studi banding dpr tidak layak dimaafkan · mayoritas fraksi di dpr ramai-ramai memberi pem-benaran...

1
MAYORITAS fraksi di DPR ramai-ramai memberi pem- benaran terhadap kunjungan kerja atau studi banding ang- gota DPR, termasuk untuk bepergian ke luar negeri. Ketua DPR Marzuki Alie pun terkesan lepas tangan melihat maraknya perjalanan anggota dewan ke luar negeri. Ia meng- aku telah mengimbau agar mengurangi agenda kunjungan ke luar negeri. Namun, lanjut dia, imbauan itu kerap diabaikan. “Ketua DPR tidak punya otoritas untuk (melarang ke luar negeri) itu,” kata Marzuki di Jakarta, Jumat (15/4). Bahkan, ia menunjuk Wakil Ketua DPR dari F-PG Priyo Budi Santoso sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. “Kalau mengenai kunjungan luar negeri, silakan tanya ke Pak Priyo. Dia yang ngurus hal itu,” tegasnya. Menurut dia, posisi fraksi memiliki peran lebih besar da- lam membatasi kegiatan ke luar negeri. Fraksi berhak untuk mengizinkan atau melarang anggota mereka untuk ikut kunjungan luar negeri. Wakil Ketua Badan Kehor- matan (BK) DPR dari F-PG Nudirman Munir bahkan mengistilahkan kunjungan kerja ke luar negeri adalah ke- giatan wajib. Kepergian ke luar negeri merupakan hal yang sangat penting untuk bisa me- nyerap kondisi nyata di tempat yang dikunjungi. “Kalau kunjungan kerja dila- rang, saya tidak tahu lagi. Ya 5D (datang, duduk, diam, dengar, duit) saja. Kunjungan kerja itu wajib,” kata Nudirman. Ketua Komisi I DPR dari F- PKS Mahfudz Siddiq juga meng- anggap kegiatan kunjungan kerja anggota dewan penting. Ia mencontohkan kunjungan Komisi I DPR ke luar negeri. “Tentang industri pertahanan juga menggali masukan pem- bahasan Rancangan Undang- Undang (RUU) Intelijen ke ber- bagai negara. Menggali masukan kebijakan politik untuk beberapa isu,” jelas Mahfudz. Wakil Ketua Komisi I DPR dari F-PD Hayono Isman meng- aku memimpin rombong an anggota Komisi I DPR ke Amerika Serikat (AS) pada 6 Mei. Ia menjelaskan kunjungan itu antara lain membawa misi melobi parlemen dan pemerin- tah AS untuk mencabut status cekal atas nama Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin. “Salah satu agenda meminta pihak AS segera mencabut pencekalan pada Wakil Men- han. Tuduhan kejahatan pelang- garan HAM itu tidak pernah terjadi dan tidak ada vonis dari pengadilan,” kata Hayono. Ia mengakui DPR kerap kurang transparan dalam men- jelaskan hasil kunjungan kerja ke luar negeri. “Semestinya memang sebelum kami be- rangkat, publik harusnya diberi tahu. Jangan sampai kunjungan kerja dilaporkan hanya setelah- nya. Seharusnya ada di laman. Saya minta maaf belum sampai berpikir begitu sebelumnya,” ujarnya. Ketua F-PDIP DPR Tjahjo Kumolo menjelaskan F-PDIP cukup selektif dalam memberi- kan izin anggota fraksi untuk mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri. “Kami akan tanyakan langsung kepada anggota fraksi mengenai detail maksud dan tujuan kunjungan tersebut,” ujarnya. Edhy Prabowo dari F-Gerin- dra DPR mengakui DPP Gerin- dra belum mengizinkan kun- jungan luar negeri bagi anggota mereka. Fraksi Gerindra secara resmi telah menyampaikan surat resmi ke komisi yang mengadakan kunjungan untuk memastikan ketidakikutsertaan mereka. “Surat yang kami kirim de- ngan nomor A.471/F.P-GE- RINDRA/DPR-RI/III/2011 jelas melarang anggota Fraksi Gerindra untuk berkunjung ke luar negeri. Alasannya kondisi ekonomi saat ini masih tidak kondusif,” ujarnya. Studi banding bagi Fraksi Gerindra hanya diperuntukkan hal-hal yang sangat mendesak dan penting. Misalnya, studi banding Komisi VIII soal haji atau kunjungan luar negeri terkait dengan masalah aktual yang dihadapi Indonesia saat ini seperti perompak Somalia yang menahan warga negara Indonesia. “Itu kan hal penting yang harus diselesaikan anggota komisi karena sifatnya urgen. Komisi I bisa ke Somalia untuk mengatasi hal tersebut,” tan- dasnya. (*/P-1) AKHMAD MUSTAIN M ESKI menyan- dang nama De- wan Perwakilan Rakyat (DPR), ternyata tidak semua anggota dewan menggunakan masa re- ses mereka untuk mengunjungi para pemilih mereka. Beberapa di antaranya memilih pelesiran berkedok studi banding ke luar negeri, di saat rekan-rekan se- jawat mereka tengah menjaring aspirasi masyarakat. Dalam masa reses kali ini, sejumlah komisi di DPR telah menjadwalkan keberangkatan ke luar negeri. Dalam rentang 14 April 2011 hingga 8 Mei 2011, di tengah masa reses, tak kurang ada 13 kunjungan ke negara berbeda. Sikap semacam itu, menurut pakar politik dari Universitas Indonesia Iberamsjah, merupa- kan bentuk pengkhianatan ter- hadap amanat yang diberikan rakyat kepada para wakilnya. “Rasa tanggung jawab dan moral mereka sudah tidak ada dalam menjalankan tugas re- presentasinya. Kalau rasa tang- gung jawab itu sudah hilang, tentu rasa malunya juga sudah hilang,” jelas Iberamsjah dalam perbincangan dengan Media Indonesia, kemarin. Ia mengatakan hal yang dilakukan DPR kali ini sudah tidak layak mendapatkan maaf dari publik. Pasalnya para ang- gota dewan itu telah mengabai- kan tugas dan fungsi utama mereka sebagai wakil rakyat, yakni fungsi representatif. “Ini menyangkut moral dan tanggung jawab. Moralnya tipis dan malunya tipis. Mereka su- dah kehilangan rasa tanggung jawab. Apa pun pekerjaannya, baik tukang sapu atau presi- den, yang utama adalah rasa tanggung jawabnya. Namun, DPR ini, mereka tidak punya muka,” tegas Iberamsjah. Terlebih, sambungnya, dari segi substansi, studi banding tidak pernah ada hasilnya, dan lebih sekadar bagi-bagi jatah giliran ke luar negeri. “Itu hanya ingin jalan-jalan ke luar negeri, bagi-bagi jatah. Dengan ketidakcakapan anggota dewan yang melakukan studi banding, itu semakin memperlihatkan tugas mereka tidaklah efektif,” terangnya. Tidak transparan Dalam menyikapi sikap ang- gota dewan yang keras kepala seperti itu, Ketua Divisi Ad- vokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai DPR yang tak memiliki niat membenahi aturan internalnya. Apalagi, tidak ada keterkaitan signi- kan antara studi banding yang dilakukan dewan dan produk- tivitas serta kualitas legislasi. “Setiap alat kelengkapan DPR mengusulkan perlu studi banding. Namun, di saat yang sama, DPR dihadapkan pada kegagalan sistematis dalam mengolah berbagai hasil studi banding terkait dengan sub- stansi regulasi yang sedang dibahas,” jelasnya. Buruknya perilaku anggota dewan seperti itu, sambung- nya, kian diperparah kiner- janya di bidang legislasi. DPR selalu gagal mencapai target jumlah legislasi di setiap tahun- nya, sedangkan kegiatan studi banding justru terus berjalan. “Padahal DPR sering me- ngeluhkan keterbatasan waktu dalam menyelesaikan tunggak- an RUU terkait dengan tidak terpenuhinya target program legislasi nasional. Namun, kenapa penggunaan waktu lebih diprioritaskan pada studi banding,” tanyanya. Buruknya perilaku itu se- makin lengkap saat kunjungan itu tidak transparan. Berdasar- kan pengamatannya, jarang sekali DPR memaparkan ke publik soal rencana, tujuan, dan hasil studi banding yang dilakukan. Sementara itu, Koordina- tor Investigasi dan Advoka- si Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadamenegas- kan, meninggalkan pemilihnya di daerah dan mendahulukan kunjungan ke luar negeri ada- lah bentuk perampokan DPR terhadap uang negara. (P-2) [email protected] Studi Banding DPR tidak Layak Dimaafkan Anggota DPR sudah kehilangan rasa malu dan tanggung jawab saat meninggalkan pemilih mereka di daerah. SEJAK Sabtu (2/4), DPR kem- bali memasuki masa reses. Selama reses, anggota dewan idealnya menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemi- lihan mereka. Namun, yang terjadi justru mereka berangkat ke luar negeri dengan dalih me- langsungkan studi banding. Untuk mengetahui lebih banyak mengenai efektivitas dan kegunaan studi banding ke luar negeri, wartawan Media Indonesia Akhmad Mustain mewawancarai anggota Komisi II DPR dari F-PG Basuki Tja- haya Purnama di Jakarta, Sabtu (16/4). Berikut petikannya. Apa urgensi studi banding ke luar negeri? Tidak ada urgensinya. Yang saya rasakan hanya hasrat un- tuk jalan-jalan ke luar negeri. Agenda saat di luar negeri banyak yang kosong sehingga yang ada hanya jalan-jalan dan bahkan menyeberang ke negara lain. Selain itu, hasilnya juga tidak ada laporan yang disampaikan baik komisi mau- pun fraksi di DPR. Kalau saya lihat, sangat mengecewakan. Yang bisa dilakukan adalah secara personal saya membuat pertanggungjawaban di laman www.ahok.org. Apa yang harus diubah? Semuanya, mulai perenca- naan hingga sistem peng- anggaran. Akan le- bih efektif misalkan, perlu adanya kerja sama dengan KBRI yang ada di negara lain. Pasalnya, se- ti ap kedutaan itu ada atase di setiap bidang, pendidik- an, hukum, sosial dan perekono- mian, yang tugasnya di negara tersebut untuk studi banding. Kita bisa optimalkan atase untuk memberi masukan. Kalau dari sisi anggaran? Anggaran juga titik krusial dari setiap studi banding ke luar negeri. Dari pengalaman saya, yang terjadi hanya peng- hamburan uang negara. Meka- nisme penggunaan anggaran dalam studi banding yakni lumsum (paket), bukan at cost (berdasarkan pengeluaran). Itu yang menyebabkan ba- nyak anggota DPR dalam pe- nerbangan yang sebenarnya mendapat jatah kelas bisnis malah memilih kelas ekonomi agar sisanya bisa masuk kan- tong. Selain itu, ada beberapa ang- gota yang memilih pulang lebih dulu, tetapi klaimnya penuh. Itu kan sama saja tidak ada penghematan. Bahkan, bagi ketua rombongan, selain mendapatkan uang harian, diberikan dana taktis US$2.000 per hari, dan juga kabarnya un- tuk dalam negeri sebesar Rp15 juta yang merupakan milik bersama, tetapi sering masuk kantong ketua rombongan. Pengalaman Anda saat studi banding? Saat menjadi delegasi grup kerja sama bilateral (GKSB) ke Maroko, saya mau selama di- lakukan dengan be- nar sesuai dengan prosedur dan ke- pentingan. Namun, yang membuat saya gundah adalah da- lam per- jalanan ini juga ada acara ke Spa- nyol. Menurut saya, perjalanan ke Spanyol tersebut bukan lagi merupakan bagian dari kerja sama bilateral, toh terdapat tim lain yang bertugas ke sana. Saya jelas menolak bepergian ke Spanyol karena tugas saya ke Maroko. Yang membuat saya bingung adalah kenapa pimpin- an DPR menyetujui perjalanan 4 hari ke Maroko dan 3 hari ke Spanyol dengan biaya US$200 per hari untuk perjalanan ke Maroko dan US$400 per hari untuk ke Spanyol? Hal serupa terjadi ketika ikut studi banding Badan Legislasi (Baleg) DPR ke Vietnam. Ba- nyak anggota rombongan yang pulang lebih dulu. Namun, klaim anggaran tetap penuh. Pengelolaan anggaran seperti itu yang menjadikan hasil audit BPK maupun terkait anggaran studi banding DPR ke luar negeri selalu disclaimer. Apakah wajar studi banding ke luar negeri selama reses? Memang ironis, ketika ha- rusnya turun ke daerah pemi- lihan untuk menyerap aspirasi masyarakat, ternyata (anggota DPR) memilih untuk studi banding ke luar negeri. Saya (berprinsip) tetap akan turun ke daerah pemilihan ter- lebih dahulu sebelum kunjung- an ke luar negeri karena un- tuk setiap reses, anggota DPR dibekali dana bisa di atas Rp100 juta karena ada penambahan masa reses dari cuma sembilan hari menjadi 14 hari. Selama reses, anggota DPR mendapat uang harian Rp300 ribu, uang representasi Rp200 ribu, dan uang transpor lokal Rp535 ribu. Artinya, per hari selama reses anggota DPR mendapat Rp1,035 juta. Ditambah lagi dengan uang pertemuan Rp4,5 juta per per- temuan, dengan jatah 12 kali pertemuan, sehingga (total) bisa Rp54 juta. Belum, untuk keperluan akomodasi, tiket, dan hotel yang tergantung daerah pemilihan, namun tidak kurang dari Rp20 juta. Selain itu, ada anggaran so- sialisasi Pancasila dan UUD 1945 sebesar Rp21 juta. Jadi kalau ditotal, (bekal) bisa men- capai Rp108,5 juta untuk sekali reses. (P-1) Ramai-Ramai Membela Kunjungan Kerja ke Luar Negeri Pilih Kelas Ekonomi supaya Bisa Masuk Kantong DOK. PRIBADI Basuki Tjahaya Purnama Anggota Komisi II DPR F-PG 4 SENIN, 18 APRIL 2011 P OLKAM WAWANCARA Ketua DPR tidak punya otoritas untuk (melarang ke luar negeri) itu.” Marzuki Alie Ketua DPR MI/SUSANTO

Upload: vokhuong

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Banding DPR tidak Layak Dimaafkan · MAYORITAS fraksi di DPR ramai-ramai memberi pem-benaran terhadap kunjungan kerja atau studi banding ang-gota DPR, termasuk untuk bepergian

MAYORITAS fraksi di DPR ramai-ramai memberi pem-benaran terhadap kunjungan kerja atau studi banding ang-gota DPR, termasuk untuk bepergian ke luar negeri.

Ketua DPR Marzuki Alie pun terkesan lepas tangan melihat maraknya perjalanan anggota dewan ke luar negeri. Ia meng-aku telah mengimbau agar mengurangi agenda kunjungan ke luar negeri.

Namun, lanjut dia, imbauan itu kerap diabaikan. “Ketua DPR tidak punya otoritas untuk (melarang ke luar negeri) itu,” kata Marzuki di Jakarta, Jumat (15/4).

Bahkan, ia menunjuk Wakil Ketua DPR dari F-PG Priyo Budi Santoso sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. “Kalau mengenai kunjungan luar negeri, silakan tanya ke Pak Priyo. Dia yang ngurus hal itu,” tegasnya.

Menurut dia, posisi fraksi memiliki peran lebih besar da-lam membatasi kegiatan ke luar negeri. Fraksi berhak untuk mengizinkan atau melarang anggota mereka untuk ikut kunjungan luar negeri.

Wakil Ketua Badan Kehor-matan (BK) DPR dari F-PG Nudirman Munir bahkan mengistilahkan kunjungan kerja ke luar negeri adalah ke-

giatan wajib. Kepergian ke luar negeri merupakan hal yang sangat penting untuk bisa me-nyerap kondisi nyata di tempat yang dikunjungi.

“Kalau kunjungan kerja dila-rang, saya tidak tahu lagi. Ya 5D (datang, duduk, diam, dengar, duit) saja. Kunjungan kerja itu wajib,” kata Nudirman.

Ketua Komisi I DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq juga meng-anggap kegiatan kunjungan kerja anggota dewan penting. Ia mencontohkan kunjungan Komisi I DPR ke luar negeri. “Tentang industri pertahanan juga menggali masukan pem-bahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen ke ber-bagai negara. Menggali masuk an kebijakan politik untuk beberapa isu,” jelas Mahfudz.

Wakil Ketua Komisi I DPR dari F-PD Hayono Isman meng-aku memimpin rombong an anggota Komisi I DPR ke Ameri ka Serikat (AS) pada 6 Mei. Ia menjelaskan kunjungan itu antara lain membawa misi melobi parlemen dan pemerin-tah AS untuk mencabut status cekal atas nama Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin.

“Salah satu agenda meminta pihak AS segera mencabut pencekalan pada Wakil Men-han. Tuduhan kejahatan pelang-garan HAM itu tidak pernah

terjadi dan tidak ada vonis dari pengadilan,” kata Hayono.

Ia mengakui DPR kerap kurang transparan dalam men-jelaskan hasil kunjungan kerja ke luar negeri. “Semestinya memang sebelum kami be-rangkat, publik harusnya diberi tahu. Jangan sampai kunjungan kerja dilaporkan hanya setelah-nya. Seharusnya ada di laman. Saya minta maaf belum sampai berpikir begitu sebelumnya,” ujarnya.

Ketua F-PDIP DPR Tjahjo Kumolo menjelaskan F-PDIP cukup selektif dalam memberi-kan izin anggota fraksi untuk mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri. “Kami akan

tanyakan langsung kepada anggota fraksi mengenai detail maksud dan tujuan kunjungan tersebut,” ujarnya.

Edhy Prabowo dari F-Gerin-dra DPR mengakui DPP Gerin-dra belum mengizinkan kun-jungan luar negeri bagi anggota mereka. Fraksi Gerindra secara resmi telah menyampaikan surat resmi ke komisi yang mengadakan kunjungan untuk memastikan ketidakikutsertaan mereka.

“Surat yang kami kirim de-ngan nomor A.471/F.P-GE-RINDRA/DPR-RI/III/2011 jelas melarang anggota Fraksi Gerindra untuk berkunjung ke luar negeri. Alasannya kondisi ekonomi saat ini masih tidak kondusif,” ujarnya.

Studi banding bagi Fraksi Gerindra hanya diperuntukkan hal-hal yang sangat mendesak dan penting. Misalnya, studi banding Komisi VIII soal haji atau kunjungan luar negeri terkait dengan masalah aktual yang dihadapi Indonesia saat ini seperti perompak Somalia yang menahan warga negara Indonesia.

“Itu kan hal penting yang harus diselesaikan anggota komisi karena sifatnya urgen. Komisi I bisa ke Somalia untuk mengatasi hal tersebut,” tan-dasnya. (*/P-1)

AKHMAD MUSTAIN

MESKI menyan-dang nama De-wan Perwakilan Rakyat (DPR),

ternyata tidak semua anggota dewan menggunakan masa re-ses mereka untuk mengunjungi para pemilih mereka. Beberapa di antaranya memilih pelesiran berkedok studi banding ke luar negeri, di saat rekan-rekan se-jawat mereka tengah menjaring aspirasi masyarakat.

Dalam masa reses kali ini, sejumlah komisi di DPR telah menjadwalkan keberangkatan ke luar negeri. Dalam rentang 14 April 2011 hingga 8 Mei 2011, di tengah masa reses, tak kurang ada 13 kunjungan ke negara berbeda.

Sikap semacam itu, menurut pakar politik dari Universitas Indonesia Iberamsjah, merupa-kan bentuk pengkhianatan ter-hadap amanat yang diberikan rakyat kepada para wakilnya.

“Rasa tanggung jawab dan moral mereka sudah tidak ada dalam menjalankan tugas re-

presentasinya. Kalau rasa tang-gung jawab itu sudah hilang, tentu rasa malunya juga sudah hilang,” jelas Iberamsjah dalam perbincangan dengan Media Indonesia, kemarin.

Ia mengatakan hal yang dilakukan DPR kali ini sudah tidak layak mendapatkan maaf dari publik. Pasalnya para ang-gota dewan itu telah mengabai-kan tugas dan fungsi utama mereka sebagai wakil rakyat, yakni fungsi representatif.

“Ini menyangkut moral dan tanggung jawab. Moralnya tipis dan malunya tipis. Mereka su-dah kehilangan rasa tanggung jawab. Apa pun pekerjaannya, baik tukang sapu atau presi-den, yang utama adalah rasa tanggung jawabnya. Namun, DPR ini, mereka tidak punya muka,” tegas Iberamsjah.

Terlebih, sambungnya, dari segi substansi, studi banding tidak pernah ada hasilnya, dan lebih sekadar bagi-bagi jatah giliran ke luar negeri. “Itu hanya ingin jalan-jalan ke luar negeri, bagi-bagi jatah. Dengan ketidakcakapan anggota dewan

yang melakukan studi banding, itu semakin memperlihatkan tugas mereka tidaklah efektif,” terangnya.

Tidak transparanDalam menyikapi sikap ang-

gota dewan yang keras kepala seperti itu, Ketua Divisi Ad-vokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai DPR yang tak memiliki niat membenahi aturan internalnya. Apalagi, tidak ada keterkaitan signifi -kan antara studi banding yang dilakukan dewan dan produk-tivitas serta kualitas legislasi.

“Setiap alat kelengkapan DPR mengusulkan perlu studi banding. Namun, di saat yang sama, DPR dihadapkan pada kegagalan sistematis dalam mengolah berbagai hasil studi banding terkait dengan sub-stansi regulasi yang sedang dibahas,” jelasnya.

Buruknya perilaku anggota dewan seperti itu, sambung-nya, kian diperparah kiner-janya di bidang legislasi. DPR selalu gagal mencapai target

jumlah legislasi di setiap tahun-nya, sedangkan kegiatan studi banding justru terus berjalan.

“Padahal DPR sering me-ngeluhkan keterbatasan waktu dalam menyelesaikan tunggak-an RUU terkait dengan tidak terpenuhinya target program legislasi nasional. Namun, kenapa penggunaan waktu lebih diprioritaskan pada studi banding,” tanyanya.

Buruknya perilaku itu se-makin lengkap saat kunjungan itu tidak transparan. Berdasar-kan pengamatannya, jarang sekali DPR memaparkan ke publik soal rencana, tujuan, dan hasil studi banding yang dilakukan.

Sementara itu, Koordina-tor Investigasi dan Advoka-si Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi menegas-kan, meninggalkan pemilihnya di daerah dan mendahulukan kunjungan ke luar negeri ada-lah bentuk perampokan DPR terhadap uang negara. (P-2)

[email protected]

Studi Banding DPRtidak Layak Dimaafkan

Anggota DPR sudah kehilangan rasa malu dan tanggung jawab saat meninggalkan pemilih mereka di daerah.

SEJAK Sabtu (2/4), DPR kem-bali memasuki masa reses. Selama reses, anggota dewan idealnya menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemi-lihan mereka. Namun, yang terjadi justru mereka berangkat ke luar negeri dengan dalih me-langsungkan studi banding.

Untuk mengetahui lebih banyak mengenai efektivitas dan kegunaan studi banding ke luar negeri, wartawan Media Indonesia Akhmad Mustain mewawancarai anggota Komisi II DPR dari F-PG Basuki Tja-haya Purnama di Jakarta, Sabtu (16/4). Berikut petikannya.

Apa urgensi studi banding ke luar negeri?

Tidak ada urgensinya. Yang saya rasakan hanya hasrat un-tuk jalan-jalan ke luar negeri. Agenda saat di luar negeri banyak yang kosong sehingga yang ada hanya jalan-jalan dan bahkan menyeberang ke negara lain. Selain itu, hasilnya juga tidak ada laporan yang disampaikan baik komisi mau-pun fraksi di DPR. Kalau saya lihat, sangat mengecewakan. Yang bisa dilakukan adalah secara personal saya membuat pertanggungjawaban di laman www.ahok.org.

Apa yang harus diubah?Semuanya, mulai perenca-

naan hingga sistem peng-anggaran. Akan le-bih efektif misalkan, perlu adanya kerja sama dengan KBRI yang ada di negara lain. Pasalnya, se -ti ap kedutaan itu ada atase di setiap bidang, pendidik-

an, hukum, sosial dan perekono-mian, yang tugasnya di negara tersebut untuk studi banding. Kita bisa optimalkan atase untuk memberi masukan.

Kalau dari sisi anggaran?Anggaran juga titik krusial

dari setiap studi banding ke luar negeri. Dari pengalaman saya, yang terjadi hanya peng-hamburan uang negara. Meka-nisme penggunaan anggaran dalam studi banding yakni lumsum (paket), bukan at cost (berdasarkan pengeluaran).

Itu yang menyebabkan ba-nyak anggota DPR dalam pe-nerbangan yang sebenarnya mendapat jatah kelas bisnis malah memilih kelas ekonomi agar sisanya bisa masuk kan-tong.

Selain itu, ada beberapa ang-gota yang memilih pulang lebih dulu, tetapi klaimnya penuh. Itu kan sama saja tidak ada penghematan. Bahkan, bagi ketua rombongan, selain mendapatkan uang harian, diberikan dana taktis US$2.000 per hari, dan juga kabarnya un-tuk dalam negeri sebesar Rp15 juta yang merupakan milik bersama, tetapi sering masuk kantong ketua rombongan.

Pengalaman Anda saat studi banding?

Saat menjadi delegasi grup kerja sama bilateral

(GKSB) ke Maroko, saya mau selama di-lakukan dengan be-nar sesuai dengan prosedur dan ke-

pentingan. Namun, yang membuat saya

gundah adalah da-lam per-

jalanan ini juga ada acara ke Spa-nyol. Menurut saya, perjalanan ke Spanyol tersebut bukan lagi merupakan bagian dari kerja sama bilateral, toh terdapat tim lain yang bertugas ke sana.

Saya jelas menolak bepergian ke Spanyol karena tugas saya ke Maroko. Yang membuat saya bingung adalah kenapa pimpin-an DPR menyetujui perjalanan 4 hari ke Maroko dan 3 hari ke Spanyol dengan biaya US$200 per hari untuk perjalanan ke Maroko dan US$400 per hari untuk ke Spanyol?

Hal serupa terjadi ketika ikut studi banding Badan Legislasi (Baleg) DPR ke Vietnam. Ba-nyak anggota rombongan yang pulang lebih dulu. Namun, klaim anggaran tetap penuh. Pengelolaan anggaran seperti itu yang menjadikan hasil audit BPK maupun terkait anggaran studi banding DPR ke luar negeri selalu disclaimer.

Apakah wajar studi banding ke luar negeri selama reses?

Memang ironis, ketika ha-rusnya turun ke daerah pemi-lihan untuk menyerap aspirasi masyarakat, ternyata (anggota DPR) memilih untuk studi banding ke luar negeri.

Saya (berprinsip) tetap akan turun ke daerah pemilihan ter-lebih dahulu sebelum kunjung-an ke luar negeri karena un-tuk setiap reses, anggota DPR dibekali dana bisa di atas Rp100 juta karena ada penambahan masa reses dari cuma sembilan hari menjadi 14 hari.

Selama reses, anggota DPR mendapat uang harian Rp300 ribu, uang representasi Rp200 ribu, dan uang transpor lokal Rp535 ribu. Artinya, per hari selama reses anggota DPR mendapat Rp1,035 juta.

Ditambah lagi dengan uang pertemuan Rp4,5 juta per per-temuan, dengan jatah 12 kali pertemuan, sehingga (total) bisa Rp54 juta. Belum, untuk keperluan akomodasi, tiket, dan hotel yang tergantung daerah pemilihan, namun tidak kurang dari Rp20 juta.

Selain itu, ada anggaran so-sialisasi Pancasila dan UUD 1945 sebesar Rp21 juta. Jadi kalau ditotal, (bekal) bisa men-capai Rp108,5 juta untuk sekali reses. (P-1)

Ramai-Ramai Membela Kunjungan Kerja ke Luar Negeri

Pilih Kelas Ekonomisupaya Bisa Masuk Kantong

DOK. PRIBADI

Basuki Tjahaya PurnamaAnggota Komisi II DPR F-PG

4 SENIN, 18 APRIL 2011POLKAMWAWANCARA

Ketua DPR tidak punya otoritas

untuk (melarang ke luar negeri) itu.”

Marzuki AlieKetua DPR

MI/SUSANTO