strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah...

117
STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (Studi Kasus di Sekolah Islam Terpadu Ar-Rahman) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh: Yusrita Rahmi 11140130000009 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA

    PADA ANAK USIA PRASEKOLAH

    (Studi Kasus di Sekolah Islam Terpadu Ar-Rahman)

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

    Oleh:

    Yusrita Rahmi

    11140130000009

    JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    2020

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    ABSTRAK

    Yusrita Rahmi (11140130000009). Strategi Kesantunan Berbahasa pada Anak Usia

    Prasekolah (Studi Kasus di Sekolah Islam Ar Rahman). Jurusan Pendidikan Bahasa dan

    Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Penelitian ini mengkaji strategi kesantunan bahasa anak-anak pada usia prasekolah. Penelitian

    ini menggunakan pendekatan Pragmatik dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Data

    yang telah ditranskripsikan dan dikelompokkan kemudian di analisis dengan teori kesantunan

    berbahasa yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson. Pada penelitian kualitatif, analisis

    data dimulai darireduksi data, kategorisasi data, penyajian data, penyimpulan temuan dan

    verifikasi. Kesantunan bahasa dapat dikatakan telah dimiliki manusia ketika dewasa. Kita

    sebagai seorang yang dewasa akan lebih mudah mengerti berbagai ukuran untuk menilai

    apakah sebuah tuturan dinilai santun atau tidak, baik itu berkaitan dengan jarak sosial, budaya,

    maupun relasi kuasa. Namun penelitian ini lebih fokus kepada fenomena bahasa yang terjadi

    pada anak-anak yang belum sepenuhnya memahami kata santun, karena tidak semua usia telah

    sadar akan kesantunan bahasa, artinya kesantunan bahasa belum tentu dimiliki oleh semua usia.

    Anak-anak memandang kesantunan sebagai hal yang belum disadari dan bahkan tidak

    bermakna. Pengaruh lingkungan sekitarlah yang membantu pemahaman mengenai kesantunan

    dan menjadikan anak mengerti atas apa yang diucapkan sebagai bahasa yang telah memiliki

    makna.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesantunan bahasa dibagi menjadi empat strategi,

    yaitu kesantunan positif dan kesantunan negatif yang memiliki beberapa sub-strateginya

    masing-masing, bald on record (tanpa basa-basi atau tercatat), dan off record (tidak langsung

    atau tidak tercatat). Pada penelitian ini diperoleh 11 situasi tuturan dengan keseluruhan yang

    berjumlah sebanyak 102 data tuturan. Data ini diidentifikasi dalam tabel kategorisasi. Hasil

    penelitian menunjukkan anak-anak pada usia prasekolah 3-5 tahun belum sepenuhnya

    memahami konsep kesantunan.Hasil dari beberapa data yang diperoleh cukup beragam. Tidak

    adanya konsistensi atas pemahaman anak mengenai strategi kesantunan.

    Kata kunci: strategi kesantunan, Brown & Levinson, prasekolah, usia anak-anak.

  • v

    ABSTRACT

    Yusrita Rahmi (11140130000009). Strategies for Languages in Preschool Children (Case

    Study at Ar Rahman Islamic School). Indonesian Language and Literature Education

    Department. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training. UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    This study examines the language politeness strategies of children at preschool age. This study

    uses a Pragmatic approach with qualitative methods that are descriptive. Data that has been

    transcribed and grouped is then analyzed with language politeness theory developed by Brown

    and Levinson. In qualitative research, data analysis starts from data reduction, data

    categorization, data presentation, conclusion finding and verification. The politeness of

    language can be said to have been possessed by humans as adults. We as adults will find it

    easier to understand various measures to judge whether speech is considered polite or not,

    whether it is related to social distance, culture, or power relations. However, this research is

    more focused on language phenomena that occur in children who do not fully understand the

    word politeness, because not all ages are aware of the politeness of language, meaning that

    politeness of language is not necessarily possessed by all ages. Children see politeness as

    something that has not been realized and even meaningless. It is the influence of the

    surrounding environment that helps the understanding of politeness and makes the child

    understand what is said as a language that already has meaning. The results showed that

    politeness of language was divided into four strategies, namely positive politeness and negative

    politeness which had several sub-strategies respectively, bald on record (without further ado or

    recorded), and off record (indirect or not recorded). In this study obtained 11 speech situations

    with a total of 102 speech data. This data is identified in the categorization table. The results

    showed that children at the preschool age of 3-5 years did not fully understand the concept of

    politeness. The results of some of the data obtained are quite diverse. There is no consistency

    in children's understanding of politeness strategies.

    Keywords: politeness strategy, Brown & Levinson, preschool, children's age.

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan

    karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Yang berjudul “Strategi Kesantunan

    Berbahasa pada Anak Usia Prasekolah (Studi Kasus di Sekolah Islam Terpadu Ar Rahman”,

    disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Pendidikan Bahasa dan Sastra

    Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Banyak hambatan dan rintangan dalam proses penyusunan skripsi ini, dengan doa,

    usaha, dan perjuangan tentunya penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang tanpa

    lelah memberikan dorongan baik moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati,

    penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:

    1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sukamto dan Ibunda Alstiani yang tiada henti

    mendoakan putrinya, berjuang, dan memberikan segala dukungan terbaik dengan

    penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai.

    2. Dr. Sururin, M.Ag.selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

    3. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

    Indonesia (PBSI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan sekaligus

    dosen penasehat akademik serta dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan

    ilmu dan arahannya, membimbing dengan ikhlas, detail, memberikan solusi,

    memberikan banyak pelajaran serta motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi

    ini dengan sebaik-baiknya.

    4. Seluruh dosen di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak dapat

    dituliskan satu per satu, terima kasih banyak atas semua ilmu, bantuan, dan motivasi

    selama penulis menempuh masa kuliah.

    5. Dada Damayanti, S.Pd.I. selaku Kepala Sekolah TKIT Ar Rahman Jakarta Selatan yang

    sudah memberikan izin penelitian di sekolah demi lancarnya pengerjaan skripsi.

    6. Nurhikmah Adawiyah, S.Pd. selaku guru kelas KB (Kelompok Bermain), terima kasih

    sudah bersedia meluangkan waktu, memberikan dukungan, dan informasi kepada

    penulis untuk kebutuhan penelitian. Serta terima kasih kepada anak-anak tersayang di

    kelompok bermain yang menjadi objek penelitian penulis.

    7. Zeemhena Aina Michi, adik kecil di keluarga yang selalu menjadi hiburan

    menyenangkan bagi penulis dengan keriangan dan keceriannya.

  • vii

    8. Keluarga besar POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah), teruntuk teman seperjuangan, kakak-

    kakak, dan adik-adik yang memberikan pengalaman berharga serta memberikan

    motivasi bagi penulis.

    9. Rekan-rekan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) angkatan 2014 yang

    menjadi teman seperjuangan dari awal kuliah hingga akhir.

    10. Sahabat terbaik yang memberikan motivasi dan bantuan terhadap penyelesaian skripsi

    serta sedia mendengarkan keluh kesah penulis, terima kasih Fadilla Insani, Helza Rosa

    N, Lia Mulya Asih, Nurul Hikmah, Widi Ade, M. Naufal Ridho, Sri Ayu K, Cahaya

    Syifa.

    11. Sahabat sekolah yang setia kepada penulis, Lulu, Nita, Fitriyana, Sikha, Bowo, Devy,

    Istiani, terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.

    12. Rekan-rekan kerja di SDIT Ar Rahman yang memberikan dukungan untuk semangat

    menyelesaikan skripsi di tengah-tengah segala tanggung jawab pekerjaan di sekolah.

    13. Teman-teman seperbimbingan, Qory, Rahmalia, Srinita, Tyas, Misbah, dan adik-adik

    seperbimbingan Wulan dan Azmah. Terima kasih sudah berjuang bersama, saling

    mengingatkan, menguatkan, dan saling membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.

    14. Semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi

    ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun tidak mengurangi rasa hormat

    penulis. Terima kasih tiada henti atas segala kebaikannya.

    Penulis berharap semoga kebaikan, keikhlasan, dan ketulusan semua pihak yang telah

    membantu penulis dibalas oleh Allah SWT. Penulis juga berharap semoga skripsi yang jauh

    dari kata sempurna ini menjadi hal positif dan sedikit banyak memberikan manfaat bagi pihak-

    pihak yang membutuhkan.

    Jakarta, 17 Februari 2020

    Yusrita Rahmi

  • viii

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

    LEMBAR PENGESAHAN

    SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

    ABSTRAK ............................................................................................................................... iv

    ABSTRACT .............................................................................................................................. v

    KATA PENGANTAR ............................................................................................................. vi

    DAFTAR ISI......................................................................................................................... viii

    BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

    A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

    B. Identifikasi Masalah....................................................................................... 4

    C. Pembatasan Masalah........................................................................................ 4

    D. Rumusan Masalah ........................................................................................... 4

    E. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4

    F. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5

    BAB II TEORI ......................................................................................................................... 6

    A. Pragmatik ....................................................................................................... 6

    B. Kesantunan Berbahasa ................................................................................... 9

    1. Prinsip Kesantunan Menurut Leech ........................................................... 12

    2. Strategi Kesantunan Berbahasa Menurut Brown dan Levinson ................. 13

    1) Bald on Record ................................................................................... 19

    2) Positive Politeness .............................................................................. 20

    3) Negative Politeness............................................................................. 21

    4) Off Record........................................................................................... 21

    C. Teori Psikolinguistik...................................................................................... 24

    D. Perkembangan Bahasa pada Anak ................................................................ 27

    E. Penelitian Relevan ........................................................................................ 31

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 32

    A. Metode Penelitian ........................................................................................ 32

    B. Subjek dan Objek Penelitian.......................................................................... 34

    C. Data dan Sumber Data ................................................................................... 34

    D. Tempat dan Waktu Pengambilan Data .......................................................... 35

  • ix

    E. Teknik Pengumpulan Data............................................................................. 36

    F. Langkah Analisis Data ................................................................................... 37

    BAB IV ANALISIS DATA .................................................................................................... 39

    A. Tabel Kategorisasi ......................................................................................... 39

    B. Analisis Data.................................................................................................. 61

    1. Siswa berinisial Z ....................................................................................... 63

    2. Siswi berinisial K........................................................................................ 72

    3. Siswa berinisial Y ....................................................................................... 84

    4. Siswa berinisial A ....................................................................................... 91

    5. Siswi berinisial M ....................................................................................... 96

    6. Siswa berinisial R ....................................................................................... 98

    7. Siswa berinisial L ..................................................................................... 100

    8. Seluruh Siswa ........................................................................................... 101

    BAB V ..................................................................................................................................... 83

    A. Simpulan ........................................................................................................ 83

    B. Saran .............................................................................................................. 84

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 85

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    RIWAYAT PENULIS

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Kesantunan sebagai bagian dari fenomena bahasa yang terdapat dalam ilmu

    pragmatik. Kesantunan merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik

    atau beretika, yang bertujuan membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak

    mengancam muka, dan efektif. Namun fenomena ini berbeda dengan rasa hormat yang

    sering dihubungkan dengan kesantunan. Antara rasa hormat dan kesantunan dapat

    ditunjukkan melalui tingkah laku sosial maupun cara-cara kebahasaan. Kesantunan

    dalam pragmatik berkaitan dengan kegiatan berbahasa yang menunjukkan bahwa

    kemampuan berpikir dan bernalar dipengaruhi oleh kemampuan menggunakan bahasa

    dengan berbagai konsep, ide, atau aspek yang lainnya. Pragmatik dipelajari dalam ilmu

    Linguistik yang akan memberikan pemahaman kepada kita mengenai hakikat dan seluk

    beluk bahasa sebagai alat komunikasi manusia, serta bagaimana bahasa itu menjalankan

    peranannya dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Salah satu fenomena bahasa

    yaitu kesantunan berbahasa akan lebih rinci dibahas dansecara definisi kesantunan

    merupakan cara yang ditempuh oleh penutur di dalam berkomunikasi agar penutur tidak

    merasa tertekan, tersudut, atau tersinggung.

    Menurut Brown dan Levinson (1987), kesantunan berbahasa memiliki makna

    sebagai usaha penutur untuk menjaga harga diri atau muka pembicara maupun

    pendengar. Prinsip kesantunan dalam berkomunikasi merupakan sesuatu yang

    universal meskipun setiap budaya dan kelompok masyarakat memiliki ukuran

    kesantunan dan ungkapan kesantunan yang beraneka ragam. Hal itu seperti dalam

    penelitian Geoffrery Leech (2005) tentang kesantunan dalam budaya Timur dan Barat,

    menyimpulkan bahwa kesantunan tidak mengenal barat maupun timur, meskipun ada

    perbedaan di antara keduanya.1Namun fenomena kesantunan bahasa setiap masyarakat

    di Indonesia kerap dinilai berbeda-beda karena masyarakat Indonesia kental akan

    budaya dan adat istiadat. Hal ini dapat disebut sebagai fenomena kultural.Apa yang

    dianggap santun dalam pendukung budaya tertentu, belum tentu dianggap santun oleh

    pendukung budaya lainnya. Sebagai contoh, di dalam budaya tertentu, orang yang

    1Prof. Dr. Markhamah, M.Hum., dkk., Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa, (Surakarta:

    Muhammadiyah University Press, 2009), h. 153

  • 2

    menunjukkan arah dengan ibu jari dianggap santun dan dianggap tidak santun jika ia

    menggunakan telunjuk. Di dalam budaya lainnya aturan seperti ini tidak berlaku. Selain

    itu, penggunaan bahasa yang kurang santun biasanya dipengaruhi oleh faktor kedekatan

    antarindividu yang sudah sangat akrab, sehingga terkadang tanpa disadari seseorang

    telah melanggar prinsip kesantunan.

    Kesantunan bahasa dapat dikatakan telah dimiliki manusia ketika dewasa. Kita

    sebagai seorang yang dewasa akan lebih mudah mengerti berbagai ukuran untuk

    menilai apakah sebuah tuturan dinilai santun atau tidak, baik itu berkaitan dengan jarak

    sosial, budaya, maupun relasi kuasa. Namun bagaimana jika fenomena bahasa ini

    terjadi pada anak-anak yang belum sepenuhnya memahami kata santun karena tidak

    semua usia telah sadar akan kesantunan bahasa, artinya kesantunan bahasa belum tentu

    dimiliki oleh semua usia. Sebagai orang yang lebih dewasa, seringkali dituntut untuk

    berhati-hati dalam bergaul atau berbicara dengan anak yang tidak tahu bahasa. Kata

    bahasa dalam hal ini memiliki makna ‘sopan santun’.2Kata santun mempunyai makna

    bukan hanya untuk menunjukkan rasa hormat (sopan) namun makna santun dapat

    memperluas ujaran atau tuturan. Kesantunan berbahasa tidak hanya berhubungan

    dengan pemahaman tentang bagaimana mengucapkan apa kabar, terima kasih, dan

    maafkan secara tepat tetapi juga perlu memahami nilai-nilai sosial dan budaya suatu

    masyarakat tutur. Pada tahap usia prasekolah, konsep kesantunan bahasa perlu

    dikenalkan atau diajarkan oleh peran guru dan orang tua. Kemampuan kesantunan

    berbahasa pada anak-anak perlu diketahui agar komunikasi anak dapat terjaga.

    Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan anak dan lingkungan

    sekitarnya. Interaksi dengan orang yang lebih dewasa atau penutur yang lebih matang

    memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu peningkatan kemampuan

    anak untuk berkomunikasi. Peran perkembangan bahasa memainkan peranan yang

    signifikan dalam perkembangan sosial anak.3 Anak-anak memandang kesantunan

    sebagai hal yang belum disadari dan bahkan tidak bermakna. Pengaruh lingkungan

    sekitarlah yang membantu pemahaman mengenai kesantunan dan menjadikan anak

    mengerti atas apa yang diucapkan sebagai bahasa yang telah memiliki makna.Pada saat

    anak-anak, bahasa juga memungkinkan anak untuk membangun dan memelihara

    hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Komunikasi anak pada usia dini juga

    2Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Rineka Cipta: Jakarta, 2012), h. 31 3Dra. Lilis Madyawati, M.Si., Strategi Pengembangan Bahasa pada Anak,(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),

    h. 41

  • 3

    kerap kali hanya ditunjukkan dengan perilaku nonverbal, artinya anak sebenarnya telah

    mampu bernalar tetapi belum memahami bahasa.Anak dapat menetapkan dan

    mengeksplorasi pikiran, perasaan, dan tindakan dengan orang lain melalui penggunaan

    bahasa. Anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, peduli pada kelompoknya

    sendiri, dan berpartisipasi dalam struktur sosial. Sebagai bagian dari suatu kelompok

    masyarakat, anak-anak juga belajar bagaimana bersikap ketika mereka terlibat dalam

    percakapan. Hal ini merupakan kesantunanberbahasa yang dapat dipelajari oleh anak-

    anak sejak kecil melalui lingkungan sosial mereka. Peran orang dewasa, terutama

    pengasuh dan orang tua, sangat penting dalam proses ini.

    Keluarga dan sekolah berperan penting untuk mendidik kesantunan berbahasa

    bagi anak usia prasekolah. Kini kesadaran akan pentingnya bersosialisasi semakin

    tinggi di kalangan orang tua. Mereka mulai memasukkan anak-anak mereka ke

    kelompok bermain. Karena itu, sejak usia dini, anak-anak Indonesia, terutama di kota-

    kota besar, mulai mengenal institusi pendidikan. Dalam hal ini, pengenalan anak

    terhadap aturan-aturan sosial tidak hanya terbatas di lingkungan rumah saja, melainkan

    juga di lingkungan sekolah. Ketika anak-anak memasuki sekolah, mereka

    memantapkan pengetahuan mengenai kesantunan melalui guru dan teman-teman.

    Berdasarkan observasi peneliti ke sekolah Ar-Rahman, didapatkan pernyataan

    bahwa anak usia prasekolah mulai menunjukkan ketepatan komunikasi sesuai situasi

    sebagai bagian dari perkembangan kompetensi kognitif. Keberagaman kondisi anak

    membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana setiap anak dalam bertutur. Secara

    khusus penelitian ini membicarakan sejumlah strategi kesantunan yang diambil dari

    beberapa sitausi. Bernadette Kushartanti dalam jurnalnya juga telah meneliti strategi

    kesantunan anak dalam mengungkapkan keinginan, seperti: anak-anak belajar

    bagaimana menyapa orang, menyampaikan keinginan, mengungkapkan keingintahuan,

    mengungkapkan ketidaksetujuan, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar terjalin

    komunikasi yang baik, maka sopan santun dalam berbahasa perlu dilakukan dan

    diterapkan sejak dini. Pemilihan kosa kata yang baik, memperhatikan siapa lawan

    tuturnya, dan di mana serta kapan komunikasi itu terjadi dengan tujuan yang baik pula

    antara penutur dengan mitra tutur.

    Latar belakang di atas mendukung alasan peneliti untuk mengetahui pada usia

    berapa sebenarnya manusia sudah mampu memahami kesantunan berbahasa,

    khususnya pada anak-anak. Karena sebagai seorang dewasa yang telah memahami

    bahasa tentunya masih belum sepenuhnya memahami kesantunan berbahasa, apalagi

  • 4

    pada anak usia dini. Jadi itulah alasan peneliti memilih judul “Strategi Kesantunan

    Berbahasa pada Anak Usia Prasekolah (Studi Kasus di Sekolah Islam Terpadu

    Ar Rahman)”.

    B. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai

    berikut.

    1. Kesantunan merupakan salah satu fenomena bahasa.

    2. Kesantunan setiap masyarakat berbeda-beda.

    3. Kesantunan bahasa dimiliki oleh semua usia, tetapi mungkin saja dimiliki hanya pada

    orang dewasa.

    4. Peran kesantunan bahasa di dunia anak-anak.

    5. Lingkungan keluarga dan sekolah berperan penting dalam pengajaran kesantunan

    berbahasa pada anak-anak.

    6. Strategi kesantunan bahasa pada anak usia prasekolah.

    C. Pembatasan Masalah

    Pembatasan masalah dalam suatu penulisan menjadi sangat penting, agar permasalahan

    yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang telah diterapkan.

    Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun, maka penulisan lebih terfokus kepada

    strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah.

    D. Rumusan Masalah

    Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka diperlukan rumusan

    masalah suatu penelitian. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, masalah pokok yang

    hendak dijawab dan fokus masalah penelitian inidapat dirumuskan dalam

    pertanyaan,“Bagaimana strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah?”

    E. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya maka tujuan penelitian ini

    adalah untuk mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah.

  • 5

    F. Manfaat Hasil Penelitian

    Penulisan ini diharapkan berguna bagi penulis maupun bagipembaca dalam hal:

    1. Manfaat Teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan motivasi dalam

    pengembangan ilmu bahasa khususnya pada materi kesantunan berbahasa Indonesia dalam

    sebuah ragam lisan yakni pada komunikasi anak. Berbeda dengan penelitian kesantunan bahasa

    yang lain, penelitian ini memberikan pemahaman mengenai implikasi strategi kesantunan

    bahasa positif dan negatif pada anak usia prasekolah. Dengan penelitian ini diketahui berapa

    usia anak dapat dikatakan mampu memahami kesantunan dalam berbahasa di lingkungan

    sekolah maupun pengajaran keluarga yang berpengaruh. Penelitian ini juga dapat digunakan

    sebagai sumber referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan materi kesantunan

    berbahasa.

    2. Manfaat Praktis

    Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca

    mengenai pentingnya mengetahui kesantunan berbahasa khususnya pada anak-anak usia

    prasekolah. Sebagai yang lebih dewasa baiknya memahami bagaimana cara berkomunikasi

    anak serta pengajaran kesantunan bahasa pada anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat

    menjadi pengajaran bagi anak-anak dalam berbahasa, bagaimana anak-anak dapat

    mengenal konsep kesantunan sedini mungkin agar pembelajaran bahasa Indonesia,

    khususnya, dapat berjalan dengan baik. Bagi mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra

    Indonesia, melalui penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran untuk memahami

    bagaimana suatu bahasa yang santun dipahami oleh anak usia dini.

  • 6

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Pragmatik

    Pragmatik dibedakan atas dua hal yaitu pragmatik sebagai suatu yang diajarkan

    dan pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Pragmatik dari

    perbedaan yang pertama dapat dibagi lagi atas dua hal: (a) pragmatik sebagai bidang

    kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa:

    “pragmatik” pengertian (b) ini lazim pula disebut “fungsi komunikatif”. Pragmatik

    yang dimaksudkan sebagai bahan pengajaran bahasa, atau yang juga disebut “fungsi

    komunikatif”, lazimnya disajikan di dalam pengajaran bahasa asing. Setiap bahasa

    memiliki sejumlah fungsi komunikatif, dan di dalam fungsi komunikatif itu terdapat

    utaraan seperti “menyatakan setuju”, “menyatakan tidak setuju”, “menyatakan

    penolakan terhadap ajakan”, “menyatakan ucapan terima kasih”.4

    Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti

    pragmatik. Beberapa pengertian yang relevan disampaikan pada bagian ini agar

    didapatkan gambaran yang jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik itu.

    Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari

    relasi bahasa dengan konteksnya yang tidak terlepas dari struktur bahasanya. Batasan

    Levinson itu selengkapnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.

    “Pragmatics is the study of those relations between language

    and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a

    language (Levinson, 1983: 9).”5

    Pragmatik berbeda dengan ilmu gramatikal yang mempelajari tentang struktur

    kalimat. Pragmatik tidak menjelaskan struktur kalimat, tetapi menjelaskan tentang

    alasan penutur dan mitra tutur berkomunikasi pada konteks kalimat dalam tuturannya.

    Selain itu, definisi pragmatik juga diungkapkan oleh Parker, “Pragmatics is distinct

    from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is

    the study of how language is used to communicate. (Parker, 1986: 11)” dan Jacob L.

    4Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 1-2 5Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,

    2005), h. 48

  • 7

    Mey mendefinisikan pragmatik bahwa, “Pragmatics is the study of the conditions of

    human language uses as these are determined by the context of society. (Mey, 1993:

    42).”6

    Parker menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang

    mempelajari struktur bahasa secara eksternal, bagaimana satuan lingual tertentu

    digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Hal ini membedakan pragmatik dengan

    studi tata bahasa sebagai studi seluk-beluk bahasa secara internal. Menurutnya juga,

    studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik

    mutlak dikaitkan dengan konteks. Sedangkan Jacob L. Mey mengungkapkan bahwa

    pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia

    yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang melatarbelakangi bahasa itu.

    Definisi pragmatik selanjutnya dipaparkan oleh Gillian Brown dalam buku

    Analisis Wacana Pragmatik sebagai berikut:

    “Any analitic approach in linguistics which involves contextual

    conside-ration-necessarily belongs to that area of language study called

    pragmatics. ‘Doing discourse analysis’ containly involves ‘doing syntax

    and semantic’ but it primarily consist of ‘doing pragmatic’. In discourse

    analysis as in pragmatics, we are concernened with what people using

    language are doing and accounting for the linguistic features in the

    discourse as the means employed in what they are doing (1983:26).”7

    Setiap pendekatan analisis dalam linguistik yang meliputi pertimbangan

    konteks termasuk ke dalam bidang studi bahasa yang disebut pragmatik. Analisis

    pragmatik merupakan hal penting apalagi dalam analisis wacana yang berhubungan

    dengan apa yang dilakukan oleh si pemakai bahasa dan menerangkan ciri-ciri linguistik

    di dalam wacana. Dalam keterangan di atas, kita dapat mengetahui apa sebenarnya yang

    dimaksud dengan pragmatik, yaitu analisis studi bahasa dengan pertimbangan-

    pertimbangan konteks.

    Banyak upaya telah dilakukan oleh para pakar linguistik untuk mencoba

    mendefinisikan pragmatik. Berdasarkan hal itu, pragmatik dapat dikatakan mencakup

    studi interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar pengetahuan lain yang dimiliki

    oleh pendengar/pembaca. Studi ini melibatkan unsur interpretatif yang mengarah pada

    studi tentang keseluruhan pengetahuan dan keyakinan akan konteks. Maka rumusan

    ciri-ciri konteks secara eksplisit perlu dipahami.

    6Ibid, h. 49 7Prof. A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: CV Angkasa, 2015), h. 22

  • 8

    1. Konteks

    Mulyana (2005:21) menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar

    terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan

    terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan

    tuuran, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat

    tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

    Imam Syafi’ie (melalui Mulyana, 2005: 24) menambahkan bahwa, apabila

    dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi

    empat macam, yakni sebagai berikut.

    a. Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam

    percakapan.

    b. Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar belakang pengetahuan

    yang sama-sama diketahui oleh partisipan.

    c. Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan,

    objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan pada partisipan.

    d. Konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi

    hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.

    Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan

    bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan

    suatu wacana. Secara singkat dapat dikatakan: in language, context is everything.

    Dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005:24).

    Selain itu, konteks juga merupakan ciri/gambaran yang berfokus pada budaya dan

    linguistik sesuai dengan ujaran yang dihasilkan dan interpretasinya. Beberapa

    ciri/gambaran konteks adalah adanya pengetahuan tentang:

    1. Norma (norma pembicaraan dan kaidah sosial) dan status (konsep-konsep tentang

    status sosial),

    2. ruang dan waktu,

    3. tingkat formalitas,

    4. media (sarana),

    5. tema,

    6. wilayah bahasa.8

    8Prof. Dr. T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), h. 48-49

  • 9

    Kita tidak dapat mendapatkan definisi pragmatik yang lengkap bila konteksnya

    tidak disebutkan. Louise Cummings menyatakan bahwa, “Gagasan tentang konteks

    berada di luar pengejawantahannya yang jelas seperti latar fisik tempat dihasilkannya

    suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik, sosial, dan epistemis.”9 Gagasan

    mengenai konteks merupakan gagasan yang bersifat luas. Konteks dapat berupa latar

    fisik atau faktor sosial tempat dihasilkannya suatu ujaran. Konteks juga mencakup dua

    macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat

    sosietal (societal). Konteks sosial (social context) adalah konteks yang timbul sebagai

    akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat

    sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal (societal

    context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota

    masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan

    budaya tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dasar dari munculnya

    konteks sosietal adalah adanya kekuasaan (power), sedangkan dasar dari konteks sosial

    adalah adanya solidaritas (solidarity).10 Maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik

    adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada

    dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa

    itu.

    B. Kesantunan Berbahasa

    Salah satu fenomena pragmatik yang sekarang ini sudah banyak dikaji adalah

    fenomena kesantunan berbahasa. Leech (1996:131) berpendapat bahwa pada dasarnya

    kesantunan berbahasa berkenaan dengan hubungan antara dua partisipan yang

    dinamakan “diri” (self) dan “lain” (other). Adanya interaksi antara penutur (diri) dan

    petutur (lain) yang menunjukkan bahwa penutur melakukan kesantunan kepada orang

    lain yang hadir atau tidak hadir dalam situasi tutur. Konsep “lain” di samping mengacu

    petutur juga siapapun yang dapat ditandai dengan kata ganti orang (pronomina) ketiga.

    Penting atau tidaknya perilaku kesantunan yang ditunjukkan kepada orang lain

    dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor kuncinya ialah hadir atau tidaknya orang lain

    tersebut. Faktor berikutnya adalah orang lain tersebut berada di bawah pengaruh

    penutur ataukah petutur. Dalam hubungannya dengan hal itu, derajat kesantunan

    9Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 5 10Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,

    2005), h. 49

  • 10

    berkorelasi positif dengan derajat ketidaklangsungan dan juga derajat kebebasan

    petutur. Hal itu berarti bahwa makin santun tuturan penutur, makin tidak langsung

    penyampaian maksudnya dan makin bebas petuturnya. Hal yang sebaliknya

    menghasilkan akibat yang sebaliknya.11Kesantunan berbahasa sebenarnya merupakan

    cara yang ditempuh oleh penutur di dalam berkomunikasi agar penutur tidak merasa

    tertekan, tersudut, atau tersinggung. Menurut Brown dan Levinson (1987), kesantunan

    berbahasa ini dimaknai sebagai usaha penutur untuk menjaga harga diri, atau muka,

    pembicara maupun pendengar.12

    Secara linguistik kesantunan berbahasa diketahui dari hal-hal berikut: pilihan

    kata, pemakaian jenis kalimat. Pertama, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata

    yang menunjukkan adanya kesantunan tinggi, sedang, dan rendah. Untuk menunjukkan

    kesantunan tinggi penutur sebaiknya memilih kata-kata yang memiliki makna

    kesantunan tinggi. Demikian juga sebaliknya, untuk menunjukkan kesantunan sedang

    atau rendah penutur bisa memilih kata-kata yang menunjukkan kesantunan yang sesuai.

    Kedua, jenis kalimat pada umumnya memang menunjukkan referensi atau makna yang

    sesuai. Namun demikian, tidak selamanya seperti itu. Ada kalanya penutur

    menggunakan kalimat tanya, tetapi sebenarnya penutur ingin memberitahukan sesuatu

    kepada mitra tuturnya. Misalnya seorang penutur yang merupakan mahasiswa ingin

    memberitahukan secara langsung kepada dosennya tentang ilmu yang belum diketahui

    oleh dosennya tidak berani atau dipandang tidak etis bagi masyarakat tertentu. Oleh

    karena itu, mahasiswa tersebut memberitahukannya dengan menggunakan kalimat

    tanya. Di samping itu, penutur bisa menggunakan kalimat berita untuk menyatakan

    perintah dinilai lebih halus, karena penutur tidak serta merta memberi perintah kepada

    mitra tuturnya. Ketiga, pemakaian kalimat pasif untuk menghindari perintah secara

    langsung.

    Konsep kesantunan dibedakan menjadi dua, konsep pertama ditokohbesari oleh

    Erving Goffman yang kemudian dikembangkan menjadi ‘Goffmanian View of

    Politeness’. Konsep yang kedua ditokohbesari oleh Grice dengan konsep

    implikaturnya, yang kemudian melahirkan ‘Gricean View of Politeness’. Konsepnya

    yakni kesantunan yang dasarnya adalah konsep muka dan kesantunan yang dasarnya

    adalah konsep implikatur. Dalam kesantunan konsep akan ‘muka’ menjadi gagasan

    11Suhartono, Yuniseffendri, Materi Pokok Pragmatik 1, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009), h. 4.8 12Prof. Dr. Markhamah, M.Hum., dkk., Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa, (Surakarta:

    Muhammadiyah University Press, 2009), h. 153

  • 11

    utama. Seseorang dituntut untuk memahami kebutuhan akan ‘muka’ orang lain saat

    berinteraksi atau berkomunikasi. Menurut sumber kepustakaan yang dijangkau,

    didapatkan bahwa studi kesantunan berbahasa berkembang dengan sangat cepat setelah

    Fraser (1990) menunjukkan adanya empat model kajian kesantunan dalam berbahasa,

    yakni (1) pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma sosial, (2) pandangan

    yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan, (3) pandangan

    kesantunan yang berkaitan dengan upaya penyelamatan muka, dan (4) pandangan

    kesantunan yang berkaitan dengan kontrak percakapan.13

    Kesopanan atau kesantunan merupakan suatu konsep yang tegas, seperti

    gagasan ‘tingkah laku sosial yang sopan’, atau etiket yang terdapat dalam budaya, dan

    adanya prinsip-prinsip umum yang termasuk dalam sifat bijaksana, pemurah, rendah

    hati, dan simpatik terhadap orang lain. Untuk penerapan prinsip-prinsip tersebut

    diperlukan konsep muka. Kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai

    alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang muka orang lain. Dalam

    pengertian ini, kesantunan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan

    sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk muka orang lain ketika orang lain itu

    tampak jauh secara sosial sering dideskripsikan dalam kaitannya dengan keakraban,

    persahabatan, atau kesetiakawanan.14

    Berdasarkan penelitian tentang bahasa khususnya dalam ranah pragmatik, hal-

    hal mengenai kesantunan dan konsep muka biasanya meneliti unsur-unsur bahasa yang

    dianggap universal. Hasil penelitian biasanya dikaitkan dengan latar belakang

    penuturnya untuk melihat kaitan bahasa dan budaya, kekuasaan dan kepercayaan

    (power), status dan kekerabatan, bahasa dan setting, penutur, topik, fungsi interaksi,

    dan bentuk. Dalam kesantunan yang idea biasanya orang mengira bahwa kedua

    partisipan haruslah sama hormatnya satu sama lain. Namun menurut istilah paradoks

    kesantunan pragmatik hal itu akan menimbulkan suatu kemunduran dalam logika

    perilaku percakapan. Secara definisi, “Paradoks pragmatik adalah suatu atribusi sikap

    yang bertentangan pada para partisipan dalam suatu dialog.”15Bahwa tidak seorang

    pun yang benar-benar sopan secara ideal. Telihat pada contoh: seolah-olah ada dua

    orang yang selalu belum mau berjalan melalui suatu pintu karena masing-masing terlalu

    13Kunjana Rahardi, dkk., Pragmatik Fenomena Ketidaksantunan dalam Berbahasa, (Yogyakarta: Kepel Press,

    2015),h. 162-163 14George Yule, Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 104 15DR.Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Offset Angkasa, 1990), h. 54

  • 12

    segan mendahului yang lain karena sopannya. Paradoks-paradoks perilaku yang serupa

    itu diritualisasikan dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu di mana suatu tawaran

    diulang-ulang dan ditolak berkali-kali sebelum diterima. Jadi berlangsung tawar-

    menawar untuk beberapa lama. Justru dalam praktik yang seperti inilah, kesantunan

    tidak ada benar-benar terjadi dan tidak dapat dikatakan ideal.

    1. Prinsip Kesantunan Menurut Leech

    Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual. Kaidah-

    kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-

    interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan mitra tuturnya. Selain itu, maksim juga

    disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip

    kesantunan. Prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling lengkap,

    paling mapan, dan relatif paling komprehensif telah dirumuskan oleh Leech (1983).

    Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut.

    (1) Tact maxim : minimize cost to order. Maximize benefit to other.

    (2) Generosity maxim : minimize benefit to self. Maximize cost to self.

    (3) Approbation maxim : minimize dispraise. Maximize praise of other.

    (4) Modesty maxim : minimize praise to self. Maximize dispraise of self.

    (5) Agreement maxim : minimize disagreement between self and other. Maximize

    agreement between self and other.

    (6) Sympathy maxim : minimize antiphaty between self and other. Maximize

    sympathy between self and other.16

    Maksim-maksim prinsip kesantunan yang disampaikan oleh Leech cenderung

    berpasangan sebagai berikut:

    (I) MAKSIM KEARIFAN (TACT MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi impositif dan

    komisif)

    (a) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin

    (b) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin

    16Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,

    2005), h. 59

  • 13

    (II) MAKSIM KEDERMAWANAN (GENEROSITY MAXIM) (dalam ilokusi-

    ilokusi impositif dan komisif)

    (a) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin

    (b) Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin

    (III) MAKSIM PUJIAN (APPROBATION MAXIM) (dalam ilokusi-ilokusi

    ekspresif dan asertif)

    (a) Kecamlah orang lain sesedikit mungkin

    (b) Pujilah orang lain sebanyak mungkin

    (IV) MAKSIM KERENDAHAN HATI (MODESTY MAXIM) (dalam ilokusi-

    ilokusi ekspresif dan asertif)

    (a) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin

    (b) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin

    (V) MAKSIM KESEPAKATAN (AGREEMENT MAXIM) (dalam ilokusi asertif)

    (a) Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin

    (b) Usahakan agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak

    mungkin]

    (VI) MAKSIM SIMPATI (SYMPATHY MAXIM) (dalam ilokusi asertif)

    (a) Kurangilah rasa antipasti antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin

    (b) Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain]17

    2. Strategi Kesantunan Berbahasa Menurut Brown dan Levinson

    Kesantunan sebuah tuturan juga dapat diukur dengan mempertimbangkan jauh

    dekatnya jarak sosial (social distance between speaker and hearer), jauh dekatnya

    peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (speaker and hearer relative

    power), dan tinggi rendahnya peringkat tindak tutur (degree of imposition between

    speaker and hearer). Gagasan kesantunan yang demikian ini dinyatakan oleh Brown

    dan Levinson (1987) dan pada intinya menegaskan bahwa kesantunan sebuah tuturan

    itu dapat dicermati dari ketiga parameter sosial tersebut.18 Dapat disimpulkan bahwa

    ada tiga pertimbangan: hubungan kekuasaan yang ada antara pembicara (power), jarak

    17Geoffrey Leech, Principle of Pragmatic, Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dilakukan oleh M.D.D. Oka.

    Prinsip-prinsip Pragmatik, (Jakarta: UI Press: London:Longman, 1993), h. 206-207 18Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Sosiopragmatik, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 27

  • 14

    sosial mereka (distance), dan tingkat pembebanan (ranking of imposition)

    atauketidaksopanan yang ada, terdapat pada kutipan berikut.

    “In determining the exact level of politeness that will be employed to

    mitigate an FTA, Brown and Levinson (1987: 15) propose three considerations:

    the power relationships existing between speakers, their social distance, and

    the level of impoliteness exist (see Watts' (2003: 49-53) survey of them), Brown

    and Levinson's work remains one of the more detailed and comprehensive

    treatments of politeness.”19

    Penjelasan ketiga faktor sosial tersebut adalah sebagai berikut.

    a. Kekuasaan (Power) merupakan pernyataan hubungan yang menyatakan

    seberapa besar seseorang dapat memaksa orang lain tanpa kehilangan muka.

    Didasarkan pada kedudukan asimentrik antara penutur dan lawan tutur.

    Sebagai contoh, dapat disampaikan bahwa di dalam ruang periksa sebuah

    rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi

    dibandingkan dengan seorang pasien.

    b. Jarak Sosial (Social Distance) merupakan ukuran kontak sosial antara

    penutur dan lawan tutur mengenal satu sama lain, dan bagaimana hubungan

    mereka dalam konteks. Banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur,

    jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan

    perbedaan umur antara penutur dan lawan tutur, lazimnya didapatkan bahwa

    semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan

    menjadi semakin tinggi. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya

    memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibanding dengan orang yang

    berjenis kelamin pria. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam

    masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi

    dibandingkan dengan kebanyakan orang. Demikian pula, orang-orang kota

    cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan

    masyarakat desa.

    c. Tingkat pembebanan (Ranking of Imposition) merupakan status relatif jenis

    tindak tutur di dalam situasi yang dianggap tidak terlalu mengancam

    muka.20

    19Charles F. Meyi, Introducing English Linguistics, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 62 20Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga,

    2005), h. 68-69

  • 15

    Karya Brown dan Levinson tetap menjadi salah satu pemakaian kesantunan

    yang lebih rinci dan komprehensif. Teori kesantunan berbahasa yang dipaparkan itu

    sangat berdekatan dengan konsep muka (face). Muka dalam kesantunan bahasa

    menunjukkan ungkapan-ungkapan seperti kehilangan muka, menyembunyikan muka,

    dan menyelamatkan muka. Muka pada hakikatnya menunjuk kepada harga diri

    seseorang, yang dapat dibedakan antara yang bersifat positif dan negatif, maka

    dibedakan pula antara muka positif dan muka negatif. Muka negatif menunjuk pada

    keinginan seseorang untuk dihargai keinginannya dan disetujui kehendak-

    kehendaknya. Sederhananya dapat dikatakan bahwa tindakan yang tidak santun adalah

    tindakan yang menghambat atau menghalangi kehendak seseorang.

    Brown dan Levinson menganalisis kesantunan yang mengatakan bahwa untuk

    masuk ke dalam hubungan sosial harus ada pengakuan dan menunjukkan kesadaran

    akan muka, citra diri publik, perasaan diri, serta mitra tutur yang dibicarakan. Hal itu

    disampaikan dengan kutipan berikut.

    “Brown and Levinson (1987) analysed politeness, and said that in order

    to enter into social relationships, we have to acknowledge and show an

    awareness of the face, the public self-image, the sense of self, of the people that

    we address. They said that it is a universal characteristic across cultures that

    speakers should respect each others' expectations regarding self-image, take

    account of their feelings, and avoid face threatening acts (FTAs). When FTAs

    are unavoidable, speakers can redress the threat with negative politeness

    (which does not mean being impolite!) that respects the hearer's negative face,

    the need to be independent, have freedom of action, and not be imposed on by

    others. Or they can redress the FTA with positive politeness, that attends the

    positive face, the need to be accepted and liked by others, treated as a member

    of the group, and to know one's wants are shared by others.”21

    Penutur harus menghormati harapan satu sama lain tentang citra diri,

    memperhitungkan perasaan mereka, dan menghindari tindakan yang mengancam muka

    (FTA). Dalam suatu kasus percakapan, ketika FTA tidak dapat dihindari maka penutur

    dapat memperbaiki ancaman dengan kesantunan negatif yang menghormati muka

    pendengar, kemandirian, kebebasan bertindak, dan tidak dipaksakan oleh orang lain.

    FTA juga dapat diperbaiki dengan kesantunan positif yang menghadirkan diri, dapat

    diterima dan disukai orang lain, diperlakukan sebagai anggota kelompok, dan untuk

    mengetahui keinginan seseorang. Sebagai contoh 'menghindari FTA', yakni

    menghindari mengatakan apa pun. Penutur bisa menunjukkan kepada orang-orang di

    21Joan Cutting, Pragmatics and Discourse: A resource book for students, (London: Routledge, 2002), h. 45

  • 16

    sekitar bahwa penutur mengalami kesulitan, dengan mendesah keras dan

    menggelengkan kepala, ada kemungkinan seseorang akan memperhatikan dan bertanya

    apakah penutur perlu bantuan.

    Tindakan penyelamatan muka lawan tutur adalah tindakan kesantunan yang

    pada prinsipnya ditujukan untuk mengurangi akibat yang tidak menyenangkan terhadap

    muka mitra tutur baik muka positif maupun muka negatif. Kesantunan yang ditujukan

    terhadap muka positif mitra tutur disebut kesantunan positif ‘positive politeness’,

    sedangkan kesantunan yang diarahkan untuk muka negatif mitra tutur disebut

    kesantunan negatif ‘negative politeness’. Brown dan Levinson memberi batasan

    kesantunan positif dan kesantunan negatif serta ada beberapa definisi mengenai

    kesantunan positif maupun kesantunan negatif, sebagai berikut:

    “Positive politeness is oriented toward the positive face of H, the

    positive self-image that he claims for himself. Positive politeness is approach-

    based; it “anoints” the face of the addressee by indicating that in some respects,

    S wants H’s wants (e.g. by treating him as a member of an in group, a friend, a

    person whose wants and personality traits are known and liked).”22

    Pada hakikatnya kesantunan positif ditujukan terhadap muka positif atau citra

    positif yang dimiliki oleh mitra tutur. Kesantunan positif berupa pendekatan yang

    memberikan kesan pada muka mitra tutur bahwa terhadap hal-hal tertentu penutur juga

    mempunyai keinginan yang sama dengan mitra tutur. Seperti memperlakukannya

    sebagai anggota kelompok, sahabat, seseorang yang keinginan maupun seleranya

    dikenal dan disukai. Terkadang ada kondisi di mana penutur merasa dianggap berbeda

    dengan mitra tuturnya, untuk mengungkapkan keinginan penutur kepada mitra tutur

    maka diperlukan strategi kesantunan positif.

    “Negative politeness, on the other hand, is oriented mainly toward

    partially satisfying (redressing) H’s negative face, his basic want to maintain

    claims of territory and self determination. Negative politeness, thus, is

    essentially avoidance based, and realizations of negative-politeness strategies

    consist in assurances that the speaker recognizes and respects the addressee’s

    negative-face wants and will not (or will only minimally) interfere with the

    addressee’s freedom of action.”23

    Berlawanan dengan kesantunan positif, kesantunan negatif pada hakikatnya

    ditujukan terhadap bagaimana memenuhi atau menyelamatkan sebagian muka negatif

    mitra tutur, yaitu keinginan dasar mitra tutur untuk mempertahankan apa yang dianggap

    22FX Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 41 23Ibid, h. 42

  • 17

    sebagai ketentuannya dan keyakinan dirinya. Dapat dikatakan bahwa kesantunan

    negatif pada dasarnya mengandung jaminan dari mitra tutur yang mana penutur

    mengakui dan menghormati seandainya ada tindakan yang terpaksa dilakukan dan

    sedikit mungkin melakukan pelanggaran. Penutur memahami keinginan muka negatif

    mitra tutur dan tidak akan mencampuri ataupun melanggar kebebasan bertindak mitra

    tutur.

    Jean Stilwell juga mengungkapkan definisi mengenai kesantunan positif dan

    kesantunan negatif beserta contoh singkatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan

    berikut.

    “Positive face refers to our need to be accepted and liked by others and

    our need to feel that our social group shares common goals. Positive politeness

    orients to preserving the positive face of other people. When we use positive

    politeness we use speech strategies that emphasize our solidarity with the

    hearer, such as informal pronunciation, shared dialect or slang expressions,

    nicknames, more frequent reference to speaker and hearer as we, and requests

    which are less indirect.”24

    Muka positif mengacu pada kebutuhan kita untuk diterima dan disukai oleh

    orang lain dan kebutuhan kita untuk merasa bahwa kelompok sosial kita memiliki

    tujuan bersama. Kesantunan positif mengarahkan untuk menjaga muka positif orang

    lain (mitra tutur). Ketika kita menggunakan kesantunan positif, kita seperti

    menggunakan strategi pidato yang menekankan solidaritas pembicara dengan

    pendengar (peduli dan memberi perhatian kepada pendengar), seperti pelafalan

    informal, dialek bersama atau ungkapan slang, nama panggilan, lebih sering merujuk

    pada pembicara dan pendengar ketika mengungkapkan keinginan atau permintaan yang

    kurang langsung.

    “Negative face refers to our night to independence of action and our

    need not to be imposed on by others. (Note that negative does not mean bad

    here, simply an opposite term to positive) negative politeness orients to

    preserving the negative face of other people. This is much more likely if there is

    a social distance between the speaker and hearer. When we use negative

    politeness, we use speech strategies that emphasize our deference for the

    hearer. Nicknames, slang and informal pronunciation tend to be avoided and

    requests tend to be more indirect and impersonal, often involving could you ...

    or could I ask you to ... or even referring to the hearer in the third person:

    Students are asked not to put their essays in the staff room. Negative politeness

    24Jean Stilwell Peccei, Pragmatics, (London: Routledge, 1999), h. 60

  • 18

    also involves more frequent use of other mitigating devices, expressions that

    'soften the blow', like please, possibly, might, i'm sorry but ... etc.”25

    Sedangkan muka negatif mengacu kepada kebebasan bertindak dan tidak ada

    paksaan oleh orang lain. Negatif di sini bukan berarti sesuatu hal yang buruk melainkan

    hanya istilah yang berlawanan dengan positif. Kesantunan negatif mengarahkan untuk

    melestarikan muka orang lain sebagai mitra tutur. Ini kerap terjadi bila ada jarak sosial

    antara penutur dan petutur karena ketika kita menggunakan kesantunan negatif, maka

    kita menggunakan strategi berbicara yang menekankan rasa hormat kepada pendengar

    (mitra tutur). Kata julukan, bahasa gaul, dan pengucapan informal cenderung dihindari,

    permintaan cenderung lebih tidak langsung, dan impersonal. Pada percakapan sering

    kali melibatkan Anda … atau bisakah saya meminta Anda untuk … atau bahkan

    merujuk pada pendengar sebagai orang ketiga: “Siswa diminta tidak menempatkan esai

    mereka di ruang Staf.” Kesantunan negatif juga melibatkan penggunaan segenap

    permintaan lainnya seperti ungkapan tolong, mungkin, saya minta maaf tapi… , dan

    lain-lain.

    Kesimpulan dari definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa kesantunan

    positif mengarahkan untuk menjaga citra diri seseorang sebagai anggota kelompok

    sosial yang diterima, dihargai, dan disukai. Sedangkan kesantunan negatif

    mengarahkan citra diri seseorang sebagai individu yang dapat bertindak bebas dan tidak

    bisa dipaksa. Muka negatifseseorang ialah kebutuhan untuk merdeka, memiliki

    kebebasan bertindak, dan tidak tertekan oleh orang lain. Muka positif seseorang ialah

    kebutuhan untuk dapat diterima, jika mungkin disukai oleh orang lain, diperlakukan

    sebagai anggota dari kelompok yang sama dan mengetahui bahwa keinginannya

    dimiliki bersama dengan yang lainnya. Sederhananya, kesantunan negatif ialah

    kebutuhan untuk merdeka, tindak penyelamatan muka yang diwujudkan pada muka

    negatif seseorang akan cenderung untuk menunjukkan rasa hormat, menekankan

    pentingnya minat dan waktu orang lain, dan bahkan termasuk permintaan maaf atas

    pemaksaan atau penyelaan. Sedangkan kesantunan positif ialah kebutuhan untuk

    dihubungi yang akan cenderung memperlihatkan rasa kesetia-kawanan, menandaskan

    bahwa kedua penutur menginginkan sesuatu yang sama, dan mereka memiliki tujuan

    bersama.

    25Ibid, h. 64-65

  • 19

    Contoh proses terjadinya strategi kesantunan berbahasa sebagai berikut.

    Bagaimana cara mendapatkan pena dari orang lain.

    Mengatakan sesuatu Tidak mengatakan

    sesuatu.

    (Tapi mencari-cari sesuatu dalam

    tas)

    Tercatat Tidak tercatat

    (Saya lupa membawa pena)

    Tindakan ‘bald on record’

    penyelamatan (berilah aku pena)

    wajah

    Kesantunan positif Kesantunan negatif

    (Bagaimana jika aku memakai penamu?) (Dapatkah kau meminjami pena

    kepadaku?)

    Berdasarkan dari contoh di atas, terdapat empat strategi kesantunan berbahasa

    yang dapat diketahui, yakni strategi tercatat (bald on record), tidak tercatat (off record),

    kesantunan positif, dan kesantunan negatif. Berikut penjelasannya menurut Brown dan

    Levinson yang mengatakan ada empat dasar strategi bertutur untuk menjaga muka atau

    harga diri, yaitu:

    1. Melakukan tindak tutur secara langsung atau apa adanya tanpa basa-

    basi (Bald on Record).

    Strategi langsung tanpa basa-basi adalah strategi yang lebih banyak

    digunakan di antara dua teman akrab, atau apabila penutur dalam posisi

    lebih berkuasa ketimbang lawan tuturnya. Misalnya, “Ambilkan tas di

    meja!”. Strategi ini merupakan strategi melakukan FTA untuk menyatakan

  • 20

    sesuatu dengan jelas. Alasan utama dipilihnya strategi langsung tanpa basa-

    basi karena penutur ingin melakukan FTA dengan efisiensi maksimum.26

    2. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan

    positif (positive politeness).

    Strategi kesantunan positif digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak

    terlalu mengancam muka mitra tutur, tetapi penutur tidak tega untuk

    menyatakannya dalam bentuk perintah. Strategi ini banyak digunakan di

    antara dua orang teman, kenalan, atau pihak-pihak yang sudah menjalin

    kedekatan walaupun belum terlalu akrab. Berdasarkan penjelasan Brown

    dan Levinson kesantunan positif mempunyai beberapa sub-strategi yang

    meliputi:

    a. Perhatikan H (minat, keinginan, keperluan, benda)

    b. Lebih-lebihkan (kesetujuan, simpati dengan H)

    c. Ungkapkan pengamatan tantang apa yang menjadi minat H

    d. Pakailah pemarkah identitas kesamaan kelompok. Substrategi ini terdiri

    atas (i) tutur sapa (address terms) (ii) gunakan bahasa orang dalam (in-

    group language/dialect), (iii) gunakan jargon atau slang.

    e. Carilah kesetujuan, ulangilah apa yang dikatakan S (penutur)

    f. Hindari ketidaksetujuan yang terdiri atas (i) gunakan kesetujuan “di

    bibir”; (ii) gunakan kesetujuan semu (berbohong); (iii) gunakan hedge

    (pagar)

    g. Praduga atau ciptakan dasar bersama common ground

    h. Bergurau

    i. Tekankan pengetahuan atau kepedulian S atas keinginan H

    j. Beri tawaran dan janji (tawarkan kompensasi sebagai pengganti

    keterancaman muka, terdiri atas (i) permintaan dan (ii) tawaran

    k. Bersikaplah optimistik

    l. Ikutkan S dan H ke dalam aktivitas

    m. Berikan (atau minta) alasan

    n. Tunjukkan resiprositas

    26Nurul Inayah, Strategi Kesantunan Tindak Tutur Direktif dalam Novel Orang-Orang Karya Ahmad Tohari

    dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, Diunduh di

    http://repository.uinjkt.ac.id/dspace, pada Tanggal 5 April 2019, Jam 21.30 WIB, h. 16

    http://repository.uinjkt.ac.id/dspace

  • 21

    o. Berikan sesuatu kepada H (barang, simpati, pengertian)27

    3. Melakukan tindak tutur menggunakan strategi kesantunan negatif

    (negative politeness)

    Kesantunan negatif digunakan apabila penutur menyadari adanya sebuah

    derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Hal ini bisa terjadi

    misalnya pada tindak bahasa pada orang yang belum dikenal, di antara

    atasan dan bawahan, dan orang muda dengan orang yang lebih tua. Ketika

    melakukan strategi ini, penutur mengakui dan menghormati muka negatif

    lawan tuturnya. Brown dan Levinson membagi kesantunan negatif menjadi

    beberapa sub-strategi yang meliputi:

    a. Ungkapkan secara tidak langsung atau mengungkapkan permintaan atau

    permohonan dalam bentuk pertanyaan

    b. Menggunakan pagar (hedge)

    c. Bersikaplah pesimistik atau menjadikan tuturan tidak langsung secara

    konvensional

    d. Meminimalkan keharusan, seperti (I just want to ask you if you could

    lend me a tiny bit of paper)

    e. Tunjukkan hormat

    f. Mintalah maaf

    g. Impersonalkan s dan it (I tell you that it is so)

    h. Ganti pronomina (one shouldn’t do things like that; ok, folks, let’s get

    on with it)

    i. Pemanjangan jarak (it was kind of interested in knowing if..)

    j. Ungkapkan FTA sebagai kaidah umum

    k. Nominalkan. Contoh: (a) you performed well on the examinations…; (b)

    your performing well on the examinations…; (c) your good performance

    on…28

    4. Melakukan tindak tutur tidak langsung (off-record strategies)

    Strategi tak langsung, digunakan terutama apabila ada ancaman yang lebih

    serius terhadap muka mitra tutur. Menurut Brown dan Levinson strategi ini

    27Ibid, h. 16-17 28Ibid,h. 17-18

  • 22

    merupakan strategi melakukan FTA secara tidak langsung dengan

    membiarkan lawan tutur memutuskan bagaimana menafsirkan tuturan

    penutur. Beberapa sub-strategi tidak langsung sesuai penjelasan Brown dan

    Levinson meliputi:

    a. Memberi petunjuk dengan mengemukakan alasan melakukan tindakan

    b. Mengasosiasikan petunjuk dengan menyebutkan sesuatu yang

    diasosiasikan pada tindakan yang diminta kepada lawan tutur

    c. Mempresuposisikan maksud penutur

    d. Menyatakan kurang dari sebenarnya dengan membatasi sejumlah atribut

    untuk mengimplikasikan sesuatu yang buruk

    e. Menyatakan suatu hal secara berlebihan dengan membesar-besarkan

    keadaan dari yang sebenarnya

    f. Mengulang tuturan tanpa menambah kejelasan dengan mengujarkan

    kebenaran yang paten dan penting

    g. Menggunakan pertentangan dengan mengemukakan kebenaran dan

    mendorong lawan tutur mendamaikan masalah

    h. Menyindir dengan cara menyatakan maksud secara tidak langsung dan

    berlawanan

    i. Menggunakan kiasan / metafora dengan menyembunyikan konotasi

    nyata dari tuturan yang dituturkan

    j. Menggunakan pertanyaan retorik dengan mengemukakan pertanyaan

    dari jawaban yang mengambang untuk menyatakan FTA

    k. Bermakna ganda

    l. Menyamarkan objek FTA atau pelanggaran yang dilakukan

    m. Menggeneralisasikan secara berlebihan untuk menghindari FTA dengan

    mengemukakan peraturan umum

    n. Menggantikan lawan tutur dengan mengalamatkan FTA pada seseorang

    yang tidak mungkin terancam mukanya

    o. Mengungkapkan secara tidak lengkap dengan menggunakan ellipsis.29

    Sebagai sarana untuk mendapatkan sebuah pena dapat digunakan strategi-

    strategi tersebut. Ada isyarat yang digunakan dalam mengungkapkan keinginan

    29Ibid,h.18-19

  • 23

    “meminjam pena” dengan menginformasikan daripada mengatakan. Ketika kita

    mengatakan sesuatu sebenarnya tidak perlu meminta sesuatu, karena barangkali setelah

    melakukan pencarian di dalam tas, dapat menimbulkan suatu pernyataan seperti dalam

    (1a.) atau (1b.).

    (1) a. Uh, I forgot my pen.

    (Ah, saya lupa membawa pena)

    b. Hmm, I wonder where I put my pen.

    (Hmm, saya heran, di mana saya meletakkan pena saya)

    Dalam pernyataan di atas, secara langsung tidak ditunjukkan kepada orang lain.

    orang dapat bertindak seolah-olah pernyataan itu tidak pernah didengar. Secara teknis

    tipe ini dideskripsikan sebagai tidak tercatat (off record). Pernyataan yang tidak

    tercatat mungkin berhasil dan mungkin juga tidak. Kebalikannya, kita juga dapat

    mengarahkan langsung kepada orang lain sebagai alat untuk mengatakan kebutuhan

    kita. Bentuk-bentuk pengarahan langsung ini secara teknis dideskripsikan sebagai

    pernyataan yang tercatat (bald on record) yakni suatu permintaan yang ditujukan

    secara langsung kepada orang lain. Pernyataan langsung ini terdapat dalam pemakaian

    bentuk kalimat perintah seperti dalam (2a.) atau (2b.).

    (2) a. Give me a pen.

    (Berikan aku sebuah pena)

    b. Lend me your pen.

    (Pinjamkan penamu kepadaku)

    Sedangkan strategi kesantunan positif mengarahkan penutur untuk menarik

    dan menyampaikan tujuan umum dan bahkan melibatkan hubungan persahabatan

    dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang benar-benar menggambarkan suatu

    resiko yang lebih besar bagi penutur dari penderitaan terhadap penolakan dan mungkin

    didahului dengan sedikit basa-basi. Seperti contoh berikut.

    (3) a. How about letting me use your pen?

    (Bagaimana jika Anda mengizinkan saya memakai pena Anda?)

    b. Hey, buddy, I’d appreciate it if you’d let me use your pen.

    (Hey, sobat, saya akan menghargainya jika kau mengizinkan saya

    memakai penamu)

  • 24

    Akan tetapi, sebagian besar konteks pembicaraan dalam tindakan penyelamatan

    wajah lebih umum disampaikan dengan kesantunan negatif. Bentuk paling khusus

    yang digunakan ialah pertanyaan yang mengandung kata kerja bantu yang berhubungan

    dengan perasaan seperti dalam (4a).

    (4) a. Could you lend me a pen?

    (Dapatkah Anda meminjami saya sebuah pena?)

    b. I’m sorry to brother you, but can I ask you for a pen or something?

    (Maaf saya mengganggu Anda, bolehkah saya pinjam sebuah pena?)

    c. I know you’re busy, but might I ask you if-em-if you happen to have an extra

    pen that I could, you know-eh-maybe borrow?

    (Saya tahu Anda sibuk, bolehkah saya bertanya apakah-ehm-apakah Anda

    kebetulan memiliki pena lain yang –Anda tahu-eh-yang dapat saya pinjam?)

    Penggunaan strategi ini juga menghasilkan bentuk-bentuk yang berisikan

    ungkapan-ungkapan permintaan maaf karena suatu pembebanan, tipe ini ditunjukkan

    dalam (4b). Perilaku kesopanan negatif yang lebih rinci kadang-kadang terdengar

    dalam percakapan yang diperpanjang, seringkali diikuti dengan keragu-raguan, sama

    seperti yang ditunjukkan dalam (4c). Perlu diperhatikan bahwa kesantunan negatif

    secara khusus diungkapkan dengan pertanyaan-pertanyaan.

    Pemilihan jenis ungkapan yang kurang langsung mungkin kurang jelas, dan

    umumnya lebih panjang, disertai dengan struktur yang lebih kompleks berarti bahwa

    penutur sedang menciptakan usaha yang lebih besar, dalam istilah kepedulian terhadap

    wajah (yaitu kesantunan) dari pada yang dibutuhkan secara sederhana untuk

    mendapatkan seluruh pesan utama secara efisien.30

    C. Teori Psikolingusitik

    Perkembangan pragmatik mengarah pada perkembangan kemampuan anak

    dalam menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud kepada lawan tutur. Salah

    satu bentuk yang umum dipelajari orang dalam mengkaji kemampuan pragmatik anak

    adalah dengan menganalisis percakapan yang dibuat oleh anak dengan orang dewasa

    atau anak lain. Seorang anak tidak hanya menguasai aspek fonologi, morfologi,

    sintaksis, dan semantiknya, tetapi juga harus menguasai cara agar bentuk tersebut dapat

    digunakan dalam berkomunikasi. Pengamatan terhadap fenomena perkembangan

    30George Yule, Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 109-114

  • 25

    pragmatik pada anak perlu memperhatikan konteks. Oleh karena itu, pragmatik sering

    disebut sebagai telaah kebahasaan yang terikat konteks. Dardjowidjojo menyatakan

    bahwa pada pemerolehan pragmatik beberapa hal yang perlu dikaji antara lain:

    a. Pemerolehan niat komunikatif

    Dari minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat

    komunikatifnya dengan tersenyum, menoleh jika dipanggil, menggapai jika diberi

    sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Semua itu ditemukan pada saat

    pravokalisasi. Setelah perkembangan biologisnya memungkinkan, anak mulai

    mewujudkan niat komunikatifnya dalam bentuk bunyi. Awal arah ujaran-ujaran anak

    adalah ke diri anak. Semua ujaran dikeluarkan dan diarahkan untuk kepentingan dia

    sendiri. Oleh karena itu, pada awal hidupnya anak kelihatan egois dan egosentris.

    b. Pemerolehan kemampuan percakapan

    Berkaitan dengan perkembangan percakapan, anak juga menguasai aturan-aturan yang

    ada secara bertahap. Percakapan memiliki struktur yang terdiri dari tiga komponen, (1)

    pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Secara naluri anak akan tahu kapan

    pembukaan percakapan itu terjadi. Bila orang tua menyapa, itulah tanda bahwa

    percakapan akan dimulai. Begitu juga dari pihak anak. Anak bisa memulai percakapan

    dengan menyapa atau melakukan sesuatu kepada lawan tutur. Aturan main dalam

    batang tubuh percakapan juga dikuasai secara gradual. Dalam percakapan anak,

    seringkali pasangan dampingan tidak cepat muncul karena anak tidak menanggapinya.

    Dalam hal ini, orang tua sering harus mengulangi sapaan atau pertanyaan. Pada bagian

    penutup, tidak mustahil pula bahwa pertanyaan lawan tutur tidak dijawab oleh anak

    karena anak pergi saja meninggalkan lawan tutur. Berdasarkan penelitian Pan dan Snow

    (1999:233) didapati bahwa pada umur 1 tahun 8 bulan, anak hanya menanggapi sekitar

    33% dari pertanyaan orang tua. Persentase itu naik menjadi 56,7% pada usia 2,5 tahun

    – 3 tahun. Begitu pula relevansinya, hanya sekitar 19% dari tanggapan anak yang

    relevan dengan topik yang sedang dibicarakan (Owens, 1996:275)

    c. Pengembangan piranti wacana

    Pada anak, wacana umumnya berbentuk percakapan antara anak dengan orang dewasa

    atau dengan anak lain. Keberhasilan percakapan yang dibangun ditentukan oleh

    bantuan atau dukungan oleh lawan tutur (orang tua). Pada umumnya lawan tutur

    memberikan dukungan kalimat-kalimat penyambung (Habis itu, ke mana si Kancil

    pergi?, dsb), dan yang dibicarakan adalah hal-hal yang dikenal oleh anak. Kalimat

  • 26

    penyambung bisa diawali dengan menggunakan kata penghubung yang disesuaikan

    dengan percakapan anak dan orang dewasa.

    Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling

    penting daripada perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini pada usia

    prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat, sistematis, dan

    menarik. Berkaitan dengan bahasan pragmatik, ada tujuh faktor penentu yang perlu

    dipahami anak, yaitu (1) kepada siapa berbicara, (2) untuk tujuan apa, (3) dalam

    konteks apa, (4) dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, dan (7)

    dalam peristiwa apa. Ketujuh faktor penentu komunikasi tersebut berkaitan erat dengan

    fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday, yaitu

    instrumental, regulator, interaksional, personal, imajinatif, heuristik, dan informatif.

    Sebagai perbandingan, Pinnel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi

    bahasa jika pada tingkat SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak

    menggunakan fungsi interaksional (untuk berkomunikasi) dan jarang menggunakan

    fungsi heuristik (menggunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar

    dan berbicara dalam kelompok kecil).31

    Clark dan Clark (1977: 4) menyatakan bahwa psikologi bahasa berkaitan

    dengan tiga hal utama: komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa. Dapat

    disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental

    yang dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa. Secara rinci psikolinguistik

    mempelajari empat topik utama: (a) komprehensi, yakni proses-proses mental yang

    dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan

    memahami apa yang dimaksud, (b) produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita

    yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis serta

    neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa, yakni,

    bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.32

    M. Schaerlaekens (1977) membagi fase-fase perkembangan bahasa anak dalam

    empat periode. Perbedaan fase-fase ini berdasarkan pada ciri-ciri tertentu yang khas

    pada setiap periode. Salah satu periodenya, yaitu periode diferensiasi (usia 2,5 - 5

    tahun).

    31Nuryani, S.Pd., M.A., dan Dona Aji Karunia Putra, S.Pd., M.A., Psikolinguistik, (Tangerang Selatan: Mazhab

    Ciputat, 2013), h. 136-139 32Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia, 2003), h. 7

  • 27

    Periode ini terlihat pada keterampilan anak dalam mengadakan diferensiasi

    dalam penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat. Secara garis besar ciri umum

    perkembangan bahasa pada periode ini sebagai berikut.

    1. Pada akhir periode secara garis besar telah menguasai bahasa ibunya, artinya

    hukum-hukum tatabahasa yang pokok dari orang dewasa telah dikuasai.

    2. Perkembangan fonologi boleh dikatakan telah berakhir. Mungkin masih ada

    kesukaran pengucapan konsonan yang majemuk dan sedikit kompleks.

    3. Perbendaharaan kata berkembang, baik kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa

    pengertian abstrak seperti pengertian waktu, ruang, dan kuantum mulai muncul.

    4. Kata benda dan kata kerja mulai lebih terdiferensiasi dalam pemakaiannya,

    ditandai dengan dipergunakannya kata depan, kata ganti, dan kata kerja bantu.

    5. Fungsi bahasa untuk komunikasi betul-betul mulai berfungsi, anak sudah dapat

    mengadakan konversi dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang dewasa.

    6. Persepsi anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan

    orang lain, dengan cara memberikan kritik, bertanya, menyuruh, memberi tahu dan

    lain-lain (E. Mysak, 1961).

    7. Mulai terjadi perkembangan di bidang morfologi, ditandai dengan munculnya kata

    jamak, perubahan akhiran kata benda, perubahan kata kerja.33

    D. Perkembangan Bahasa pada Anak

    Pengertian perkembangan bahasa meliputi juga perkembangan kompetensi

    komunikasi, yakni kemampuan untuk menggunakan semua keterampilan berbahasa

    manusia untuk berekspresi dan memaknai. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh

    lingkungan anak dan lingkungan sekitarnya. Interaksi dengan orang yang lebih dewasa

    atau penutur yang lebih matang memainkan peranan yang sangat penting dalam

    membantu peningkatan kemampuan anak untuk berkomunikasi. Peran perkembangan

    bahasa memainkan peranan yang signifikan dalam perkembangan sosial anak.

    Bahasa lisan juga menyediakan peranti yang diperlukan untuk representasi

    mental atau dalam istilah Vygotsky disebut “verbal mediation” (kemampuan untuk

    memberikan label pada objek dan proses yang diperlukan untuk pengembangan konsep,

    generalisasi, dan pemikiran). Kecakapan menggunakan bahasa dalam pikiran

    33Prof. Dr. Samsunuwiyati Mar’at, Psi. PsikolinguistikSuatu Pengantar, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005),

    h. 66-67

  • 28

    merupakan perkembangan kunci yang membantu anak memecahkan berbagai masalah

    baru, tidak semata-mata trial and error (coba-ralat). Perbedaan perkembangan bahasa

    anak, baik bentuk maupun strukturnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang kultural

    dan sosial tertentu.34

    Bahasa digunakan anak untuk berpikir, membentuk konsep, mengingat, dan

    memecahkan persoalan. Umumnya anak menggunakan pola kalimat subjek predikat

    (Adik makan, dan lain-lain). Anak mendahulukan sapaan Ibu, Bapak. Adapun beberapa

    hal yang memengaruhi pemerolehan bahasa pada anak, meliputi:

    1. Nature dan Nurture

    2. Kognisi

    3. Lingkungan

    4. Pengalaman-pengalaman yang penuh arti dan dapat dipahami

    Bahasa anak akan berkembang apabila anak terlibat aktif dalam percakapan,

    mendengar cerita (langsung maupun yang dibacakan), baik dalam kelompok kecil

    maupun individu, memperoleh padanan (exposure) yang mencukupi, dan mendapat

    model bicara yang baik. Kealamian pemerolehan bahasa tidak dibiarkan mengalir

    begitu saja, tetapi diusahakan sedemikian rupa sehingga anak mendapat stimulus positif

    sebanyak dan sevariatif mungkin. Dengan begitu, diharapkan anak tidak akan

    mengalami kesulitan ketika memasuki tahap pembelajaran bahasa untuk kemudian

    menjadi seseorang yang terampil berbahasa (dalam artian mengerti kesantunan

    berbahasa).

    Sebagai seorang dewasa, ada peran orang tua yang dapat mengawasi dan peka

    terhadap perkembangan berbicara dari tahap ke tahap, agar apabila terjadi gangguan

    dapat diatasi dengan segera. Pendidik di sekolah pun hendaknya dapat memberikan

    rangsangan atau stimulus yang sesuai dan tepat dalam membantu anak

    mengembangkan perkembangan berbicaranya di sekolah. Anak-anak akan lebih aktif

    berbahasa ketika memasuki kegiatan belajar tahap awal pada kelompok taman bermain.

    Pada saat ini anak mulai berinteraksi dengan teman sebayanya, guru, maupun pihak-

    pihak yang ada pada lingkungan sekolah. Dalam perkembangan komunikasi atau

    bahasa anak di prasekolah dapat dilihat berdasarkan usia anak, Chris Dukes dan Maggie

    Smith mengklasifikasikan berdasarkan usia pada hitungan bulan, sebagai berikut:

    34Dra. Lilis Madyawati, M.Si., Strategi Pengembangan Bahasa pada Anak, (Jakarta: Prenadamedia Group,

    2016), h. 41

  • 29

    a. Overview : 30 – 50 Months

    “Making choices and making friends with their peers are just two of the

    many challenges these youngsters face. Learning to become a skillful

    communicator will support children to achieve these aims. Difficulties and

    misunderstandings can occur when children do not have the language skills

    needed to support the making and building of friendships and relationships with

    their peers. Teaching young children to listen to each other is one of the

    challenges practitioners face.”35

    Anak-anak kisaran usia 2,5 – 4 tahun yang berada di prasekolah mulai belajar

    membuat pilihan dan mengenal pertemanan, yakni hanyalah dua dari banyak tantangan

    yang dihadapi anak-anak ini. Mereka juga belajar untuk menjadi komunikator yang

    terampil yang akan mendukung pencapaian tujuan dalam berbahasa. Dalam

    membangun persahabatan dan hubungan dengan teman sebaya, anak-anak akan

    mengalami kesulitan dan kesalahpahaman ketika mereka tidak memiliki keterampilan

    bahasa yang mendukung. Kerampilan itu dapat diperoleh dari pengajaran guru di

    sekolah. Mengajar anak-anak kecil untuk saling mendengarkan adalah salah satu

    tantangan yang dihadapi para tutor (guru). Ketika di sekolah peran guru akan sangat

    berpengaruh pada komunikasi anak.

    “Most children will have the ability to express their own needs using

    short phrases or sentences. This may be replaced by or accompanied by

    expressive gestures. Practitioners would and should show concern if children

    of this developmental stage are not able to do this.”36

    Pada usia ini, sebagian besar anak sudah dapat memiliki kemampuan untuk

    mengekspresikan kebutuhan mereka sendiri menggunakan frasa atau kalimat pendek.

    Hal ini biasanya terlihat pada percakapan anak-anak yang disertai dengan gerakan

    ekspresif. Guru dalam tahap ini bertugas untuk memantau perkembangan anak. Guru

    harus memperhatikan jika anak-anak dari tahap perkembangan ini tidak dapat

    melakukannya. Semua kegiatan interaksi anak di sekolah selalu ada peran guru yang

    mengarahkan dan mengevaluasi kemampuan bahasa setiap anak.

    b. Overview : 40 – 60 Months

    “Children in this developmental group are generally the top end of any

    pre-school. These children typically are keen to please the adults around them.

    Generally they respond well to praise and are always ready to have fun. They

    35Chris Dukes & Maggie Smith, Developing Pre-School Communication and Language, (Wiltshire: Cromwell

    Press, 2007) h. 51 36Ibid, h. 52

  • 30

    are beginning to listen well and have a large bank of words they can draw upon

    to express themselves and even negotiate with practitioners and parents.”37

    Pada kisaran usia 3 – 5 tahun anak-anak sudah memasuki kelas atas dari setiap

    prasekolah yang umumnya termasuk kelompok pembinaan. Anak-anak ini biasanya

    ingin menyenangkan orang dewasa di sekitar mereka. Umumnya mereka merespon

    pujian dengan baik dan selalu siap untuk bersenang-senang. Mereka mulai

    mendengarkan dengan baik dan memiliki banyak kata yang dapat mereka gunakan

    untuk mengekspresikan diri dan bahkan bernegosiasi dengan guru dan orang tua.

    Interaksi anak pada tahap ini dapat dikatakan lancar. Anak sudah mampu memahami

    pertuturan dari mitra tuturnya dan ditanggapi dengan penuh kegembiraan.

    “The spoken word can be used to gain the attention of the children and

    adults around them. The influence of older siblings and outside elements such

    as television can lead to language experimentation and may involve the use of

    words thet practitioners would rather not hear in the pre-school! Practitioners

    need to show patience and recognise that exploration of language at this stage

    of development may often involve trial and error. Feeling comfortable and

    settled in their environment allows children the opportunity to begin to build up

    their growing vocabulary and confidence as effective communicators.”38

    Kata-kata yang diucapkan anak-anak dapat digunakan untuk menarik perhatian

    temannya dan orang dewasa di sekitar mereka. Adanya pengaruh orang yang lebih

    dewasa dan unsur lain ketika berada di luar sekolah seperti televisi dapat mengarah

    pada eksperimen bahasa. Anak-anak akan mudah meniru apa yang mereka dengar

    sekalipun seharusnya bahasa itu belum layak untuk mereka ucapkan. Mungkin

    melibatkan penggunaan kata-kata yang lebih baik tidak didengarkan oleh guru di

    sekolah prasekolah kepada mereka. Guru perlu menunjukkan kesabaran dan menyadari

    bahwa eksplorasi bahasa pada tahap perkembangan ini sering melibatkan trial and

    error.Merasa nyaman dan tenang di lingkungan mereka memungkinkan anak-anak

    berkesempatan untuk mulai membangun kosakata dan kepercayaan diri mereka yang

    tumbuh sebagai komunikator yang efektif.

    Meskipun komunikasi dan bahasa anak meningkat pesat, kadang-kadang guru

    mengandaikannya tetap masih awal kemampuannya. Terkadang ada anak yang sudah

    mampu memahami lebih banyak daripada yang sebenarnya mereka lakukan. Ini sering

    dapat menyebabkan kesalahpahaman dan munculnya ketidakpatuhan. Orang dewasa

    37Ibid, h. 62 38Ibid, h. 62

  • 31

    perlu 'memeriksa' secara verbal bahwa anak-anak benar-benar mengetahui apa yang

    diharapkan dari pengajaran yang diberikan.Guru juga bekerja sama dengan orang tua

    anak.

    E. Penelitian Relevan

    Penelitian yang relevan memuat penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan

    topik penelitian yang akan dikaji. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

    terkait dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu membahas objek penelitian yang sama

    mengenai kesantun