studi kasus 2 buah struktur terowongan...
TRANSCRIPT
-
1
STUDI KASUS 2 BUAH STRUKTUR TEROWONGAN DAN
MASALAH2 YANG MEMERLUKAN SOLUSI TEKNIS
Terowongan merupakan struktur bawah tanah yang banyak digunakan sebagai salah satu
pra-sarana transportasi khususnya di kawasan perkotaan, mengingat keterbatasan lahan kosong
akibat peningkatan jumlah penduduk dan struktur bangunan. Sukses pemboran terowongan
bawah tanah pada proyek Mass Rapid Transit Jakarta, diperkirakan akan memicu timbulnya
pembangunan struktur terowongan pada lokasi2 lain di Indonesia di waktu
2 mendatang. Untuk
membagikan pengetahuan mengenai terowongan dibuatlah ulasan yang berisikan tentang
pengalaman2 pelaksanaan struktur terowongan, permasalahan riil yang dihadapi di lapangan, dan
solusi2 teknis yang dipakai para praktisi geoteknik dari 2 buah kasus terowongan yang telah
terkonstruksi dengan baik di Michigan (U.S.A.) dan di London (U.K.), sbb. :
Studi Kasus 1: The New St. Clair River Tunnel (Port Huron, Michigan, 1994)
The New St. Clair River Tunnel (1994) merupakan salah satu project yang mendapatkan
perhatian kalangan para praktisi teknik sipil pada masanya. The New St. Clair River Tunnel yang
dikonstruksikan menggunakan lining baja tersebut dibuat dengan tujuan untuk menghubungkan
jalur kereta api antara Montreal (Canada) dan Chicago (U.S.A.), khususnya pada area yang akan
melintasi sungai.
Gambar 1. Denah jalur kereta api dan lokasi tunnel.
Montreal
Chicago
Jalur Kereta Api
Perencanaan
lokasi tunnel
testana engineeringCopyright
-
2
A. Latar Belakang Permasalahan
Penggunaan kapal ferry yang sebelumnya dijadikan sebagai satu-satunya jalur
penghubung perdagangan dinilai kurang efektif dan tidak praktis, oleh karena itu timbullah ide
untuk memanfaatkan kereta api sebagai sarana transportasi untuk mengoptimalkan waktu dan
biaya. Sarana kereta api tersebut direncanakan untuk melewati tunnel existing (1891) yang
ternyata memiliki ukuran lebih kecil dari ukuran kereta api yang akan melewatinya.
Pada tahun 1991, The Canadian Nationals Railways (CNR) mengadakan feasibility study
untuk mencari solusi yang paling memungkinkan untuk mengoptimalkan peran kereta api
sebagai sarana transportasi. Pada akhirnya, setelah melalui berbagai pertimbangan dari segi
dampak ke lingkungan, keamanan konstruksi, ketersediaan material, harga, & gangguan pada
transportasi kereta api selama pelaksanaan; pelaksanaan shallow bored tunnel terpilih sebagai
tunnel baru yang akan melintas dibawah sungai. Perencanaan potongan melintang dari struktur
terowongan dideskripsikan sebagai berikut :
Gambar 2. Potongan melintang The New St. Clair River Tunnel.
B. Penyelidikan Geoteknik
Untuk mendukung perencanaan tunnel, telah dilaksanakan 60 titik pemboran lapangan
dengan stratifikasi tipikal tanah bawah sebagai berikut :
testana engineeringCopyright
-
3
Gambar 3. Stratifikasi tipikal tanah bawah pada proyek The New St. Clair River Tunnel.
Tunnel berdiameter 9.2 m tersebut sepenuhnya berada pada lapisan kedua, the silty clay
with cobbles and boulders. Mengingat rendahnya kekuatan tanah (cu = 40-80 kPa) yang nantinya
menjadi tumpuan bagi struktur terowongan, diperkirakan akan terjadi efek squeezing pada tanah
lempung yang berpotensi mengakibatkan penurunan pada konstruksi terowongan. Jalur masuk
terowongan direncanakan terletak dipermukaan tanah dan jalur keluar direncanakan terletak 1 m
dibawah lapisan pertama, the fine to medium gravel di permukaan.
C. Beban Terowongan
Terowongan baru yang dibangun tersebut akan dilewati oleh 24 kereta api sepanjang
2350 m yang masing-masing memuat 100 mobil setiap harinya dan 2 kereta api transportasi
berkecepatan 80 km/ jam yang menghubungkan kota Chicago (U.S.A.) dan Toronto (Canada).
D. Metode Pelaksanaan
Pemboran tanah untuk konstruksi terowongan akan dilakukan secara hidrolis
menggunakan tunnel boring machine (TBM) atau lebih spesifiknya menggunakan earth pressure
balance machine (EPBM). Perkembangan TBM yang mampu memberikan support di bagian
2-3 m
12-17 m
0-1 m
14-16 m
Fine to medium gravel
with some sand
Silty clay with cobbles
and boulders
Overconsolidated sand/ silt
Shale containing strong to very strong
limestone concretions, contaminated
by deep level industrial waste deposits
cu = 40-80 kPa
cu = 10000-25000 kPa
testana engineeringCopyright
-
4
permukaan membuat terowongan baru tersebut dapat diinstal tanpa bantuan tekanan udara,
namun pemeriksaan berkala ke dalam working chamber merupakan hal yang penting untuk
menjaga performa dan kualitas TBM. Support tersebut dihasilkan dengan menjaga keseimbangan
antara kotoran yang keluar dari conveyor dan kecepatan penetrasi EPBM. EPBM berdiameter
9.52 tersebut dapat beroperasi diruang tertutup hingga seluruh panjang terowongan terselesaikan.
Komponen2 yang terdapat pada EPBM selanjutnya disajikan melalui Gambar 4 berikut ini :
Gambar 4. Sistem Earth Pressure Balance Machine (EPBM).
Adapun spesifikasi EPBM tipe ME-375SE yang digunakan a.l. sbb. :
- Diameter Bor : 9.52 m - Kekuatan Alat Potong : 1800 kW
- Panjang Shield : 10.25 m - Kecepatan Alat Potong : 1.5-2.5 rpm
- Berat Shield : 524 ton - Panjang Total Alat : 105 m
Bagian depan alat pemotong terdiri dari pick dan disk cutter yang dikombinasikan
bersama-sama, bilamana komponen-komponen tersebut mengalami kerusakan reparasi dapat
dilakukan didalam chamber. Selanjutnya, material yang ter-ekskavasi dibuang/ mengalir secara
hidrolis menuju ke belt conveyor yang memiliki diameter 1.2 m. Lapisan bagian dalam dari belt
conveyor diinjeksi dengan bentonite/ polymer untuk melumasi kotoran yang berbentuk cair
testana engineeringCopyright
-
5
tersebut, sehingga aliran kotoran berjalan dengan lancar sekaligus untuk mempertahankan
tekanan dipermukaan untuk keperluan ground support. Setelah itu kotoran dibuang ke
permukaan melalui kendaraan berat yang telah disediakan sebelumnya.
Untuk mereduksi penurunan yang akan terjadi pada bagian belakang EPBM, dilakukan
grouting menggunakan pompa, segera setelah lubang pada bagian belakang mesin terbentuk. Hal
yang perlu ditekankan disini adalah, kecepatan aliran dan tekanan pompa grouting harus terus
dipantau dan dimonitor secara konstan untuk memastikan lubang telah tertutup dengan baik.
E. Struktur Lining
5 hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam perencanaan struktur lining
terowongan a.l. sbb. :
Pembebanan : Beban tanah diatas, beban kereta api (long term) dan beban konstruksi
(short term) harus masuk dalam pertimbangan,
Gaya uplift : Tidak seperti beton yang sudah cukup berat, segmen baja ataupun besi
perlu diberi pemberat (ballast),
Durabilitas : Umumnya didesain sepanjang 100 tahun masa layan,
Kekedapan : Mengingat kebocoran akan mengakibatkan terendamnya area konstruksi,
sambungan perlu direncanakan dengan seksama terutama bila digunakan segmen baja,
Waktu konstruksi : Penggunaan TBM diharapkan mampu mempercepat masa konstruksi.
Gambar 5. Perencanaan struktur lining dan sambungan antar segmen.
Pocket
testana engineeringCopyright
-
6
Berdasarkan evaluasi menggunakan kelima poin yang telah diuraikan diatas, lining beton
yang terkoneksi dengan baut dipilih. Untuk menjaga kekedapan terhadap air, digunakan gasket
yang terletak diantara segmen-segmen lining. Lining didesain selebar 1.5 m, setebal 400 mm,
dan dengan berat standar 725 ton. Direncanakan untuk memakai 6 segmen yang disambungkan
menggunakan baji. Didalam mendesain tebal lining digunakan analisis finite element yang telah
mempertimbangkan faktor-faktor terkait seperti halnya daya tolak dari EPBM (6000 ton), beban
tanah dan air dalam kondisi paling maksimum, dan beban hidup (dalam hal ini beban kereta api).
Tingginya kadar klorida (4000 ppm) dan sulfat (155 ppm) pada air tanah ditambah
tingginya tekanan hidrostatis air, menimbulkan keraguan mengenai durabilitas struktur
terowongan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, para engineer menyarankan penggunaan beton
berkekuatan tinggi dengan kuat tekan sebesar 60 MPa yang memiliki permeabilitas rendah
terhadap penetrasi klorida (telah teruji menggunakan ionic diffusion test). Disamping itu, untuk
menghindarkan tulangan dari karat, tulangan dilapisi menggunakan epoxy.
F. Permasalahan & Solusi Teknis
Pada saat pemboran menggunakan EPBM mulai memasuki area bawah sungai, EPBM
mengalami permasalahan serius. Alat potong dibagian depan mengalami kerusakan serius akibat
rusaknya labyrinth seal/ main seal yang menyebabkan debris
dan kerikil masuk ke bagian main bearing. Sebuah pukulan
telak bagi orang2 yang terlibat dalam proyek tersebut,
mengingat deadline penyelesaian proyek yang harus dikejar,
ditambah lagi perbaikan di tengah sungai bukanlah
pekerjaan yang mudah untuk ditangani.
Setelah melakukan rapat darurat antara owner,
engineer, dan kontraktor; ditarik suatu kesimpulan bahwa
alat pemotong harus diambil untuk diperiksa dan direparasi.
Untuk mengambil cutterhead tersebut, dikonstruksikan
sebuah shaft pada lokasi dimana mesin EPBM mengalami
permasalahan (berjarak sekitar 140 m dari tepi sungai).
Gambar 6. Perencanaan Shaft.
testana engineeringCopyright
-
7
Diperlukan setidaknya penetrasi shaft sedalam 5 m dari dasar sungai untuk dapat
mengambil cutterhead yang telah rusak tersebut. Untuk mengakomodasi hal tersebut,
dikonstruksikan cofferdam dengan diameter 13.8 m menggunakan secant pile yang direncanakan
terinstal hingga kedalaman 35 m. Menggunakan cara tersebut, cutterhead berhasil diambil dan
diperbaiki sehingga pekerjaan dapat dilanjutkan dan terselesaikan dengan baik.
Gambar 7. Struktur cofferdam menggunakan sistem secant pile.
G. Kesimpulan
Perlunya penyelidikan geoteknik yang intensif untuk mendapatkan stratifikasi dan
properti tanah yang akurat dan memadai,
Keberadaan boulder akan berpotensi menghambat teknik pelaksanaan dengan
menggunakan EPBM (shield tunneling), oleh karena itu material ini perlu dihancurkan
dahulu menggunakan hammer ataupun blasting,
Grouting diperlukan untuk mereduksi penurunan yang akan terjadi, terutama pada bagian
belakang/ ekor EPBM yang seringkali meninggalkan lubang,
Dengan menggunakan teknik pelaksanaan yang baik dan benar, EPBM terbukti cocok
diaplikasikan untuk pembuatan terowongan dibawah tekanan air tanah,
Penggunaan lining beton akan memberikan kestabilan yang lebih baik terutama pada
daerah-daerah dengan muka air tanah yang tinggi, bilamana perlu dapat dilakukan
pelapisan tulangan menggunakan epoxy untuk meningkatkan resistensi terhadap karat,
Pemeliharaan TBM dan metode pelaksanaan pemboran yang baik dan benar merupakan
faktor penting untuk meminimalkan potensi permasalahan yang akan terjadi di depan.
testana engineeringCopyright
-
8
Studi Kasus 2: Heathrow Express Tunnel (London - Heathrow Airport, 1994).
Maksud dari perencanaan Heathrow Express Tunnel adalah untuk menghubungkan pusat
kota London dengan Heathrow Airport. Disamping itu perkembangan jumlah penumpang dan
transportasi yang diprediksi akan melonjak beberapa tahun ke depan juga menjadi salah satu
dasar perencanaan. Dengan prediksi pertambahan pengguna lalu lintas sebesar 4% per tahun,
jalur lalu lintas dipastikan akan menjadi amat padat 2-3 tahun ke depan. Persentase pengguna
motor didapati sebesar 15% dari total pengguna lalu lintas, berdasarkan data statistik tersebut
direncanakan 4 kereta api non-stop berkecepatan tinggi yang menghubungkan Heathrow dan
Paddington yang terletak di pusat kota London yang ditempuh dalam waktu 16 menit perjalanan.
A. Perencanaan Rute Kereta Api
Jarak rute dari Paddington-Heathrow Central Terminal Area (CTA) - Terminal 4 adalah
27 km, dimana 19 km pertama menggunakan jalur eksisting di permukaan tanah dan sisanya
menggunakan akses terowongan seperti terlihat pada Gambar 8 berikut ini :
Gambar 8. Rute kereta api & lokasi perencanaan terowongan.
testana engineeringCopyright
-
9
Pada bagian awal sepanjang 500 m direncanakan konstruksi twin cell cut and cover box
yang melewati daerah pemukiman penduduk. Jalur kemudian berganti menuju ke Shepiston Lane
yang menggunakan akses terowongan, hal tersebut didasari oleh padatnya lalu lintas pada daerah
yang dimaksud. 100 m ke arah selatan dari Shepiston Lane terdapat intervention shaft yang dapat
digunakan sebagai akses keluar pada saat kondisi darurat seperti halnya kebakaran dan
kecelakaan lalu lintas, selain itu keberadaan intervention shaft juga dimaksudkan untuk
mengontrol kualitas udara, air, dan temperatur pada saat terowongan tersebut digunakan. Bagian
ini digunakan sebagai akses masuk peralatan pemboran dari permukaan untuk
mengkonstruksikan 2 buah terowongan berdiameter 5.7 m. Setelah konstruksi terowongan
tersebut mencapai CTA station, 2 buah terowongan tersebut kemudian menyatu untuk kemudian
dialihkan menuju Terminal 4.
B. Stratifikasi Tanah Bawah
Stratifikasi tipikal tanah bawah pada proyek ini terdiri dari 2 meter tanah timbunan di
permukaan. Lapisan berikutnya tersusun oleh gravel setebal 4-6 m. Lapisan penyusun
dibawahnya didominasi oleh London clay setebal 50 m, dimana 1.5 m awal tanah lempung
berada dalam kondisi lapuk, selanjutnya lempung mengalami peningkatan kuat geser undrained
seiring dengan bertambahnya kedalaman, dengan perkiraan kuat geser rata-rata sebesar 70 kPa.
C. Metode Konstruksi Terowongan & Struktur Lining
Pada awalnya metode cut and cover tidak disetujui karena konstruksi galian berpotensi
mengganggu operasional airport. Oleh karena itu digunakan metode pemboran menggunakan
TBM untuk mengkonstruksikan terowongan. Bahan buangan yang berasal dari belt conveyor
dimanfaatkan sebagai bahan backfill pada site cut and cover yang terletak pada Shepiston Lane.
Rate penetrasi TBM dapat mencapai maksimal 180 m per minggu.
Sistem lining semula direncanakan secara segmental dengan menggunakan beton precast
yang memang umum digunakan untuk jenis tanah London clay. Namun seiring dengan
berjalannya waktu dipilih penggunaan shotcrete/ sprayed concrete lining (SCL). Sistem ini sudah
banyak diaplikasikan di Germany namun tidak banyak digunakan di U.K. Setelah melakukan
testana engineeringCopyright
-
10
studi terowongan di Frankfurt (Germany), Tokyo (Japan), dan Sao Paulo (Brazil); SCL
dipertimbangkan sebagai pilihan yang tepat untuk konstruksi Heathrow Express Tunnel dengan
alasan2 berikut ini :
Mudah dikerjakan,
Cost murah,
Dapat memperkuat non-circular tunnel,
Memiliki fleksibilitas terhadap perubahan diameter lining,
Mampu mensupport lining, terutama disaat adanya perubahan desain yang membutuhkan
diameter lining yang lebih besar.
Untuk menguji dan mempelajari kemampuan SCL (mengingat proyek ini adalah proyek
dengan skala yang besar) untuk menahan pembebanan yang ada, dibuatlah sebuah trial tunnel
sepanjang 300 m yang terletak diantara CTA dan terminal 4. Pemasangan instrumentasi secara
intensif dilakukan untuk memonitor pergerakan tanah. Hasil monitoring menunjukkan tidak ada
problem serius yang terjadi, penurunan dan pergerakan tanah masih dalam batas2 yang dapat
diterima, sehingga teknik ini dipandang layak untuk dapat diterapkan pada lokasi proyek.
D. Kegagalan Struktur Terowongan
Pada tanggal 21 Oktober 1994 struktur mengalami kolaps. Beberapa saat sebelum
terjadinya kegagalan struktur, pengawas mengidentifikasi adanya keretakan pada struktur
terowongan dan memutuskan untuk mengevakuasi seluruh pekerja dalam terowongan. Tidak
ada pekerja yang terluka akibat peristiwa ini, berkat tindakan sigap dan tepat dari pengawas
konstruksi tersebut. Kegagalan struktur diakibatkan oleh besarnya tekanan dan penurunan
berlebih pada tanah di atasnya. Namun beruntung, efek kegagalan tidak meluas ke bangunan2/
struktur2 yang berada disekitar proyek.
Section2 yang terletak didekat section lining yang gagal masih tetap stabil dan berdiri,
namun amat berpotensi mengalami kegagalan serupa karena memiliki desain dan teknik
pelaksanaan yang sama pada section yang gagal. Untuk mengantisipasi hal tersebut, section-
section yang terletak dekat section yang gagal diisi penuh dengan concrete dengan tujuan untuk
menciptakan bulkhead (prinsip pelaksanaan tiang bor). Pada section2 lain yang terletak cukup
jauh, pengisian foam concrete dilaksanakan sebagai perkuatan.
testana engineeringCopyright
-
11
E. Tantangan & Solusi Teknis
6 minggu sebelum kegagalan pada terowongan Heathrow, kegagalan terowongan dengan
sistem SCL juga terjadi di Munich, Germany. Hal ini membuat pemerintah Inggris memberikan
larangan terhadap pelaksanaan teknik perkuatan terowongan menggunakan SCL, sampai
dilakukan pengkajian ulang untuk menentukan dan memastikan terjaminnya stabilitas sistem
konstruksi terowongan. Berdasarkan hasil rapat antara klien (Heathrow Express), kontraktor
(Balfour Beatty), designer (Mott MacDonald), dan pihak asuransi proyek; diambil beberapa
keputusan sehubungan dengan pelaksanaan proyek. Keputusan tersebut diantaranya :
Station pada lokasi CTA akan dikonstruksikan sesuai dengan perencanaan semula, namun
sistem lining menggunakan SCL akan diganti menggunakan sistem segmental lining,
Pada area dimana kegagalan/ kolaps terjadi akan segera digali dan ditopang oleh sistem
proteksi cofferdam berdiameter 60 m yang menggunakan secant pile,
Pada area-area lain di terminal 4 dan lokasi dimana tunnel menyatu, penggunaan SCL
tetap dilaksanakan dengan catatan perlu dilakukannya review ulang terhadap desain dan
metode konstruksi, bilamana perlu modifikasi dapat dilakukan.
Review ulang dan beberapa modifikasi yang telah dilakukan terhadap desain SCL
selanjutnya dipaparkan sebagai berikut :
Cross section dibuat dengan bentuk elips, terutama pada bagian invert,
Penggunaan lattice girder sebagai sistem penopang tambahan pada seluruh section lining,
Gambar 9. Lattice Girder.
Peningkatan faktor beban untuk overburden ditingkatkan dari 1.0 menjadi 1.4,
testana engineeringCopyright
-
12
Diadakannya pengarahan dan pelatihan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam
mengkonstruksikan SCL untuk memastikan kualitas pengerjaan,
Desainer senior SCL dipandang perlu untuk memberikan arahan pada saat pelatihan dan
pelaksanaan SCL di lapangan.
Gambar 10. Desain SCL yang telah direvisi.
Pengkonstruksian terowongan menggunakan SCL kembali dilaksanakan pada bulan
September 1995 pada lokasi terminal 4. Pemasangan instrumentasi dilakukan untuk mengamati
perilaku struktur. hasil monitoring menunjukkan bahwa respons struktur memberikan hasil yang
tidak jauh berbeda terhadap desain. Gaya dalam dan pergerakan lining yang terjadi masih dalam
batas2 yang masih dapat diterima.
Sedangkan pada area dimana tanah bawah mengalami kolaps dan berada dalam kondisi
terganggu, perlu digali dengan sistem proteksi secant pile seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Pada bagian section yang gagal digunakan segmental lining sebagai perkuatan.
Konstruksi terowongan selesai lebih lambat 6 bulan dari perkiraan awal akibat kegagalan
struktur, namun dapat terselesaikan dengan baik, berkat kerjasama yang terorganisir antara klien,
kontraktor, dan desainer.
F. Kesimpulan
Perlunya penyelidikan geoteknik yang intensif untuk mendapatkan stratifikasi dan
properti tanah yang akurat dan memadai,
testana engineeringCopyright
-
13
Perlu mempertimbangkan kondisi dan karakteristik tanah diatas terowongan berikut
beserta fluktuasi muka dan tekanan air tanah, mengingat tekanan overburden yang
berlebihan akan berakibat keretakan dan bahkan kegagalan struktur terowongan,
Diperlukan pengetahuan, pengarahan, dan kontrol dari pihak yang telah berpengalaman
dibidangnya; khususnya jika digunakan metode dan sistem konstruksi yang masih relatif
baru (dalam hal ini SCL) sebelum proyek memasuki masa konstruksi,
Pemasangan instrumentasi seperti halnya inklinometer, piezometer, extensometer, dll.;
merupakan hal yang penting untuk memantau kondisi aktual di lapangan sekaligus
berperan sebagai early warning system, sehingga bilamana didapati keadaan yang
dipertimbangkan cukup berbahaya, tindakan antisipasi dapat segera dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan yang ada,
Komunikasi dan kerjasama antar pihak2 yang terkait merupakan hal yang perlu dijaga dan
ditingkatkan sehingga proyek dapat terselesaikan dengan aman, efisien, dan ekonomis.
Oleh :
Yehezkiel A. Sucipto,
Foundation Engineer,
Testana Engineering, Inc., Surabaya.
testana engineeringCopyright