stemi.docx
TRANSCRIPT
RESPONSI
LAPORAN KASUS
PASIEN 73 TAHUN DENGAN ST-ELEVATION MYOCARDIAL
INFARCTION (STEMI) ANTERIOR LUAS
Oleh:
FARCHAN AZZUMAR G99151007
LAURAINE W SINURAYA G99151008
IDA AYU SINTHIA PS G99151009
GEMALA RR G99151010
BERLIAN PERMATA S G99151011
CHENDY ENDRIANSA G99151012
CARKO BUDIYANTO G0007049
Pembimbing:
dr. Tuko
KSM KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FK UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. G
Usia : 73 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Kracakan Rt/Rw 010/004, Bener, Wonosari, Klaten
Tanggal Masuk : 06-09-2015
No. RM : 01-31-29-44
B. Keluhan Utama
Sesak Nafas
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 4 jam SMRS.
Sesak nafas dirasakan tiba-tiba. Sebelumnya pasien tidak pernah
memiliki keluhan sesak nafas. Sesak nafas berawal saat aktivitas dan
tidak berkurang saat istirahat. Pagi sebelumnya ± 14 jam SMRS pasien
mengeluhkan nyeri dada seperti ditekan benda berat. Nyeri dirasakan di
dada sebelah kiri tidak menjalar ke bahu dan lengan kiri. Nyeri dada
dirasakan lebih dari 20 menit, keringat dingin (+), mual (-), muntah (-).
Sebelumnya pasien dibawa ke RS Dr. Oen Solo Baru pada
pukul 19.00 WIB dan telah mendapatkan tatalaksana Injeksi Furosemid
1 ampul, ISDN 3x5 mg, Plakta 300 mg, TA 160 mg.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Dislipidemia : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat Merokok : disangkal
Riwayat Minum alkohol : disangkal
Riwayat Olahraga : disangkal
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien dirawat menggunakan
fasilitas BPJS.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang, Compos Mentis E4V5M6, gizi kesan baik.
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg.
Nadi : 96x/ menit
Heart Rate : 96x/ menit
Respirasi : 40x/ menit
SiO2 : 98%
C. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
D. Leher
JVP tidak meningkat
E. Thoraks
Retraksi (-)
1. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-).
2. Paru
Suara dasar vesikuler (+/+), Ronkhi basah halus (+/+) seluruh
lapang paru, Ronkhi basah kasar (-/-).
F. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada.
Auskultasi : Peristaltik (+) normal.
Perkusi : Timpani.
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
G. Ekstremitas
Oedem _ _ Akral dingin Sianosis
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan tanggal 6 september 2015
Pemeriksaan Laboratorium DarahHematologi Rutin Hasil RujukanHemoglobin 12.5 g/dl 13,5 – 17,5Hematokrit 40 % 33 – 45Leukosit 25.6 ribu/ul 4,5 – 11Trombosit 410 ribu/ul 150 - 450Eritrosit 4.12 juta/ul 4,5 – 5,9
Indeks EritrositMCV 96.4/um 80.0-96.0MCH 30.3 pg 28-33MCHC 31.5 g/dl 33-36RDW 12.9 % 11.6-14.6MPV 8.7 fl 7.2-11.1PDW 16 % 25-65Hitung JenisEosinofil 0.40 % 0.00-0.40Basofil 0.10 % 0.00-2.00Neutrofil 92.30 % 55.00-80.00Limfosit 3.90 % 22.00-44.00Monosit 3.30% 0.00-7.00Kimia KlinikGDS 247 mg/dl 60-140SGOT 104 u/l <31SGPT 40 u/l <34Kreatinine 1.5 mg/dl 0.6-1.2Ureum 57 mg/dl <50ElektrolitNatrium 142 mmol/L 136 – 145Kalium 3.9 mmol/L 3.7 – 5.4Chlorida 107 mmol/L 98 – 106Analisis Gas DarahPH 7.450 7.31-7.42BE -4.1 -2 - +3PCO2 27.3 27-41PO2 120.6 70-100Hematokrit 37 37-50HCO3 21 21-28Total CO2 16.7 19-24O2 Saturasi 98.8 94-98SerologiTroponin I 2.6 ug/L 0 – 0.5CKMB 6.54 ng/mL < 4.9HBsAg Nonreactive Nonreactive
B. Pemeriksaan tanggal 8 September 2015
C. Pemeriksaan tanggal 9 September 2015
Pemeriksaan Laboratorium DarahKimia Klinik Hasil Rujukan
HbA1c 5.8 4.8-5.9GDS 88 70-110Glukosa 2 jam PP 144 80-140Albumin 3.7 3.2-4.6Asam Urat 10.8 2.4-6.1Kolesterol Total 250 50-200Kolesterol LDL 174 96-206Kolesterol HDL 35 33-92Trigliserid 251 <150SerologiAnti HCV Nonreactive Nonreactive
Pemeriksaan SekresiMakroskopis Hasil Rujukan
Warna YellowKejernihan ClearKimia UrinBerat Jenis 1.007 1.015-1.025PH 7.5 4.5-8Leukosit Negatif NegatifNitrit Negatif NegatifProtein Negatif NegatifGlukosa Normal NormalKeton Negatif NegatifUrobilinogen Normal NormalBilirubin Negatif NegatifEritrosit Negatif NegatifMikroskopisEritrosit 16.2 0-8.7Leukosit 1.0 0-12EpitelEpitel Squamos 0-1 NegatifApitel transisional - Negatif
Elektrokardiografi
Dari dr.Oen Solo tanggal 6 September 2015 jam 19.00
Kesimpulan : Sinus Takikardi, HR 134x/menit, RAD, dengan ST elevasi
di V1-V6, lead I dan aVL, Q wave di V1-V6, I, aVL
6 september 2015 jam 21.12
Kesimpulan : Sinus Takikardi, HR 120x/ menit, RAD, dengan ST elevasi
di V1-V6, lead I dan aVL, Q wave di V1-V6, I, aVL
Rontgen Thorax 6 September 2015
Kesimpulan : Apex cor tertanam memberikan kesan LVH dengan edema pulmonum dan efusi pleura bilateral
Echocardiography tanggal 8 September 2015
Kesimpulan : Abnormalitas segmental wall motion (EF 22-27%),MR, TR Mild
IV. RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 4 jam SMRS.
Sesak nafas dirasakan tiba-tiba. Sebelumnya pasien tidak pernah memiliki
keluhan sesak nafas. Sesak nafas berawal saat aktivitas dan tidak
berkurang saat istirahat. Pagi sebelumnya ± 14 jam SMRS pasien
mengeluhkan nyeri dada seperti ditekan benda berat. Nyeri dirasakan di
dada sebelah kiri tidak menjalar ke bahu dan lengan kiri. Nyeri dada
dirasakan lebih dari 20 menit, keringat dingin (+), mual (-), muntah (-).
Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan pada BAB dan BAK.
Sebelumnya pasien dibawa ke RS Dr. Oen Solo Baru pada pukul 19.00
WIB dan telah mendapatkan tatalaksana Injeksi Furosemid 1 ampul, ISDN
3x5 mg, Plakta 300 mg, TA 160 mg.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis,
tekanan darah: 120/70 mmHg, nadi : 96 x/ menit, heart rate : 96 x/menit,
frekuensi respirasi : 40 x/menit, SiO2 : 98%. Thorax retraksi (-), simetris
(+). Pada pemeriksaan jantung, bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-). Pada pemeriksaan paru ronki basah halus (+/+).
Sinus Takikardi, HR 120x/ menit, RAD, dengan ST elevasi di
V1-V6, lead I dan aVL, Q wave di V1-V6, I, aVL.
V. ASSESSMENTA(x) : STEMI anterior luas onset 14 jam tanpa fibrinolitik
F(x) : Killip III
E(x) : PJK
FR : Geriatri
VI. PENATALAKSANAAN IGD
O2 10 lpm
Injeksi Furosemid 40 mg I.V (jam 22.00)
Infus RL 12 tpm
VII. PLAN TERAPI
Mondok ICVCU
Bedrest total posisi ½ duduk
O2 10 lpm NRM
Infus RL 20cc/jam
Diet jantung nasi tim 1700 kkal
IV ISDN 10 mg dalam SP 50 cc kecepatan 2,5 cc/jam
Injeksi Furosemid 100 mg dalam SP 50 cc kecepatan 2,5 cc/jam
Injeksi Fundaparinux 2,5mg I.V selanjutnya 2,5 mg/24 jam S.C
Aspilet 1 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
VIII. PLANNING
EKG serial
Cek profil lipid
Echocardiography
Ro Thorax sebelum ke bangsal
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
X. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan/Diagnosis Penatalaksanaan06/09/15DPH IICVCU
Nyeri dada (-), sesak nafas (+), berdebar (-)
TD :120/70mmHgHR : 96x/menitRR : 20x/menitNadi: 96x/menitSiO2: 98%
Px FisikCor :I : IC tak tampakP:IC tak kuat angkatP: Batas jantung tak
melebarA:BJ I-II (N) reguler, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) seluruh lapang paru, RBK (-/-)
Dx :A(x): STEMI anterior
luas onset 14 jam tanpa streptase
F(x) : Killip IIIE(x) : PJKFR : Geriatri
Terapi1. Mondok ICVCU
2. Bedrest total posisi ½
duduk
3. O2 10 lpm NRM
4. Infus RL 20cc/jam
5. Diet jantung nasi tim
1700 kkal
6. IV ISDN 10 mg dalam
SP 50 cc kecepatan 2,5
cc/jam
7. Injeksi Furosemid 100
mg dalam SP 50 cc
kecepatan 2,5 cc/jam
8. Injeksi Fundaparinux
2,5mg I.V selanjutnya
2,5 mg/24 jam S.C
9. Aspilet 1 x 80 mg
10. Clopidogrel 1 x 75 mg
11. Simvastatin 1 x 20 mg
Plan1. EKG serial
2. Cek profil lipid
3. Echocardiography
4. Ro Thorax sebelum ke
bangsal
07/09/15DPH II06.00ICVCU
Nyeri dada (-), sesak nafas (-), berdebar (-)
TD :109/66mmHg
Px FisikCor :I : IC taktampakP:IC tak kuat angkatP: Batas jantung tak
Terapi1. Bedrest total posisi ½
duduk
2. O2 10 lpm NRM
HR : 107x/menitRR : 18x/menitNadi:107 x/menitSiO2: 100%BC: - 2500
melebarA:BJ I-II (N) reguler, bising (-)
Pulmo :SDV (+/+), RBH (+/+) di 1/3 lapang paru, RBK (-/-).
Dx :A(x): STEMI anterior
luas onset 14 jam tanpa fibrinolitik
F(x) : Killip IIIE(x) : PJKP: Hiperglikemia (247),
Leukositosis (20.6), Peningkatan enzim transaminase.
FR: GeriatriTIMI 9/14GRACE 162
3. Infus RL 20cc/jam
4. Diet jantung nasi tim
1700 kkal
5. IV ISDN 10 mg dalam
SP 50 cc kecepatan 2,5
cc/jam
6. Injeksi Furosemid 100
mg dalam SP 50 cc
kecepatan 2,5 cc/jam
7. Injeksi Fundaparinux
2,5 mg/24 jam S.C
8. Aspilet 1 x 80 mg
9. Clopidogrel 1 x 75 mg
10. Simvastatin 1 x 20 mg
11. Ramipril 1x 25mg
Plan1. EKG/hari2. Cek Laboratorium
melengkapi( profil lipid, AU, GDP, HbA1c)
3. Echocardiografi4. Ro Thorax ambil hasil
08/09/15DPH III06.00ICVCU
Nyeri dada (-), sesak nafas (-), berdebar (-)
TD : 111/61mmHgHR : 105x/menitRR : 13x/menitNadi:105 x/menitSiO2: 94%BC: - 1687,5
Px FisikCor :I : IC tak tampakP:IC tak kuat angkatP: Batas jantung tak
melebarA:BJ I-II (N) reguler, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) minimal, RBK (-/-)
Terapi1. Bedrest total posisi ½
duduk
2. O2 10 lpm NRM
3. Infus RL 20cc/jam
4. Diet jantung 1700 kkal
5. Injeksi Furosemid 100
mg dalam SP 50 cc
kecepatan 2,5 cc/jam
6. Injeksi Fundaparinux
Dx :A(x): STEMI anterior
luas onset 14 jam tanpa fibrinolitik, MR dan TR mild
F(x) : Killip III, EF 22-27%E(x) : PJKP: Hiperglikemia,
peningkatan enzim transaminase, Leukositosis, Azotemia
FR: GeriatriTIMI 9/14GRACE 162
2,5 mg/24 jam S.C
7. Injeksi Ceftriaxon 2mg
8. Aspilet 1 x 80 mg
9. Clopidogrel 1 x 75 mg
10. Simvastatin 1 x 20 mg
11. Ramipril 1x 25mg, jika
TDS >100
12. Bisoprolol 1x1.25
13. ISDN 3x5mg, jika TD >
100
Plan1. EKG/hari2. Dr3/Ur/Cr/e.3. Echo ambil hasil4. Konsul IPD
9/09/15DPH IV06.00ICVCU
Nyeri dada (-), sesak nafas (-), berdebar (-)
TD :102/62mmHgHR : 95x/menitRR : 24x/menitNadi:95 x/menitBC: -590
Px FisikCor :I : IC tak tampakP:IC tak kuat angkatP: Batas jantung tak
melebarA:BJ I-II (N) reguler, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-)
Dx :A(x): STEMI anterior
luas onset 14 jam tanpa fibrinolitik
F(x) : Killip III, EF 22-27 %E(x) : PJKP: Ttransaminase,
Leukositosis, Azotemia
Terapi1. Bedrest total posisi ½
duduk
2. O2 10 lpm NRM
3. Infus RL 20cc/jam
4. Diet jantung 1700 kkal
5. Injeksi Furosemid 100
mg dalam SP 50 cc
kecepatan 2,5 cc/jam
6. Injeksi Fundaparinux
2,5 mg/24 jam S.C
7. Injeksi Ceftriaxon 2mg
8. Aspilet 1 x 80 mg
9. Clopidogrel 1 x 75 mg
10. Simvastatin 1 x 20 mg
11. Ramipril 1x 25mg, jika
TDS >100
FR: GeriatriTIMI 9/14GRACE 162
12. Bisoprolol 1x1.25
13. ISDN 3x5mg, jika TD >
100
Plan1. Dr3/Ur/Cr2. EKG/pagi3. Kultur Darah
10/09/15DPH V06.00ICVCU
Nyeri dada (-), sesak nafas (-), berdebar (-)
TD :100/61mmHgHR : 80x/menitRR : 14x/menitNadi:80 x/menitBC: -1120
Px FisikCor :I : IC taktampakP:IC tak kuat angkatP: Batas jantung tak
melebarA:BJ I-II (N) reguler, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-)
Dx :A(x): STEMI anterior
luas onset 14 jam tanpa fibrinolitik
F(x) : Killip III, EF 22-27 %E(x) : PJKP: Ttransaminase,
Leukositosis, Azotemia
Terapi1. Bedrest total posisi ½
duduk
2. O2 10 lpm NRM
3. Infus RL 20cc/jam
4. Diet jantung 1700 kkal
5. Injeksi Furosemid 100 mg
dalam SP 50 cc kecepatan
2,5 cc/jam
6. Injeksi Fundaparinux 2,5
mg/24 jam S.C
7. Injeksi Ceftriaxon 2mg
8. Aspilet 1 x 80 mg
9. Clopidogrel 1 x 75 mg
10.Simvastatin 1 x 20 mg
11.Ramipril 1x 25mg, jika
TDS >100
12.Bisoprolol 1x1.25
13. ISDN 3x5mg, jika TD >
100
Plan1. Dr3/Ur/Cr2. EKG/pagi3. Kultur Daah
Elektrokardiografi di ICVCU
7 september 2015 jam 05.00
Kesimpulan : : Sinus Takikardi, HR 120x/ menit, RAD, dengan ST elevasi
di V1-V6, lead I dan aVL, Q wave di V1-V6, I, aVL
8 september 2015 jam 04.50
Kesimpulan : : Sinus Takikardi, HR 105x/ menit, RAD, dengan ST
elevasi di V2-V4, Q wave di V1-V4, I, aVL
9 september 2015 jam 05.00
Kesimpulan : Sinus Rythm, HR 90x/menit, RAD, Q patologis di
V1-V5, I, aVL
10 september 2015 jam 04.35
Kesimpulan : Sinus Rythm, HR 80x/menit, RAD, Q patologis di V1-V5, I,
aVL
BAB II
ANALISIS KASUS
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 4 jam SMRS. Sesak nafas
dirasakan tiba-tiba. Sebelumnya pasien tidak pernah memiliki keluhan sesak
nafas. Sesak nafas berawal saat aktivitas dan tidak berkurang saat istirahat. Pagi
sebelumnya ± 14 jam SMRS pasien mengeluhkan nyeri dada seperti ditekan
benda berat. Nyeri dirasakan di dada sebelah kiri tidak menjalar ke bahu dan
lengan kiri. Nyeri dada dirasakan lebih dari 20 menit, keringat dingin (+), mual
(-), muntah (-).
Nyeri dada dan sesak nafas ini merupakan presentasi klinis yang khas dari
Acute Coronary Syndrome (ACS) dimana pasien tiba-tiba merasakan nyeri dada
prekordial atau sesak nafas yang digambarakan sebagai sensasi dihimpit, diremas,
atau ditekan, di retrosternal dengan atau tanpa penjalaran ke leher, rahang, bahu
kiri dan lengan kiri. Nyeri biasanya cukup hebat sehingga terjadi aktivasi simpatis
berupa mual, muntah, dan keringat dingin. Namun pada pasien ini aktivasi
simpatis yang timbul yaitu berupa keringat dingin saja.
Untuk menentukan diagnosis pasti, maka dilakukan pemeriksaan EKG
pada pasien. Pada pemeriksaan EKG didapatkan : Sinus Takikardi, HR 120x/
menit, RAD, dengan ST elevasi di V1-V6, lead I dan aVL, Q wave di V1-V6, I,
aVL. ST elevasi di V1 – V6, I, aVL menunjukkan letak infark di anterior dan high
lateral atau biasa disebut anterior luas. Sedangkan pada pemeriksaan enzim
jantung didapatkan nilai tropinin I 2.60 ug/L dan CKMB 6.54 ng/mL. Terdapat
peningkatan pada level Troponin I dan CKMB.
Adanya sesak nafas dan nyeri dada yang khas, gambaran ST elevasi di V1
– V6, I, aVL pada pemeriksaan EKG, dengan adanya peningkatan Troponin I dan
CKMB mengarahkan diagnosis pada STEMI anterior luas.
Pasien ini merupakan rujukan Rumah Sakit dr. Oen Solo Baru. Di sana
pasien telah diberikan Injeksi Furosemid 1 ampul, ISDN 3x5 mg, Plakta 300 mg,
TA 160 mg.
Ketika sampai di RSUD dr. Moewardi, pasien diberikan oksigen sebesar
10 lpm dengan menggunakan nasal canul. Pemberian oksigen berfungsi untuk
mengoptimalkan oksigenasi ke jaringan, dalam hal ini ke otot jantung karena
nyeri dada yang dirasakan pasien dengan Acute Coronary Syndrome (ACS)
disebabkan karena hipoksia pada otot jantung.
Selanjutnya pasien diberikan antikoagulan (injeksi fondaparinux) yang
fungsinya untuk mencegah generasi thrombin dan aktivitasnya serta diberikan anti
platelet (Clopidogrel) dimana kombinasi keduanya untuk mencegah trombosis
baru dan embolisasi dari plak aterosklerosis yang ruptur atau erosi. Banyak studi
telah membuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan antiplatelet sangat efektif
dalam mengurangi serangan jantung akibat trombosis. Kombinasi kedua agen
akan lebih efektif daripada hanya pemberian salah satu agen saja.
Selanjutnya pada pasien juga diberikan injeksi isorbid yang bekerja
sebagai vasodilator arteri coronaria, vasodilator vena.dan vasodilator arteri
sistemik yang berfungsi mengurangi afterload sehingga konsumsi oksigen turun,
serta berfungsi meningkatkan aliran darah melalui kontralateral sehingga otot
jantung medapatkan darah dan oksigen yang cukup dan nyeri dada dapat
berkurang.
Selain itu aspilet diberikan dalam dosis mantainance untuk menghambat
agregasi platelet. Simvastatin diberikan untuk mengurangi inflamasi dan
menurunkan komplikasi seperti infark berulang, angina berulang dan aritmia.
Pada pasien terdapat ronki basah halus di seluruh lapang paru yang
menandakan terdapat banyak cairan dalam paru-paru pasien. Maka dari itu
diberikan injeksi furosemide 100mg dalam sp 50cc. Furosemide adalah obat yang
berfungsi sebagai diuretik. Diuretik merupakan obat yang digunakan untuk
mengurangi cairan di dalam tubuh dan membuangnya melalui saluran kemih.
Furosemide bekerja di ginjal dengan menghambat penyerapan garam dan
elektrolit sehingga air terikat dengan garam tersebut dan tidak bisa diserap oleh
ginjal. Akibatnya air akan dibuang melalui mekanisme buang air kecil.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Infark Miokard
1. Definisi
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia
lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering
karena thrombus atau embolus (Dorland, 2002). Infark miokard adalah
perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009).
Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh coroner utama, yaitu
arteri coroner kanan dan arteri coroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari
aorta. Arteri coroner kiri kemudian bercabang menjadi arteri desendens
anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung.
Arteri sirkumfleks kiri berjalan pada sulkus arterioventrikuler dan
mengelilingi permukaan posterior jantung. Arteri coroner kanan berjalan
didalam sulkus atrioventrikuler ke kanan bawah (Oemar, 1996). Adanya
sumbatan atau kelainan lain pada sirkulasi ini dapat menyebabkan iskemia
otot jantung dan dapat berlanjut menjadi nekrosis.
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang
heterogen, antara lain :
a. Infark miokard tipe 1: Infark miokard secara spontan terjadi karena
ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu,
peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang
inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hipertensi atau hipotensi.
b. Infark miokard tipe 2 : Infark miokard jenis ini disebabkan oleh
vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.
c. Infark miokard tipe 3 : Pada keadaan ini, peningkatan pertanda
biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah
penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar
pertanda biokimiawi sempat meningkat.
d. Infark miokard tipe 4 :
4a Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat
pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang
memicu terjadinya infark miokard.
4b Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent
trombosis.
e. Infark miokard tipe 5 : Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar
dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan
dengan operasi bypass koroner.
Ada empat faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat
diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga. Risiko
aterosklerosis coroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit
yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Factor risiko lain masih
dapat diubah sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik
(Santoso,2005). Faktor-faktor tersebut adalah hiperlipidemia, hipertensi,
merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, diet, alkohol dan aktivitas
fisik (Ramrakha,2006).
Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark
miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan
onset infark miokard diperkirakan dari berbgai faktor resiko tinggi yang
mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Hal ini
diduga karena adanya efek perlindungan estrogen (Santoso, 2005).
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko
adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar
kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal. The National
Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL
sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary
Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan
kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard.
(Brown, 2006)
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah,
sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa.
Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk
miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi
jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia.
(Brown, 2006).
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner
sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark
miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit
kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. (Ramrakha, 2006).
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner.
Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang
berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight
didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30
kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan
metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL,
peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan
diabetes melitus tipe II. (Ramrakha, 2006).
Faktor psikososial seperti peningkatan stress kerja, rendahnya
dukungan sosial, ansietas dan depresi meningkatkan risiko terkena
aterosklerosis (Ramrakha, 2006).
3. Patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.
Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di
dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen
mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi.
(Ramrakha, 2006).
Faktor-faktor seperti usia, genetic, diet, merokok, diabetes mellitus
tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endothelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di
atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-
sel tidak dapat lagi meproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric
oxide, yang bekerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-
proliferasi. Sebaliknya disfungsi endotel justru meningkatkan produksi
vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam
migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.
Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi
makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor
pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika
media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah
bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma
matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit
ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis.
Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi
dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Price, 2006).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke
jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam
fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke
subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal
arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi
dan berelaksasi. (Selwyn, 2005).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas
metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme
asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar
oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa
diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini
mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel
menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.
Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel
(<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir
pada infark miokard (Selwyn, 2005).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di
arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST
(STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak
menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat
terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya
terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. STEMI umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus
pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler,
di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi
dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai
fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran
patologik klasik terdiri dari trombus merah kaya fibrin, yang dipercaya
menjadi dasar sehingga STEMI memberi respons terhadap terapi
trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, serotonin, epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan Tromboksan A2 (vasokonstriktor
lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi
fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuens asam
amino pada protein adesi yang larut (integrin) seperti vWF dan fibrinogen,
di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet
dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada
sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan
konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit
dan fibrin. (Wilson, 2006)
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
oklusi arteri koroner oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Kalim, 2001).
4. Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2
sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan enzim. (NEJM, 2006)
a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari
koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark
miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM,
dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit
medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau
malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.(Pearlson, 2003)
Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal
pasien IMA. Sifat nyeri dada angina :
Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
ditusuk, diperas, dan dipelintir
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat
Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah
makan
Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark
miokard akut,dengan pembagian:
1. Derajat I : tanpa gagal jantung
2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galopdan
peningkatan tekanan vena pulmonalis
3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh
lapangan paru.
4. Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)
(Killip, 1967)
b. Pemeriksaan fisik
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat
pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau
hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3
gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik
atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi
aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu
sampai 380C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI
(Pearlson, 2003).
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pada fase awal terjadinya infark ditandaik gelombang T yang
tinggi sekali (hiperakut T) kemudian fase sub akut ditandai T terbalik lalu
pada fase akut ditandai ST elevasi. Pada fase lanjut (old) ditadai dengan
terbentuknya gelombang Q patologis.
Gambar 1. Evolusi EKG pada infark miokard
Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik
miokard ketika ventrikel berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon
secara elektrik. Vektor gaya bergerak menjauhi bagian nekrosis dan
terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi negatif normal.
Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark
gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG
tidak menunjukkan gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada
infark miokard dengan daerah nekrotik kecil atau terbesar. Gelombang Q
dikatakan abnormal jika durasinya ≥ 0,04 detik. Namun tidak berlaku
untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya
gelombang Q di lead ini lebar dalam (Chou, 1996).
Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi
segmen ST, lokasi infark dapat ditentuakan dari perubahan EKG. Berikut
merupakan penentuan lokasi infark perubahan gambaran EKG :
Lokasi Lokasi elevasi
segmen ST
Perubahan
resiprokal
Arteri koroner
Anterior V3,V4 V7,V8,V9 Arteri koroner kiri,
cabang
LAD/Diagonal
Anterior
septal
V1,V2,V3 V7,V8,V9 Arteri koroner
kiri,cabang LAD
diagonal cabang LAD
septal
Anterior
ekstensif
I,aVL,V2-V6 I,III,aVF Arteri koroner
kiri,proksimal LAD
Antero
lateral
I,
aVL,V3,V4,V5,V
6
II,III,aVF,V7,V
8,V9
Arteri koroner kiri
Cabang LAD-diagonal dan
cabang sirkumfleks
Inferior II,III,aVF I,aVL,V2,V3 Arteri koroner kanan cabang
decendens posterior dan
cabang arteri koroner kiri
sirkumfleks
Lateral I,aVL,V5,V6 II,III,aVF Arteri koroner kiri
Cabang LAD- diagonal dan
cabang sirkumfleks
Septum V1,V2 V7,V8,V9 Arteri koroner kiri cabang
LAD-septal
Posterior V7,V8,V9 V1,V2,V3 Arteri koroner kanan/
sirkumfleks
Ventrikel
kanan
V3R-V4R I,aVL Arteri koroner kanan
proksimal
d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA,
terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung
pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2
jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari
Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic
dehidrogenase (LDH) :
Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN
yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.
5. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksana IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. (Aslam,2004)
Tujuan penanganan pada STEMI adalah:
a. Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan
diagnosis secara
cepat dan penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/
mengurangi nyeri dan pencegahan atau penanganan henti jantung.
b. Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi
untuk membatasi proses infark serta mencegah perluasan infark
serta menangani komplikasi segera seperti gagal jantung, syok dan
aritmia yang mengancam jiwa.
c. Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang
timbul selanjutnya.
d. Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya progresi
penyakit arteri koroner, infark baru, gagal jantung, dan kematian.
Penanganan kegawatdaruratan :
a. Tatalaksana awal:
• Oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan > 90%).
• Aspirin 160mg (dikunyah).
• Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih
nyeri.
• Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda
reperfusi).
• Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
• Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
• Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
• Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB
maksimum 4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48 jam
dengan maksimum 1000 u/ jam dengan target aPTT 50 – 70s. Monitoring
aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi dimulai. LMWH dapat digunakan
sebagai alternative UFH pada pasien-pasien berusia < 75 tahun dengan
fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-laki atau < 2 mg/ dl
pada wanita).
Terapi Fibrinolitik
Dianjurkan pada:
a. Presentasi ≤ 3jam.
b. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat.
c. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik.
Kontraindikasi fibrinolitik:
a. Kontraindikasi absolut :
• Riwayat perdarahan intracranial apapun.
• Lesi structural cerebrovaskular.
• Tumor intrakranial (primer ataupun metastasis).
• Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
• Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
• Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.
• Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi). (Irmalita.2009)
b. Kontraindikasi relatif :
• Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
• Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan
intracranial
selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolut.
• Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau
operasi besar
< 3 minggu.
• Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir.
• Terapi antikoagulan oral.
• Kehamilan.
• Non compressible punctures.
• Ulkus peptikum aktif.
• Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan
sebelumnya (>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut
Terapi awal Antitrombin terapiKontraindikasi
spesifik
Streptokinase(SK) 1,5 juta unit/ 100ml
D5% atau NaCl 0,9%
selama 30 – 60 menit.
Dengan atau tanpa
heparin iv selama 24
– 48 jam
Riwayat SK atau
anistreplase
Alteplase(tPA) 15 mg iv bolus 0,75
mg/ kg BB selama 30
menit kemudian 0,5
mg/ kg BB selama 60
menit iv. Dosis total
Heparin iv selama
24 – 48 jam
tidak melebihi 100mg
Percutanous coronary intervention (PCI)
a. PCI primer.
Dianjurkan pada:
• Presentasi ≥ 3jam.
• Tersedia fasilitas PCI.
• Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90
menit. (Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi
(waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1jam.
• Terdapat kontraindikasi fibrinolitik.
• Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip 3).
• Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan.
b. PCI kombinasi dengan fibrinolitik.
Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika
tindakan PCI tidak dapat dilakukan dengan segera dan pada pasien
dengan risiko perdarahan rendah. Pada tindakan ini tidak dianjurkan
menggunakan penghambat reseptor GPIIb/ IIIa dengan dosis penuh.
c. Rescue PCI.
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada pasien dengan
infark luas dengan:
• Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia.
• Keluhan iskemik yang berkepanjangan.
• Syok kardiogenik.
Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi
dimana rescue PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara
medikamentosa harus dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau
tirofiban. Pemilihan stent pada PCI primer atau rescue PCI adalah
Bare metal stent (BMS).
Tindakan pembedahan CABG ( Coronary Artery Bypass Graft )
Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibandingkan dengan
pengobatan, pada keadaan :
a. Stenosis yang signifikan ( ≥ 50 %) di daerah left main (LM)
b. Stenosis yang signifikan (≥ 70 %) di daerah proksimal pada 3 arteri
koroner utama
c. Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk
stenosis yang cukup tinggi tingkatannya pada daerah proksimal dari
left anterior descending coronary artery.
7. Diagnosis Banding
Nyeri dada tidak selalu diakibatkan oleh adanya infark miokard, namun
dapat diakibatkan oleh sebab sebagai berikut:
a) Cardiac Origin:
i. Angina Pectoris
ii. Infark Miokard
iii. Likely Ischaemic In Origin : Stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik,
hipertensi ventrikel kanan berat, regurgitasi aorta, anemia/hipoksia
berat.
iv. Non Ischaemic In Origin : Diseksi aorta, perikarditis, miokarditis,
prolaps katup mitral.
b) Non Cardiac Origin
i. Penyakit gastrointestinal : spasme esophagus, ruptur esophagus, refluks
esophageal, ulkus peptikum.
ii. Psikogenik : ansietas, depresi.
iii. Penyakit neuromuskuler : penyakit degeneratif sendi leher/spinal,
costokondritis, herpes zooster, nyeri pada dinding dada.
iv. Kelainan paru : emboli paru, pneumothoraks, pneumonia, pleuritis.
8. Komplikasi
a. Gagal Jantung (decompensated cordis)
Infark miokard mengganggu fungsi miokardium karena
menyebabkan pengurangan kontraktilitas, gerakan dinding yang
abnormal, dan menambah daya kembang ruang jantung. Dengan
berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan ruang,
volume kuncup berkurang, sehingga tekanan ventrikel kiri meningkat.
Akibatnya tekanan vena pulmonalis meningkat dan dapt menyebabkan
transudasi, hingga udem paru sampai terjadi gagal jantung kanan.
Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi
pada lebih dari separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang
paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti
paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada. Peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan temuan
hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temuan
ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel
dan/atau penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder.
Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti pari-paru dengan
adanya gagal jantung sistolik dan atau diastolik.
Klasifikasi NYHA (New York Heart Association) digunakan untuk
menilai derajat pasien gagal jantung berdasarkan berat ringannya gejala:
1) NYHA I
Pasien dengan penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik.
2) NYHA II
Pasien dengan penyakit jantung dengan limitasi ringan terhadap
aktivitas fisik.
3) NYHA III
Pasien dengan penyakit jantung dengan limitasi bermakna terhadap
aktivitas fisik
4) NYHA IV
Pasien dengan penyakit jantung dengan ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas apapun tanpa menimbulkan gejala.
b. Syok Kardiogenik
Diakibatkan karena disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah
mengalami infark yang massif. Timnul lingkatan setan hemodinakim
progresif hebat yang irreversible, yaitu:
i. Penurunan perfusi perifer
ii. Penurunan perfusi koroner
iii. Peningkatan kongesti paru
Sepuluh sampai 15% pasien IM mengalami syok kardiogenik, dengan
mortalitas antara 80-95%.
c. Tromboemboli
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel
menjadi kasar yang merupakan faktor predisposisi pembentukan trobus.
Pecahan trombus terlepas dan dapat terjadi embolisme sistemik. Studi
pada 942 kasus kematian akibat IM akut menunjukkan adanya teombi
mural pada 44% kasus pada endokardium. Study autopsi menunjukkan
10% kasus IM akut yang meninggal mempunyai emboli arterial ke otak,
ginjal, limpa atau mesenterium.
d. Aritmia
Komplikasi paling sering dari infark miokard akut adalah gangguan
itama jantung (90%). Aritmia timbul akibat perubahan bentuk potensi
aksi yaitu rekaman grafik aktivitas fisik.
e. Perikarditis
Sindrom ini dihubungkan dengan IM yang digambarkan pertama
kali oleh dressler dan disebut sindrom dressler. Biasanya terjadi setelah
infark transmural tetapi dapat menyertai infark subepikardial. Infark
transmural dapat membuat lapirsan epikardium yang langusng kontak
dengan pericardium menjadi besar sehingga merangsang permukaan
pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan. Kadang terjadi efusi
pericardial/pericarditis biasanya sementara, yang tampak pada meninggal
pertma setelah infark. Nyeri dada dari perikarditis akut terjadi tiba-tiba
dan berat serta konstan pada dada anterior. Nyeri memburuk dengan
inspirasi dan biasanya dihubungkan dengan takikardi, demam ringan, dan
friction rub pericardial yang terinfasik dan sementara.
f. Ruptura Miokardium
Ruptura dinding bebas dari ventrikel kiri menimbulkan kematian
sebanyak 10% di rumah sakit karena IM akut. Rupture ini menyebabkan
tamponade jantung dan kematian. Rupture septum intraventrikuler jarang
terjadi, yang terjadi pada kerusakan miokard luas, dan menimbulkan
defek septum ventrikel.
g. Aneurisma Ventrikel
Kejadian ini adalah komplikasi lambat dari IM yang meliputi
penipisan, penggembungan, dan hipokenesis dari dinding ventrikel kiri
setelah infark transmural. Aneurisme ini sering menimbulkan gerakan
paroksimal pada dinding ventrikel, dengan penggembungan keluar
segmen aneurisma pada kontraksi ventrikel. Kadang-kadang aneurisma
ini rupture dan menimbulkan tamponade jantung, tetapi biasanya masalah
yang terjadi disebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel atau
embolisasi.
h. Disfungsi Septum Ventrikel
Nekrosis septum interventrikularis dapat menyebabkan rupture
dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel. Akibatnya curah
jantung sangat berkurang disertai peningkatan kerja ventrikel kanan dan
kongesti.
i. Rupture Jantung
Ruptur dinding ventrikel jantung yang bebas dapat terjadi pada
awal perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik
sebelum pembentukan parut (Tambayong, 2000).
9. Prognosis
Prognosis dari infark miokard dapat diperkirakan dengan menggunakan
TIMI score (Thrombolysis in Myocardial Infarction). Skor ini memberikan
prediksi kematian dalam 30 hari sesudah terjadinya infark miokard.
DAFTAR PUSTAKA
Alpert, J.S., Kristian, T., MD, Allan S. J., Harvey D.W., 2010. A Universal
Definition of Myocarfial Infarction for the Twenty-Fisrst Century. Acces
Medicine from McGraw-Hill. Available from http://www.medscape.com/
viewarticle/716457
Anand, S.S., Islam, S., Rosengren, A., et al., 2008. Risk factors for myocardial
infarcion in women and men; insights from the INTERHEART study:
European Heart Journal. Available from http://eurheartj.oxfordjournals.
org/content/29/7.932.short
Brown, T.C., 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A.,
William, L.M., ed. Paatofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC 580-587.
Cannon, C.P., Braunwald, E., 2005. Unstable Angina and Non-ST-Elevation
Myocardial Infarction, In: Kaspe, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L.,
Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L., eds. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 16th ed, USA: McGraw-Hill 1444-1445.
Chou, T, 1996/ electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric:
Myocardial Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia.
4th, Pennsylvania: W.B Saundes Company.
Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Besar Kedokteran Dorland. Edisi 1: Jakarta:
EGC.
Fenton, D.E., 2009. Myocardial Infarction. Available from http://emedicine.
medscape.com/artivle/759321-overview
Inmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S.,
Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, 173-174.
Ismail, J., Jafar, T.H., Jafary, F.H., White, F., Faruqui, A.M., Chaturvedi, N.,
2004. Risk faactors for non-fatal myocardial infarction in young South
Asia’s adults. Pubmed. Available from http://www.ncbi.nih.gov/
pubmed/14960040
Kalim, H., 2001. Diagnostik dan Stratifikasi Risiko Dini Sindrom Koroner Akut.
Dalam: Kaligis, R.W.M., Kalim, H., Yusak, M., Ratnaningsih, E.,
Soesanto, A.M., (eds). Penyakit Kardiovaskuler dari Pediatrik sampai
Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita, 227-228.
Nigam, P.K., 2007. Biochemical Markers if Myocardial Injury. Indian Journal if
Clinicsl Biochemistry. Available from: http://medind.mc.in/inf/
t07/il_rafti)7ilp10.pdf
Oemar, H., 1996. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah. Rilantoro, L.I., Baraas,
F., Karo kato, S., Roebiono, P.S., ed, Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK
UI, 12.
Price, S.A., William, L.M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery
Disease. 1st ed. USA: Oxford University Press.