strategi pengembangan budaya literasi sastra di …
TRANSCRIPT
Prosiding SENASBASA http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA
(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Edisi 1 Tahun 2017
Halaman 412-424 E-ISSN 2599-0519
412 | Halaman
STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI SASTRA
DI SEKOLAH DAN MASYARAKAT
Suwardi Endraswara
Ketua Umum Hiski Pusat
A. Strategi Mukidi Menuju Literasi Etnoreflika Sastra
Strategi adalah cara yang tepat utuk pengembangan budaya literasi. Strategi Mukidi
adalah pilihan. Strategi itu cara yang jitu untuk mencapai sesuatu. Jitu, berarti tepat, efektif, dan
efesien sesuai harapan. Strategi budaya literasi pun demikian, butuh penataan, pengembangan,
dan inovasi. Strategi itu sebuah tip, bahkan sering ada trik di dalamnya. Strategi itu
membutuhkan kiat agar sukses membangun budaya literasi. Pilihan strategi Mukidi dipakai
untuk mewujudkan etnoreflika sastra.
Nadjib (1984:51) bergumam bahwa sastra tak mungkin sterilisasi dari kehidupan.
Maksudnya, sastrawan tak mungkin lari dari kehidupan. Biasanya karya sastra itu sebuah
mimesis (reflika hidup). Oleh karena itu, membangun budaya literasi dengan jalur etnoreflika
tidak keliru. Etnoreflika sastra adalah perspektif pegembangan budaya literasi yang khas di
sekolah dan masyarakat. Saya sebut khas, sebab mengaitkan dua hal, yaitu etno (etnis, bangsa)
dan reflika (peniruan). Etnoreflika sastra adalah strategi pengembangan budaya literasi yang
memperhatikan etnisitas yang mengungkap aspek-aspek pencerminan budaya. Etnoreflika sastra
secara sengaja mengambil kata generik ‘ethnos’ yang bertujuan mengembangkan misi
mempromosikan dan mengembangkan semangat multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang majemuk. Reflika dimaknai sebagai proses merefleksikan perilaku, ide dan
lingkungannya.
Etnoreflika sastra adalah strategi untuk mengembangkan budaya literasi agar sekolah dan
masyarakat paham literasi gagasan dan perilaku multikultur. Fenomena multikultur ini penting
digelar dalam budaya literasi, sebab terlalu banyak gesekan budaya gara-gara perbedaan kultur.
Itulah sebabnya, pilihan strategi yang tepat untuk mewujudkan etnoreflika sastra memang bukan
sebuah kebetulan. Oleh karena sastra banyak menawarkan aset multikultur. Berolah sastra juga
dapat membangkitkan kepedulian hidup era multikulturalisme.
Menurut hemat saya strategi Mukidi bisa digunakan untuk menggugah budaya literasi
bercorak etnoreflika sastra. Strategi ini cocok untuk menggarap pengembangan etnoreflika
sastra. Mukidi adalah singkatan dari (1) Mengenalkan, apa saja yang dapat membantu kehidupan
sebaiknya diperkenalkan pada anak, agar kelak memilihnya sendiri. Di sekolah dan masyarakat,
anak harus mulai dikenalkan dengan sastra multicultural, (2) Usaha gigih, dari berbagai pihak
perlu usahakan suasana gigih, tidak mudah menyerah untuk memahami karya-karya yang
memuat etnoreflika. Anak-anak perlu dilatih untuk belajar membaca huruf Jawa, melagukan
tembang, dan sebagainya, sebab di dalamnya banyak karya-karya etnoreflika sastra, (3) Kreatif,
artinya budaya literasi harus dikreasi, perlu penumbuhan kreativitas baik terkait membaca
maupun menulis sastra. Anak-anak perlu diajak berkunjung ke budaya lain, diajak memahami
perbedaan, bahkan sampai diajak mencipta karya-karya yang memuat perbedaan kultur, (4)
Inovasi baru, artinya melakukan eksperimen apa saja yang mampu menggugah belajar sastra.
Pembaharuan dari karya-karya terdahulu, member ruh baru, serta melakukan reproduksi karya-
karya yang membangun multikultur, (5) Demokratik, artinya membangun suasana yang tidak
tegang, penuh tawar-menawar dalam berolah sastra, bukan pemaksaan, (6) Ingin tahu, artinya
menumbuhnya rasa ingin tahu pada seorang anak agar selalu ada kemauan pada hal-hal baru.
413 | Halaman
Dalam konteks kekinian, budaya literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang
sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap
lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai
kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu negara. Kemampuan disebut
kompetensi. Kompetensi manusia untuk memahami fenomena masyarakat jadilah budaya
literasi. Kemampuan ini perlu digiring untuk melahirkan program etnoreflika sastra yang segar.
Sastra adalah replica jaman. Sastra adalah pancaran etnoreflika jaman. Misalkan saja, reflika
jaman edan yang sekarang sudah menjadi-jadi.
Di negeri kita ini, sekarang sedang dihadapkan pada kejutan jaman. Kejadian tragis yang
menimpa penyidik KPK Novel Baswedan, yang disiram air keras, tentu muncul karena adanya
selisih budaya. Paling tidak, hal itu terjadi karena ada budaya miring yang muncul, yaitu: (1)
egosentrisme,yaitu ingin lebih menang, (2) dendam kultural dengan kata “titenana”, (3) tega
melihat orang lain sengsara. Begitulah kondisi kultur bangsa ini, sehingga perlu dijinakkan
kembali dengan etnoreflika sastra yang anggun. Mengajak berolah sastra yang bernuansa
etnoreflika, paling tidak dapat mencegah munculnya ego-ego dalam diri manusia.
Setiap tindakan hidup tampaknya butuh budaya literasi. Apalagi tindakan hidup yang
“kejam”, butuh kelembutan rasa lewat etnoreflika sastra. Rencana kasus Tamasya Almaidah,
yang hendak mengontrol tiap-tiap TPS pada Pilkada DKI jleas fenomena tendensius. Hal ini lahir
jelas atas dasar keberagaman kultur. Itulah sebabnya, etnoreflika sastra perlu ditanamkan sebagai
budaya literasi. Bila budaya literasi makin meningkat, taraf hidup diharapkan semakin
meningkat. Buktinya, komunitas yang semakin melek huruf, setiap hari berlangganan surat
kabar, memasang internet, tersedia buku-buku pelajaran, jalan hidup semakin enak. Buku-buku
yang memuat etnoreflika perlu disebarkan, agar masyarakat mampu bertindak bijak.
Pengalaman saya pada masa kecil, di rumah jarang ada buku, toko buku juga belum
pernah melihat. Perpustakaan sekolah pun waktu itu hanya buku paket saja, yang diambil ketika
akan pelajaran lalu dikembalikan. Betapa riang gembiranya apabila ada guru yang meminjami
buku bacaan dan boleh dibawa pulang. Apalagi bila ada buku-buku etnoreflika sastra, kiranya
akan menjadi santapan jiwa yang penting. Untuk membangun budaya literasi yang bertajuk
etnoreflika sastra, menurut hemat saya, satu langkah bisa dilakukan, yaitu menumbuhkan minat
baca sedini mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong putra-
putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya memberi contoh
untuk peduli kultur yang berbeda. Namun pengembangan budaya baca dalam keluarga ini,
seringkali terbengkali oleh berbagai sistem, yaitu: (1) pembelajaran di sekolah hanya
memberikan pekerjaan rumah sesuai buku teks, tapa pengembangan, (2) kondisi rumah yang
kurang kondusif, ruang-ruang yang tidak memenuhi syarat dan kurang menyenangkan, juga
berdampak pada budaya literasi.
Apa pun alasannya, strategi itu tetap dibutuhkan. Budaya literasi tidak akan muncul
secara optimal kalau tanpa strategi yang tepat. Bagaikan menegakkan benang basah memang
mengembangkan budaya literasi. Oleh karena kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Tindakan
strategi itu sepertinya harus diraih secara sinergis dari pihak-pihak yang terkait. Apalagi budaya
literasi sastra, misalnya, perlu ditumbuhkembangkan sejak awal. Membiasakan anak-anak
berkenalan dengan sastra dalam keluarga, mengikutkan anak-anak masuk ke sanggar sastra,
menonton pentas-pentas kantong sastra, akan sangat menggugah minat budaya literasi sastra.
414 | Halaman
B. Strategi Gusdur Menuju Etnoreligio Sastra
Siapa yang tidak mengenal Gusdur, mantan presiden RI. Ada hal penting yang perlu
ditumbuhkan dalam memantik budaya literasi. Gusdur selalu memunculkan jok dalam setiap
pidato. Ayudan beliau di Ciganjur dulu, pernah menelpun saya untuk memberikan makna lelagon
Jawa, seperti Ilir-Ilir, Cublak Suweng, Sluku-sluku Bathok, dan sebagainya yang katanya akan
dipakai Gusdur ketika pidato. Yang menelpun namanya Gilang Patidana, menginginkan ada
tafsir baru pada lagu-lagu yang semi religi dan sekaligus ada nuansa kepemimpinan.
Gusdur adalah figure humoris, seklaigus religius. Beliau banyak memaknai religi yang
berat lewat pemahaman budaya yang ringan. Kekhasan ungkapan “Begitu saja kok repot”, sudah
mendarah daging. Itulah sebabnya, ada sisi-sisi penting yang patut dicatat dalam strategi Gusdur
untuk menciptakan etnoreligio budaya literasi bangsa ini. Strategi pengembangan budaya literasi
model Gusdur yaitu:
(1) Gemar, artinya tumbuhkan kepada anak dan siapa saja untuk menggemari bacaan dan
pentas apa saja. Kegemaran akan membangkitkan rasa senang dalam menjalankan aktivitas
literasi. Kalau sudah gemar, apalagi melalui lagu rakyat, permainan rakyat, dan aneka tradisi,
etnoreligio sastra akan mudah tertanam;
(2) Ubah suasana, artinya dalam budaya literasi itu ada tindakan untuk mengubah
suasana hidup, tentu saja menjadi lebih maju. Mengubah fenomena dari tidak melek etnoreligio
sastra menjadi sadar diri. Etnoreligio, dapat diterapkan melalui kotbah, manten, supitan, ruwatan,
pengajian yang bernuansa literer. Tidak salah apabila ada pengajian memanfaatkan wayang,
sastra wayang, dan lagu-lagu rakyat, agar suasana berubah;
(3) Suka, artinya sukailah apa yang sedang dibaca, ditulis, dipentaskan secara sadar.
Kesukaan akan membuat orang betah dalam melaksanakan apa saja. Suka juga berarti senang
atau gembira. Pemakaian karya-karya sastra yang bisa dilagukan, akan menghibur. Nmaun,
hiburan pun tetap memuat nilai-nilai religi yang bijak;
(4) Dahsyat, artinya mengisi budaya literasi dengan cita-cita yang dahsyat. Dahsyat,
berarti handal, dapat memberikan sumbangan penting bagi kehidupan. Budaya literasi yang
dahsyat, dapat ditempuh dengan membangun kewirausahaan sastra, membentuk ekonomi kreatif
sastra. Bahkan dapat pula ditempuh dengan andragogi sastra, yang selalu berkiblat pada religio.
Budaya literasi yang membangun etnoreligio sastra, misalkan ditempuh dengan ziarah sastrawan;
(5) Ukhuwah, artinya perlu membangun kebersamaan, persaudaraan, dan kebersamaan
pada sesame. Etnoreligio sastra dapat ditempuh dengan outbound sastra. Permainan-permainan
sastra, akan menggugah ukhuwah yang indah. Permainan estetis akan memberikan pengalamaan
sastra yang berkah;
(6) Rahmat, artinya segala tindakan budaya literasi diarahkan pada rasa syukur, bahwa
seluruhnya itu merupakan rahmat. Segala aktivitas didahului dengan doa yang etnoreligio.
Pemakaian suntikan vitamin karya-karya yang memuat rasa syukur, tawakal, dan pendekatan diri
pada sang khalik. Buku-buku yang mengajak untuk selalu mensyukuri rahmat, perlu
dikedepankan.
Strategi Gusdur demikian, mengajak pengembangan budaya literasi melalui etnoreligio
sastra. Hampir setiap penyair itu selalu memanfaatkan etnoreligio. Bahkan Foucault (Ratna,
2007:125) menyatakan hidup adalah seni, hidup adalah usaha untuk mencapai kualitas
transcendental secara terus-menerus. Itulah sebabnya, menumbuhkan etnoreligio sastra memang
tepat untuk menggairahkan budaya literasi. Untuk memenuhi harapan strategi di atas, di
beberapa negara maju, pembelian buku yang bernuansa etnoreligio sastra di sekolah dan
masyarakat perlu memperoleh subsidi dari pemerintah. Buku yang bernuansa suluk, puisi religi,
415 | Halaman
sastra religious, perlu dikembangkan. Cerita pendek berjudul Burung Kecil Bersarang di Atas
Pohon karya Kuntowijoyo pantas menjadi bahan etnoreligio sastra. Apalagi novel berjudul Slilit
Sang Kyai karya Emha Ainun Nadjib, jelas pantas dijadikan acuan budaya literasi. Puisi berjudul
Sembahyang Rerumputan karya Ahmadun Y Herfanda, layak dibaca pula. Sebagai negara
berkembang yang mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, tak salah bila pemerintah
mengusahakan hal tersebut. Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca
buku yang bernuansa etnoreligio sastra. Tampaknya, hal ii terlihat mustahil, tetapi selagi ada
usaha (political will) dari semua pihak, saya yakin tidak ada yang mustahil. Bila masyarakat dan
sekolah memiliki calendar event, tertentu yang terkait dengan religi akan semakin bagus.
Calender event akan memupuk rasa gemar, suka, dan niat untuk selalu mengubah suasana
kehidupan.
Di masyarakat, upaya mengoptimalkan peran perpustakaan daerah dengan cara
menggiring masyarakat perlu dilakukan. Di Bantul sering ada perpustakaan keliling, memakai
mobil Perpusda. Di Perpusda dan BPAD di DIY misalnya, saya pernah diundang untuk
membahas konteks memayu hayuning bawana, yang dihadiri oleh berbagai pihak. Keberadaan
perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya di tengah masyarakat dalam
mendorong minat baca. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan
pelayanan yang belum maksimal. Koleksi buku perlu ditambah.
Perpustakaan bukan sekedar koleksi buku. Perpustakaan perlu membangun taman-taman
public, diberi kolam renang, kantin-kantin sastra, mushola kecil, dan ruang pentas. Perpustakaan
daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba
baca puisi, atau lainnya. Saya juga melihat sosialisasi masih sangat kurang. Ke depan
perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif minat baca masyaraat. Ini sebuah tantangan
berat sekaligus tanggung jawab dalam upaya menamkan budaya membaca dan menulis.
Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya satu perpustakaan. Sebab itu, perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan
atau desa. Ini semata-mata untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat.
Selanjutnya, sekolah memiliki peran penting. Di sekolah, anak-anak wajib dibiasakan
membaca. Guru memberi teladan. Mereka menanamkan kepada peserta didik kecintaan terhadap
buku. Perpustakaan sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga
perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi. Di sekolah, budaya tulis menulis
dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat menyisipkan
kegiatan menulis atau mengarang. OSIS dilatih mengelola majalah dinding. Lebih jauh, pelajar
SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan buletin, jurnal atau lain.
Yang saya alami di sekolah, waktu itu justru sering didongengkan saja oleh guru eklas.
Mendengar dongeng guru yang aneh-aneh itu amat menarik. Ada dongeng kancil, dongeng tokoh
namanya Elok yang orang tuanya sakit, dan dongeng legenda. Rangsangan membaca waktu itu
tahun 1978-an, di SD hampir tidak ada. Karenanya sekolah sekedar budaya lisan. Budaya
“calistung”, lebih dominan “lis” nya saja. Karena itu budaya baca tidak terdukung oleh wahana
yang ada. Intinya, budaya literasi akan terbangun apabila sarana dan prasarana juga harus
memadai.
C. Strategi Pohon Turi dan Sawo: Menuju Etnoekologi Sastra
Strategi pohon turi dan sawo ini memang hal baru. Secara ekologis, pohon turi dan sawo
termasuk pohon etnis. Pohon turi termasuk tumbuhan tradisi. Adapun pohon sawo tergolong
tumbuhan historis. Kedua jenis pohon ini termasuk pohon yang menjulang tinggi. Pohon turi
416 | Halaman
diambil bunganya dan pohon sawo diambil buahnya. Antara buah dan bunga, adalah wilayah
ekologis. Budaya literasi, perlu memperhatikan makna simbolik di balik pohon turi dan sawo.
Pohon turi dan sawo selain membuat suasana teduh, juga bermanfaat secara ekologis.
Pepohonan itu wilayah ekologis. Maka bukan mustahil kalau ada keterkaitan antara sastra
dan ekologis. Dalam pandangan sastra ekologis adalah bagian dari ekologi sastra. Disebut
ekologi sastra sebab di dalamnya mengungkap getaran ekologis dalam sastra. Getaran itulah
yang dikenal dengan sebutan sastra ekologis (Endraswara, 2016a:1). Dari pandangan ini, berarti
pohon turi dan sawo tentu ada getaran ekologis. Ekologis adalah bagian hidup manusia. Untuk
mempertajam keterkaitan pohon turi dengan budaya literasi yang bernuansa etnoekologi sastra,
akan dibahas pohon turi. Pohon sawo akan dibahas kemudian. Kata turi berarti mituturi, artinya
memberikan wejangan. Pohon turi itu memang pohon khas yang memuat wejangan. Biasanya
pohon ini ditanam di pingngir jalan. Fungsinya sederhana, yaitu untuk memperindah suasana.
Daunya pun juga tidak terlalu rimbun.
Namun, pohon turi pantas ditanam di mana saja. Pohon turi secara ekologis membangun
keindahan. Itulah pohon inspiratif. Apalagi kalau dikaitkan dengan ulat turi, selalu memberikan
inspirasi yang menarik. Strategi pohon turi untuk membangun etnoekologi sastra dapat dilakukan
dengan cara eksplorasi. Para siswa atau masyarakat umum dapat diajak memandangi kehidupan
pohon turi, sebagai bahan inspirasi. Budaya literasi yang hendak dibangun lewat strategi pohon
turi adalah keindahan dan kerindangan di pinggir sawah. Pohon turi adalah sumber inspirasi
sastra.
Pohon turi bunganya merah
Kalau berbakti dapat berkah
Pohon turi bunganya putih
Untuk berbakti perlu dilatih
Kembang turi melok-melok
Ora perduli wong alok-alok
Kembang turi awarna biru
Kudu mersudi ngeker nafsu
Pantun pohon turi tersebut memuat ajaran penting. Bait satu, mengajak agar manusia
berbakti. Berbakti butuh latihan. Berbakti akan mendapat berkah. Adapun bait kedua, memuat
hal ihwal tentang keinginan, yang tidak perlu takut dikritik. Orang hidup juga perlu menahan
hawa nafsu. Jadi lewat ekologi pohon turi, dapat menjadi inspirasi apa saja. Begitulah upaya
menciptakan ekologi literasi yang kondusif. Di bawah pohon turi itu, tepat untuk menghidupkan
suasana etnoekologis sastra. Oleh karena membiasakan membaca dan mencipta yang tidak
didukung oleh kondisi ekologis jelas kurang tepat. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang
mendukung menumbuhkan minat baca seperti menyediakan ruang baca dengan buku bacaan
yang cukup. Jika memungkinankan di rumah dibangun taman-taman bacaan, ada kolam ikan, ada
gubug-gubug kecil. Biarpun orang tua banyak membelikan buku, kalau lingkungan kurang
mendukung, kurang menarik bagi anak-anak. Tegasnya, konsep jer basuki mawa beya, memang
tidak terhindarkan dari bangunan budaya literasi.
Bayangkan, kalau kita menghadapi tiga kasus berikut. Pertama, orang tua miskin yang
anaknya banyak, hidup dalam perumahan yang multikultur. Anaknya gemar belajar, padahal
harga buku mahal, tentu butuh strategi, agar anaknya sukses. Kedua, orang tua kaya, anaknya
juga nakal-nakal, sebab pengaruh multikultur. Buku yang tersedia di rumahnya banyak, sebab
417 | Halaman
anggaran untuk beli buku tidak masalah, tetapi anaknya males belajar, sehingga butuh pula
strategi. Ketiga, keluarga tanggung, tidak kaya, anaknya tidak begitu pandai. Mereka juga
memiliki anak banyak dan nakal karena pengaruh lingkungan budaya multikultur. Anaknya mau
belajar kalau mau tes atau ujian saja. Kasus dalam keluarga memang tali-temali. Penyebab
mereka tidak sukses dalam hidup antara lain karena kurang berbudaya literasi.
Dari tiga kasus itu, penting kiranya untuk menumbuhkan budaya literasi yang jitu. Jika
budaya literasi meningkat, maka peradaban bangsa semakin jos. Strategi itu penting untuk
menumbuhkan budaya literasi. Budaya literasi mempengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia. Budaya literasi adalah kemampuan
membaca, menulis, dan memahami realitas kehidupan yang memberikan nilai tambah pada
manusia. Realitas kehidupan pohon turi, selain tergolong pohon ekologis, juga termasuk pohon
tradisi. Bahkan pohon ini sudah menginspirasi para pencipta puisi etnis sebagai berikut.
Turi - Turi Putih
Turi-turi putih
Tak tandur ning kebon agung
cumleret tiba nyemplung
Mbok ira kembange apa
Turi-turi berarti tak aturi (bahasa Jawa - saya beri tahu). Sedangkan putih adalah kiasan
dari warna kain kafan. Baris syair ini memuat pesan bahwa saya beri tahu kalian, semua manusia
pada akhirnya akan mati. Ungkapan ditandur ning kebon agung
artinya, setelah mamti, tubuh manusia akan ditanam di sebuah taman yang megah. Setelah
kematian itu, jasad kita akan di kubur di taman pemakaman. Baris, cumleret tiba
nyemplung artinya seperti kecepatan cahaya, lalu jatuh ke lubang. Gambaran bahwa kehidupan di
dunia itu singkat, seperti laju cahaya cleret, cumleret (bahasa Jawa – kilat). Setelah itu, manusia
akan mati dan dimasukkan ke liang lahat.
Pemaknaan demikian, akan mengingatkan bahwa sastra memang memberikan getaran
religiusitas. Itulah yang dikenal dengan sebutan etnoreligio sastra. Lewat sumber inspirasi pohon
turi, ternyata dapat memberikan pencerahan bijak tentang kehidupan. Bahkan kalau dicermati
baris berikutnya, berbunyi: gumlundhung kembange apa. Maksudnya, yang dijatuhkan itu
membawa bunga apa? Si mayat yang dimasukkan ke liang kubur itu akan ditanya, ia membawa
amal perbuatan apa? Bunga identik dengan keindahan, yaitu indahnya amal perbuatan.
Ungkapan mbok ira kembange apa. Artinya,bu Ira (penokohan nama si jenazah), bunganya apa?
Ada juga yang memaknai mbok ira yaitu silap dengan dari kata khairun, artinya kebagusan. Baris
terakhir syair ini menggambarkan bahwa setelah dikubur, manusia akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kebagusan apa yang dibawa. Amal perbuatan apa yang telah kamu
perbuat selama hidup di dunia? Bekal apa yang kamu kamu bawa ke alam kubur?
Tembang Turi-Turi Putih ini, terdengar semakin syahdu jika dibawakan dengan
pendahuluan bawa (acapela Jawa). Alunannya akan menyayat-nyayat hati pendengar. Dijamin
dada kita bukan hanya berdebar, tetapi akan gemetaran hebat. Tembang Jawa, yang dulu kerap
ditembangkan oleh bocah-bocah yang bermain di halaman tatkala rembulan lagi bundar-
bundarnya. Biasa ditembangkan bocah angon yang tengah menjaga kambingnya di bawah pohon
turi, atau anak sekolah ketika diminta gurunya untuk tampil di depan kelas. Kini tembang itu
tidak lagi berkumandang. Anak-anak sekarang sebagian malah tak mengenalnya lagi. Padahal
418 | Halaman
betapa tingginya makna yang terkandung dalam Turi-turi putih. Betapa dalam ajaran yang
berada dalam larik-larik tembang itu.
Tembang itu dibuka dengan kata turi. Menurut Ki Sudrun, personel kelompok musik Kiai
Kanjeng Yogyakarta, turi adalah bunga dari pohon turi. Bunga atau kembang. Tembang ini
segera mengajak kita merenung: adakah yang lebih indah dari kembang? Kembang adalah
perlambang keindahan, kerendahhatian, apik, dan tepat. Manusia semestinya mengikuti laku
kembang, harus selalu berupaya untuk menjadi kembang, harus senantiasa berproses dan
bertumbuh kembang. Tidak boleh statis supaya tidak sama kodratnya dengan batu, bangku, atau
benda mati lainnya.
Manusia kembang adalah manusia yang manfaat. Setiap pribadi perlu berproses menjadi
kembang-kembang: bagi dirinya dan lingkungannya. Berproses, ibarat melewati godhogan
dalam kuali, berproses untuk matang dan menjadi sesuatu. Proses ini panjang dan berat.
Sayangnya orang sekarang kerap tidak mau melewati proses, maunya langsung enak, instan.
Bunga turi yang disayur menjadi pecel, jelas terasa lezat. Biasanya, daun dan bunga turi juga
dipakai dalam ritual memetik padi. Hal ini menandai simbol kesejahteraan, sebab terkait dengan
ritual memboyong dewi Sri, dewa kesuburan.
Tembang kita ini mengajak kita menjadi kembang turi. Menjadi kembang saja sudah
indah, apalagi menjadi turi-turi putih. Kembang kesucian. Putih adalah nurani. Dalam semua
warna pada hakikatnya ada unsur putihnya. Putih menuju kesempurnaan dan kesucian. Suci
angan-angan berarti menjaga kesucian pikiran dari rusuh dan selingkuh. Suci kaki berarti tidak
menendang orang. Suci tangan bermakna tidak memukul liyan, suci dalam arti agama berarti
wudhu atau toharoh.
Begitulah, dari Turi-turi Putih kita telah dapatkan ajaran mulia untuk selalu berproses
menjadi kembang, menjadi sosok yang tepat, indah, dan manfaat. Terus mencoba menjadi turi-
turi yang suci. Larik berikutnya adalah tak tandur ning kebun agung. Saya tanam di kebun
agung. Apa kebung agung? Kebun agung bukan sekadar bumi yang datar tempat berkebun. Di
sini, dalam tembang yang konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijogo ini, kebun agung dapat
dimaknai sebagai kebun jiwa kita. Maka pertanyaannya: maukah kita memanam turi-turi putih
ke dalan bumi agung jiwa kita? Maukah kembang kesucian kita tanam dalam bumi jembar hati
nurani kita? Hai nafsu mutmainah, jiwa yang tenang masuklah.
Cumleret tiba nyempung. Seleret menggambarkan sebuah proses dalam keanekaragaman,
dalam pelangi warna. Semua diri kita berproses dalam warna yang berbeda-beda. Dalam proses
pengalaman, pembelajaran, dan pendewasaan yang berlainan, dengan agama dan keyakinan
berbeda, merah, kuning, hijau, nila, ungu. Namun apapun warnanya maka cemplungkanlah
kedalam jiwa yang jernih. Maukah bulu, kuku, tulang, tubuh kita kita nyemplung ke dalam
nurani? Maukah turi-turi putih kita benamkan ke bumi jembar jiwa kita?
Lelagon tersebut banyak dikreasi apa saja. Masyarakat lazimnya suka menambahkan
barang satu atau beberapa bait lagi dari tembang Turi-turi Putih. Sah saja. Mari kita coba
menambah dua bait yang lazim digunakan:
Kembang-kembang kacang
Yen disawang apik rupane
Yen kepingin uripmu padang
Ojo adoh karo asale
419 | Halaman
Kembang-kembang mlati
Kembang mlati dironce-ronce
Kuburan papane wong mati
Sing urip ra piye-piye
Kembang-kembang semboja
Disebar dhuwur kuburan
Dadi manungsa enggal tobata
Bakal bali mring pengeran
Kembang puring kembang kencur
Ditandur sandhing maisan
Sapa sing eling bakale mujur
Nikmat suwarga tanpa watesan
Manakala kita berani memasuki kedirian kita, maka kita menjadi gampang tafakur, mau
merenung. Maka kita tergerak untuk selalu introspeksi: Siapa sesungguhnya diri kita? Itulah
yang disebut dalam ending tembang itu sebagai ungkapan pertanyaan “mbok ira kembange
apa?” Tanyakan pada diri kita setiap waktu. Kembang apakah sejatinya aku? Kembang mawar
yang harum baunya, ataukah kembang gaceng yang busuk atau kembang kamboja beraroma
kematian? Kitalah yang menentukan mau menjadi kembang jenis apa? Ini bukan soal nasib tetapi
lebih merupakan pilihan.
Selain pohon turi, kita secara ekologis juga memiliki pohon sawo. Pohon sawo juga
memuat etnohistoris. Sebagai sumber budaya literasi sastra pohon sawo memiliki keterkaitan
dengan sejarah. Diantara ciri khas pondok pesantren yang memiliki keterkaitan dengan pangeran
Diponegoro adalah adanya pohon sawo kecik di depan ndalem kiainya. Semua berawal dari
berakhirnya perang Jawa yang ditandai dengan ditangkapnya pangeran Diponegoro, para
pengikut beliau yang tersisa berkumpul untuk memusyawarahkan kelanjutan perjuangan mereka,
maka mereka sepakat untuk mengubah haluan dari perjuangan fisik menjadi perjuangan
pendidikan yaitu mendidik kader penerus perjuangan mereka namun untuk tidak melupakan
identitas dan sebagai pengenal mereka berkomitmen untuk menanam pohon Sawo di setiap
depan ndalem sebagai pengenal.
Kecik – Kecik
Ciptaan: Budiman BJ
Vokal: Endah Laras
Produksi : –
Kecik kecik, kecike manilo yo mas yo
Prayogane, tumrap poro mudho
Mbesuk dadi mas, wong kang dipercoyo
Sing becik dienggo, dibuang barang sing olo
Oooing, kecik kecike manilo
Oooing, yen kasep njur ojo gelo
Kecik kecik, diwadahi takir yo mas yo
Sawo kecik, soko kali yoso
420 | Halaman
Bengi mikir mas, esuk sore mikir
Kok yo kebangeten, dipikir ora rumongso
Oooing, kayune ukir ukiran
Oooing, wong manis dadi pikiran
reff:
Kecik kecik, kecike manilo yo mas yo
Sawo rontok, dikumbah nyang banyu
Mbiyen ngaku mas, jare isih joko
Ning bareng ketemu, horoto anake telu
OOOing, ono grumbul dalan luwak
Oooing, yen wurung bejo ning awak
Kecik abang mas, kecik sawo nggunung yo mas yo
Tuku srabi, ning kutho semarang
Urip bujang mas, kok rasane bingung
Bareng arep rabi, horoto reregan larang
Oooing, kecike digondol ulung
Oooing, duwit sithik sing nginger bingung
Oooing, kecike digondol ulung
Oooing, duwit sithik sing nginger bingung
Dari puisi itu, kalau berpijak pada gagasan Damono (2003:63) bahwa tak ada yang
mubazir dalam puisi, berarti semua kata memang memuat makna. Terserah pemaknaan. Puisi
ekologis demikian, boleh ditafsirkan apa saja. Jika direnungkan, mengapa pohon sawo? Itulah
kecerdasan Ulama jawa berfilosofi, pohon sawo dipilih karena dimaknai sebagai "Sawwu
Sufufakum" artinya rapatkanlah barisanmu. Maksudnya walaupun mereka berpencar ke penjuru
Jawa tapi tetaplah jangan lupa identitas kita serta tujuan perjuangan dan rapatkan barisan untuk
membela agama nusa dan bangsa. Tercatat ada beberapa pondok pesantren besar di jawa yang
didirikan pengikut pangeran Diponegoro maupun murid dari pengikutnya seperti Tambakberas
dan Tebuireng di Jombang, Ploso dan Lirboyo di Kediri lalu Gontor di Ponorogo.
Mungkin banyak yang tidak sadar di Gontor ada juga pohon sawo ditanam tepatnya di
depan kediaman Almarhum Kiai Ahmad Sahal yang kini didiami putra beliau KH. Hasan
Abdullah Sahal disana ada dua pohon Sawo. Di depan kediaman KH. Abdullah Syukri Zarkasyi
pun ada satu buah pohon Sawo. Pohon Sawo (manilkara zapota) konon berasal dari istilah Arab
yakni "Shawwu", yang artinya "Luruskan". Istilah ini sering diucapkan seorang imam ketika
akan memulai salat. Shawwu sufufakum. Buah ini juga disebut sebagai sawo kecik mengandung
makna "sarwo becik" yang artinya "selalu baik" Kedua ungkapan ini jika digabungkan menjadi
bermakna bahwa orang yang selalu baik yakni orang-orang yang senantiasa menegakkan
salatnya dan ibadahnya.
Perlu diketahui bahwa dari penjabaran pohon sawo itu, berarti memang ada keterkaitan
antara ekologi dan sastra, biarpun dua hal itu fenomena yang berbeda. Sastra butuh ekologi.
Sastra butuh lingkungan. Sastra berada dalam ekosistem. Yang bagus ekosistem itu penuh spirit.
Sastra memang berada di antara lingkungan. Sastra hidup di antara sistem ekologis (Endraswara,
2016b:1). Penguatan hubungan sastra, ekologi, dan tradisi etnis perlu dilakukan. Dalam tradisi
yang berkembang di tanah Jawa adalah menanam pohon sawo di depan masjid. Menanam pohon
sawo merupakan tradisi di tanah Jawa, khususnya wilayah Mataram. Tidak banyak yang
421 | Halaman
mengetahui tentang penanam pohon sawo di depan masjid ini. Pohon sawo yang ditanam di
depan masjid merupakan kode simbol perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah.
Perjuangan Diponegoro merupakan perjuangan menegakkan nilai-nilai moral Islam di Tanah
Jawa dari gempuran budaya barat yang dibawa oleh Belanda ke dalam bumi Mataram.
Tanaman sawo ini memiliki batang dengan kayu yang keras dan kuat sehingga banyak
dimanfaatkan menjadi berbagai keperluan, diantaranya menjadi perabot rumah tangga, bahan
bangunan, dan alat-alat pertukangan. Bukan hanya itu saja, batang dari pohon sawo ini juga bisa
dimanfaatkan sebagai benda seni seperti ukiran, patung hingga menjadi berbagai peralatan
musik. Dalam bahasa Inggris, sawo kecik dikenal sebagai Manilkara dan Caqui, sedangkan di
beberapa negara lainnya sawo kecik memiliki nama yang berbeda lagi. Misalnya di India, sawo
kecik dikenal dengan nama Khirni dan di Thailand dikenal dengan nama Lámút Sida atau Lámút
Thai.
Daun pada pohon sawo kecik mengelompok pada ujung batang dengan permukaan
bawah daun berwarna keputihan dan halus. Pohon sawo kecik memiliki tangkai daun yang tidak
menebal dengan panjang kelopak daun bisa mencapai 77 mm. Kuncup pada bunga sawo kecik
memiliki bentuk berupa bulat telur. Sawo kecik memiliki buah yang berbentuk bulat telur yang
berukuran kecil dengan panjang kurang lebih 3,7 cm. Buah sawo kecik ini memiliki kulit
pembungkus yang tipis dan bisa dengan mudah dikelupas. Buah sawo kecik yang sudah matang
memiliki rasa yang manis dan terkadang ada sedikit rasa sepat.
Kalau demikian, mengajak siswa dan masyarakat lewat jurus etnoekologi sastra sudah
sangat tepat. Pengenalan falsafah hidup lewat berbagai macam tumbuhan, akan memunculkan
pemahaman ekologis. Berbagai tumbuhan dapat dijadikan pijakan strategis untuk
mengembangkan budaya literasi. Lewat pohon turi dan sawo, seseorang akan semakin
memahami makna di balik nama itu. Biarpun ada kesan otak-atik, namun kreasi makna itu
mampu menghadirkan etnoekologi sastra yang dalam.
D. Strategi Senyum menuju Etnowisata Sastra
Strategi Senyum itu ibadah. Untuk membangun budaya literasi sastra, baik di sekolah maupun
masyarakat butuh senyum. Senyum dapat membuat orang awet muda dan berumur panjang. Konon, murah
senyum itu menciptakan dunia indah. Berolah sastra, banyaklah senyum. Murah senyum itu bagus, sebab akan
cair menanggapi segala hal. Begitu pula dalam membangun budaya literasi.
Ki Nartosabdo (1969:25) pernah mencipta tembang dolanan sederhana, tetapi cukup menggugah
senyum berjudul Mbok Ya Mesem.
E e e mbok ya mesem mrengut pedahe apa
E e e mbok ya ngguyu susah pedahe apa
Penjalukku dhik tetepa ing janji
Aja ewa aja tansah cuwa
Najan aku uga tansah selaking janji
E mesema tansah tak enteni
Yo bareng angudi luhuring kagunan
Watone tumemen mesthi kasembadan
Lagu tentang senyum itu cukup provokatif. Begitulah sastra provokatif. Anjuran melalui puisi demikian,
enak dilagukan. Lagu demikian dapat membangkitkan rasa indah. Untuk itu, membangkitkan budaya literasi
sastra dapat dikemas dengan strategi senyum. Ada senyum simpul, senyum menggiurkan, dan senyum sinis.
422 | Halaman
Berolah sastra dalam konteks etnowisata sastra a kan membuat orang tersenyum. Kalau budaya literasi hanya di
kelas, orang atau siswa akan bosan. Jika bosan, bisa jadi akan mahal senyum (mrengut). Senyum adalah
singkatan dari: (1) Senangi, artinya melakukan aktivitas sastra di kawasan etnowisata dengan senang hati, tanpa
ada tekanan, dan tidak merasa didekte, (2) Empati, artinya setelah ada rasa senang, akan muncul rasa simpati dan
empati pada proses etnowisata sastra yang dijalani. Arena etnowisata dapat menjadi tumpuan bersastra yang
estetis. Empati akan memunculkan pembiasaan berliterasi sastra yang sadar diri, (3) Nikmati, artinya budaya
literasi sastra di kawasan etnowisata merasa lebih enjoy, mampu merasakan indahnya bermain sastra di tempat
wisata. (4) Untai, artinya di jagad etnowisata, seorang siswa dan masyarakat diajak menguntai sesuatu yang
berbau sastra. Boleh juga peserta diajak menguntai puisi sebisanya. Bisa juga siswa dan masyarakat diajak
bermain sastra dalam bentuk outbound, sambil menikmati keindahan alam. (5) Maknai, adalah pundah strategi
budaya literasi sastra. Pada tataran ini, siswa dan anggota masyarakat diajak memaknai hidup, alam, ketuhanan,
dan diri sendiri lewat etnowisata.
Dengan strategi senyum demikian, penumbuhan budaya literasi akan semakin terarah. Ekowisata sastra
tergantung pula umur setiap siswa dan orang di masyarakat. Jika pada awalnya, pada masa kecil anak-anak
berada praliterasi, dengan menggeluti sastra lisan yang terkait dengan wisata, selanjutnya perlu dikemas lebih
intensif menjadi budaya literasi. Dongeng-dongeng etnowisata boleh saja diberikan di awla pertumbuhan anak.
Dongeng fantastis tentang hewan di kebun binatang, bisa dijadikan bahan. Tradisi kelisanan (orality)
yang beranjak menuju keberaksaraan ( literacy) atau menuju budaya baca, perlu proses.
Masyarakat kita perlu diajak menuju program etnowisata apalagi kalau masyarakat
Indonesia sudah berada pada tahap pasca-keberaksaraan (post-literacy), untuk
membangun etnowisata sastra jauh lebih mudah. Hal itu ditandai dengan kian
maraknya teknologi modern yang dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi canggih.
Lewat teknologi canggih, perlu dibangun etnowisata sastra yang indah dan
bermanfaat. Ki Nartosabdo (1994:54-55) menuliskan puisi pariwisata yang cukup
indah.
Pariwisata
Anjajah desa milangkori
Kalamangsane pariwisata
Wruh endahe alam nuswantara
Keh kang adiluhung alas lan gunung-gunung
Nadyan bangsa manca Negara
Padha gumun padha ngungun
Sesawangan anglam-lami tan mboseni
Kodrating kawasa kaya tinata janma
Itulah lelagon wisata, yang mampu menggugah senyum. Lelagon itu tergolong jenis
sastra karawitan. Keindahan alam sungguh luar biasa. Strategi senyum, tetap perlu disemaikan
pada setiap memasuki etnowisata sastra. Guru atau tutor, tinggal sebagai fasilitator aktivitas
etnowisata. Boleh juga kegiatan diarahkan pada jurnalisme sastra (literary journalism), yang
menurut Kurnia (2002:23-24) orang dapat belajar jurnalistik lewat fiksi. Pelaporan gaya fiksi,
banyak memukau dan menghadirkan senyum. Kebiasaan menulis jurnalistik, juga mendukung
berolah etnowisata sastra. Lewat etnowisata sastra, seseorang dapat belajar menulis sastra
dengan modal senyum.
Etnowisata sastra adalah perspektif budaya literasi untuk membekali para siswa dan
anggota masyarakat terlibat dalam fenomena sastra. Bermain sastra lewat wisata, akan
423 | Halaman
menyegarkan. Di tempat-tempat wisata, sastra dapat disemaikan.Oleh karenanya, budaya baca
masyarakat Indonesia dapat dikatakan identik dengan pertumbuhan kota-kota smart (kota
cerdas). Wawasan kota cerdas tentu memiliki tempat wisata yang layak untuk
berolah sastra. Jatmika (2009:20) memandang hidup ini harus banyak senyum.
Bahkan dia seolah berkelakar “urip mung mampir ngguyu” , artinya hidup itu hanya
singgah senyum. Maka dengan gigih dia mengumpulkan aneka kisah, yang
sebenarnya bernilai sastra menjadi pintalan senyum memukau.
Di Yogyakarta, ada penyair bernama Mustofa W Hasyim yang karya-karyanya memang
mengundang senyum. Begitu juga Rachmat Djoko Pradopo, biarpun orangnya tampak serius,
puisinya banyak mengundang senyum. Itulah sebabnya, senyum menjadi hal yang begitu urgen
dalam hidup. Lewat strategi senyum, masyarakat dapat digiring ke kawasan etnowisata sastra
yang indah. Tidak sediki karya sastra yang menjadi corong etnowisata. Santosa (2012:86-87)
menyatakan bahwa banyak karya sastra yang memuat konteks sadar wisata. Puisi Sapardi Djoko
Damono berjudul Di Banjar Tunjuk Tabanan dan di Kebun Binatang, Slametmuljana dalam puisi
berjudul Ulat dan Borobudur, jelas merupakan ekspresi etnowisata. Membaca puisi-puisi
tersebut, tentu ada kesan karya sastra itu sebuah media komunikasi.
Kalau demikian, mengajak siswa dan masyarakat ke objek wisata, itu langkah
membangun budaya literasi khususnya etnowisata sastra. Masyarakat dibiasakan sambil
bersepeda naik bukit, diajak eksplorasi, yang akhirnya menghasilkan pembiasaan membaca
alam. Masyarakat belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca
alam, lingkungan, dan suasana. Mereka belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan
setelah eksplorasi. Membaca dan menulis belum mengakar kuat dalam budaya bangsa Indonesia.
Dengan etnowisata ini, diharapkan masyarakat lebih sering menonton atau mendengar
dibandingkan membaca apalagi menulis. Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam
(masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang
disebut budaya literasi.
Bila peserta didik belum tertanam kecintaan membaca dan menulis, bisa dilatih lewat
etnowisata sastra. Dengan cara demikian budaya literasi akan tertanam. Budaya literasi adalah
kemampuan berbahasa seseorang (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) untuk
berkomunikasi dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Budaya literasi melalui
etnowisata, juga sebuah kemampuan membaca momen yang strategis. Strategi senyum adalah
sebuah tawaran, untuk menggirahkan etnowisata sastra. Etnowisata sastra adalah upaya
membangun suasana wisata dengan gerakan sastra. Sastra dapat dijadikan acuan estetis untuk
membangkitkan budaya Literasi. Budaya literasi yang berkiblat pada etnowisata sangat penting
bagi siswa karena keterampilan literasi akan berpengaruh terhadap keberhasilan belajar mereka
dan kehidupannya. Keterampilan literasi yang baik akan membantu siswa dalam memahami teks
lisan, tulisan, maupun gambar/visual.
Oleh karena itu, pengembangan budaya literasi siswa selalu dilakukan secara terpadu
antara kegiatan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan ini dapat
dikaitkan dengan etnowisata sastra. Maksudnya siswa diajak memahami karya sastra dengan
model etnowisata. Etnowisata sastra dibangun dari suasana wisata di wilayah etnis tertentu,
sambil membaca sastra bersama, menulis bersama secara berantai, dan menonton bersama
pertunjukan sastra.
Etnowisata sastra adalah sebuah gerakan baru pembelajaran sastra. Etnowisata sastra
adalah wahana pembelajaran budaya literasi untuk membuka mata para siswa, bahwa belajar
sastra dapat berlangsung di mana saja. Untuk menyukseskan tujuan itu, pemerintah telah
424 | Halaman
mengeluarkan peraturan melalui Permendikbud 23 Tahun 2015. Dalam Permendikbud tersebut
dinyatakan, bahwa Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Bahkan belakangan juga muncul GLN
(Gerakan Literasi Nasional) yang dipelopori oleh Badan Bahasa Jakarta. Gerakan literasi itu
diharapkan mampu mndongkrak budaya literasi yang selama ini masih lemah.
Melalui GLS ini diharapkan sekolah mampu menumbuhkembangkan budaya literasi di
sekolah. Budaya literasi sekolah dapat diformat dengan etnowisata sastra. Jika hal ini dapat
diwujudkan, maka akan terjadi simbiosis mututalistis antara sastra dan wisata. Simbiosis
keduanya terwadahi dalam konteks etno, yaitu tempat di mana siswa diajak berperan serta
tinggal beberapa saat di etnis lain. Pada saat tinggal sementara itu, siswa dapat belajar sastra
bersama, bermain drama bersama. Sambil wisata, sambilbermain drama, mencipta puisi, dan apa
saja yang terkait dengan sastra.
Bahkan etnowisata sastra dapat juga menjadi wahana mengnenalkan tempat wisata.
Sastra dapat menjadi ujung tombak pengembangan wisata. Wisata-wisata etnis itu lebih penting
dikenalkan lewat cipta sastra. Banyak karya-karya sastra yang mengisahkan gebleg, Parangtritis,
wisata Blitar, dan sebagainya. Dalam konteks etnowisata justru akan menciptakan ekonomi
kreatif sastra. Misalkan saja (1) pencetakan kaos yang bernuansa etnowisata sastra, (2)
pembuatan barang antic yang bertuliskan karya sastra, (3) nama-nama jalan dan gang di tempat
wisata menggunakan tokoh sastrawan. Banyak lagi etnowisata sastra yang dapat diraih.
Sebenarya GLS bukan hanya monopoli sekolah saja, tetapi juga sudah dilaksanakan di
lingkungan madrasah atau pesantren. Tentunya gerakan literasinya lebih fokus kepada ilmu-ilmu
agama. Walau tidak disebut sebagai sebuah gerakan literasi, tetapi secara de facto, gerakan
literasi sudah dilakukan sejak lama dan sudah terbukti mampu meningkatkan minat baca dan
kemampuan santri. Kegiatan tersebut disamping untuk meningkatkan kemampuan bicara dimuka
umum, juga untuk meningkatkan kepercayaan diri, karena bicara di depan umum bukan hal yang
mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Joko. 2003. “Tak Ada Kata Mubazir dalam Puisi” dalam Among Kurnia Ebo
(Ed.). Sastra di Titik Nadir; Bunga Rampai Teori Sastra Kontemporer. Yogyakarta:
Jendela.
Endraswara, Suwardi. 2016a. Sastra Ekologis. Yogyakarta: Caps.
_________________. 2016b. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra. Yogyakarta: Caps.
Jatmika, Sidik. 2009. Urip Mung Mampir Ngguyu; Telaah Sosiologis Folklor Jogja. Yogyakarta:
Kanisius.
Kurnia, Setptiawan Santana. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nadjib, Emha Ainun. 1984. Sastra Yang Membebaskan. Jakarta: PLP2M.
Nartosabdo, Ki. 1969. Buku Isi Gendhing Jawi saha Dolanan Gagrag Enggal. Semarang: Ngesti
Pandhawa.
____________. 1994. Kumpulan Gendhing-gendhing lan Lagon Dolanan. Sukoharjo:
Cenderawasih.
Santosa, Puji. 2012. Metoodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Azzagrafika.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.