 3?

Hal ini sangat penting karena rumusan Statuta

hanya menetapkan persyaratan untuk

penerapan Pasal 8 ayat (2)(e) yang mengacu

pada Pasal 8 ayat (2)(f) versi uji dalam Kasus

Tadic yang telah diubah.112 Pasal 8 ayat (2)(c)

secara tegas mengacu pada common Article

3113 sedangkan Pasal 8 ayat (2)(c) berkaitan

dengan tes Tadic yang disebutkan dalam Pasal

8 ayat (2)(f), menyampaikan kesan bahwa

persyaratan dalam Kasus Tadic berbeda dari

yang dikemas dalam common Article 3.

Banyak ahli hukum berpendapat bahwa

Pasal 8 ayat (2)(f) memiliki ambang batas yang

sama dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa.114

Demikian pula, Akande tidak berpikir bahwa

111 Dimasukkannya (ambang batas dalam Kasus Tadic) ke dalam Statuta Roma mengindikasikan status kebiasaannya, Cullen, 121–122. 112 Vité, 2009, op.cit., 81. 113 Boelaert-Suominen, op.cit., 87. 114 Pejic, op.cit.., -192–193; Meron, op.cit., 260; Cullen, “The definition of non-international armed conflict in the Rome Statute of the International Criminal Court: an analysis of the threshold of application contained in Article 8(2)(f)”, Journal of Conflict Security Law 12:419, 2007, 445.

maksudnya adalah untuk membuat ambang

batas penerapan yang berbeda, dengan

mencatat bahwa Pasal 8 ayat (2)(f) lebih baik

diartikan sebagai sekadar menyatakan uji

intensitas dengan sifat konflik yang berlarut-

larut menjadi faktor yang akan dinilai

menentukan intensitas konflik.115

Dalam Kasus Bemba, Sidang Pra-

Peradilan mencatat bahwa konflik bersenjata

non-internasional terjadi ketika telah mencapai

tingkat intensitas, melebihi gangguan dan

ketegangan internal, seperti kerusuhan,

tindakan kekerasan yang terisolasi dan sporadis

atau tindakan lain yang serupa, dan yang

terjadi dalam batas-batas wilayah negara.

Permusuhan dapat pecah (i) antara otoritas

pemerintah dan kelompok bersenjata

pembangkang terorganisir atau (ii) antara

kelompok-kelompok tersebut'.116 Formulasi ini

cenderung mencerminkan tes Tadic, yaitu

ambang batas minimum untuk membedakan

konflik bersenjata dari situasi lain dan gagasan

115 Akande, op.cit., 56. 116 ICC Bemba, Prosecutor v. Bemba, Kasus No ICC-01 / 05-01 / 08, Putusan Berdasarkan Pasal 61 (7) (a) dan (b) Statuta Roma tentang Dakwaan Jaksa Penuntut terhadap Jean-Pierre Bemba Gombo, Sidang Pra-Peradilan, 15 Juni 2009, paragraf 231; ICC Bemba, paragraf 234; ICC Lubanga, Prosecutor v. Lubanga, Kasus No ICC-01 / 04-01 / 06-803, Keputusan tentang Konfirmasi Tuduhan, Sidang Pra-Peradilan I, 29 Januari 2007, paragraf 23.

Page 27: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

27

tentang dua kelompok terorganisir yang

bentrokannya mencapai tingkat intensitas

tertentu. Namun, Sidang Pra-Peradilan

melangkah lebih jauh dengan menegaskan

bahwa kelompok tersebut harus berada di

bawah komando yang bertanggung jawab agar

dapat menerapkan disiplin dan melaksanakan

operasi militer,117 kriteria yang mengingatkan

pada yang diatur dalam Protokol Tambahan II.

Beberapa ahli hukum juga berpendapat

bahwa elemen temporal tercermin dalam kata

'berlarut-larut', sehingga menciptakan kategori

terpisah dari konflik bersenjata non-

internasional.118 Yurisprudensi ICC tampaknya

menegaskan sudut pandang ini, karena ketika

berkaitan dengan Pasal 8 ayat (2)(f) ICC

mengaitkan konsep 'berlarut-larut' dengan

kemampuan kelompok bersenjata untuk

merencanakan dan melaksanakan operasi

militer daripada hanya intensitas dan organisasi

kelompok bersenjata seperti dalam uji Tadic.119

Meskipun demikian, dalam Kasus Bemba

Sidang Pra-Peradilan secara khusus

mengangkat masalah elemen temporal yang

117 ICC Bemba, paragraf 234. 118 Provost, 268 f. 119 ICC Lubanga, paragraf 234. 120 ICC Bemba, paragraf 235.

dianggapnya tidak perlu untuk membahas

argumen secara rinci (yaitu menjelaskan faktor-

faktor yang relevan), karena periode di mana

kejahatan yang dituduhkan dilakukan dianggap

sebagai 'berlarut-larut'.120 Posisi ICC yang

paling baik terdapat dalam putusan Lubanga di

mana Sidang Pengadilan menyatakan:

“Dikatakan bahwa konflik bersenjata non-

internasional terjadi ketika negara-negara

belum menggunakan angkatan bersenjata

dan i) kekerasan berlanjut dan telah

mencapai tingkat intensitas tertentu, dan ii)

kelompok bersenjata dengan tingkat

organisasi tertentu, termasuk kemampuan

menerapkan disiplin dan kemampuan untuk

merencanakan dan melaksanakan operasi

militer yang berkelanjutan, terlibat. Selain

itu, Pasal 8 ayat (2)(f) Statuta menetapkan

bahwa konflik harus bersifat ''berlarut-

larut”.121

Tes Lubanga ini lebih sempit daripada

tes yang diterapkan berdasarkan interpretasi

kebiasaan dari common Article 3 karena

mensyaratkan pertempuran berlangsung

selama periode waktu tertentu, lebih luas

daripada yang diuraikan dalam Protokol

Tambahan II karena itu tidak mengharuskan

kelompok bersenjata untuk mengendalikan

suatu bagian wilayah.122 Sementara Vité

menyatakan bahwa ini adalah tes kompromistis

121 ICC Lubanga, Prosecutor v. Lubanga, Kasus No ICC-01/04-01/06, Putusan, Sidang Pengadilan I, 14 Maret 2012, paragraf 506. 122 Lihat pembahasan dalam Vité 2009, hal. 82.

Page 28: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

28

antara kategori-kategori yang dirujuk dalam

common Article 3 dan dalam Protokol

Tambahan II. Interpretasi ICC sebenarnya lebih

dekat dengan maksud asli para perancang

common Article 3 daripada interpretasi oleh

ICTY. Lagipula, Komentar common Article 3

menjelaskan bahwa konflik yang dimaksud

dalam Pasal 3 secara umum adalah konflik

bersenjata dimana angkatan bersenjata dari

dua pihak terlibat dalam permusuhan.

Dinyatakan juga bahwa konflik ini, dalam

banyak hal mirip dengan perang internasional,

tetapi terjadi dalam batas-batas satu negara.123

Oleh karena itu, situasi yang diatur dalam

common Article 3 tidak dimaksudkan untuk

mencakup situasi di mana kelompok-kelompok

terorganisir terlibat dalam tindakan yang baru

saja mencapai tingkat intensitas minimum.

Kesimpulan

Hukum humaniter internasional

mengidentifikasi dua jenis konflik bersenjata

non-internasional: pertama, konflik yang

tercakup dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949;

dan kedua, konflik yang termasuk dalam ruang

lingkup Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977.

123 Jean Pictet, 1960, Op.Cit., hal. 37.

Tidak ada keraguan bahwa putusan-putusan

dari yurisprudensi pengadilan pidana

internasional seperti Pengadilan Kriminal

Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY),

Pengadilan Kriminal Internasional untuk

Rwanda (ICTR), Pengadilan Khusus untuk

Sierra Leone (SCSL) dan Pengadilan Kriminal

Internasional (ICC), telah menyebabkan

perubahan dalam kaitannya dengan perbedaan

antara berbagai jenis konflik bersenjata non-

internasional. Inkonsistensi dalam penerapan

kasus hukum, menyebabkan hasil-hasil putusan

pengadilan tersebut tidak memiliki dampak

yang signifikan terhadap perjanjian yang sudah

berlaku. Misalnya, Mahkamah ICTR tampaknya

menjadi satu-satunya pengadilan yang

mengikuti perbedaan ini dengan cermat dan

secara sadar berupaya untuk memverifikasi

bahwa suatu situasi termasuk dalam salah satu

dan/atau jenis konflik bersenjata non-

internasional lainnya. Sebaliknya, Mahkamah

ICTY memilih untuk menerapkan hanya satu

ambang batas penerapan. Pada Kasus Tadic,

perhatian dipusatkan pada perbedaan antara

konflik bersenjata dan situasi lain. Ambang

minimum ini yang memungkinkan adanya

Page 29: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

29

perbedaan antara konflik bersenjata dan situasi

lain serta faktor-faktor yang diadopsi oleh ICTY

untuk memastikan apakah suatu konflik sedang

terjadi —intensitas konflik dan organisasi

kelompok bersenjata— sekarang diterima

secara luas oleh ICTR, SCSL dan ICC. Seperti

yang dikemukakan oleh Bartels, meskipun tidak

ada definisi yang diberikan dalam perjanjian

formal, namun tampaknya cukup jelas saat ini

apa yang dianggap sebagai IAC atau NIAC, dan

dengan demikian apa yang merupakan

perbedaan antara kedua jenis tersebut.124

Meskipun ICTY berpendapat bahwa ia telah

mendasarkan kasus-hukumnya pada Komentar

Konvensi, namun ada keraguan bahwa ambang

batas ini serupa dengan yang semula

dimaksudkan oleh perancang common Article

3.125 Dalam perkembangannya sendiri, common

Article 3 telah diperpanjang126 dan terdistorsi,

sejauh berlaku sebagai ambang batas minimum

(yurisprudensi ICTY, ICTR dan SCSL) daripada

situasi internal yang mirip dengan konflik

bersenjata internasional, namun terjadi di

wilayah satu negara.

124 Bartels, op.cit., 40. 125 Ash, Square pegs and round holes: Al-Qaeda detainees and common Article 3. Indiana Int Comp Law Rev 17:269, 2007, hal. 275.

Perancang Statuta ICC telah

mengintrodusir dalam Pasal 8 ayat (2)(f) suatu

jenis konflik bersenjata ketiga yakni versi

hibrida dari Pasal 3 Konvensi Jenewa dan

Protokol Tambahan II.127 Namun pemeriksaan

yang bersifat komprehensif dan menyeluruh

mengungkapkan bahwa ambang batas yang

ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (2)(f) dan

penafsirannya kemungkinan besar serupa

dengan maksud asli para perancang common

Article Common 3. Pertanyaannya adalah

apakah interpretasi yang digunakan dalam

sidang-sidang dalm Mahkamah ICC akan

mengesampingkan interpretasi yang digunakan

dalam Mahkamah ICTY dalam kasus Tadic,

yang sekarang sudah tertanam sebagai hukum

kebiasaan internasional. Akankah tes atau uji

persyaratan yang ada dalam Mahkamah ICC

secara perlahan, tetapi pasti, akan menemukan

jalannya sebagai hukum kebiasaan

internasional? Waktu akan berbicara.

Daftar Pustaka

Referensi

Abi-Saab R (1991) Humanitarian law and

internal conflicts: The Evolution of Legal Concern.

126 Bartels, 2009, Op.Cit., hal. 36. 127 Vité, 2009, Op.Cit., hal. 82.

Page 30: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

30

Abi-Saab R (1986) Droit humanitaire et conflits

internes. Origines et évolution de la réglementation internationale. Institut

Henry Dunant/Pedone, Genève/Paris. Akande, D (2012) Classification of armed

conflicts: relevant legal concepts. Ambos K (2001) Zur Bestrafung von Verbrechen

im internationalen, nicht-internationalen

und internen Konflikt. In: Hasse J et al (ed) Humanitäres Völkerrecht. Politische,

rechtliche und strafgerichtliche Dimensionen. Nomos Verlag, Baden-

Baden, pp 325–353.

Ash RW (2007) Square pegs and round holes: Al-Qaeda detainees and common Article

3. Indiana Int Comp Law Rev 17:269 Bartels, Roger, (2009) Timelines, borderlines

and conflicts. The historical evolution of

the legal divide between international and non-international armed conflicts.

Int Rev Red Cross 873:35. Bassiouni MC (1999) International criminal law.

Transnational Publishers, Ardsley. Boelaert-Suominen S (2000a) Grave breaches,

universal jurisdiction and internal armed

conflict: is customary law moving towards a uniform enforcement

mechanism for all armed conflicts? J Conflict Secur Law 5:63.

Boelaert-Suominen S (2000b) The Yugoslav

tribunal and the common core of humanitarian law applicable to all armed

conflicts. Leiden J Int Law 13:619

Bond JE (1974) The rules of riot: internal conflict and the law of war. Princeton

University Press, Princeton.

Cullen A (2007) The definition of non-international armed conflict in the Rome

Statute of the International Criminal Court: an analysis of the threshold of

application contained in Article 8(2)(f). J

Conflict Secur Law 12:419. Cullen A (2010) The concept of non-

international armed conflict in international humanitarian law.

Cambridge University Press, Cambridge.

Elder DA (1979) The historical background of common Article 3 of the Geneva

Convention of 1949. Case W Reserve J Int Law 11:37.

Forsythe DP (1978) Legal management of internal war: the 1977 protocol on non-

international armed conflicts. Am J Int

Law 72:272. Gaeta P (1996) The armed conflict in Chechnya

before the Russian Constitutional Court. Eur J Int Law 7:563.

Green LC (2002) The contemporary law of armed conflict. Manchester University

Press and Juris Publishing, Manchester

Greppi E (1999) The evolution of individual criminal responsibility under international

law. Int Rev Red Cross 835:531. Henckaerts J-M (2005) Study on customary

international humanitarian law: a

contribution to the understanding and respect for the rule of law in armed

conflict. Int Rev Red Cross 857:175. Henckaerts J-M, Doswald-Beck L (eds) (2005)

Customary international humanitarian

law, vol 1. Cambridge University Press, Cambridge.

Jinks D (2003) The temporal scope of application of international humanitarian

law in contemporary conflicts. HPCR Policy Brief, January 2003.

Kretzmer D (2009) Rethinking the application of

international humanitarian law in non - international armed conflicts. Isr Law Rev

42:8. Lasswell HD, McDougal MS (1992)

Jurisprudence for a free society. New

Haven Press, New Haven. McCarthy C (2008) Legal conclusion or

interpretative process? Lex specialis and the applicability of international human

rights standards. McLauren N, Schwendimann F (2005) An

exercise in the development of

international law: the new ICRC study on customary international humanitarian

law. German Law J 6:1217. Meron T (1998) Is international law moving

towards criminalization. Eur J Int Law

9:18. Meron T (2000) The humanization of

humanitarian law. Am J Int Law 94:239 Moir L (1998) The historical development

of the application of humanitarian law in

noninternational armed conflict to 1949. Int Comp Law Q 47:337.

Pejic J (2007) Conflict classification and the law applicable to detention and the use of

force. In: Wilmhurst E (ed) International law and the classification of conflicts.

Oxford University Press, Oxford.

Page 31: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

31

Pejic J (2011) The protective scope of common

Article 3: more than meets the eye. Int Rev Red Cross 881:189.

Pictet J (1960) Commentary on the Geneva Conventions. International Committee of

the Red Cross, Geneva. Provost R (2002) International human rights

and humanitarian law. Cambridge

University Press, Cambridge. Sandoz Y et al (eds) (1987) Commentary on the

additional protocols to the Geneva Conventions. Martinus

Nijhoff/International committee of the

Red Cross, Geneva. Sassoli M, Bouvier AA (1999) How does law

protect in war? Cases, documents and teaching materials on contemporary

practice in international humanitarian

law. International Committee of the Red Cross, Geneva.

Schindler D (2003) International humanitarian law: its remarkable development and its

persistent violation. J Hist Int Law 5:165. Sivakumaran S (2011) Re-envisaging the

international law of internal armed

conflict. Eur J Int Law 22:219. Spieker H (2001) Twenty-five years after the

adoption of Additional Protocol II: breakthrough or failure of humanitarian

legal protection? Yearb Int Humanit Law

4:129. Szesnat F, Bird AR (2012) Colombia. In:

Wilmhurst E (ed) International law and the classification of conflicts. Oxford

University Press, Oxford. Tahzib-Lie B, Swaak-Goldman O (2004)

Determining the threshold for the

application of international humanitarian law.

Tskhovrebov Z (1995) An unfolding case of genocide: Chechnya, world order and the

‘right to be left alone’. Nordic J Int Law

64:501. Turns D (1995) War crimes without war? The

applicability of international humanitarian law to atrocities in non-

international armed conflicts. Afr J Int

Compa Law 7:804. United Kingdom Ministry of Defence (2005) The

manual of the law of armed conflict. Oxford University Press, Oxford.

Van den Herik L (2005) The contribution of the Rwanda tribunal to the development of

international law. Martinus Nijhoff,

Leiden. Verri P (1972) Considérations sur l’application

dans les conflits modernes des Articles 3 et 4 des Conventions de Genève de 1949.

Revue de droit militaire et de droit de la guerre 11:93

Vité S (2009) Typology of armed conflicts in

international humanitarian law: legal concepts and actual situations. Int Rev

Red Cross 873:69. Zimmermann A (1999) Preliminary remarks on

paras 2(c)-(f) and 3. In: Triffterer O (ed)

Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court. Nomos

Verlag, Baden Baden.

Yurisprudensi

ICC Bemba 2009, Prosecutor v. Bemba, Kasus No ICC-01 / 05-01 / 08, Putusan

Berdasarkan Pasal 61 (7) (a) dan (b) Statuta Roma tentang Dakwaan Jaksa

Penuntut terhadap Jean-Pierre Bemba Gombo, Sidang Pra-Peradilan, 15 Juni

2009.

ICC Lubanga 2007, Prosecutor v. Lubanga, Kasus No ICC-01 / 04-01 / 06-803,

Keputusan tentang Konfirmasi Tuduhan, Sidang Pra-Peradilan I, 29 Januari 2007.

ICC Lubanga 2012, Prosecutor v Lubanga,

Kasus No ICC-01/04-01/06, Putusan, Sidang Pengadilan I, 14 Maret 2012.

ICTR Akayesu 1998, Prosecutor v Akayesu, Kasus No ICTR-96-4-T, Putusan, Sidang

Pengadilan, 2 September 1998. ICTR Baglishema 2001, Prosecutor v

Baglishema, Kasus No ICTR-95-1A-T,

Puutusan, Sidang Pengadilan, 7 Juni 2001.

ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, Prosecutor v Kayishema dan Ruzindana,

Kasus No ICTR95-1-T, Putusan, Sidang

Pengadilan, 21 Mei 1999. ICTR Musema 2000, Prosecutor v Musema,

Kasus No ICTR-96-13-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 27 Januari 2000.

ICTR Rutaganda 1999, Prosecutor v

Rutaganda, Kasus No ICTR-96-3-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 6 Desember

1999. ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008,

Prosecutor v Boskoski dan Tarculovski, Kasus No IT-04-82-T, Putusan, Sidang

Pengadilan, 10 Juli 2008.

Page 32: STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON- …

32

ICTY Delalic 2001, Prosecutor v Delalic et al.,

Kasus No IT-96-21-A, Putusan Banding, Sidang Banding, 20 Februari 2001.

ICTY Delalic et al. 1998, Prosecutor v Delalic et al., Kasus No IT-96-21-T, Putusan,

Sidang Pengadilan, 16 November 1998. ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005,

Prosecutor v Hadzihasanovic dan

Kubura, Kasus No IT01-47-AR3.3, Putusan Sela Pembelaan Sidang Banding

Pengadilan tentang Aturan 98bis Mosi untuk Acquittal, Sidang Banding, 11

Maret 2005.

ICTY Haradinaj 2008, Prosecutor v Haradinaj et al., Kasus No IT-04-84-T, Putusan,

Sidang Pengadilan, 3 April 2008. ICTY Kordic dan Cerkez 2004, Prosecutor v

Kordic dan Cerkez, Kasus No IT-95-14/2-

A, Putusan Banding, Sidang Banding, 17 Desember 2004.

ICTY Kunarac et al. 2002, Prosecutor v Kunarac, Kovac dand Vukovic, Kasus IT-

96-23 & IT-96-23/1-A, Putusan Banding, Sidang banding, 12 Juni 2002.

ICTY Limaj 2005, Prosecutor v Limaj et al.,

Kasus No IT-03-66-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 30 November 2005.

ICTY Milosevic 2004, Prosecutor v Milosevic, Kasus No IT-02-54-T, Keputusan tentang

Mosi untuk Putusan Pembebasan, Sidang

Pengadilan, 16 Juni 2004. ICTY Nikolic 1995, Prosecutor v Nikolic, Kasus

No IT-95-2-R61, Review Dakwaan Berdasarkan Aturan 61, Sidang

Pengadilan, 20 Oktober 1995. ICTY Oric 2006, Prosecutor v Oric, Kasus No IT-

03-68-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 30

Juni 2006. ICTY Tadic 1995, Prosecutor v Tadic, Kasus No

IT-94-1-AR72, Keputusan tentang Mosi Pertahanan untuk banding Sela atas

Yurisdiksi, 2 October 1995 Mahkamah

Internasional 1950, Kasus Suaka (Columbia v Peru), [1950] ICJ Rep 266,

27 November 1950 Mahkamah Internasional 1969, Kasus Landas

Kontinen Laut Utara (Republik Federal

Jerman / Denmark dan Republik Federal Jerman / Belanda), [1969] ICJ Rep 3, 20

Februari 1969. Mahkamah Internasional 1970, Barcelona

Traction, Light and Power Company, Limited (Belgia v. Spanyol), Fase kedua,

[1970] ICJ Rep 3, 5 Februari 1970.

Mahkamah Innternasional 1986, Kegiatan

militer dan paramiliter di dan melawan Nikaragua (Nicaragua v USA), Judgment,

[1986] ICJ Rep 14, 27 Juni 1986 SCSL Brima et al. 2007, Prosecutor v Brima et

al., Kasus No SCSL-04-16-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 20 Juni 2007.

SCSL Fofana 2004, Prosecutor v Fofana, Kasus

No SCSL-04-14-PT-101, Keputusan tentang Mosi Awal tentang Kurangnya

Yurisdiksi Materiae: Sifat dari Konflik Bersenjata, Sidang Banding, 25 Mei

2004.

SCSL Fofana dan Kondewa 2007, Prosecutor v Fofana dan Kondewa, Kasus No SCSL-04-

14-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 2 Augustus 2007.

SCSL Sesay, Prosecutor v Sesay, Kallon dan

Gbao, Kasus No SCSL-04-15-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 2 Maret 2009.

SCSL Taylor 2012, Prosecutor v Taylor, Kasus No SCSL-03-01-T, Putusan, Sidang

Pengadilan, 18 Mei 2012.