strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah...
TRANSCRIPT
-
STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA
PADA ANAK USIA PRASEKOLAH
(Studi Kasus di Sekolah Islam Terpadu Ar-Rahman)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Yusrita Rahmi
11140130000009
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
ABSTRAK
Yusrita Rahmi (11140130000009). Strategi Kesantunan Berbahasa pada Anak Usia
Prasekolah (Studi Kasus di Sekolah Islam Ar Rahman). Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penelitian ini mengkaji strategi kesantunan bahasa anak-anak pada usia prasekolah. Penelitian
ini menggunakan pendekatan Pragmatik dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Data
yang telah ditranskripsikan dan dikelompokkan kemudian di analisis dengan teori kesantunan
berbahasa yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson. Pada penelitian kualitatif, analisis
data dimulai darireduksi data, kategorisasi data, penyajian data, penyimpulan temuan dan
verifikasi. Kesantunan bahasa dapat dikatakan telah dimiliki manusia ketika dewasa. Kita
sebagai seorang yang dewasa akan lebih mudah mengerti berbagai ukuran untuk menilai
apakah sebuah tuturan dinilai santun atau tidak, baik itu berkaitan dengan jarak sosial, budaya,
maupun relasi kuasa. Namun penelitian ini lebih fokus kepada fenomena bahasa yang terjadi
pada anak-anak yang belum sepenuhnya memahami kata santun, karena tidak semua usia telah
sadar akan kesantunan bahasa, artinya kesantunan bahasa belum tentu dimiliki oleh semua usia.
Anak-anak memandang kesantunan sebagai hal yang belum disadari dan bahkan tidak
bermakna. Pengaruh lingkungan sekitarlah yang membantu pemahaman mengenai kesantunan
dan menjadikan anak mengerti atas apa yang diucapkan sebagai bahasa yang telah memiliki
makna.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesantunan bahasa dibagi menjadi empat strategi,
yaitu kesantunan positif dan kesantunan negatif yang memiliki beberapa sub-strateginya
masing-masing, bald on record (tanpa basa-basi atau tercatat), dan off record (tidak langsung
atau tidak tercatat). Pada penelitian ini diperoleh 11 situasi tuturan dengan keseluruhan yang
berjumlah sebanyak 102 data tuturan. Data ini diidentifikasi dalam tabel kategorisasi. Hasil
penelitian menunjukkan anak-anak pada usia prasekolah 3-5 tahun belum sepenuhnya
memahami konsep kesantunan.Hasil dari beberapa data yang diperoleh cukup beragam. Tidak
adanya konsistensi atas pemahaman anak mengenai strategi kesantunan.
Kata kunci: strategi kesantunan, Brown & Levinson, prasekolah, usia anak-anak.
-
v
ABSTRACT
Yusrita Rahmi (11140130000009). Strategies for Languages in Preschool Children (Case
Study at Ar Rahman Islamic School). Indonesian Language and Literature Education
Department. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
This study examines the language politeness strategies of children at preschool age. This study
uses a Pragmatic approach with qualitative methods that are descriptive. Data that has been
transcribed and grouped is then analyzed with language politeness theory developed by Brown
and Levinson. In qualitative research, data analysis starts from data reduction, data
categorization, data presentation, conclusion finding and verification. The politeness of
language can be said to have been possessed by humans as adults. We as adults will find it
easier to understand various measures to judge whether speech is considered polite or not,
whether it is related to social distance, culture, or power relations. However, this research is
more focused on language phenomena that occur in children who do not fully understand the
word politeness, because not all ages are aware of the politeness of language, meaning that
politeness of language is not necessarily possessed by all ages. Children see politeness as
something that has not been realized and even meaningless. It is the influence of the
surrounding environment that helps the understanding of politeness and makes the child
understand what is said as a language that already has meaning. The results showed that
politeness of language was divided into four strategies, namely positive politeness and negative
politeness which had several sub-strategies respectively, bald on record (without further ado or
recorded), and off record (indirect or not recorded). In this study obtained 11 speech situations
with a total of 102 speech data. This data is identified in the categorization table. The results
showed that children at the preschool age of 3-5 years did not fully understand the concept of
politeness. The results of some of the data obtained are quite diverse. There is no consistency
in children's understanding of politeness strategies.
Keywords: politeness strategy, Brown & Levinson, preschool, children's age.
-
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Yang berjudul “Strategi Kesantunan
Berbahasa pada Anak Usia Prasekolah (Studi Kasus di Sekolah Islam Terpadu Ar Rahman”,
disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Banyak hambatan dan rintangan dalam proses penyusunan skripsi ini, dengan doa,
usaha, dan perjuangan tentunya penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang tanpa
lelah memberikan dorongan baik moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati,
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sukamto dan Ibunda Alstiani yang tiada henti
mendoakan putrinya, berjuang, dan memberikan segala dukungan terbaik dengan
penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai.
2. Dr. Sururin, M.Ag.selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan sekaligus
dosen penasehat akademik serta dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan
ilmu dan arahannya, membimbing dengan ikhlas, detail, memberikan solusi,
memberikan banyak pelajaran serta motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini dengan sebaik-baiknya.
4. Seluruh dosen di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak dapat
dituliskan satu per satu, terima kasih banyak atas semua ilmu, bantuan, dan motivasi
selama penulis menempuh masa kuliah.
5. Dada Damayanti, S.Pd.I. selaku Kepala Sekolah TKIT Ar Rahman Jakarta Selatan yang
sudah memberikan izin penelitian di sekolah demi lancarnya pengerjaan skripsi.
6. Nurhikmah Adawiyah, S.Pd. selaku guru kelas KB (Kelompok Bermain), terima kasih
sudah bersedia meluangkan waktu, memberikan dukungan, dan informasi kepada
penulis untuk kebutuhan penelitian. Serta terima kasih kepada anak-anak tersayang di
kelompok bermain yang menjadi objek penelitian penulis.
7. Zeemhena Aina Michi, adik kecil di keluarga yang selalu menjadi hiburan
menyenangkan bagi penulis dengan keriangan dan keceriannya.
-
vii
8. Keluarga besar POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah), teruntuk teman seperjuangan, kakak-
kakak, dan adik-adik yang memberikan pengalaman berharga serta memberikan
motivasi bagi penulis.
9. Rekan-rekan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) angkatan 2014 yang
menjadi teman seperjuangan dari awal kuliah hingga akhir.
10. Sahabat terbaik yang memberikan motivasi dan bantuan terhadap penyelesaian skripsi
serta sedia mendengarkan keluh kesah penulis, terima kasih Fadilla Insani, Helza Rosa
N, Lia Mulya Asih, Nurul Hikmah, Widi Ade, M. Naufal Ridho, Sri Ayu K, Cahaya
Syifa.
11. Sahabat sekolah yang setia kepada penulis, Lulu, Nita, Fitriyana, Sikha, Bowo, Devy,
Istiani, terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.
12. Rekan-rekan kerja di SDIT Ar Rahman yang memberikan dukungan untuk semangat
menyelesaikan skripsi di tengah-tengah segala tanggung jawab pekerjaan di sekolah.
13. Teman-teman seperbimbingan, Qory, Rahmalia, Srinita, Tyas, Misbah, dan adik-adik
seperbimbingan Wulan dan Azmah. Terima kasih sudah berjuang bersama, saling
mengingatkan, menguatkan, dan saling membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
14. Semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun tidak mengurangi rasa hormat
penulis. Terima kasih tiada henti atas segala kebaikannya.
Penulis berharap semoga kebaikan, keikhlasan, dan ketulusan semua pihak yang telah
membantu penulis dibalas oleh Allah SWT. Penulis juga berharap semoga skripsi yang jauh
dari kata sempurna ini menjadi hal positif dan sedikit banyak memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang membutuhkan.
Jakarta, 17 Februari 2020
Yusrita Rahmi
-
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ............................................................................................................................... iv
ABSTRACT .............................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI......................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah....................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah........................................................................................ 4
D. Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5
BAB II TEORI ......................................................................................................................... 6
A. Pragmatik ....................................................................................................... 6
B. Kesantunan Berbahasa ................................................................................... 9
1. Prinsip Kesantunan Menurut Leech ........................................................... 12
2. Strategi Kesantunan Berbahasa Menurut Brown dan Levinson ................. 13
1) Bald on Record ................................................................................... 19
2) Positive Politeness .............................................................................. 20
3) Negative Politeness............................................................................. 21
4) Off Record........................................................................................... 21
C. Teori Psikolinguistik...................................................................................... 24
D. Perkembangan Bahasa pada Anak ................................................................ 27
E. Penelitian Relevan ........................................................................................ 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 32
A. Metode Penelitian ........................................................................................ 32
B. Subjek dan Objek Penelitian.......................................................................... 34
C. Data dan Sumber Data ................................................................................... 34
D. Tempat dan Waktu Pengambilan Data .......................................................... 35
-
ix
E. Teknik Pengumpulan Data............................................................................. 36
F. Langkah Analisis Data ................................................................................... 37
BAB IV ANALISIS DATA .................................................................................................... 39
A. Tabel Kategorisasi ......................................................................................... 39
B. Analisis Data.................................................................................................. 61
1. Siswa berinisial Z ....................................................................................... 63
2. Siswi berinisial K........................................................................................ 72
3. Siswa berinisial Y ....................................................................................... 84
4. Siswa berinisial A ....................................................................................... 91
5. Siswi berinisial M ....................................................................................... 96
6. Siswa berinisial R ....................................................................................... 98
7. Siswa berinisial L ..................................................................................... 100
8. Seluruh Siswa ........................................................................................... 101
BAB V ..................................................................................................................................... 83
A. Simpulan ........................................................................................................ 83
B. Saran .............................................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT PENULIS
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesantunan sebagai bagian dari fenomena bahasa yang terdapat dalam ilmu
pragmatik. Kesantunan merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik
atau beretika, yang bertujuan membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak
mengancam muka, dan efektif. Namun fenomena ini berbeda dengan rasa hormat yang
sering dihubungkan dengan kesantunan. Antara rasa hormat dan kesantunan dapat
ditunjukkan melalui tingkah laku sosial maupun cara-cara kebahasaan. Kesantunan
dalam pragmatik berkaitan dengan kegiatan berbahasa yang menunjukkan bahwa
kemampuan berpikir dan bernalar dipengaruhi oleh kemampuan menggunakan bahasa
dengan berbagai konsep, ide, atau aspek yang lainnya. Pragmatik dipelajari dalam ilmu
Linguistik yang akan memberikan pemahaman kepada kita mengenai hakikat dan seluk
beluk bahasa sebagai alat komunikasi manusia, serta bagaimana bahasa itu menjalankan
peranannya dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Salah satu fenomena bahasa
yaitu kesantunan berbahasa akan lebih rinci dibahas dansecara definisi kesantunan
merupakan cara yang ditempuh oleh penutur di dalam berkomunikasi agar penutur tidak
merasa tertekan, tersudut, atau tersinggung.
Menurut Brown dan Levinson (1987), kesantunan berbahasa memiliki makna
sebagai usaha penutur untuk menjaga harga diri atau muka pembicara maupun
pendengar. Prinsip kesantunan dalam berkomunikasi merupakan sesuatu yang
universal meskipun setiap budaya dan kelompok masyarakat memiliki ukuran
kesantunan dan ungkapan kesantunan yang beraneka ragam. Hal itu seperti dalam
penelitian Geoffrery Leech (2005) tentang kesantunan dalam budaya Timur dan Barat,
menyimpulkan bahwa kesantunan tidak mengenal barat maupun timur, meskipun ada
perbedaan di antara keduanya.1Namun fenomena kesantunan bahasa setiap masyarakat
di Indonesia kerap dinilai berbeda-beda karena masyarakat Indonesia kental akan
budaya dan adat istiadat. Hal ini dapat disebut sebagai fenomena kultural.Apa yang
dianggap santun dalam pendukung budaya tertentu, belum tentu dianggap santun oleh
pendukung budaya lainnya. Sebagai contoh, di dalam budaya tertentu, orang yang
1Prof. Dr. Markhamah, M.Hum., dkk., Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa, (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2009), h. 153
-
2
menunjukkan arah dengan ibu jari dianggap santun dan dianggap tidak santun jika ia
menggunakan telunjuk. Di dalam budaya lainnya aturan seperti ini tidak berlaku. Selain
itu, penggunaan bahasa yang kurang santun biasanya dipengaruhi oleh faktor kedekatan
antarindividu yang sudah sangat akrab, sehingga terkadang tanpa disadari seseorang
telah melanggar prinsip kesantunan.
Kesantunan bahasa dapat dikatakan telah dimiliki manusia ketika dewasa. Kita
sebagai seorang yang dewasa akan lebih mudah mengerti berbagai ukuran untuk
menilai apakah sebuah tuturan dinilai santun atau tidak, baik itu berkaitan dengan jarak
sosial, budaya, maupun relasi kuasa. Namun bagaimana jika fenomena bahasa ini
terjadi pada anak-anak yang belum sepenuhnya memahami kata santun karena tidak
semua usia telah sadar akan kesantunan bahasa, artinya kesantunan bahasa belum tentu
dimiliki oleh semua usia. Sebagai orang yang lebih dewasa, seringkali dituntut untuk
berhati-hati dalam bergaul atau berbicara dengan anak yang tidak tahu bahasa. Kata
bahasa dalam hal ini memiliki makna ‘sopan santun’.2Kata santun mempunyai makna
bukan hanya untuk menunjukkan rasa hormat (sopan) namun makna santun dapat
memperluas ujaran atau tuturan. Kesantunan berbahasa tidak hanya berhubungan
dengan pemahaman tentang bagaimana mengucapkan apa kabar, terima kasih, dan
maafkan secara tepat tetapi juga perlu memahami nilai-nilai sosial dan budaya suatu
masyarakat tutur. Pada tahap usia prasekolah, konsep kesantunan bahasa perlu
dikenalkan atau diajarkan oleh peran guru dan orang tua. Kemampuan kesantunan
berbahasa pada anak-anak perlu diketahui agar komunikasi anak dapat terjaga.
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan anak dan lingkungan
sekitarnya. Interaksi dengan orang yang lebih dewasa atau penutur yang lebih matang
memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu peningkatan kemampuan
anak untuk berkomunikasi. Peran perkembangan bahasa memainkan peranan yang
signifikan dalam perkembangan sosial anak.3 Anak-anak memandang kesantunan
sebagai hal yang belum disadari dan bahkan tidak bermakna. Pengaruh lingkungan
sekitarlah yang membantu pemahaman mengenai kesantunan dan menjadikan anak
mengerti atas apa yang diucapkan sebagai bahasa yang telah memiliki makna.Pada saat
anak-anak, bahasa juga memungkinkan anak untuk membangun dan memelihara
hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Komunikasi anak pada usia dini juga
2Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Rineka Cipta: Jakarta, 2012), h. 31 3Dra. Lilis Madyawati, M.Si., Strategi Pengembangan Bahasa pada Anak,(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 41
-
3
kerap kali hanya ditunjukkan dengan perilaku nonverbal, artinya anak sebenarnya telah
mampu bernalar tetapi belum memahami bahasa.Anak dapat menetapkan dan
mengeksplorasi pikiran, perasaan, dan tindakan dengan orang lain melalui penggunaan
bahasa. Anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, peduli pada kelompoknya
sendiri, dan berpartisipasi dalam struktur sosial. Sebagai bagian dari suatu kelompok
masyarakat, anak-anak juga belajar bagaimana bersikap ketika mereka terlibat dalam
percakapan. Hal ini merupakan kesantunanberbahasa yang dapat dipelajari oleh anak-
anak sejak kecil melalui lingkungan sosial mereka. Peran orang dewasa, terutama
pengasuh dan orang tua, sangat penting dalam proses ini.
Keluarga dan sekolah berperan penting untuk mendidik kesantunan berbahasa
bagi anak usia prasekolah. Kini kesadaran akan pentingnya bersosialisasi semakin
tinggi di kalangan orang tua. Mereka mulai memasukkan anak-anak mereka ke
kelompok bermain. Karena itu, sejak usia dini, anak-anak Indonesia, terutama di kota-
kota besar, mulai mengenal institusi pendidikan. Dalam hal ini, pengenalan anak
terhadap aturan-aturan sosial tidak hanya terbatas di lingkungan rumah saja, melainkan
juga di lingkungan sekolah. Ketika anak-anak memasuki sekolah, mereka
memantapkan pengetahuan mengenai kesantunan melalui guru dan teman-teman.
Berdasarkan observasi peneliti ke sekolah Ar-Rahman, didapatkan pernyataan
bahwa anak usia prasekolah mulai menunjukkan ketepatan komunikasi sesuai situasi
sebagai bagian dari perkembangan kompetensi kognitif. Keberagaman kondisi anak
membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana setiap anak dalam bertutur. Secara
khusus penelitian ini membicarakan sejumlah strategi kesantunan yang diambil dari
beberapa sitausi. Bernadette Kushartanti dalam jurnalnya juga telah meneliti strategi
kesantunan anak dalam mengungkapkan keinginan, seperti: anak-anak belajar
bagaimana menyapa orang, menyampaikan keinginan, mengungkapkan keingintahuan,
mengungkapkan ketidaksetujuan, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar terjalin
komunikasi yang baik, maka sopan santun dalam berbahasa perlu dilakukan dan
diterapkan sejak dini. Pemilihan kosa kata yang baik, memperhatikan siapa lawan
tuturnya, dan di mana serta kapan komunikasi itu terjadi dengan tujuan yang baik pula
antara penutur dengan mitra tutur.
Latar belakang di atas mendukung alasan peneliti untuk mengetahui pada usia
berapa sebenarnya manusia sudah mampu memahami kesantunan berbahasa,
khususnya pada anak-anak. Karena sebagai seorang dewasa yang telah memahami
bahasa tentunya masih belum sepenuhnya memahami kesantunan berbahasa, apalagi
-
4
pada anak usia dini. Jadi itulah alasan peneliti memilih judul “Strategi Kesantunan
Berbahasa pada Anak Usia Prasekolah (Studi Kasus di Sekolah Islam Terpadu
Ar Rahman)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai
berikut.
1. Kesantunan merupakan salah satu fenomena bahasa.
2. Kesantunan setiap masyarakat berbeda-beda.
3. Kesantunan bahasa dimiliki oleh semua usia, tetapi mungkin saja dimiliki hanya pada
orang dewasa.
4. Peran kesantunan bahasa di dunia anak-anak.
5. Lingkungan keluarga dan sekolah berperan penting dalam pengajaran kesantunan
berbahasa pada anak-anak.
6. Strategi kesantunan bahasa pada anak usia prasekolah.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam suatu penulisan menjadi sangat penting, agar permasalahan
yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang telah diterapkan.
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun, maka penulisan lebih terfokus kepada
strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah.
D. Rumusan Masalah
Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka diperlukan rumusan
masalah suatu penelitian. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, masalah pokok yang
hendak dijawab dan fokus masalah penelitian inidapat dirumuskan dalam
pertanyaan,“Bagaimana strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah?”
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah.
-
5
F. Manfaat Hasil Penelitian
Penulisan ini diharapkan berguna bagi penulis maupun bagipembaca dalam hal:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan motivasi dalam
pengembangan ilmu bahasa khususnya pada materi kesantunan berbahasa Indonesia dalam
sebuah ragam lisan yakni pada komunikasi anak. Berbeda dengan penelitian kesantunan bahasa
yang lain, penelitian ini memberikan pemahaman mengenai implikasi strategi kesantunan
bahasa positif dan negatif pada anak usia prasekolah. Dengan penelitian ini diketahui berapa
usia anak dapat dikatakan mampu memahami kesantunan dalam berbahasa di lingkungan
sekolah maupun pengajaran keluarga yang berpengaruh. Penelitian ini juga dapat digunakan
sebagai sumber referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan materi kesantunan
berbahasa.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca
mengenai pentingnya mengetahui kesantunan berbahasa khususnya pada anak-anak usia
prasekolah. Sebagai yang lebih dewasa baiknya memahami bagaimana cara berkomunikasi
anak serta pengajaran kesantunan bahasa pada anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi pengajaran bagi anak-anak dalam berbahasa, bagaimana anak-anak dapat
mengenal konsep kesantunan sedini mungkin agar pembelajaran bahasa Indonesia,
khususnya, dapat berjalan dengan baik. Bagi mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia, melalui penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran untuk memahami
bagaimana suatu bahasa yang santun dipahami oleh anak usia dini.
-
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pragmatik
Pragmatik dibedakan atas dua hal yaitu pragmatik sebagai suatu yang diajarkan
dan pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Pragmatik dari
perbedaan yang pertama dapat dibagi lagi atas dua hal: (a) pragmatik sebagai bidang
kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa:
“pragmatik” pengertian (b) ini lazim pula disebut “fungsi komunikatif”. Pragmatik
yang dimaksudkan sebagai bahan pengajaran bahasa, atau yang juga disebut “fungsi
komunikatif”, lazimnya disajikan di dalam pengajaran bahasa asing. Setiap bahasa
memiliki sejumlah fungsi komunikatif, dan di dalam fungsi komunikatif itu terdapat
utaraan seperti “menyatakan setuju”, “menyatakan tidak setuju”, “menyatakan
penolakan terhadap ajakan”, “menyatakan ucapan terima kasih”.4
Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti
pragmatik. Beberapa pengertian yang relevan disampaikan pada bagian ini agar
didapatkan gambaran yang jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik itu.
Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari
relasi bahasa dengan konteksnya yang tidak terlepas dari struktur bahasanya. Batasan
Levinson itu selengkapnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Pragmatics is the study of those relations between language
and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a
language (Levinson, 1983: 9).”5
Pragmatik berbeda dengan ilmu gramatikal yang mempelajari tentang struktur
kalimat. Pragmatik tidak menjelaskan struktur kalimat, tetapi menjelaskan tentang
alasan penutur dan mitra tutur berkomunikasi pada konteks kalimat dalam tuturannya.
Selain itu, definisi pragmatik juga diungkapkan oleh Parker, “Pragmatics is distinct
from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is
the study of how language is used to communicate. (Parker, 1986: 11)” dan Jacob L.
4Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 1-2 5Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,
2005), h. 48
-
7
Mey mendefinisikan pragmatik bahwa, “Pragmatics is the study of the conditions of
human language uses as these are determined by the context of society. (Mey, 1993:
42).”6
Parker menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari struktur bahasa secara eksternal, bagaimana satuan lingual tertentu
digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Hal ini membedakan pragmatik dengan
studi tata bahasa sebagai studi seluk-beluk bahasa secara internal. Menurutnya juga,
studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik
mutlak dikaitkan dengan konteks. Sedangkan Jacob L. Mey mengungkapkan bahwa
pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia
yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang melatarbelakangi bahasa itu.
Definisi pragmatik selanjutnya dipaparkan oleh Gillian Brown dalam buku
Analisis Wacana Pragmatik sebagai berikut:
“Any analitic approach in linguistics which involves contextual
conside-ration-necessarily belongs to that area of language study called
pragmatics. ‘Doing discourse analysis’ containly involves ‘doing syntax
and semantic’ but it primarily consist of ‘doing pragmatic’. In discourse
analysis as in pragmatics, we are concernened with what people using
language are doing and accounting for the linguistic features in the
discourse as the means employed in what they are doing (1983:26).”7
Setiap pendekatan analisis dalam linguistik yang meliputi pertimbangan
konteks termasuk ke dalam bidang studi bahasa yang disebut pragmatik. Analisis
pragmatik merupakan hal penting apalagi dalam analisis wacana yang berhubungan
dengan apa yang dilakukan oleh si pemakai bahasa dan menerangkan ciri-ciri linguistik
di dalam wacana. Dalam keterangan di atas, kita dapat mengetahui apa sebenarnya yang
dimaksud dengan pragmatik, yaitu analisis studi bahasa dengan pertimbangan-
pertimbangan konteks.
Banyak upaya telah dilakukan oleh para pakar linguistik untuk mencoba
mendefinisikan pragmatik. Berdasarkan hal itu, pragmatik dapat dikatakan mencakup
studi interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar pengetahuan lain yang dimiliki
oleh pendengar/pembaca. Studi ini melibatkan unsur interpretatif yang mengarah pada
studi tentang keseluruhan pengetahuan dan keyakinan akan konteks. Maka rumusan
ciri-ciri konteks secara eksplisit perlu dipahami.
6Ibid, h. 49 7Prof. A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: CV Angkasa, 2015), h. 22
-
8
1. Konteks
Mulyana (2005:21) menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar
terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan
terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
tuuran, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat
tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Imam Syafi’ie (melalui Mulyana, 2005: 24) menambahkan bahwa, apabila
dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi
empat macam, yakni sebagai berikut.
a. Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam
percakapan.
b. Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar belakang pengetahuan
yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
c. Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan,
objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan pada partisipan.
d. Konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi
hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan
bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan
suatu wacana. Secara singkat dapat dikatakan: in language, context is everything.
Dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005:24).
Selain itu, konteks juga merupakan ciri/gambaran yang berfokus pada budaya dan
linguistik sesuai dengan ujaran yang dihasilkan dan interpretasinya. Beberapa
ciri/gambaran konteks adalah adanya pengetahuan tentang:
1. Norma (norma pembicaraan dan kaidah sosial) dan status (konsep-konsep tentang
status sosial),
2. ruang dan waktu,
3. tingkat formalitas,
4. media (sarana),
5. tema,
6. wilayah bahasa.8
8Prof. Dr. T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), h. 48-49
-
9
Kita tidak dapat mendapatkan definisi pragmatik yang lengkap bila konteksnya
tidak disebutkan. Louise Cummings menyatakan bahwa, “Gagasan tentang konteks
berada di luar pengejawantahannya yang jelas seperti latar fisik tempat dihasilkannya
suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik, sosial, dan epistemis.”9 Gagasan
mengenai konteks merupakan gagasan yang bersifat luas. Konteks dapat berupa latar
fisik atau faktor sosial tempat dihasilkannya suatu ujaran. Konteks juga mencakup dua
macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat
sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah konteks yang timbul sebagai
akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat
sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal (societal
context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota
masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan
budaya tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dasar dari munculnya
konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial
adalah adanya solidaritas (solidarity).10 Maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik
adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada
dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa
itu.
B. Kesantunan Berbahasa
Salah satu fenomena pragmatik yang sekarang ini sudah banyak dikaji adalah
fenomena kesantunan berbahasa. Leech (1996:131) berpendapat bahwa pada dasarnya
kesantunan berbahasa berkenaan dengan hubungan antara dua partisipan yang
dinamakan “diri” (self) dan “lain” (other). Adanya interaksi antara penutur (diri) dan
petutur (lain) yang menunjukkan bahwa penutur melakukan kesantunan kepada orang
lain yang hadir atau tidak hadir dalam situasi tutur. Konsep “lain” di samping mengacu
petutur juga siapapun yang dapat ditandai dengan kata ganti orang (pronomina) ketiga.
Penting atau tidaknya perilaku kesantunan yang ditunjukkan kepada orang lain
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor kuncinya ialah hadir atau tidaknya orang lain
tersebut. Faktor berikutnya adalah orang lain tersebut berada di bawah pengaruh
penutur ataukah petutur. Dalam hubungannya dengan hal itu, derajat kesantunan
9Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 5 10Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,
2005), h. 49
-
10
berkorelasi positif dengan derajat ketidaklangsungan dan juga derajat kebebasan
petutur. Hal itu berarti bahwa makin santun tuturan penutur, makin tidak langsung
penyampaian maksudnya dan makin bebas petuturnya. Hal yang sebaliknya
menghasilkan akibat yang sebaliknya.11Kesantunan berbahasa sebenarnya merupakan
cara yang ditempuh oleh penutur di dalam berkomunikasi agar penutur tidak merasa
tertekan, tersudut, atau tersinggung. Menurut Brown dan Levinson (1987), kesantunan
berbahasa ini dimaknai sebagai usaha penutur untuk menjaga harga diri, atau muka,
pembicara maupun pendengar.12
Secara linguistik kesantunan berbahasa diketahui dari hal-hal berikut: pilihan
kata, pemakaian jenis kalimat. Pertama, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata
yang menunjukkan adanya kesantunan tinggi, sedang, dan rendah. Untuk menunjukkan
kesantunan tinggi penutur sebaiknya memilih kata-kata yang memiliki makna
kesantunan tinggi. Demikian juga sebaliknya, untuk menunjukkan kesantunan sedang
atau rendah penutur bisa memilih kata-kata yang menunjukkan kesantunan yang sesuai.
Kedua, jenis kalimat pada umumnya memang menunjukkan referensi atau makna yang
sesuai. Namun demikian, tidak selamanya seperti itu. Ada kalanya penutur
menggunakan kalimat tanya, tetapi sebenarnya penutur ingin memberitahukan sesuatu
kepada mitra tuturnya. Misalnya seorang penutur yang merupakan mahasiswa ingin
memberitahukan secara langsung kepada dosennya tentang ilmu yang belum diketahui
oleh dosennya tidak berani atau dipandang tidak etis bagi masyarakat tertentu. Oleh
karena itu, mahasiswa tersebut memberitahukannya dengan menggunakan kalimat
tanya. Di samping itu, penutur bisa menggunakan kalimat berita untuk menyatakan
perintah dinilai lebih halus, karena penutur tidak serta merta memberi perintah kepada
mitra tuturnya. Ketiga, pemakaian kalimat pasif untuk menghindari perintah secara
langsung.
Konsep kesantunan dibedakan menjadi dua, konsep pertama ditokohbesari oleh
Erving Goffman yang kemudian dikembangkan menjadi ‘Goffmanian View of
Politeness’. Konsep yang kedua ditokohbesari oleh Grice dengan konsep
implikaturnya, yang kemudian melahirkan ‘Gricean View of Politeness’. Konsepnya
yakni kesantunan yang dasarnya adalah konsep muka dan kesantunan yang dasarnya
adalah konsep implikatur. Dalam kesantunan konsep akan ‘muka’ menjadi gagasan
11Suhartono, Yuniseffendri, Materi Pokok Pragmatik 1, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009), h. 4.8 12Prof. Dr. Markhamah, M.Hum., dkk., Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa, (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2009), h. 153
-
11
utama. Seseorang dituntut untuk memahami kebutuhan akan ‘muka’ orang lain saat
berinteraksi atau berkomunikasi. Menurut sumber kepustakaan yang dijangkau,
didapatkan bahwa studi kesantunan berbahasa berkembang dengan sangat cepat setelah
Fraser (1990) menunjukkan adanya empat model kajian kesantunan dalam berbahasa,
yakni (1) pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma sosial, (2) pandangan
yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan, (3) pandangan
kesantunan yang berkaitan dengan upaya penyelamatan muka, dan (4) pandangan
kesantunan yang berkaitan dengan kontrak percakapan.13
Kesopanan atau kesantunan merupakan suatu konsep yang tegas, seperti
gagasan ‘tingkah laku sosial yang sopan’, atau etiket yang terdapat dalam budaya, dan
adanya prinsip-prinsip umum yang termasuk dalam sifat bijaksana, pemurah, rendah
hati, dan simpatik terhadap orang lain. Untuk penerapan prinsip-prinsip tersebut
diperlukan konsep muka. Kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai
alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang muka orang lain. Dalam
pengertian ini, kesantunan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan
sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk muka orang lain ketika orang lain itu
tampak jauh secara sosial sering dideskripsikan dalam kaitannya dengan keakraban,
persahabatan, atau kesetiakawanan.14
Berdasarkan penelitian tentang bahasa khususnya dalam ranah pragmatik, hal-
hal mengenai kesantunan dan konsep muka biasanya meneliti unsur-unsur bahasa yang
dianggap universal. Hasil penelitian biasanya dikaitkan dengan latar belakang
penuturnya untuk melihat kaitan bahasa dan budaya, kekuasaan dan kepercayaan
(power), status dan kekerabatan, bahasa dan setting, penutur, topik, fungsi interaksi,
dan bentuk. Dalam kesantunan yang idea biasanya orang mengira bahwa kedua
partisipan haruslah sama hormatnya satu sama lain. Namun menurut istilah paradoks
kesantunan pragmatik hal itu akan menimbulkan suatu kemunduran dalam logika
perilaku percakapan. Secara definisi, “Paradoks pragmatik adalah suatu atribusi sikap
yang bertentangan pada para partisipan dalam suatu dialog.”15Bahwa tidak seorang
pun yang benar-benar sopan secara ideal. Telihat pada contoh: seolah-olah ada dua
orang yang selalu belum mau berjalan melalui suatu pintu karena masing-masing terlalu
13Kunjana Rahardi, dkk., Pragmatik Fenomena Ketidaksantunan dalam Berbahasa, (Yogyakarta: Kepel Press,
2015),h. 162-163 14George Yule, Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 104 15DR.Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Offset Angkasa, 1990), h. 54
-
12
segan mendahului yang lain karena sopannya. Paradoks-paradoks perilaku yang serupa
itu diritualisasikan dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu di mana suatu tawaran
diulang-ulang dan ditolak berkali-kali sebelum diterima. Jadi berlangsung tawar-
menawar untuk beberapa lama. Justru dalam praktik yang seperti inilah, kesantunan
tidak ada benar-benar terjadi dan tidak dapat dikatakan ideal.
1. Prinsip Kesantunan Menurut Leech
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual. Kaidah-
kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-
interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan mitra tuturnya. Selain itu, maksim juga
disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip
kesantunan. Prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling lengkap,
paling mapan, dan relatif paling komprehensif telah dirumuskan oleh Leech (1983).
Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut.
(1) Tact maxim : minimize cost to order. Maximize benefit to other.
(2) Generosity maxim : minimize benefit to self. Maximize cost to self.
(3) Approbation maxim : minimize dispraise. Maximize praise of other.
(4) Modesty maxim : minimize praise to self. Maximize dispraise of self.
(5) Agreement maxim : minimize disagreement between self and other. Maximize
agreement between self and other.
(6) Sympathy maxim : minimize antiphaty between self and other. Maximize
sympathy between self and other.16
Maksim-maksim prinsip kesantunan yang disampaikan oleh Leech cenderung
berpasangan sebagai berikut:
(I) MAKSIM KEARIFAN (TACT MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi impositif dan
komisif)
(a) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin
(b) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin
16Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,
2005), h. 59
-
13
(II) MAKSIM KEDERMAWANAN (GENEROSITY MAXIM) (dalam ilokusi-
ilokusi impositif dan komisif)
(a) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin
(b) Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin
(III) MAKSIM PUJIAN (APPROBATION MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi
ekspresif dan asertif)
(a) Kecamlah orang lain sesedikit mungkin
(b) Pujilah orang lain sebanyak mungkin
(IV) MAKSIM KERENDAHAN HATI (MODESTY MAXIM) (dalam ilokusi-
ilokusi ekspresif dan asertif)
(a) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin
(b) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin
(V) MAKSIM KESEPAKATAN (AGREEMENT MAXIM) (dalam ilokusi asertif)
(a) Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin
(b) Usahakan agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak
mungkin]
(VI) MAKSIM SIMPATI (SYMPATHY MAXIM) (dalam ilokusi asertif)
(a) Kurangilah rasa antipasti antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin
(b) Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain]17
2. Strategi Kesantunan Berbahasa Menurut Brown dan Levinson
Kesantunan sebuah tuturan juga dapat diukur dengan mempertimbangkan jauh
dekatnya jarak sosial (social distance between speaker and hearer), jauh dekatnya
peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (speaker and hearer relative
power), dan tinggi rendahnya peringkat tindak tutur (degree of imposition between
speaker and hearer). Gagasan kesantunan yang demikian ini dinyatakan oleh Brown
dan Levinson (1987) dan pada intinya menegaskan bahwa kesantunan sebuah tuturan
itu dapat dicermati dari ketiga parameter sosial tersebut.18 Dapat disimpulkan bahwa
ada tiga pertimbangan: hubungan kekuasaan yang ada antara pembicara (power), jarak
17Geoffrey Leech, Principle of Pragmatic, Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dilakukan oleh M.D.D. Oka.
Prinsip-prinsip Pragmatik, (Jakarta: UI Press: London:Longman, 1993), h. 206-207 18Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Sosiopragmatik, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 27
-
14
sosial mereka (distance), dan tingkat pembebanan (ranking of imposition)
atauketidaksopanan yang ada, terdapat pada kutipan berikut.
“In determining the exact level of politeness that will be employed to
mitigate an FTA, Brown and Levinson (1987: 15) propose three considerations:
the power relationships existing between speakers, their social distance, and
the level of impoliteness exist (see Watts' (2003: 49-53) survey of them), Brown
and Levinson's work remains one of the more detailed and comprehensive
treatments of politeness.”19
Penjelasan ketiga faktor sosial tersebut adalah sebagai berikut.
a. Kekuasaan (Power) merupakan pernyataan hubungan yang menyatakan
seberapa besar seseorang dapat memaksa orang lain tanpa kehilangan muka.
Didasarkan pada kedudukan asimentrik antara penutur dan lawan tutur.
Sebagai contoh, dapat disampaikan bahwa di dalam ruang periksa sebuah
rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang pasien.
b. Jarak Sosial (Social Distance) merupakan ukuran kontak sosial antara
penutur dan lawan tutur mengenal satu sama lain, dan bagaimana hubungan
mereka dalam konteks. Banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur,
jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan
perbedaan umur antara penutur dan lawan tutur, lazimnya didapatkan bahwa
semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan
menjadi semakin tinggi. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya
memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibanding dengan orang yang
berjenis kelamin pria. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam
masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi
dibandingkan dengan kebanyakan orang. Demikian pula, orang-orang kota
cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan
masyarakat desa.
c. Tingkat pembebanan (Ranking of Imposition) merupakan status relatif jenis
tindak tutur di dalam situasi yang dianggap tidak terlalu mengancam
muka.20
19Charles F. Meyi, Introducing English Linguistics, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 62 20Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,
2005), h. 68-69
-
15
Karya Brown dan Levinson tetap menjadi salah satu pemakaian kesantunan
yang lebih rinci dan komprehensif. Teori kesantunan berbahasa yang dipaparkan itu
sangat berdekatan dengan konsep muka (face). Muka dalam kesantunan bahasa
menunjukkan ungkapan-ungkapan seperti kehilangan muka, menyembunyikan muka,
dan menyelamatkan muka. Muka pada hakikatnya menunjuk kepada harga diri
seseorang, yang dapat dibedakan antara yang bersifat positif dan negatif, maka
dibedakan pula antara muka positif dan muka negatif. Muka negatif menunjuk pada
keinginan seseorang untuk dihargai keinginannya dan disetujui kehendak-
kehendaknya. Sederhananya dapat dikatakan bahwa tindakan yang tidak santun adalah
tindakan yang menghambat atau menghalangi kehendak seseorang.
Brown dan Levinson menganalisis kesantunan yang mengatakan bahwa untuk
masuk ke dalam hubungan sosial harus ada pengakuan dan menunjukkan kesadaran
akan muka, citra diri publik, perasaan diri, serta mitra tutur yang dibicarakan. Hal itu
disampaikan dengan kutipan berikut.
“Brown and Levinson (1987) analysed politeness, and said that in order
to enter into social relationships, we have to acknowledge and show an
awareness of the face, the public self-image, the sense of self, of the people that
we address. They said that it is a universal characteristic across cultures that
speakers should respect each others' expectations regarding self-image, take
account of their feelings, and avoid face threatening acts (FTAs). When FTAs
are unavoidable, speakers can redress the threat with negative politeness
(which does not mean being impolite!) that respects the hearer's negative face,
the need to be independent, have freedom of action, and not be imposed on by
others. Or they can redress the FTA with positive politeness, that attends the
positive face, the need to be accepted and liked by others, treated as a member
of the group, and to know one's wants are shared by others.”21
Penutur harus menghormati harapan satu sama lain tentang citra diri,
memperhitungkan perasaan mereka, dan menghindari tindakan yang mengancam muka
(FTA). Dalam suatu kasus percakapan, ketika FTA tidak dapat dihindari maka penutur
dapat memperbaiki ancaman dengan kesantunan negatif yang menghormati muka
pendengar, kemandirian, kebebasan bertindak, dan tidak dipaksakan oleh orang lain.
FTA juga dapat diperbaiki dengan kesantunan positif yang menghadirkan diri, dapat
diterima dan disukai orang lain, diperlakukan sebagai anggota kelompok, dan untuk
mengetahui keinginan seseorang. Sebagai contoh 'menghindari FTA', yakni
menghindari mengatakan apa pun. Penutur bisa menunjukkan kepada orang-orang di
21Joan Cutting, Pragmatics and Discourse: A resource book for students, (London: Routledge, 2002), h. 45
-
16
sekitar bahwa penutur mengalami kesulitan, dengan mendesah keras dan
menggelengkan kepala, ada kemungkinan seseorang akan memperhatikan dan bertanya
apakah penutur perlu bantuan.
Tindakan penyelamatan muka lawan tutur adalah tindakan kesantunan yang
pada prinsipnya ditujukan untuk mengurangi akibat yang tidak menyenangkan terhadap
muka mitra tutur baik muka positif maupun muka negatif. Kesantunan yang ditujukan
terhadap muka positif mitra tutur disebut kesantunan positif ‘positive politeness’,
sedangkan kesantunan yang diarahkan untuk muka negatif mitra tutur disebut
kesantunan negatif ‘negative politeness’. Brown dan Levinson memberi batasan
kesantunan positif dan kesantunan negatif serta ada beberapa definisi mengenai
kesantunan positif maupun kesantunan negatif, sebagai berikut:
“Positive politeness is oriented toward the positive face of H, the
positive self-image that he claims for himself. Positive politeness is approach-
based; it “anoints” the face of the addressee by indicating that in some respects,
S wants H’s wants (e.g. by treating him as a member of an in group, a friend, a
person whose wants and personality traits are known and liked).”22
Pada hakikatnya kesantunan positif ditujukan terhadap muka positif atau citra
positif yang dimiliki oleh mitra tutur. Kesantunan positif berupa pendekatan yang
memberikan kesan pada muka mitra tutur bahwa terhadap hal-hal tertentu penutur juga
mempunyai keinginan yang sama dengan mitra tutur. Seperti memperlakukannya
sebagai anggota kelompok, sahabat, seseorang yang keinginan maupun seleranya
dikenal dan disukai. Terkadang ada kondisi di mana penutur merasa dianggap berbeda
dengan mitra tuturnya, untuk mengungkapkan keinginan penutur kepada mitra tutur
maka diperlukan strategi kesantunan positif.
“Negative politeness, on the other hand, is oriented mainly toward
partially satisfying (redressing) H’s negative face, his basic want to maintain
claims of territory and self determination. Negative politeness, thus, is
essentially avoidance based, and realizations of negative-politeness strategies
consist in assurances that the speaker recognizes and respects the addressee’s
negative-face wants and will not (or will only minimally) interfere with the
addressee’s freedom of action.”23
Berlawanan dengan kesantunan positif, kesantunan negatif pada hakikatnya
ditujukan terhadap bagaimana memenuhi atau menyelamatkan sebagian muka negatif
mitra tutur, yaitu keinginan dasar mitra tutur untuk mempertahankan apa yang dianggap
22FX Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 41 23Ibid, h. 42
-
17
sebagai ketentuannya dan keyakinan dirinya. Dapat dikatakan bahwa kesantunan
negatif pada dasarnya mengandung jaminan dari mitra tutur yang mana penutur
mengakui dan menghormati seandainya ada tindakan yang terpaksa dilakukan dan
sedikit mungkin melakukan pelanggaran. Penutur memahami keinginan muka negatif
mitra tutur dan tidak akan mencampuri ataupun melanggar kebebasan bertindak mitra
tutur.
Jean Stilwell juga mengungkapkan definisi mengenai kesantunan positif dan
kesantunan negatif beserta contoh singkatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
berikut.
“Positive face refers to our need to be accepted and liked by others and
our need to feel that our social group shares common goals. Positive politeness
orients to preserving the positive face of other people. When we use positive
politeness we use speech strategies that emphasize our solidarity with the
hearer, such as informal pronunciation, shared dialect or slang expressions,
nicknames, more frequent reference to speaker and hearer as we, and requests
which are less indirect.”24
Muka positif mengacu pada kebutuhan kita untuk diterima dan disukai oleh
orang lain dan kebutuhan kita untuk merasa bahwa kelompok sosial kita memiliki
tujuan bersama. Kesantunan positif mengarahkan untuk menjaga muka positif orang
lain (mitra tutur). Ketika kita menggunakan kesantunan positif, kita seperti
menggunakan strategi pidato yang menekankan solidaritas pembicara dengan
pendengar (peduli dan memberi perhatian kepada pendengar), seperti pelafalan
informal, dialek bersama atau ungkapan slang, nama panggilan, lebih sering merujuk
pada pembicara dan pendengar ketika mengungkapkan keinginan atau permintaan yang
kurang langsung.
“Negative face refers to our night to independence of action and our
need not to be imposed on by others. (Note that negative does not mean bad
here, simply an opposite term to positive) negative politeness orients to
preserving the negative face of other people. This is much more likely if there is
a social distance between the speaker and hearer. When we use negative
politeness, we use speech strategies that emphasize our deference for the
hearer. Nicknames, slang and informal pronunciation tend to be avoided and
requests tend to be more indirect and impersonal, often involving could you ...
or could I ask you to ... or even referring to the hearer in the third person:
Students are asked not to put their essays in the staff room. Negative politeness
24Jean Stilwell Peccei, Pragmatics, (London: Routledge, 1999), h. 60
-
18
also involves more frequent use of other mitigating devices, expressions that
'soften the blow', like please, possibly, might, i'm sorry but ... etc.”25
Sedangkan muka negatif mengacu kepada kebebasan bertindak dan tidak ada
paksaan oleh orang lain. Negatif di sini bukan berarti sesuatu hal yang buruk melainkan
hanya istilah yang berlawanan dengan positif. Kesantunan negatif mengarahkan untuk
melestarikan muka orang lain sebagai mitra tutur. Ini kerap terjadi bila ada jarak sosial
antara penutur dan petutur karena ketika kita menggunakan kesantunan negatif, maka
kita menggunakan strategi berbicara yang menekankan rasa hormat kepada pendengar
(mitra tutur). Kata julukan, bahasa gaul, dan pengucapan informal cenderung dihindari,
permintaan cenderung lebih tidak langsung, dan impersonal. Pada percakapan sering
kali melibatkan Anda … atau bisakah saya meminta Anda untuk … atau bahkan
merujuk pada pendengar sebagai orang ketiga: “Siswa diminta tidak menempatkan esai
mereka di ruang Staf.” Kesantunan negatif juga melibatkan penggunaan segenap
permintaan lainnya seperti ungkapan tolong, mungkin, saya minta maaf tapi… , dan
lain-lain.
Kesimpulan dari definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa kesantunan
positif mengarahkan untuk menjaga citra diri seseorang sebagai anggota kelompok
sosial yang diterima, dihargai, dan disukai. Sedangkan kesantunan negatif
mengarahkan citra diri seseorang sebagai individu yang dapat bertindak bebas dan tidak
bisa dipaksa. Muka negatifseseorang ialah kebutuhan untuk merdeka, memiliki
kebebasan bertindak, dan tidak tertekan oleh orang lain. Muka positif seseorang ialah
kebutuhan untuk dapat diterima, jika mungkin disukai oleh orang lain, diperlakukan
sebagai anggota dari kelompok yang sama dan mengetahui bahwa keinginannya
dimiliki bersama dengan yang lainnya. Sederhananya, kesantunan negatif ialah
kebutuhan untuk merdeka, tindak penyelamatan muka yang diwujudkan pada muka
negatif seseorang akan cenderung untuk menunjukkan rasa hormat, menekankan
pentingnya minat dan waktu orang lain, dan bahkan termasuk permintaan maaf atas
pemaksaan atau penyelaan. Sedangkan kesantunan positif ialah kebutuhan untuk
dihubungi yang akan cenderung memperlihatkan rasa kesetia-kawanan, menandaskan
bahwa kedua penutur menginginkan sesuatu yang sama, dan mereka memiliki tujuan
bersama.
25Ibid, h. 64-65
-
19
Contoh proses terjadinya strategi kesantunan berbahasa sebagai berikut.
Bagaimana cara mendapatkan pena dari orang lain.
Mengatakan sesuatu Tidak mengatakan
sesuatu.
(Tapi mencari-cari sesuatu dalam
tas)
Tercatat Tidak tercatat
(Saya lupa membawa pena)
Tindakan ‘bald on record’
penyelamatan (berilah aku pena)
wajah
Kesantunan positif Kesantunan negatif
(Bagaimana jika aku memakai penamu?) (Dapatkah kau meminjami pena
kepadaku?)
Berdasarkan dari contoh di atas, terdapat empat strategi kesantunan berbahasa
yang dapat diketahui, yakni strategi tercatat (bald on record), tidak tercatat (off record),
kesantunan positif, dan kesantunan negatif. Berikut penjelasannya menurut Brown dan
Levinson yang mengatakan ada empat dasar strategi bertutur untuk menjaga muka atau
harga diri, yaitu:
1. Melakukan tindak tutur secara langsung atau apa adanya tanpa basa-
basi (Bald on Record).
Strategi langsung tanpa basa-basi adalah strategi yang lebih banyak
digunakan di antara dua teman akrab, atau apabila penutur dalam posisi
lebih berkuasa ketimbang lawan tuturnya. Misalnya, “Ambilkan tas di
meja!”. Strategi ini merupakan strategi melakukan FTA untuk menyatakan
-
20
sesuatu dengan jelas. Alasan utama dipilihnya strategi langsung tanpa basa-
basi karena penutur ingin melakukan FTA dengan efisiensi maksimum.26
2. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan
positif (positive politeness).
Strategi kesantunan positif digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak
terlalu mengancam muka mitra tutur, tetapi penutur tidak tega untuk
menyatakannya dalam bentuk perintah. Strategi ini banyak digunakan di
antara dua orang teman, kenalan, atau pihak-pihak yang sudah menjalin
kedekatan walaupun belum terlalu akrab. Berdasarkan penjelasan Brown
dan Levinson kesantunan positif mempunyai beberapa sub-strategi yang
meliputi:
a. Perhatikan H (minat, keinginan, keperluan, benda)
b. Lebih-lebihkan (kesetujuan, simpati dengan H)
c. Ungkapkan pengamatan tantang apa yang menjadi minat H
d. Pakailah pemarkah identitas kesamaan kelompok. Substrategi ini terdiri
atas (i) tutur sapa (address terms) (ii) gunakan bahasa orang dalam (in-
group language/dialect), (iii) gunakan jargon atau slang.
e. Carilah kesetujuan, ulangilah apa yang dikatakan S (penutur)
f. Hindari ketidaksetujuan yang terdiri atas (i) gunakan kesetujuan “di
bibir”; (ii) gunakan kesetujuan semu (berbohong); (iii) gunakan hedge
(pagar)
g. Praduga atau ciptakan dasar bersama common ground
h. Bergurau
i. Tekankan pengetahuan atau kepedulian S atas keinginan H
j. Beri tawaran dan janji (tawarkan kompensasi sebagai pengganti
keterancaman muka, terdiri atas (i) permintaan dan (ii) tawaran
k. Bersikaplah optimistik
l. Ikutkan S dan H ke dalam aktivitas
m. Berikan (atau minta) alasan
n. Tunjukkan resiprositas
26Nurul Inayah, Strategi Kesantunan Tindak Tutur Direktif dalam Novel Orang-Orang Karya Ahmad Tohari
dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, Diunduh di
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace, pada Tanggal 5 April 2019, Jam 21.30 WIB, h. 16
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace
-
21
o. Berikan sesuatu kepada H (barang, simpati, pengertian)27
3. Melakukan tindak tutur menggunakan strategi kesantunan negatif
(negative politeness)
Kesantunan negatif digunakan apabila penutur menyadari adanya sebuah
derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Hal ini bisa terjadi
misalnya pada tindak bahasa pada orang yang belum dikenal, di antara
atasan dan bawahan, dan orang muda dengan orang yang lebih tua. Ketika
melakukan strategi ini, penutur mengakui dan menghormati muka negatif
lawan tuturnya. Brown dan Levinson membagi kesantunan negatif menjadi
beberapa sub-strategi yang meliputi:
a. Ungkapkan secara tidak langsung atau mengungkapkan permintaan atau
permohonan dalam bentuk pertanyaan
b. Menggunakan pagar (hedge)
c. Bersikaplah pesimistik atau menjadikan tuturan tidak langsung secara
konvensional
d. Meminimalkan keharusan, seperti (I just want to ask you if you could
lend me a tiny bit of paper)
e. Tunjukkan hormat
f. Mintalah maaf
g. Impersonalkan s dan it (I tell you that it is so)
h. Ganti pronomina (one shouldn’t do things like that; ok, folks, let’s get
on with it)
i. Pemanjangan jarak (it was kind of interested in knowing if..)
j. Ungkapkan FTA sebagai kaidah umum
k. Nominalkan. Contoh: (a) you performed well on the examinations…; (b)
your performing well on the examinations…; (c) your good performance
on…28
4. Melakukan tindak tutur tidak langsung (off-record strategies)
Strategi tak langsung, digunakan terutama apabila ada ancaman yang lebih
serius terhadap muka mitra tutur. Menurut Brown dan Levinson strategi ini
27Ibid, h. 16-17 28Ibid,h. 17-18
-
22
merupakan strategi melakukan FTA secara tidak langsung dengan
membiarkan lawan tutur memutuskan bagaimana menafsirkan tuturan
penutur. Beberapa sub-strategi tidak langsung sesuai penjelasan Brown dan
Levinson meliputi:
a. Memberi petunjuk dengan mengemukakan alasan melakukan tindakan
b. Mengasosiasikan petunjuk dengan menyebutkan sesuatu yang
diasosiasikan pada tindakan yang diminta kepada lawan tutur
c. Mempresuposisikan maksud penutur
d. Menyatakan kurang dari sebenarnya dengan membatasi sejumlah atribut
untuk mengimplikasikan sesuatu yang buruk
e. Menyatakan suatu hal secara berlebihan dengan membesar-besarkan
keadaan dari yang sebenarnya
f. Mengulang tuturan tanpa menambah kejelasan dengan mengujarkan
kebenaran yang paten dan penting
g. Menggunakan pertentangan dengan mengemukakan kebenaran dan
mendorong lawan tutur mendamaikan masalah
h. Menyindir dengan cara menyatakan maksud secara tidak langsung dan
berlawanan
i. Menggunakan kiasan / metafora dengan menyembunyikan konotasi
nyata dari tuturan yang dituturkan
j. Menggunakan pertanyaan retorik dengan mengemukakan pertanyaan
dari jawaban yang mengambang untuk menyatakan FTA
k. Bermakna ganda
l. Menyamarkan objek FTA atau pelanggaran yang dilakukan
m. Menggeneralisasikan secara berlebihan untuk menghindari FTA dengan
mengemukakan peraturan umum
n. Menggantikan lawan tutur dengan mengalamatkan FTA pada seseorang
yang tidak mungkin terancam mukanya
o. Mengungkapkan secara tidak lengkap dengan menggunakan ellipsis.29
Sebagai sarana untuk mendapatkan sebuah pena dapat digunakan strategi-
strategi tersebut. Ada isyarat yang digunakan dalam mengungkapkan keinginan
29Ibid,h.18-19
-
23
“meminjam pena” dengan menginformasikan daripada mengatakan. Ketika kita
mengatakan sesuatu sebenarnya tidak perlu meminta sesuatu, karena barangkali setelah
melakukan pencarian di dalam tas, dapat menimbulkan suatu pernyataan seperti dalam
(1a.) atau (1b.).
(1) a. Uh, I forgot my pen.
(Ah, saya lupa membawa pena)
b. Hmm, I wonder where I put my pen.
(Hmm, saya heran, di mana saya meletakkan pena saya)
Dalam pernyataan di atas, secara langsung tidak ditunjukkan kepada orang lain.
orang dapat bertindak seolah-olah pernyataan itu tidak pernah didengar. Secara teknis
tipe ini dideskripsikan sebagai tidak tercatat (off record). Pernyataan yang tidak
tercatat mungkin berhasil dan mungkin juga tidak. Kebalikannya, kita juga dapat
mengarahkan langsung kepada orang lain sebagai alat untuk mengatakan kebutuhan
kita. Bentuk-bentuk pengarahan langsung ini secara teknis dideskripsikan sebagai
pernyataan yang tercatat (bald on record) yakni suatu permintaan yang ditujukan
secara langsung kepada orang lain. Pernyataan langsung ini terdapat dalam pemakaian
bentuk kalimat perintah seperti dalam (2a.) atau (2b.).
(2) a. Give me a pen.
(Berikan aku sebuah pena)
b. Lend me your pen.
(Pinjamkan penamu kepadaku)
Sedangkan strategi kesantunan positif mengarahkan penutur untuk menarik
dan menyampaikan tujuan umum dan bahkan melibatkan hubungan persahabatan
dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang benar-benar menggambarkan suatu
resiko yang lebih besar bagi penutur dari penderitaan terhadap penolakan dan mungkin
didahului dengan sedikit basa-basi. Seperti contoh berikut.
(3) a. How about letting me use your pen?
(Bagaimana jika Anda mengizinkan saya memakai pena Anda?)
b. Hey, buddy, I’d appreciate it if you’d let me use your pen.
(Hey, sobat, saya akan menghargainya jika kau mengizinkan saya
memakai penamu)
-
24
Akan tetapi, sebagian besar konteks pembicaraan dalam tindakan penyelamatan
wajah lebih umum disampaikan dengan kesantunan negatif. Bentuk paling khusus
yang digunakan ialah pertanyaan yang mengandung kata kerja bantu yang berhubungan
dengan perasaan seperti dalam (4a).
(4) a. Could you lend me a pen?
(Dapatkah Anda meminjami saya sebuah pena?)
b. I’m sorry to brother you, but can I ask you for a pen or something?
(Maaf saya mengganggu Anda, bolehkah saya pinjam sebuah pena?)
c. I know you’re busy, but might I ask you if-em-if you happen to have an extra
pen that I could, you know-eh-maybe borrow?
(Saya tahu Anda sibuk, bolehkah saya bertanya apakah-ehm-apakah Anda
kebetulan memiliki pena lain yang –Anda tahu-eh-yang dapat saya pinjam?)
Penggunaan strategi ini juga menghasilkan bentuk-bentuk yang berisikan
ungkapan-ungkapan permintaan maaf karena suatu pembebanan, tipe ini ditunjukkan
dalam (4b). Perilaku kesopanan negatif yang lebih rinci kadang-kadang terdengar
dalam percakapan yang diperpanjang, seringkali diikuti dengan keragu-raguan, sama
seperti yang ditunjukkan dalam (4c). Perlu diperhatikan bahwa kesantunan negatif
secara khusus diungkapkan dengan pertanyaan-pertanyaan.
Pemilihan jenis ungkapan yang kurang langsung mungkin kurang jelas, dan
umumnya lebih panjang, disertai dengan struktur yang lebih kompleks berarti bahwa
penutur sedang menciptakan usaha yang lebih besar, dalam istilah kepedulian terhadap
wajah (yaitu kesantunan) dari pada yang dibutuhkan secara sederhana untuk
mendapatkan seluruh pesan utama secara efisien.30
C. Teori Psikolingusitik
Perkembangan pragmatik mengarah pada perkembangan kemampuan anak
dalam menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud kepada lawan tutur. Salah
satu bentuk yang umum dipelajari orang dalam mengkaji kemampuan pragmatik anak
adalah dengan menganalisis percakapan yang dibuat oleh anak dengan orang dewasa
atau anak lain. Seorang anak tidak hanya menguasai aspek fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantiknya, tetapi juga harus menguasai cara agar bentuk tersebut dapat
digunakan dalam berkomunikasi. Pengamatan terhadap fenomena perkembangan
30George Yule, Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 109-114
-
25
pragmatik pada anak perlu memperhatikan konteks. Oleh karena itu, pragmatik sering
disebut sebagai telaah kebahasaan yang terikat konteks. Dardjowidjojo menyatakan
bahwa pada pemerolehan pragmatik beberapa hal yang perlu dikaji antara lain:
a. Pemerolehan niat komunikatif
Dari minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat
komunikatifnya dengan tersenyum, menoleh jika dipanggil, menggapai jika diberi
sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Semua itu ditemukan pada saat
pravokalisasi. Setelah perkembangan biologisnya memungkinkan, anak mulai
mewujudkan niat komunikatifnya dalam bentuk bunyi. Awal arah ujaran-ujaran anak
adalah ke diri anak. Semua ujaran dikeluarkan dan diarahkan untuk kepentingan dia
sendiri. Oleh karena itu, pada awal hidupnya anak kelihatan egois dan egosentris.
b. Pemerolehan kemampuan percakapan
Berkaitan dengan perkembangan percakapan, anak juga menguasai aturan-aturan yang
ada secara bertahap. Percakapan memiliki struktur yang terdiri dari tiga komponen, (1)
pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Secara naluri anak akan tahu kapan
pembukaan percakapan itu terjadi. Bila orang tua menyapa, itulah tanda bahwa
percakapan akan dimulai. Begitu juga dari pihak anak. Anak bisa memulai percakapan
dengan menyapa atau melakukan sesuatu kepada lawan tutur. Aturan main dalam
batang tubuh percakapan juga dikuasai secara gradual. Dalam percakapan anak,
seringkali pasangan dampingan tidak cepat muncul karena anak tidak menanggapinya.
Dalam hal ini, orang tua sering harus mengulangi sapaan atau pertanyaan. Pada bagian
penutup, tidak mustahil pula bahwa pertanyaan lawan tutur tidak dijawab oleh anak
karena anak pergi saja meninggalkan lawan tutur. Berdasarkan penelitian Pan dan Snow
(1999:233) didapati bahwa pada umur 1 tahun 8 bulan, anak hanya menanggapi sekitar
33% dari pertanyaan orang tua. Persentase itu naik menjadi 56,7% pada usia 2,5 tahun
– 3 tahun. Begitu pula relevansinya, hanya sekitar 19% dari tanggapan anak yang
relevan dengan topik yang sedang dibicarakan (Owens, 1996:275)
c. Pengembangan piranti wacana
Pada anak, wacana umumnya berbentuk percakapan antara anak dengan orang dewasa
atau dengan anak lain. Keberhasilan percakapan yang dibangun ditentukan oleh
bantuan atau dukungan oleh lawan tutur (orang tua). Pada umumnya lawan tutur
memberikan dukungan kalimat-kalimat penyambung (Habis itu, ke mana si Kancil
pergi?, dsb), dan yang dibicarakan adalah hal-hal yang dikenal oleh anak. Kalimat
-
26
penyambung bisa diawali dengan menggunakan kata penghubung yang disesuaikan
dengan percakapan anak dan orang dewasa.
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling
penting daripada perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini pada usia
prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat, sistematis, dan
menarik. Berkaitan dengan bahasan pragmatik, ada tujuh faktor penentu yang perlu
dipahami anak, yaitu (1) kepada siapa berbicara, (2) untuk tujuan apa, (3) dalam
konteks apa, (4) dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, dan (7)
dalam peristiwa apa. Ketujuh faktor penentu komunikasi tersebut berkaitan erat dengan
fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday, yaitu
instrumental, regulator, interaksional, personal, imajinatif, heuristik, dan informatif.
Sebagai perbandingan, Pinnel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi
bahasa jika pada tingkat SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak
menggunakan fungsi interaksional (untuk berkomunikasi) dan jarang menggunakan
fungsi heuristik (menggunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar
dan berbicara dalam kelompok kecil).31
Clark dan Clark (1977: 4) menyatakan bahwa psikologi bahasa berkaitan
dengan tiga hal utama: komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa. Dapat
disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental
yang dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa. Secara rinci psikolinguistik
mempelajari empat topik utama: (a) komprehensi, yakni proses-proses mental yang
dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan
memahami apa yang dimaksud, (b) produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita
yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis serta
neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa, yakni,
bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.32
M. Schaerlaekens (1977) membagi fase-fase perkembangan bahasa anak dalam
empat periode. Perbedaan fase-fase ini berdasarkan pada ciri-ciri tertentu yang khas
pada setiap periode. Salah satu periodenya, yaitu periode diferensiasi (usia 2,5 - 5
tahun).
31Nuryani, S.Pd., M.A., dan Dona Aji Karunia Putra, S.Pd., M.A., Psikolinguistik, (Tangerang Selatan: Mazhab
Ciputat, 2013), h. 136-139 32Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003), h. 7
-
27
Periode ini terlihat pada keterampilan anak dalam mengadakan diferensiasi
dalam penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat. Secara garis besar ciri umum
perkembangan bahasa pada periode ini sebagai berikut.
1. Pada akhir periode secara garis besar telah menguasai bahasa ibunya, artinya
hukum-hukum tatabahasa yang pokok dari orang dewasa telah dikuasai.
2. Perkembangan fonologi boleh dikatakan telah berakhir. Mungkin masih ada
kesukaran pengucapan konsonan yang majemuk dan sedikit kompleks.
3. Perbendaharaan kata berkembang, baik kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa
pengertian abstrak seperti pengertian waktu, ruang, dan kuantum mulai muncul.
4. Kata benda dan kata kerja mulai lebih terdiferensiasi dalam pemakaiannya,
ditandai dengan dipergunakannya kata depan, kata ganti, dan kata kerja bantu.
5. Fungsi bahasa untuk komunikasi betul-betul mulai berfungsi, anak sudah dapat
mengadakan konversi dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang dewasa.
6. Persepsi anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan
orang lain, dengan cara memberikan kritik, bertanya, menyuruh, memberi tahu dan
lain-lain (E. Mysak, 1961).
7. Mulai terjadi perkembangan di bidang morfologi, ditandai dengan munculnya kata
jamak, perubahan akhiran kata benda, perubahan kata kerja.33
D. Perkembangan Bahasa pada Anak
Pengertian perkembangan bahasa meliputi juga perkembangan kompetensi
komunikasi, yakni kemampuan untuk menggunakan semua keterampilan berbahasa
manusia untuk berekspresi dan memaknai. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh
lingkungan anak dan lingkungan sekitarnya. Interaksi dengan orang yang lebih dewasa
atau penutur yang lebih matang memainkan peranan yang sangat penting dalam
membantu peningkatan kemampuan anak untuk berkomunikasi. Peran perkembangan
bahasa memainkan peranan yang signifikan dalam perkembangan sosial anak.
Bahasa lisan juga menyediakan peranti yang diperlukan untuk representasi
mental atau dalam istilah Vygotsky disebut “verbal mediation” (kemampuan untuk
memberikan label pada objek dan proses yang diperlukan untuk pengembangan konsep,
generalisasi, dan pemikiran). Kecakapan menggunakan bahasa dalam pikiran
33Prof. Dr. Samsunuwiyati Mar’at, Psi. PsikolinguistikSuatu Pengantar, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005),
h. 66-67
-
28
merupakan perkembangan kunci yang membantu anak memecahkan berbagai masalah
baru, tidak semata-mata trial and error (coba-ralat). Perbedaan perkembangan bahasa
anak, baik bentuk maupun strukturnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang kultural
dan sosial tertentu.34
Bahasa digunakan anak untuk berpikir, membentuk konsep, mengingat, dan
memecahkan persoalan. Umumnya anak menggunakan pola kalimat subjek predikat
(Adik makan, dan lain-lain). Anak mendahulukan sapaan Ibu, Bapak. Adapun beberapa
hal yang memengaruhi pemerolehan bahasa pada anak, meliputi:
1. Nature dan Nurture
2. Kognisi
3. Lingkungan
4. Pengalaman-pengalaman yang penuh arti dan dapat dipahami
Bahasa anak akan berkembang apabila anak terlibat aktif dalam percakapan,
mendengar cerita (langsung maupun yang dibacakan), baik dalam kelompok kecil
maupun individu, memperoleh padanan (exposure) yang mencukupi, dan mendapat
model bicara yang baik. Kealamian pemerolehan bahasa tidak dibiarkan mengalir
begitu saja, tetapi diusahakan sedemikian rupa sehingga anak mendapat stimulus positif
sebanyak dan sevariatif mungkin. Dengan begitu, diharapkan anak tidak akan
mengalami kesulitan ketika memasuki tahap pembelajaran bahasa untuk kemudian
menjadi seseorang yang terampil berbahasa (dalam artian mengerti kesantunan
berbahasa).
Sebagai seorang dewasa, ada peran orang tua yang dapat mengawasi dan peka
terhadap perkembangan berbicara dari tahap ke tahap, agar apabila terjadi gangguan
dapat diatasi dengan segera. Pendidik di sekolah pun hendaknya dapat memberikan
rangsangan atau stimulus yang sesuai dan tepat dalam membantu anak
mengembangkan perkembangan berbicaranya di sekolah. Anak-anak akan lebih aktif
berbahasa ketika memasuki kegiatan belajar tahap awal pada kelompok taman bermain.
Pada saat ini anak mulai berinteraksi dengan teman sebayanya, guru, maupun pihak-
pihak yang ada pada lingkungan sekolah. Dalam perkembangan komunikasi atau
bahasa anak di prasekolah dapat dilihat berdasarkan usia anak, Chris Dukes dan Maggie
Smith mengklasifikasikan berdasarkan usia pada hitungan bulan, sebagai berikut:
34Dra. Lilis Madyawati, M.Si., Strategi Pengembangan Bahasa pada Anak, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 41
-
29
a. Overview : 30 – 50 Months
“Making choices and making friends with their peers are just two of the
many challenges these youngsters face. Learning to become a skillful
communicator will support children to achieve these aims. Difficulties and
misunderstandings can occur when children do not have the language skills
needed to support the making and building of friendships and relationships with
their peers. Teaching young children to listen to each other is one of the
challenges practitioners face.”35
Anak-anak kisaran usia 2,5 – 4 tahun yang berada di prasekolah mulai belajar
membuat pilihan dan mengenal pertemanan, yakni hanyalah dua dari banyak tantangan
yang dihadapi anak-anak ini. Mereka juga belajar untuk menjadi komunikator yang
terampil yang akan mendukung pencapaian tujuan dalam berbahasa. Dalam
membangun persahabatan dan hubungan dengan teman sebaya, anak-anak akan
mengalami kesulitan dan kesalahpahaman ketika mereka tidak memiliki keterampilan
bahasa yang mendukung. Kerampilan itu dapat diperoleh dari pengajaran guru di
sekolah. Mengajar anak-anak kecil untuk saling mendengarkan adalah salah satu
tantangan yang dihadapi para tutor (guru). Ketika di sekolah peran guru akan sangat
berpengaruh pada komunikasi anak.
“Most children will have the ability to express their own needs using
short phrases or sentences. This may be replaced by or accompanied by
expressive gestures. Practitioners would and should show concern if children
of this developmental stage are not able to do this.”36
Pada usia ini, sebagian besar anak sudah dapat memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan kebutuhan mereka sendiri menggunakan frasa atau kalimat pendek.
Hal ini biasanya terlihat pada percakapan anak-anak yang disertai dengan gerakan
ekspresif. Guru dalam tahap ini bertugas untuk memantau perkembangan anak. Guru
harus memperhatikan jika anak-anak dari tahap perkembangan ini tidak dapat
melakukannya. Semua kegiatan interaksi anak di sekolah selalu ada peran guru yang
mengarahkan dan mengevaluasi kemampuan bahasa setiap anak.
b. Overview : 40 – 60 Months
“Children in this developmental group are generally the top end of any
pre-school. These children typically are keen to please the adults around them.
Generally they respond well to praise and are always ready to have fun. They
35Chris Dukes & Maggie Smith, Developing Pre-School Communication and Language, (Wiltshire: Cromwell
Press, 2007) h. 51 36Ibid, h. 52
-
30
are beginning to listen well and have a large bank of words they can draw upon
to express themselves and even negotiate with practitioners and parents.”37
Pada kisaran usia 3 – 5 tahun anak-anak sudah memasuki kelas atas dari setiap
prasekolah yang umumnya termasuk kelompok pembinaan. Anak-anak ini biasanya
ingin menyenangkan orang dewasa di sekitar mereka. Umumnya mereka merespon
pujian dengan baik dan selalu siap untuk bersenang-senang. Mereka mulai
mendengarkan dengan baik dan memiliki banyak kata yang dapat mereka gunakan
untuk mengekspresikan diri dan bahkan bernegosiasi dengan guru dan orang tua.
Interaksi anak pada tahap ini dapat dikatakan lancar. Anak sudah mampu memahami
pertuturan dari mitra tuturnya dan ditanggapi dengan penuh kegembiraan.
“The spoken word can be used to gain the attention of the children and
adults around them. The influence of older siblings and outside elements such
as television can lead to language experimentation and may involve the use of
words thet practitioners would rather not hear in the pre-school! Practitioners
need to show patience and recognise that exploration of language at this stage
of development may often involve trial and error. Feeling comfortable and
settled in their environment allows children the opportunity to begin to build up
their growing vocabulary and confidence as effective communicators.”38
Kata-kata yang diucapkan anak-anak dapat digunakan untuk menarik perhatian
temannya dan orang dewasa di sekitar mereka. Adanya pengaruh orang yang lebih
dewasa dan unsur lain ketika berada di luar sekolah seperti televisi dapat mengarah
pada eksperimen bahasa. Anak-anak akan mudah meniru apa yang mereka dengar
sekalipun seharusnya bahasa itu belum layak untuk mereka ucapkan. Mungkin
melibatkan penggunaan kata-kata yang lebih baik tidak didengarkan oleh guru di
sekolah prasekolah kepada mereka. Guru perlu menunjukkan kesabaran dan menyadari
bahwa eksplorasi bahasa pada tahap perkembangan ini sering melibatkan trial and
error.Merasa nyaman dan tenang di lingkungan mereka memungkinkan anak-anak
berkesempatan untuk mulai membangun kosakata dan kepercayaan diri mereka yang
tumbuh sebagai komunikator yang efektif.
Meskipun komunikasi dan bahasa anak meningkat pesat, kadang-kadang guru
mengandaikannya tetap masih awal kemampuannya. Terkadang ada anak yang sudah
mampu memahami lebih banyak daripada yang sebenarnya mereka lakukan. Ini sering
dapat menyebabkan kesalahpahaman dan munculnya ketidakpatuhan. Orang dewasa
37Ibid, h. 62 38Ibid, h. 62
-
31
perlu 'memeriksa' secara verbal bahwa anak-anak benar-benar mengetahui apa yang
diharapkan dari pengajaran yang diberikan.Guru juga bekerja sama dengan orang tua
anak.
E. Penelitian Relevan
Penelitian yang relevan memuat penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan
topik penelitian yang akan dikaji. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
terkait dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu membahas objek penelitian yang sama
mengenai kesantun