strategi lsm dalam penguatan masyarakat lokal di area industri ekstraktif

4
1 Policy Brief 04 Juli 2013 POLICY BRIEF POLICY BRIEF Juli 2013 04 ISSUE MENJADI MASYARAKAT BERDAYA: Strategi LSM dalam Penguatan Masyarakat Lokal Di Area Industri Ekstraktif Pendahuluan O perasi industri ekstrakf di era desentralisasi baik migas maupun non-migas oleh MNCs (Mul- Naonal Corporaons) maupun perusahaan nasional semakin masif. Peningkatan pendapatan pemerintah menjadi alasan utama dibukanya lebar-lebar pintu perijinan eksplorasi sektor tersebut (Hamman, 2001). Krik paling tajam terkait hal ini adalah, alih- alih mensejahterakan masyarakat lokal, hadirnya industri ekstrakf sejak lama justru berkorelasi dengan Kemiskinan di daerah industri ekstraktif kerap dipahami dari sisi indikator yang kasat mata ketimbang akar penyebab. Padahal, banyak riset menunjukkan bahwa kemiskinan adalah resultan dari ketakberdayaan komunitas lokal secara politik dan bukan semata ukuran pendapatan, konsumsi atau minimnya akses pelayanan publik. Policy brief ini mengulas pentingnya peran lembaga swadaya masyarakat di daerah industri ekstraktif untuk meningkatkan kesadaran (awareness) komunitas lokal tentang makna penting akses ke proses kebijakan dan tidak semata-mata akses ke kebutuhan praktis kehidupan sehari-sehari. Langkah-langkah praktis yang direkomendasikan bisa menjadi opsi untuk menjadikan masyarakat di daerah industri ekstraktif lebih berdaya secara politik dalam jangka panjang, sebagai salah satu upaya strategis menanggulangi kemiskinan. pemiskinan, pelanggaran hak azasi manusia, korupsi, serta berbagai dampak negaf lainnya (Ross, 2006). Sayangnya, respon terhadap isu ini terkadang justru bersifat kontra-produkf. Menghadapi persoalan kemiskinan masyarakat lokal yang kontras dengan kekayaan tambang yang berlimpah sekaligus tersedianya dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan, misalnya, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal malah terjebak sedaknya dalam dua persoalan. Pertama, pemenuhan kebutuhan praks daripada strategis masyarakat; kedua, dilema kerumitan polik setempat. Alhasil, program-program yang ditawarkan pun cenderung memusat pada upaya mendorong perluasan akses masyarakat lokal terhadap dana CSR guna mendukung kegiatan yang bersifat kataf seper bantuan modal dan kegiatan kebersihan lingkungan. Penguatan kesadaran kesejajaran masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah akhirnya terabaikan. Padahal, hulu dari masalah kemiskinan masyarakat di daerah tambang seringkali terletak pada kesenjangan akses polik dalam pembuatan kebijakan. Policy brief ini mengidenfikasi sejumlah rekomendasi bagi LSM lokal untuk membangun strategi pemberdayaan yang bertumpu pada penguatan kesadaran. Menelisik Akar Persoalan Kajian IRE (2011) menemukan bahwa sejumlah area tambang di beberapa kabupaten justru lebih miskin dibandingkan dengan area yang bukan lokasi industri ekstrakf. Mengingat berbagai potensi--lapangan kerja, sharing pendapatan dari pemerintah pusat, mulplier effects dari eksistensi industri, serta peran serta perusahaan dalam pembangunan melalui CSR--maka fakta di atas sejanya sebuah ironi. Dari 7 kabupaten/kota lokasi industri ekstrakf, di mana program penguatan LSM lokal yang diinisiasi IRE-United Naons Democracy Fund berlangsung, hanya dua kabupaten dengan jumlah warga miskin yang lebih sedikit kembang kabupaten/ kota non-industri ekstrakf. Arnya, di lima kabupaten

Upload: ashari-edi

Post on 31-Mar-2016

223 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Strategi LSM dalam Penguatan Masyarakat Lokal di Area IndustrI Ekstraktif

1Policy Brief 04 Juli 2013

POLICY BRIEFPOLICY BRIEFJuli 2013

04ISSUE

MENJADI MASYARAKAT BERDAYA: Strategi LSM dalam Penguatan Masyarakat Lokal Di Area Industri Ekstraktif

Pendahuluan

Operasi industri ekstraktif di era desentralisasi baik migas maupun non-migas oleh MNCs (Multi-National Corporations) maupun perusahaan

nasional semakin masif. Peningkatan pendapatan pemerintah menjadi alasan utama dibukanya lebar-lebar pintu perijinan eksplorasi sektor tersebut (Hamman, 2001). Kritik paling tajam terkait hal ini adalah, alih-alih mensejahterakan masyarakat lokal, hadirnya industri ekstraktif sejak lama justru berkorelasi dengan

Kemiskinan di daerah industri ekstraktif kerap dipahami dari sisi indikator yang kasat mata ketimbang akar penyebab. Padahal, banyak riset menunjukkan bahwa kemiskinan adalah resultan dari ketakberdayaan komunitas lokal secara politik dan bukan semata ukuran pendapatan, konsumsi atau minimnya akses pelayanan publik. Policy brief ini mengulas pentingnya peran lembaga swadaya masyarakat di daerah industri ekstraktif untuk meningkatkan kesadaran (awareness) komunitas lokal tentang makna penting akses ke proses kebijakan dan tidak semata-mata akses ke kebutuhan praktis kehidupan sehari-sehari. Langkah-langkah praktis yang direkomendasikan bisa menjadi opsi untuk menjadikan masyarakat di daerah industri ekstraktif lebih berdaya secara politik dalam jangka panjang, sebagai salah satu upaya strategis menanggulangi kemiskinan.

pemiskinan, pelanggaran hak azasi manusia, korupsi, serta berbagai dampak negatif lainnya (Ross, 2006).

Sayangnya, respon terhadap isu ini terkadang justru bersifat kontra-produktif. Menghadapi persoalan kemiskinan masyarakat lokal yang kontras dengan kekayaan tambang yang berlimpah sekaligus tersedianya dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan, misalnya, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal malah terjebak setidaknya dalam dua persoalan. Pertama, pemenuhan kebutuhan praktis daripada strategis masyarakat; kedua, dilema kerumitan politik setempat.

Alhasil, program-program yang ditawarkan pun cenderung memusat pada upaya mendorong perluasan akses masyarakat lokal terhadap dana CSR guna mendukung kegiatan yang bersifat katitatif seperti bantuan modal dan kegiatan kebersihan lingkungan. Penguatan kesadaran kesejajaran masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah akhirnya terabaikan. Padahal, hulu dari masalah kemiskinan masyarakat di daerah tambang seringkali terletak pada kesenjangan akses politik dalam pembuatan kebijakan. Policy brief ini mengidentifikasi sejumlah rekomendasi bagi LSM lokal untuk membangun strategi pemberdayaan yang bertumpu pada penguatan kesadaran.

Menelisik Akar Persoalan Kajian IRE (2011) menemukan bahwa sejumlah area

tambang di beberapa kabupaten justru lebih miskin dibandingkan dengan area yang bukan lokasi industri ekstraktif. Mengingat berbagai potensi--lapangan kerja, sharing pendapatan dari pemerintah pusat, multiplier effects dari eksistensi industri, serta peran serta perusahaan dalam pembangunan melalui CSR--maka fakta di atas sejatinya sebuah ironi. Dari 7 kabupaten/kota lokasi industri ekstraktif, di mana program penguatan LSM lokal yang diinisiasi IRE-United Nations Democracy Fund berlangsung, hanya dua kabupaten dengan jumlah warga miskin yang lebih sedikit ketimbang kabupaten/kota non-industri ekstraktif. Artinya, di lima kabupaten

Page 2: Strategi LSM dalam Penguatan Masyarakat Lokal di Area IndustrI Ekstraktif

2 Policy Brief 04 Juli 2013

lainnya, angka kemiskinannya lebih tinggi, sebagaimana ditunjukkan Tabel 1.

Sudah tentu, komparasi historis dengan kondisi kemiskinan pra-tambang patut dipertimbangkan. Umumnya, lokasi industri ekstraktif adalah daerah terpencil dengan akses ekonomi, sosial, pendidikan, dan pemerintahan yang sangat terbatas. Tetapi, adalah lebih penting untuk mempertanyakan sejauhmana operasi perusahaan tambang turut berkontribusi mempercepat perbaikan kualitas hidup masyarakat lokal?

sesungguhnya merefleksikan kontestasi kekuasaan keras dan tidak terfasilitasi penyalurannya di arena kebijakan publik. Dengan demikian, hal terpenting memahami kemiskinan di daerah tambang adalah dengan tidak melihat kemiskinan sekadar sebagai kemiskinan belaka. Minimnya pendapatan harus dilihat sebagai isu politik daripada semata-mata isu ekonomi seperti terbatasnya akses ke pekerjaan.

Konsekuensinya, persoalan gap kesejahteraan butuh dibidik dari lensa gap akses kekuasaan dan pembuatan

kebijakan. Kebijakan pertambangan yang acap jadi area eksklusif korporasi dan pemerintah mesti didorong menjadi lebih partisipatif, inklusif, dengan menempatkan warga sebagai partner. Dalam konteks ini, tugas LSM menjadi lebih jelas, yakni menumbuhkan kesadaran warga, bahwa mereka punya hak yang sama di lingkaran pembuatan kebijakan.

Rekomendasi Kebijakan

Perspektif PemberdayaanSejak digulirkan sebagai kewajiban perusahaan

tambang, program pemberdayaan masyarakat lokal dengan memanfaatkan dana CSR melalui program kredit mikro, pelatihan kerja, pemeliharaan kebersihan lingkungan, beasiswa, penyediaan air bersih, dan sebagainya pun kian menjamur. Namun, dari sekian program yang ada, tidak banyak yang berhasil mendobrak

Tabel 1

Persentase Kemiskinan Area Tambang dan Non-Tambang di 7 Kabupaten

No.Propinsi dan Kabupaten/Kota

Jumlah Warga Miskin

Persentase (%) Warga Miskin secara

Keseluruhan

Persentase (%) Warga Miskin di Area Tambang

Jawa Timur dan Jawa Tengah

1 Blora - 23 (2005) 65

2 Bojonegoro - 22, 57 (2008) 75

3 Tuban - 18,54 (2008) 45

Nusa Tenggara Barat

4 Sumbawa Barat (6.726 keluarga) 24,4 (2008) 53

Kalimantan Timur

5 Kutai Timur 31.700 orang 17,5 (2008) Lebih sedikit

6 Kutai Kertanegara 70.385 orang 12,8 (2005) Lebih sedikit

Kepulauan Riau, Sumatra

7Kepulauan Anambas

11.669 orang 32,18 (2009) -

Sumber: IRE Need Assessment Manual Program Penguatan LSM Lokal di Daerah Tambang, 2009-2011.

Di titik ini, aspek politik dalam relasi pemerintah, baik pusat dan daerah, perusahaan, LSM dan masyarakat lokal dalam pembagian sumberdaya jadi sangat penting. Identifikasi Anshell dan Gash (2011) menunjukkan adanya asimetrisme dalam sumber daya ekonomi maupun kapasitas mempengaruhi kebijakan publik antara perusahaan dan komunitas. Bahkan di internal masyakat sendiri yakni komunitas dan elit lokal, asimetrisme kapasitas dan selanjutnya akses ke sumber daya maupun outcome dari operasi tambang juga terjadi (Welker 2007, 2009). Dengan karakter relasi kekuasaan yang timpang itu, warga lokal lebih sering tereksklusi sehingga kemiskinannya menjadi kronis.

Ironisnya, karena penolakan, resistensi, maupun tuntutan kesejahteraannya, warga lebih dipandang sebagai biang kerok daripada sebagai partner baik oleh perusahaan maupun pemerintah. Padahal, jika direnungkan, reaksi akar rumput yang sarat dengan resistensi dan konflik

Page 3: Strategi LSM dalam Penguatan Masyarakat Lokal di Area IndustrI Ekstraktif

3Policy Brief 04 Juli 2013

isu asimetrisme kekuasaan. Posisi masyarakat lokal sebagai resipien, obyek, dan beneficiaries baik oleh perusahaan maupun pemerintah tidak banyak berubah.

Contoh di mana LSM lokal mengorganisir warga untuk memblokade aurs transportasi perusahaan migas atau tambang memang sudah lazim. Yang kurang, modus tersebut belum secara sistematis ditujukan sebagai pendidikan politik. Kajian Welker (2009) di Sumbawa Barat justru menemukan bahwa masyarakat lokal dimobilisasi untuk kepentingan elit lokal. LSM lokal berada dalam posisi sulit. Jika gagal menginisiasi program yang strategis, alih-alih memberdayakan, LSM akan rentan dituding sebagai kepanjangan tangan perusahaan, yang mengunci perannya sekadar di dalam ranah fasilitasi program daripada advokasi.

Terkait dengan ini, kunci utama bagi LSM lokal adalah menghindari kesalahan umum program penanggulangan kemiskinan, yaitu dengan tidak dibedakannya indikator kemiskinan dengan penyebab kemiskinan. Program pengurangan kemiskinan semisal mendorong perluasan kesempatan kerja tetap penting. Hanya saja, program seperti ini tidak banyak membantu mengikis akar kemiskinan yakni gap akses pembuatan kebijakan. Terlebih, lapangan kerja yang tercipta dari pekerjaan sebagai subkontraktor, misalnya, daya serapnya terbatas dan rendah keberlanjutannya.

Sen (1999) berkali-kali mengingatkan bahwa kemiskinan tak seremeh konsumsi jumlah kalori per hari, jenis dinding rumah apakah bambu atau tembok, jenis lantai rumah yang dipakai (tanah atau keramik), maupun jumlah pakaian baru yang dibeli dalam setahun. Kemiskinan, bagi Sen, adalah juga soal akses terhadap keamanan sosial dan partisipasi politik. Implikasinya, memberikan perhatian terhadap isu-isu strategis (ekses terhadap kebijakan dan kesetaraan dalam pembuatan kebijakan) jauh lebih diperlukan dibanding melulu menyelesaikan masalah praktikal (konsumsi, infrastruktur, dst.).

Berikut adalah langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan LSM pegiat pemberdayaan masyarakat di daerah industri ekstraktif.

Pentingnya Need AssessmentKajian legal formal yang terkait secara langsung

dengan isu yang diadvokasi. Mempelajari peraturan perundangan akan membantu mengidentifikasi hak dan kewajiban pemerintah (pusat dan daerah), perusahaan, dan warga secara holistik. Bahkan, jika peraturan perundangan tersebut penuh dengan kelemahan, identifikasi tersebut merupakan materi advokasi yang bermanfaat, terlebih jika kita mampu merefleksikannya dengan pengalaman empiris warga

yang kita advokasi. Jika suatu LSM mengadvokasi pengelolaan dana CSR yang partisipatif bagi pengentasan kemiskinan, segala perundangan tentang CSR harus dikupas secara mendalam, baik terkait dengan undang-undang pertambangan dan migas, perseroan terbatas, Lingkungan, penanggulangan kemiskinan, hingga turunan regulasi di level lokal.

Kajian legal formal yang secara tidak langsung terkait dengan isu yang diadvokasi secara matang. Mengkaji peraturan perundangan yang tidak secara langsung terkait dengan isu yang diadvokasi akan memperkuat frame advokasi LSM. Jika kita merasa peraturan tentang CSR terlalu umum, misalnya tidak menekankan aspek partisipasi, kajian terhadap Undang-undang keterbukaan informasi, anti-korupsi, atau bahkan desentralisasi akan sangat membantu memperkuat perspektif advokasi pengelolaan dana CSR yang partisipatif.

Pemetaan konteks daerah pertambangan secara detil. Mempelajari konteks sosial dan politik daerah pertambangan dengan mengkaji temuan penelitian sebelumnya, artikel ilmiah, pemberitaan media, maupun dengan wawancara langsung terhadap masyarakat lokal akan sangat membantu pegiat LSM mengidentifikasi peta konflik, konstelasi kekuasaan, status quo, resistensi dan dukungan, maupun afiliasi politik. Tidak ada daerah yang sama sekali sama meski persoalan yang mereka hadapi identik, yaitu perebutan sumberdaya pertambangan, LSM lokal yang menjamur, juga politisi dan aparat daerah yang suka mencari rente. Dengan memahami konteks tiap daerah, kita bisa mengidentifikasi isu yang khas sehingga kita bisa menentukan pendekatan yang tepat dalam mengeksekusi program.

Berbasis Konteks Sangat disadari bahwa konteks politik daerah

tambang sarat konflik dan ketegangan. Tentu saja, LSM tidak disarankan bersikap konfrontatif dengan mempertimbangkan keamanan, akses ke arena kebijakan dan keberlanjutan engagement. Tetapi, bermain ‘aman’, misalnya dengan menghindari konstestasi politik lokal, sementara ini adalah bagian tak terpisahkan dari keberhasilan program. Pengalaman IRE di Sumbawa Barat, contohnya, perusahaan dan pemerintah enggan untuk terlibat dalam engagament maupun program kemitraan dengan LSM lokal yang sudah “dipetakan” atau masuk black list. Selain itu, ikhtiar guna memastikan bahwa LSM hanya terlibat dalam situasi yang benar-benar terkait dengan keberhasilan program juga tidak kalah penting untuk menghindari penyerapan energi yang tidak perlu. Tidak ada rumus pasti terkait pendekatan paling tepat menghadapi situasi politik tertentu. Namun,

Page 4: Strategi LSM dalam Penguatan Masyarakat Lokal di Area IndustrI Ekstraktif

4 Policy Brief 04 Juli 2013

Ditulis oleh: Ashari Cahyo EdiPeneliti IRE Yogyakarta

[email protected]

bersikap profesional, persuasif tetapi asertif-kritis adalah garis umum menentukan pendekatan dalam pengelolaan program.

Bangkitkan KesadaranDi antara kegiatan yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran partisipasi warga lokal adalah dengan melalukan hal-hal berikut.

Penyebaran Informasi. Masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan lingkaran kebijakan perlu mengetahui hak dan kewajiban mereka terkait, misalnya, partisipasi dalam pengelolaan dana CSR, jaminan undang-undang atas kebebasan berpikir, berkumpul, menyampaikan aspirasi, dan turut terlibat dalam pembuatan kebijakan, serta mengakses sumberdaya. memberikan informasi kepada masyarakat adalah kunci utama memperkuat kesadaran warga bagi LSM pegiat pemberdayaan masyarakat di daerah tambang.

Studi Banding. Studi Banding memungkinkan warga di daerah tambang tertentu menggali informasi tentang bagaimana masyarakat di daerah tambang lainnya membangun relasi dengan perusahaan dan pemerintah, berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, serta merasakan dampak atas partisipasi mereka.

Studi Kasus. Banyak pilihan media pembelajaran. Menonton film baik dokumenter maupun fiksi, mendiskusikan laporan ilmiah maupun berita koran merupakan contoh media untuk memfasilitasi masyarakat lokal mengidentifikasi pengalaman masyarakat lokal di area industri ekstraktif lainnya dalam membangun relasi dengan pemerintah dan perusahaan. Inspirasi perihal ragam pendekatan—semisal: konfrontatif atau persuasif asertif—akan memberi gambaran bahwa tiap pendekatan menghasilkan dampak yang berbeda pula—konflik atau kolaborasi—dalam berelasi dengan pemerintah dan perusahaan.

Simulasi: Menjadi Resipien atau Partner? Kegiatan ini bertujuan memberikan pengalaman artifisial kepada masyarakat lokal untuk bisa membedakan peran sebagai obyek penerima bantuan dengan partner, misalnya dalam pengelolaan program CSR. Setidaknya, dengan demikian, masyarakat diharapkan akan dengan sendirinya mengambil pelajaran tentang

bagaimana beda manfaat menjadi warga yang aktif dan pasif.

PenutupMasyarakat umumnya mengharapkan manfaat

langsung dan kasat mata (tangible) ketika terlibat dalam kegiatan yang diinisiasi LSM. Dampaknya, kegiatan yang bersifast strategis awalnya akan terlihat tak menarik. Namun, seiring masyarakat mulai ‘menemukan jalan’ untuk berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan baik di perusahaan maupun pemerintah, masyarakat akan mulai mendukung program-program strategis semacam ini. Terlebih, kegiatan praktikal hanya memberi manfaat sesaat.

Bagi LSM, kegiatan strategis peningkatan kesadaran juga lebih strategis dalam jangka panjang. Pertama, kredibilitasnya di mata policymakers di perusahaan dan pemerintah meningkat. Citra LSM lokal sebagai pemburu proyek dan donasi secara bertahap terhapus. Sementara di mata masyarakat, legitimasi LSM lebih pun lebih kuat. Dan ketika kemitraan kian menjadi tren dalam inisiatif penanggulangan kemiskinan antara CSR perusahaan-program pemerintah-program LSM, LSM akan lebih baik menyuarakan tidak saja kebutuhan praktis masyarakat tetapi juga kebutuhan strategis.

INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) adalah sebuah lembaga independen, nonpartisan, dan nonprofit yang berbasis pada komunitas akademik di Yogyakarta. Fokus kegiatan IRE adalah memperluas dan memperdalam demokrasi melalui penguatan gagasan, sikap kritis serta tindakan taktis elemen masyarakat sipil, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara.

INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE)Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo Kec. Ngaglik Sleman Yogyakarta 55581 Telp 0274 - 867686, 7482091 Email: [email protected] Website: http://www.ireyogya.org

Daftar BacaanAnsell, C. & Gash, A. (2007). Collaborative governance in

theory and practice. Journal of Public Administration Research, 18, 543-571.

Hamman, R. (2003). Mining companies’ role in sustainable development: the ‘why’ and ‘how’ of CSR from business perspective. Development Southern Africa, 20(2) 237-254.

Institute for Research and Empowerment. (2011). Laporan Program Penguatan NGO Lokal di Daerah Tambang. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment.

Sen, Amartya. (1999). Development as Freedom. New York: Alfred A Knofp, Inc.

Ross, M. (2006). Extractive Sector and the Poor. Boston: Oxfam America.

Welker, M. (2009). Corporate security begins in the community: mining, the corporate social responsibility industry, and environmental advocacy in Indonesia. Cultural Anthropology, 24(1), 142–179.