teori kesantunan bahasa

Upload: ijodsofi

Post on 06-Feb-2018

345 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    1/49

    Horison Baru Teori Kesantunan

    Berbahasa: Membingkai yang Terserak,

    Menggugat yang Semu, Menuju

    Universalisme yang HakikiPosted onFebruary 17, 2012

    Pidato Pengukuhan Drs. E. Aminudin Aziz, M.A., Ph.D. sebagai Guru Besar dalam Bidang

    Linguistik pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), Universitas Pendidikan Indonesia, 21

    Oktober 2008

    Pidato ini kupersembahkan kepadaEma jeung Bapa

    yang mengajariku berbahasa dan berpikir

    Jazakumullaahu khairan katsiiran.

    Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa:

    Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu,

    Menuju Universalisme yang Hakiki[1]

    1. 1. Pengantar

    Kajian tentang (teori) kesantunan berbahasa banyak menarik perhatian para peneliti bahasa, budaya,

    dan psikologi sosial setelah terbit artikel Hsien Chin Hu yang berjudulThe Chinese concept of

    facepadaAmerican Anthropologist (1944). Hu menyatakan bahwa konsep wajah pada masyarakat

    Cina moderen sebenarnya berakar dari konsep tradisional yang dikembangkan oleh Kung Fu-tzu

    (Confucianism) terkait dengan ren (nilai-nilai kemanusiaan). Pada rumusan Hu digambarkan bahwa

    yang melekat pada wajah (lian atau mianzi) adalah harga diri yang diperoleh seseorang sebagai

    penghargaan dari masyarakat sekitarnya. Sebagai atribut sosial, nilai-nilai sakral wajah akan

    senantiasa dipertahankan para pemiliknya. Pada seseorang yang merasa memiliki wajah akan

    terbersit rasa malu kalau berbuat salah apalagi nista. Sebagai pinjaman, wajah dapat kapan saja

    ditarik kembali oleh masyarakat. Walaupun mengakui bahwa teori kesantunan berbahasa yang

    dikembangkannya diambil dari konsep wajah Hu pascaelaborasi oleh Goffman (1959, 1967),

    Brown&Levinson (B&L) (1987) merumuskan konsep wajah agak berbeda. Bagi B&L, wajah adalah

    http://aminudin.staf.upi.edu/2012/02/17/horison-baru-teori-kesantunan-berbahasa-membingkai-yang-terserak-menggugat-yang-semu-menuju-universalisme-yang-hakiki/http://aminudin.staf.upi.edu/2012/02/17/horison-baru-teori-kesantunan-berbahasa-membingkai-yang-terserak-menggugat-yang-semu-menuju-universalisme-yang-hakiki/http://aminudin.staf.upi.edu/2012/02/17/horison-baru-teori-kesantunan-berbahasa-membingkai-yang-terserak-menggugat-yang-semu-menuju-universalisme-yang-hakiki/http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn1http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn1http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn1http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn1http://aminudin.staf.upi.edu/2012/02/17/horison-baru-teori-kesantunan-berbahasa-membingkai-yang-terserak-menggugat-yang-semu-menuju-universalisme-yang-hakiki/
  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    2/49

    atribut pribadi yang ada pada semua masyarakat dan bersifat universal. Setiap orang dengan

    sendirinya dituntut untuk memuliakan wajahnya sendiri dan wajah anggota masyarakat lainnya.

    Menurut B&L, setiap orang memiliki wajah dan keinginan positif (positive face/want) serta wajah

    dan keinginan negatif (negative face/want).Wajah positif terkait dengan nilai-nilai solidaritas,

    ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan (camarraderri). Sementara itu, wajah negatif bermuara

    pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya

    penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu. Salah satu cara untuk menjaga nilai-nilai

    wajah tersebut adalah melalui pola komunikasi yang mengedepankan nilai-nilai kesantunan dan tidak

    saling menyerang wajah. Kedua pandangan tentang konsep wajah di atas ternyata tidak menemukan

    titik temu, sebab masing-masing berdiri pada kutub yang berbeda. Konsep wajah dari Kung Fu-tzu

    lebih memperhatikan aspek-aspek/dimensi sosial, sementara B&L lebih peduli dengan dimensi

    kemerdekaan individual. Lalu, Leech (1983) mencoba membuat kompromi melalui pandangannya

    yang menempatkan kesantunan sebagai salah satu buah kebijaksanaan sosial seorang individu. Olehkarenanya, Leech menempatkanTact Maximpada tempat yang paling tinggi di antara maksim-

    maksim yang dirumuskannya. Sayangnya, maksim-maksim dari Leech itu berlaku menurut hukum

    tautologis, sehingga secara logika akan mudah dipertanyakan kekokohan salah satu pasangan

    maksim-maksim tersebut. Dalam hal ini, Aziz (2000) menyodorkan sebuah alternatif rumusan

    konsep kesantunan berbahasa yang tidak tautologis melainkan lebih berpijak pada hukum kausalitas.

    Selain mempertimbangkanpre-event politeness dan on-the-spot politeness, model kesantunan

    berbahasa dari Azizdikenal dengan nama Prinsip Saling Tenggang Rasajuga

    mempertimbangkanpost-event politeness. Kajian lebih cermat menunjukkan bahwa prinsip

    kesantunan seperti ini ternyata dibangun berdasarkan tiga dimensi yaitu dimensi individual, sosial

    dan ilahiah/syurgawi (Aziz, 2005). Pada kesempatan Pidato Pengukuhan Guru Besar ini, akan

    ditunjukkan bagaimana ketiga dimensi tersebut saling terkait dan sebenarnya menjadi dasar dan

    sekaligus tujuan dari prinsip kesantunan berbahasa. Bahkan, apabila dikaji lebih jauh, ketiga dimensi

    tersebut memiliki landasan teologis (selain epistimologis dan ontologis) yang

    kesemestaannya/universalismenya bersifat hakiki.

    1. 2. Sebuah ilustrasi

    Perhatikanlah cuplikan dialog pendek berikut ini:

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    3/49

    1. [Di sebuah terminal angkot, di antara calo dan sopir; November 2000][2]

    A:Hy Dn, iraha Adn th sumping ti lembur?

    Hey Den, kapan Aden datang dari kampung?

    B:Alah goblog siah anjing, ti iraha sia ngalebok sakola? Kamari burit, euy!

    Ah, gila kau anjing, sejak kapan kamu makan sekolahan? Kemarin sore!

    A:Hahaha. Pdah w ceuk si goblog, manh rk lila di lemburna. Aya naon heueuh?

    Hahaha. Itu, kata si kamu mau lama [tinggal] di kampung. Memang, ada apa sih?

    B:Ah biasa w, indung budak bbja geus teu boga bekel.

    Ah biasa saja, ibunya anak-anak bilang sudah tidak punya bekal.

    A: Oh, sugan th aya naon. Manh ayeuna narik k nepi ka sor heueuh?

    Oh, dikira ada apa. Kamu hari ini mau bekerja sampai sore, kan?

    B:HeueuhIya

    Bagaimana penilaian atau komentar Anda terhadap cara A dan B berkomunikasi? Ada kemungkinan,

    sebagian Anda akan menyatakan bahwa mereka berbicara kasar, ganjil, tidak wajar, dan tidak

    menunjukkan tatakrama atau sopan santun yang semestinya dimiliki oleh orang Sunda. Anda yang

    memiliki penilaian seperti ini sangat mungkin beralasan dan memiliki keyakinan bahwa orang Sunda

    itu lemah lembut, memiliki nilai kesopansantunan yang tinggi, dan sangat beradab. Akan tetapi,

    mungkin juga ada di antara Anda yang menilai cara A dan B berkomunikasi itu sangat wajar. Dasar

    berpikirnya adalah karena masing-masing antara A dan B adalah dua sahabat dekat, hidup di

    lingkungan terminal yang seringkali jauh dari adab berbahasa santun, kecuali apabila bertutur

    dengan para (calon) penumpang, dan menduga bahwa mereka umumnya berpendidikan rendah saja.

    Tidak ada yang salah dari kedua kutub pemikiran tersebut, sebab masing-masing orang di antara kita

    http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn2http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn2http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn2http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn2
  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    4/49

    berpikir dan membuat penilaian menurut versi kita sendiri. Pertanyaan adalah: apa sesungguhnya

    yang dimaksud dengan bertutur atau berkomunikasi secara sopan dan santun itu? Apa kriteria atau

    batas-batasnya? Telah banyak kajian yang dilakukan untuk mengungkap hakikat komunikasi yang

    sopan dan santun tersebut. Sejumlah teori telah disajikan. Dukungan dan sanggahan terhadap

    masing-masing teori pun telah banyak disampaikan. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar ini, di

    hadapan sidang yang amat terhormat ini, perkenankan saya berbagi sedikit pandangan tentang

    hakikat dari dimensi kesantunan berbahasa. Gagasan yang saya sampaikan ini merupakan salah satu

    hasil kontemplasi yang dilakukan sambil merujuk kepada hasil-hasil kajianyang sesungguhnya

    belumpanjang terhadap fenomena berbahasa oleh para penuturnya sejak saya menyibukkan diri

    untuk tahu lebih banyak tentang hal ihwal linguistik.

    1. 3. Retrospeksi

    Perenungan terhadap fenomena berbahasa ini saya mulai secara serius ketika memulai karier sebagai

    (bakal calon) linguis di kampung Clayton, Australia. Ketika itu, saya memiliki kesempatan untuk

    belajar di Department of Linguistics, Monash University (Master of Arts/MA, 1994-1996, atas

    dukungan AusAID, dan Doctor of Philosophy/Ph.D., 1997-2000 atas dukungan Projek PGSM, Ditjen

    Dikti, Depdiknas RI ) . Sesungguhnya, masa-masa itu sangat sulit bagi saya dan keluarga. Terutama

    saat mengikuti pendidikan Ph.D. ini, keadaan menuntut saya untuk bekerja ekstra keras. Untuk

    memenuhi kebutuhan hidup minimal sekali pun, saya terpaksa menjadi buruh kasar di pabrik

    meubel, pabrik plastik, mengedarkan koran lokal, serta mengadu keberuntungan menjadi tukang

    bakso. Pekerjaan ini saya lakoni sampai akhirnya mendapat kesempatan menjadi tutor bahasa

    Indonesia di Department of Asian Languages and Studies serta tutor Linguistik pada Department of

    Linguistics, Monash University. Namun, justru, pekerjaan sampingan menjadi buruh pabrik dan

    menjadi tukang bakso inilah yang memberikan kesempatan sangat banyak kepada saya untuk

    semakin memahami hakikat komunikasi antarpersonal, yang di dalamnya ada muatan yang layak

    untuk dikaji terkait dengan nilai-nilai dalam zona kesantunan berbahasa[3].Adapun reformulasi danpenstrukturan pemikiran tentang fenomena dan hakikat kesantunan berbahasa ini saya lakukan lebih

    lanjut di sela-sela kegiatan mengikuti program penelitian pascadoktoral di Institute of Sociology,

    Shanghai Academy of Social Sciences (SASS), Republik Rakyat Cina[4]dalam periode Maret-

    Desember 2004 atas dukungan dana dari Asian Scholarship Foundation (ASF), Bangkok. Untuk

    http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn3http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn3http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn3http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn4http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn4http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn4http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn4http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn3
  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    5/49

    masing-masing pihak yang telah memungkinkan saya dapat mengikuti proses pembelajaran yang

    teramat berharga itu, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

    1. 4. Antara Sopan dan Santun

    Tidak selalu mudah membedakan konsep sopan dan santun dalam berbahasa dan berprilaku, sebab

    keduanya terkait amat erat dan kadang-kadang dipercaya dapat saling dipertukarkan. Walaupun

    dalam kajian linguistik kesalahpahaman dalam upaya memahami kedua konsep itu kadang-kadang

    juga muncul, kedua istilah yang telah lama memperoleh perhatian para pengkaji tersebut,sesungguhnya telah dibedakan secara lebih nyata. Istilahsopanlebih banyak digunakan oleh para

    linguis untuk merujuk kepada tindakan berbahasa guna menunjukkan rasa hormat penutur terhadap

    mitra tutur, setelah mempertimbangkan berbagai hal yang mengharuskan penutur melakukan hal itu.

    Penggunaan kata-kata sapaanBapak, Ibu, Saudaradalam Bahasa Indonesia dan kata-kata sapaan

    sejenis dalam bahasa lainnya atau undak usuk basadalam Bahasa Sunda, misalnya, adalah contoh-

    contoh cara sopan berbahasa, yang dalam istilah bahasa Inggris disebut dengan deference. Tindakan

    berbahasa seperti ini lebih banyak ditujukan untuk membahagiakan mitra tutur (face-satisfying

    act/FSA). Sementara itu, istilahsantun[5](berbahasa) (politeness) lebih banyak digunakan untuk

    mengacu pada tindak berbahasa atau komunikasi antarpersonal guna menghindari rasa malu atau

    bahkan justru dipermalukannyawajahsalah satu atau kedua pihak yang terlibat dalam komunikasi

    tersebut. Dalam pandangan Brown & Levinson (B&L) (1987), ada sejumlah tindakan yang terkait

    dengan realisasi pertuturan (baca: berbahasa) yang secara hakiki memiliki potensi untuk mengancam

    wajah (face-threatening act/FTA) baik penutur maupun mitra tutur. Sebut saja misalnya tindak

    bahasa meminta, menolak, memohon maaf, dan lain-lain. Perhatikan cuplikan dialog berikut:

    2.

    [Di sebuah kantor, di antara dua teman lama, tetapi yang seorang telah menjadi pimpinan]

    P : Jadi, gimana kira-kira? Bisagakkasih bantuan, pinjam beberapa hari aja lah?

    Q: Bukangak mau ngasih, tapi aku ada tagihan juga, mendesak euy!

    http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn5http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn5http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn5
  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    6/49

    Pada contoh b. di atas, kita melihat bahwa P dan Q masing-masing menunjukkan sebuah upaya untuk

    tidak saling menekan atau mempermalukan wajah mitra tuturnya. Penutur P, misalnya, tidak

    memaksakan keinginan untuk meminjam uang dengan mengungkapkan kalimat imperatif seperti

    Pinjami aku uang. Demikian pula penutur Q; dia tidak langsung menolak dengan mengatakan

    Tidak bisa. Alih-alih, penutur P menggunakan strategi pemagaran (hedging) gimana kira-kira

    dan bisagak yang secara hakiki tidak memiliki kekuatan memaksa, dan tentu saja keputusannya

    diserahkan kepada pertimbangan mitra tutur Q. Hal yang sama dilakukan oleh penutur Q. Dia tidak

    menggunakan strategi langsung tembak dan mengatakan Tidak bisa, melainkan menggunakan

    strategi menyandarkan alasan kepada situasi atau pihak lain yang telah membuatnya tidak bisa

    meminjamkan uang kepada P, seorang teman lamanya itu, yakni dengan mengatakan aku ada

    tagihan juga, yang diikuti oleh penjelasan tentang kondisi yang mendesak. Penggunaan ungkapan

    bukangak mau ngasih menambah bobot dan tingkat kesantunan penutur Q, sebabhal itu

    digunakan untuk menunjukkan adanya niat baik dari penutur Q. Sampai sejauh tertentu, penggunaaneuy pun menunjukkan bahwa sesungguhnya penutur Q dan mitra tuturnya P ada hubungan yang

    teramat dekat.

    Sementara itu, untuk kasus komunikasi antara A dan B pada contoh a. di atas, kita melihat bahwa

    penutur B sangat terkejut dengan cara A bertutur yang dianggap tidak biasa. Ungkapan iraha Cecep

    sumping ti lembur dirasa terlalu santun untuk digunakan pada komunikasi antara A dan B, dua

    teman dekat, di seting terminal. Oleh karena itu, penutur B langsung merespon dengan ungkapan

    yang memang sudah biasa mereka pakai dalam komunikasi sehari-hari di antara mereka. Kebiasaan

    ini dapat kita lihat dari cara penutur A merespon terhadap penutur B seperti terdapat pada tuturan

    kedua dan ketiga. Pada paparan di sini, hanya konsepsantun yang akan dibahas, sebab hal ini

    memang lebih banyak mendapat perhatian para peneliti kebahasaan, khususnya bila dikaitkan dengan

    komunikasi antarpersonal sehari-hari. Sedangkan istilah dan konsepsopantidak akan dibahas

    mengingat kaitan konsep ini dengan inti masalah penelitian yang telah penulis lakukan tidak terlalu

    erat.

    1. 5. Kajian tentang Kesantunan Berbahasa: Konsep Wajah

    Seperti dinyatakan di atas, kajian tentang (teori) kesantunan berbahasa banyak menarik perhatian

    para peneliti bahasa, budaya, dan psikologi sosial terutama setelah terbit artikel Hsien Chin Hu

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    7/49

    pada The American Anthropologist (1944). Artikel ini mengaitkan konsep kesantunan berbahasa

    dengan konsep wajah dalam bingkai nilai-nilai luhur masyarakat Cina tradisional yang ditemukan

    dalam ide-ide Kung Fu-tzu (Konghuchu/Confucianism). Hu menyatakan bahwa konsep wajahpada

    masyarakat Cina moderen berakar pada konsep tradisional Kung Fu-tzu tentangjen (hakikat

    kemanusiaan). Pada rumusan Hu digambarkan bahwa wajah (lian atau mianzi) adalah representasi

    dari kemanusiaan itu sendiri, ia terkait erat dan kuat dengan harga diri yang diperoleh seseorang

    sebagai penghargaan yang diberikan masyarakat. Sebagai atribut sosial, nilai-nilai sakral wajah akan

    senantiasa dipertahankan para pemiliknya. Sebagai pinjaman, wajah dapat kapan saja ditarik kembali

    oleh masyarakat manakala masyarakat menghendakinya, yakni ketika pembawa wajah itu sudah

    khianat terhadap amanah yang dititipkan masyarakat melalui wajahnya itu.

    Pemertahanan dan pemuliaan wajah yang dilakukan oleh seseorang senantiasa paralel dengankepentingan untuk menjaga keharmonisan sosial seluruh warga masyarakat tempat mereka hidup dan

    bergaul satu sama lain. Hal ini pula yang kemudian dielaborasi oleh Goffman (1967: 5), yang

    menyatakan bahwa

    The termfacemay be defined as the positive social value a person effectively claims for himself by

    the line others assume he has taken during a particular contact. Face is an image of self delineated in

    terms of approved social attributes albeit an image that others may share, as when a person makes

    a good showing for his profession or religion by making a good showing for himself.

    Bagi Goffman, pemahaman terhadap konsep wajah di atas sesungguhnya terkait dengan hidup rukun

    dalam bermasyarakat. Setiap anggota masyarakat akan dihadapkan pada tiga potensi terkait dengan

    wajah tersebut: mendapat wajah (in-face), salah wajah (wrong-face), dan kehilangan wajah (out of

    face). Seseorang dikatakan sedang mendapat wajahapabila apa yang dia upayakan untuk meraih

    citra diri di hadapan masyarakatnya ternyata memperoleh pengakuan dan penguatan dari warga

    masyarakat lainnya. Dalam situasi seperti ini, orang akan senantiasa memiliki rasa percaya diri dan

    penuh keyakinan, terutama ketika berinteraksi dengan orang lain. Bahkan, dia akan merasa aman dan

    nyaman ketika dia mampu menyembunyikan atau mengatasi situasi yang memungkinannya salah

    wajah sekalipun. Salah wajahakan terjadi manakala seseorang ternyata tidak mampusekalipun

    telah berupaya keras, untuk menyelaraskan nilai-nilai yang diyakininya dengan tindakan nyata

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    8/49

    yang dilakukannya. Sementara itu, seseorang dimungkinkan kehilangan wajah manakala dalam

    sebuah interaksi, ternyata nilai-nilai yang diyakininya bertentangan dengan yang diyakini dan

    dituntut oleh masyarakat sekitarnya terhadap dirinya. Dalam situasi salah wajah atau hilang wajah,

    seseorang akan menjadi tidak aman dan nyaman, merasa malu, merasa bersalah, dan secara

    emosional akan menjadi merasa (sangat) terancam. Situasi seperti ini, menurut Goffman, memiliki

    potensi yang sangat kuat dalam mengganggu kerukunan dan keharmonisan komunikasi. Upaya yang

    mesti dilakukan, menurut Goffman, adalah berinteraksi secara santun di antara masing-masing, baik

    melalui strategi atau taktik menghindar (avoidance tactic/strategy) ataupun melalui strategi atau

    taktik pembetulan (correction tactic/strategy). Strategi menghindar dilakukan dengan cara tidak

    langsung terlibat dalam suasana yang akan mengancam wajah orang lain, seperti tidak terlibat pada

    pembicaraan dalam topik yang sensitif, dan menghindari pertemuan-pertemuan yang memungkinkan

    terjadinya ancaman terhadap wajah. Sementara strategi pembetulan ditempuh ketika sebuah

    tindakan mengancam wajah orang lain telah terlanjur terjadi. Hal ini dilakukan mengingat tidak sertamertanya strategi penghindaran dapat ditempuh. Sering kali tidak tersedia cukup waktu dan

    peringatan dini yang memungkinkan seseorang dapat bersiap-siap menghindar dari situasi yang akan

    mengancam wajah tersebut, sehingga diperlukan sebuah

    corrective effort, in which the individual attempts to re-establish a satisfactory ritual state between

    her/him and the others, with the result being a ratification of the effects of the incidents he/she may

    have encountered. The ratification is expected to be able to bring any misconduct back to the line

    adopted by each participant (Aziz, 2003: 171).

    Di dalam ajaran Confucianism, wajah dinisbatkan dengan empat sifat, yakni relasional,

    komunal/sosial, hirarkis, dan moral (Jia 1997). Sifat relasional wajah terkait dengan mekanisme

    yang berlaku dalam mengatur hubungan dan perilaku antarpersonal warga masyarakat dalam

    mewujudkan keharmonisan masyarakatnya. Sifat komunal/sosial wajah didasarkan pada gagasan

    bahwa wajah adalah perisai yang dapat melindungi seseorang dari berbagai kemungkinan serangandan cercaan warga masyarakat lainnya tentang perilaku pemiliknya. Kehilangan perisai tersebut

    akan berdampak pada hilangnya wajah seseorang di mata anggota masyarakat lainnya. Sementara itu,

    wajah dikatakan bersifat hirarkis, karena realisasi penghormatan terhadap wajah (baca: harga diri)

    seseorang, seringkali didasarkan atas atribut-atribut sosial yang membeda-bedakan seseorang dengan

    lainnya, seperti faktor senioritas dalam usia, asal muasal keturunan, jabatan, harta kekayaan, dan

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    9/49

    sejenisnya. Sementara itu, wajah dikatakan berbasis moral mengingat hanya orang yang memiliki

    integritas moral yang kuatlah yang akan peduli terhadap kesakralan wajahnya (Lihat Cheng, 1986;

    Chang&Holt, 1994; Ho, 1976). Hanya orang yang bermoral yang akan peduli dengan wajah (baca:

    harga diri) yang telah diperolehnya dari masyarakat.

    Sementara itu, B&L (1987) memiliki pandangan yang relatif berbeda terhadap konsepsi wajah ini,

    sekalipun mereka menyatakan bahwa pendapatnya itu didasarkan pada hasil olah pikir terhadap

    pandangan yang dikemukakan Goffman sebelumnya. Berbeda dengan Goffman yang percaya bahwa

    wajah adalah atribut dan milik sosial, B&L melihat wajah sebagai atribut pribadi (yang hakiki), ada

    dan ditemukan pada semua masyarakat dan bersifat universal. Setiap orang memiliki hakdan

    bahkan kewajibanuntuk memuliakan wajahnya sendiri dan juga wajah anggota masyarakat

    lainnya. Menurut B&L, setiap orang memiliki dua wajah dan keinginan, yang masing-masingdisebut dengan wajah dan keinginan positif (positive face/want) serta wajah dan keinginan negatif

    (negative face/want).Wajah positif terkait dengan nilai-nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan,

    dan kesekoncoan (camaraderie). Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang

    untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap

    kemandiriannya itu. Salah satu cara untuk menjaga nilai-nilai wajah tersebut adalah melalui pola

    komunikasi yang mengedepankan nilai-nilai kesantunan dan tidak saling menyerang wajah

    (formality). Dalam kaitan ini, B&L kemudian merumuskan konsep kesantunan positif (positive

    politeness)sebagai turunan dari konsep wajah/keinginan positif, dan kesantunan negatif (negative

    politeness) sebagai turunan dari konsep wajah/keinginan negatif. Kedua konsep kesantunan ini

    dipercaya sebagai upaya untuk melengkapi konsep kesantunan yang disampaikan oleh Goffman di

    atas, yang dalam pandangan B&L hanya memberikan tuntunan pada situasiprainteraksi, yakni

    melalui strategi/taktik menghindar dan pada situasipascainteraksi, melalui strategi/taktik

    pembetulan. B&L datang dengan menawarkan gagasan bertutur santun pada saat(at the time)

    terjadinya situasi yang mengancam wajah tersebut. Dalam kaitan ini, B&L menunjukkan adanya

    empat kemungkinan strategi yang dapat ditempuh oleh seseorang dalam situasi mendesak tersebut,

    yakni:

    1) Strategi tanpa tedeng aling-aling/togmol(bald on-record strategies), digunakan untuk

    tindakan yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur. Biasanya strategi ini berformula Lakukan

    ini (Do X). Lebih banyak strategi ini digunakan di antara dua teman akrab, atau apabila penutur

    dalam posisi lebih berkuasa tinimbang mitra tuturnya. Misalnya, Ambilkan tas di meja!

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    10/49

    2) Kesantunan Positif(positive politeness). Seperti halnya strategi pertama, strategi kesantunan

    positif ini digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur, tetapi

    penutur tidak tega untuk menyatakannya dalam bentuk perintah. Strategi ini banyak digunakan di

    antara dua orang teman, kenalan, atau pihak-pihak yang sudah menjalin kedekatan, walaupun belum

    terlalu akrab.

    3) Kesantunan Negatif(negative politeness), digunakan apabila penutur menyadari adanya

    sebuah derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Hal ini bisa terjadi misalnya pada

    tindak bahasa dengan orang yang belum dikenal, di antara atasan dan bawahan, dan orang muda

    dengan yang lebih tua.

    4) Strategi tak langsung(off-record strategies), digunakan terutama apabila ada ancaman yang

    lebih serius terhadap wajah mitra tutur.

    Menurur B&L, sebelum sebuah pilihan strategi diambil, seorang penutur perlu mempertimbangkan

    keseriusan akibat yang ditimbulkan dari tindakan yang mengancam wajah mitra tuturnya itu. Dalam

    hal ini, ada tiga variabel yang secara kultural sangat sensitif, yakni (1987: 74):

    (i) jarak sosial (social distance), disimbulkan dengan D, antara penutur dengan mitra turunya,

    yang dibangun melalui hubungan simetris. Hal ini menunjukkan derajat keakraban dan

    solidaritas/pertemanan yang telah dibangun antara penutur dengan mitra tuturnya. Realisasinya

    sangat tergantung pada persepsi yang dimiliki oleh mitra tutur terhadap penutur;

    (ii) kewenangan relatif (relative power) (disimbulkan dengan P dan bersifat asimetris) yang

    dimiliki oleh penutur terhadap mitra tuturnya. Hal ini menunjukkan derajat otoritas/kekuasaan yang

    dimiliki oleh penutur untuk diterapkan terhadap mitra tuturnya;

    (iii) tingkat imposisi mutlak (absolute ranking of impositions) yang berlaku dalam budaya tertentu

    (disimbulkan dengan R). Hal ini dapat diwujudkan baik dalam bentuk pengorbanan barang dan jasa

    yang harus dikeluarkan oleh mitra tutur, hak-hak yang dimiliki oleh penutur untuk melakukan sebuah

    tindakan, dan derajat kemungkinan mitra tutur dapat menerima imposisi tersebut.

    Melalui model ini, B&L menyodorkan formula untuk menghitung derajat keseriusan atau

    keumungkinan hilangnya wajah para pihak yang terlibat dalam interaksi komunikasi (disimbulkan

    dengan Wx:

    Wx= D(S,H) + P(H,S) + Rx

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    11/49

    Sebagai variable bebas, D, P and R ditemukan pada setiap partisipan sebagai variabel yang tidak

    konstan. Signifikansi sebuah variabel dalam sebuah komunikasi sangat tergantung pada konteks

    kejadiannya, yang melibatkan penutur dengan mitranya. Seorang polisi, misalnya, dikatakan

    memiliki otoritas/kewenangan (P) penuh untuk menghentikan seorang dokter yang mengendarai

    mobilnya secara serampangan. Akan tetapi, situasi akan berbalik manakala petugas polisi tersebut

    datang ke tempat praktek dokter tadi untuk kepentingan memeriksakan kesehatan. Padahal, kita

    saksikan bahwa jarak sosial di antara keduanya tetap. Demikian pula seorang tukang cukur yang

    ketiban mencukur seorang gubernur atau presiden sekalipun. Gubernur dan presiden tidak

    memiliki kekuasaan apa-apa kecuali menuruti perintah tukang cukur ketika sedang duduk di bangku

    pesakitan tukang cukur. Padahal, dalam kesehariannya, tukang cukur tidak memiliki kekuasaan apa-

    apa bila dibandingkan dengan otoritas yang dimiliki oleh seorang gubernur atau presiden dalam

    memerintah rakyatnya.

    Demikian pula, pengaruh derajat imposisi terhadap pilihan strategi yang mungkin diambil akan

    sangat tergantung pada derajat variabel D (jarak sosial) yang dipersepsi oleh penutur dengan mitra

    tuturnya. Sebuah undangan makan malam, misalnya, akan diungkapkan secara berbeda, tergantung

    kepada siapa undangan itu disampaikan, apakah kepada teman akrab atau kepada seorang atasan.

    Berbeda dengan situasi polisi/dokter atau tukang cukur/gubernur-presiden di atas, di mana nilai Wx

    lebih ditentukan oleh variabel P, nilai Wx pada situasi undangan makan malam ini lebih banyak

    ditentukan oleh variabel D, yang secara kultural menentukan formulasi tuturan yang mesti dibuat

    untuk mengundang mitra tutur hadir dalam makan malam tersebut. B&L sangat yakin bahwa derajat

    kesantunan yang ditunjukkan oleh seorang penutur dalam mengkomunikasikan sebuat tindak bahasa

    X tergambarkan dari derajat Wxyang diperoleh.Akan tetapi, ada langkah-langkah yang dapat

    ditempuh oleh seorang penutur sebelum sebuah tindakan penyelamatan wajah (baca: bersantun

    bahasa) dilakukan, yakni:

    (a) Kecuali jika penutur ingin melakukan tindak bahasa yang mengancam wajah dengan santun(FTA) secara efisien, maka dia mesti yakin bahwa mitra tuturnya dapat memenuhi keinginannya

    secara kooperatif dan rasional, dan tindakan itu dipandang sebagai keinginan bersama.

    (b) Penutur mesti menghitung derajat ancaman dari sebuah tindakan, termasuk besarnya

    kemungkinan hilangnya wajah masing-masing pihak.

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    12/49

    (c) Penutur mesti memilih strategi yang mengakomodasi derajat kesantunan yang selaras dengan

    langkah (b) di atas. Strategi ini mesti diyakini sebagai bentuk retensi terhadap tingkat keinginan

    masing-masing pihak untuk tetap bersifat kooperatif pada saat transaksi komunikasi itu terjadi.

    (d) Penutur mesti dapat menentukan formulasi kebahasaan yang akan memenuhi tujuan akhir dari

    komunikasinya (dalam istilah Sunda dikenal dengan istilah caina herang laukna beunang).

    Perhatikan beberapa contoh dari realisasi kesantunan positif dan kesantunan negatif pada tabel

    berikut ini:

    Kesantunan Positif

    (Positive Politeness)

    KesantunanNegatif

    (Negative

    Politeness)

    Strategi TakLangsung

    (Off-record

    Strategies)

    Waduh, bajunya bagus banget tuh!

    (menunjukkan apresiasi/pujianterhadap milik/prestasi seseorang)

    Sekarang sudah baikan, kan?

    (menunjukkan empati dan solidaritas) Kita memang orang-orang hebat dan

    layak terpilih. (ungkapan inklusif,mengakui adanya kebersamaan bagisemua)

    Kita pasti bisamenyelesaikan tugasberat itu pada waktunya dan pasti

    berhasil dengan baik. (menunjukkanoptimisme)

    Hati-hati di jalan ya? (memberikanperhatian; bersifatsok akrab)

    Sayanggak

    tahu, apakah

    Ibu lebih suka jengkol ataupetai? (tidak memaksakan;memberikan pilihan)

    Maunya sihBapak berkenan

    hadir pada acara kami itu.

    Tapi,kalau terlalu sibuk,yagimana lagi. (tidak ingin

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    13/49

    mengganggu kebebasan pihaklain; menghargai komitmenpihak lain)

    Maaf ya mau nanya, kalau bis

    kota ke alun-alun lewat

    sininggak? (mengakui bahwatindakan ini mengganggu pihak

    lain)

    Keputusannya saya serahkan

    kepada Bapak saja.(memberikan kewenangan

    penuh dan kebebasan kepadapihak lain).

    Sepertinya di dalam ruang

    ini panas sekali ya?(meminta agar mitra tuturmenghidupkan kipas

    angin, membuka jendela,atau pengatur suhu

    ruang/AC)

    Tidak ada alasan untuktidak memberi maaf. Saya

    tidak sejahat yang dikiraorang lain. (ungkapan

    menerima permohonanmaaf dari mitra tutur)

    Alangkah bijaksana danterhormat Anda apabila

    tidak menambah polusi diruang ini (larangan untuk

    tidak merokok).

    Sudah beberapa bulan inisaya belum bisa

    membayar SPP anak-

    anak. (permintaan untukdipinjami uang)

    Tabel 1:

    Contoh realisasi Kesantunan Positif, Kesantunan Negatif, dan Strategi Tak Langsung

    1. 6. Konsep Sosialisme vs Individualisme tentang Wajah dan Kesantunan

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    14/49

    Dalam khazanah literatur tentang konsep kesantunan berbahasa ditemukan adanya dua pandangan

    yang sangat kontras dan berada dalam dua kutub berlawanan; pandangan yang mengedepankan

    penciptaan keharmonisan sosial (Hu, 1944; Goffman, 1959; 1967; Matsumoto, 1988; Gu, 1991; Mao,

    1994) di satu sisi, dan pandangan yang lebih menghargai kebebasan individual (Brown&Levinson,

    1987) di sisi lain. Perbedaan pandangan tersebut sangat mungkin terjadi mengingat masing-masing

    konseptor melihat sumber dan inti masalah, yakni konsep wajah, secara berbeda; walaupun keduanya

    sama-sama meyakini bahwa kesantunan berbahasa adalah upaya untuk memuliakan wajah yang

    sakral. Selain dipercaya sebagai konsep yang mendasari realisasi kesantunan berbahasa, wajah juga

    menjadi tujuan dari tindakan kesantunan berbahasa. Konsepsi dan realisasi wajah dan kesantunan

    berbahasa kelompok pertama banyak ditemukan di dalam masyarakat oriental seperti Cina, Jepang,

    Korea, dan Asia pada umumnya, sedangkan pandangan kelompok kedua lebih dominan ditemukan

    pada masyarakat Barat. Kalau kita gambarkan kedua kutub pandangan tersebut, maka kita akan

    memperoleh ilustrasi berikut ini:

    Individualisme Sosialisme

    (Brown&Levinson) (Kung Fu

    Tzu)

    Gambar 1:

    Dua kutub konsep wajah

    Sosialisme digambarkan menuju ke arah sebelah kanan (arah Timur menurut kompas) dengan

    pengertian bahwa ide itu lahir dari masyarakat Cina (ideologi Kung Fu Tzu) yang oleh para

    sosiolog/antropolog sering dikategorikan sebagai masyarakat oriental/Timur. Sementara itu, ke arah

    sebelah kiri (Barat menurut kompas) kita memperoleh ide individualisme dengan catatan bahwa ide

    itu berkembang di kalangan masyarakat Barat pada umumnya.

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    15/49

    Menurut kelompok pertama (pendukung ide sosialisme/keharmonisan sosial), upaya memuliakan dan

    mempertahankan kesakralan wajah seperti ditemukan dalam komunikasi antarpersonal bukan

    semata-mata karena (calon) penutur ingin menghargai mitra tuturnya, melainkan juga karena norma-

    norma masyarakat tempat hidupnya meniscayakan keharusan warganya agar berbuat demikian. Alih-

    alih, yakni apabila norma-norma dalam masyarakat tidak diperhatikan, dia akan memperoleh sanksi

    dari warga masyarakat lainnya; hal ini dapat berakibat pada pencabutan kesakralan wajahnya oleh

    masyarakat itu sendiri. Sementara itu, dalam pandangan kelompok kedua, wajah adalah hak milik

    individumungkin besifat sangat hakiki, bersifat universal, ditemukan di mana-mana, dan harus

    dijaga dengan baik oleh dirinya dan menjadi kewajiban bagi anggota masyarakat lainnya untuk

    memperhatikan, menghargai, dan menghormati hak-hak individu ini. Tidak dapat dipungkiri, seperti

    disampaikan pada bagian di atas tadi, pandangan kelompok pertama ini didasarkan pada ajarantradisional yang dikembangkan oleh Kung Fu Tzu (Konghuchu), yang memandang masyarakat

    secara kolektif sebagai sentral/pusatnya. Di lain pihak, kelompok kedua lebih melihat individu/ego

    pribadi sebagai sentral. Apabila kita rangkum, perbedaan kedua kutub konsep tentang wajah ini,

    maka dapat kita peroleh gambaran seperti tertera pada tabel 2 (bandingkan juga dengan pendapat

    Mao, 1994).

    Dalam ajaran Kung Fu Tzu, konsep wajah disandarkan pada konsep tentang hakikat manusia dan

    kemanusiaan itu sendiri (jen). Di dalamjen ini terkandung kehangatan dan hakikat dari makna

    sebagai manusiadan sejauh tertentu dapat berupa gejolak kegelisahan seorang manusia ideal

    yang senantiasa peduli terhadap (nasib) orang lain. Oleh karenanya, pemahaman terhadap konsep

    hakikat manusia dapat melahirkan kesadaran akan hubungan timbal balik dan saling menghargai

    sesama manusia. Puncak dari kesadaran tersebut adalah kemampuan untuk menunjukkan empati

    manusiawi dalam pergaulan keseharian (bandingkan dengan Aziz, 2000: 203).

    Konsep wajah dari Brown and Levinson

    Konsep wajah menurut ajaran Kung Fu

    Tzu

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    16/49

    1. berpusat pada aspek wajah yang

    dimiliki oleh individu,

    1. berpusat pada aspek wajah yang dimiliki

    oleh masyarakat,

    2. berusaha mengakomodasi keinginan

    dan harapan individu. Wajah diperlakukan

    sebagai bentuk keinginan,

    2. berusaha mengakomodasi keharmonisan

    perilaku individu berdasarkan penilaian

    masyarakat. Wajah diperlakukan sebagai

    tantangan normatif dalam masyarakat,

    3. terdiri dari wajah positif dan wajah

    negatif. Wajah negatif merujuk pada

    kebutuhan individu untuk bebas dari

    imposisi/tekanan eksternal.3. terdiri

    dari lian and mianzi. Mianzitidak dapat

    dipersamakan atau difahami dalam

    kaitannya dengan wajah negatif.

    Tabel 2:

    Perbandingan antara konsep wajah menurut Brown&Levinson dan Kung Fu Tzu

    Menurut ajaran Kung Fu Tzu, seperti dinyatakan dalam Cheng (1986), sosok manusia ideal

    diperoleh melalui upaya pembinaan diri, setelah mampu memahami lima jenis hubungan

    kemanusiaan, yakni berupa 1) hubungan kedekatan (relation of closeness); seperti dalam hubungan

    anak dan orang tua; 2) hubungan penghambaan (relation of righteousness); seperti dalam hubungan

    raja dengan rakyat; 3) hubungan keberlainan (relation of distinction) seperti dalam hubungan suami

    dan istri; 4) hubungan hirarkis (relation of hierarchy); seperti dalam hubungan tua dan muda; dan 5)

    hubungan kesetiaan (relation of faithfulness);seperti ditemukan dalam hubungan persahabatan. Bagi

    masyarakat Cina khususnya dan masyarakat dengan budaya oriental pada umumnya, pemahaman

    hubungan relasional seperti ini menjadi sangat penting karena hal itu akan menjadi penentu pola

    prilaku seseorang di dalam masyarakat, dan yang akan menentukan apakah interaksi warga

    masyarakat itu berujung pada keharmonisan sosial atau bahkan sebaliknya. Dipercaya bahwa pola

    hubungan relasional inilah yang membedakan konsep wajah yang diadopsi oleh masyarakat Cina

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    17/49

    khususnya dan masyarakat Asia pada umumnya dengan konsep yang diadopsi oleh masyarakat Barat

    yang justru lebih mengedepankan nilai-nilai rasional (Brown&Levinson, 1987), berorientasi

    transaksional (untung-rugi) (Scollon&Scollon, 1994), dan menjunjung individualisme kepada tempat

    tertinggi (Chang&Holt, 1994; Gu 1990; Matsumoto, 1988). Bahkan, Ho (1976: 882) menyatakan

    bahwa the Western mentality, deeply ingrained with the values of individuality, is not one which is

    favourably disposed to the idea of face, for face is never a purely individual thing (bandingkan Mao,

    1994), dan menurut Jia, konsep wajah dalam masyarakat Timur itu both the goal and the means for

    strengthening and expressing harmonisation of human relationships among men in society (1997)

    yang sasaran utamanya adalah pada the human relationshipinstead of impression management

    (Chang&Holt, 1994: 127).

    Di lain pihak, upaya pembinaan diri itu sendiri dikendalikan oleh tingkat ketaatan (xiao), kesadaranakan pentingnya nilai persaudaraan (di), kepatutan dalam bertindak dan bertutur (li), dan integritas

    moral (de). Dalam konteks ini, kesantunan berbahasa dilekatkan pada nilai li (yang kemudian

    dirumuskan sebagai limao), yang mengakomodasi konsep lian dan mianzi. Walaupun keduanya

    bermakna wajah, ada perbedaan mendasar dari kedua konsep ini.Lian menyiratkan penghargaan

    yang diberikan oleh warga masyarakat terhadap a man with a good moral reputation, selain juga

    menunjukkan the confidence of society in the integrity of egos moral character, serta it is both a

    social sanction for enforcing moral standards and an internalized sanction (Hu, 1944:45). Di sini

    kita melihat bahwa lian lebih dekat dengan konsep kewibawaan akan wajah yang dimiliki seseorang

    karena tingginya integritas moral yang dimilikinya sehingga orang lain menaruh hormat atasnya.

    Masyarakat akan menaruh rasa hormat yang tinggi kepada orang yang memiliki lian. Apabila

    kemudian orang itu melakukan pelanggaran sosial atau melakukan tindakan amoral seperti

    mengkhianati janji, berbohong, melakukan tindak kriminal, dan sebagainya, maka ia sebenarnya

    telah kehilangan lian. Karena kegiatan bermasyarakat di Cina kebanyakan berbasis kepercayaan,

    kehilangan lianmerupakan hal yang sangat mereka takuti karena konsekuensi yang akan mereka

    terima adalah kecaman sosial. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin keras mereka

    mempertahankan harga diri, dan semakin berhargalah lian(Hu 1944:47).

    Sementara itu, mianzidimaknai sebagai prestige or reputation, which is either achieved through

    getting on life or ascribed (or even imagined) by other members of ones own community (Hu

    1944:45). Bagaimanapun, mianzi merupakan prestise atau reputasi yang dicapai seseorang melalui

    kerja keras atau anugrah dari masyarakat. Walaupun nampak seperti berbeda kualitasnya,

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    18/49

    nilai lian dan mianzibagaikan sisi-sisi dari sebuah mata uang. Setiap orang dalam masyarakat akan

    menunjukkan kepeduliannya terhadap upaya pemuliaan lian dan mianzi ini, walaupun tingkatnnya

    akan relatif berbeda-beda. (Hu 1944:45). Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat adalah bahwa

    dalam masyarakat Cina diyakini bahwa kehilangan lianlebih berbahaya daripada

    kehilangan mianzikarena ketika lianhilang akan sangat sulit untuk

    mempertahankan mianzi.Kehilangan mianziberarti kehilangan prestise atau reputasi yang sudah

    dimiliki karena kegagalan tertentu atau faktor ketidakberuntungan. Konsekuensi yang terparah dari

    hilangnya mainziadalah berupashockpada kejiwaan seseorang. Orang yang memiliki sifat tipis

    muka lebih disukai oleh masyarakat Cina karena lebihsensitif terhadap opini publik dan lebih

    mudah menyesuaikan diri dengan masyarakat dibandingkan mereka yang tebal muka.

    Dalam Aziz (2005) disebutkan bahwa seorang penutur dikatakan santun atau sopan apabila ia mampumemuliakan lian dan mianzimitra tuturnya dan realisasi tindak tuturnya sesuai dengan harapan

    masyarakat padanya (bandingkan dengan Mao 1994). Di sini, nilai-nilai sosial yang dianut oleh

    masyarakat menjadi sangat penting bahkan menjadi parameter utama keberterimaan sebuah tindakan

    dan tuturan seorang warga masyarakat, mengingat keseluruhan pola tindak dan tutur seseorang akan

    harus selalu diukur oleh parameter nilai-nilai tersebut. Artinya, ketidakpedulian seseorang untuk

    mematuhi nilai-nilai kemasyarakatan tadi akan senantiasa dipandang sebagai sebuah gangguan

    terhadap keharmonisan masyarakat. Apabila hal itu terjadi, maka masyarakat akan secara kolektif

    menjatuhkan sanksi untuk mencabut rasa percaya terhadap orang tersebut, dan secara hakikat orang

    tersebut sebenarnya dapat dikatakan tidak lagi memiliki wajah di dalam masyarakat.

    Pada masyarakat Jepang, konsep konsep kesantunan dikenal dengan istilahwakimae. Di dalam

    konsep tersebut terdapat konvensi sosial yang harus difahami dan dipraktekkan oleh seorang warga

    masyarakat. Konvensi tersebut mengharuskan warga masyarakat bertutur dan bertindak sesuai

    dengan peran dan derajat sosialnya di dalam kehidupan masyarakat. Ada empat konvensi yang

    ditemukan dalam tatanan masyarakat Jepang tersebut, yakni: a) santun terhadap orang yang lebih

    tinggi derajat sosialnya, b) santun terhadap pemimpin/penguasa, c) santun terhadap orang yang lebihtua, dan d) santun dalam situasi yang formal (lihat Ide 1989). Seperti halnya konsep kesantunan

    dalam masyarakat Jepang (wakimae), konsep kesantunan dalam masyarakat Cina (limao) pun

    mensyaratkan agar para penuturnya dapat menunjukkan rasa hormatnya kepada orang lain dengan

    cara merendahkan hati dan menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah (Matsumoto 1988).

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    19/49

    Konsep kesantunan berbahasa dalam masyarakat Cina moderen dikemukakan Gu (1990). Konsep Gu

    memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan konsep kesantunan dari Leech (1983). Hanya saja,

    dalam pandangan Gu, prinsip kesantunan tidaklah bersifat regulatif bahkan menafikan hakikat moral

    dan etika yang menyertainya seperti yang diyakini oleh Leech. Justru, bagi masyarakat Cina, makna

    wajah tidaklah semata-mata merupakan hasrat psikologis yang dimiliki individual

    (Brown&Levinson 1987), tetapi lebih merupakan norma sosial. Kesantunan tidaklah semata-mata

    instrumental, yakni mengatur warga masyarakat untuk bertutur dan berprilaku menurut

    keharusannya, tetapi terlebih dari itu, kesantunan adalah norma sosial. Menurut Gu, wajah seseorang

    akan terancam bukan apabila keinginannya tidak terpenuhi, tapi apabila ia justru tidak mampu

    melihat dan memenuhi keinginan masyarakat secara keseluruhan melalui standar yang sudah

    diketahui bersama.

    Seraya mengkritisi pandangan Leech dengan Prinsip Kesantunannya (Politeness Principle), Gu

    menyatakan bahwa pandangan Leech tersebut (atau limao dalam konteks masyarakat Cina) harus

    dibaca sebagai a sanctioned belief that an individuals behaviour ought to live up to the expectations

    of respectfulness, modesty, attitudinal warmth, and refinement (1990:

    245).Respectfulness (kehormatan) mengacu pada sikap menghargai orang lain secara positif atau

    menghormati wajah dan status orang lain; modesty (kerendah-hatian) mencerminkan sikap kehati-

    hatian terhadap orang lain; attitudinal warmth (kehangatan sikap) menunjukkan perhatian dan

    keramahan pada orang lain; dan refinement (kehalus-budi-bahasaan) yaitu bersikap pada orang lain

    dengan mengikuti standar tertentu. Kegagalan untuk mematuhi prinsip kesantunan seperti itu bisa

    mendatangkan sanksi sosial.

    Apabila dicermati, konsepsi dan realisasi kesantunan berbahasa dalam masyarakat Timur didasari

    dan diorientasikan kepada upaya penyelamatan dan pemuliaan wajah individu sebagai atribut sosial

    dalam rangka pemertahanan keharmonisan sosial. Konsepsi dan realisasi seperti ini bagaimanapun

    memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Bahkan dapat kita katakan bahwa nilai-nilai dan kewajibansosial jauh melampaui hak-hak individual. Sesungguhnya, dimensi inilah yang jelas-jelas

    mewarnai seluruh diskusi tentang konsep wajah dan kesantunan berbahasa dalam masyarakat Timur.

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    20/49

    Seperti dinyatakan di atas, konsep wajah dan kesantunan berbahasa dalam masyarakat Barat pada

    umumnya lebih diwarnai dan diorientasikan pada penyelamatan dan pemuliaan wajah sebagai hak

    yang lebih melekat kepada individu daripada kepada masyarakat. Hal itulah setidaknya yang dapat

    kita fahami dari konsep yang dikemukakan oleh Brown&Levinson (B&L) (1987). Teori B&L

    menyiratkan adanya dua sentral isu, yakni terkait dengan rasionalitassebagai a means-ends

    reasoning or logic (Eelen, 2001: 3) dan wajahsebagai entitas yang memiliki dua hasrat/keinginan

    yang sering kali saling berlawanan. Di satu sisi, keinginan tersebut dapat berupa hasrat agar

    tindakannya tidak memperoleh gangguan atau hambatan pihak luar (yang oleh Brown&Levinson

    disebut dengan keinginan negatif/negative wants). Sementara itu, di sisi lain ada hasrat yang dimiliki

    seseorang agar apa yang memang diinginkannya memperoleh tanggapan yang sama dari pihak luar

    (diistilahkan dengan keinginan positif/positive wants).

    Perhatikan ungkapan yang sering kita dengar dalam percakapan informal sehari-hari berikut ini:

    1. Sorry to bother you, but can you tell me the time, please?

    2. What do you like to drink?

    Ungkapan pada contoh a. dipakai untuk bertanya tentang waktu sedangkan ungkapan contoh b.

    biasanya digunakan untuk menawari minuman kepada tamu atau seseorang yang diajak makan

    bersama di restoran. Dalam pandangan B&L, kedua contoh tersebut dikategorikan sebagai strategi

    kesantunan negatif, karena pada contoh a., penutur menyadari betul bahwa pertanyaan yang

    dikemukakannya mengancam wajah dan kebebasan mitra tutur. Menyadari hal tersebut, maka ia

    menggunakan ungkapan Sorry to bother youdan diakhiri denganplease sebagai upaya mengurangi

    gangguan ancaman yang mungkin ditimbulkan. Sementara itu, pada contoh b., penutur secara sadar

    memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk menentukan minuman yang dimauinya.

    Kedua contoh di atas, secara jelas menempatkan kebebasan individu untuk menentukan apa yang

    diinginkannya sesuai dengan hak pribadi yang dimilikinya tanpa harus dipaksa oleh pihak lain.

    Bagaimanapun, ungkapan pertanyaan oleh penutur seperti pada kedua contoh di atas tidak dapat

    dipandang sebagai bentuk idiosinkrasi seorang penutur yang serta merta dapat diungkapkan siapa

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    21/49

    saja menurut perasaan dangkalnya. Justru, ungkapan seperti itu harus dipandang sebagai sebuah

    bentuk internalisasi seorang warga dari masyarakat pertuturan terhadap nilai-nilai dan norma

    berbahasa yang harus diungkapkan ketika berkomunikasi secara wajar. Dengan kata lain, nilai-nilai

    tersebut (yang dalam hal ini berupa penghargaan terhadap kebebasan individual) sudah terfahamkan

    dengan baik oleh penutur. Kalau kita kemudian menemukan fakta bahwa mayoritas anggota

    masyarakat pertuturan menggunakan pola ungkapan seperti pada kedua contoh di atas, yakni strategi

    kesantunan negatif, untuk realisasi pertuturan lainnya, maka artinya nilai dasar dari strategi

    kesantunan negatif tadi sudah menjadi norma yang konvensional dari masyarakat tersebut. Sejumlah

    hasil riset mutakhir tentang realisasi kesantunan berbahasa dalam masyarakat berbudaya Barat (lihat

    misalnya Barnlund&Araki, 1985; Barnlund&Yoshioka, 1990; Chen, 1993; Kasper&Blum-Kulka,

    1993) menujukkan bukti bahwa secara umum para responden lebih memilih strategi kesantunan

    negatif tinimbang kesantunan positif dalam situasi yang (lebih) formal bahkan dalam situasi yang

    kasual sekali pun. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa memang strategi kesantunannegatifyang hakikatnya menempatkan kebebasan individual (individualisme) pada tempat yang

    sangat pentingadalah norma dari masyarakat berbudaya Barat.

    1. 7. Upaya Kompromi

    Kedua pandangan tentang konsep wajah di atasdan teori kesantunan yang diturunkannya

    ternyata tidak menemukan titik temu, sebab masing-masing berdiri pada kutub yang berbeda. Konsep

    wajah dari Kung Fu-tzu lebih memperhatikan aspek-aspek sosial, sementara B&L lebih peduli

    dengan kemerdekaan individual. Perbedaan pandangan ini memunculkan spekulasi apakah nilai-nilai

    dan norma sosialisme yang perlu lebih dikedepankan atau justru hak-hak dasar individu yang mesti

    lebih diperhatikan, mengingat kesantunan hakikatnya adalah realisasi dari komunikasi antarpribadi.

    Dalam kaitan ini, Leech muncul dengan gagasan bahwa sesungguhnya kesantunan berbahasa adalah

    salah satu wujud dari kebijakan sosial individu yang diperoleh dari hasil pergumulan interaksi

    sosialnya di dalam masyarakat. Berpijak pada pemikiran seperti itu, maka Leech menempatkan Tact

    Maximpada tempat yang paling tinggi di antara enam maksim yang dirumuskannya. Keenammaksim itu adalah (1983: 132):

    (i) Maksim kebijaksanaan (Tact maxim)

    (a) Minimalkan kerugian kepada orang lain

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    22/49

    (b) Maksimalkan keuntungan bagi orang lain

    (ii) Maksim kemurah-hatian (Generosity maxim)

    (a) Minimalkan keuntungan untuk diri sendiri

    (b) Maksimalkan kerugian untuk diri sendiri

    (iii) Maksim Pujian (Approbation maxim)

    (a) Minimalkan cacian kepada orang lain

    (b) Maksimalkan cacian kepada diri sendiri

    (iv) Maksim Kesederhanaan (Modesty maxim)

    (a) Minimalkan pujian untuk diri sendiri

    (b) Maksimalkan cacian untuk diri sendiri

    (v) Maksim Kesepahaman (Agreement maxim)

    (a) Minimalkan ketidaksepahaman antara diri sendiri dan orang lain

    (b) Maksimalkan kesepahaman antara diri sendiri dan orang lain

    (vi) Maksim Simpati (Sympathy maxim)

    (a) Minimalkan antipati antara diri sendiri dengan orang lain

    (b) Maksimalkan simpati antara diri sendiri dengan orang lain

    Keenam maksim di atas ditempatkan Leech dalam satu kawasan komunikasi sebagai retorika

    antarpersonal (interpersonal rhetoric), sementara prinsip kesantunannya sendiri (Politeness

    Principle/PP) ditempatkan setara dengan Prinsip Kerja Sama dari Grice (1975). Sayangnya, seperti

    dapat dilihat di atas, maksim-maksim dari Leech itu berlaku menurut hukum tautologis, sehingga

    secara logika akan mudah dipertanyakan kekokohan salah satu pasangan maksim-maksim tersebut.

    Layaknya sebuah hukum tautologis, manakala sebuah postulat sudah disebutkan dalam rumusan

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    23/49

    yang berskala positif, misalnya, maka lawan dari postulat itu sudah pasti yang kebalikannya, yakni

    negatif. Apabila sebuah premis pernyataan menunjukkan keharusan agar seseorang melangkah ke

    arah Barat, misalnya, maka artinya dalam pernyataan tersebut tersirat laranganuntuk berjalan

    menuju arah Timur sebagai arah berlawanan. Logika tautologis seperti ini tentu saja menjadi lemah

    landasan berpikirnya. Dalam Generosity maxim, misalnya, seorang penutur diharuskan (disarankan?)

    untuk meminimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Kalau keuntungan pribadi harus minimal

    (dibuat sekecil-kecilnya), artinya yang harus dimaksimalkan adalah keuntungan untuk orang lain.

    Artinya, yang bersangkutan, apabila mengikuti maksim dari Leech tadi, juga memiliki keharusan

    untuk memperbesar kerugian untuk diri sendiri. Dengan demikian, sesungguhnya maksim-maksim

    yang dirumuskan Leech di atas cukup hanya dalam salah satu dari kedua rumusan butir (a) atau (b).

    Bahkan, maksim (1) dan (ii) dan maksim (iii) dan (iv) nampak seperti dipaksakan; isi dari masing-

    masing pasangan maksim (i) + (ii) dan (iii) + (iv) dapat digabungkan masing-masing menjadi satu

    maksim saja. Ini tersirat dalam pernyataan Leech sendiri, yang menyatakan bahwa maksim (i) dan(ii) terealisasikan dalam tindak tutur impositif dan komisif, sedangkan maksim (iii) dan (iv) dalam

    ekspresif dan asertif. Dengan demikian, sebanyak-banyaknya hanya akan diperoleh empat maksim

    saja.

    1. 8. Dimensi lain

    Dua dimensi dari konsep wajah dan kesantunan berbahasa sudah dikemukakan di atas, yakni dimensi

    yang lebih menjaga keharmonisan sosial (dalam faham/dimensi sosialisme) dan dimensi yang lebih

    menghargai kebebasan individual (dalam faham/dimensi individualisme). Walaupun kompromi

    untuk mendapatkan rumusan yang lebih baik daripada cara pandang parsial seperti itu telah

    dilakukan, nampaknya titik temu agak sulit dicapai. Hal ini mengingat dasar pijakan kedua

    pandangan tersebut memang berbeda, walaupun orientasi akhirnya mungkin saja bisa sama, yakni

    pemertahanan dan pemuliaan wajah bersama (penutur dan mitra tutur).

    Memang benar bahwa Goffman menawarkan strategi penghindaran (avoidance strategy) dari

    interaksi komunikasi yang berpotensi menimbulkan konflik dan berakibat menghilangkan wajah

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    24/49

    pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi komunikasi tersebut. Selain itu, ada juga strategi

    pembetulan apabila konflik dan hilang wajah telah terlanjur terjadi. Di sisi lain, tawaran dari B&L

    lebih kepada upaya bertindak santun ketika sebuahface-threatening act (FTA) sedang terjadi.

    Bagaimanapun, seperti dinyatakan dalam Aziz (2003), Goffman telah berhasil menunjukkan

    bagaimana seseorang akan berhasil mengelola wajahnya. Akan tetapi, mengutip Lerner, bagi Aziz,

    hal tersebut tidak memuaskan, mengingat he has [unfortunately] not given us much of a road map,

    let alone a topographical rendering of the terrain dan kehadiran Brown and Levinson adalah untuk

    menawarkan a useful road map for [the] speech acts (1996: 303).

    Namun demikian, keberadaan konsep Goffman yang hanya mempertimbangkan pemuliaan wajah

    berdasarkan strategi penghindaran dan/atau pembetulan adalah kenyataan dari sebuah teori yang

    tidak lengkap. Hal ini karena tidak mungkin semua kondisi yang mengharuskan seseorangberinteraksi dengan pihak lain justru dipaksa dihindari. Apabila hal tersebut kemudian dipaksakan,

    maka yang muncul adalah kemunafikan seseorang karena tidak berani menghadapi kenyataan.

    Sedangkan strategi pembetulan sebenarnya hanya merupakan tindakan yang terpaksa dilakukan

    sebagai dampak dari tindakan sebelumnya yang tidak hati-hati. Sementara itu, kemunculan B&L

    yang menawarkan strategi yang lebih on-the-spottidak dapat dianggap sebagai pelengkap yang

    sempurna. Memang benar bahwa seorang penutur harus mampu menjaga kesan baik (baca: santun)

    saat komunikasi terjadi. Akan tetapi, hal itu bagaimanapun belumlah cukup, mengingat situasi dalam

    komunikasi itu ada momen awal dan momen akhir. Dengan demikian, upaya menunjukkan

    kesantunan yang hanya dilakukan di tengah-tengah komunikasi, sesungguhnya, hanya menyentuh

    sebagian kecil saja dari keseluruhan persoalan komunikasi itu sendiri. Artinya, akan lebih banyak

    persoalan yang belum tersentuh apabila seorang penutur justru hanya melihat dan

    mempertimbangkan sebagian kecil persoalannya tersebut.

    Mengingat kondisi di atas, maka Aziz (2000; 2005; 2007) yakin benar bahwa rumusan sebuah teori

    kesantunan berbahasa yang lebih komprehensif haruslah memuat setidak-tidaknya tiga jenis

    kesantunan, yakni kesantunan sebelum terjadinya transaksi komunikasi (pre-communicativepoliteness), kesantunan pada saat terjadinya transaksi komunikasi (on-the-spot politeness), dan

    kesantunan pascatransaksi komunikasi (post communicative politeness). Beranjak dari pemikiran

    seperti itu, maka Aziz merumuskan teori kesantunan yang disebut dengan Prinsip Saling Tenggang

    Rasa (PSTR) atauPrinciple of Mutual Consideration(PMC), yang tidak tautologis melainkan lebih

    berpijak pada hukum kausalitas. Rumusan itu dikemas dalam pernyataan prinsip sebagai berikut:

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    25/49

    Terhadap mitra tutur Anda, gunakanlah tuturan yang Anda sendiri pasti akan senang mendengarnya

    apabila tuturan tersebut digunakan orang lain kepada Anda

    yang makna atau pengertian sebaliknya (mafhum mukhalafahnya) adalah

    Terhadap mitra tutur Anda, jangan gunakan tuturan yang Anda sendiri pasti tidak akan

    menyukainya apabila tuturan tersebut digunakan orang lain kepada Anda

    PSTR/PMC dibangun di atas empat buah nilai dasar, yakni:

    a) Daya sanjung dan daya luka(harm and favour potentials)

    Nilai dasar ini menyiratkan bahwa sebuah tuturan, sekecil apapun ia, memiliki potensi untuk

    membuat mitra tutur akan merasa tersanjung atau sebaliknya, terluka. Tidak ada tuturan yang bebas

    nilai, termasuk tindak tutur ekspresif seperti Selamat pagiatau tindak tutur eksklamatifsepertiAduh! sekalipun. Dengan demikian, nilai dasar yang pertama ini menyiratkan perlunya unsur

    kehati-hatian dalam bertutur.

    b) Prinsip berbagi rasa(shared-feeling principle)

    Nilai dasar kedua ini mengingatkan penutur akan keharusan untuk senantiasa memperhatikan

    perasaan mitra tuturnya seperti halnya dia memperhatikan perasannya sendiri. Dengan cara seperti

    ini, penutur akan dibimbing untuk memiliki perasaan yang halus, baik terhadap dirinya sendiri,

    apatah lagi terhadap orang lain. Bagaimanapun, sesungguhnya nilai dasar kedua inilah yang menjadi

    titik sentral dari rumusan prinsip kesantunan berbahasa PSTR.

    c) Prinsip kesan pertama(prima facie principle)

    Evaluasi yang diberikan oleh mitra tutur terhadap seorang penutur, apakah dia kooperatif, santun,

    atau bahkan sebaliknya, sangat ditentukan oleh kesan awal yang diperoleh mitra tutur ketika mereka

    berinteraksi untuk pertama kalinya. Hal ini menyiratkan perlunya kehati-hatian dari setiap penutur

    dalam berinteraksi untuk pertama kalinya. Ini akan menentukan tingkat keberhasilan komunikasi

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    26/49

    pada tahap berikutnya. Apabila seorang mitra tutur memperoleh kesan kurang baik tentang penutur,

    maka sangat mungkin dia memiliki keengganan untuk melanjutkan komunikasi. Dan ini membawa

    konsekuensi terhadap tercapainya prinsip yang keempat di bawah ini.

    d) Prinsip keberlanjutan(continuity principle)

    Melalui prinsip ini, penutur diingatkan tentang keberlanjutan komunikasi tahap berikutnya yang

    justru sangat tergantung pada keberhasilan menjamin kenyamanan komunikasi saat ini. Oleh

    karenanya, perlu ada upaya untuk membangun rasa saling percaya (mutual trust) di antara penutur

    dengan mitra tutur.

    Tidak seperti PP dari Leech, PMC dirumuskan tidak dalam logika tautologis, melainkan lebih

    bertumpu pada hukum kausalitas. Artinya, sebuah keputusan yang diambil seorang penutur untukmelakukan (atau tidak melakukan) tindakan komunikasi dengan memilih/menggunakan ungkapan

    tertentu dimulai dari pertimbangan yang bersangkutan akan muatan dari ungkapan tersebut. Apabila

    orang tersebut sejak awal sudah berniat untuk melakukan tindakan komunikasi yang (tak) santun,

    maka akibat yang muncul adalah ke(tak)santunan yang berkepanjangan. Kita mungkin akan berpikir

    bahwa kesantunan, sesungguhnya, adalah kejadian yang kasat mata dan tersimak oleh mitra tutur

    (bandingkan dengan Fraser 1980) pada saat transaksi komunikasi terjadi (on-the-spot politeness),

    sehingga abai terhadap pratindakan dan pascatindakan komunikasi itu sendiri. Hal ini tentu saja

    berbeda dengan konsep kesantunan yang dikemukakan oleh Goffman (1967) yang hanya

    mempertimbangkan strategi pengingkaran (avoidance strategy) yang dilakukansebelum tindakan

    transaksi komunikasi terjadi dan strategi pembetulan (correction strategy) yang dilakukan setelah

    transaksi komunikasi tak santun terjadi dan berbeda pula dengan pendapat B&L yang lebih bertumpu

    pada upaya bertindak santun pada saat transaksi komunikasi sedang terjadi.

    Kalau kita amati secara cermat, prinsip dan nilai-nilai yang dikandung dalam PMC tidak hanya

    memiliki dimensi individual dan sosial. Dimensi individual dapat ditemukan pada adanya prinsip

    yang mengharuskan setiap penutur untuk mempertimbangkan perasaan mitra tutur (shared- feelingprinciple). Di satu pihak, penutur memiliki kebebasan untuk membuat tuturan yang dia kehendaki,

    tetapi di lain pihak juga mitra tutur adalah pihak yang juga memiliki kebebasan untuk tidak

    diganggu. Oleh karenanya, penutur perlu mempertimbangkan dimensi kebebasan individu ini, dan di

    sinilah dimensi penghargaan terhadap kebebasan individu dari konsep PMC nampak jelas. Dimensi

    sosial dari PMC sesungguhnya merupakan dampak dari dipenuhi dan difahaminya nilai-nilai dan

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    27/49

    prinsip dalam PMC oleh anggota sebuah masyarakat pertuturan. Artinya, dimensi sosial berupa

    keharmonisan di antara seluruh warga masyarakat akan dijamin terwujud apabila setiap individu

    memahami pentingnya nilai dan prinsip dalam PMC itu. Inilah logika dan hukum kausalitas kedua

    dari PMC.

    Dari paparan di atas, kita dapat memahami bahwa tujuan bertutur dan bertindak santun adalah tidak

    semata-mata menciptakan keharmonisan sosial dan menjunjung nilai-nilai kebebasan individual.

    Lebih dari itu, sebenarnya ada dimensi lain yang muncul (atau dimunculkan) dari prilaku santun itu,

    yakni untuk mewujudkan tujuan hakiki sebuah prilaku santun, yakni kepuasan ilahiyah/syurgawi.

    Dengan mengikuti pemikiran Kung Fu Tzu tentang kesantunan berbahasa yang lebih sosialis, maka

    tatanan kehidupan sosial akan relatif terjaga. Dalam situasi seperti ini, maka kepuasan sosial dicapai,

    sementara hak-hak dan kebebasan individu dikesampingkan. Sebaliknya, apabila penghargaanterhadap kebebasan individu terlalu ditonjolkan, maka yang akan tercapai hanyalah kepuasan

    individual, sedangkan (kehidupan dan) interaksi komunikasi terasa sangat egoistik. Dengan

    memperhatikan hal tersebut, maka PMC juga memuat prinsip yang mempertimbangkan pentingnya

    kelanggengan (continuity principle) kesan santun di dalam pandangan mitra tutur khususnya dan

    warga masyarakat pada umumnya. Kelanggengan ini muncul dari adanya niat yang mengawali

    sebuah tindakan/transaksi komunikasi.

    Menilik empat subprinsip/nilai yang ditawarkan di atas, dan dengan asumsi bahwa sebuah tindak

    komunikasi itu memiliki momen awal, tengah, dan momen akhir, maka kita kini dapat menengok

    landasan teologis dari keempat subprinsip PSTR di atas. Upaya ini dilakukan untuk menunjukkan

    esensi dan benang merah dari PSTR ini dalam kedudukan dan targetnya mengetengahkan konsep

    kesantunan berbahasa dengan ciri universalisme yang hakiki. Hal ini tentu saja dengan asumsi bahwa

    nilai-nilai teologis itu sendiri memang memiliki sifat-sifat universalisme hakiki itu. Selain itu, dapat

    ditegaskan di sini, upaya melandaskan sub-subprinsip PSTR di atas kepada dimensi teologis ini

    akhirnya dilakukan sebagai bentuk kepasrahan (baca: tawakkal) penulis setelah proses analisis untuk

    mencari nilai-nilai hakiki terhadap prinsip-prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan parapeneliti bidang ini tidak memberikan kepuasan dan hanya menemukan jalan buntu. Yang ditemukan

    adalah ketidakajegan dan nisbinya seluruh prinsip yang dicoba diketengahkan itu. Dengan demikian,

    upaya terakhir ini dapat penulis anggap sebagai keberhasilan menemukan air di tengah padang pasir

    untuk memenuhi dahaga berkepanjangan selama mencari dan merumuskan makna universlisme

    hakiki ini. Insya Allah.

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    28/49

    Pertama, subprinsip daya luka dan daya sanjung. Sebagai dinyatakan di atas, subprinsip ini akan

    mengawali sebuah niat untuk berinteraksi dalam komunikasi. Dengan mengingat bahwa seluruh

    tuturan yang keluar dari mulut seorang penutur itu memiliki daya luka dan daya sanjung, maka ia

    akan berhati-hati dengan tuturannya itu. Sabda Rasulullah SAW terkait dengan hal ini adalah

    Artinya: Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik, atau

    (jika tidak bisa) maka diamlah.HR Muttafaq alaih dari Abi Hurairah ra

    Bagaimanapun, hadits di atas merupakan peringatan yang sangat keras terhadap seluruh manusia

    yang ingin termasuk kelompok beriman kepada Allah dan hari kiamat. Dua alternatif yang diberikan

    Rasulullah SAW di atas adalah sangat pasti: berbicara yang baik-baik saja (dengan mafhum

    mukhalafah tidak boleh berbicara yang tidak baik)ATAU tetap diam saja. Bagian pertama dari

    strategi Rasulullah ini secara nyata berlawanan dengan teori yang dikemukakan oleh Goffman di

    atas, yang menyebutkan pilihan strategi menghindar dari situasi komunikasi yang berpotensi

    menimbulkan konflik. Teori Goffman ini secara lebih jauh berlawanan dengan hakikat manusia

    sebagai makhluk yang bernaluri komunikatif. Dengan menyarankan seseorang untuk menghindar,

    artinya sama dengan mencegah seseorang dari interaksi komunikasi. Apabila hal ini justru yang

    dilakukan, maka bukan hal yang tidak mungkin ia akan menjadi manusia yang terisolir dari

    komunitasnya. Ini adalah kondisi yang tidak sejalan dengan hakikat manusia itu sendiri sebagai

    makhluk sosial. Sementara itu, Rasulullah menyuruh DIAM sebagai alternatif kedua, yakni sebuah

    pilihan yang boleh diambil apabila berbicara yang baik tidak bisa dilakukan. Hal ini mengisyaratkan

    adanya keharusan bagi setiap orang yang akan berkomunikasi untuk senantiasa memformulasikan

    setiap tuturan yang akan diujarkannya menjadi sesuatu yang baik. Ini baru akan terjadi manakala ia

    ingat bahwa dalam tuturan itu ada potensi/daya luka dan daya sanjung tersebut.

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    29/49

    Kita pun dapat menemukan landasan teologis dari subprinsip pertama ini pada hadits Nabi SAW

    berikut

    Artinya: Aku bertanya pada Rasulullah saw, Siapakah orang Islam yang paling utama? Beliau

    menjawab, Orang-orang Islam yang orang lain merasa selamat dari lisan dan tangannya. HR

    Muttafaq alaih dar Abi Musa ra

    Kedua, subprinsip berbagi rasa. Pemahaman terhadap dan realisasi dari subprinsip ini merupakan

    kelanjutan dari subprinsip pertama, yaitu setelah seseorang memahami potensi yang dimiliki setiap

    ujaran yang meluncur dari mulutnya. Dengan mempertimbangkan potensi tersebut, maka ia akan

    berupaya memformulasikan tuturannya kepada orang lain agar sama-enak-terasanya dengan yang

    diharapkan akan diterimanya dari orang lain. Di sini nampak bahwa subprinsip kedua ini merupakaninti dari PSTR, sebab memahami untuk kemudian merealisasikan kaidahmenenggang rasa orang

    lainseperti halnya menenggang diri sendiriadalah upaya penyatuan orang lain terhadap diri

    sendiri. Artinya, apabila orang lain sudah kita pandang sebagaimana kita memandang diri sendiri,

    maka ia akan kita perlakukan sebaik semulia ketika kita memperlakukan diri kita sendiri. Landasan

    untuk subprinsip ini, misalnya, dapat kita temukan pada hadits Nabi SAW berikut

    Laa yuminuahadukum hatta yuhibbu l i akhi ihi kamaa yuhibbu li nafsih

    Artinya: Tidaklah seseorang dikatakan beriman sebelum dia mencintai orang lain sebagaimana dia

    mencintai dirinya sendiri (HR Muttafaq Alaih)

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    30/49

    Perhatikanlah struktur ungkapan Rasulullah SAW di atas, yang secara nyata lebih mendahulukan

    pengungkapan tentang orang lain ketimbang pengungkapan untuk diri sendiri. Alih-alih menyatakan

    berita berisi perintah untuk mencintai diri sendiri pada awal ungkapan, beliau lebih menonjolkan

    kabar keharusan agar ummatnya berupaya mencintai orang lain. Memang benar bahwa sejumlah ahli

    hadits menyatakan perlunya kehati-hatian dalam menyikapi hadits ini agar kita terhindar dari

    melabeli orang lain sebagai kelompok manusia yang tidak beriman gara-gara mereka tidak

    menunjukkan cinta kepada orang lain sebagaimana mereka mencintai dirinya sendiri. Sekalipun

    demikian, para ahli hadits bersepakat bahwa kesempurnaan iman seseorang belum akan tercapai

    manakala dia belum mampu mencintai, membanggakan, dan memperlakukan orang lain dengan

    sebaik-baiknya seperti ia mencintai, membanggakan, dan memperlakukan dirinya sendiri. Jadi,

    dalam hal ini, kita tidak berbicara ketiadaan iman melainkan kesempurnaan iman; masih ada iman

    pada orang-orang yang tidak menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada orang lain itu, namun iman

    mereka tidak sempurna. Padahal, setiap manusia (beriman) pasti memiliki keinginan untuk meraihkesempurnaan iman yang diyakininya. Maka, beranalogi terhadap perintah Allah Yang Maha Agung

    agar setiap orang masuk ke dalam Islam secara paripurna (al Baqarah: 208), di sini kita pun dapat

    beranalogi tentang mutlaknya berjuang untuk memiliki iman yang paripurna pula.

    Ketiga, subprinsip kesan pertama. Subprinsip ini sesungguhnya terkait dengan aktualisasi riil tuturan

    yang dibuat pertama kali oleh seorang penutur. Diyakini bahwa tuturan pertama ini akan memiliki

    kesan yang sangat kuat dalam diri dan ingatan mitra tutur, dan oleh karenanya perlu memperoleh

    perhatian khusus dari penutur. Tuturan ini akan menentukan tingkat kesiapan mitra tutur untuk

    melanjutkan interaksi komunikasi dengan penutur pertama tadi (lihat penjelasan tentang subprinsip

    keberlanjutan di bawah).

    Kalau kita tengok sejarah perkembangan penyebaran agama-agama besar seperti Islam, Kristen,

    Budha, Hindu, Konghucu, dan lain sebagianya, dapat diketahui bahwa keberhasilan penyebarannya

    sangat ditentukan oleh kesan pertama yang diperoleh oleh (calon) ummat pengikutnya tentangkarakter mulia para pembawa ajaran tersebut. Secara khusus di sini dapat dikemukakan bahwa Nabi

    Muhammad SAW telah berhasil mengubah peradaban dunia dan meyakinkan ummat manusia sejagat

    tentang kebenaran ajaran yang dibawanya dalam waktu yang teramat singkat (23 tahun) adalah

    karena sejak awal manusia percaya akan kejujurannya dan karakternya yang mulia[6].Perhatikan dua

    ayat berikut:

    http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn6http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn6http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn6http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn6
  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    31/49

    Wainnaka laalaakhukuqin adhiim

    Artinya: Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung (al Qalam: 4)

    Walau kunta fadh-dhan ghaliidlal qalbi, lanfadl-dluu min haulik

    Artinya: Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

    sekelilingmu (Ali Imran: 159)

    Kita juga dapat menemukan pengakuan seorang tokoh besar suku Quraisy, Abu Jahal, tentang

    kemuliaan karakter Rasulullah SAW ini pada kisah yang diriwayatkan Ibnu Jarir berikut ini. Beliau

    bertutur: Tatkala terjadi peperangan Badar, berhadapanlah empat mata di antara al-Akhnas dengan

    Abu Jahal. Lalu berkatalah al-Akhnas: Hai Abu Hakam, katakanlah kepadaku betapa sebenarnya

    Muhammad itu, apakah dia seorang yang benar atau seorang pendusta? Katakanlah yang sebenarnya.

    Di sini tidak ada orang Quraisy selain kita berdua yang akan mendengar percakapan kita ini! Maka

    berkatalah Abu Jahal: Bagaimana engkau ini! Demi Allah, sesungguhnya Muhammad itu seorang

    yang benar. Sedikit pun Muhammad itu tidak berdusta. Tetapi kalau keturunan Quraisy telah

    memegang bendera di medan perang, dan mereka pula yang memberi minum orang haji dan mereka

    yang memegang kunci Kabah, sekarang ditambah lagi, dari kalangan mereka pula timbul nubuwwat

    (kenabian), apa sisanya yang tinggal untuk orang Quraisy? (Hamka, 1983: 252)[7].

    Keempat, subprinsip keberlanjutan. Di atas disebutkan bahwa subprinsip kesan pertama yang positif

    dan impresif akan menjamin keberlanjutan interaksi komunikasi antara penutur dengan mitra

    tuturnya. Demikian pula sebaliknya. Apabila seseorang telah memperoleh kesan buruk terhadap

    kemunculan pertama (dalam hal ini tuturan-tuturan pertama yang diujarkannya) ketika mereka saling

    berinteraksi komunikasi, maka yang bersangkutan akan enggan untuk melanjutkan interaksi

    komunikasinya. Akan tetapi, sesungguhnya, subprinsip keberlanjutan ini bermakna jauh lebih

    daripada sekedar keberlanjutan interaksi itu. Ia menjangkau masa yang bukan hanya saat terjadinya

    interaksi komunikasi tersebut, tetapi juga menjangkau masa yang akan datang. Dengan asumsi bahwa

    masa yang akan datang itu adalah masa yang sangat panjang (indefinite), maka peluang untuk

    http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn7http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn7http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn7http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn7
  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    32/49

    berinteraksi pada masa datang itu pun tentunya juga jauh lebih banyak. Apabila hal ini terjadi, maka

    nilai-nilai kebaikan hasil interaksi komunikasi yang terjadi pada tahap awal akan sangat dirasakan

    pada masa berikutnya ini. Nilai kebaikan inilah yang sesungguhnya lebih abadi, sebab ia memberikan

    faedah langsung kepada seseorang. Dengan pemikiran seperti ini, maka kita dapat memahami betapa

    kebenaran yang ditemukan pada dua ayat di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk menyokong

    subprinsip keberlanjutan dari PSTR.

    Wal-aakhiratu khairan wa abqaa

    Artinya: Dan sesungguhnya akhir itu lebih kekal abadi (al- Alaa: 17)

    Walal-aakhiratu khairan laka minal uulaa.

    Artinya: Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik dari awal (adl-Dluhaa: 4)

    Makna dua ayat di atas dapat kita temukan pula dalam peribahasa Latin yang menyatakan

    bahwaFinis coronat opus nostramakhir memahkotai pekerjaan kita.

    Tidak ada manusia yang tidak meyakini akan kehadiran masa depan, sekalipun tidak semua manusia

    percaya akan hadirnya masa depan yang hakiki, yakni kehidupan setelah kematian. Dalam konteks

    PSTR, justru tersirat nilai bahwa realisasi interaksi kesantunan itu tidak boleh hanya untuk

    kepentingan sesaat yakni untuk masa kini, tetapi ia sejak awal mesti diniatkan untuk menjadi

    kebaikan di masa yang akan datang. Berdasarkan pada dua ayat yang dijadikan landasan teologis di

    atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan akhir interaksi komunikasi yang sesungguhnya adalah

    tercapainya kebaikan yang berkelanjutan (terus-menerus) pada masa datang yang diawali dengan

    kebaikan pada permulaan.

    Dari paparan di atas terlihat bahwa interaksi komunikasi santun ternyata bukanlah sebuah proses

    yang tiba-tiba saja terjadi. Ia merupakan sebuah rangkaian proses yang diawali dengan niat baik,

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    33/49

    menenggang perasaan pihak mitra tutur, yang secara bersamaan terjadi proses mental (batiniah)

    yakni memformulasikan tuturan, lalu mewujudlah tuturan tersebut sejak tuturan paling awal hingga

    akhir yang disertai dengan segala macam prosodinya. Kondisi ini akan baik dan terus terjaga dengan

    baik (berkelanjutan) apabila mitra tutur merasa nyaman dan memperoleh kesan baik sejak awal. Di

    sini kita percaya bahwa memang benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa segala amal

    itu akan sangat tergantung kepada niatnya[8].Dalam kaitan ini, kita melihat interaksi komunikasi

    sebagai salah satu amal, yang dalam istilah Austin disebut dengan (speech) acts. Semakin jelaslah

    bahwa konsep kesantunan yang komprehensif mengharuskan adanya tiga tahap itu, yakni kesantunan

    sebelum terjadiya komunikasi (pre-event politeness), kesantunan pada saat terjadinya interaksi

    komunikasi (on-the-spot politeness), dan kesantunan pascainteraksi komunikasi (post-event

    politeness).

    Sebagai sebuah konsep yang diyakini memiliki keunggulan dalam halcomprehensiveness(sebab ia

    melibatkan tiga tahap), dan dalam keuniversalannya(sebab ia mengakomodasi tiga dimensi

    kesantunan), maka PSTR dapat kita gambarkan sebagai berikut:

    Gambar 2:

    Proses interaksi komunikasi dalam bingkai PSTR beserta ketiga

    dimensi yang menjadi target kepuasannya

    Ada beberapa catatan yang dapat kita buat tentang dari Gambar 2 di atas. Pertama, lingkaran-

    lingkaran itu memiliki batas garis putus-putus. Ini menunjukkan bahwa keempat proses tersebut

    bersifat dinamis, tidak kaku. Niat kadang-kadang dapat berubah, demikian pula proses formulasi

    ujaran, realisasinya, dan keberlanjutannya. Namun demikian, warna lingkaran untuk niat jahu

    lebihsolid ketimbang warna pada lingkaran yang lebih luar; ia seperti spektrum warna. Inilah yang

    dalam kajian pragmatik dikenal dengan context of situations. Keyakinan akan dinamika konteks

    situasi ini memunculkan gagasan tentang tuturan yang layak (appropriate) dan tidak layak untuk

    http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn8http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn8http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn8http://aminudin.staf.upi.edu/WEB/Website%20E%20A%20Aziz/Pidato%20Pengukuhan/Horison%20Baru.doc#_ftn8
  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    34/49

    diujarkan. Untuk menunjukkan adanya dinamika tersebut, Hymes (1972: 65) kemudian mengajukan

    gagasannya yang dikemas dalam mnemonik SPEAKING (Setting, Participants, End, Act, Key,

    Instumentalities, Norms, dan Genre).Kedua,sebagai sebuah proses mental, keberadaan empat

    komponen komunikasi itu tidak kasat mata (intangible)sejauh dikaitkan dengan ketiga dimensi

    kesantunan berbahasa. Namun demikian, ia tetap berada di dalam bingkai-bingkai target komunikasi

    santun, baik yang berdimensi keharmonisan sosial, kebebasan individual, maupun ilahiyah. Hal ini

    muncul karena memang tujuan utama interaksi komunikasi santun itu sendiri adalah untuk mencapai

    kepuasan-kepuasan itu sendiri.Ketiga,dimensi kebebasan individual dan keharmonisan sosial dapat

    digambarkan sebagai sebuah kontinum yang masing-masing berada pada kutub-kutubnya. Mengikuti

    pemikiran yang disampaikan pada bagian 6 (Gambar 1) di atas, maka kepuasan sosial (dengan

    dimensi keharmonisan sosialnya), kita tempatkan pada kutub yang mengarah ke sebelah kanan

    (Timur), sedangkan kepuasan pribadi (dengan dimensi kebebasan individualnya) kita tempatkan pada

    kutub yang mengarah ke sebelah kiri/Barat. Sementara itu, kepuasan tertinggi, yakni kepuasansyurgawi (dengan dimensi ilahiyahnya) kita posisikan ada di bagian atas. Kepuasan pribadi dan

    kepuasan sosial tidak akan pernah tercapai secara sempurna manakala hanya salah satu kepuasan saja

    yang terwujud. Apabila memang akhirnya tercapai, maka kepuasan sosial harus juga menjamin

    bahwa setiap individu merasa puas juga. Sebaliknya, kepuasan individu tidak boleh mengabaikan

    keharmonisan sosial.Keempat, gambar di atas juga menunjukkan bahwa target utama dari realisasi

    kesantunan berbahasa, baik yang berdimensi kebebasan individual maupun yang berdimensi

    keharmonisan sosial, sebenarnya adalah untuk mencapai kepuasan hakiki berupa kepuasan syurgawi

    yang memiliki dimensi ilahiyah. Sebagai balikannya, dimensi ilahiyah akan mewarnai realisasi

    kesantunan berbahasa yang awalnya hanya ditujukan untuk mencapai kebebasan individual dan/atau

    hanya untuk menjaga keharmonisan sosial. Melalui gambaran seperti ini, maka di sini kita

    mendapatkan satu model kesantunan berbahasa yang lebih komprehensif, yang tidak hanya

    memperhitungkan aspek hubungan horisontal manusiawi tetapi juga menyertakan adanya hubungan

    vertikal ilahiyah.

    Konsep kepuasan syurgawi dapat dipandang sebagai bentuk yang transendental, yakni memiliki nilai

    intrinsik terdalam dan sekaligus tertinggi dari dimensi kepuasan. Ia universal dengan sendirinya,dalam arti dapat diterapkan kepada setiap kelompok masyarakat, bahkan kepada kelompok yang

    atheis sekali pun. Perhatikan petikan episode berikut ini yang penulis alami langsung dalam sejumlah

    pembicaraan dengan beberapa pihak yang mengakui sebagai kelompok atheis ketika penulis berada

    di Shanghai. Ketika dalam beberapa kesempatan penulis berseru dengan Oh my GodnessMasya

    Allah, kawan-kawan penulis yang atheis itu sering kali menjadi kebingungan. Akhirnya mereka

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    35/49

    bertanya apa yang penulis ketahui dan yakini tentang Tuhan itu. Setelah beberapa kali diberikan

    penjelasan, nampaknya mereka mengerti apa yang penulis yakini tentang Tuhan itu. Tibalah

    giliran penulis bertanya kepada mereka dengan beberapa pertanyaan sederhana seperti,Mengapa

    mereka mau berbuat baik kepada orang lain? Mengapa mereka menyayangi binatang? Mengapa

    mereka tidak mau mengganggu ketertiban umum? Dan sejumlah pertanyaan lainnya. Inti jawaban

    mereka adalah bahwa mereka melakukan itu karena di dalam hati mereka ada cintadan kasih

    sayangkepada pihak lain. Dan nampaknya, cinta dan kasih sayang inilah yang menjadi pendorong

    terkuat dari segala tujuan perilaku hidup mereka. Dengan kata lain, cinta dan kasih sayang adalah hal

    yang mereka pertuhankan, cinta dan kasih sayang telah menjadi ilah mereka. Cinta dan kasih

    sayang itulah yang menggiring mereka dalam bertindak. Mencari perwujudkan cinta itulah yang

    menjadi tujuan mereka. Kepuasan tertinggi seperti inilah yang kita katakan sebagai kepuasan

    syurgawi, yang kita yakini akan ditemukan pada kelompok masyarakat manapun, dengan apapun

    namanya.

    1. 9. Bagian Penutup

    Perbedaan konsep kesantunan berbahasa yang ditemukan pada masyarakat kita saat ini bermula dari

    adanya perbedaan dalam melihat dan merumuskan konsep wajah. Wajah adalah representasi dari

    harga diri dan reputasi seseorang, yang akan senantiasa dijaga kesakralannya. Rumusan Kung Fu

    Tzu dalam budaya tradisional Cina menyiratkan bahwa wajah adalah atribut sosial yang diperoleh

    seseorang sebagai pinjaman dari masyarakat, yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali apabila

    masyarakat tidak lagi menaruh percaya atas seseorang. Sementara itu, dalam pandangan Brown &

    Levinson, wajah adalah atribut sosial yang dimiliki (secara hakiki) oleh seseorang dan ia bersifat

    universal. Kedua pandangan tentang konsepsi wajah ini telah menghasilkan dua model kesantunan

    berbahasa dengan dimenasinya masing-masing. Pandangan kelompok pertama merumuskan

    kesantunan berbahasa sebagai salah satu upaya untuk menjaga dan mewujudkan keharmonisan

    sosial, sedangkan kelompok kedua lebih memandangnya sebagai upaya untuk memberikan

    penghargaan kepada individu.

    Bagaimanapun, dua dimensi konsep kesantunan berbahasa yang ada tersebut tidaklah lengkap, selain

    memang masing-masing tidak dapat dipertemukan. Keberadaan yang satu memungkinkan

  • 7/21/2019 Teori Kesantunan Bahasa

    36/49

    meniadakan yang lain. Walaupun Leech telah mencoba membuat rumusan model yang lebih

    kompromistis, upaya tersebut gagal karena model yang ditawarkan Leech lemah secara logika. Oleh

    karena itu, Aziz (2000; 2003) menyodorkan model alternatif tentang kesantunan berbahasa yang

    lebih universal. Model konsepsi ini, dikenal dengan Prinsip Saling Tenggang Rasa (PSTR), selain

    dirumuskan dalam hukum kausalitas, juga mempertimbangkan tiga jenis kesantunan. Lebih dari itu,

    model konsepsi kesantunan ini juga sekaligus memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi sosialisme

    (keharmonisan sosial), dimensi individual (kebebasan individual), dan dimensi ilahiyah (kepuasan

    syurgawi).

    1. 10. Terminal Transit dari Sebuah Perenungan: Sebuah Contoh

    Sebagai tindak lanjut dari perenungan itu, mari kita perhatikan secara seksama kandungan surat al

    Ftihah, surat Pembuka dari keseluruhan isi al Quran, dan ia berstatus sebagai Ummul Quran[9].

    Saya tidak akan berpura-pura, punya