strategi pengembangan budaya literasi sastra di …

13
Prosiding SENASBASA http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA (Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Edisi 1 Tahun 2017 Halaman 412-424 E-ISSN 2599-0519 412 | Halaman STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI SEKOLAH DAN MASYARAKAT Suwardi Endraswara Ketua Umum Hiski Pusat A. Strategi Mukidi Menuju Literasi Etnoreflika Sastra Strategi adalah cara yang tepat utuk pengembangan budaya literasi. Strategi Mukidi adalah pilihan. Strategi itu cara yang jitu untuk mencapai sesuatu. Jitu, berarti tepat, efektif, dan efesien sesuai harapan. Strategi budaya literasi pun demikian, butuh penataan, pengembangan, dan inovasi. Strategi itu sebuah tip, bahkan sering ada trik di dalamnya. Strategi itu membutuhkan kiat agar sukses membangun budaya literasi. Pilihan strategi Mukidi dipakai untuk mewujudkan etnoreflika sastra. Nadjib (1984:51) bergumam bahwa sastra tak mungkin sterilisasi dari kehidupan. Maksudnya, sastrawan tak mungkin lari dari kehidupan. Biasanya karya sastra itu sebuah mimesis (reflika hidup). Oleh karena itu, membangun budaya literasi dengan jalur etnoreflika tidak keliru. Etnoreflika sastra adalah perspektif pegembangan budaya literasi yang khas di sekolah dan masyarakat. Saya sebut khas, sebab mengaitkan dua hal, yaitu etno (etnis, bangsa) dan reflika (peniruan). Etnoreflika sastra adalah strategi pengembangan budaya literasi yang memperhatikan etnisitas yang mengungkap aspek-aspek pencerminan budaya. Etnoreflika sastra secara sengaja mengambil kata generik ‘ethnos’ yang bertujuan mengembangkan misi mempromosikan dan mengembangkan semangat multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Reflika dimaknai sebagai proses merefleksikan perilaku, ide dan lingkungannya. Etnoreflika sastra adalah strategi untuk mengembangkan budaya literasi agar sekolah dan masyarakat paham literasi gagasan dan perilaku multikultur. Fenomena multikultur ini penting digelar dalam budaya literasi, sebab terlalu banyak gesekan budaya gara-gara perbedaan kultur. Itulah sebabnya, pilihan strategi yang tepat untuk mewujudkan etnoreflika sastra memang bukan sebuah kebetulan. Oleh karena sastra banyak menawarkan aset multikultur. Berolah sastra juga dapat membangkitkan kepedulian hidup era multikulturalisme. Menurut hemat saya strategi Mukidi bisa digunakan untuk menggugah budaya literasi bercorak etnoreflika sastra. Strategi ini cocok untuk menggarap pengembangan etnoreflika sastra. Mukidi adalah singkatan dari (1) Mengenalkan, apa saja yang dapat membantu kehidupan sebaiknya diperkenalkan pada anak, agar kelak memilihnya sendiri. Di sekolah dan masyarakat, anak harus mulai dikenalkan dengan sastra multicultural, (2) Usaha gigih, dari berbagai pihak perlu usahakan suasana gigih, tidak mudah menyerah untuk memahami karya-karya yang memuat etnoreflika. Anak-anak perlu dilatih untuk belajar membaca huruf Jawa, melagukan tembang, dan sebagainya, sebab di dalamnya banyak karya-karya etnoreflika sastra, (3) Kreatif, artinya budaya literasi harus dikreasi, perlu penumbuhan kreativitas baik terkait membaca maupun menulis sastra. Anak-anak perlu diajak berkunjung ke budaya lain, diajak memahami perbedaan, bahkan sampai diajak mencipta karya-karya yang memuat perbedaan kultur, (4) Inovasi baru, artinya melakukan eksperimen apa saja yang mampu menggugah belajar sastra. Pembaharuan dari karya-karya terdahulu, member ruh baru, serta melakukan reproduksi karya- karya yang membangun multikultur, (5) Demokratik, artinya membangun suasana yang tidak tegang, penuh tawar-menawar dalam berolah sastra, bukan pemaksaan, (6) Ingin tahu, artinya menumbuhnya rasa ingin tahu pada seorang anak agar selalu ada kemauan pada hal-hal baru.

Upload: others

Post on 13-Apr-2022

84 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

Prosiding SENASBASA http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Edisi 1 Tahun 2017

Halaman 412-424 E-ISSN 2599-0519

412 | Halaman

STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA

DI SEKOLAH DAN MASYARAKAT

Suwardi Endraswara

Ketua Umum Hiski Pusat

A. Strategi Mukidi Menuju Literasi Etnoreflika Sastra

Strategi adalah cara yang tepat utuk pengembangan budaya literasi. Strategi Mukidi

adalah pilihan. Strategi itu cara yang jitu untuk mencapai sesuatu. Jitu, berarti tepat, efektif, dan

efesien sesuai harapan. Strategi budaya literasi pun demikian, butuh penataan, pengembangan,

dan inovasi. Strategi itu sebuah tip, bahkan sering ada trik di dalamnya. Strategi itu

membutuhkan kiat agar sukses membangun budaya literasi. Pilihan strategi Mukidi dipakai

untuk mewujudkan etnoreflika sastra.

Nadjib (1984:51) bergumam bahwa sastra tak mungkin sterilisasi dari kehidupan.

Maksudnya, sastrawan tak mungkin lari dari kehidupan. Biasanya karya sastra itu sebuah

mimesis (reflika hidup). Oleh karena itu, membangun budaya literasi dengan jalur etnoreflika

tidak keliru. Etnoreflika sastra adalah perspektif pegembangan budaya literasi yang khas di

sekolah dan masyarakat. Saya sebut khas, sebab mengaitkan dua hal, yaitu etno (etnis, bangsa)

dan reflika (peniruan). Etnoreflika sastra adalah strategi pengembangan budaya literasi yang

memperhatikan etnisitas yang mengungkap aspek-aspek pencerminan budaya. Etnoreflika sastra

secara sengaja mengambil kata generik ‘ethnos’ yang bertujuan mengembangkan misi

mempromosikan dan mengembangkan semangat multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat

Indonesia yang majemuk. Reflika dimaknai sebagai proses merefleksikan perilaku, ide dan

lingkungannya.

Etnoreflika sastra adalah strategi untuk mengembangkan budaya literasi agar sekolah dan

masyarakat paham literasi gagasan dan perilaku multikultur. Fenomena multikultur ini penting

digelar dalam budaya literasi, sebab terlalu banyak gesekan budaya gara-gara perbedaan kultur.

Itulah sebabnya, pilihan strategi yang tepat untuk mewujudkan etnoreflika sastra memang bukan

sebuah kebetulan. Oleh karena sastra banyak menawarkan aset multikultur. Berolah sastra juga

dapat membangkitkan kepedulian hidup era multikulturalisme.

Menurut hemat saya strategi Mukidi bisa digunakan untuk menggugah budaya literasi

bercorak etnoreflika sastra. Strategi ini cocok untuk menggarap pengembangan etnoreflika

sastra. Mukidi adalah singkatan dari (1) Mengenalkan, apa saja yang dapat membantu kehidupan

sebaiknya diperkenalkan pada anak, agar kelak memilihnya sendiri. Di sekolah dan masyarakat,

anak harus mulai dikenalkan dengan sastra multicultural, (2) Usaha gigih, dari berbagai pihak

perlu usahakan suasana gigih, tidak mudah menyerah untuk memahami karya-karya yang

memuat etnoreflika. Anak-anak perlu dilatih untuk belajar membaca huruf Jawa, melagukan

tembang, dan sebagainya, sebab di dalamnya banyak karya-karya etnoreflika sastra, (3) Kreatif,

artinya budaya literasi harus dikreasi, perlu penumbuhan kreativitas baik terkait membaca

maupun menulis sastra. Anak-anak perlu diajak berkunjung ke budaya lain, diajak memahami

perbedaan, bahkan sampai diajak mencipta karya-karya yang memuat perbedaan kultur, (4)

Inovasi baru, artinya melakukan eksperimen apa saja yang mampu menggugah belajar sastra.

Pembaharuan dari karya-karya terdahulu, member ruh baru, serta melakukan reproduksi karya-

karya yang membangun multikultur, (5) Demokratik, artinya membangun suasana yang tidak

tegang, penuh tawar-menawar dalam berolah sastra, bukan pemaksaan, (6) Ingin tahu, artinya

menumbuhnya rasa ingin tahu pada seorang anak agar selalu ada kemauan pada hal-hal baru.

Page 2: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

413 | Halaman

Dalam konteks kekinian, budaya literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang

sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap

lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai

kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu negara. Kemampuan disebut

kompetensi. Kompetensi manusia untuk memahami fenomena masyarakat jadilah budaya

literasi. Kemampuan ini perlu digiring untuk melahirkan program etnoreflika sastra yang segar.

Sastra adalah replica jaman. Sastra adalah pancaran etnoreflika jaman. Misalkan saja, reflika

jaman edan yang sekarang sudah menjadi-jadi.

Di negeri kita ini, sekarang sedang dihadapkan pada kejutan jaman. Kejadian tragis yang

menimpa penyidik KPK Novel Baswedan, yang disiram air keras, tentu muncul karena adanya

selisih budaya. Paling tidak, hal itu terjadi karena ada budaya miring yang muncul, yaitu: (1)

egosentrisme,yaitu ingin lebih menang, (2) dendam kultural dengan kata “titenana”, (3) tega

melihat orang lain sengsara. Begitulah kondisi kultur bangsa ini, sehingga perlu dijinakkan

kembali dengan etnoreflika sastra yang anggun. Mengajak berolah sastra yang bernuansa

etnoreflika, paling tidak dapat mencegah munculnya ego-ego dalam diri manusia.

Setiap tindakan hidup tampaknya butuh budaya literasi. Apalagi tindakan hidup yang

“kejam”, butuh kelembutan rasa lewat etnoreflika sastra. Rencana kasus Tamasya Almaidah,

yang hendak mengontrol tiap-tiap TPS pada Pilkada DKI jleas fenomena tendensius. Hal ini lahir

jelas atas dasar keberagaman kultur. Itulah sebabnya, etnoreflika sastra perlu ditanamkan sebagai

budaya literasi. Bila budaya literasi makin meningkat, taraf hidup diharapkan semakin

meningkat. Buktinya, komunitas yang semakin melek huruf, setiap hari berlangganan surat

kabar, memasang internet, tersedia buku-buku pelajaran, jalan hidup semakin enak. Buku-buku

yang memuat etnoreflika perlu disebarkan, agar masyarakat mampu bertindak bijak.

Pengalaman saya pada masa kecil, di rumah jarang ada buku, toko buku juga belum

pernah melihat. Perpustakaan sekolah pun waktu itu hanya buku paket saja, yang diambil ketika

akan pelajaran lalu dikembalikan. Betapa riang gembiranya apabila ada guru yang meminjami

buku bacaan dan boleh dibawa pulang. Apalagi bila ada buku-buku etnoreflika sastra, kiranya

akan menjadi santapan jiwa yang penting. Untuk membangun budaya literasi yang bertajuk

etnoreflika sastra, menurut hemat saya, satu langkah bisa dilakukan, yaitu menumbuhkan minat

baca sedini mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong putra-

putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya memberi contoh

untuk peduli kultur yang berbeda. Namun pengembangan budaya baca dalam keluarga ini,

seringkali terbengkali oleh berbagai sistem, yaitu: (1) pembelajaran di sekolah hanya

memberikan pekerjaan rumah sesuai buku teks, tapa pengembangan, (2) kondisi rumah yang

kurang kondusif, ruang-ruang yang tidak memenuhi syarat dan kurang menyenangkan, juga

berdampak pada budaya literasi.

Apa pun alasannya, strategi itu tetap dibutuhkan. Budaya literasi tidak akan muncul

secara optimal kalau tanpa strategi yang tepat. Bagaikan menegakkan benang basah memang

mengembangkan budaya literasi. Oleh karena kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Tindakan

strategi itu sepertinya harus diraih secara sinergis dari pihak-pihak yang terkait. Apalagi budaya

literasi sastra, misalnya, perlu ditumbuhkembangkan sejak awal. Membiasakan anak-anak

berkenalan dengan sastra dalam keluarga, mengikutkan anak-anak masuk ke sanggar sastra,

menonton pentas-pentas kantong sastra, akan sangat menggugah minat budaya literasi sastra.

Page 3: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

414 | Halaman

B. Strategi Gusdur Menuju Etnoreligio Sastra

Siapa yang tidak mengenal Gusdur, mantan presiden RI. Ada hal penting yang perlu

ditumbuhkan dalam memantik budaya literasi. Gusdur selalu memunculkan jok dalam setiap

pidato. Ayudan beliau di Ciganjur dulu, pernah menelpun saya untuk memberikan makna lelagon

Jawa, seperti Ilir-Ilir, Cublak Suweng, Sluku-sluku Bathok, dan sebagainya yang katanya akan

dipakai Gusdur ketika pidato. Yang menelpun namanya Gilang Patidana, menginginkan ada

tafsir baru pada lagu-lagu yang semi religi dan sekaligus ada nuansa kepemimpinan.

Gusdur adalah figure humoris, seklaigus religius. Beliau banyak memaknai religi yang

berat lewat pemahaman budaya yang ringan. Kekhasan ungkapan “Begitu saja kok repot”, sudah

mendarah daging. Itulah sebabnya, ada sisi-sisi penting yang patut dicatat dalam strategi Gusdur

untuk menciptakan etnoreligio budaya literasi bangsa ini. Strategi pengembangan budaya literasi

model Gusdur yaitu:

(1) Gemar, artinya tumbuhkan kepada anak dan siapa saja untuk menggemari bacaan dan

pentas apa saja. Kegemaran akan membangkitkan rasa senang dalam menjalankan aktivitas

literasi. Kalau sudah gemar, apalagi melalui lagu rakyat, permainan rakyat, dan aneka tradisi,

etnoreligio sastra akan mudah tertanam;

(2) Ubah suasana, artinya dalam budaya literasi itu ada tindakan untuk mengubah

suasana hidup, tentu saja menjadi lebih maju. Mengubah fenomena dari tidak melek etnoreligio

sastra menjadi sadar diri. Etnoreligio, dapat diterapkan melalui kotbah, manten, supitan, ruwatan,

pengajian yang bernuansa literer. Tidak salah apabila ada pengajian memanfaatkan wayang,

sastra wayang, dan lagu-lagu rakyat, agar suasana berubah;

(3) Suka, artinya sukailah apa yang sedang dibaca, ditulis, dipentaskan secara sadar.

Kesukaan akan membuat orang betah dalam melaksanakan apa saja. Suka juga berarti senang

atau gembira. Pemakaian karya-karya sastra yang bisa dilagukan, akan menghibur. Nmaun,

hiburan pun tetap memuat nilai-nilai religi yang bijak;

(4) Dahsyat, artinya mengisi budaya literasi dengan cita-cita yang dahsyat. Dahsyat,

berarti handal, dapat memberikan sumbangan penting bagi kehidupan. Budaya literasi yang

dahsyat, dapat ditempuh dengan membangun kewirausahaan sastra, membentuk ekonomi kreatif

sastra. Bahkan dapat pula ditempuh dengan andragogi sastra, yang selalu berkiblat pada religio.

Budaya literasi yang membangun etnoreligio sastra, misalkan ditempuh dengan ziarah sastrawan;

(5) Ukhuwah, artinya perlu membangun kebersamaan, persaudaraan, dan kebersamaan

pada sesame. Etnoreligio sastra dapat ditempuh dengan outbound sastra. Permainan-permainan

sastra, akan menggugah ukhuwah yang indah. Permainan estetis akan memberikan pengalamaan

sastra yang berkah;

(6) Rahmat, artinya segala tindakan budaya literasi diarahkan pada rasa syukur, bahwa

seluruhnya itu merupakan rahmat. Segala aktivitas didahului dengan doa yang etnoreligio.

Pemakaian suntikan vitamin karya-karya yang memuat rasa syukur, tawakal, dan pendekatan diri

pada sang khalik. Buku-buku yang mengajak untuk selalu mensyukuri rahmat, perlu

dikedepankan.

Strategi Gusdur demikian, mengajak pengembangan budaya literasi melalui etnoreligio

sastra. Hampir setiap penyair itu selalu memanfaatkan etnoreligio. Bahkan Foucault (Ratna,

2007:125) menyatakan hidup adalah seni, hidup adalah usaha untuk mencapai kualitas

transcendental secara terus-menerus. Itulah sebabnya, menumbuhkan etnoreligio sastra memang

tepat untuk menggairahkan budaya literasi. Untuk memenuhi harapan strategi di atas, di

beberapa negara maju, pembelian buku yang bernuansa etnoreligio sastra di sekolah dan

masyarakat perlu memperoleh subsidi dari pemerintah. Buku yang bernuansa suluk, puisi religi,

Page 4: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

415 | Halaman

sastra religious, perlu dikembangkan. Cerita pendek berjudul Burung Kecil Bersarang di Atas

Pohon karya Kuntowijoyo pantas menjadi bahan etnoreligio sastra. Apalagi novel berjudul Slilit

Sang Kyai karya Emha Ainun Nadjib, jelas pantas dijadikan acuan budaya literasi. Puisi berjudul

Sembahyang Rerumputan karya Ahmadun Y Herfanda, layak dibaca pula. Sebagai negara

berkembang yang mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, tak salah bila pemerintah

mengusahakan hal tersebut. Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca

buku yang bernuansa etnoreligio sastra. Tampaknya, hal ii terlihat mustahil, tetapi selagi ada

usaha (political will) dari semua pihak, saya yakin tidak ada yang mustahil. Bila masyarakat dan

sekolah memiliki calendar event, tertentu yang terkait dengan religi akan semakin bagus.

Calender event akan memupuk rasa gemar, suka, dan niat untuk selalu mengubah suasana

kehidupan.

Di masyarakat, upaya mengoptimalkan peran perpustakaan daerah dengan cara

menggiring masyarakat perlu dilakukan. Di Bantul sering ada perpustakaan keliling, memakai

mobil Perpusda. Di Perpusda dan BPAD di DIY misalnya, saya pernah diundang untuk

membahas konteks memayu hayuning bawana, yang dihadiri oleh berbagai pihak. Keberadaan

perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya di tengah masyarakat dalam

mendorong minat baca. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan

pelayanan yang belum maksimal. Koleksi buku perlu ditambah.

Perpustakaan bukan sekedar koleksi buku. Perpustakaan perlu membangun taman-taman

public, diberi kolam renang, kantin-kantin sastra, mushola kecil, dan ruang pentas. Perpustakaan

daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba

baca puisi, atau lainnya. Saya juga melihat sosialisasi masih sangat kurang. Ke depan

perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif minat baca masyaraat. Ini sebuah tantangan

berat sekaligus tanggung jawab dalam upaya menamkan budaya membaca dan menulis.

Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya satu perpustakaan. Sebab itu, perlu

dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan

atau desa. Ini semata-mata untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat.

Selanjutnya, sekolah memiliki peran penting. Di sekolah, anak-anak wajib dibiasakan

membaca. Guru memberi teladan. Mereka menanamkan kepada peserta didik kecintaan terhadap

buku. Perpustakaan sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga

perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi. Di sekolah, budaya tulis menulis

dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat menyisipkan

kegiatan menulis atau mengarang. OSIS dilatih mengelola majalah dinding. Lebih jauh, pelajar

SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan buletin, jurnal atau lain.

Yang saya alami di sekolah, waktu itu justru sering didongengkan saja oleh guru eklas.

Mendengar dongeng guru yang aneh-aneh itu amat menarik. Ada dongeng kancil, dongeng tokoh

namanya Elok yang orang tuanya sakit, dan dongeng legenda. Rangsangan membaca waktu itu

tahun 1978-an, di SD hampir tidak ada. Karenanya sekolah sekedar budaya lisan. Budaya

“calistung”, lebih dominan “lis” nya saja. Karena itu budaya baca tidak terdukung oleh wahana

yang ada. Intinya, budaya literasi akan terbangun apabila sarana dan prasarana juga harus

memadai.

C. Strategi Pohon Turi dan Sawo: Menuju Etnoekologi Sastra

Strategi pohon turi dan sawo ini memang hal baru. Secara ekologis, pohon turi dan sawo

termasuk pohon etnis. Pohon turi termasuk tumbuhan tradisi. Adapun pohon sawo tergolong

tumbuhan historis. Kedua jenis pohon ini termasuk pohon yang menjulang tinggi. Pohon turi

Page 5: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

416 | Halaman

diambil bunganya dan pohon sawo diambil buahnya. Antara buah dan bunga, adalah wilayah

ekologis. Budaya literasi, perlu memperhatikan makna simbolik di balik pohon turi dan sawo.

Pohon turi dan sawo selain membuat suasana teduh, juga bermanfaat secara ekologis.

Pepohonan itu wilayah ekologis. Maka bukan mustahil kalau ada keterkaitan antara sastra

dan ekologis. Dalam pandangan sastra ekologis adalah bagian dari ekologi sastra. Disebut

ekologi sastra sebab di dalamnya mengungkap getaran ekologis dalam sastra. Getaran itulah

yang dikenal dengan sebutan sastra ekologis (Endraswara, 2016a:1). Dari pandangan ini, berarti

pohon turi dan sawo tentu ada getaran ekologis. Ekologis adalah bagian hidup manusia. Untuk

mempertajam keterkaitan pohon turi dengan budaya literasi yang bernuansa etnoekologi sastra,

akan dibahas pohon turi. Pohon sawo akan dibahas kemudian. Kata turi berarti mituturi, artinya

memberikan wejangan. Pohon turi itu memang pohon khas yang memuat wejangan. Biasanya

pohon ini ditanam di pingngir jalan. Fungsinya sederhana, yaitu untuk memperindah suasana.

Daunya pun juga tidak terlalu rimbun.

Namun, pohon turi pantas ditanam di mana saja. Pohon turi secara ekologis membangun

keindahan. Itulah pohon inspiratif. Apalagi kalau dikaitkan dengan ulat turi, selalu memberikan

inspirasi yang menarik. Strategi pohon turi untuk membangun etnoekologi sastra dapat dilakukan

dengan cara eksplorasi. Para siswa atau masyarakat umum dapat diajak memandangi kehidupan

pohon turi, sebagai bahan inspirasi. Budaya literasi yang hendak dibangun lewat strategi pohon

turi adalah keindahan dan kerindangan di pinggir sawah. Pohon turi adalah sumber inspirasi

sastra.

Pohon turi bunganya merah

Kalau berbakti dapat berkah

Pohon turi bunganya putih

Untuk berbakti perlu dilatih

Kembang turi melok-melok

Ora perduli wong alok-alok

Kembang turi awarna biru

Kudu mersudi ngeker nafsu

Pantun pohon turi tersebut memuat ajaran penting. Bait satu, mengajak agar manusia

berbakti. Berbakti butuh latihan. Berbakti akan mendapat berkah. Adapun bait kedua, memuat

hal ihwal tentang keinginan, yang tidak perlu takut dikritik. Orang hidup juga perlu menahan

hawa nafsu. Jadi lewat ekologi pohon turi, dapat menjadi inspirasi apa saja. Begitulah upaya

menciptakan ekologi literasi yang kondusif. Di bawah pohon turi itu, tepat untuk menghidupkan

suasana etnoekologis sastra. Oleh karena membiasakan membaca dan mencipta yang tidak

didukung oleh kondisi ekologis jelas kurang tepat. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang

mendukung menumbuhkan minat baca seperti menyediakan ruang baca dengan buku bacaan

yang cukup. Jika memungkinankan di rumah dibangun taman-taman bacaan, ada kolam ikan, ada

gubug-gubug kecil. Biarpun orang tua banyak membelikan buku, kalau lingkungan kurang

mendukung, kurang menarik bagi anak-anak. Tegasnya, konsep jer basuki mawa beya, memang

tidak terhindarkan dari bangunan budaya literasi.

Bayangkan, kalau kita menghadapi tiga kasus berikut. Pertama, orang tua miskin yang

anaknya banyak, hidup dalam perumahan yang multikultur. Anaknya gemar belajar, padahal

harga buku mahal, tentu butuh strategi, agar anaknya sukses. Kedua, orang tua kaya, anaknya

juga nakal-nakal, sebab pengaruh multikultur. Buku yang tersedia di rumahnya banyak, sebab

Page 6: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

417 | Halaman

anggaran untuk beli buku tidak masalah, tetapi anaknya males belajar, sehingga butuh pula

strategi. Ketiga, keluarga tanggung, tidak kaya, anaknya tidak begitu pandai. Mereka juga

memiliki anak banyak dan nakal karena pengaruh lingkungan budaya multikultur. Anaknya mau

belajar kalau mau tes atau ujian saja. Kasus dalam keluarga memang tali-temali. Penyebab

mereka tidak sukses dalam hidup antara lain karena kurang berbudaya literasi.

Dari tiga kasus itu, penting kiranya untuk menumbuhkan budaya literasi yang jitu. Jika

budaya literasi meningkat, maka peradaban bangsa semakin jos. Strategi itu penting untuk

menumbuhkan budaya literasi. Budaya literasi mempengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi

sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia. Budaya literasi adalah kemampuan

membaca, menulis, dan memahami realitas kehidupan yang memberikan nilai tambah pada

manusia. Realitas kehidupan pohon turi, selain tergolong pohon ekologis, juga termasuk pohon

tradisi. Bahkan pohon ini sudah menginspirasi para pencipta puisi etnis sebagai berikut.

Turi - Turi Putih

Turi-turi putih

Tak tandur ning kebon agung

cumleret tiba nyemplung

Mbok ira kembange apa

Turi-turi berarti tak aturi (bahasa Jawa - saya beri tahu). Sedangkan putih adalah kiasan

dari warna kain kafan. Baris syair ini memuat pesan bahwa saya beri tahu kalian, semua manusia

pada akhirnya akan mati. Ungkapan ditandur ning kebon agung

artinya, setelah mamti, tubuh manusia akan ditanam di sebuah taman yang megah. Setelah

kematian itu, jasad kita akan di kubur di taman pemakaman. Baris, cumleret tiba

nyemplung artinya seperti kecepatan cahaya, lalu jatuh ke lubang. Gambaran bahwa kehidupan di

dunia itu singkat, seperti laju cahaya cleret, cumleret (bahasa Jawa – kilat). Setelah itu, manusia

akan mati dan dimasukkan ke liang lahat.

Pemaknaan demikian, akan mengingatkan bahwa sastra memang memberikan getaran

religiusitas. Itulah yang dikenal dengan sebutan etnoreligio sastra. Lewat sumber inspirasi pohon

turi, ternyata dapat memberikan pencerahan bijak tentang kehidupan. Bahkan kalau dicermati

baris berikutnya, berbunyi: gumlundhung kembange apa. Maksudnya, yang dijatuhkan itu

membawa bunga apa? Si mayat yang dimasukkan ke liang kubur itu akan ditanya, ia membawa

amal perbuatan apa? Bunga identik dengan keindahan, yaitu indahnya amal perbuatan.

Ungkapan mbok ira kembange apa. Artinya,bu Ira (penokohan nama si jenazah), bunganya apa?

Ada juga yang memaknai mbok ira yaitu silap dengan dari kata khairun, artinya kebagusan. Baris

terakhir syair ini menggambarkan bahwa setelah dikubur, manusia akan dimintai

pertanggungjawaban tentang kebagusan apa yang dibawa. Amal perbuatan apa yang telah kamu

perbuat selama hidup di dunia? Bekal apa yang kamu kamu bawa ke alam kubur?

Tembang Turi-Turi Putih ini, terdengar semakin syahdu jika dibawakan dengan

pendahuluan bawa (acapela Jawa). Alunannya akan menyayat-nyayat hati pendengar. Dijamin

dada kita bukan hanya berdebar, tetapi akan gemetaran hebat. Tembang Jawa, yang dulu kerap

ditembangkan oleh bocah-bocah yang bermain di halaman tatkala rembulan lagi bundar-

bundarnya. Biasa ditembangkan bocah angon yang tengah menjaga kambingnya di bawah pohon

turi, atau anak sekolah ketika diminta gurunya untuk tampil di depan kelas. Kini tembang itu

tidak lagi berkumandang. Anak-anak sekarang sebagian malah tak mengenalnya lagi. Padahal

Page 7: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

418 | Halaman

betapa tingginya makna yang terkandung dalam Turi-turi putih. Betapa dalam ajaran yang

berada dalam larik-larik tembang itu.

Tembang itu dibuka dengan kata turi. Menurut Ki Sudrun, personel kelompok musik Kiai

Kanjeng Yogyakarta, turi adalah bunga dari pohon turi. Bunga atau kembang. Tembang ini

segera mengajak kita merenung: adakah yang lebih indah dari kembang? Kembang adalah

perlambang keindahan, kerendahhatian, apik, dan tepat. Manusia semestinya mengikuti laku

kembang, harus selalu berupaya untuk menjadi kembang, harus senantiasa berproses dan

bertumbuh kembang. Tidak boleh statis supaya tidak sama kodratnya dengan batu, bangku, atau

benda mati lainnya.

Manusia kembang adalah manusia yang manfaat. Setiap pribadi perlu berproses menjadi

kembang-kembang: bagi dirinya dan lingkungannya. Berproses, ibarat melewati godhogan

dalam kuali, berproses untuk matang dan menjadi sesuatu. Proses ini panjang dan berat.

Sayangnya orang sekarang kerap tidak mau melewati proses, maunya langsung enak, instan.

Bunga turi yang disayur menjadi pecel, jelas terasa lezat. Biasanya, daun dan bunga turi juga

dipakai dalam ritual memetik padi. Hal ini menandai simbol kesejahteraan, sebab terkait dengan

ritual memboyong dewi Sri, dewa kesuburan.

Tembang kita ini mengajak kita menjadi kembang turi. Menjadi kembang saja sudah

indah, apalagi menjadi turi-turi putih. Kembang kesucian. Putih adalah nurani. Dalam semua

warna pada hakikatnya ada unsur putihnya. Putih menuju kesempurnaan dan kesucian. Suci

angan-angan berarti menjaga kesucian pikiran dari rusuh dan selingkuh. Suci kaki berarti tidak

menendang orang. Suci tangan bermakna tidak memukul liyan, suci dalam arti agama berarti

wudhu atau toharoh.

Begitulah, dari Turi-turi Putih kita telah dapatkan ajaran mulia untuk selalu berproses

menjadi kembang, menjadi sosok yang tepat, indah, dan manfaat. Terus mencoba menjadi turi-

turi yang suci. Larik berikutnya adalah tak tandur ning kebun agung. Saya tanam di kebun

agung. Apa kebung agung? Kebun agung bukan sekadar bumi yang datar tempat berkebun. Di

sini, dalam tembang yang konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijogo ini, kebun agung dapat

dimaknai sebagai kebun jiwa kita. Maka pertanyaannya: maukah kita memanam turi-turi putih

ke dalan bumi agung jiwa kita? Maukah kembang kesucian kita tanam dalam bumi jembar hati

nurani kita? Hai nafsu mutmainah, jiwa yang tenang masuklah.

Cumleret tiba nyempung. Seleret menggambarkan sebuah proses dalam keanekaragaman,

dalam pelangi warna. Semua diri kita berproses dalam warna yang berbeda-beda. Dalam proses

pengalaman, pembelajaran, dan pendewasaan yang berlainan, dengan agama dan keyakinan

berbeda, merah, kuning, hijau, nila, ungu. Namun apapun warnanya maka cemplungkanlah

kedalam jiwa yang jernih. Maukah bulu, kuku, tulang, tubuh kita kita nyemplung ke dalam

nurani? Maukah turi-turi putih kita benamkan ke bumi jembar jiwa kita?

Lelagon tersebut banyak dikreasi apa saja. Masyarakat lazimnya suka menambahkan

barang satu atau beberapa bait lagi dari tembang Turi-turi Putih. Sah saja. Mari kita coba

menambah dua bait yang lazim digunakan:

Kembang-kembang kacang

Yen disawang apik rupane

Yen kepingin uripmu padang

Ojo adoh karo asale

Page 8: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

419 | Halaman

Kembang-kembang mlati

Kembang mlati dironce-ronce

Kuburan papane wong mati

Sing urip ra piye-piye

Kembang-kembang semboja

Disebar dhuwur kuburan

Dadi manungsa enggal tobata

Bakal bali mring pengeran

Kembang puring kembang kencur

Ditandur sandhing maisan

Sapa sing eling bakale mujur

Nikmat suwarga tanpa watesan

Manakala kita berani memasuki kedirian kita, maka kita menjadi gampang tafakur, mau

merenung. Maka kita tergerak untuk selalu introspeksi: Siapa sesungguhnya diri kita? Itulah

yang disebut dalam ending tembang itu sebagai ungkapan pertanyaan “mbok ira kembange

apa?” Tanyakan pada diri kita setiap waktu. Kembang apakah sejatinya aku? Kembang mawar

yang harum baunya, ataukah kembang gaceng yang busuk atau kembang kamboja beraroma

kematian? Kitalah yang menentukan mau menjadi kembang jenis apa? Ini bukan soal nasib tetapi

lebih merupakan pilihan.

Selain pohon turi, kita secara ekologis juga memiliki pohon sawo. Pohon sawo juga

memuat etnohistoris. Sebagai sumber budaya literasi sastra pohon sawo memiliki keterkaitan

dengan sejarah. Diantara ciri khas pondok pesantren yang memiliki keterkaitan dengan pangeran

Diponegoro adalah adanya pohon sawo kecik di depan ndalem kiainya. Semua berawal dari

berakhirnya perang Jawa yang ditandai dengan ditangkapnya pangeran Diponegoro, para

pengikut beliau yang tersisa berkumpul untuk memusyawarahkan kelanjutan perjuangan mereka,

maka mereka sepakat untuk mengubah haluan dari perjuangan fisik menjadi perjuangan

pendidikan yaitu mendidik kader penerus perjuangan mereka namun untuk tidak melupakan

identitas dan sebagai pengenal mereka berkomitmen untuk menanam pohon Sawo di setiap

depan ndalem sebagai pengenal.

Kecik – Kecik

Ciptaan: Budiman BJ

Vokal: Endah Laras

Produksi : –

Kecik kecik, kecike manilo yo mas yo

Prayogane, tumrap poro mudho

Mbesuk dadi mas, wong kang dipercoyo

Sing becik dienggo, dibuang barang sing olo

Oooing, kecik kecike manilo

Oooing, yen kasep njur ojo gelo

Kecik kecik, diwadahi takir yo mas yo

Sawo kecik, soko kali yoso

Page 9: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

420 | Halaman

Bengi mikir mas, esuk sore mikir

Kok yo kebangeten, dipikir ora rumongso

Oooing, kayune ukir ukiran

Oooing, wong manis dadi pikiran

reff:

Kecik kecik, kecike manilo yo mas yo

Sawo rontok, dikumbah nyang banyu

Mbiyen ngaku mas, jare isih joko

Ning bareng ketemu, horoto anake telu

OOOing, ono grumbul dalan luwak

Oooing, yen wurung bejo ning awak

Kecik abang mas, kecik sawo nggunung yo mas yo

Tuku srabi, ning kutho semarang

Urip bujang mas, kok rasane bingung

Bareng arep rabi, horoto reregan larang

Oooing, kecike digondol ulung

Oooing, duwit sithik sing nginger bingung

Oooing, kecike digondol ulung

Oooing, duwit sithik sing nginger bingung

Dari puisi itu, kalau berpijak pada gagasan Damono (2003:63) bahwa tak ada yang

mubazir dalam puisi, berarti semua kata memang memuat makna. Terserah pemaknaan. Puisi

ekologis demikian, boleh ditafsirkan apa saja. Jika direnungkan, mengapa pohon sawo? Itulah

kecerdasan Ulama jawa berfilosofi, pohon sawo dipilih karena dimaknai sebagai "Sawwu

Sufufakum" artinya rapatkanlah barisanmu. Maksudnya walaupun mereka berpencar ke penjuru

Jawa tapi tetaplah jangan lupa identitas kita serta tujuan perjuangan dan rapatkan barisan untuk

membela agama nusa dan bangsa. Tercatat ada beberapa pondok pesantren besar di jawa yang

didirikan pengikut pangeran Diponegoro maupun murid dari pengikutnya seperti Tambakberas

dan Tebuireng di Jombang, Ploso dan Lirboyo di Kediri lalu Gontor di Ponorogo.

Mungkin banyak yang tidak sadar di Gontor ada juga pohon sawo ditanam tepatnya di

depan kediaman Almarhum Kiai Ahmad Sahal yang kini didiami putra beliau KH. Hasan

Abdullah Sahal disana ada dua pohon Sawo. Di depan kediaman KH. Abdullah Syukri Zarkasyi

pun ada satu buah pohon Sawo. Pohon Sawo (manilkara zapota) konon berasal dari istilah Arab

yakni "Shawwu", yang artinya "Luruskan". Istilah ini sering diucapkan seorang imam ketika

akan memulai salat. Shawwu sufufakum. Buah ini juga disebut sebagai sawo kecik mengandung

makna "sarwo becik" yang artinya "selalu baik" Kedua ungkapan ini jika digabungkan menjadi

bermakna bahwa orang yang selalu baik yakni orang-orang yang senantiasa menegakkan

salatnya dan ibadahnya.

Perlu diketahui bahwa dari penjabaran pohon sawo itu, berarti memang ada keterkaitan

antara ekologi dan sastra, biarpun dua hal itu fenomena yang berbeda. Sastra butuh ekologi.

Sastra butuh lingkungan. Sastra berada dalam ekosistem. Yang bagus ekosistem itu penuh spirit.

Sastra memang berada di antara lingkungan. Sastra hidup di antara sistem ekologis (Endraswara,

2016b:1). Penguatan hubungan sastra, ekologi, dan tradisi etnis perlu dilakukan. Dalam tradisi

yang berkembang di tanah Jawa adalah menanam pohon sawo di depan masjid. Menanam pohon

sawo merupakan tradisi di tanah Jawa, khususnya wilayah Mataram. Tidak banyak yang

Page 10: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

421 | Halaman

mengetahui tentang penanam pohon sawo di depan masjid ini. Pohon sawo yang ditanam di

depan masjid merupakan kode simbol perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah.

Perjuangan Diponegoro merupakan perjuangan menegakkan nilai-nilai moral Islam di Tanah

Jawa dari gempuran budaya barat yang dibawa oleh Belanda ke dalam bumi Mataram.

Tanaman sawo ini memiliki batang dengan kayu yang keras dan kuat sehingga banyak

dimanfaatkan menjadi berbagai keperluan, diantaranya menjadi perabot rumah tangga, bahan

bangunan, dan alat-alat pertukangan. Bukan hanya itu saja, batang dari pohon sawo ini juga bisa

dimanfaatkan sebagai benda seni seperti ukiran, patung hingga menjadi berbagai peralatan

musik. Dalam bahasa Inggris, sawo kecik dikenal sebagai Manilkara dan Caqui, sedangkan di

beberapa negara lainnya sawo kecik memiliki nama yang berbeda lagi. Misalnya di India, sawo

kecik dikenal dengan nama Khirni dan di Thailand dikenal dengan nama Lámút Sida atau Lámút

Thai.

Daun pada pohon sawo kecik mengelompok pada ujung batang dengan permukaan

bawah daun berwarna keputihan dan halus. Pohon sawo kecik memiliki tangkai daun yang tidak

menebal dengan panjang kelopak daun bisa mencapai 77 mm. Kuncup pada bunga sawo kecik

memiliki bentuk berupa bulat telur. Sawo kecik memiliki buah yang berbentuk bulat telur yang

berukuran kecil dengan panjang kurang lebih 3,7 cm. Buah sawo kecik ini memiliki kulit

pembungkus yang tipis dan bisa dengan mudah dikelupas. Buah sawo kecik yang sudah matang

memiliki rasa yang manis dan terkadang ada sedikit rasa sepat.

Kalau demikian, mengajak siswa dan masyarakat lewat jurus etnoekologi sastra sudah

sangat tepat. Pengenalan falsafah hidup lewat berbagai macam tumbuhan, akan memunculkan

pemahaman ekologis. Berbagai tumbuhan dapat dijadikan pijakan strategis untuk

mengembangkan budaya literasi. Lewat pohon turi dan sawo, seseorang akan semakin

memahami makna di balik nama itu. Biarpun ada kesan otak-atik, namun kreasi makna itu

mampu menghadirkan etnoekologi sastra yang dalam.

D. Strategi Senyum menuju Etnowisata Sastra

Strategi Senyum itu ibadah. Untuk membangun budaya literasi sastra, baik di sekolah maupun

masyarakat butuh senyum. Senyum dapat membuat orang awet muda dan berumur panjang. Konon, murah

senyum itu menciptakan dunia indah. Berolah sastra, banyaklah senyum. Murah senyum itu bagus, sebab akan

cair menanggapi segala hal. Begitu pula dalam membangun budaya literasi.

Ki Nartosabdo (1969:25) pernah mencipta tembang dolanan sederhana, tetapi cukup menggugah

senyum berjudul Mbok Ya Mesem.

E e e mbok ya mesem mrengut pedahe apa

E e e mbok ya ngguyu susah pedahe apa

Penjalukku dhik tetepa ing janji

Aja ewa aja tansah cuwa

Najan aku uga tansah selaking janji

E mesema tansah tak enteni

Yo bareng angudi luhuring kagunan

Watone tumemen mesthi kasembadan

Lagu tentang senyum itu cukup provokatif. Begitulah sastra provokatif. Anjuran melalui puisi demikian,

enak dilagukan. Lagu demikian dapat membangkitkan rasa indah. Untuk itu, membangkitkan budaya literasi

sastra dapat dikemas dengan strategi senyum. Ada senyum simpul, senyum menggiurkan, dan senyum sinis.

Page 11: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

422 | Halaman

Berolah sastra dalam konteks etnowisata sastra a kan membuat orang tersenyum. Kalau budaya literasi hanya di

kelas, orang atau siswa akan bosan. Jika bosan, bisa jadi akan mahal senyum (mrengut). Senyum adalah

singkatan dari: (1) Senangi, artinya melakukan aktivitas sastra di kawasan etnowisata dengan senang hati, tanpa

ada tekanan, dan tidak merasa didekte, (2) Empati, artinya setelah ada rasa senang, akan muncul rasa simpati dan

empati pada proses etnowisata sastra yang dijalani. Arena etnowisata dapat menjadi tumpuan bersastra yang

estetis. Empati akan memunculkan pembiasaan berliterasi sastra yang sadar diri, (3) Nikmati, artinya budaya

literasi sastra di kawasan etnowisata merasa lebih enjoy, mampu merasakan indahnya bermain sastra di tempat

wisata. (4) Untai, artinya di jagad etnowisata, seorang siswa dan masyarakat diajak menguntai sesuatu yang

berbau sastra. Boleh juga peserta diajak menguntai puisi sebisanya. Bisa juga siswa dan masyarakat diajak

bermain sastra dalam bentuk outbound, sambil menikmati keindahan alam. (5) Maknai, adalah pundah strategi

budaya literasi sastra. Pada tataran ini, siswa dan anggota masyarakat diajak memaknai hidup, alam, ketuhanan,

dan diri sendiri lewat etnowisata.

Dengan strategi senyum demikian, penumbuhan budaya literasi akan semakin terarah. Ekowisata sastra

tergantung pula umur setiap siswa dan orang di masyarakat. Jika pada awalnya, pada masa kecil anak-anak

berada praliterasi, dengan menggeluti sastra lisan yang terkait dengan wisata, selanjutnya perlu dikemas lebih

intensif menjadi budaya literasi. Dongeng-dongeng etnowisata boleh saja diberikan di awla pertumbuhan anak.

Dongeng fantastis tentang hewan di kebun binatang, bisa dijadikan bahan. Tradisi kelisanan (orality)

yang beranjak menuju keberaksaraan ( literacy) atau menuju budaya baca, perlu proses.

Masyarakat kita perlu diajak menuju program etnowisata apalagi kalau masyarakat

Indonesia sudah berada pada tahap pasca-keberaksaraan (post-literacy), untuk

membangun etnowisata sastra jauh lebih mudah. Hal itu ditandai dengan kian

maraknya teknologi modern yang dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi canggih.

Lewat teknologi canggih, perlu dibangun etnowisata sastra yang indah dan

bermanfaat. Ki Nartosabdo (1994:54-55) menuliskan puisi pariwisata yang cukup

indah.

Pariwisata

Anjajah desa milangkori

Kalamangsane pariwisata

Wruh endahe alam nuswantara

Keh kang adiluhung alas lan gunung-gunung

Nadyan bangsa manca Negara

Padha gumun padha ngungun

Sesawangan anglam-lami tan mboseni

Kodrating kawasa kaya tinata janma

Itulah lelagon wisata, yang mampu menggugah senyum. Lelagon itu tergolong jenis

sastra karawitan. Keindahan alam sungguh luar biasa. Strategi senyum, tetap perlu disemaikan

pada setiap memasuki etnowisata sastra. Guru atau tutor, tinggal sebagai fasilitator aktivitas

etnowisata. Boleh juga kegiatan diarahkan pada jurnalisme sastra (literary journalism), yang

menurut Kurnia (2002:23-24) orang dapat belajar jurnalistik lewat fiksi. Pelaporan gaya fiksi,

banyak memukau dan menghadirkan senyum. Kebiasaan menulis jurnalistik, juga mendukung

berolah etnowisata sastra. Lewat etnowisata sastra, seseorang dapat belajar menulis sastra

dengan modal senyum.

Etnowisata sastra adalah perspektif budaya literasi untuk membekali para siswa dan

anggota masyarakat terlibat dalam fenomena sastra. Bermain sastra lewat wisata, akan

Page 12: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

423 | Halaman

menyegarkan. Di tempat-tempat wisata, sastra dapat disemaikan.Oleh karenanya, budaya baca

masyarakat Indonesia dapat dikatakan identik dengan pertumbuhan kota-kota smart (kota

cerdas). Wawasan kota cerdas tentu memiliki tempat wisata yang layak untuk

berolah sastra. Jatmika (2009:20) memandang hidup ini harus banyak senyum.

Bahkan dia seolah berkelakar “urip mung mampir ngguyu” , artinya hidup itu hanya

singgah senyum. Maka dengan gigih dia mengumpulkan aneka kisah, yang

sebenarnya bernilai sastra menjadi pintalan senyum memukau.

Di Yogyakarta, ada penyair bernama Mustofa W Hasyim yang karya-karyanya memang

mengundang senyum. Begitu juga Rachmat Djoko Pradopo, biarpun orangnya tampak serius,

puisinya banyak mengundang senyum. Itulah sebabnya, senyum menjadi hal yang begitu urgen

dalam hidup. Lewat strategi senyum, masyarakat dapat digiring ke kawasan etnowisata sastra

yang indah. Tidak sediki karya sastra yang menjadi corong etnowisata. Santosa (2012:86-87)

menyatakan bahwa banyak karya sastra yang memuat konteks sadar wisata. Puisi Sapardi Djoko

Damono berjudul Di Banjar Tunjuk Tabanan dan di Kebun Binatang, Slametmuljana dalam puisi

berjudul Ulat dan Borobudur, jelas merupakan ekspresi etnowisata. Membaca puisi-puisi

tersebut, tentu ada kesan karya sastra itu sebuah media komunikasi.

Kalau demikian, mengajak siswa dan masyarakat ke objek wisata, itu langkah

membangun budaya literasi khususnya etnowisata sastra. Masyarakat dibiasakan sambil

bersepeda naik bukit, diajak eksplorasi, yang akhirnya menghasilkan pembiasaan membaca

alam. Masyarakat belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca

alam, lingkungan, dan suasana. Mereka belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan

setelah eksplorasi. Membaca dan menulis belum mengakar kuat dalam budaya bangsa Indonesia.

Dengan etnowisata ini, diharapkan masyarakat lebih sering menonton atau mendengar

dibandingkan membaca apalagi menulis. Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam

(masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang

disebut budaya literasi.

Bila peserta didik belum tertanam kecintaan membaca dan menulis, bisa dilatih lewat

etnowisata sastra. Dengan cara demikian budaya literasi akan tertanam. Budaya literasi adalah

kemampuan berbahasa seseorang (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) untuk

berkomunikasi dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Budaya literasi melalui

etnowisata, juga sebuah kemampuan membaca momen yang strategis. Strategi senyum adalah

sebuah tawaran, untuk menggirahkan etnowisata sastra. Etnowisata sastra adalah upaya

membangun suasana wisata dengan gerakan sastra. Sastra dapat dijadikan acuan estetis untuk

membangkitkan budaya Literasi. Budaya literasi yang berkiblat pada etnowisata sangat penting

bagi siswa karena keterampilan literasi akan berpengaruh terhadap keberhasilan belajar mereka

dan kehidupannya. Keterampilan literasi yang baik akan membantu siswa dalam memahami teks

lisan, tulisan, maupun gambar/visual.

Oleh karena itu, pengembangan budaya literasi siswa selalu dilakukan secara terpadu

antara kegiatan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan ini dapat

dikaitkan dengan etnowisata sastra. Maksudnya siswa diajak memahami karya sastra dengan

model etnowisata. Etnowisata sastra dibangun dari suasana wisata di wilayah etnis tertentu,

sambil membaca sastra bersama, menulis bersama secara berantai, dan menonton bersama

pertunjukan sastra.

Etnowisata sastra adalah sebuah gerakan baru pembelajaran sastra. Etnowisata sastra

adalah wahana pembelajaran budaya literasi untuk membuka mata para siswa, bahwa belajar

sastra dapat berlangsung di mana saja. Untuk menyukseskan tujuan itu, pemerintah telah

Page 13: STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA DI …

424 | Halaman

mengeluarkan peraturan melalui Permendikbud 23 Tahun 2015. Dalam Permendikbud tersebut

dinyatakan, bahwa Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Bahkan belakangan juga muncul GLN

(Gerakan Literasi Nasional) yang dipelopori oleh Badan Bahasa Jakarta. Gerakan literasi itu

diharapkan mampu mndongkrak budaya literasi yang selama ini masih lemah.

Melalui GLS ini diharapkan sekolah mampu menumbuhkembangkan budaya literasi di

sekolah. Budaya literasi sekolah dapat diformat dengan etnowisata sastra. Jika hal ini dapat

diwujudkan, maka akan terjadi simbiosis mututalistis antara sastra dan wisata. Simbiosis

keduanya terwadahi dalam konteks etno, yaitu tempat di mana siswa diajak berperan serta

tinggal beberapa saat di etnis lain. Pada saat tinggal sementara itu, siswa dapat belajar sastra

bersama, bermain drama bersama. Sambil wisata, sambilbermain drama, mencipta puisi, dan apa

saja yang terkait dengan sastra.

Bahkan etnowisata sastra dapat juga menjadi wahana mengnenalkan tempat wisata.

Sastra dapat menjadi ujung tombak pengembangan wisata. Wisata-wisata etnis itu lebih penting

dikenalkan lewat cipta sastra. Banyak karya-karya sastra yang mengisahkan gebleg, Parangtritis,

wisata Blitar, dan sebagainya. Dalam konteks etnowisata justru akan menciptakan ekonomi

kreatif sastra. Misalkan saja (1) pencetakan kaos yang bernuansa etnowisata sastra, (2)

pembuatan barang antic yang bertuliskan karya sastra, (3) nama-nama jalan dan gang di tempat

wisata menggunakan tokoh sastrawan. Banyak lagi etnowisata sastra yang dapat diraih.

Sebenarya GLS bukan hanya monopoli sekolah saja, tetapi juga sudah dilaksanakan di

lingkungan madrasah atau pesantren. Tentunya gerakan literasinya lebih fokus kepada ilmu-ilmu

agama. Walau tidak disebut sebagai sebuah gerakan literasi, tetapi secara de facto, gerakan

literasi sudah dilakukan sejak lama dan sudah terbukti mampu meningkatkan minat baca dan

kemampuan santri. Kegiatan tersebut disamping untuk meningkatkan kemampuan bicara dimuka

umum, juga untuk meningkatkan kepercayaan diri, karena bicara di depan umum bukan hal yang

mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Joko. 2003. “Tak Ada Kata Mubazir dalam Puisi” dalam Among Kurnia Ebo

(Ed.). Sastra di Titik Nadir; Bunga Rampai Teori Sastra Kontemporer. Yogyakarta:

Jendela.

Endraswara, Suwardi. 2016a. Sastra Ekologis. Yogyakarta: Caps.

_________________. 2016b. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra. Yogyakarta: Caps.

Jatmika, Sidik. 2009. Urip Mung Mampir Ngguyu; Telaah Sosiologis Folklor Jogja. Yogyakarta:

Kanisius.

Kurnia, Setptiawan Santana. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nadjib, Emha Ainun. 1984. Sastra Yang Membebaskan. Jakarta: PLP2M.

Nartosabdo, Ki. 1969. Buku Isi Gendhing Jawi saha Dolanan Gagrag Enggal. Semarang: Ngesti

Pandhawa.

____________. 1994. Kumpulan Gendhing-gendhing lan Lagon Dolanan. Sukoharjo:

Cenderawasih.

Santosa, Puji. 2012. Metoodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Azzagrafika.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.