studi kasus bioremediasi
DESCRIPTION
fgdTRANSCRIPT
2.7 Contoh Studi Kasus Pencemaran Logam Berat
Pencemaran Logam Berat Di Teluk Buyat
Gambar 2. Peta Teluk Buyat
Teluk Buyat adalah teluk kecil yang terletak di pantai selatan
Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Secara
administratif, teluk ini berada di Kabupaten Minahasa
Tenggara. Teluk Buyat berada di sisi tenggara lengan
semenanjung Sulawesi bagian utara, menghadap Laut
Maluku. Di sekitar teluk ini tinggal sejumlah nelayan. Sejak
tahun 1996, Teluk Buyat digunakan sebagai daerah
penimbunan untuk Mesel Gold Mine, dijalankan oleh PT
Newmont Minahasa Raya, perusahaan cabang Newmont
Mining Corporation yang memiliki saham 80%. Tailing dari
tambang emas itu merupakan cadas halus dan emas
ditemukan di situ. Sejak tahun 1996, Newmont Mining
Corporation di bawah cabangnya PT. Newmont Minahasa
Raya memanfaatkan teluk ini sebagai penimbunan tailing
(limbah pertambangan) untuk aktivitas pertambangan
emasnya.
Pada tahun 2004, penduduk setempat di wilayah tersebut
memprotes beberapa masalah kesehatan tak lazim yang
lebih lanjut mencurigai Newmont melanggar peraturan kadar
limbah pertambangan sehingga mencemari wilayah itu
dengan bahan berbahaya. Walhi, aktivis lingkungan
Indonesia, mengklaim Newmont menimbun 2.000 ton tailing
ke teluk itu setiap hari. Pada tahun 2004, akhirnya aktivitas
pertambangan ditutup sementara pemantauan lingkungan
pasca-penambangan terus berlangsung hingga tahun 2008.
Jalur pipa dibangun untuk menyalurkan tailing dari daerah
pertambangan ke teluk yang memanjang sekitar 900 m ke
laut dan menimbun bahan intu pada kedalaman 82 m.
Pada bulan Juli 2004, beberapa lembaga swadaya
masyarakat memulai kampanye mendakwa PT Newmont
Minahasa Raya mencemari Teluk Buyat dengan sengaja,
yang menimbulkan efek samping pada kesehatan warga
setempat.
Pada pertengahan tahun 2004, kelompok nelayan setempat
memohonkan penyelidikan independen kepada Pemerintah
Indonesia atas kadar limbah tambang Newmont di Teluk
Buyat. Nelayan setempat melihat jumlah ikan yang mati
mendadak amat tinggi disertai dengan pembengkakan yang
tak biasa, hilangnya ikan bandeng muda dan spesies lain di
wilayah teluk. Mereka juga mengeluhkan masalah kesehatan
yang tak biasa seperti penyakit kulit yang tak dapat
dijelaskan, tremor, sakit kepala, dan pembengkakan aneh di
leher, betis, pergelangan tangan, bokong, dan kepala.
Penelitian itu menemukan beberapa logam berat seperti
arsen, antimon, merkuri, dan mangan yang tersebar di sana
dengan kepadatan tertinggi di sekitar daerah penimbunan.
Pada bulan November 2004, WALHI (LSM lingkungan)
bersama dengan beberapa organisasi nirlaba (Indonesian
Mining Advocacy Network, Earth Indonesia, danIndonesian
Center for Environmental Law) mengumpulkan laporan yang
lebih menyeluruh atas keadaan Teluk Buyat, menyimpulkan
teluk itu dicemari oleh arsen dan merkuri dalam kadar yang
berbahaya, sehingga berisiko tinggi bagi masyarakat. Sampel
endapan dasar Teluk Buyat menunjukkan kadar arsen
setinggi 666 mg/kg (ratusan kali lebih besar daripada Kriteria
Kualitas Perairan Laut ASEAN yang hanya 50 mg/kg) dan
kadar merkuri rata-rata 1000 µg/kg (standar yang sama
menetapkan 400 µg/kg). Dibandingkan dengan sampel
kontrol alami dari tempat yang tak dipengaruhi penimbunan
limbah pertambangan, studi itu juga menyimpulkan bahwa
kadar arsen dan merkuri itu tidak alami dan satu-satunya
sumber yang mungkin adalah dari penimbunan limbah
pertambangan Newmont.
Merkuri dan arsen tertumpuk di berbagai organisme hidup di
Teluk Buyat termasuk ikan yang dimakan setiap hari oleh
penduduk setempat. Kesehatan manusia berada dalam
bahaya dan laporan itu merekomendasikan konsumsi ikan
harus dikurangi secara signifikan dan mungkin relokasi
penduduk ke daerah lain. Pada tahun 1994, AMDAL Newmont
menegaskan adanya lapisan termoklin pada kedalaman 50–
70 meter sebagai penghalang bagi tailing untuk bercampur
dan menyebar di Teluk Buyat. Walaupun demikian, WALHI
tak menemukan lapisan yang dimaksud.
Akibat kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. Newmont
Minahasa Raya (NMR), ekosistem perairan laut di teluk Buyat
rusak parah akibat buangan 2000 ton tailing setiap hari.
Bukan saja itu, kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat
yang mengantungkan hidupnya dari hasil laut dan harus
bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan
kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan
perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat. Terkontaminasi
logam berat arsen, lahan tangkapan ikan berpindah jauh
ketengah laut, yang semuanya itu menurunkan kualitas
hidup sebagian masyarakat Desa Buyat tepatnya masyarakat
di dusun V Desa Buyat Pante.
Limbah yang akan mengakibatkan biaya tambahan bagi
masyarakat akibat kegiatan perusahaan yang seharusnya
tidak keluar ke alam bebas, justru sengaja dikeluarkan
melalui pipa sepanjang 900 meter dari tepi pantai Teluk
Buyat. Akibatnya menimbulkan biaya pencemaran bagi
masyarakat sekitar Teluk Buyat atau eksternal cost.
2.8 Pemanfaatan Bioremediasi Dalam Menanggulangi
Logam Berat Di Teluk Buyat
Sebelumnya, dapat dilihat video tentang bioremediasi alga
terlebih dahulu. Link Video
Kasus Teluk Buyat di Sulawesi Utara adalah contoh kasus
keracunan logam berat. Logam berat yang berasal dari
limbah tailing perusahaan tambang serta limbah penambang
tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3
(bahan berbahaya dan beracun) yang mencemari
lingkungan. Limbah tailing merupakan produk samping,
reagen sisa, serta hasil pengolahan pertambangan yang
tidak diperlukan (Sutjahjo 2010). Tailing hasil penambangan
misalnya penambangan emas mengandung bahan-bahan
berbahaya dan beracun seperti Arsen (As), Kadmium (Cd),
Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan lain-lain. Logam-
logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang
masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3).
Salah satu alternatif pencegahan pencemaran dengan logam-
logam berat yang termasuk dalam B3 tersebut dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya
bioremediasi, yaitu proses pembersihan pencemaran di suatu
tempat bisa dengan menggunakan mikroalga (fitoplankton)
untuk mengurangi tingkat pencemaran logam berat.
Bioremediasi merupakan proses degradasi secara biologis
bahan organik menjadi senyawa lain. Proses ini didasarkan
pada siklus karbon, sehingga bentuk senyawa organik dan
anorganik didaur ulang melalui reaksi oksidasi dan reduksi.
Proses bioremediasi bergantung pada kemampuan
organisme yang digunakan (mikroba, tanaman, atau hewan)
dan sistem yang dioperasikan pada jangka waktu tertentu
(Citroreksoko 1996).
Bioremediasi memiliki beberapa kelebihan diantaranya,
memanfaatkan agen biologi yang ada di alam sehingga
dapat menghemat biaya, dapat mencegah kerusakan
lingkungan, penyisihan buangannya permanen dan
menghapus resiko jangka panjang, dan dapat digabung
dengan teknik pengolahan lain. Sedangkan kekurangannya,
terdapat pengotoran toksik, membutuhkan pemantauan yang
ekstensif, berpotensi menghasilkan produk yang tidak
dikenal, tidak semua bahan kimia dapat diolah secara
bioremediasi, dan adanya batasan konsentrasi polutan yang
dapat ditolerir oleh organisme (Citroreksoko 1996).
Teknik bioremediasi dapat dilakukan yaitu melalui
pemanfaatan agen biologi berupa tumbuhan air atau bakteri.
Misalnya Microccocus, Corynebacterium, Phenylobacterium,
Enhydrobacter, Morrococcus, Flavobacterium, Bacillus,
Staphylococcus, dan Pseudomonas, yang dapat
mendegradasi logam Pb (misalnya pada tailing dari hasil
kasus buyat), serta nitrat, nitrit, bahan organik, sulfida,
kekeruhan, dan amonia di dalamnya (Priadie 2012).
Bioremediasi merupakan proses degradasi secara biologis
bahan organik menjadi senyawa lain. Proses ini didasarkan
pada siklus karbon, sehingga bentuk senyawa organik dan
anorganik didaur ulang melalui reaksi oksidasi dan reduksi.
Proses bioremediasi bergantung pada kemampuan
organisme yang digunakan (mikroba, tanaman, atau hewan)
dan sistem yang dioperasikan pada jangka waktu tertentu
(Citroreksoko 1996).
Dalam makalah ini pemanfaatan mikroalga yang dapat
menyerap logam berat yang akan dibahas lebih lanjut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental laboratorium yang kemudian diterapkan ke
lapangan.
Mikroalga yang digunakan adalah Chlorella sp yang diperoleh
dari stok murni dari Laboratorium setempat dan yang
kemudian dikultur. Kondisi lingkungan mempengaruhi
tumbuh dari Chlorella sp dimana untuk pertumbuhan
terbaikChlorella sp pada salinatas 25%, Suhu 17, 20, dan
23 oC dan juga intensitas cahaya 4500 Lux.
Kondisi lingkungan yang ada di teluk Buyat terkadang tidak
sesuai dengan kondisi lingkungan untuk hidup Chlorella
sp. Maka dari itu bagaimana caranya supayaChlorella
sp mampu bertahan hidup di kondisi lingkungan yang
terdapat di Teluk Buyat.
Gambar 3. Alga Chlorella sp sebagai salah satu alternatif
bioremediasi logam berat di Teluk Buyat
Dengan adanya teknik seperti itu, Chlorella sp di duga
mampu menyerap logam berat yang ada di Teluk
Buyat. Selain itu penelitian tersebut mendapatkan hasil
seperti penyerapan logam berat tertinggi terlihat berturut
turut adalah Cr sebesar 33% , Cu sebesar 29 %, Cd sebesar
15% dan Zn sebesar 8% pada hari ke-7, dalam kondisi
medium (salinitas 34%, pH 7 dan kandungan Oksigen terlarut
8 mg/L).
Pada beberapa jurnal lain meyebutkan bahwa penyerapan
logam berat paling tinggi oleh Chlorella sp adalah Cd
dibandingkan dengan Pb dan Cu (Niczyporuk, Bajguz,
Zambrzycka, & Żyłkiewiczb, 2012) tetapi pada percobaan ini
penyerapan tertinggi justru terjadi pada logam Cr dan Cu.
(Niczyporuk, Bajguz, Zambrzycka, & Żyłkiewiczb, 2012)
menyebutkan juga bahwa penyerapan logam berat dapat
menurunkan tetapi tetapi pada percobaan ini berbeda
misalnya pada logam jenis Cr pada hari ke 5 pH 7.1 tetapi
pada hari ke 7 terjadi kenaikan pH 7.2 ini juga terjadi pada
perlakuan yang lain menyebutkan bahwa kondisi lingkungan
untuk pertumbuhan Chlorella sp adalah pada salinitas 15 dan
35% tetapi untuk pertumbuhan terbaik Chlorella sp adalah
pada 25% salinitas dan Alga juga bertumbuh pada suhu 17,
20, dan 23oC tetapi alga akan bertumbuh lambat pada suhu
26, 29, 32 dan 14oC.
SUMBER :
https://bioremediasil.wordpress.com/2014/12/31/38/