budaya literasi, martabat bangsa, dan pengajaran …

9
2 SEMNASBAHTERA BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN SASTRA Prof. Dr. Suminto A. Sayuti Universitas Negeri Yogyakarta 1/. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya. Kebesaran atau potensi-potensi kebesaran suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh satu faktor. Simultanitas dan sinergi sejumlah faktor yang bersifat lintasbidang, meniscayakan tercapai atau terwujudkannya potensi kebesaran tersebut. Individu atau kelompok tertentu mana pun tidak mungkin mampu bertindak untuk itu tanpa berbagi dan bersinergi secara berbarengan. Dengan cara demikianlah suatu bangsa akan mampu menghasilkan warisan yang berharga yang bersifat lintasgenerasi. Dalam hubungan ini, bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan akan memainkan peran utamanya. Karena, dalam dan melalui tindakan berbahasa nilai-nilai menjadi terwujud dan terkomunikasikan. Bahasa pun menjadi aspek kebudayaan yang bersifat lintasgenerasi karena dalam bahasalah nilai-nilai budaya “dirumahkan.” Budi dan bahasa merupakan dua hal yang merefleksikan identitas kebangsaan. Artinya, makin tinggi budi (watak, perilaku, pekerti) suatu bangsa yang diwujudkan dalam tindak berbahasa, makin bermartabat dan mulia juga bangsa pemiliknya. Artinya lebih jauh, budaya literasi merupakan modal utama bagi sebuah peradaban bangsa. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada baiknya sejenak kita mengingat kembali kelahiran bangsa ini secara kultural: peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Dengan kesadaran budaya yang penuh, para pemuda pendekar bangsa dari berbagai penjuru tanah air pada masa itu mengikhlaskan ikatan-ikatan lokalitasnya demi kepentingan bangsa yang lebih besar. “Puisi besar” Sumpah Pemuda yang begitu dahsyat dan cemerlang itu niscaya bukan merupakan hasil pemikiran perseorangan, melainkan hasil kerja keras bersama ketika berbagai perkumpulan pemuda dari berbagai penjuru secara konseptual berbagi dan bersinergi untuk merumuskan kebangsaan, ketanahairan, dan kebahasaan berbasis realitas keindonesiaan. Melalui tiga ayat “puisi besar” itulah Indonesia lahir dari rahim kebudayaan. Tidak ada di antara kelompok-kelompok pemuda pada masa itu yang berupaya menjadikan kelompoknya superordinat bagi yang lainnya. Mereka tidak memiliki niat untuk mengalahkan kelompok lain karena mereka menyadari bahwa hidup itu bukan kalah dan menang. Mereka hanya berpikir bagaimana kepentingan dan cita-cita bersama dapat dicapai, bagaimana kebajikan sosial dapat ditegakkan sebagai “saka-guru” bagi terbangunnya “rumah-besar”

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

2 SEMNASBAHTERA

BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN

PENGAJARAN SASTRA

Prof. Dr. Suminto A. Sayuti

Universitas Negeri Yogyakarta

1/.

Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya.

Kebesaran atau potensi-potensi kebesaran suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh satu

faktor. Simultanitas dan sinergi sejumlah faktor yang bersifat lintasbidang, meniscayakan

tercapai atau terwujudkannya potensi kebesaran tersebut. Individu atau kelompok tertentu

mana pun tidak mungkin mampu bertindak untuk itu tanpa berbagi dan bersinergi secara

berbarengan. Dengan cara demikianlah suatu bangsa akan mampu menghasilkan warisan

yang berharga yang bersifat lintasgenerasi. Dalam hubungan ini, bahasa sebagai salah satu

aspek kebudayaan akan memainkan peran utamanya. Karena, dalam dan melalui tindakan

berbahasa nilai-nilai menjadi terwujud dan terkomunikasikan. Bahasa pun menjadi aspek

kebudayaan yang bersifat lintasgenerasi karena dalam bahasalah nilai-nilai budaya

“dirumahkan.” Budi dan bahasa merupakan dua hal yang merefleksikan identitas kebangsaan.

Artinya, makin tinggi budi (watak, perilaku, pekerti) suatu bangsa yang diwujudkan dalam

tindak berbahasa, makin bermartabat dan mulia juga bangsa pemiliknya. Artinya lebih jauh,

budaya literasi merupakan modal utama bagi sebuah peradaban bangsa.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada baiknya sejenak kita mengingat kembali

kelahiran bangsa ini secara kultural: peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Dengan kesadaran

budaya yang penuh, para pemuda pendekar bangsa dari berbagai penjuru tanah air pada masa

itu mengikhlaskan ikatan-ikatan lokalitasnya demi kepentingan bangsa yang lebih besar.

“Puisi besar” Sumpah Pemuda yang begitu dahsyat dan cemerlang itu niscaya bukan

merupakan hasil pemikiran perseorangan, melainkan hasil kerja keras bersama ketika

berbagai perkumpulan pemuda dari berbagai penjuru secara konseptual berbagi dan bersinergi

untuk merumuskan kebangsaan, ketanahairan, dan kebahasaan berbasis realitas

keindonesiaan. Melalui tiga ayat “puisi besar” itulah Indonesia lahir dari rahim kebudayaan.

Tidak ada di antara kelompok-kelompok pemuda pada masa itu yang berupaya menjadikan

kelompoknya superordinat bagi yang lainnya. Mereka tidak memiliki niat untuk mengalahkan

kelompok lain karena mereka menyadari bahwa hidup itu bukan kalah dan menang. Mereka

hanya berpikir bagaimana kepentingan dan cita-cita bersama dapat dicapai, bagaimana

kebajikan sosial dapat ditegakkan sebagai “saka-guru” bagi terbangunnya “rumah-besar”

Page 2: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

3 SEMNASBAHTERA

bernama Indonesia. Maknanya bagi mereka, kekuatan yang ada dan dimiliki oleh suatu

kelompok sebagai sebuah modal memang harus ditransformasikan secara ikhlas menjadi

kebajikan sosial dan kepentingan yang jauh lebih besar.

Dengan cara tersebut, nilai-nilai budaya yang beragam pun memperoleh rumahnya

yang tepat, yakni “rumah besar” yang berdiri kokoh di bumi pertiwi sebagai tempat serba-

neka budaya bertemu dan menyatu. Di dalamnya, nilai-nilai luhur bangsa yang bertumpu pada

makna kemerdekaan dan keadilan, kemajemukan dan persatuan, serta harkat dan kehormatan

bersama menjadi perhatian utama demi pencapaian cita-cita yang lebih besar, yang akhirnya

terwujud menjadi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Sejak kita merdeka, sebagai bangsa, kita selalu berupaya agar kehidupan di berbagai

bidang seperti kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya tidak ketinggalan dengan

bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan, kita mendambakan lebih maju daripada bangsa-bangsa

lain. Gambaran selintas tersebut menunjukkan betapa pentingnya bahasa dan “berbahasa,”

betapa pentinya budaya literasi dalam kaitannya dengan pemartabatan dan pemberadaban

bangsa. “Gapura besar” yang bernama budaya literasi musti segera dibuka dan dimasuki.

2/.

Sejak semula, menjadi bangsa yang bermartabat di antara bangsa-bangsa lain, pada

dasarnya merupakan cita-cita kita bersama. Ia menjadi tujuan perubahan sosial dan

karenanya, harus dimaknai sebagai salah satu imperatif historis yang harus ditunaikan.

Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang perikehidupannya didasarkan pada prinsip-

prinsip moral, yang di dalamnya organisasi-organisasi kewargaan disemai dan tumbuh, yang

di dalamnya perbedaan dalam sejumlah hal tetap mendapatkan harganya. Bangsa yang

bermartabat selalu mengandaikan pencarian keunggulan dan pengupayaan kebaikan untuk

menggantikan sesuatu yang hanya bersifat mediokratis dan filistinistik -- atmosfer yang

minatnya melulu kepada benda-benda material, bukan nilai-nilai intelektual dan artistik. Oleh

karena itu, perubahan menuju itu sekaligus harus mampu pula menemukan, menghidupkan,

dan menyegarkan kembali semangat kebebasan, individualisme, kemanusiaan, dan toleransi

dalam jiwa kita. Untuk itu, pengutamaan kecendekiaan dan pengayaan kultural merupakan

suatu hal yang tidak boleh diabaikan.

Perubahan sosial menuju bangsa yang bermartabat pada dasarnya merupakan bagian

yang tak terpisahkan dari perubahan sosial yang selama ini sudah kita lakukan. Itulah

sebabnya, bagi kita, perubahan yang kini tengah berlangsung merupakan bagian dari

“panggilan atau tugas sejarah” yang harus ditunaikan secara sadar. Mengapa demikian?

Karena, perubahan sosial mana dan apapun hampir dipastikan memunculkan sejumlah akibat.

Page 3: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

4 SEMNASBAHTERA

Oleh karena itu, walaupun proses tersebut merupakan bagian dari panggilan sejarah, ia juga

merupakan “sebab.” Pergeseran yang terus-menerus, pecah dan bercabangnya pandangan

dunia, dan dislokasi, untuk sekadar menyebut sejumlah contoh kasus, pada hakikatnya juga

merupakan akibat yang tak terhindarkan dari dipilihnya proses perubahan.

Akhir-akhir ini kita juga menyaksikan bagaimana histeria sosial terjadi, bahkan

sementara orang mengatakan bahwa sebagian masyarakat kita sedang mengidap schizofrenia

kultural, masyarakat manusia yang berwajah garang, berwatak keras, berperilaku keras dan

brutal, agresif, saling bermusuhan satu sama lain. Seperti sering diduga, hal itu antara lain

disebabkan oleh runtuhnya pilar-pilar nilai. Dalam hubungan ini, terwujudnya keterbukaan

dalam rangka menciptakan tegur-sapa dialektis-resiprokal di kalangan warga menjadi penting.

Karena apa? Karena, keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan

yang melihat sesama manusia secara positif dan optimis. Bangsa yang bermartabat adalah

bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dan egaliter. Karenanya, proses

demokratisasi pun perlu dikawal oleh prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang berasal

dari cita-cita peradaban dan warisan intelektual yang benar-benar berakar pada kultur sendiri,

yang hakikatnya selalu bersifat plural.

Yang namanya “merdeka” tentulah bukan hanya terbatas pada pengertian merdeka

politik (dalam batasan negara dan bangsa), tetapi juga merdeka dalam hal pemikiran dan jiwa

(dalam batasan sebagai manusia-manusia hamba Tuhan). Cita-cita ini mengandaikan pula

kemerdekaan dari semua bentuk dominasi “umat/manusia” lain. Keterbukaan penanganan

berbagai hal merupakan salah satu jalan menuju cita-cita bersama itu. Lalu di manakah

sesungguhnya posisi budaya literasi dalam konteks semacam ini.

Ketika politik dihayati dalam sejarah riil kebudayaan, di mana pun, politik amat biasa

memakai ekspresi bahasa (utamanya sastra, dan seni umumnya) sebagai alat atau kendaraan

demi mencapai tujuan politik itu dalam mewujudkan kepentingannya, dan politik dalam

artinya yang positif sering diabaikan. Seharusnya, “ruang batin cipta,” baik bagi ekspresi seni

maupun politik (dalam arti positif), menjadi jembatan tegur-sapa untuk secara bersama

memperjuangkan kemanusiaan.

Akan tetapi, dalam kenyataannya, di masa lalu politik kita hanya memanfaatkan sastra

(dan seni), bahkan jika diperlukan memanipulasikannya dengan beragam cara, bukan demi

tujuan pemanusiaan. Oleh karena itu, dilema utama para sastrawan (seniman) terletak pada

pilihan mengolah secara kreatif peresapan keresahan dan nilai-nilai yang dibungkam

kekuasaan, ataukah berhadapan dengan politik kekuasaan yang mengendalikannya. Dilema

Page 4: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

5 SEMNASBAHTERA

ini mencapai kulminasinya pada diam-bisunya masyarakat yang tidak pernah disuarakan oleh

para kreator, sehingga masyarakat berada dalam tidur panjang keterpasungan.

Rekayasa ulang masyarakat, menciptakan masyarakat yang lebih terbuka, transparan,

dan toleran, dengan demikian, juga sangat bergantung pada tersedianya iklim intelektual yang

sehat. “Lembaga-lembaga kecendekiaan” musti dibangun dan diberdayakan, untuk melakukan

transformasi dan melepaskan diri dari telikung sikap tribalistik, feodalistik, dan fanatisme

yang berlebihan.

Para cendekiawan dan calon cendekiawan, harus berdiri di depan. Tidak bisa tidak:

budaya literasi harus menjadi identitas utama keberadaan “lembaga-lembaga kecendekiaan”

itu. Lembaga ini diharapkan mampun menjadi teladan masyarakat dalam hal, misalnya saja,

memperbaharui komitmen kepada nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebajikan, dan kasih

sayang, sebagai nilai-nilai universal. “Gapura besar” yang bernama budaya literasi musti

segera dibuka dan dimasuki. Dengan demikian, multikulturalitas pun akan dengan mudah

disemai dan ditumbuhkan demi membentuk sebuah habitat budaya kewargaan yang sehat,

suatu habitat yang meniscayakan lingkungan politik membuka kemungkinan bagi partisipasi

penuh dan interaksi terbuka semua unsur masyarakat yang beragam. Tidak satu kelompok

atau sektor khusus pun diperlakukan tidak adil sehingga merasa teralienasikan, ditelantarkan,

atau ditindas.

Ketika ruang-ruang ekspresi telah dibuka, keberanian untuk berekspresi melalui

berbagai bentuk “bahasa pilihan” harus dibangunkan dalam diri kita masing-masing. Gerakan

literasi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu format yang secara spiritual-psikologis ikut

mendukung berbagai upaya baru dalam rangka menemukan kembali tatanan sosial dan politik

sebagai bagian integral dari rangkaian perubahan sosial menuju bangsa yang bermartabat.

3/

Paparan di atas menunjukkan bahwa budaya literasi begitu kuat mendorong kehidupan,

utamanya dari sisi demokratisasi kehidupan itu secara keseluruhan. Hingga masa tertentu,

bahkan hari ini, tulisan dan buku-buku telah menjadi baling-baling terbaik dan tempat

penyimpanan pengetahuan, di samping sebagai sumber kesenangan yang tak tergantikan.

Walaupun demikian, dalam beberapa hal masa depannya tidak pasti. Tulisan dan buku

sebagai perwujudan budaya literasi bisa saja bakal “menemui ajalnya.” Tesis ini agaknya

tidak berlebihan tatkala disadari bahwa budaya audio-visual telah datang menyergap kita.

Bisa saja berbagai hal yang dikemukakan dalam teks-teks alfabetik akan dianggap sebagai

sesuatu yang anakronistik. Kini, beragam “narasi pemikiran” yang menuntut pengalaman

hidup kita tidak lagi dipindah dan disimpan dalam teks-teks yang dibuku-tuliskan, tetapi

Page 5: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

6 SEMNASBAHTERA

disimpan dalam mesin-mesin, yakni mesin yang memiliki signal-signal dan bukan huruf-

huruf atau satuan-satuan lingual yang selama ini kita kenal sebagai sarananya. Cara

komunikasi semacam itulah yang kini dipandang, dan memang dalam kenyataannya, lebih

efektif, efisien, dan universal.

Harus diakui, untuk menjadikan suatu masyarakat menjadi literasi: paham dan

menguasai bagaimana membaca dan menulis, seharusnya lebih diperkenalkan hal-hal yang

menjadi sumber pengetahuan yang bersifat primordial, dan bukannya lebih diorientasikan

pada mesin. Akan tetapi, dalam kenyataannya, yang diutamakan bukan lagi buku-buku yang

dibaca secara individual, melainkan perkakas-perkakas praktis. Hiburan bagi semua orang,

terlebih-lebih anak-anak, telah dan agaknya akan terus dikerjakan dan diperoleh melalui

proyektor, layar monitor, speaker, dan tape. Periode alfabetik dalam sejarah manusia bisa saja

menjadi singkat hidupnya.

Sebagaimana dalam kehidupan umat manusia masa lalu, peradaban yang begitu baik

telah diciptakan tanpa buku-buku, sehingga jika sesuatu yang sama akan terjadi pada masa

yang akan datang, bukanlah sebuah kemustahilan. Akan tetapi, kita juga sah untuk menduga

dan berharap bahwa budaya literasi akan hidup terus di kantong-kantong kultural tertentu

karena kenikmatan dan keuntungannya, karena teks-teks tertulis merupakan suatu hal yang

membangkitkan rasa ingin tahu dan dapat menjadi sumber nilai kehidupan.

Kini televisi, misalnya saja, telah menggantikan surat kabar dan majalah sebagai

sumber informasi utama tentang kejadian-kejadian masa kini, dan walaupun pertumbuhan

jumlah pembaca di dunia tidak diragukan lagi, untuk mengatakannya secara relatif, kata-kata

tertulis pada masa kini telah berkurang pengaruhnya jika dibandingkan dengan pada masa

lalu. Buku-buku kurang penting bagi masyarakat literasi kini dibandingkan dengan

masyarakat literasi masa lalu. Orang boleh saja menduga bahwa keadaan semacam ini bakal

menjadi salah satu bagian dari bencana kemanusiaan, walaupun bisa juga anggapan semacam

ini dipandang berlebihan.

Kecemasan tersebut bukannya tidak beralasan. Bahwa budaya perkakas lebih mudah

dikendalikan, dimanipulasikan, dan didegradasikan oleh kekuasaan, semua orang

memahaminya. Ia berbeda dengan kata-kata tertulis dalam hal, misalnya saja dalam teks

kreatif, kerahasiaanya menyampaikan pesan-pesan dan tanda-tanda keabadian mengenai hati

nurani manusia lewat imaji-imaji dan simbol-simbol literer. Teks-teks kreatif sering

mewujudkan dirinya sebagai benteng terakhir kebebasan. Dengan kematiannya, jika tesis di

atas terbukti, kepatuhan pikiran pada kekuasaan politik dapat bersifat total. Di “kerajaan

perkakas audio-visual,” nahkoda teknologi kebudayaan adalah seorang raja produksi kultural.

Page 6: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

7 SEMNASBAHTERA

Dan dalam masyarakat tertentu, seperti masyarakat kita, langsung atau tak langsung, hal itu

bisa saja menimbulkan sejumlah akibat yang tidak diinginkan. Karena apa? Karena,

perlawanan budaya pun tidak mungkin dilakukan, bahkan bisa saja tidak ada sama sekali.

Karena, prakarsa dalam aktivitas kultural akan secara mudah diganti dan akhirnya tergelincir

dalam pikiran-pikiran yang memperbudak.

Kita pun dapat terjebak secara bersama-sama menjadi masyarakat robot, yakni robot

yang mungkin juga menjadi bisu, kelu, dan goblok. Karena apa? Karena, tidak seperti teks-

teks tertulis, produk budaya perkakas cenderung membatasi imajinasi, memajalkan

sensibilitas, dan menciptakan pikiran-pikiran yang pasif. Pemikiran semacam ini bukanlah

perwujudan alergi pada budaya perkakas. Juga bukan merupakan sebuah “tangisan romantis”

dan pernyataan belasungkawa atas terancamnya eksistensi budaya literasi umumnya.

Yang jelas, pengaruh budaya perkakas tidak pernah menjadi sebanding dengan teks-

teks tertulis dalam hal pengaruhnya pada kejiwaan manusia, terlebih manusia yang sedang

tumbuh berkembang. Pengaruh produk budaya perkakas itu berlangsung hanya sebentar saja,

karena fantasi dan pikiran “penonton” begitu minimal dibandingkan dengan intelek dan

fantasi para pembaca buku. Oleh karena itu, kecemasan sebagaimana dikemukakan menjadi

wajar adanya. Hanya saja terasa terlampau sepihak. Karena, dalam kenyataannya kita pun

memiliki daya tolak terhadap produk-produk budaya perkakas. Karenanya pula, kita mestinya

tidak berpikir bahwa kekalahan buku-buku oleh perkakas akan benar-benar terjadi. Hakikat

kebudayaan, baik alfabetik maupun audio-visual, baik yang bebas maupun yang diperpudak,

tidak pernah buta dalam perspektif evolusi pengetahuan kita secara keseluruhan. Faktor yang

menentukannya tetaplah pada sikap kultural kita. Dalam kaitan ini, pembelajaran bahasa dan

sastra yang ditangani secara baik akan menemukan relevansi dan signifikansinya.

4/.

Seperti apa pun kurikulumnya, pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah hendaknya

diorientasikan pada pengalaman berbahasa dan bersastra. Orientasi itu dapat diturunkan

menjadi knowing, doing, dan being bahasa dan sastra; atau dapat dirumuskan dalam (istilah

Jawa) nga-3: ngerti, nglakoni, dan ngrasakke bahasa dan sastra. Karenanya, “teks” apapun

yang diisyaratkan di dalam kurikulum yang berlaku hendaknya diupayakan

kontekstualisasinya secara lebih luas, dengan cara didialogkan dengan “teks-teks” lain. Bagi

saya, pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah dengan kurikulum manapun esensinya sama .

Pengalaman berbahasa dan bersastra hendaknya tetap berfungsi kontributif bagi pencapaian

tujuan pendidikan secara keseluruhan. Fungsi-fungsi edukatif, ideologis, dan kultural harus

selalu melekat dalam praksis pembelajaran bahasa dan sastra di tingkat persekolahan. Dalam

Page 7: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

8 SEMNASBAHTERA

kaitan inilah kehadiran seorang guru yang kreatif berada di atas segalanya. Seideal apapun

kurukulumnya, selengkap apapun fasilitas dan media pembelajaran yang ada, semuanya akan

sia-sia jika materi bahasa dan sastra tidak disikapi secara kreatif dalam praksis pembelajaran.

Mengajarkan bahasa dan sastra pada dasarnya merupakan sebuah upaya menciptakan

suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar bahasa dan sastra itu

sendiri. Sistem lingkungan ini terdiri atas komponen-komponen yang saling mempengaruhi,

yang terdiri atas: (a) tujuan instruksional yang ingin dicapai; (b) teks sastra yang diajarkan; (c)

guru-siswa yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu; (d)

bentuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan; (e) sarana dan prasarana belajar-mengajar

yang tersedia. Komponen-komponen sistem lingkungan ini saling mempengaruhi secara

bervariasi. Dengan demikian, setiap peristiwa belajar-mengajar bahasa dan sastra pun

menuntut “profil” yang unik.

Untuk mencapai tujuan belajar bahasa dan sastra harus diciptakan sistem lingkungan

belajar bahasa dan sastra yang khas pula. Dalam kaitan ini, tujuan-tujuan belajar bahasa dan

sastra yang diusahakan dengan tindakan instruksional untuk mencapai efek instruksional

menjadi penting. Akan tetapi, tujuan-tujuan yang lebih merupakan efek pengiring juga tidak

kalah pentingnya. Dinyatakan demikian karena siswa menjadi to live in lingkungan belajar

bahasa dan sastra, misalnya saja mereka menjadi berkemampuan berpikir kritis, berpikir

kreatif, dan bersikap terbuka dalam menerima pendapat orang lain, termasuk di dalamnya

adalah terbentuknya kesadaran bahwa bahasa dan sastra merupakan sebuah ruang tempat

mereka “merumahkan” pengalaman-pengalaman kemanusiaannya..

Seorang guru harus memilih satu (atau biasanya lebih) strategi belajar-mengajar jika

ingin mencapai efek instruksional, efek pengiring tertentu, atau karena ingin mencapai kedua-

duanya. Apapun yang dikehendaki, kesadaran pertama dan utama yang harus selalu dipegang

adalah bahwa penekanan lebih ditujukan pada “siswa-belajar bahasa dan sastra” dan bukan

pada “guru-mengajarkan sastra.” Karena, the learning process is complete only when the

learner understands, accepts and puts the knowledge acquired into practice. Oleh karena itu,

“continuous interplay between texts and the reader” menjadi imperatif yang seharusnya

ditunaikan dalam pelaksanaan pembelajaran.

Uraian di atas menunjukkan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas secara profesional,

dalam arti memilih dan melaksanakan SBM yang efektif, seorang guru membutuhkan

wawasan yang cukup memadai tentang kemungkinan-kemungkinan strategi belajar-mengajar

bahasa dan sastra yang sesuai dengan tujuan-tujuan belajar bahasa dan sastra tersebut, baik

dalam arti efek instruksional maupun efek pengiring, yang ingin dicapai berdasarkan rumusan

Page 8: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

9 SEMNASBAHTERA

tujuan pendidikan yang utuh. Di samping itu, ia juga memerlukan penguasaan teknis di dalam

menyiapkan (baca: mendesain) sistem lingkungan belajar-mengajar bahasa dan sastra berikut

implementasinya secara efektif. Dengan metode “menanamkan kerinduan,” niscaya pelajaran

bahasa dan sastra akan selalu dinantikan oleh para siswa.

Agar siswa merasa athome dan selalu merindukan kehadiran pelajaran bahasa dan

sastra hal-hal berikut ini perlu diperhatikan: (a) berikan peluang kepada siswa agar dirinya

terbuka terhadap pengalaman baru melalui dan dengan bahasa dan sastra, bukan tentang

bahasa dan sastra. Upayakan agar bahasa dan sastra menjadi sebuah “jagat” yang

menyediakan ruang bagi para siswa untuk menjelajahi pengalaman-pengalaman dan

alternatif-alternatif baru mengenai suatu keadaan; (b) doronglah siswa agar memiliki

keluwesan berpikir dengan cara melibatkan mereka dalam kesadaran bahwa bahasa adalah

sarana berpikir dan sastra merupakan dunia pemikiran reflektif; (c) sediakan peluang

kebebasan yang besar kepada para siswa dalam mengemukakan pandangan sesuai dengan

pilihan bahasa mereka sebagai “private domain.” Upayakan agar siswa tidak berdiam diri

tanpa mengemukakan pandangan apapun dalam komunitasnya. Bahasa dan sastra telah

menyediakan ruang bagi siapapun untuk membentuk kemungkinan baru berdasarkan suatu

objek yang teramati dan terhayati; (d) dorong dan kembangkan daya imajinasi siswa karena

pencarian alternatif baru hampir selalu dimulai dengan memberdayakan imajinasi, dan a good

imagination should be based on the reality. Peristiwa tertentu sesederhana apapun dapat

dijadikan sebagai suatu rangsang buat menggelandangkan imajinasi.

5/.

Secara sederhana, butir-butir di atas dapat dilaksanakan melalui membaca, menulis,

dan apresiasi sastra (MMAS), yang menghindarkan diri dari kecenderungan pemilihan materi

bahasa dan sastra yang berhenti pada informasi konseptual dan kognitif. Siswa dilibatkan

langsung dalam pengalaman berbahasa dan bersastra. Kaidah-kaidah teoretis berfungsi

menjadi bingkai pengalaman, bukan sebagai hal yang utama, demi peningkatan pengalaman

dan kemampuan berbahasa dan bersastra mereka di saat mendatang.

Kegiatan membaca diharapkan mampu mendorong, dan hendaknya selalu diikuti

dengan, kegiatan menulis. Dua jenis kemampuan berbahasa ini sudah dengan sendirinya akan

mencorong dua kemampuan yang lain, menyimak dan berbicara, apabila pentas pembelajaran

benar-benar diciptakan secara dinamis. Dengan cara demikian, sikap teguh para siswa dalam

mengajukan pandangan sedikit demi sedikit dapat ditumbuhkan. MMAS hendaknya mampu

menyediakan ruang bagi para siswa agar dalam menghadapi suatu kegagalan disikapi sebagai

munculnya tantangan dan situasi serta harapan baru untuk menemukan jawaban yang lebih

Page 9: BUDAYA LITERASI, MARTABAT BANGSA, DAN PENGAJARAN …

10 SEMNASBAHTERA

komprehensif. Dalam hubungan ini, mendorong kemandirian siswa dalam mengambil

keputusan sehingga berani menanggung resiko dan mantap dalam berkeyakinan dalam

MMAS menjadi penting. MMAS diposisikan sebagai sebuah ruang kesadaran bagi siswa

agar mereka tidak dengan mudah mengerjakan sesuatu sekedar ikut-ikutan saja, tidak mudah

menerima pendapat orang lain, dan tidak ragu-ragu untuk mengemukakan pendapatnya

sendiri karena pendapat yang disetujui orang banyak tidak selalu identik dengan kebenaran.

Apabila catatan-catatan yang sudah diberikan di atas mampu diimplementasikan dalam

praksis pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah, dalam kaitannya dengan kurikulum

manapun, niscaya kebuntuan dapat dihindari. Terlebih lagi jika praksis tersebut juga diberi

bingkai tambahan yang bersifat multidimensional dan multikultural yang tidak harus

kehilangan sifatnya yang ilmiah, relevan, sistematis, aktual, kontekstual, dan fleksibel

Artinya, pembelajaran bahasa dan sastra akan mampu menunaikan imperatif-imperatif yang

diembannya: edukatif, ideologis, dan kultural. Semoga begitu.

Lereng Merapi: Juli 2017