makalah humaniter pengaturan terhadap konflik bersenjata non-internasional (internal) dalam kajian...

Upload: layar-van-ahmad

Post on 30-Oct-2015

386 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

TUGAS MAKALAH HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (B1)TENTANGPENGATURAN TERHADAP KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL (INTERNAL) DALAM KAJIAN PASAL 3 KONVENSI JENEWAPERTAMA 1949

Oleh Kelompok 2

MUHAMAD RUSJANA 1012011227MUHAMMAD HAIKAL1012011229MUHAMMAD HAVEZ 1012011230MUHAMMAD IBNU FARHAN1012011231MUHAMMAD INSAN T. 1012011232

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG2012KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat Rahmat dan karunianya-lah sehingga makalah yang berjudulPengaturan Terhadap Konflik Bersenjata Non-Internasional (Internal) Dalam Kajian Pasal 3 Konvensi JenewaPertama 1949dapat diselesaikan.Penulis juga sadar bahwa makalah yang telah dibuat ini sangat jauh darisempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang nantinya berguna dalam penyempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap agar apa yang penulis buat ini dapat berguna.

Bandar Lampung, 30 Maret 2012

Penulis

DAFTAR ISI

HalamanKATA PENGANTAR iDAFTAR ISI iiBAB I PENDAHULUAN1. Latar belakang11. Rumusan Masalah 41. Tujuan Penulisan 4BAB II PEMBAHASANA. Perbedaan Status Konflik Internasional Dan Non-Internasional 6B. Konflik Bersenjata Non-Internasional Menurut Konvensi Jenewa1949 C. Kajian Terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 tentang Konflik Internal adalah Pasal yang Ajaib D. Implementasi BAB III PENUTUP1. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSejarah Konvensi Jenewa dimulai pada tahun 1862,Henry Dunantmenerbitkan bukunya,Memoir of Solferino(Kenangan Solferino), mengenai ketidak manusiawaian (kekejaman) perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:1. Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan2. Dibentuknya perjanjian antarpemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerimaPenghargaan NobelPerdamaian yang untuk pertama kalinya dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara.Clara Bartonmemainkan peran penting dalam mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.[footnoteRef:2] [2: Wikipedia, Konvensi Jenewa, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa, pada tgl. 30 Maret 2012 pukul 14.56]

Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada tahun berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di laut (Konvensi Jenewa Kedua). Penghormatan terhadap Konvensi Jenewa dan operasi yang dipimpin oleh Komite Palang Merah Internasional memainkan peranan penting dalam menyelamatkan nyawa dan mencegah penderitaan yang tidak seharusnya dalam Perang Dunia I (1914-1918). Namun, besarnya penderitaan manusia akibat perang menambah keyakinan masyarakat internasional agar Konvensi Jenewa itu diperkuat.Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang mencemaskan. Konflik-konflik bersenjata ini terjadi di hampir semua benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil). Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik.[footnoteRef:3] [3: Study on Customary International Humanitarian Law (Indonesian Translation), Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, di unduh dari http://www.icrc.org/eng/index.jsp]

Pandangan umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang termaksud dalam hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk menegakkannya, oleh ketidak pastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum tersebut.Konferensi International tentang Perlindungan Korban Perang yang sah diselenggarakan di Jenewa pada bulan Agustus-September 1993 membahas secara khusus cara-cara untuk menanggulangi pelanggaran HHI tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah perjanjian internasional baru. Akan tetapi, dalam Deklarasi Finalnya, yang diadopsi secara mufakat, Konferensi tersebut menegaskan kembali "perlunya mengefektifkan implementasi HHI" dan menyerukan kepada Pemerintah Swiss untuk "mengadakan sebuah kelompok pakar antarpemerintah yang bersifat terbuka dengan tugas untuk melakukan studi mengenai cara-cara praktis meningkatkan penghormatan penuh dan kepatuhan terhadap HHI serta menyusun laporan yang perlu dipresentasikan kepada Negara-negara dan kepada Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah berikutnya."[footnoteRef:4] [4: Konferensi Internasional Perlindungan Korban Perang, Jenewa, 30 Agustus - 1 September 1993, Deklarasi Final, International Review of the Red Cross, No. 296, 1993, hal. 381]

Kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban Perang tersebut bertemu di Jenewa pada bulan Januari 1995 dan mengadopsi sejumlah rekomendasi yang bertujuan meningkatkan penghormatan terhadap HHI, terutama dengan cara mengambil langkah-langkah preventif yang bisa menjamin bahwa HHI akan diketahui dengan lebih baik dan dilaksanakan dengan lebih efektif. Rekomendasi II dari Kelompok Pakar Antarpemerintah tersebut ialah: bahwa ICRC perlu diminta untuk menyusun sebuah laporan tentang aturanaturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku (applicable) dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional, dengan bantuan pakar HHI dari berbagai kawasan geografis dan berbagai sistem hukum dan secara berkonsultasi dengan pemerintahpemerintah dan organisasi-organisasi internasional, dan untuk mengedarkan laporan tersebut ke Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang kompeten.[footnoteRef:5] [5: Pertemuan Kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban Perang di Jenewa, 23-27 Januari 1995, Rekomendasi II, International Review of the Red Cross, No. 310, 1996, hal. 84]

Pada bulan Desember 1995, Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26 menyetujui rekomendasi tersebut dan secara resmi memberikan mandat kepada ICRC untuk menyusun sebuah laporan tentang aturan-aturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional.[footnoteRef:6] [6: Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-26, Jenewa, 3-7 Desember 1995, Resolusi 1, Hukum Humaniter Internasional: dari Hukum ke Tindakan; Laporan tentang tindak lanjut menyusul Konferensi Internasional Perlindungan Korban Perang, International Review of the Red Cross, No. 310, 1996, hal. 58]

Hampir sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006, seusai dilakukan penelitian yang ekstensif dan konsultasi yang meluas dengan para pakar, maka laporan ini, yang sekarang disebut sebagai Studi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (Study on Customary International Humanitarian Law), diterbitkan.[footnoteRef:7] [7: Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck, Customary Internasional Humanitarian Law, 2 jilid, Jilid I, Rules (Aturan-aturan), Jilid II, Practice (Praktik) [2 Bagian], Cambridge University Press, 2005.]

B. Rumusan MasalahBerangkat dari pemaparan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang representatif dengan tema yang diangkat. Rumusan masalah yang dimaksud adalah:1. Bagaimanakah Membedakan Konflik Internasional Dan Non-Internasional (Internal) ?2. Bagaimanakah Konflik Bersenjata Non-Internasional Menurut Konvensi Jenewa1949?3. Mengapa Pasal 3 Konvensi Jenewa Dapat Dikatakan Pasal Yang Ajaib?4. Bagaimana Impelementasi Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949?

C. Tujuan PenulisanGuna menganalisis isi dari Konvensi Jenewa I Tahun 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat dalam konvensi ini, agar penulis dapat mengetahuinya.Dari Rumusan Permasalahan diatas, masalah pertama dipilih karena, sebelum kita memasuki permasalahan yang lebih dalam, terlebih dahulu kita mengerti apa perbedaan status konflik-konflik (konflik internasional dan non-internasional), karena ketika kita telah tahu perbedaannya, maka kita tidak salah memahami maksud dari makalah ini.Masalah kedua diambi karena Dalam Konvensi Jenewa, sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (konflik/ sengketa bersenjata non-internasional atau konflik internal) itu diatur secara mendalam didalam Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1949 ini.Masalah ketiga dipilih karena kami akan mengkaji secara khusus dan mendalam pasal 3 Konvensi Jenewa ini, dan menilai kenapa bisa dikatakan pasal ini adalah pasal yang Ajaib.Masalah ke-empat ini dipahami dengan tujuan agar kita tahu apakah implementasi Konvensi Jenewa ini terlaksana atau tidak, serta kita tahu bagaimanakah idealisnya pengimplementasiannya tersebut.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Perbedaan Status Konflik Internasional Dan Non-InternasionalPerbedaan utama antara non-international armed conflict dan international armed conflict dapat dilihat daristatus hukum para pihak yang bersengketa. Dalam international armed conflict, ke dua pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4)junctoPasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.Status hukum tersebut demikian penting, Karena dalam lingkup hukum internasional yang mengatur mengenai masyarakat internasional, hanya subyek-subyek hukum internasional sajalah yang memiliki kapasitas sebagai pelaku. Dalam hal ini negara merupakan salah satu subyek hukum internasional, sehingga ia merupakan pelaku dan tunduk serta terikat kepada aturan-aturan hukum internasional (termasuk dalam hal ini hukum humaniter); sedangkan pelaku lain yang tidak termasuk sebagai subyek-subyek hukum internasional tidak dapat berperan secara langsung sebagai pelaku dalam hukum internasional, akan tetapi entitas demikian tunduk kepada rezim hukum nasional di mana ia berada. Inilah arti pentingnya klaim terhadap status hukum dalam hukum internasional (humaniter).Oleh karena itu dalam non-international armed conflict, status ke dua pihak tidak sama yakni: Pihak yang satu berstatus sebagai negara (subyek hukum internasional), sedangkan pihak lainnya adalah bukan negara (non-state entity). Pihak yang disebut terakhir ini tidak dapat disamakan dengan pihak-pihak yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4)junctoPasal 96 ayat (3) di atas, walaupun ke duanya sama-sama bukan negara. Ada beberapa perbedaan mendasar mengenai hal ini :Pertama, non-international armed conflict dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara; pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah pemberontak (insurgent). Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama perang pemberontakan. Bandingkan dengan pihak bukan negara yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol, di mana pihak bukan negara yang dimaksud adalah suatu bangsa (peoples) yang belum merdeka dan berjuang melawan penjajahan.Kedua, dalam non-international armed conflict, pihak bukan negara atau dalam hal ini adalah kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak,memiliki motivasi utama untuk melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan pihak bukan negara atau peoples yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu bangsa yang masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka non-international armed conflict merupakjan konflik yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.[footnoteRef:8] [8: Arlina Permanasari, Konflik Bersenjata Internasional dan Konflik Bersenjata Non-internasional. Apa bedanya?, diakses dari http://arlina100.wordpress.com/2009/01/11/konflik-bersenjata-internasional-dan-konflik-bersenjata-non-internasional-apa-bedanya/, pada tgl. 30 Maret 2012 pukul 15.47]

Kita dapat melihat contoh ke dua jenis konflik bersenjata tersebut pada negeri kita sendiri, Indonesia.[footnoteRef:9] Pada saat kita masih berada di bawah penjajahan dari negara asing lain yakni Belanda, maka pada saat itu kita adalah suatu bangsa yang sedang berjuang melawan dominasi penjajahan Belanda. Kita ingin merdeka sehingga dapat menentukan nasib kita sendiri. Peperangan yang dilakukan oleh para pejuang kita dahulu merupakan perang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan (war of national liberation). Yang kita lawan adalah negara asing, sehingga rejim hukum internasional berlaku dalam situasi tersebut. Adapun contoh dari perang pemberontakan, dapat mengacu pada beberapa gerakan pemberontakan yang pernah lahir di negeri ini, termasuk pada intensitas tertentu, gerakan pemberontakan yang terjadi di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka/ GAM). Karena pihak pemberontakan dalam hal ini tidak dianggap sebagai subyek dalam hukum internasional, maka konflik seperti ini cukup diatur dalam rejim hukum nasional saja. Inilah yang disebut dengan istilah non-international armed conflict atau konflik internal, atau juga disebut sebagai perang pemberontakan. [9: Nazaruddin Sjamsuddin,Pemberontakan Kaum Republik Kasus Daru Islam Aceh, Pustaka Utama Grafiti, 1990, hal. 78]

Dan apakah konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal itu hanyalah perang pemberontakan saja ? Ternyata terdapat konflik lain yang dapat juga termasuk konflik internal, yakni konflik bersenjata di mana terdapat kelompok atau faksi-faksi bersenjata yang saling bertempur satu sama lain tanpa melibatkan intervensi dari angkatan bersenjata resmi dari Negara yang bersangkutan sebagaimana yang terjadi di Somalia. Konflik demikian termasuk ke dalam kategori jenis konflik internal.[footnoteRef:10] [10: Haryomataram, Uraian singkat tentang Armed Conflict (Konflik Bersenjata), Kumpulan Makalah, International Humanitarian Law and Human Rights Law, Penataran Reguler Hukum Humaniter dan HAM, PSHH-FH USAKTI & ICRC, Cipayung Jawa Barat, 26-31 Oktober 1998, hal. 13-14.]

B. Konflik Bersenjata Non-Internasional Menurut Konvensi Jenewa1949Dalam Konvensi Jenewa 1949, konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal atau perang pemberontakan hanya diatur di dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 (common article).Pada Pasal 3 Konvensi Jenewa menggunakan istilah sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang BUKAN merupakan konflik bersenjata internasional.Sayang sekali Pasal 3 Konvensi Jenewa sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan armed conflict not of an international character tersebut, sehingga hal ini menimbulkan penafsiran yang sangat luas.Oleh karena tidak terdapat suatu definisi baku secara yuridis, maka sebagai pedoman agar penafsiran kita terhadap maksud frasa tersebut tidak terlalu jauh menyimpang, kita harus melihat apa yang dimaksudkan dengan konflik yang tidak bersifat internasional ini pada Commentaryatau komentar Konvensi Jenewa. Komentar ini merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan dan pendapat para ahli yang terjadi pada saat pembentukan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan Konvensi Jenewa 1949.Komentar Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949menyatakan bahwa : Disepakati oleh para peserta Konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata (armed conflict), dibatalkan.Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional. Walaupun usul ini tidak diterima secara resmi (karenanya tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa), namun kiranyabermanfaat untuk diperkirakan dalam keadaan bagaimana Konvensi Jenewa akan berlaku.Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : Bahwa pihak pemberontakmemilikikekuatan militer yang terorganisir,di pimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksidalam wilayah tertentudan memiliki sarana untukmenghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa. bahwa Pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkanpasukanregular (angkatan bersenjata) untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan yang telah menguasai sebagian wilayah nasional; AdapunPemerintahde juretempat di manapemberontak tersebut berada: a).telah mengakui pemberontak sebagai belligerent; b).telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent; c).telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja; dan d).bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi; Adapun pihakpemberontak telah terorganisir sedemikian rupa dan memiliki : a)suatu organisasi yang mempunyai sifat sebagai negara;b)penguasa sipil (civil authority) dari pemberontak tersebut dapat melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang dalam wilayah tertentu;c) Bahwa pasukan pemberontaktersebut melakukanoperasi-operasi militernyadi bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir tersebut; Bahwa penguasa sipil dari pihak pemberontak setuju untuk terikat pada ketentuan Konvensi.Atas adanya usul yang memuat syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, maka menurut Jean Pictet, usulan tersebut bermanfaat sebagai suatu sarana untuk membedakan suatu sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya, dengan tindakan kekerasan bersenjatalainnya seperti tindakan para penjahat (banditry), atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived insurrection).

C. Kajian Terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 tentang Konflik Internal adalah Pasal yang Ajaib

Dalam Konvensi Jenewa, sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (konflik/sengketa bersenjata non-internasional atau konflik internal) diatur dalam Pasal 3 ketentuan-ketentuan yang bersamaan (common articles) dari Konvensi Jenewa 1949. Mengapa saya mengatakan Pasal 3 ini sebagai pasal yang ajaib ? Mari kita lihat dulu ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 secara lengkap :Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, tiap Pihak dalampertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :(1) Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lain yang serupa itu.Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat-tempat apapun juga :a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;b. Penyanderaan;c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.(2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian. Para pihak dalam pertikaian, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lain dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian.Dengan melihat ketentuan Pasal 3 tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat kita ketahui :1. Konvensi Jenewa menyatakan suatu konflik bersenjata non-internasional dengan perumusan kalimat masih kabur maknanya, yakni dengan frasa Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Formulasi yang sangat kabur ini, tentu saja, menimbulkan tafsiran yang sangat luas, sehingga dapat menimbulkan berbagai pertanyaan seperti : bagaimana sifat permusuhan; haruskah permusuhan tersebut hanya terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dan angkatan bersenjata pemberontak saja, atau haruskah angkatan bersenjata pemberontak ini telah dapat mengawasi suatu wilayah tertentu? Apakah sebenarnya pengertian tidak bersifat internasional dalam praktek? Bagaimana bila terjadi intervensi asing? dan lain-lain. Dengan kata lain, Pasal 3 belum merumuskan suatu keadaan atau situasi obyektif, juga belum memberikan kriteria obyektif mengenai apa yang dimaksud denganpertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Hal ini merupakan kelemahan Pasal 3, namun sekaligus juga merupakan keuntungan karena Pasal 3 tidak menolak adanya penafsiran yang luas.2. Ayat (1) Pasal 3 ini mencerminkan adanya perlindungan hukum yang begitu besar terhadap golongan yang disebut dengan hors de combat; juga mencerminkan bahwa setiap ketentuan Konvensi sekaligus mengakomodir asas-asas hukum humaniter, dalam hal ini asas kesatriaan dan asas kemanusiaan. Orang yang sudah tidak mampu lagi untuk melakukan serangan, menurut ayat ini, harus dilindungi hak-haknya serta diperlakukan secara manusiawi. Seorang kombatan yang turun di medan pertempuran memang dapat dibunuh, akan tetapi ketika ia menjadi hors de combat, maka ia mendapatkan perlindungan hukum; termasuk tidak boleh dibunuh atau dianiaya. Seorang prajurit sejati, pada hakekatnya adalah prajurit yang menjunjung tinggi prinsip kesatriaan; jika ia menemui musuh dalam keadaan siaga, bersenjata dan masih melakukan perlawanan, maka tentu saja ia harus bertempur dan jika perlu membunuh prajurit musuh. Sebaliknya, jika musuh tersebut sudah tidak berdaya, maka jiwa ksatria melarangnya untuk menganiaya, membunuh atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, karena memang pada hakekatnya musuh tersebut sudah benar-benar tidak mampu melakukan serangan lagi dan dapat ditaklukkan. Anggota militer mempunyai kehormatan militer dan sikap ksatria, sehingga sepatutnya tunduk pada aturan ini. Sebaliknya, perlakuan yang tidak manusiawi, penganiayaan atau pembunuhan tanpa melalui proses peradilan, hanya mencerminkan tindakan premanisme dari seseorang yang berjiwa kerdil dan primitif, dan sudah seharusnya hal ini tidak tercermin dalam tingkah laku para prajurit yang merupakan organ resmi negara . Jadi, peperangan memang terlihat kejam; namun jika diperhatikan, ada sisi-sisi kemanusiaan dalam setiap ketentuannya.3. Jika kita lihat lagi mengenai hak-hak apa saja yang harus dijamin atas golongan orang-orang yang termasuk dalam hors de combat ini, maka ketentuan ayat (1) butir (a) hingga (d) mencerminkan hak-hak yang paling mendasar bagi setiap insan manusia, termasuk di medan perang. Ketentuan tersebut, nyaris serupa dengan hak-hak asasi manusia yang paling mendasar dan fundamental, yakni intisari HAM atau sering disebut dengan istilah hak-hak yang tidak dapat diganggu-gugat (non-derogable rights), yang harus dijamin dalam keadaan apapun juga, termasuk dalam keadaan perang.4. Ayat (2) Pasal 3 ini sangat mencerminkan asas kemanusiaan, walaupun dalam keadaan yang genting (peperangan). Ketentuan untuk memperlakukan secara manusiawi terhadap hors de combat yang ada dalam ayat (1), perlu pula dilengkapi dengan ketentuan ayat(2) yang menyatakan bahwa mereka harus pula dirawat, jika perlu dengan bantuan organisasi-organisasi kemanusiaan lain yang tidak berpihak.5. Demikian pula, jika sebagian orang berfikir ah, kalau terjadi konflik internal maka yang berlaku hanya satu pasal saja; yakni Pasal 3 Konvensi Jenewa, maka sebenarnya tidak selalu demikian. Jika kita perhatikan ayat (2) ini, maka pelaksanaan sebagian maupun ketentuan lain dalam Konvensi, dapat dilakukan oleh para pihak dengan suatu persetujuan khusus. Jadi, harus dipahami bahwa walaupun hanya Pasal 3 saja dari Konvensi Jenewa yang berlaku dalam suatu konflik yang bersifat non-internasional, namun dengan persetujuan-persetujuan khusus antara para pihak, maka mereka dapat bersepakat untuk menerapkan bagian-bagian lainnya dari Konvensi Jenewa. Contoh aktual mengenai hal ini adalah dibentuknya suatu persetujuan khusus antara pihak-pihak yang bersengketa pada konflik di bekas Yugoslavia. Dalam perjanjian khusus tersebut disepakati bahwa para pihak menyetujui untuk memberlakukan Konvensi Jenewa ke-III tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dalam konflik tersebut.6. Sedangkan kalimat terakhir dari ayat (2), yang berbunyiPelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhikedudukan hukumpihak-pihak dalam pertikaian,memberikan suatu jaminan kepada pemerintah yang sah, bahwa apabila mereka memberlakukan Pasal 3 ini terhadap pemberontak, maka hal tersebuttidak merubah status hukumpemberontak (insurgent) menjadi belligerent. Hal ini ditegaskan dalam kalimat yang terakhir, karena praktek negara menunjukkan bahwa pada umumnya pemerintah yang sah berusaha untuk mengingkari Pasal 3 Konvensi Jenewa karena menganggap bahwa pemberlakukan Pasal 3 akan mengubah status pemberontak menjadi belligerent, atau sebagai suatu subyek hukum internasional. Dengan ayat (2) alinea terakhir dalam Pasal ini, maka ketakutan tersebut tidak perlu terjadi. Hal ini merupakan perkembangan hukum yang sangat progresif, karena pemberontakan yang merupakan masalah dalam negeri suatu negara dan mewajibkan negara lain untuk tidak turut campur dalam masalah itu (prinsip non-intervensi), namun ternyata pengaturannya (walaupun secara umum) terdapat di dalam suatu perjanjian internasional, yakni dalam Konvensi Jenewa 1949.[footnoteRef:11] [11: Arlina Permanasari, Pasal 3 Konvensi Janewa Tentang Konflik Internal, diakases dari http://arlina100.wordpress.com/2009/02/05/pasal-3-konvensi-jenewa-1949-tentang-konflik-internal-pasal-yang-ajaib/, pada tgl. 30 Maret 2012 pukul. 15.53]

D. ImplementasiSejumlah aturan mengenai implementasi HHI telah menjadi bagian HI Kebiasaan, terutama aturan bahwa masing-masing pihak yang terlibat konflik harus menghormati HHI dan menjamin penghormatan terhadap hukum tersebut oleh angkatan bersenjatanya dan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok lain yang pada kenyataannya bertindak atas dasar instruksinya atau dengan pengarahannya atau kendalinya. Sebagai akibat aturan ini, masingmasing pihak yang terlibat konflik, termasuk kelompok-kelompok oposisi bersenjata, harus memberikan pengajaran HHI kepada angkatan bersenjatanya. Di luar kewajiban-kewajiban yang umum tadi, kurang begitu jelas sampai seberapa jauhkah mekanisme-mekanisme implementasi tertentu yang mengikat Negara juga mengikat kelompok oposisi bersenjata.Misalnya, kewajiban untuk mengeluarkan perintah dan instruksi kepada angkatan bersenjata untuk memastikan agar mereka menghormati HHI dinyatakan dengan jelas dalam Hukum Internasional untuk Negara, tetapi tidak dinyatakan dengan jelas untuk kelompok oposisi bersenjata. Demikian pula, Hukum Internasional menyatakan dengan jelas adanya kewajiban bagi Negara untuk menyediakan penasihat hukum, bilamana perlu, dengan tugas memberikan pertimbangan kepada para komandan militer pada tingkat yang semestinya mengenai penerapan HHI, tetapi tidak menyatakan dengan jelas adanya kewajiban semacam itu bagi kelompok oposisi bersenjata.Lebih lanjut, Negara bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran HHI yang dapat dianggap dilakukan karena Negara, dan Negara diharuskan untuk memberikan ganti rugi penuh (full reparation) bagi kehilangan atau luka-luka yang ditimbulkan oleh pelanggara-npelanggaran tersebut. Namun, tidak jelas apakah kelompok oposisi bersenjata juga mempunyai tanggung jawab serupa atas pelanggaran-pelanggaran HHI yang dilakukan oleh para anggotanya dan bagaimana bentuk pertanggungjawabannya. Sebagaimana dinyatakan di atas, kelompok oposisi bersenjata harus menghormati HHI dan harus beroperasi di bawah sebuah "komando yang bertanggung jawab."[footnoteRef:12] Sebagai akibatnya, dapat dikemukakan argumen bahwa kelompok oposisi bersenjata juga mempunyai tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi anggotanya. Namun, bagaimana bentuk pertanggungjawabannya tidak jelas. Pada khususnya kurang jelas sampai seberapa jauh kelompok oposisi bersenjata berkewajiban memberikan ganti rugi penuh, meskipun di banyak Negara korban dapat mengajukan tuntutan ganti rugi secara perdata kepada si pelaku. [12: Protokol Tambahan II, Pasal 1(1). ]

Dalam hal tanggung jawab individu, HHI Kebiasaan membebankan pertanggungjawaban pidana kepada setiap orang yang melakukan kejahatan perang, yang memerintahkan dilakukannya kejahatan perang, atau yang bertanggung jawab dalam kedudukannya sebagai komandan atau atasan atas dilakukannya kejahatan perang ataupun ketidak manusiawian perang. Implementasi dari rezim perundang-undangan mengenai kejahatan perang, yaitu melakukan penyelidikan terhadap kejahatan perang dan melakukan penuntutan terhadap tersangka pelakunya, adalah kewajiban yang mengikat Negara-negara. Negara-negara bisa melaksanakan kewajiban ini dengan cara membentuk mahkamah internasional atau mahkamah campuran (mixed tribunal) untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan tersebut.[footnoteRef:13] [13: Pengadilan Internasional, Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory (Konsekuensi Hukum dari Pembangunan Tembok di Wilayah Pendudukan Palestina), Advisory Opinion, 9 Juli 2004, hal. 106]

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanDalam Konvensi Jenewa 1949, konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal atau perang pemberontakan hanya diatur di dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949.Konvensi Jenewa dalam pasal 3 menyatakan suatu konflik bersenjata non-internasional dengan perumusan kalimat masih kabur maknanya, yakni dengan frasa Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Formulasi yang sangat kabur ini, tentu saja, menimbulkan tafsiran yang sangat luas, sehingga dapat menimbulkan berbagai pertanyaan seperti : bagaimana sifat permusuhan; haruskah permusuhan tersebut hanya terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dan angkatan bersenjata pemberontak saja, atau haruskah angkatan bersenjata pemberontak ini telah dapat mengawasi suatu wilayah tertentu? Apakah sebenarnya pengertian tidak bersifat internasional dalam praktek? Bagaimana bila terjadi intervensi asing? dan lain-lain. Dengan kata lain, Pasal 3 belum merumuskan suatu keadaan atau situasi obyektif, juga belum memberikan kriteria obyektif mengenai apa yang dimaksud denganpertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Hal ini merupakan kelemahan Pasal 3, namun sekaligus juga merupakan keuntungan karena Pasal 3 tidak menolak adanya penafsiran yang luas.Dengan melihat muatan makalah di atas, maka saya mengatakan ketentuan Pasal 3 ini sebagai pasal yang ajaib. Pasal 3 ini mematahkan anggapan bahwa dalam setiap peperangan hanya kekejaman yang terjadi; pasal ini juga telah mencakup intisari hak-hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu-gugat, sehingga merupakan respons positif hukum humaniter terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia pada waktu perang; pasal ini juga sangat mengutamakan aspek-aspek kemanusiaan dalam waktu perang; demikian pula, pasal ini juga bersifat lentur, karena memungkinkan pemberlakuan klausula lain dari Konvensi Jenewa dalam hal perlakuan terhadap tawanan perang dan juga dapat diterapkan pada setiap konflik internal tanpa persyaratan apapun; serta sekaligus menjamin bahwa suatu masalah dalam negeri seperti perang pemberontakan, pada hakekatnya bukanlah masalah yang memungkinkan negara lain untuk ikut campur tangan, karena masalah tersebut mutlak berada dalam wilayah kekuasaan Pemerintah yang sah.

DAFTAR PUSTAKA

Istanto, F. Sugeng. 1992. Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional. Yogyakarta: Andi Offset.Henckaerts, Jean-Marie. 2005. Study on Customary International Humanitarian Law (Indonesian Translation). Bandung: Nusa Media.Kusumaatmadja, Mohtar. 1986. Konvensi-Konvensi Palang Merah. Bandung: Bina Cipta.Murtokusumo, Sudikno. 1996. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.\Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention). Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat. 1864.

http://id.wikipedia.orghttp://arlina100.wordpress.comhttp://www.icrc.orghttp://hukumunila.blogspot.com